Professional Documents
Culture Documents
“TERAPI DOA”
oleh:
Kelompok 7
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1984 WHO memasukkan dimensi spiritual keagamaan sama
pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu,
terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan,
terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan
fisik dan psikologis, psikososial dan spiritual (Ariyanto, 2006). The American
Psychiatric Association (APA) mengadopsi gabungan dari empat dimensi di atas
dengan istilah paradigma pendekatan biopsikososiospiritual (Hawari, 2002).
Lokakarya yang diselenggarakan APA pada tahun 1993 dengan judul Religion and
Psychiatry Model of Partnership memberikan suatu anjuran untuk menambahkan
terapi keagamaan disamping terapi psikis dan medis (Hawari, 2002).
Terapi psikoreligius merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang
mengkombinasikan pendekatan kesehatan jiwa modern dan pendekatan aspek
religius/keagamaan. Terapi ini bertujuan meningkatkan mekanisme koping
(mengatasi masalah) individu terhadap gangguan ansietas klien. Kegiatan-
kegiatan terapi psikoreligius dalam agama islam meliputi sholat, doa, dzikir, dan
membaca kitap suci. Terapi ini merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi
dari pada psikoterapi biasa. Hal ini dikarenakan terapi psikoreligius mengandung
unsur spiritual (kerohaniaan/ keagamaan) yang dapat membangkitkan harapan
(hope), rasa percaya diri (self confidence) dan keimanan (faith) pada diri
seseorang (Yosep, 2010 dalam Hawari, 2007). Salah satunya adalah penggunaan
doa sebagai terapi. Terapi doa merupakan suatu bentuk aplikasi yang dapat
digunakan dan dimanfaatkan untuk memberikan pengobatan untuk kesembuhan
seseorang.
Doa merupakan suatu media komunikasi antara seseorang dengan sang
Khalik (tuhan) dalam rangka memohon dan meminta hajat hidup di dunia maupun
di akhirat, mengeluh, dan mengadu atas permasalahan hidup yang dihadapi, atau
bentuk ketergantungan seseorang hamba yang lemah dan hina kepada Allah SWT
(Tuhan yang Mahaperkasa dan Mahamulia). Dalam doa terkandung juga unsur
dzikir dan memiliki pengaruh terapi terhadap jiwa seperti yang diuraikan oleh DR.
Hanna.
Di San Francisco, AS studi untuk mengetahui efektivitas doa dan zikir
dilakukan terhadap 393 pasien jantung. Responden dibagi dalam dua kelompok
secara acak. Kelompok pertama memperoleh terapi doa dan zikir, lainnya tidak.
Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang mendapatkan terapi doa hanya sedikit
yang mengalami komplikasi. Sementara pada kelompok yang tidak diberi terapi
doa timbul berbagai komplikasi. Prof Dr. Zakiah Daradjat, pakar dan praktisi
konseling dan psikoterapi Islam, berpendapat bahwa doa dapat memberikan rasa
optimis, semangat hidup dan menghilangkan perasaan putus asa ketika seorang
menghadapi keadaan atau masalah-masalah yang kurang menyenangkan baginya.
Di samping itu doa juga menimbulkan rasa percaya diri (selfconfident) dan
optimis (harapan kesembuhan). Ini merupakan dua hal yang amat essensial bagi
penyembuhan. Oleh karena itu, doa digunakan sebagai salah satu terapi
komplementer dalam fase penyembuhan.
B. PENGERTIAN DOA
Definisi doa secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab (da’a- yad’uu
– du’aa-an) yang berarti memohon atau meminta. Kata doa juga mempunyai
beberapa makna atau arti lain yang merujuk kepada ayat-ayat Al Quran dan Al
Hadist. Menurut Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Bada’I’ul Fawa’id menerangkan
bahwa doa merupakan permohonan untuk segala sesuatu yang bermanfaat dan
tuntutan untuk menjauhkan segala sesuatu yang mendatangkan kemudharatan.
D. INDIKASI
Tidak ada indikasi yang ditentukan untuk melakukan terapi doa. Namun
ada literatur menyebutkan bahwa indikasi terapi doa, yaitu pada kasus penyakit
terminal (White et al, 200 : 345). Selain itu dapat juga digunakan pada kasus-
kasus psikoneuroimunologi, seperti kanker, penyakit koroner dan penyakit
autoimun (Lorentz, 2006). Indikator dalam terapi doa, yaitu ansietas dan stres.
