You are on page 1of 104

KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA

BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG

KUSTRI WINDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kandungan


Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang
adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Kustri Windayani
NRP. B551034134
ABSTRACT

KUSTRI WINDAYANI. The Borax Content and Microbe Contamination on Beef


Meatballs in The Regency of Tangerang. Under direction of IDWAN
SUDIRMAN and IETJE WIENTARSIH.

Meatballs is a good media for the growth of microorganism , so it is easy to


trough a damage if it is kept on a room temperature. To increase the storage time
and improve the meatballs physical characteristic, the producer usually adds some
food additional material into the the meatballs dough. The examination on
meatballs samples which is from Tangerang Regency is to find out the borax and
microbial contamination and also the implementation of sanitation and processing
hygiene and the handling of meatballs in level of traders. As many as 196
samples of the meatballs examined base on microbial and borax contamination
quantitatively and done by filling in questionaries about sanitation and hygiene
implementation. Total Plate Count (TPC): >1 x 105 cfu/g (133 samples or
67,5%), Coliform : >10 MPN/g (80 samples or 40,8%), Staphylococcus aureus :
>1 x 102 cfu/g (49 samples or 25,0%). and the amount of positive sample
contains of borax are 25 out of 100 samples (25,0%); the lowest borax content
was 5,56 mg/kg and the highest was 4660,40 mg/kg and with an average of
806,86 mg/kg. Result test with Chi Square that was not significant relation
between borax content toward total microbial contamination. The implementation
of sanitation-hygiene such as washing raw material, storage on low temperature,
separated storeage with other commodity and storage in a package are significant
to microbial contamination on level of confidence 95%.

Keywords : borax, meatballs, microbial contamination, SNI 01-3818-1995


RINGKASAN

KUSTRI WINDAYANI. Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso


Daging Sapi di Kabupaten Tangerang. Dibimbing oleh IDWAN SUDIRMAN
DAN IETJE WIENTARSIH.

Bakso daging sapi (bakso sapi) merupakan makanan jajanan yang sangat
populer dan digemari banyak orang di Indonesia. Bakso biasanya disajikan
sebagai menu makanan bersama dengan mie dan bahan pelengkap lainnya yaitu
sayuran dan tahu., sehingga pada semangkok mie bakso sudah terkandung
sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral. Disamping itu mie bakso juga dapat mengandung bahan
yang berbahaya bagi kesehatan seperti pengawet makanan yang dilarang seperti
formalin dan boraks.
Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso sapi merupakan media
yang baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan
memiliki masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar. Untuk
mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya membubuhkan bahan
tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Bahan tambahan
tersebut selain dapat meningkatkan masa simpan juga dapat memperbaiki sifat
fisik dari produk yang dihasilkan. . Penelitian ini bertujuan untuk menguji syarat
mutu bakso sapi yang beredar di Kabupaten Tangerang dari aspek kandungan
boraks dan cemaran mikroba apakah telah sesuai dengan SNI 01-3818-1995,
menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso sapi terhadap
jumlah cemaran mikroba dan menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan
sanitasi dan hygiene terhadap jumlah cemaran mikroba
Populasi target sampling adalah pedagang bakso rumahan, pedagang
bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan
terpilih. Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional. Kabupaten
Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah
Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan
(4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3
kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah
Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-
masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan
sampel. Pedagang bakso rumahan dipilih secara acak yang ada di setiap
kecamatan. Banyaknya bakso yang diambil sebagai sampel adalah 197 sampel
(ditentukan dengan menggunakan rumus n = 1,962 pq/L2), terdiri dari 166 sampel
bakso buatan rumahan (C), 19 sampel bakso buatan pabrik yang dijual di pasar
tradisional (B 1 ) dan 12 sampel bakso buatan pabrik di swalayan (B 2 ).
Pemeriksaan cemaran mikroba mengacu kepada SNI 19-2897-1992 tentang
Cara Uji Cemaran Mikroba. Cemaran mikroba yang diperiksa adalah Total Plate
Count (TPC), bakteri bentuk coli (Coliform), Staphylococcus aureus,
Escherichia coli dan Salmonella ssp. sedangkan pengujian boraks secara
kuantitatif menggunakan metode spektrofotometri.
Kandungan boraks 100 sampel bakso yang diperiksa secara kuantitatif
menunjukkan 25 sampel positif mengandung boraks (25,0%) dan 75 sampel
negatif mengandung boraks (75,0%). Sampel positif terdiri dari 3 sampel (12,0%)
bakso buatan pabrik dan 22 sampel (88,0%) bakso buatan rumahan. Kandungan
boraks tertinggi adalah 4660,40 mg/kg dan terendah 5,56 mg/kg terdapat pada
bakso buatan rumahan. Rata-rata kandungan boraks adalah 806,86 mg/kg.
Total cemaran mikroba (TPC) di atas nilai SNI 01-3818-1995 yaitu 133
sampel (67,5%) terdiri dari 114 sampel C, 11 sampel B 1 dan 8 sampel (B 2 ).
Bakteri Coliform di atas nilai SNI yaitu 80 sampel (40,8%) terdiri dari 75
sampel C, 2 sampel B 1 dan 3 sampel B 2 . Bakteri Staphylococcus aureus di atas
nilai SNI yaitu 49 sampel (25,0%) terdiri dari 40 sampel C, 6 sampel B 1 dan
3 sampel B 2 . Persentase bakso berukuran kecil dan sedang dengan nilai TPC di
atas nilai SNI lebih besar daripada bakso berukuran besar. Pada semua sampel
bakteri E. coli di bawah nilai SNI dan negatif Salmonella ssp. Hasil uji Chi
Square menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata
terhadap TPC, jumlah Coliform dan Staphylococcus aureus (P > 0,05 ; α = 95%).
Pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah
dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap TPC dan bakteri Coliform
(P > 0,05 ; α = 95%).
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindumgi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA
BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG

KUSTRI WINDAYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Surachmi Setyaningsih, M.Sc.
Judul Tesis : Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso
Daging Sapi di Kabupaten Tangerang
Nama : Kustri Windayani
NRP : B551034134
Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Idwan Sudirman Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. MSc.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 29 Januari 2009 Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan . Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan April sampai Desember 2006 ini
adalah syarat mutu bakso sapi , dengan judul tesis Kandungan Boraks dan
Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di kabupaten Tangerang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. H. Idwan
Sudirman dan Ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, MSc. Apt. atas bimbingannya
dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi., Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.,
Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto, Ibu Ir. Etih Sudarnika, MSi., rekan-
rekan S2 KMV Kelas Khusus Angkatan I, para Teknisi di Laboratorium
Kesmavet DKI Jakarta, rekan-rekan di Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta Raka, Iman dan Rayi
serta seluruh keluarga atas segala dukungan, kasih sayang dan do’anya.

Bogor, Agustus 2010

Kustri Windayani
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 19 Nopember 1964 sebagai


anak ke empat dari delapan bersaudara dari bapak H. Ehman Soehardja dan ibu
Hj. Siti Mariyah.
Selepas SMA pada tahun 1983 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur SIPENMARU dan memilih jurusan Fakultas Kedokteran Hewan
Pada tahun 1987 lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan tahun 1988
berhasil meraih gelar profesi Dokter Hewan di tempat yang sama. Sejak tahun
1992 penulis bekerja di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang.
Pada tahun 2004 penulis mendapat ijin belajar untuk melanjutkan ke
Program S2 Kelas Khusus di Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………............. xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………........... 1
Perumusan Masalah..................................................................................... 3
Hipotesis ..................................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA
Bakso Daging ............................................................................................. 5
Bahan Tambahan Makanan ........................................................................ 9
Boraks (Na 2 B 4 O 7 ,10H 2 O) …………………...............................................
11
Cemaran Mikroba ...................................................................................... 17
Higiene Sanitasi ........................................................................................ 22
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 25
Metoda Sampling ........................................................................................ 25
Pemeriksaan Boraks .................................................................................... 26
Pemeriksaan Cemaran Mikroba .................................................................. 27
Pengisian Kuisioner .................................................................................... 28
Pengolahan Data ........................................................................................ 28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso ............................. 29
Pemeriksaan Boraks .................................................................................... 31
Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba ............................................... 33
Cemaran Mikroba ........................................................................................ 35
Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba .................................... 38
Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) ....................................... 41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................................... 45
Saran ............................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 46
LAMPIRAN ........................................................................................................ 53

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kriteria mutu sensoris bakso daging ............................................................. 6
2. Peraturan perijinan penunjukan Food Antimicrobial di Uni Eropa
(E Number)dan Codex Alimentarius (INS Number) ...................................... 10
3. Sifat fisik dan kimia dan beberapa senyawanya ............................................ 12
4. Toksisitas akut boraks dan asam borat............................................................ 15
5. LAOELs dan NAOELs boraon (asam borat) pada perkembangan dan
reproduksi ........................................................................................................16
6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso
per kecamatan terpilih .................................................................................29
7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso ................................ 30
8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus ..........................32
9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap total mikroba (TPC) .......................34
10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform .....................................34
11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan S. Aureus.........................................34
12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik
di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan.....................36
13. Nilai Total Plate Count (TPC) sampel bakso berdasarkan ukurannya …….. 38
14. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap
total cemaran mikroba (TPC) pada pembuatan bakso rumahan. ..................39
15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap
cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan .....................................40

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Syarat Mutu Bakso Daging (SIN-01-3818-1995) ............................................54
2. Homogenisasi Contoh Bakso…………............................................................ 55
3. Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC) .....................................................56
4. Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform ………...……………………………… 57
5. Cara Pemeriksaan Escherichia coli....................................................................58
6. Cara Uji Salmonella.......................................................................................... 60
7. Cara Uji Staphylococcus aureus ..................................................................... 62
8. Kuisioner untuk Pedagang Bakso di Pasar Tradisional dan Swalayan ........... 63
9. Kuisioner untuk Pedagang Mie Bakso yang Membuat Bakso Sendiri........... 64
10. Rekapitulasi hasil pemeriksaan sampel bakso .............................................. 67

xiii
xiv
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bakso daging sapi (selanjutnya disebut bakso) merupakan makanan jajanan


yang sangat populer di Indonesia. Penggemar makanan ini merata mulai dari
anak-anak sampai dewasa, laki-laki maupun wanita, dari desa sampai ke kota,
dari kalangan bawah, menengah sampai kalangan atas. Maka tidak
mengherankan jika pedagang bakso dapat dijumpai di mana-mana, mulai dari
tukang bakso keliling di kampung-kampung sampai ke restoran besar dan mewah
di kota-kota. Bakso biasanya disajikan sebagai menu makanan bersama dengan
mie dan bahan pelengkap lainnya seperti sayuran, tahu serta kuah kaldu yang
diberi bumbu, sehingga untuk semangkok mie bakso sudah terdapat kandungan
sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral. Tetapi disamping itu mie bakso juga dapat berbahaya bagi
kesehatan karena mie bakso dapat mengandung bahan seperti pengawet makanan
yang dilarang, serta penyedap makanan dalam jumlah berlebihan.
Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang
diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan
pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan tambahan makanan yang
diizinkan (SNI 01-3818-1995). Bakso yang dijual di pasaran Kabupaten
Tangerang dapat dibedakan menjadi bakso buatan pabrik dan bakso buatan
rumahan. Bakso buatan pabrik terdiri dari bakso kemasan bermerek, bakso
kemasan tidak bermerek dan bakso curah, sedangkan bakso buatan rumahan
adalah bakso yang diproduksi oleh usaha rumah tangga untuk keperluan sendiri.
Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso merupakan media yang
baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan memiliki
masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar. Untuk
mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya menambahkan bahan
tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Bahan tambahan
tersebut selain dapat meningkatkan masa simpan juga dapat memperbaiki sifat
fisik dari produk yang dihasilkan. Bahan tambahan yang sering dicampurkan
pada bakso adalah boraks. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
2

No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanaan (BSN 1995a)


pasal 3 dan 4 dikatakan bahwa salah satu bahan tambahan yang dilarang
digunakan dalam makanan adalah asam borat dan senyawanya (termasuk boraks),
dan makanan yang mengandung bahan tersebut dinyatakan sebagai makanan
berbahaya. Boraks merupakan garam natrium dari boron (Na 2 B 4 O 7 ,10H 2 O)
yang banyak digunakan pada industri non pangan , seperti pada industri gelas,
enamel dan keramik. Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks
akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak, dan ginjal. Dalam jumlah banyak,
boraks menyebabkan demam, anuria, merangsang sistem saraf pusat,
menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal,
pingsan, koma, bahkan kematian (EGVM 2003, Ellenhorn 1997).
Bakso merupakan bahan pangan sumber protein hewani alternatif yang
relatif murah, bila dibandingkan dengan daging sapinya sendiri sehingga harganya
dapat terjangkau oleh masyarakat umum. Kualitas bakso ditentukan oleh daging
yang digunakan sebagai bahan baku dan kandungan daging tersebut dibandingkan
dengan patinya. Pada umumnya bakso yang bermutu tinggi, kadar patinya
rendah yaitu sekitar 15% dari total adonan. Semakin tinggi kandungan patinya
semakin rendah mutu bakso yang dihasilkan, sehingga harganya akan semakin
murah (Winarno 1997).
Aspek keamanan pangan dari bakso harus dijaga agar masyarakat
terlindungi dari mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan yang
dapat membahayakan kesehatan. Menurut SNI 01-3818-1995 tentang Bakso
Daging, bahwa syarat mutu bakso daging antara lain tidak boleh mengandung
boraks dan Angka Lempeng Total (Total Plate Count, TPC) maksimum 1 x 105
CFU/gram (BSN 1995). Kedua hal tersebut nampaknya belum dapat dipenuhi
produk bakso yang dijual di pasaran saat ini. Hasil penelitian Novita (2003)
pada 6 produsen (pabrik) bakso di Kota Tangerang menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam hal penggunaan boraks antara pabrik bakso
berskala produksi rendah dengan pabrik bakso berskala produksi tinggi. Semua
pabrik menggunakan boraks dalam produknya dengan kandungan terendah 0,197
ppm dan tertinggi 0,730 ppm (rata-rata 0,369 ppm). Jenis bahan tambahan
makanan yang dipergunakan oleh ke-6 produsen adalah Monosodium Glutamat,
3

pemutih dan tawas. Pada pemeriksaan cemaran mikroba, TPC terendah adalah
7 x 104 CFU/gram dan tertunggi 7 x 105 CFU/gram, dan tidak ada pencemaran
oleh bakteri E. coli.
Isu penggunaan bahan pengawet berbahaya boraks di dalam bakso serta
kondisi tempat berjualan bakso di pasar tradisional atau di pedagang mie bakso
yang belum memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, seperti tempat penjualan,
tempat penyimpanan, suhu penyimpanan dan kebersihan pegawai serta kebersihan
peralatan yang digunakan yang dapat menyebabkan bakso yang dijual rawan
terhadap kontaminasi oleh mikroorganisme. Hal tersebut menjadikan keamanan
produk bakso menjadi sangat rendah. Dampak dari kondisi ini adalah
terancamnya kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut. Di sisi
lain akan timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk pangan asal ternak
sehingga akan merugikan para pelaku usaha di sektor ini. Dari kondisi tersebut
maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang keberadaan boraks dan
cemaran mikroba pada bakso buatan rumahan dan bakso buatan pabrik yang
beredar di Kabupaten Tangerang.

Perumusan Masalah
1. Masih adanya pemakaian bahan pengawet yang dilarang pada bakso yang
dijual di Kabupaten Tangerang.
2. Masih kurangnya sanitasi dan higiene penanganan bakso pada pedagang
bakso di pasar tradisional dan pedagang mie bakso di Kabupaten
Tangerang.
3. Masih terbatasnya sarana tempat berjualan bakso di pasar tradisional yang
dapat menjamin mutu.

Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :
1. H0 : Bakso di Kabupaten Tangerang tidak mengandung boraks
H1 : Bakso di Kabupaten Tangerang mengandung boraks.
4

2. H0 : Penerapan praktek higiene dan sanitasi berpengaruh nyata


terhadap cemaran mikroba bakso.
H1 : Penerapan praktek higiene dan sanitasi tidak berpengaruh nyata
terhadap cemaran mikroba bakso.
3. H0 : Keberadaan boraks pada bakso berpengaruh terhadap jumlah
cemaran mikroba.
H1 : Keberadaan boraks pada bakso tidak berpengaruh terhadap
cemaran mikroba.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menguji syarat mutu bakso yang beredar di Kabupaten Tangerang dari
aspek kandungan boraks dan cemaran mikroba dibandingkan dengan SNI
01-3818-1995 tentang bakso daging.
2. Menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso terhadap
jumlah cemaran mikroba.
3. Menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan sanitasi dan higiene
terhadap jumlah cemaran mikroba.
5

TINJAUAN PUSTAKA

Bakso Daging.
Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk
makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging
ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat
digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging
kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992).
Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia
adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang
tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral
diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat
khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging
sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya
antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin
dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso
menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso
ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati)
nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso
yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging.
Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno
1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan
dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang
dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan
lemaknya seluruhnya di atas SNI.
Bakso biasanya dijual dalam bentuk butiran untuk diolah kembali menjadi
aneka jenis masakan, atau dijual dengan campuran mie dan kuah ditambah
sayuran, bumbu, saos tomat dan sambal yang siap disantap oleh pembeli.
Karakteristik bakso yang disukai konsumen adalah rasanya gurih (sedang, agak
asin, mempunyai rasa daging yang kuat), beraroma daging rebus, tekstur empuk
dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran 3-5 cm
6

(Andayani 1999). Cara paling mudah untuk menilai mutu bakso menurut
Wibowo (1999) adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Ada lima parameter
utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, seperti
yang tercantum pada Tabel 1 .

Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso daging.


Parameter Kriteria

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan


cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak
berjamur atau berlendir.
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau cokelat
muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut
merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik,
masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat
rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak
basah berair dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo (1999).

Menurut Sunarlim (1992) bahan baku untuk pembuatan bakso terdiri dari
bahan utama yaitu daging dan bahan tambahan yaitu bahan pengisi (tepung-
tepungan), garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada dan bahan penyedap.
Daging yang baik untuk dibuat bakso adalah daging yang sesegar
mungkin, yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan
(Sunarlim 1992). Komponen daging yang penting dalam pembuatan bakso
adalah protein. Daging segar yang belum mengalami rigor mortis lebih disukai
oleh para pedagang daripada daging yang sudah dilayukan atau daging beku.
Daging segar mengandung protein aktin dan miosin yang belum berikatan (bebas)
sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak. Sebagaimana diketahui bahwa
protein aktin dan miosin merupakan protein yang mudah larut dalam larutan
garam encer (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Pada proses penggilingan
daging, protein-protein ini akan terekstrak dan akan membentuk emulsi dengan
7

bahan-bahan lainnya. Semakin tinggi kadar protein yang bebas semakin baik
emulsi yang dihasilkan (Sunarlim 1992).
Bahan pengisi yang digunakan biasanya tepung berkadar protein rendah
seperti tapioka atau sagu aren. Fungsi bahan pengisi adalah : (1) memperbaiki
daya ikat air, (2) meningkatkan stabilitas emulsi (3) mengurangi penyusutan
selama pemasakan, (4) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa (5) mengurangi
biaya produksi. Bahan tambahan yang terbanyak digunakan adalah air dalam
bentuk es yaitu banyaknya kira-kira 15% dari berat daging. Fungsi es adalah
untuk mempertahankan suhu daging tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan (emulsifikasi) (Sunarlim 1992).
Penambahan garam dapur (NaCl) bertujuan untuk : (1) memberi cita rasa
produk, (2) pelarut protein aktin, (3) sebagai pengawet karena dapat mencegah
pertumbuhan mikroba (4) meningkatkan daya ikat air (Wilson et al. 1981).
Proses pembuatan bakso pada prinsipnya dibagi menjadi empat tahap
yaitu (1) tahap penghancuran daging dengan alat atau tangan, (2) tahap
penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung, es, bumbu-bumbu dan garam
sehingga membentuk adonan, (3) tahap pencetakan bakso dan (4) tahap
pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).
Untuk menghasilkan bakso yang kering, kesat dan kenyal biasanya
ditambahkan bahan tambahan makanan. Para pembuat bakso komersial biasa
menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 05 % dari berat
adonan (Winarno 1997). Beberapa pembuat bakso menambahkan bahan pemutih
titanium oksida (TiO) untuk menghindari bakso yang berwarna gelap. Pada tahap
perebusan biasanya ditambahkan tawas pada air rebusan agar bakso bertekstur
kesat dan tidak lengket (Anindita 2003).
Bakso yang dibuat oleh pedagang bakso rumahan menggunakan daging
sapi yang dibeli di pasar. Daging ini kemudian dibawa ke tempat penggilingan
daging di pasar untuk dijadikan adonan bakso. Tempat penggilingan daging
tersebut juga menyediakan bahan tambahan pembuatan bakso seperti bumbu-
bumbu, pati, bahan tambahan makanan, es batu, serta mie dan sayuran. Setelah
itu adonan bakso dibawa pulang ke rumah, kemudian dibentuk menjadi bulatan
8

bakso, direbus, didinginkan dan dijual atau disimpan (Anindita 2003). Diagram
alur proses pembuatan bakso sapi secara garis besar dapat dilihat pada gambar 1.

