You are on page 1of 76

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara multi etnik yang memiliki aneka ragam adat

istiadat, salah satu bentuk keberagaman yang dimiliki masing-masing suku bangsa

tersebut adalah upacara adat perkawinan. Perkawinan merupakan suatu hal yang

sakral, agung dan mulia dalam kehidupan manusia. Seperti diketahui bersama

bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar di muka bumi nusantara, bahkan pada

berbagainegara di dunia memiliki upacara serta hukum perkawinan menurut

tradisi leluhurnya masing-masing.

Suku bangsa Tolaki adalah salah satu suku bangsa yang berada di daratan

pulau Sulawesi bagian Tenggara bahwa salah satu budaya yang menjadi ciri khas

suku ini ada pada adat perkawinannya yang disebut dengan istilah

perapu’a.Perkawinan dalam suku bangsa Tolaki terbagi dalam dua jenis, yaitu

perkawinan ideal dan perkawinan tidak ideal. Perkawinan ideal yang dimaksud

adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan tatanan hukum adat perkawinan

Tolaki antara lain seperti perkawinan mowindahako atau pernikahan yang

didahului dengan pelamaran secara sah yang di dalamnya terdapat lima tahapan

yang harus dilalui oleh pihak laki-laki, yaitu (1) tahap metiro (mengintip atau

meninjau calon istri), (2) tahap monduutudu (pelamaran jajakan), (3) tahap

melosoako (pelamaran sesungguhnya), (4) tahap mondongo niwule (meminang),

(5) tahap mowindahako (pelaksanaan akad nikah), sedangkan perkawinan tidak

1
ideal adalah perkawinan yang tidak sesuai dengan deretan tata cara yang sesuai

dalam hukum perkawinan adat Tolaki, seperti Kawin Mombolasuako, Kawin

Umo’api Wali dan Umo’api Sarapu, Kawin Melanggahako, Mewualako, Kawin

Tekale, Kawin Pinoko Mbedulu.

Diantara jenis-jenis perkawinan di atas yang menjadi fokus kajian dalam

tulisan ini adalah jenis perkawinan tidak ideal khususnya perkawinan

mombolasuako.Mombolasuako adalah istilah yang dipakai suku bangsa Tolaki

dalam arti melarikan anak gadis seseorang.Perkawinan mombolasuako bukanlah

hal yang baru terjadi pada masyarakat Tolaki, tetapi fenomena perkawinan

tersebut sudah berlangsung sejak dahulu kala yang menjadi salah satu jalan yang

ditempuh anak-anak muda Tolaki untuk mempersunting pasangannya.

Pada hakikatnya perkawinan merupakan suatu sarana untuk mendekatkan

dan mempererat ikatan keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.Namun, pada

perkawinan mombolasuakokadangkala menunjukan hal yang berbeda dari hakikat

dan tujuan sebuah perkawinan, bukan kebahagiaan yang didapatkan oleh kedua

belah pihak, namun sebuah masalah yang mengakibatkan terjadinya konflik antara

keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Meskipun hukum adat perkawinan

masyarakat Tolaki mengatakan bahwa perkawinan jenis tersebut tidak sesuai dan

bisa berakibat terjadinya konflik, tetapi justru perkawinan mombolasuako

sekarang ini banyak dilakukan oleh anak muda Tolaki.Ironisnya yang melakukan

perkawinan mombolasuako ini terjadi dikalangan remaja yang masih berada

pada usia sekolah, dan sebagian terdapat pasangan yang melakukan kawin lari

setelah lulus sekolah (SMA).

2
Dalam konsep penyelesaian konflik masyarakat suku Tolaki peran kalosara

sebagai benda adat yang di anggap sakral oleh masyarakat Tolaki memiliki peran

yang sangat penting di dalam memediasi sebuah masalah, begitupun dengan

urusan adat mengenai kasus kawin lari (mombolasuako).Demi terciptanya

kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat, kalosara sebagai pusat

kebudayaan dan tuntunan hidup masyarakat Tolaki telah mengatur bagaimana

setiap masalah yang ada harus diselesaikan dengan asas musyawarah mufakat atau

dalam istilah suku Tolaki dikenal dengan istilah mesambepe meambo.

Pada dasarnya hukum adat perkawinan masyarakat Tolaki semuanya sama,

tetapi kadang kala setiap daerah kabupaten, kecamatan dan desa memiliki tata

aturan maupun cara, syarat-syarat perkawinan dan prosesi penyelesaian yang

berbeda.Desa Lelekaa merupakan salah satu desa yang tergabung dalam

wilayah administratif Kecamatan Wolasi Kabupaten Konawe Selatan

merupakan salah satu desa yang sampai saat ini, masyarakat, pemangku adat

dan pemerintah desa setempat sering dihadapkan dengan kasus kawin lari

(mombolasuako).Fenomena kawin lari (mombolasuako) di desa ini seolah-olah

menjadi pilihan utama perkawinan anak muda Tolaki di Desa Lelekaa.Dari

tahun ke tahun jenis perkawinan ini selalu hadir di tengah-tengah masyarakat

Desa Lelekaa.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk

melaksanakan penelitian mengenai Penyelesaian Adat Perkawinan

Mombolasuako di Desa Lelekaa Kecamatan Wolasi Kabupaten Konawe

Selatan.
3
1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah :

1. Mengapa masyarakat di Desa Lelekaa, Kecamatan Wolasi, Kabupaten

Konawe Selatan, banyak melakukan perkawinan mombolasuako?

2. Bagaimana penyelesaian adat perkawinan mombolasuako di Desa

Lelekaa Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahandiatas,maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan alasan masyarakat di Desa

Lelekaa, Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan melakukan

perkawinan mombolasuako.

2. Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan tahapan penyelesaian adat

perkawinan mombolasuakopada suku Tolaki di Desa Lelekaa

Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan.

1.4.Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka manfaat yang akan diperoleh

dari penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan

dan pengetahuantentang fenomena kawin lari (mombolasuako) pada

masyarakat suku Tolaki serta tahapan-tahapan penyelesaianya.


4
2. Bagi keilmuan,sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang berminat

untuk mengkaji masalah yang relevan dengan penelitian ini.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan khususnya Kementerian

Pariwisata dan Budaya di Tingkat Daerah dan Provinsi dalam

membina dan meningkatkan serta melestarikan kekayaan budaya

daerah khusunya mengenai hukum adat perkawinan suku bangsa

Tolaki.

2. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi mengenai penyelesaian

adat perkawinan mombolasuako pada suku Tolaki di Desa Lelekaa,

Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR

2.1. Tinjauan Pustaka

Perkawinan adalah keputusan dua orang, yakni laki-laki dan perempuan

untuk membentuk rumah tangga baru, menentukan nasib sendiri, dan juga untuk

mendapatkan keturunan yang pada proses pelaksanaanya diatur oleh beberapa

aturan yang mengikat, diantaranya aturan perkawinan menurut hukum Negara,

Agama dan juga hukum adat.

Koentjaraningrat (1992 : 93 ) yang melihat perkawinan dari sudut pandang

kebudayaan mendefinisikan perkawinan sebagai pengatur kelakuan manusia,

terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksnya. Akibat dari perkawinan ini,

menurut Koentjaraningrat, seorang laki-laki tidak dapat bersetubuh dengan wanita

lain tetapi dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat. Akibat

dari perkawinan yang berfungsi sebagai pengatur kelakuan hidup seks manusia itu

adalah seorang laki-laki terikat pada ikatan dengan satu atau beberapa wanita

saja.(

http://floresthenexttourismisland.blogspot.co.id/2009/10/teory_21.html?m=1 ).

Menurut Tarimana dalam Basaula Tamburaka (2015:52-53) mengatakan

bahwa perkawinan adat Tolaki memiliki beberapa istilah yaitu, medulu yang

artinya berkumpul, bersatu, dan mesanggina yang berarti bersama dalam satu

piring, sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah

merapu atau perapua yang berarti merapu, keberadaan suami, istri anak-anak,

6
mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan

suatu pohon yang rimbun dan rindang.

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang dasar

perkawinan menyatakan bahwa, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 menyatakan bahwa pernikahan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan

kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-

undangan yang berlaku.

(http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf).

Dalam buku Tarimana yang berjudul Kebudayaan Tolaki (1989:141-142)

para ahli antropologi mengartikan istilah perkawinan sebagai…”ikatan hak-hak”

(Leach 1961). Selanjutnya Goodenough (1970) mendefinisikan “perkawinan”

sebagai… a transaction and resulting contract in which a person (male or female,

corporate or individual; in person or by proxy) establishes a continuing claim to

the right of sexual acces to a women-this right having priority over rights of

sexual acces odhers currently have or may subsequently acquire in relation to her

(except in a similar transaction) until the contract resulting from the transaction

is terminated-and in which the women involved is eligible to bear children. Satu

dari empat definisi perkawinan yang nampak pada banyak masyarakat suku

bangsa didunia hasil penelitian para ahli antropologi adalah definisi yang

dikemukakan oleh Keesing (1981) sebagai berikut:

7
Marriage is characteristically not a relationship between individuals but a
contrach between groups (often, between corporations). The relationship
contractually established in marriage may endure despite the death of one
partner (or even of both).
Haviland (1985) mengartikan perkawinan sebagai suatu transaksi dan

kontrak yang sah dan resmi antara seseorang wanita dan seorang laki-laki yang

mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks satu sama lain dan

yang menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat

untuk melahirkan anak. Perkawinan meliputi pemberian hak antara keluarga

termasuk hak atas harta milik, hak atas anak-anak, dan hak atas hubungan seksual.

Geertz dalam Jumhuriatul Wardani (2009),Perkawinan menjadi petanda

terbentuknya sebuah keluarga (rumah tangga) baru yang segera memisahkan diri,

baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orang tua dan

membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga yang baru. Pada kebanyakan

masyarakat perkawinan juga merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara

dua kelompok himpunan yang tidak bersaudara atau pengukuhan keanggotaan di

dalam satu kelompok endogen bersama.

Menurut hukum adat suatu perkawinan tidak saja menimbulkan ikatan

perdata sebagaimana perkawinan di dalam Undang-Undang, tetapi juga

menimbulkan perikatan adat.Perkawinan tidak saja menjadi urusan laki-laki dan

perempuan yang menikah, tetapi menjadi urusan berbagai pihak yaitu urusan

masyarakat, urusan kerabat, urusan keluarga, urusan persekutuan dan urusan

martabat. Perkawinan menurut hukum adat adalah urusan kerabat, urusan

keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula

ia menyangkut urusan keagamaan. Adapun tujuan perkawinan pada hukum adat


8
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan garis kebapakkan atau

keibuan atau keibu-bapakan untuk kebahagiaan rumah tangga, keluarga/kerabat,

untuk memperoleh nilai-nilai adat, budaya dan kedamaian, dan mempertahankan

kewarisan (Hadikusuma,1990).

SukuTolaki mengenal adanya dua bentuk perkawinan yakni perkawinan

normal atau perkawinan ideal dan perkawinan yang tidak normal.Perkawinan

normal atau perkawinan ideal yang dalam istilah bahasa Tolakinya disebut

Mesarapu merupakan perkawinan yang terjadi sesuai dengan harapan orang tua

yang tata urutannya mengikuti urutan yang telah ditetapkan oleh adat.

Dalam adat mesarapudidalamnya terdapat empat bagian yaitu (1)Bite

Tinongo atau Mowawo Niwule, (2) Mosoro Orongo,(3)Mosula Inea (4)Tumutuda.

Perkawinan yang tidak normal merupakan perkawinan yang terjadi dimana

didalamnya terdapat masalah, atau dapat dikatakan perkawinan yang tidak

mengikuti tata aturan dari adat perkawinan suku Tolaki. Perkawinan yang tidak

normal terbagi atas dua bagian yakni mesokei dan umo’api.Dalam adat mesokei di

dalamnya terdapat empat bagian yaitu (1) Mombokomendia.(2)Mombolasuako.

(3)Bite Nggukale. (4)Somba labu.Dalam adatumo’apidi dalamnyaterdapat dua

bagian yaitu umo’api sarapu danumo’api wali.(http://ejournal.unsrat.ac.id/

index.php/kaling/article/view/8430/8009)

Diantara kedua jenis perkawinan diatas, perkawinan tidak ideal merupakan

fenomena budaya yang kerap mendapat perharian khusus di

masyarakat.Perkawinan mombolasuako adalah salah satu perkawinan yang tidak

luput dari perhatian masyarakat, bagaimana tidak, meskipun melanggar adat tapi

9
perkawinan ini jusrtu banyak dilakukan.Dalam Erens E. Koodoh, Abdul Alim,

Bachruddin, (2011:18-19) Perkawinan mombolasuako dapat terjadi karena tiga hal

yakni:

a. Molasu

Dimana seorang laki-laki dan seorang gadis setuju untuk “lari

bersama” (biasanya mereka lari menuju rumah imam,tokoh adat, atau

lari dan bersembunyi disuatu tempat) karena baik orang tua laki-laki

maupun orang tua gadis tidak menyetujui hubungan mereka.

b. Pinolasuako

Dimana seorang laki-laki dan seorang gadis setuju untuk “lari

bersama” karena orang tua dari sigadis tidak menyetujui hubungan

mereka, sedangkan orang tua silaki-laki setuju.

c. Mepolasuako

Ini terjadi karena seorang gadis mengajak seorang laki-laki “kawin

lari” atau karena seorang gadis mengadu kepada imam atau tokoh

adat. Seorang gadis biasanya mengadukan hubunganya dengan

seorang laki-laki kepada imam atau tokoh adat jika dia melihat gelagat

yang kurang baik dari silaki-laki, misalnya gelagat akan ditinggalkan

atau silaki-laki menjalin hubungan dengan gadis lain, sementara

mereka sudah menjalin hubungan yang intim.

Basaula Tamburaka (2015:60) dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat

Tolaki mengatakan bahwa, konon dahulu kala kasus perkawinan mombolasuako

di gegerkan atau ramai di bicarakan dalam masyarakat Tolaki, namun dewasa ini

10
tampaknya jarang di bicarakan apakah karena pengaruh lingkungan utamanya

mungkin dengan perkembangan kemajuan zaman yang di picu dan di pacu

hadirnya teknologi komunikasi dan informasi yang secara signifikan terjadi

pergeseran nilai khususnya dalam tataran pergaulan remaja di mana muda-mudi

dewasa ini telah mengenal sistem pergaulan bebas misalnya, yaitu mengenal

budaya pacaran atau berpacaran.

