Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Nurul Hidayatul Fuadah
A. Pendahuluan
Filsafat pendidikan adalah upaya berpikir filosofis
tentang realitas kependidikan dalam segala lini, sehingga
melahirkan teori-teori pendidikan yang berguna bagi
kemajuan aktivitas pendidikan itu sendiri.1Nilai-nilai dari
filsafat tersebut disebut juga dengan aksiologi. Nilai-nilai
filsafat ada tiga yaitu, Nilai kebaikan, nilai kebenaran dan
nilai keindahan.2Pendekatan etika ada tiga macam yaitu etika
deskriptif, etika normatif dan metaetika.3
B. FilsafatPendidikan
Filsafat pendidikan merupakan gabungan dari dua
kata yaitu kata filsafat dan pendidikan. Sebelum kita mengetahui
pengertian dari filsafat pendidikan kita harus mengetahui
dahulu apa yang dimaksud dengan filsafat dan pendidikan itu
sendiri.Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu
philosophia,yang berarti “cinta dan kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis”.4
Harold H. Titus , dalam karya filosofinya, Persoalan -
Persoalan Filsafat, menurunkan setidaknya lima macam
pengertian filsafat :
1
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319
2
Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 15
3
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 172
4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2002),
242. Dari pengertian filsafat tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak pernah
secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang
dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus-menerus harus mengejarnya. Berkaitan
dengan apa yang dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio
manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat
menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia
Karya,2008), 7-8.
6 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
C. Filsafat Nilai
12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), 165
13 Juhaya,S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika , (Bandung: Yayasan
Piara,1997), 41
14
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), 166
15
Surajiyo, Ilmu Filsafat , (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2012 ) hal. 88
16
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319
17Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 15
18 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 15
lain di luar ilmu pengetahuan, dengan kata lain ilmu pengetahuan kalah terhadap
pertimbangan lain, dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni
sama sekali. Inu Kencana Sonny & Mikhael Dua Keraf, Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), 150
1. Pengertian Etika
Dalam konteks filsafat, istilah etika berasal dari
bahasa Yunani yaitu ethikos, yang berarti adat, kebiasaan atau
praktik.24 Kalau kita membatasi pada asal – usul istilah
tersebut, maka etika berarti ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti
etimologis saja belum cukup untuk mengerti apa yang
dimaksud dengan istilah etika.25
Etika memiliki arti yang sama dengan kata
“kesusilaan” , kata dasarnya adalah susila, kemudian diberi
awalan “ke-“ dan akhiran “-an”. Susila berasal dari bahasa
Sansekerta, “su” berarti baik dan “sila” berarti norma
kehidupan. Jadi etika berarti kelakuan yang menuruti norma-
norma kehidupan yang baik.26
Asal kata “etika” itu sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak atau adat. Kata
ini identik dengan kata asal “moral” dari bahasa Latin Mos
(bentuk jamaknya adalah Mores) yang berarti juga adat atau
cara hidup. Jadi kedua kata tersebut (etika dan moral)
menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena
persetujuan atau praktek sekelompok manusia.27
Media,2016), 211
25 Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogykarta: Ar-Ruzz
Media,2016), 211
26 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 17
27 Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 17
Media,2016), 211
Media,2016), 214
31 Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua: perkenalan
Media, 2016),222
33 Berpijak dari pengertian-pengertian diatas, Sidi Gzalba
menyimpulkan bahwa etika merupkan teori tentang perbuatan manusia,
dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Dengan kata lain,etika merupakan ilmu/refleksi sistematik mengenai pendapat-
pendapat, norma-norma,dan istilah-istilah moral. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 49-50
34
Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2016), 225
c) Metaetika
Cara lain lagi untuk mempraktikkan etika sebagai
ilmu adalah metaetika. Awalan meta- (dari bahasa Yunani)
mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini
diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini
bukannlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-
ucapan kita dibidang moralitas. Metaetika seolah-olah lebih
