You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane
menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-
bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait
dengan evidence base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence
base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based
Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis
berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Oleh karena itu EBP
merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek
sehingga perawat dapat meningkatkan “quality of care” terhadap pasien.
Selain itu implementasi EBP juga akan menurunkan biaya perawatan yang
memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien, perawat, tapi juga bagi
institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai
dasar dalam pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih
berada dalam tahap pertumbuhan.
Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat
digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence
atau fakta. Selama ini, khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui
praktik-praktik atau intervensi yang berdasarkan “biasanya juga begitu”.
Sebagai contoh, penerapan kompres dingin dan alkohol bath masih sering
digunakan tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga oleh petugas
kesehatan, dengan asumsi dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat,
sedangkan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan kompres
hangat dan teknik tepid sponge meningkatkan efektifitas penggunaan kompres
dalam menurunkan suhu tubuh.
Merubah sikap adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan mungkin hal yang
sia-sia. Orang tidak akan bisa merubah adat orang lain, kecuali orang-orang di
dalamnya yang merubah diri mereka sendiri. Tetapi meningkatkan kesadaran,
dan masalah kesehatan di masyarakat, akan meningkatkan kebutuhan

1
masyarakat akan pelayanan kesehatan. Tentu pelayanan yang paling efektif &
efisien menjadi tuntutan sekaligus tantangan besar yang harus di cari problem
solving-nya.
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific
dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia
belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek. Tidak
dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk kebutuhan
penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah
”Bagaimana Evidence Based Practice pada Keperawatan Maternitas?”

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menjelaskan dan menelaah
situasi tentang Evidence Based Practice di tatanan klinis keperawatan
terutama pada Keperawatan Maternitas.

1.4 Manfaan Penulisan


1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
tentang Evidence Based Practice di tatanan klinis keperawatan terutama
pada Keperawatan Maternitas.
2. Manfaat Aplikatif
Sebagai sumbangan aplikatif bagi tenaga kesehatan agar lebih
meningkatkan perhatian dalam Evidence Based Practice di tatanan
klinis keperawatan terutama pada Keperawatan Maternitas.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Evidence Based Practice


Evidence Based Practice (EBP) merupakan salah satu perkembangan
yang penting pada dekade ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk
kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan
profesi kesehatan dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004, Brownson et
al 2002, Sackett et al 2000).
Menurut (Goode & Piedalue, 1999) : Praktik klinis berdasarkan bukti
melibatkan temuan pengetahuan dari penelitian, review atau tinjauan kritis.
EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang
berdasarkan pada fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses yang
panjang, adanya fakta dan produk hasil yang membutuhkan evaluasi
berdasarkan hasil penerapan pada praktek lapangan.
Evidence Based Practice (EBP) merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah untuk pengambilan keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan
yang terintegrasi di dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada
dengan pengalaman dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan praktisi).
EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal dan external serta memaksa untuk
berpikir kritis dalam penerapan pelayanan secara bijaksana terhadadap
pelayanan pasien individu, kelompok atau system (newhouse, dearholt, poe,
pough, & white, 2005).
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah
tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti
(berbasis bukti) yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai
pasien untuk menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan
(Titler, 2008). EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada
dekade ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran,
keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan

3
dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004, Brownson et al 2002, Sackett
et al 2000).
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan
proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk
pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan. Pencetus dalam
penggunaan fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan
untuk mengintegrasikan keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik
berdasarkan penelitian sistematik.

Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai :


1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan
praktek klinis ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan
klinis (Mulhall, 1998).
2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan
tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok
pasien dan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien
tersebut (Ingersoll G, 2000).

Menurut Newhouse (2014) Evidence Based Practice (EBP) adalah suatu


pendekatan penyelesaian masalah dalam pengambilan keputusan klinis yang
mengintegrasikan best scientific evidence,clinikal expertise,dan patient
preference and values. Tujuan utama penerapan EBP adalah untuk
meningkatkan patient outcomes. Menurut Academy of Medical Surgical
Nurses (AMSN) (2013), EBP sangat relevan dengan praktik keperawatan
karena :
1. Ada gap antara apa yang perawat ketahui dan apa yang perawat
lakukan. Apa yang diketahui dari hasil riset tidak diaplikasikan dalam
praktik klinis. Ini yang dinamakan research-pratice gap.
2. Praktik keperawatan dapat dan harus diubah dari berbasis tradisi
menjadi berbasis bukti.

4
3. Praktik keperawatan yang efektif memerlukan informasi,
keputusan dan keterampilan
4. EBP memberdayakan dan memperluas keterampilan perawat

2.2. Tingkatan dan Hierarki dalam Penerapan Evidence Based


Practice
Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang
digunakan untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti
terbaik sampaidengan bukti yang paling rendah. Tingkatan evidence ini
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam EBP. Hirarki untuk tingkatan
evidence yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Penelitian dan Kualitas
(AHRQ), sering digunakan dalam keperawatan (Titler, 2010). Adapun level
of evidence tersebut adalah sebagai berikut :

Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat


kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini
mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi :

5
1. Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-
hari
2. Studi kasus
3. Studi lapangan atau laporan deskriptif
4. Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel
secara acak (random)
5. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok
pembanding, dan menggunakan sampel secara acak
6. Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa
yaitu pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi.

6
2.3. Model Implementasi Evidence Based Practice
1. Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk
meningkatkan penerapan Evidence based. 5 langkah dalam Model Settler:
Fase 1 : Persiapan
Fase 2 : Validasi
Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4 : Translasi dan aplikasi
Fase 5 : Evaluasi
2. Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote
Quality Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN,
FAAN, Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah ini
sebagai focus ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai prioritas dari
suatu organisasi, tim segera dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders,
klinisian, staf perawat, dan tenaga kesehatan lain yang dirasakan penting
untuk dilibatkan dalam EBP. Langkah selanjutkan adalah mensistesis EBP.
Perubahan terjadi dan dilakukan jika terdapat cukup bukti yang
mendukung untuk terjadinya perubahan . kemudian dilakukan evaluasi dan
diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett, 2004; Bernadette Mazurek
Melnyk, 2011).