1. DAGING SAPI

2. STANDARISASI
Proses 1-4
dilaksanakan
di tempat
penggilingan
3. PENGHANCURAN KASAR daging di pasar

4. PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN


(Es, bahan pengisi, bumbu-bumbu, garam, BTM)

5. PEMBENTUKAN BULATAN BAKSO

6. PEREBUSAN 70OC, 10 MENIT


(hingga naik ke permukaan) Proses 5-8
dilakukan
di rumah
7. PEREBUSAN 100OC, 10-15 MENIT
(hingga bakso matang)

8. PENDINGINAN DAN PENYIMPANAN

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso
(Surjana 2001).
9

Bahan Tambahan Makanan


Bahan tambahan makanan adalah bahan yang tidak digunakan sebagai
makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai
atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan
untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada saat pengolahan,
penyiapan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk
memperbaiki penampakan, cita rasa , tekstur atau sifat penyimpanannya (BSN
1995a). Bahan tambahan makanan yang diizinkan yang dapat digunakan pada
makanan terdiri dari golongan antioksidan, antikempal, pengatur keasaman,
pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental,
pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa dan
sekuestran. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan
yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet kimia adalah semua bahan
yang bila ditambahkan pada pangan dapat mencegah atau menghambat kerusakan
kimia maupun biologis makanan. Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah
bahan makanan tambahan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan
sistem dispersi yang homogen pada makanan. Garam dapur, gula cuka, rempah
atau minyak rempah tidak termasuk pengawet kimia (BSN 1995a).
Bahan tambahan makanan (Food Additives) diklasifikasikan berdasarkan
fungsinya, yaitu sebagai pengawet (preservatives), memperbaiki atau menjaga
nilai nutrisi makanan, menambah atau memberi warna makanan, menambah atau
memberi aroma makanan, memperbaiki tekstur makanan dan membantu pada
prosesing makanan (Branen dan Haggerty 2002).
Pengawet makanan digunakan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan biologis dan kimia pada makanan. Untuk mencegah kerusakan kimia
terdiri dari antioksidan ( mencegah autooksidasi dari pigmen, lemak, vitamin
dan aroma), senyawa antibrowning (mencegah pencoklatan secara enzimatis
maupun non enzimatis) dan senyawa antistaling (mencegah perubahan tekstur),
sedangkan untuk mencegah kerusakan secara biologis dikenal sebagai
antimikroba. Dalam memilih bahan antimikroba yang akan digunakan sebagai
pengawet makanan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu spektrum
10

aktivitas antimikroba, sifat fisika-kimia dan komposisi makanan yang


diawetkan, jenis dan proses pengawetan serta sistem penyimpanan yang
digunakan (Davidson dan Branen 2005).
Pemakaian pengawet pada bakso pada umumnya bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan dengan cara mengurangi atau menghambat
perkembangan mikroorganisme. Bahan pengawet yang diperkenankan dipakai
pada bakso adalah asam sorbat, kalium sorbat, asam propionat, kalsium dan
natrium propionat, asam benzoat, natriumbenzoat, kalium sulfit, natrium dan
kalium bisulfit, silikon dioksida, asam sitrat dan nitrium karbonat, dan bahan
pengemulsi yang dianjurkan adalah Sodium Tripolyphosphate (Surjana 2001).
Beberapa senyawa kimia yang diizinkan sebagai bahan antimikroba pada
makanan di negara-negara Uni Eropa dan tercantum dalam Codex Alimentarius
(Tabel 2).

Tabel 2. Peraturan perizinan penunjukkan Food Antimicrobial di Uni Eropa


(E Numbers) dan dalam Codex Alimentarius (INS Numbers)
Senyawa Nomor E / INS Senyawa Nomor E / INS
Sorbic acid 200 Natamycin 235
K sorbate 202 Dimethyl dicarbonate 242
Ca sorbate 203 K nitrit 249
Benzoic acid 210 Na nitrite 250
Na benzoate 211 Na nitrate 251
K benzoate 212 Ka nitrat 252
Ca benzoate 213 Acetic acid 260
Ethyl paraben 214 K acetate 261
Na Ethyl paraben 215 Na acetate 262
Propyl paraben 216 Na diacetate 262
Na propyl paraben 217 Ca acetate 263
Methyl paraben 218 Lactic acid 270
Na methyl paraben 219 Propionic acid 280
Sulfur dioxide 220 Na propionate 281
Na sulfite 221 Ca propionate 282
Na hydrogen sulfite 222 K propionate 283
Na methbisulfite 223 Boric acid 284
K methbisulfite 224 Na tetraborate 285
Ca sulfite 226 Na lactate 325
Ca hydrogen sulfite 227 K lactate 326
K hydrogen sulfit 228 Ca lactate 327
Niasin 234
Sumber : Verbrugen 2002
11

Boraks (Na 2 B 4 O 7. 10H 2 O)


Boraks (Natrium tertaborat, Na 2 B 4 O 7. 10H 2 O) merupakan kristal lunak
yang mengandung unsur boron, tidak berwarna, tidak berbau dan mudah larut
dalam air. Bila terekspos di udara kering dan hangat sering dilapisi serbuk warna
putih seperti kapur. Natrium tetraborat mengandung sejumlah Na 2 B 4 O 7 yang
setara dengan tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 105,0 %
Na 2 B 4 O 7 .10H 2 O. Larutan boraks bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut
dalan air mendidih dan dalam gliserin; tidak larut dalam etanol (Ditjen POM
1995).
Boron adalah unsur mineral alam yang terdapat pada kulit bumi dalam
jumlah relatif kecil, yaitu kurang dari 10 ppm (Woods, 1994). Konsentrasi pada
air laut berkisar antara 0,5 – 9,6 ppm dengan rata-rata 4,6 ppm, sedangkan pada
air tawar berkisar antara <0,01 – 1,5 ppm. Di alam boron tidak ditemukan
bebas tetapi selalu berikatan dengan oksigen, biasanya sebagai asam (boric acid,
H 3 BO 3 ) atau garamnya yang disebut borates misalnya Natrium tetraborat
(Na 2 B 4 O 7 .10H 2 O) atau yang dikenal dengan boraks.
Asam borat dan garamnya (utamanya boraks atau sodium tetraborat)
secara luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik
glasur dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk,
bahan laundry, herbisida dan insektisida (USEPA-IRIS 2004)

O O O O O

B B B B

O O

Na Na

Gambar 2. Rumus bangun Boraks-anhidrat (Na 2 B 4 O 7 )


12

Tabel 3. Sifat fisik dan kimia Boron dan beberapa senyawanya

Boraks
Boron Asam borat Boraks Boron oksida
anhidrat
Nomor 7440-42-8 10043-35-3 1303-96-4 1330-43-4 1303-86-2
registrasi CAS
Rumus Na 2 B4 O 7 .10H 2
molekul B H 3 BO 3 Na 2 B4 O 7 B2 O 3
O

Berat Molekul 10,81 61,83 381,43 201,27 69,62

% Boron 100 17,48 11,34 21,49 31,06

Kristal hitam Putih atau tdk Putih atau tdk Putih atau tdk Putih atau tdk
Bentuk fisik atau kuning- berwarna, berwarna, kristal berwarna, berwarna,
coklat, serbuk kristal granur granur atau granul bening granul bening
amorf atau serbuk serbuk
Gaya berat
spesifik 2,34 1,51 1,73 2,37 2,46
(@ 20oC)
Titik lebur
(oC) pd ruang 2300 171 >62 t.a.d t.a.d
tertutup
Titik lebur
(oC) bentuk 2300 450 742 742 450
kristal
Kelarutan dlm 4,72 @ 20oC 4,71 @ 20oC 2,48 @ 20oC Cepat
air (%w/w) Tdk larut 27,53@ 100oC 65,63 @ 100oC 34,5 @ 100oC terhidrasi mjd
asam borat
Tekanan uap 1,56 x.10-5 atm
(mm Hg) @ 2140oC t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d

Sumber : USEPA-IRIS 2004.

Boraks dapat berubah dengan mudah menjadi asam borat atau borate
(H 3 BO 3 ) bila dilarutkan dalam air. Boraks ada dalam tubuh sebagai asam borat.
Pemakaian boron per oral diserap dengan mudah (> 90% ) di dalam saluran
pencernaan manusia sebagai asam borat dan cepat terdistribusi melalui cairan
tubuh secara difusi pasif ke dalam jaringan lunak dan tulang. Ratio asam borat
dalam darah dan jaringan lunak adalah 1 : 1 dan ratio dalam darah dan tulang
adalah 1 : 4 (Murray 1998). Boron (asam borat) tidak diakumulasi dalam
jaringan lunak hewan dan manusia. Penelitian pada tikus menunjukan akumulasi
boron 3000 sampai 9000 ppm pada tulang setelah waktu 1 minggu, kemudian
menurun menjadi 10% setelah 8 minggu dan hanya 3 kali levelnya dari kelompok
13

kontrol 32 minggu setelah pemberian dihentikan (Chapin et al. 1997).


Akumulasi boron pada tulang mungkin ada hubungannya dengan manfaat asam
borat dalam kaitannya dengan metabolisme kalsium (Devirian dan Volpe 2003).
Ekskresi asam borat terutama melalui ginjal dan asam borat adalah satu-
satunya senyawa yang dapat diidentifikasi dalam urin dan ditemukan dalam
jumlah > 90% dari total boron yang dikonsumsi (WHO 1998). Asam borat
diekskresi dari tubuh bersama urin dengan recovery rate antara 84% (Samman
et al. 1998) dan 92% dalam 96 jam (Schou et al. 1984). Waktu paruh untuk
eliminasi asam borat adalah sekitar 21 jam pada pemberian intra vena (Jansen
et al. 1984a) maupun oral (Jansen et al. 1984b).
Asam borat adalah asam lemah dengan nilai pK a = 9,2 dan terutama
berada dalam bentuk tidak terdisosiasi (undissociated acid) yaitu H 3 BO 3 dalam
larutan air pada pH fisiologis, seperti halnya garam borat (Woods 1994). Nilai
pK a suatu asam adalah nilai pH dimana konsentrasi molekul asam yang
terdisosiasi dan yang tidak terdisosiasi berada dalam jumlah yang seimbang.
Ketika pH turun, konsentrasi asam yang tidak terdisosiasi akan meningkat. Asam
kuat memiliki nilai pK a rendah ( ≤ 1) dan asam lemah memiliki nilai pKa tinggi
(Brown dan Booth 1991).
Asam lemah yang berfungsi sebagai pengawet adalah yang tidak
terdisosiasi pada kondisi pH dari makanan. Aktifitas antimikrobialnya tidak
hanya disebabkan oleh konsentrasi H+, tetapi juga karena efek penghambatan dari
asam tidak terdisosiasi atau anionnya. Dalam bentuk tidak terdisosiasi beberapa
asam lemah bersifat lipofilik, sehingga dapat dengan mudah menembus membran
sel mikroba. Di dalam sel mikroba, asam akan terdisosiasi karena pH intraseluler
lebih tinggi (bersifat basa) dari pada pH ekstraseluler, dan akan terjadi
+
peningkatan H yang tidak terkendali di dalam sitoplasma sel sehingga terjadi
pengasaman dan menghambat metabolisme dan transport intraseluler (Davidson
et al. 2005; Brown dan Booth 1991). Untuk mencegah penurunan pH
sitoplasma sel, maka mikroorganisme berusaha mengeluarkan proton-proton
hasil disosiasi tersebut ke luar sel. Untuk mengeluarkan proton dari dalam sel
dibutuhkan energi, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat
bahkan berhenti sama sekali (Fardiaz 1992).
14

Dosis letal akut boraks atau asam borat pada manusia adalah 15 -20 gram
untuk dewasa , 5 – 6 gram untuk anak-anak dan 2 – 3 gram untuk bayi (setara
dengan 2,6 – 3,5 gram boron untuk dewasa). Keracunan akut pada dosis
5 mg/kg/hari ditandai dengan dermatitis, alopesia, anoreksia dan indigesti,
sedangkan keracunan akut pada dosis tinggi ditandai dengan mual, muntah, diare,
sakit kepala, rush di kulit, desquamasi, kerusakan ginjal, stimulasi syaraf pusat
diikuti dengan depresi, ataksia, konvulsi dan kematian dalam 5 hari akibat
kegagalan sirkulasi (Ellenhorn 1997, EGVM 2003). Keracunan akut boron
menyebabkan gangguan ginjal dengan gejala mulai dari adanya sedimen pada urin
sampai kepada proteinuria, oligouria, anuria dan azotemia (Pahl et al 2005)
Keracunan kronis dosis tinggi terutama dapat diamati pada hewan percobaan.
Gangguan reproduksi dilaporkan terjadi pada anjing, tikus, mencit dan kelinci
berupa atrofi testis, gangguan pembentukan sperma, hilangnya sel benih dan
perubahan morfologi sperma epididimis. Pengaruh terhadap pertumbuhan antara
lain penurunan berat badan fetus, malformasi kardiovaskuler fetus, malformasi
skelet, malformasi susunan syaraf pusat, termasuk pembesaran ventrikel lateral
otak, hidrosefalus dan peningkatan resorpsi. Efek tersebut terlihat pada dosis > 10
mg boron/kg/hari (Ellenhorn 1997, EGVM 2003).
Produk pestisida yang mengandung boraks dan asam borat banyak
digunakan sebagai insektisida, fungisida dan herbisida. Sebagai insektisida
boraks dan asam borat merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan
rayap dan menyebabkan kerusakan eksoskeleton. Sebagai herbisida boraks
menghambat fotosintesis tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai
pengawet kayu untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah
produksi konidia atau spora aseksual. Asam borat dan boraks adalah juga
merupakan bahan tetap pada produk-produk pestisida sebagai sekuestran atau
pengikat bahan logam (USEPA 2008). Toksisitas boraks dan asam borat pada
beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 4.
15

Tabel 4. Toksisitas akut boraks dan asam borat


Kategori
Jenis uji coba Hasil
Toksisitas
Asam Borat Toksisitas akut LD 50 jantan = 3.450 mg/kg
III
(Boric Acid) oral/tikus LD 50 betina = 4.080 mg/kg
Toksisitas akut
LD 50 > 631 mg/kg III
oral/anjing beagle
Toksisitas akut
LD 50 > 2 g/kg III
kulit/kelinci
Toksisitas akut
LD 50 > 0,16 mg/L II
inhalasi/tikus
Toksisitas akut Iritasi konjuktiva, sembuh dlm
III
mata/kelinci 4 hari
Iritasi akut kulit/
Iritasi III
kelinci
Boraks Toksisitas akut LD 50 jantan = 4.550 mg/kg
III
(Sodium oral/tikus LD 50 betina = 4.980 mg/kg
tetraborate Toksisitas akut III
LD 50 > 974 mg/kg
decahydrate) oral/anjing
Toksisitas akut
LD 50 > 2.000 mg/kg III
kulit/kelinci
Toksisitas akut
Korosif I
mata/kelinci
Iritasi akut kulit/
Non-iritasi IV
kelinci
Sumber : US EPA (2008)

Toksisitas akut yang disebabkan oleh boraks pada pemakaian peroral dan
topikal (kulit) dikategorikan ke dalam Toksisitas Tingkat III (toksisitas sedang),
sedangkan efek iritasi boraks pada mata dikategorikan sebagai Toksisitas
Tingkat I (toksisitas tinggi) (USEPA 2008). Boraks diserap dengan cepat dan
sempurna oleh tubuh dan tidak mengalami metabolisme ataupun akumulasi
kecuali dalam jumlah kecil dapat dideposit di tulang. Penelitian pada manusia
menunjukan bahwa lebih dari 90% boraks yang termakan oleh manusia
dieliminasi dalam waktu 4 hari melalui urin, feses dan sedikit melalui keringat.
Mengkonsumsi borat dalam waktu yang lama akan diakumulasi di testes dan
menyebabkan atrofi. Pengamatan selama dua tahun pada manusia yang minum
air dengan kandungan boron tinggi mengurangi jumlah sperma dan menurunkan
libido (Sheftel 2000).
16

Lowest Observed Adverse Effect Levels (LOAELs) adalah level terendah


boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang dapat diamati, dan
Observed Adverse Effect Levels (NOAELs) adalah level boron (asam borat) yang
memberikan efek negatif yang tidak dapat diamati. Nilai LOAELs dan NOAELs
pada beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. LOAELs dan NOAELs boron (asam borat) pada perkembangan dan
reproduksi
Jenis LOAELs NOAELs
Efek Negatif Referensi
Hewan (mg/kgbb/hr) (mg/kgbb/hr)
Tikus 79 43 Gangguan Heindel et al.
perkembangan 1992
Tikus 26 - Hambatan Ku et al. 1993
besar pengeluaran sperma
52 26 Atrofi testis
Tikus 50 25 Aplasia tubular Lee et al. 1979
besar germinal
Tikus 13,3 9,6 Penurunan BB fetus Price et al
besar 1996a
Tikus 25 12,9 Gangguan Price et al.
besar perkembangan 1996a (phase
tulang rusuk XIII II)
Kelinci 43,8 21,9 Malformasi fetus Price et al.
1996b
Tikus 58,5 17,5 Penurunan berat Weir dan
besar testis, atrofi testis, Fisher 1972
peningkatan berat
otak/tiroid
Anjing 29,0 8,75 Weir dan
4,4 Fisher 1972 .
Atrofi testis
3,6 EGVM 2003

Sumber : Health Canada (2007)

Boraks dalam bentuk tidak murni (dikenal sebagai air bleng, garam bleng
atau pijer) sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi
atau kerupuk gendar yang secara lokal di beberapa daerah di Jawa disebut Karak.
Disamping itu boraks ternyata digunakan untuk industri makanan lainnya, seperti
pembuatan mie, lontong, ketupat, bakso, pempek, bahkan juga untuk pembuatan
kecap Berbeda dengan pembuatan karak, konon pembuatan mie pabrik dan
makaroni biasanya menggunakan asam borat murni (Winarno 1997). Pemakaian
air bleng atau garam bleng membuat tekstur makanan menjadi kenyal.
17

Pada beberapa pembuat bakso komersial, penambahan boraks 0,1 – 0,5 % dari
berat adonan menghasilkan bakso yang kering, kesat dan tekstur yang kenyal
(Surjana 2001). Senyawa asam borat yang terdapat pada boraks memiliki sifat
antiseptik, yaitu bersifat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu
boraks juga digunakan pada makanan untuk tujuan sebagai pengawet terhadap
pembusukan atau kerusakan akibat aktifitas mikroorganisme. Pengawetan bakso
daging dengan boraks untuk penyimpanan pada suhu kamar telah dilakukan oleh
industri bakso kecil dan menengah (Anindita 2003). Penelitian yang
dilakukan Novita (2003) pada pabrik bakso di Kota Tangerang menunjukkan
bahwa semua pabrik bakso yang diperiksa positif menggunakan boraks dengan
kandungan tertinggi 0.731 ppm dan terendah 0,197 ppm

Cemaran Mikroba
Pengujian mikrobiologik pada pangan, baik pada bahan baku, selama
proses maupun pada produk akhir, dilaksanakan dalam rangka pengawasan
keamanan dan kualitas pangan. Pengujian mikrobiologik bertujuan untuk
mengetahui jumlah mikroorganisme, keberadaan mikroorganisme tertentu,
jumlah mikroorganisme indikator, jumlah mikroorganisme patogen tertentu dan
keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Lukman 2004).
Perkembangan mikroorganisme bahan pangan dipengaruhi oleh faktor-
faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang ada pada bahan
pangan tersebut, yaitu : pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, nutrisi,
antimikroba dan struktur biologis. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berada di
luar bahan pangan tersebut, yaitu : temperatur, kelembaban relatif, ketersediaan
oksigen dan proses pengolahan (Sanjaya et al. 2007).

