You are on page 1of 36

Filsafat Pendidikan dan Nilai – Nilai dalam Filsafat

Oleh:
Nurul Hidayatul Fuadah

A. Pendahuluan
Filsafat pendidikan adalah upaya berpikir filosofis
tentang realitas kependidikan dalam segala lini, sehingga
melahirkan teori-teori pendidikan yang berguna bagi
kemajuan aktivitas pendidikan itu sendiri.1Nilai-nilai dari
filsafat tersebut disebut juga dengan aksiologi. Nilai-nilai
filsafat ada tiga yaitu, Nilai kebaikan, nilai kebenaran dan
nilai keindahan.2Pendekatan etika ada tiga macam yaitu etika
deskriptif, etika normatif dan metaetika.3

B. FilsafatPendidikan
Filsafat pendidikan merupakan gabungan dari dua
kata yaitu kata filsafat dan pendidikan. Sebelum kita mengetahui
pengertian dari filsafat pendidikan kita harus mengetahui
dahulu apa yang dimaksud dengan filsafat dan pendidikan itu
sendiri.Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu
philosophia,yang berarti “cinta dan kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis”.4
Harold H. Titus , dalam karya filosofinya, Persoalan -
Persoalan Filsafat, menurunkan setidaknya lima macam
pengertian filsafat :

1
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319
2
Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 15
3
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 172
4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2002),

242. Dari pengertian filsafat tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak pernah
secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang
dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus-menerus harus mengejarnya. Berkaitan
dengan apa yang dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio
manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat
menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 1


1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
4. Filsafat adalah sebagian analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang
kata dan konsep
5. Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh para ahli
filsafat.5
Sedangkan istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris;
education, berakar dari bahasa latin, educare yang dapat
diartikan “pembimbingan berkelanjutan (to lead of forth)”. Jika
diperluas, arti etimologi dari pendidikan itu mencerminkan
keberadaan pendidkan yang berlangsung dari generasi ke
generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.6
Makna ini senapas dengan pengertian pendidikan
yang diungkapkan oleh Napoleon Hill dalam bahasa latin
yang berbeda yaitu educo. Istilah educo ini berarti to develop
from within; to draw out, to go through the law of use.7
Sementara itu, istilah pendidikan dalam terminologi
agama kita disebut dengan tarbiyah, yang mengandung arti
dasar sebagai pertumbuhan, peningkatan atau membuat
sesuatu menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, pendidikan
(tarbiyah) merupakan sebuah proses meningkatkan potensi-
potensi positif yang bersemayam dalam jiwa setiap anak
hingga mencapai kualitas yang setinggi-tingginya, dan proses
pendidikan itu tidak pernah berakhir selama hayat masih di

5 A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Rosda

Karya,2008), 7-8.
6 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media,2009), 77. Dalam uraian mengenai pengertian dan makna filsafat


pendidikan ini, saya lebih banyak menyarikan dari karya cemerlang Suparlan
tersebut. Sebab sejauh pembacaan saya, eksposisi Suparlan mengenai definisi dan
makna filsafat pendidikan sangat menarik. Ia mampu melukiskan dengan bahasa
yang ringan,namun langsung menyentuh prinsip-prinsip fundamental dalam ranah
pendidikan secara Filosofis.
7 Napoleon Hill, Membangun Otak Sukses, Terj. Teguh Wahyu Utomo,

(Yogyakarta: Baca,2007), 109. Yang secara bebas berarti meningkatkan kualitas


diri kita dari dalam, lalu mengembangkannhya, serta mampu menerapkan segala
ilmu yang telah diraih secara bermanfaat.

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 2


kandung badan.8
Beberapa ahli telah mengemukakan pendapat tentang
pengertian dari filsafat pendidikan. Diantaranya yaitu :
a) Pengertian filsafat pendidikan menurut al – Syaibany
Menurutnya filsafat pendidikan adalah pelaksanaan
pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang
pengalaman kemanusian yang disebut dengan pendidikan.9
b) Pengertian filsafat pendidikan menurut M. Arifin M.Ed
Ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
filsafat pendidikan ialah upaya memikirkan permasalahan
pendidikan.10
c) Pengertian filsafat pendidikan menurut Ali Khalil Abu al-
Ainain
Filsafat pendidikan adalah upaya berpikir filosofis
tentang realitas kependidikan dalam segala lini, sehingga
melahirkan teori-teori pendidikan yang berguna bagi
kemajuan aktivitas pendidikan itu sendiri.11
Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa filsafat pendidikan menitikberatkan dalam upaya
menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam
pencarian solusi berbagai ragam permasalahan kependidikan
yang akan melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan
yang tentunya merupakan langkah penting dalam
menemukan teori-teori pendidikan. Hal ini sangatlah penting
untuk menentukan arah gerak semua aktivitas pendidikan.

C. Filsafat Nilai

8 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (jakarta: Paramadina, 2001), 83-


84
9 Omar Muhammad al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan, (Jakarta:
Bulan Bintang,1979), 30. Dari pendapat nya tersebut filsafat pendidikan sama saja
artinya dengan aktivitas pikiran yang teratur,yang menjadikan filsafat sebagai
jalan untuk mengatur,menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
10 Al-Syaibani, Antara Filsafat dan Pendidikan(alihbahasa) Hasan

Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang,1979), 36


11 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono Soemargono,

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 3


Istilah aksiologis berasal dari kata axios (Yunani),
yang berarti nilai dan logosyang berarti ilmu atau teori. Jadi
aksiologis adalah “teori tentang nilai”.12 Nilai yang di maksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang di nilai. Teori
tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. 13
Nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi
seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya
orang mengatakan bahwa nilai sesuatu melekat pada benda
dan bukan di luar benda. Tetapi ada juga yang berpendapat
bahwa nilai itu ada di luar benda.14
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat
tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat.
Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan
dalam segala hal, keasadarn manusia menjadi tolak ukur
sgalanya, atau eksistensinya, maknanya an validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaiam
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun
fisis.15
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena
adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara
realitas benar-benar ada.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah – masalah

12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), 165
13 Juhaya,S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika , (Bandung: Yayasan

Piara,1997), 41
14
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), 166
15
Surajiyo, Ilmu Filsafat , (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2012 ) hal. 88

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 4


nilai yang khusus seperti, ekonomi, estetika, etika, filsafat
agama dan epistemologi. Epistemologi bersangkutan dengan
masalah kebenaran. Etika bersangkutan dengan masalah
kebaikan ( dalam arti kesusilaan),masalah kebenaran dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.16
Teori nilai berfungsi mirip dengan agama yang menjadi
pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai, terkandung
tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan
memberi makna terhadap keidupan ini.
Nilai merupakan suatu yang keberadaannya nyata,
tetapi ia bersembunyi di balik kenyataan yang tampak, tidak
tergantung pada kenyataan-kenyataan lain, dan tidak pernah
mengalami perubahan (meskipun pembawa nilai bisa
berubah).17

D. Nilai kebaikan (Etika)


Apabila kita menempatkan kasih di atas segala-
galanya, yang menjadi persoalan adalah apakah kita dapat
mengasihi pemerkosa, perampok dan pembunuh sadis? Dalam
pandangan agama Islam memang harus mengasihi sesama
umat manusia,orang tua jompo, orang dalam perjalanan dan
orang yang sedang menuntut ilmu, bahkan harus
memperlakukan tumbuh – tumbuhan dan hewan
sebagaimana yang ditunjukkan Allah dan Rasul, jadi kasih itu
ditujukan kepada kebaikan itu sendiri bukan melindungi
kejahatan dan dekadensi moral.18
Banyak sekali ditemui ilmuwan yang mengatakan
bahwa disiplin ilmu adalah bebas nilai, bahkan ditemui para
ilmuwan meneliti dan menulis tentang rekayasa politik dalam
pemerintahan dengan menghalalkan segala cara, dan yang

16
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319
17Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 15
18 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,

