You are on page 1of 13

PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG HIJAU (Vigna radiata L.

) PADA
BEBERAPA KONSENTRASI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT
Oleh
Endang Yulia*)
*)
Fatimah dan Ediwirman
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang

ABSTRAK

Penelitian tentang pertumbuhan dan hasil kacang hijau (Vigna radiata L. ) pada
beberapa konsentrasi limbah cair pabrik kelapa sawit. Penelitian bertujuan untuk
mendapatkan konsentrasi LCPKS yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil
kacang hijau. Penelitian telah dilaksanakan pada lahan UPT Penyuluhan
Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, yang dilaksanakan pada
bulan Juni sampai September 2013. Rancangan yang digunakan dalam penelitian
adalah Rancangan Acak Kelompok, konsentrasi LCPKS dengan 5 perlakuan dan
3 kelompok. Perlakuan yang diberikan yaitu : 0, 5%, 10%, 15%, 20%.
Pengamatan dilakukan terhadap tanaman sampel yang diambil acak sebanyak 4
tanaman setiap plot. Setiap pengamatan dirata-ratakan untuk masing-masing plot
kemudian dianalisis dengan sidik ragam jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
lanjut DMRT pada taraf 5%. Variabel yang diamati adalah : tinggi tanaman,
umur muncul bunga pertama, jumlah cabang primer per tanaman, umur panen
pertama, jumlah polong, persentase polong bernas, bobot 100 biji kering, bobot
biji kering per tanaman, hasil biji kering per plot dan per hektar, dan jumlah bintil
akar efektif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 5% LCPKS
mampu meningkatkan hasil biji kering 1,48 t/ha, disarankan untuk mendapatkan
pertumbuhan dan hasil kacang hijau terbaik menggunakan rekomendasi
konsentrasi 5% LCPKS.

Kata kunci : Kacang Hijau, Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

PENDAHULUAN
Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai
tanaman pangan legum, setelah kedelai dan kacang tanah. Penggunaan kacang
hijau sangat beragam, dari olahan sederhana hingga produk olahan teknologi
industri. Produk terbesar hasil olahan kacang hijau di pasar berupa taoge
(kecambah), bubur, makanan bayi, industri minuman, kue, bahan campuran soun
dan tepung hunkue. Kacang hijau juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan,
kacang hijau juga mempunyai manfaat sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk
hijau. Kandungan gizi dalam 100 g kacang hijau meliputi karbohidrat 62,9 g,
protein 22,2 g, lemak 1,2 g juga mengandung Vitamin A 157 U, Vitamin B1 0,64
g, Vitamin C 6,0 g dan mengandung 345 kalori (Mustakim, 2012).
Ekspor kacang hijau masih sedikit, tetapi volume impor cenderung
meningkat, apabila rata-rata kebutuhan kacang hijau sekitar 2,5 kg perkapita
pertahun maka kebutuhan kacang hijau adalah 12.117,28 ton pertahun, sehingga
masih terdapat peluang penambahan permintaan (Supeno dan Sujudi, 2002).
Menurut Anonima (2014), produksi kacang hijau cenderung menurun selama
kurun waktu lima tahun terakhir (2009 sampai 2013) produksi kacang hijau
adalah berturut-turut 4.426 ton, 1.134 ton, 1.121 ton, 3.817 ton dan 720 ton,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan kacang hijau dilakukan impor sebesar
29.443 ton pertahun. Produksi kacang hijau di Sumatera Barat masih tergolong
rendah dibandingkan dengan produksi Indonesia yaitu 237.142,8 ton/tahun yang
disebabkan antara lain : kesuburan tanah yang rendah dan semakin terbatasnya
lahan produktif yang dapat digunakan untuk budidaya kacang hijau. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan dengan memperbaiki kesuburan tanah, dengan
pemberian pupuk organik.
Pupuk organik merupakan bahan yang penting dalam menciptakan
kesuburan tanah baik secara fisika, kimia dan biologi tanah. Pupuk organik dapat
berupa pupuk kandang, pupuk hijau, kascing, kompos limbah kelapa sawit
(sludge, abu dan kompos janjang kelapa sawit), serta limbah cair pabrik kelapa
sawit (LCPKS).
LCPKS mempunyai kandungan hara yaitu N 450 - 590 mg/L, P 92 - 104
mg/L, K 1.246 – 1.262 mg/L, Mg 249 - 271 mg/L (Ideriah, Adukwu, Stainley dan
Briggs, 2007) dan Ca 361 mg/L (Smart, 2000). Rinaldi, Hanibal dan Syahputra
(2012), melaporkan bahwa, pemberian LCPKS 1,6 l perpolybag memberikan
pengaruh terbaik terhadap total luas daun, bobot kering pupus, bobot kering akar
dan diameter bibit kakao. Putri (2011), juga melaporkan bahwa pemberian
LCPKS dengan dosis 2,52 l perpot dapat meningkatkan tinggi tanaman dan berat
kering tanaman kedelai. Ermadani dan Muzar (2011), juga melaporkan, dengan
pemberian 150,000 L/ha LCPKS + 150 kg/ha SP36 dan aplikasi 75,000 L/ha
LCPKS dapat meningkatkan hasil kedelai yaitu 2,01 t/ha. Pemberian LCPKS
pada tanaman kacang hijau dapat pula dilakukan, namun belum banyak informasi
terkait dengan kebutuhan LCPKS pada kacang hijau. Tujuan penelitian untuk
mendapatkan konsentrasi LCPKS yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil
kacang hijau.