3. Model konseptual Rosswurm & Larrabee


Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice
Change yang terdiri dari 6 langkah yaitu :
Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
Tahap 3 : kritikal analisis evidence
Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek

7
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke
lahan paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada,
kevalidan dan kereliabilitasan metode yang digunakan, serta penggunaan
nomenklatur yang standar.

2.4. Pengkajian dan Alat dalam Evidence Based Practice


Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki tenaga kesehatan
professional untuk dapat menerapkan praktek klinis berbasis bukti, yaitu :
1) Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
2) Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
3) Melakukan pencarian literature yang efisien,
4) Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari
bukti tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya
5) Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien, dan
6) Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya
pasien dapat mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan
dan kerugian dari pilihan manajemen/terapi (Jette et al., 2003).

2.5. Langkah-langkah dalam EBP


1. Langkah 1 : Kembangkan semangat penelitian.
Sebelum memulai dalam tahapan yang sebenarnya didalam EBP, harus
ditumbuhkan semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih
nyaman dan tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
perawatan pasien

2. Langkah 2 : Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT.


Pertanyaan klinis dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence
yang lebih baik dan relevan.
a) Populasi pasien (P),
b) Intervensi (I),
c) Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d) Hasil / Outcome (O), dan
e) Waktu / Time (T).

8
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari
database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-artikel
yang relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan skenario kasus pada
waktu respon cepat sebagai contoh, cara untuk membingkai pertanyaan
tentang apakah penggunaan waktu tersebut akan menghasilkan hasil yang
positif akan menjadi: "Di rumah sakit perawatan akut (populasi pasien),
bagaimana memiliki time respon cepat (intervensi) dibandingkan dengan
tidak memiliki time respon cepat (perbandingan) mempengaruhi jumlah
serangan jantung (hasil) selama periode tiga bulan (waktu)? "

3. Langkah 3: Cari bukti terbaik.


Mencari bukti untuk menginformasikan praktek klinis adalah sangat
efisien ketika pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika perawat
dalam skenario respon cepat itu hanya mengetik "Apa dampak dari
memiliki time respon cepat?" ke dalam kolom pencarian dari database,
hasilnya akan menjadi ratusan abstrak, sebagian besar dari mereka tidak
relevan. Menggunakan format PICOT membantu untuk mengidentifikasi
kata kunci atau frase yang ketika masuk berturut-turut dan kemudian
digabungkan, memperlancar lokasi artikel yang relevan dalam database
penelitian besar seperti MEDLINE atau CINAHL. Untuk pertanyaan
PICOT pada time respon cepat, frase kunci pertama untuk dimasukkan ke
dalam database akan perawatan akut, subjek umum yang kemungkinan
besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan abstrak. Istilah kedua akan
dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan jantung dan istilah
yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah terakhir dari pencarian
adalah untuk menggabungkan hasil pencarian untuk setiap istilah. Metode
ini mempersempit hasil untuk artikel yang berkaitan dengan pertanyaan
klinis, sering mengakibatkan kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk
menetapkan batas akhir pencarian, seperti "subyek manusia" atau

9
"English," untuk menghilangkan studi hewan atau artikel di luar negeri
bahasa.

4. Langkah 4: Kritis menilai bukti.


Setelah artikel yang dipilih untuk review, mereka harus cepat dinilai
untuk menentukan yang paling relevan, valid, terpercaya, dan berlaku
untuk pertanyaan klinis. Studi-studi ini adalah "studi kiper." Salah satu
alasan perawat khawatir bahwa mereka tidak punya waktu untuk
menerapkan EBP adalah bahwa banyak telah diajarkan proses mengkritisi
melelahkan, termasuk penggunaan berbagai pertanyaan yang dirancang
untuk mengungkapkan setiap elemen dari sebuah penelitian. Penilaian
kritis yang cepat menggunakan tiga pertanyaan penting untuk
mengevaluasi sebuah studi :
a. “Apakah hasil penelitian valid?” Ini pertanyaan validitas studi
berpusat pada apakah metode penelitian yang cukup ketat untuk
membuat temuan sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai
contoh, apakah para peneliti secara acak menetapkan mata pelajaran
untuk pengobatan atau kelompok kontrol dan memastikan bahwa
mereka merupakan kunci karakteristik sebelum perawatan? Apakah
instrumen yang valid dan reliabel digunakan untuk mengukur hasil
kunci?
b. “Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi?” Untuk studi intervensi,
pertanyaan ini keandalan studi membahas apakah intervensi bekerja,
dampaknya pada hasil, dan kemungkinan memperoleh hasil yang
sama dalam pengaturan praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif,
ini meliputi penilaian apakah pendekatan penelitian sesuai dengan
tujuan penelitian, bersama dengan mengevaluasi aspek-aspek lain dari
penelitian ini seperti apakah hasilnya bisa dikonfirmasi.
c. “Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya?” Ini
pertanyaan penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis
seperti apakah subyek dalam penelitian ini mirip dengan pasien
sendiri, apakah manfaat lebih besar daripada risiko, kelayakan dan

10
efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi pasien. Setelah menilai
studi masing-masing, langkah berikutnya adalah untuk mensintesis
studi untuk menentukan apakah mereka datang ke kesimpulan yang
sama, sehingga mendukung keputusan EBP atau perubahan.

5. Langkah 5: Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan


preferensi pasien dan nilai-nilai.
Bukti penelitian saja tidak cukup untuk membenarkan perubahan
dalam praktek. Keahlian klinis, berdasarkan penilaian pasien, data
laboratorium, dan data dari program manajemen hasil, serta preferensi dan
nilai-nilai pasien adalah komponen penting dari EBP. Tidak ada formula
ajaib untuk bagaimana untuk menimbang masing-masing elemen;
pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi oleh variabel kelembagaan dan
klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari bukti yang menunjukkan
penurunan kejadian depresi pada pasien luka bakar jika mereka menerima
delapan sesi terapi kognitif-perilaku sebelum dikeluarkan dari rumah sakit.
Anda ingin pasien Anda memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi
keterbatasan anggaran di rumah sakit Anda mencegah mempekerjakan
terapis untuk menawarkan pengobatan. Defisit sumber daya ini
menghambat pelaksanaan EBP.