Kondisi-kondisi yang menimbulkan ansietas tinggi dapat diterapi dengan
menggunakan terapi doa, khususnya pada kasus-kasus penyakit kronis dan
terminal di mana tingkat stres yang tinggi dialami oleh klien. Dengan
menggunakan terapi doa dapat menghasilkan hipnosis diri untuk relaksasi di mana
timbul kesadaran dan kepercayaan terhadap Tuhan sehingga dapat meningkatkan
mekanisme koping dan menurunkab tingkat stres.
Berdasarkan hasil penelitian psikoimunologi, tingkat stres dan emosi
memiliki peranan penting dalam kemudahan mendatangkan penyakit (Daruna,
2004 dalam Lorentz, 2006). Menurut Lorentz (2006), stres mengatur aktivitas
sistem tubuh yang menyebabkan kekacauan dalam mempertahankan kesehatan.
Kemampuan menghadapi stresor yang rendah menyebabkan terjadinya penurunan
pertahanan homeostasis tubuh yang menyebabkan penurunan sistem imun. Stres
menstimulasi dan melepas enzyme dalam kelenjar adrenal untuk memproduksi
hormone stres, yaitu epinefrin, norepinefrin, dan kortikoid adrenal. Hormone
tersebut menyebabkan aktivasi perubahan biokimia dalam sistem saraf, endokrin,
dan sistem imun yang mempengaruhi semua sistem organ (Blauer-Wu, 2002
dalam Lorentz, 2006). Hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara
pikiran dan tubuh terhadap kondisi sakit ketika pikiran dan tubuh berkomunikasi
melalui sistem endokrin, saraf, dan sistem imun (Song & Leonard, 2000 dalam
Lorentz, 2006).
Terapi doa merupakan salah satu teknik pikiran-tubuh yang berfokus pada
Yang Maha Kuasa. Teknik ini menghasilkan emosi positif dan strategi koping
afektif yang dapat membantu mengubah cara pikir individu dalam menghadapi
masalah, melalui pengontrolan respon terhadap stres karena mereka harus
memaksakan kontrol reaksi dan perilakunya terhadap stres (Lorentz, 2006). Terapi
ini menggunakan aktivitas mental berulang dan menolak dengan sadar terhadap
pikiran-pikiran negatif dan menghasilkan stimuli kognitif menjadi positif. Ketika
stimuli kognitif positif diterima sistem saraf pusat, kemudian informasi tersebut
disampaikan melalui sistem hormonal kepada reseptor sel imun. Sel imum
memiliki reseptor molekul anti-ansietas. Jika reseptor ini menerima stimuli
kognitif positif, maka terjadi pengaturan aksi sistem imun di mana sistem imun ini
mempertahankan homesotasis tubuh yang dapat mempengaruhi limpa, kelenjar
limpa, dan limfoid sehingga meningkatkan autoimun.
Selain itu, stimuli kognitif yang merupakan hasil perbaikan pikiran
menyebabkan respon relaksasi melalui produksi gelombang alfa otak yang
memicu kondisi sejahtera dan relaksasi. Hal ini menyebabkan peningkatan denyut
jantung dan darah laktat yang sesuai dengan level rendah ansietas. Selain itu,
terjadi peningkatan aktivitas di sistem saraf simpatis yang menyebabkan
ketenangan dan ansietas rendah..
E. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi untuk terapi doa, yaitu penyakit psikiatri (Ernst et al, 2007:
163). Penyakit psikiatri merupakan penyakit di mana keadaan mental pasien
mengalami gangguan sehingga kesadaran dan kepercayaan terhadap Tuhan
menjadi tidak efektif. Selain itu, penyakit psikiatri menyebabkan gangguan
kognitif sehingga tidak dapat dihasilkan stimuli kognitif positif yang dapat
mempengaruhi emosi positif.
H. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Terapi keagamaan (intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa
ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien
skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak mengikutinya (Chudan Klien, 1985 dalam Yosep,
2007). Kegiatan keagamaan/ibadah/shalat menurunkan gejala psikiatrik. Riset
yaang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah,
meningkatkan jumlah bunuh diri di USA. Kesimpulan dari berbagai riset bahwa
religiusitas mampuh mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan,
mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan
(Mahoney et.all, 1985 dalam Yosep, 2007 dalam Fanada&Muda, 2012).
Menurut Darajat (1983 dalam Yosep, 2007 dalam Fanada&Muda, 2012),
perasaan berdosa merupakan faktor-faktor penyebab gangguan jiwa yang
berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini di akibatkan karena
seseorang merasa dosa yang tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian
menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik tersebut dapat berupa matanya menjadi
tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh. Kekosongan
spritual, kerohanian, dan rasa keagamaan yang sering menimbulkan permasalahan
masalah psikososial dibidang kesehatan jiwa para pakar berpendapat bahwa untuk
memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun sakit,
pendekatannya tidak lagi memandang manusia sebagai mahkluk biopsikososial,
tetapi sebagai makhluk biopsikososiospritual.