La Ino (2011) dalam tulisanya mengenai Makna Tuturan dalam

Penyelesaian Pelanggaran Adat Mombolasuako Masyarakat Tolaki mengatakan

bahwa mombolasuakomerupakan bentuk pelanggaran adat yang biasa dilakukan

apabila hubungan antara si gadis dengan si pemuda tidak di setujui oleh orang tua

dan status sosial antara seorang gadis dan seorang pemuda berbeda.

Pelaksanaannya terdiri atas dua tahapan yaitu tahapan rembinggare, dan tahapan

mesokei.

Ada dua pandangan yang bersinggungan ketika berbicara masalah

membawa lari anak gadis orang.Pertama, kawin lari itu sesungguhnya merupakan

suatu pelanggaran adat, sehingga siapa saja oknum atau kelompok yang terlibat

Mombolasuako akan kena denda pinalti yakni membayar denda adat yang cukup

besar, belum lagi resiko jika mereka diketemukan sebelum ditangani adat pria

tersebut akan dibunuh oleh keluarga perempuan tersebut. Kedua justru bertolak

belakang atas dimana keluarga pria akan membela mati-matian agar anak mereka

sukses dan selamat dalam menjalani proses adat hingga mereka duduk bersanding

di pelaminan (Tamburaka,2015:60-61).

11
Penelitian terkait dengan Kawin Lari sudah banyak dilakukan, diantaranya

penelitian yang dilakukan oleh Karmila (2014) tentang Kawin Lari

(Mombolasuako) Dalam Perspektif Hukum Adat Tolaki di Sulawesi

Tenggara.Penelitian ini menyimpulkan bahwa kawin lari menurut adat Tolaki

yaitu dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-

laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan.Akan tetapi bagi

masyarakat Tolaki, ketegangan dipihak perempuan dapat diredam dengan

membawakan kalosara. Jika kalosaradihadirkan dihadapan pihak keluarga

perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika ia tetap

bereaksi maka akan diberikan sanksi adat dan akan dihukum secara fisik oleh

segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara,

maka pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai

solusi adat, berupa satu pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peohala (denda)

yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan. Akibat

hukum kawin lari/ mombolasuako dalam hukum adat Tolaki adalah dalam

pelaksanaan perkawinan langsung pada tahapan akhir dari tahapan perkawinan

suku Tolaki yakni mowindahako yang artinya menyerahkan pokok adat

dilanjutkan acara pernikahan yang didahului rembinggare (adat penghalang kaki

supaya jangan bergerak) ruo mata yakni dua lembar sarung, sokei (denda adat)

aso kasu yakni satu pis kain kaci, peosawa’akoa (adat peredam amarah) aso kasu

yakni satu ekor kerbau, pekopu (adat penyerahan anak kepada orang tuanya) ruo

mata yakni satu lembar baju perempuan dan satu lembar kain panjang sanksi adat

12
karena telah berbawah lari yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepihak

perempuan sebagai bentuk permintaan maaf.

Hafidudin (2012) tentang Eksistensi Budaya Sebambangan (Kawin Lari)

Dalam Masyarakat Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan

Baradatudengan menggunakan metode kualitativ mengatakan bahwa Budaya

sebambangan pada masyarakat adat suku Lampung pepadun di Kampung Cugah

terlaksana karena telah menjadi kebiasaan turun-temurun dan menjadi adat istidat

masyarakat setempat, adanya ketidaksetujuan orang tua untuk menikahkan

anaknya, serta dorongan ketidakmampuan ekonomi untuk menikahkan anak

secara intar padang. Budaya sebambangan telah mengalami perubahan,

diantaranya tidak dilaksanakannya lagi sebambangan dengan cara ditekop

(memaksa gadis untuk sebambangan). Perubahan juga terjadi pada prosesi

upacara-upacara adat yang telah disatukan, dengan tujuan untuk lebih menghemat

waktu, biaya dan tenaga yang harus dilakukan selama pelaksanaan sebambangan

berlangsung.Budaya sebambangan masih ada, dan tetap di laksanakan oleh

masyarakat setempat, serta tetap terjaga keberadaan/eksistensinya.Hal ini sangat

dipengaruhi oleh kebudayaan sebambangan itu sendiri yang telah menjadi adat

istiadat kampung setempat, keberadaan pemuka adat (puyimbang tiyuh), dan juga

tingkat ekonomi masyarakat setempat yang masih tergolong masyarakat kelas

menengah ke bawah.

Wardani (2009), dalam skripsinya mengenai Adat Kawin Lari“Merariq”

Pada Masyarakat Sasak,Studi Kasus di Desa Sakra Kabupaten Lombok

Timur,Hasil penelitian yang diperoleh bahwa alasan-alasan yangmelatarbelakangi

13
masyarakat Sakra melakukan merariq adalah karena denganpelarian yang mereka

lakukan akan menunjukakan kemampuan merekamemegang tanggung jawab

untuk mandiri menjalankan kehidupan merekabersama. Adapun alasan yang lain

karena ketidak setujuan dari orang tua denganpasangan yang dipilih oleh anak

mereka dan karena adanya suatu paksaan ataubisa dikatakan ketidaktahuan dari

pihak perempuan kalau dia ternyata di bawa larioleh pasangannya. Selain dalam

praktik merariq didapatkan beberapa kemudahandan tidak beresiko untuk tidak di

restui oleh orang tua dari pihak perempuan.Terdapat perbedaan antara merariq

yang dilakukan oleh kaum bangsawan denganmasyarakat biasa. Pada zaman

dahulu perbedaan itu terlihat dari pakaian, payingagung yang digunakan akan

tetapi pada masa sekarang sudah tidak bisa terlihatlagi karena antara bangsawan

dan masyarakat biasa sama saja, yangmembedakannya hanya pada besarnya aji

krame yang disebutkan dalam prosesisorong serah, yang mana kaum bangsawan

yakni lalu atau baiq 66 selaksesedangkan masyarakat biasa 33 selakse.

Noviardi S (2003), Kawin Lari Dalam Budaya Siri‘ Pada Masyarakat Suku

Bugis di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jambung Timur Propinsi

Jambi,disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar magister

kenotariatan. Menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Faktor penyebab terjadinya kawin lari pada masyarakat suku Bugis di

Kecamatan Nipah Panjang adalah :

a. Keluarga pihak perempuan tidak menyetujui laki-laki pilihan

anaknya, karena anaknya telah dijodohkan sebelumnya.

b. Terlalu tinggi uang lamaran yang diminta

14
c. Laki-laki yang akan melaksanakan perkawinan tersebut tidak

berkelakuan baik

d. Derajat perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

2. Perbuatan kawin lari menimbulkan titik singgung dengan budaya siri’

(malu) yang diyakini secara utuh sampai sekarang ini pada masyarakat

Suku Bugis di Kecamatan Nipah Panjang. Terjadinya kawin lari

menimbulkan akibat:

a. Karena malu pihak keluarga perempuan akan pindah dari desa

tempat kediamanya.

b. Hubungan antara anak perempuan dengan keluarganya dapat

terutus.

c. Hubungan antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan

dapat memburuk dan terjadi permusuhan.

d. Pembunuhan terhadap salah satu atau kedua orang dari yang

melakukan kawin lari apabila ditemukan.

3. Cara penyelesaian adat yang ditempuh oleh masyarakat suku Bugis

terhadap akibat dari kawin lari adalah mendatangkan utusan dari pihak

laki-laki ketempat pihak perempuan untuk merundingkan hubungan

dari pasangan yang melakukan kawin lari. Pihak perempuan

menerima uang pengganti adat yang digunakan untuk membiayai

kenduri atau do’a selamat dan ditanamkan sebahagian masyarakat

suku Bugis mensyaratkan adanya pernikahan kembali pada mempelai

15
yang melakukan kawin lari tersebut setelah diterimanya uang

pengganti.

2.2. Landasan Teori

Dalam mengkaji dan menganalisis hasil penelitian tentang “penyelesaian

adat perkawinan Mombolasuako (Studi kasus di Desa Lelekaa, Kecamatan

Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan) ini menggunakan teori sturuktural

fungsionalisme Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1980). Teori struktural

fungsionalisme melihat bahwa setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam

masyarakat mempunyai fungsi tertentu untuk melestarikan struktur masyarakat

yang bersangkutan, susunan bagian-bagian yang teratur sehingga masyarakat

tersebut bisa tetap lestari.

Radcliffe Brown juga menyatakan bahwa struktur sosial itu ada dan dapat

dianalisa pada segala macam masyarakat baik yang bersahaja maupun yang

kompleks.Melalui karangannya Radcliffe-Brown juga telah merumuskan metode

pendiskripsian terhadap karangan etnografi,yang dirumuskan kedalam beberapa

bagian:

(1) Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu

sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk

berperilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(2) Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan

demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi

pokok orientasi dari sentimen tersebut;

16
(3) Sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat

sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya;

(4) Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen

itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saat tertentu;

(5) Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas sentimen itu

dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada

warga-warga dalam generasi berikutnya.

Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam

ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown dalam Koentjaraningrat (1980)

mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisis fungsional

kontemporer: fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti

penghukuman kejahatan, atau penuturan cerita lisan, adalah merupakan bagian

yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu

merupakan sumbangan yang di berikannya bagi pemeliharaan kelangsungan

struktural.

Alfred Reginald Radcliffe-Brown mengembangkan teori struktural

fungsional, sebuah kerangka kerja yang menggambarkan konsep-konsep dasar

yang berkaitan dengan struktur sosial dari peradaban primitif. Ide pokoknya

adalah tentang struktur sosial seperti yang di asumsikan bahwa perumusan dari

keseluruhan hubungan atau jaringan antar individu dalam masyarakat, hal yang di

lihat dalam struktur sosial adalah tak lain dari prinsip-prinsip kaitan antara

berbagai unsur masyarakat seperti status dan peran, pranata dan lembaga sosial.

Selanjutnya dikatakan hubungan interaksi antara individu dalam masyarakat

17
merupakan hal yang konkrit sedangkan struktur sosial berada di belakangnya dan

mengendalikan hal yang konkrit tersebut.(http://teologihindu.blogspot.com

/2011/03/aplikasi-teori-fungsionalstruktural.html)

2.3. Kerangka Pikir

Sistem Perkawinan Pada


Masyarakat Tolaki

Mombolasuako

Alasan Masyarakat Melakukan Penyelesaian Adat


Perkawinan Mombolasuako Perkawinan Mombolasuako

Teori structural fungsional


(Radcliffe-Brown)

Penyelesaian Adat Perkawinan Mombolasuako Pada Suku Tolaki

Suku bangsa Tolaki merupakan salah satu suku yang ada di daratan pulau

Sulawesi bagian Tenggara, salah satu tradisi yang hingga kini masih lestari salah

satu di antaranya adalah adat perkawinan atau dalam istilah masyarakat Tolaki

dikenal dengan pepakawia atau perapua.Dalam sistem perkawinan masyarakat

Tolaki dikenal dua jenis perkawinan yaitu perkawinan ideal dan perkawinan tidak

ideal.Perkawinan ideal yang dimaksud adalah perkawinan yang sesuai dengan

ketetapan hukum adat sedangkan perkawinan tidak ideal adalah perkawinan yang

tidak sesuai dengan adat atau alur perkawinan yang ditetapkan oleh adat.Kawin

lari (mombolasuako) merupakan salah satu contoh jenis perkawinan yang tidak

18
normal pada orang tolaki. Perkawinan mombolasuako pada dasarnya menurut

hukum adat Tolaki merupakan suatu bentuk pelanggaran adat, namun pada

masyarakat Tolaki di Desa Lelekaa perkawinan jenis ini justru banyak

yangmelakukanya, khususnyaoleh kaula muda di desa tersebut. Pada umumnya

yang melakukan perkawinanmombolasuako adalah pasangan remaja yang masih

pada usia sekolah dan ada yang melakukanya setelah lulus dari sekolah menengah

atas (SMA). Dalam mengkaji fenomena kawin lari (mombolasuako) peneliti

menggunakan teori struktural fungsionalisme dari Radcliffe Brown.

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lelekaa, Kecamatan Wolasi, Kabupaten

Konawe Selatan dengan pertimbangan bahwa Desa Lelekaa merupakan salah satu

desa yang masyarakatnya mayoritassuku Tolaki dan di desa ini banyak

masyarakatnya yang melakukan perkawinan mombolasuako. Selain itu dalam

menyelesaikan urusan perkawinan tidak ideal masyarakat Desa Lelekaa memiliki

tata cara yang berbeda dengan masyarakat Tolaki di daerah lain.

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, sejak bulan januari sampai

pada bulan maret 2016.

2.2. Pemilihan Informan

Pemilihan informan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan

teknik purposive sampling yaitu tehnik pemilihan informan secara sengaja dengan

pertimbangan bahwa yang bersangkutan bersedia memberikan informasi yang

mendetail sehubungan dengan masalah yang diteliti. Hal tersebut dipertegas

dengan mengacu pada Spardley (1997) yang mengatakan bahwa lima persyaratan

minimal dalam pemilihan informan yang baik, dan salah satu diantaranya peneliti

gunakan sebagai pedoman untuk memilih informan, yakni enkulturasi penuh.

Yaitu orang yang mengetahui budayanya dengan sangat baik, tanpa harus

memikirkanya karena sudah terbiasa dengan hal tersebut.