1. Coliform dan Escherichia coli


Coliform atau bakteri bentuk koli adalah bakteri berbentuk batang, tidak
berspora, bersifat aerob atau fakultatif anaerob, gram negatif memfermentasi
laktosa dengan membentuk asam dan gas pada suhu 35oC dalam 48 jam. Pada
media Endo Agar membentuk koloni gelap dengan kilau logam. Bakteri Coliform
18

termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu
Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005).
Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan
hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform
sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi, terutama dalam
pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan.
Selain itu Coliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan
mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliform fecal dan non-fecal.
Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan
E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi
oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008).
Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram
negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil
dan tidak membentuk spora. Semua spesies memfermentasi glukosa dengan
membentuk asam dan gas, mereduksi nitrat dan nitrit, oksidase positif dan
katalase positif. Bakteri ini hidup normal sebagai mikroflora pada saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun
beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa
spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002).
Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk
mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan
pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya
terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam
jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup
yang tinggi pada lingkungan di luar usus, (4) relatif mudah diisolasi dan
dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005).
Makanan yang sering terkontaminasi bisanya adalah daging ayam, daging
babi, daging sapi, makanan hasil laut, telur dan produk olahan telur, sayuran, buah
dan sari0 buah. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, dapat
tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC dengan suhu optimum 37oC. Pertumbuhan
optimum pada pH 7,0-7,5 dan A w minimum 0,96. Untuk mencegah
19

pertumbuhannya sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah di bawah 10 oC


(Fardiaz 1987).
Strain E. coli patogen penyebab gastroenteritis adalah serotipe O157:H7.
Strain ini banyak ditemukan dalam saluran intestin sapi, tumbuh optimal pada
suhu 100C – 420C pH > 5 dan A w 0,92 (Cramer 2006). Strain E. coli serotipe
O157:H7 sering dikaitkan dengan kejadian gastroenteritis akibat mengkonsumsi
daging sapi terkontaminasi. Berdasarkan bukti epidemiologi dan hasil survey
pada sapi diketahui bahwa sapi adalah reservoar paling penting bagi patogen
penyebab food-borne disease ini (Gonzales 2005). Berdasarkan gejala dan
sifat penyakitnya serta grup serologinya dikenal 5 grup virulen E. Coli, yaitu
enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic
E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan enterohaemorrhagic E.
coli (EHEC) (Jay et al. 2005).
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan resiko infeksi E. coli
yaitu : adanya kontaminasi bahan baku oleh kotoran hewan; makanan dibuat tidak
melalui proses pemasakan; makanan terkontaminasi setelah matang; dijual
sebagai menu siap saji dan kontak dengan orang atau hewan sakit
(Bell dan Kyriakides 2002). Ternak sapi merupakan reservoar utama E. coli
diantaranya daging mentah (Bach et al. 2002).

2. Salmonella ssp
Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang
halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil,
aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi
laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada
25-43oC, tahan pada pH 4 – 8 dan Aw 0,94 serta bertahan hidup pada pembekuan
(Cramer 2006). Genus Salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella
enterica dan Salmonella bongori. S. enterica mempunyai 6 sub spesies dan
tidak kurang 2449 serovar sedangkan S. bongori mempunyai 20 serovar (D’aoust
2001).
Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan
insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus, Salmonella
20

ditemukan secara luas di lingkungan seperti di peternakan, pembuangan


kotoran manusia dan tempat-tempat yang terkontaminasi oleh feses
(Wray et al. 2003).
Kejadian salmonellosis pada manusia sering berkaitan dengan kejadian
salmonellosis pada hewan. Salmonella merupakan patogen saluran pencernaan
yang potensial dan menyebabkan foodborne illness. Pangan dapat bertindak
sebagai perantara terutama bahan pangan asal hewan di Amerika Serikat seperti
daging ayam, telur, daging sapi, daging babi, susu , jus buah dan sayuran
(Patterson dan Isaacson 2003).
Salmonella dapat menimbulkan sindrom penyakit berbeda pada manusia,
yaitu typhoid fever, bacteriemia dan enterocolitis. Typhoid fever disebabkan oleh
S. enterica serotipe Typhi dan Paratyphi A, B dan C, bacteriemia disebabkan
oleh S. enterica serotipe Dublin dan Cholerasuis dan enterocolitis disebabkan
oleh paling tidak 5 seritipe, yaitu S. enterica serotipe Typhimurium,
S. enterica serotipe Enteritidis, S. enterica serotipe Hiedelberg,
S. enterica serotipe Newport dan S. enterica serotipe Hadar (Rabsch et al.
2003).
Salmonella memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi buruk (suhu
tinggi), pH suboptimal dan nutrisi sedikit sehingga menjadi tantangan dalam
keamanan pangan. Kemampuan salmonella untuk tumbuh pada suhu lemari es
(4-10oC) merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan.
Makanan yang mudah rusak harus segera didinginkan segera setelah dimasak dan
disimpan pada tempat yang berbeda dengan bahan makanan mentah di lemari es.
Salmonella dihambat pertumbuhannya dengan NaCl > 3%. Peningkatan suhu
pada kisaran 10-30oC akan meningkatkan toleransi organisme terhadap garam dan
asam. Salmonella tumbuh pada pH 3,6-9 (optimum pada pH netral) dan a w 0,93
(D’aoust. 2001).

3. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau
coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering
berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase
21

positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan A w 0,86. Koloni pada
media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning (Sutherland dan Varnam
2002 dan Cramer 2006). Kemampuan tumbuhnya pada media yang
mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada A w < 0,8 menjadi problem
penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau terhambat
tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004).
Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada
hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal. Lebih kurang 30% orang sehat
membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran
makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan
tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani
makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan
sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu
yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan
intoksikasi (Jay et al. 2005).
Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam
kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin
yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning).
Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman
selama tumbuh dalam makanan. Enterotoksin yang diproduksi oleh
Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak
rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel
bakterinya. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan
penanganannya yang kurang baik dan kurang higienis oleh manusia.
Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah
dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C 1 , C 2 ,
C 3 , D, E, F, G, H dan I. Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase
logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai
awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002).
Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan,
pakaian atau alat-alat yang dipergunakan. Staphylococcus hidup optimal dan
dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37oC, tetapi beberapa spesies dapat
22

tumbuh pada 10-45oC dengan pH optimaum 7-7,5. Keracunan pangan terjadi


apabila kandungan Staphylococcus aureus dalam jumlah besar pada makanan dan
menghasilkan toksin (Doyle 1989).

Higiene dan Sanitasi Pangan


Higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah
semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan
kelayakan makanan pada setiap tahap dalam rantai makanan. Keamanan pangan
(food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada
saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya, sedangkan kelayakan
pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk
konsumsi manusia menurut penggunaannya (FAO-WHO 1997).
Menurut UU RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, sanitasi pangan adalah
upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya
jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan
bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia, sedangkan
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budidaya
hingga pangan tersebut siap disantap (safe from farm to table). Penerapan sistem
keamanan pangan pada setiap tahap produkasi harus dilakukan dengan baik agar
pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budidaya perlu
diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen
dilakukan Good Handling Practices (GHP). Pada tahap pengolahan penerapan
Good Manufacturing Practices (GMP) atau Good Hygienic Practices (GHP)
sangat diperlukan, sedangkan pada tahap distribusi harus diterapkan Good
Distribution Practices (GDP) agar produk pangan sampai ke konsumen dalam
keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007).
Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan
pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi
(Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek
23

higiene sanitasi merupakan persyaratan dasar mutlak. Adanya cemaran


mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek
higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut.
Untuk menciptakan pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh,
Halal) maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal
hewan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya secara bertahap,
terencana dan berkesinambungan.
Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikenal adalah sistem Hazard
Analysis Critical Control Points (HACCP), yaitu suatu sistem yang menjamin
keamanan pangan dengan melakukan analisa terhadap kemungkinan terjadinya
bahaya (hazard) pada sistem produksi, serta tindak pengawasan terhadap titik
kendali kritis (CCP). Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan
dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk
menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya
dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan
daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem
HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan,
prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. Pengendalian bahaya-bahaya
(Hazards) dalam sistem HACCP dilaksanakan dengan penerapan dan pengawasan
higiene dan sanitasi (GMP dan SSOP) yang dituangkan dalam SOP (BSN 1998).
Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu :
1. Analisis potensi bahaya , bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya pada
setiap tahapan produksi, menyeleksi bahaya atas dasar analisa resiko dan
mengembangkan tindakan pencegahan / pengendalian (preventive / control
measure).
2. Penentuan titik kendali kritis (CCP), untuk mengendalikan bahaya-bahaya
tersebut terutama pada tahapan dengan tingkat bahaya sedang dan tinggi.
3. Penetapan batas kritis, yaitu batasan yang digunakan untuk menjamin
proses yang berlangsung menghasilkan produk yang aman.
24

4. Penetapan sistem pemantauan, yaitu pemantauan terhadap CCP, apakah


terjadi hilang kendali dan penyimpangan pada CCP. Pemantauan harus
bersifat efektif dan mampu mendeteksi dengan cepat adanya penyimpangan
CCP.
5. Penetapan tindakan koreksi, jika hasil pemantauan pada CCP menyimpang
atau mengarah kepada penyimpangan (out of control) melampaui batas
kritis.
6. Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur untuk memastikan
bahwa sistem HACCP terpelihara dan berjalan dengan efektif. Langkah ini
juga dapat menunjukan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi.
7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen untuk keperluan audit.
dan inspeksi.

Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam
rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit
usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi
pangan asal hewan. Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah
memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner .
Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang
selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai
bukti tertulis yang sah telah dipenuhinyan persyaratan higiene sanitasi sebagai
kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan
asal hewan. Unit usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV adalah
Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan
Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan, usaha pengeluaran, usaha
distribusi, usaha ritel dan usaha pengolahan pangan asal hewan. Kebijakan
pembinaan dan pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah penerapan
sistem jaminan keamanan pangan pada unit usaha pangan asal hewan secara
bertahap mulai dari penerapan praktek higiene sanitasi, pemberian NKV dan
penerapan sistem HACCP (Ditkesmavet 2006).
25

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tangerang pada bulan April 2006
sampai dengan bulan Desember 2006. Pemeriksaan sampel terhadap cemaran
mikroba dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)
Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta dan pemeriksaan boraks
secara kuantitatif dilakukan di Pusat Pengjian Obat dan Makanan (PPOM) Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI di Jakarta.

Metoda Sampling
Populasi target sampling adalah pedagang mie bakso, pedagang bakso
buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan terpilih.
Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional, di mana Kabupaten
Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah
Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan
(4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3
kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah
Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-
masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan
sampel. Pedagang mie bakso dipilih secara acak yang ada di setiap kecamatan
terpilih. Besarnya sampel bakso ditentukan dengan menggunakan rumus dari
Martin (Thrusfield, 1995)
n = 1,962 pq/L2
dimana n : besar sampel,
p : prevalensi dugaan pemakaian boraks (15%),
q : (1 – p)
L : tingkat kesalahan (5%).
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel adalah 196.
Pengambilan sampel bakso di pasar tradisional, swalayan dan pedagang
mie bakso dilakukan secara higienis dengan menggunakan sendok atau sarung
tangan plastik. Banyaknya bakso yang diambil per sampel adalah 250 gram.
26

Pemeriksaan Boraks
Pemeriksaan kandungan boraks secara kuantitatif dengan metode
Spektrofotometri (Mujamil, 1997). Jumlah sampel yang diperiksa adalah 100
sampel. Perlakuan terhadap sampel sebagai berikut:
Ke dalam ± 100 gram sampel ditambahkan 300 ml aquadest panas,
kemudian dihaluskan, ditambahkan 20 ml asam klorida 4 N dan dipanaskan di
atas penangas air selama 10 menit sambil diaduk, kemudian disaring, sisa
penyaringan dibilas dengan 100 ml aquadest panas. Filtrat yang diperoleh
dicukupkan volumenya sampai 250 ml dalam labu ukur. Dipipet sebanyak 50 ml
ditambah 75 m1 metanol kemudian didestilasi pada suhu 85°C – 90°C selama 110
menit dan destilat ditampung dengan 10 ml gliserin 3%. Destilat yang diperoleh
dipanaskan pada pelat pemanas sampai kering. Panaskan pada tungku listrik
600°C, kemudian dinginkan. Ditambahkan 10 ml larutan kurkumin dan panaskan
pada suhu 55°C – 57°C sampai kering, kemudian tambahkan etanol sampai 25 ml
(dalam labu ukur 25 ml). Secara kuantitatif larutan yang terbentuk diukur
serapannya menggunakan spektrofotometer pada λ-maksimum. Kadar boraks
dalam sampel dapat dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang dibuat dari larutan
standar boraks. Berdasarkan regresi linier kurva kalibrasi dan faktor
pengenceran, maka kadar boraks dalam sampel dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut

Kadar Boraks (ppm) = K.ABS + B+FP.1000


Gram sampel

K = slope
ABS = Absorban
B = Intercept
FP = faktor pengenceran
27

Pemeriksaan Cemaran Mikroba


Pemeriksaan cemaran mikroba mengacu kepada SNI 19-2897-1992
tentang Cara Uji Cemaran Mikroba. Cemaran mikroba yang diperiksa adalah
Total Plate Count (TPC), bakteri bentuk coli (Coliform), Staphylococcus aureus,
Escherichia coli dan Salmonella ssp. Jumlah bakso yang diperiksa adalah 196
sampel..

1. Pemeriksaan Total Plate Count (TPC)


Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam
media pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.
Sebelum dilakukan pemeriksaan sampel dihomogenisasi dahulu pada larutan
pengencer Buffered Peptone Water (BPW). Bahan dan alat yang digunakan
antara lain sampel bakso, media Plate Count Agar (PCA), cawan petri steril,
pipet steril berbagai ukuran, inkubator.

2. Pemeriksaan Bakteri Coliform


Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam
tabung Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang
cocok pada suhu 36 ± 1oC selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke tabel
Angka Paling Mungkin (APM). Pemeriksaan menggunakan metoda Most
Probable Number (MPN) dengan 3 tabung.. Bahan dan alat yang digunakan
yaitu media Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth, Brilliant
Green Lactose Bile Broth 2% (BGLB 2%). blender, penangas air, inkubator,
pipet, ose, Erlenmeyer dan tabung reaksi..

3. Pemeriksaan Escherichia coli


Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung
Durham setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44oC
selama 24 -48 jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada
tabel APM. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Escherichia coli Broth
(EC broth), Eosin Methylene Blue (EMB), Nutrient Agar (NA), Pewarna Gram,
28

media INVIC (Indol, Merah Red, Voges-Proskauer dan citrate), blender,


penangas air, inkubator, pipet, Ose, erlenmeyer, dan tabung reaksi.

4. Pemeriksaan Salmonella
Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan
dengan uji biokimia dan uji serologi. Bahan dan alat yang digunakan yaitu
media Lactose Broth, Selenite Cystine Broth,. Tetrathionat Brilliant Green
Broth, Brilliant Green Agar (BGA), Bismuth Sulfit Agar (BSA), Nutrient Agar,
Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar, Lysine Decarboxylation Medium, VP
Medium, Indol Medium, dan antisera, botol pengencer, tabung reaksi, gelas ukur,
pipet , cawan Petri, gelas sediaan, inkubator, pengering cabinet, penangas air,
pengaduk gelas, Ose, dan sterilisator filter.

5. Pemeriksaan Staphylococcus aureus


Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan khusus
setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan dengan
uji koagulase. Metoda Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang
diperkirakan mengandung lebih dari 100 Staphylococcus aureus. Bahan dan
alat yang digunakan yaitu media Baird Parker Agar, Brain Heart Infusion
Broth (BHIB), spreader gelas, tabung reaksi, cawan petri, pipet inkubator,
penangas air, laminar flow cabinet .

Pengisian Kuisioner
Kuisioner tentang penerapan praktek higiene - sanitasi yang dilakukan
oleh para pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya dilakukan pada
saat yang bersamaan dengan pengambilan sampel bakso.

Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa kandungan boraks,
cemaran mikroba dan penerapan sanitasi-higiene diuji ada tidaknya asosiasi di
antara ketiganya dengan uji χ2 pada tingkat kepercayaan 95%. (Walpole, 1982)
29

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso

Target penelitian dan pengambilan sampel adalah pedagang bakso buatan


pabrik di pasar tradisional, swalayan yang menjual bakso buatan pabrik dan
pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya. Pengumpulan sampel
dilakukan di 7 kecamatan terpilih di Kabupaten Tangerang dengan total sampel
sebanyak 197 sampel . Sebaran jumlah pedagang dan banyaknya sampel bakso
yang dikumpulkan dari setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso


per kecamatan terpilih.
Wilayah/ Jumlah Pedagang bakso Banyaknya Sampel Total
No
Kecamatan B1* B2* C* B1* B2* C* Sampel
I Wil. Utara :
1.Kec. Teluknaga 1 - 15 1 - 19 20
2. Kec. Kosambi - - 17 - - 17 17
3. Kec. Sepatan 2 - 6 7 - 6 13
Jumlah I 3 - 38 8 - 42 50
II Wil. Tengah :
1. Kec. Curug 2 1 36 7 3 38 48
2. Kec. Balaraja - - 22 - - 22 22
3. Kec. Tigaraksa - - 15 - - 16 16

Jumlah II 2 1 73 7 3 76 86

III Wil. Selatan :


1.Kec.Pondok Aren 1 1 44 4 9 48 61

Jumlah III 1 1 44 4 9 48 61

Jumlah I+II+III 6 2 155 19 12 166 197


Keterangan :
B1* : Pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional
B2* : Swalayan
C* : Pedagang bakso rumahan (pedagang mie bakso)

Untuk wilayah Utara tidak ada sampel bakso yang diambil dari swalayan
dikarenakan di wilayah tersebut tidak ada swalayan yang menjual bakso. Sampel
bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan di swalayan diambil dari berbagai
merek dan jenis bakso dijual sehingga tidak ada bakso dengan spesifikasi yang
sama. Sedangkan bakso buatan rumahan berhasil dikumpulkan 166 sampel dari
30

155 pedagang. Hal tersebut karena beberapa pedagang yang memiliki beberapa
kios bakso di tempat yang berbeda. Umur bakso buatan rumahan yang
disampling adalah antara 0 – 1 hari (bakso buatan hari itu dan kemarin).
Pedagang bakso di Kabupaten Tangerang yang membuat bakso sendiri rata-rata
perhari mengghabiskan daging sapi antara 2 kg – 50 kg /pedagang. Jumlah
butiran bakso yang dihasilkan per kilo daging tergantung kepada ukuran bakso
yang dibuat dan jumlah bahan tambahan yang digunakan.
Hasil pemerian terhadap sampel bakso yang meliputi sifat fisik dan
organoleptik yaitu warna, bau, tekstur, bentuk dan ukuran bakso ditampilkan
pada Tabel 7.