6. Langkah 6: Evaluasi hasil keputusan praktek atau perubahan


berdasarkan bukti.
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan mengevaluasi
setiap perubahan hasil sehingga efek positif dapat didukung dan yang
negatif diperbaiki. Hanya karena intervensi efektif dalam uji ketat
dikendalikan tidak berarti ia akan bekerja dengan cara yang sama dalam
pengaturan klinis. Pemantauan efek perubahan EBP pada kualitas
perawatan kesehatan dan hasil dapat membantu dokter melihat kekurangan
dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih tepat pasien mana yang
paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan. Ketika hasil berbeda dari

11
yang dilaporkan dalam literatur penelitian, pemantauan dapat membantu
menentukan.

7. Langkah 7: Menyebarluaskan hasil EBP.


Perawat dapat mencapai hasil yang indah bagi pasien mereka melalui
EBP, tetapi mereka sering gagal untuk berbagi pengalaman dengan rekan-
rekan dan organisasi perawatan kesehatan mereka sendiri atau lainnya. Hal
ini menyebabkan perlu duplikasi usaha, dan melanggengkan pendekatan
klinis yang tidak berdasarkan bukti-bukti. Di antara cara untuk
menyebarkan inisiatif sukses adalah putaran EBP di institusi Anda,
presentasi di konferensi lokal, regional, dan nasional, dan laporan dalam
jurnal peer-review, news letter profesional, dan publikasi untuk khalayak
umum.

2.6. Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada Keperawatan


1. Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian
perawatan berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil perawatan
klien.
2. Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan
mendukung “pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
3. Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam
penggunaan EBP.
4. Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan
kesehatan.
5. Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan kualitas
praktek, penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan kesehatan.
6. Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti
dengan evaluasi yang berkelanjutan.
7. Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan
intuisi, observasi pada klien dan bagaimana respon terhadap intervensi
yang diberikan. Dalam tindakan diharapkan perawat memperhatikan etnik,
sex, usia, kultur dan status kesehatan.

12
2.7. Hambatan Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada
Keperawatan
1. Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2. Akses terhadap jurnal dan artikel.
3. Keterampilan untuk mencari.
4. Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5. Kurang paham atau kurang mengerti.
6. Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan
hasil-hasil riset.
7. Salah pengertian tentang proses.
8. Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9. Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang
terbaik untuk diterapkan pada klien.

13
BAB III
PEMBAHASAN
MANAJEMEN NYERI NON INVASIVE PADA IBU POST PARTUM
DENGAN PENDEKATAN EVIDENCE BASED PRACTICE
(Non Invasive Pain Management in Post Partum Mother with
Evidence Based Practice Approach)

3.1.Abstrak
Introduction: Pain is a sensation of discomfort that most post-partum
mothers complain about, in the case of prolonged pain, the risk of post-
partum blues is higher. The usage of evidence based practice method gives a
bigger opportunity for nurse and medical attendants to think more critically
in making decisions and in performing the appropriate treatment in
accordance with the patient's problem and uniqueness. This research aimed
to applicate management of non-invasive pain on post partum mother
through the approach of evidence based practice. Method: This was a case-
study, performed to client Mrs. A P1-1 A0 post sectio caesarea day 1 as there
is an indication of suspect cepalo pelvis disproportion secondary arrest. Data
were collected at maternity room, dr. Soebandi Regional General Hospital.
Using interview, observation, and physical examination. Data analysis was
conducted through a descriptive analysis. Result: Through a careful nursing,
it is found out that pain location and spreading that generally spotted at the
patient’s back during the contraction in the uterus, occurred around the
shoulders when evidence-base practice is applied. The basic principle of
applying an intervention to non invasive pain based on evidence –base
practice are: cutaneous stimulation and distraction, while massaging area
was set on the face, while the distraction media was interaction with the
baby. Evaluation on evidence –based practice showed that pain is reduced to
scale 2, while face and mobilitation become more relaxed. Discussion:

14
Massage was intended to stimulated the production of endorphine and
dinorphine that play an important roke to block the pain transmission
through the descendent control system. Interaction with the baby was
intended to function as a distraction media to dominate the incoming impuls
into the ascendant control system,which further may close the gate of the
pain transmitter. Both of the interventions were axpected to work synergically
in reducing pain, since post-partum pain can be relieved more quickly when
more than one technique are applied. Thus, to reduce post-partum pain,
facial massage and interaction with the baby as non –invasive treatments are
of important, respectively.

Keyword: the management of non-invasive pain, post-partum, evidence –


based practice

3.2.Pendahuluan
Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang sering dikeluhkan ibu
post partum. Nyeri post partum dapat terjadi karena berbagai macam
sebab, antara lain: kontraksi uterus selama periode involusi uterus,
pembengkakan payudara karena proses laktasi yang belum adekuat,
perlukaan jalan lahir, dan perlukaan insisi bedah pada ibu post sectio
caesarea (SC). Nyeri dapat dirasakan pada berbagai macam tingkatan
mulai dari nyeri ringan-sedang sampai nyeri berat. Tingkatan nyeri yang
dirasakan pasien post partum tergantung dari banyaknya sumber penyebab
nyeri, toleransi pasien terhadap nyeri, dan faktor psikologis dan lingkungan
(Carpenito, 2000; Potter dan Perry, 2006; Bobak, 2005; Rohmah. N. &
Walid, S. 2008). Nyeri berdampak sangat komplek bagi perawatan ibu post
partum, antara lain: terhambatnya mobilisasi dini, terhambatnya laktasi,
terhambatnya proses bonding attachment, perasaan lelah, kecemasan,
kecewa karena ketidaknyamanan, gangguan pola tidur, dan bahkan bila
nyeri berkepanjangan akan meningkatkan risiko post partum blues.