2010), 15

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 5


bersangkutan menyetujuinya, secara logika hal ini memang
benar tetapi secara moral ini tidak baik.19
Selain dari pada itu ditemui para moralis yang
mencegah terjadinya perang,meniadakan hukuman mati,
meperjuangkan hak azasi manusia termasuk bagi pelaku
dekadensi moral sekalipun, dengan begitu secara moral hal ini
memang baik tetapi secara logika tidak benar.20
Fakta empiriss nanti yang akan diangkat adalah
ilmuwan yang lemah dalam hal moral, tetapi sebaliknya ada
pula para moralis yang relatif lemah dalam keilmuan, atau
kasarnya orang pintar yang tidak berbudi, dan orang berbudi
yang bodoh.
Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang
ditujukan pada ilmu pengetahuan agar keberadaannya
dikembangkan dengan memperhatikan nilai – nilai lain di
luar ilmu pengetahuan, tuntutan dasar agar ilmu pengetahuan
dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan itu sendiri.21
Maksud dasar dari tuntutan ini adalah agar ilmu
pengetahuan tidak tunduk pada pertimbangan lain di luar
ilmu pengetahuan, sehingga malah mengalami distorsi,
asumsinya yaitu selama ilmu pengetahuan dalam seluruh
prosesnya tunduk pada pertimbangan lain d luar ilmu
pengetahuan baik itu pertimbangan politik, agama, maupun
moral, maka ilmu pengetahuan itu tidak lagi dapat
berkembang secara otonom.22

19 Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 15


20
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 15
21 Ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada

pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, inilah yang menjadi patokan


sekularisme yang bebas nilai. Jadi ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya
semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Inu Kencana Syafiie,
Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 16
22 Apabila demikian berarti ilmu pengetahuan tunduk kepada otoritas

lain di luar ilmu pengetahuan, dengan kata lain ilmu pengetahuan kalah terhadap
pertimbangan lain, dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni
sama sekali. Inu Kencana Sonny & Mikhael Dua Keraf, Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), 150

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 6


Etika merupakan cabang aksiologi yang membahas
nilai baik dan buruk. Etika bisa didefinisikan sebagai nilai-
nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang
atau sekelompok manusia (masyarakat) yang mengatur
tingkah lakunya.23

1. Pengertian Etika
Dalam konteks filsafat, istilah etika berasal dari
bahasa Yunani yaitu ethikos, yang berarti adat, kebiasaan atau
praktik.24 Kalau kita membatasi pada asal – usul istilah
tersebut, maka etika berarti ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti
etimologis saja belum cukup untuk mengerti apa yang
dimaksud dengan istilah etika.25
Etika memiliki arti yang sama dengan kata
“kesusilaan” , kata dasarnya adalah susila, kemudian diberi
awalan “ke-“ dan akhiran “-an”. Susila berasal dari bahasa
Sansekerta, “su” berarti baik dan “sila” berarti norma
kehidupan. Jadi etika berarti kelakuan yang menuruti norma-
norma kehidupan yang baik.26
Asal kata “etika” itu sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak atau adat. Kata
ini identik dengan kata asal “moral” dari bahasa Latin Mos
(bentuk jamaknya adalah Mores) yang berarti juga adat atau
cara hidup. Jadi kedua kata tersebut (etika dan moral)
menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena
persetujuan atau praktek sekelompok manusia.27

23 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,


2010), 16
24 Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogykarta: Ar-Ruzz

Media,2016), 211
25 Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogykarta: Ar-Ruzz

Media,2016), 211
26 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,

2010), 17
27 Djadja Saefullah, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 17

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 7


Dengan demikian etika dapat diartikan sebagai suatu
sikap kesedihan jiwa seseorang untuk senantiasa taat dan
patuh pada peraturan-peraturan kesusilaan. Kebanyakan
orang merasa bahwa norna-norma dan hukum-hukum
mempunyai peranan yan besar dalam bisang etika.28
Item di bawah ini adalah kumpulan kebaikan budi
yang tidak berlogika akal, yang dalam agama Islam
digolongkan fasiq, yang sudah barang tentu dilarang karena
tidak diseimbangkan dengan kebenaran, yaitu sebagai
berikut:
 Mengasihi murid yang mabuk-mabukan
 Mencintai isteri yang menyeleweng/selingkuh/berzina
 Sitem individu yang bebas
 Sistem sufi yang memaafkan dekadensi moral
 Memisahkan diri dari kelompok/jama’ah
 Bermusyawarah dengan penjahat
 Memohon hak azasi manusia setelah memperkosa
 Memohon pembangunan politik secara anarkis
 Kedaerahan yang sukuisme
 Desentralisasi seluas-luasnya yang separatis
 Kebebasan tanpa aturan
 Liberalisme kapitalis
 Bersabar terhadap pelaku kejahatan
 Kebaikan yang salah (tidak benar)
 Anarkisme
 Kasih kristen yang memaafkan pelacur
 Kasih Budha yang memaafkan penyelewengan
 Sufistik islam yang menutupi aib pelaku dekadensi moral
 Kaidah moral tanpa keilmuan
 Mengandalkan kebaikan tanpa kebenaran
 Mengandalkan rasa semata
 Mengandalkan norma yang menghalangi kemajuan
 Mengikuti adat yang salah secara turun-menurun
 Mengandalkan budi luhur tanpa teori
 Memperbolehkan perjudian
 Mengandalkan budi luhur tanpa teori

28 Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogykarta: Ar-Ruzz

Media,2016), 211

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 8


 Melayani lokasi pelacuran
 Kebutaan yang menesatkan29
 Keanekaragaman yang dipertengarkan sengit
 Pemisahan jabatan tanpa boleh bekerja sama
 Pemisahaan diri pemerintahan daerah dari pemerintahan pusat
 Responsiveness untuk mendengar seluruh pendapat terhadap
para mucikari30
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika
didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral.31 Disitu,
etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti:
1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak),
2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak,
3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Perumusan bisa juga
dipertajam lagi.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut
ini :

Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai


dan norma-norma moral yang menjadi pangan bagi
seseorangatau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya, jika orang berbicaa tentang “etika suku-
suku Indian” , “etika agama Budha”, “etika Protestan”,
makatidak termasuk ‘ilmu’, melainkan arti pertama tadi.
Kedua, etikaberarti juga kumpulan asas atau nilainilai norma.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, etika mempunyai
arti lagi, yaitu ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Etika
baru menjadi ilmu, bila kemungkinan – kemungkinan etis (
asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan

29 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,


2010), 18
30 Nurani Soyomukti,Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: ar-Ruzz

Media,2016), 214
31 Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua: perkenalan

Pertama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 94

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 9


buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat
seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistimatis dan metodis. Etika di sini sama artinya
dengan filsafat moral.32
Sementara itu Sidi Gazalba dalam karya klasiknya,
Sistematika Filsafat, menyuguhkan beberapa pengertian etika
dari beberapa ahli :
1) Ensiklopedi Winkler Prins: Etika adalah bagian filsafat yang
memperkembangkan teori tentang tindakan; hujah-hujahannya
dan tujuan yang diarah; diarahkan kepada makna tindakan.
2) New American Encyclopedia: Etika adalah ilmu tentang filsafat
moral, tidak mengenai fakta, tapi tentang nilai-nilai; tidak
mengenai sifat tindakan manusia, tapi tentang idenya, karena itu
bkan ilmu yang positif tapi yang formatif.
3) A.S Hornby Dictionary: Etika adalah ilmu tentang moral atau
prinsip-prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan
kelakuan
4) A Handbook of christian Ethic: Etika adalah ilmu normatif,
memandang manusia sebagai tenaga moral, mempertimbangkan
tindakan kebiasaannya dan karakter dengan tinjauan tentang
benar atau salahnya, kecendrungannya kepada yang baik dan
yang buruk.33
Para ahli etika mempunyai suatu keahlian teoritis
dalam yang dapat dipelajari, tanpa memperdulikan
kebutuhan moral orang yang mau belajar etika.34 Selain itu
etika juga bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral,
melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi

32 Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: ar-Ruzz

Media, 2016),222
33 Berpijak dari pengertian-pengertian diatas, Sidi Gzalba
menyimpulkan bahwa etika merupkan teori tentang perbuatan manusia,
dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Dengan kata lain,etika merupakan ilmu/refleksi sistematik mengenai pendapat-
pendapat, norma-norma,dan istilah-istilah moral. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 49-50
34
Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2016), 225

