Professional Documents
Culture Documents
KUSTRI WINDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Kustri Windayani
NRP. B551034134
ABSTRACT
Bakso daging sapi (bakso sapi) merupakan makanan jajanan yang sangat
populer dan digemari banyak orang di Indonesia. Bakso biasanya disajikan
sebagai menu makanan bersama dengan mie dan bahan pelengkap lainnya yaitu
sayuran dan tahu., sehingga pada semangkok mie bakso sudah terkandung
sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral. Disamping itu mie bakso juga dapat mengandung bahan
yang berbahaya bagi kesehatan seperti pengawet makanan yang dilarang seperti
formalin dan boraks.
Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso sapi merupakan media
yang baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan
memiliki masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar. Untuk
mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya membubuhkan bahan
tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Bahan tambahan
tersebut selain dapat meningkatkan masa simpan juga dapat memperbaiki sifat
fisik dari produk yang dihasilkan. . Penelitian ini bertujuan untuk menguji syarat
mutu bakso sapi yang beredar di Kabupaten Tangerang dari aspek kandungan
boraks dan cemaran mikroba apakah telah sesuai dengan SNI 01-3818-1995,
menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso sapi terhadap
jumlah cemaran mikroba dan menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan
sanitasi dan hygiene terhadap jumlah cemaran mikroba
Populasi target sampling adalah pedagang bakso rumahan, pedagang
bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan
terpilih. Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional. Kabupaten
Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah
Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan
(4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3
kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah
Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-
masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan
sampel. Pedagang bakso rumahan dipilih secara acak yang ada di setiap
kecamatan. Banyaknya bakso yang diambil sebagai sampel adalah 197 sampel
(ditentukan dengan menggunakan rumus n = 1,962 pq/L2), terdiri dari 166 sampel
bakso buatan rumahan (C), 19 sampel bakso buatan pabrik yang dijual di pasar
tradisional (B 1 ) dan 12 sampel bakso buatan pabrik di swalayan (B 2 ).
Pemeriksaan cemaran mikroba mengacu kepada SNI 19-2897-1992 tentang
Cara Uji Cemaran Mikroba. Cemaran mikroba yang diperiksa adalah Total Plate
Count (TPC), bakteri bentuk coli (Coliform), Staphylococcus aureus,
Escherichia coli dan Salmonella ssp. sedangkan pengujian boraks secara
kuantitatif menggunakan metode spektrofotometri.
Kandungan boraks 100 sampel bakso yang diperiksa secara kuantitatif
menunjukkan 25 sampel positif mengandung boraks (25,0%) dan 75 sampel
negatif mengandung boraks (75,0%). Sampel positif terdiri dari 3 sampel (12,0%)
bakso buatan pabrik dan 22 sampel (88,0%) bakso buatan rumahan. Kandungan
boraks tertinggi adalah 4660,40 mg/kg dan terendah 5,56 mg/kg terdapat pada
bakso buatan rumahan. Rata-rata kandungan boraks adalah 806,86 mg/kg.
Total cemaran mikroba (TPC) di atas nilai SNI 01-3818-1995 yaitu 133
sampel (67,5%) terdiri dari 114 sampel C, 11 sampel B 1 dan 8 sampel (B 2 ).
Bakteri Coliform di atas nilai SNI yaitu 80 sampel (40,8%) terdiri dari 75
sampel C, 2 sampel B 1 dan 3 sampel B 2 . Bakteri Staphylococcus aureus di atas
nilai SNI yaitu 49 sampel (25,0%) terdiri dari 40 sampel C, 6 sampel B 1 dan
3 sampel B 2 . Persentase bakso berukuran kecil dan sedang dengan nilai TPC di
atas nilai SNI lebih besar daripada bakso berukuran besar. Pada semua sampel
bakteri E. coli di bawah nilai SNI dan negatif Salmonella ssp. Hasil uji Chi
Square menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata
terhadap TPC, jumlah Coliform dan Staphylococcus aureus (P > 0,05 ; α = 95%).
Pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah
dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap TPC dan bakteri Coliform
(P > 0,05 ; α = 95%).
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindumgi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA
BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG
KUSTRI WINDAYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Surachmi Setyaningsih, M.Sc.
Judul Tesis : Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso
Daging Sapi di Kabupaten Tangerang
Nama : Kustri Windayani
NRP : B551034134
Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Idwan Sudirman Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. MSc.
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Kustri Windayani
RIWAYAT HIDUP
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………............. xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………........... 1
Perumusan Masalah..................................................................................... 3
Hipotesis ..................................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA
Bakso Daging ............................................................................................. 5
Bahan Tambahan Makanan ........................................................................ 9
Boraks (Na 2 B 4 O 7 ,10H 2 O) …………………...............................................
11
Cemaran Mikroba ...................................................................................... 17
Higiene Sanitasi ........................................................................................ 22
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 25
Metoda Sampling ........................................................................................ 25
Pemeriksaan Boraks .................................................................................... 26
Pemeriksaan Cemaran Mikroba .................................................................. 27
Pengisian Kuisioner .................................................................................... 28
Pengolahan Data ........................................................................................ 28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso ............................. 29
Pemeriksaan Boraks .................................................................................... 31
Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba ............................................... 33
Cemaran Mikroba ........................................................................................ 35
Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba .................................... 38
Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) ....................................... 41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................................... 45
Saran ............................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 46
LAMPIRAN ........................................................................................................ 53
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kriteria mutu sensoris bakso daging ............................................................. 6
2. Peraturan perijinan penunjukan Food Antimicrobial di Uni Eropa
(E Number)dan Codex Alimentarius (INS Number) ...................................... 10
3. Sifat fisik dan kimia dan beberapa senyawanya ............................................ 12
4. Toksisitas akut boraks dan asam borat............................................................ 15
5. LAOELs dan NAOELs boraon (asam borat) pada perkembangan dan
reproduksi ........................................................................................................16
6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso
per kecamatan terpilih .................................................................................29
7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso ................................ 30
8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus ..........................32
9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap total mikroba (TPC) .......................34
10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform .....................................34
11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan S. Aureus.........................................34
12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik
di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan.....................36
13. Nilai Total Plate Count (TPC) sampel bakso berdasarkan ukurannya …….. 38
14. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap
total cemaran mikroba (TPC) pada pembuatan bakso rumahan. ..................39
15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap
cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan .....................................40
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Syarat Mutu Bakso Daging (SIN-01-3818-1995) ............................................54
2. Homogenisasi Contoh Bakso…………............................................................ 55
3. Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC) .....................................................56
4. Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform ………...……………………………… 57
5. Cara Pemeriksaan Escherichia coli....................................................................58
6. Cara Uji Salmonella.......................................................................................... 60
7. Cara Uji Staphylococcus aureus ..................................................................... 62
8. Kuisioner untuk Pedagang Bakso di Pasar Tradisional dan Swalayan ........... 63
9. Kuisioner untuk Pedagang Mie Bakso yang Membuat Bakso Sendiri........... 64
10. Rekapitulasi hasil pemeriksaan sampel bakso .............................................. 67
xiii
xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang
pemutih dan tawas. Pada pemeriksaan cemaran mikroba, TPC terendah adalah
7 x 104 CFU/gram dan tertunggi 7 x 105 CFU/gram, dan tidak ada pencemaran
oleh bakteri E. coli.
Isu penggunaan bahan pengawet berbahaya boraks di dalam bakso serta
kondisi tempat berjualan bakso di pasar tradisional atau di pedagang mie bakso
yang belum memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, seperti tempat penjualan,
tempat penyimpanan, suhu penyimpanan dan kebersihan pegawai serta kebersihan
peralatan yang digunakan yang dapat menyebabkan bakso yang dijual rawan
terhadap kontaminasi oleh mikroorganisme. Hal tersebut menjadikan keamanan
produk bakso menjadi sangat rendah. Dampak dari kondisi ini adalah
terancamnya kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut. Di sisi
lain akan timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk pangan asal ternak
sehingga akan merugikan para pelaku usaha di sektor ini. Dari kondisi tersebut
maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang keberadaan boraks dan
cemaran mikroba pada bakso buatan rumahan dan bakso buatan pabrik yang
beredar di Kabupaten Tangerang.
Perumusan Masalah
1. Masih adanya pemakaian bahan pengawet yang dilarang pada bakso yang
dijual di Kabupaten Tangerang.
2. Masih kurangnya sanitasi dan higiene penanganan bakso pada pedagang
bakso di pasar tradisional dan pedagang mie bakso di Kabupaten
Tangerang.
3. Masih terbatasnya sarana tempat berjualan bakso di pasar tradisional yang
dapat menjamin mutu.
Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :
1. H0 : Bakso di Kabupaten Tangerang tidak mengandung boraks
H1 : Bakso di Kabupaten Tangerang mengandung boraks.
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menguji syarat mutu bakso yang beredar di Kabupaten Tangerang dari
aspek kandungan boraks dan cemaran mikroba dibandingkan dengan SNI
01-3818-1995 tentang bakso daging.
2. Menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso terhadap
jumlah cemaran mikroba.
3. Menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan sanitasi dan higiene
terhadap jumlah cemaran mikroba.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Bakso Daging.
Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk
makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging
ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat
digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging
kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992).
Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia
adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang
tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral
diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat
khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging
sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya
antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin
dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso
menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso
ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati)
nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso
yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging.
Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno
1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan
dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang
dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan
lemaknya seluruhnya di atas SNI.
Bakso biasanya dijual dalam bentuk butiran untuk diolah kembali menjadi
aneka jenis masakan, atau dijual dengan campuran mie dan kuah ditambah
sayuran, bumbu, saos tomat dan sambal yang siap disantap oleh pembeli.
Karakteristik bakso yang disukai konsumen adalah rasanya gurih (sedang, agak
asin, mempunyai rasa daging yang kuat), beraroma daging rebus, tekstur empuk
dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran 3-5 cm
6
(Andayani 1999). Cara paling mudah untuk menilai mutu bakso menurut
Wibowo (1999) adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Ada lima parameter
utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, seperti
yang tercantum pada Tabel 1 .
Menurut Sunarlim (1992) bahan baku untuk pembuatan bakso terdiri dari
bahan utama yaitu daging dan bahan tambahan yaitu bahan pengisi (tepung-
tepungan), garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada dan bahan penyedap.
Daging yang baik untuk dibuat bakso adalah daging yang sesegar
mungkin, yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan
(Sunarlim 1992). Komponen daging yang penting dalam pembuatan bakso
adalah protein. Daging segar yang belum mengalami rigor mortis lebih disukai
oleh para pedagang daripada daging yang sudah dilayukan atau daging beku.
Daging segar mengandung protein aktin dan miosin yang belum berikatan (bebas)
sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak. Sebagaimana diketahui bahwa
protein aktin dan miosin merupakan protein yang mudah larut dalam larutan
garam encer (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Pada proses penggilingan
daging, protein-protein ini akan terekstrak dan akan membentuk emulsi dengan
7
bahan-bahan lainnya. Semakin tinggi kadar protein yang bebas semakin baik
emulsi yang dihasilkan (Sunarlim 1992).
Bahan pengisi yang digunakan biasanya tepung berkadar protein rendah
seperti tapioka atau sagu aren. Fungsi bahan pengisi adalah : (1) memperbaiki
daya ikat air, (2) meningkatkan stabilitas emulsi (3) mengurangi penyusutan
selama pemasakan, (4) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa (5) mengurangi
biaya produksi. Bahan tambahan yang terbanyak digunakan adalah air dalam
bentuk es yaitu banyaknya kira-kira 15% dari berat daging. Fungsi es adalah
untuk mempertahankan suhu daging tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan (emulsifikasi) (Sunarlim 1992).
Penambahan garam dapur (NaCl) bertujuan untuk : (1) memberi cita rasa
produk, (2) pelarut protein aktin, (3) sebagai pengawet karena dapat mencegah
pertumbuhan mikroba (4) meningkatkan daya ikat air (Wilson et al. 1981).
Proses pembuatan bakso pada prinsipnya dibagi menjadi empat tahap
yaitu (1) tahap penghancuran daging dengan alat atau tangan, (2) tahap
penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung, es, bumbu-bumbu dan garam
sehingga membentuk adonan, (3) tahap pencetakan bakso dan (4) tahap
pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).
Untuk menghasilkan bakso yang kering, kesat dan kenyal biasanya
ditambahkan bahan tambahan makanan. Para pembuat bakso komersial biasa
menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 05 % dari berat
adonan (Winarno 1997). Beberapa pembuat bakso menambahkan bahan pemutih
titanium oksida (TiO) untuk menghindari bakso yang berwarna gelap. Pada tahap
perebusan biasanya ditambahkan tawas pada air rebusan agar bakso bertekstur
kesat dan tidak lengket (Anindita 2003).
Bakso yang dibuat oleh pedagang bakso rumahan menggunakan daging
sapi yang dibeli di pasar. Daging ini kemudian dibawa ke tempat penggilingan
daging di pasar untuk dijadikan adonan bakso. Tempat penggilingan daging
tersebut juga menyediakan bahan tambahan pembuatan bakso seperti bumbu-
bumbu, pati, bahan tambahan makanan, es batu, serta mie dan sayuran. Setelah
itu adonan bakso dibawa pulang ke rumah, kemudian dibentuk menjadi bulatan
8
bakso, direbus, didinginkan dan dijual atau disimpan (Anindita 2003). Diagram
alur proses pembuatan bakso sapi secara garis besar dapat dilihat pada gambar 1.
1. DAGING SAPI
2. STANDARISASI
Proses 1-4
dilaksanakan
di tempat
penggilingan
3. PENGHANCURAN KASAR daging di pasar
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso
(Surjana 2001).
9
O O O O O
B B B B
O O
Na Na
Boraks
Boron Asam borat Boraks Boron oksida
anhidrat
Nomor 7440-42-8 10043-35-3 1303-96-4 1330-43-4 1303-86-2
registrasi CAS
Rumus Na 2 B4 O 7 .10H 2
molekul B H 3 BO 3 Na 2 B4 O 7 B2 O 3
O
Kristal hitam Putih atau tdk Putih atau tdk Putih atau tdk Putih atau tdk
Bentuk fisik atau kuning- berwarna, berwarna, kristal berwarna, berwarna,
coklat, serbuk kristal granur granur atau granul bening granul bening
amorf atau serbuk serbuk
Gaya berat
spesifik 2,34 1,51 1,73 2,37 2,46
(@ 20oC)
Titik lebur
(oC) pd ruang 2300 171 >62 t.a.d t.a.d
tertutup
Titik lebur
(oC) bentuk 2300 450 742 742 450
kristal
Kelarutan dlm 4,72 @ 20oC 4,71 @ 20oC 2,48 @ 20oC Cepat
air (%w/w) Tdk larut 27,53@ 100oC 65,63 @ 100oC 34,5 @ 100oC terhidrasi mjd
asam borat
Tekanan uap 1,56 x.10-5 atm
(mm Hg) @ 2140oC t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d
Boraks dapat berubah dengan mudah menjadi asam borat atau borate
(H 3 BO 3 ) bila dilarutkan dalam air. Boraks ada dalam tubuh sebagai asam borat.
Pemakaian boron per oral diserap dengan mudah (> 90% ) di dalam saluran
pencernaan manusia sebagai asam borat dan cepat terdistribusi melalui cairan
tubuh secara difusi pasif ke dalam jaringan lunak dan tulang. Ratio asam borat
dalam darah dan jaringan lunak adalah 1 : 1 dan ratio dalam darah dan tulang
adalah 1 : 4 (Murray 1998). Boron (asam borat) tidak diakumulasi dalam
jaringan lunak hewan dan manusia. Penelitian pada tikus menunjukan akumulasi
boron 3000 sampai 9000 ppm pada tulang setelah waktu 1 minggu, kemudian
menurun menjadi 10% setelah 8 minggu dan hanya 3 kali levelnya dari kelompok
13
Dosis letal akut boraks atau asam borat pada manusia adalah 15 -20 gram
untuk dewasa , 5 – 6 gram untuk anak-anak dan 2 – 3 gram untuk bayi (setara
dengan 2,6 – 3,5 gram boron untuk dewasa). Keracunan akut pada dosis
5 mg/kg/hari ditandai dengan dermatitis, alopesia, anoreksia dan indigesti,
sedangkan keracunan akut pada dosis tinggi ditandai dengan mual, muntah, diare,
sakit kepala, rush di kulit, desquamasi, kerusakan ginjal, stimulasi syaraf pusat
diikuti dengan depresi, ataksia, konvulsi dan kematian dalam 5 hari akibat
kegagalan sirkulasi (Ellenhorn 1997, EGVM 2003). Keracunan akut boron
menyebabkan gangguan ginjal dengan gejala mulai dari adanya sedimen pada urin
sampai kepada proteinuria, oligouria, anuria dan azotemia (Pahl et al 2005)
Keracunan kronis dosis tinggi terutama dapat diamati pada hewan percobaan.
Gangguan reproduksi dilaporkan terjadi pada anjing, tikus, mencit dan kelinci
berupa atrofi testis, gangguan pembentukan sperma, hilangnya sel benih dan
perubahan morfologi sperma epididimis. Pengaruh terhadap pertumbuhan antara
lain penurunan berat badan fetus, malformasi kardiovaskuler fetus, malformasi
skelet, malformasi susunan syaraf pusat, termasuk pembesaran ventrikel lateral
otak, hidrosefalus dan peningkatan resorpsi. Efek tersebut terlihat pada dosis > 10
mg boron/kg/hari (Ellenhorn 1997, EGVM 2003).
Produk pestisida yang mengandung boraks dan asam borat banyak
digunakan sebagai insektisida, fungisida dan herbisida. Sebagai insektisida
boraks dan asam borat merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan
rayap dan menyebabkan kerusakan eksoskeleton. Sebagai herbisida boraks
menghambat fotosintesis tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai
pengawet kayu untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah
produksi konidia atau spora aseksual. Asam borat dan boraks adalah juga
merupakan bahan tetap pada produk-produk pestisida sebagai sekuestran atau
pengikat bahan logam (USEPA 2008). Toksisitas boraks dan asam borat pada
beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 4.