BAHAN DAN METODE


Penelitian telah dilaksanakan pada Lahan UPT Penyuluhan Kecamatan
Luhak Nan Duo, Pasaman Barat yang dilaksanakan bulan Juni sampai September
2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih kacang hijau varietas
Vima-1, Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS), Urea, SP36, KCl, Decis 2.5
EC dan Dithane M-45.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3
kelompok. Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi limbah cair pabrik
kelapa sawit yang terdiri dari 5 taraf yaitu : 0 (PO), 5% (P1), 10% (P2), 15% (P3),
20% (P4). Plot yang diperlukan dalam percobaan ini adalah 15 plot, setiap plot
terdiri dari 30 tanaman kacang hijau, 4 tanaman sebagai sampel dan 2 sebagai
tanaman destruktif. Data hasil pengamatan di sidik ragam pada taraf nyata 5% dan
jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf nyata 5%.
Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, umur muncul bunga
pertama, jumlah cabang primer per tanaman, umur panen pertama, jumlah polong,
persentase polong bernas, bobot 100 biji kering, bobot biji kering per tanaman,
hasil biji kering per plot dan per hektar, dan jumlah bintil akar efektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman
Tabel 1 memperlihatkan bahwa, pemberian LCPKS 0, 5%, 10%, 15% dan
20% menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman kacang hijau yang relatif sama.
Pemberian LCPKS 0 sampai 20% menghasilkan tinggi tanaman 40,00 cm sampai
43,67 cm, tinggi tanaman varietas Vima-1 rata-rata 53 cm, bila dibandingkan
dengan deskripsi tinggi tanaman kacang hijau lebih rendah. Pemberian LCPKS
tidak berpengaruh dengan pertumbuhan tinggi tanaman. Hal ini disebabkan
LCPKS tidak mampu memenuhi kebutuhan hara bagi pertumbuhan tinggi
tanaman, sehingga penambahan LCPKS tidak meningkatkan pertumbuhan.
Kebutuhan hara yang diperlukan oleh tanaman kacang hijau sudah dapat dipenuhi
dari hara yang ada di dalam tanah.

Tabel 1. Tinggi tanaman kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi


LCPKS pada umur 7 mst.

