You are on page 1of 203

Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.

1-3 ) 978-602-60766-4-9

PENINGKATAN KUALITAS ZAT WARNA BIRU HASIL EKSTRAKSI DAUN TARUM


SECARA ADSORPSI

Yuliani HR1), Tri Hartono1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Tarum leaves are blue or indigo-producing plants which are used by the Kajang Tribe as a dye on the sarongs
and headgear. Extraction of dyes from tarum leaves in 2015 and 2017 has been carried out but the results obtained still
contain other dyes indicated by greenish and reddish colors. Increased levels of indigo extracted from tarum leaves using
the adsorption method with two types of adorbents namely limestone and kitchen ash. The study of research variables in
the form of variations in weight of the adsorbent were 0, 5, 10, 15, 20, 25 and 30 with an operating time of 1.5 hours at
30oC. The adsorption process was carried out by piping 200 ml of tarum leaf extract into erlemyer and then adding the
adsorbent according to the research variable. The adsorption results then measured absorbance using uv-vis then the data
was processed and calculated the adsorption capacity of limestone and kitchen ash using the equation Langmuer. The
highest level will be applied to dyeing a white cloth or handkerchief. Adsorption increased the quality of indigo
extraction and adsorption capacity using limestone 75.257 mg / g and 36.130 mg / g for kitchen ash. The highest
percentage of absorption in 30 grams of adsorbent was 83% which was applied as a white cloth dye.

Keywords: Tarum, indigo, extraction, adsorption, limestone, kitchen ash

1. PENDAHULUAN
Tanaman Tarum merupakan salah satu tanaman yang menghasilkan warna biru dan jumlah banyak
serta tumbuh liar di wilayah Bulukumba. Masyarakat suku kajang memanfaatkan daun tarum sebagai pewarna
sarung dan pengikat kepala. Pada tahun 2016 telah dilakukan kunjungan lapangan di desa kajangluar, tim
menemukan bahwa pengrajin mengambil zat warna biru dengan cara daun tarum direndam menggunakan
pelarut air selama 72 jam pada suhu kamar. Yuliani dkk (2015), mengekstraksi daun tarum dengan kondisi
operasi 60 oC, perbandingan 1: 50 yaitu daun tarum terhadap pelarut selama 2.5 jam. Hasil yang didapatkan
berupa warna biru namun masih bercampur dengan zat warna lainnya. Optimasi ekstraksi daun tarum
menggunakan suhu 40oC, kecepatan pengadukan 500 rpm, 2.5 jam serta dispray didapatkan zat warna jauh
lebih biru dan kental serta bubuk dengan warna kebiruan, (Yuliani dan Hartono, 2017). Penelitian yang
dilakukan pada tahum 2015 dan 2017 terdapat kekurangan yakni warna yang didapatkan masih bercampur
dengan zat warna lain yakni hijau, coklat dan kemerahan sehingga perlu dilakukan proses pemurnian atau
penghilangan warna lain dengan sistem penyerapan maupun pemisahan. Ada dua metode yang dapat
dilakukan yaitu dengan (a) membran, (b) sentrifugal kemudian didiamkan dan (c) adsorpsi. Sistem pemisahan
secara adsorpsi relatif sederhana murah dan efisien sebab hanya menggunakan adsorben atau bahan penjerap.
Beberapa faktor yang berpengaruhi pada adsorpsi yaitu adsorbat atau bahan yang akan diserap, jenis
adsorben, perbandingan adsorbat terhadap adsorben, pH, suhu, kecepatan pengadukan, dan waktu (Setyawati
dkk, 2012). Penelitian adsorpsi zat warna telah dilakukan oleh Laksmana dkk, (2016) memperlajari pengaruh
aktivasi zeolit dan perbandingan adsorbat terhadap adsoben menunjukkan bahwa dengan aktivasi dengan
perbandingan 1:5 menunjukkan persen penjerpan 44.65%. Pada tahun 2011, Widjajanti dkk mempelajari
tentang pH, dan waktu adsorpsi tehadap penjerapan zat warna azo metil merah dan metil jingga menunjukkan
hasil optimum pada pH 2, dan 60 menit dengan pola isoterm Freundlich. Yuliani dkk (2011 – 2013) meneliti
adsorben dan diaplikasi dalam menjerap zat warna methyl violet dan zat warna methyl orange serta
penjernihan minyak curah menggunakan kalembang. Pada penelitian ini adsorpsi menggunakan batu kapur
(CaO) dan abu dapur sebagai adsorben. Pemilihan ini didasarkan kemampuan keduanya menjerap kotoran
dalam air dengan kandungan CaCO3 dan jika dalam air berupa Ca(OH)2 bersifat basah selain itu uji
pendahuluan menunjukkan kemampuan menjerap zat pengotor sehingga terbentuk sehingga terbentuk dua
lapisan yaitu larutan kental berupa zat warna biru dan larutan mencer dengan warna hijau maupun merah.
Perbandingan dan waktu adsoprsi belum diketahui sehingga penelitian ini perlu dilakukan.
Berdasarkan kelemahan hasil penelitian yang telah dilaksanakan tahun 2015 dan 2017 bahwa zat
warna biru hasil ekstrasi daun tarum dibutuhkan pemurnian secara adsorpsi guna meningkatkan kualitas

1
Korespondensi penulis: Yuliani HR, Telp 08114448864, yulihr207@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.1-3 ) 978-602-60766-4-9

indigo. Kajian yang akan ditinjau pada penelitian ini yaitu waktu adsorpsi, perbandingan adosrbat terhadap
adorben dan penentuan jenis adsorbat batu kapur atau abu dapur. Zat warna yang hasil adsorpsi akan
dibandingkan tanpa adsorpsi dengan mengukur menggunakan uv-vis kemudian ditentukan kapasitas
penjerapan batu kapur dan abu dapur menggunakan persamaan Langmuir. Produk terbaik kemudian
diaplikasikan mencelup kain sesuai ukuran sapu tangan.

2. METODE PENELITIAN
Pemilihan pemurnian ekstraksi daun tarum didasarkan hasil ektraksi yang dilakukan berwarna
kehijauan dan kemerahan. Penelitian ini mengkaji teknik permurnian guna meningkatkan kadar indigo ekstrak
daun tarum. Isoterm adsorpsi berlangsung suhu 30 oC selama 1.5 jam menggunakan dua jenis adsorben yaitu
batu kapur dan abu dapur dengan variasi berat Variabel penelitian 0, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 gram dalam 200
ml larutan ekstrak daun tarum.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Penjerapan Indigo
Warna biru didapatkan melalui ekstrasi daun tarum pada suhu 40 oC dan kepekatan indigo dengan
sistem adsorpsi menggunakan abu dapur dan batu kapur. Peningkatan kemurnian indigo didapatkan dengan
mengukur absorbansi, dimana warna yang biru akan terserap ke adsoben dan zat pengotor akan berada di
cairan yang terukur. Penelitian menunjukan bahwa hasil ekstraksi warna biru kecoklatan kemudian diadsorpsi
ekstrak berupa cairan coklat jernih dan adsorben kebiruan mengikasikan bahwa indigo terserap oleh batu
kapur dan abu dapur. Hasil Adsorpsi kemudian diukur menggunakan UV-Vis dan bantuan persamaan kurva
standar mengkonversi absorbansi ke kosentrasi indigo pada larutan, ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Jumlah
Indigo terjerap oleh batu kapur maupun abu dapur dihitung melalui selisih atara kosentrasi Indigo mula mula
(Co) dikurangi kosentrasi indigo setimbang (Ce). qe, ce/qe dan % indigo terjerap ke adsorben.
Tabel 1. Kosentrasi Indigo Adsorpsi Variasi Berat Abu Dapur
No Berat (gram) Absorbansi Ce (M) Co- Ce (M) qe (mg/g) Ce/qe % Indigo Terjerap
1 0 0.116 68.847 - - - -
2 5 0.081 61.009 7.839 0.392 155.658 11.386
3 10 0.178 53.987 14.861 0.372 145.316 21.585
4 15 0.166 46.923 21.925 0.365 128.411 31.845
5 20 0.188 36.057 32.790 0.410 87.970 47.628
6 25 0.291 28.750 40.098 0.401 71.699 58.242
7 30 0.137 11.812 57.036 0.475 24.852 82.843
Secara umum kemampuan batu kapur menjerap indigo lebih besar dibanding abu dapur, hal ini
mengindikasikan luas permukaannya lebih luas ditunjukkan kapasitas adsorpsi.
Tabel 2. Kosentrasi Indigo Adsorpsi Variasi Berat Batu Kapur
No Berat (gram) Absorbansi Ce (M) Co- Ce (M) qe (mg/g) Ce/qe % Indigo Terjerap
1 0 0.116 68.847 - - - -
2 5 0.114 55.366 13.481 0.674 82.138 19.581
3 10 0.213 45.437 23.411 0.585 77.635 34.004
4 15 0.164 38.122 30.725 0.512 74.446 44.628
5 20 0.300 30.570 38.277 0.478 63.892 55.597
6 25 0.470 22.448 46.399 0.464 48.381 67.394
7 30 0.412 11.386 57.461 0.479 23.779 83.461

Jumlah indigo yang terjerap ke batu kapur secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan abu dapur.
Kedua adsorben memiliki kemampuan menjerap indigo dan ditunjukkan persen penjerapan. Berdasarkan
besar persen penjerapan baik batu kapur maupun abu dapur perbandingan adsorbat terhadap adsorben yaitu
250 ml pada 30 gram adsorben dengan persen penjerannya ± 83 %. Rata rata kemampuan penjerapan batu
kapur lebih tinggi 8.523% terhadap abu dapur. Kemampuan batu kapur meningkat selain pada luar

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 2
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.1-3 ) 978-602-60766-4-9

permukaan mengandung CaCO3 juga adanya kandungan Ca(OH)2 berfungsi sebagai floagulant yang akan
mengikat indigo lebih cepat sedangkan abu dapur yang hanya memiliki CaCO3 juga mengikat zat warna biru
dari ekstrak daun tarum.

b. Kapasitas Adsorpsi
Penjerapan warna biru hasil ekstraksi daun tarum menggunakan abu dapur maupun kapur didapatkan
larutan menjadi jernih, hal ini ditunjukkan warna biru terjerap dalam kedua adsorben. Perhitungan kapasitas
(qm) adorpsi batu kapur maupun abu dapur didapatkan linierisasi persamaan isoterm lagmuer yaitu hubungan
Ce/qe terhadap Ce.
160
140 y = 2.7678x - 7.7203
120
100 R² = 0.9921
Abu Dapur
Ce/qe

80
60 y = 1.1852x + 10.195
40
20 R² = 0.8164
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
Ce (M)
Gambar 2. Hubungan Ce/qe Terhadap Ce (M)
Persamaan linierisasi dari kedua adsorben seperti ditunjukan Gambar 2. Nilai qm dihitung pada 1/slope,
serta rata-rata kemampuan penjerapan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kapasitas dan Perjen Penjerapan Indigo
Kapasitas (qm) %
No Adsorben
mg/g x 0.01 Penjerapan
1 Batu Kapur 75.257 50.778
2 Abu Dapur 36.130 42.255

4. KESIMPULAN
1) Zat warna biru dapat diperoleh melalui ekstraski daun tarum
2) Adsorpsi bertujuan menjerap indigo sehingga impuritas hilang ditunjukan dengan birunya batu kapur dan
abu dapur dan ekstrak menjadi coklat dengan perbandingan 250 ml terhadap 30 gr adsorben mencapai ±
83 %.
3) Kapasitas batu kapur 75.257 mg/g dan 36.130 mg/g buat abu dapur.

5. DAFTAR PUSTAKA
Do, D.D., 1998, Adsorption Analysis: Equilibria and Kinetics, Series on Chemical Engineering, Vol 2,
Imperial College, 13 – 16.
Gozan, Misri. 2006. “Absorpsi, Leaching, dan Ekstraksi pada Industri Kimia”, Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia.
Handayani,.P.A. 2013. “Pewarna Alami Batik dari Tanaman Nila (indigofera) dengan Katalis Asam”. Jurusan
Teknik Kimia Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Jos Bakti, Dian dan Epri, 2011, Ekstraksi Zat Warna dari Kulit Manggis serta Uji Stabilitasnya, Prosiding
Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro,
Semarang.
Knaebel, K.S., 2008, Adsorbent Selection, Adsorption Research, Inc, Dublin, Ohio.
Setyawati, Rahman dan Astuti A, 2012, “Peningkatan Kadar Bioetanol dari Kulit Nanas Menggunakan Zeolit
Alam dan Batu Kapur”, Teknik Kimia, Vol 6 N0.2 April 2012. P.40 – 48.
Yuliani HR. 2012. “Asdorpsi Methyl Violet Menggunakan Kalembang Teraktivasi”. Prosiding Seminar
Keteknitan Universitas Mulawarman 2012. Samarinda
Yuliani HR. 2015. “Pengambilan Zat Warna Biru Dalam Daun Tarum”. Prosiding Seminar Teknik Industri
(ATIM). Akademi Teknik Industri. Makassar
Yuliani HR. 2017. “Optimasi Ekstraksi Zat Warna Biru Daun Tarum ”. Prosiding Hasil Penelitian dan
Pengabdian Politeknik Negeri Ujung Pandang Makassar

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 3
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.4-9) 978-602-60766-4-9

PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MENJADI GULA REDUKSI MELALUI HIDROLISIS


MENGGUNAKAN ENZIM SELULASE

Octovianus SR Pasanda1), Abdul Azis1), Zulmanwardi1), Sakius Ruso1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

The use of brown seaweed for the industry is mainly based on the chemical content contained in seaweed such as
alginate, jelly, and carrageenan. The main component of seaweed is carbohydrates. Hydrolysis is a process carried out to
make polysaccharide molecules into simple sugars such as glucose and galactose. This study aims to look at the effect of
enzyme concentration and incubation time on the hydrolysis of alginate waste substrates using cellulase enzymes. The
process of hydrolysis of alginate waste flour produces sugar content, which was previously carried out by ultrasonic
pretreatment. The hydrolysis process uses cellulase enzymes with various enzyme concentrations (8, 10, 12, 14 and 16 U/mg)
in a 7% substrate and variations in incubation time (84, 96 and 108 hours). Analysis of reducing sugar content using a UV-
Visible Spectrophotometer with a wavelength of 575 nm. The highest reducing sugar content was obtained at 96 hours with
an additional concentration of 12 U/mg enzyme (6.55%).

Keywords: Alginate waste; Hydrolysis; Reduction sugar; Cellulase enzyme; Spectrophotometer

1. PENDAHULUAN
Produksi biomassa lignoselulosa dari tanaman di dunia mencapai jumlah sekitar 200 x 10 9 ton per tahun.
Sebanyak 8-20 x 109 ton dari biomassa tersebut berpotensi untuk diolah lebih lanjut (Lin dan Tanaka, 2006 dalam
Amelia, A, 2012). Indonesia merupakan negara penghasil biomassa yang cukup melimpah, baik yang berasal dari
bahan kayu, jerami, rumput-rumputan, limbah pertanian, hutan, limbah industri (kayu, kertas) dan bahan berserat
lainnya, sehingga sangat memungkinkan untuk pemanfaatan biomassa lignoselulosa yang sampai saat ini belum
dikembangkan secara optimal (Octavia et al, 2011). Proses biokonversi polisakarida menjadi komponen gula
dinamakan sakarifikasi (Karmakar dan Ray, 2011). Glukosa merupakan produk utama dari pemecahan selulosa
(Kristensen, 2009).
Rumput laut merupakan salah satu jenis bahan yang memiliki kandungan selulosa yang tinggi.
Produktivitas rumput laut setiap tahunnya dapat menghasilkan 19.000 liter bioetanol per hektar. Produktivitas
tersebut lima kali lebih besar jika dibandingkan dengan jagung dan dua kali lebih besar dibandingkan dengan
tebu. Rumput laut hanya membutuhkan kurang dari 3% dari perairan pesisir dunia untuk menghasilkan rumput
laut yang cukup untuk menggantikan 60 miliar galon bahan bakar fosil (Sanglap, 2012 dalam Adini, S, dkk,
2015). Dalam pemanfaatan rumput laut coklat sebagai bahan baku, masalah utamanya adalah bahan baku ini tidak
dapat difermentasi langsung, tetapi harus dihidrolisis terlebih dahulu untuk mengubah pati menjadi gula reduksi.
Untuk tujuan tersebut, dewasa ini telah dikembangkan berbagai metode hidrolisis polisakarida, meliputi hidrolisis
asam (Zamora et al., 2010), dan enzimatis. Meskipun metode di atas mampu menghasilkan gula reduksi namun
gula reduksi yang dihasilkan belum optimal, sehingga diperlukan upaya pretreatment untuk meningkatkan
kemudahan pati untuk dihidrolisis.
Untuk itu, penelitian ini dilaksanaan menggunakan proses pretreatment metode ultrasonikasi. Liu et al.
(2010), menyatakan bahwa kavitasi (rongga) ultrasonik menghasilkan daya patah yang akan memecah dinding sel
secara mekanis dan meningkatkan transfer materi. Beberapa keunggulan pada penggunaan teknologi ultrasonik
dalam aplikasinya pada berbagai macam pati dan polisakarida adalah (Lida, 2002 dalam Adhiksana, A, dkk,
2017): 1) proses ultrasonik tidak membutuhkan penambahan bahan kimia dan bahan tambahan lain, 2) prosesnya
cepat dan mudah, yang berarti prosesnya tidak memerlukan biaya tinggi, 3) prosesnya tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan pada struktur kimia, partikel, dan senyawa-senyawa bahan yang digunakan. Setelah
dilakukan pretreatment metode ultrasonikasi, dilakukan proses hidrolisis untuk memperoleh kadar gula reduksi.
Setelah hidrolisis, kadar gula reduksi dalam filtrat ditentukan dengan metode UV-Vis menggunakan reagen

1
Korespondensi penulis: Octovianus SR Pasanda, Telp 081242826202, octopasanda@poliupg.ac.id
Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 4
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.4-9) 978-602-60766-4-9

dinitrosalisilat (DNS). Kadar gula reduksi dihitung berdasarkan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang
575 nm, dengan bantuan kurva standar yang dihasilkan dari pengukuran absorbansi larutan glukosa. Untuk
mengevaluasi kemungkinan pembentukan gula reduksi selama proses ultrasonikasi.
Metoda biologi atau secara enzimatik memiliki keuntungan yaitu menghasilkan produk dengan kualitas
yang baik karena reaksi spesifik dari enzim-substrat. Struktur kristal dan porositas selulosa pun tidak mengalami
degradasi sehingga produk biokonversi yang dihasilkan berkualitas lebih baik (Thakur dan Nakagoshi, 2011).
Metode yang digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah dengan menggunakan enzim, contohnya
selulase(Galbe dan Zacchi, 2002). Menurut Thakur dan Nakagoshi (2011), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil dan laju hidrolisis enzim yaitu konsentrasi substrat, aktivitas selulase, dan kondisi reaksi
seperti pH dan temperatur.

2. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini, yaitu metode ultrasonik. Metode ultrasonik
dilakukan untuk mengekstrak rumput laut coklat (Sargassum Sp.). Dari hasil ekstraksi, diperoleh limbah alginat
yang kemudian dikeringkan dan dihaluskan hingga menjadi bubuk limbah alginat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penambahan enzim dan waktu inkubasi pada proses hidrolisis. Hasil hidrolisis dilakukan
analisa kadar gula pereduksi yang terkandung dalam limbah alginat tersebut. Variabel penelitian untuk penelitian
ini disajikan sebagai berikut:
1) Variabel berubah: penambahan enzim selulase (8, 10, 12, 14 dan 16 U/mg), waktu inkubasi (84, 96 dan 108
jam).
2) Variabel tetap: untuk metode ultrasonik volume Na 2CO3 2% (1:10 b/v), suhu ultrasonik 60℃ dan waktu
ultrasonik 30 menit. Untuk analisa selulosa suhu waterbath 90℃ dan waktu waterbath 1 jam, oven dengan
suhu 105℃. Untuk proses hidrolisis bubur rumput laut coklat 7%, volume reagent DNS 3 ml, panjang
gelombang spektrofotometer 575 nm.

Prosedur Kerja
Penelitian ini terdiri atas preparasi rumput laut coklat, ekstraksi rumput laut coklat menggunakan metode
ultrasonik, analisa kadar air bubuk limbah alginat dan analisa selulosa bubuk limbah alginat, hidrolisis bubuk
limbah alginat rumput laut coklat (Sargassum Sp.), dan analisa gula pereduksi hasil hidrolisis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh variasi konsentrasi enzim dan waktu inkubasi pada saat
hidrolisis substrat limbah alginat untuk memperoleh hasil optimum dengan menggunakan enzim selulase. Enzim
selulase yang digunakan memiliki aktivitas spesifik 20.000 unit/g. Konsentrasi enzim dan substrat berpengaruh
terhadap produk yang dihasilkan.