15
Toksisitas akut yang disebabkan oleh boraks pada pemakaian peroral dan
topikal (kulit) dikategorikan ke dalam Toksisitas Tingkat III (toksisitas sedang),
sedangkan efek iritasi boraks pada mata dikategorikan sebagai Toksisitas
Tingkat I (toksisitas tinggi) (USEPA 2008). Boraks diserap dengan cepat dan
sempurna oleh tubuh dan tidak mengalami metabolisme ataupun akumulasi
kecuali dalam jumlah kecil dapat dideposit di tulang. Penelitian pada manusia
menunjukan bahwa lebih dari 90% boraks yang termakan oleh manusia
dieliminasi dalam waktu 4 hari melalui urin, feses dan sedikit melalui keringat.
Mengkonsumsi borat dalam waktu yang lama akan diakumulasi di testes dan
menyebabkan atrofi. Pengamatan selama dua tahun pada manusia yang minum
air dengan kandungan boron tinggi mengurangi jumlah sperma dan menurunkan
libido (Sheftel 2000).
16
Tabel 5. LOAELs dan NOAELs boron (asam borat) pada perkembangan dan
reproduksi
Jenis LOAELs NOAELs
Efek Negatif Referensi
Hewan (mg/kgbb/hr) (mg/kgbb/hr)
Tikus 79 43 Gangguan Heindel et al.
perkembangan 1992
Tikus 26 - Hambatan Ku et al. 1993
besar pengeluaran sperma
52 26 Atrofi testis
Tikus 50 25 Aplasia tubular Lee et al. 1979
besar germinal
Tikus 13,3 9,6 Penurunan BB fetus Price et al
besar 1996a
Tikus 25 12,9 Gangguan Price et al.
besar perkembangan 1996a (phase
tulang rusuk XIII II)
Kelinci 43,8 21,9 Malformasi fetus Price et al.
1996b
Tikus 58,5 17,5 Penurunan berat Weir dan
besar testis, atrofi testis, Fisher 1972
peningkatan berat
otak/tiroid
Anjing 29,0 8,75 Weir dan
4,4 Fisher 1972 .
Atrofi testis
3,6 EGVM 2003
Boraks dalam bentuk tidak murni (dikenal sebagai air bleng, garam bleng
atau pijer) sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi
atau kerupuk gendar yang secara lokal di beberapa daerah di Jawa disebut Karak.
Disamping itu boraks ternyata digunakan untuk industri makanan lainnya, seperti
pembuatan mie, lontong, ketupat, bakso, pempek, bahkan juga untuk pembuatan
kecap Berbeda dengan pembuatan karak, konon pembuatan mie pabrik dan
makaroni biasanya menggunakan asam borat murni (Winarno 1997). Pemakaian
air bleng atau garam bleng membuat tekstur makanan menjadi kenyal.
17
Pada beberapa pembuat bakso komersial, penambahan boraks 0,1 – 0,5 % dari
berat adonan menghasilkan bakso yang kering, kesat dan tekstur yang kenyal
(Surjana 2001). Senyawa asam borat yang terdapat pada boraks memiliki sifat
antiseptik, yaitu bersifat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu
boraks juga digunakan pada makanan untuk tujuan sebagai pengawet terhadap
pembusukan atau kerusakan akibat aktifitas mikroorganisme. Pengawetan bakso
daging dengan boraks untuk penyimpanan pada suhu kamar telah dilakukan oleh
industri bakso kecil dan menengah (Anindita 2003). Penelitian yang
dilakukan Novita (2003) pada pabrik bakso di Kota Tangerang menunjukkan
bahwa semua pabrik bakso yang diperiksa positif menggunakan boraks dengan
kandungan tertinggi 0.731 ppm dan terendah 0,197 ppm
Cemaran Mikroba
Pengujian mikrobiologik pada pangan, baik pada bahan baku, selama
proses maupun pada produk akhir, dilaksanakan dalam rangka pengawasan
keamanan dan kualitas pangan. Pengujian mikrobiologik bertujuan untuk
mengetahui jumlah mikroorganisme, keberadaan mikroorganisme tertentu,
jumlah mikroorganisme indikator, jumlah mikroorganisme patogen tertentu dan
keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Lukman 2004).
Perkembangan mikroorganisme bahan pangan dipengaruhi oleh faktor-
faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang ada pada bahan
pangan tersebut, yaitu : pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, nutrisi,
antimikroba dan struktur biologis. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berada di
luar bahan pangan tersebut, yaitu : temperatur, kelembaban relatif, ketersediaan
oksigen dan proses pengolahan (Sanjaya et al. 2007).
termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu
Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005).
Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan
hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform
sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi, terutama dalam
pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan.
Selain itu Coliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan
mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliform fecal dan non-fecal.
Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan
E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi
oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008).
Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram
negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil
dan tidak membentuk spora. Semua spesies memfermentasi glukosa dengan
membentuk asam dan gas, mereduksi nitrat dan nitrit, oksidase positif dan
katalase positif. Bakteri ini hidup normal sebagai mikroflora pada saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun
beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa
spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002).
Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk
mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan
pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya
terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam
jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup
yang tinggi pada lingkungan di luar usus, (4) relatif mudah diisolasi dan
dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005).
Makanan yang sering terkontaminasi bisanya adalah daging ayam, daging
babi, daging sapi, makanan hasil laut, telur dan produk olahan telur, sayuran, buah
dan sari0 buah. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, dapat
tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC dengan suhu optimum 37oC. Pertumbuhan
optimum pada pH 7,0-7,5 dan A w minimum 0,96. Untuk mencegah
19
2. Salmonella ssp
Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang
halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil,
aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi
laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada
25-43oC, tahan pada pH 4 – 8 dan Aw 0,94 serta bertahan hidup pada pembekuan
(Cramer 2006). Genus Salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella
enterica dan Salmonella bongori. S. enterica mempunyai 6 sub spesies dan
tidak kurang 2449 serovar sedangkan S. bongori mempunyai 20 serovar (D’aoust
2001).
Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan
insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus, Salmonella
20
3. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau
coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering
berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase
21
positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan A w 0,86. Koloni pada
media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning (Sutherland dan Varnam
2002 dan Cramer 2006). Kemampuan tumbuhnya pada media yang
mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada A w < 0,8 menjadi problem
penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau terhambat
tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004).
Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada
hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal. Lebih kurang 30% orang sehat
membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran
makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan
tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani
makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan
sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu
yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan
intoksikasi (Jay et al. 2005).
Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam
kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin
yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning).
Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman
selama tumbuh dalam makanan. Enterotoksin yang diproduksi oleh
Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak
rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel
bakterinya. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan
penanganannya yang kurang baik dan kurang higienis oleh manusia.
Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah
dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C 1 , C 2 ,
C 3 , D, E, F, G, H dan I. Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase
logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai
awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002).
Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan,
pakaian atau alat-alat yang dipergunakan. Staphylococcus hidup optimal dan
dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37oC, tetapi beberapa spesies dapat
22
Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam
rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit
usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi
pangan asal hewan. Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah
memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner .
Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang
selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai
bukti tertulis yang sah telah dipenuhinyan persyaratan higiene sanitasi sebagai
kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan
asal hewan. Unit usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV adalah
Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan
Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan, usaha pengeluaran, usaha
distribusi, usaha ritel dan usaha pengolahan pangan asal hewan. Kebijakan
pembinaan dan pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah penerapan
sistem jaminan keamanan pangan pada unit usaha pangan asal hewan secara
bertahap mulai dari penerapan praktek higiene sanitasi, pemberian NKV dan
penerapan sistem HACCP (Ditkesmavet 2006).
25
Metoda Sampling
Populasi target sampling adalah pedagang mie bakso, pedagang bakso
buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan terpilih.
Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional, di mana Kabupaten
Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah
Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan
(4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3
kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah
Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-
masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan
sampel. Pedagang mie bakso dipilih secara acak yang ada di setiap kecamatan
terpilih. Besarnya sampel bakso ditentukan dengan menggunakan rumus dari
Martin (Thrusfield, 1995)
n = 1,962 pq/L2
dimana n : besar sampel,
p : prevalensi dugaan pemakaian boraks (15%),
q : (1 – p)
L : tingkat kesalahan (5%).
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel adalah 196.
Pengambilan sampel bakso di pasar tradisional, swalayan dan pedagang
mie bakso dilakukan secara higienis dengan menggunakan sendok atau sarung
tangan plastik. Banyaknya bakso yang diambil per sampel adalah 250 gram.
