You are on page 1of 10

Bedog (bahasa Sunda) sering diterjemahkan sebagai golok dalam bahasa Indonesia.

Padahal
didalam naskah Sunda kuno yaitu Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) yang disebut
adalah kata golok, sebagai sebuah nama senjata raja. Kata Bedog ditemukan didalam kamus
bahasa Sunda-Inggris karya Joathan Rigg (1862) yang dijelaskan sebagai sebuah alat untuk
memotong dan menetak, tetapi didalam naskah naskah Sunda kuno kata bedog tidak ditemukan
hal ini ditandai dengan tidak adanya kata bedog didalam Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti
Sunda karya Elis Suryani dkk (2001). Nampaknya kata bedog lebih dikenal dikalangan rakyat,
sedangkan kata golok dikalangan raja, walaupun artinya itu-itu juga. Disini mungkin terjadi
desakralisasi fungsi golok yang tadinya sebagai alat perang raja, menjadi bedog sebagai alat
praktis dikalangan rakyat biasa. Bedog adalah sebuah alat untuk memotong, menetak atau
membacok berupa bilah logam besi atau baja yang salah satu sisinya diasah tajam, lebih besar
dan kokoh dibanding pisau (terjemahan bebas dari beberapa kamus bahasa Sunda).

Bermacam-macam bentuk bedog, apabila diambil garis besarnya terdapat empat macam bentuk
utama yaitu tonggong lempeng (punggung lurus), tonggong bentik (punggung agak melengkung),
beuteung lempeng (bagian tajam, ada yang menyebut huntu, lurus) dan beuteung ngagayot (
bagian tajam melengkung) sedangkan yang lain merupakan varian dari bentuk utama. Bentuk
punggung dibagi menjadi tiga yaitu nonggong munding (berbentuk seperti punggung kerbau),
nonggong kuya ( seperti punggung kura-kura) dan punggung rata, sebagian punggung ada yang
diberi jegongan (bagian ujung diberi cowak, seperti dibuat tajam). Jegongan ini disamping
sebagai variasi dari bentuk punggung tetapi ada juga fungsi praktisnya yaitu untuk membelah
kelapa tua yang telah dikupas bagian sabutnya.

Pada badan bilah bedog ada juga yang memakai ruruncang (lekukan memanjang ke arah ujung),
ini bukan saja sebagai bentuk variasi tetapi ada juga yang menganggap sebagai jalan darah ketika
bedog dipakai menyembelih binatang besar (kambing, kerbau atau sapi). Penampang bilah bedog
biasanya disebut beuteung siraru, mengambil bentuk badan atau perut satwa bernama laron.

Supaya bedog enak dipakai dan aman tatkala dibawa, maka perlu diberi perah (gagang,
pegangan) dan sarangka (sarung). Perahpun mempunyai nama dan bentuk yang cukup banyak
termasuk ukiran hiasan yang beragam, sedangkan sarangka lebih mengikuti ke bentuk bedog.
Antara bilah bedog, perah dan sarangka merupakan kesatuan yang utuh akan makna sebuah
bedog.

Di daerah Kecamatan Cibingbing Kabupaten Kuningan, ada tradisi yang disebut bedog wali
yaitu pada saat memberikan hantaran dari pengantin pria kepada pengantin wanita salah satu
pengantar pria harus ada yang membawa bedog. Tentunya bedog yang dibawa bukan bedog yang
telanjang (belum memakai perah dan tidak memakai sarangka), tetapi bedog yang lengkap,
bergagang dan bersarung, pastinya juga dilipih bedog yang bagus.

Tujuannya selain untuk keperluan praktis tetapi juga mempunyai makna simbolis terutama bagi
kedua mempelai, kata bedog katanya dari dibebed (diikat) supaya ngajedog (diam). Ini
mengandung arti bagi kedua mempelai setelah menikah harus mengikatkan diri, jiwa maupun
raga untuk satu tujuan yaitu kebahagiaan dunia maupun akhirat. Pernikahan itu tiada bedanya
dengan peribahasa bedog manjing sarangka. Suatu perbuatan yang tidak elok apabila sudah
menikah masih juga mencari sarangka lain, bilah bedog itulah laki-lakinya dan sarangka adalah
perempuannya.