Hasil Uji Kadar Air


Penelitian ini dilakukan analisa kadar air dari tepung limbah alginat yang diperoleh dari hasil ekstraksi
menggunakan gelombang ultrasonik. Rata-rata nilai kadar air alginat yang dihasilkan adalah 10,73%. Menurut
Yani (1988) dalam Mas’ud. F, dkk (2016), kadar susut pengeringan sebenarnya tidak dipengaruhi oleh proses
isolasi alginat, melainkan oleh kadar air yang terkandung selama penyimpanan. Diharapkan alginat yang
dihasilkan memiliki kadar susut pengeringan lebih rendah dari 15%. Kadar air menjadi salah satu persyaratan
mutu alginat, karena akan memengaruhi daya simpan produk. Dari hasil tersebut tampak bahwa kadar air yang
dihasilkan tidak berbeda dengan dengan kadar air bahan baku yang digunakan untuk produksi bioetanol yang
digunakan peneliti lain yaitu berkisar antara 7,04–11,16% (Subekti, 2006; Shofiyanto, 2008; Borines et al., 2013
dalam Sari, R.N, dkk, 2013). Kadar air tersebut dijaga agar tidak tinggi (maksimal 14–15%) karena menurut
Loebis (2008) kadar air bahan baku akan berpengaruh pada pertumbuhan kapang, aktivitas enzim, penurunan
porositas, dan laju difusi oksigen.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 5
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.4-9) 978-602-60766-4-9

Hasil Analisa Selulosa


Selulosa merupakan substansi organik yang paling melimpah di alam. Selulosa mendominasi karbohidrat
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hampir mencapai 50% karena selulosa merupakan bagian yang terpenting
dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai microfibril dengan
diameter 2-20 nm dam panjang 100-40000 nm (Wiratmaja, I Gede, dkk, 2011). Penelitian ini dianalisa pula kadar
selulosa yang terkandung pada tepung limbah alginat yang telah diekstraksi menggunakan metode ultrasonik.
Tepung limbah alginat yang telah diekstraksi memiliki rata-rata kadar selulosa yaitu 12,95%. Berdasarkan
penelitian (Horn, 2000; Harvey, 2008; Siddhanta et al., 2011; Santi et al., 2012; Borines et al., 2013 dalam Sari,
R.N, dkk, 2013), kadar selulosa yang dihasilkan tidak berbeda dengan kadar selulosa bahan baku yang digunakan
untuk produksi bioetanol dalam penelitian-penelitian sebelumnya yaitu 3,5– 25,50%. Kadar selulosa yang
dihasilkan juga tidak jauh beda dengan selulosa dari penelitian Sari (2010), dimana dinyatakan bahwa rumput laut
coklat jenis Sargassum sp. yang telah dibuat menjadi tepung memiliki kadar selulosa sebesar 15,80 ± 0,79% .
Kadar selulosa ini dapat mempengaruhi potensi bahan baku yang digunakan untuk memproduksi bioetanol. Kadar
selulosa yang tinggi menunjukkan bahwa bahan tersebut mempunyai potensi untuk diolah lebih lanjut menjadi
gula. Kadar selulosa yang lebih rendah juga dapat menggambarkan besarnya kandungan senyawa lain yang dapat
menghambat proses depolimerisasi dan dekristalisasi selulosa. Hal ini dapat mengakibatkan enzim yang
digunakan dalam proses hidrolisis akan kesulitan dalam mengakses selulosa dan mengubah selulosa menjadi
glukosa.
Hidrolisis Tepung Limbah Alginat
Tahapan ini dilakukan proses hidrolisis dengan memvariasikan jumlah penambahan enzim selulase dan
waktu inkubasi. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, dilakukan analisa untuk memperoleh kurva standar.
Kurva standar dihitung pada konsentrasi 200, 400, 600, 800, dan 1000 ppm. Kurva dapat dilihat pada Gambar 1.
0.8
y = 0.0006x + 0.007
0.6
Absorbansi

R² = 0.9917

0.4
standar
0.2
Linear (standar)
0
0 500 1000 1500
Konsentrasi (ppm)

Gambar 1. Kurva standar

Hasil hidrolisis yang diperoleh setelah pengujian menggunakan alat spektrofotometer dihitung
konsentrasi (ppm) sampel menggunakan persamaan yang diperoleh dari kurva standar pada Gambar 1. hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3. Persamaan yang diperoleh pada kurva standar yaitu y = 0.0006x +
0.007
Tabel 1. Hidrolisis dengan variasi waktu 84 jam
Konsentrasi
Penambahan Enzim Absorbansi
(ppm)
8 U/mg 0,265 430
10 U/mg 0,274 445
12 U/mg 0,363 593,33
14 U/mg 0,334 545
16 U/mg 0,284 461,67
Hasil hidrolisis berdasarkan Tabel 1. di atas, diperoleh hasil tertinggi pada 12 U (0,363). Dapat dilihat
mulai dari penambahan enzim 8 U hingga 12 U, absorbansi mengalami peningkatan. Namun peningkatan terhenti
di 12 U, absorbansi kembali mengalami penurunan pada 14 U dan 16 U. Semakin tinggi konsentrasi enzim maka
substrat yang berikatan dengan lokasi aktif enzim akan semakin banyak sehingga jumlah produk yang dihasilkan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 6
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.4-9) 978-602-60766-4-9

akan semakin banyak (Mauliana, 2015 dalam Zelvi. M, dkk, 2017). Namun jika konsentrasi enzim berlebih, dapat
mengakibatkan penurunan hasil yang diperoleh. Setelah titik optimum, hasil yang diperoleh mengalami
penurunan. Hal ini karena reaksi pada awal meningkat hingga mencapai maksimum dan akhirnya mengalami
penurunan.
Tabel 2. Hidrolisis dengan variasi waktu 96 jam
Konsentrasi
Penambahan Enzim Absorbansi
(ppm)
8 U/mg 0,258 418,33
10 U/mg 0,256 415
12 U/mg 0,557 916,67
14 U/mg 0,236 381,67
16 U/mg 0,253 410

Berdasarkan Tabel 2. di atas, dilihat pula hasil tertinggi yang diperoleh yaitu pada 12 U (0,557). Pada
waktu inkubasi 96 jam ini, berbeda dengan waktu inkubasi 84 jam. Pada waktu inkubasi 96 jam, terjadi
ketidakstabilan hasil yang diperoleh. Dimana pada 8 U dan 10 U mengalami penurunan dan di 12 U mengalami
peningkatan, kemudian pada 14 U mengalami penurunan kembali dan pada 16 U mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan semakin tinggi konsentrasi enzim yang diberikan maka sisi aktif enzim yang berkontak dengan
substrat juga semakin banyak, sehingga semakin banyak pula selulosa yang dihidrolisis menjadi glukosa, akan
tetapi kandungan glukosa yang terlalu banyak menyebabkan inhibisi produk glukosa karena glukosa tersebut akan
menempel pada sisi aktif enzim sehingga luas permukaan enzim yang kontak dengan substrat menjadi lebih
sedikit (Arif A.B, dkk, 2016).
Tabel 3. Hidrolisis dengan variasi waktu 108 jam
Penambahan Enzim Absorbansi Konsentrasi (ppm)
8 U/mg 0,207 333,33
10 U/mg 0,260 421,67
12 U/mg 0,258 418,33
14 U/mg 0,259 420
16 U/mg 0,294 478,33

Berdasarkan Tabel 3. di atas, dilihat pula hasil tertinggi diperoleh pada 16 U (0,294). Pada waktu
inkubasi 108 jam ini, sangat berbeda dengan waktu inkubasi 84 dan 96 jam. Dimana pada waktu inkubasi 84 dan
96 jam diperoleh hasil tertinggi pada 12 U, sedangkan pada waktu inkubasi 108 jam ini diperoleh hasil tertinggi
pada 16 U. Hal ini disebabkan oleh waktu hidrolisis yang terlalu lama, maka akan mengakibatkan gula reduksi
terdegradasi, sehingga menyebabkan konsentrasi gula reduksi menurun dalam proses hidrolisis (Idral et al., 2012
dalam Zelvi. M, dkk, 2017).
Berdasarkan ketiga tabel di atas, dapat dilihat bahwa absorbansi dan konsentrasi (ppm) tertinggi
dihasilkan pada 12 U dengan waktu inkubasi 96 jam. Dari ketiga tabel diatas terlihat penambahan waktu inkubasi
mengakibatkan penurunan hasil yang diperoleh, hal ini disebabkan karena kemungkinan gula yang dihasilkan bisa
berubah menjadi produk lain dikarenakan enzim selulase yang digunakan dalam proses hidrolisis belum murni,
sehingga dapat terjadi reaksi lain yang tidak diketahui.
Setelah hidrolisis, kemudian dilakukan analisa kadar gula reduksi menggunakan metode DNS.
Konsentrasi yang diperoleh, kemudian diubah ke persen dan dikalikan dengan factor pengenceran agar diperoleh
% gula reduksi. Kadar gula reduksi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kadar gula reduksi dengan variasi waktu inkubasi
Penambahan Kadar Gula Reduksi (%)
Enzim Selulase 84 Jam 96 Jam 108 Jam
8 U/mg 3,07 2,99 2,38
10 U/mg 3,18 2,96 3,01

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 7
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.4-9) 978-602-60766-4-9

12 U/mg 4,24 6,55 2,99


14 U/mg 3,89 2,73 3,00
16 U/mg 3,30 2,93 3,42

Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat bahwa kadar gula yang dihasilkan paling tinggi yaitu pada 12 U dengan waktu
inkubasi 96 jam. Hubungan antara absorbansi dengan kadar gula reduksi (%) berbanding lurus. Semakin tinggi
absorbansi yang diperoleh, maka gula reduksi yang dihasilkan juga akan tinggi. Hasil dari penelitian ini diperoleh
waktu inkubasi pada proses hidrolisis dan kadar gula reduksi optimum yaitu 12 U penambahan enzim selulase
pada waktu inkubasi 96 jam, dihasilkan kadar gula reduksi 6,55 %.

4. KESIMPULAN
Kadar gula tertinggi diperoleh pada jumlah penambahan enzim 12 U/mg. Semakin tinggi konsentrasi
enzim yang diberikan maka sisi aktif enzim yang berkontak dengan substrat juga semakin banyak, sehingga
semakin banyak pula selulosa yang dihidrolisis menjadi glukosa, akan tetapi kandungan glukosa yang terlalu
banyak menyebabkan inhibisi produk glukosa karena glukosa tersebut akan menempel pada sisi aktif enzim
sehingga luas permukaan enzim yang kontak dengan substrat menjadi lebih sedikit. Waktu hidrolisis tertinggi
diperoleh pada waktu 96 jam. Waktu hidrolisis yang terlalu lama akan mengakibatkan gula reduksi terdegradasi,
sehingga menyebabkan konsentrasi gula reduksi menurun dalam proses hidrolisis.

5. DAFTAR PUSTAKA
Adhiksana, A, dkk. 2017. Pemanfaatan Ultrasonik dalam Proses Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang dengan
Pelarut Asam Klorida. Politeknik Negeri Samarinda. ISBN:978-602-51450-0-1.
Adini, S, dkk. 2015. Produksi Bioetanol Dari Rumput Laut dan Limbah Agar Gracilaria sp. dengan Metode
Sakarifikasi Yang Berbeda. Journal of BIOMA, ISSN: 1410-8801, Vol. 16, No. 2, Hal. 65 – 75.
Akhtar, MS. 1998. Bioconversion of Cellulosic Materials by the Action of Microbial Cellulases. Thesis. Institute
of Chemistry University of the Punjab.
Alfianto, Lutfi, dkk. 2015. BIO-PROBMAC (Bioethanol Production From Brown Macroalgae): Pemanfaatan
Sargassum crassifolium Sebagai Penghasil Bioetanol untuk Mewujudkan Diversifikasi Energi yang
Terbarukan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Amelia, A. 2012. Pengaruh Variasi Konsentrasi Enzim dan Substrat Terhadap Sakarifikasi Limbah Pengolahan
Kertas Menggunakan Enzim Selulase dari Bacillus sp. BPPT CC RK2. [Skripsi]. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Arif, AB, dkk. 2016. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Enzim Selulase: Xilanase Terhadap Produksi Bioetanol
dari Tongkol Jagung. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian. Volume 13 No.3 Desember 2016 : 107 –
114.
Asmoro, NW, dkk. 2017. Ekstraksi Selulosa Batang Tanaman Jagung (Zea Mays) Metode Basa. Universitas
Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo.
Dela, SDI, 2016. Studi Pembuatan Natrium Alginat dari Sargassum sp Menggunakan Metode Ekstraksi
Modifikasi dengan Penambahan Natrium Karbonat dan Karakterisasinya. Skripsi. Universitas Lampung.
Dini, Isna Rahma dan Ifah Munifah. 2014. Produksi dan karakterisasi Enzim Selulase Ekstrak Kasar dari Bakteri
yang Diisolasi dari Limbah Rumput Laut. Vol. 06, No. 3.
Galbe, M and Zacchi, G. 2002. A Review of the Production of Ethanol from Softwood. Appl Microbiol Biotechnol
(2002) 59:618–628.
Habibah, Firstyarikha. 2015. Produksi Substrat Fermentasi Bioetanol Dari Alga Merah Gracilaria verrucosa
Melalui Hidrolisis Enzimatik Dan Kimiawi. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Karmakar, M and Ray, R.R. 2011. Saccharification of agro wastes by the Endoglucanase of Rhizopus oryzae.
Annals of Biological Research, 2011, 2 (1) : P 201-208.
Keil, F. J. 2007. Modeling of Process Intensification. In Alupului. A., Ioan Calinescu, and Vasile Lavric. 2009.
Ultrasonic Vs. Microwave Extraction Intensification of Active Principles from Medicinal Plants. AIDIC
Conference Series, Vol. 9 2009 page 1-8.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 8
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.4-9) 978-602-60766-4-9

Kristensen, JB. 2009. Enzymatic hydrolysis of lignocellulose Substrate interactions and high solids loadings.
Forest and Landscape Research.
Kuldiloke, J. 2002. Effect of Ultrasound, Temperature and Pressure Treatments on Enzyme Activity and
Quality Indicators of Fruit and Vegetable Juices. Dissertationder Technischen Universität Berlin.
Berlin.
Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Suhartono MT, penerjemah. Jakarta: Erlangga.
Loebis, E. H. 2008. Optimasi Proses Hidrolisis Kimiawi dan Enzimatis Tandan Kosong Kelapa sawit menjadi
Glukosa untuk Produksi Etanol [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lone M. A., Wani M. R., Bhat N. A., Sheikh S. A., and Reshi M. A. 2012. Evaluation of Cellulase Enzyme
Secreted by Some Common and Stirring Rhizosphere Fungi of Juglans Regia L. by DNS Method. Journal
of Enzyme Research, 3(1): 18-22.
Maharani, M.A. dan R.Widayanti . 2010. Pembuatan Alginat Dari Rumput Laut Untuk Menghasilkan Produk
Dengan Rendemen Dan Viskositas Tinggi. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro. 5 hal.
Mahyati. 2014. Biokonversi Lignoselulosa dari Tongkol Jagung (Zea Mays.L) Menjadi Bioetanol Sebagai Bahan
Bakar Alternatif Terbarukan. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Mas’ud, Fajriyati, Zulmanwardi, Leny Irawati. 2016. Optimalisasi Konsentrasi Bahan Kimia untuk Ekstraksi
Alginat dari Sargassum siliquosum. Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1(1):34-39. ISSN2548-4494.
Octavia, S. Soerawidjaja, T.H., Purwadi, R., Putrawan, I.D.G Arsa. 2011. Pengolahan Awal Lignoselulosa
Menggunakan Amoniak untuk Meningkatkan Perolehan Gula Fermentasi. Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia, “Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia”.
Yogyakarta. ISSN 1693-4393.
Sa’adah Zulfatus, dkk. Produksi Enzim Selulase oleh Aspergillus niger Menggunakan Substrat Jerami dengan
Sistem Fermentasi Padat. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP Semarang.
Sari, JR. 2013. Optimalisasi Produksi Gula Reduksi dari Onggok Sebagai Bahan Baku Bioetanol dengan
Praperlakuan Ultrasonikasi. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Sari, RN. 2010. Kajian Proses Produksi Bioetanol dari Rumput Laut Coklat (Sargassum duplicatum). [Tesis].
Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sari, RN, dkk. 2013. Kondisi Optimum Produksi Bioetanol dari Rumput Laut Coklat (Sargassum duplicatum)
Menggunakan Trichoderma viride dan Pichia angophorae. JPB Perikanan Vol. 9 No. 2 Tahun 2014:
121–132.
Thakur, I.S. and Nakagoshi, N. 2011. Production of Biofuels from Lignocellulosic Biomass in Pulp and Paper
Mill Effluent for Low Carbon Society. Journal of International Development and Cooperation, Vol 18,No.
I.P 1-12.
Williams, A.R. 1983. Ultrasound: Biological Effects and Potential Hazards. Academic Press.
Wiratmaja, I Gede, I Gusti Bagus Wijaya Kusuma, I Nyoman Suprapta Winaya/Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol.
5 No.1. April 2011 (75-84)
Woiciechowski, A. L., Nitsche Saul., Pandey Ashok., and Soccol C. R. 2002. Acid and Enzymatic Hydrolysis to
Recover Reducing Sugar from Cassava Baggase: An Economic Study. Brazilian Archieves of Biology and
Technology, An International Journal, 45(3): 393-400.
Zamora, L L., Calderón José Amir González., Vázquez Evangelina Trujillo., and Reynoso Eusebio Bolaños.
2010. Optimization of Ethanol Production Process from Cassava Starch by Surface Response. Journal of
the Mexican Chemical Society, 54(4): 198-203.
Zelvi, M, dkk. 2017. Hidrolisis Eucheuma cottonii dengan Enzim K-Karagenase dalam Menghasilkan Gula
Reduksi untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 27 (1):33-42 (2017).

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi selaku penyandang dana, dan kepada
seluruh staf Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang serta adik-adik mahasiswa atas semua
bantuannya dilaboratorium.
Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 9
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.10-15) 978-602-60766-4-9

EKSTRAKSI MINYAK BEKATUL PADI METODE MASERASI DENGAN PELARUT


ETANOL

Fajriyati Mas’ud1), Sri Indriati1), Abigael Todingbua’1), Fajar1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Rice bran oil was extracted from rice bran that can be used as high-quality edible oil, it contains antioxidant, so that it can
be used as raw material oil-based functional food, cosmetic and pharmacy products. In the extraction process, the yield of
the rice bran oil is strongly influenced by the concentration and amount of solvent, so that in this study, the effect of 76%,
86%, and 96% and 200 mL, 300 mL, 400 mL, 500 mL, 600 mL, and 700 mL etanol for every 100 g of bran was studied.
The extraction process was carried out by maceration method with stirring for 5 h at room temperature. The results
showed that the best concentration and amount of ethanol to extract rice bran oil were 86% and 600 mL, respectively.
The analysis of fatty acid composition of rice bran oil showed that the dominant extracted were saturated fatty acids
group.

Keywords: Solvent extraction, leaching, maceration, ethanol, fatty acid.

1. PENDAHULUAN
Bekatul padi merupakan lapisan dalam kulit padi yang berbatasan dengan endosperma berpati dan
merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi dan penyosohan beras. Bekatul bersama dengan
lembaga terpisah selama penggilingan dan penyosohan padi untuk tujuan estetika, sifat sensori dan daya
tahan beras (Van der Kamp, dkk., 2014). Bekatul padi mengandung minyak dan sejumlah senyawa fitokimia
seperti senyawa fenolik, vitamin, derivatif steroid, polisakarida dan protein (Patel, 2015).
Minyak bekatul padi diperoleh dari hasil ekstraksi bekatul padi, mengandung beberapa jenis asam lemak
yaitu sekitar 47% lemak tidak jenuh tunggal, 33% lemak tidak jenuh jamak, dan 20% asam lemak jenuh.
Minyak bekatul memiliki aroma dan tampilan yang baik serta nilai titik asap yang cukup tinggi yaitu sekitar
254oC. Minyak ini merupakan minyak terbaik dibanding minyak kelapa, minyak sawit maupun minyak
jagung sebab memiliki titik asap yang paling tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya (Hadipernat, 2007).
Minyak bekatul padi mengandung asam lemak dalam rasio yang optimal untuk kesehatan manusia menurut
rekomendasi WHO, yaitu sekitar 1:2.2:1.5 untuk asam lemak jenuh : asam lemak tidak jenuh tunggal : asam
lemak tidak jenuh jamak, terutama mengandung asam oleat 36-38%, linoleat 35-38% dan α-linolenat 1.8-
2.4% yang merupakan asam lemak tak jenuh, serta asam palmitat 21-25% dan stearat 2.7-3.0% yang
merupakan asam lemak jenuh (Bopitiya and Madhujith, 2014). Tiga asam lemak utama terdiri dari palmitat,
oleat dan linoleat dengan kisaran kandungan asam lemak berturut-turut adalah 12-18%, 40-50%, dan 20-
42%. Komponen lainnya adalah digliserida 2-3%, monogliserida 5-6%, asam lemak bebas 2-3%, wax 0,3%,
glikolipid 0,8%, pospolipid 1,6%, dan senyawa tak tersabunkan 4% (Luh, 2005). Selain itu, minyak
bekatul padi juga mengandung senyawa fitokimia dalam konsentrasi yang tinggi, dan mempunyi aktivitas
sebagai antioksidan alami, terutama α, β, γ, δ tokoferol dan tokotrienol, serta fraksi oryzanol (Xu dkk.,
2001).
Berdasarkan data-data tersebut, maka studi terkait bekatul padi kini diarahkan untuk mengkaji proses
ekstraksinya yang optimum, yang dapat menghasilkan rendemen minyak yang tinggi dengan biaya yang
murah. Beberapa metode telah dilakukan, namun masih memiliki keterbatasan utamanya terkait biaya yang
mahal, sehingga metode maserasi dengan berbagai pelarut terus dicobakan. Penelitian ini penting dilakukan
mengingat kebutuhan yang tinggi akan tersedianya pangan fungsional yang bersumber dari minyak bekatul
padi yang mampu mengatasi penyakit-penyakit degeneratif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
jumlah dan konsentrasi pelarut etanol terbaik pada ekstraksi minyak bekatul padi. Metode ekstraksi dilakukan
dengan maserasi disertai pengadukan yang konstan pada suhu ruang.