Pada beberapa penderita penyakit jantung, terdapat beberapa perilaku
psikologis yang muncul seperti gangguan stres akut, kecemasan, depresi, dan
pesimisme. Suatu penelitian menunjukkan bahwa perilaku berdoa pada pasien
pembedahan jantung terbukti meningkatkan rasa optimis, serta mengurangi
kecemasan dan stres akut (Al dkk, 2007). Penelitian serupa juga membuktikan
bahwa agama dan spiritualitas dalam menghadapi rasa sakit akan mempercepat
proses penyembuhan. Ketika seseorang menghadapi suatu penyakit berat seperti
kanker, jantung, dan HIV/AIDS, mereka mengaku menjadi lebih religius dan
spiritual. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku seperti: waktu untuk berdoa lebih
banyak, mencari petunjuk mengenai kebenaran, dan mendekatkan diri pada Tuhan
menjadi lebih intensif dibandingkan sebelum mereka sakit. Hal ini menunjukkan
bahwa subjek penelitian ini mempercayai Tuhan dan kegiatan spiritual dilakukan
untuk mendapatkan kesembuhan penyakit fisik (Woods & Ironson, 1999 dalam
Kuswardani, 2009).
Penelitian lain yang dilakukan pada 268 pasien di Amerika pada tahun
1996-1997 (Pargament, 2004) menunjukkan bahwa pasien yang melakukan
religious coping seperti mencari dukungan religius dan lebih banyak melakukan
ibadah religi berasosiasi dengan kesembuhan penyakitnya dan merubah kesehatan
fisik maupun psikisnya. Sedangkan pasien yang bersikap negatif terhadap
religious coping seperti menyalahkan Tuhan, tidak melakukan ibadah sama sekali
menunjukkan kesembuhan yang lebih lama, bahkan tidak kunjung membaik.
Dengan demikian, religiusitas seseorang merupakan prediktor terhadap kondisi
kesehatannya (Kuswardani, 2009).
Selain itu telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa agama
mempunyai peranan sebagai psikoterapi terhadap kesembuhan pasien. Matthews
dan Larson (1995) telah mengumpulkan sebanyak 212 penelitian yang menguji
efek dari komitmen religius terhadap hasil perawatan kesehatan. 75% dari
penelitian-penelitian itu menunjukkan adanya pengaruh yang positif agama
terhadap kesehatan, 17% menunjukkan efek campuran atau tanpa efek dan hanya
7% menunjukkan efek negatif. Misalnya penelitian Byrd (1988) menunjukkan
bahwa pasien-pasien yang menerima doa, ternyata mempunyai komplikasi yang
lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak menerima doa, ketika mereka
dirawat di Unit Gawat Darurat. Koenig (1997) mengumpulkan beberapa
penelitian yang membuktikan bahwa orang yang mempunyai agama kuat, akan
memiliki tekanan darah yang rendah, sedikit mengalami stroke, tingkat kematian
yang rendah karena serangan jantung dan dapat tahan hidup lebih lama secara
umum, serta sedikit penggunaan pelayanan medis (Subandi, 2003).
Agama juga dapat membantu proses koping dalam menghadapi penyakit.
Dalam penelitian Saudia et.al (1991) ditemukan bahwa 96% pasien menggunakan
doa untuk mengatasi stres ketika menghadapi operasi bedah jantung. 97%
mengatakan bahwa doa sangat membantu menghadapi situasi itu. Pada pasien
yang mempunyai kanker kandungan ternyata 91% mengatakan bahwa agama
membantu mereka mempunyai harapan Robert et.al (1997). Demikian juga bagi
pasien kanker payudara, ditemukan bahwa 88% menganggap bahwa agama
merupakan faktor yang sangat penting dalam hidup mereka (Subandi, 2003).
Selain penelitian-penelitian yang berkaitan dengan spiritualitas secara
umum, secara khusus penelitian tentang pengaruh doa terhadap kesembuhan
banyak dilakukan para ahli. Benson (2000) adalah salah seorang pelopor
penelitian tentang efektivitas doa. Selama 25 tahun dia memelopori penelitian
tentang manfaat interaksi jiwa dan badan di Harvard Medical School.