Tabel 7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso


No Pemerian Jumlah
1. Ukuran : Besar 36
Sedang 79
Kecil 82
2. Bentuk : Bulat 194
Gepeng 2
3. Bau : Khas daging rebus 196
4. Tekstur : Padat kenyal 196
Padat keras -
Lembek -
5. Warna : Abu-abu 68
Coklat muda 57
Putih 43
Krem 26
Kuning 2

Ukuran bakso yang disampling dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu bakso


ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar. Bakso kecil berukuran sebesar
kelereng atau lebih besar, bakso sedang berukuran sebesar bola pingpong dan
bakso besar berukuran sebesar bola tenis. Besar kecilnya bakso akan berpengaruh
terhadap luasnya permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin
kecil ukuran bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan
sehingga kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba lebih besar .
Bau bakso dominan bau daging rebus dengan bau lemak sapi serta bau
bumbu terutama bawang putih. Tidak ada bau yang menyimpang seperti tengik,
31

asam atau busuk. Hal tersebut disebabkan sampel bakso yang diambil rata-rata
berumur 1 hari. Bau asam dan bau busuk disebabkan oleh kerja bakteri
pembentuk asam dan bakteri proteolitik. Hasil penelitian Surjana (2001)
menunjukan bahwa mikroba yang tumbuh pada bakso sebagian besar merupakan
bakteri asam laktat dan mulai terlihat pada hari ke-0 penyimpanan. Pada bakso
kontrol bau asam muncul pada hari ke-2 penyimpanan dan bau busuk muncul
pada hari ke-3 penyimpanan, sedangkan pada bakso yang diberi pangawet bau
asam baru muncul pada hari ke-5 penyimpanan.
Konsistensi dan tekstur bakso sampel adalah kenyal, kesat, tidak lengket dan
tidak berlendir. Tekstur bakso yang kenyal, kesat dan kering bisa diperoleh bila
ke dalam adonan bakso ditambahkan bahan tambahan makanan seperti Sodium
Tripolyphosphate (STTP). Beberapa pembuat bakso masih menggunakan boraks
untuk mendapatkan hasil yang sama. Bakso yang lembek dan berlendir
menunjukkan adanya aktivitas bakteri pembusuk. Lendir pada bakso tanpa
pengawet muncul pada hari pertama penympanan, sedangkan tekstur lembek dan
mengelupas terjadi pada hari ke-2 (Surjana 2001).

Pemeriksaan Boraks
Pemeriksaan kandungan boraks pada bakso sebanyak 100 sampel yang
terdiri dari 17 sampel bakso buatan pabrik dan 83 sampel bakso buatan rumahan.
Bakso yang positif mengandung boraks sebanyak 25 sampel (25%), terdiri dari 3
sampel (3%) bakso buatan pabrik dan 22 sampel (22%) bakso buatan rumahan .
Pada Tabel 8 dapat dilihat tingkat kandungan boraks tertinggi yang terdeteksi
adalah 4660,40 mg/kg dan terendah sebesar 5,56 mg/kg, dengan rata-rata 806,86
mg/kg dan keduanya. berasal dari bakso buatan rumahan. Jumlah boraks yang
dipakai oleh para pedagang tersebut pada umumnya lebih rendah dari dosis boraks
yang biasa dipakai oleh pembuat bakso komersial (pabrik bakso) yaitu 0,1 – 0,5
% (1 – 5 gram) per kg adonan, dan jauh lebih rendah dari dosis letal akut bila
termakan oleh manusia , yaitu 2-3 gr pada bayi, 5-6 gr pada anak-anak dan 15-20
gr pada dewasa (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004). Sampel yang mengandung
boraks di atas 1 gram/kg sebanyak 8 sampel (32%) dan di bawah 1 gram/kg
sebanyak 17 sampel (68%). Walaupun dosis boraks yang ada pada sampel bakso
32

lebih rendah dari dosis letal, dari sisi keamanan pangan bakso yang mengandung
boraks dalam jumlah banyak maupun sedikit merupakan bahan pangan yang tidak
aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

Tabel 8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus


Kode Boraks
No. TPC Coliform E.coli S. aureus
Sampel (mg/kg)
4
1 B 22 82,68 3,0x10 23 ** <3 < 1,0x10
2 B 33 29,56 2,0x105 ** 9 <3 < 1,0x10
3 B 42 11,86 6,0x104 <3 <3 < 1,0x10
4 C 09 4.660,40 5,0x105 ** 9 <3 < 1,0x10
5 C 12 701,61 4,3x105 ** <3 <3 < 1,0x10
6 C 28 31,08 2,1x104 <3 <3 < 1,0x10
7 C 47 57,54 6,6x104 4 <3 < 1,0x10
8 C 51 13,84 1,1x103 <3 <3 < 1,0x10
9 C 53 5,65 TBUD ** 1100 ** <3 < 1,0x10
10 C 57 18,21 1,1X105 ** <3 <3 < 1,0x10
11 C 59 59,75 1,8X104 <3 <3 < 1,0x10
12 C 62 67,46 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10
13 C 133 6,63 5,8X106 ** 9 <3 < 1,0x10
14 C 134 3345,41 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10
15 C 137 1804,56 1,9X106 ** <3 <3 >1,0x102 **
16 C 143 31,38 1,1X107 ** 9 <3 < 1,0x10
17 C 151 1104,80 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10
18 C 154 1046,30 4,2X103 9 <3 < 1,0x10
19 C 155 2221,00 TBUD ** <3 <3 < 1,0x10
20 C 161 1247,41 1,2X105 ** <3 <3 < 1,0x10
21 C 165 1212,06 TBUD ** > 2400 ** <3 < 1,0x10
22 C 167 556,31 4,1X105 ** <3 <3 < 1,0x10
23 C 168 781,22 TBUD ** 9 <3 < 1,0x10
24 C 172 964,27 TBUD ** 43 ** <3 < 1,0x10
25 C 198 110,41 1,7X105 ** 43 ** <3 < 1,0x10
Kode sampel B : Bakso buatan pabrik * Boraks hanya diperiksa pada 100 sampel
Kode sampel C : Bakso buatan rumahan ** Diatas nilai SNI yang diperkenankan
TBUD : Tidak Bisa Untuk Dihitung

Adanya boraks (asam borat) dalam sampel bakso dengan kadar yang
bervariasi bukan berasal dari bahan baku yang digunakan seperti daging sapi, air
es atau pati, namun adalah karena senyawa kimia tersebut dengan sengaja
ditambahkan pada proses pembuatannya. Meskipun boraks (asam borat) secara
luas terdapat di alam seperti pada tanah, batuan, tumbuhan, air laut, air tawar,
daging hewan, air susu, udara dan lainnya, namun konsentrasinya relatif kecil.
Kandungan asam borat dalam daging hewan adalah 0,05 – 0,6 mg/kg, biji-bijian
1 – 5 mg/kg sayuran hijau 2- 20 mg/kg buah segar 0,3 – 3 mg/kg, kacang > 14
mg/kg berat kering dan legume 25 -50 mg/kg (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004).
33

Kandungan asam borat dalam air minum untuk masyarakat di Kanada adalah 0,1
mg/L atau lebih rendah (Health Canada, 1991).
Alasan yang menyebabkan para pembuat bakso menggunakan boraks pada
produknya, yaitu untuk mendapatkan produk bakso yang kenyal, tidak lembek,
kesat dan lebih tahan lama. Pengetahuan yang terbatas tentang jenis bahan
tambahan makanan yang diijinkan dan yang dilarang digunakan membuat
mereka menggunakan boraks dalam produknya. Pembuat bakso rumahan
biasanya mendapatkan boraks di tempat penggilingan daging yang juga
menyediakan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk membuat bakso seperti
bumbu-bumbu, pati, es batu, bahan tambahan makanan, serta mie dan sayuran.
Beberapa jenis bahan tambahan yang biasanya disediakan di tempat penggilingan
daging dinamakan sesuai dengan kegunaannya, seperti pemutih, pengembang,
pengeras, pengenyal, dan sebagainya. Dengan demikian mereka tidak
mengetahui bahwa bahan yang mereka gunakan sebagai pengenyal kemungkinan
adalah boraks. Dalam hal ini yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan
terhadap peredaran bahan-bahan kimia yang dilarang tersebut mulai dari tingkat
distributor, pedagang pengecer sampai ke pengguna akhir. Ketentuan tentang
distribusi dan pengawasan bahan berbahaya ini telah diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006. Disamping itu perlu
sosialisasi yang lebih baik lagi kepada para pedagang dan pelaku usaha
penggilingan daging tentang pemakaian bahan tambahan makanan pengganti
boraks seperti STTP dan pengawet makanan seperti Na-karbonat, K-karbonat
dan Ca-propionat (Winarno 1997)..

Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba


Salah satu tujuan pemakaian boraks adalah untuk mencegah perkembangan
mikroorganisme sehingga bakso yang mengandung borak akan lebih tahan lama
disimpan. Pada tabel 8 terlihat bahwa bakso yang mengandung boraks ternyata
masih mengandung cemaran mikroba yang tinggi seperti TPC, Coliform dan
Staphylococcus aureus. Untuk melihat apakah keberadaan boraks dalam sampel
bakso berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba, maka dilakukan uji Chi
Square (χ2) pada tingkat kepercayaan 95%.
34

Tabel 9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap TPC


_________________________________________________________
Faktor Total Plate Count (TPC) .
≤105 % >105 % χ2 P .
Boraks :

- Positif 8 25,0 18 26,9 0,039 0,844

- Negatif 24 75,0 49 73,1


_______________________________________________________________
(P > 0,05; α = 95%)

Tabel 10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform


_________________________________________________________
Faktor Coliform
≤10 % >10 % χ2 P .
Boraks :

- Positif 18 29,5 8 21,1 0,864 0,352

- Negatif 43 70,5 30 78,9


_____________________________________________________________
(P > 0,05; α = 95%)

Tabel 11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan Staphylococcus aureus
_________________________________________________________
Faktor Staphylococcus aureus
≤102 % >102 % χ2 P .
Boraks :

- Positif 24 30,0 2 0,5 3,007 0,083

- Negatif 56 70,0 17 89,5


_________________________________________________________
(P > 0,05; α = 95%)

Hasil uji Chi Square pada tabel 9, 10 dan 11 menunjukkan bahwa boraks
pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan
Staphylococcus aureus (P > 0,05). Tujuan penambahan boraks ke dalam adonan
bakso antara lain sebagai antimikroba sehingga diharapkan akan menekan
perkembangbiakannya dan dapat memperpanjang masa simpan bakso pada suhu
kamar. Dari tabel di atas, sampel yang mengandung boraks dan cemaran
mikrobanya di bawah SNI 01-3818-1995 hanya 25% untuk TPC, 29,5% untuk
Coliform dan 30% untuk Staphylococcus aureus, sedangkan yang cemaran
35

mikroba di atas SNI adalah 26,6% untuk TPC, 21,1% untuk Coliform dan 10,5%
untuk Staphylococcus aureus. Hal tersebut mungkin disebabkan jumlah boraks
yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak mampu menghambat perkembangan
mikroorganisme. Boraks bila dilarutkan dalam air akan menjadi asam borat,
suatu senyawa asam lemah yang mempunyai kemampuan sebagai antiseptika.
Boraks dan asam borat bukan merupakan bahan tambahan makanan yang
diizinkan sehingga dosis pemakaiannya sebagai pengawet pada makanan tidak
diketahui. Asam borat sebagai antiseptika yang sering digunakan sebagai obat
pencuci mata (boorwater) adalah larutan asam borat 3%, sedangkan talcum
powder mengandung 5% boron.
Mekanisme kerja boraks atau asam borat sebagai pengawet adalah karena
asam akan menurunkan pH sel bakteri, sehingga untuk tetap mempertahan pH
konstan dalam sel, bakteri diperlukan energi yang banyak, akibatnya energi yang
tersedia untuk sintesa komponen-komponen sel berkurang, oleh karena itu
pertumbuhan sel menjadi sangat lambat, bahkan berhenti sama sekali pada pH
yang sangat rendah. Pada kecepatan pertumbuhan yang sangat lambat maka
persediaan energi untuk mempertahankan hidup sangat terbatas, akibatnya sel-sel
menjadi mati karena reaksi-reaksi pengasaman di dalam sel (Fardiaz 1992).

Cemaran Mikroba
Cemaran mikroba pada makanan dapat berasal dari kontaminasi primer,
yaitu bahan baku pangan tersebut sebelum dipanen atau disembelih,
dan pencemaran dari luar (kontaminasi sekunder). Sumber pencemaran antara
lain hewan, tanaman, tanah, air, udara, manusia, limbah dan peralatan
(Sanjaya et al. 2007). Bakso daging adalah bahan pangan yang telah
mengalami proses perebusan sebelum dijual atau digunakan. Selayaknya bakso
mengandung cemaran mikroba yang relatif rendah karena sebagian besar mikroba
mesofilik yang berasal dari bahan mentah tersebut telah mati pada proses
perebusan. Daging sapi sebagai bahan baku pembuatan bakso setelah 5 jam
pemotongan memiliki nilai TPC 1,9 x 108 dan setelah diolah dan direbus menjadi
bakso nilai TPC-nya sebesar 4,1 x 102 (Surjana 2001). Lamanya proses
perebusan butiran adonan bakso pada pedagang bakso sektor informal di Kota
36

Bogor berlangsung 2 tahap, yaitu tahap pertama direbus dalam air panas dan
tahap kedua direbus dalam air tawas. Lama perebusan selama 15 – 25 (Anindita
2003).
Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada sampel bakso yang meliputi TPC,
cemaran Coliform, cemaran E. coli, cemaran Samonella sp dan cemaran
Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 12. Total Plate Count sampel
bakso 67,5% diatas SNI, bakteri Coliform 40,8% di atas SNI dan Staphylococcus
aureus 25% di atas SNI, sedangkan E. coli dan Salmonella sp 0% di atas SNI.

Tabel 12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di
pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan.
TPC Coliform S.aureus E. coli Salmonella
Jenis Sampel Jml
No. (>1x105) (>1x101) (>1x102) ( >3 ) ( positif)
Bakso smpl
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
1. Bakso buatan 166 114 68,7 75 44,2 40 24,1 0 0,0 0 0,0
rumahan (C)

2. Bakso buatan 19 11 57,9 2 10,5 6 31,6 0 0,0 0 0,0


pabrik di pasar
tradisional
(B1 )
3. 12 8 66,6 3 27,3 3 27,3 0 0,0 0 0,0
Bakso buatan
pabrik di pasar
swalayan (B2 )
Jumlah 197 133 67,5 80 40,8 49 25,0 0 0,0 0 0,0

Tingginya TPC pada B 1 , B 2 maupun C merupakan gambaran tingginya


populasi mikroorganisme aerobik mesofilik pada sampel tersebut.
Mikroorganisme mesofilik akan mati pada proses perebusan bakso pada air
mendidih. Keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan berkaitan dengan
keberadaan mikroorganisme tersebut pada bahan mentah, atau berkaitan dengan
penanganan yang tidak higienis pada waktu pengolahan, penyimpanan dan
distribusi, atau dapat pula berkaitan dengan daya tahan mikroorganisme selama
proses pengolahan dan penyimpanan (Lukman 2004). Pada bakso yang telah
mengalami proses perebusan, cemaran mikroba bukan berasal dari bahan
mentah, melainkan berasal dari kontaminasi setelah bakso matang, seperti
kontaminasi dari tangan, pakaian, wadah tempat penyimpanan, udara, debu,
sayuran, kemasan pembungkus, botol minuman dan sebagainya. Untuk mencegah
37

kontaminasi dan perkembangan mikoorganisme pada bakso setelah perebusan


adalah dengan menerapkan sanitasi dan higiene pada proses pengemasan,
penyimpanan , distribusi dan penjualan dan penerapan sistem rantai dingin
selama distribusi dan penyimpanan.
TPC pada bakso di swalayan lebih tinggi dibandingkan dengan bakso dari
pasar tradisional antara lain karena di swalayan bakso disimpan dalam waktu
yang cukup lama pada temperatur tempat penyimpanan yang dingin tetapi tidak
beku (± 10 0C). Pada temperatur dingin mikroorganisme mesofilik menjadi tidak
aktif atau dihambat pertumbuhannya. Disamping itu show case yang terbuka
dimana pembeli mengambil sendiri baksonya dapat menambah kontaminasi dari
tangan pemberi dan lingkungan sekitarnya. Bakso di pasar tradisional pada
umumnya habis terjual dalam waktu satu hari, sehingga walaupun tingkat
kontaminasinya lebih tinggi tetapi mikroorganisme belum berkembang terlalu
banyak Pertumbuhan mikroorganisme berbanding lurus dengan pertambahan
waktu. Pada kondisi ideal satu sel bakteri akan tumbuh menjadi 2 sel setiap 15 -
30 menit.
Nilai TPC pada sampel bakso yang bervariasi mungkin dipengaruhi oleh
besar kecilnya ukuran bakso. Nilai TPC bakso ukuran kecil 63,4% diatas SNI,
bakso ukuran sedang 77,2% di atas SNI dan bakso ukuran besar 58,8% di atas
SNI (Tabel 13). Perentase bakso ukuran kecil dan sedang yang memiliki nilai
TPC di atas SNI, lebih tinggi dibandingkan dengan persentase bakso berukuran
besar. Hal tersebut karena sampel bakso kecil dan bakso sedang yang akan diuji
per berat sampel yang ditentukan, diambil dalam bentuk butiran utuh tanpa
pemotongan, sedangkan sampel bakso ukuran besar harus mengalami pemotongan
untuk mendapatkan berat yang ditentukan. Besar kecilnya bakso berpengaruh
terhadap luas permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin kecil
bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan sehingga
semakin tinggi kemungkinannya mengalami kontaminasi. Sampel bakso ukuran
kecil dan sedang memiliki luas permukaan yang kontak dengan lingkungan (yang
terkontaminasi) yang lebih besar sehingga nilai TPC-nya lebih tinggi
dibandingkan dengan bakso berukuran besar.
38

Tabel 13. Nilai Total Plate Count (TPC) bakso berdasarkan ukurannya

No Ukuran Bakso Jumlah sampel TPC >1x105


Persentase (%)
(sampel )
1. Kecil 82 52 63,4
2. Sedang 79 61 77,2
3. Besar 36 21 58,8

Bakteri Coliform pada bakso buatan rumahan yang cukup tinggi


menunjukkan bahwa kontaminasi dapat berasal dari manusia dan dari
lingkungan. Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia
dan hewan. Selain itu ditemukan juga di tanah, air dan tumbuhan yang
terkontaminasi oleh feses. Bakso buatan rumahan terkontaminasi Coliform dari
debu atau bahan mentah seperti sayuran karena pada umumnya disimpan pada
tempat terbuka dan bercampur dengan bahan lain. Persentase Staphylococcus
aureus terbesar terdapat pada bakso pabrik yang dijual di pasar tradisional. Hal
tersebut disebabkan oleh tingginya intensitas kontak bakso dengan kulit atau
tangan penjual dan pembeli yang tidak bersih, karena di pasar tradisional bakso
diambil langsung menggunakan tangan telanjang. S. aureus hidup secara
komensal pada kulit, rambut, rongga hidung dan tenggorokan pada lebih dari
50% orang sehat (Whitt et al. 2002). Penyebab lainnya adalah lingkungan
pasar yang tidak bersih dan tempat berjualan yang terbuka dan bersatu dengan
komoditi lainnya. S. aureus berpotensi menghasilkan toksin pada makanan yang
dapat menyebabkan keracunan (food poisoning). Pengolah makanan dapat
menjadi sumber kontaminasi pada kasus keracunan makanan oleh S. aureus
(Carmo et al. 2003).

Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba


Hasil pemeriksaan cemaran mikroba seperti yang ditampilkan Tabel 12 di
atas mengindikasikan bahwa bakso sangat rawan tehadap kontaminasi oleh
mikroorgnisme. Kesalahan dalam penanganan pada pra produksi, pada saat
produksi dan pasca produksi memberikan andil terhadap tingkat kontaminasi
tersebut. Aspek yang harus diperhatikan dalam setiap tahapan produksi tersebut
39

adalah penerapan faktor-faktor sanitasi dan higiene untuk menjamin bahan


pangan tersebut aman sejak dari pra produksi sampai dikonsumsi oleh manusia
(safe from farm to table).
Penerapan faktor sanitasi dan higiene pada pedagang bakso rumahan sejak
dari proses produksi sampai pasca produksi diuji asosiasinya terhadap cemaran
mikroba yaitu terhadap TPC dan Coliform (Tabel 14).