2. METODE PENELITIAN

1
Korespondensi penulis: Fajriyati Mas’ud, Telp 081355033369, fajri888@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 10
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.10-15) 978-602-60766-4-9

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Dasar dan Kimia Analisis, Jurusan Teknik Kimia,
Politeknik Negeri Ujung Pandang pada bulan April hingga Oktober 2018.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu autoclave Hiclave HV-85 merk HIRAYAMA,
oven pengering Ecocell, sieving, talang, wadah plastik, timbangan analitik, hot plate, stirrer, refrigerated
centrifuge AX-521, rotavapor Buchi R-215 yang dilengkapi vacuum pomp V-700, botol sampel, dan alat-
alat gelas.
Bahan-bahan yang digunakan adalah bekatul padi dari varietas Ciliwung yang diperleh dari
penggilingan padi rakyat di Makassar, serta pelarut etanol 96% yang diperoleh dari toko bahan kimia di
Makassar. Semua bahan kimia yang digunakan untuk analisis dan pereaksi berasal dari Merck, Jerman.
Standar metil ester asam lemak berasal dari Supelco Inc., Bellefonte, PA (Supelco 37 Component FAME
Mix). Penelitian dilakukan melalui preosedur sebagai berikut : Bekatul padi yang baru terpisah dengan beras
segera distabilisasi pada autoklaf 110oC selama 5 menit untuk menonaktifkan lipase penyebab ketengikan dan
untuk melunakkan jaringan bekatul guna memudahkan proses ekstraksi minyak. Selanjutnya dikeringkan pada
oven 40oC selama 5 jam. Bekatul kering diayak 60 mesh dan dikemas dalam wadah plastik bertutup
menunggu proses ekstraksi. Proses ekstraksi minyak bekatul padi dilakukan dengan menimbang bahan 100 g
pada setiap perlakuan dan dimasukkan dalam Erlenmeyer 1000 mL, selanjutnya ditambahkan pelarut etanol
masing-masing sebanyak 200, 300, 400, 500, 600, dan 700 mL. pada perlakuan konsentrasi etanol digunakan
etanol 76%, 86%, dan 96%. Ekstraksi berlangsung pada 200 rpm selama 5 jam. Selanjutnya bagian padatan
dan cairan dipisahkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit, minyak dengan etanol
dipisahkan pada rotavapor yang bekerja pada kondisi kecepatan putaran 60 rpm, suhu pemanasan 35oC, dan
suhu penguapan 21oC, sehingga persentase perolehan minyak (b/b) dapat diketahui menggunakan rumus:

( )
%= 100%
( )

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Bekatul padi merupakan bahan yang berbentuk serbuk, sementara etanol yang digunakan sebagai
pelarut berwujud cair sehingga proses ekstraksi yang berlangsung tergolong ekstraksi padat-cair atau lebih
dikenal dengan istilah leaching. Leaching adalah proses pemisahan suatu zat terlarut yang terdapat dalam
suatu padatan dengan mengontakkan padatan tersebut dengan pelarut sehingga padatan dan pelarut
bercampur dan kemudian zat terlarut terpisah dari padatan karena larut dalam pelarut. Pada ekstraksi padat
cair terdapat dua fase yaitu fase overflow (ekstrak) dan fase underflow (rafinat/ampas) (Bopitiya dan
Madhujith, 2014). Pelarut etanol yang digunakan memiliki titik didih yang rendah dan relatif aman, tidak
beracun dan tidak berbahaya. Etanol juga memiliki kepolaran yang tinggi sehingga mudah untuk melarutkan
senyawa asam lemak, dan beberapa senyawa orgain lainnya (Munawarah dan Handayani, 2010).
Pada penelitian ini metode ekstraksi minyak bekatul padi yang diterapkan adalah metode maserasi
disertai pengadukan pada suhu ruang, bertujuan untuk memisahkan minyak dan beberapa komponen dari
bekatul padi menggunakan pelarut etanol. Pemisahan tejadi atas dasar kemampuan melarut yang berbeda dari
komponen-komponen dalam bekatul padi. Ekstraksi berlangsung secara sistematik selama waktu tertentu
dengan menggunakan pelarut etanol. Minyak hasil ekstraksi mempunyai keunggulan yaitu mempunyai bau
yang mirip bau alamiah (Luh, 2005). Pada proses ekstraksi, beberapa parameter yang berpengaruh terhadap
rendemen antara lain adalah jumlah pelarut dan konsentrasi pelarut.
Pengaruh konsentrasi etanol
Menurut Diem dkk., semakin tinggi konsentrasi pelarut, maka semakin besar rendemen yang dapat
terekstrak (Diem dkk., 2014). Menurut Shadmani, semakin tinggi konsentrasi etanol maka semakin rendah
tingkat kepolarannya, karena air lebih polar daripada etanol, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kemampuan pelarut dalam mengekstrak minyak yang juga bersifat kurang polar (Shadmani, 2004).
Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 86% cenderung
memberikan hasil rendemen minyak yang lebih besar jika dibandingkan dengan etanol 76% dan 96%.
Menurunnya rendemen minyak yang diperoleh pada penggunaan pelarut 96% diduga karena air yang
terkandung pada sampel bekatul padi membentuk azeotrop dengan etanol, sehingga sifat-sifat etanol yang
berhubungan dengan kemampuannya melarutkan minyak akan menurun. Hal lain yang dapat terjadi adalah
adanya protein yang terkandung pada sampel bekatul padi yang terkoagulasi oleh etanol konsentrasi tinggi,
sehingga dapat menghalangi penetrasi pelarut untuk masuk ke matriks bekatul padi. Penurunan rendemen
minyak yang diperoleh pada etanol 96% juga dapat diduga karena adanya komponen-komponen lain non

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 11
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.10-15) 978-602-60766-4-9

minyak yang terlarut ke dalam pelarut, karena etanol memiliki dua gugus fungsi yang berbeda tingkat
kepolarannya, yaitu gugus hidroksil (OH) yang bersifat polar dan gugus alkil (-R) yang bersifat non polar.

Hubungan konsentrasi etanol (%) terhadap rendemen


minyak (%)
8
7.51
6.73
6 5.78
5.24
4

0
0 20 40 60 80 100 120

Rendemen minyak (%)

Gambar 1. Hubungan konsentrasi etanol (%) terhadap rendemen minyak (%)

Pengaruh jumlah pelarut etanol


Pengaruh jumlah pelarut terhadap rendemen minyak bekatul padi yang diperoleh dapat dilihat pada
Gambar 2. Dapat dijelaskan bahwa secara umum semakin banyak jumlah etanol maka rendemen minyak
semakin tinggi hingga mencapai jumlah tertentu, namun selanjutnya penambahan jumlah etanol justru
diperoleh rendemen minyak yang menurun. Rendemen minyak tertinggi diperoleh pada jumlah etanol 600
mL atau rasio padatan dengan pelarut 1:6, pada kondisi ini diperoleh rendemen sebesar 7,51%. Jumlah pelarut
etanol sangat berpengaruh terhadap rendemen minyak, semakin banyak jumlah pelarut etanol semakin banyak
pula jumlah minyak yang diperoleh, hal ini disebabkan oleh distribusi bahan dalam pelarut semakin menyebar,
sehingga memperluas bidang kontak antara bahan dan pelarut, selain itu perbedaan konsentrasi minyak dalam
pelarut dan padatan juga semakin besar (Munawaroh et al., 2010). Jika jumlah pelarut ditambah maka
persentase perolehan minyak sudah menurun, hal tersebut terkait dengan kemampuan pelarut sudah
mencapai titik jenuh untuk mengekestraksi minyak.

Hubungan jumlah etanol (mL) terhadap rendemen


minyak (%)
8
7.51
6.54 6.67
6 6.12
5.53
4 3.96

0
0 100 200 300 400 500 600 700 800

Rendemen minyak (%)

Gambar 2. Grafik hubungan jumlah etanol (mL) terhadap rendemen minyak (%)

Pada proses ekstraksi minyak dengan pelarut, perpindahan massa minyak dari dalam padatan ke
pelarut dapat melalui tahapan difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan, dan perpindahan massa
minyak dari permukaan padatan ke pelarut. Operasi ekstraksi padat cair dapat dilakukan dengan cara
mengontakkan padatan dan pelarut sehingga diperoleh larutan yang diinginkan yang kemudian dipisahkan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 12
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.10-15) 978-602-60766-4-9

dari padatan sisanya. Pada saat pengontakkan terjadi, mekanisme yang berlangsung adalah peristiwa
pelarutan dan difusi.
Pelarutan merupakan peristiwa penguraian suatu molekul zat menjadi komponennya, baik berupa
molekul-molekul, atom-atom maupun ion-ion, karena pengaruh pelarut cair yang melingkupinya. Partikel-
partikel yang terlarutkan ini berkumpul dipermukaan antara padatan (interface) dan terlarut. Bila peristiwa
pelarutan masih terus berlangsung, maka terjadi difusi partikel-partikel zat terlarut dari lapisan antara fase
menembus lapisan permukaan pelarut dan masuk ke dalam badan pelarut dimana zat terdistribusikan
merata. Jadi difusi terjadi dari fase padat diikuti difusi ke fase cair. Peristiwa ini terus berlangsung hingga
keadaan kesetimbangan tercapai. Dalam peristiwa ekstraksi padat cair, perpindahan massa solut dari dalam
padatan ke cairan melalui dua tahapan pokok, yaitu difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan
perpindahan dari dalam padatan ke permukaan padatan dan perpindahan massa permukaan padatan ke
cairan.
Menurut Jayanudin et al., (2014), bahwa distribusi pelarut ke padatan akan sangat berpengaruh pada
perolehan minyak, perbandingan antara padatan dengan pelarut akan mempengaruhi rendemen yang
dihasilkan. Banyaknya pelarut mempengaruhi luas kontak padatan dengan pelarut, semakin banyak pelarut
maka luas bidang kontak akan semakin besar, sehingga distribusi pelarut ke padatan akan semakin
besar. Meratanya distribusi pelarut ke padatan akan memperbesar rendemen yang dihasilkan,
banyaknya pelarut akan mengurangi tingkat kejenuhan pelarut, sehingga komponen yang diinginkan akan
terekstrak dengan sempurna.
Komposisi asam lemak minyak bekatul padi
Analisis asam lemak pada makanan sangat penting karena implikasi nutrisi dan pengaruhnya terhadap
kesehatan. Menurut Vercellotti et al., (1992) bahwa karakteristik fisik dan kimia minyak dan lemak sangat
dipengaruhi oleh jenis dan proporsi asam lemak pada triasilgliserol penyusunnya. Kandungan asam lemak dan
rasio asam lemak jenuh dan tidak jenuh merupakan parameter penting untuk menentukan nilai gizi minyak,
karena kecenderungan terbaru dalam industri pengolahan makanan yakni menginformasikan komposisi asam
lemak dalam produknya. Penting untuk mengetahui komposisi asam lemak dari minyak atau lemak, untuk
mengidentifikasi karakteristiknya, dan untuk menentukan kemungkinan pemalsuan, serta untuk mengetahui
sifat stabilitas dan sifat fisikokimia minyak (Vercellotti et al., 1992). Komposisi asam lemak minyak bekatul
padi varietas Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa kelompok asam lemak jenuh lebih
dominan meskipun komposisinya lebih kecil.

Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak bekatul padi varietas Ciliwung


Asam lemak Nomor Struktur kimia Grup Ekstrak etanol
(ppm)
Laurat C12:0 CH3(CH2)10COOH Asam lemk jenuh 4,78
Miristat C14:0 CH3(CH2)12COOH Asam lemk jenuh 2,22
Valerat C15:0 CH3(CH2)13COOH Asam lemk jenuh 6,34
Palmitat C16:0 CH3(CH2)14COOH Asam lemk jenuh 0,03
Palmitoleat C16:1 Asam lemk tidak 0,03
jenuh tunggal
Stearat C18:0 CH3(CH2)16COOH Asam lemk jenuh 1,81
Oleat C18:1 CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH Asam lemk tidak 9,55
jenuh tunggal
Linoleat C18:2 Asam lemk tidak 3,52
jenuh ganda

Arakhidat C20:0 CH3(CH2)18COOH Asam lemk jenuh 0,03


Behenat C22:0 CH3(CH2)20COOH Asam lemk jenuh 0,05
Trikosanoat C23:0 CH3(CH2)21COOH Asam lemk jenuh 0,02
Lignokerat C24:0 CH3(CH2)22COOH Asam lemk jenuh 0,01

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 13
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.10-15) 978-602-60766-4-9

Oleic acid

Gambar 3. Kromatogram komposisi asam lemak minyak bekatul padi hasil ekstraksi dengan pelarut etanol

Terkait dengan pelarut minyak, Ketaren (1986) menyatakan bahwa asam lemak rantai pendek lebih dapat
diekstraksi dalam etanol, dan kelarutan dalam etanol bergantung pada panjang rantai, Semakin panjang rantai
karbon, semakin sulit untuk larut. Asam lemak tidak jenuh lebih mudah larut dalam pelarut non polar
dibanding asam lemak jenuh dengan rantai karbon yang sama. Asam lemak yang memiliki tingkat kejenuhan
yang tinggi akan lebih mudah larut dari pada asam lemak dengan tingkat kejenuhan yang rendah.
Orsavova dkk., (2015), menyatakan bahwa komponen dan komposisi asam lemak dalam minyak
bervariasi tergantung pada sumber minyak, dan proses teknologi yang digunakan untuk ekstraksi minyak,
masing-masing minyak nabati memiliki distribusi asam lemak tertentu tergantung pada sumber tanaman,
sehingga masing-masing jenis minyak memiliki dampak kesehatan yang berbeda pada manusia. Kesehatan
manusia bisa ditentukan oleh asam lemak yang dikonsumsinya, karena asam lemak memiliki efek yang
berbeda terhadap kesehatan manusia dan risiko penyakit yang bisa diakibatkannya.
Sehubungan dengan potensi minyak bekatul padi dikembangkan sebagai pangan fungsional berdasarkan
komposisi asam lemaknya, Wilson dkk., (2000) menyatakan bahwa minyak bekatul padi dapat membantu
mengurangi kolesterol jahat, karena profil asam lemaknya dan jumlah senyawa tidak tersabunkan yang tinggi.
Kandungan asam lemak tidak jenuh ganda yang tinggi pada minyak bekatul padi menunjukkan sifat
pencegahan trombosis, pencegahan penyakit kardiovaskular, pengurangan kolesterol dalam serum, pelebaran
pembuluh darah, pencegahan kanker dan regulasi saraf otonom.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan ditulis dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pada ekstraksi minyak bekatul padi metode maserasi disertai pengadukan selama 5 jam, maka jumlah
pelarut yang terbaik untuk memperoleh rendemen minyak yang tinggi yaitu sebanyak 600 mL untuk 100 g
sampel dengan konsentrasi etanol 86%.
2) Pada penggunaan pelarut etanol, asam lemak penyusun minyak bekatul padi yang dominan adalah dari
grup asam lemak jenuh, sedangkan jenis asam lemak yang dominan adalah oleat, valerat, laurat, dan
linoleat
3) Berdasarkan komposisi asam lemak, minyak bekatul padi dapat dijadikan sebagai bahan baku pangan
fungsional berbasis minyak

5. DAFTAR PUSTAKA
Bopitiya, D., T. Madhujith. 2014. Antioxidant potential of rice bran oil prepared from red and white rice.
Tropical Agricultural Research Vol. 26 (1):1-11
Diem Do, Q. Artik, E, Phoung, L. dkk. 2014. Effect of Extraction Solvent on Total Phenol Content, Total
Flavonoid Content, and Antioxidant Activity of Limnophilia Arimatica. Journal of Food and Drug
Analisis, 22, hal 296-302.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 14
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.10-15) 978-602-60766-4-9

Hadipernata M., 2007. Mengolah dedak menjadi minyak (rice bran oil). Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian;
29(4):8-10.
Jayanudin, Ayu Zakiyah Lestari, dan Feni Nurbayanti, 2014. Pengaruh suhu dan rasio pelarut ekstraksi
terhadap rendemen dan viskositas natrium alginate dari rumput laut coklat (Sargassum sp). Jurnal
Integrasi Proses Vol. 5, No. 1: 51 – 55.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan, Ed. 1 Jakarta: Universitas Indonesia press. ISBN: 979-8034-
05-8.
Luh, B.S., 2005. Rice: Production and Utilization, AVI Publishing Company, Inc., USA, 1980.
Munawaroh, Safaatul dan Handayani Prima Astuti, 2010. Ekstraksi minyak daun jeruk purut (Citrus hystrix
D.C.) dengan Pelarut etanol dan N-Heksana. Jurnal Kompetensi Teknik, 2 (1): 73-78.
Omid, Pourali., SA. Feridoun, Y. Hiroyuki. 2009. Simultaneous rice bran oil stabilization and extraction
using sub-critical water medium. Journal of Food Engineering 95, 510-516. doi :
10.1016/j.jfoodeng.2009.06.014.
Orsavova, J., L. Misurcova, JV. Ambrozova. 2015. Fatty Acids Composition of Vegetable Oils and Its
Contribution to Dietary Energy Intake and Dependence of Cardiovascular Mortality on Dietary Intake
of Fatty Acids. International Journal of Molecular Sciences, 16(6): 12871-12890.
Doi:10.3390/ijms160612871.
Production of phenolic compounds from rice bran biomass under subcritical water conditions. ScienceDirect.
Chemical Engineering Journal, 160: 259-266.
Seema Patel. 2015. Cereal bran fortified-functional foods for obesity and diabetes management:
Triumphs, hurdles and possibilities. ScienceDirect, Journal of F unctional F oods 14: 255-269.
Shadmani, A., Azhar, I., Mazhar, F,. Hassan, M.M., Ahmed, S.W., Ahmad, I., Usmanghani, K.,
and Shamim, S., 2004. Kinetic Studies On Zingiber Officinale, Pakistan Journal of
Pharmaceutical Sciences, 17, hal 47-54.
Van der Kamp, J. W. , Poutanen, K., Seal, C. J., and Richardson, D.P. 2014. The Health grain definition of
“whole grain. Food & Nutrition Research, 58
Wilson, TA., LM. Ausman, CW. Lawton. 2000. Comparative cholesterol lowering properties of vegetable
oils: beyond fatty acids, Journal of the American College of Nutrition, 19(5): 601-607.
Doi:10.1080/07315724.2000.10718957.
Xu Z, Hua N, Godber JS., 2001. Antioxidant activity of tocopherols, tocotrienols and γ-oryzanol
components from rice bran against cholesterol oxidation accelerated by 2,2’-azobis(2-
methylpropionamidine) dihydrocholoride. Journal Agric. Food Chem.; 49: 2077-81.

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengmbangan
Kemenristek DIKTI yang telah mendanai penelitian ini.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.16-21) 978-602-60766-4-9

KARAKTERISTIK FENOTIP DAN GENOTIP MIKROSIMBION SPONS NIPHATES SP


SEBAGAI BIOMATERIAL POTENSIAL PENDEGRADASI POLI AROMATIK
HIDROKARBON
Ismail Marzuki1), Sinardi1), Asmeati2)
1)
Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Fajar, Makassar
2)
Dosen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Fajar, Makassar

ABSTRACT

Sponges are often used as a reference for pollutant bioindicators, (pollution of heavy metals and poly aromatic
hydrocarbons. Porosity of the sponge body is used as host microorganisms, especially bacteria and fungi. Phenotypic
characterization and symbiotic genotypes of Niphates sp. molecular rRNA gene 2 of Nephates sp as symbionts isolates
showed a positive reaction to methyl red (acid producer), VR, citrate (has a genetic carrier enzyme), lactose and catalase
(acidic). This data shows that both isolates of Niphates sp can make carbon as a nutrient source of energy: Genotypic
analysis of 2 isolates of Nephates sp in the phases of amplification and alignment of the sample gene homolog series on
the Bank gene concluded that the 2 isolates were Bacillus cohnii strain DSM 6307 (BC) and Bacillus pumilus strain
GLB197 (BP). (Fenantrena) shows growth cell cells based on parameters of increased optical density, gas bubbles
formed, changes in media pH and fermentation odor arises.