20
Adapun informan yang dipilih dalam penelitian ini terdiri dari informan

kunci dan informan biasa. Informan kunci dalam penelitian ini

adalahpu’utobu(pemangku adat) orang yang mengetahui segala sesuatu yang

berkaitan dengan urusan adat dan tolea pabitara (juru bicara adat).Sedangkan

informan biasa yaitu, kepala Desa Lelekaa,pasangan suami istri serta orang tua

pasangan yang melakukan perkawinan mombolasuako dan masyarakat Desa

Lelekaa yang tinggal menetap serta mengerti dan mengetahui tentang fenomena

perkawinan mombolasuako yang terjadi di Desa Lelekaa. Informan kunci yang

dipilih adalah bapak Arif Mido (67 Tahun) sebagai tono motu’ono okambo dan

pu’utobudan bapak Ade (63 Tahun) sebagai tolea pabitara, Sedangkan informan

biasa diantaranyabapak Saleh (49 Tahun) sebagai kepala Desa Lelekaa, 4 orang

yang melakukan perkawinan mombolasuako yaitu LP (26 Tahun), SF (23 Tahun),

AMR (23 Tahun), GN (22 Tahun), 3 orang tua anak yang yang melakukan

perkawinan mombolasuako, diantaranya bapak AN (47 Tahun), bapak YP ( 62

Tahun), dan ibu MRK (52 Tahun) dan 2 orang masyarakat Desa Lelekaa yang

telah lama tinggal dan menetap di desa tersebut, yaitu bapak Amirullah (56

Tahun) yang biasa bertindak sebagai penghulu perkawinan di Desa Lelekaa.

2.3.Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi berkenaan dengan permasalahan

penilitianmaka peneliti menggunakan metode penelitian lapangan.

Pelaksanaanpenelitian dilakukan melalui teknik pengamatan terlibat(Observasi

participation) dan wawancara mendalam(Indepth interview).

21
3.3.1 Pengamatan terlibat (Observation Participation)yaitu peneliti turut serta

hadir di rumah warga atau keluarga pihak perempuan yang tersandung kasus

perkawinan mombolasuakountukmengamati secara langsung acara peletakan adat

(Mombesara), dengan hal tersebut penelitilebih mengerti dan mengetahui aktivitas

para tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah desa dan keluarga pihak

perempuan maupun laki-laki terkait dengan jalannya proses pelaksanaanpeletakan

adat (mombesara) dalam penyelesaian adat perkawinan mombolasuako. Adapun

hal-hal yang diamati adalah tahapan atau susunan acara peletakan adat, benda-

benda yang dibawa pihak keluarga laki-laki ke rumah keluarga perempuan, orang

atau pihak-pihak yang hadir dan peran mereka dalam jalanya acara mombesara.

Dengan demikian peneliti dapat mengetahui dengan lebih baik mengenai tahapan

dan syarat adat dalam prosesi penyelesaian adat perkawinan mombolasuako.

3.3.2 Wawancara mendalam (Indepth Interview)yaitu pengumpulan data

dengan mengadakan tanya jawab langsung antara peneliti dengan informan yang

telah ditetapkan dan dilakukan dengan tujuan agar dapat diperoleh data yang

lengkap sesuai yang diperlukan dari setiap informan dengan menggunakan

pedoman wawancara (Interview guide) yang telah dibuat. Pedoman wawancara ini

dibuat untuk mengetahui hal-hal apa saja yang ditanyakan, antaranya tahapan-

tahapan adat yang harus dilalui, syarat atau benda-benda apa saja yang mesti

disiapkan, makna dari setiap tahapan dan makna dari benda-benda yang ada dalam

berlangsungnya acara peletakan adat, kemudian alasan pasangan anak muda

Tolaki melakukan perkawinan mombolasuako.

3.4 Teknik Analisis Data

22
Analisis data dilakukan dimulai dari awal hingga penelitian berakhir.Hasil

pengamatan dan wawancara berkaitan dengan prosesi penyelesaian adat

perkawinan mombolasuakodan alasan masyarakat Desa Lelekaa melakukan

perkawinan mombolasuako.Data penelitiankemudian di analisis secara deskriptif

kualitatif yaitu dengan cara mengolah data, menggolongkan data sesuai kategori

kemudian dihubungkan dengan keterkaitan konsep atau teori yang ada dan

diinterpretasikan dengan melihat keterkaitan berbagai konsep dan fakta yang

terjadi dalam upaya mengungkap permasalahan penelitian yang mengacu pada

hasil pengamatan dan wawancara. Pada akhirnya data-data tersebut diinterpretasi

sehingga peneliti dapat menggambarkan kenyataan yang sebenarnya secara

deskriptif kualitatif dengan mengacu pada Spradley (1997).

BAB IV

23
GAMBARAN UMUM DESA LELEKA

4.1 Keadaan Geografis

Desa Lelekaa terletak pada titik koordinat 122029’29,8”-95030’39” Lintang

Selatan dan 04013’28,2”- 04043’581” Bujur Timur dengan luas wilayah ± 48.750

ha2. Desa Lelekaa berada pada ketinggian ± 600 m dari permukaan laut dengan

kondisi tanah sangat subur dengan topograpi sebagian besar adalah berbukit dan

pegunungan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatas dengan Desa Amoito Jaya Kecamatan Wolasi.

 Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Anduna Kecamatan Laeya.

 Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Moramo dan Kecamatan Kolono.

 Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Landono dan Kecamatan Baito.

Jarak tempuh dari Desa Lelekaa ke Pusat Pemerintahan Kecamatan Wolasi

kurang lebih 5 km dengan waktu tempuh dengan kendaraan sepeda motor atau

mobil sekitar 7-10 menit, jarak tempuh ke pusat Pemerintahan Kabupaten

Konawe Selatan kurang lebih 49 km dengan waktu tempuh menggunakan

kendaraan sekitar 45 menit, sedangkan jarak dari Desa Lelekaa ke pusat

Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara berjarak kurang lebih 51 km dengan

waktu tempuh menggunakan kendaraan sepeda motor atau mobil kurang lebih 60

menit.

4.2 Keadaan Penduduk

24
4.2.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin

Berdasarkan data kependudukan Pemerintah Desa Lelekaa Maret 2015,

Keadaan penduduk Desa Lelekaa berdasarkan jenjang usia dan jenis kelamin

dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1.Jumlah Penduduk Desa Lelekaa Berdasarkan Jenjang Usia dan Jenis
Kelamin
Kelompok Usia Jenis Kelamin Jumlah
(Tahun) Laki-Laki(Orang) Perempuan(Orang) (Orang)
0–5 72 63 135
6 – 10 79 71 150
11 – 15 56 54 110
16 – 20 58 51 109
21 – 25 67 46 113
26 – 30 36 44 80
31 – 35 51 40 91
36 – 40 35 41 76
41 – 45 36 31 67
46 – 50 26 36 62
51 – 55 30 20 50
56 – 60 12 16 28
61 – 65 12 9 21
66 – 70 4 3 7
71 – 75 8 4 12
> 76 7 5 12

Jumlah 589 534 1.123


Sumber Data: Data Penduduk Desa Lelekaa Tahun 2015

25
Dari data dan penjelasan diatas menunjukan bahwa jumlah penduduk yang

masuk dalam usia pernikahan yakni 16-25 tahun sebanyak 222 jiwa terdiri dari

125 orang laki-laki dan 97 orang perempuan seperti yang tercantum dalam

undang-undang perkawinan pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 mengatur

mengenai batas usia calon mempelai yakni calon suami sekurang-kurangnya

berumur 19 tahun dan calon istrinya sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

4.2.2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Kepala Keluarga

Keadaan penduduk Desa Lelekaa berdasarkan kepala keluarga dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 2.Jumlah Penduduk Desa Lelekaa Berdasarkan Kepala Keluarga

No Uraian Jumlah Prosentase

1 Kepala Keluarga Duda/Janda : 32 11,31


1. Duda 7 2,47
2. Janda 25 8,84
2. Kepala Keluarga Aktif 251 88,69

Total KK 283 100,00


Sumber Data:Data Penduduk Desa Lelekaa Tahun 2015

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa, dari 283 jumlah Kepala Keluarga (KK)

terdapat 7 KK (2,47 %) KK duda dan 25 KK (8,84 %) adalah KK janda,

sementara 251 KK (88,69 %) adalah kepala keluarga aktif. Dari jumlah 283

kepala keluarga yang ada, diantaranya dalam proses perkawinan yang mereka

jalani adalah dengan melakukan perkawinan mombolasuako.

26
4.2.3. Keadaan Penduduk Desa Lelekaa Berdasarkan Mata Pencaharian

Keadaan penduduk Desa Lelekaa berdasarkan mata pencaharian dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.Keadaan Penduduk Desa Lelekaa Berdasarkan Mata Pencaharian


Jumlah Prosentase
No Jenis Pekerjaan
(Orang) (%)
1 Buruh Tani 268 48,29 %

2 Petani 71 12,79 %

3 Karyawan Swasta 55 09,91 %

4 Buruh Swasta 53 09,55 %

5 Pedagang 35 06,31 %

6 Wirausaha (Usaha Mikro) 32 05,77 %

7 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 15 02,70 %

8 Pertukangan Kayu/Batu 12 02,16 %

9 Honorer 9 01,62 %

10 Pensiunan 4 00,72 %

11 TNI/POLRI 1 00,18 %

Jumlah 555 100 %

Sumber Data : Data Penduduk Desa Lelekaa Tahun 2015

Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dijelaskan bahwa, pekerjaan masyarakat di

Desa Lelekaa sangat berfariasi.Masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani

sebanyak 268 orang, kemudian masyarakat yang bermata pencaharian sebagai

petani sebanyak 71 orang, Karyawan Swasta 55 orang, Buruh Swasta 53 orang,

27
Pedagang 35 orang, Wirausaha (Usaha Mikro) 32 orang, Pegawai Negeri Sipil

(PNS) 15 orang, Pertukangan Kayu/Batu 12 orang, Honorer 9 orang, Pensiunan4

orang, TNI/POLRI 1 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

masyarakat Desa Lelekaa lebih banyak bermata pencaharian sebagai petani dan

buruh tani.

4.2.4. Keadaan Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jumlah penduduk Desa Lelekaa dilihat dari tingkat pendidikan dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 4.Jumlah Penduduk Desa Lelekaa Menurut Tingkat Pendidikan.


Jumlah Prosentase
No Tingkat Pendidikan
(Orang) (%)
1. Belum Sekolah (usia 0-5 thn) 158 14,07
2. Sedang sekolah TK 14 1,25
3. Sedang Sekolah SD 184 16,38
4. Tidak Pernah Sekolah 71 6,32
5. Pernah sekolah tapi tidak tamat 77 6,86
6. SD 304 27,07
7. Tamat SD 171 15,23
8. Tamat SMP 123 10,95
9. Tamat SMA 7 0,62
10. Tamat Diploma & Tamat S1 14 1,25
Jumlah 1.123 100,00
Sumber Data : Data Penduduk Desa Lelekaa Tahun 2015

Dari uraian tabel 4 di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Lelekaa

memliki angka partisipasi terhadap pendidikan masih sangat rendah.Rendahnya

28
tingkat pendidikan masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya tingkat kesadaran masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai

pada tingkat SLTA dan S1, dapat pula dipengaruhi oleh faktor ekonomi, juga bisa

dipengaruhi tidak adanya dukungan dari orang tua selaku penanggungjawab dan

terakhir adalah peran pemerintah selaku penyedia sarana prasarana pendidikan.

Terkait dengan hal tersebut berikut in akan diuraikan jumlah sarana prasaran

pendidikan yang ada di Desa Lelekaa sebagai berikut :

Tabel 5.Sarana Prasarana Pendidikan di Desa Lelekaa


No Gedung Sekolah Jumlah

1 TK/PAUD 2
2 SD 2
3 SMP 1

Sumber Data : Profl Desa Lelekaa Tahun 2014

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa

Lelekaa yaitu gedung TK/PAUD 2 buah, 1 buah milik pemerintah desa dan yang

satunya adalah milik yayasan. Sedangkan gedung SD 2 buah dan gedung SMP 1

buah. Artinya bahwa masyarakat usia sekolah yang ada di Desa Lelekaa tidak

memiliki alasan untuk tidak menamatkan pendidikannya sampai pada jenjang

SMP atau sederajat karena sarana prasarana pendidikan pada tingkat tersebut telah

tersedia.

29
4.2.5.Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut

Penduduk Desa Lelekaa jika dilihat dari Agama yang dianut terdapat 3

agama yaitu Agama Islam, Agama Kristen Protestan dan Agama Kristen Khatolik.

Adapun rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 6.Jumlah Penduduk Desa Lelekaa Berdasarkan Agama

Jumlah Jumlah Persentase


No Nama Agama
KK (Jiwa) (%)

1. Islam 219 843 75,07

2. Kristen Protestan 63 277 24,67

3. Kristen Khatolik 1 3 0,26

Jumlah 283 1.123 100,00

Sumber Data:Data Penduduk Desa Lelekaa Tahun 2015

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah pemeluk agama Islam lebih

dominan yaitu 843 orang (75,07 %) dibandingkan dengan agama Kristen

Protestan hanya berjumlah 277 orang (24,67 %) dan Agama Kristen Khatolik

hanya berjumlah 3 orang atau hanya 1 kepala keluarga (0,26 %). Dari data

tersebut maka pemeluk agama akan tampak jika dilengkapi dengan sarana

peribadatan tempat pemeluk agama masing-masing melakukan peribadatan

sebagaimana berikut ini :

30
Tabel 7.Jumlah Sarana Ibadah Pemeintah Desa Lelekaa
No Sarana Ibadah Jumlah
1 Masjid 2
2 Gereja Protestan + GPI 2
Jumlah 4
Sumber Data : Profil Desa Lelekaa Tahun 2014

Dari tabel 7 dapat dijelaskan bahwa kebutuhan sarana ibadah untuk masing-

masing pemeluk agama sudah terpenuhi, tetapi khusus jumlah sarana ibadah umat

kristiani sebagaimana tecantum pada tabel terdapat 2 buah gereja ini tidak

dimaksudkan pembagian tempat peribadatan Kristen Protestan dan umat Kristen

Khatolik tetapi 1 buah gereja dimaksud adalah Gereja Penyebar Injil (GPI) sebuah

aliran agama Kristen Protestan yang pengikutnya sebanyak 15 KK atau 65 jiwa.

