You are on page 1of 4

Sekolah Pagesangan, Sekolah Tanpa Batas

A. Windarto

Judul : Gesang di Lahan Gersang

Penulis : Diah Widuretno

Penerbit : tanpa penerbit

Cetakan : I, 2017

Jumlah hlm. : 402 hlm

Buku ini adalah cerita tentang sebuah sekolah yang sebelumnya tak terbayangkan dalam

imajinasi masyarakat pada umumnya, khususnya di Wantaos, Girimulya Panggang, Gunung

Kidul. Sebab seperti di tempat lain di mana pun juga di Indonesia saat ini, sekolah adalah ruang-

ruang kelas yang berisi bangku, kursi, papan tulis, potret (Bapak) Presiden dan Wakil Presiden

RI dengan patung burung Garuda yang terletak di tengah-tengahnya. Itulah sekolah era Orde

Baru yang merupakan representasi dari sekolah modern pada zaman kolonial Belanda,

khususnya di masa politik liberal Belanda atau disebut “Politik Etik”/”Utang Budi”.

Sekolah Pagesangan yang diceritakan di buku ini jelas bukan sekolah warisan kolonial

apalagi Orde Baru. Mungkin serupa dengan “Sekolah Liar” yang di tahun 1930-an dikenakan

pada sekolah swasta yang tidak disubsidi pemerintah kolonial seperti Taman Siswa atau Sekolah

Rakyat bikinan Tan Malaka. Namun zamannya tentu sudah beda. Apakah boleh dibilang Sekolah

Pagesangan (SP) sebagai “Sekolah Liar Zaman Now”? Entahlah, siapa tahu.

1
Hanya yang tersurat bahwa cerita tentang SP diawali dengan “pertemuan demi

pertemuan”. Sulis, Dwi, Yani, Marti, dan Cahyo (hlm. 3-79) adalah para “remaja udik“ yang

menjadi “pengantar” dari pertemuan-pertemuan dan memungkinkan SP dirintis pasca Sekolah

Sumbu Panguripan (SSP) mau diformalkan. Melalui “pertemuan dengan Mbak Diah” (hlm. 108-

114), SP menjadi pilihan yang menentukan bahwa di antara berbagai tuntutan zaman, yaitu putus

sekolah, migrasi, atau menikah muda, anak-anak berumur belasan itu justru memutuskan untuk

terlibat sebagai “agen perubahan”. Itu artinya, mereka tidak lagi takut untuk menghadapi agen-

agen lain yang lebih besar dan dominan di sekitarnya, termasuk bapak/ibu (guru)-nya. Merekalah

yang oleh Saya Shiraishi (2001) disebut “young heroes” (“pahlawan-pahlawan belia”). Atau,

dalam bahasa Ben Anderson (2017), adalah “pemoeda”, yakni mereka “yang mau mendobrak

segala apa yang menghambat masa depan bangsa. Dan betul-betul mau mengubah secara

fundamental, biarpun mereka sering tidak begitu tahu caranya.”

Revolusioner, bukan?!? Persis seperti anak-anak muda di Surabaya yang lebih dari 70

tahun lalu berani menghadapi tentara Sekutu. Dan, tentu saja “bikin bengong”, karena hanya

dengan bersenjatakan bambu runcing, mereka maju ke pertempuran dan banyak yang mati.

Begitulah agaknya mereka yang sebelumnya hanya “remaja udik” mampu tampil sebagai “bukan

anak-anak tapi belum orang tua”. Dengan penampilan seperti itu, masuk akal jika di lahan

gersang mereka masih mampu gesang sebagaimana diungkapkan oleh Cahyo dan Marti berikut

ini (hlm. 274-75):

Cahyo: “Leh ku macul kae ono hasile.” (dari nyangkul dulu ternyata ada hasilnya)

Marti : ”Senang…kerja keras kita ada hasilnya juga,”

Perspektif “bikin bengong” inilah yang belum terlalu tampak di buku ini. Padahal ada

banyak cerita yang begitu inspiratif dan mengugah untuk dikreasi. Maka, untuk siapa sebenarnya

2
buku ini ditulis, dapat menentukan perspektif seperti apa yang akan dibangun. Sebagai contoh

buku Saya Shiraishi (2001) Young Heroes atau Ben Anderson (1988) Revolusi Pemoeda,

keduanya memposisikan anak-anak belasan tahun di Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang

berdaya magis. Dengan kata lain, mereka mampu menjadi air pasang yang memuluskan

pelayaran, namun jika terlambat hanya akan kandas dalam malapetaka. Itulah mengapa mereka

tidak mengenal batas sebagai akhir dari segalanya, melainkan justru merupakan awal dari

dimulainya suatu perubahan.

SP pada dasarnya adalah sekolah tanpa batas. Sebab SP selalu berupaya mengawali

perubahan dengan belajar. Belajar tentang apa pun dan dengan siapa saja, itulah yang membuat

SP mampu membangun kehidupan baru yang sebelumnya tak terbayangkan. Tak heran, selalu

ada cara yang dihadirkan melalui SP untuk menjadi petani di masa depan. Petani yang dicatat

dalam sejarah sebagai “orang-orang yang kalah” (Kartodirdjo, 2015) kini justru dapat

menciptakan beragam “transformasi sosial” (Widiyanto, 2017) yang mampu bikin gesang meski

di lahan yang gersang. Di sinilah penting dan mendesaknya imajinasi gaya “pemoeda” atau

“young heroes”selalu ditampilkan agar dapat memberi kesempatan dan keberanian yang

menantang (si)apapun di sekitarnya, terutama para orang tua atau bapak/ibu yang umumnya

bergaya terlalu hati-hati.

Secara teknis, buku yang diterbitkan “tanpa penerbit” ini menjadi agak kurang dapat

dikenal sebagai karya “ilmiah-populer” meski bukan hal yang terlalu penting dan mendesak.

Namun penting untuk dicatat bahwa beberapa novel Eka kurniawan seperti Lelaki Harimau

(Man Tiger) atau Cantik itu Luka (Beauty is a Wound), atas desakan Ben Anderson, dirasa perlu

diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh penerbit ternama. Jadi, mengapa tidak

buku ini juga diperlakukan serupa?!?

3
Selain itu, seluruh foto yang dalam buku ini tampak kehilangan daya “chiaroscuro”

(gelap-terang)-nya (Anderson, 2000) lantaran dicetak dengan latar serba gelap/hitam. Sebab hal

itu justru tampak men-steril-kan kekuatan satiris dari foto hitam-putih dan sekaligus pesan utama

dari buku yang dijuduli amat paradoks, Gesang di Lahan Gersang. Barangkali jika dibuat

dengan model komik-strip atau mozaik penampilan dari foto-foto itu akan tampak ber-image

lebih tegas dan jelas. Semoga!

A. Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.

You might also like