Keywords: sponge, microsymbiont, phenotype, genotype, biodegradation, PAH

1. PENDAHULUAN
Populasi, sebaran dan jenis spons Indonesia mencapai 65 % dari potensi dunia. Spons salah satu
kekayaan laut, harus bermanfaat tinggi untuk kemaslahatan ummat manusia terutama sebagai sumber
pengetahuan dan penghasil senyawa spesifik berpotensi bahan primer dan sekunder untuk obat dan kosmetik,
produsen dan kemampuan symbiosis berbagai macam mikroorganisme yang memiliki dua fungsi utama, yakni
sebagai biodegradator PAH dan bioabsoprsi logam berat. Patut disayangkan karena potensi besar kekayaan
hayati dalam pemanfaatannya di Indonesia belum maksimal sebagai sumber pengetahuan baru dan
pemanfaatan sebagai sumber material tertentu. Eksplorasi dan eksploitasi spons di Indonesia baru tahap
identifikasi, karakterisasi, isolasi, serta ekstrasi komponen kimia untuk tujuan tertentu dan sebagai objek pada
destinasi wisata.
Beberapa metode yang telah diterapkan dalam penanganan limbah sludge minyak bumi termasuk jika
terjadi insiden tumpahan minyak bumi akibat kecelakaan kapal tanker, kebocoran pipa distribusi minyak bumi,
kegiatan transportasi laut dan darat dan sumber lainnya, seperti metode fisika (hanya mmperlambat sebaran
limbah, tidak mengurangi sifat racun), kimia (biaya yang mahal dan efek negatif bagi organisme lain
sekitarnya) dan biologi (membutuhkan waktu cukup lama, hanya untuk skala kecil dan produk hasil olahan
bersifat sementara), sehingga disimpulkan bahwa metode fisika, kimia dan biologi kurang efisien digunakan
dalam menangani pencemaran limbah PAH, (Abubakar, 2009; Tam et al., 2008)
Tingkat kehidupan berbagai biota laut dan terumbu karang sebagai bioindikator tingkat pencemaran
yang terjadi di laut. Jenis pencemaran yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup berbagai biota
dan terumbu karang adalah pencemaran logam berat, hidrokarbon khususnya golongan Poli Aromatik
Hidrokarbon (PAH) dan akumulasi sampah plastik, gangguan kekeruhan akibat pergerakan arus laut, dasar
laut yang berlumpur atau mungkin karena adanya perubahan fisik area laut oleh reklamasi serta masalah
penggunaan bahan peledak dalam melakukan penangkapan ikan di laut. Biota seperti spons sangat sangat
terganggu oleh kekeruhan dan tumpukan sampah plastik, karena kebanyakan populasi spons pada wilayah laut
dangkal. Pencemaran logam berat pada tingkat tertentu dan akumulasi PAH karsinogenik dan mutagenik tetap
berdampak buruk terhadap kehidupan spons, meskipun pada tubuh spons diduga mengandung zat menyerupai
perilaku enzim yang dapat bertindak sebagai bioabsoprsi beberapa jenis logam berat dan juga mampu sebagai
biodegradator komponen kimia hidrokarbon, (Marzuki et al. 2014a; Syakti et al., 2013).
Kemampuan simbion spons merombak struktur hidrokarbon menimbulkan berbagai pertanyaan kritis
ilmiah sebagai bagian dari permasalahan penelitian yang memerlukan pemecahan, diantaranya: 1) spesies
spons dan jenis mikrosimbion yang dapat mendegradasi hikrokarbon, 2) bagaimana mekanisme degradasi

1
Korespondensi penulis: Ismail Marzuki, Telp 081241011873, ismailmz@unifa.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 16
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.16-21) 978-602-60766-4-9

yang terjadi, 3) kecepatan mikrosymbion tersebut dalam merombak komponen kimia hidrokarbon, 4) kondisi
yang dibutuhkan untuk terjadinya proses degradasi spons/mikrosimbion dalam mereduksi sifat toksik
hidrokarbon. Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan melakukan sejumlah analisis sebagai tujuan
penelitian yakni: menentukan spesies mikrosimbion, mekanisme degradasi, kecepatan proses degradasi dan
parameter yang menentukan degradasi dapat berlangsung maksimal. Kajian degradasi PAH menggunakan
mikrosymbion urgen dilakukan mengingat bahwa beberapa jenis PAH bersifat karsinogenik, mutagenik dan
toksisitas tinggi, sehingga sangat membahayakan kehidupan terhadap biota laut dan dapat terakumulasi hingga
masuk dalam siklus rantai makanan yang akhirnya dapat menjadi masalah kronik terhadap kesehatan manusia.
Potensi ancaman yang dapat timbul akibat percemaran PAH baik dilaut maupun pada daratan, sehingga
penelitian ini sangat urgen untuk dilakukan, terlebuh lagi bahwa populasi spons Indonesia cukup besar
termasuk spons pada Kepulauan Spermonde khsusnya sekitar kepulauan Selat Makassar. Degradasi
hidrokarbon dengan memanfaatkan mikroorganisme sebelumnya telah dilakukan menggunakan isolat dari
mangrove, (Marzuki et al., 2015b; 2015c; Syakti, et at., 2013; Tam N.F.Y., Wong, 2008), sedangkan spons
sebagai bioindikator pencemaran banyak dilakukan sebelumnya, (Venkateswara et al., 2009)

2. METODE PENELITIAN
a. Material dan peralatan
Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat spons Niphates sp, Media NA, reagen uji
biokimia standar, CH3OH pa, air laut steril, Phosphate Buffer Saline (PBS), Sea Water Complit (SWC),
marine agar (MA), 25% gliserol, mikro-simbion sponge isolat, formalin 4%, Aqubides, ddH2O, chelex 20%,
sepasang sekuens primer universal gen 16S rRNA E. coli: FP-U1 (5'-CCAGCAGCCG CGGTAATACG-3')
pada nucleotides 518-537, dan RP-U2 adalah (5'-ATCGG (C/T) TACCTTGT TACGACTTC-3') sesuai
dengan nukleotida 1513-1491, DNA template, Taq DNA polymerase (Perkin-Elmer, Norwalk, Conn) , PCR
Mix, Triton X-100, Tris, EDTA, HCl, KCl, MgCl2, parafin, tripofosfat deoxynucleoside, gel poliakrilamida,
agarose, Ethidium Bromide, dichloromethana GR merck, methanol, Fenantrena GR, standar iso-oktan
konsentrasi 691 ug/mL (CA540-84-1 ), standar TCL PAH 16 2000 μg/mL, Stone Mineral Salt Solution
(SMSS): komposisi 1,8 g K2HPO4; 1,2 g KH2PO4; 4,0 g NH4Cl; 0,2 g, MgSO4.7H2O; 0,1 g NaCl; 0,01 g
FeSO4.7H2O; dan 1.000 mL air suling), 0,9% NaCl fisiologis.
Peralatan yang digunakan: pisau bedah, tang, pial, mikroskop haemositometer, cangkir porselen,
mortir dan alu, blender, seperangkat gelas, bunsen, keseimbangan analitis, hot plate, hisap karet, Whatman,
oven, freezer, botol BOD, termometer, ose bulat, effendorf 1,5 mL tabung, vortex shaker, disentrifugasi 1000
rpm, 4000 rpm dan 10.000 rpm, sendok media, pengaduk, compactor container gel, kertas pH universal,
salinometer, stop watch, aliran air laminer (LAF), autoclove, filter 0.2 lm, mesin PCR (Biorad), program
Bioedit, MAS-100 (Microbio-logical Air Sampler), mikropipet, filter ujung, pengendara sepeda gen, gel doc,
dan elektroforesis.

b. Tahapan Aktivitas Penelitian


Metode yang diterapkan dalam pencapaian tujuan penelitian dengan melakukan tahapan kegiatan
pemilihan spons Niphates sp hasil analisis fisiologi dan morfologi, isolasi mikrosimbion, analisis morfologi
isolat, kultur simbion, analisis genotip, pembuatan suspensi simbion dan kontak suspensi simbion dengan
jenis PAH tertentu untuk melihat kinerja simbion dan pengamatan terhadap parameter degradasi yang terjadi,
lebih ringkas disajikan dalam Gambar 1. Diagram Alir, sebagai berikut:

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 17
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.16-21) 978-602-60766-4-9

Gambar 1. Diagram alir tahapan dan Aktivitas Penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Analisis Fenotip Mikrosimbion Spons
Pemilihan isolat dari spons didasarkan pada morfologi dilokasi habitatnya yakni spons yang pada
bagian tubuhnya tertutup oleh lendir dengan alasan bahwa lendir yang diproduksi oleh spons sebagai bentuk
mempertahankan diri dari ancaman predator termasuk pencemaran PAH. Niphates sp adalah salah satu spons
yang seluruh permukaan tubuhnya tertutup oleh lendir. Jumlah isolat dari Niphates sp ada 2 jenis, keduanya
merupakan isolat gram negatif berbentuk basil memanjang (isolat 1) dan basil tidak memanjang (isolat 2).
Hasil analisis fenotip kedua simbion Niphates sp yakni bereaksi positif dengan kaldu laktosa dalam media
fermentasi menunjukkan bahwa kedua isolat bersifat asam, demikian pula hasil reaksi positif pada uji katalase
dalam media NA miring. Reaksi positif pada uji sitrat menggambarkan bahwa isolat tersebut memiliki enzim
pembawa sifat genetic. Hal yang sama diperoleh rhasil reaksi positif terhadap reagent MR dan VR, yang
berarti bahwa kedua isolat bersifat asam, (Marzuki et al., 2014b; 2016; Ismet et al., 2011; Hamzah et al.,
2010; Ijah, 2008).

b. Analisis Genotip Mikrosimbion Spons


Analisis genotip isolat Niphates sp dilakukan dengan cara amplifikasi sel menggunakan metode
Polimerase Chain Reaction (PCR) dimaksudkan melihat susunan dan jumlah gen kedua isolat spons dengan
mensejajarkan homolog gen sampel terhadap gen Bank melalui analisa BLAST (Basic Local Alignment
Search Tool). Ringkasan hasil BLAST disajikan dalam Tabel 1, berikut:

Tabel 1. Hasil BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) Bakteri


Sekuen Identitas Signifikansi
No Sampel Sekuen GenBank
Sampel (%) (%) Spesies
1 2 3 4 5 6 7
608.723-609.672 911/951 40/951 Bacillus cohnii strain
1 Isolat 1 21-910 (949) (96,90%) (4,10%) DSM 6307 (BC)
541-1477 922/956 34/956 Bacillus pumilus strain
2 Isolat 2 15-913 (936) (96,45%) (3,55%) GLB197 (BP)

Hasil pensejajaran dengan membandingkan sekuen sampel terhadap sekuen gen bank dengan
identitas masing-masing isolat pertama: 911/951(96,90%) dan isolat kedua 922/956 (96,45%),

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 18
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.16-21) 978-602-60766-4-9

menunjukkan bahwa kedua isolat tersebut merupakan golongan basilus dengan spesifikasi dan strain
seperti pada Tabel 1 kolom 7, (Marzuki et al., 2015; 2014a; Alamri, 2012; Abubakar, 2011; Cai et al.,
2007).

c. Komposisi Media Degradasi Suspensi Simbion Niphates sp


Komposisi suspensi isolat simbion Niphates sp yang digunakan sebagai media untuk melihat
aktivitas pertumbuhan sel dalam media terkontaminasi Fenantrena dapat dilihat dalam Tabel 2, berikut:

Tabel 2. Komposisi dan Kondisi Media Uji Pertumbuhan/aktivitas Sel dalam limbah PAH oleh
Mikrosymbion Niphates sp
Uraian komponen Jenis bakteri simbion Spons Niphates sp
No media BC BP PS K. Negatif
1 Media pertumbuhan SMSS SMSS SMSS SMSS
2 V. media
10 mL 10 mL 10 mL 10 mL
pertumbuhan
3 Jumlah sel bakteri 4,8.103 3,3.104 1,5.101sel/m
0 sel/mL
sel/mL sel/mL L
4 Volume suspensi 10 mL 10 mL 10 mL 10 mL
5 pH media 7 7 6,5 7
6 Temperatur kerja Suhu kamar suhu kamar suhu kamar suhu kamar
7 Waktu kontak 25 hari (setiap 5 hari dilakukan pengukuran)
8 Kondisi kerja aseptik aseptik aseptik aseptik

Pengamatan aktivitas sel isolat dalam media degradasi terkontaminasi penantrena dilakukan dengan
menentukan komposisi dan kondisi awal media degradasi dan penggunaan kontrol positif Pseudomonas sp
dan control negatif, seperti pada Tabel 2 di atas. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak ada
material yang tercampur dalam suspensi kecuali isolat, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi hanya
disesbabkan oleh kerja isolat simbion terhadap degradasi fenantrena, (Marzuki et al., 2015b; Ijah, 2008).

d. Parameter Degradasi PAH


Tabel 3, dan Tabel 4, merupakan hasil pengamatan parameter degradasi oleh simbion spons Niphates
sp yang di tempatkan dalam media terkontaminasi fenantrena.

Tabel 3. Pembentukan Gelembung Gas dan Bau Fermentasi Media Degradasi Berdasarkan Waktu kontak
Suspensi Simbion Niphates sp terhadap PAH
Perlakuan dan waktu kontak (hari)
No Suspensi Keterangan
Perl. 1 Perl. 2 Perl. 3 Perl. 4
10 15 15 20 pembentukan gelembung gas
1 Isolat BC
15 20 15 25 bau fermentasi
10 10 15 15 pembentukan gelembung gas
2 Isolat BP
15 20 20 20 bau fermentasi
Isolat PS 10 15 15 15 pembentukan gelembung gas
3
(K. Positif) 15 15 15 20 bau fermentasi
Keterangan:
Perl. 1 = Sampel di Shaker pasa suhu kamar
Perl.2 = Sampel tidak di Shaker pasa suhu kamar
Perl.3 = Sampel di Shaker pada suhu 25 0C
Perl.4 = Sampel tidak di Shaker dan ditmpatlan pada suhu 25 0C

Pembentukan gelembung gas pada hari ke 10 (perlakuan 1) untuk semua jenis isolat menunjukkan
adanya aktivitas sel simbion spons, sedangkan bau fermentasi teridentifikasi dengan waktu yang ada
bervariasi antara isolat disebabkan karena kinerja isolat satu terhadap lainnya berbeda dalam proses degradasi
fenantrena.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 19
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.16-21) 978-602-60766-4-9

Tabel 4. Perubahan pH Media Degradasi Berdasarkan Waktu Kontak Symbion Niphates sp terhadap PAH
Waktu kontak (hari)
No Suspendi
0 5 10 15 20 25
1 Isolat BC 7 7 6 6 6 7
2 Isolat BP 7 6 6 6 7 7
3 Isolat PS (K. Positif) 7 6 6 6 6 7

Tabel 4, di atas terlihat perubahan pH menjadi 6 pada hari ke 5 dan ke 10 masa kontak menunjukkan
bahwa ada aktivitas sel simbion Niphates sp, Aktivitas sel ini berupa penambahan ukuran dan penambahan
jumlah sel, sehingga pH media degradasi mengalami perubahan ke sifat lebih asam, Hasil ni sejalan dengan
penelitian sebelumnya, (Marzuki et al., 2015b; 2015c; Hamzah et al., 2010).

Tabel 5. Kerapatan Optik Media Degradasi Berdasarkan Waktu Kontak (hari)


Optical Density (OD)
Waktu Kontak
No. Isolat BC Isolat BP PS (K.Positif K. Negatif
(hari)
1 0 0.008 0.007 0.007 0.002
2 5 0.027 0.029 0.031 0.003
3 10 0.089 0.092 0.095 0.003
4 15 0.121 0.120 0.124 0.004
5 20 0.129 0.128 0.126 0.005
6 25 0.133 0.131 0.131 0.006

Berdasarkan Tabel 5, di atas menunjukkan adanya peningkatan kekeruhan media degradasi, dimana
kekeruhan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) bertambahanya ukuran sel isolat; 2)
Jumlah sel isolat meningkat karena terjadi pembelahan sel yang diperkirakan terjadi pada masa kontak 10 hari
ke atas; 3) terbentuk senyawa organik sederhana seperti gas methana dan CO 2, hasil degradasi perombakan
struktur fenantrena oleh isolat. Tabel 5, di atas juga memperlihatkan terjadinya penurunan kerapan optik pada
masa kontak mulai hari ke 20 hingga hari ke 25, diperkirakan terjadi akibat sebagian dari sel isolat mati dan
tidak lagi mampu melakukan pembelahan diri, (Meutia et al., 2011; Murniasih et al., 2010; Lin et al., 2008).
Matinya sel isolat tersebut karena sel-sel ini tidak mampu bertahan lebih lama akibat toksisitas dari fenantrena,
sedangkan sel tidak lagi membela disebabkan karena media degradasi mengalami perubahan pH atau media
tidak berada pada kondisi optimum untuk terjadinya pembelahan sel, Hasil ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya, (Marzuki et al., 2015c; Acevedo et al., 2011; Komarawidjaja 2009).

4. KESIMPULAN
Karakteristik fenotip, genotip dan data parameter degradasi, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Karakteristik fenotip dua isolat spons Niphates sp adalah bereaksi positif dengan reagent katalase, laktase
(bersifat asam), methyl merah (penghasil asam), citrate (memiliki enzim sebagai pembawa sifat genetik.
2. Karakteristik genotip berdasarkan data sekuen sampel terhadap pensejajaran homolog sekuen gen bank,
kedua isolat merupakan jenis basillus dengan spesies masing-masing isolat pertama adalah Bacillus cohnii
strain DSM 6307 (BC) dan isolat nomor 2 adalah Bacillus pumilus strain GLB197 (BP)
3. Kedua isolat Niphates sp tersebut mampu mendegradasi PHA jenis fenantrena yang didasarkan pada data
parameter degradasi yakni perubahan pH media, bau fermentasi, kerapatan optik dan gelembung gas.

5. DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, H., Wahyudi, T. A., Yuhana, M., 2011. Skrining bakteri yang berasosiasi dengan spons Jaspis sp.
sebagai penghasil senyawa antimikroba. Jurnal Ilmu Kelautan, vol. 16 (1):35-40
Acevedo, Francisca, Leticia Pizzul, María del Pilar Castilloc, Raphael Cuevas, María, C. Diez. 2011.
Degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by the Chilean white-rot fungus Anthracophyllum
discolor. J. of Hazardous Materials, vol. 185:212-219
Alamri, A. Saad, 2012. Biodegradation of microcystin-RR by Bacillus flexus isolated from a Saudi freshwater
lake. Published online- doi:10.1016/j .sjbs.2012.06.006. Saudi Journal Biol Sci, vol. 19 (4):435-440

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 20
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.16-21) 978-602-60766-4-9

Cai, Quan-Ying, Ce-Hui Mo, Qi-Tang Wu, Qiao-Yun Zeng, Athanasios Katsoyiannis, Jean-Francois F´erard,
2007. Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs)-contaminated sewage sludge by
different composting processes. Journal of Hazardous Materials, vol. 142:535-542
Hamzah, A., Rabu, A., Farzarul, R., Azmy, R.H., 2010. Isolation and characterization of bacteria degrading
Sumandak and South Angsi Oils. Jurnal Sains Malaysiana, vol. 39 (2):161-168
Ijah U. J. J., and L. I. Ukpe. 2008. Biodegradation of Crude Oil by Bacillus Strain 28A and 61B Isolated from
Oil Spilled Soil. Waste Management Journal vol. 12:55-60
Ismet, S.M., Soedharma, D., Effendi, H., 2011. Morphology and cell biomass of sponge Aaptos aaptos and
Petrosia sp., J. Ilmu Tek.Kelautan Tropis. vol. 3 (2): 153-161
Komarawidjaja, W., 2009. Karakteristik dan pertumbuhan konsorsium mikroba lokal dalam media
mengandung minyak bumi, Jurnal Teknologi Lingkungan, vol. 10 (1): 114-119
Lin, Y., and L. X. Cai, 2008. PAH-degrading microbial consortium and its pyrene-degrading plasmids from
mangrove sediment samples in Huian, China. Marine Pollution Bulletin, vol. 57:703–706
Marzuki, I., Noor, A., Djide, N.M., La Nafie, N., 2014a. Isolation and Identification on Degradator Bacterial
of Petroleum waste which Symbionts with Sponge Callyspongis sp from Melawai Beach. Proceeding:
International Confrence on the sciences (ICOS), 19-20 Nopember 2014, Makassar, ISBN :
9786027219809, pp. 493-503, DOI: 10.17605/OSF.IO/PZVKC
Marzuki, I., Noor, A., Djide, N.M., La Nafie, N., 2014b. Isolation and identification Bacterial Symbionts of
sponge as Producer enzyme amylase from Melawai Beach, Balikpapan, Jurnal dr.Aloei Saboe, vol.1
(1):11-18, DOI : 10.17605/OSF.IO/R4JYA
Marzuki, I., Noor, A., Djide, N.M., La Nafie, N., 2015a, Molecular characterization of gene 16S rRNA micro
symbionts in sponge at Melawai Beach, East Kalimantan, Journal Marina Chimica Acta, 16 (1):38-46,
DOI: 10.17605/OSF.IO/XKP9B
Marzuki, I., Noor, A., Djide, N.M., La Nafie, N., 2015b, The potensi biodegradation hydrocarbons of
petroleum sludge Waste by cell biomassa sponge Callyspongia sp, Journal Marina Chimica Acta, 16
(2):11-20, DOI: 10.17605/OSF.IO/RCNDW
Marzuki, I., Noor, A., Djide, N.M., La Nafie, N., 2015c, Sponge role in alleviating oil pollution through
sludge reduction, a preliminary approach, Int. Journal of Applied Chemistry, 11 (4):427-441, DOI:
10.17605/OSF.IO/S9HTG
Marzuki, I., Noor, A., Djide, N.M., La Nafie, N., 2016. Microsymbiont and Morphological Phenotype
Analysis Marine Sponge Biomass From Melawai Beach, Balikpapan, East Kalimantan, Journal Marina
Chimica Acta, 17 (1):8-15, DOI: 10.17605/OSF.IO/P73EN
Meutia, S.P., Soedharma, D., Effendi, H., 2011. Morfologi dan biomassa sel spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelutan Tropis, vol. 3, (2):153-161
Murniasih. T., dan Rasyid, A., 2010. Potensi bakteri yang berasosiasi dengan spons asal Barrang Lompo-
Makassar sebagai sumber bahan anti bakteri, Jurnal Oseanologi dan Limnologi, vol. 36 (3):281-292
Syakti, D. A., Yani, M., Hidayati, V.N., Siregar, S.A. Doumeng, P., I.M. Sudiana, M., 2013. The
Bioremediation potential of hydrocarbonoclastic bacteria isolated from a Mangrove Contaminated by
Petroleum Hydrocarbons on the Cilacap Coast, Indonesia. J.Bioremediation, vol. 17 (1):11–20, online.
DOI: 10.1080. 731446
Tam, N.F.Y and Wong, Y.S., 2008. Effectiveness of bacterial inoculum and mangrove plants on remediation
of sediment contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbons, Marine Pollution Bulletin, vol.
57:716-728
Venkateswara, Rao, J., K. Srikanth., Usman, P.K., 2009. The Use of marine sponge, haliclona tenuiramosa as
bioindicator to monitor heavy metal pollution in The Coasts of Gulf Mannar, India. Environ Monit
Assess, Journal Springer, vol. 156: 451-459

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, yang telah memberikan pendanaan
dalam pelaksanaan penelitian ini.
.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 21
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

PROSES UPGRADING BATUBARA KUALITAS RENDAH ASAL SULAWESI SELATAN


MENGGUNAKAN LARUTAN KIMIA DAN PROSES PEMANASAN

Swastanti Brotowati1), Irwan Sofia1), Muhammad Saleh1)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

The eastern Indonesian province has coal reserves of 368.49 million tons spread in the provinces of South
Sulawesi, Central Sulawesi, North Maluku and Papua. Whereas South Sulawesi has coal reserves of around 231.12
million tons spread in 9 districts. The largest coal reserves in the districts of Maros, Barru, Bone and Sidrap Sidrap have
explored around 20.06% of the total reserves. The remaining 79.94% is of low quality coal, making it less profitable for
investors. While the need for coal energy sources for transportation and industry is experiencing a very rapid
development, and only relies on high quality coal. The Low rank coal has a high water content, ash content, flying
substance content and sulfur content, which will cause the coal's calorific value to be low so that the cost of burning coal
per unit of calories becomes higher, and the impact of environmental pollution is also not good. To overcome this,
research is carried out to improve the quality of coal or upgrading coal using chemical solutions and coal heating at
temperature of 200oC. The Proximate analysis results obtained by the coal from the upgrading process using 20% of
Hydrochloric acid and 20% of Sodium Hydroxide solution as well as the drying process at 200 oC can reduce water
content up to 39.47 - 51.89%, ash content 48.15 - 57.93%, sulfur content 66.96 - 85.52%, flying substances 33.97 -
50.13%, and increasing carbon content up to 36.60 -60.42% and heating values up to 22.53 -34.68%.

