You are on page 1of 14

Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan

JurnalRelokasi: Kasusdan
Ilmu Sosial Warga Watugajah
Ilmu Politik
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013
Volume 18, Nomor 1, Juli 2014 (1-14)
ISSN 1410-4946

Kepengaturan dan Penolakan Relokasi:


Kasus Warga Watugajah Pascabencana Gunung Merapi
Tahun 2011-2013

Lubabun Ni’am•

Abstract
After the 2010 Mount Merapi eruption, the people of Watugajah Village, Magelang District, Central
Java Province, were conducted to relocate from their hometown. The resettlement programme was
implemented as part of post-disaster governmentality means with birocratic rationality on disaster-prone
zone. Governmentality is “an attempt to regulate people through calculated means” (Li, 2007: 275); “the
techniques and procedures that undertakes to conduct individuals throughout their lives by placing them
under the authority of a guide responsible for what they do and for what happens to them” (Foucault, 2003).
Based on an empirical research in Watugajah and several secondary data from various sources (news and
programme handbook), this article examines a research question: how the contestation among the actors
in Watugajah happened to the case of the people’s denial of the relocation in the context of Mount Merapi
post-disaster? This article shows an inquiry that the denial is not a part of an antipathy to the governmental
authority. Instead, people show both their self defence positioning to get the better life based on their own
reason as well as their tactical positioning to be head-to-head with the programmes, aids, and the policies
derived from various sides.

Keywords:
governmentality; the denial of resettlement; contestation among actors; Mount Merapi.

Abstrak
Pascabencana Gunung Merapi 2010, warga Dusun Watugajah di Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah, diarahkan untuk relokasi. Relokasi diterapkan sebagai bagian dari strategi kepengaturan
pascabencana dengan rasionalitas birokratis dan ilmiah tentang kawasan rawan bencana.
Kepengaturan (governmentality) adalah “upaya untuk mengatur manusia dengan cara-cara yang
terkalkulasi” (Li, 2007: 275); “teknik dan prosedur yang diterapkan dengan jalan menempatkan
kehidupan individu-individu di bawah otoritas yang bertanggung jawab untuk mengarahkan
apa yang mereka lakukan dan terjadi pada mereka” (Foucault, 2003). Warga Watugajah menolak
skema relokasi. Berdasarkan penelitian lapangan di Watugajah dan data sekunder dari berbagai
sumber (berita dan buku program), artikel ini hendak menjawab pertanyaan: bagaimana kontestasi
di antara para aktor yang terjadi dalam kasus penolakan warga Watugajah terhadap relokasi
pascabencana Gunung Merapi? Artikel ini menyajikan temuan bahwa penolakan warga bukanlah
bentuk antipati terhadap otoritas kepengaturan. Warga justru menunjukkan gabungan antara
sikap mempertahankan diri untuk kehidupan yang lebih baik menurut mereka, sekaligus bersikap
taktis atas hadirnya program, bantuan, maupun kebijakan dari berbagai pihak.


Editor INSIST Press
Email: lubabunniam@mail.ugm.ac.id

1
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

Kata kunci:
kepengaturan; penolakan relokasi; kontestasi antaraktor; Gunung Merapi.

Pendahuluan yakni pengurangan risiko bencana. Terlebih lagi,


Bencana merupakan ancaman bagi Indonesia yang karena sering dihantam bencana,
kelangsungan hidup manusia. Tetapi, sekarang dianggap sebagai “supermarket
kerentanan dalam struktur komunitas bencana” (James, 2008: 426). Berkaitan dengan
manusialah yang memengaruhi besar atau premis bahwa teknik kepengaturan adalah
kecilnya setiap paparan ancaman sebagai praktik kekuasaan, maka kepengaturan
sebuah bencana. Sekalipun begitu, kerentanan bencana pun layak untuk dilihat dalam suatu
tidak mengidap sedari lahir dalam diri manusia relasi kuasa bila mencermati betapa gejala ini
atau terkandung secara terberi pada lingkungan tidak sama purbanya dengan kejadian bencana
komunitas. Kerentanan tidak tiba-tiba jatuh itu sendiri. Diskursus tersebut bergerak paralel
dari langit (Ribot, 2010). Sebaliknya, tingkat dengan kampanye global tentang pengurangan
kerentanan terbentuk oleh dimensi sosial, risiko bencana. Manajemen penanggulangan
politik, dan ekonomi yang kompleks (Wisner bencana pun mengalami pemantapan yang
et al., 2004) serta bertautan dari masa ke masa berarti setelah terjadi sejumlah agenda global
(Bankoff, 2004). Kerentanan dapat ditekan di tingkat regional maupun global (Hewitt,
dalam rangka menciptakan profil masyarakat 1995; Tierney, 2012).
yang cepat dan selalu bangkit dari bencana. Pada sejumlah kawasan rawan bencana,
Teori umum dalam kajian bencana memberikan kerangka diskursus tersebut diterapkan dalam
asumsi bahwa kerentanan dapat dikurangi praktik-praktik yang spesifik. Masyarakat di
seminimal mungkin dengan jalan memperkuat daerah yang ditetapkan sebagai kawasan rawan
kapasitas masyarakat (lihat INSIST, 2012). sehingga mengancam kehidupan komunitas,
Argumentasi itulah yang selanjutnya misalnya, diarahkan agar mempunyai
memantik dorongan global untuk rencana dan prosedur kesiapsiagaan. Mereka
mengantisipasi ancaman bencana supaya tidak memetakan potensi kawasan masing-masing,
meluluhlantakkan capaian pem-bangunan membuat peta kawasan, membikin rencana
dan modernisasi skala luas. Ide mengenai kontijensi untuk setiap ancaman bencana,
pengurangan risiko bencana berangkat dari mempersiapkan tim relawan desa, dan
kehendak ini sehingga mendorong berbagai sebagainya. Bagi komunitas yang terpapar
aktor untuk menerapkan intervensi guna oleh bencana sebelumnya, mereka “disuntik”
membangun masyarakat yang mempunyai dengan berbagai program pemulihan,
seperangkat teknik untuk menyikapi bencana, pemberdayaan ekonomi, revitalisasi ruang
baik pada fase sebelum, saat, maupun sesudah budaya lokal yang khas, termasuk membangun
bencana (Twigg, 2009: 8). Seperangkat teknik kembali permukiman yang dianggap aman
untuk membangun kondisi masyarakat yang terhadap bencana. Mereka yang masuk
memiliki daya lenting terhadap bencana dalam kawasan rawan bencana Gunung
itulah yang dinamakan sebagai—meminjam Merapi pada 2010, contoh, diarahkan untuk
cara pandang dari Foucault (1991)—upaya meninggalkan tempat tinggal semula. Seruan
kepengaturan (governmentality). tersebut diarahkan pula pada warga Dusun
Pemahaman terhadap praktik Watugajah—dusun yang berada persis di tepi
kepengaturan dalam bencana tidak bisa Jalan Raya Yogyakarta-Semarang di kawasan
dilepaskan dari diskursus yang lebih besar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. (Demi