Konsentrasi LCPKS (%) Tinggi tanaman (cm)


0 43,33
5 43,67
10 42,67
15 40,00
20 43,33
KK (%) 8,31
Angka pada lajur tinggi tanaman berbeda tidak nyata menurut Uji F taraf 5%.
Kebutuhan hara yang sudah terpenuhi, pertumbuhan tinggi tanaman juga
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Lakitan (2007), bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu pemberian konsentrasi
LCPKS tidak mempengaruhi pertumbuhan kacang hijau.
Jumlah Bintil Akar Efektif
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian beberapa kosentrasi LCPKS 0
sampai 20% tidak berpengaruh pada jumlah bintil akar efektif. Jumlah bintil akar
efektif 13,4 buah sampai 22,9 buah. Hal ini berarti pemberian kosentrsi LCPKS
tidak mempengaruhi pembentukan bintil akar efektif. Pembentukan bintil akar
dipengaruhi oleh keberadaan nitrogen.
Tabel 2. Jumlah bintil akar efektif kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Konsentrasi LCPKS (%) Jumlah bintil akar efektif (buah)


0 19,5
5 13,4
10 22,9
15 19,2
20 20,5
KK (%) 51,33
Angka pada lajur jumlah bintil akar efektif, berbeda tidak nyata menurut Uji F
pada taraf 5%.

Kandungan nitrogen didalam tanah ditambah dengan sumbangan hara dari


LCPKS menjadi cukup tinggi, karena Nitrogen yang tinggi di dalam tanah tidak
terlalu merangsang pembentukan bintil akar. Menurut Rosmarkam dan Yuwono
(2002), kadar nitrogen yang tinggi dalam tanah tidak terlalu mempengaruhi
jumlah dan bintil akar. Nitrogen dalam bentuk amonium dan nitrat yang
diberikan dalam jumlah banyak umumnya dapat mengurangi terbentuknya bintil
akar dan fiksasi N2 oleh bintil akar. Pada beberapa leguminosa, senyawa nitrogen
dalam jumlah kecil memang sering diperlukan untuk mengatasi kekurangan
nitrogen pada awal pertumbuhan sebelum tanaman dapat mengandalkan
kebutuhan nitrogen dari fiksasi N2 oleh bintil akar.
Sistem perakaran kacang hijau lebih dipengaruhi oleh sifat genetik, selain
sistem perakaran juga dipengaruhi oleh kondisi tanah. Lebih lanjut Hanum
(2009), menjelaskan bahwa, tanah merupakan faktor terpenting dan mempunyai
hubungan timbal balik yang sangat erat kaitannya dengan tanaman yang tumbuh
di atasnya.
Umur Muncul Bunga Pertama
Tabel 3 menunjukkan bahwa, pemberian 0 sampai 20% LCPKS tidak
berpengaruh terhadap umur muncul bunga pertama kacang hijau. Umur muncul
bunga pertama kacang hijau berkisar 39 hst sampai 41 hst. LCPKS tidak
berpengaruh langsung terhadap proses pembungaan, karena hara yang terdapat
dalam LCPKS tidak langsung digunakan bagi pembungaan.
Tabel 3. Umur muncul bunga pertama kacang hijau akibat pemmberian beberapa
kosentrasi LCPKS.

Konsentrasi LCPKS (%) Umur muncul bunga pertama (hst)


0 41
5 39
10 40
15 41
20 40
KK% = 4,62
Angka pada lajur umur muncul bunga pertama, berbeda tidak nyata menurut Uji F
taraf 5%.

Hal ini disebabkan hara yang terdapat pada LCPKS belum mampu
mempengaruhi umur muncul bunga pertama, tetapi memperbaiki penggunaan
pupuk organik lebih dominan dengan perbaikan kesuburan tanah antara lain sifat
fisik dan biologi tanah (Murbandono, 2001). Lebih lanjut (Mustakim, 2012)
menjelaskan bahwa, penentuan umur muncul bunga pertama tanaman kacang
hijau selain dipengaruhi oleh ketersediaan hara, juga dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan.
Jumlah Cabang Primer
Tabel 4 menunjukkan bahwa, pemberian konsentrasi LCPKS 0
menghasilkan 6,2 cabang , jumlah cabang yang relatif sama dengan peningkatan
kosentrasi 5% sampai 20% dengan jumlah cabang adalah berturut-turut 9,0
cabang, 8,0 cabang, 7,2 cabang dan 8,0 cabang. Hal ini disebabkan jumlah
cabang primer lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan batang atau tinggi tanaman
yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 4. Jumlah cabang primer kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Kosentrasi LCPKS (%) Jumlah cabang primer (cabang)


0 6,2
5 9,0
10 8,0
15 7,2
20 8,0
KK (%) 23,26
Angka lajur jumlah cabang primer, berbeda tidak nyata menurut Uji F taraf 5%.