26
Pemeriksaan Boraks
Pemeriksaan kandungan boraks secara kuantitatif dengan metode
Spektrofotometri (Mujamil, 1997). Jumlah sampel yang diperiksa adalah 100
sampel. Perlakuan terhadap sampel sebagai berikut:
Ke dalam ± 100 gram sampel ditambahkan 300 ml aquadest panas,
kemudian dihaluskan, ditambahkan 20 ml asam klorida 4 N dan dipanaskan di
atas penangas air selama 10 menit sambil diaduk, kemudian disaring, sisa
penyaringan dibilas dengan 100 ml aquadest panas. Filtrat yang diperoleh
dicukupkan volumenya sampai 250 ml dalam labu ukur. Dipipet sebanyak 50 ml
ditambah 75 m1 metanol kemudian didestilasi pada suhu 85°C – 90°C selama 110
menit dan destilat ditampung dengan 10 ml gliserin 3%. Destilat yang diperoleh
dipanaskan pada pelat pemanas sampai kering. Panaskan pada tungku listrik
600°C, kemudian dinginkan. Ditambahkan 10 ml larutan kurkumin dan panaskan
pada suhu 55°C – 57°C sampai kering, kemudian tambahkan etanol sampai 25 ml
(dalam labu ukur 25 ml). Secara kuantitatif larutan yang terbentuk diukur
serapannya menggunakan spektrofotometer pada λ-maksimum. Kadar boraks
dalam sampel dapat dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang dibuat dari larutan
standar boraks. Berdasarkan regresi linier kurva kalibrasi dan faktor
pengenceran, maka kadar boraks dalam sampel dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut
K = slope
ABS = Absorban
B = Intercept
FP = faktor pengenceran
27
4. Pemeriksaan Salmonella
Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan
dengan uji biokimia dan uji serologi. Bahan dan alat yang digunakan yaitu
media Lactose Broth, Selenite Cystine Broth,. Tetrathionat Brilliant Green
Broth, Brilliant Green Agar (BGA), Bismuth Sulfit Agar (BSA), Nutrient Agar,
Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar, Lysine Decarboxylation Medium, VP
Medium, Indol Medium, dan antisera, botol pengencer, tabung reaksi, gelas ukur,
pipet , cawan Petri, gelas sediaan, inkubator, pengering cabinet, penangas air,
pengaduk gelas, Ose, dan sterilisator filter.
Pengisian Kuisioner
Kuisioner tentang penerapan praktek higiene - sanitasi yang dilakukan
oleh para pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya dilakukan pada
saat yang bersamaan dengan pengambilan sampel bakso.
Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa kandungan boraks,
cemaran mikroba dan penerapan sanitasi-higiene diuji ada tidaknya asosiasi di
antara ketiganya dengan uji χ2 pada tingkat kepercayaan 95%. (Walpole, 1982)
29
Jumlah II 2 1 73 7 3 76 86
Jumlah III 1 1 44 4 9 48 61
Untuk wilayah Utara tidak ada sampel bakso yang diambil dari swalayan
dikarenakan di wilayah tersebut tidak ada swalayan yang menjual bakso. Sampel
bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan di swalayan diambil dari berbagai
merek dan jenis bakso dijual sehingga tidak ada bakso dengan spesifikasi yang
sama. Sedangkan bakso buatan rumahan berhasil dikumpulkan 166 sampel dari
30
155 pedagang. Hal tersebut karena beberapa pedagang yang memiliki beberapa
kios bakso di tempat yang berbeda. Umur bakso buatan rumahan yang
disampling adalah antara 0 – 1 hari (bakso buatan hari itu dan kemarin).
Pedagang bakso di Kabupaten Tangerang yang membuat bakso sendiri rata-rata
perhari mengghabiskan daging sapi antara 2 kg – 50 kg /pedagang. Jumlah
butiran bakso yang dihasilkan per kilo daging tergantung kepada ukuran bakso
yang dibuat dan jumlah bahan tambahan yang digunakan.
Hasil pemerian terhadap sampel bakso yang meliputi sifat fisik dan
organoleptik yaitu warna, bau, tekstur, bentuk dan ukuran bakso ditampilkan
pada Tabel 7.
asam atau busuk. Hal tersebut disebabkan sampel bakso yang diambil rata-rata
berumur 1 hari. Bau asam dan bau busuk disebabkan oleh kerja bakteri
pembentuk asam dan bakteri proteolitik. Hasil penelitian Surjana (2001)
menunjukan bahwa mikroba yang tumbuh pada bakso sebagian besar merupakan
bakteri asam laktat dan mulai terlihat pada hari ke-0 penyimpanan. Pada bakso
kontrol bau asam muncul pada hari ke-2 penyimpanan dan bau busuk muncul
pada hari ke-3 penyimpanan, sedangkan pada bakso yang diberi pangawet bau
asam baru muncul pada hari ke-5 penyimpanan.
Konsistensi dan tekstur bakso sampel adalah kenyal, kesat, tidak lengket dan
tidak berlendir. Tekstur bakso yang kenyal, kesat dan kering bisa diperoleh bila
ke dalam adonan bakso ditambahkan bahan tambahan makanan seperti Sodium
Tripolyphosphate (STTP). Beberapa pembuat bakso masih menggunakan boraks
untuk mendapatkan hasil yang sama. Bakso yang lembek dan berlendir
menunjukkan adanya aktivitas bakteri pembusuk. Lendir pada bakso tanpa
pengawet muncul pada hari pertama penympanan, sedangkan tekstur lembek dan
mengelupas terjadi pada hari ke-2 (Surjana 2001).
Pemeriksaan Boraks
Pemeriksaan kandungan boraks pada bakso sebanyak 100 sampel yang
terdiri dari 17 sampel bakso buatan pabrik dan 83 sampel bakso buatan rumahan.
Bakso yang positif mengandung boraks sebanyak 25 sampel (25%), terdiri dari 3
sampel (3%) bakso buatan pabrik dan 22 sampel (22%) bakso buatan rumahan .
Pada Tabel 8 dapat dilihat tingkat kandungan boraks tertinggi yang terdeteksi
adalah 4660,40 mg/kg dan terendah sebesar 5,56 mg/kg, dengan rata-rata 806,86
mg/kg dan keduanya. berasal dari bakso buatan rumahan. Jumlah boraks yang
dipakai oleh para pedagang tersebut pada umumnya lebih rendah dari dosis boraks
yang biasa dipakai oleh pembuat bakso komersial (pabrik bakso) yaitu 0,1 – 0,5
% (1 – 5 gram) per kg adonan, dan jauh lebih rendah dari dosis letal akut bila
termakan oleh manusia , yaitu 2-3 gr pada bayi, 5-6 gr pada anak-anak dan 15-20
gr pada dewasa (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004). Sampel yang mengandung
boraks di atas 1 gram/kg sebanyak 8 sampel (32%) dan di bawah 1 gram/kg
sebanyak 17 sampel (68%). Walaupun dosis boraks yang ada pada sampel bakso
32
lebih rendah dari dosis letal, dari sisi keamanan pangan bakso yang mengandung
boraks dalam jumlah banyak maupun sedikit merupakan bahan pangan yang tidak
aman untuk dikonsumsi oleh manusia.
Adanya boraks (asam borat) dalam sampel bakso dengan kadar yang
bervariasi bukan berasal dari bahan baku yang digunakan seperti daging sapi, air
es atau pati, namun adalah karena senyawa kimia tersebut dengan sengaja
ditambahkan pada proses pembuatannya. Meskipun boraks (asam borat) secara
luas terdapat di alam seperti pada tanah, batuan, tumbuhan, air laut, air tawar,
daging hewan, air susu, udara dan lainnya, namun konsentrasinya relatif kecil.
Kandungan asam borat dalam daging hewan adalah 0,05 – 0,6 mg/kg, biji-bijian
1 – 5 mg/kg sayuran hijau 2- 20 mg/kg buah segar 0,3 – 3 mg/kg, kacang > 14
mg/kg berat kering dan legume 25 -50 mg/kg (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004).
33
Kandungan asam borat dalam air minum untuk masyarakat di Kanada adalah 0,1
mg/L atau lebih rendah (Health Canada, 1991).
Alasan yang menyebabkan para pembuat bakso menggunakan boraks pada
produknya, yaitu untuk mendapatkan produk bakso yang kenyal, tidak lembek,
kesat dan lebih tahan lama. Pengetahuan yang terbatas tentang jenis bahan
tambahan makanan yang diijinkan dan yang dilarang digunakan membuat
mereka menggunakan boraks dalam produknya. Pembuat bakso rumahan
biasanya mendapatkan boraks di tempat penggilingan daging yang juga
menyediakan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk membuat bakso seperti
bumbu-bumbu, pati, es batu, bahan tambahan makanan, serta mie dan sayuran.
Beberapa jenis bahan tambahan yang biasanya disediakan di tempat penggilingan
daging dinamakan sesuai dengan kegunaannya, seperti pemutih, pengembang,
pengeras, pengenyal, dan sebagainya. Dengan demikian mereka tidak
mengetahui bahwa bahan yang mereka gunakan sebagai pengenyal kemungkinan
adalah boraks. Dalam hal ini yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan
terhadap peredaran bahan-bahan kimia yang dilarang tersebut mulai dari tingkat
distributor, pedagang pengecer sampai ke pengguna akhir. Ketentuan tentang
distribusi dan pengawasan bahan berbahaya ini telah diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006. Disamping itu perlu
sosialisasi yang lebih baik lagi kepada para pedagang dan pelaku usaha
penggilingan daging tentang pemakaian bahan tambahan makanan pengganti
boraks seperti STTP dan pengawet makanan seperti Na-karbonat, K-karbonat
dan Ca-propionat (Winarno 1997)..