2
Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013

menghindari prasangka yang tidak perlu dan pascabencana Gunung Merapi pada 2010?
dalam rangka menjaga keberlanjutan kegiatan Artikel ini membatasi cakupan data lapangan
warga, nama “Watugajah” digunakan sebagai selama rentang 2011 hingga 2013. Tahun 2011
sebutan pengganti untuk nama dusun lokasi diambil sebagai batas awal penelitian ini karena
penelitian.) pada tahun itulah, tepatnya pada Januari 2011,
Dampak dari bencana Gunung Merapi warga Watugajah terpaksa meninggalkan lokasi
pada 2010 memang merasionalisasi penerapan dusun, buntut dari limpasan lahar hujan Gunung
program rehabilitasi dan rekonstruksi Merapi. Batas akhir data penelitian ini adalah
p a s c a b e n c a n a b a g i wa r g a p e n y i n t a s . (akhir) 2013, dimana pengumpulan data mesti
Pemerintah pusat memutuskan sejumlah area dicukup-kan setelah warga memutuskan untuk
yang terdampak langsung sebagai areal larang kembali menghuni kawasan dusun semula.
huni bagi warga. Kawasan Watugajah termasuk
ke dalam kawasan zona merah limpasan lahar Kepengaturan dan Relokasi
dingin Kali Putih, sehingga menjadi areal Kepengaturan (governmentality)
larang huni. Oleh karena itu, warga yang merupakan cara pandang yang diperkenalkan
sebelumnya menetap di Watugajah—bukan Michel Foucault pada 1970-an (Rose, O’Malley,
hanya menetap, melainkan juga turun-temurun dan Valverde, 2006: 83). Kepengaturan atau
menghidupi lingkungan tersebut—diarahkan conduct of conduct (pengaturan perilaku)
untuk relokasi. Relokasi bisa dilakukan secara merupakan “upaya untuk mengatur manusia
mandiri maupun secara berkelompok dengan dengan cara-cara yang terkalkulasi” (Li, 2007:
bantuan pemerintah dan prokurator proyek 275). Foucault (2003) melihat kepengaturan
relokasi. Rencana relokasi itu hadir ke tengah- secara luas sebagai teknik-teknik dan prosedur
tengah warga ketika mereka masih berada di yang diterapkan “dengan cara menempatkan
lokasi hunian sementara. Kehadiran program kehidupan individu-individu di bawah otoritas
relokasi diikuti dengan bergulirnya prasangka, yang bertanggung jawab untuk mengarahkan
rumor, dan pergolakan di internal warga. apa yang mereka lakukan dan apa yang terjadi
Maka, begitu warga menolak relokasi dan pada mereka”. Kepengaturan merupakan
terjadi kontestasi yang melibatkan berbagai “rangkaian taktik yang beragam” yang
aktor dan otoritas, analisis yang relevan adalah dimaksudkan untuk menggapai “serangkaian
analisis tentang kepengaturan dari program hasil akhir yang spesifik” (Foucault, 1991: 95).
bersangkutan, yakni relokasi atas warga Menurut Li (2007: 276):
Watugajah sebagai penyintas pascabencana.
Analisis sosiologi untuk kepengaturan tidak “Intervensi program kepengaturan
bisa mengelak dari pembacaan atas kontestasi itu penting untuk diperhatikan karena
kuasa yang menghubungkan para aktor dalam membuahkan suatu dampak. Tetapi,
kumparan kepengaturan. Perhatian analisis ini intervensi kepengaturan itu jarang
membentuk dunia baru yang sesuai
terletak pada “keragaman otoritas yang berusaha
dengan perencanaan, meski intervensi
mengatur perilaku” dan “cara di mana kita itu memang mengubah sesuatu.
(warga) sekarang dibentuk oleh konflik” (Rose, Intervensi itu mungkin ditentang,
2004: 21, tambahan dalam tanda kurung oleh tetapi penentangan itu tidak berasal
penulis) dalam konteks penolakan relokasi. dari posisi atau matriks di luar bidang
Oleh karena itu, artikel ini hendak menjawab kekuasaan.”
rumusan masalah yang berbunyi: bagaimana
kontestasi antaraktor yang terjadi dalam kasus Pada titik ini, kekuasaan untuk mengatur
penolakan warga Watugajah terhadap relokasi membentuk dikotomi antara kekuasaan itu

3
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

sendiri dan penentangan terhadapnya (counter- atau menampung kritik, yang ada justru
conduct); “antara program dan kegagalannya, sebaliknya: depolitisasi yang efektif terhadap
antara tindakan dan penentangan terhadap realitas konflik pada ranah implementasi
tindakan tersebut” (Rose, 2004: 21). Oleh karena kepengaturan.
itu, subjek dalam intervensi kepengaturan Secara khusus, artikel ini menilik
harus dibentuk, diposisikan, dan dipersepsikan kepengaturan relokasi pascabencana, yang
secara berbeda. Proses pembentukan subjek sejatinya diturunkan dari diskursus tentang
ini abai bahwa hal itu bukanlah “proyek pengurangan risiko bencana, serta pengaruhnya
yang mulus dan sempurna, melainkan secara terhadap warga Watugajah yang sebagian
inheren mengandung karakteristik konflik, tidak mau dan sebagian mau pindah dari
kontestasi, dan kekacauan” (McKee, 2009: lokasinya semula. Dengan demikian, artikel ini
474). Bahkan, tidak sebatas ketika praktik menjadi “refleksi dan komentar atas diskursus”
kepengaturan sudah diterapkan, “pada saat (Abrahamsen, 2000) pengurangan risiko
program kepengaturan dinyatakan, seketika bencana dalam bentuk kepengaturan relokasi.
itulah kontestasi sudah menjadi perwujudan Artikel ini bukan penilaian yang umum tentang,
nyatanya” (van Baar, 2011: 14) karena “relasi misalnya, modal sosial dalam membangun
terkait kontestasi (…) itu melekat dalam komunitas yang tangguh terhadap bencana
diri sang pengatur ” (O’Malley et al., 1997 (cf Kusumasari dan Alam, 2012; Saragih et
dalam van Baar, 2011: 14). Dengan demikian, al., 2014). Artikel ini menggali dampak yang
praktik kepengaturan tidaklah homogen dan menyembul dan dipertarungkan warga
menyegala sehingga dalam dirinya melekat Watugajah sebagai strategi dekonstruksi yang
batas-batas. tumbuh “mengikis, memaparkan, membuat
Ada empat batasan praktik kepengaturan rentan, dan memungkinkan terhambatnya”
(Li, 2007: 276–277). Pertama, kekuasaan itu (Foucault, 1978: 100–101, 2008: 130–131)
mengarahkan individu bertindak untuk kepengaturan relokasi.
melakukan sesuatu sehingga kekuasaan tidak Dalam konteks pascabencana, relokasi
sama dan tidak bekerja dengan kekerasan merupakan salah satu program pembangunan
atau cara-cara totalitarian yang lain. Kedua, yang terdapat dalam rangkaian kegiatan
populasi yang menjadi target kepengaturan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
beririsan dengan interaksi sosial dan latar Artikel ini sependapat dengan Bauman
kesejarahan tertentu yang rumit dan berada (dalam Oliver-Smith, 2002: 2): relokasi adalah
di luar jangkauan perencanaan. Oleh karena “perwujudan nyata dari ambisi perekayasaan
itu, pengatur perlu menghadirkan konjungtur yang dilakukan oleh negara, yang di dalamnya
yang spesifik untuk mewadahi intervensinya. mengandung unsur adanya monopoli negara
Keberadaan populasi ini, bagi Foucault (1991: dalam mengelola kekuatan paksaan, relatif
95), sangat krusial karena tampil di atas tak bertentangan dengan bentuk kekuasaan
segalanya sebagai tujuan akhir dari pengaturan. nonpolitik dan institusi-institusi yang mengurus
Ketiga, intervensi kepengaturan mengandung persoalan sosial lain, serta mampu melakukan
risiko akan lahirnya dampak yang bisa kontrol terhadap lokasi orang dan objek-objek
kontradiktif sehingga program kepengaturan yang ada di dalamnya”. Oleh karena itu,
yang diterapkan akhirnya jadi sia-sia bahkan “orang yang direlokasi merupakan cerminan
kontraproduktif. Keempat, adanya ketegangan dari kondisi ketidakberdayaan sebagai korban
tertentu antara rasionalitas untuk mengatur karena dari situlah dia kehilangan kontrol atas
dan tindakan untuk mengkritiknya. Jadi, ruang secara fisik” (Oliver-Smith, 2002: 2), serta
sebenarnya tidak pernah ada istilah menerima tercerabut dari nilai-nilai sosial, budaya, dan