Keyword: Low quality coal, upgrading process , Hydrochloric acid , Sodium Hydroxide

1. PENDAHULUAN
Propinsi Indonesia bagian timur mempunyai cadangan batubara sebesar 368,49 juta ton tersebar di
Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Papua. Sedangkan Sulawesi Selatan memiliki
cadangan batubara sekitar 231,12 juta ton yang tersebar di 9 kabupaten (Kanwil Dep. Pertambangan dan
Energi, Sul-Sel, 2010. Cadangan batubara terbesar ada di kabupaten Maros, Barru, Bone dan Sidrap
hingga kini baru tereksplorasi sekitar 20,06 % dari total cadangan yang ada sehingga sisanya 79,94% masih
dibiarkan kalua belum ada investor yang berminat mengingat rank / klasifikasi cadangan batubara yang ada di
Sulawesi Selatan ini mayaoritas merupakan batubara sdengan rank atau klasifikasi jenis batubara
Subbituminus atau batubara kualitas rendah dengan kadar air , kadar zat terbang, kadar abu tinggi sedangkan
kadar karbon dan nilai kalor rendah Batubara ini mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi batubara
dengan kualitas baik atau rank Bituminus melalui proses upgrading dengan bermacam proses terutama proses
untuk mengurangi kandungan air dan kandungan sulfur pada batubara.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain oleh Datin, F.U., pada tahun 2010
berhubungan dengan peningkatan kualitas batubara Bunyu, Datin, F.U., menggunakan 3 proses UBC
(upgrading brown coal) ,HWD (Hot water drying) dan SD (steam drying). Dengan menambahkan minyak
residu dan minyak tanah. Hasilnya kadar air turun sebesar 80,98%, kadar abu naik 6,72%, kadar zat terbang
turun 21,51%, kadar karbon naik 25,91%, kadar sulfur naik 7,3%, kekurangan hasil penelitian Datin adalah
terjadi peningkatan pada kadar abu yang berakibat pada turunnya nilai kalor.Sedangkan pada tahun 2012,
Wulan,E.K melakukan riset tentang peningkatan kualitas batubara Malawan dengan pemanasan
menggunakan gelombang mikro pada daya 800 watt. Hasilnya mampu menurunkan kadar air dari 24,18%
menjadi 5,66%, kadar abu dari 4,82 menjadi 4,51, dan meningkatkan zat terbang dari 34,17% menjadi
43,33%, kadar karbon 36,8%3 menjadi 46,56%. Kekurangan dari proses ini kadar zat terbang meningkat dan
ini akan berakibat pada pencemaran lingkungan. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad,
A.A. dkk.(2017), proses peningkatan kualitas batubara subbituminus menggunakan poses UBC dengan
menambahkan minyak residu yang dipanaskan pada suhu 150-200oC, hasilnya kadar air, dan kadar sulfur
turun, sedangkan kadar abu, kadar zat terbang meningkat. Kekurangan dari penelitian ini adalah kadar abu dan
zat terbang meningkat dan ini akan menyebabkan berkurangnya nilai kalor dan pencemaran
lingkungan.Ketiga peneliti diatas masing-masing masih ada kekurangannya terutama pada hasil penelitiannya

1
Korespondensi penulis: Swastanti Brotowati, Telp 081355685090, swastantib@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 22
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

masih terjadi terjadi peningkatan kadar abu, kadar sulfur, peningkatan kadar abu dan kadar sulfur ini akan
berpengaruh pada lingkungan sehingga mengakibatkan adanya pencemaran lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mningkatkan kualitas rank atau klasifikasi batubara kualitas
rendah tanpa meningkatkan kandungan abu dan sulfur serta meningkatkan nilai kalor batubara sehingga
batubara yang dihasilkan termasuk dala batubara rank atau kualitas baik sesuai dengan kualitas rank
bituminous berdasarkan pada standart ASTM D3172 dengan uji / analisis ultimat dan proksimat mengikuti
standar yang ditetapkan oleh ASTM D3172. Proses yang akan digunakan pada penelitian ini adalah proses
penururan kadar sulfur dan abu batubara dengan proses Desulfurisasi dan Demineralisasi menggunakan
larutan kimia HCl dan NaOH, sedangkan untuk mengurangi kandungan air akan digunakan proses penanasan
pada suhu 200oC – 450oC

2. METODE PENELITIAN
Bahan baku : Batubara asal kabupaten :Bone, Maros, Barru dan Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan, hasil
analisis batubara awal sebelum proses upgrading sebagai berikut :

Tabel 1 Hasil analisis proksimat batubara sebelum proses


Bahan baku Kadar Sulfur Kadar Abu ( Kadar air ( Kadar Zat Kadar Nilai kalor (
Total %) %) Terbang ( % karbon padat kalori/gram )
(%) ) (%)
Bone 5.18 12.19 11.11 36.40 40.21 5157.45
Sidrap 1.15 11.06 15.28 27.79 45.86 5581.70
Baru 3.86 14.23 12.27 34.92 38.69 5104.27
Maros 3.61 36.05 10.26 19.23 34.38 4284.44

Kondisi operasi: Laju pengadukan divariasikan: 150,200,250,300 dan 350 rpm, suhu : 30,50,70 dan 900C,
tekanan ditetapkan : 1 atm ,waktu reaksi :1;1,5;2;2,5 dan 3 jam, konsentrasi larutan HCl: 5,10,15,20,25% dan
NaOH :5,10,15,20,25% , waktu pemanasan ditetapkan :2 jam dan suhu pemanasan ditetapkan 200oC
Perbandingan batubara : larutan kimia ditetapkan : 1bagian berat batubara : 5 bagian larutan kimia

Percobaan pendahuluan : mencari waktu reaksi ,suhu reaksi dan kecepatan pengadukan , dilakukan pada
suhu ,waktu reaksi dan kecepatan pengadukan yang divariasikan

Metode analisis :proksimat menggunakan standar D3172, untuk kadar air : D3173 , volatil metter /zat
terbang : D3175, kadar abu ; D3174 , nilai kalor dengan alat bomb kalori meter , metode pemanasan dalam
oven/furnace dengan sedikit oksigen
Adapun gambar alat dan bahan baku batubara asal seperti yang ditunjukkan pada gambar 1sampai 5 di
bawah :

Gambar 1 Reaktor Gambar 2.Maros Gambar 3 Bone Gambar 4. Sidrap Gambar 5


Barru

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 23
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

Blok Diagram Penelitian :

Batubara Malawa Sul-Sel Larutan HCL 20%


Kualitas rendah ( 1 bag berat ) ( 5 Bagian Volume )

Proses Desulfurisasi
Dilakukan pada , Suhu, waktu,
pengadukan dan konsentrasi pelarut yang ditetapkan

Proses Penyaringan

Larutan HCL Batubara hasil reflux

Proses pencucian dan penyaringan hingga (


Air dingin PH netral :7) Air dingin

Proses pengeringan di udara ruang Larutan NaOH


selama 12 jam

Proses Denimeralisasi
Dilakukan variasi , Suhu, waktu, pengadukan dan
konsentrasi pelarut

Proses Penyaringan

Larutan NaOH Batubara hasil reflux

Air dingin

Proses pencucian dan penyaringan hingga (


Air dingin PH netral :7)

Batubara hasil Desulfurisasi dan Proses pengeringan di udara ruang


demineralisasi selama 12 jam

Analis kadar Sulfur dan Abu, dihitung


konversi reaksi
Gambar. 6. Diagram Proses pengurangan sulfur dan abu batubara

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


1.PERCOBAAN PENDAHULUAN :
Tujuan : mencari waktu reaksi ,suhu reaksi dan kecepatan pengadukan , hasilnya dapat dilihat pada Gb7 dan
Gb8 dibawah ini :

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 24
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

Gambar.7.Pengaruh waktu, suhu reaksi terhadap Gambar 8. Pengaruh kecepatan pengaduk terhadap
konversi reaksi konversi reaksi

Gambar 7 , Percobaan pengaruh waktu dan suhu reaksi terhadap konversi reaksi . Peningkatan suhu dan
waktu reaksi akan mengakibatkan peningkatan hasil reaksi yang ditandai dengan meningkatnya nilai konversi
reaksi. Pada waktu dan suhu tertentu konversi reaksi akan memberikan peningkatan yang tidak signifikan atau
hamper konstan, hal ini disebabkan kecepatan reaksi senyawa dalam pereaktan dan produk telah mencapai
kondisi setimbang. Dari gambar 7 dapat dilihat kondisi optimum terjadi pada waktu reaksi 2 jam dan suhu
optimum 90oC. menghasilkan konversi hasil reaksi tertinggi, selanjutnya digunakan untuk kondisi opersi
setiap percobaan

Gambar 8. Percobaan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap konversi reaksi. Percobaan ini dimaksudkan
untuk mendapatkan kondisi laju pengadukkan yang sesuai, dimana pengaruh difusi film sudah tidak lagi
berpengaruh pada reaksi penurunan kadar sulfur dan abu batubara. Dari gambar 8 terlihat bahwa konversi
batubara mula-mula akan naik seiring dengan kenaikkan laju pengadukkan pada kisaran 150 hingga 250 Rpm.
Hal ini memperlihatkan bahwa pada kisaran tersebut difusi film masih berpengaruh, tetapi pada laju
pengadukkan diatas 250 hingga 350 terlihat perolehan konversi sudah konstan , yang menunjukkan pada
kisaran tersebut difusi film sudah tidak berpengaruh lagi. Selanjutnya untuk kondisi opersi setiap percobaan :
waktu 2 jam, suhu 90 oC, 250 rpm, tekanan 1 atm.

2.PENURUNAN SULFUR DAN ABU BATUBARA DENGAN LARUTAN KIMIA HCL DAN NAOH

Gambar.9 Pengaruh Konsentrasi HCL terhadap Gambar.10 Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap
Penurunan kadar Sulfur total penurunan kadar Abu
Gambar 9 , Percobaan pengaruh konsentrasi HCL terhadap penurunan kadar sulfur total batubara. Yang
dimaksud Kadar Sulfur total batubara adalah kandungan sulfur yang terikat sebagai pirit ( FeS2 ) dan sulfur
organik. Reaksi penurunan kadar sulfur pada batubara asal Sidrap, Barru, Maros dan Bone,menunjukkan
penurunan sulfur yang signifikan. Terlihat pada konsentrasi HCL 20% pereaktan memiliki jumlah molekul
Cl- yang lebih banyak dibandingkan konsentrasi HCL yang lebih rendah , sehingga kontak antara ion Cl-
berikatan dengan ion Fe2+ atau H+ dengan S2- cukup tinggi dan menjadi lebih kuat dalam mengikat senyawa

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 25
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

di sekitarnya. Tetapi pada konsentrasi di atas 20%, jumlah ion Cl- semakin banyak tetapi jumlah ion Fe2+ dan
S2- dalam batubara sudah mulai berkurang sehingga ditunjukkan dengan penurunan sulfur yang hampir
konstan atau kadar sulfur dibawah 1%.

Gambar 10.Percobaan pengaruh konsentrasi NaOH terhadap penurunan kadar abu. Kandungan abu pada
batubara merupakan senyawa ion -ion Si, Al, Fe, Cr dan sedikit Ti,Mn, Mg, Na dan K. Larutan alkali NaOH
mempunyai kemampuan melarutkan senyawa mineral dalam abu batubara lebih kuat dibanding yang lainnya,
Pada reaksi penurunan kadar abu pada batubara asal Barru , Bone dan Sidrap yang mempunyai kadar abu
dibawah 15%, larutan alkali NaOH 20% mempunyai kemampuan melarutkan senyawa mineral dalam abu
batubara lebih kuat dibanding dengan batubara asal Maros yang mempunyai kadar abu jauh lebih tinggi di
atas 35%. Sehingga untuk batubara asal Maros masih diperlukan larutan NaOH yang konsentrasi lebih tinggi,
jika ingin dicoba hingga batas penurunan dibawah 5%.maka diperluukan larutan NaOH dengan konsetrasi di
atas 25%.

Pengaruh Penambahan kadar Air Bawaan setelah Proses:


Hasil analisis proksimat untuk kadar air batubara setelah proses penurunan kadar sulfur total dan kadar abu,
terjadi peningkatan kadar air, hal ini disebabkan pada proses reaksi penurunan sulfur menggunakan larutan
HCL 20% dan pada proses penurunan kadar abu digunakan larutan NaOH 20% , sejumlah air dalam larutan
akan menyebabkan naiknya kadar air batubara setelah proses reaksi Kadar air bawaan batubara asal Bone
11,11 meningkat menjadi 17,48%, Sidrap 15,28 menjadi 18,87%, Barru 12,27 menjadi 18,19% dan Maros
dari 10,28 menjadi 15,64%. Peningkatan kadar air ini merupakan proses hidrasi air bebas pada batubara yang
terikat pada permukaan pori-pori batubara.

3.PENGARUH PROSES PEMANASAN BATUBARA :


Pengaruh kadar air batubara.
Batubara yang mengalami peningkatan kadar air akan dikurangi sejumlah airnya dengan proses pemanasan
pada suhu 200oC. Banyaknya air dalam batubara akan menyebabkan turunnya kadar karbon dan pengaruhnya
pada turunnya nilai kalor batubara. Pengaruh proses pemanasan batubara pada suhu 200 oC dapat dilihat pada
gambar 11 dibawah .

Gambar.11.Pengaruh waktu pemanasan terhadap Gambar 12. Pengaruh waktu pemanasan


terhadap
penurunan Kadar air batubara peningkatan Kadar abu batubara

Pemanasan batubara pada suhu 200oC dilakukan setelah proses pengurangan kadar sulfur dan abu , dengan
meningkatnya waktu pemanasan hingga 180 menit, kadar air asal batubara Bone turun dari 17,48 menjadi
6,73%, batubara Sidrap 18,87 menjadi 7,82%, batubara Barru 18,19 % tutun menjadi 7,32% dan batubara asal
Maros dari 15,64 menjadi 6,21% .Ini disebabkan pemanasan pada suhu 100-120 oC terjadi reaksi endotermis
untuk penguapan air bebas, air terikat dan air yang terdapat dalam pori-pori batubara. Pemansan diatas 120oC
-200 oC terjadi reaksi dekomposisi batubara pembentukan CO dan CO2 , sedangkan suhu > 200oC proses
penguapan air bebas, air terikat secara kimia masih berlanjut dan terjadi proses pembentukan tar dan
hydrogen.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 26
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

Pengaruh Kadar Abu Batubara :


Proses pemanasan berpengaruh terhadap peningkatan kadar abu. Proses pemanasan dapat mengurangi
sejumlah air bebas, air terikat dan air yang terjebak dalam pori-pori batubara, tetapi pemanasan juga akan
berdampak pada peningkatan kadar abu batubara akibat adanya sebagian atom karbon yang tedekomposisi
menjadi gas CO dan CO2 serta ion -ion Si, Al, Fe, Cr dan sedikit Ti, Mn, Mg, Na dan K. yang
terdekomposisi sebagai bahan mineral. yang. Pada gambar dapat dilihat kadar abu batubara asal Maros
meningkat dari 16,53 menjadi 18,74%, asal Bone 3,51 menjadi 5,15%, asal Barru 4,35 menjadi 5,94% dan
batubara asal Sidrap 3,48 menjadi 5,43% selama 180 menit , pemanasan diatas 180 menit membrikan
peningkatan yang tidak signifikan atau dapat dikatakan konstan, Hal ini dapat dilihat pada gambar 12 di atas.

Pengaruh Kadar Zat terbang /Volatile Matter Batubara:


Zat terbang (Volatile Matter) adalah senyawa organik dan anorganik yang hilang pada saat batubara dikurangi
kandungan airnya dengan pemanasan suhu tinggi . Bagian batubara yang hilang dalam bentuk gas selama
proses pemanasan. Zat terbang merupakan unsur positif untuk batubara tetapi dapat menjadi sesuatu yang
negatif jika kadarnya terlalu tinggi. Pada proses pemanasan pada suhu 200 oC kadar zat terbang menunjukkan
adanya penurunan dengan bertambahnya waktu pemanasan, hal ini terjadi akibat adanya penurunan kadar air
dan adanya senyawa -senyawa organik dan anorganik yang menguap seperti senyawa CH4, CH4, CO dan CO2
. Pada waktu pemanasan 180 menit kadar zat terbang batubara asal Bone besarnya 36,66 turun mennjadi
32,11%, batubara asal Barru 34,89 turun menjadi 29,46%, batubara asal Maros 19,24 turun menjadi 15,63%
dan batubara asal Sidrap kadar zat terbang 27,79 turun mrnjadi 20,86%. Hal ini dapat dilihat pada gambar 13
dibawah

Pengaruh Kadar Karbon Batubara :


Batubara tersusun dari polimer aromatik dan hidroaromatik pada ujung-ujungnya terdapat gugus fungsional
seperti asam karboksilat, fenol, karboksil atau eter.Polimer aromatik tersebut berisi banyak atom karbon
berikatan dengan atom oksigen, nitrogen dan sulfur. Peningkatan kadar karbon karena adanya penurunan
kadar air dan zat terbang , dan proses pemanasan menyebabkan unsur-unsur asam seperti karboksilat, fenol,
karboksil atau eter akan menguap >120oC. Batubara asal Bone dan Maros terjadi peningkatan karbon hingga
waktu 180 menit dan suhu 200oC, sedangkan batubara asal Barru dan Sidrap masih menunjukkan proses
peningkatan kadar karbon > 180 menit sehingga masih perlu ditambah waktu pemanasannya. Peningkatan
kadar karbon untuk batubara asal Bone 41,36 - 49,30% , asal Maros terjadi peningkatan dari 48,54-53,66%,
batubara asal Barru dari 42,57 – 48% , sedang batubara asal Sidrap dari 49,86 – 56,95% . Hal ini dapat dilihat
pada gambar 14 dibawah

Gambar 13 Pengaruh waktu pemanasan terhadap Gambar 14 Pengaruh waktu pemanasan


terhadap penurunan Kadar zat terbang peningkatan Kadar karbon
Pengaruh Nilai Kalor Batubara :
Nilai Kalor (Calorific Value atau Heating Value) merupakan salah satu parameter penting dalam kualitas
bahan bakar. Nilai kalor adalah jumlah energi yang dilepaskan ketika suatu bahan bakar dibakar secara
sempurna dalam suatu proses aliran tunak (steady). Nilai kalor batbara adalah banyaknya panas yang dapat
dilepaskan oleh setiap kilogram batubara jika dibakar sempurna. Besarnya nilai kalor batubara dipengaruhi
oleh besarnya nilai karbon dan kurangnya nilai kandungan air serta abu dalam batubra.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 27
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