4.2.6.Keadaan Penduduk Berdasarkan Etnik/Suku

Dilihat dari jumlah penduduk Desa Lelekaa berdasarkan suku, dapat

dikatakan sangat plural karena terdiri dari beberapa suku, sekalipun suku asli

Tolaki cukup dominan sementara suku-suku lainnya adalah mereka yang menetap

setelah menikah dengan penduduk asli di Desa Lelekaa dan ada juga yang

memang pidah tempat karena membeli lahan dan menetap di Desa Lelekaa. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

31
Tabel 8.Keadaan Penduduk Berdasarkan Suku
No Suku Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tolaki 1.047 93,23


2 Bugis 16 1,42
3 Luwuk 15 1,34
4 Muna 13 1,16
5 Jawa 12 1,07
6 Palopo 10 0,89
7 Tator 5 0,45
8 Buton 2 0,18
9 Flores 1 0,09
10 Bali 1 0,09
11 Wawoni 1 0,09

Jumlah 1.123 100

Sumber Data : Data Penduduk Desa Lelekaa Tahun 2015

Dari tabel di atas sangat jelas bahwa dilihat dari jumlah penduduk

berdasarkan suku/etnik, maka tampak terlihat bahwa suku Tolaki sangat

mendominasi yaitu 1.047 orang (93,23 %) disusul oleh suku-suku lainnya

sebagaimana yang tercantum pada tabel di atas sehingga dengan kondisi seperti

ini maka kekerabatan, kekelurgaan secara umum dapat dipelihara dan merupakan

sebuah kekuatan yang dimiliki oleh Desa Lelekaa karena dari sisi budaya Kalo

Sara masih menjadi sarana penyelesaian segala persoalan yang terjadi di Desa.

32
BAB V

PENYELESAIAN ADAT PERKAWINAN MOMBOLASUAKO PADA SUKU

TOLAKI DI DESA LELEKAA

Salah satu cara masyarakat Tolaki dalam melakukan penjajakan perkawinan

adalah dengan cara perkawinan lari atau lebih dikenal dengan istilah

mombolasuako. Mombolasuako berarti melarikan anak gadis seseorang dengan

maksud untuk melakukan perkawinan.Pada dasarnya jenis perkawinan ini dalam

ketentuan hukum adat perkawinan Tolaki merupakan sebuah bentuk pelanggaran

adat. Hal tersebut dikarenakan terkait dengan proses yang dilakukan seorang laki-

laki dalam memperoleh atau mengambil anak gadis seseorang tersebut dianggap

tidak sopan kerena tidak dengan adanya persetujuan atau pembicaraan secara

langsung kepada pihak keluarga perempuan.

Perkawinan mombolasuako ini tidak luput dari pro dan kontra dimasyarakat,

disatu sisi hukum adat menyatakan bahwa jenis perkawinan ini melanggar adat

namun kenyataan di masyarakat Tolaki Desa Lelekaa justru banyak dilakukan.

Melakukan perkawinan merupakan sebuah keputusan yang tidak luput dari

berbagai pertimbangan matang sebelumnya, begitupun juga dengan cara atau awal

proses perkawinan yang akan ditempuh oleh kedua pasangan.

Melakukan suatu hal yang tidak dibenarkan oleh aturan hukum yang ada

baik itu hukum negara, agama maupun adat istiadat namun tetap dilakukan jelas

memiliki alasan tersendiri oleh orang yang melakukanya. Begitupun juga dengan

perkawinan mombolasuako ini yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor

maupun alasan pelakunya.

33
5.1 Alasan Masyarakat Desa Lelekaa Melakukan Perkawinan

Mombolasuako

Fenomena kawin lari (mombolasuako) yang terjadi pada masyarakat di

kalangan remaja Desa Lelekaa dilakukan karena beberapa alasan, diantaranya

tidak mendapat restu dari orang tua, menghemat waktu dan biaya, tidak setuju

dengan pilihan orang tua dan perkawinan mombolasuakotelah dianggap biasa.

5.1.1 Tidak Mendapat Restu Dari Orang Tua

Pilihan untuk mombolasuako atau melarikan anak gadis orang adalah salah

satu cara yang dianggap paling berhasil supaya pernikahan tersebut mendapatkan

restu. Perkawinan mombolasuako pada dasarnya orang tua baik itu orang tua laki-

laki maupun perempuan tidak menginginkan anak mereka melakukan hal

tersebut.Terdapat beberapa alasanmengapa orang tua pria maupun wanita tidak

menginginkan hal tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu orang

tua pria yang melakukan perkawinan mombolasuako, YP (62 tahun) sebagai

berikut:

“Ambuoki laa lumaraero anadalo nggo merapu, mano keno tembonoto maa
nggo ohawopo hae.Mano teembe pera ano pokokoni keito ona leu mowawo
otina ilaika ambuoki nio nio. Adenoto ona lalaa mesuko leesu, teembe
ponaa mami kano laa otina ineheno. Ano tambuoki ona indiono nggo
hawoto ona pombakano anano toono, simbolalo ikaa I olo nggambo
niowaino”
Artinya :
“Tidak ada yang melarang anak-anak kalau sudah ingin menikah.Kalau
sudah waktunya, mau bagaimana lagi.Tapi bagaimana, kami dikagetkan
oleh anak tersebut membawa gadis kerumah sedangkan kondisi kami sedang
tidak mendukung untuk urusan tersebut. Seharusnya ia mengkomunikasikan
lebih dulu kepada kami kalau ada gadis yang ia sukai. Terus ia belum ada

34
pekerjaan, apa nanti yang akan dia berikan makan anak orang. Kegiatanya
hanya sibuk lalu-lalang keliling kampung” (Wawancara 17Januari 2016).

Selanjutnya pemaparan diungkapkan oleh informan bapak AN (47 tahun),

salah satu orang tua keluarga pihak perempuan yang melakukan perkawinan

mombolasuako mengatakan bahwa.

“Nggiroo anadalo no laikaa mesikola maa no urusioto ona leesu


sikolano.Ano aripo ona, lulusi ito nggo merapu, nggo kulia humbe-
humbenoto.Laa ninia-nianggu nggiroo saa tamano nggo mboko bmekuliae
keno laa pondule. Keno eheeikaa bara ano meambo torono keno meita
sikolano. Nggiroo oleo sebenarno akuika hae lako umale menduae
ananggu, mano rombendeeni hae tono motuo hako banggona hako iamoto
lako mowai pasipole wuohu”.

Artinya :
“Anak itu statusnya masih sekolah, seharusnya ia mengurus dulu
sekolahnya. Setelah selesai, sudah lulus sekolah, mau menikah atau lanjut
kuliah terserah dia. Rencana saya jika ia sudah tamat, akan saya kuliahkan
jika ada kemampuan. Mungkin kalau sekolahnya tinggi hidupnya bisa lebih
baik.Sebenarnya waktu itu saya ingin pergi mengambil kembali anak saya,
tapi orang tua maupun teman-teman lainya mengatakan hal tersebut dapat
menimbulkan masalah baru”.(Wawancara 14Januari 2016).

Dari hasil kedua wawancara di atas dapat diketahui bahwa, orang tua laki-

laki maupun perempuan menginginkan anak mereka untuk melakukan perkawinan

harusnya ada komunikasi mendalam di antara mereka. Bukan hanya itu,

pertimbangan akan kokohnya pondasi kesiapan anak untuk membentuk keluarga

baru turut menjadi pertimbangan mereka, baik itu kesiapan mental, ekonomi dan

pendidikan yang layak. Selain itu juga beberapa orang tua beralasan tidak

menyetujui hubungan yang dijalani oleh anaknya, apalagi hubungan yang

mengarah ke urusan yang berkaitan dengan perkawinan, pertimbangan mengenai

35
latar belakang keluarga tidak luput dari salah satu alasan tentang setuju tidaknya

mereka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan ibu MRK (52 tahun).

“Ku teninggee’iki hae nggiro’o otembo, iamoto no lako mesadalo ako


ronga nggiro’o otina.Okino o’hawo deela.Keno nggiro’o otina okino laa
pinikiri, mano te’embe paekombo hakono.Peowairo te’embe.Lakokaa
mbo’inu, meboto.Iamokaa saru aro lako mbetanggi, etai ito itoono
mowaihako”.
Artinya:

“Waktu itu sudah saya (ibu orang tua laki-laki) beritahu, jangan menjalin
hubungan dengan anak perempun itu.Bukanya apa, kalau anak
perempuannya tidak jadi masalah, tapi bagaimana dengan keluarganya,
kelakuannya mereka hanya minum-minuman keras, main judi. Jangan
sampai mereka berteman, terus (anak laki-laki) ikut ikutan seperti
mereka”.(Wawancara 28Februari 2016).

Sinyal adanya penolakan orang tua pria maupun perempuan sebenarnya

sudah lama tampak didalam berbagai situasi ketika kedua pasangan tersebut

dalam posisi bersama dimanapun.Apa lagi dalam situasi bertamu di rumah orang

tua salah satu keluarga laki-laki maupun perempuanseringkali terlintas tampak

mimik wajah maupun perkataan yang secara tidak langsung mengarah pada

pengungkapan rasa tidak suka baik itu perempuanya ataupun laki-laki. Seperti

yang diungkapkan oleh salah satu informan GN (22 tahun) sebagai berikut.

“Kan itu hari ceritanya sa datang apel di rumahnya istriku skarang.Sa sudah
janjianmi, sms telfon. Kan sa Tanya, sms toh, bisaka saya jalan –jalan di
rumahmu, aa dia jawabmi bilang io bolehji datangmi, saya dirumahji ini
ndada juga kebetulan dia lagi bikin katanya. Habis itu saya mandimi,
perawatan, sisir parfum apalah.Sa datangmi, sampe di rumahnya. Pas juga
itu hari mamanya yang ada di depan rumah. Sa piker-pikir dulu, masuk atau
tidak toh. Ahh sa nekat saja, datangmi bersalam. Sa tanyami ada I (TI)
Tante. Maa gimanaka kasian itu kalau ada tamu toh, jawabka ada atau
tidak.Maa cuek beegitu. Nda lama keluarmi istriku, mamanya tiba-tiba dia
bilang sama istriku “ hee (TI) ko pergimi dulu itu cuci piring, dari tadimi dia

36
disuruh katanya”, sa merasami juga, sa pulang. Sa sms,mi istriku ”
mama,mu gimanaka dia, sebenarnya dia nda suka saya toh ”. aa kita lagi
cerita-cerita sama dorang bapanya I…. dorang bilangmi sa bawa larimi
saja, dari pada di ambil orang”. (Wawancara 27Februari 2016)

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa orang tua

perempuan maupun laki-laki sebenarnya sudah melakukan penolakan dan

peringatanbaik itu secara langsung maupun tidak langsung seperti dalam bentuk

sikap maupun respon komunikasi kepada salah satu pihak baik itu laki-laki

maupun perempuan yang menjadi pasangan anaknya.Namun hal tersebut bukanya

menjadi sesuatu yang mesti dituruti oleh seorang anak namun justru hal tersebut

membuat mereka mengambil jalan sendiri untuk mengukuhkan hubungan mereka

dengan melakukan perkawinan mombolasuako.

5.1.2 Menghemat Waktu dan Biaya

Hukum adat perkawinan suku Tolaki membagi atas dua macam perkawinan,

yaitu perkawinan ideal dan tidak ideal.Perkawinan ideal adalah perkawinan yang

mengikuti tata urutan dan kaidah perkawinan yang sesuai dengan jalur adat yang

telah di tentukan. Sedangkan perkawinan tidak ideal merupakan perkawinan yang

tidak mengikuti urutan proses adat perkawinan suku Tolaki. Masyarakat Tolaki di

Desa Lelekaa khusunya remaja yang akan melangsungkan hidupnya ke jenjang

pernikahan cenderung memilih untuk mombolasuako. Intinya pertimbangan akan

waktu dan biaya dibandingkan dengan perkawinan ideal dan perkawinan tidak

ideal menjadi alasan untuk menentukan sikap. Seperti yang diungkapkan oleh

37
beberapa informan yang melakukan perkawinan mombolasuako, ANG (23 tahun)

bahwa:

“Kalau mombolasuako lebih murah biayanya, baru tidak repot.


Kobandingkanpi kalau kita pergi melamar, banyak biayanya mana lagi
lama. Kalau mombolasuako kan dia cepat. Kalau melamar ko Tanya i… kan
dia melamar. Sebenarnya itu hari juga belumpi ada niatku, tapi itu hari tiba-
tiba dia panggil saya omnya, dia Tanya, sa liat korang itu lamami korang
sama-sama, sebenarnya bagaimana kau itu ANG ko seriuska sama ini I
undo, sa jawabmi sa serius, saya ingin melangkah ke jenjang berikutnya, aa
dia kasimi saya pilihan ko mau yang cepat atau lama, maksudnya mau
melamar atau mau mombolasuako. Sabilangmi juga cara cepat saja, kan
saya akrap sama ananyaitu omnya. Satidak bilang berpikir panjang, itu
waktu juga, sorenya jam 5, orangkan bawa lari bilang mungkin sa tunggu
sebentar malamtidurpi orang tuamu atau apa, saya tidak, sorenya saya
langsung bawa pulang di rumah. Ada juga istilahnya orang mombolasuako
bilang jalan-jalan, bilang sama orang tuanya, “tante sa bawa dulu ini sa mau
jalan-jalan di sana”, kana ada niatnya mau bawa lari, kalau saya tidak,
sabilang ko simpan ini uang, ini bajuku satu di lemarimu, kalau orang tua
bilang yang suda tua makan garam pasti mereka paham, apa artinya itu uang
dengan baju. Sa bilangmi kita pergi di rumah jalan-jalan sa ajak istriku too,
saya tidak kasi pilihan waktu itu, kita pergi di rumahku jalan-jalan, saya
sudah akrap dengan keluargamu sekarang giliran kamu mau akrap dengan
keluargaku, sa kenalkan dengan keluargaku, sampe disana, sa kastaumi maa
ini bukan hanya kasi kenal dengan keluargaku tapi sebenarnya sa bawa lari
kau” (Wawancara 5Maret 2016).
Selanjutnya LP (26 Tahun) mengatakan bahwa:

“Begini, 1. Factor keuangan toh, karna sapikir kalau melamarkan yaa banya
duitnya baru repot. Pertama to melamar, kita pergi dulu sama orang tuanya.
Kasitau bilang bahwa anaknya saya mau lamar. Habis itu bikin kue.Habis
itu pulangmi beli emas.Habis itu kodatang melamar dirumahnya. Habis ko
lamar. Kopulang lagi habis itu ko datang lagi tanyakan berapa, mau
berapami bilang ini toh, tanyakan oh ini sekian oke. Kopulang lagi mencari
cari.Datang lagi tanyakan berapami semua.Habis itu bikinmi lagi janji.Aa
kalau mombolasuako pertama bawa lari ananya orang. Kan bawa lari sama
pa imam toh lebih gampang. Pikir juga orang tua ekonomi toh jadi bawa
larimi saja”.(Wawancara 10Februari 2016).
Berdasarkan data di atas, tampak diketahui ada beberapa alasan mengapa

mereka memilih perkawinan mombolasuako, diantaranya pertimbangan kondisi

38
ekonomi orang tua dan waktu yang menurut mereka menjadi faktor mengapa

mereka lebih memilih perkawinan mombolasuako.Dan dari hasil wawancara di

atas oleh salah satu informan diketahui bahwa terkadang perempuan yang dibawa

lari sebenarnya tidak begitu mengerti bahwa situasinya sedang dibawa lari

(pinolasuako).Seperti yang dikatakan dalam Erens E. Koodoh, Abdul Alim,

Bachruddin, (2011:18-19) mengatakan bahwa perkawinan mombolasuako dapat

terjadi karena tiga hal yakni Molasu, pinolasuako, dan Mopolasuako.