Jumlah cabang primer memiliki hubungan dengan tipe pertumbuhan


kacang hijau (Adrianto dan Indarto, 2004). Menurut Mustakim (2012), tipe
pertumbuhan kacang hijau tidak sama, varietas Vima-1 tumbuhan memiliki tipe
pertumbuhan determinit. Tipe determinit mempunyai pertumbuhan tinggi terbatas,
dengan pertumbuhan batang yang lebih dominan. Hal ini sesuai menurut Gardner
et al., (1991), percabangan tanaman dipengaruhi oleh pertumbuhan batang.
Umur Panen Pertama
Tabel 5 menunjukkan bahwa, pemberian konsentrasi LCPKS 0%
menghasilkan umur panen 67,7 hst dan menghasilkan umur panen yang relatif
sama dengan konsentrasi 5 % sampai 20 % yang berturut - turut 67,0 hst, 66,7
hst, 66,3 hst dan 66,6 hst. Umur panen dengan pemberian LCPKS lebih lambat
dari deskripsi kacang hijau varietas Vima-1 dengan umur panen pertama adalah
57 hst. Umur panen berkaitan dengan umur muncul bunga pertama kacang hijau
yang disajikan pada Tabel 2, meskipun konsentrasi yang diberikan lebih tinggi.
Menurut Gardner et al., (1991), umur berbunga suatu tanaman dipengaruhi oleh
intesitas penyinaran, suhu dan curah hujan.
Tabel 5. Umur panen pertama kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Kosentrasi LCPKS (%) Umur panen (hst)


0 67,7
5 67,0
10 66,7
15 66,3
20 66,6
KK (%) 1,07
Angka pada lajur umur panen pertama, berbeda tidak nyata menurut Uji F 5%.

Curah hujan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh


terhadap cepat atau lambatnya suatu tanaman dapat memasuki fase generatif.
Fase pertumbuhan generatif membutuhkan curah hujan yang terbatas, tetapi curah
hujan saat penelitian dilakukan curah hujan cukup tinggindengan rata-rata 269
mm/bln seperti disajikan pada lampiran 6. Fase vegetatif akan lebih lambat pada
musim hujan dan hal ini akan berpengaruh terhadap penundaan tanaman
memasuki fase berbunga dan panen kacang hijau. Harjadi (1996) menjelaskan
bahwa, terdapat dua fase yaitu fase vegetatif dan generatif. Fase vegetatif terutama
pada perkembangan akar, daun, batang yang membutuhkan hasil fotosintat yang
banyak. Fase generatif ditandai dengan perkembangan dan pembentukan kuncup
bunga dan buah. Menurut Mangoendidjo (2003), umur panen suatu tanaman
dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal ini sesuai dengan pendapat Fachruddin
(2000), bahwa umur panen tanaman ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
varietas dan ketinggian tempat penanaman. Jadi meskipun diberikan LCPKS umur
panen lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tanaman itu sendiri.
Jumlah Polong
Tabel 6 menunjukkan bahwa, pemberian LCPKS dengan konsentrasi 0
menghasilkan jumlah polong sebanyak 21,41 buah dan menghasilkan jumlah
polong yang relatif sama dengan pemberian konsentrasi 5% sampai 20% yang
masing-masingnya 25,66 buah, 19,00 buah, 18,08 buah dan 15,66 buah
menunjukkan tidak berpengaruh. Hal ini disebabkan LCPKS tidak dapat
memenuhi kebutuhan hara yang dibutuhkan untuk pembentukan dan pengisian
polong.
Tabel 6. Jumlah polong kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi
LCPKS.