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 10


etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang
sama.35

2. Tiga Macam Pendekatan Etika


Di sini kita mengikuti pembagian atas tiga
pendekatan yang dalam konteks ini sering diberikan, yaitu
etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika.
a) Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral
dalam arti luas,misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan,
tentang baik dan buruk, dan tindakan-tindakan yang
diperbolehkan at au tidak diperbolehkan. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu
tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-
subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan
sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia
tidak memberi penilaian. Misalnya,etika deskriptif dapat
mempelajari pandangan-pandangan moral dalam Uni Soviet
yang komunis dan ateis dulu: mengapa mereka begitu
permisif terhadap pengguguran kandungan, misalnya,
sedangkan dalam hal lain seperti pornografi mereka sangat
ketat. Orang yang akan menyelidiki masalah ini ingin
mengerti masalah perilaku moral di Uni Soviet dulu,tapi
tidak memberi penilain tentang pengguguran kandungan
atau pornografi sebagai masalah moral. 36
b) Etika Normatif
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari
etika dan bidang di mana berlangsung diskusi-diskusi yang
paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di sini ahli
bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, tapi ia
melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang
perilaku manusia. Ia tidak lagi membatasi diri dengan
memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi
menolak prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentangan
35
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013),
172
36 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2002), 15-16

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 11


dengan martabat wanita, biarpun dalam praktik belum tentu
dapat diberantas sampai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas
dasar norma-norma.37
“Martabat manusia haus dihormati” dapat dianggap
sebagai contoh tentang norma semacam itu. Tentu saja, etika
deskriptif dapat juga berbicara tentang norma-norma,
misalnya, bila ia membahas tabu-tabu yang terdapat dalam
suatu masyarakat primitif. Tapi kalau begitu etika deskriptif
hanya melukiskan norma-norma itu.38 Ia tidak memeriksa
apakah norma-norma itu sendiri benar atau tidak. Etika
normatif meninggalkan sikap netral itu sendiri benar atau
tidak. Etika normatif meningglkan sikap netral itu dengan
mendasarkan pendiriannya atas norma. Dan tentang norma-
norma yang diterima dalam suatu masyarakat atau diterima
oleh filsuf lain ia berani bertanya apakah norma-norma itu
benar atau tidak.39
Hal yang sama bisa dirumuskan juga dengan
mengatakan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif
melainkan prespektif (=memerintahkan), tidak melukiskan
melainkan menentukan benar tidaknya tingkah lau atau
anggapan moral. Untuk itu ia mengadakan argumentasi-
argumentasi, jadi, ia mengemukakan alasan-alasan mengapa
suatu tingkah laku harus disebut baik atau buruk dan
mengapa suatu anggapan moral dapat dinggap benar atau
salah. Pada akhirnya argumentasi-argumentasi itu akan
bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang
dianggap tidak dapat ditawar-tawar. Secara singkat dapat
dikatakan, etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-
prnsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara
rasional dan dapat digunakan dalam praktik.40
Etika normatif ini dibagi menjadi dua, yaitu :

37 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013),


177
38 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013),
178
39 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013),
178
40 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2002), 17-18

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 12


 Etika umum, yang menekankan pada tema-tema
umum seperti: apayang dimaksud norma etis?
Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaiman
hubungan antara tanggungjawab dengan kebebasan?
 Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-
prinsip etika umum ke dalam perilaku manusia yang
khusus juga dinamakan etika terapan.41

c) Metaetika
Cara lain lagi untuk mempraktikkan etika sebagai
ilmu adalah metaetika. Awalan meta- (dari bahasa Yunani)
mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini
diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini
bukannlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-
ucapan kita dibidang moralitas. Metaetika seolah-olah lebih
tinggidari pada prilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis”
atau bahasa yang kita gunakan di bidang moral. Dapat
dikatakan juga bahwa metaetika mempelajari etika khusus
dari ucapan-ucapan etis.42
Dipandang dari segi tata bahasa, rupanya kalimat-
kalimat etis tidakberbeda dari kaliamat-kalimat jenis lain
(khususnya, kalimat-kalimat yang mengungkapkan fakta-
fakta). Tapi studi lebih mendalam dapat menunjukkan bahwa
kalimat-kalimat etika dan pada umumnya bahasa etika
mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh
kaliamat-kalimat lain. Meta etika mengarahkan perhatiannya
kepada arti khusus dari bahasa etika itu. Filsuf Inggris
George Moore (1873-1958), misalnya, menulis sebuh buku
terkenal yang sebagian terbesar terdiri dari analisis terhadap
kata yang sangat penting dalam konteks etika, yaitu kata
“baik”.43
Ia tidak bertanya apakah tingkah laku tertentu
boleh disebut baik. Lebih konkret iatidak bertanya apakah

41 Lailyglow.blogspot.co.id/2016/06/filsafat-nilai.html?m=1
42 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 179
43 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 179

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 13


menjadi donor organ tubuh untuk transplantasi pada pasien
yang membutuhan boleh disebut baik dari sudut moral dan
apakah syarat-syaratnya supaya dapat disebut baik (apakah
perbuatan itu masih disebut baik ,jika organnya dijual?). Ia
hanya bertanya apakah artinya kata “baik” dengan
membandingkan kalimat “Menjadi donor organ tubuh adalah
perbuatan baik” dengan kalimat jenis lain seperti “mobil ini
masih dalam keadaan baik”.44
Akhirnya sebuah catatan tentang hubungan antara
metaetika dan etika normatif. Walaupun di sini kita
membedakan metaetika dan normatif, namun hal itu tidak
berarti bahwa keduanya selalu bisa dipisahkan juga. Sebab
jika kita berbicara tentang bahsa moral, dengan mudah sekali
pembicaraan kita beralih ke apa yang ditunjukkan oleh
bahasa itu sendiri. Sambil mempelajari ucapan-ucapan etis,
dengan hampir tidak disadari kita bisa mulai menilai apa yang
dikatakan itu. Sebaliknya, jika kita berbicara tentang perilaku
moral, dengan sendirinya kita berefleksi tentang istilah-
istilah dan bahasa yang kita pakai.45
Kalau kita berusaha mendefinisikan pengertian-
pengertian etis seperti “norma”, “nilai”, “hak”, “keadilan”, atau
sebagainya, tapi dalam etika normatif tentu tidak dapat
dihindarkan merumuskan definisi-definisi semacam itu46

E. Filsafat Kebaikan
Selama ini para moralis menganggap bahwa yang
namanya kebaikan adalah mengasihi orang lain, merindukan
orang lain, mencintai orang lain, menyayangi orang lain,
menolong orang lain dan berbagai kata kebajikan dan kasih
sayang lainnya, Tetapi alangkah brutalnya perasaan kita
apabila yang kita rindukan, sayangi, cintai dan tolng itu

44 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2002), 19-20


45 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 180
46 Dan penjelasan tentang istilah-istilah berhubungan dengan etika yang

disajikan di awal dapat dipandang sebagai pendekatan metaetis pula, biarpun


maksudnya hanyalah meratakan jalan untuk suatu uraian tentang gars normatif.
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2002), 21-22

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 14


adalah pemerkosa dan pembunuh yang memperlakukan
dengan sadis korbannya, misal dengan memotong kuping,
kemaluan, mencungkil mata, jantung dan tidak peduli apakah
yang akan diperkosanya itu adalah anak ataupun orang
tuanya.47
Oleh karena itu diperlukan marah, dendam, benci,
dongkol dan bahkan perang bila perlu terhadap berbagai
tindakan dekadensi moral, agar dengan demikian karena
seseorang ingin si pelaku kejahatan tersebut dicintai Allah
Sang Pengatur Kehidupan. Maka sebagai tindakan antisipasi
diperlukan hukum kasih, nahi mungkar, karma pala, untuk
itu diperlukan ketentuan siapa yang akan menjadi penegak
hukum tersebut di atas. Dalam islam disebut dengan
pemerintah yang ulama dan ulama pemerintah seperti
dicontohkan oleh kebaikan moral Nabi Muhammad SAW
dan para sahabat beliau yang kemudian menjadi pemimpin
Pemerintahan Islam Medinah selam tiga puluh tahun
sepeninggal beliau (disebut Khalifah Al Rasyidah), ataupun
dalam kalangan kepemimpinan turunan beliau (disebut Al
Imam Al Adil) sampai kemudian ditentukan dan ditunggu
kehadiran Iman Keduabelas.
Alangkah naifnya dalam membicarakan kebaikan
moral apabila seorang model mengatakan bahwa sudah
terjadi pembunuhan kreativitas ketika yang bersangkutan
menyuguhkan photonya yang seronok di media massa dan
dikecam beberapa kalangan. Alangkah naifnya pula ketika
seorang pejabat menyatakan pembunuhan kreativitas ketika
yang besangkutan membela diri atas strategi penjualan aset
negara kepada negara lain atau strategi tender yang
memenangkan kroni tertentu.48
Apabila ketika suatu pemerintahan yang sudah
ditegakkan kembali berlaku dzalim, maka secara kebajikan
diperlukan kekuatan besar lain yang diseut legislatif untuk