Tabel 14. Uji Chi Square hubungan penanganan higiene dan sanitasi terhadap
TPC pada pembuatan bakso rumahan.
__________________________________________________________________
Faktor TPC .
≤105 % >105 % χ2 P .
1. Pencucian bahan baku
a. Ya 23 22,3 80 77,7 6,921* 0.021
b. Tidak 18 40,9 26 59,1
2. Baso didinginkan
a. Ya 39 28,5 98 71,5 0,332 0,564
b. Tidak 2 20,0 8 80,0
3. Disimpan pada wadah tertutup
a. Ya 14 25,0 42 75,0 0,376 0,540
b. Tidak 27 29,7 64 70,3
4. Disimpan pd lemari es
a. Ya 15 19,2 63 80,8 5,615* 0,018
b. Tidak 25 36,8 43 63,2
5. Penyimpanan terpisah
a. Ya 25 61,0 16 39,0 30,945* 0,000
b. Tidak 16 15,1 90 84,9___________________
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.

Pada tabel 14 terlihat bahwa pencucian bahan baku, penyimpanan pada


suhu dingin dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata
terhadap total cemaran mikroba (TPC). Jumlah mikroorganisme pada produk
akhir ditentukan oleh jumlah mikrooorganisme awal (bahan baku). Proses
pencucian bahan baku daging bertujuan untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme awal. Daging hewan setelah proses pemotongan mengandung
bakteri mesofilik aerobik 103-105/cm2 dan bakteri Enterobacteriaceae (E.coli)
< 10/cm2. (Grau 1986) dan pencucian dengan air bersih akan mengurangi
kontaminan tersebut. Penggunaan air pencuci yang tidak layak atau kotor akan
meningkatkan cemaran mikroba sehingga total mikroorganisme awal semakin
banyak. Jumlah sel mikroorganisme yang tinggi akan meningkatkan
40

ketahanannya terhadap panas pada proses perebusan. Diduga bahwa mekanisme


perlindungan sel terhadap panas di dalam suatu populasi sel yang tinggi
disebabkan karena sel memproduksi komponen pelindung, diantaranya protein
yang diketahui mempunyai sifat pelindung terhadap panas (Fardiaz 1992).
Penyimpanan pada lemari es berpengaruh nyata terhadap TPC, dimana
bakso yang disimpan pada lemari es TPC-nya tinggi (80,8%). Hal tersebut
dimungkinkan bila suhu lemari es lebih tinggi dar 4oC. Suhu adalah faktor
ekstrinsik terpenting yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba.
Pada suhu rendah mikroba tidak mati, tapi dihambat pertumbuhannya.
Penyimpanan bahan makanan pada suhu dingin (tidak beku) akan mengawetkan
mikroba yang telah ada pada bahan makanan tersebut sebelumnya. Suhu lemari
es yang baik adalah antara 0oC – 4oC, dimana pada suhu tersebut mikroba tidak
tumbuh tetapi masih tetap hidup. Suhu lebih tinggi dari 4oC sampai 60oC
merupakan zona yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri sehingga
makanan tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam pada suhu tersebut. Kondisi
tersebut dapat lebih buruk lagi bila penyimpanan dalam lemari es tersebut
dicampur dengan bahan-bahan lain seperti sayuran mentah, minuman botol dan
sebagainya yang dapat menyebabkan kontaminasi silang.

Tabel 15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene
terhadap cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan.
_______________________________________________________________
Faktor Colifom .
≤10 % >10 % χ2 P .
1. Pencucian bahan baku
a. Ya 55 53,4 48 46,6 0,016 0,900
b. Tidak 23 52,3 21 47,7
2. Baso didinginkan
a. Ya 75 54,7 62 45,3 2,291 0,130
b. Tidak 3 30,0 7 70,0
3. Disimpan pada wadah tetutup
a. Ya 22 39,3 34 60,7 6,892* 0,009
b. Tidak 27 29,7 64 70,3
4 Disimpan pd suhu dingin
a. Ya 38 48,7 40 51,3 1,087 0,297
b. Tidak 39 57,4 29 42,6
5. Penyimpanan terpisah
a. Ya 32 78,0 9 22,0 14,254* 0,000
b. Tidak 46 43,4 60 56,6__________________
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
41

Pada tabel 15 terlihat bahwa penyimpanan pada wadah tertutup dan


penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap Coliform.
Bakso yang disimpan pada tempat terbuka mengandung Coliform yang tinggi.
Hal tersebut mudah dimengerti karena bakso yang disimpan pada wadah atau
tempat terbuka mudah terkontaminasi mikroba dari debu, udara, atau bahan
lainnya.
Penyimpanan produk pangan jadi atau matang yang tidak dipisahkan dengan
bahan lain, terutama bahan mentah, seperti sayuran, daging mentah dan ikan
mentah, beresiko terjadi kontaminasi oleh mikroorganisme yang terdapat pada
bahan mentah tersebut. Bakteri Coliform banyak terdapat pada bahan mentah
terutama yang tidak dicuci dengan baik dengan air yang bersih. Kasus food borne
disease yang disebabkan oleh mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi pada
saat penyimpanan telah sering dilaporkan. Untuk mencegah hal tersebut
dianjurkan untuk menyimpan makanan jadi dalam wadah tertutup dan terpisah
dalam lemari pendingin.

Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP)


Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) atau Good Hygienic
Practice (GHP) pada pembuatan, penjualan , penyimpanan dan penyediaan bakso
di Kabupaten Tangerang secara umum nampaknya belum dilaksanakan oleh
para produsen , pedagang dan konsumen. Pada tingkat pedagang eceran di pasar
tradisional terlihat bahwa penanganan bakso yang dijual tidak memperhatikan
aspek higiene dan sanitasi, seperti tempat berjualan yang bercampur dengan
komoditi lain, tempat penyimpanan terbuka dan tidak dingin, mengambil bakso
dengan tangan telanjang, pembeli ikut memegang produk serta pedagang tidak
menggunakan pakaian yang khusus. Pada pedagang mie bakso penerapan
higiene dan sanitasi juga belum dilaksanakan dengan baik.. Penyimpanan bakso
di gerobag atau pada keranjang terbuka dan bercampur dengan bahan lain seperti
sayuran dan mangkok bakso, penggunaan kuah bakso yang tidak mendidih, air
pencuci mangkok tidak mengalir serta penggunaan bahan tambahan berbahaya
seperti boraks merupakan gambaran belum dilaksanakannya GMP
42

Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan


pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi
(Luning et al. 2003). Higiene personal merupakan bagian yang penting karena
manusia adalah reservoar juga vektor bagi mikroorganisme dan dapat menjadi
sumber kontaminasi bagi produk pangan. Pada suatu usaha/ industri pengolahan
pangan pengertian personal bukan hanya orang yang bekerja di bagian produksi
saja, tetapi juga mencakup semua orang yang berada di tempat tersebut termasuk
manager, mekanik dan pengunjung, sehingga aturan higiene personal harus
diterapkan pada setiap orang (Holah et al. 2003). Penjamah makanan (food
handler) harus bertanggung jawab terhadap kesehatan pribadinya dan kebersihan
dirinya sedang perusahaan (manajer) harus bertanggungjawab agar masyarakat
terhindar dari praktek yang tidak higienis yang dapat menyebabkan penyakit
masyarakat.
Higiene personal merupakan suatu tahapan dasar yang harus dilaksanakan
untuk menjamin produksi makanan yang aman. Higiene personal yang harus
diterapkan pada tempat pembuatan dan penjualan bakso adalah kebiasaan menjaga
kebersihan diri dan berperilaku dan bekerja sesuai peraturan, yaitu:
1. Pegawai yang sakit atau yang diduga sakit atau yang baru sembuh dari sakit
menular tidak diperbolehkan menangani langsung pangan.
2. Pegawai yang menangani makanan harus menjaga kebersihan diri (mandi,
mencuci rambut).
3. Memakai pakaian kerja, penutup rambut, masker, alas kaki yang bersih.
4. Selama bekerja kerja, tangan harus dicuci setelah menggunakan toilet,
menangani sampah atau bahan-bahan yang kotor, menangani bahan mentah,
memegang uang, merokok, batuk atau bersin.
5. Bila mempunyai luka harus ditutup dengan plester yang kedap air.
6. Kuku tangan harus senantiasa pendek dan bersih.
7. Selama menangani bahan pangan, pekerja harus meninggalkan kebiasaan
yang dapat mencemari bahan pangan seperti meludah, merokok, menggigit
kuku, menyentuh hidung, wajah, mulut, telinga, rambut serta batuk dan
bersin di depan makanan.
43

Tempat pembuatan, penjualan dan penyimpanan bakso di pasar dan di


pedagang mie bakso harus selalu dalam kondisi bersih, bebas bau, debu dan asap,
tidak dekat tempat sampah, lantai bersih, kering dan tidak becek, penerangan
memadai, sistem drainase baik dan tidak ada hama (lalat, kecoa, semut, tikus,
kucing). Bahan baku bakso harus aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), air bersih
dan layak minum serta bahan tambahan makanan (BTM) yang diperkenankan.
Sarana dan peralatan untuk pembuatan bakso harus mudah dibersihkan dan
disanitasi, bahan kuat, tidak korosif dan tidak toksik. Tempat penjualan dan
penyimpanan bakso juga harus bersih, tidak untuk menyimpan bahan mentah dan
barang lainnya dan harus bersuhu dingin atau beku. Sarana transportasi dari pasar
ke rumah harus pada bersuhu dingin, bersih, tidak beracun dan tertutup. Kemasan
yang dipergunakan harus bersih, baru dan tidak mengandung bahan beracun
berbahaya.
Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam
rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, maka setiap
unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi,
karena hal tersebut merupakan dasar bagi terciptanya mutu dan keamanan pangan
asal hewan. Higiene dan sanitasi adalah bagian penting dari sistem keamanan
pangan terpadu dengan kaitan yang erat kepada pelaksanaan peraturan, HACCP,
GMP dan pengedalian hama. Higiene dan sanitasi adalah syarat mutlak untuk
HACCP dan ditujukan untuk mengurangi bahaya-bahaya secara mikrobilogi,
kimiawi dan fisik pada suatu unit usaha pangan. Program sanitasi yang paling
efektif akan sia-sia bila para pekerja tidak mengikuti tatacara produksi yang baik,
justru akan mencipatakan kontaminasi. Sebaliknya, program sanitasi yang
tangguh, campur tangan dari semua bagian dan dipadukan dengan sistem jaminan
keamanan pangan, akan meningkatkan keamanan pangan (Cramer 2006).
Sesuai dengan Peraturan Menteri pertanian Nomor
381/Kpts/OT.140/10/2005 (Ditkesmavet 2006). tentang Pedoman Sertifikasi
Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan, bahwa setiap usaha pangan
asal hewan wajib memiliki NKV, dan untuk mendapatkan NKV, unit usaha
tersebut harus memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Bagi unit usaha yang
belum dapat diberikan NKV dilakukan pembinaan paling lama 5 (lima) tahun oleh
44

dinas Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan


sampai terpenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi, dan selanjutnya wajib
memiliki NKV. Dinak Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan harus
mengikuti ketentuan yang berlaku. Untuk unit usaha pangan asal hewan,
penerapan higiene dan sanitasi secara bertahap, terecana dan berkesinambungan
harus dimulai. Penerapan higiene dan sanitasi pada industri pengolahan pangan
berskala besar telah dilaksanakan di Indonesia, namun untuk industri skala
rumah tangga , tahapan-tahapan tersebut belum dilaksanakan. Apabila peraturan
atau sistem NKV dapat diterapkan dengan baik pada praktek budidaya maupun
pengolahan pangan asal hewan di Indonesia, maka akan meningkatkan keamanan
pangan asal hewan di Indonesia.
45

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pada penelitian ini masih ditemukannya sampel bakso yang mengandung


boraks (25%), serta nilai TPC (67,3%), Coliform (40,8%) dan
Staphylococcus aureus (25,0%) melebihi batas maksimum yang ditetapkan
dalam SNI 01-3818-1995. Persentase bakso berukuran kecil dan sedang
dengan TPC di atas nilai SNI, lebih besar daripada bakso berukuran besar.
2. Keberadaan boraks pada sampel bakso yang diperiksa tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah cemaran mikroba. Kandungan boraks terendah yang
terdeteksi adalah 5,56 mg/kg, dan tertinggi sebesar 4660,40 mg/kg dengan
rata-rata 806,86 mg/kg.
3. Pedagang bakso skala rumah tangga dan pedagang pengecer di pasar
tradisional belum melaksanakan praktek higiene dan sanitasi pada tahap
pembuatan, penjualan, penyimpanan dan penyediaan bakso.

Saran

Untuk meningkatkan kualitas produk bakso di Kabupaten Tangerang dapat


dilakukan melalui :
1. Pembinaan kepada para pedagang bakso dan usaha jasa penggilingan daging
dalam pemilihan dan penanganan bahan baku, pemakaian bahan tambahan
makanan dan menerapan sanitasi-higiene pada proses pengolahan,
penyimpanan dan penyajian bakso. Pembinaan tersebut diarahkan kepada
terpenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar
jaminan keamanan pangan untuk mendapatkan Sertifikat Kontrol Veteriner.
2. Penataan tempat penjualan bagi produk pangan asal hewan di pasar
tradisional yang terpisah dengan tempat penjualan bahan lainnya.
46

DAFTAR PUSTAKA

Andayani RY. 1999. Standarisasi Mutu Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan


Konsumen (Studi Kasus di Wilayah DKI Jakarta). [skripsi]. Bogor.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Anindita S. 2003. Keamanan Pangan dan Nilai Gizi Bakso Pedagang Sektor
Informal di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor selama
Penjualan. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.

Bach SJ, Mc.Alister TA, Veira DM, Gannon VPJ, Holley RA. 2002.
Transmission and Control of Escherichia coli O157:H7. Canadian
Journal of Animal Science 82: 475-490. Dec. 2002.

Bell C, Kyriakides A. 2002. Pathogenic Escherichia coli. Di dalam : Blackburn


CW dan Mc.Clure PJ, editor. 2002. Foodborne Pathogens : hazards, risk
analysis and control. Cambridge England. Woodhead Publishing
Limited. Hlm 280-303.

Branen AL, Haggerty RJ. 2002. Introduction to Food Additives. Di dalam :


Branen AL, Davidson PM, Salminen S dan Thorngate JH, editor. 2002.
Food Additives. Ed ke-2. New York. Marcel Dekker. Hlm 1-9.

Brown MH, Booth IR. 1991. Acidulants and Low pH. Di dalam : Russel NJ dan
Gould GW. editor. 1991. Food Preservatives. London. Blackie.
Hlm 22-43.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI-19-2987-1992 tentang Cara


Uji Cemaran Mikroba. Jakarta. BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995a. SNI-01- 0222-1995. tentang Bahan


Tambahan Makanan. Jakarta. BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995b. SNI-01-3818-1995 tentang Bakso


Daging. Jakarta. BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI-01-4852-1998 tentang Sistem


Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman
Penerapannya. Jakarta. BSN.

Carmo LS, Dias RS, Linardi VR, Sena MJ, Santos DA. 2003. An Outbreak of
Staphylococcal Food Poisoning in the Municipality of Passos, MG, Brazil.
Brazillian Arch. of Biol. and Tech. vol..46 no. 4. Curitiba. Des 2003.
47

Chapin RE, Ku WW, Kenney MA et al. 1997. The Effects of Dietary Boron on
Bone Strength in Rats. Fund. Appli. Toxicol. 35:205-215. Di dalam :
[USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency –
Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of
Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA
635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-
2009].

Cramer MM. 2006. Food Plant Sanitation, Design, Maintenance and Good
Manufacturing Practice. New York. Taylor & Francis.

Djaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit
yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian 26(2):
67-75.

D’aoust JY. 2001. Salmonella. Di dalam : Labbe RG dan Garcia S, editor.


2001. Guide to Foodborne Pathogens. New York. A John Wiley & Sons
Inc. Publication. Hlm 163-191.

Davidson PM, Branen AL. 2005. Food Antimicrobial - An Introduction.


Di dalam : Davidson PM, Sofos JN dan Branen AL, editor. 2005.
Antimicrobials in Food. Ed ke-3. Boca Raton. Taylor & Francis.
Hlm1-10.

Devirian TA, Volpe SL. 2003. The Physicological Effects of Dietary Boron.
Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 43(2):219-231. Di dalam : [USEPA-IRIS]
United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk
Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and
Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052.
http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009].

Doyle MP. 1989. Foodborne Bacterial Pathogens. Food Research Institute.


University of Wisconsin-Madison. New York and Basel : Marcel Dekker
Inc.

[EGVM] Expert Group on Vitamins and Minerals. 2003. Safe Upper Levels for
Vitamins and Minerals. Food Standards Agency. United Kingdom.
http://www.foog.gov.uk/multimedia/pdfs/vitamin2003.pdf [05-02-2007].

Ellenhorn MJ. 1997. Ellenhorn’s Medical Toxicology : Diagnosis and


Treatment of Human Poisoning. Ed ke-2.. Baltimore MD. Williams &
Wilkins. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product :
boron as a medical ingredient in oral natural hHealth product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].
48

[FAO] Food and Agricultural Organization and [WHO] World Health


Organization. 1997. Food Hygiene Basic Texts. Rome. FAO and WHO.

Fardiaz S. 1987. Mikrobiologi dalam Keamanan Pangan. Bogor. Pusat Antar


Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

[Ditkesmavet] Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2006. Buku Pedoman


Nomor Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan. Jakarta.
Direktorat Kesehatan Masyrakat Veteriner, Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian.

[Ditjen POM] Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan makanan. 1995.


Farmakope Indonesia Ed ke-4. Jakarta. Departemen Kesehatan RI .

Gonzales FD. 2005. The Use of Diet to Control Pathogens in Animals. Di


dalam : Sofos JN, editor. 2005. Improving the Safety of Fresh Meat.
Cambridge. England. Woodhead Publishing Limited.

Grau FM. 1986. Microbial Ecology of Meat and Poultry. Di dalam : Pearson
AM and TR Dutson, editor. Advances in Meat Research : meat and
poultry microbiology. Basingstoke. England. Mc.Millan Publisher. Hlm
1-47.

Health Canada . 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient
in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].

Heindell JJ, Price CJ, Field EA, et al. 1992. Developmental Toxicity of Boric
Acid in Mice and Rats. Fundam. Appl. Toxicol. 18:2266-277. Di dalam :
Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical
ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].

Hollah JT, Taylor J. 2003. Personal Hygiene. Di dalam : Lelieveld HLM,


Mostert MA, Holah J dan White B, editor. 2003. Hygiene in Food
Processing. Cambridge England. Woodhead Publishing Limited. Hlm
288-308.

Jansen JA, Andersen J, Schou JS. 1984a. Boric Acid Single Dose
Pharmacokinetics afer Intravenous Administration to Man. Arch. Toxicol.
55:64-67. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product :
boron as a medical ingredient in oral natural health product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].
49

Jansen JA, Schou JS, Aggerbeck A. 1984b. Gastro-intestinal Absorption and in


vitro Release of Boric Acid from Water-emulsifying Oinments. Food
Chem. Toxicol. 7:305-319. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and
Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health
product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php.
[21-02-2009].

Jay JM, Loessner MJ, Golden DA, editor. 2005. Modern Food Microbiology.
Ed ke-7. Springer.

Ku WW, Chapin RE, Wine RN. 1993. Testicular Toxicity of Boric Acid
Relationship of Dose to Lesion Development and Recovery in the F344
Rat.. Reprod. Toxicol. 7:305-319. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug
and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural
health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-
eng.php. [21-02-2009].

Lee IP, Sherins RJ, Dixon RL. 1978. Evidence of Germinal Aplasia in Male Rats
by Environmental Exposure to Boron. Toxicol Appl. Pharmacol. 45:271-
298. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron
as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-
sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].