Masyarakat Sunda sangat erat hubungannya dengan alam sekitarnya, hal inipun tercermin dari
memberikan nama pada bilah bedog dan perah. Nama berdasarkan tumbuhan atau bagian
tumbuhan : Bilah : Sintung Bening, Paut Nyere, Salam Nunggal, Jambe Sapasi, Sogok Iwung,
Kembang Kacang, Malapah Gedang, Janur, Gula Sabeulah, Beubeut Nyere, Sulangkar (Leea
sambucina Willd).

Perah : Balingbing, Eluk Paku (pakis), Pendul, Kembang, Potongan Kai, Sopak Lodong,
Jejengkolan.

Nama berdasarkan satwa : Bilah : Simeut Pelem, Buntut Lubang, Tambak(ang). Perah : Buhaya,
Ekek, Soang Ngejat, Jawer Hayam, Cinghol (Ucing Nonghol), Pingping Hayam, Kucuit, Simeut
Bako, Meong, Monyet/Lutung, Lauk Cai, Kuda Laut, Garuda, Mear, Lutung Moyan, Ceker
Kidang.

Nama bilah yang berkaitan dengan pekerjaan : Pamilikan (pabilikan), Pamoroan, Pameuncitan
atau Pamotongan, Sadap, Nyacag Daging, Soto.

Nama bilah karena bentuk : Betekok, Petok, Gayot, Bentelu. Masih didapat nama lain seperti
untuk bilah Hambalan, Jonggol, Narimbang. Untuk perah : Wayang Arjuna, Kresna, Cepot,
Semar.