47 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,


2010), 18
48
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 19

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 15


menyuarakan berbagai mosi tidak percaya kepada
pemerintah, dalam menolak pertanggung jawaban lembaga
eksekutif.49
Pada kajian etika kebaikan moral ini, akan bergelut
dengan kegiatan hati (qalbu), nilai (value), jiwa (nafs), sikap
(etitude), mulai yang kompleks dalam faktor intenal
seseorang yang menyentuh kepribadian dan hati nurani.
Menurut Kratwohl, Bloom dan Masia (1964) hal ini
disebut juga dengan pembelajaran afektif yang dimulai dari
hal sebagi berikut:
1. Pengenalan atau penerimaan seperti bersedia menerima
dan memerhatikan berbagai stimulus (sehingga dengan
demikian akan mendengarkan, menghadiri, melihat, dan
memperhatikan nilai-nilai kebaikan pada tingkat yang
paling rendah).
2. Pemberian respon seperti keinginsn untuk berbuat sesuatu
sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda atau sistem
nilai (sehingga dengan demikian kita akan mengikuti,
mendiskusikan, dan berpartisipasi menolong pada tingkat
selanjutnya).
3. Penghargaan terhadap nilai seperti konsisten berprilaku
sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain
yang mengharuskan (sehingga dengan demikian kita akan
memilih, meyakinkan, bertindak, dan mengemukakan
argumentasi sebagai tingkat berikutnya).
4. Pengorganisasian seperti menunjukkan salaing
berhubungan antar nilai tertentu dalam suatu sitem nilai,
serta menentukan nilai-nilai mana yang mempunyai
prioritas lebih tinggi dari pada nilaiyang lain (sehingga
dengan demikian kita akan memilih, memutuskan, dan
mengformulasikan sebagai tingkat yang lebih tinggi).
5. Pengalaman seperti menunjukkan perilaku yang konsisten
dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang diyakini ke
dalam filsafat hidup yang lengkap dan meyakinkan
(sehingga dengan demikian kita akan menunjukkan sikap
menolak dan menghindari sifat yang dianggap buruk, serta

49
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 19

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 16


menerima sifat yang dianggap baik, sebagai tingkat yang
terakhir).50

F. Yang Maha suci


Puncak kebaikan itu sendiri adalah Allah Yang Maha
Suci (al Quddus), untuk itu para pedzikir akan mengucapkan
kata “Subhanallah” sebanyak tiga puluh tiga kali sehabis
shalat pagi (subuh) dan sore (magrib) sebagaimana yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW.51
Secara umum segala perbuatan menolong orang lain
dianggap selamanya baik tetapi apabila yang ditolong itu
adalah penjahat sudah barang tentu tidak benar walaupun
baik, jadi kita tidak dibenarkan menolong para pecundang.
Agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan dengan
segala sektenya, begitu puka agama Budha mengajakan agar
senantiasa menempatkan kasih di atas segala-galanya, mereka
mengharamkan perang secara universal.52
Berbeda dengan agama Yahudi dan Hindu, orang
Yahudi bahkan memiliki Sekte Tangan Tuhan untuk
melakukan pembantaian pada lawan politiknya, sedangkan
Kitab Suci Bhagawat Ghita dalam Agama Hindu diturunkan
menjelang perang raksasa Bharat Yudha, artinya akan lahir
nasehat tentang ketegaran hukuman.53
Jadi apabila ada orang yamg berkata bahwa semua
agama itu baik, maka hal ini hanya berlaku bagi agama
Kristen dan Budha begitu juga keberadaan ajaran Tao. Tetapi
pada sisi lain kalau ada orang yang mengatakan bahwa semua
agama itu benar maka hanya dapat berlaku bagi agama
Yahudi dan Hindu begitu pula untuk keberadaan ajarang

50
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 29
51
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 29
52
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 30
53
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 31-32

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 17


Kong Fut Tse. Itulah sebabnya orang-orang Yahudi
senantiasa memenangkan perlombaan Hadiah Nobel untuk
kajian kebenaran ilmu pengetahuan. Tetapi realitasnya sangat
ironik, dari tahun ke tahun hanya membantai orang lain
(Palestina) karena patokannya benar bukan kebaikan.54

G. Masalah Etika
Kita ambil sebuah contoh. Diandaikan anda seorang
dokter yang menghadapi pasien yang sedang menghadapi
maut karena berpenyakit kanker dan sedang menderita rasa
sakit yang hebat. Sebagai seorang dokter, anda dapat
membunuh pasien anda dan secara demikian melepaskannya
dari ketersiksaan yang mengerikan, yang bagaimanapun pasti
akan berakhir dengan kematiannya. Anda bertanya di dalam
hati, “Apakah dapat dibenarkan bila saya sebagai dokter
membunuh pasien saya?”Peristiwa ini dapat dijadikan sebgai
suatu masalah yang pelik. Misalnya kita dapat mengandaikan
bahwa orangnya sendiri minta-minta untuk dibunuh, dan
segenap kerabatnya dapat menerma pembunuhan tersebut.
Dalam hal ini masalah-masalah apakah yang timbul?
Anda mungkin mengatakan, “masalah nyawa termasuk
urusan Tuhan dan karenanya seorang dokter tidak berhak
mencabut nyawa seseorang.” Orang lain mungkin bertanya,
“Memang benar, tetapi cobalah berpikir betapa kurangnya
penderitaan si sakit dan bertambah nya kebahagiaan sanak
keluarga yang dicekam oleh kecemasan seraya berputus asa
serta tiada berdaya lagi. Dalam hal ini perbuatan
(membunuh) tersebut bersifat susila.” Di samping itu orang
ketiga mungkin berkata ,”Sesungguhnya mencabut nyawa
merupakan perbuatan yang tidak susila, apapun akibat yang
ditimbulkannya. Seseorang dokter tidak berhak melakukan
pembunuhan terlepas dari masalah rasa sakit dan penderitaan
yang dialami seseorang.”55

54
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 353
55
Wacana tentang etika hedonisme saya ambil dari A. Mangunhadjana,
Isme-isme Dalam Etika dari A-Z, (Yogyakarta: Kanisius,1997), 90-92