Lukman DW. 2004. Pengujian Jumlah Bakteri pada Pangan Asal Hewan.
Laboratorium Kesmavet Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet.
Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.

Lunning PA, Marcelis WS, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality –
a Techno-Managerial Approach. Wageningen. Wageningen Pers.

Muchtadi TR dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan


Bahan Pangan. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor.

Mujamil J. 1997. Deteksi dan Evaluasi Keberadaan Boraks pada Beberapa Jenis
Makanan di Kotamadya Palembang. Cermin Dunia Kedokteran No. 120.
ISSN : 125 – 913X.

Murray FJ. 1998. A Comparative Review of The Pharmacokinetics of Boric


Acid in Rodents and Human. Biol. Trace Elem. Res. 66:331-341. Di
dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a
medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-
sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].
50

Naim R. 2004. Intoksikasi Mikrobial pada Pangan. Bahan Kuliah. Program


Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Program Master Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Novita R. 2003. Keamanan Produk Bakso di Kota Tangerang. [skripsi]. Bogor.


Jurusan Gizi dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian. Instutut
Pertanian Bogor.

Pahl M, Culver D, Vaziri ND. 2005. Boron and the Kidney. J.Ren. Nutr.
15:362-370. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product
: boron as a medical ingredient in oral natural health product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].

Pandisurya C. 1983. Pengaruh Jenis Daging dan Penambahan Tepung terhadap


Mutu Bakso. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.

Patterson S, Isaacson R. 2003. Genetics and Pathogenesis of Salmonella. Di


dalam Torrence M dan Isaacson RE. editor. 2003. Microbial Food
Safety in Animal Agriculture : current topics. Iowa. Iowa State Press.
Hlm 89-96.

[DEPDAG] Departemen Perdagangan. 2006. Peraturan Mnteri Perdagangan


Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya. Jakarta. Departemen Perdagangan.

Price CJ, Strong PL, Marr MC, Myers CB, Murray FJ. 1996a. Developmental
Toxicity NOAEL and Postnatal Recovery in Rats Fed Boric Acid during
Gestation. Fund. Appl. Toxicol. 32:179-193. Di dalam : Health Canada.
2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral
natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-
bore-eng.php. [21-02-2009].

Price CJ, Marr MC, Myers CB, et al. 1996b. Developmental Toxicity of Boric
Acid in Rabbits. Fund. Appl. Toxicol. 34:176-187. Di dalam : Health
Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical
ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].

Rabsch W, Altier C, Tschape H, Baumler AJ. 2003. Foodborne Salmonella


Infections. Di dalam : Torrence M dan Isaacson RE. editor. 2003.
Microbial Food Safety in Animal Agriculture : current topics. Iowa.
Iowa State Press. Hlm 97 -107.
51

Samman S, Naghii MR, Lyons WPM, Verus AP. 1998. The Nutritional and
Metbolic Effects of Boron in Humans and Animals. Bio. Trace Elem. Res.
66:227-235. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product :
boron as a medical ingredient in oral natural health product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].

Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW,


Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bogor. Bagian Kesmavet Departemen
IPHK Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Schou JS, Jansen JA, Aggerbeck A. 1984. Human Farmacokinetics and Safety
of Boric Acid. Arch. Toxicol. 7:232-235. Di dalam : [USEPA-IRIS]
United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk
Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and
Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052.
http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009].

Sheftel VO. 2000. Indirect Food Additives and Polymers. Migration and
Toxicology. Washington D.C. Lewis Publishers.

Sunarlim R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh


Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap
Perbaikan Mutu. [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana Instutut
Pertanian Bogor.

Surjana W. 2001. Pengawetan Bakso Daging Sapi dengan Bahan Additif Kimia
pada Penyimpanan Suhu Kamar. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sutherland J, Varnam A. 2002. Enterotoxin-producing Staphylococcus, Shigella,


Yersinia, Vibrio, Aeromonas and Plesiomonas. Di dalam : Blackburn
CW dan Mc.Clure PJ, editor. 2002. Foodborne Pathogens : hazards, risk
analysis and control. Cambridge England. Woodhead Publishing
Limited. Hlm 387-413.

Todar K. 2008. Pathogenic E. coli. http://www.textbookofbacteriology.net/


e.coli.html. Online Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin.
Madison. Departement of Bacteriology.

Thrusfield M . 1995. Veterinary Epidemiology. Ed ke-2. London. Blackwell


Science Ltd,.

[USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk


Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and
Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA
635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-
2009].
52

[USEPA] United State Environmental Protection Agency. 2008. Report of the


Food Quality Protection Act (FQPA) Telerance Reassessment Eligibility
Decision (TRED) for Boric Acid / Sodium Borate Salt, approved by
Edwards D. United States Environmental Protection Agency.
http://www.epa.gov/boric_acid_tred[1]. [20-11-2008].

Verbruggen R. 2002. Food Additive Regulations in The European Community.


Di dalam : Davidson PM, Branen AL, Sofos JN. editor. 2005.
Antimicrobials in Food. Ed ke-3. New York. Taylor & Francis.

Walpole RE. 1983. Pengantar Statistika Ed ke-3. Jakarta. PT. Gramedia


Pustaka Utama.
Weir RJ, Fisher RS. 1972. Toxicologic Studies on Borax and Boric Acid.
Toxicol. Appl. Pharmacol. 23(3):351-364. Di dalam : Health Canada.
2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral
natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].

[WHO] World Health Organization. 1998. Environmental Health Criteria 204 :


Boron. Geneva, Switzerland: WHO. . Di dalam : [USEPA-IRIS] United
State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information
System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds
(CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052.
http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009].

Whitt DD, Salyers AA. 2002. Bacterial Pathogenesis : A Molecular Approach,


Ed ke-2. USA. ASM Press. ISBN 1-55581-171-X.

Wibowo S. 1999. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta. Penebar
Swadaya.

Wilson NRP, Diyet EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat
Products. London. Applied Science Publisher.

Winarno FG. 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademik. Bogor. Institut


Pertanian Bogor.

Woods WG. 1994. An Introduction to Boron : History, Sources, Uses and


Chemistry. Environ Health Perspect 102 (Suppl 7):5-11, . Di dalam :
[USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency –
Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of
Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA
635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-
2009].

Wray C, Davies RH. 2003. Salmonella spp. Di dalam : Torrence M dan


Isaacson RE. editor. 2003. Microbial Food Safety in Animal Agriculture :
current topics. Iowa. Iowa State Press. Hlm 73-82.
53

LAMPIRAN
54

Lampiran 1. Syarat Mutu Bakso Daging (SNI-01-3818-1995)

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan


1 Keadaan :
1.1 Bau - Normal khas daging
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Tekstur - Kenyal
2 Air % b/b Maks 70,0
3 Abu % b/b Maks 3,0
4 Protein % b/b Min 9,0
5 Lemak % b/b Maks 2,0
6 Boraks - Tidak boleh ada
7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
8 Cemaran logam :
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
10 Cemaran mikroba :
10.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks 1 x 105
10.2 Bakteri bentuk koli APM/g Maks 10
10.3 Escherichia coli APM/g ≤3
10.4 Enterococci Koloni/g Maks 1 x 103
10.5 Clostridium perfringens Koloni/g Maks 1 x 102
10.6 Salmonella - Negatif
10.7 Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1 x 102
55

Lampiran 2
Homogenisasi Contoh Bakso

Homogenisasi adalah cara persiapan contoh makanan untuk memperoleh distribusi


bakteri sebaik mungkin di dalam contoh makanan yang ditetapkan.
Tujuan :
Membebaskan sel sel bakteri yang mungkin terlindungi oleh partikel makanan, dan
untuk menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin viabi litasnya berkurang
karena kondisi yang kurang menguntungkan di dalam makanan.
Cara Kerja :
a. Timbang sejumlah 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender.
b. Tambahkan 225 ml larutan pengencer hingga diperoleh pengenceran 1 : 10 .
c. Homogenkan dengan kecepatan 11500-20000 per menit.
d. Lakukan pengenceran bertahap sesuai keperluan masing-masing uji

Homogenisasi contoh bakso untuk uji Salmonella :


a. Timbang 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender, tambahkan 225 ml Lactose
Broth,
b. Homogenkan dengan diblender.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


56

Lampiran 3.

Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC)

Prinsip :
Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media
pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.

Cara Kerja
1. Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai lampiran 3.
2. Pipet 1 ml dari masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri steril secara
simplo dan duplo.
3. Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 -15 ml media PCA cair yang
bersuhu 45 ± 1oC dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama.
4. Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati hingga contoh tercampur rata dengan
media PCA.
5. Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku.
6. Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator dan
inkubasikan pada suhu 35 ±1oC selama 24 - 48 jam.
7. Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni
setelah 48 jam.
8. Hitung Total Plate Count dalam 1 gram contoh dengan mengalikan jumlah rata-
rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


57

Lampiran 4
Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform

Metoda : Most Probable Number(MPN) atau APM (Angka Paling Mungkin)


menggunakan 3 tabung.
Prinsip :
Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam
tabung Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang
cocok pada suhu 36 ± 1oC selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke
tabel APM.
Cara Kerja :
1. Uji Sangkaan
a. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3.
b. Pipet 1 ml contoh pengenceran 10-1 ke dalam masing-masing 3 tabung yang
berisi 5 ml Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth yang di
dalamnya terdapat tabung Durham terbalik.
c. Lakukan juga dengan cara yang sama terhadap pengenceran 10-2 (1:100) pada
3 tabung kedua dan pengenceran 10-3 (1:1000) pada 3 tabung ketiga.(tiap
pengenceran gunakan pipet yang baru dan steril)
d. Simpan semua tabung dalam inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 dan 48
jam.
e. Setelah 24 jam catat jumlah tabung yang membentuk gas pada masing-masing
pengenceran dan simpan lagi tabung yang tidak membentuk gas dalam
inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 jam lagi, kenudian catat jumlah
tabung yang membentuk gas.

2. Uji Penegasan (comfirmed test)


a. Pindahkan sebanyak 1 ose dari tiap tabung yang membentuk gas pada media
LST ke dalam tabung yang berisi 10 ml Brilliant Green Lactose Bile Broth
2% (BGLB 2%).
b. Masukkan semua tabung ke dalam inkubator pada 36 ± 1oC selama 24 – 48 j
jam. Adanya gas pada tabung BGLB memperkuat adanya bakteri koliform
dalam contoh.
c. Catat tabung yang positif gas pada uji penegasan.
d. Angka Paling Mungkin (APM) dari koliform dilihat pada tabel.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


58

Lampiran 5
Cara Pemeriksaan Escherichia coli

Metode : Angka Paling Mungkin ( APM )


Prinsip :
Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung Durham
setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44oC selama 24 -
48 jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada tabel APM.

Cara Kerja :
1. Masukkan 1 ose biakan yang positif pada LST broth dari angka paling
mungkin bakteri Koliform ke dalam tabung berisi Escherichia Coli Broth
(EC broth) yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik.
2. Inkubasikan dalam penangas air pada suhu 44-45oC selama 24-48 jam.
3. Catat tabung yang di dalamnya terbentuk gas (E.coli dianggap positif jika di
dalam tabung terbentuk gas).
4. Lanjutkan penetapan E.coli dengan menginokulasikan biakan yang
membentuk gas ke pembenihan Eosin Methylene Blue (EMB) atau Violet
Red-Bile Agar (VRBA) dalam cawan Petri. Inkubasikan pada 35oC selama
18-24 jam.
5. Pilih koloni berwarna merah gelap (pada VRBA) yang berdiameter 0,5 mm
atau lebih, atau koloni berwarna kilap logam (pada EMB) dan inokulasikan
pada Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung. Inkubasikan pada suhu 35oC
selama 18-24 jam. Pada waktu yang sama lakukan pewarnaan Gram sebagai
berikut :
Buat sediaan di atas gelas objek. Keringkan di udara dan fiksasi dengan
panas. Warnai sediaan dengan larutan crystal violet selama 1 menit. Cuci
dengan akuadest dan tiriskan. Bubuhkan larutan Lugol (Gram’s iodine)
selama 1 menit. Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Cuci (hilangkan warna)
dengan alkohol 95% selama 30 detik. Cuci dengan akuadest, tiriskan.
Bubuhkan larutan Safranin (Hucker’s counterstain) selama10-30 detik. Cuci
dengan akuades, tiriskan, serap dengan kertas saring, keringkan dan periksa di
bawah mikroskop.
6. Lakukan pengujian IMVIC ( indol, merah metil, Voges-Proskauer
dan sitrat) dari biakan Nutrient Agar pada butir 5.

Pengujian IMVIC

1. Uji Indol
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
Ttryptone broth. Inkubasi pada 35 ±1oC selama 18-24 jam. Setelah 18-24
jam tambahkan 0,2-0,3 pereaksi indol ke dalam tabung dan kocok selama 10
menit. Warna merah tua pada permukaan menunjukkan reaksi indol positif,
warna jingga menunjukkan reaksi indol negatif.
59

2. Uji Merah Metil (Methyl red)


Dari biakan murni Nutrien agar miring inokulasikan 1 ose ke dalam
media
MR-VP. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48 jam. Dengan menggunakan
pipet pindahkan 5 ml ke tabung reaksi dan tambahakan 5 tetes merah metil
lalu dikocok. Warna kuning menunjukkan reaksi negatif dan warna merah
menunjukkan reaksi positif.

3. Uji VP (Voges Proskauer)


Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
media MR-VP. Inkubasikan pada 26 ±1oC selama 48 jam. Dengan
menggunakan pipet tambahkan 0,6 ml larutan alfa naftol dan 0,2 ml larutan
kalium hidroksida dan kocok. Diamkan sekama 2-4 jam. Warna merah muda
hingga merah tua menunjukkan reaksi positif, warna tidak berubah
menunjukkan reaksi negatif.

4. Uji Sitrat
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
media Simmons Citrate atau Koser’s Citrate. Inkubasikan pada suhu 35oC
selama 48-96 jam. Warna biru menunjukkan reaksi positif, warna hijau
menunjukkan reaksi negatif (pada media Simmons Citrate) dan adanya
kekeruhan pada media Koser’s citrate menunjukkan reaksi positif.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


60

Lampiran 6
Cara uji Salmonella

Prinsip :
Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan
uji biokimia dan uji serologi.

Cara Kerja
1. Penyiapan dan homogenisasi contoh :
Lakukan homogenisasi contoh seperti diuraikan pada lampiran 3.

2. Pra-pengkayaan (pre-enrichment)
a. Pindahkan contoh yang telah dihomogenisasi secara aseptik ke dalam botol
kapasitas 500 ml steril.
b. Inkubasikan pada 36 ±1oC selama 16-20 jam.

3. Pengkayaan (enrichment)
a. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Selenite Cystine Broth.
b. Inkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam
c. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Tetrathionat Brilliant
Green Broth.
d. Inkibasikan pada suhu 43oC selama 24 jam.

4. Penanaman pada media pembenihan selektif


a. Pindahkan biakan pengkayaan dengan cara menggoreskan masing- masing
biakan dengan ose ke dalam cawan Petri yang berisi Brilliant Green Agar
(BGA) dan Bismuth Sulfit Agar (BSA) atau media selektif lainnya.
b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam.
c. Amati tersangka koloni Salmonella pada media dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
BGA : koloni berwarna merah muda hingga merah atau bening hingga
buram dengan lingkaran merah muda sampai merah.
BSA : koloni berwarna coklat, abu-abu sampai hitam dan kadang-kadang
kilap logam. Warna media di sekitar koloni mula-mula coklat dan kemudian
menjadi hitam jika masa inkubasi bertambah. Pada beberapa strain koloni
berwarna hijau dengan daerah sekelilingnya ber-warna lebih gelap.

5. Konfirmasi atau penegasan (uji biokimia)


a. Pilih 2-5 koloni tersangka, goreskan pada permukaan Nutrient Agar dalam
cawan Petri yang sudah disiapkan terlebih dahulu dan inkubasikan pada suhu
37oC selama 24-48 jam.
b. Dari koloni yang diisolasi pada Nutrient Agar, pindahkan ke dalam media
sebagai berikut :

1) Triple Sugar Iron Agar (TSIA)


a. Tersangka koloni Salmonella dipindahkan ke media miring TSIA
dengan cara digoreskan pada bagian miringnya dan ditusukkan pada
bagian tegaknya.
b. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam.
61

c. Amati terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut :


Pada bagian tegaknya Salmonella akan :
- Memfermentasi glukosa , warna media berubah dari ungu menjadi
kuning.
- Tidak memfermentasi sakarosa, media tetap ungu.
- Dapat membentuk gas H2S, warna media berubah dari ungu
menjadi hitam.
Pada bagian miringnya Salmonella akan :
- Dapat memfermentasi laktosa atau sakarosa media menjadi
kuning.
- Tidak memfermentasikan laktosa atau sukrosa, warna media tetap
merah atau tidak berubah.
2) Urea Agar
a. Goreskan tersangka koloni Salmonella pada permukaan Urea Agar
miring.
b. Inkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oC. Timbulnya warna merah
muda menunjukkan reaksi positif dan warna tidak berubah reaksi
negatif.
3) Lysine Decarboxylation Medium
a. Inokulasikan tersangka koloni Salmonella pada media cair Lysine
decarboxylation Broth.
b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Timbulnya warna ungu
menunjukkan reaksi positif.
4) VP Medium
a. Masukkan masing-masing 1 ose tersangka koloni ke dalam 2 tabung
reaksi yang berisi 0,2 ml media VP.
b. Inkubasikan tabung ke-1 pada suhu kamar dan tabung ke-2 pada
suhu37oC selama 48 jam.
c. Pada tiap tabung tambahkan 2 tetes larutan kreatin, 3 tetes larutan
alfanaftol dan 2 tetes pereaksi KOH. Lakukan pengocokan tiap kali
menambahkan pereaksi.
d. Amati dalam waktu 15 menit. Warna merah jambu sampai merah tua
menunjukkan reaksi positif, dan bila tidak berubah berarti negatif
5) Indol Medium
a. Masukkan 1 ose koloni tersangka ke dalam tabung.media indol
b. Inkubasikan pada 37oC selama 24 jam. Tambahkan 1 ml pereaksi indol.
c. Terbentuknya cincin merah menunukkan reaksi positif. Bila tidak ada
perubahan warna atau warna kuning kecoklatan reaksi negatif.

6. Uji Serologi
Lakukan uji serologi bila reaksi biokimia menunjukkan ada Salmonella.
Ambil 1 ose biakan dari TSIA dan oleskan pada gelas sediaan. Kemudian
teteskan sedikit antisera di samping biakan. Dengan menggunakan ose
campurkan tetesan antisera dengan biakan hingga homogen. Penggumpalan yang
terjadi menunjukkan uji positif.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


62

Lampiran 7.

Cara uji Staphylococcus aureus

Metoda : Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang diperkirakan


mengandung lebih dari 100 Staphylococcus aureus.

Prinsip : Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan


khusus setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan
dengan uji koagulase.

Cara kerja :
1. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3.
2. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke atas permukaan Baird Parker
Agar dan sebarkan merata dengan menggunakan spreader. Keringkan permukaan
sebelum diinkubasi.
3. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 30-48 jam.
4. Pilih cawan Petri yang mengandung koloni 20-200 dan hitung tersangka koloni
Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran
cerah di sekelilingnya.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulase.

Uji Koagulase
1. Pindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 ml Brain Heart Infusion
Broth
(BHIB).
2. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 20-24 jam.
3. Siapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 ml dan
tambahkan0,1 ml biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam.
4. Inkubasikan campuran (3) pada 36 ±1oC selama 2-6 jam.
5. Amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi lanjutkan inkubasi
pada suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi.
6. Hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 ml contoh yang
memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan
faktor pengenceran).

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


63

Lampiran 8 .