Dari beberapa sumber ternyata nama bilah bedog bukan hanya nama tetapi ada makna simbolik
disebalik nama tersebut, memang tidak setiap nama bilah bedog mengandung makna simbolik.
Salam nunggal, umpamanya, nama ini dikaitkan dengan awal penyebaran agama Islam di Tatar
Sunda. Hal ini bisa dibaca pada Wawacan Gagak Lumayung baris ke 340 karya MO Suratman,
yang selesai ditulis pada akhir tahun 1956 “Sampurna Iman Islam, jaga ieu kubur janten lembur
rame pisan, mugi-mugi sing tepi paneda kami, nelahna Salam Nunggal”. Kata salam didalam
bahasa Sunda bisa diartikan sebagai nama pohon yang daunnya untuk penambah aroma sayuran,
arti lain adalah doa untuk keselamatan, sedangkan nunggal dari kata dasar tunggal. Makna salam
nunggal pada bedog adalah walaupun kita mempunyai atau membawa bedog, tetapi keselamatan
tetap harus berserah diri kepada Yang Maha Tunggal, Allah Swt. Untuk itu menggunakan bedog
harus mempunyai tujuan yang pasti, yang diridloi oleh Allah Swt. Salam Nunggal juga adalah
nama sebuah desa di Leles Garut. Bentuk bedog salam nunggal berpunggung lurus begitu juga
bagian yang tajam, diujung (congo) melengkung dari bagian yang tajam menyerupai seperempat
bulatan ke arah punggung. Ukuran panjang dan lebar tidak ada ukuran baku hampir untuk semua
jenis bedog, tergantung ketersediaan bahan tetapi tetap berbentuk harmonis antara panjang dan
lebar.{ http://rumahbacabukusunda.blogspot.co.id/2008/06/makna-dibalik-nama-bedog.html}
Bedog dalam Tradisi Orang Sunda; Masyarakat Sunda, khususnya lelaki Sunda pedesaan
biasanya memiliki paling tidak sebilah bedog yang siap menemani tuannya. Bedog memiliki
bentuk sederhana, hanya terdapat dua bagian dalam perkakas ini yaitu, wilah dan gagang.
Wilah adalah bagian tajam pada bedog, biasa dibuat dari baja atu logam keras lainnya, sedangkan
gagang adalah tempat untuk memegang bedog tersebut, biasanya terbuat dari kayu, tanduk
kerbau, dan lain-lain.
Sebagai tambahan, biasanya bedog memiliki sarangka atau sarung sebagai tempat untuk
menyimpan bedog tersebut ketika tidak digunakan. Pada sarangka ini biasanya terdapat tali yang
berfungsi untuk mengikat bedog pada pinggang si pengguna.
Bedog atau dalam bahasa Indonesia disebut golok merupakan perkakas logam yang berfungsi
sebagai penetak atau pemotong. Istilah golok sebenarnya agak kurang sepadan dengan bedog.
Dalam naskah Siksa Kanda ng Karesian (1518) kata golok merujuk pada senjata yang digunakan
oleh para raja.
Sepertinya istilah bedog hanya digunakan oleh karangan rakyat, sehingga penyebarannya istilah
tersebut meluas di kalangan rakyat saja. Jonathan Rigg dalam kamus Bahasa Sunda –Inggris
menyebut bedog sebagai alat untuk memotong dan menetak.
Namun, secara fungsi hal tersebut kemudian meluas, berbanding lurus dengan berbagai macam
jenis bedog itu sendiri. Paling tidak ada delapan jenis bedog menurut fungsinya, antara lain:
Bedog Pameuncitan
Bedog jenis ini memiliki dimensi ukuran panjan antara 25-27 cm dan lebar sekitar 3 cm. Lazim
digunakan untuk menyembelih. Pameuncitan sendiri berasal dari kata peuncit yang berarti
sembelih, dan pameuncitan berarti alat untuk menyembelih.
Bedog Pamoroan
Bedog jenis ini memiliki ukuran yang paling panjang di antara bedog-bedog lainnya. panjangnya
sekitar 40-50 cm dan lebar sekitar 3,5 cm. Sesuai dengan namanya, bedog ini digunakan sebagai
alat untuk berburu, moro berarti berburu. Dalam istilah yang lebih umum biasa disebut survival
golok.
Bedog Tani
Bedog ini memiliki ukuran panjang sekitar 25-30 cm dan lebar 4 cm. Digunakan untuk segala
kebutuhan bertani. Bedog yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda.
Bedog Pamugeulan
Bedog ini memiliki ukuran panjang sekitar 23-24 cm dan lebar 6 cm. Bedog ini digunakan untuk
memotong kayu atau benda-benda keras lainnya, oleh karena itu bedog ini lebih tebal.
Bedog Sotogayot
Bedog ini hampir sama dengan bedog pamugeulan, tetapi lebih tipis karena biasa digunakan
untuk membelah atau apapun yang berhubungan dengan bambu.
Bedog Dapur
Bedog ini memiliki ukuran panjang 20 cm dan lebar 6 cm. Biasa digunakan untuk urusan dapur,
seperti membelah kayu bakar dan lain-lain.
Bedog Panguseupan
Bedog ini digunakan untuk kegiatan memancing. Memiliki panjang 17-20 cm dan lebar 3cm.
Bedog Cepot
Banyak orang yang menyangka bahwa bedog ini hanya sekedar hiasan, karena bentuknya yang
pendek dan lebar. Padahal bentuk seperti itu pada dasarnya adalah untuk menetak, seperti kapak.
Bedog ini memiliki ukuran panjang 15 cm dan lebar 9 cm.
{http://www.wacana.co/2012/06/bedog-dalam-tradisi-orang-sunda/}
Pada tahun enam puluhan atau pada tahun tujuh puluhan sering diadakan upacara tujuh
bulanan, yaitu upacara kehamilan pada saat berusia tujuh bulan. Salah satu ritual seting
(kelengkapan ritual) berupa kelapa muda berwarna gading biasa disebut cengkir gading yang
telah diberi gambar wayang Arjuna dan Sumbadra. Ketika cengkir tersebut telah diberi gambar
Arjuna dan Sumbadra maka cengkir tersebut disimpan ditempat yang telah disediakan, tidak
boleh dilangkahi karena dianggap cengkir itu telah mempunyai tuah. Padahal cengkir itu
sebelum digambari sama dengan cengkir lainnya yang tidak mempunyai tuah apapun.