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 18


H. Pusparagam Aliran Etika

1. Hedeonisme
Manusia diberikan berbagai macam kemampuan.
Ada kemampuan indriawi, intelektual, dan spiritual.
Perwujudan dan pemenuhan daya-daya kemampuan itu
membawa rasa nikmat tersendiri. Kita mengenal beberapa
tingkat dan macam kenikmatan. Ada kenikmatan
indriawi karena dorongan pancaindra, satu, beberapa,
atau semua terpenuhi.56 Singkatnya,dalam hidup kiita
dapat mendapatkan berbagai pengalaman nikmat karena
daya-daya kemampuan kita terwujuddan terpenuhi.
Pengalaman nikmat dan kenikmatan yang tak dapat
disangkal adanya. Dalam bahasa Yunani, kata untuk
kenikmatan adalah hadone.57
Kenikmatan merupakan kenyataan hidup. Dengan
frekuensi, kadar, dan bentuk yang berbeda orang suka
merasakan kenikmatan.58 Hal yang mendatangkan
kenikmatan pada setiap orang itu berbeda-beda.59 Dengan
56
Kenikmatan intelektual merupakan buah pemenuhan kemampuan
budi entah karena keingintahuan kesampaian atau pemahaman baru, lebih
mendalam, lebih berarti, diperoleh. Kenikmatan estetis terjadi manakala hasrat
akan keindahan mabusia mendapatkan saluran lewat imajinasi atau karya seni.
Kenikmatan religius mendatangi manusia jika berhasil memahami dan menghayati
nilai-nilai religius. A. Mangunhardjana, Isme-isme Dalam Etika dari A-Z, (Yogyakarta:
Kanisius,1997), 90-92
57 Dari kata itu terbentuklah istilah hedonisme. Sebagai ajaran etis,

hedonisme berpendirian bahwa kenikmatan,khususnya kenikmatan pribadi,


merupakan nilai hidup tertinggi dan tujuan utama serta terakhir hidup manusia.
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 181
58
Yang satu dapatblebih kerap dari yang lain. Yang satu lebih cenderung
pada kenikmatan dalam kadar yang sederhana. Yang lain lebih pada kenikmatan
yang mewah. Yang satu lebih suka pada bentuk kenikmatan yang indriawi. Yang
lain pada kenikmatan estetis,etis-moral, atau religius. Zaprulkhan, Filsafat Umum,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 181
59
Bagi ilmuwan , kenikmatan utama adalah intelektual. Bagi par
pencinta benda-benda dan hal-hal seni, kenikmatan puncaknya pada kenikmatan
estetis. Demikian pula bagi mereka yang mementingkan nilai etis, moral, religius,

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 19


demikian, kenikmatan menjadi perkara subjektif. Karena
bagi subjek atau orang –orang yang menikmati, hal-hal
yang mendatangkan kenikmatan berbeda-beda,
hedonisme sebagai prinsip moral menjadi relatifmenurut
orang perorangan. Karena raltif, sulitlah kenikmatan
menjadi etis.
Secara teoritis kenikmatan itu ada berbagai
tingkat dari yang indriawi sampai yang religius. 8Semakin
tinggi tingkat kenikmatan, semakin susah dicapai, dan
semakin menuntuk banyak dari orang yang mau
menikmatinya.60
Hedonisme kerap berhenti pada pencarian
kenikmatan sensual, indriawi, yang dapat dirasakan
secara lebih cepat dan lebih dekat. Dari penyempitan arti
itu hendonisme menjadi tak terpisahkan dari sikap
konsumeristis, “konsumerisme”. 61 Orang yang bersikap
konsumeristis lebih suka membeli daripada membuat
sendiri, lebih suka menanggapi dari pada
memainkansendiri, lebih suka mendapat daripada
memberi.62 Bila sika hedonistis berlanjut, sikap
konsumeristis itu mengikut karena bagaimana mungkin
orang dapat memperoleh kenikmatan indriawi bila tidak

kenikmatan mereka ada pada bidang etis, moral, dan religius. Zaprulkhan, Filsafat
Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 182.
60 Pengorbanan itu semakin dituntut pada waktu orang ingin
merasakan kenikmatan religius karena untuk itu orang harus siap membersihkan
diri dan kejahatan dan dosa-dosanya dan membebaskan diri dari kecendrungan
jahat dan dosanya. Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2013), 182
61 Konsumerisme merupakan sikap hidup yang lebih mau menikmati

dari pada menahan, mengonsumsi daripada memproduksi. Zaprulkhan, Filsafat


Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 183
62 Spririt hedonistik secara general bisa diserupakan dengan modus

eksistensi manusia sebagai modus memiliki (having mode) yang sifatnya


konsumtif dengan selalu menuruti dorongan hawa nafsu rendah dan sangat
berlawanan dengan modus menjadi (being mode), eksistensi seorang manusia
secara fungsional yang kehidupannya dikendalikan oleh nalar rasional dan secara
intuisinya, bukan hasrat instingtifnyasemata. Lihat dalam Agus Cremers (eds.),
Eric Fromm, (Maumere: Ledalero, 2004), 419-432; Bandingkan dengan Jalaluddin
Rahmat , Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 94-97

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 20


dengan mengonsumsi sambil tanpa susah payah
mengusahakan hal yang dikonsumsi ala mental
konsumeristis.
Secara umum, kenikmatan tidak dapat dijadikan
nilai etis yang paling tinggi dan dijadikan dasar pendirian
untuk menilai baik-buruknya hal, perkara, perbuatan.
Sebab kenikmatan itu bermacam-macam tingkat dan
bentuknya dan bersifat subjektif, berbeda untuk masing
masing orang dan relatif, menurut orang perorangan yang
merasakan. Kenikmatan makin tak dijadikan cita-cita dan
kriteria etis bila dipersempit menjadi kenikmatan
indriawi, sensual karena manusia itu makluk rohani, dan
perbuatan etis manusia justru berpangkal pada sifat
rohaninya. Itulahkelemahan hedonisme. Adapun
kelemahan itu masih diperbeasr karena dalam praktik
hedonisme diikuti oleh konsumerisme, sikap yang hanya
mau mengonsumsi yang berat sebelah itu. 63

2. Epikurianisme

Epikurianisme adalah ajaran etika yang berasal dari


seorang filsuf Yunani kuno bernama Epikurus.
Epikurianisme kemudian berkembang menjadi suatu
aliran etika tersendiri. Pada pokoknya epikuriarisme
merupakan etika yang mengejar kesenangan. Dalam hal
ini mirip dengan hedonisme. Seperti hedonisme,
epikurianisme memuja kesenangan. Baginya kesenangan
merupakan kebaikan yang pertama dan utama.
Kesenangan dipandang menjadi awal dan akhir, A-Z
hidup bahagia dan terberkati.64
Namun, berbeda dengan hedonisme yang
membatasi kesenangan menjadi kesenangan sensual dan
indriawi, epikurianisme mengartikan kesenangan sebagai
ketiadaan rasa sakit pada tubuh dan kekacauan dalam

63
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 184
64
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 21


jiwa. Oleh karena itu, para penganut epikurianisme
menghindari kesenangan yang membawa akibat sakit dan
penderitaan batin. Secara khusus kesenangan yang dinilai
paling puncak adalah kesenangan yang mendalam
manakala jiwa ada dalam keadaan damai dan tenang.65
Dalam keadaan itulah kebahagiaan hidup yang sejati
teracapai. Salah satu unsur penting untuk hidup bahagia
adalah keutamaan.66
Bagi Epikuros, yang baik adalah yang
menghasilkan nikmat, dan yang buruk adalah apa yang
menghasilkan perasaan tidak enak. Akan tetapi, nikmat
itu harus dimengerti betul. Kaum epikurean bukan
hedonis seperti Arisstip. Bagi mereka, kenikmatan lebih
bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Tidak
sembarangan keinginan perlu dipenuhi. Epikuros
membedakan antara keinginan alam yang perlu ( seperti
makanan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti
makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti
kekayaan).67
Hakikat nikmat terdiri dalam ketentraman jiwa
yang tenang, yang tidak dapat dikejutkan dan
dibingungkan, dalam ataraxia, kebebasan dari perasaan
risau atau terkejut. Manusia hendaknya hidup sedemikian
rupa sehingga tubuhnya tetap sehat dan jiwa dalam
keadaan tenang.68 Karena itu, ia terutama harus
menghindari apa yang mneyakitkan, pngalaman-
pengalaman yang tidak mengenakkan. Nikmat lebih
dilihat secara negatif, sebagai kebebasan dari rasa sakit
dan penderitaan (apathia), daripada secara positif sebagai
perasaan puas.
Karena itu Epikuros sangat menegaskan
kebijaksanaan (phronesis). Orang bijaksana adalah