4
Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013

ekonomi yang melekat di sebalik ruang fisik Rekompak adalah “pemberdayaan masyarakat
tersebut. dengan mengedepankan perpaduan antara
pembangunan bertumpu pada kelompok
Relokasi Pascabencana Gunung Merapi masyarakat dan pembangunan bertumpu
Relokasi korban bencana letusan Gunung pada nilai” (2011: 4). Itu berarti, ada dua
Merapi 2010 adalah bagian dari proyek yang tumpuan atau poros dalam pembangunan.
dipegang oleh kelembagaan yang bekerja dalam Pertama, kelompok masyarakat. Ini berarti
kegiatan rekonstruksi pascabencana gempa “mendudukkan masyarakat sebagai pelaku
bumi di D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan utama yang dipercaya mampu mengambil
Jawa Barat, lalu letusan Gunung Merapi 2006. keputusan penting menyangkut hidup mereka”.
Kelembagaan yang merupakan prokurator Oleh karena itu, mereka dianggap memiliki
yang dimaksud adalah proyek Rekonstruksi kapasitas untuk terlibat dalam upaya pemulihan
dan Rehabilitasi Masyarakat dan Permukiman permukiman, “dengan pendampingan yang
Berbasis Komunitas (Rekompak). Proyek tepat” (2011: 4). Kedua, nilai. Melalui proyek
tersebut dirancang sebagai bagian dari strategi pembangunan permukiman pascabencana,
rekonstruksi pascabencana hasil kerjasama masyarakat diharapkan bisa mengembangkan
Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia. Salah “nilai-nilai luhur seperti saling percaya, gotong
satu buku acuan tentang proyek rekonstruksi royong, dan lain-lain untuk menumbuhkan
adalah buku yang diterbitkan Bank Dunia kembali kapital sosial” (2011: 4).
berjudul Safer Homes, Stronger Communities: Tentu saja, proyek relokasi ini bukan
A Handbook for Reconstructing after Natural tidak mengubah sesuatu: ada hunian baru bagi
Disasters (Jha et al., 2010). warga korban bencana Gunung Merapi pada
Sedari nama proyek, pendekatan “berbasis 2010. Sebelum bencana tersebut terjadi, lewat
komunitas” memang tampak eksplisit. mekanisme Java Reconstruction Fund (JRF), telah
Ada promosi bahwa proyek rehabilitasi dibangun 15.000 rumah tahan gempa di Jawa.
dan rekonstruksi pascabencana digarap Setelah itu, dari dana Pemerintah Indonesia
dengan konsep partisipatif. Pendekatan ini sendiri, dibangun 200.000 rumah dalam
menegaskan pendapat Sliwinski (2010: 177) waktu kurang dari dua tahun (Sekretariat
bahwa rekonstruksi pascabencana tidak dapat Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias
dilepaskan dari konsep “partisipasi komunitas”; dan Java Reconstruction Fund, 2012). Untuk
pekerja bencana berperan dalam merancang dan rekonstruksi pascabencana Gunung Merapi
menjalankan proyek-proyek yang menekankan pada 2010, hingga November 2012, tercatat
pelibatan masyarakat. Davidson et al. (2007: 1.305 rumah telah dibangun, 452 rumah dalam
101) mengutarakan pandangan serupa: proses pembangunan fisik, dan 378 rumah
“literatur-literatur kontemporer mengenai dalam masa persiapan untuk dibangun (Layang
pelaksanaan proyek permukiman, termasuk PRB, Oktober-November 2012). Sekalipun
proyek rekonstruksi pascabencana, mengkaji terlihat adanya capaian impresif, intervensi
seputar paradigma yang telah diterima secara berwujud proyek permukiman pascabencana
luas sebagai partisipasi komunitas”. Gunung Merapi sulit untuk dijadikan sebagai
Narasi besar tersebut juga tertulis dalam klaim atau tidak begitu saja menjadi cermin
dokumen berjudul Proyek Rehabilitasi dan dari partisipasi warga dalam membangun
Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman komunitas baru yang tangguh terhadap
Berbasis Komunitas Pascaerupsi Gunung Merapi bencana.
2010: Pedoman Operasional Umum (2011). Terhadap korban penyintas Gunung
Dalam buku itu disebutkan bahwa pendekatan Merapi pada 2010, peran dari prokurator