Disitulah hiasan atau gambar sebagai penanda yang memberikan transformasi makna akan
sebuah benda, dalam hal ini cengkir sebagai petanda. Hal ini terjadi karena benda keseharian
bisa diseret memasuki ranah ritual yang transendental. Makna gambar wayang Arjuna dan
Sumbadra, diharapkan bayi yang dikandung mempunyai sifat kesatria seperti Arjuna apabila itu
adalah laki-laki, dan apabila perempuan diharapkan akan memiliki sifat-sifat baik seperti
Sumbadra (saat itu belum ada USG yang bisa mengetahui bayi laki-laki atau perempuan dalam
kandungan). Dengan cara pandang yang sama apakah ada makna lain didalam ragam hias
pada bedog, memang tidak setiap ragam hias mempunyai makna simbolik, ada juga melulu
sebagai hiasan.

Kata bedog sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai golok, padahal kata
golok sendiri itu adalah bahasa Sunda sebagai buktinya kata golok itu ada pada naskah kuno
Sunda Sanghyang Siksakandang Karesian (1518). Disebutkan golok adalah senjatanya para
raja. Apabila mengacu kepada Kamus Basa Sunda Danadibrata (2006) arti bedog adalah
pakarang paranti kudak-kadek yaitu senjata tajam untuk memotong, memetak termasuk untuk
membacok. Sedangkan arti golok masih pada kamus yang sama diartikan sebagai bedog
pondok atau bedog yang pendek. Bedog yang lengkap harus memakai gagang atau disebut
perah dan supaya aman dibawa harus memakai tempat biasanya disebut sarangka. Ragam
hias pada bilah bedog hampir tidak ada, kecuali berbentuk rajah atau pamor, tetapi ragam hias
pada perah dan sarangka cukup banyak dan variatif. Jadi istilah ragam hias pada bedog lebih
kepada ragam hias pada perah dan sarangka bedog. Bahan untuk membuat perah dan
sarangka bedog adalah kayu dan tanduk, biasanya tanduk kerbau atau tanduk domba.

Untuk mendapatkan sebuah bedog yang lengkap dengan perah dan sarangkanya, biasanya
melalui beberapa tahapan produksi. Yang paling utama adalah panday (orang yang mempunyai
keahlian mengolah besi) dan maranggi (orang yang mempunyai keahlian mengukir pada media
kayu atau media lain). Ada istilah lain yang berkaitan dengan pembuatan bedog. Seperti gosali
adalah tempat untuk bekerjanya panday, lambusan adalah alat untuk meniup bara api pada
gosali menyerupai kantong udara terbuat dari kulit kambing, ububan adalah alat memompakan
udara terbuat dari batang pohon pinang yang telah dilubangi. Piruruhan adalah dapur tempat
bara api untuk membakar besi. Paron adalah landasan besi yang cukup besar dan berat,
gunanya untuk tempat memukul membentuk besi yang telah dibakar pada piruruhan. Antara
panday dan maranggi merupakan profesi yang berbeda, apabila bilah bedog telah selesai
dikerjakan oleh panday maka akan dibawa ke maranggi untuk diberi perah dan sarangka, nah
bentuk perah dan sarangka berikut hiasannya itu semua dikerjakan oleh maranggi.

Sentra produksi bedog di Jawa Barat cukup banyak, hampir di setiap tempat ada, beberapa
diantaranya yaitu di Galonggong Manonjaya Tasikmalaya, Pasir Jambu di Ciwidey Bandung,
Cibatu Cisaat Tasikmalaya dan Tanjungsiang di Subang yang terkenal dengan bedog barlen.
Sedangkan di Banten yang terkenal produk bedognya adalah daerah Ciomas.

Keindahan sebuah bedog ditentukan oleh pengerjaan mulai dari bilah bedognya, perah sampai
sarangka. Secara garis besar ada tiga kelas bedog, yaitu obregan, alus dan istimewa. Obregan
biasa juga disebut kodian, kelas ini sangat kurang dalam hal pekerjaan detil, tidak halus dan
ada kesan asal jadi, lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas. Kelas yang disebut alus
biasanya lebih halus dalam detil dan mementingkan kualitas dibanding kuantitas sedangkan
kelas istimewa adalah yang dikerjakan berdasarkan pesanan, tentunya dikerjakan sangat hati-
hati dan halus baik bilah maupun perah, sarangka dan ornamennya.