tinggidari pada prilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis”
atau bahasa yang kita gunakan di bidang moral. Dapat
dikatakan juga bahwa metaetika mempelajari etika khusus
dari ucapan-ucapan etis.42
Dipandang dari segi tata bahasa, rupanya kalimat-
kalimat etis tidakberbeda dari kaliamat-kalimat jenis lain
(khususnya, kalimat-kalimat yang mengungkapkan fakta-
fakta). Tapi studi lebih mendalam dapat menunjukkan bahwa
kalimat-kalimat etika dan pada umumnya bahasa etika
mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh
kaliamat-kalimat lain. Meta etika mengarahkan perhatiannya
kepada arti khusus dari bahasa etika itu. Filsuf Inggris
George Moore (1873-1958), misalnya, menulis sebuh buku
terkenal yang sebagian terbesar terdiri dari analisis terhadap
kata yang sangat penting dalam konteks etika, yaitu kata
“baik”.43
Ia tidak bertanya apakah tingkah laku tertentu
boleh disebut baik. Lebih konkret iatidak bertanya apakah
41 Lailyglow.blogspot.co.id/2016/06/filsafat-nilai.html?m=1
42 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 179
43 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 179
E. Filsafat Kebaikan
Selama ini para moralis menganggap bahwa yang
namanya kebaikan adalah mengasihi orang lain, merindukan
orang lain, mencintai orang lain, menyayangi orang lain,
menolong orang lain dan berbagai kata kebajikan dan kasih
sayang lainnya, Tetapi alangkah brutalnya perasaan kita
apabila yang kita rindukan, sayangi, cintai dan tolng itu
49
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 19
50
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 29
51
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 29
52
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 30
53
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 31-32
G. Masalah Etika
Kita ambil sebuah contoh. Diandaikan anda seorang
dokter yang menghadapi pasien yang sedang menghadapi
maut karena berpenyakit kanker dan sedang menderita rasa
sakit yang hebat. Sebagai seorang dokter, anda dapat
membunuh pasien anda dan secara demikian melepaskannya
dari ketersiksaan yang mengerikan, yang bagaimanapun pasti
akan berakhir dengan kematiannya. Anda bertanya di dalam
hati, “Apakah dapat dibenarkan bila saya sebagai dokter
membunuh pasien saya?”Peristiwa ini dapat dijadikan sebgai
suatu masalah yang pelik. Misalnya kita dapat mengandaikan
bahwa orangnya sendiri minta-minta untuk dibunuh, dan
segenap kerabatnya dapat menerma pembunuhan tersebut.
Dalam hal ini masalah-masalah apakah yang timbul?
Anda mungkin mengatakan, “masalah nyawa termasuk
urusan Tuhan dan karenanya seorang dokter tidak berhak
mencabut nyawa seseorang.” Orang lain mungkin bertanya,
“Memang benar, tetapi cobalah berpikir betapa kurangnya
penderitaan si sakit dan bertambah nya kebahagiaan sanak
keluarga yang dicekam oleh kecemasan seraya berputus asa
serta tiada berdaya lagi. Dalam hal ini perbuatan
(membunuh) tersebut bersifat susila.” Di samping itu orang
ketiga mungkin berkata ,”Sesungguhnya mencabut nyawa
merupakan perbuatan yang tidak susila, apapun akibat yang
ditimbulkannya. Seseorang dokter tidak berhak melakukan
pembunuhan terlepas dari masalah rasa sakit dan penderitaan
yang dialami seseorang.”55
54
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 353
55
Wacana tentang etika hedonisme saya ambil dari A. Mangunhadjana,
Isme-isme Dalam Etika dari A-Z, (Yogyakarta: Kanisius,1997), 90-92
1. Hedeonisme
Manusia diberikan berbagai macam kemampuan.
Ada kemampuan indriawi, intelektual, dan spiritual.
Perwujudan dan pemenuhan daya-daya kemampuan itu
membawa rasa nikmat tersendiri. Kita mengenal beberapa
tingkat dan macam kenikmatan. Ada kenikmatan
indriawi karena dorongan pancaindra, satu, beberapa,
atau semua terpenuhi.56 Singkatnya,dalam hidup kiita
dapat mendapatkan berbagai pengalaman nikmat karena
daya-daya kemampuan kita terwujuddan terpenuhi.
Pengalaman nikmat dan kenikmatan yang tak dapat
disangkal adanya. Dalam bahasa Yunani, kata untuk
kenikmatan adalah hadone.57
Kenikmatan merupakan kenyataan hidup. Dengan
frekuensi, kadar, dan bentuk yang berbeda orang suka
merasakan kenikmatan.58 Hal yang mendatangkan
kenikmatan pada setiap orang itu berbeda-beda.59 Dengan
56
Kenikmatan intelektual merupakan buah pemenuhan kemampuan
budi entah karena keingintahuan kesampaian atau pemahaman baru, lebih
mendalam, lebih berarti, diperoleh. Kenikmatan estetis terjadi manakala hasrat
akan keindahan mabusia mendapatkan saluran lewat imajinasi atau karya seni.
Kenikmatan religius mendatangi manusia jika berhasil memahami dan menghayati
nilai-nilai religius. A. Mangunhardjana, Isme-isme Dalam Etika dari A-Z, (Yogyakarta:
Kanisius,1997), 90-92
57 Dari kata itu terbentuklah istilah hedonisme. Sebagai ajaran etis,
kenikmatan mereka ada pada bidang etis, moral, dan religius. Zaprulkhan, Filsafat
Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 182.