5
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

adalah “memfasilitasi pembangunan rumah yang berhulu dari puncak dan lereng Gunung
tahan gempa dengan merelokasi warga ke Merapi dinyatakan sebagai kawasan larang
daerah yang dinyatakan aman untuk dihuni huni. Sesuai peta yang dikeluarkan Badan
berdasarkan peta kawasan rawan bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Gunung Merapi yang dikeluarkan oleh Badan Mineral, Watugajah termasuk dalam Kawasan
Geologi Kementerian Energi dan Sumber Rawan Bencana I. Di atas peta, Watugajah
Daya Mineral” (Direktorat Jenderal Cipta termasuk areal berwarna kuning, dengan
Karya, 2011: 36). Arahan untuk relokasi inilah penjelasan sebagai:
yang tidak bisa diterima oleh semua warga
di lereng Gunung Merapi. Pada awal ide “(…) kawasan yang berpotensi terlanda
tersebut mengemuka, yakni tatkala warga lahar/banjir dan tidak menutup
mulai jenuh tinggal di hunian sementara dan kemungkinan dapat terkena perluasan
awan panas dan aliran lava. (...)
sebagian mulai balik ke tempat tinggalnya
Apabila terjadi lahar dalam skala besar,
semula, di sejumlah titik terdapat spanduk warga masyarakat yang terancam agar
protes berbunyi: “Kami Butuh Renovasi, dievakuasi untuk mencegah korban
Bukan Relokasi”, “Mengapa Kami Menolak jiwa. Secara umum cara penyelamatan
Relokasi”, dan “KRB: Kawasan Ra di-Bantu” diri adalah menjauhi daerah aliran
(Jalin Merapi, 26 November 2010; 17 Juni 2011). sungai dan menuju tempat evakuasi
Ungkapan protes itu dapat ditemui di Dusun yang aman. Sosialisasi dan pelatihan
penanggulangan bencana lahar perlu
Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen,
dilakukan.”
ketiganya termasuk kawasan Desa Glagaharjo,
Kecamatan Cangkringan, Sleman. Penolakan
Kepala Dusun Watugajah mengakui
terhadap relokasi juga mengemuka dari
bahwa kawasan dusunnya secara nalar
sebagian warga Desa Pangukrejo, Kecamatan
memang masuk akal terkena limpasan lahar
Cangringan, dan Dusun Watugajah.
hujan. Pasalnya, daerah aliran Kali Putih yang
melewati kawasan Watugajah sebelumnya
Nalar Tanding tentang Kawasan Rawan
dangkal, sempit, dan berkelok. Pada peristiwa
Bencana
bencana 2011, limpasan lahar hujan awalnya
Seusai erupsi Gunung Merapi 2010, melewati jalan raya Yogyakarta-Semarang,
limpasan lahar hujan yang mengalir dari Kali kemudian masuk ke dusun bagian utara. Aliran
Putih menerjang sebagian kawasan Watugajah, lahar hujan menerabas kelokan, meluber ke
awal Januari 2011. Limpasan itu membawa luar badan sungai yang dangkal dan sempit.
material lumpur dan batu-batu raksasa dari Material lahar hujan merangsek ke kawasan
puncak Gunung Merapi. Dua dari tiga kawasan Watugajah hingga bentang 200 meter jika
rukun tetangga di dusun tersebut terempas ditarik dari bibir Kali Putih.
oleh limpasan lahar hujan, yang merusak Setelah itu, sesuatu yang disebut “nalar”
dan mengubur puluhan rumah warga. Oleh pun bersifat dinamis menurut warga. Mereka
karena dampak lahar hujan itulah, beberapa menerima secara nalar kejadian 2011, tetapi
waktu kemudian, warga diarahkan untuk juga memasang nalar tanding yang lain ketika
relokasi, dalam arti meninggalkan dusun sejumlah solusi kebijakan diterapkan oleh
karena kawasan mereka dicap sebagai kawasan pemerintah: warga menganggap tidak lagi
rawan bencana lahar hujan. Setelah rentetan benar mengatakan kawasan dusun mereka
peristiwa erupsi dan lahar hujan Gunung sebagai kawasan berbahaya selayaknya kondisi
Merapi pada rentang akhir 2010 hingga awal 2011. Warga pun berani menolak arahan untuk
2011, setiap bentang 300 meter dari bibir sungai relokasi justru karena pemerintah dianggap

6
Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013

telah memberikan solusi dalam wujud yang berbeda dengan kawasan-kawasan


pembangunan teknis. Cara mengambil sikap lainnya. Kekhususan itu merujuk pada
berdasarkan permainan nalar semacam ini keberadaan jalan raya Yogyakarta-Semarang.
tentu saja berbenturan dengan pertimbangan Dalam persepsi warga, apabila terjadi sesuatu
dalam logika penetapan kawasan rawan dengan jalan raya utama tersebut, pemerintah
bencana, yang notabene dirumuskan secara akan menyelamatkan akses jalan. Oleh karena
ilmiah berdasarkan kejadian lahar hujan pada itu, Watugajah pun tetap selamat dan menjadi
2011 (lihat Aisyah dan Purnamawati (2012), bagian dari upaya penyelamatan tersebut.
Hidayat dan Rudiarto (2013), dan Putro Sekalipun demikian, pengalaman bencana
(2011)). telah membuat warga Watugajah berupaya
Ada dua hal yang menjadi alasan yang lebih mempersiapkan diri untuk siaga terhadap
masuk akal bagi warga untuk menolak relokasi. bencana. Warga Watugajah membentuk tim
Pertama, pembuatan jembatan baru dan siaga dari relawan-relawan setempat. Di tengah
sungai yang sudah diperdalam dan diperlebar. dusun, dipasang menara pemancar ulang
Sebelum Watugajah terkena limpasan Kali handy talkie (HT). Mereka disokong oleh salah
Putih, sebuah jembatan besar sempat terempas satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
sehingga memutus transportasi utama dari dalam mengembangkan kapasitas tim siaga.
Magelang ke Yogyakarta. Tetapi, jembatan Mereka melakukan simulasi seandainya terjadi
itu kini sudah dibangun kembali. Semua bencana sehingga tahu cara yang benar untuk
sungai yang tidak mampu menampung merespons ancaman. Sejumlah alat penyokong
aliran lahar hujan pada 2011 juga diperdalam tim siaga hampir mencukupi: jalur evakuasi,
dan diperlebar, bahkan di beberapa bagian titik kumpul, tandu, truk sebagai kendaraan
ditinggikan dengan tanggul yang kokoh. Di evakuasi, megaphone, genset, repeater dengan
sejumlah titik di badan sungai juga didirikan frekuensi radio tersendiri, termasuk protokol
sabo dam, yang dianggap mampu menahan tetap dan tugas pokok dan fungsi bagi personel
laju aliran sungai sehingga debit dan arusnya tim siaga. Jadi, ada komitmen untuk menjadi
tidak akan besar sesampainya di kawasan hilir dusun yang tangguh bencana (lihat Ascholani
pada bagian bawah. Kepala Dusun Watugajah dan Padmono akan terbit). Keputusan untuk
berkata, andai program relokasi direalisasikan kembali ke Watugajah disadari bukan tanpa
sebelum ada kebijakan tersebut, warga pasti alasan dan bukan tindakan yang ngawur.
bersedia untuk relokasi. Dengan begitu, tanpa
ada program relokasi pun warga pasti akan Merawat Jejak Kesejarahan atas Ruang
pindah. Tetapi, karena sudah ada solusi berupa Pada November 2012, 20 kepala keluarga
pembangunan teknis dari pemerintah, sebagian di Watugajah membangun rumah masing-
besar warga akhirnya balik ke Watugajah. masing di lokasi semula yang terdampak
Kedua, kawasan Watugajah dianggap (Kedaulatan Rakyat, 8 November 2012).
memiliki karakter yang berbeda dengan Sebulan berikutnya, sebagian besar warga
kawasan korban bencana yang lain, baik itu tengah menempuh tahap-tahap akhir dalam
dibandingkan dengan kawasan di lereng membangun rumah. Salah satu warga, semisal,
atas Gunung Merapi maupun kawasan lain telah membangun rumah dengan dana sendiri
terdampak lahar dingin yang berada lebih sekitar 60 juta rupiah (Seputar Indonesia, 24
jauh dari jalan raya antarprovinsi. Posisi September 2012). Bagi dia, yang tinggal bersama
Watugajah yang terletak persis di tepi jalan raya istri dan tiga anak, Watugajah adalah tanah
Yogyakarta-Semarang itulah yang menjadikan leluhur keluarga sehingga tidak ada alasan
Watugajah dianggap memiliki karakter khusus untuk tidak menghidupi kembali tanahnya.