15
Dampak-dampak negatif ini bila tidak diatasi akan mempengaruhi proses
pemulihan ibu post partum. Nyeri pada ibu post partum terutama dirasakan
pada hari pertama dan kedua, dimana fase adaptasi psikologis ibu masuk
pada tahap taking in yaitu tahap dependent. Tahap ini ibu masih
membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
porsi terbesar yang pemenuhan kebutuhan istirahat/tidur dan nutrisi. Bila
nyeri yang terjadi pada fase ini tidak dapat diatasi maka akan
memperpanjang fase taking in dan proses dependent-independent klien
manjadi terhambat (Bobak, 2005).
Tanpa melihat penyebabnya dan berapapun tingkatannya, nyeri
termasuk salah satu masalah keperawatan yang harus diatasi oleh perawat.
Tehnik untuk menurunkan nyeri secara non invasive saat ini telah banyak
dikembangkan, namun belum ada laporan yang menjelaskan tehnik mana
yang disarankan untuk digunakan pada nyeri post partum. Beberapa tehnik
yang dapat digunakan antara lain tehnik pernafasan berirama, tehnik
distraksi, dan tehnik stimulasi kutan. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kelemahan. Telaah pemilihan tehnik untuk menurunkan
nyeri sampai saat ini masih cenderung tergantung secara mutlak pada
sebuah rencana standar umum yang berlaku, sehingga seringkali keunikan
individu menjadi terlewatkan. Penggunaan metode evidence based
practice lebih banyak memberi kesempatan kepada perawat untuk berpikir
kritis dalam rangka mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang
tepat sesuai dengan masalah dan keunikan pasien. Evidence based practice
yang diterapkan pada manajemen nyeri non invasive pada ibu post partum,
diharapan dapat membantu mempercepat proses pemulihan ibu pada fase
puerperium. (Carpenito, 2000; Potter dan Perry 2006; Bobak 2005; Bekti,
2007; Rohmah. N. & Walid, S. 2008). Tujuan asuhan ini adalah
menerapkan manajemen nyeri non invasive pada ibu post partum dengan
menggunakan pendekatan evidence based practice

16
3.3.Metode

Desain penelitian ini menggunakan studi kasus yang dilakukan dengan


pendekatan evidence based practice. Langkah-langkah yang digunakan dalam
pendekatan ini adalah identifikasi fakta (evidence) yang diperlukan, mengkaji
kebutuhan perubahan dalam layanan praktik, melihat dan mengevaluasi fakta
melalui literature dan hasil penelitian terkait, memutuskan dan mendesain
rencana strategis, implementasi, dan evaluasi. Asuhan diberikan pada klien
Ny A. P1-1 A0 post SC hari ke 1 atas indikasi suspect cepalo pelvis
disproporsi secondary arrest. Tempat pengambilan data di Ruang Kandungan
RSUD dr. Soebandi Jember. Waktu yang digunakan untuk memberikan
asuhan adalah 4 hari. Variabel yang ditelaah pada asuhan ini adalah masase
pada wajah dan interaksi dengan bayi terhadap nyeri post partum. Tehnik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik.
Instrumen yang digunakan adalah format pengkajian (post partum), diagnosis
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Analisa data
menggunakan analisa deskriptif. Strategi penelusuran artikel melalui pubmed,
pubmed home, dan PMC. Kata kunci dipilih berdasarkan analisis PICO yang
meliputi : P : Pain/nyeri, obstetric, surgical/bedah, acute care, I: massage,
pain management, C: distraction/distraksi, mobilization/mobilisasi,
O :comfort. Proses penapisan artikel dilakukan melalui dua tahapan, antara
lain: penapisan artikel layak baca, dan interpretasi hasil artikel.

3.4.Hasil
1. Evidence based
Data umum pasien Ny. A., 24 tahun, Jawa/Indonesia, SMA, Ibu
RT, Islam, golongan darah O, MRS hari kedua. Riwayat keperawatan
meliputi keluhan utama pasien. Bahu kanan terasa nyeri. Riwayat Penyakit
Sekarang (RPS) kenceng-kenceng dan mulai mengeluarkan lendir dan

17
darah mulai malam Jumat, Jumat pagi memeriksakan diri ke Puskesmas
kemudian klien MRS, klien mendapat informasi pagi itu pembukaan 2 cm,
Sabtu pagi (05.30 WIB) pembukaan 4, jam 18.00 WIB, pembukaan 7,
sampai hari Minggu jam 05.00 WIB. masih pembukaan 7 cm, kemudian di
rujuk ke RSUD. Di RSUD diberikan oksitosin drip, ditunggu 2 jam, jam
07.00 WIB. VT pembukaan tetap 7, kemudian disiapkan operasi SC. Jam
09.00 WIB, dilakukan SC LSCS dengan anastesi SAB. Keluar dari kamar
operasi jam 10.00 WIB., kemudian masuk ke ruang pemulihan di ruang
kandungan pukul 11.00 WIB., terapi yang telah diberikan RL : D5 2 : 3,
Cefotaxim 3×1 gram, antrain 3×1 amp, metergin 2×1 amp (IM), Jam 18.00
mulai miring kanan miring kiri, flatus mulai jam 07.00, minum sedikit-
sedikit mulai jam 10.00 WIB, saat ini bahu kanan terasa nyeri, dengan
skala 6, rasa pegal-pegal walau tidak bergerak, perut tidak nyeri, hanya
bekas operasi terasa sedikit ”nyekit” kalau dipakai bergerak, kalau diam
tidak terasa nyeri.
Hasil pengkajian pola fungsi kesehatan menunjukkan pola nutrisi
sebelum melahirkan, pasien makan 3× sehari nasi, lauk, ikan, sayuran,
buah-buahan, minum ± 1500 cc/hari. Saat ini tidak merasa lapar, tapi
merasa haus, sudah minum pocari sweat 350 cc. Pola aktivitas saat ini
mika-miki tidak seberapa sakit. Skala ketergantungan menunjukkan mandi
5, makan 5, toileting 5, berpakaian 4, instrumental 2. Pola eleminasi
menunjukkan saat ini terpasang kateter ± 200 cc/5 jam, kuning, jernih.
Pola konsep diri klien menyatakan sudah siap menjadi ibu, dan senang
karena anaknya sudah lahir, tidak ada keinginan yang ekstrim terhadap
jenis kelamin anak yang dilahirkan, klein tidak merasa perubahan bentuk
tubuh setelah melahirkan adalah sesuatu yang perlu membuatnya menjadi
malu, klien merencanakan merawat sendiri anaknya, dan siap menyusui
bayinya. Namun klien juga menyatakan bahwa belum pernah mendapat
informasi dan tidak mempunyai pengalaman dalam memandikan bayi,
merawat tali pusat, meneteki bayi, ASI eksklusif, pernah baca majalah
tetapi tidak paham.