Tabel 11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan Staphylococcus aureus
_________________________________________________________
Faktor Staphylococcus aureus
≤102 % >102 % χ2 P .
Boraks :
Hasil uji Chi Square pada tabel 9, 10 dan 11 menunjukkan bahwa boraks
pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan
Staphylococcus aureus (P > 0,05). Tujuan penambahan boraks ke dalam adonan
bakso antara lain sebagai antimikroba sehingga diharapkan akan menekan
perkembangbiakannya dan dapat memperpanjang masa simpan bakso pada suhu
kamar. Dari tabel di atas, sampel yang mengandung boraks dan cemaran
mikrobanya di bawah SNI 01-3818-1995 hanya 25% untuk TPC, 29,5% untuk
Coliform dan 30% untuk Staphylococcus aureus, sedangkan yang cemaran
35
mikroba di atas SNI adalah 26,6% untuk TPC, 21,1% untuk Coliform dan 10,5%
untuk Staphylococcus aureus. Hal tersebut mungkin disebabkan jumlah boraks
yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak mampu menghambat perkembangan
mikroorganisme. Boraks bila dilarutkan dalam air akan menjadi asam borat,
suatu senyawa asam lemah yang mempunyai kemampuan sebagai antiseptika.
Boraks dan asam borat bukan merupakan bahan tambahan makanan yang
diizinkan sehingga dosis pemakaiannya sebagai pengawet pada makanan tidak
diketahui. Asam borat sebagai antiseptika yang sering digunakan sebagai obat
pencuci mata (boorwater) adalah larutan asam borat 3%, sedangkan talcum
powder mengandung 5% boron.
Mekanisme kerja boraks atau asam borat sebagai pengawet adalah karena
asam akan menurunkan pH sel bakteri, sehingga untuk tetap mempertahan pH
konstan dalam sel, bakteri diperlukan energi yang banyak, akibatnya energi yang
tersedia untuk sintesa komponen-komponen sel berkurang, oleh karena itu
pertumbuhan sel menjadi sangat lambat, bahkan berhenti sama sekali pada pH
yang sangat rendah. Pada kecepatan pertumbuhan yang sangat lambat maka
persediaan energi untuk mempertahankan hidup sangat terbatas, akibatnya sel-sel
menjadi mati karena reaksi-reaksi pengasaman di dalam sel (Fardiaz 1992).
Cemaran Mikroba
Cemaran mikroba pada makanan dapat berasal dari kontaminasi primer,
yaitu bahan baku pangan tersebut sebelum dipanen atau disembelih,
dan pencemaran dari luar (kontaminasi sekunder). Sumber pencemaran antara
lain hewan, tanaman, tanah, air, udara, manusia, limbah dan peralatan
(Sanjaya et al. 2007). Bakso daging adalah bahan pangan yang telah
mengalami proses perebusan sebelum dijual atau digunakan. Selayaknya bakso
mengandung cemaran mikroba yang relatif rendah karena sebagian besar mikroba
mesofilik yang berasal dari bahan mentah tersebut telah mati pada proses
perebusan. Daging sapi sebagai bahan baku pembuatan bakso setelah 5 jam
pemotongan memiliki nilai TPC 1,9 x 108 dan setelah diolah dan direbus menjadi
bakso nilai TPC-nya sebesar 4,1 x 102 (Surjana 2001). Lamanya proses
perebusan butiran adonan bakso pada pedagang bakso sektor informal di Kota
36
Bogor berlangsung 2 tahap, yaitu tahap pertama direbus dalam air panas dan
tahap kedua direbus dalam air tawas. Lama perebusan selama 15 – 25 (Anindita
2003).
Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada sampel bakso yang meliputi TPC,
cemaran Coliform, cemaran E. coli, cemaran Samonella sp dan cemaran
Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 12. Total Plate Count sampel
bakso 67,5% diatas SNI, bakteri Coliform 40,8% di atas SNI dan Staphylococcus
aureus 25% di atas SNI, sedangkan E. coli dan Salmonella sp 0% di atas SNI.
Tabel 12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di
pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan.
TPC Coliform S.aureus E. coli Salmonella
Jenis Sampel Jml
No. (>1x105) (>1x101) (>1x102) ( >3 ) ( positif)
Bakso smpl
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
1. Bakso buatan 166 114 68,7 75 44,2 40 24,1 0 0,0 0 0,0
rumahan (C)
Tabel 13. Nilai Total Plate Count (TPC) bakso berdasarkan ukurannya
Tabel 14. Uji Chi Square hubungan penanganan higiene dan sanitasi terhadap
TPC pada pembuatan bakso rumahan.
__________________________________________________________________
Faktor TPC .
≤105 % >105 % χ2 P .
1. Pencucian bahan baku
a. Ya 23 22,3 80 77,7 6,921* 0.021
b. Tidak 18 40,9 26 59,1
2. Baso didinginkan
a. Ya 39 28,5 98 71,5 0,332 0,564
b. Tidak 2 20,0 8 80,0
3. Disimpan pada wadah tertutup
a. Ya 14 25,0 42 75,0 0,376 0,540
b. Tidak 27 29,7 64 70,3
4. Disimpan pd lemari es
a. Ya 15 19,2 63 80,8 5,615* 0,018
b. Tidak 25 36,8 43 63,2
5. Penyimpanan terpisah
a. Ya 25 61,0 16 39,0 30,945* 0,000
b. Tidak 16 15,1 90 84,9___________________
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
Tabel 15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene
terhadap cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan.
_______________________________________________________________
Faktor Colifom .
≤10 % >10 % χ2 P .
1. Pencucian bahan baku
a. Ya 55 53,4 48 46,6 0,016 0,900
b. Tidak 23 52,3 21 47,7
2. Baso didinginkan
a. Ya 75 54,7 62 45,3 2,291 0,130
b. Tidak 3 30,0 7 70,0
3. Disimpan pada wadah tetutup
a. Ya 22 39,3 34 60,7 6,892* 0,009
b. Tidak 27 29,7 64 70,3
4 Disimpan pd suhu dingin
a. Ya 38 48,7 40 51,3 1,087 0,297
b. Tidak 39 57,4 29 42,6
5. Penyimpanan terpisah
a. Ya 32 78,0 9 22,0 14,254* 0,000
b. Tidak 46 43,4 60 56,6__________________
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
41
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anindita S. 2003. Keamanan Pangan dan Nilai Gizi Bakso Pedagang Sektor
Informal di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor selama
Penjualan. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Bach SJ, Mc.Alister TA, Veira DM, Gannon VPJ, Holley RA. 2002.
Transmission and Control of Escherichia coli O157:H7. Canadian
Journal of Animal Science 82: 475-490. Dec. 2002.
Brown MH, Booth IR. 1991. Acidulants and Low pH. Di dalam : Russel NJ dan
Gould GW. editor. 1991. Food Preservatives. London. Blackie.
Hlm 22-43.
Carmo LS, Dias RS, Linardi VR, Sena MJ, Santos DA. 2003. An Outbreak of
Staphylococcal Food Poisoning in the Municipality of Passos, MG, Brazil.
Brazillian Arch. of Biol. and Tech. vol..46 no. 4. Curitiba. Des 2003.
47
Chapin RE, Ku WW, Kenney MA et al. 1997. The Effects of Dietary Boron on
Bone Strength in Rats. Fund. Appli. Toxicol. 35:205-215. Di dalam :
[USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency –
Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of
Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA
635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-
2009].
Cramer MM. 2006. Food Plant Sanitation, Design, Maintenance and Good
Manufacturing Practice. New York. Taylor & Francis.
Djaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit
yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian 26(2):
67-75.
Devirian TA, Volpe SL. 2003. The Physicological Effects of Dietary Boron.
Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 43(2):219-231. Di dalam : [USEPA-IRIS]
United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk
Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and
Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052.
http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009].
[EGVM] Expert Group on Vitamins and Minerals. 2003. Safe Upper Levels for
Vitamins and Minerals. Food Standards Agency. United Kingdom.
http://www.foog.gov.uk/multimedia/pdfs/vitamin2003.pdf [05-02-2007].
Grau FM. 1986. Microbial Ecology of Meat and Poultry. Di dalam : Pearson
AM and TR Dutson, editor. Advances in Meat Research : meat and
poultry microbiology. Basingstoke. England. Mc.Millan Publisher. Hlm
1-47.
Health Canada . 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient
in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].
Heindell JJ, Price CJ, Field EA, et al. 1992. Developmental Toxicity of Boric
Acid in Mice and Rats. Fundam. Appl. Toxicol. 18:2266-277. Di dalam :
Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical
ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].