7
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

Apalagi, makam mertua terletak tidak sampai sebagaimana terjadi pada bencana pada 1969.
sepelemparan bola dari rumahnya. Watugajah, Hanya, tinggi dan meluasnya kerusakan
bagi warga setempat, telah menorehkan latar pada bencana 2011 itu lebih dikarenakan oleh
kesejarahan yang panjang jejaknya. Pada material luncuran, terutama batu-batu, yang
konteks ini, relokasi berarti upaya pihak berukuran besar-besar sehingga bangunan
luar untuk menghapus jejak mereka di tanah apa pun tidak mungkin bisa menahannya.
sendiri. Bencana merupakan bagian dari Sementara kini, dalam pemahaman warga,
sejarah itu sendiri, yang turut merawat ingatan material vulkanis yang masih tersimpan di
sosial dari generasi ke generasi. perut gunung sudah muntah banyak. Di perut
Sementara itu, bagi warga yang lain, dia gunung, material vulkanis sisa letusan pada
dan keluarga enggan pindah dari Watugajah 2010 sudah lebih berkurang untuk membentuk
karena sang suami bekerja sebagai penambang lagi luncuran lahar sehebat sebelumnya. BNPB
pasir yang lokasi penambangannya ada di (2011) memperkirakan, baru seperempat dari
sekitar Watugajah (Kompas, 25 Oktober 2012). total 140 juta meter kubik material hasil erupsi
Program untuk memindahkan keluarga ini dari Gunung Merapi pada 2010 yang dialirkan
Watugajah berarti tindakan yang memperberat melalui lahar hujan. Lahar hujan diprediksi
sebuah keluarga untuk tetap bertahan sehari- terus terjadi selama 3–4 tahun berikutnya.
harinya. Ketika limpasan lahar hujan sudah Semua itu menjadi sebentuk pengetahuan
meninggalkan tahapnya sebagai bencana, yang direproduksi orang-orang Watugajah
tentu janggal untuk menerima upaya relokasi berdasar persentuhan dengan latar kesejarahan
yang dapat menjauhkan seseorang dari sumber diri atas ruang dan rencana relokasi yang
penghasilan. Bagi warga yang bekerja sebagai menghampiri mereka. Bahwa sikap yang diambil
penambang pasir dan pengolah batu, seperti warga untuk tetap tinggal di Watugajah berarti
dinyatakan warga yang lain, bahwa kalau tidak tidak tunduk pada arahan supaya relokasi, hal
ada luncuran lahar hujan, malah membuat itu menunjukkan bahwa proses dan pengetahuan
orang Watugajah merana. sosial berhasil membentuk preferensinya sendiri.
Dari sini tersirat bahwa bencana lahar Bahkan, untuk mengatakan warga Watugajah
hujan bukanlah sesuatu yang baru bagi warga memiliki sikap menolak secara utuh pun tidaklah
Watugajah. Sejauh ingatan warga, Watugajah tepat. Bahwa terdapat penolakan relokasi, itu
pernah diterjang bencana limpasan lahar hujan memang benar, bahkan terjadi pada sebagian
pada 1969. Seorang warga masih mengingat besar warga. Sampai September 2012, tercatat 64
kisah dari orangtuanya tentang limpasan lahar kepala keluarga sudah menerima proyek relokasi,
dingin pada 1969. Ketika itu, kawasan RT 01 sementara 106 kepala keluarga yang lain menolak
terpapar lahar hujan. Rumah-rumah warga relokasi. Sebagian warga Watugajah mengikuti
masih berdiri dengan bahan papan kayu. program relokasi. Sebagian mengikuti relokasi,
Warga Watugajah yang kehilangan rumah, tetapi tetap menempati rumah di Watugajah yang
sama seperti respons warga atas bencana lahar dianggap masih patut ditinggali. Kepala Dusun
hujan pada 2011, kembali membangun hunian Watugajah berujar bahwa warga tidak pernah
di lokasi semula. Dia menuturkan bahwa harta menolak hunian tetap, hanya menolak relokasi.
benda selalu bisa dicari kembali.
Sementara itu, pada kejadian bencana Kontestasi Kuasa dalam Penolakan
2011, hampir semua bagian rumah warga Relokasi
sudah bermaterial batako atau batu bata alias Dalam sebuah kesempatan audiensi
rumah dengan dinding tembok. Artinya, dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
tidak ada kelemahan dari segi bangunan, (BPBD) Magelang, warga Watugajah mendapat

8
Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013

informasi bahwa orang-orang yang menolak Di muka sudah disebutkan, dari perspektif
relokasi tidak akan mendapatkan bantuan warga, preferensi untuk kembali ke Watugajah
kebencanaan apa pun dari pemerintah, kecuali bukanlah berdasar pada faktor ancaman.
fasilitas kesehatan dan pendidikan. Listrik juga Yang jelas, terdapat ketakutan dari warga
tidak akan difasilitasi PLN. Untung, warga Watugajah akan kehilangan tanah. Tidak ada
Watugajah sudah mengurus listrik sebelum warga yang mau relokasi jika mereka harus
ada program relokasi. Listrik masih terpasang melepas tanah yang mereka warisi dari generasi
di Watugajah sampai masa penelitian. Tidak ke generasi. Sejumlah warga yang kemudian
ada pemutusan listrik setelah ada ancaman mengambil hunian tetap, meskipun belum tentu
yang diterima langsung oleh warga dalam relokasi, dianggap sebagai warga yang melunak
kesempatan audiensi. Pada Oktober 2012, salah karena mereka sudah mendapat kepastian bahwa
satu staf BPBD Magelang mengatakan bahwa negara tidak akan mengambil tanah (Suara
pihaknya masih terus membuka kesempatan Merdeka, 30 April 2012). Warga tetap memiliki
bagi warga yang berada dalam kawasan tanah karena, dalam pembangunan hunian
rawan bencana erupsi dan lahar dingin untuk tetap, tidak ada fase pengalihan status tanah
mengikuti relokasi (Kompas, 22 Oktober 2012). semula sang penerima huntap (Suara Merdeka, 8
Memang terdapat persimpangan yang tanpa Februari 2012). Pada Juni 2012, 33 kepala keluarga
titik temu antara warga dan pihak yang mendaftar ke pemerintah desa untuk mendapat
memegang otoritas kebijakan. Persimpangan hunian tetap. Kepala desa menyebutkan bahwa
itu memperlihatkan basis argumentasi dari pelunakan sejumlah warga itu disebabkan ada
masing-masing pihak berdasarkan kewenangan jaminan bahwa tempat tinggal mereka tetap
dan otoritas institusi. menjadi hak warga, meski menerima hunian
Persimpangan itu tampak dari dua kasus tetap (Kedaulatan Rakyat, 8 April 2012). Bagi
terkait program relokasi Watugajah. Pertama, kepala desa, faktor yang memicu “keberhasilan”
terkait dengan rencana relokasi. Pada Januari tersebut adalah adanya “komunikasi yang baik”
2011, sudah ada pemikiran untuk menerapkan antara DPRD dan pemerintah desa mengenai
program relokasi bagi warga Watugajah. Hanya kepastian hak milik atas tanah bagi warga
saja, saat itu masih dalam tahap pemikiran dan Watugajah.
penyelarasan antara berbagai institusi, seperti Pada kasus lain terkait tanah, “komunikasi
Pemerintah Kabupaten Magelang, BNPB, yang baik” itulah yang dicurigai warga yang
dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan menolak relokasi. Kepala Dusun Watugajah
Teknologi Kegunungapian (BPPTK). Pada awal mengatakan, dari peta tata ruang yang ada di
2011, Sekretaris Daerah Kabupaten Magelang balai desa, kawasan Watugajah merupakan
mengatakan bahwa rencana relokasi masih kawasan yang diproyeksikan sebagai terminal
sebatas wacana dan kajian terhadap wacana kargo atau peti kemas. Meski isu tersebut segera
itu membutuhkan waktu lama, yakni dua dibantah Kepala BPBD Magelang (Seputar
hingga tiga tahun (Suara Merdeka, 7 Januari Indonesia, 24 September 2012), bantahan itu
2011). Dalam konteks mitigasi bencana, hasil muncul belakangan setelah warga mencurigai
kajian mereka diarahkan untuk menghasilkan rencana tata ruang Pemerintah Kabupaten
pengaturan yang terbaik, dalam arti sesuai Magelang yang tidak dikabarkan kepada warga.
dengan kondisi dan ancaman yang dihadapi Salah satu warga Watugajah berkata bahwa ia
warga Watugajah. Penekanan pada faktor tidak rela lahannya dikuasai oleh pihak lain,
“ancaman” lahar hujan sebenarnya sudah termasuk untuk pembangunan terminal kargo
memperlihatkan ke mana kepengaturan (Seputar Indonesia, 24 September 2012). Dia
mengarah, yang akan dipaparkan di bawah. menyimpulkan, mencuatnya isu pembangunan