18
Pola reproduksi dan seksual menunjukkan hubungan seksual
sebelum hamil rutin setiap hari, selama hamil 3 kali dalam seminggu,
setelah melahirkan klien belum tahu kapan akan memulai hubungan, ”kata
orang kalau operasi baru boleh berhubungan setelah 6 bulan.” Riwayat
kontrasepsi dan menstruasi, menstruasi menikah 1 kali, bulan Juni 2007,
belum pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun, saat ini belum tahu
mau ikut KB apa ?, karena belum pernah mendapat informasi tentang KB.
Riwayat menstruasi pasien menarche umur 13 tahun, siklus menstruasi
teratur, 28 hari, lamanya 7 hari, dismenorhoe ringan, kadang-kadang fluor
albus, tapi sedikt, tidak berbau, tidak gatal. Riwayat kehamilan dan
persalinan sekarang pasien periksa ke PKM rutin tiap bulan, minum
frenamin mulai usia kehamilan 4 bulan sampai dengan 8 bulan, TT 2 kali
usia kehamilan 1 dan 2 bulan, mual-muntah pada kehamilan 6–7 bulan,
dan sering kencing pada kehamilan 8–9 bulan. Riwayat persalinan
sekarang telah dikerjakan LSCS dengan SAB, lahir bayi laki-laki AS 7–8
BB 3500 garam, PB 49 cm.
Hasil pemeriksaan fisik dimana meliputi keadaan umum baik,
kesadaran kompos mentis, kooperatif. Tensi 110/80 mmHg, nadi
84×/menit, suhu: 36,6° C, RR 20×/menit, TB 150 cm, BB 52 kg. Wajah
kurang rileks, konjungtiva merah muda, sklera putih, mulut dan bibir agak
kering, hidung bersih, telinga bersih, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
Dada: payudara simetris, lembek, puting susu menonjol, colostrum keluar,
areola hiperpigmentasi, striae gravidarum minimal. Abdomen soepel, agak
cembung, luka tertutup verban, bising usus 2×/menit, samar, turgor baik,
TFU 1 jari bawah pusat, kontraksi kuat, striae minimal. Diatasis rectus
abdominis lebar 0,5 cm, panjang 1 cm. Genetalia: terpasang kateter,
lokhea rubra, ± 150 cc/ 24 jam, perineum intak, tidak ada haemorroid.
Ektremitas: terpasang infus ditangan kanan, kekuatan otot 5, merubah
posisi secara hati-hati, bangun dari tidur tidak rilek, duduk tampak kaku,
berjalan tidak rileks. Homan sign (–), oedema, dan varises tidak

19
ditemukan. Pemeriksaan penunjang: Hb: 10,8 gr%, Leukosit: 14200, PCV:
32 gr. Terapi: Cefotaxim 3×1 gr IV, Antrain 3×1 ampul IV, RL 20 tpm.
2. Identifikasi Kebutuhan
Adapun kebutuhan pasien yang perlu mendapatkan pelayanan
keperawatan berdasarkan evidence based yang telah dikumpulkan antara
lain nyeri akut ringan yang berhubungan dengan trauma jaringan di bahu
kanan agak nyeri luka operasi nyekit kalau dipakai bergerak, risiko
kekurangan volume cairan, sindrom kurang perawatan diri, kurang
pengetahuan tentang ASI eksklusif yang berhubungan dengan tidak ada
pengalaman dan informasi, memulai penetapan adaptasi proses laktasi,
persiapan progesif dalam perencanaan KB, kemungkinan infeksi,
mengintegrasikan peran impian dengan peran aktual menjadi ibu,
kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual setelah melahirkan,
memulai meningkatnya kepercayaan diri dalam ketrampilan merawat bayi,
memulai pencapaian peran pendampingan masa nifas, memulai
pencapaian peran ayah, memulai integrasi bayi dalam keluarga,
termoregulasi efektif (bayi), asupan nutrisi adekuat (bayi), menyusui
efektif (bayi).
Prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi adalah nyeri. Beberapa
dasar pertimbangan yang dipakai untuk menetapkan nyeri menjadi
prioritas antara lain kenyamanan merupakan kebutuhan dasar yang
fisiologis, pemenuhan yang baik tidak saja dapat mengurangi,
menurunkan, atau menghilangkan nyeri, tetapi juga meningkatkan
mobilisasi lebih awal, membantu klien bekerja lebih dini, memperpendek
masa hospitalisasi, dan mengurangi biaya perawatan, nyeri yang tidak
dapat diatasi atau dikontrol pada ibu post partum dapat menyebabkan
keletihan, kecemasan dan persepsi nyeri memburuk, sehingga mobilisasi
dini terhambat, laktasi terhambat, proses bonding attacmant terhambat,
kecewa karena ketidaknyamanan, gangguan pola tidur, dan bahkan bila
nyeri berkepanjangan akan meningkatkan risiko post partum blues
(Hamilton 1998: Carpenito, 2000; Bobak 2005; Potter dan Perry, 2006;
Rocmat, 2008).

20
3. Perencanaan dan Dasar Berfikir Kritis dalam Pengambilan
Keputusan
Nyeri post partum adalah nyeri yang dirasakan seperti kram
menstruasi saat uterus berkontraksi setelah melahirkan (Bobak, 2005).
Selain itu nyeri post partum juga diartikan perasaan yang tidak
menyenangkan yang merupakan mekanisme pertahanan diri dari berbagai
penyebab dan dapat dimanifestasikan dalam respon fisik dan perilaku yang
dirasakan ibu setelah melahirkan (Rohmah dan Walid, 2008). Penyebab
nyeri post partum antara lain afterbirth, episiotomi, laserasi perineum,
pembesaran (engorgement) payudara, dan insisi bedah pada pasien post SC
(Bobak, 2005; Rohmah, dan Walid, 2008).
Intervensi nyeri post partum dapat dilakukan melalui kompres
hangat, distraksi, imajinasi terbimbing, sentuhan terapiutik atau masase,
interaksi dengan bayi (Hamilton, 1998: Carpenito, 2000; Bobak, 2005;
Potter dan Perry, 2006; Rocmat, 2008).
Hasil penulusuran pustaka melalui jurnal manual maupun
elektronik didapatkan tiga artikel antara lain The Effects of Massage
Therapy on Pain Management in the Acute Care Setting oleh Adams,
White, dan Beckett (2010), Efektifitas Distraksi visual dan Pernafasan
Irama lambat dalam Menurunkan Nyeri Akibat Injeksi oleh Rohmah
(2007), dan Nyeri oleh Rochmat (2008). Adapun penilaian layak baca
masing-masing artikel dilakukan terhadap kejelasan abstrak, introduksi,
metode, hasil, diskusi, dan referansi. Ketiga artikel menunjukkan kebaikan
dalam penulisannya. Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap ketiga
artikel, yang meliputi derajat eviden dari ketiga artikel? bagaimana
penelitian itu dilakukan? apa hasilnya? apakah hasilnya valid di dalam
maupun di luar kerangka penelitian?, dan konsistensi hasil penelitian.
Berdasarkan hasil penapisan yang dilakukan maka derajat eviden berada
pada level 2b (evidence berasal dari minimal suatu studi quasi
eksperimental), sedangkan hasil penelitian menunujukkan temuan yang
konsisten bahwa massage dan tehnik non invasive dapat digunakan untuk
memanagemen nyeri paska bedah termasuk paska bedah pada kasus