Motif atau Pola Ragam Hias

Ditemukan pola ragam hias yang disebut beubeut nyere. Pola ini ditemukan hampir pada setiap
perah bedog dari setiap daerah sentra produksi bedog. Pola beubeut nyere di daerah Ciwidey
disebut dengan sogokan. Pada dasarnya pola beubeut nyere ini didapatkan dari motif lengkung
dan lurus yang dibuat berulang-ulang, sehingga membentuk pola yang tetap. Alasan pemberian
nama pola ini menjadi beubeut nyere tidak ditemukan secara pasti. Hanya ada keterangan yang
menyebutkan awalnya melihat bekas lidi yang terjatuh pada tanah lembek sehingga
meninggalkan bekas seperti bekas tusukan-tusukan ujung pisau, hal inipun dicontohkan ketika
membuat lantai tembok supaya permukaan tidak licin sering dipukul-pukul oleh sapu lidi. Tetapi
ada keterangan lain yang mengatakan sebetulnya bukan beubeut nyere tetapi bebed nyere
artinya ikatan lidi. Pola ragam hias ini di Ciwidey tidak disebut beubeut nyere tetapi disebut
sogokan, karena pada saat membuatnya ditusuk-tusuk (bahasa Sunda disogok) oleh ujung
pisau raut. Yang menarik istilah sogokan juga terbapat pada bilah keris, sebagai lambang
kesuburan dimana tanda bertemunya baga purusa (kelamin perempuan dan laki-laki). Ada juga
yang mengartikan sogokan sebagai purusa jalma, sebagi simbol lubang masuk ke tubuh
manusia yang berjumlah sembilan yaitu dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut,
kelamin dan anus.

Sisi lain yang menarik adalah makna nyere atau lidi itu sendiri. Nyere sebagai tulang daun
kelapa yang banyak gunanya didalam kehidupan, apabila sekian banyak lidi diikat akan menjadi
sapu lidi, apabila sebuah lidi dipotong-potong serong kecil menjadi seumat atau kalau lebih
panjang akan menjadi tusuk sate. Yang menariknya kenapa sebuah senjata tajam seperti
bedog ada keterkaitan dengan lidi, seperti nampak pada penamaan bilah bedog ada yang
disebut paut nyere, begitu juga dengan nama ragam hiasnya, beubeut nyere atau bebed nyere.
Ada lagi nama bilah bedog yaitu paut sintung, sintung yaitu semacam kelopak atau
pembungkus suligar, bunga kelapa. Nampaknya ini ada hubungan dengan anggapan bahwa
pohon kelapa sebagai pohon hayat atau pohon hidup, karena hampir semua bagian dari pohon
kelapa ada gunanya didalam kehidupan. Apabila dilihat agak jeli pola beubeut nyere atau bebed
nyere yang melingkar sepanjang lingkaran perah atau sarangka akan nampak seperti
menggambarkan ikatan sekian banyak lidi, tiada bedanya ikatan sapu lidi. Sehingga ada kesan
apabila mencabut bilah bedog dari sarangkanya, seolah tiada bedanya dengan mencabut
sebatang lidi dari ikatan sapu lidi. Yang memberi tandanya adalah penamaan bilah bedog yaitu
paut nyere. Kata paut dalam bahasa Sunda adalah kata kerja yang artinya mencabut lidi dari
ikatannya. Sepertinya disitu ada pesan yang ingin disampaikan kepada pemakai bedog bahwa
mencabut bedog adalah kurang baik apabila tidak ada maksud yang pasti, karena itu akan
mengurangi nilai ikatan kekerabatan. Apabila demikian maksudnya tentunya istilah pola ragam
hias bernama beubeut nyere kurang tepat, lebih tepat bebed nyere, karena kata beubeut artinya
jatuh dengan keras. Mungkin ini adalah perubahan bunyi akibat kesalahan pendengaran yang
seharusnya bebed nyere menjadi beubeut nyere.