9
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

terminal peti kemas menunjukkan bahwa 319 keluarga menolak meninggalkan tempat
pemerintah tidak bisa berlaku transparan asal mereka (Sindonews, 24 Oktober 2012),
kepada warga. Kecurigaan yang terbentuk sebagian di antaranya adalah warga Watugajah.
sebagai pengetahuan tanding versi warga tidak Ketika itu, di Kabupaten Temanggung saat
dapat ditangkis hanya dengan bantahan. Usai kunjungan dinas di Subterminal Agribisnis
warga Watugajah balik ke dusun, hingga masa Soropodan, yang berarti tidak di hadapan
penelitian, tidak ada aktivitas pembangunan warga penyintas Gunung Merapi secara
terminal peti kemas di titik mana pun di lokasi langsung, Gubernur Jawa Tengah mengatakan
yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam tidak akan bertanggung jawab terhadap warga
Pasal 51 ayat (5) Peraturan Daerah Nomor 5 yang menolak relokasi apabila suatu waktu ke
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah depan terkena bencana. Gubernur menganggap
Kabupaten Magelang Tahun 2010–2030. bahwa orang-orang yang menolak relokasi
Kedua, tercermin dalam rapat DPRD harus bertanggung jawab terhadap segala
Magelang bersama perwakilan warga konsekuensi dan risiko yang harus ditanggung
Wa t u g a j a h , B P P T K , B P B D M a g e l a n g , oleh karena keputusan yang diambil mereka
Rekompak, Balai Besar Wilayah Sungai sendiri (Kompas, 25 Oktober 2012).
Serayu-Opak (BBWSSO), dan dinas lain
yang terkait di Gedung DPRD Magelang Di Sebalik Relokasi: Analisis Kepengaturan
pada Rabu, 23 Mei 2012 (Tribunnews, 23 Mei Mempromosikan pendekatan berbasis
2012; Seputar Indonesia, 24 Mei 2012). Sebulan komunitas, relokasi terhadap warga penyintas
sebelum menggelar audiensi tersebut, Ketua bencana Gunung Merapi 2010 tidak layak
DPRD Magelang mengadakan kunjungan disebut sebagai upaya paksaan, apalagi
lapangan ke Watugajah (Suara Merdeka, 30 April merupakan instrumen kekerasan. Relokasi itu
2012). Pada kesempatan itu, Kepala Dusun intervensi etis yang mengarahkan warga untuk
Watugajah berkata bahwa seharusnya ada menjauh dari ancaman alam serta dilengkapi
kelonggaran dari pemerintah terkait dengan arahan untuk memperkuat kelembagaan dan
hunian kembali warga yang berada dalam kapasitas kesiapsiagaan warga atas ancaman
radius 300 meter dari tepi Kali Putih. Sang serupa sebelumnya dan ancaman lain-lain
pejabat menanggapi hal itu sebagai permintaan yang potensial ke depan. Intinya, relokasi
warga dan akan mengawal permintaan warga adalah praktik kepengaturan yang terkalkulasi.
supaya dikabulkan oleh pemerintah. Pada Pada titik inilah, relokasi sebagai strategi
sesi rapat audiensi bulan berikutnya, pejabat kepengaturan berjumpa pada batas-batas yang
yang bersangkutan memimpin rapat dan tidak terelakkan. Di sebalik penolakan relokasi
membiarkan “kawalan” dia atas permintaan warga Watugajah, artikel ini merumuskan
warga ditelan oleh rekomendasi agar Watugajah empat poin pemikiran generik tentang
dikosongkan, sesuai dengan pemaparan ilmiah intervensi kepengaturan pascabencana.
dan birokratik dari BPPTK dan BBWSSO. Pertama, kepengaturan relokasi warga
Kunjungan dan audiensi bersama warga Watugajah dapat menjadi kasus menarik
menjadi instrumen “depolitisasi yang efektif” untuk melacak dan memikirkan ulang definisi
(Li, 2007: 277) atas penolakan warga untuk dan karakteristik “negara”. Pada titik ini,
menerima program relokasi dari Watugajah. “negara” sedari awal didetailkan dengan
Berdasarkan Surat Gubernur Jawa Tengah istilah lain seperti “rezim pengatur”, “aparatus
Nomor 360/18319 tertanggal 20 September 2012, birokrasi”, atau “kebijakan pemerintah”;
di Kabupaten Magelang, hanya 426 keluarga bahwa “negara” bukanlah entitas fakta itu
dari 746 keluarga yang bersedia relokasi dan sendiri, melainkan klaim (Abrams dalam