Gambar 15 Pengaruh waktu pemanasan pada suhu 200oC Gambar 16 Batubara sesudah proses penurunan
kadar
terhadap peningkatan nilai kalor batubara sulfur dan abu, nampak lebih hitam
pekat

Pada proses pemanasan batubara pada suhu 200cC , sebagian dari air bawaan dan terikat serta senyawa
senyawa organik lainya ikut menguap sehingga menyebabkan nilai karbon meningkat . dengan adanya proses
penurunan kadar abu dengan larutan kimia NaOH akan menyebabkan kadar abu turun. Turunnya kadar abu
dan meningkatnya kadar karbon akan meningkatkan nilai kalor batubara, dapat dilihat pada gambar 15
Gambar 16 Contoh sampel batubara setelah proses penurunan kadar abu dan kadar sulfur dan setelah proses
pemanasan , terlihat lebih hitam pekat, hal ini disebabkan adanya peningkatan kadar karbon dalam batubara
dan berkurangnya kadar abu batubara. Hasil analisis proksimat batubara sebelum dan sesudah proses dapat
dilihat pada Tabel 2 dibawah
Tabel 2. Hasil analisis proksimat sebelum dan sesudah proses upgriding
Kadar ( % )
No Batubara Kondisi
Sulfur Abu Air VM Karbon Nilai Kalor
Sebelum 5.18 12.19 11.11 36.40 40.21 5157.45
1 Bone
Sesudah 0.75 5.15 6.73 30,42 49,30 5790.71
Sebelum 1.15 11.06 15.28 27.79 45.86 5581.70
2 Sidrap
Sesudah 0.38 5.43 7,35 20.86 56,95 6278.24
Sebelum 3.86 14.23 12.27 34.92 38.69 5104.28
3 Barru
Sesudah 0.73 5.94 7.32 29,46 48,00 5706.93
Maros Sebelum 3.61 36.05 10.26 19.23 34.38 4284.44
4
Sesudah 0.63 18,74 6.21 15,63 53,66 5891.75

4. KESIMPULAN
1. Batubara kualitas rendah dapat ditingkatkan kualitasnya melalui proses upgrading , dicapai melalui proses
penurunan kadar sulfur menggunakan larutan kimia HCL 20% dilanjutkan dengan proses penurunan kadar
abu menggunakan larutan kimia NaOH 20% pada kondisi opersi proses suhu 90 oC, tekanan 1 atm,
kecepatan pengadukan 250 rpm selama 3 jam .
2. Proses ugrading batubara asal Bone , Sidrap , Barru dan Maros dapat menurunkan kadar air dari yang
tertinggi 15,28 menjadi terendah sebesar 6,21% ; kadar sulfur dari yang tertinggi 5,18 menjadi terendah
0,38% ; kadar abu batubara yang tertinggi 36,14 menjadi terendah 5,15% ; kadar zat terbang yang tertinggi
36,40 menjadi terendah 15,63%
3. Proses ugrading batubara asal Bone , Sidrap , Barru dan Maros mampu meningkatkan kadar zat karbon
dari kadar yang terendah 34,38 menjadi yang tertinggi 56,95 %
4. Proses ugrading batubara asal Bone , Sidrap , Barru dan Maros mampu meningkatkan nilai kalor dari
nilai terendah 4284.44 kalori /gram menjadi nilai tertinggi sebesar 6278.24 kalori /gram

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 28
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.22-29) 978-602-60766-4-9

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A.A. dkk, Peningkatan Kualitas Batubara Subbituminus Menggunakan Minyak Residu P.T.X
Samarinda Kalimantan Timur, Jurnal Teknologi Mineral FT UNMUL, Vol. 5, No. 1, Juni 2017: 1-6.
Adiarso, dkk.: Teknologi Pemanfaatan Batubara Peluang dan Tantangan. Balai Besar Teknologi Energi
BPPT PUSPIPTEK : Tangerang, 2010.
Bambang V.Luhkiputro. 2004. “ Upaya Pengurangan Kadar Sulfur Batubara Sulawesi Selatan Melalui
Serangkaian Proses Desulfurisasi dan Regenerasi Larutan “ Jurnal Intek. (Teragreditasi).No 1.
Tahun ke 11
Budiraharjo, I.: Industri batubara Indonesia. Terjemah bebas artikel berjudul “Indonesia sekitan jijou” oleh
Masafumi Uehara, JCOAL Journal Vol 18, Januari 2011. (JCOAL Resources Development Division)
(2011).
Borthakur,S.danMukherjee,P.C.2001.Chemical Demineralization/Desulphurization of Sulphur Coal Using
Sodium Htdroxide and acid Solutions. May. Elsevier Science Ltd.
Datin. F.U., Pengaruh Proses Upgrading terhadapKkualitasBbatubara Bunyu,Kalimantan Timur, Seminar
Rekayasa Kimia dan Proses, 2010, issn : 1411-4216
Erlina Yustanti, 2012., Pencampuran Batubara Cooking dengan Batubara Lignite Hasil Karbonisasi Sebagai
Bahan Pembuatan Kokas. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah Radioaktif (Journal of Waste
Management Technology) ISSN 1410-9565 Volume 15 Edisi Suplemen (Radioactive Waste
Technology Center)
Khairil & Irwansyah: Kaji Eksperimental Teknologi Pembuatan Kokas dari Batubara sebagai Sumber Panas
dan Karbon pada Tanur Tinggi (Blast Furnace). Universitas Syiah Kuala, Aceh (2010).
Rustiadi P. & Susanto.: Proses pengolahan batubara Indonesia untuk kokas metalurgi dengan metode coal
blending. Pusat penelitian metalurgi LIPI, Tangerang (2003)
Swastanti B.,dan Herman.B.,2009. Demineralisasi / Desulfurisasi Batubara Malawa Menggunakan Larutan
Natrium Hidroksida dan Asam Khlorida , Penelitian Laboratorium, Hibah Bersaing, DP2M.Dikti
Indonesia
Valia & Hardarshan, S.: Coke Production for Blast Furnace Ironmaking Scientist, Ispat Inland Inc. (2006).
Wulan, E.K., 2012, Peningkatan Kualitas Batubara Kualitas Rendah Melalui Penghilanga Moisture dengan
Pemanasan Gelombang Mikto,Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Jakarta.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih ditujukan kepada :
1. Dirjen Kemenristek Dikti, DP2M yang telah memberikan kesempatan dalam melakukan penelitian ini dan
mengalokasikan pendanaan penelitian tahun anggaran 2017
2. Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang yang telah membantu dalam pelaksanaan Kegiatan IbM Rutin
ini dalam hal pendanaan lewat DIPA Politeknik Negeri Ujung Pandan tahun anggaran 2017
3. Ketua Unit UPPM Politeknik Negeri Ujung Pandang beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kegiatan Penelitian Program PTUPT tahun2018 dan
penganggaran pada tahun anggaran 2017
4. Ketua Jurusan Teknik Kimia yang telah memberikan ijin dan fasilitas Laboratorium dan atas bantuannya
untuk menggunakan Laboratorium dan peralatan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penelitian..

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 29
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.30-34) 978-602-60766-4-9

ISOLASI SENYAWA FLAVONOID DARI KAYU SEPANG (CAESALPINIA SAPPAN L.)


DENGAN METODE ULTRASONIC ASSISTED SOLVENT EXTRACTION DAN
KARAKTERISASINYA DENGAN METODE GAS CHROMATOGRAPHY MASS
SPECTROMETRY (GCMS)

Andi Muhamad Iqbal Akbar Asfar1), M.Yasser1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Sappan wood is a source of natural antioxidants. Efficacy of Sappan plants as antioxidants also as antimicrobials
and natural coloring agents. The ability of treatment with the use of Sappan plants is caused by the abundance of
chemical compounds in plants such as the presence of flavonoids. Various methods of preparative analysis have been
found and developed to isolate flavonoid compounds, one of which is done by extracting using Ultrasonic Assisted
Solvent Extraction using variations of ethanol solvent concentration of 85%, 90%, 95%, and 99%. The highest
percentage of yield obtained at 90% ethanol concentration with a time of 15 minutes is 0.42% and pH is 5. The results of
GCMS analysis identified components of phenol compounds which are flavonoid compounds with 2-Methyl-5- (1,2,2-
Trimethylcyclopentyl) Phenol with% Area is 44.56% at 90% ethanol concentration with 15 minutes extraction time,
where the longer extraction time of flavonoid components will decrease due to degradation into other compounds.

Keywords: Sappan wood, Flavonoid, GCMS.

1. PENDAHULUAN
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan. Secara biologis
flavonoid memainkan peranan penting dalam kaitan penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoid
mempunyai rasa pahit hingga bersifat menolak sejenis ulat tertentu. Flavonoid merupakan salah satu bagian
dari antioksidan (Winarsih, 2007 dalam Rivai, Sari, dan Rizal, 2012).
Salah satu tumbuhan yang banyak memberikan manfaat bagi manusia yaitu kayu sepang. Kayu
sepang merupakan sumber antioksidan alami. Kayu sepang (Caesalpinia sappan L.) merupakan tanaman
famili Caesalpiniaceae yang banyak ditemui di Indonesia. Kayu sepang secara empiris diketahui memiliki
banyak khasiat penyembuhan dan sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai minuman kesehatan. Tanaman
sepang banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk pengobatan berbagai macam penyakit, seperti
diare, disentri, tetanus, malaria dan batuk. Secara tradisional, pemanfaatan tanaman sepang oleh masyarakat
sudah cukup luas. Bagian tanaman sepang yang sering digunakan adalah kayu dalam potongan-potongan atau
serutan kayu. Tetapi selain itu, bagian lain dari tanaman sepang yang dimanfaatkan adalah kayu, daun, buah,
dan biji. Daun sepang dimanfaatkan dalam pemeraman buah pisang dan mangga, biasanya untuk proses
pematangan. Bagian kayu pada sepang jika direbus bisa memberi warna merah gading muda yang dapat
digunakan untuk pengecatan, memberi warna anyaman, kue, minuman atau sebagai tinta (Lestari,
Tjandrakirana, dan Kuswanti, 2013).
Kemampuan pengobatan dengan pemanfaatan tanaman sepang disebabkan oleh banyaknya kandungan
senyawa kimia didalam tanaman sepang seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, steroid, dan terpenoid
(Rusita dan Suhartono, 2016). Khasiat tanaman sepang sebagai antimikroba, antioksidan, maupun zat pewarna
alami. Komponen senyawa bioaktif yang terkandung dalam kayu sepang, yaitu brazilin, brazilein, 3’-O-
metilbrazilin, sappanone, chalcone, sappancalchone dan komponen umum lainnya, seperti asam amino,
karbohidrat dan asam palmitat yang jumlahnya relatif sangat kecil (Djaeni et al., 2015). Daun sepang
mengandung polifenol dan 0,16- 0,20% minyak atsiri. Bagian batang atau kayu sepang mengandung tanin,
asam galat, resin, brazilein, d-alfa phellandrene, oscimene, minyak atsiri, resorsin dan brasilin (Kusmiati,
Dameria, dan Priadi, 2014). Brazilin adalah golongan senyawa yang memberi warna merah pada kayu sepang
dengan struktur C6H14O5. Brazilin merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur
kimianya (Fardhyanti dan Riski, 2015). Sepang juga telah lama dikenal sebagai bahan ramuan untuk
mengobati berbagai penyakit seperti sifilis, batuk darah dan radang (Permatawati, Nuralih, dan Fahrudin,
2014; Karlina et al., 2016). Berbagai cara analisis preparatif atau pemisahan telah diketemukan dan

1
Korespondensi penulis: Andi Muhamad Iqbal Akbar Asfar, Telp 08114181441, andiifalasfar@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 30
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.30-34) 978-602-60766-4-9

dikembangkan untuk mengisolasi senyawa-senyawa yang jumlahnya sangat kecil. Isolasi dapat pula dilakukan
dengan melakukan ekstraksi menggunakan Ultrasonic- Assisted Solvent Extraction yang dikombinasikan
dengan penggunaan pelarut baik organik maupun non organik. Salah satu pelarut yang dapat digunakan
adalah etanol dengan proses etanolik untuk mengisolasi senyawa plavonoid pada kayu sepang dengan
menggunakan konsentrasi pelarut yang optimum melalui serangkaian uji coba dan variasi hingga ditemukan
variasi konsentrasi yang optimum serta lama waktu ekstraksi optimum. Karakterisasi dari senyawa plavonoid
yang diperoleh dari ekstrak dapat dikarakterisasi dengan menggunakan Gas Chromatography Mass
Spectrometry (GCMS).

2. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa langkah penelitian yaitu persiapan
bahan baku (preparasi), Isolasi senyawa flavonoid melalui ekstraksi dengan larutan etanol dengan
menggunakana alat Ultrasonic Assited Solvent Extraction, karakterisasi melalui analisa kadar air, kadar abu,
% Yield, pH, dan uji fitokimia secara kualitataif dengan menggunakan larutan indikator (kuersetin) serta
langkah terakhir adalah analisa dengan Gas Chromatography Mass Spectrometry.
1. Penyiapan bahan baku
Bahan baku berupa kayu sepang (Caesalpinia Sappan L.) di potong-potong keil kemudian dihaluskan
hingga berbentuk serbuk kayu sepang kemudian ditimbang
2. Ekstraksi Kayu Sepang
Isolat yang mengandung flavonoid diperoleh dengan melakukan ekstraksi serbuk kayu sepang
(Caesalpinia Sappan L.) ditimbang sebanyak 5 gram lalu dimasukkan ke dalam beaker gelas serta
ditambahkan etanol (C2H5OH) 95%. Penentuan kadar pelarut didasarkan pada penelitian sebelumnya
pada kayu sepang, ekstrak kayu sepang untuk dijadikan zat warna optimum pada pelarut etanol 96%
(Azmi, 2017). Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ekstraksi ultrasonik dengan metode
Ultrasonic-Assited Solvent Extraction. Ekstraksi berbantuan gelombang ultrasonik dilakukan dengan
frekuensi 20 KHz. Temperatur dan waktu ekstraksi diatur sesuai dengan variabel percobaan. Hasil
ekstraksi disaring dengan kertas saring whatman nomor 311844 hingga akan diperoleh larutan ekstrak
flavonoid berupa brazilin. Percobaan dilakukan dengan perbedaan konsentrasi pelarut C2H5OH masing-
masing 85%, 90%, 95%,dan 99% dan variasi waktu 15 menit, 20 menit, dan 25 menit.
3. Karakterisasi
Karakterisasi awal produk flavonoid diuji dengan serangkaian pengujian yaitu, adar air, kadar abu, uji
kualitataif,fitokimia, pH dan %Yield. Kemudian dilanjutkan dengan GCMS. Karakterisasi menggunakan
GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil yang diperoleh adalah hasil karakterisasi ekstrak dalam bentuk isolat flavonoid dari kayu sepang
mengandung kadar air sebesar 6,0881% serta kadar abu 98%. Uji kualitatif kandungan senyawa kimia yaitu
flavonoid dilakukan dengan larutan indikator Kuersetin yang merupakan turunan dari flavonoid. Kuersetin
sebagai reagen pengenal untuk membuktikan adanya senyawa flavonoid.

Gambar 1. Perbandingan Ekstrak Awal, Ekstrak setelah Pengujian flavonoid dan Larutan kontrol

Hasil perbandingan tersebut dari pengujian kandungan flavonoid untuk konsentrasi pelarut etanol
85%, 90%, 95%, dan 99% diperoleh hasil bahwa konsentrasi pelarut etanol 90% mendekati larutan kontrol
seperti pada gambar 1 di atas.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 31
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.30-34) 978-602-60766-4-9

Tabel 1. Hasil Analisis Uji Kualitatif


Warna Warna Ekstrak Warna
Konsentrasi Kandungan
Ekstrak Setelah Larutan Keterangan
Ekstrak (%) Plafonoid
Awal Pengujian Kontrol
Oranye Merah
85 Merah Bening +
Kemerahan keunguan
Sama dengan
Merah
90 Oranye Merah Keunguan + Larutan
keunguan
Kontrol
Oranye Merah
95 Merah Pekat +
Kekuningan keunguan
Kuning Merah
99 Merah Oranye +
Bening keunguan

Hasil uji kualitatif diperoleh konsentrasi 90% memberikan perubahan warna sama dengan larutan kontrol
yaitu warna merah yang lebih tajam (merah keunguan).
Analisa yield dilakukan untuk memperoleh data mengenai persentase rendeman bahan baku yaitu
kayu sepang menjadi produk. Secara ideal bahwa semua bahan baku diharapkan menjadi seebuah produk
utuh. Dari hasil ekstraksi dengan variasi konsentrasi pelarut etanol yaitu 85%, 90%, 95%, dan 99% yang
divariasikan dengan lama waktu esktraksi pada suhu 60 0C yaitu 15 menit, 20 menit, dan 25 menit
menunjukkan perubahan persentase yield terhadap waktu ekstraksi.

Gambar 2. Hubungan Waktu Ekstraksi dengan % Yield

Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin lama waktu ekstraksi, maka persentase yield atau
rendeman akan semakin berkurang. Penurunan yield sangat tajam selama pemanasan 20 menit dan akan
kembali naik ketika dipanaskan pada 25 menit. Waktu ekstraksi optimum adalah pada 15 menit waktu
ekstraksi. Persentase yield tertinggi pada konsentrasi pelarut 85% dengan persentase yield sebesar 0,00626
gram. Akan tetapi, nilai ini sangat kecil disebabkan oleh karakteristik dari kayu sepang yang dijadikan sebagai
sampel berbentuk serbuk. Serbuk di saring pada sebuah kertas saring, sehingga hanya air dan kandungan yang
memiliki ukuran permiable mampu menembus dinding saringan dan lolos. Serbuk tertahan pada saringan,
sehingga menyebabkan persentase yield yang diperoleh sangat kecil.
Analisis pH menunjukkan bahwa semua variasi sampel pada konsentrasi 85%, 90%, 95%, dan 99%
dengan waktu ekstraksi 15 menit, 20 menit, dan 25 menit menunjukkan rentang pH yaitu 5-6,5 yaitu masih
bersifat sedikit asam.
Analisa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry diperoleh bahwa dari hasil
perbandingn GCMS ketiga perbandingan lama waktu ekstraksi untuk konsentrasi 90% yaitu 15 menit, 20
menit, dan 25 menit menunjukkan bahwa persentase area terbesar pada konsentrasi 90% dengan waktu
ekstraksi 15 menit.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 32
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.30-34) 978-602-60766-4-9

Gambar 3. Kromatogram Ekstrak Kayu Sepang Konsentrasi pelarut Etanol 90%


waktu ekstraksi 15 menit.

Distribusi komponen pada setiap variasi waktu dengan pelarut 90% menunjukkan bahwa pada waktu
ekstraksi 15 menit menghasilkan senyawa fenol yang merupakan bagian dari Flavonoid dengan persentase
44,56% dengan senyawa yang terdeteksi adalah 2-Methyl-5-(1,2,2-Trimethylcyclopentyl) Phenol. Kandungan
senyawa kimia untuk tiga komponen terbesar (2-Methyl-5-(1,2,2-Trimethylcyclopentyl Phenol); 3,7-
Cyclodecadien-1-One, 3,7-Dimethyl-10- (1-Methylethylidene; 9-Octadecenoic Acid, Methyl Ester).

Gambar 4. Struktur Kimia 2-Methyl-5-(1,2,2-Trimethylcyclopentyl) Phenol (C15H220)

4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dapat dijabarkan dalam bnetuk poin berikut:
1) Ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan variasi konsentrasi 85%, 90%, 95%, dan 99% yang
dikombinasikan dengan variasi waktu lama ekstraksi menggunakan Ultrasonic Assited Solvent Extraction
(UASE) diperoleh bahwa pada hasil pengujian secara kualitatif konsentrasi 90% mendekati larutan
indikator (kuersetin).
2) Hasil terbaik yang sangat mendekati indikator adalah pada konsentrasi 90%. Pengujian kualitatif
menunjukkan bahwa semua sampel memiliki kandungan Plafonoid. Analisa kadar air dan kadar abu pada
bahan diperoleh bahwa kadar air bahan sebesar 0,06 gram dan kadar abu bahan sebesar 0,98 gram. pH
berkisar 5-6 untuk sampel pada kosentrasi 90% dengan % Yield untuk kosentrasi 90% (15 menit), 90%
(20 menit), dan 90% (25 menit) masing-masing adalah 0,42%, 0,39%, dan 0,36%.
3) Hasil analisa GCMS teridentifikasi komponen senyawa phenol yang merupakan senyawa flavonoid
dengan komponen 2-Methyl-5-(1,2,2-Trimethylcyclopentyl) Phenol dengan %Area adalah 44,56% pada

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 33
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.30-34) 978-602-60766-4-9

kosentrasi etanol 90% denganw aktu ekstraksi 15 menit dimana semakin lama waktu ekstraksi komponen
flavonoid akan semakin berkurang karena terdegradasi menjadi senyawa lain.