21
obstetri. Hasil penelitian ini juga memungkinkan untuk diterapkan
ditempat penelitian.
Penjelasan dari hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Adams, White, dan Beckett (2010) menyimpulkan bahwa masase dapat
menurunkan nyeri dari level rata-rata 5,18 (pada skala nyeri 0–1 VAS)
menjadi 2,33 dengan nilai p < 0,001. Dalam penelitian ini menggunakan
65 sampel dan 26 diantaranya adalah dari unit obstetri. Rochmat, 2008
menyatakan bahwa walaupun tesedia obat-obat yang efektif, namun nyeri
pasca bedah tidak dapat diatasi dengan baik, sekitar 50% pasien tetap
mengalami nyeri. Tindakan non invasive sebaiknya terlebih dahulu
dilakukan tanpa atau dengan tindakan farmakologis, karena hilangnya
nyeri post partum dapat dipercepat jika menggunakan lebih dari satu
tehnik (Hamilton, 1998; Bobak, 2005; Rochmat, 2008). Penelitian tentang
perbedaan ekspresi nyeri pada wanita dan laki-laki menunjukkan tidak ada
perbedaan, namun perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa
sakitnya dibandingkan dengan laki-laki (Rochmat, 2008).
Penelitian lain tentang distraksi terbukti menjadi strategi yang
efektif untuk menurunkan nyeri (Rochmat, 2008). Hasil ini berbeda
dengan penelitian Rohmah (2007) yang menyatakan bahwa pernafasan
irama lambat lebih efektif dibanding distraksi dalam menurunkan nyeri.
Teknik stimulasi transkutan dilaporkan sebanyak 50% dari pasien
menyatakan nyeri menurun (Rochmat, 2008). Sementara Doenges dan
Moorhouse (2001) dan Bobak (2005) menyatakan bahwa tehnik stimulasi
kutaneus yang digunakan untuk menurunkan nyeri post partum adalah
gosokan punggung. Mobilisasi dini, perubahan posisi pasien, pemasangan
wash lap dingin pada wajah, dan pemijatan punggung dengan lotion yang
menyegarkan dapat sangat membantu dalam menghilangkan
ketidaknyamanan temporer paska operasi SC dan meningkatkan efektifitas
medikasi (Rochmat, 2008; Bobak, 2005). Melihat kajian teori dan hasil
riset yang telah ditelaah maka berdasarkan evidence based yang ditemukan
dapat diterapkan dua teknik manajemen nyeri non invasif yaitu masase dan
interaksi dengan bayi. Masase akan dilakukan pada wajah dan bahu 1

22
kali/hari. Interaksi ibu dengan bayi akan dilakukan secepat mungkin
setelah ibu siap menerima kehadiran bayi dan kondisi bayi tidak ada
kontra indikasi untuk dilakukan rooming in.
4. Pelaksanaan
a. Massase
Alat yang diperlukan antara lain dalam melakukan massase adalah
leaflet, minyak secukupnya (baby oil). Persiapan pasien dan keluarga
yang pertama yaitu pasien dan keluarga diberitahu tentang tindakan
yang akan dikerjakan meliputi: tujuan, manfaat, kesediaan keluarga
(suami) untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan tindakan. Setelah pasien
dan keluarga menyetujui maka dilakukan demontrasi tahap demi tahap.
Kemudian keluarga pasien melakukan redemonstrasi. Pelaksanaan yang
dilakukan pada hari selasa tanggal 22 April 2008 pukul 09.30 WIB
langkah pertama yaitu meletakkan kedua ibu jari dengan posisi saling
berhadapan diantara kedua alis pasien, langkah kedua melakukan
masase secara perlahan kearah luar sampai di pelipis, berikan sedikit
tekanan pada pelipis, lakukan sebanyak 3–5 kali, langkah ketiga yaitu
menekan dengan ringan (dapat disesuaikan dengan keadaan pasien)
pada tulang di pangkal hidung. Tekan 3–5×, kemudian masase
sepanjang os nasal kanan dan kiri sampai os zigomaticus, lakukan
sebanyak 3–5 kali, langkah berikutnya memasase daerah mandibula
sebanyak 3–5 kali, selanjutnya memberikan tekanan agak kuat di
seputar kepala bagian atas, akhiri dengan memberikan tekanan pada
kepala bagian belakang, lakukan sebanyak 3–5 kali dan langkah masase
terakhir yaitu dilakukan pada punggung bagian atas yang diakhiri
dengan tekanan pada bahu, lakukan sebanyak 3–5 kali.
b. Interaksi dengan Bayi
Pelaksanaan interaksi ibu-bayi dilakukan pada hari Selasa 22 April
2008 jam 10.45 WIB. Pertama membuat persetujuan dan persiapan ibu
dan ayah untuk melakukan rawat gabung, dan keluarga setuju.
Kemudian kolaborasi dengan ruang perinatologi untuk rawat gabung:
bayi dapat dilakukan rawat gabung. Selanjutnya melakukan rawat
gabung, mengobservasi proses integrasi infant dalam keluarga,

23
mengajari ibu cara meneteki yang benar. Ibu mampu meneteki dengan
benar, bayi menghisap kuat, dan tertidur pulas setelah menetek.
5. Evaluasi
Evaluasi yang dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 22 April 2008,
pukul 14.00 WIB terdapat hasil yaitu data subyektif pasien mengatakan ”Nyeri
skala 2”. Sedangkan data obyektif menunjukkan wajah cukup rileks, gerakan
masih hati-hati, TFU 2 jari bawah pusat, UC kuat, TD 110/80 mmHg nadi 80x/
menit, RR 22×/menit, suhu 36,3° C, BU (+) 12×/menit, tersenyum saat menerima
kehadiran anaknya, menerima kehadiran bayi dengan senang saat dilakukan
rawat gabung, kontak mata dengan bayi, menyentuh wajah bayi, tersenyum saat
bayinya menetek, payudara lembek setelah disusukan, ASI kolostrum keluar, bayi
dapat menghisap dengan efektif. Analisis nyeri akut teratasi. Planning RT
dihentikan.