65
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 184
66
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 184
67
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185
68
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 22


seniman hidup. Ia pandai mempertimbangkan apakah ia
memilih nikmat atau rasa sakit. Dapat saja terjadi bahwa
memilih nikmat sesaat menghasilkan penderitaan
kemudian, dan memilih perasaan sakit sesaat
meningkatkan kenikmatan jangka panjang. Bukan
perasaan-perasaan nikmat yang hanya sebentar saja yang
menentukan apakah kita bahagia, melainkan nikmat yang
bertahan selama seluruh kehidupan. Karena itu,
hedonisme Epikuros menganjurkan agar manusia selalu
menguasai diri.69
Orang bijaksana tidak akan memperbanyak
kebutuhan, melainkan sebaliknya membatasi kebutuhan-
kebutuhannya agar dengan membatasi diri dapat
menikmati kepuasan. Ia akan menghindari tindakan yang
berlebihan: ia akan mencari kehidupan yang tenang dan
tentram. Untuk itu, ia memerlukan seni perhitungan
(symmetresis) yang dapat mempertimbangkan segi-segi
positif dan negatif sehingga ia dapat memilih apa yang
dalam jangka panjang lebih mendekatkan kita pada
ataraxia, kebebasan dari perasaan terganggu itu.70
Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari
adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan
orang untuk menarik diri dari kehidupan di depan umum.
Dalam arti ini, epikurianisme adalah individualisme.
Namun, ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar
bahwa berbuat baik lebih menyenangkan daripada
menerima kebaikan. Menurut epikuros, kebahagiaan
terbesar bagi manusia adalah persahabatan.71
Epikurianisme dalam sejarah filsafat segera
mendapat nama jelek. Ia diidentikkan dengan hedonisme
kasar, dianggap sikap hidup yang sekedar mengejar
kenikmatan jasmani dan tertutup terhadap nilai-nilai
rohani. Kita telah melihat bahwa penelitian ini tidak
69
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 185-
186
70
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 186
71
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 186

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 23


tepat. Kiranya betul penilaian Copleston bahwa “filsafat
epikurianisme bukanlah filsafat para pahlawan serta tidak
memiliki keagungan moral kepercayaan Stoa. Namun, ia
bukan egois dan tidak asusila sebagaimana anggapan
orang”. Epikurianisme ingin menawarkan cita-cita
kehidupan pribadi yang tenang, yang mewujudkan ruang
kebebasan dari gangguan dunia bagi dirinya.72
‘Bagi kami”, demikian titah Epikuros dalam salah
satu pernyataannya, kesenangan brarti tidak merasa sakit
dalam tubuh dan tidak resah dalam jiwa. Karena hidup
penuh kesenangan tidak diperolah dengan pesta minum
dan makan terus-menerus, tidak dengan menikmati
remaja laki-laki dan wanita cantik, juga tidak menikmati
ikan yang enak dan makanan mewah apa saja, melainkan
hanyalah dengan pemikiran terang yang mencari akar dari
segala keinginan dan dorongan menghindar dan mengusir
gagasan-gagasan aneh yang bagaikan angin prahara,
menggoyangkan jiwa”.73
Meski demikian, menurut Mangunhardjana
kepada epikurianisme ada catatan yang perlu
disampaikan, baiksecara teoritis maupun secara praktis.
Secara teoretis, sebagai metode penalaran epikurialisme
sudah konsisten, lurus, dan konsekuen: ada tujuan, ada
prinsip, dan ada tindakan yang perlu diambil dan
dihindari. Namun, epikurianisme mengandung kelemahan
dalam pemahamannya tentang manusia, dan akibatnya,
tentang kehidupan juga. Epikurialisme melihat mausia
sebagai makhluk yang tersendiri dan terpisah dari

72 Sebagai salah satu aliran pemikiran etis, epikurialisme memang


memiliki sitem penalaran yang bagus. Epikurialisme menetapkan nilai tertinggi,
yaitu kesenangan. Nilai tertinggi itu dirumuskan cukup tegas sebagai ketiadaan
sakit pada tubuh dan kekacauan pada jiwa. Berdasarkan pemahaman etis nilai
tertinggi itu langkah hidup ditetapkan. Franz Magnis-Suseno, 13Tokoh Etika,
(Yogyakarta: Kanisius,1998), 49-51
73Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta:

Kanisius,1998), 60-61

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 24


manusia lain. Manusia merupakan sebuah pulau
terpotong dari daratan da benua yang lebih besar.74
Epikularisme menjadikan diri sendiri sebagai
norma hidup. Namun karena nilai yang paling tinggi
adalah kesenangan, norma hidup akhirnya dipersempit
menjadi kesenangan pribadi. Berpangkal dari norma
hidup yang sempit itu, bagi para pengikut epikurianisme
hidup menjadi sempit pula. Hidup adalah kesenangan
pribadi.75 Hal-hal yang menjadi beban fisik atau menal
kepada diri sendiri tidak berarti. Hidup sosial bersama
sesama dan masyarakat, betapa pun berguna, bila
mendatangkan kesusahan hal yang tak terhindarkan tidak
usah dilibati. Pandangan dan sikap itu jelas tak dapat
dibenarkan. Karena hal yang tak menyenangkan bagi diri
sendiri belum tentu tak bernilai. Sebagai makhluk rohani
manusia perlu mengatur diri dan kesenangan pribadi
untuk menggapai nilai hidup yang lebih tinggi. Sebagai
makhluk sosial manusia perlu keluar dari diri sendiri
untuk bergabung dengan sesama untuk membuat
kehidupan menjadi lebih baik, lebih maju, lebih
sejahtera.76
Secara praktis, epikurialisme dapat berubah
menjadi sensualisme dan hedonisme yang mendewakan
kesenangan indriawi. Benar epikurialisme mengartikn
kesenangan sebagai ketiadaan rasa sakit dan kekacauan
jiwa. Namun, belum tentu pemahaman itu dimengerti
benar dan diikuti secara konsekuen. Akibatnya,
kesenangan dibatasi menjadi kesenangan fisik dan
perilaku manusia terpusat pada usaha mencari
kesenangan fisik pula. Ketidakpahaman tentang
kesenangan sebagaimana dimaksud dan kecondongan

74 Karena manusia pada umumntya jauh dan sulit dijangkau, manusia

dikonkretkan menjadi diri sendiri, dijangkau, manusia dikonkretkan menjadi diri


sendiri, ego. Karena itulah epikurianisme terlalu berat bersifat egoistik. Lihat
dalam buku Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 188
75 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 188
76 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 189

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 25


manusia untuk hidup enak dapat mengubah praktik
hidup epikurianistis menjadi sensualistis dan hedonistis.
Di samping itu, seperti telah diuraiankan di atas, gaya
hidup epikurianistis adalah hidup sederhana dan
berkeutamaan. Namun, gaya hidup seperti itu tidak
ringan dan tidak mudah dilaksanakan. Adapun terhadap
hidup sederhana dan berkeutamaan yang menurut terlalu
banyak dari manusia, orang mudah tergoda untuk
meninggalkannya.77

3. Utilitarianisme
Istilah utilitarianisme diturunkan dari kata
Latin utilis, yang berarti ‘berguna, berfaedah,
menguntungkan’.78 Utilitarianisme merupakan suatu
paham etis yang berpendapat bahwa yang baikadalah
yang berguna, berfaedah, menguntungkan. Sebaliknya,
yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak
berfaedah, merugikan. Karena itu, baik-buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna,
berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari
prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.79
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan
perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh
perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri
maupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah
memperbesar kegunaan, manfaat, keuntungan yang
dihasilkan perbuatan yang akan dilakukan, baik
untuk diri sendiri maupun orang lain. Perbuatan harus
diusahakan agar mendatangkan kebahagian daripadan
penderitaan, bagi sebagian besar orang. Hanya dengan
demikian, perbuatan manusia berarti secara etis dan