5.1.3 Tidak Setuju Dengan Pilihan Orang Tua

Suku Tolaki adalah salah satu dari suku bangsa yang ada di Indonesia pada

umumnya dan di Sulawesi pada khususnya, dan di Sulawesi Tenggara lebih

tepatnya. Bahwa tradisi di Sulawesi mayoritas menganut system perjodohan, salah

satu unsur penyebabnya adalah untuk memelihara kemurnian keturunan, menjaga

solidaritas kekeluargaan, bahkan untuk menjaga keutuhan harta warisan agar tidak

jatuh ke tangan pihak lain melalui fungsi perkawinan, karena dapat dipastikan

bahwa perkawinan melalui perjodohan keluarga akan lebih mengakrabkan antara

sepasang suami istri bila dibandingkan dengan perkawinan campuran.

Prinsip tersebut di atas tentu saja tidak dapat diterima sepenuhnya oleh

kaum muda Suku Tolaki. Sebagaimana dengan suku-suku yang lain, hal tersebut

tentu saja tidak sesuai dengan nurani para remaja, karena perkawinan perjodohan

mengedepankan asas kekeluargaan, sedangkan para remaja mengedepankan asas

perasaan. Perjodohan keluarga dominan tanpa adanya waktu untuk saling

mengenal lebih jauh dengan pasangan.Sedangkan kaum pemuda lebih nyaman

jika mengenal pasangannya sebelum melangsungkan pernikahan, kaum pemuda

39
ingin mengetahui calon pasangannya yang dikenal dengan istilah pacaran.

Sedangkan keluarga berprinsip bahwa perasaan akan tumbuh dengan sendirinya

melalui kebersamaan setelah pernikahan.

Mayoritas kaum muda khususnya Suku Tolaki menganggap perkawinan

perjodohan adalah satu sistem, sistem perkawinan yang mengarah pada

kediktatoran, karena seseorang dipaksa untuk menikah dan hidup bersama dengan

orang yang sama sekali tidak sesuai dengan nuraninya. Dan, melalui pemikiran ini

kadang kala timbullah ide untuk kawin lari, dengan pemikiran kawin lari dengan

orang yang disukainya akan jauh lebih baik daripada mengikuti sistem

perjodohan, sementara orang yang akan dijodohkan dengannya dapat dipastikan

bahwa juga memiliki pilihan hati yang lain, sehingga kehadiran pilihan orangtua

menjadi beban dalam batin pasangannya, bahkan terjadinya penyelewengan

perkawinan, karena masing-masing di antara mereka pada hakekatnya telah

memiliki pilihannya sendiri.

Suku bangsa Tolaki pada umumnya menginginkan sebuah penikahan terjadi

diantara keluarga dekat saja, maka tidak jarang terdapat perkawinan yang berawal

dari sebuah perjodohan.Perkawinan yang diawali dengan perjodohan adalah

keputusan yang diambil oleh orang tua salah satu pihak keluarga laki-laki maupun

perempuan yang telah dikomunikasikan sebelumnya dan telah mencapai kata

sepakat untuk menjodohkan anak mereka kepada salah satu keluarga pria maupun

wanita. Namun, apa yang telah menjadi keputusan orang tua untuk menjodohkan

mereka terkadang mendapat penolakan dan anak yang dijodohkan tersebut lebih

40
memilih pasangan yang ia sukai.Seperti yang diungkapkan oleh salah

satuinforman SF (23 tahun).

“Sebelum saya menikah dengan bapanya, sebenarnya adami pernah


mamaku bilang sama saya, kalau ada laki-laki, kelurga dekaji katanya dia
bilang, kalau dorang jodohkanmi saya dengan itu. Tapi sa kembali lagi
piker, kalau saya dengan suamiku kan lamami juga kita pacaran, trus itu hari
juga pernahmi dia kasitau saya suamiku kalau dia seriusji juga sama saya.
Masa tidak maumi juga tanya gimana menurutnya kita, kalau saya mau
dijodohkan sama itu laki-laki.Pernahji juga saya kasi tau mamaku, kalau
adami pacarku, tapi kotauji orang tua, maunyaji trus di ikuti.Sa kasi taumi
bapanya, bawami saja saya. Kalau saya bertahan di rumah pasti ndaakan
juga bagus kalau sa bertengkar trus sama mamaku, lamami juga kita pacaran
itu hari dengan suamiku, sa percaya skalimi suamiku” (Wawancara 1 Maret
2016).
Berdasakan hasil wawancara di atas dapat diperoleh informasi bahwaapa

yang telah diputuskan oleh orang tua untuk anaknya dalam urusan perkawinan,

tidak sertamerta seorang anak akan mengikutinya dengan begitu saja.

Pertimbangan mengenai hubungan dengan pasangan mereka dalam ikatan

berpacaran yang telah mereka lalui dalam kurun waktu relatif lama, cenderung

lebih mempengaruhi keputusan mereka nantinya akanmemilih menikah dengan

siapa.

5.1.4 PerkawinanMombolasuako Telah Dianggap Biasa

Masyarakat di Desa Lelekaa menganggap fenomena perkawinan

mombolasuako adalah hal yang biasa. Masyarakat sudah menganggap bahwa jika

seseorang melakukan perkawinan mombolasuako adalah sesuatu hal yang normal

dilakukan oleh seseorang bila akan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

mombolasuako bukanlah hal baru pada masyarakat Tolaki, tetapi jenis perkawinan

ini telah lama berlangsung dalam masyarakat Desa Lelekaa.Kondisi dilapangan

41
menunjukkan bahwa hampir rata-rata sebagian besar masyarakat Desa lelekaa

perkawinanya dilakukan melalui perkawinan mombolasuko.Perkawinan

mombolasuako telah terjadi sejak dari generasi-generasi sebelumnya yang hingga

kinipun jenis perkawinan ini terus berlangsung.Hal tersebut seperti yang

diungkapkan oleh salah satu informan, bapak Saleh (45 tahun) selaku kepala Desa

Lelekaa, mengatakan bahwa.

“Keno ikeni toono mombolasuako mengau’ito laa.Ta’u halumbulo nggiro’o


laeto mepae-pae masahoro toono mombolasuako.Mano okino hende ingoni
oleo.Ilawu luwuako anadalo nggo kawi, mombolasuako luwuako”.
Artinya :
“Perkawinan mombolasuako disini sudah lama ada. Sekitar Tahun 80-
ansudah mulai banyak orang yang melakukan perkawinan mombolasuako.
Tapi bukan seperti sekarangini , rata-rata anak-anak yang akan menikah,
semuadengan cara mombolasuako”. (Wawancara 21Februari 2016).

Karena biasa terjadi dan telah berlangsung lama, paradigma masyarakat

tentang perkawinan mombolasuako ini sedikit demi sedikit menjadi pudar.Stigma

miring yang melekat di jenis perkawinan ini telah pudar seiring berjalanya waktu,

bahkan anak muda Desa Lelekaa tak lagi mengetahui bahwa sesungghnya

perkawinan mombolasuako melanggar adat perkawinan.Seperti yang di unkapkan

salah satu informan yang melakukan perkawinan mombolasuako LP (25 Tahun),

mengatakan sebagai berikut.

“Kalau bagi saya mombolasuako tidak melanggar adat,kalau bagi saya,


orang-orang dulu saja yang sebelum kita, orang-orang tua kita dulu to
bahkan pendahu-pendahulunya kita lakukan itu. ndada itu di kaidah surat
mana itu kalau mombolasuako itu melanggar, tidak. Baru sanda pernah
dengar itu kalau mombolasuako itu melanggar adat”.(Wawancara 10
Februari 2016).

42
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan

mombolasuako telah menjadi tradisi turun temurun dari generasi kegenerasi

masyarakat Tolaki di Desa Lelekaa. Mereka yang melakukan perkawinan

mombolasuako tidak akan melakukan tindakan melarikan anak gadis seseorang

untuk dinikahinya jika didalam masyarakat tidak pernah terjadi sebelumnya, dan

mereka hanya memahami bahwa perkawinan mombolasuako adalah salah satu

tradisi perkawinan yang sah-sah saja dilakukan oleh seseorang jika ingin

melangsungkan sebuah perkawinan. Padahal hukum adat perkawinan suku Tolaki

melihat perkawinan mombolasuako itu adalah hal yang melanggar adat.

5.2 Tahapan Penyelesaian Adat Perkawinan Mombolasuako

Suku bangsa Tolaki adalah salah satu suku bangsa yang memiliki jumlah

penduduk cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah Sulawesi Tenggara. Pada

dasarnya masyarakat suku Tolaki semua sama, baik itu dari segi bahasa dan juga

adat istiadat. Kalo Sara adalah fokus kebudayaan masyarakat Tolaki, dan semua

hal yang bersangkutan dengan urusan perkawinan harus dihadirkan benda yang

berbentuk lingkaran yang berbahan dasar rotan ini.Seperti gambar di bawah ini.

Gambar 5.1. Kalo Sara


Sumber : Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

43
Hukum perkawinan dalam suku bangsa tolaki menetapkan untuk jenis

perkawinan mombolasuako adalah sebuah pelanggaran, namun hal tersebut bukan

berarti perkawinan mombolasuako ini tidak bisa dilakukan. Perkawinan

mombolasuako dikatakan melanggar adat karena, dilihat dari prosesnya dimana

seorang laki-laki membawa seorang anak perempuan dari suatu keluarga tanpa

sepengetahuan orang tuanya untuk dijadikan calon istri. Hal ini jelas sangat

bertentangan dengan konsep tatanan hukum adat perkawinan suku Tolaki yang

ada. Disebutkan dalam hukum adat perkawinan suku Tolaki, dalam hal urusan

perkawinan baiknya jika seorang laki-laki ingin melangsungkan sebuah

perkawinan baiknya sesuai dengan tata cara yang telah adat tentukan.

Adapun ketentuan, tata cara dan syarat dalam penyelesaian adat perkawinan

mombolasuako pada suku Tolaki di Desa lelekaa terdiri dari beberapa tahap, yaitu

sebagai berikut :

5.2.1 Mowoka Obiri atauMolomba Obiri(Memberi Kabar)

Mowoka Obiri atau Molamba Obiri adalah istilah adat dalam suku bangsa

Tolaki, dimana hal tersebut adalah tindakan awal yang harus dilakukan oleh

keluarga laki-laki yang bertujuan untuk memberi kabar kepada pihak keluarga

perempuan agar tidak timbul kehawatiran mengenai keberadaan dan kondisi anak

perempuan mereka.

Dalam proses melakukan pelarian, biasanya pihak laki-laki meninggalkan

sesuatu, baik itu berupa uang maupun barang yang dijadikan sebagai tanda kepada

orang tua perempuan bahwa kepergian anak gadisnya tanpa izin itu karena telah

44
dibawah pergi oleh seorang laki-laki yang ingin menikahinya. Namun hal tersebut

belumlah dapat dikategorikan sebagai tindakan resmi yang menyatakan bahwa

dalam peristiwa tersebut sepenuhnya telah ditangani adat.Untuk itu mowoka obiri

atau molomba obiri diharuskan untuk dilakukan.Selain untuk memberi kabar

tentang keberadaan dan kondisi anak perempuan yang dibawa oleh seorang laki-

laki, proses ini juga menjadi tanda bagi orang tua perempuan jika kejadian

tersebut sepenuhnya telah ditangani oleh adat.Hal tersebut seperti yang

diungkapkan olehsalah satu informan bapak Ade (63 tahun), menyatakan bahwa:

“Ngiiro’o anadalo hako kero mombolasuako nibiasahakoro kan ro ponaa


leesu hao-hapo atau odoi ine laikano otina keno nggo molasukee. Mano
nggiro’o oponoohori ni doa. Arimbo ona lako molomba o’biri nggirokaeto
ona lalaa nidoa no perukuto osara.Pepokolakono, mowawokoto ona o’aso
kalo sara, keno toono biasa patombulo limo senti, keno osama iepo iwawo-
wawono kalo limambulo senti, iepo ona o’aso o’sawu. Ikiroto ona
nibitaraako nehawo lahaano analualeno, iamoto rolaa mepolaha, iepo ona
nibitara’ako nggoso pesokei’a”.
Artinya:

“Kebiasaan yang dilakukan oleh anak muda jika melarikan seorang anak
gadis biasanya mereka menyimpan sebuah tanda, baik itu berupa barang
atau uang dirumah perempuan jika akan melarikan seorang anak gadis,
namun hal tersebut belumlah masuk dalam hitungan sebagai tindakan adat
resmi.Nanti setelah melaksanakan adat molomba o’biri, hal itulah yang
masuk dalam hitungan jika adat resmi telah berjalan.Dalam pelaksanaanya,
dibawalah satu buah kalo sara, untuk orang biasa 45 Cm dan untuk
tingkatan camat ke atas 50 Cm dan juga satu lembar sarung. Didalam
momen itulah bibahas mengenai keberadaan anak gadisnya, tidak usah
mereka mencarinya dan juga turut dibahas biaya peletakan adat mesokei
nantinya”(Wawancara 22Februari 2016).
Lebih lanjut diterangkan oleh bapak Arif Mido (67 tahun) sebagai

Tonomotu’ono o’kambo di Desa Lelekaa mengenai ketentuan batas waktu

pelaksanaan adat molomba o’biri, menyatakan bahwa.