KUISIONER

UNTUK PEDAGANG BAKSO DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN

I. DATA USAHA
1. Nama Pedagang :
2. Alamat /Tempat Usaha :

3.. Jumlah Pegawai :


4.. Kapasitas jual per hari (kg) :

II. DATA PRODUK

1. Asal bakso sapi / nama pabrik :


2. Jenis bakso yang dijual
a.
b.
c.
d.
e.
3. Umur bakso pada saat disampling :
4. Jenis Kemasan :
5. Ciri-ciri / karakteristik :

No Karakteristik Bakso Jenis 1 Bakso Jenis 2 Bakso Jenis 3 Bakso Jenis 4

1 Penampakan

2 Warna

3 Ukuran

4 Tekstur

5 Bau
64

III. PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI

1. Tempat penjualan bakso tersendiri dan dalam ruangan :


1. Ya (1)
2. Tidak (0)
2. Bakso ditempatkan dalam lemari pendingin :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
3. Tempat menyajikan bakso bersih dan tertutup :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
4. Tempat berjualan bersih dari sampah, lalat atau serangga lainnya :
1. Ya (0)
2. Tidak (1)
5. Pelayan mengambil bakso memakai sendok/penjepit/sarung tangan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
6. Pelayan memakai baju bersih :
1. Ya (1)
2. Tida k (0)
7. Pembungkus bakso baru :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
8. Pembeli ikut memilih dan memegang bakso :
1. Ya (0)
2. Tidak (1)
9. Bakso yang tidak terjual disimpan di lemari pendingin :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
10. Ada masa kadaluarsa dari bakso yang dijual :
1. Ada (1)
2. Tidak ada (0)
65

Lampiran 9.

KUISIONER
UNTUK PEDAGANG MEI BAKSO YANG MEMBUAT BAKSO SENDIRI

I. DATA USAHA
1. Nama warung :
2. Nama Pemilik / penanggungjawab :
3. Lokasi /Tempat Usaha :
4. Alamat Tempat Usaha :
5. Jumlah Pegawai :
6.. Kapasitas penjualan per hari (kg) :

II. DATA PRODUK


1. Umur bakso pada saat disampling :
2. Asal daging sapi :
3. Jenis daging yang digunakan : segar / sudah dilayukan / beku *
4. Tempat menggiling daging :
5. Mencetak bakso menggunakan : tangan / cetakan bakso *
6. Sifat bakso yang dihasilkan : - Penampakan :
- Ukuran :
- Warna :
- Bau :
- Tekstur :
6 Bahan-bahan yang digunakan :

No Bahan - bahan Banyaknya

1. Daging sapi …………………………


2. Es batu ........................................
3. Sagu aren atau lainnya (sebutkan) …………………………
4. Bumbu-bumbu :
5. - Lada …………………………
- Bawang putih
- Bawang goreng ………………………....
- Garam
- Penyedap rasa …………………………
6. Bahan-bahan kimia :
- Pemutih …………………………
- Soda kue
- Tawas …………………………
- Boraks/pijer/bleng
7. Bahan lainnya (sebutkan) : ……………………
…………………… …………………………
.…………………..
…………………………

…………………………

…………………………
66

…………………………

…………………………

…………………………

* Coret yang tidak perlu

III. HIGIENE DAN SANITASI PENGOLAHAN BAKSO

1. Daging dibersihkan dan dicuci dahulu sebelum diolah atau digiling :


1. Ya (1)
2. Tidak (0)
2. Es yang digunakan dicuci dulu sebelum dipakai :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
3. Bumbu-bumbu dibersihkan dan dicuci sebelum digunakan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
4. Membawa adonan dari tempat penggilingan adonan diberi es :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
5. Sebelum membuat /mencetak bakso terlebih dulu mencuci tangan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
6. Setelah direbus bakso didinginkan dulu sebelum disimpan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
7. Menyimpan bakso dalam kemasan atau wadah tertutup :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
8. Bakso disimpan pada lemari es :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
9. Disimpan terpisah dengan bahan lain
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
10. Sebelum dijual atau sajikan, bakso dimasak kembali dalam air mendidih
1. Ya (1)
67

2. Tidak (0)

Lampiran 10. Rekapilulasi hasil pemeriksaan sampel bakso

Mikrobiologi
Kode Boraks
No Fisik
Sampel TPC Coliform S.aureus E.coli Salmonella spp. (mg/kg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 B 01 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
2 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
3 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
4 B 04 besar 5,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
5 B 05 kecil 4,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
6 B 06 kecil 2,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
7 B 07 kecil 1,1x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
8 C 08 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
9 C 09 sedang 5,0x105 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 4.660,40
10 C 10 besar 4,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
11 C 11 kecil 1,1x104 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
12 C 12 besar 4,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 701,61
13 C 13 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
14 C 14 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
15 C 15 besar 5,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
16 C 16 sedang 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
17 C 17 sedang TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
18 C 18 kecil 4,6 x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
19 C 19 sedang 1,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
20 C 20 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
21 C 21 besar TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
22 B 22 sedang 3,0x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 82,68
23 B 23 kecil 3,2x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
24 C 24 sedang 4,0x106 >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
68

25 C 25 kecil 4,0x106 21 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d


26 C 26 sedang 3,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
27 C 27 kecil 1,5x105 4 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
28 C 28 besar 2,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 31,08
29 C 29 besar 2,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
30 C 30 sedang 3,2x106 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
31 C 31 kecil 3,0x103 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
32 B 32 sedang 1,0x106 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
33 B 33 sedang 2,0x105 9 <1,0x10 <3 Negatif 29,56
34 C 34 sedang 3,0x103 23 <1,0x10 <3 Negatif Negatif
35 C 35 sedang 2,6x106 15 3,3x103 <3 Negatif t.a.d
36 C 36 besar 5,9x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
37 B 37 sedang <1,0x10 <3 <1,0x10 <3 Negatif t.a.d
38 C 38 besar 1,6 x 105 <3 2,0x102 <3 Negatif Negatif
39 B 39 sedang 1,3x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
40 B 40 sedang TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
41 B 41 kecil 2,4x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
42 B 42 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 11,86
43 B 43 kecil 2,4x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
44 B 44 kecil 3,9x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
45 B 45 sedang 3,4x106 11 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
46 B 46 kecil 3,2x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
47 C 47 kecil 6,6x104 4 <1,0 x 10 <3 Negatif 57,54
48 C 48 besar 1,3x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
49 C 49 sedang 1,2x106 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
50 C 50 besar 1,0x105 93 6,0x102 <3 Negatif t.a.d
51 C 51 besar 1,1x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 13,84
52 C 52 kecil 9,6x105 93 5,0x102 <3 Negatif t.a.d
53 C 53 kecil TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif 5,65
54 C 54 besar TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
55 C 55 kecil 5,0x104 23 4,0x102 <3 Negatif t.a.d
56 C 56 sedang 1,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
57 C 57 sedang 1,1x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 18,21
58 C 58 sedang 4,4x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
59 C 59 sedang 1,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 59,75
60 C 60 kecil TBUD 93 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
61 C 61 sedang TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
62 C 62 sedang TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 67,46
63 C 63 sedang 2,8x105 93 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
64 C 64 sedang 1,0x104 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
65 C 65 besar 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
66 C 66 sedang 2,8x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
67 C 67 kecil 8,0x102 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
68 C 68 sedang 2,8x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
69 C 69 kecil 3,5x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
70 C 70 sedang 6,0x106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
71 C 71 besar TBUD 23 1,6x103 <3 Negatif Negatif
72 C 72 sedang 2,1x106 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
73 C 73 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
74 C 74 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
75 C 75 sedang 2,4x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
76 C 76 besar 1,0x102 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
77 C77 besar TBUD <2400 <1,0x10 <3 Negatif t.a.d
78 C 78 sedang 2,6x106 93 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
69

79 C 79 besar TBUD >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif


80 C 80 sedang 8,3x105 460 2,0x102 <3 Negatif Negatif
81 C 81 besar 2,4x106 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
82 C 82 besar TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
83 C 83 besar 4,6x106 1100 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
84 C 84 besar 1,1x106 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
85 B 85 besar 2,1x104 9 3,0x102 <3 Negatif Negatif
86 B 86 kecil 8,1x106 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
87 B 87 kecil 2,5x105 9 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
88 B 88 kecil TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
89 B 89 kecil 1,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
90 B 90 kecil TBUD 75 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
91 B 91 kecil 6,0x104 9 2,0x102 <3 Negatif Negatif
92 C 92 besar 1,4x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
93 C 93 kecil 1,7X106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
94 C 94 besar 1,4x105 23 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
95 C 95 besar 2,7x106 460 <1,0 x 10 460 Negatif t.a.d
96 C 96 besar 2,9x103 23 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
97 C 97 besar 1,6x102 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
98 C 98 kecil 5,0x102 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
99 C 99 kecil 6,4x105 20 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
100 C 100 kecil 1,6x105 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
101 C 101 kecil 1,2x105 23 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
102 C 102 kecil 2,2x105 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
103 C 103 kecil 3,6x104 93 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
104 C 104 kecil 3,4x105 240 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
105 C 105 kecil 1,8x106 > 2400 3,0x102 <3 Negatif Negatif
106 C 106 sedang 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
107 C 107 kecil 5,7x104 4 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
108 C 108 kecil 1,8x105 <3 5,0x102 <3 Negatif Negatif
109 B 109 kecil 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
110 C 110 sedang 1,5x107 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
111 C 111 sedang 6,4x105 4 1,3x103 <3 Negatif t.a.d
112 C 112 sedang 2,8x106 43 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
113 C 113 kecil 1,2x107 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
114 C 114 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
115 B 115 sedand TBUD <3 2,0x102 <3 Negatif Negatif
116 B 116 kecil 2,4x105 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
117 C 117 sedang 3,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
118 C 118 kecil 1,0x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
119 C 119 sedang 4,0x105 21 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
120 C 120 besar 1,2x104 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
121 C 121 sedang 2,9x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
122 C 122 besar 4,2x104 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
123 C 123 besar 2,5x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
124 C 124 besar 1,0x104 <3 3,0x102 <3 Negatif t.a.d
125 C 125 sedang ,3x107 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
126 C 126 besar 2,7x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
127 C 127 sedang 1,9x107 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
128 C 128 kecil 1,8x107 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
129 C 129 sedang 1,6x106 4 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
130 C 130 sedang 2,4x106 15 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
131 C 131 sedang 3,5x105 4 2,0x102 <3 Negatif Negatif
132 C 132 sedang 1,2x106 <3 3,0x102 <3 Negatif t.a.d
70

133 C 133 sedang 5,8x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 6,63


134 C 134 kecil TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 3345,41
135 C 135 sedang 1,2x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
136 C 136 kecil 3,0x103 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
137 C 137 kecil 1,9x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif 1804,56
138 C 138 sedang 4,8x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
139 C 139 sedang 1,5x107 21 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
140 C 140 kecil 1,1x107 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
141 C 141 kecil 1,1x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
142 C 142 kecil TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
143 C 143 besar 1,1x107 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 31,38
144 C 144 kecil TBUD 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
145 C 145 sedang 1,4x105 <3 6,0x102 <3 Negatif t.a.d
146 C 146 sedang 2,2x106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
147 C 147 sedang 3,6x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
148 C 148 sedang 2,4x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
149 C 149 sedang 7,4x105 4 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
150 C 150 sedang 2,4x105 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
151 C 151 sedang TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 1104,8
152 C 152 sedang 1,1x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
153 C 154 sedang 4,2x103 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 1046,3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
154 C 155 sedang TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 2221
155 C 156 sedang 1,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
156 C 157 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
157 C 158 kecil 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
158 C 159 sedang 1,1x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
159 C 160 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
160 C 161 sedang 1,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 1247,41
161 C 162 kecil 6,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
162 C 163 sedang TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
163 C 164 kecil 1,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
164 C 165 sedang TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif 1212,06
165 C 166 sedang 4,4x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
166 C 167 kecil 4,1x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 556,31
167 C 168 kecil TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 781,22
168 C 169 kecil 1,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
169 C 170 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
170 C 171 sedang 2,3x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
171 C 172 sedang TBUD 43 <1,0 x 10 <3 Negatif 964,27
172 C 173 kecil 6,3x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
173 C 174 kecil TBUD 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
174 C 175 kecil 8,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
175 C 176 kecil 3,11x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
176 C 177 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
177 C 178 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
178 C 179 kecil 7,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
179 C 180 kecil 9,4x105 15 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
180 C 181 kecil TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
181 C 182 kecil 8,2x103 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
182 C 183 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
183 C 184 kecil 7,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
184 C 185 kecil 1,3x105 <3 7,0x102 <3 Negatif Negatif
185 C 186 sedang 2,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
186 C 187 sedang TBUD 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
71

187 C 188 sedang 1,8x106 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif


188 C 189 sedang 7,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
189 C 190 kecil 4,9x104 <3 5,0x102 <3 Negatif Negatif
190 C 191 sedang 9,4X104 21 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
191 C 192 besar 1,0x106 > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
192 C 193 sedang 2,0x105 <3 8,0x102 <3 Negatif t.a.d
193 C 194 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
194 C 195 sedang TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
195 C 196 sedang 3,2x103 93 5,0x102 <3 Negatif Negatif
196 C 197 kecil TBUD 43 4,0x102 <3 Negatif t.a.d
197 C 198 sedang 1,7x105 43 <1,0 x 10 <3 Negatif 110,41
Keterangan :
Angka yang dicetak tebal menunjukan nilai tersebut berada di atas nilai maksimun SNI
t.a.d : tidak ada data (tidak dilakukan pemeriksaan kandungan boraks)
Lampiran 1.

Syarat Mutu Bakso Daging (SNI-01-3818-1995)

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :
1.1 Bau - Normal khas daging
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Tekstur - Kenyal
2 Air % b/b Maks 70,0
3 Abu % b/b Maks 3,0
4 Protein % b/b Min 9,0
5 Lemak % b/b Maks 2,0
6 Boraks - Tidak boleh ada
7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
8 Cemaran logam :
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
10 Cemaran mikroba :
10.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks 1 x 105
10.2 Bakteri bentuk koli APM/g Maks 10
10.3 Escherichia coli APM/g ≤3
10.4 Enterococci Koloni/g Maks 1 x 103
10.5 Clostridium perfringens Koloni/g Maks 1 x 102
10.6 Salmonella - Negatif
10.7 Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1 x 102
Lampiran 2
Homogenisasi Contoh Bakso

Homogenisasi adalah cara persiapan contoh makanan untuk memperoleh distribusi


bakteri sebaik mungkin di dalam contoh makanan yang ditetapkan.
Tujuan :
Membebaskan sel sel bakteri yang mungkin terlindungi oleh partikel makanan, dan untuk
menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin viabi litasnya berkurang karena
kondisi yang kurang menguntungkan di dalam makanan.
Cara Kerja :
a. Timbang sejumlah 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender.
b. Tambahkan 225 ml larutan pengencer hingga diperoleh pengenceran 1 : 10 .
c. Homogenkan dengan kecepatan 11500-20000 per menit.
d. Lakukan pengenceran bertahap sesuai keperluan masing-masing uji

Homogenisasi contoh bakso untuk uji Salmonella :


a. Timbang 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender, tambahkan 225 ml Lactose
Broth,
b. Homogenkan dengan diblender.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


Lampiran 3.

Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC)

Prinsip :
Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media
pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.

Cara Kerja
1. Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai lampiran 3.
2. Pipet 1 ml dari masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri steril secara simplo
dan duplo.
3. Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 -15 ml media PCA cair yang
bersuhu 45 ± 1oC dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama.
4. Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati hingga contoh tercampur rata dengan media
PCA.
5. Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku.
6. Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator dan
inkubasikan pada suhu 35 ±1oC selama 24 - 48 jam.
7. Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni
setelah 48 jam.
8. Hitung Total Plate Count dalam 1 gram contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata
koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


Lampiran 4
Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform

Metoda : Most Probable Number(MPN) atau APM (Angka Paling Mungkin)


menggunakan 3 tabung.
Prinsip :
Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam tabung
Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok pada
suhu 36 ± 1oC selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke tabel APM.
Cara Kerja :
1. Uji Sangkaan
a. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3.
b. Pipet 1 ml contoh pengenceran 10-1 ke dalam masing-masing 3 tabung yang
berisi 5 ml Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth yang di
dalamnya terdapat tabung Durham terbalik.
c. Lakukan juga dengan cara yang sama terhadap pengenceran 10-2 (1:100) pada 3
tabung kedua dan pengenceran 10-3 (1:1000) pada 3 tabung ketiga.(tiap
pengenceran gunakan pipet yang baru dan steril)
d. Simpan semua tabung dalam inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 dan 48
jam.
e. Setelah 24 jam catat jumlah tabung yang membentuk gas pada masing-masing
pengenceran dan simpan lagi tabung yang tidak membentuk gas dalam inkubator
pada suhu 36 ±1oC selama 24 jam lagi, kenudian catat jumlah tabung yang
membentuk gas.

2. Uji Penegasan (comfirmed test)


a. Pindahkan sebanyak 1 ose dari tiap tabung yang membentuk gas pada media LST
ke dalam tabung yang berisi 10 ml Brilliant Green Lactose Bile Broth 2% (BGLB
2%).
b. Masukkan semua tabung ke dalam inkubator pada 36 ± 1oC selama 24 – 48 j jam.
Adanya gas pada tabung BGLB memperkuat adanya bakteri koliform dalam
contoh.
c. Catat tabung yang positif gas pada uji penegasan.
d. Angka Paling Mungkin (APM) dari koliform dilihat pada tabel.
Lampiran 5
Cara Pemeriksaan Escherichia coli

Metode : Angka Paling Mungkin ( APM )


Prinsip :
Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung Durham
setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44oC selama 24 -48
jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada tabel APM.

Cara Kerja :
1. Masukkan 1 ose biakan yang positif pada LST broth dari angka paling mungkin
bakteri Koliform ke dalam tabung berisi Escherichia Coli Broth (EC broth)
yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik.
2. Inkubasikan dalam penangas air pada suhu 44-45oC selama 24-48 jam.
3. Catat tabung yang di dalamnya terbentuk gas (E.coli dianggap positif jika di
dalam tabung terbentuk gas).
4. Lanjutkan penetapan E.coli dengan menginokulasikan biakan yang membentuk
gas ke pembenihan Eosin Methylene Blue (EMB) atau Violet Red-Bile Agar
(VRBA) dalam cawan Petri. Inkubasikan pada 35oC selama 18-24 jam.
5. Pilih koloni berwarna merah gelap (pada VRBA) yang berdiameter 0,5 mm atau
lebih, atau koloni berwarna kilap logam (pada EMB) dan inokulasikan pada
Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung. Inkubasikan pada suhu 35oC selama
18-24 jam. Pada waktu yang sama lakukan pewarnaan Gram sebagai berikut :
Buat sediaan di atas gelas objek. Keringkan di udara dan fiksasi dengan panas.
Warnai sediaan dengan larutan crystal violet selama 1 menit. Cuci dengan
akuadest dan tiriskan. Bubuhkan larutan Lugol (Gram’s iodine) selama 1 menit.
Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Cuci (hilangkan warna) dengan alkohol 95%
selama 30 detik. Cuci dengan akuadest, tiriskan. Bubuhkan larutan Safranin
(Hucker’s counterstain) selama10-30 detik. Cuci dengan akuades, tiriskan, serap
dengan kertas saring, keringkan dan periksa di bawah mikroskop.
6. Lakukan pengujian IMVIC ( indol, merah metil, Voges-Proskauer
dan sitrat) dari biakan Nutrient Agar pada butir 5.

Pengujian IMVIC

1. Uji Indol
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
Ttryptone broth. Inkubasi pada 35 ±1oC selama 18-24 jam. Setelah 18-24 jam
tambahkan 0,2-0,3 pereaksi indol ke dalam tabung dan kocok selama 10 menit.
Warna merah tua pada permukaan menunjukkan reaksi indol positif, warna
jingga menunjukkan reaksi indol negatif.
2. Uji Merah Metil (Methyl red)
Dari biakan murni Nutrien agar miring inokulasikan 1 ose ke dalam
media
MR-VP. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48 jam. Dengan menggunakan
pipet pindahkan 5 ml ke tabung reaksi dan tambahakan 5 tetes merah metil lalu
dikocok. Warna kuning menunjukkan reaksi negatif dan warna merah
menunjukkan reaksi positif.