Konsentrasi LCPKS (%) Jumlah polong (buah)


0 21,41
5 25,66
10 19,00
15 18,08
20 15,66
KK (%) 23,28
Angka pada lajur jumlah polong, berbeda tidak nyata menurut Uji F pada taraf
5%.
Hara yang penting untuk pembentukkan polong adalah Ca pada LCPKS
yang berperan untuk pembentukkan polong belum terpenuhi, sehingga jumlah
polong yang dihasilkan relatif sama. Hardjowigeno (2003), bahwa unsur hara Ca
penting untuk proses pembentukkan polong, karena pada saat pembentukkan
polong tanaman akan membutuhkan fotosintat dalam jumlah banyak. Jumlah
polong berkaitan dengan jumlah cabang, jumlah cabang yang dihasilkan sama,
sehingga jumlah polong juga relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan
cabang primer kacang hijau.
Persentase Polong Bernas
Tabel 7 menunjukkan bahwa, pemberian LCPKS dengan konsentrasi 0
menghasilkan persentase polong bernas sebanyak 78,09% dan mengahasilkan
persentase polong bernas yang relatif sama dengan pemberian konsentrasi 5%
sampai 20% yang masing-masingnya 75,18%, 82,53%, 81,15% dan 69,29%
menunjukkan tidak berpengaruh.
Tabel 7. Persentase polong bernas kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Konsentrasi LCPKS (%) Persentase polong bernas (%)


0 78,09
5 75,18
10 82,53
15 81,15
20 69,29
KK (%) 19,04
Angka selajur pada persentase polong bernas, berbeda tidak nyata menurut Uji F
taraf 5%.
Hal ini menunjjukkan bahwa LCPKS yang diberikan belum memenuhi
kebutuhan hara yang diperlukan oleh pembentukkan polong bernas. Hal ini
disebabkan bahan organik bersifat lambat tersedia untuk tanaman, selain itu
pembentukkan dan pengisian polong merupakan sifat yang dipengaruhi oleh
genetik tanaman itu sendiri. Hal ini sesuai menurut Hidayat (1985) cit. Kurniadi,
Yetti dan Anom (2012) menjelaskan bahwa, pembentukkan dan pengisian polong
sangat ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Lebih lanjut Lakitan (2007) juga
menjelaskan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh
faktor genetik.
Bobot 100 Biji Kering
Tabel 8 menunjukkan bahwa, pemberian beberapa konsentrasi LCPKS 0
sampai 20% terhadap bobot 100 biji kering kacang hijau tidak memberikan
pengaruh. Terlihat dari respon semua perlakuan relatif sama. Hal ini diduga hara
yang disumbangkan oleh LCPKS seperti fosfor dan kalium ternyata belum
berpengaruh baik terhadap pembentukan biji. Menurut Hardjowigeno (2003)
menjelaskan bahwa unsur P berperan salah satunya dalam pembentukan biji.
Selanjutnya menurut Suprapto (2002) bahwa besarnya/beratnya biji bervariasi
tergantung dari genetik suatu varietas.
Tabel 8. Bobot 100 biji kering kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Kosentrasi LCPKS (%) Bobot 100 biji kering (g)


0 6,2
5 6,3
10 6,3
15 6,1
20 6,4
KK (%) 1,83
Angka pada kolom bobot 100 biji kering berbeda tidak nyata menurut Uji F 5%.

Bobot 100 biji kering kacang hijau yang diperoleh dari hasil penelitian ini
adalah 6,2 g sampai 6,4 g. Pada kisaran ini merupakan kisaran yang normal dan
telah mendekati bobot yang sama bila dibandingkan dengan deskripsi tanaman
kacang hijau varietas Vima-1 (Lampiran 2) yaitu 6,3 g.
Bobot Biji kering/tanaman
Tabel 9 menunjukkan bahwa, pemberian LCPKS meningkatkan bobot biji
kering pertanaman dengan konsentrasi 5% memberikan pengaruh nyata terhadap
perlakuan 10% dan 15% berturut - turut 5,29 g dan 5,56 g namun pada kedua
konsentrasi ini memberikan relatif sama sedangkan tanpa pemberian konsentrasi 0
dengan konsentrasi 20% yaitu masing – masing 7,15 g dan 6,82 g. Hal ini
disebabkan LCPKS yang diberikan pada kosentrasi 5% sudah dapat dimanfaatkan
tanaman secara optimal.
Tabel 9. Bobot biji kering/tanaman kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Konsentrasi LCPKS (%) Bobot biji kering (g)


0 6,82 ab
5 9,10 a
10 5,29 b
15 5,56 b
20 7,15 ab
KK (%) 12,70
Angka pada lajur bobot biji kering/tanaman kacang hijau angka kecil yang
selajur, berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%.