Disimpulkan bahwa ketika seseorang terlibat secara mendalam dengan doa yang
diulang-ulang (repetitive prayer), ternyata akan membawa berbagai perubahan
fisiologis, antara lain berkurangnya kecepatan detak jantung, menurunnya
kecepatan napas, menurunnya tekanan darah, melambatnya gelombang otak dan
pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme. Kondisi ini disebut oleh
Benson (2000) disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response) (Subandi,
2003).
Doa bagi pasien ternyata tidak terikat oleh dimensi ruang. Dossey (1996)
adalah profil dokter lain yang banyak mengungkapkan penelitian tentang
pengaruh doa. Dari berbagai penelitian yang dikumpulkannya disimpulkan bahwa
doa secara positif berpengaruh terhadap berbagai macam penyakit. Misalnya
tekanan darah tinggi, luka, serangan jantung, sakit kepala dan kecemasan. Proses-
proses fisiologis yang dapat dipengaruhi doa antara lain adalah proses kegiatan
enzim, laju pertumbuhan sel darah putih leukimia, laju mutasi bakteri,
pengecambahan dan laju pertumbuhan berbagai macam benih, laju penyumbatan
sel pemacu, laju penyembuhan luka, besarnya gondok dan tumor waktu yang
dibutuhkan untuk bangun dari pembiusan total, efek otonomi seperti kegiatan
elektrodermal kulit, laju hemolisis sel-sel darah merah dan kadar hemoglobin.
Dengan adanya bukti-bukti ilmiah seperti itu, maka dokter Dossey (1996) sendiri
selanjutnya menulis: “...setelah mempertimbangkan faktor-faktor ini selama
beberapa bulan, saya menyimpulkan bahwa saya akan berdoa bagi pasien-pasien
saya” (Subandi, 2003).
Bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh agama umumnya dan doa pada
khususnya ternyata juga berpengaruh pada sebagian besar masyarakat pengguna
jasa. Menurut majalah Time (1996) 82% pasien percaya kekuatan doa untuk
penyembuhan; 77% percaya Tuhan dapat mengintervensi untuk menyembuhkan
orang-orang yang mempunyai penyakit serius; 73% percaya bahwa doa dapat
membantu orang lain mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya. Kondisi
tersebut selanjutnya menumbuhkan keinginan pasien untuk mendapatkan doa
khususnya dan pelayanan spiritual pada umumnya. Survey dari National Institute
for Health Care Research di Amerika (1997) menunjukkan bahwa 70% dari
populasi yang diteliti menginginkan kebutuhan spiritual mereka dilayani sebagai
bagian dari pelayanan medis. Survei lain menunjukan bahwa 91% dokter
melaporkan bahwa pasien mereka mencari bantuan spiritual dan kerohanan untuk
membantu menyembuhkan penyakit (Subandi, 2003).
Di San Fransisco, pada tahun 1996 dilakukan studi terhadap 393 pasien
jantung untuk mengetahui sejauh mana efektifitas doa dan dzikir. Kelompok
pasien jantung dibagi dalam 2 kelompok secara acak, yaitu mereka yang
memperoleh terapi doa dan dzikir dan kelompok yang tidak. Hasilnya
menunjukkan bahwa kelompok mereka yang memperoleh terapi doa dan dzikir
hanya sedikit yang mengalami komplikasi, sedangkan kelompok yang lain
banyak mengalami komplikasi dari penyakit jantungnya (Snyderman, 1996 dalam
Kuswardani, 2009).
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku seseorang
akibat munculnya penyakit-penyakit berat menjadi lebih religius dan berdampak
terhadap kesembuhan. Sebaliknya, pasien yang justru menjadi kurang religius
ketika mendapatkan suatu penyakit, kesembuhannya lebih lama. Hal ini
membuktikan bahwa kegiatan spiritual membawa dampak positif yang signifikan
terhadap kondisi kesehatan seseorang (Kuswardani, 2009).
I. REFERENSI
Ariyanto D. 2006. Psikoterapi dengan Doa. Jurnal Suhuf vol XVIII no 1.
Fanada, Mery dan Muda, Widyaiswara. 2012. Perawat dalam Penerapan Terapi
Psikoreligius untuk Menurunkan Tingkat Stres pada Pasien Halusinasi
Pendengaran di Rawat Inap Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Palembang 2012. Sumateran Selatan: Badan Diklat Provinsi Sumatera
Selatan.
Hawari, D. 1997. Al-Quran Ilmu Kedokteran jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Dana Bakti Primayasa.
Subandi, Lestari, Retno dan Suprianto, Teguh. 2012. Pengaruh Terapi Religius
Terhadap Penurunan Tingkat Ansietas pada Lansia di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Sejahtera Pandaan Pasuruan. [diakses tanggal 13
Oktober 2013].