60 Pengorbanan itu semakin dituntut pada waktu orang ingin
merasakan kenikmatan religius karena untuk itu orang harus siap membersihkan
diri dan kejahatan dan dosa-dosanya dan membebaskan diri dari kecendrungan
jahat dan dosanya. Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2013), 182
61 Konsumerisme merupakan sikap hidup yang lebih mau menikmati
2. Epikurianisme
63
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 184
64
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185
65
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 184
66
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 184
67
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185
68
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185
Kanisius,1998), 60-61
3. Utilitarianisme
Istilah utilitarianisme diturunkan dari kata
Latin utilis, yang berarti ‘berguna, berfaedah,
menguntungkan’.78 Utilitarianisme merupakan suatu
paham etis yang berpendapat bahwa yang baikadalah
yang berguna, berfaedah, menguntungkan. Sebaliknya,
yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak
berfaedah, merugikan. Karena itu, baik-buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna,
berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari
prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.79
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan
perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh
perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri
maupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah
memperbesar kegunaan, manfaat, keuntungan yang
dihasilkan perbuatan yang akan dilakukan, baik
untuk diri sendiri maupun orang lain. Perbuatan harus
diusahakan agar mendatangkan kebahagian daripadan
penderitaan, bagi sebagian besar orang. Hanya dengan
demikian, perbuatan manusia berarti secara etis dan
77
Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika, (Yogyakarta: Kanisius,1997),
84-85
78
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 189-
190
79
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190
80
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190
81
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190
82
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190-
191
83
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 191
84
Sebagai perbandingan tentang etika utilitarianisme, lihat pula dalam
Theodore C. Denise(Eds.), Great Tradition in Ethics, (New York: Wadsworth
Publishing Company,1999), 217-229
85 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 192-
193
86 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 193-
194
4. Edemonisme/ Aristotelianisme
Etika edemonisme secara sederhana berawal dengan
mengajukan sebuah pertanyaan fundamental : apa yang
menjadi tujuan manusia demi dirinya sendiri? Apa yang dicari
oleh setiap manusia hanya untuk sesuatu itu sendiri, bukan
untuk lainnya? Pertanyaan inilah yang dijawab Aristoteles
dengan eudaimonia, yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan itulah
yang baik pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan
demi suatu nilai tinggi lainnya, melainkan demi dirinya
sendiri.89
Namun, untuk mencapai kebahagiaan tersebut,
87 Di sini saya hanya menghadirkan tiga poin catatan kritis dari Franz
Magnis dari sejumlah besar catatan kritis yang dilakukannya. Untuk lebih
detailnya, lihat dalam Franz Magnis, Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta:
Kanisius,1998), 184- 193
88 Franz Magnis, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius,1998),
190-192
89 Franz Magnis, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius,1998),
30
I. Nilai kebenaran
Akal dipergunakan dengan mengoperasionalkan otak,
beruasha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu
pengetahuan kita masing-masing. Hal ini akan menimbulkan
logika yang menjadikan kita seorang intelektual karena dapat
membedakan antara yang benar dengan yang salah secara
cepat.
Logika berasal dari perkataan Yunani, yaitu “logikos”
yang berarti pengetahuan. Ilmu ataupun masuk akal yaitu
sesuatu yang berhubungan dengan cara berpikir, dengan
demikian logika merupakan suatu teknik yang
mementingkan segi formal ilmu pengetahuan, karena dalam
logia kita harus menghormati berbagai cara, aturan, teori, dan
metode agar suau pernyataan menjadi sah. 95
Banyak pakar ilmu filsafat yang menganggap benar
bahwa pengetahuan itu terdiri atas sebagai berikut:
1) Pengetahuan akal
2) Pengetahuan budi
3) Pengetahuan indriawi
4) Pengetahuan kepercayaan
5) Pengetahuan Intuitif96
Pengetahuan akal itu disebut ilmu yang kemudian
untuk membahasnyadisebut logika, pengatahuan budi itu
disebut moral yang kemudian untuk membahasanya disebut
etika, pengetahuan indriawi itu disebut seni yang untuk
membahasnya disebut estetika.
2010), 29
96 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 31
K. Penutup
Demikianlah makalah yang kami buat dengan sebaik-
baiknya, kami menyadari bahwa makalah kami ini masih
sangat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun
materi, maka dari itu kami sangat berharap saran dan kritik
dari pembaca guna untuk memperbaiki kualitas makalah
kami. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya.
101 John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry, Richard and Winston, (New