Jansen JA, Andersen J, Schou JS. 1984a. Boric Acid Single Dose
Pharmacokinetics afer Intravenous Administration to Man. Arch. Toxicol.
55:64-67. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product :
boron as a medical ingredient in oral natural health product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].
49
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA, editor. 2005. Modern Food Microbiology.
Ed ke-7. Springer.
Ku WW, Chapin RE, Wine RN. 1993. Testicular Toxicity of Boric Acid
Relationship of Dose to Lesion Development and Recovery in the F344
Rat.. Reprod. Toxicol. 7:305-319. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug
and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural
health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-
eng.php. [21-02-2009].
Lee IP, Sherins RJ, Dixon RL. 1978. Evidence of Germinal Aplasia in Male Rats
by Environmental Exposure to Boron. Toxicol Appl. Pharmacol. 45:271-
298. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron
as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-
sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].
Lukman DW. 2004. Pengujian Jumlah Bakteri pada Pangan Asal Hewan.
Laboratorium Kesmavet Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet.
Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.
Lunning PA, Marcelis WS, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality –
a Techno-Managerial Approach. Wageningen. Wageningen Pers.
Mujamil J. 1997. Deteksi dan Evaluasi Keberadaan Boraks pada Beberapa Jenis
Makanan di Kotamadya Palembang. Cermin Dunia Kedokteran No. 120.
ISSN : 125 – 913X.
Pahl M, Culver D, Vaziri ND. 2005. Boron and the Kidney. J.Ren. Nutr.
15:362-370. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product
: boron as a medical ingredient in oral natural health product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].
Price CJ, Strong PL, Marr MC, Myers CB, Murray FJ. 1996a. Developmental
Toxicity NOAEL and Postnatal Recovery in Rats Fed Boric Acid during
Gestation. Fund. Appl. Toxicol. 32:179-193. Di dalam : Health Canada.
2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral
natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-
bore-eng.php. [21-02-2009].
Price CJ, Marr MC, Myers CB, et al. 1996b. Developmental Toxicity of Boric
Acid in Rabbits. Fund. Appl. Toxicol. 34:176-187. Di dalam : Health
Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical
ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].
Samman S, Naghii MR, Lyons WPM, Verus AP. 1998. The Nutritional and
Metbolic Effects of Boron in Humans and Animals. Bio. Trace Elem. Res.
66:227-235. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product :
boron as a medical ingredient in oral natural health product.
http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-
2009].
Schou JS, Jansen JA, Aggerbeck A. 1984. Human Farmacokinetics and Safety
of Boric Acid. Arch. Toxicol. 7:232-235. Di dalam : [USEPA-IRIS]
United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk
Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and
Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052.
http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009].
Sheftel VO. 2000. Indirect Food Additives and Polymers. Migration and
Toxicology. Washington D.C. Lewis Publishers.
Surjana W. 2001. Pengawetan Bakso Daging Sapi dengan Bahan Additif Kimia
pada Penyimpanan Suhu Kamar. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Wibowo S. 1999. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Wilson NRP, Diyet EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat
Products. London. Applied Science Publisher.
LAMPIRAN
54
Lampiran 2
Homogenisasi Contoh Bakso
Lampiran 3.
Prinsip :
Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media
pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.
Cara Kerja
1. Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai lampiran 3.
2. Pipet 1 ml dari masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri steril secara
simplo dan duplo.
3. Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 -15 ml media PCA cair yang
bersuhu 45 ± 1oC dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama.
4. Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati hingga contoh tercampur rata dengan
media PCA.
5. Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku.
6. Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator dan
inkubasikan pada suhu 35 ±1oC selama 24 - 48 jam.
7. Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni
setelah 48 jam.
8. Hitung Total Plate Count dalam 1 gram contoh dengan mengalikan jumlah rata-
rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.
Lampiran 4
Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform
Lampiran 5
Cara Pemeriksaan Escherichia coli
Cara Kerja :
1. Masukkan 1 ose biakan yang positif pada LST broth dari angka paling
mungkin bakteri Koliform ke dalam tabung berisi Escherichia Coli Broth
(EC broth) yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik.
2. Inkubasikan dalam penangas air pada suhu 44-45oC selama 24-48 jam.
3. Catat tabung yang di dalamnya terbentuk gas (E.coli dianggap positif jika di
dalam tabung terbentuk gas).
4. Lanjutkan penetapan E.coli dengan menginokulasikan biakan yang
membentuk gas ke pembenihan Eosin Methylene Blue (EMB) atau Violet
Red-Bile Agar (VRBA) dalam cawan Petri. Inkubasikan pada 35oC selama
18-24 jam.
5. Pilih koloni berwarna merah gelap (pada VRBA) yang berdiameter 0,5 mm
atau lebih, atau koloni berwarna kilap logam (pada EMB) dan inokulasikan
pada Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung. Inkubasikan pada suhu 35oC
selama 18-24 jam. Pada waktu yang sama lakukan pewarnaan Gram sebagai
berikut :
Buat sediaan di atas gelas objek. Keringkan di udara dan fiksasi dengan
panas. Warnai sediaan dengan larutan crystal violet selama 1 menit. Cuci
dengan akuadest dan tiriskan. Bubuhkan larutan Lugol (Gram’s iodine)
selama 1 menit. Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Cuci (hilangkan warna)
dengan alkohol 95% selama 30 detik. Cuci dengan akuadest, tiriskan.
Bubuhkan larutan Safranin (Hucker’s counterstain) selama10-30 detik. Cuci
dengan akuades, tiriskan, serap dengan kertas saring, keringkan dan periksa di
bawah mikroskop.
6. Lakukan pengujian IMVIC ( indol, merah metil, Voges-Proskauer
dan sitrat) dari biakan Nutrient Agar pada butir 5.
Pengujian IMVIC
1. Uji Indol
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
Ttryptone broth. Inkubasi pada 35 ±1oC selama 18-24 jam. Setelah 18-24
jam tambahkan 0,2-0,3 pereaksi indol ke dalam tabung dan kocok selama 10
menit. Warna merah tua pada permukaan menunjukkan reaksi indol positif,
warna jingga menunjukkan reaksi indol negatif.
59
4. Uji Sitrat
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
media Simmons Citrate atau Koser’s Citrate. Inkubasikan pada suhu 35oC
selama 48-96 jam. Warna biru menunjukkan reaksi positif, warna hijau
menunjukkan reaksi negatif (pada media Simmons Citrate) dan adanya
kekeruhan pada media Koser’s citrate menunjukkan reaksi positif.
Lampiran 6
Cara uji Salmonella
Prinsip :
Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan
uji biokimia dan uji serologi.
Cara Kerja
1. Penyiapan dan homogenisasi contoh :
Lakukan homogenisasi contoh seperti diuraikan pada lampiran 3.
2. Pra-pengkayaan (pre-enrichment)
a. Pindahkan contoh yang telah dihomogenisasi secara aseptik ke dalam botol
kapasitas 500 ml steril.
b. Inkubasikan pada 36 ±1oC selama 16-20 jam.
3. Pengkayaan (enrichment)
a. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Selenite Cystine Broth.
b. Inkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam
c. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Tetrathionat Brilliant
Green Broth.
d. Inkibasikan pada suhu 43oC selama 24 jam.
6. Uji Serologi
Lakukan uji serologi bila reaksi biokimia menunjukkan ada Salmonella.
Ambil 1 ose biakan dari TSIA dan oleskan pada gelas sediaan. Kemudian
teteskan sedikit antisera di samping biakan. Dengan menggunakan ose
campurkan tetesan antisera dengan biakan hingga homogen. Penggumpalan yang
terjadi menunjukkan uji positif.
Lampiran 7.
Cara kerja :
1. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3.
2. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke atas permukaan Baird Parker
Agar dan sebarkan merata dengan menggunakan spreader. Keringkan permukaan
sebelum diinkubasi.
3. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 30-48 jam.
4. Pilih cawan Petri yang mengandung koloni 20-200 dan hitung tersangka koloni
Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran
cerah di sekelilingnya.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulase.
Uji Koagulase
1. Pindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 ml Brain Heart Infusion
Broth
(BHIB).
2. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 20-24 jam.
3. Siapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 ml dan
tambahkan0,1 ml biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam.
4. Inkubasikan campuran (3) pada 36 ±1oC selama 2-6 jam.
5. Amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi lanjutkan inkubasi
pada suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi.
6. Hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 ml contoh yang
memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan
faktor pengenceran).
Lampiran 8 .
KUISIONER
I. DATA USAHA
1. Nama Pedagang :
2. Alamat /Tempat Usaha :
1 Penampakan
2 Warna
3 Ukuran
4 Tekstur
5 Bau
64
Lampiran 9.