45
“Saa powawono langgai o’tina rekeano molasukee.Nolakoto ona ine
pamarenda atau ine pua ima wawe’i nggiro’o otina.ano lako ine sara,
sumua’iro tolea nggo lako molomba o’biri. Atorano keno molomba o’biri,
pali menggau ito nggiro’o o’ruo oleo. Jadi sa pombolasuakomu au oruki
lako molomba o’biri, iamokaa saru anamotu’ono otina marepo lumolahae
anaro”.
Artinya:
“Jika seorang laki-laki membawa seorang perempuan dalam hal ini
melakukan pelarian. Maka ia harus membawa anak gadis tersebut ke pihak
pemerintah atau imam kampung. Setelah itu ia pergi ke pihak adat,
mengajak Tolea untuk pergi melaksanakan adat molomba obiri ( adat
memberi kabar kepada orang tua perempuan mengenai keberadaan anak
gadisnya). Aturan dalam adat molomba obiri, paling lama dilaksanakan
dalam waktu dua hari.Jadi, jika engkau melarikan seorang perempuan, harap
segera lakukan tindakan adat molomba obiri.Jangan sampai timbul
kehawatiran orang tua perempuan mengenai keberadaan
anaknya”.(Wawancara 4Februari 2016).

Dari hasil wawancara kedua informan di atas dapat diketahui bahwa

tindakan melarikan anak gadis seseorang adalah suatu perbuatan yang mesti

ditangani secepat mungkin oleh adat.Agar tidak timbul kehawatiran orang tua

perempuan mengenai keberadaan anak gadisnya maka pelaksanaan adat mowoka

obiri atau molomba obiriharus segera dilakukan, paling lambat setelah dua hari

pasca dilakukanya pelarian.

5.2.2 Mesokei (Membentengi)

Mesokei adalah tahap ke dua dari proses adat penyelesaian perkawinan

mombolasuako. Mesokei berarti membentengi, sebuah langkah adat yang

dilakukan untuk menjaga laki-laki yang melarikan anak gadis seseorangdari hal-

hal yang tidak diinginkan. Bapak Arif Mido (67 Tahun) sebagai tonomotuono

okambo dan juga puutobu mengatakan bahwa:

46
“mesokei batuano u’lako porei’i salano anamotu’ono otina iamo nolako
wowai sa’ae nggiro’o langgai, hawoekaa ano lako polasukee’ ana
lualeno.Dadi keno leuto toono mesokei anomba tonomotu’ono otina
umindipi kasarae nggiro’o langai maa keto liasara ona”.
Artinya:
“Peletakan adat mesokei artinya sebagai langkah untuk menutup jalan orang
tua perempuan agar tidak melakukan tindakan kasar kepada pihak laki-laki,
karena telah melarikan anak gadisnya.Jadi, bila seseorang datang melakukan
adat mesokei, dan orang tua perempuan melakukan tindakan kasar terhadap
laki-laki yang melarikan anaknya maka ia akan dianggap tidak menghargai
adat”.(Wawancara 4 Februari 2016)

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian

masalah dalam kehidupan masyarakat Tolaki yang telah masuk dalam ranah adat,

apapun situasi dan kondisi emosi dari pihak yang dirugikan sebaiknya tidak

melakukan sebuah tindakan diluar batas kewajaran seperti kontak fisik yang

berupa pemukulan terhadap salah satu pihak, karena hal tersebut dianggap sudah

mencederai adat. Seperti yang tergambar dalam palsafah orang Tolaki yaitu, “inae

kona sara iye pinesara, inae lia sara iye pinekasara” yang berarti “siapa yang

menghargai adat dia akan dihormati dan siapa yang tidak menghargai adat dia

tidak akan dihormati”.

Gambar 5.2. Suasana Berlangsungnya Acara Adat Mesokei.


Sumber : Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

47
Dalam pelaksanaan peletakan adat mesokei, terdapat beberapa tahap yang

mesti dilakukan oleh seorang tolea sebelum adat mesokei ini resmi dijalankan,

seperti yang di unkapkan oleh salah satu informanBapak Ade (63 tahun) yang

biasa bertindak sebagai tolea pabitara bahwa:

“Nggiro’o ine kalo sara laa otolu poweweino, pamarenda, o’sara, iepo
agama. Ndabisa jadi kalau salah satunya tidak ada. Pamarenda kan
wakeleno luwuako raea ikambo. Puutobu mandarano osara, tutumorikei
ihino okambo pesuko ando teembe nggo perukuno osara. Ronga meparamsi
ine pabitara kan no wakeleno keluargano otina. Keno ari ona ine
pamarenda, puutobu maa meparamesi to ona ine pabitara. Aringgiro’o
lakoeto ona toleano langgai mewulosokee nggirokaeroto ona pombotuha
aso mata,rembinggare oruo mata, pekopu oruo mata iepoaso ndumbu
o’kasa, ari ona nggiro,o lakonoto hae mepalisako ine urusa suere ieto
mekopu, ari nggiro’o nibitara niwindahako iepo odandi nggo teipia ro leu
mowindahako, ari ona nggiro’o mobasato ona okawi. Hendenggiro’o
tengga-tenggano pesokeia”.
Artinya :
“Kalo sara itukan terdapat tiga utas lilitan, pemerintah, adat dan agama.
Pemerintah sebagai wakil dari seluruh masyarakat di kampung.
Puutobuyang mengerti adat, yang mengetahui isi kampungtempat kita
bertanya bagaimana jalur adat. Dan meminta izin kepada pabitara harus di
adakan karena pabitara adalah wakil dari keluarga perempuan. Kalau
selesai pihak pemerintah, pemangku adat (puutobu), selanjutnya meminta
izin kepada keluarga perempuan (pabitara). Setelah itu juru bicara pihak
laki-laki (Tolea) menyodorkan syarat adat seperti pombotuha aso mata
(1lembar sarung),rembinggare oruo mata(2 lembar sarung), pekopu oruo
mata dan aso ndumbu o’kasa(1 pis kaci), setelah itu beralih lagi pada acara
adat selanjutnya yaitumeminta maaf kepada orang tua perempuan (mekopu),
setelah itumembahas tentang pokok adat (nibitara
niwindahako)terusmembahas mengenaijanji (odandi)atau waktu
pelaksanaan peletakan adat mowindahako, setelah itupelaksanaan akad
nikah. Begitulah tahap-tahap peletakan adat mesokei”.(Wawancara 22
Februari 2016).
Berdasarkan data di atas, nampak diketahui ada beberapa tahapan maupun

syarat dalam adat mesokei, diantaranya Sara Meparamesi Ine Pamarenda (Adat

Meminta izin kepada Pihak Pemerintah), Sara Meparamesi Ine Puutobu (Adat

48
Meminta izin kepada Pihak Pemangku Adat), Sara Meparamesi Ine

Pabitara(Adat Meminta izin kepada Pihak juru bicara keluarga perempuan),

Mekopu atau me’anamotu’o(adat meminta maaf kepada kedua orang tua),

Nibitara niwindahako(pembahasan pokok adat), Nibitara o’dandi(Pembahasan

janji atau waktu pelaksanaan peletakan adat mowindahako), Mobasa okawi(akad

nikah). Adapun syarat dalam pelaksanaan peletakan adat mesokei diantaranya,

pombotuha aso mata (1lembar sarung),rembinggare oruo mata(2 lembar sarung),

pekopu oruo mata dan aso ndumbu o’kasa(1 pis kaci).

5.2.2.1 Sara Meparamesi Ine Pamarenda(Adat Meminta Izin Kepada Pihak

Pemerintah)

Sara Meparamesi Ine Pamarenda berarti adat meminta izin kepada pihak

pemerintah setempat baik itu dari pihak pemerintah desa yang dilakukan oleh

kepala desa atau jajaranya maupun pemerintah kecamatan dalam hal ini yang

bertindak sebagai camat disuatu wilayah. Tujuan di adakanya prosesi ini adalah

dalam hal untuk meminta izin dari pihak pemerintah kiranya seorang tolea yang

mewakili keluarga laki-laki untuk melanjutkan tahapan adat selanjutnya.

Gambar 5. 3. Suasana dalam acara peletakan adat Sara Meparamesi Ine


Pamarenda.
Sumber : Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

49
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan

peletakan adat meminta izin kepada pihak pemerintah (Sara Meparamesi Ine

Pamarenda)maka seorang juru bicara keluarga laki-laki (tolea) harus

menyodorkan sebuah kalo sara kehadapan seorang perwakilan dari pihak

pemerintah (kepala desa). Berdasarkan data di atas, nampak diketahui bahwa

peran pemerintah dalam adat sangat penting baik itu sebagai saksi maupun salah

satu pihak yang memegang pengaruh dalam pengambilan keputusan mengenai

adat.

5.2.2.2 Sara Meparamesi Ine Puutobu (Adat Meminta izin kepada Pihak

Pemangku Adat)

Sara meparamesi ine puutobu sama saja dengan tahap sebelumnya yang

dilakukan kepada pihak pemerintah. Namun kali ini, dalam adat sara meparamesi

ine puutobu adalah adat untuk memohon ijin kepada orang yang menguasai

tentang seluk beluk isi kampung dan juga mengerti dan menguasai segala urusan

adat (pu’utobu).

Gambar 5. 4. Suasana dalam acara peletakan adatSara Meparamesi Ine


Pu’utobu
Sumber : Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

50
Berdasarkan gambar di atas tampak seorang juru bicara keluarga laki-laki

(tolea)duduk bersama seorang pemangku adat (pu’utobu) dihadapan kalo sara

sebagai langkah kedua untuk meminta izinkepada pemangku adat, orang yang

mengetahui seluk beluk isi kampung.Berdasarkan hal tersebut nampak diketahui

bahwa seorang pu’utobu memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam adat dan

keberadaanya sebagai pemangku adat, ahli adat dan orang yang mengetahui seluk

beluk isi kampung begitu penting dalam suatu prosesi adat.

5.2.2.3 Sara Meparamesi Ine Pabitara(Adat Meminta Izin Kepada Pihak

Keluarga Perempuan)

Setelah sara meparamesi ine pamarenda dan pu’utobu dilakukan maka

tahap ketiga yang dilakukan adalah sara meparamesi ine pabitara. Sara

meparamesi ine pabitara adalah peletakan adat yang dilakukan dalam hal untuk

menanyakan kepada pihak keluarga perempuan yang diwakili oleh seorang

pabitara mengenai kesiapan keluarga perempuan, apakah tolea dari pihak laki-

laki diberi izin untuk dijalankanproses adat selanjutnya. Setelah pihak keluarga

perempuan memberi izin maka langkah selanjutnya yang di lakukan oleh tolea

adalah peletakan syarat-syarat dalam adat mesokei. Adapun syarat dalam adat

mesokei di Desa Lelekaa adalah sebagai berikut :

1. Pombotuha Aso Mata (1 lembar sarung)

Pombotuha adalah salah satu adat yang bermaksud sebagai permintaan

maaf atas kelakuan anak dari keluarga laki-laki kepada orang tua

perempuan atas tindakan melarikan anak gadisnya untuk dinikahi.

2. Rembinggare Oruo Mata ( 2 lembar sarung)

51
Rembinggare adalah seserahan dari keluarga laki-laki yang bertujuan

untuk menghalangi langkah keluarga perempuan jika terdapat niat

untuk merebut kembali anak gadisnya, dan untuk hal tersebut pihak

keluarga laki-laki memberikan dua buah sarung sebagai tanda dan

simbol penghalang dari tindakan tersebut.

3. Pekopu Oruo Mata (2 lembar sarung)

Pekopu berasal dari kata mekopu yang berarti memeluk yang bertujuan

sebagai peredam amarah kedua orang tua perempuan atas kelakukan

yang dilakukan oleh kedua pasangan.Bahwasanya pilihan kedua

pasangan untuk melakukan kawin lari telah melukai perasaan orang tua

perempuan.

4. Aso ndumbu Okasa (1 pis kain Kaci)

Kain kaci merupakan tiang adat bagi orang Tolaki atau pu’uno o’sara

dan tanpa adanya benda ini maka adat mombesara dalam perkawinan

dianggap tidak sempurna.

Gambar 5.5.Suasana dalam proses peletakan adat sara meparamesi ine


pabitara
Sumber : Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

52
Berdasarkan gambar di atas tampak seorang juru bicara keluarga laki-laki

(tolea)duduk bersama seorang juru bicara keluarga perempuan (pabitara)

dihadapan kalo sara sebagai langkah untuk menanyakan bagaimana respon dan

kesiapan pihak keluarga perempuan, dalam hal ini keluarga pihak laki-laki akan

melaksanakan peletakan adat mesokei.Dan gambar di atas pula tampak beberapa

lembar sarung dan kain kaci sebagai syarat dalam adat mesokei.

5.2.2.4 Mekopu atau Me’anamotu’o(Adat Meminta Maaf Kepada Kedua

Orang Tua)

Mekopu atau me’anamotu’o merupakan hal yang membahagiakan bagi

kedua pasangan yang melakukan pelarian.Dengan berjalanya tahap ini berarti

kedua pasangan yang melakukan pelarian untuk menikah telah diterima oleh

keluarga perempuan yang ditandai dengan diundangnya kedua pasangan menemui

kedua orang tua perempuan untuk dijabat tanganya sekaligus untuk meminta maaf

secara langsung atas perbuatan yang telah mereka lakukan.

Gambar 5.6. Suasana dalam proses adat Mekopu atau Meanamotuo


Sumber: Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

53
Berdasarkan gambar di atas tampak kedua pasangan calon suami istri yang

melakukan pelarian menghadap kedua orang tua perempuan untuk meminta maaf

atas tindakan yang mereka lakukan yang disaksikan oleh para tokoh adat,

pemerintah maupun agama dan keluarga laki-laki maupun perempuan. Hal

tersebut menggambarkan bahwa dalam masyarakat Tolaki sangat menjunjung

tinggi asas musyawarah mufakat atau asas mesambepe meambo, apapun masalah

yang ada didalam masyarakat baik itu sebuah tindakan melarikan anak gadis

seseorang (mombolasuako), demi terciptanya keharmonisan dalam keluarga dan

bermasyarakat, harus diselesaikan menurut jalur hukum adat, agama dan

pemerintah.