3.5.Pembahasan
Evidence based pada kasus yang sesuai dengan teori antara lain: posisi
tubuh yang dipertahankan, gerakan hati-hati, dan ekpresi wajah tegang.
Sedangkan tekanan darah, nadi, pernapasan tidak mengalami perubahan,
diaforesis tidak terjadi. Lokasi dan luas penyebaran nyeri pada umumnya
terjadi pada saat kontraksi uterus dan dirasakan di punggung, tetapi pada
evidence based dirasakan pada bahu, hal ini diduga karena faktor immobilitas
paska bedah. Immobilitas paska bedah dapat berlangsung singkat, tetapi pada
Evidence based didapatkan riwayat persalinan yang lebih dari 24 jam. Posisi
tubuh pada saat periode pra bedah yang sedang mengalami nyeri dalam skala
berat (his pembukaan) pada umumnya juga berada pada posisi yang
dipertahankan (kaku), hal ini dapat berdampak pada mobilisasi pra dan paska
bedah (Bobak, 2005; Rochmat, 2008). Ibu post partum dengan riwayat
persalinan lama menyebabkan nyeri yang berkepanjangan. Sensasi nyeri
menjadi penyebab seseorang mengurangi atau bahkan menghentikan
aktifitasnya. Faktor lain yang juga meningkatkan hambatan dalam melakukan
mobilisasi adalah persalinan dengan tindakan sectio caesarea. Dampak lain
post sectio caesarea dalam keadaan nyeri, kemudian mengurangi mobilisasi,

24
akan menyebabkan menurunnya sirkulasi darah, dan hal ini akan menjadi
pemicu bagi meningkatnya sensasi nyeri. Semakin tinggi nyeri yang
dirasakan pasien cenderung semakin menurunkan aktifitasnya, sehingga
sirkulasi darah akan lebih menurun lagi. Kondisi ini merupakan lingkaran
siklikal yang satu menjadi penyebab bagi yang lain.
Kebutuhan perubahan yang prioritas pada evidence based adalah nyeri.
Nyeri yang tidak dapat diatasi atau dikontrol pada ibu post partum dapat
menyebabkan keletihan, kecemasan dan persepsi nyeri memburuk, sehingga
mobilisasi dini terhambat, laktasi terhambat, proses bonding attachment
terhambat, kecewa karena ketidaknyamanan, gangguan pola tidur, dan bahkan
bila nyeri berkepanjangan akan meningkatkan risiko post partum blues
(Bobak, 2005). Kebutuhan yang lain meliputi kebutuhan cairan dan nutrisi,
perawatan diri, persiapan menjalankan peran ibu-ayah, dan kebutuhan belajar
tentang ASI, laktasi, program keluarga berencana, seksual paska melahirkan,
perawatan diri dan bayi. Kebutuhan perubahan ini sesuai dengan konsep
perawatan ibu post partum yang menekanakan pada pemulihan fisik
psikologis, meningkatkan kemampuan ibu merawat diri, dan meningkatkan
kemampuan ibu merawat bayi. Selain itu perawat diharapkan dapat
menyiapkan alih tanggung jawab dari perawat pada keluarga, sehingga peran
perawat disini bukan hanya pemberi pelayanan tetapi lebih kepada pengajar,
pemberi semangat dan dukungan.
Intervensi nyeri non invasive yang ditetapkan adalah masase pada wajah
dan bahu serta interaksi dengan bayi. Masase bertujuan untuk menstimulasi
produksi endhorpin dan dinorpin yang berfungsi untuk memblokade tranmisi
nyeri melalui system control desenden. Sedangkan interaksi dengan bayi
merupakan media distraksi yang bermaksud untuk mendominasi impuls yang
masuk dalam system control asenden sehingga dapat menutup pintu gerbang
penghantar nyeri. Dua intervensi ini diharapkan dapat secara sinergis
menurunkan nyeri, karena hilangnya nyeri post partum dapat dipercepat jika
menggunakan lebih dari satu tehnik (Hamilton 1998: Carpenito, 2000; Bobak
2005; Potter dan Perry, 2006; Rochmat, 2008; Adams, White, dan Beckett,

25
2010). Prinsip pelaksanaan manajemen nyeri pada evidence based sesuai
dengan konsep teori yaitu prinsip stimulasi kutaneus dan distraksi (Carpenito,
2000; Potter dan Perry, 2006; Adams, White, dan Beckett, 2010). Namun
pada evidence based terdapat perbedaan pada area masase dan media
distraksi. Area masase dipilih pada wajah dan bahu dengan pertimbangan
adanya pemetaan nyeri yaitu area 1, 2, 3, 4, dan 5. Area 1 dan 2 adalah area
wajah yang merupakan area yang selalu mengalami ketegangan pada saat
nyeri berlangsung, dengan melakukan masase pada daerah ini diharapkan
dapat menjadi rileks sehingga dapat memutuskan mata rantai siklus takut-
tegang-nyeri. Sedangkan area 3,4,5 adalah area yang dikeluhkan sebagai area
nyeri. (Hamilton, 1998; Bobak, 2005; Strong, et all, 2002). Media distraksi
yang digunakan adalah interaksi dengan bayi, media ini mempunyai banyak
manfaat, selain untuk mengalihkan pusat perhatian dari nyeri media ini juga
dapat dipakai untuk meningkatkan pembentukan bonding attachment.
Nyeri dan ketidaknyamanan pada umumnya akan selalu ada, tetapi
kehadiran orang-orang yang dicintai, orang terdekat, orang kepercayaan akan
membantu meminimalkan kesepian dan ketakutan, sehingga dapat
mempengaruhi persepsi nyeri (Carpenito, 2000). Seseorang yang
memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan nyeri. Upaya
pengalihan (distraksi) dapat menurunkan respon nyeri.