KUISIONER
UNTUK PEDAGANG MEI BAKSO YANG MEMBUAT BAKSO SENDIRI
I. DATA USAHA
1. Nama warung :
2. Nama Pemilik / penanggungjawab :
3. Lokasi /Tempat Usaha :
4. Alamat Tempat Usaha :
5. Jumlah Pegawai :
6.. Kapasitas penjualan per hari (kg) :
…………………………
…………………………
66
…………………………
…………………………
…………………………
2. Tidak (0)
Mikrobiologi
Kode Boraks
No Fisik
Sampel TPC Coliform S.aureus E.coli Salmonella spp. (mg/kg)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 B 01 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
2 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
3 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
4 B 04 besar 5,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
5 B 05 kecil 4,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
6 B 06 kecil 2,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
7 B 07 kecil 1,1x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
8 C 08 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
9 C 09 sedang 5,0x105 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 4.660,40
10 C 10 besar 4,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
11 C 11 kecil 1,1x104 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
12 C 12 besar 4,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 701,61
13 C 13 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
14 C 14 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
15 C 15 besar 5,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
16 C 16 sedang 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
17 C 17 sedang TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
18 C 18 kecil 4,6 x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
19 C 19 sedang 1,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
20 C 20 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
21 C 21 besar TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
22 B 22 sedang 3,0x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 82,68
23 B 23 kecil 3,2x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
24 C 24 sedang 4,0x106 >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
68
1 Keadaan :
1.1 Bau - Normal khas daging
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Tekstur - Kenyal
2 Air % b/b Maks 70,0
3 Abu % b/b Maks 3,0
4 Protein % b/b Min 9,0
5 Lemak % b/b Maks 2,0
6 Boraks - Tidak boleh ada
7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
8 Cemaran logam :
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
10 Cemaran mikroba :
10.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks 1 x 105
10.2 Bakteri bentuk koli APM/g Maks 10
10.3 Escherichia coli APM/g ≤3
10.4 Enterococci Koloni/g Maks 1 x 103
10.5 Clostridium perfringens Koloni/g Maks 1 x 102
10.6 Salmonella - Negatif
10.7 Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1 x 102
Lampiran 2
Homogenisasi Contoh Bakso
Prinsip :
Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media
pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.
Cara Kerja
1. Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai lampiran 3.
2. Pipet 1 ml dari masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri steril secara simplo
dan duplo.
3. Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 -15 ml media PCA cair yang
bersuhu 45 ± 1oC dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama.
4. Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati hingga contoh tercampur rata dengan media
PCA.
5. Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku.
6. Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator dan
inkubasikan pada suhu 35 ±1oC selama 24 - 48 jam.
7. Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni
setelah 48 jam.
8. Hitung Total Plate Count dalam 1 gram contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata
koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.
Cara Kerja :
1. Masukkan 1 ose biakan yang positif pada LST broth dari angka paling mungkin
bakteri Koliform ke dalam tabung berisi Escherichia Coli Broth (EC broth)
yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik.
2. Inkubasikan dalam penangas air pada suhu 44-45oC selama 24-48 jam.
3. Catat tabung yang di dalamnya terbentuk gas (E.coli dianggap positif jika di
dalam tabung terbentuk gas).
4. Lanjutkan penetapan E.coli dengan menginokulasikan biakan yang membentuk
gas ke pembenihan Eosin Methylene Blue (EMB) atau Violet Red-Bile Agar
(VRBA) dalam cawan Petri. Inkubasikan pada 35oC selama 18-24 jam.
5. Pilih koloni berwarna merah gelap (pada VRBA) yang berdiameter 0,5 mm atau
lebih, atau koloni berwarna kilap logam (pada EMB) dan inokulasikan pada
Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung. Inkubasikan pada suhu 35oC selama
18-24 jam. Pada waktu yang sama lakukan pewarnaan Gram sebagai berikut :
Buat sediaan di atas gelas objek. Keringkan di udara dan fiksasi dengan panas.
Warnai sediaan dengan larutan crystal violet selama 1 menit. Cuci dengan
akuadest dan tiriskan. Bubuhkan larutan Lugol (Gram’s iodine) selama 1 menit.
Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Cuci (hilangkan warna) dengan alkohol 95%
selama 30 detik. Cuci dengan akuadest, tiriskan. Bubuhkan larutan Safranin
(Hucker’s counterstain) selama10-30 detik. Cuci dengan akuades, tiriskan, serap
dengan kertas saring, keringkan dan periksa di bawah mikroskop.
6. Lakukan pengujian IMVIC ( indol, merah metil, Voges-Proskauer
dan sitrat) dari biakan Nutrient Agar pada butir 5.
Pengujian IMVIC
1. Uji Indol
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
Ttryptone broth. Inkubasi pada 35 ±1oC selama 18-24 jam. Setelah 18-24 jam
tambahkan 0,2-0,3 pereaksi indol ke dalam tabung dan kocok selama 10 menit.
Warna merah tua pada permukaan menunjukkan reaksi indol positif, warna
jingga menunjukkan reaksi indol negatif.
2. Uji Merah Metil (Methyl red)
Dari biakan murni Nutrien agar miring inokulasikan 1 ose ke dalam
media
MR-VP. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48 jam. Dengan menggunakan
pipet pindahkan 5 ml ke tabung reaksi dan tambahakan 5 tetes merah metil lalu
dikocok. Warna kuning menunjukkan reaksi negatif dan warna merah
menunjukkan reaksi positif.
4. Uji Sitrat
Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam
media Simmons Citrate atau Koser’s Citrate. Inkubasikan pada suhu 35oC
selama 48-96 jam. Warna biru menunjukkan reaksi positif, warna hijau
menunjukkan reaksi negatif (pada media Simmons Citrate) dan adanya kekeruhan
pada media Koser’s citrate menunjukkan reaksi positif.
Prinsip :
Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan uji
biokimia dan uji serologi.
Cara Kerja
1. Penyiapan dan homogenisasi contoh :
Lakukan homogenisasi contoh seperti diuraikan pada lampiran 3.
2. Pra-pengkayaan (pre-enrichment)
a. Pindahkan contoh yang telah dihomogenisasi secara aseptik ke dalam botol
kapasitas 500 ml steril.
b. Inkubasikan pada 36 ±1oC selama 16-20 jam.
3. Pengkayaan (enrichment)
a. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Selenite Cystine Broth.
b. Inkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam
c. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Tetrathionat Brilliant Green
Broth.
d. Inkibasikan pada suhu 43oC selama 24 jam.
6. Uji Serologi
Lakukan uji serologi bila reaksi biokimia menunjukkan ada Salmonella.
Ambil 1 ose biakan dari TSIA dan oleskan pada gelas sediaan. Kemudian teteskan
sedikit antisera di samping biakan. Dengan menggunakan ose campurkan tetesan
antisera dengan biakan hingga homogen. Penggumpalan yang terjadi menunjukkan
uji positif.
Lampiran 7.
Metoda : Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang diperkirakan mengandung
lebih dari 100 Staphylococcus aureus.
Cara kerja :
1. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3.
2. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke atas permukaan Baird Parker Agar
dan sebarkan merata dengan menggunakan spreader. Keringkan permukaan sebelum
diinkubasi.
3. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 30-48 jam.
4. Pilih cawan Petri yang mengandung koloni 20-200 dan hitung tersangka koloni
Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran
cerah di sekelilingnya.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulase.
Uji Koagulase
1. Pindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 ml Brain Heart Infusion Broth
(BHIB).
2. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 20-24 jam.
3. Siapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 ml dan tambahkan0,1
ml biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam.
4. Inkubasikan campuran (3) pada 36 ±1oC selama 2-6 jam.
5. Amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi lanjutkan inkubasi pada
suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi.
6. Hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 ml contoh yang
memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan faktor
pengenceran).