Selanjutnya pola ragam hias cacag buah, sebetulnya ini adalah bentuk motif belah ketupat yang
disambung-sambung. Pola ini untuk sementara hanya dijumpai di daerah Ciwidey. Penempatan
pola ini pada perah dan sarangka, ada juga secara mandiri pada simeut meuting. Kata buah
untuk orang Sunda berarti (buah) mangga, yang terasa unik mengapa bentuk belah ketupat
yang disambung-sambung tersebut disebut cacag buah. Biasanya kata cacag lebih dilekatkan
dengan kata nangka seperti babasan atau peribahasa pendek yang berbunyi cacag nangkaeun
yang berarti memotong motong sesuatu tanpa beraturan dan sekenanya. Mungkin pemberian
nama cacag buah ini lebih condong kepada peniruan bentuk menyajikan buah mangga yang
telah dikupas dan dipotong-potong untuk dimakan. Beberapa sumber yang ditanya tidak bisa
memberikan makna simbolik dari bentuk hiasan ini, ini murni hanya hiasan tidak ada makna
simbolik lainnya.

Bentuk lain adalah motif melingkar (meander) atau secara tradisional suka disebut cacing meulit
atau apabila digambar lebih tebal akan nampak seperti daun pakis yang masih muda, yang
ujungnya masih melingkar. Apabila dirangkai akan nampak seperti suluran atau suka disebut
kangkungan (seperti tumbuhan kangkung). Didalam kepercayaan lama, suluran atau
kangkungan ini melambangkan tumbuhan diatas air yang berarti kesucian tiada bedanya
dengan teratai atau lotus. Disamping motif melingkar ada lagi motif lengkung yang dirangkai
menjadi seperti gelombang atau secara tradisional disebut ombak, hanya sayang tidak
ditemukan sumber yang bisa memberikan makna simboliknya. Penempatan motif ini pada
perah dan sarangka, kadang terasa dominan karena ragam hias ini hampir ada di setiap perah
maupun sarangka.
Sedangkan khusus pada bedog barlen, hiasan pada perah dan sarangka lebih dominan berupa
tambahan material lain terutama logam dari aluminium yang dibuat sedemikian rupa. Seperti
pada sarangka hiasan tersebut merupakan belitan logam yang berfungsi selain hiasan juga
sebagai simpay atau pengikat dan hiasan lain berbetuk titik serupa paku yang disusun teratur.
Walaupun demikian pada perah bedog barlen hiasan beubeut nyere atau sogokan masih
nampak.

Bentuk Perah

Bermacam-macam bentuk perah bedog, bentuk ini tentunya mempunyai nilai estetik disamping
diperkaya dengan hiasan ukiran lainnya, dan merupakan ornamen tersendiri bagi bedog.
Penamaan bentuk inipun ada yang terasa eksotis, seperti ranggeum endog, soang ngejat,
lutung moyan, jengkol sagendul. Ada juga yang mengundang tanya seperti nama potongan kai
dan cinghol, ternyata potongan kai meniru bentuk potongan dahan pohon kayu sedangkan
cinghol merupakan singkatan dari ucing nonghol.

Bentuk lain ada yang meniru burung, harimau, singa, monyet, naga, buaya dan lain-lain. Yang
agak lain dan hanya ditemukan di Ciwidey adalah bentuk mear, makara dan priaman. Mear
menurut Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda (2001) adalah semacam binatang melata
apabila ditempat gelap seperti bersinar karena mengandung fosfor. Makara menurut kamus
Bausastra Jawa-Indonesia (1981) artinya udang, ada juga yang menyebutkan makara adalah
binatang mitologi yang hidup di dalam air dengan bentuk berbelalai seperti gajah.

Priaman inilah nama yang tidak ketahui secara pasti apa artinya, walaupun ada juga sumber
yang mengatakan bahwa itu singkatan dari Priangan yang aman. Bentuk mear, makara dan
priaman terutama makara dan priaman yang kaya akan ukiran, ini mengingatkan akan bentuk
peninggalan buhun, peninggalan masa lalu.