77
Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika, (Yogyakarta: Kanisius,1997),
84-85
78
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 189-
190
79
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 26


membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri
sendiridan orang lain.80
Yang dibayangkan oleh kaum penganut
utilitarianisme tentang perbuatan itu menyankut
perbuatan disegala bidang hidup fisik, pribadi, dan
kemasyarakatan, ekonomi, politik,seni, budaya, moral,
keagamaan. Kegunaan,manfaat, dan keuntungan juga
sesuai dengan bidannya dan menyeluruh: fisik, mental,
sosial, estetis, etis, moral, religius. Utilitarianisme
merupakan paham yang menggabungkan paham
konsekuensialisme dan welfarisme.81
Konsekuensialisme adalah paham yang
berpendirian bahwa yang baik ditetapkan
berdasarkan akibat, consequentia,consequencenya.
Bila akibatnya baik, perbuatan itu baik. Sebaliknya,
meskipun dikatakan baik, bila akibatnya buruk,
perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme
adalah paham yang berpendirian bahwa usaha
masyarakat, terutama negara, harus ditujukan utuk
kesejahteraan masing-masing warga dan rakyat secara
keseluruhan. Karena itu, utilitarianisme berpendirian
bahwa perbuatan baik ditentukan menurut akibat
baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi
masing-maing dan sebagian besar orang yang
terkena.82
Utilitarianisme sebagai berpendirian etis
terasa masuk akal, tidak dipersoalkan karena memang
jelas yang disikapi.apa arti perbuatan bila tidak
mendatangkan kegunaan, manfaat, keuntungan apa
pun macam dan tingkatnya? Menurut utilitarianisme
semua perbuatan baru dapat dinilai jika akibat dan
tujuannya sudah dipertimbangkan. Sebelum itu netral;

80
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190
81
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190
82
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 190-
191

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 27


semua peraturan tidak dengan sendirinya harus
ditaati. Sebelum ditaati, peraturan itu harus dapat
dipertanggungjawabkan akibatnya bagi orang yang
terkena.83 Prinsip utilitarianisme ini sadar atau tidak
sadar sudah umum di terapkan di seluruh dunia.
Sebagai Prinsip etis, utilitarianisme mengajarkan
tangggug jawab atas perilaku dan perbuatan manusia.
Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama
orang lain dan harus memperhitungkan mereka dalam
perilaku dan tindakannya.84
Meskipun demikian, prinsip moral,
utilitarianisme tidak seluruh nya mulus tanpa
kelemahan. Dalam kenyataan, kebutuhan yang
langsung itu, entah nyata, entah tidak, lebih mendesak
daripada kebutuhan yang tak langsung atau berjangka
panjang. Pemenuhan kebutuhan langsung itu pada
gilirannya terasa lebih menguntungkan daripada
menundanya demi kebutuhan jangka panjang. Dalam
kerangka pemikiran utilitarianistis, pemenuhan
kebutuhan yang langsung itubaik,malah mungkin
lebih baik daripada memenuhi kebutuhan tak
langsung, berjangka panjang.85
Utilitarianisme sebagai prinsip etis bernada
logis dan universal. Akan tetapi, cara berpikir bukan
berpangkal dari moralitas dan etika, melainkan dari
keenakan dan kelayakan, kegunaan, ekspendisi.
Karena itu, bila dilaksanakan secara konsekuen,
mudah melanggar hak asasi manusia, prinsip moral
dan etis, serta berdimensi dangkal.86

83
Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 191
84
Sebagai perbandingan tentang etika utilitarianisme, lihat pula dalam
Theodore C. Denise(Eds.), Great Tradition in Ethics, (New York: Wadsworth
Publishing Company,1999), 217-229
85 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 192-

193
86 Zaprulkhan, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013), 193-

194

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 28


Selain catatan kritis dari Mangunhardjana,
Menurut Magnis-Suseno, ultitarianisme memuat
beberapa implikasi yang bertentangan dengan
perasaaan moral yang biasa.87 Petama, ultitarianisme
hanya mengenal KEWAJIBAN. Kedua, Sebagaimana
dijelaskan secara meyakinkan oleh Robert Spaemann,
adalah berlebihan kalau ultitarianisme menuntut agar
dalam semua tindakan kita harus memerhatikan
dampaknya atas semua orang yang terkena. Ketiga,
utilitarinime tidak mencukupi sebagai prinsip dasar
etika juga dapat ditarik dari sebuah pertimbangan
yang lebih fundamental: sama dengan semua etika
telelogis utilitarianisme tidak dapat mendasarkan
dirinya sendiri. Namun, prinsip-prinsip itu tidak
teologis lagi, melainkan deontologis. Suatu etika yang
hanya memuat prinsip –prinsip teleologis tidak
mampu mendasarkan dirinya sendiri.88

4. Edemonisme/ Aristotelianisme
Etika edemonisme secara sederhana berawal dengan
mengajukan sebuah pertanyaan fundamental : apa yang
menjadi tujuan manusia demi dirinya sendiri? Apa yang dicari
oleh setiap manusia hanya untuk sesuatu itu sendiri, bukan
untuk lainnya? Pertanyaan inilah yang dijawab Aristoteles
dengan eudaimonia, yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan itulah
yang baik pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan
demi suatu nilai tinggi lainnya, melainkan demi dirinya
sendiri.89
Namun, untuk mencapai kebahagiaan tersebut,

87 Di sini saya hanya menghadirkan tiga poin catatan kritis dari Franz

Magnis dari sejumlah besar catatan kritis yang dilakukannya. Untuk lebih
detailnya, lihat dalam Franz Magnis, Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta:
Kanisius,1998), 184- 193
88 Franz Magnis, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius,1998),

190-192
89 Franz Magnis, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius,1998),

30

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 29


Arstoteles menyaratkan tiga unsur yaitu theoria, praxis,
phronesis. Konsep theoria Aristoteles ini jangan disamakan
dengan istilh modern ‘teori’, sebagai pemikiran rasional
terhadap salah satu masalah. Sebab, theoria berarti bahwa
jiwa memandang realitas-realitas rohani.90 Manusia menurut
Aristoteles adalah zoom logonechon, makhluk yang memiliki
roh. Dalam renungan, roh itu digiatkan. Objek renungan
adalah realitas yang tidak berubah, yang abadi, yang ilahi.
Renungan adalah kegiatan sang filsuf, orang yang “mencintai
kebijakan” (pholosophia). Tidak ada yang lebih luhur
daripada philosophia atau renungan itu. Karena itu, yang
paling membahagiakan manusia adalah filsafat atau
perenungan hal-hal yang abadi dan ilahi.91
Lain halnya dengan praxis atau tindakan. Aristoteles
membandingkan praxis dengan orang yang main seruling
karena ia senang mai seruling, bukan karena ia mau mencapai
sesuatu di luar permainan itu. Tindakan itu sendiri bernilai,
dengan masalah dampak atau output adalah sekunder.
Seperti theoria, begitu pula praxis membawa nilainya pada
dirinya sendiri.92
Dan yang ketiga, phronesis, Bahasa Yunani mempunyai dua
kata untuk apa yang dalam bahasa Indonesia di sebut
“kebijaksanaan” , yaitu sophia dan phronesis.93
Dengan tiga komponen tersebut, Aristoteles dengan
tegas menyatakan bahwa etika bukanlah episteme,bukanlah
ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukan pengetahuan lebih

90 Dalam wacana-wacana filsafat moral, dalam bahasa inggri istilah

theoria itu lazim diterjemahkan dengan dengan kata kontemplasi


(contamplation). The Highest kind of life which human being are capable is one of
contemplatio. Lihat Emmet Barcalow, Moral Philosophy, (New York: Wadsworth
Publishing, Company,1998), 80
91
Emmet Barcalow, Moral Philosophy, (New York: Wadsworth Publishing
Company, 1998), 33
92
Emmet Barcalow, Moral Philosophy, (New York: Wadsworth Publishing
Company, 1998), 34
93
Dalam istilah bahasa Inggris, Phronesis bisa diterjemahkan sebagai
practical wisdom. Lihat dalam Robert L. Holmes, Basic Moral Philosophy, (new York:
Wadsworth Publishing Company,1998), 41

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 30


tajam (meskipun unsur pengetahuan tentu terdapat juga),
melainkan praxis, bukan mengetahui apa itu hidup yang baik,
melainkan membuat orang hidup dengan baik. 94

I. Nilai kebenaran
Akal dipergunakan dengan mengoperasionalkan otak,
beruasha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu
pengetahuan kita masing-masing. Hal ini akan menimbulkan
logika yang menjadikan kita seorang intelektual karena dapat
membedakan antara yang benar dengan yang salah secara
cepat.
Logika berasal dari perkataan Yunani, yaitu “logikos”
yang berarti pengetahuan. Ilmu ataupun masuk akal yaitu
sesuatu yang berhubungan dengan cara berpikir, dengan
demikian logika merupakan suatu teknik yang
mementingkan segi formal ilmu pengetahuan, karena dalam
logia kita harus menghormati berbagai cara, aturan, teori, dan
metode agar suau pernyataan menjadi sah. 95
Banyak pakar ilmu filsafat yang menganggap benar
bahwa pengetahuan itu terdiri atas sebagai berikut:
1) Pengetahuan akal
2) Pengetahuan budi
3) Pengetahuan indriawi
4) Pengetahuan kepercayaan
5) Pengetahuan Intuitif96
Pengetahuan akal itu disebut ilmu yang kemudian
untuk membahasnyadisebut logika, pengatahuan budi itu
disebut moral yang kemudian untuk membahasanya disebut
etika, pengetahuan indriawi itu disebut seni yang untuk
membahasnya disebut estetika.