KUISIONER
I. DATA USAHA
1. Nama Pedagang :
2. Alamat /Tempat Usaha :
1 Penampakan
2 Warna
3 Ukuran
4 Tekstur
5 Bau
III. PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI
I. DATA USAHA
1. Nama warung :
2. Nama Pemilik / penanggungjawab :
3. Lokasi /Tempat Usaha :
4. Alamat Tempat Usaha :
5. Jumlah Pegawai :
6.. Kapasitas penjualan per hari (kg) :
Mikrobiologi
Kode Boraks
No Fisik
Sampel TPC Coliform S.aureus E.coli Salmonella spp. (mg/kg)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 B 01 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
2 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
3 B 03 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
4 B 04 besar 5,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
5 B 05 kecil 4,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
6 B 06 kecil 2,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
7 B 07 kecil 1,1x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
8 C 08 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
9 C 09 sedang 5,0x105 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 4.660,40
10 C 10 besar 4,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
11 C 11 kecil 1,1x104 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
12 C 12 besar 4,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 701,61
13 C 13 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
14 C 14 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
15 C 15 besar 5,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
16 C 16 sedang 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
17 C 17 sedang TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
18 C 18 kecil 4,6 x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
19 C 19 sedang 1,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
20 C 20 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
21 C 21 besar TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
22 B 22 sedang 3,0x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 82,68
23 B 23 kecil 3,2x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
24 C 24 sedang 4,0x106 >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
25 C 25 kecil 4,0x106 21 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
26 C 26 sedang 3,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
27 C 27 kecil 1,5x105 4 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
28 C 28 besar 2,1x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 31,08
29 C 29 besar 2,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
30 C 30 sedang 3,2x106 15 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
31 C 31 kecil 3,0x103 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
32 B 32 sedang 1,0x106 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
33 B 33 sedang 2,0x105 9 <1,0x10 <3 Negatif 29,56
34 C 34 sedang 3,0x103 23 <1,0x10 <3 Negatif Negatif
35 C 35 sedang 2,6x106 15 3,3x103 <3 Negatif t.a.d
36 C 36 besar 5,9x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
37 B 37 sedang <1,0x10 <3 <1,0x10 <3 Negatif t.a.d
38 C 38 besar 1,6 x 105 <3 2,0x102 <3 Negatif Negatif
39 B 39 sedang 1,3x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
40 B 40 sedang TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
41 B 41 kecil 2,4x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
1 2 3 4 5 6 7 8 9
42 B 42 kecil 6,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 11,86
43 B 43 kecil 2,4x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
44 B 44 kecil 3,9x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
45 B 45 sedang 3,4x106 11 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
46 B 46 kecil 3,2x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
47 C 47 kecil 6,6x104 4 <1,0 x 10 <3 Negatif 57,54
48 C 48 besar 1,3x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
49 C 49 sedang 1,2x106 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
50 C 50 besar 1,0x105 93 6,0x102 <3 Negatif t.a.d
51 C 51 besar 1,1x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 13,84
52 C 52 kecil 9,6x105 93 5,0x102 <3 Negatif t.a.d
53 C 53 kecil TBUD 1100 <1,0 x 10 <3 Negatif 5,65
54 C 54 besar TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
55 C 55 kecil 5,0x104 23 4,0x102 <3 Negatif t.a.d
56 C 56 sedang 1,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
57 C 57 sedang 1,1x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 18,21
58 C 58 sedang 4,4x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
59 C 59 sedang 1,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 59,75
60 C 60 kecil TBUD 93 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
61 C 61 sedang TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
62 C 62 sedang TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 67,46
63 C 63 sedang 2,8x105 93 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
64 C 64 sedang 1,0x104 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
65 C 65 besar 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
66 C 66 sedang 2,8x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
67 C 67 kecil 8,0x102 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
68 C 68 sedang 2,8x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
69 C 69 kecil 3,5x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
70 C 70 sedang 6,0x106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
71 C 71 besar TBUD 23 1,6x103 <3 Negatif Negatif
72 C 72 sedang 2,1x106 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
73 C 73 kecil 2,8x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
74 C 74 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
75 C 75 sedang 2,4x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
76 C 76 besar 1,0x102 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
77 C 78 sedang 2,6x106 93 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
78 C 79 besar TBUD >2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
79 C 80 sedang 8,3x105 460 2,0x102 <3 Negatif Negatif
80 C 81 besar 2,4x106 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
81 C 82 besar TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
82 C 83 besar 4,6x106 1100 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
83 C 84 besar 1,1x106 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
84 B 85 besar 2,1x104 9 3,0x102 <3 Negatif Negatif
85 B 86 kecil 8,1x106 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
86 B 87 kecil 2,5x105 9 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
87 B 88 kecil TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
88 B 89 kecil 1,8x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
89 B 90 kecil TBUD 75 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
90 B 91 kecil 6,0x104 9 2,0x102 <3 Negatif Negatif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
91 C 92 besar 1,4x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
92 C 93 kecil 1,7X106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
93 C 94 besar 1,4x105 23 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
94 C 95 besar 2,7x106 460 <1,0 x 10 460 Negatif t.a.d
95 C 96 besar 2,9x103 23 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
96 C 97 besar 1,6x102 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
97 C 98 kecil 5,0x102 43 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
98 C 99 kecil 6,4x105 20 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
99 C 100 kecil 1,6x105 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
100 C 101 kecil 1,2x105 23 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
101 C 102 kecil 2,2x105 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
102 C 103 kecil 3,6x104 93 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
103 C 104 kecil 3,4x105 240 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
104 C 105 kecil 1,8x106 > 2400 3,0x102 <3 Negatif Negatif
105 C 106 sedang 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
106 C 107 kecil 5,7x104 4 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
107 C 108 kecil 1,8x105 <3 5,0x102 <3 Negatif Negatif
108 B 109 kecil 1,0x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
109 C 110 sedang 1,5x107 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
110 C 111 sedang 6,4x105 4 1,3x103 <3 Negatif t.a.d
111 C 112 sedang 2,8x106 43 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
112 C 113 kecil 1,2x107 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
113 C 114 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
114 B 115 sedand TBUD <3 2,0x102 <3 Negatif Negatif
115 B 116 kecil 2,4x105 <3 >1,0x102 <3 Negatif Negatif
116 C 117 sedang 3,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
117 C 118 kecil 1,0x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
118 C 119 sedang 4,0x105 21 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
119 C 120 besar 1,2x104 <3 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
120 C 121 sedang 2,9x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
121 C 122 besar 4,2x104 <3 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
122 C 123 besar 2,5x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
123 C 124 besar 1,0x104 <3 3,0x102 <3 Negatif t.a.d
124 C 125 sedang ,3x107 460 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
125 C 126 besar 2,7x104 23 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
126 C 127 sedang 1,9x107 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
127 C 128 kecil 1,8x107 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
128 C 129 sedang 1,6x106 4 >1,0x102 <3 Negatif t.a.d
129 C 130 sedang 2,4x106 15 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
130 C 131 sedang 3,5x105 4 2,0x102 <3 Negatif Negatif
131 C 132 sedang 1,2x106 <3 3,0x102 <3 Negatif t.a.d
132 C 133 sedang 5,8x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 6,63
133 C 134 kecil TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 3345,41
134 C 135 sedang 1,2x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
135 C 136 kecil 3,0x103 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
136 C 137 kecil 1,9x106 <3 >1,0x102 <3 Negatif 1804,56
137 C 138 sedang 4,8x106 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
138 C 139 sedang 1,5x107 21 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
139 C 140 kecil 1,1x107 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
140 C 141 kecil 1,1x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
1 2 3 4 5 6 7 8 9
141 C 142 kecil TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
142 C 143 besar 1,1x107 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 31,38
143 C 144 kecil TBUD 150 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
144 C 145 sedang 1,4x105 <3 6,0x102 <3 Negatif t.a.d
145 C 146 sedang 2,2x106 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
146 C 147 sedang 3,6x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
147 C 148 sedang 2,4x106 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
148 C 149 sedang 7,4x105 4 2,0x102 <3 Negatif t.a.d
149 C 150 sedang 2,4x105 4 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
150 C 151 sedang TBUD 23 <1,0 x 10 <3 Negatif 1104,8
151 C 152 sedang 1,1x106 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
152 C 154 sedang 4,2x103 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 1046,3
153 C 155 sedang TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 2221
154 C 156 sedang 1,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
155 C 157 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
156 C 158 kecil 2,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
157 C 159 sedang 1,1x106 43 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
158 C 160 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
159 C 161 sedang 1,2x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 1247,41
160 C 162 kecil 6,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
161 C 163 sedang TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
162 C 164 kecil 1,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
163 C 165 sedang TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif 1212,06
164 C 166 sedang 4,4x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
165 C 167 kecil 4,1x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif 556,31
166 C 168 kecil TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif 781,22
167 C 169 kecil 1,0x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
168 C 170 kecil TBUD > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
169 C 171 sedang 2,3x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
170 C 172 sedang TBUD 43 <1,0 x 10 <3 Negatif 964,27
171 C 173 kecil 6,3x104 9 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
172 C 174 kecil TBUD 460 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
173 C 175 kecil 8,2x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
174 C 176 kecil 3,11x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
175 C 177 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
176 C 178 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
177 C 179 kecil 7,7x103 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
178 C 180 kecil 9,4x105 15 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
179 C 181 kecil TBUD 9 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
180 C 182 kecil 8,2x103 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
181 C 183 kecil TBUD <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
182 C 184 kecil 7,0x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
183 C 185 kecil 1,3x105 <3 7,0x102 <3 Negatif Negatif
184 C 186 sedang 2,7x104 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
185 C 187 sedang TBUD 43 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
186 C 188 sedang 1,8x106 23 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
187 C 189 sedang 7,3x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
188 C 190 kecil 4,9x104 <3 5,0x102 <3 Negatif Negatif
189 C 191 sedang 9,4X104 21 <1,0 x 10 <3 Negatif Negatif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
190 C 192 besar 1,0x106 > 2400 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
191 C 193 sedang 2,0x105 <3 8,0x102 <3 Negatif t.a.d
192 C 194 sedang 1,7x105 <3 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
193 C 195 sedang TBUD 240 <1,0 x 10 <3 Negatif t.a.d
194 C 196 sedang 3,2x103 93 5,0x102 <3 Negatif Negatif
195 C 197 kecil TBUD 43 4,0x102 <3 Negatif t.a.d
196 C 198 sedang 1,7x105 43 <1,0 x 10 <3 Negatif 110,41
Keterangan :
Angka yang dicetak tebal menunjukan nilai tersebut berada di atas nilai maksimun
SNI
t.a.d : tidak ada data (tidak dilakukan pemeriksaan kandungan boraks)