26
Interaksi dengan bayi merupakan media bonding. Bonding didefinisikan
sebagai suatu ketertarikan mutual pertama antar individu, misalnya antara
orangtua dan anak, saat pertama kali mereka bertemu. Attachment terjadi
pada periode kritis seperti pada kelahiran (Bobak, 2005). Hal ini menjelaskan
suatu perasaan saling menyayangi atau loyalitas yang mengikat individu
dengan individu lain yang bersifat unik, spesifik, dan bertahan lama. Proses
kasih sayang dijelaskan
sebagai sebagai sesuatu
yang linear, dimulai saat ibu
hamil, semakin
menguat pada periode
pasca partum, dan begitu
terbentuk akan menjadi
konstan dan konsisten. Ikatan
ini sangat penting bagi
kesehatan fisik dan mental
sepanjang rentang
kehidupan.

27
Gambar 1. Pemetaan area nyeri (Strong, et al., 2002)

28
Nyeri

Masase Interaksi dengan Bayi

Stimulasi produksi opiate endogen dalam system control desenden Fokus perhatian pindah ke bayi

Impuls yang masuk di dominasi oleh serabut A betha

Melepaskan serotonin, endorphin, dinorphin di dorsal medulla spinalis

Menutup mekanisme pertahanan


Menurunkan respon otak pada medulla spinalis

Impuls nyeri di hambat

Gambar 2. Patahofisiological pathway intervensi


Blok transmisi nyeri non invasive (Carpenito, 2000; Hamilton, 2001; dan Bobak 2005; Po
nyeri
Nyeri Menurun

29
BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang seacara garis besar menenentukan
tercapainya pelaksanaan praktek keperawatan yang lebih baik yaitu,
penelitian yang dilakukan berdasarkan fenomena yang terjadi di kaitkan
dengan teori yang telah ada, pengalaman klinis terhadap sustu kasus, dan
pengalaman pribadi yang bersumber dari pasien. Dengan memperhatikan
factor-faktor tersebut, maka di harapkan pelaksanaan pemeberian pelayanan
kesehatan khususnya pemberian asuhan keperawatan dapat di tingkatkan
terutama dalam hal peningkatan pelayanan kesehatan atau keperawatan,
pengurangan biaya (cost effective) dan peningkatan kepuasan pasien atas
pelayanan yang diberikan. Namun dalam pelaksanaan penerapan Evidence
Based Practice ini sendiri tidaklah mudah, hambatan utama dalam
pelaksanaannya yaitu kurangnya pemahaman dan kurangnya referensi yang
dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan penerapan EBP itu sendiri.
Evidence based pada kasus yang sesuai dengan teori antara lain posisi tubuh yang
dipertahankan, gerakan hati-hati, dan ekpresi wajah tegang. Sedangkan tekanan
darah, nadi, pernafasan tidak mengalami perubahan, diaforesis tidak terjadi. Lokasi
dan luas penyebaran nyeri pada umumnya terjadi pada saat kontraksi uterus dan
dirasakan di punggung, tetapi pada evidence based dirasakan pada bahu, kebutuhan
perubahan yang prioritas pada evidence based adalah nyeri, intervensi nyeri non
invasive yang ditetapkan berdasarkan evidence based adalah masase pada wajah dan
bahu dengan pertimbangan pemetaan area nyeri serta interaksi dengan bayi, prinsip
pelaksanaan manajemen nyeri pada evidence based sesuai dengan konsep teori yaitu
prinsip stimulasi kutaneus dan distraksi. Namun pada evidence based terdapat
perbedaan pada area masase dan media distraksi. Area masase dipilih pada wajah
dan media distraksi yang digunakan adalah interaksi dengan bayi, Evaluasi pada

30
evidence based didapatkan bahwa nyeri dapat berkurang menjadi skala 2, wajah dan
mobilisasi menjadi lebih rileks.
4.2. Saran
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan
yang baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya
mengacu pada SPO yang dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian terkini.
Evidence Based Practice dapat menjadi panduan dalam menentukan atau
membuat SPO yang memiliki landasan berdasarkan teori, penelitian, serta
pengalaman klinis baik oleh petugas kesehatan maupun pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA

Lavin MA, Krieger MM, Meyer GA, et al. 2005. Development and evaluation of
evidence-based nursing (EBN) filters and related databases. J Med Libr
Assoc 93 : January.
Adams, White, dan Beckett, 2010. The Effects of Massage Therapy on Pain
Management in the Acute Care Setting. International Journal of Therapeutic
Massage And Bodywork., 3(1): 4–11.
Bobak, Lowdwermilk, and Jensen, 2005. Maternity Nursing. (Fourth Edition),
diterjemahkan oleh: Wijayarini. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. (Edisi4),
Jakarta: EGC.
Bekti, Y., 2007. Evidence Based Practice. Makalah Disajikan dalam Pelatihan
Nasional Fasilitator Klinik, FIKES UNMUH Jember.
Carpenito, L.J., 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.,
Jakarta. EGC.
Mansjoer, et al., 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3, Jakarta: Media
Ausculapius.
Manuaba, 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetriand Ginekologi. Jakarta: EGC.
Potter dan Perry, 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktik. Ed. 4, Vol 2, Jakarta: EGC
Sucipto, J.A., 2007. Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Nyeri Paska Bedah.
Skripsi tidak dipublikasikan. Jember: Program studi S1 Keperawatan FIKES
Unmuh Jember.
Stolte, K.M., 2004. Diagnosa Keperawatan Sejahtera (Wellness Nursing
Diagnosis). Alih Bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Strong, et al., 2002. Pain a textbook of therapists. Philadelphia: Churchill
Livingstone.
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Bruner & Suddarth. Ed. 8, Vol. 3, Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E., dan Moorhause, M.F., 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi
Pedoman untuk Perencanaan dan Dokumentasi Keperawatan Klien. Ed. 2,
Jakarta: EGC.

32

You might also like