94 Dalam Robert L. Holmes, Basic Moral Philosophy, (new York:

Wadsworth Publishing Company,1998), 38-39


95 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,

2010), 29
96 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,

2010), 31

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 31


Selanjutnya untuk melihat sesuatu itu benar atau
tidak benar, maka beberapa kriteria yang sudah
dilembagakan akan penulis sampaikan beberapa titik antara
lain sebagai berikut:
1. Teori Kebenaran Korespondensi.
2. Teori Kebenaran Koherensi.
3. Teori Kebenaran Pragmatis
4. Teori Kebenaran Sintaksis
5. Teori Kebenaran Semantis.
6. Teori Kebenaran Non Deskripsi
7. Teori Kebenaran Logika yang Berlebihan.
8. Teori Kebenaran Peformatif.
9. Teori Kebenaran Paradigmatik.
10. Teori Kebenaran Proposisi.97
Jadi pada kajian logika kebenaran ilmu pengetahuan ini,
kita akan bergelut dengan kegiatan berpikir yang mengasah
kemampuan intelektual muali dari yang sederhana, seperti
mengingat sampai pada pemecahan masalah. Menurut
Benjamin S. Bloom hal tersebut disebut juga dengan
pembelajaran kognitif yang diurut sebagai berikut:
1. Pengetahuan atau pengenalan seperti mengingat informasi, fakta
terminologi, rumus (sehingga dengan demikian kita akan
mengidentifikasi, memilih, menyebut nama, dan membuat daftar,
sebagai tingkat yang paling rendah).
2. Pemahaman seperti menjelaskan pengetahuan/informasi yang
diketahui dengan kata-kata sendiri (senhingga dengan demikian
kita akan membedakan, menjelaskan, menyimpulkan,
merangkumkan dan memperkirakan sebagai tingkat
selanjutnya).
3. Penerapan seperti pengggunaan dan penerapan informsi ke
dalam situasi konteks yang baru (sehingga kita dengan demikian
akan menghitung, mengembangkan, menggunakan,
memodifikasi dan mentransfer sebagai tingkat berikutnya).
4. Analisis
5. Sistesis
6. Evaluasi 98

97 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,


2010), 32

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 32


J. Nilai Keindahan (estetika)
John Dewey berpendapat, bahwa seseorang dapat
memahami segala sesuatu sebagai sains melalui penggunaan
intelegensinya, namun hal itu akan lebih mendalam jika ianya
disentuhkan dengan praktik lain, yaitu seni. Bahkan dengan
tegas Dewey mengatakan bahwa hanya orang yang
menempatkan imaji seni dalam titik fokus argumentasinyalah
yang akan dapat mengembangkan klaim-klaim scientific
inquiry.99 Dengan seni, seseorang akan dapat menekuni apa
saja yang dilakukan nya dengan rasa senang, bahagia dan
penuh semangat, sehingga dengan begitu ia akan dapat
memaksimalkan potensinya untuk mencapai apa yang
diinginkannya.
Estetika merupan studi nilai dalam realitas keindahan.
Nilai estetika biasanya sukar untuk dinilai, karena nilai-nilai
menjadi nilai milik personal dan sangat subjektif.100 Karya
seni tertentu umpamanya akan memunculkan banyak respon
dari orang yang berbeda. Siapa pun orangnya, jika ia
meyakini, bahwa ada nilai estetika yan objetif, tentulah ia
dapat menentukan keputusan-keputusan yang mengarah
pada seni yang baik dan diterima oleh banyak orang sebagai
sebuah karya yang bernilai seni.
Bagi John Dewey, kehadiran seni itu sendiri menjadi
alat bagi akal manusia untuk memandang dunia yang satu
dalam kaitannya dengan dunia lain. Seni selalu tampil dalam
wujud kreativitas manusia dalammemanipulasi suatu realitas
ke realiras lain sesuai dengan cita frasa yang diinginkan.
Bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa keseluruhan
aktivitas intelek manusia baikdalm level proses produktivitas

98 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,


2010), 34
99John Dewey seperti yang diungkap Mortier R. Kadish, “John Dewey
and The Theory of Aestetic Pratice”, dalam Steven M. Cohen (Ed), New Studies in The
Philosophy of John Dewey, University Press of New England, 1981, 25
100 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 117

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 33


dan konsumsi maupun pada levelkritik sesungguhnya
merupakan tindakan seni.101
Muhammad Iqbal menyatatakan bahwa wujud
keindahan adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari cinta
kasih semesta. Keindahan dapat hilang seiring dengan adanya
perubahan cara pandang subjek yang menikmatinya, namun
rasa cinta bersifat abadi dan karenanya, rasa cintalah yang
dapat memperlihatkan rahasia kehidupan. Keindahan tampil
dari wujud ekspresi seseorang diri manusia dalam melihat
dan melihat suatu realitas.102

K. Penutup
Demikianlah makalah yang kami buat dengan sebaik-
baiknya, kami menyadari bahwa makalah kami ini masih
sangat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun
materi, maka dari itu kami sangat berharap saran dan kritik
dari pembaca guna untuk memperbaiki kualitas makalah
kami. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya.

101 John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry, Richard and Winston, (New

York: 1938), 104-105.


102 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thoughy in Islam,New

Delhi, 1981, 127

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 34


DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaibani, 1979, Antara Filsafat dan Pendidikan(alihbahasa) Hasan


Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang
Alwasilah, Chaedar, 2008, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung:
Rosda Karya
Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Bakhtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Barcalow, Emmet, 1998, Moral Philosophy, New York: Wadsworth
Publishing, Company
Bertens, K, 2002, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Darmaputera, Eka, 1987, Etika Sederhana Untuk Semua: perkenalan
Pertama, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Dewey, John, 1938, Logic: The Theory of Inquiry, New York
Gazalba, Sidi, 1992, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang
Hill, Napoleon, 2007, Membangun Otak Sukses, Terj. Teguh Wahyu
Utomo, Yogyakarta
Holmes, Robert L, 1998, Basic Moral Philosophy, new York:
Wadsworth Publishing Company
Inu Kencana Sonny & Mikhael Dua Keraf, 2001, Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Kanisius
Iqbal, Muhammad, 1981, The Reconstruction of Religious Thoughy in
Islam,New Delhi

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 35


Kattsoff, Louis O, 2004, Pengantar Filsafat, (Alih bahasa) Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Lailyglow.blogspot.co.id/2016/06/filsafat-nilai.html?m=1
Madjid, Nurcholish, 2001, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina
Mangunhadjana, A, 1997, Isme-isme Dalam Etika dari A-Z, Yogyakarta:
Kanisius
Muhmidayeli,2011, Filsafat Pendidika, Bandung: Refika Aditama
Omar Muhammad al-Toumy Al-Syaibany, 1979, Falsafah Pendidikan,
Jakarta: Bulan Bintang
Rahmat , Jalaluddin, 1999, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka
Hidayah
Saefullah, Djadja, 2010, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama
Surajiyo, 2012, Ilmu Filsafat, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Soyomukti, Nurani, 2016, Pengantar Filsafat Umum, Yogykarta: Ar-
Ruzz Media
Suhartono, Suparlan,2009, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Syafiie,Inu Kencana, 2010, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika
Aditama
Theodore C. Denise(Eds.),1999, Great Tradition in Ethics, New York:
Wadsworth Publishing Company
Zaprulkhan, 2013, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Filsafat Pendidikan dan Nilai-Nilai Filsafat 36

You might also like