You are on page 1of 10

TRITURA

Tri Tuntutan Rakyat (atau biasa disingkat Tritura) adalah tiga tuntutan kepada
pemerintah yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia(KAPPI), Kesatuan Aksi
Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), serta didukung penuh
oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

RESUME
Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa
Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan
politik Indonesia. Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan
keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi
mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak
segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari
segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan bakar
minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori
kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Isi
Tritura adalah:

1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya


2. Perombakan kabinet Dwikora
3. Turunkan harga sembako
Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan
Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan ketiga baru diserukan saat itu.
Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak.
Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet. Dalam
kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa meningkatkan
aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan menteri-
menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal
Presiden Soekarno, seorang mahasiswa Arif Rahman Hakim meninggal. Pada tanggal 25
Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa
untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat Perintah
11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal
Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban
SUPERSEMAR

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11


Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani
olehPresiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah
yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi
keamanan yang buruk pada saat itu. Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan
dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian
kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga
masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

RESUME

Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966,
Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang
dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir
Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa
banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah
Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-
orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana
Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil
Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan.
Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian
menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden
menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan
Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral
(Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan
menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk
menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui
Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir JendralM. Jusuf, Brigadir
Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada
malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno
mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto
mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat
kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral
(purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada
Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat
yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan
penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5
KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran
PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang
dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono
mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.
DUALISME
KEPEMIMPINAN
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada
Dualisme Kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun
pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat
yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato
pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah mendapat
Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI,
namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi
nama Kabinet Ampera.

RESUME
Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967
identik dengan adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai
kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan
Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret. Meningkatnya
wewenang Pengemban SP 11 Maret inilah yang menjadi fokus utama kajian
dalam pembahasan Dualisme kepemimpinan 1966-1967 hingga berakhirnya. Alasan peneliti
mengkaji dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto
karena masih belum adanya penelitian terdahulu yang lebih memfokuskan pada
topik dualisme kepemimpinan secara lebih mendalam. Pentingnya penelitian ini
juga terkait dengan permainan politik yang terjadi dalam MPRS dan DPRG yang
didominasi oleh AD untuk meningkatkan wewenang Soeharto dan mengikis
kekuasaan Presiden Soekarno. Peneliti juga tertarik membahas dualisme kepe-
mimpinan, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sebelumnya banyak didominasi
penguasa Orde Baru. Oleh sebab itu, munculnya berbagai interpretasi mengenai
tulisan sejarah saat ini diharapkan mampu memberikan keterbukaan akan inter-
pretasi baru.
Permasalahan yang peneliti kaji dalam penelitian ini ialah pertama,
bagaimanakah situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 sebagai latar
belakang dualisme kepemimpinan, kedua bagaimanakah terjadinya dualisme
kepemimpinan antara Soekarno-Soeharto dan yang ketiga bagaimanakah akhir
dari dualisme kepemimpinan tersebut.
Situasi politik Indonesia antara
tahun 1957-1966 yang memberikan gambaran mengenai dominasi Angkatan
Darat dalam pemerintahan. Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik dengan
PKI karena AD merasa bahwa PKI dapat mengancam politiknya. Presiden
Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya,
sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya,
munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang
mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung
politik Soekarno.
1966
&1998
PERSAMAAN

1. Kedua gerakan mahasiswa waktu itu sama - sama berhasil melengserkan kekuatan
pemerintah yang sedang berkuasa waktu itu.
2. Kedua gerakan sama - sama terjadi dalam skala nasional.

PERBEDAAN
Pada Tahun 1966, untuk menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa waktu itu,
Mahasiswa dan militer TNI bekerja sama untuk merutuntuhkan suatu kubu Komunis bernama
Partai Komunis Indonsia. Sedangkan pada tahun 1998, Mahasiswa tidak mendapat bantuan militer
dari TNI ( dikarenakan pemerintah yang ingin dilengserkan waktu itu, Presiden Soeharto,
merupakan Mayor Jenderal dari TNI ).
KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
ORDE BARU
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang
didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan
dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk
melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang
diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di
dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa
Indonesia. pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional
yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan
pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan.
Oleh karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka
pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: (1) pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian
pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6)
pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan
kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8)
pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
A. Pertanian
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur
Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam
rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal
pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian
yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian.
Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh
kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.
Pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian
Universitas Gajah Mada dengan membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah
Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari pembangunan nasional. Badan Usaha Unit Desa
(BUUD)/KUD melakukan kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas
dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih dan obat-obatan). Pemerintah
Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani. Para petani
diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka
dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga manajemen
usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Sejarah Indonesia 131 Khusus, dan
Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras.
B. Pendidikan
Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang
sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah
pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan
kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar,
terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada
1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung
SD. Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang
masing-masing memiliki tiga ruang kelas.
Setelah perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran perbaikan
bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Hal itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka
melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus
1978. Cara yang ditempuh adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”.
Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta
huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia
masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh
tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen.
Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.

C. Keluarga Berencana
Pada masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk
yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk
Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%. Pengendalian
penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan
kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang dilaksanakan oleh Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena
dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam
rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan mengemukakan
bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan contoh bagi
negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi.
D. Kesehatan Masyarakat, Posyandu
Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena
dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam
rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan mengemukakan
bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan contoh bagi
negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi.
Kemudian didirikan Health Centre (HC) di 8 lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut), Bojong
Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY dan
Kalimantan Selatan. Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan program
pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN).
Pada tahun 1984 dikembangkan Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan
kurang gizi. Posyandu dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan
Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu hamil.
Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan distribusi Vit.A, Fe, Garam Yodium, dan
suplemen gizi lainnya. Bahkan Posyandu saat ini juga menjadi andalah kegiatan penggerakan
masyarakat (mobilisasi sosial) seperti PIN, Campak, dan Vit A.
Perkembangan puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu
indikatornya adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu dokter
untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter untuk
11,4 ribu penduduk.

You might also like