5.2.2.5 Nibitara Niwindahako(Pembahasan Pokok Adat)

Tahap kelima dari peletakan adat mesokei adalah pembahasan

mengenaipokok adat, jumlah maupun jenis-jenisnyayang akan ditanggung oleh

keluarga laki-laki.Dalam tahapan ini, bukan saja membahas mengenai pokok adat

namun juga turut serta dengan pembahasan mengenai biaya acara peletakan adat

mowindahako.Membahas mengenai biaya acara peletakan adat mowindahako,

terdapat dua jenis pilihan, yaitu peletakan adat mowindahako yang dibarengi

dengan acara pesta perkawinan atau peletakan adat mowindahako dengan tidak

mengadakan acara pesta perkawinan. Namun itu kembali lagi dari kesepakan

kedua belah pihak yaitu keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, apakah akan

mengadakan pesta perkawinan atau tidak. Pada proses ini tolea dan pabitara yang

mewakili keluarga kedua pasangan saling mengungkapkan pendapat mengenai

keinginan dari kedua pihak.

54
Adapun isi pokok adat dalam perkawinan suku Tolaki di Desa Leekaa

adalah berabagai macam barang maupun benda-benda berharga yang telah

ditentukan oleh adat dan berlaku secara mutlak dalam sebuah wilayah atau

kampung.Seperti yang diungkapkan oleh bapak Ade (63 tahun) sebagai berikut.

“Ihino niwindahako ieto Pu’uno, Aso ndumbu okasa , Kiniku sara Tawa-
tawa sara, Eno sara. Aringgiro’o Tawano halumbulo olipa. Iepo hae Sara
Pe’ana, ihino Boku Mbebaho’a , Sandu-sandu, Hulo-hulo, Rane-rane
mba’a iepo Tema-tema.Sara Pe’ana batuano poeusano hapo-hapo pinakeno
inano iepo pobalasino uko-ukono inanowalino, ombulo ota’u nolaa
umoanae walino”.

Artinya;

“Isi dari pokok adat adalah batangnya (Pu’uno) berupa, satu pis kain kaci,
kerbau adat, gong adat, dan kalung adat. Setelah itu daunya (tawano)
delapan puluh lembar sarung, dan juga adat melahirkan (sara pe’ana) isinya
wadah tempat mandi bayi, timba, lampu pelita, satu lembar sarung, dan kain
panjang untuk menimang bayi.adat melahirkan (sara pe’ana) artinya
sebagai pengganti barang-barang yang digunakan dan juga sebagai balas
jasa atas keringat ibu istrinya, berpuluh-puluh tahun telah merawat istrinya”.
(Wawancara 22 Februari 2016).

Lebih lanjut bapak Arif Mido (67 tahun) yang bertindak sebagai

tonomotu’ono o’kambodan juga pu’utobu di Desa Lelekaa, menerangkan bahwa:

“Dadiono ronga mbera-mbera ihino niwindahako, okino dowondo nggo


mombatandui, okino hae pombatanduino ana motu’ono otina, mano hasele
ari ine pinebitarangako’a ari ine pamarenda, tono motu’ono okambo,
pu’utobu iepo wakeleno toono dadio tutumorike’i lolakono osara. Haseleno
ona ari ikiro, nggirokaeto ona lalaa pinadalando ikeni”
Artinya;

Jumlah dan jenis dari isi pokok adat, bukanlah berasal dari keputusan
sepihak bukan pula keputusan yang berasal dari orang tua perempuan.Tapi
dari hasil musyawarah dari beberapa pihak yaitu pemerintah, orang tua
kampong, pemangku adat dan tokoh masyarakat yang mengerti seluk beluk
adat. Hasil dari musyawarah itulah yang kita jalankan disini.( Wawancara 4
Februari 2016).

55
Berdasarkan data hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa isi dari

pokok adat mowindahako adalah satu pis kain kaci, kerbau adat, gong adat, dan

kalung adat, delapan puluh lembar sarung, dan juga adat melahirkan (sara pe’ana)

isinya wadah tempat mandi bayi, timba, lampu pelita, satu lembar sarung, dan

kain panjang untuk menimang bayi. Data hasil wawancara di atas pula

menunjukkan bahwa dalam system perkawinan masyarakat Tolaki terdapat aturan

yang mengharuskan adanya pengembalian barang dan juga system balas jasa

untuk seorang ibu perempuan yang akan dinikahi.Selain itu jenis-jenis dan

besarnya pokok adat dalam acara peletakan adat mowindahako bukanlah hasil dari

keinginan seseorang yang diputuskan secara sepihak, namun hal tersebut adalah

hasil musyawarah mufakat dari unsur pemerintah, adat dan tokoh masyarakat.

5.2.2.6 Nibitara Odandi(Pembahasan Janji Atau Waktu Pelaksanaan

Peletakan Adat Mowindahako)

Nibitara Odandi adalah penentuan waktu dan tanggal prosesi adat

mowindahako. Pembahasan mengenai waktu diadakannya adat

mowindahakoberdasar atas keputusan bersama dari pihak keluarga laki-laki

maupun perempuan, namun yang dominan memutuskan hal tersebut adalah dari

keluarga pihak laki-laki mengingat biaya acara mowindahako ditanggung keluarga

laki-laki maka akan disesuaikan dengan seberapa lama biaya acara mowindahako

dapat dipenuhi oleh keluarga laki-laki.

56
5.2.2.7 Mobasa O’kawi( Akad Nikah )

Mobasa o’kawi adalah proses akad nikahyang difasilitasi tokoh agama

setempat sesuai dengan agama kedua pasangan atau pihak dari KUA yang

disaksikan oleh kedua orang tua mempelai dan disaksikan oleh orang-orang yang

hadir dalam acara tersebut.

Gambar 5.7. Suasana Dalam Proses Akad Nikah (Mobasa Okawi).


Sumber : Dokumen Peneliti, 24 Januari 2016.

Pada umumnya dalam pernikahan suku Tolaki, proses akad nikah akan

dilaksanakan setelah proses adat mowindahako dilakukan namun untuk jenis

perkawinan tidak ideal seperti perkawinan mombolasuako harus segera dilakukan

karena adanya kehawatiran dari pihak keluarga bila esok hari anaknya hamil dan

memiliki anak diluar nikah akan menambah aib bagi keluarga besar kedua

mempelai. Seperti yang di ungkapkan oleh salah satu tokoh agama dan juga

sebagai Penyuluh Pencatat Nikah (PPN) di Desa Lelekaa, Amirullah (56 tahun)

bahwa.

“Atorano ine sara kan hendenggiro’o. Keno toono mombolasuako ano


orunggi pinobasa’ako okawi.Hendenggiro’o itoono pesaruno ine
Agama.Iamokaa saru aro laa mo’ia, aro ponaa o’ana oponohori nibasa’ako

57
okawi.Kan okino meambo tepodea’ano.Menggena ikaa ato laa
mombetaa’tatumorikee kero laa mowaihako peowai nda halala”.
Artinya :
“Aturan adatkan begitu ketentuannya. Kalau orang yang melakukan
perkawinan mombolasuako harus segera dibacakan nikah.Begitu juga dalam
agama. Jangan sampai seiring berjalanya waktu, mereka dikaruniai oleh
seorang anak sebelum ijab kabul dilakukan.Itukan tidak bagus
kedengaranya.Sama saja kita solah-olah tidak tahu akan perbuatan yang
mereka lakukan adalah sesuatu yang belum di bolehkan (halal)”(Wawancara
13Februari 2016).

Berdasarkan data di atas nampak diketahui bahwa, urusan perkawinan

dalam suku Tolaki,bukan hanya menjadi urusan adat semata, tetapi didalamnya

juga terdapat beberapa hal yangmenjadi urusan keagamaan.

5.2.3 Mowindahako(Penyerahan Pokok Adat)

Mowindahako merupakan prosesi penutup dari sekian rangkaian adat

perkawinan suku Tolaki baik itu perkawinan ideal maupun tidak ideal.Inti dari

mowindahako adalah penyerahan pokok adat yang telah dibicarakan pada acara

peletakan adat mesokei.Adapun susunan acara dalam peletakan adat

mowindahakosebagaimana yang dituturkan oleh salah satu informan, Arif Mido

(67 tahun) adalah sebagai berikut :

“nggiro’o tengga-tengano pasipole mowindahako ilawu’ikaa menggena


ronga pesokei’a mano laa omeha pasipole suere. Hende nggrirokaeroto
mombowuleako, mombetudungako niwindahako, moanggo iepo hae mohue
o’sara.Mano keno tengga-tenggano ari tarambu’unomowindahako ieto
o’aso sara meparamesi ine pamarenda, o’ruo sara meparamesi ine
pu’utobu, ari ona nggiro’o mombesara ine pabitarano otina, mererehu ito
ona pabitara langgai iepo pabitara ndina. Nggiro’o nolaa etai pabitara
ndina batuano ieto ona nggo mokolakoe tinamoako mombowuleako, ari
mombowuleako lakonoto mombetudungako niwindahako ronga sara
pe’ana, ieto nggiro’o lalaa pinebitarangako ine pesokei’a ohawo-hawo

58
tokaa nggo ihino niwindahako. Saa arino nggiro’o lakonoto lako ine mohue
o’sara, batuano nggiro’o mohue osara ieto ona pobasa’a o’do’a tinotonao
luwuako toono lalaa ikiro ine pasipole powindahako’a iepo nggiro’o
anadalo nggo-nggoo kawi aro mendidoha, masagena kerolaa mo’ia.Keno
arito nggiro’o luwuako pasipole tinutu ito ronga sara momberahi, nggo
meparamesito ona nggo mbule”.
Artinya :
“Tahapan urusan adat mowindahako ( penyerahan pokok adat ) hamper
mirip dengan adat mesokei (membentengi), tapi terdapat beberapa bagian
yang berbeda. Seperti mombowuleako (bertukar sirih pinang), moanggo
(pelantunan sebuah pesan moral dalam sebuah nada) dan juga mohue osara
(pembacaan do’a dalam bahasa Tolaki). Tapi kalau tahapan dari awal adat
mowindahako adalah (1) adat meminta izin kepada pihak pemerintah, (2)
adat meminta izin dari pemangku adat, setelah itu dilakukan peletakan adat
kepada juru bicara keluarga perempuan, duduklah juru bicara keluarga
perempuan yang diwakili oleh seorang laki-laki (pabitara) dan juru bicara
keluarga perempuan yang diwakili oleh seorang perempuan (pabitara
ndina). Maksud dari keikut sertaan juru bicara keluarga perempuan yang
diwakili oleh seorang perempuan (pabitara ndina) dialah yang akan
melaksanakan prosesi pertukaran sirih pinang (mombowuleako). Setelah
pertukaran sirih pinang di lakukan selanjutnya peletakan mahar adat dengan
adat melahirkan, hal itulah yang sebelumnya telah di bahas sebelumnya
dalam adat mesokei (membentengi) apa saja isi dari mahar adat tersebut.
Setelah hal tersebut selesai, lanjut pada tahapan mohue o’sara ( do’a adat )
artinya adalah pembacaan do’a untuk semua orang yang ada ditempat
berlangsungnya adatmowindahako dan juga untuk anak yang akan
melangsungkan perkawinan agar mereka sejahtera dan hidup berkecukupan
selama hidup mereka. Setelah semuanya telah selesai maka di tutup dengan
adat berpamitan (sara momberahi)”. (Wawancara, 4 Februari 2016).

Kemudian dijelaskan pula oleh bapak Ade (63 tahun) mengenai syarat atau

beberapa benda yang menjadi kelengkapan dalam prosesi adat

mowindahako.Mengatakan bahwa:

“Ihino niwindahako ieto Pu’uno, Aso ndumbu okasa , Kiniku sara Tawa-
tawa sara, Eno sara. Aringgiro’o Tawano halumbulo olipa. Iepo hae Sara
Pe’ana, ihino Boku Mbebaho’a , Sandu-sandu, Hulo-hulo, Rane-rane
mba’a iepo Tema-tema.Sara Pe’ana batuano poeusano hapo-hapo pinakeno
inano iepo pobalasino uko-ukono inanowalino, ombulo ota’u nolaa
umoanae walino”.

59
Artinya;

“Isi dari pokok adat adalah batangnya (Pu’uno) berupa, satu pis kain kaci,
kerbau adat, gong adat, dan kalung adat. Setelah itu daunya (tawano)
delapan puluh lembar sarung, dan juga adat melahirkan (sara pe’ana) isinya
wadah tempat mandi bayi, timba, lampu pelita, satu lembar sarung, dan kain
panjang untuk menimang bayi. adat melahirkan (sara pe’ana) artinya
sebagai pengganti barang-barang yang digunakan dan juga sebagai balas
jasa atas keringat ibu istrinya, berpuluh-puluh tahun telah merawat istrinya”.
(Wawancara 22 Februari 2016).

Berdasarkan data di atas dapat diketahui beberapa tahapan adat maupun

benda-benda adat yang menjadi syarat dalam peletakan adat mowindahako, yakni

sebagai berikut:

1. Sara Meparamesi Ine Pamarenda(Adat Meminta Izin Dari Pihak

Pemerintah)

2. Sara Meparamesi Ine Pu’utobu atau Tonomotu’ono o’kambo(Adat

Meminta Izin Kepada Pihak Pemangku Adat).

3. Mombesara Ine Pabitarano Otina(Peletakan adat )

4. Mombowuleako( Bertukar Sirih Pinang )

Pertukaran sirih pinang sebagai ucapan selamat datang bagi keluarga

laki-laki dari pihak perempuan yang dilakukan oleh tolea ndina dan

pabitara ndina.

60
Gambar 5.8. Suasana pertukaran sirih pinang yang dipraktekkan oleh tolea ndina
dan pabitara ndina Dan Lopa-lopa yang berisi sirih pinang.
Sumber : Dokumen Peneliti, 18Februari 2016.

5. Mombetudungako niwindahako ronga sara peana(Penyerahan Mahar

Adat Dan Adat Melahirkan)

Mombetudungako Niwindahako Ronga Sara Pe’ana adalah

penyerahan mahar adat yang isinya dikenal dengan istilah o’omba

pu’uno dan halumbulo tawano.O’omba pu’unoberarti empat buah

barang yang menjadi tiang adat sedangkan halumbulo tawano berarti

delapan puluh helai daun yang di jadikan sebagai atasan tiang adat.Hal

tersebut dianalogikan seperti sebuah pohon rindang yang terdiri dari

batang dan daun.Sedangkan sara pe’ana adalah beberapa jenis barang

perlengkapan mandi untuk bayi yang diserahkan untuk ibu mempelai

perempuan sebagai balas jasa atas keringat dan perjuangannya selama

berpuluh-puluh tahun merawat dan menjaga anak perempuannya.