10
Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013

Li, 2005: 385). Mitchell (dalam Li, 2005: 385) yang masuk sebagai kawasan rawan bencana.
turut mengarahkan supaya kita menaruh Dari situlah narasi tentang “bagaimana
perhatian pada “praktik kepengaturan kekuasaan bekerja untuk mendasari ruang
modern yang menghasilkan kekuatan yang yang berbeda dan bagaimana perencanaan
nyata dari negara dan keterpisahannya dari terhadap ruang tersebut menghasilkan
masyarakat”. Relokasi warga Watugajah dampak terhadap kekuasaan” (Li, 2005:
tidak dapat diingkari merupakan teknik- 385) ditelisik. Peta tersebut membentuk
teknik yang diproduksi oleh institusi negara suatu kawasan menjadi berbeda-beda, yakni
modern dan penyokongnya dalam rangka menjadi kawasan rawan bencana, sehingga
mengatur warga. Teknik kepengaturan melalui membuatnya distingtif terhadap kawasan
relokasi telah menunjukkan bagaimana lain yang bukan kawasan rawan bencana.
“negara” menjadi entitas berbeda dari warga. Penolakan relokasi dari warga Watugajah tidak
Untuk menguatkan pentingnya relokasi dan berada di luar matriks di mana kekuasaan
memahamkannya kepada warga, negara untuk mengatur mendapatkan legitimasi. Li
mendayagunakan otoritas dan kewenangan (2005: 385) menyebutkan: “penolakan muncul
untuk mengklaim kebenaran dari sebuah dari dalam matriks ini dan merespons dalam
tindakan yang mestinya diambil oleh warga. beragam ranah kekuasaan”. Warga Watugajah
Negara hadir sebagai ide dengan klaim yang tidak hanya menjadi kelompok yang menolak
membenarkan kebijakannya. relokasi, tetapi juga menjadi kelompok yang
Kedua, aktor dan otoritas serta kepakaran merepresentasikan diri sebagai pihak yang
dan spesifikasi masing-masing dalam praktik diancam, dibohongi, dan mengupayakan
pengurangan risiko bencana, program sendiri kebutuhan dalam rangka memperbaiki
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, kehidupan pascabencana.
termasuk proyek relokasi, itu beragam. Khusus Keempat, penolakan warga bukanlah
pada kasus Watugajah, penulis melihat para bentuk antipati terhadap otoritas kepengaturan.
aktor yang sesungguhnya berbeda peran, Dalam konteks pascabencana Gunung Merapi,
otoritas, narasi-narasi etis yang dipromosikan, selalu dapat ditemui semacam harapan akan
dan batasannya masing-masing. Untuk perhatian melalui program pemerintah dan
relokasi, Rekompak mendapati peran tersendiri ungkapan-ungkapan syukur dan terima kasih
sebagai prokurator proyek. Dalam praktiknya, kepada pihak-pihak lain seperti LSM yang telah
prokurator bersentuhan dengan beragam memberikan pendampingan. Karena warga
institusi seperti kepala dusun, kepala desa, aktif dalam formasi diskursif kepengaturan
gubernur, BPBD, BPPTK, LSM, BBWSSO, pascabencana, mereka kerap menempatkan diri
DPRD, termasuk warga itu sendiri. Narasi sebagai subjek yang tidak bermaksud untuk
yang mencuat dari masing-masing aktor menepis keterlibatan dalam segalanya yang
telah membentuk relokasi menjadi formasi lain. Warga Watugajah terbukti masih terlibat
diskursif tersendiri yang tidak tuntas, retak, dalam menyiapkan tim siaga, sekalipun mereka
dan terus berjalan. Dengan demikian, sulit menolak relokasi. Tidak hanya di Watugajah,
untuk melacak visi kepengaturan yang utuh kasus Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul,
dan tunggal. “Semua itu dibentuk dalam dan Srunen juga menunjukkan karakter yang
relasi kuasa,” kata Li (2005: 386), sehingga serupa. Sebagian dari warga dusun-dusun
formasi diskursif mereka memberi tekstur pada itu tetap tinggal di kawasan yang merupakan
kompleksitas kontestasi antaraktor. kawasan rawan bencana, tetapi jengkel dengan
Ketiga, peta kawasan rawan bencana sikap dari otoritas pemerintah yang mengecam
mampu mendasari kebijakan relokasi warga tindakan mereka. Mereka tetap mengharap

11
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

celah yang dapat mereka terima dan diberikan Daftar Pustaka


oleh pihak luar. Abrahamsen, R. (2000). Sudut Gelap Kemajuan:
Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan.
Kesimpulan Yogyakarta: Lafadl Pustaka.
Dalam buku hasil pelaksanaan program Aisyah, N. dan D.I. Purnamawati. (2012).
relokasi, Rekompak mengklaim bahwa “Tinjauan Dampak Banjir Lahar Kali Putih,
relokasi pascabencana Gunung Merapi Kabupaten Magelang Pasca Erupsi Merapi
menggapai sejumlah keberhasilan sesuai 2010.” Jurnal Teknologi Technoscientia Vol. 5
dengan pendekatan berbasis komunitas yang No.1, hlm. 19–30.
telah dicanangkan. Tetapi, dalam praktik di Ascholani, C. dan S. Padmono. Akan terbit.
lapangan, kepengaturan dalam bentuk relokasi “Pelaksanaan Kebijakan Desa/Kelurahan
tidaklah sepenuhnya sesuai dengan prinsip Tangguh Bencana: Jalan Masih Panjang.”
berbasis komunitas. Salah satu fenomena yang Wacana 31.
tersembunyi dari balik klaim keberhasilan itu Van Baal, H. (2011). The European Roma: Minority
adalah adanya penolakan warga dari beberapa Representation, Memory, and the Limits of
dusun untuk direlokasi, salah satunya warga Transnational Governmentality. Amsterdam:
Watugajah. Penolakan terhadap relokasi, F&N Eigen Beheer.
selanjutnya, membukakan ruang kontestasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana
antara warga dan berbagai pihak. Warga (BNPB). (2011). “Ancaman Lahar Dingin
berhadapan dengan beragam institusi yang Merapi Terus Berlangsung.” Pers rilis pada
memegang otoritas kepengaturan tersebut. 29 April 2011 pukul 21.00 WIB.
Tetapi, penolakan warga Watugajah bukan Bankoff, G. (2004). “Time is of the Essence:
antipati terhadap otoritas kepengaturan. Disasters, Vulnerability and History.”
Warga menunjukkan gabungan antara sikap International Journal of Mass Emergencies and
mempertahankan diri untuk kehidupan yang Disasters Vol. 22 No. 3, hlm. 23–42.
lebih baik menurut mereka, sekaligus bersikap Davidson, C.H., C. Johnson, G. Lizarralde,
taktis—untuk tidak mengatakan pragmatis— N. Dikmen, dan A. Sliwinski. (2007).
atas hadirnya sentuhan program, bantuan, “Truths and Myths about Community
maupun kebijakan dari berbagai pihak. Participation in Post-Disaster Housing
Semua itu merupakan respons terhadap Projects.” Journal Habitat International Vol.
semakin bertambahnya aktor dalam formasi 31, hlm. 100–115.
diskursus pengurangan risiko bencana, yang Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian
berarti semakin menambah dalam dan kompleks Pekerjaan Umum. (2011). Proyek Rehabilitasi
relasi kuasa. Kasus Watugajah menunjukkan dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman
bahwa warga berada dalam formasi diskursus Berbasis Komunitas Pascaerupsi Gunung
tersebut, bertarung dengan setiap program yang Merapi 2010: Pedoman Operasional Umum.
masuk, entah dalam bentuk penolakan maupun Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya,
keretakan internal warga ketika berhadapan Kementerian Pekerjaan Umum.
dengan relokasi. Di sini, secara khusus kasus Foucault, M. (1978). The History of Sexuality,
Watugajah, tujuannya bukan hasil dari relokasi. Volume I: An Introduction. New York:
Hasil dari relokasi bukan sesuatu yang esensial. Pantheon Books.
Terhadap kasus Watugajah, tidak ada kisah ___. (1991). “Governmentality.” Dalam The
yang akan berakhir, yang memuaskan semua Foucault Effect: Studies in Governmentality
pihak. Ini kontestasi yang tak pernah—dan tak with Two Lectures by and an Interview with
akan—menjanjikan ketuntasan. Michel Foucault, disunting oleh G. Burchell,

12
Lubabun Ni’am, Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah
Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013