3. Uji VP (Voges Proskauer)


Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
media MR-VP. Inkubasikan pada 26 ±1oC selama 48 jam. Dengan
menggunakan pipet tambahkan 0,6 ml larutan alfa naftol dan 0,2 ml larutan
kalium hidroksida dan kocok. Diamkan sekama 2-4 jam. Warna merah muda
hingga merah tua menunjukkan reaksi positif, warna tidak berubah menunjukkan
reaksi negatif.

4. Uji Sitrat
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
media Simmons Citrate atau Koser’s Citrate. Inkubasikan pada suhu 35oC
selama 48-96 jam. Warna biru menunjukkan reaksi positif, warna hijau
menunjukkan reaksi negatif (pada media Simmons Citrate) dan adanya kekeruhan
pada media Koser’s citrate menunjukkan reaksi positif.

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


Lampiran 6
Cara uji Salmonella

Prinsip :
Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan uji
biokimia dan uji serologi.

Cara Kerja
1. Penyiapan dan homogenisasi contoh :
Lakukan homogenisasi contoh seperti diuraikan pada lampiran 3.

2. Pra-pengkayaan (pre-enrichment)
a. Pindahkan contoh yang telah dihomogenisasi secara aseptik ke dalam botol
kapasitas 500 ml steril.
b. Inkubasikan pada 36 ±1oC selama 16-20 jam.

3. Pengkayaan (enrichment)
a. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Selenite Cystine Broth.
b. Inkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam
c. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Tetrathionat Brilliant Green
Broth.
d. Inkibasikan pada suhu 43oC selama 24 jam.

4. Penanaman pada media pembenihan selektif


a. Pindahkan biakan pengkayaan dengan cara menggoreskan masing- masing biakan
dengan ose ke dalam cawan Petri yang berisi Brilliant Green Agar (BGA) dan
Bismuth Sulfit Agar (BSA) atau media selektif lainnya.
b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam.
c. Amati tersangka koloni Salmonella pada media dengan ciri-ciri sebagai berikut :
BGA : koloni berwarna merah muda hingga merah atau bening hingga buram
dengan lingkaran merah muda sampai merah.
BSA : koloni berwarna coklat, abu-abu sampai hitam dan kadang-kadang kilap
logam. Warna media di sekitar koloni mula-mula coklat dan kemudian menjadi
hitam jika masa inkubasi bertambah. Pada beberapa strain koloni berwarna hijau
dengan daerah sekelilingnya ber-warna lebih gelap.

5. Konfirmasi atau penegasan (uji biokimia)


a. Pilih 2-5 koloni tersangka, goreskan pada permukaan Nutrient Agar dalam
cawan Petri yang sudah disiapkan terlebih dahulu dan inkubasikan pada suhu
37oC selama 24-48 jam.
b. Dari koloni yang diisolasi pada Nutrient Agar, pindahkan ke dalam media
sebagai berikut :

1) Triple Sugar Iron Agar (TSIA)


a. Tersangka koloni Salmonella dipindahkan ke media miring TSIA dengan
cara digoreskan pada bagian miringnya dan ditusukkan pada bagian
tegaknya.
b. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam.

c. Amati terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut :


Pada bagian tegaknya Salmonella akan :
- Memfermentasi glukosa , warna media berubah dari ungu menjadi
kuning.
- Tidak memfermentasi sakarosa, media tetap ungu.
- Dapat membentuk gas H2S, warna media berubah dari ungu menjadi
hitam.
Pada bagian miringnya Salmonella akan :
- Dapat memfermentasi laktosa atau sakarosa media menjadi kuning.
- Tidak memfermentasikan laktosa atau sukrosa, warna media tetap
merah atau tidak berubah.
2) Urea Agar
a. Goreskan tersangka koloni Salmonella pada permukaan Urea Agar
miring.
b. Inkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oC. Timbulnya warna merah
muda menunjukkan reaksi positif dan warna tidak berubah reaksi negatif.
3) Lysine Decarboxylation Medium
a. Inokulasikan tersangka koloni Salmonella pada media cair Lysine
decarboxylation Broth.
b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Timbulnya warna ungu
menunjukkan reaksi positif.
4) VP Medium
a. Masukkan masing-masing 1 ose tersangka koloni ke dalam 2 tabung
reaksi yang berisi 0,2 ml media VP.
b. Inkubasikan tabung ke-1 pada suhu kamar dan tabung ke-2 pada suhu37oC
selama 48 jam.
c. Pada tiap tabung tambahkan 2 tetes larutan kreatin, 3 tetes larutan alfanaftol
dan 2 tetes pereaksi KOH. Lakukan pengocokan tiap kali menambahkan
pereaksi.
d. Amati dalam waktu 15 menit. Warna merah jambu sampai merah tua
menunjukkan reaksi positif, dan bila tidak berubah berarti negatif
5) Indol Medium
a. Masukkan 1 ose koloni tersangka ke dalam tabung.media indol
b. Inkubasikan pada 37oC selama 24 jam. Tambahkan 1 ml pereaksi indol.
c. Terbentuknya cincin merah menunukkan reaksi positif. Bila tidak ada
perubahan warna atau warna kuning kecoklatan reaksi negatif.

6. Uji Serologi
Lakukan uji serologi bila reaksi biokimia menunjukkan ada Salmonella.
Ambil 1 ose biakan dari TSIA dan oleskan pada gelas sediaan. Kemudian teteskan
sedikit antisera di samping biakan. Dengan menggunakan ose campurkan tetesan
antisera dengan biakan hingga homogen. Penggumpalan yang terjadi menunjukkan
uji positif.
Lampiran 7.

Cara uji Staphylococcus aureus

Metoda : Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang diperkirakan mengandung
lebih dari 100 Staphylococcus aureus.

Prinsip : Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan


khusus setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan dengan
uji koagulase.

Cara kerja :
1. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3.
2. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke atas permukaan Baird Parker Agar
dan sebarkan merata dengan menggunakan spreader. Keringkan permukaan sebelum
diinkubasi.
3. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 30-48 jam.
4. Pilih cawan Petri yang mengandung koloni 20-200 dan hitung tersangka koloni
Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran
cerah di sekelilingnya.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulase.

Uji Koagulase
1. Pindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 ml Brain Heart Infusion Broth
(BHIB).
2. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 20-24 jam.
3. Siapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 ml dan tambahkan0,1
ml biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam.
4. Inkubasikan campuran (3) pada 36 ±1oC selama 2-6 jam.
5. Amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi lanjutkan inkubasi pada
suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi.
6. Hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 ml contoh yang
memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan faktor
pengenceran).

disarikan dari : SNI -19-2987-1992


Lampiran 8 .

KUISIONER

UNTUK PEDAGANG BAKSO DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN

I. DATA USAHA
1. Nama Pedagang :
2. Alamat /Tempat Usaha :

3.. Jumlah Pegawai :


4.. Kapasitas jual per hari (kg) :

II. DATA PRODUK

1. Asal bakso sapi / nama pabrik :


2. Jenis bakso yang dijual
a.
b.
c.
d.
e.
3. Umur bakso pada saat disampling :
4. Jenis Kemasan :
5. Ciri-ciri / karakteristik :

No Karakteristik Bakso Jenis 1 Bakso Jenis 2 Bakso Jenis 3 Bakso Jenis 4

1 Penampakan

2 Warna

3 Ukuran

4 Tekstur

5 Bau
III. PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI

1. Tempat penjualan bakso tersendiri dan dalam ruangan :


1. Ya (1)
2. Tidak (0)
2. Bakso ditempatkan dalam lemari pendingin :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
3. Tempat menyajikan bakso bersih dan tertutup :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
4. Tempat berjualan bersih dari sampah, lalat atau serangga lainnya :
1. Ya (0)
2. Tidak (1)
5. Pelayan mengambil bakso memakai sendok/penjepit/sarung tangan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
6. Pelayan memakai baju bersih :
1. Ya (1)
2. Tida k (0)
7. Pembungkus bakso baru :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
8. Pembeli ikut memilih dan memegang bakso :
1. Ya (0)
2. Tidak (1)
9. Bakso yang tidak terjual disimpan di lemari pendingin :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
10. Ada masa kadaluarsa dari bakso yang dijual :
1. Ada (1)
2. Tidak ada (0)
Lampiran 9.
KUISIONER
UNTUK PEDAGANG MEI BAKSO YANG MEMBUAT BAKSO SENDIRI

I. DATA USAHA
1. Nama warung :
2. Nama Pemilik / penanggungjawab :
3. Lokasi /Tempat Usaha :
4. Alamat Tempat Usaha :
5. Jumlah Pegawai :
6.. Kapasitas penjualan per hari (kg) :

II. DATA PRODUK


1. Umur bakso pada saat disampling :
2. Asal daging sapi :
3. Jenis daging yang digunakan : segar / sudah dilayukan / beku *
4. Tempat menggiling daging :
5. Mencetak bakso menggunakan : tangan / cetakan bakso *
6. Sifat bakso yang dihasilkan : - Penampakan :
- Ukuran :
- Warna :
- Bau :
- Tekstur :
6 Bahan-bahan yang digunakan :

No Bahan - bahan Banyaknya

1. Daging sapi …………………………


2. Es batu ........................................
3. Sagu aren atau lainnya (sebutkan) …………………………
4. Bumbu-bumbu :
5. - Lada …………………………
- Bawang putih ………………………....
- Bawang goreng …………………………
- Garam …………………………
- Penyedap rasa …………………………
6. Bahan-bahan kimia :
- Pemutih …………………………
- Soda kue …………………………
- Tawas …………………………
- Boraks/pijer/bleng …………………………
7. Bahan lainnya (sebutkan) : …………………… …………………………
…………………… …………………………
.………………….. …………………………

* Coret yang tidak perlu


III. HIGIENE DAN SANITASI PENGOLAHAN BAKSO

1. Daging dibersihkan dan dicuci dahulu sebelum diolah atau digiling :


1. Ya (1)
2. Tidak (0)
2. Es yang digunakan dicuci dulu sebelum dipakai :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
3. Bumbu-bumbu dibersihkan dan dicuci sebelum digunakan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
4. Membawa adonan dari tempat penggilingan adonan diberi es :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
5. Sebelum membuat /mencetak bakso terlebih dulu mencuci tangan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
6. Setelah direbus bakso didinginkan dulu sebelum disimpan :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
7. Menyimpan bakso dalam kemasan atau wadah tertutup :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
8. Bakso disimpan pada suhu dingin (lemari es) :
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
9. Disimpan terpisah dengan bahan lain
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
10. Sebelum dijual atau sajikan, bakso dimasak kembali dalam air mendidih
1. Ya (1)
2. Tidak (0)
Lampiran 10.

Tabel 16. Rekapilulasi hasil pemeriksaan sampel bakso

Mikrobiologi
Kode Boraks
No Fisik
Sampel TPC Coliform S.aureus E.coli Salmonella spp. (mg/kg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 B 01 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
2 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
3 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
4 B 04 besar 5,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
5 B 05 kecil 4,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
6 B 06 kecil 2,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
7 B 07 kecil 1,1x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
8 C 08 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
9 C 09 sedang 5,0x105 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 4.660,40
10 C 10 besar 4,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
11 C 11 kecil 1,1x104 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
12 C 12 besar 4,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 701,61
13 C 13 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
14 C 14 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
15 C 15 besar 5,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
16 C 16 sedang 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
17 C 17 sedang TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
18 C 18 kecil 4,6 x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
19 C 19 sedang 1,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
20 C 20 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
21 C 21 besar TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
22 B 22 sedang 3,0x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 82,68
23 B 23 kecil 3,2x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
24 C 24 sedang 4,0x106 >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
25 C 25 kecil 4,0x106 21 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
26 C 26 sedang 3,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
27 C 27 kecil 1,5x105 4 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
28 C 28 besar 2,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 31,08
29 C 29 besar 2,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
30 C 30 sedang 3,2x106 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
31 C 31 kecil 3,0x103 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
32 B 32 sedang 1,0x106 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
33 B 33 sedang 2,0x105 9 <1,0x10 <3 Negatif 29,56
34 C 34 sedang 3,0x103 23 <1,0x10 <3 Negatif Negatif
35 C 35 sedang 2,6x106 15 3,3x103 <3 Negatif t.a.d
36 C 36 besar 5,9x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
37 B 37 sedang <1,0x10 <3 <1,0x10 <3 Negatif t.a.d
38 C 38 besar 1,6 x 105 <3 2,0x102 <3 Negatif Negatif
39 B 39 sedang 1,3x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
40 B 40 sedang TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
41 B 41 kecil 2,4x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
1 2 3 4 5 6 7 8 9
42 B 42 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 11,86
43 B 43 kecil 2,4x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
44 B 44 kecil 3,9x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
45 B 45 sedang 3,4x106 11 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
46 B 46 kecil 3,2x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
47 C 47 kecil 6,6x104 4 <1,0 x 10 <3 Negatif 57,54
48 C 48 besar 1,3x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
49 C 49 sedang 1,2x106 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
50 C 50 besar 1,0x105 93 6,0x102 <3 Negatif t.a.d
51 C 51 besar 1,1x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 13,84
52 C 52 kecil 9,6x105 93 5,0x102 <3 Negatif t.a.d
53 C 53 kecil TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif 5,65
54 C 54 besar TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
55 C 55 kecil 5,0x104 23 4,0x102 <3 Negatif t.a.d
56 C 56 sedang 1,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
57 C 57 sedang 1,1x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 18,21
58 C 58 sedang 4,4x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
59 C 59 sedang 1,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 59,75
60 C 60 kecil TBUD 93 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
61 C 61 sedang TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
62 C 62 sedang TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 67,46
63 C 63 sedang 2,8x105 93 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
64 C 64 sedang 1,0x104 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
65 C 65 besar 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
66 C 66 sedang 2,8x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
67 C 67 kecil 8,0x102 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
68 C 68 sedang 2,8x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
69 C 69 kecil 3,5x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
70 C 70 sedang 6,0x106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
71 C 71 besar TBUD 23 1,6x103 <3 Negatif Negatif
72 C 72 sedang 2,1x106 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
73 C 73 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
74 C 74 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
75 C 75 sedang 2,4x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
76 C 76 besar 1,0x102 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
77 C 78 sedang 2,6x106 93 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
78 C 79 besar TBUD >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
79 C 80 sedang 8,3x105 460 2,0x102 <3 Negatif Negatif
80 C 81 besar 2,4x106 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
81 C 82 besar TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
82 C 83 besar 4,6x106 1100 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
83 C 84 besar 1,1x106 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
84 B 85 besar 2,1x104 9 3,0x102 <3 Negatif Negatif
85 B 86 kecil 8,1x106 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
86 B 87 kecil 2,5x105 9 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
87 B 88 kecil TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
88 B 89 kecil 1,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
89 B 90 kecil TBUD 75 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
90 B 91 kecil 6,0x104 9 2,0x102 <3 Negatif Negatif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
91 C 92 besar 1,4x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
92 C 93 kecil 1,7X106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
93 C 94 besar 1,4x105 23 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
94 C 95 besar 2,7x106 460 <1,0 x 10 460 Negatif t.a.d
95 C 96 besar 2,9x103 23 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
96 C 97 besar 1,6x102 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
97 C 98 kecil 5,0x102 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
98 C 99 kecil 6,4x105 20 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
99 C 100 kecil 1,6x105 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
100 C 101 kecil 1,2x105 23 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
101 C 102 kecil 2,2x105 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
102 C 103 kecil 3,6x104 93 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
103 C 104 kecil 3,4x105 240 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
104 C 105 kecil 1,8x106 > 2400 3,0x102 <3 Negatif Negatif
105 C 106 sedang 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
106 C 107 kecil 5,7x104 4 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
107 C 108 kecil 1,8x105 <3 5,0x102 <3 Negatif Negatif
108 B 109 kecil 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
109 C 110 sedang 1,5x107 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
110 C 111 sedang 6,4x105 4 1,3x103 <3 Negatif t.a.d
111 C 112 sedang 2,8x106 43 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
112 C 113 kecil 1,2x107 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
113 C 114 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
114 B 115 sedand TBUD <3 2,0x102 <3 Negatif Negatif
115 B 116 kecil 2,4x105 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
116 C 117 sedang 3,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
117 C 118 kecil 1,0x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
118 C 119 sedang 4,0x105 21 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
119 C 120 besar 1,2x104 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
120 C 121 sedang 2,9x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
121 C 122 besar 4,2x104 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
122 C 123 besar 2,5x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
123 C 124 besar 1,0x104 <3 3,0x102 <3 Negatif t.a.d
124 C 125 sedang ,3x107 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
125 C 126 besar 2,7x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
126 C 127 sedang 1,9x107 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
127 C 128 kecil 1,8x107 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
128 C 129 sedang 1,6x106 4 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
129 C 130 sedang 2,4x106 15 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
130 C 131 sedang 3,5x105 4 2,0x102 <3 Negatif Negatif
131 C 132 sedang 1,2x106 <3 3,0x102 <3 Negatif t.a.d
132 C 133 sedang 5,8x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 6,63
133 C 134 kecil TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 3345,41
134 C 135 sedang 1,2x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
135 C 136 kecil 3,0x103 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
136 C 137 kecil 1,9x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif 1804,56
137 C 138 sedang 4,8x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
138 C 139 sedang 1,5x107 21 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
139 C 140 kecil 1,1x107 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
140 C 141 kecil 1,1x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
1 2 3 4 5 6 7 8 9
141 C 142 kecil TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
142 C 143 besar 1,1x107 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 31,38
143 C 144 kecil TBUD 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
144 C 145 sedang 1,4x105 <3 6,0x102 <3 Negatif t.a.d
145 C 146 sedang 2,2x106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
146 C 147 sedang 3,6x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
147 C 148 sedang 2,4x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
148 C 149 sedang 7,4x105 4 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
149 C 150 sedang 2,4x105 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
150 C 151 sedang TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 1104,8
151 C 152 sedang 1,1x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
152 C 154 sedang 4,2x103 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 1046,3
153 C 155 sedang TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 2221
154 C 156 sedang 1,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
155 C 157 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
156 C 158 kecil 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
157 C 159 sedang 1,1x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
158 C 160 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
159 C 161 sedang 1,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 1247,41
160 C 162 kecil 6,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
161 C 163 sedang TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
162 C 164 kecil 1,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
163 C 165 sedang TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif 1212,06
164 C 166 sedang 4,4x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
165 C 167 kecil 4,1x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 556,31
166 C 168 kecil TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 781,22
167 C 169 kecil 1,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
168 C 170 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
169 C 171 sedang 2,3x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
170 C 172 sedang TBUD 43 <1,0 x 10 <3 Negatif 964,27
171 C 173 kecil 6,3x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
172 C 174 kecil TBUD 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
173 C 175 kecil 8,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
174 C 176 kecil 3,11x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
175 C 177 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
176 C 178 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
177 C 179 kecil 7,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
178 C 180 kecil 9,4x105 15 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
179 C 181 kecil TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
180 C 182 kecil 8,2x103 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
181 C 183 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
182 C 184 kecil 7,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
183 C 185 kecil 1,3x105 <3 7,0x102 <3 Negatif Negatif
184 C 186 sedang 2,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
185 C 187 sedang TBUD 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
186 C 188 sedang 1,8x106 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
187 C 189 sedang 7,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
188 C 190 kecil 4,9x104 <3 5,0x102 <3 Negatif Negatif
189 C 191 sedang 9,4X104 21 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
190 C 192 besar 1,0x106 > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
191 C 193 sedang 2,0x105 <3 8,0x102 <3 Negatif t.a.d
192 C 194 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
193 C 195 sedang TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
194 C 196 sedang 3,2x103 93 5,0x102 <3 Negatif Negatif
195 C 197 kecil TBUD 43 4,0x102 <3 Negatif t.a.d
196 C 198 sedang 1,7x105 43 <1,0 x 10 <3 Negatif 110,41
Keterangan :
Angka yang dicetak tebal menunjukan nilai tersebut berada di atas nilai maksimun
SNI
t.a.d : tidak ada data (tidak dilakukan pemeriksaan kandungan boraks)

You might also like