5. DAFTAR PUSTAKA
Azmi, D.D., 2017. Esktraksi Zat Warna Alami Dari Kayu Secang (Caesalpinia Sappan Linn) Dengan Metode
Ultrasound Assited Extraction Untuk Aplikasi Produk Pangan. Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri,
Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.
Djanei, M; Triyastuti, M.S; Utari, F.D; Annisa, A.N; Novita, D.A., 2015. The Sappanwood Extract Drying
With Carrier Agent Under Air Dehumidification. The Journal for Technology and Science, Vol. 26, No. 1,
April 2015.
Fardhyanti, D.S. Rsiki, D.R., 2015. Pemungutan Brazilin Dari Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L) Dengan
Metode Maserasi dan Aplikasinya Untuk Pewarnaan Kain. Jurnal Bahan Alam Terbarukan JBAT, 4 (1)
(2015) 6-13.
Karlina, Y; Adirestuti, P; Fadhillah, N.L; Fauziyyah, N; Malita, F., 2016. Pengujian Potensi Antijamur
Ekstrak Air Kayu Secang Terhadap Aspergillus Niger dan Candida Albicans. Chimica et Natura Acta, Vol.
4 No. 2, Agustus 2016, Hal. 84-87.
Kusmiati., Dameria., Priadi, Dody, 2014. Analisa Senyawa Aktif Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan
L.) Yang Berpotensi Sebagai Antmikroba. Seminar Nasional Teknologi Industri Hijau 1. Hal. 169-174.
Lestari, Tjandrakirana, Kuswanti, N., 2013. Pengaruh Pemberian Campuran Cairan Rebusan Kayu Secang
(Caesalpia Sappan L.) dan Daun Lidah Buaya (Aloe vera) terhadap Kadar Glukosa Darah Mencit (Mus
musculus). Lentera Bio Berkala Ilmiah Biologi, ejournal.unesa.ac..id. ISSN: 2252-3979. Vol. 2, No.1. Hal.
113-119.
Pertamawati, Nuralih, Fahrudin, F., 2014. Ekstrak Secang Sebagai Bahan Diuretikum (Percobaan Terhadap
Tikus Putih Jantan Galur Spraque Dawley). Al-Kauniyah Jurnal Biologi, Vol. 7, No. 2, Oktober 2014, Hal
89-93.
Rivai, H. Sari, D.P, Rizal, Z., 2012. Isolasi Dan Karakterisasi Flavonoid Antioksidan Dari Herba Meniran
(Phyllanthus niruri L.). Jurnal Framasi Higea, Vol. 4, No. 2, Hal. 100-111.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Risbang Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi yang memberikan dana hibah penelitian. LPPM, Jurusan Teknik Kimia, Analis serta dosen-dosen dan
mahasiswa Teknik Kimia yang membantu penulis dalam memujudkan penelitian ini .

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 34
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

OPTIMASI RASIO KITOSAN-PATI UMBI UWI DAN PELARUT UNTUK PROSES


PEMBUATAN PLASTIK BIODEGRADABEL DARI PATI UMBI UWI (Deoscorea Alata)
Zulmanwardi 1), Abigael Todingbua’1), Muhammad Saleh 1)
1).
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

The quality of biodegradable plastic products from greater yam (uwi) is still low. Efforts to improve the
quality of biodegradable plastics using chitosan biopolymers. The purpose of this study: 1). Looking for the optimum
conditions for the ratio of the uit and solvent tuber chitosan; 2). Test heat resistance; tensile strength; and testing
biodegradability of biodrgradabel plastics.
The method of making biodegradable plastics: uwi tuber starch dissolved in 10% acetone solvent, with a starch-
solvent ratio (b / v): 1:12. Then the plasticizer 3 ml sorbitol was added, and chitosan (varied), stir and heated at 90 0C for
20 minutes. The mixture is then poured into the mold, then allowed to stand at room temperature and pressure until a
plastic film is formed.
The highest tensile strength measurement results were 68.70 N / mm2 with a flexural strength of 349.6% in the
condition of 10% acetone mixture, chitosan 2.5%, (dissolved in 1% acetic acid) and 3 ml sorbitol, with a ratio of starch:
solvent 1: 12. Heat resistance at a maximum temperature of 160 0C (charred), and biodegradability period of 20 days.

Keywords: Plastic, biodegradable, greater yam (uwi), decay period, tensile strength

1. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan mengenai lingkungan adalah limbah plastik. Sampah plastik merupakan
sampah yang sulit terurai oleh lingkungan. Selain itu, plastik yang umum digunakan saat ini adalah polimer
sintetik yang terbuat dari bahan kimia yang tidak dapat terurai oleh mikroorganisme (non biodegradable), dan
menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource), misalnya naptha
yang berasal dari produk turunan minyak bumi yang keberadaannya semakin menipis. Kelemahan plastik dari
polimer sintetik yang lain adalah berbahaya bagi kesehatan manusia akibat migrasi residu monomer vinil
klorida sebagai unit penyusun polivinilklorida (PVC) yang bersifat karsinogenik (Siswono, 2008). Akibatnya
semakin banyak penggunaan plastik semakin meningkat pula pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, salah
satu alternatif untuk memecahkan masalah ini adalah dengan mengembangkan bahan plastik biodegradable.
Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan untuk kemasan pembungkus bahan pangan
layaknya seperti plastik konvensional yang selama ini kita gunakan, namun plastik biodegradable akan hancur
terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir berupa air dan gas karbondioksida setelah habis
terpakai dan terbuang ke lingkungan. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable
karena hasil penguraian mikroorganisme dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah (Firdaus dkk, 2004).
Plastik biodegradable dapat dibuat dari pati-patian tropis, seperti ubi kayu, jagung, dan sagu
(Pranamuda,2001). Salah satu jenis pati-patian yang layak dikembangkan sebagai bahan baku plastik
biodegradabel adalah pati dari Umbi Uwi (Dioscorea alata). Umbi tersebut mengandung pati (karbohidrat)
yang tinggi sekitar 43% (Ubaidillah, 2009), Sebagai bahan pangan, umbi uwi tidak disukai sebab rasanya
hambar. Kajian tentang pemanfaatan umbi uwi sebagai bahan baku plastik biodegradabel diperlukan untuk
mengurangi penggunaan bahan baku plastik dari pati-patian yang umum digunakan untuk pangan, misalnya
jagung, tapioka, dan sagu, sehingga mengancam ketahanan pangan nasional.
Plastik biodegradabel dari pati masih memiliki kekurangan sehingga dibutuhkan zat aditif untuk
memperbaiki sifatnya, seperti pemlastis (plasticizer) karena dapat meningkatkan elastisitas pada suatu
material (Darmi, dkk dalam Romadloniyah, F, 2012), zat aditif tersebut antara lain gliserol dan sorbitol.
Sedangkan untuk meningkatkan kekuatan tarik, zat aditif lain yang digunakan antara lain khitosan.
Penelitian penggunaan pati sebagai bahan plastik biodegradabel sudah banyak dilakukan, diantaranya
Pranamuda, 2001 melakukan pencampuran antara polimer plastik dengan pati tapioka dan sagu, dimana
hasilnya adalah semakin besar kandungan pati dalam campuran maka semakin tinggi tingkat
biodegradabilitasnya. Hasil ini didapat dari uji penguburan lempengan film plastik setebal 0,5 mm selama 1-6
bulan. Hasil lain adalah sifat mekanik yang meliputi kekuatan tarik dan elongasi dari plastik biodegradabel,
1
Korespondensi penulis: zulward@yahoo.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 35
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

tergantung dari keadaan penyebaran pati dalam fase plastik, di mana bila pati tersebar merata dalam ukuran
mikron dalam fase plastik, maka produk plastik biodegradable yang didapat mempunyai sifat mekanik yang
baik.
Firdaus dkk. (2007), mensintesis komposit pati singkong dan khitosan, di mana khitosan berfungsi
meningkatkan kharakteristik yaitu sifat mekanik plastik biodegradabel.
Nasir (2003), membuat plastik dari pati jagung, hasil yang diperoleh yaitu terjadi biodegradasi setelah
dilakukan penguburan dalam tanah sampah selama 12-16 hari. Sedangkan pengujian sifat biodegradabilitas
film plastik, mengunakan Bacillus cereus dalam limbah cair tahu terjadi biodegradasi lebih cepat yaitu 8-12
hari. Selain itu, pada pengujian ketahanan panas film plastik diperoleh kesimpulan bahwa jika semakin tebal
film plastik maka suhu maksimum ketahanan terhadap panas juga semakin tinggi.
Zulmanwardi, dkk (2013), membuat plastik dari pati umbi uwi dengan menggunakan pelarut etanol
dan aseton, dengan bahan pemlastis (plasticizer) gliserol. Hasil uji kharakteristik film plastik yang dihasilkan
(kuat tarik tertinggi), maka didapat pelarut terbaik adalah aseton
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian pembuatan plastik biodegradabel
dari pati sudah banyak dilakukan, namun bahan baku yang digunakan merupakan bahan yang umum
digunakan untuk pangan, yaitu jagung, tapioka (singkong), dan sagu, sehingga dapat mengancam ketahanan
pangan nasional apabila digunakan sebagai bahan baku plastik. Selain itu, kualitas plastik biodegradabel
diantaranya kharakteristik fisik (kekuatan tarik) masih dibawah standar, sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan menambah bahan aditif berupa biopolimer lain untuk meningkatkan kualitas. Sehingga
didapat kondisi proses produksi yang optimum, dan memungkinkan industri dapat memproduksi dengan biaya
yang murah tanpa mengurangi mutu produknya. Namun demikian hasil-hasil penelitian tersebut menjadi dasar
penelitian ini.
Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan biopolimer khitosan untuk meningkatkan kharakteristik
fisik mekanik (kekuatan tarik) plastik biodegradabel. Semakin besar konsentrasi khitosan , maka akan
semakin banyak ikatan hidrogen yang terdapat di dalam film plastik sehingga ikatan kimia dari plastik akan
semakin kuat. (Coniwanti, C, dkk., 2014). Pati umbi uwi (deoscorea alata) dipilih sebagai bahan baku
pembuatan plastik biodegradabel mengingat potensi umbi uwi di Sulawesi Selatan sangat banyak tumbuh
secara alamiah (belum banyak dibudidayakan). Umbi ini belum memiliki nilai ekonomi dan belum
dimanfaatkan dengan maksimal sebagai bahan pangan, penggunaannya masih sebatas umbi rebus dan masih
sebatas makanan rakyat golongan bawah. Selain itu kandungan pati (karbohidrat) umbi uwi 43%
(Ubaidillah,2009). Dengan demikian pengembangan pati umbi uwi sebagai bahan plastik biodegradabel tidak
mengancam ketahanan pangan nasional dan akan meningkatkan nilai ekonomis umbi uwi.
Tujuan penelitian ini adalah: a). menentukan kondisi optimum konsentrasi pelarut aseton; b).
menentukan kondisi optimum volume pemlastis (plasticizer) gliserol atau sorbitol; b). mencari pemlastis
(plasticizer) terbaik antara gliserol dengan sorbitol; dan c). menguji daya tahan panas; kekuatan tarik; dan
menguji masa urai atau biodegradabilitas plastik biodrgradabel.
Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk membuat plastik biodegradabel dari pati umbi uwi yang
merupakan bahan baku alternatif dari bahan nabati yang dapat diperbaharui. Pemanfaatan pati umbi uwi
tersebut diharapkan akan meningkatkan nilai ekonomis umbi uwi, dan dapat mengurangi penggunaan bahan
pati dari sumber bahan pangan yang telah umum dikonsumsi masyarakat (misal jagung, ubi kayu, dan sagu),
sehingga tidak mengganggu ketahanan pangan nasional. Hasil Penelitian ini sebagai informasi pengembangan
Ipteks
2. METODE PENELITIAN
Peralatan yang dipakai adalah gelas kimia (beaker glass) yang berfungsi sebagai reaktor, lalu
dicelupkan ke dalam bak minyak (oil bath). Untuk mendapatkan suhu reaksi yang konstan (90 0C), oil bath
dipanaskan menggunakan koil pemanas yang dihubungkan dengan sistem peralatan pengatur suhu
(temperature regulator). Pengadukan di dalam reaktor dilakukan dengan menggunakan motor pengaduk yang
dihubungkan dengan batang pengaduk. Selain itu juga digunakan peralatan untuk analisis sampel yang diuji.
Bahan baku yang digunakan untuk percobaan adalah tepung umbi uwi dari Bantaeng Sulawesi
Selatan. Untuk mendapatkan pati umbi uwi yang bersih, maka dilakukan perlakuan awal, yaitu umbi uwi
diproses menjadi tepung, lalu dibersihkan dengan cara mencuci kembali, lalu diendapkan, dan selanjutnya
endapan (pati umbi uwi) dikeringkan hingga kadar air kurang dari 15 %.
Bahan kimia yang digunakan adalah: Gliserol, Sorbitol, Aseton, asam asetat, dan bahan-bahan kimia
untuk analisis. Bahan pendegradasi adalah bakteri Bacillus cereus

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 36
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

Film plastik dibuat dengan cara menimbang pati umbi uwi 5 gram, lalu masukkan ke dalam gelas kimia 100
ml, selanjutnya menambahkan larutan aseton 10% sebanyak 60 ml, dan sorbitol 3 ml. Kemudian campuran
dipanaskan sambil diaduk selama 20 menit dalam oil bath yang sudah disiapkan pada suhu 90 0C, campuran
diangkat dan menuangkannya ke dalam talang atau alat cetak (casting) dalam keadaan panas. Selanjutnya
diamkan pada suhu dan tekanan ruang sampai terbentuk film plastik. Film plastik yang terbentuk dilepas dari
castingnya, untuk selanjutnya dianalisis. Kemudian mengulang proses pembuatan film plastik untuk variasi
lain.
Kondisi Operasi: Volume pemlastis/plasticizer (dari hasil optimum tahap I: 3 ml); Jenis pemlastis
(dari hasil tahap I: Sorbitol); Pelarut Aseton, (dari hasil tahap I, 10%); Khitosan, divariasikan (b/v): 0,5%,
1%, 1,5%, 2%, 2,5%, 3%, 3,5% dan 4%, yang dilarutksn dalam asam asetat 1%.; Suhu pemanasan 90 0C;
Waktu pemanasan 20 menit. Analisis dilakukan untuk: Pengukuran masa urai (biodegradabilitas);
Pengukuran kekuatan tarik; Pengukuran ketahanan panas (alat pemanas oven).

Metode dan dasar prosedur untuk analisis tersebut adalah sebagai berikut: 1). Pengukuran masa urai
(biodegradabilitas): Pengukuran menggunakan metode standar pengujian sifat biodegradabilitas bahan
plastik, yaitu ISO 14853 dengan cara penentuan biodegradabilitas aerobik final dan disintegrasi dari bahan
plastik dalam kondisi komposting terkendali-metode analisa karbondioksida yang dihasilkan (Pranamuda, H,
2001)
Pengukuran dilakukan dengan dua cara: (1). Penguburan dalam tanah sampah, dengan interval waktu
pengamatan setiap 4 hari untuk melihat perubahan yang terjadi pada sampel film plastik. (2). Menggunakan
kultur Bacillus cereus, di mana sampel film plastik direndam dalam wadah yang berisi larutan yang telah
dikembang- biakan bakteri bacillus cereus, pengamatan dilakukan setiap 4 hari. 2). Pengukuran kekuatan
tarik: Untuk mengukur maksimum beban yang dapat ditahan oleh film plastik selama uji pembebanan
berlangsung. Metode yang digunakan adalah ASTM Methode D-882, yaitu Methode Static Weighing
Constan Rate of Grip Separation Test. Alat yang digunakan Tension and Compression Testing Machine. 3).
Pengukuran ketahanan panas: Prinsip pengukuran dilakukan dalam alat pemanas oven, dengan cara film
plastik dimasukkan ke dalam oven pada suhu 30 0C, lalu menaikkan suhu oven dengan interval 10 0C selama 5
menit, lalu mencatat perubahan yang terjadi pada film plastik hingga film hangus.
Data yang diperoleh dari percobaan ini adalah kekuatan tarik, ketahanan panas, dan masa urai
(biodegradabilitas) film plastik, pada berbagai variasi khitosan, dengan pemlastis sorbitol, dan pelarut aseton.
Dari data tersebut dapat dilakukan evaluasi untuk menentukan kondisi optimum dari parameter yang diuji.
Indikator evaluasi adalah: nilai kekuatan tarik dan ketahanan panas tertinggi, serta masa urai
(biodegradabilitas) film plastik terendah atau paling cepat.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembuatan Film Plastik Biodegradabel
Film plastik yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki karakteristik dan kondisi fisik film plastik
yang baik. Secara fisik film plastik yang terbentuk sangat kuat, tidak mudah sobek dan cukup fleksibel apabila
di tarik. Berdasarkan tampilan warna film plastik yang dihasilkan yaitu berwarna kuning kecoklatan, namun
ada beberapa film plastik yang memiliki warna coklat tua, hal tersebut disebabkan karena warna bahan baku
dari pati umbi uwi masih berwarna kekuningan dan sifat dasar pati apabila terkena panas yang tinggi akan
merubah warna dari produk yang dihasilkan dari pati tersebut. Pengaruh film plastik yang berwarna
kecoklatan disebabkan pengaruh suhu terdahap kecepatan hidrolisis karbohidrat akan mengikuti persamaan
Arhenius, bahwa semakin tinggi suhunya semakin tinggi konversi yang didapat, tetapi kalau suhu terlalu
tinggi konversi yang diperoleh akan menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya glukosa yang pecah menjadi
arang, yang ditunjukkan oleh makin tuanya warna hasil dari film plastik itu sendiri (Agra dkk, 2006).
Plastik biodegradabel yang dihasilkan dibuat dari pati umbi uwi (Dioscorea alata) dengan berbagai
variabel proses diantaranya perbandingan konsentrasi khitosan, dan pemlastis sorbitol,. Adapun film plastik
yang dihasilkan antara lain film plastik yang kualitas baik (layak uji) dan tidak mudah robek serta film plastik
yang mudah robek (tidak layak uji).
Film plastik yang baik dan tidak mudah robek memiliki karakteristik dan kondisi mekanik seperti film
plastik yang dihasilkan mudah dilepas dari cetakan dan setelah dikeringkan sampel elastis dan tidak mudah
robek. Sedangkan untuk sampel film plastik yang mudah robek memiliki karakteristik dan kondisi mekanik
seperti film plastik sulit dilepas dari cetakan dan setelah dikeringkan sampel agak kaku dan mudah robek.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 37
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

Secara fisik film plastik yang dihasilkan pada penelitian ini, terlihat bahwa film plastik dengan
penambahan khitosan tanpa dilarutkan terlebih dahulu dengan asam asetat berbentuk tidak rata
(bergerigi/bintik-bintik). Hal ini terjadi karena khitosan belum larut atau tidak mau larut sempurna dalam
campuran bahan baku. Namun setelah khitosan dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut asam asetat 1%
maka kondisi film plastik menjadi lebih rata/halus dan padat dan tidak mudah robek.
Campuran bahan baku plastik terdiri pati umbi uwi 5 gram (hasil tahap I / tidak divariasikan), pelarut
aseton 10% (hasil tahap I / tidak divariasikan), khitosan (divariasikan), dan pemlastis sorbitol 3 ml (hasil tahap
I / tidak divariasikan). Volume pemlastis tersebut tetap untuk menghindari terjadi reduksi ikatan hydrogen
internal pada rantai karbohidrat (dari pati) sehingga struktur jaringan karbohidrat lebih padat dan memiliki
karakteristik dan kondisi mekanik pada film plastik yang baik dan tidak mudah robek.
Pengukuran Ketahanan Panas
Ketahanan panas merupakan salah satu karakteristik mekanik film plastik yang dapat dijelaskan
sebagai panas maksimum yang dapat ditahan film plastik selama pengukuran berlangsung. Prinsip pengukuran
dilakukan dengan cara film plastik dipanaskan ke dalam oven pada suhu awal 30 0C, lalu menaikkan suhu
oven dengan interval 10 0C selama 5 menit, kemudian mencatat perubahan yang terjadi pada film plastik
hingga film hangus.
Ketebalan sampel plastik dipengaruhi oleh volume pemlastis yang ditambahkan dalam campuran
bahan baku dengan berat pati umbi uwi dan volume pelarut aseton tetap, sehingga volume total campuran
bahan baku semakin besar. Jika dicetak pada ukuran cetakan yang sama, maka ketebalan film plastik
dipengaruhi oleh volume total campuran bahan baku. Namun demikian penambahan jumlah pemlastis tidak
berbanding lurus dengan kualitas campuran plastik, hal ini dikarenakan semakin tinggi jumlah pemlastis maka
campuran bahan baku sulit homogen, sehingga penyebaran pati dalam capuran tidak merata.
Hasil pengukuran ketahanan panas, dapat di lihat film plastik yang cepat hangus dan mengkerut
memiliki kandungan konsentrasi khitosan yang rendah dan kandungan air yang terdapat pada film plastik
lebih besar, hal ini di tandai oleh film plastik mengkerut terlebih dahulu yaitu pada film plastik yang memiliki
konsentrasi khitosan 0.5%.

a). Kondisi sampel plastik sebelum b). Kondisi sampel plastik pada
dipanaskan suhu tertinggi
Gambar: 1. Sampe plastic biodegradable pada pengujian ketahanan panas