C. Gordon, dan P. Miller, 87–104. Chicago: Jha, A.K., dengan J.D. Barenstein, P.M. Phelps, D.
The Chicago University Press. Pittet, dan S. Sena. (2010). Safer Homes, Stronger:
___. (2003). “Security, Territory, and Population.” Communities: A Handbook for Reconstructing
Dalam The Essential Foucault: Selection from after Natural Disasters. Washington, D.C.: The
Essential Works of Foucault, 1954–1984, International Bank for Reconstruction and
disunting oleh P. Rabinow dan N. Rose, Development dan The World Bank.
259–261. New York dan London: The New Kedaulatan Rakyat. (2012). “Warga Watugajah
Press. Mulai Melunak.” (Online), (http://krjogja.
___. 2008. Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas. Jakarta: com/read/131320/warga-watugajah-mulai-
Yayasan Obor Indonesia bekerja sama melunak.kr, diakses pada 2 Juni 2013)
dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas ____. 2012. “20 Rumah Baru Berdiri di
Indonesia dan Forum Jakarta-Paris. Watugajah.” (Online), (http://krjogja.com/
Hewitt, K. (1995). “Sustainable Disasters? read/149881/20-rumah-baru-berdiri-di-
Perspectives and Powers in the Discourse watugajah.kr, diakses pada 2 Juni 2013)
of Calamity.” Dalam Power of Development, Kompas. (2012). “1.076 Keluarga Menolak
disunting oleh J. Crush, 111–123. London Relokasi dari Zona Rawan Bencana.”
dan New York: Routledge. (Online), (http://megapolitan.kompas.
Hidayat, F. dan I. Rudiarto. (2013). “Pemodelan com/read/2012/10/22/03040876/1.076.
Resiko Banjir Lahar Hujan pada Alur Kali Keluarga.Menolak.Relokasi.dari.Zona.Raw
Putih Kabupaten Magelang.” Jurnal Teknik an.Bencana, diakses pada 2 Juni 2013)
PWK Vol. 2 No. 4, hlm. 895–904. ____. 2012. “Menolak Relokasi, Risiko Tanggung
Indonesian Society for Social Transformation Sendiri.” (Online), (http://cetak.kompas.
(INSIST). (2012). Perubahan Iklim dan com/read/2012/10/25/03011956/Menolak.
Ketahanan Masyarakat di Empat Kabupaten Relokasi..Risiko.Tanggung.Sendiri, diakses
di Indonesia (Kab. Merangin, Kab. Sinjai, Kab. pada 2 Juni 2013)
Ende, dan Kab. Maluku Tenggara). Laporan Kusumasari, B. dan Q. Alam. (2012). “Local
penelitian. Tidak diterbitkan. Wisdom-Based Disaster Recovery Model
Jalin Merapi. (2010). “Warga Menginginkan in Indonesia.” Disaster Prevention and
Renovasi, Bukan Relokasi.” (Online), (http:// Management 21 (3): 351–369.
merapi.combine.or.id/baca/10976/warga- Layang PRB. (2012). “Huntap Diharapkan
menginginkan-renovasi--bukan-relokasi. Selesai Akhir 2012.” Oktober–November.
html, diakses pada 20 September 2014) Li, T.M. (2005). “Beyond ‘the State’ and Failed
___. 2011. “Tolak Relokasi dan Perluasan Schemes.” American Anthropologist 107 (3):
T N G M , S e d u m u k B a t h u k S e n ya r i 383–394.
Bumi Ditohi Pati Menjadi Pekik Warga ___. 2007. “Governmentality.” Anthropologica
Kalitengah.”. (Online), (http://merapi. 49: 275–294.
combine.or.id/baca/13303/tolak-relokasi- M c K e e , K . ( 2 0 0 9 ) . “ Po s t - F o u c a u l d i a n
dan-perluasan-tngm-sedumuk-bathuk- Governmentality: What Does It Offer
senyari-bumi-ditohi-pati-menjadi-pekik- Critical Social Policy Analysis?” Critical
warga-kalitengah.html, diakses pada 20 Social Policy 29 (3): 465–486.
September 2014) Oliver-Smith, A. (2002). “Displacement,
James, E. (2008). “Getting ahead of the Next Resistance and the Critique of Development:
Disaster: Recent Preparedness Efforts in From the Grass-Roots to the Global.” RSC
Indonesia.” Development in Practice 18 (3): Working Paper No. 9. Oxford: Refugee
424–429. Studies Centre, University of Oxford.

13
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 1, Juli 2014

Putro, S.H. (2011). “Dampak Bencana Aliran sindonews.com/read/682368/22/1-076-


Lahar Dingin Gunung Merapi Pasca Erupsi keluarga-tetap-menolak-relokasi, diakses
di Kali Putih.” Makalah dalam Seminar pada 30 September 2014)
Nasional “Pengembangan Kawasan Merapi: Sliwinski, A. (2010). “The Politics of Participation:
Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Involving Communities in Post-Disaster
Masyarakat Pasca Bencana” di Fakultas Reconstruction.” Dalam Rebuilding after
Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Disasters: From Emergency to Sustainability,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, disunting oleh G. Lizarralde, C. Johnson,
8 Maret. dan C. Davidson, 177–192. London dan
Ribot, J. (2010). “Vulnerability Does Not Fall New York: Spon Press.
from the Sky: Toward Multiscale, Pro-Poor Suara Merdeka. (2011). “Dusun Watugajah
Climate Policy.” Dalam Social Dimensions of Kemungkinan akan Direlokasi.” (Online),
Climate Change: Equity and Vulnerability in a (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.
Warming World, disunting oleh R. Mearns php/read/news/2011/01/07/74902/Dusun-
dan A. Norton, 47–74. Washington, D.C.: Watugajah-Kemungkinan-akan-Direlokasi,
World Bank. diakses pada 2 Juni 2013)
Rose, N. (2004). Powers of Freedom: Reframing ____. (2012). “Penerima Huntap Jangan Takut
Political Thought. Cambridge: The Press Tanahnya Diambil Negara.” (Online), (http://
Syndicate of the University of Cambridge. www.suaramerdeka.com/v1/index.php/
___, P. O’Malley, dan M. Valverde. (2006). read/news/2012/02/08/108984/Penerima-
“Governmentality.” Annual Review of Law Huntap-Jangan-Takut-Tanahnya-Diambil-
and Social Science 2: 83–104. Negara, diakses pada 2 Juni 2013)
Saragih, B., L. Ni’am, N. Sirimorok, P. Yunifa, ____. (2012). “Warga Watugajah Menolak
dan S. Abdullah. (2014). Asmaradana Merapi: Direlokasi.” (Online), (http://www.
Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi. suaramerdeka.com/v1/index.php/read/
Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan news/2012/04/30/117012/Warga-Watugajah-
Bencana (BNPB) dan United Nations Menolak-Direlokasi, diakses pada 2 Juni
D e ve l o p m e n t P r o g r a m m e ( U N D P ) 2013)
Indonesia. Tierney, K. (2012). “Disaster Governance: Social,
Seputar Indonesia. (2012). “Warga Korban Political, and Economic Dimensions.”
Merapi Tolak Relokasi.” (Online), (www. Annual Review of Environment and Resources
seputar-indonesia.com/edisicetak/content/ 37: 341–363.
view/497461/, diakses pada 2 Juni 2013) Tribunnews. (2012). “Warga Dusun Watugajah
____. (2012). “166 KK di Watugajah Tolak Hunian Menolak Relokasi.” (Online), (http://www.
Tetap.” (Online), (www.seputar-indonesia. tribunnews.com/regional/2012/05/23/
com/edisicetak/content/view/529227/, warga-dusun-watugajah-menolak-relokasi,
diakses pada 2 Juni 2013 diakses pada 30 September 2014)
Sekretariat Multi Donor Fund untuk Aceh Twigg, J. (2009). Characteristics of Disaster-
dan Nias dan Java Reconstruction Fund. Resilient Community: A Guidance Note.
(2012). Rekompak: Membangun Kembali London: Latitude.
Masyarakat Indonesia Pascabencana. Jakarta: Wisner, B., P. Blaikie, T. Cannon, dan I. Davis.
Bank Dunia. (2004). At Risk: Natural Hazards, People’s
Sindonews. (2012). “1.076 Keluarga Tetap Vulnerability and Disasters. New York:
Menolak Relokasi.” (Online), (http://daerah. Routledge.

14

You might also like