Penyerapan hara yang lambat tersedia pada fase vegetatif, setelah


memasuki fase generatif dan pembentukan polong dan biji dapat dioptimalkan
oleh tanaman kacang hijau. Menurut Murbandono (2001), unsur hara yang
terdapat dalam pupuk organik lambat tersedia untuk pertumbuhan tanaman, akan
tetapi dengan penggunaan pupuk organik perbaikan tanah akan terus berlangsung.
Sejalan dengan Lingga dan Marsono (2003) ketersedian hara yang cukup
diperlukan selama fase generatif.
Hasil Biji Kering/plot dan ha
Tabel 10 menunjukkan bahwa, pemberian kosentrasi LCPKS 5% yaitu
1,48 ton dapat meningkatkan hasil biji kering perhektar. memberikan pengaruh
nyata terhadap perlakuan 0, 10%, 15% dan 20% yang masing – masing adalah
0,98 ton, 0,83 ton, 0,89 ton dan 1,11 ton. Kosentrasi 5% mampu meningkatkan
hasil biji kering per plot dan per hektar tanaman kacang hijau yaitu 1,48 ton. Hal
ini disebabkan karena LCPKS lama tersedia pada fase generatif. Hasil penelitian
Putri (2011) melaporkan bahwa, pemberian LCPKS pada konsentrsi tertentu dapat
meningkatkan berat kering tanaman kedelai. Menurut Mekki dan Ahmed (2005)
peningkatan hasil kedelai akibat pemberian pupuk organik disebabkan karena
peran pupuk organik yang tidak hanya memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah
tetapi juga sifat kimia tanah. Lebih lanjut Gardner et al., (1991) menyatakan
unsur hara akan dimanfaatkan untuk memacu proses fotosintesis, hasil fotosintesis
akan ditranslokasikan keseluruh bagian tanaman untuk memacu perkembangan
vegetatif dan generatif tanaman.
Tabel 10. Hasil biji kering/plot dan ha kacang hijau akibat pemberian beberapa
konsentrasi LCPKS.

Kosentrasi Hasil biji kering


LCPKS (%) Perplot ( g ) Perha (t)
0 128,44 ab 0,71
5 277,84 a 1,54
10 160,28 b 0,89
15 171,26 b 0,95
20 210,85 ab 1,17
KK (%) = 12,70
Angka pada kolom hasil biji kering/plot dan ha yang selajur berbeda tidak nyata
menurut DMRT taraf 5%.

Ermadani dan Muzar (2011), Pengaruh aplikasi limbah cair pabrik kelapa
sawit terhadap hasil kedelai dan perubahan sifat kimia tanah ultisol menunjukan
peningkatan kandungan Pdan K tanaman serta bobot biji kedelai dengan
perlakuan 150,000 L LCPKS/Ha + 150 kg SP/Ha serta perbaikan sifat kimia tanah
ditunjukkan dengan meningkatnya C organik, KTK, N total, P total, P tersedia dan
K dapat ditukar serta menurunnya Al dapat ditukar. Menurut Rinaldi et al., (2010)
pemberian dengan dosis 1,6 l perpolybag memberikan pengaruh terbaik terhadap
luas daun total, bobot kering pupus bibit kakao, bobot kering akar bibit kakao dan
diameter bibit kakao di polybag. Selanjutnya Wahyudi, Kasry, dan Purwaningsih
(2011) penggunaan limbah cair pabrik kelapa sawit memberikan pengaruh yang
baik terhadap produksi buah jagung, lingkar batang dan jumlah daun tanaman
jagung pada perlakuan kosentrasi BOD5 7000mg/l.
KESIMPULAN
Pemberian LCPKS sampai 20% tidak berpengaruh nyata terhadap
parameter tinggi tanaman, umur muncul bunga pertama, jumlah cabang primer,
jumlah polong, jumlah polong bernas, bobot 100 biji kering dan jumlah bintil
akar. Konsentrasi 5% LCPKS mampu meningkatkan bobot kering pertanaman
dan hasil biji kering perplot yaitu sebesar 51,02% dari tanpa perlakuan,
konsentrasi 5% meningkatkan hasil sebesar 277,84 g atau setara 1,54 ton.
DAFTAR PUSTAKA