Adapun isi dari mahar (niwindahako)adat dan sara pe’anatersebut

adalah sebagai berikut :

61
5.1. Niwindahako (Pokok Adat)

A. Pu’uno(Tiang)

1. Aso ndumbu okasa ( 1 pis kain kaci)

2. Kiniku sara (1 ekor kerbau )

3. Tawa-tawa sara( 1 buah gong )

4. Eno sara( kalung emas )

B. Tawano atau wawono niwindahako

80 lembar sarung atau 40 lembar sarung kemudian ditambah

dengan sejumlah uang sebagai pengganti kekurangan dari 40

sarung yang telah ditiadakan.Untuk nilai pengganti sarung tersebut

dihargai sejumlah Rp. 10.000 untuk satu lembar sarung.

Gambar 5.9. Kain sarung sebagai salah satu syarat dalam adat
Mowindahako Atau Tawano Niwindahako.
Sumber : Dokumen Peneliti, 18 Februari 2016.

5.2. Sara Pe’ana(Adat Melahirkan)

A. Boku Mbebaho’a(Wadah tempat mandi bayi)

Wadah tempat mandi bayi sebagai pengganti wadah yang

digunakan oleh ibu mempelai perempuan saat

dimandikannyasewaktu masih bayi.

62
B. Sandu-sandu( timba untuk mandi)

Sebagai pengganti timba yang digunakan oleh ibu mempelai

perempuan saat memandikan anaknya (mempelai perempuan)

sewaktu masih bayi.

C. Hulo-hulo( lampu kaleng )

Sebagai pengganti lampu pelita yang digunakan oleh ibu

mempelai perempuan dalam menerangi ruangan saat merawat

anaknya (mempelai perempuan) sewaktu masih bayi.

D. Rane-rane mba’a

Rane-rane mba’aadalah sebuah perumpamaan akan kondisi paha

seorang ibu yang telah lapuk akibat memangku anaknya sewaktu

masih bayi yang kemudian diganti dengan satu lembar sarung.

E. O’tema (gendongan bayi)

Kain panjang yang di gunakan untuk menggendong bayi.

Gambar 5.10. Kelengkapan adat mowindahako ( sara pe’ana, kain kaci


dan sarung).
Sumber : Data Peneliti, 18 Februari 2016.

6. Mohue O’Sara( Do’a Adat)

Mohue osara adalah tahapan pembacaan do’a untuk semua orang

yang turut hadir dalam acara mowindahako baik itu para undangan,

63
para pelaku dalam peletakan adat maupun kedua mempelai pengantin

laki-laki dan perempuan.Mohue o’sara dilakukan oleh tolea pabitara

atau orang lain yang dipercayakan untuk melakukan mohue o’sara.

Pada prakteknya mohue o’sara dilakukan dengan cara mengangkat ke

empat sudut kalo sara yang dibarengi dengan kata-kata o’aso, o’ruo,

o’tolu, o’omba yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan do’a

dalam bahasa Tolaki.Sebagai penutup prosesi adat mohue o’sara maka

kedua tolea pabitara saling berbagi minuman tradisional suku Tolaki

(pongasi) yang telah disiapkan sebelumnya.

Gambar 5.11. Suasana daalam proses mohue o’sara.


Sumber : Data Peneliti, 18 Februari 2016.

7. Mo’anggo( penuturan cerita yang berisikan sebuah pesan moral )

Mo’anggo adalah sebuah folklore lisan suku Tolaki yang di bawakan

oleh seorang penutur baik itu laki-laki maupun perempuan.Mo’anggo

dilakukan dengan menggunakan bahasa Tolaki yang dikemas dengan

nada yang khas (meliuk-liuk) yang berisikan sebuah pesan moral dan

juga nasehat bagi kedua mempelai dalam menjalani kehidupan

berumah tangga.

64
8. Sara Momberahi( Adat Berpamitan )

Sara momberahi dapat juga dikatakan sebagai sara meparamesi,

maksudnya adalah prosesi peletakan adat yang bertujuan sebagai

salam pamitan dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

Sara momberahi juga dapat diartikan sebagai penutup dari prosesi

adat mowindahako.

Gambar 12. Suasana dalam peletakan adat momberahi


Sumber: Data Peneliti, 18 Februari 2016.

Setelah acara peletakan adat momberahi, maka kedua pasangan di

persilahkan untuk menempati tempat duduk yang telah disediakan di atas

pelaminan yang telah di dekorasi sedemikian rupa.

Gambar 5.13. Salah Satu Bentuk Dekorasi dan pakaian adat


perkawinansuku Tolaki.
Sumber :Data Peneliti, 18 Februari 2016.

65
Berdasarkan datahasil wawancara di atasdapat diketahui bahwa setiap

susunan acara dan benda-benda dalam peletakan adat mowindahako syarat akan

makna dari setiap tahapan. Selain itu juga dapat dilihat bagaimana sebuah

perkawinan yang pada dasarnya masuk dalam kategori tidak ideal dikemas sama

seperti perkawinan ideal pada umumnya. Data gambar di atas juga menunjukkan

bahwa pakaian maupun dekorasi dalam perkawinan masyarakat Tolaki seiring

dengan perkembangan jaman selalu mengikuti perkembangan mode.

66
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada

bab terdahulu, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

Masyarakat suku Tolaki di Desa Lelekaa melakukan perkawinan

mombolasuako dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu tidak mendapatkan

restu dari orang tua, perkawinan mombolasuako dianggap lebih efisien untuk

mempersingkat susunan adat yang harus dilalui oleh keluarga laki-laki dan juga

efisien dari segi biaya selama proses penyelesaian adat di lakukan, selain itu,

alasan karena tidak setuju dengan pilihan orang tua menjadi salah satu penyebab

mengapa anak muda Tolaki di Desa Lelekaa memilih jalan untuk melakukan

perkawinan mombolasuako. Selain itu juga fenomena kawin lari (perkawinan

mombolasuako) telah lama dilakukan di Desa Lelekaa,sehingga secara tidak

langsung stigma miring mengenai perkawinan tersebut menjadi pudar dan sudah

dianggap biasa dalam pandangan masyarakat yang kemudian membuat para

remaja yang melakukan perkawinan mombolasuako tidak sepenuhnya mengetahui

bagaimana hukum adat perkawinan suku Tolaki mengatur dan memandang

perkawinan mombolasuako.

Penyelesaian adat perkawinan mombolasuako pada suku Tolaki di

DesaLelekaa terdiri dari tiga tahap yaitu molomba obiri atau memberi kabar

kepada keluarga perempuan, mesokeiatau peletakan adat yang bertujuan untuk

membentengi atau melindungi pasangan yang melakukan perkawinan

67
mombolasuako dan mowindahakoatau peletakan adat penutup dari sekian

rangkaian tahapan penyelesaian adat perkawinan suku Tolaki.

6.2 Saran

Adapun yang menjadi saran-saran dalam penulisan ini adalah

sebagaiberikut :

1. Perkawinan mombolasuako pada dasarnya merupakan suatu

bentuk pelanggaran adat namun pada prakteknya di lapangan

perkawinan mombolasuako ini masih saja berlangsung dari tahun

ke tahun. Untuk itu diharapkan adanya komunikasi antara

pemerintah dan tokoh adat dalam sebuah forum pertemuan yang

melibatkan masyarakat untuk mensosialisasikan mengenai

ketentuan hukum adat suku tolaki dalam menjalankan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara guna menjaga eksistensi dan

kelestarian kebudayaan khususnya hukum adat yang menjadi

asset bagi generasi-generasi berikutnya.

2. Penulis mengharapkan adanya sosialisasi yang dilakukan di

dalam sekolah-sekolah, baik itu SD, SMP, dan SMA melalui mata

pelajaran Muatan Lokal yang menyinggung tentang konsep dan

ketentuan-ketentuan hukum adat suku Tolaki.

68
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di


Indonesia, Alumni, Bandung, 1978.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodeologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
UGM Press

Hafidudin. 2012. Eksistensi Budaya Sebambangan (Kawin Lari) Dalam


Masyarakat Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu.
Lampung:
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JPG/article/viewFile/3661/2251.03
November 2015

Haviland, William J. 1985. Antropologi Edisi Ke Empat. Ahli Bahasa.


RG.Soekadijo. Jakarta: Erlangga.
Hadikusuma, Hilman. 1990.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, CV. Mandar Maju.
Tarimana, Abdurrauf .1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka
Koodoh,Erens E. Alim, Abdul dan Bachruddin. 2011. Hukum Adat Orang
Tolaki.Yogyakarta: Teras
Kusnan, Leika kalangi, Golda J. Tulung, 2015, Ungkapan Bermakna Budaya
dalam Adat Perkawinan Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Pascasarjana
Universitas Sam Ratulangi.

Karmila, 2014, Kawin Lari (Mombolasuako)) Dalam Perspektif Hukum Adat


Tolaki di Sulawesi Tenggara,Surabaya, Tesis Universitas Airlangga
Koentjaraningrat.1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI. PRESS
Koentjaraningrat.1997. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat.

La Ino, 2011, Makna Tuturan Dalam Penyelesaian Pelanggaran Adat


Mambolosuako Masyarakat Tolaki, LINGUA, Jurnal Ilmu Bahasa dan
SastraVolume 6, Nomor 1, April 2011 – ISSN 1693-4725

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi.Diterjemahkan oleh M. Z. Elizabeth.


Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

69
Noviardi, Sefri S. 2003. Kawin Lari Dalam Budaya Siri‘ Pada Masyarakat Suku
Bugis di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jambung Timur
Propinsi Jambi. Semarang:Tesis Universitas Diponegoro

Wardani, St. Jumhuriatul. 2009. Adat Kawin Lari “Merariq” Pada Masyarakat
Sasak, Studi Kasus di Desa Sakra Kabupaten Lombok Timur. Semarang:
Skripsi Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Semarang

Tamburaka, Basaula. 2012. Hukum Adat Perkawinan Tolaki. Kendari


--------------------------2015. Hukum Adat Perkawinan Tolaki. Kendari
http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-fungsionalstruktural.html
http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kaling/article/view/8430/8009

70
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Arif Mido

Umur : 67 Tahun

Pendidikan : Diploma

Pekerjaan : Pensiunan Guru

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 2 Aleele

2. Nama : Ade

Umur : 63 Tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Petani Ladang

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 1 Kumapo

3. Nama : YP

Umur : 62 Tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 2 Aleele

4. Nama : Amirullah

Umur : 56 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 2 Aleele

5. Nama : MRK

Umur : 52 Tahun

71
Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Dusun 2 Aleele

6. Nama : AN

Umur : 47 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 2 Aleele

7. Nama : Saleh

Umur : 45 Tahun

Pendidikan : Strata 1

Pekerjaan : Kepala Desa Lelekaa

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 1 Kumapo

8. Nama : LP

Umur : 26 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Kariawan Swasta

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 2 Aleele

9. Nama : ANG

Umur : 23 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 1 Kumapo

72
10. Nama : SF

Umur : 23 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 2 Aleele

11. Nama : GN

Umur : 22 Tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lelekaa, Dusun 1 Kumapo

73
PEDOMAN WAWANCARA

1. Sejak kapan fenomena kawin lari (mombolasuako) terjadi di desa ini ?

2. Bagaimana pandangan anda mengenai perkawinan mombolasuako ?

3. Mengapa bapak/ ibu tidak merestui hubungan yang dijalani oleh anak

bapak/ibu dengan seorang perempuan/laki-laki ?

4. Apa alasan saudara melakukan perawinan mombolasuako ?

5. Atas dasar pertimbangan apa sehingga saudara memilih perkawinan

mombolasuako ?

6. Bagaimana tahapan adat penyelesaian perkawinan mombolasuako dalam adat

Tolaki di desa ini ?

7. Apa saja yang menjadi syarat dalam penyelesaian adat perkawinan

mombolasuako ?

8. Apa makna dari tahapan dan syarat maupun benda-benda dalam penyelesaian

adat perkawinan mombolasuako ?

74
GLOSARIUM

Aji krame : Mahar perkawinan dalam adat masyarakat Sasak.

Bite tinogo : Pelamaran dalam adat perkawinan Tolaki.

Bite nggukale : Pelamaran dalam adat perkawinan Tolaki untuk anak


gadis yang telah tidak perawan.

Kalosara : Anyaman rotan berbentuk lingkaran yang menjadi


perangkat adat utama dan sakral dalam suku bangsa
Tolaki.

Mombolasuako : Kawin lari dalam adat suku bangsa Tolaki.

Mowindahako : Peletakan adat dalam suku Tolaki yang bermaksud sebagai


prosesi penyerahan pokok adat atau mahar perkawinan.

Monduutudu : Pelamaran jajakan.

Melosoako : Tahapan adat perkawinan suku Tolaki untuk memberikan


kejelasan hubungan antara anak laki-laki dan perempun
kepada keluarga perempuan.

Mondongo niwule : Pelamaran dalam adat perkawinan Tolaki

Melanggahako : Perkawinan yang di lakukan dalam suku Tolaki bila


mempelai perempuan hamil di luar nikah

Mosoro orongo : Turun Ranjang.

Mesokei : membentengi atau adat yang bertujuan untuk melindungi


kedua anak laki-laki dan perempuan yang melakukan kawin
lari.

Mohue o’sara : Do’a adat.

Mo’anggo : Pesan pernikahan yang dilantunkan dalam sebuah nada


yang meliuk-liuk.

Merariq : Kawin lari dalam adat suku Sasak.

Peohala : Denda adat

Pu’utobu : Pemangku Adat

75
Pabitara : Juru bicara adat keluarga perempuan

Puyimbang tiyuh : Pemuka adat suku Sasak

Rane-rane mba’a : Pengganti jasa seorang ibu akan pengorbananya selama


menimang anak perempuanya sejak usia bayi hingga
beranjak pada usia dewasa.

Rembinggare : Adat penghalang langkah kaki keluarga perempuan.

Sembambangan : Kawin Lari pada masyarakat Lampung.

Tolea : Juru bicara keluarga laki-laki

Umo’api : Selingkuh, Berzinah.

76

You might also like