Menurut Haji Aas As’ari, pengrajin bedog dari Cibatu Cisaat Sukabumi, pada dasarnya perah
bedog berbentuk jengkol sagendul atau bentuk golong tambang, ini mempunyai arti bahwa
hidup itu harus menunduk tiada bedanya dengan ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk.
Sedangkan bentuk yang lain hanya variasi yang kadang-kadang lebih menonjolkan nilai
estetisnya. Tentunya nilai estetis itu tidak sampai mengurangi fungsi praktis sebagai pengait
pada jari kelingking supaya tidak terlepas saat dipegang karena licin ketika tangan berkeringat.

Serangka dan Simeut Meuting

Bentuk sarangka pada dasarnya mengikuti bentuk bilah bedog, karena fungsinya adalah
sebagai wadah supaya bedog terasa aman ketika dibawa, dan supaya tidak mengesankan
ngabar-ngabar bedog, membawa bedog dengan sembarangan.
Pola ragam hias sarangka bedog hampir sama dengan pola ragam hias pada perah bedog.
Karena sarangka lebih lebar dibanding perah dan lebih datar, sepertinya maranggi lebih bebas
berekspresi, sehingga hasilnya nampak lebih tegas.

Tetapi dalam bentuk lebih variatif bentuk perah dibanding sarangka, karena bentuk sarangka
harus mengikuti bentuk bilah bedog. Sarangka dibentuk oleh tiga bagian yang paling atas
disebut gado atau sambung, bagian tengah disebut awak dan bagian bawah disebut tutup atau
sopal.

Pada bagian awak sebelah atas mendekati gado di salah satu sisinya, ada yang disebut simeut
meuting. Simeut meuting ini sepertinya bagian yang terpisah dari sarangka, karena mempunyai
bentuk tersendiri, walaupun harus selalu ditempatkan pada sarangka.

Fungsinya adalah untuk penguat tempat tali pengikat ke pinggang pemakai bedog. Bentuk
simeut meuting ini sangat banyak ragamnya terutama yang dibuat di daerah Ciwidey seperti
cacag buah, godobos, hulu bogo, huntu kala, simeut bentelu dan lain-lain.
Yang menarik dari daerah Galonggong Tasikmalaya yaitu bentuk simeut meuting berbentuk
cecak dan kujang. Ketika ditanyakan kepada Pak Yoyo, pengrajin bedog di Galonggong,
katanya bentuk itu sudah ada sejak dulu. Dalam kepercayaan lama cecak dilambangkan
sebagai kewaspadaan, biasanya dikombinasikan dengan bentuk tumbuhan atau lukisan cecak
digambarkan menempel pada pohon.

Mungkin cecak sebagai simeut meuting yang menempel pada sarangka sebagai pohon..
Sedangkan kujang adalah senjata tradisonal orang Sunda.

Benda Budaya

Bedog merupakan benda budaya warisan karuhun yang patut dihargai, hasil dari perenungan
ide yang mengalir menjadi sebuah bentuk bernilai seni, filosofi dan teknologi, disitu ada unsur
simbolis yang bisa dikuak, disamping sebagai benda pajangan. Dan itupun bisa menjadi bahan
penelitian, menjadi objek keilmuan dan kebudayaan. Mungkin disana bisa dilacak tapak
karuhun dalam mengarungi kearifan lokal, bukankah seperti dikatakan oleh Jakob Sumardjo
(Khazanah Pantun Sunda, 2006) bahwa alam pikiran yang mengendap menjadi pengetahuan
nilai-nilai sekarang bukan hanya terdiri dari perolehan pengetahuan nilai sekarang, melainkan
juga dari masa lampau masyarakatnya. Nilai-nilai arkeologis ini ia peroleh melalui tradisi
masyarakatnya. Bobot pangayon timbang taraju, mangga nyanggakeun.
{http://puterapanjalu.blogspot.co.id/2012/05/ragam-hias-pada-bedog.html}

You might also like