Professional Documents
Culture Documents
A. Windarto
Cetakan : I, 2017
Buku ini adalah cerita tentang sebuah sekolah yang sebelumnya tak terbayangkan dalam
Kidul. Sebab seperti di tempat lain di mana pun juga di Indonesia saat ini, sekolah adalah ruang-
ruang kelas yang berisi bangku, kursi, papan tulis, potret (Bapak) Presiden dan Wakil Presiden
RI dengan patung burung Garuda yang terletak di tengah-tengahnya. Itulah sekolah era Orde
Baru yang merupakan representasi dari sekolah modern pada zaman kolonial Belanda,
khususnya di masa politik liberal Belanda atau disebut “Politik Etik”/”Utang Budi”.
Sekolah Pagesangan yang diceritakan di buku ini jelas bukan sekolah warisan kolonial
apalagi Orde Baru. Mungkin serupa dengan “Sekolah Liar” yang di tahun 1930-an dikenakan
pada sekolah swasta yang tidak disubsidi pemerintah kolonial seperti Taman Siswa atau Sekolah
Rakyat bikinan Tan Malaka. Namun zamannya tentu sudah beda. Apakah boleh dibilang Sekolah
Pagesangan (SP) sebagai “Sekolah Liar Zaman Now”? Entahlah, siapa tahu.
1
Hanya yang tersurat bahwa cerita tentang SP diawali dengan “pertemuan demi
pertemuan”. Sulis, Dwi, Yani, Marti, dan Cahyo (hlm. 3-79) adalah para “remaja udik“ yang
Sumbu Panguripan (SSP) mau diformalkan. Melalui “pertemuan dengan Mbak Diah” (hlm. 108-
114), SP menjadi pilihan yang menentukan bahwa di antara berbagai tuntutan zaman, yaitu putus
sekolah, migrasi, atau menikah muda, anak-anak berumur belasan itu justru memutuskan untuk
terlibat sebagai “agen perubahan”. Itu artinya, mereka tidak lagi takut untuk menghadapi agen-
agen lain yang lebih besar dan dominan di sekitarnya, termasuk bapak/ibu (guru)-nya. Merekalah
yang oleh Saya Shiraishi (2001) disebut “young heroes” (“pahlawan-pahlawan belia”). Atau,
dalam bahasa Ben Anderson (2017), adalah “pemoeda”, yakni mereka “yang mau mendobrak
segala apa yang menghambat masa depan bangsa. Dan betul-betul mau mengubah secara
Revolusioner, bukan?!? Persis seperti anak-anak muda di Surabaya yang lebih dari 70
tahun lalu berani menghadapi tentara Sekutu. Dan, tentu saja “bikin bengong”, karena hanya
dengan bersenjatakan bambu runcing, mereka maju ke pertempuran dan banyak yang mati.
Begitulah agaknya mereka yang sebelumnya hanya “remaja udik” mampu tampil sebagai “bukan
anak-anak tapi belum orang tua”. Dengan penampilan seperti itu, masuk akal jika di lahan
gersang mereka masih mampu gesang sebagaimana diungkapkan oleh Cahyo dan Marti berikut
Cahyo: “Leh ku macul kae ono hasile.” (dari nyangkul dulu ternyata ada hasilnya)
Perspektif “bikin bengong” inilah yang belum terlalu tampak di buku ini. Padahal ada
banyak cerita yang begitu inspiratif dan mengugah untuk dikreasi. Maka, untuk siapa sebenarnya
2
buku ini ditulis, dapat menentukan perspektif seperti apa yang akan dibangun. Sebagai contoh
buku Saya Shiraishi (2001) Young Heroes atau Ben Anderson (1988) Revolusi Pemoeda,
keduanya memposisikan anak-anak belasan tahun di Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang
berdaya magis. Dengan kata lain, mereka mampu menjadi air pasang yang memuluskan
pelayaran, namun jika terlambat hanya akan kandas dalam malapetaka. Itulah mengapa mereka
tidak mengenal batas sebagai akhir dari segalanya, melainkan justru merupakan awal dari
SP pada dasarnya adalah sekolah tanpa batas. Sebab SP selalu berupaya mengawali
perubahan dengan belajar. Belajar tentang apa pun dan dengan siapa saja, itulah yang membuat
SP mampu membangun kehidupan baru yang sebelumnya tak terbayangkan. Tak heran, selalu
ada cara yang dihadirkan melalui SP untuk menjadi petani di masa depan. Petani yang dicatat
dalam sejarah sebagai “orang-orang yang kalah” (Kartodirdjo, 2015) kini justru dapat
menciptakan beragam “transformasi sosial” (Widiyanto, 2017) yang mampu bikin gesang meski
di lahan yang gersang. Di sinilah penting dan mendesaknya imajinasi gaya “pemoeda” atau
“young heroes”selalu ditampilkan agar dapat memberi kesempatan dan keberanian yang
menantang (si)apapun di sekitarnya, terutama para orang tua atau bapak/ibu yang umumnya
Secara teknis, buku yang diterbitkan “tanpa penerbit” ini menjadi agak kurang dapat
dikenal sebagai karya “ilmiah-populer” meski bukan hal yang terlalu penting dan mendesak.
Namun penting untuk dicatat bahwa beberapa novel Eka kurniawan seperti Lelaki Harimau
(Man Tiger) atau Cantik itu Luka (Beauty is a Wound), atas desakan Ben Anderson, dirasa perlu
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh penerbit ternama. Jadi, mengapa tidak
3
Selain itu, seluruh foto yang dalam buku ini tampak kehilangan daya “chiaroscuro”
(gelap-terang)-nya (Anderson, 2000) lantaran dicetak dengan latar serba gelap/hitam. Sebab hal
itu justru tampak men-steril-kan kekuatan satiris dari foto hitam-putih dan sekaligus pesan utama
dari buku yang dijuduli amat paradoks, Gesang di Lahan Gersang. Barangkali jika dibuat
dengan model komik-strip atau mozaik penampilan dari foto-foto itu akan tampak ber-image
A. Windarto