Andriato, T.T. dan Indarto, N. 2004. Budidaya dan analisis tani kedelai, kacang
hijau dan kacang panjang. Penerbit Absolut. Yogyakarta. Hal : 93,94,100.
Anonima. 2014. Indonesia dalam angka. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Ermadani dan A, Muzar. 2011. Pengaruh aplikasi limba cair pabrik kelapa sawit
teradap perubahan hasil kedelai (Glcine max L.) dan perubahan sifat kimia
tanah ultisol. Jurnal J. Agron. Indonesia. 39 (3) : 160-167.
Fachrudin, L. 2000. Budidaya kacang-kacangan. Kanisius. 118 hal.
Gardner, F.P., R.B. Pearce., R.L. Mitchell. 1991. Physiologi of crop plant.
Diterjemahkan oleh Herawati Susilo. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-
Press. Jakarta
Hanum, C. 2009. Ekologi tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo. Jakarta.
Harjadi S. S, 1996. Pengantar agronomi. Gapustaka Utama. Jakarta. 197 hal.
Hidayat, O.O. 1985. Morfologi tanaman kedelai. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor :74-75 dalam Kurniadi, F. P., Yetti, H.,
Anom, E. 2012. Peningkatan produksi kacang hijau dengan pemberian
pupuk kandang ayam dan NPK.
Ideriah, T.J.K., P.U Adiukwu, H.O. Stainley, A.O. Bringgs. 2007. Impact of palm
oil (Elais guineensis Jacq; Banga) mill effluent on water quality of
receiving Olaya Lake in Niger Delta, Nigeria. Res. J. Apll. Sci.2:842 –
845.
Lakitan, B. 2007. Dasar-dasar agronomi. Rajawali. Jakarta.
Mangoendidjo, W. 2003.Dasar – dasar pemuliaan tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
Mekki, B. B,. A. G. Ahmed. 2005. Growith-yield and seed quality of soybean
(Gylcine max L.) as affected by organic. Bio-fertilizer and yeast
application. Res. J. Agr. Bio. Sci. 1:320-324.
Murbandono. 2001. Membuat kompos. Penebar swadaya. Jakarta. 54 hal.
Mustakim, M. 2012. Budidaya kacang hijau secara intensif. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta. 140 hal.
Purwono dan Hartono, R. 2005. Kacang hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. 114 hal.
Putri, R. E. 2011. Pengaruh pemberian aplikasi bahan organic limbah cair kelapa
sawit teradap beberapa sifat tanah oxisol dan pertumbuhan tanaman
kedelai (Gylcine max L.). Skripsi fakultas Pertanian Universitas Andalas.
Padang.
Rinaldi, Hanibal dan Syahputra W. 2010. Pengaruh limbah cair pabrik kelapa
sawit terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.). Vol 1
No.2 April-Juni 2012 ISSN: 2302-6472. Program Studi Agroekoteknologi,
Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Hal. 98-107.
Roswarkam, A. dan Yuwono, N.W. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius.
Yogyakarta. 224 hal.
Supeno A dan Sujudi, 2002 Teknik pengujian adaptasi galur harapan kacang hijau
di lahan sawah. Bulletin Teknik Pertanian vol. 9, Nomor 1, 2004. Hal. 20-
22.

Suprapto. H. S, 2002. Bertanam kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wahyudi, H., Kasry, A., dan Purwaningsih, I. S. 2011. Pemanfaatan limbah cair
pabrik kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dalam
budidaya tanaman jagung (Zea mays L.). Program Studi Ilmu Lingkungan
PPS Universitas Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 1978-5283.2011:5
(2).

You might also like