Hal ini disebabkan karena adanya kandungan air didalam film plastik yang mengalami penguapan,
yakni dalam proses penguapan air tersebut partikel-partikel bahan akan bergerak ke atas, yang menyebabkan
lapisan antar sel menyatu, sehingga film plastik lebih mudah menjadi kering, lalu menjadi kaku dan semakin
lama akan menjadi rapuh/hancur pada kondisi suhu tertentu (Setiani et al,2013). Jadi, semakin kecil
konsentasi khitosan dalam film plastik maka semakin cepat juga rusak oleh panas yang tinggi, dan semakin
besar pula kandungan air dalam film plastik maka semakin cepat pula rusak dan mengkerut.
Pengukuran Masa Urai (Biodegradabilitas)
Proses pengukuran masa urai (biodegradasi) ini bertujuan untuk megetahui tingkat ketahanan plastik
biodegradable yang dihasilkan, yang berkaitan dengan pengaruh mikroba pengurai, kelembaban tanah dan
suhu bahkan faktor kimia fisik yang lain (Suryati, dkk. 2016). Biodegradasi sendiri didefinisikan sebagai
kemampuan bahan untuk dapat dengan mudah terdegradasi dengan mikroba. Secara fisik dan kimiawi film
plastik yang dihasilkan jelas memiliki sifat biodegradabilitas yang baik. Hal ini disebabkan karena bahan baku
yang digunakan adalah bahan baku organik (pati) yang sangat mudah berinteraksi dengan air dan biota tanah.
Plastik biodegradable berbahan dasar pati dapat didegradasi oleh bakteri pseudomonas dan bacillus memutus
rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Sebagai perbandingan, plastik sintetis membutuhkan waktu
sekitar lebih dari 100 tahun agar dapat terdekomposisi di alam, sementara bioplastik dapat terdekomposisi 10-

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 38
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

20 kali lebih cepat, dan saat dibakar bioplastik tidak menghasilkan senyawa yang berbahaya seperti karbon
monoksid. Sampel berupa plastik biodegradable dengan ukuran 2 2 cm ditanamkan dalam tanah ± 30 cm
yang ditempatkan menggunakan aluminium foil dan diamati setiap 4 hari sampai terdegradasi secara
sempurna. Berdasarkan hasil pengamatan setelah sampel film plastik ditanam pada waktu 4 hari kondisi film
plastik secara keseluruhan telah mengalami perubahan fisik, sampel film plastik sudah mulai terurai dengan
ditandai perubahan teksturnya menjadi lebih lunak, sedangkan dalam waktu 8 hari kondisi film plastik semua
sampel telah terurai sebagian (mulai ditumbuhi jamur).

a). Kondisi sampel plastik 4 Hari b). Kondisi sampel plastik sebelum
terdekomposit sempurna
Gambar: 2. Kondisi Sampel Plastik Sebelum Terurai Sempurna

Penanaman 20 hari ada beberapa sampel film plastik yang telah terurai sempurna yaitu film plastik
dengan konsentrasi pelarut aseton 10% dengan konsentrasi khitosan 0.5%, 1% 2.5% dan 3%,. Pada waktu
penanaman 28 hari kondisi seluruh film plastik telah terurai secara sempurna ditandai dengan tidak adanya
sampel film plastik di dalam tanah dan diduga sudah menjadi humus.
Semakin tingginya kadar khitosan maka semakin lambat degradasinya, ini karena penyerapan air yang
lambat akibat tingginya kadar kitosan. Kitosan yang bersifat hidrofobik menghambat laju penyerapan air yang
memudahkan bakteri untuk membusukkan sampel plastik (Selpiana, dkk.2016).
Semakin lambatnya degradasi yang terjadi disebabkan oleh semakin padatnya antar molekul film
plastik karena penambahan khitosan sehingga penyerapan air berlangsung lambat. Selain itu, bakteri yang
berada ditanah akan mendegradasi film plastik yang mengandung pati (polimer alami) dengan cara
memutuskan rantai polimer menjadi monomer-monomernya melalui enzim yang dihasilkan dari bakteri
tersebut (Sanjaya dkk, 2011). Film plastik yang dihasilkan bersifat mudah terurai hal itu disebabkan karena
bahan baku yang digunakan adalah bahan baku yang mudah berinteraksi dengan air dan mikroorganisme serta
sensitif terhadap pengaruh fisiko kimia. (Hidayati, S. dkk. 2015).
Pranamuda (2001), menyatakan bahwa sifat biodegradabilitas dari plastik biodegradabel berbasiskan
pati sangat tergantung dari rasio kandungan patinya. Semakin banyak kandungan pati, maka semakin tinggi
tingkat biodegradabilitasnya atau semakin tinggi kandungan pati dalam campuran plastik maka semakin
mudah terdegradasi.
Pengujian Kuat Tarik Film Plastik.
Kuat tarik merupakan salah satu sifat mekanik film plastik yang penting, karena terkait dengan
kemampuan film plastik untuk melindungi produk yang dilapisinya. film plastik dengan kuat tarik yang tinggi
diperlukan pada penggunaan sebagai kemasan produk pangan yang bertujuan untuk melindungi bahan pangan
selama penanganan, transportasi dan pemasaran (Pitalk dan Rakshit, 2011).
Berdasarkan hasil pengujian kuat tarik pada sampel film plastik yang menggunakan pemlastis sorbitol
diperoleh nilai kuat tarik tertinggi pada konsentrasi pelarut Aseton 10% dengan konsentrasi khitosan 2.5%
yaitu 68,7014 N/mm2 dan nilai kuat tarik yang terendah pada konsentrasi pelarut Aseton 10% dengan
konsentrasi khitosan 0.5% yaitu 11,4627 N/mm2. Ketebalan dari plastik pada saat proses pencetakan di
anggap sama yaitu dengan volume 100 ml. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa penambahan khitosan
memberikan hasil yang berbeda pada plastik yang dihasilkan. Bertambah banyak khitosan membuat nilai kuat
tarik semakin naik. Hal ini membuat plastik semakin homogen dan strukturnya rapat, dengan karakteristik
tersebut kuat tarik mengalami kenaikan dan dengan konsentrasi khitosan yang lebih sedikit menyebabkan
berkurangnya ikatan hidrogen internal molekul dan melemahnya gaya tarik intermolekul rantai polimer yang
berdekatan sehingga mengurangi daya kuat tarik dan menghasilkan plastik biodegradable yang memiliki
karakteristik tidak terlalu kaku dan cukup elastis (Selpiana, dkk. 2015)
Peningkatan persen kuat mulur terjadi karena pemlastis (plasticizer) mampu mengurangi kerapuhan
dan meningkatkan fleksibilitas film polimer dengan cara mengganggu ikatan hidrogen antara molekul polimer
yang berdekatan sehingga kekuatan tarik-menarik intermolekul rantai polimer menjadi berkurang (Hidayati, S.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 39
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

dkk. 2015). Pemlastis (Plastisizer) juga merupakan bahan organic dengan berat molekul rendah yang
ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer (Ward and Hadley, 1993), sekaligus
meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer (Ferry, 1980).
Pengaruh khitosan sangat berperan penting dalam pembuatan film plastik selain peran khitosan
sebagai penguat plastik, khitosan juga berperan untuk menjaga atau mengikat bahan-bahan lain yang
digunakan dalam pembuatan film plastik tersebut agar kondisi fisik dan bentuk film plastik dapat terjaga.
Khitosan memiliki sifat hidrofobik (tahan terhadap air) sehingga keunggulan utama dari penambahan khitosan
ini untuk mencegah/memperlambat rusaknya sebuah film plastik dikarenakan kandungan pati umbi uwi yang
sangat tidak tahan terhadap air tau bersifat hidrofilik.
Konsentrasi khitosan terbaik adalah 2.5% dengan pelarut aseton 10%. Kondisi optimum terjadi pada
pelarut aseton 10% dikarenakan pada kondisi ini pelarut aseton 10% memiliki kandungan air yang cukup
bagus untuk menghidrolisis pati, hidrolisis merupakan suatu proses kimia yang menggunakan H2O sebagai
pemecah suatu persenyawaan. Konsentrasi khitosan dibawah 2.5% menghasilkan film plastik yang tidak kuat
dikarenakan ikatan hidrogen yang rendah sehingga menyebabkan ikatan antar molekul dari plastik akan
rendah pula. Konsentrasi khitosan diatas 2.5% menghasilkan film plastik yang tidak kuat dikarenakan
penambahan kitosan yang mencapai setengah berat campuran menurunkan tingkat homogenitas pada
campuran, kurang homogennya larutan ditunjukan pada tekstur permukaan bioplastik yang kasar. Hal ini
diperkuat dengan penelitian Utami, dkk (2014) yang menyatakan proses pencampuran yang kurang homogen
mengakibatkan distribusi molekul komponen penyusun bioplastik kurang merata, sehingga material yang
dihasilkan mengalami penurunan kuat tarik.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
Rasio optimum khitosan-pati uwi adalah: khitosan dengan konsentrasi 2,5%, pati umbi uwi 5 gram,
dan pada konsentrasi pelarut 10%. serta rasio pati-pelarut 1 : 12 (b/v); Pada kondisi optimum campuran bahan
baku tersebut, hasil analisis didapat: nilai kuat tarik tertinggi sebesar 68,7014 N/mm 2 dan kuat mulur sebesar
349,6%, masa urai selama 20 hari, ketahanan panas dengan suhu maksimum 160℃ (kondisi hangus) 90℃
(kondisi mengkerut).
Saran
Peralatan pemanas sebaiknya dirancang sedemikian rupa agar suhu campuran bahan baku dapat dikontrol
lebih baik, sehingga hasil plastik biodegradabel akan lebih baik lagi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Buzarovska A, Bogoeva-Gaceva G, Grozdanov A, Avella M, Gentile G, dan Errico M. 2008. Potential use of
rice straw as filler in eco-composite materials. Australian Journal of Crop Science. 1(2):37-42
Careda, M.P,et.,al. 2007. Characterization of Edible Films of Cassava Strach by Electron Microscopy. Braz,
Journal Food Technology page: 91-95.
Coniwanti, C, dkk, 2014. Pembuatan Film Plastik Biodegradabel dari Pati Jagung Dengan Penambahan
Khitosan dan Pemlastis Gliserol, Jurnal Teknik Kimia, No.4, Vol. 20, Desember 2014.
Firdaus, 2007. Bahan Plastik Ramah Lingkungan. Puslit Bioteknologi LIPI. Jakarta.
Hidayati, S. Dkk. 2015. Aplikasi Sorbitol Pada Produksi Biodegradable Film Dari Nata De Cassava. Bandar
Lampung. Jurnal Reaktor, Vol. 15 No. 3, Hal. 196-204.
Huri, D. dkk. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit Apel Terhadap Karakteristik
Fisik dan Kimia Edible Film. Malang. Jurnal Pangan dan Argoindustri Vol. 2 No 4p.29-40,.
Indrastuti, Erning. 2012. Karakteristik Tepung Uwi Ungu (Dioscorea alataI) yang Direndam dan Dikeringkan
Sebagai Bahan Edible Paper. Laporan Tugas Akhir. Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri
Pontianak. Pontianak.
Ita Indriana Sari. 2015. Pemanfaatan tepung kulit singkong (manihot utilissima) untuk pembuatan plastik
ramah lingkungan (biodegradable) dengan penambahan gliserol dari minyak jelantah. Fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan universitas muhammadiyah surakarta.
Julianto, G.E. et al. 2011. Karakteristik Edible Film Dari Gelatin Kulit Nila Merah Dengan Penambahan
Platicizer Sorbitil dan Asam Palmitat. Yogyakarta. Jurnal Perikanan (J. Ish. Sci.) XIII (1) : 27-34
ISSN : 0853-6384.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 40
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.35-41) 978-602-60766-4-9

Narayan, Ramani. 2003. Biobased Biodegradable Products - An Assesment. Michigan State University.
Michigan. PDII- LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation: Jakarta
Nasir, Y. 2003. Pembuatan Bahan Kemasan Plastik Biodegradabel dari Tepung Maezena, Laporan Hasil
Penelitian. Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Pranamuda, H. 2001, Pengembangan Bahan Plastik Biodegradabel Berbahan Baku Pati Tropis. BPPT.
Jakarta
Romaddloniyah, F, 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Plastik Biodegradabel dari Onggok Singkong dengan
Plasticizer Sorbitol, Skripsi, PS. Kimia, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Setiani, et al., 2013. Preparasi Dan Karakterisasi Edible Film Dari Poliblend Pati Sukun-Kitosan. Jurnal
Kimia Valensi Vol. 3 No. 2. November 2013 (100-109) ISSN : 1978 – 8193. Jurusan Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sirikhajornnam, P. dan Panu D. 2006. A Preliminary Study of Preparing Biodegradable FilmFrom Starch.
Thailand : Thammasat University
Siswono. 2008. Jaringan Informasi pangan dan Gizi, volume XIV. Ditjen Bina Gizi Masyarakat. Jakarta.
Ubaidillah, 2009. Forum Kerjasama Agribisnis. http://www.sifat tumbuh uwi.com [25 Februari 2016]
Zulmanwardi, dkk. 2013. Pemanfaatan Pati umbi uwi (Deoscorea alata) Sebagai Bahan Baku Alternatif
Pembuatan Plastik Biodegradabel, Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing. Politeknik Negeri Ujung
Pandang.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 41
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.42-46) 978-602-60766-4-9

PENGARUH UKURAN ADSORBEN DAN WAKTU ADSORPSI TERHADAP PENURUNAN


KADAR COD PADA LIMBAH CAIR TAHU MENGGUNAKAN ARANG AKTIF
TEMPURUNG KELAPA
Sirajuddin1), Harjanto1)
1,)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda

ABSTRACT

Wastewater tofu contains COD is high, it can cause environmental pollution. The objective of this research is to
determine the size of the adsorbent and the contact time of the reduced levels of COD in the effluent out with adsorbtion
process. Manufacture of activated charcoal through physical activation process with temperature 600 oC for 2 hours and
then activated using phosporic acid for 2 hours at temperature 25oC. The adsorption process is done by mixing samples
of effluent out with adsorbent with 50 ml of the sample and 5 grams of charcoal with variations in particle sizBe -70
+100, -100 +170, +200 and -170 mesh and adsorption time 10, 30, 50, 70 , 90 and 100 minutes. The best results were
obtained from this research is at -170 +200 sized adsorbent and adsorption time of 90 minutes ie COD levels at 560 ppm
with a 94% reduction .

Keywords: activated charcoal, adsorbtion, coconut shell, COD, waste tofu,

1. PENDAHULUAN
Industri tahu merupakan salah satu industri kecil yang berkembang cukup pesat di berbagai daerah termasuk
di kota Samarinda. Dari data yang didapatkan dari Dinas Perindustrian Kota Samarinda, Kelurahan Selili
sebagai salah satu pusat industri tahu yang ada di Samarinda terdapat 46 pengrajin tahu. Setiap industri rata-
rata memproduksi tahu dari kacang kedelai sejumlah 100 kg/hari. Industri tersebut menghasilkan produk
samping erupa limbah cair. Jumlah limbah cair tahu yang dihasilkan untuk mengolah 100 kg kacang kedelai
menjadi tahu rata-rata 400 L (Kasimin dkk., 2017), sehingga potensi limbah cair yang dihasilkan setiap hari
sebanyak 18.400 L. Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik yang tinggi terutama protein
dan asam-asam amino. Adanya senyawa-senyawa organik tersebut menyebabkan limbah cair industri tahu
mengandung BOD, COD, dan TSS yang tinggi. Limbah cair tahu sangat berbahaya untuk dibuang langsung
ke lingkungan karena mengandung COD 2080-3680 mg/L, BOD 1271-1741 mg/L, dan TSS 1000-1433 mg/L
(Azmi dkk., 2016). Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Kalimantan Timur No. 2 Tahun 2011
tentang Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu dapat dilihat pada table berikut
Tabel 1. Standar baku mutu limbah cair tahu
No Parameter Jumlah
1 BOD 150 mg/L
2 COD 300 mg/L
3 TSS 100 mg/L
4 pH 6-9
Sumber : Peraturan Daerah Kalimantan timur no 2 tahun 2011
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah cair tahu yaitu dengan cara menggunakan
proses adsorpsi menggunakan arang aktif. Adsorpsi merupakan suatu fenomena meningkatnya konsentrasi
suatu partikel tertentu antar dua fase suatu material. Partikel atau material yang diadsorpi disebut adsorbat
dan bahan yang berfungsi sebagai penyerap disebut adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya energi
permukaan dan gaya tarik menarik permukaan. Kinetika proses adsorpsi dijelaskan sebagai tingkat
perpindahan molekul dari larutan ke dalam pori–pori adsorben ( Faust& Aly, 1929 ). Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kecepatan adsorpsi dan berapa banyak adsorbat yang dapat diserap oleh adsorben.
Cheremisinoff (2002) menjabarkan beberapa faktor tersebut antara lain Karakteristik Adsorban. Faktor yang
cukup penting dalam proses adsorpsi ialah karakteristik media adsorban yang meliputi luas permukaan,
ukuran partikel, komposisi kimia dan lain–lain. Namun pada proses adsorpsi faktor yang paling dominan
ialah luas permukaan spesifik dan ukuran partikel.

1
Korespondensi penulis: Sirajuddin, Telp 081350456987, sirajuddin@polnes.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 42
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.42-46) 978-602-60766-4-9

Pada umumnya jumlah adsorpsi yang terjadi per berat unit adsorban akan semakin besar bila media
adsorban semakin luas spesifikasinya atau dapat dikatakan bahwa kapasitas adsorpsi berbanding lurus dengan
permukaan spesifik media. Distribusi ukuran partikel menentukan distribusi ukuran molekul yang dapat
masuk ke dalam media untuk diadsopsi. Ukuran partikel umumnya dibedakan menjadi dua yaitu makropori
dan mikropori. Dikarenakan penyerapan molekul adsorbat dari mikropori lebih banyak dibandingkan
makropori, maka ukuran molekul adsorbat yang lebih kecil akan lebih banyak diadsorpsi daripada molekul
adsorbat yang lebih besar.
Karakteristik adsorbat yang perlu diperhatikan dalam proses adsorpsi ialah ukuran molekul, kelarutan,
komposisi kimia dan lain–lain. Ukuran molekul adsorbat mempengaruhi proses adsorpsi molekul adsorbat
tersebut pada media adsorban, terutama pada media berpori. Ukuran molekul adsorbat yang lebih besar dari
pada ukuran pori adsorban tentu saja mempunyai tingkat kecepatan adsorpsi yang lebih kecil dibandingkan
dengan ukuran molekul yang lebih kecil. Molekul-molekul adsorbat yang mempunyai sifat kelarutan yang
tinggi tentu akan lebih sukar untuk dipisahkan dengan pelarutnya dan proses adsorpsi yang diharapkan tidak
terjadi optimal.
Pengadukan berguna agar adsorben dapat tersebar secara merata di setiap bagian dengan harapan dapat
menyerap zat adsorbat dengan sempurna dan dapat menghasilkan daya adsorpsi yang maksimal. Pengadukan
juga berfungsi untuk selalu memperbaharui gradien konsentrasi antar muka adsorben dengan bulk adsorbat
agar peristiwa adsorpsi dapat tetap berlangsung. Pengadukan yang lebih cepat menyebabkan adsorben dapat
memperbesar zona kontak dengan bulk adsorbat.
Waktu kontak yang diperlukan untuk mencapai equilibrium tidaklah selalu sama untuk setiap proses
adsorpsi. Waktu kontak yang diperlukan oleh proses adsorpsi didapatkan dimana tidak lagi terjadi perubahan
konsentrasi adsorbat pada solute. Waktu kontak untuk mencapai keseimbangan tidak selalu sama dalam
setiap proses. pH yang digunakan adalah pH 6-8. Penentuan pH dipastikan tidak merubah sifat adsorban dan
atau adsorbat yang terlibat dalam proses adsorpsi.
Karbon aktif merupakan arang dengan struktur amorphous atau mikrokristalin yang sebagian besar terdiri
atas karbon bebas dan memiliki internal surface. Kemampuan karbon aktif untuk mengadsorpsi ditentukan
oleh struktur kimia yaitu atom C, H dan O yang terikat secara kimia membentuk gugus fingsi. Aktifitas
penyerapan karbon aktif tergantung dari kandungan senyawa karbon dalam bahan, umumnya terdiri dari 85–
95% karbon bebas (Ramdja dkk, 2008). Tempurung kelapa merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan
sebagai adsorben karena mengandung kadar lignin 29,4%, selulosa 26,60%, pentosane 27,7%, kadar abu
0,62% dan kadar air sekitar 6-9% (Suhartana, 2006).
Penelitian tentang pengolahan limbah cair tahu dengan proses adsorpsi menggunakan arang aktif telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan Alimsyah dan Damayanti
(2013) menggunakan limbah cair tahu dengan variasi waktu, dimana limbah cair tahu dialirkan secara
continue melewati arang aktif dari tempurung kelapa. Hasil terbaik yang diperoleh yaitu pada waktu satu hari
dapat menurunkan kadar COD dari 3200 ppm sampai 480 ppm dengan persentase penurunan sebesar 85%.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Laras dkk., (2015) menggunakan limbah cair tahu dengan variasi
massa arang aktif kulit kacang kedelai. Hasil terbaik yang diperoleh yaitu pada saat massa arang aktif 3 g
dimana dapat menurunkan kadar COD dari 8600 ppm sampai 3260 ppm dengan persentase penurunan sebesar
62%.
Pada penelitian ini dilakukan dengan variasi ukuran adsorben dan waktu kontak terhadap penurunan kadar
COD pada limbah tahu. Menurut Faust & Aly (1987) ukuran adsorben dan waktu kontak adalah salah satu
yang mempengaruhi proses adsorpsi, dimana semakin kecil ukuran adsorben maka semakin besar luas
permukaan dan dengan waktu yang semakin lama mengakibatkan zat yang teradsorpsi semakin banyak.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran adsorben dan waktu kontak terhadap penurunan kadar COD
pada limbah cair tahu dengan proses adsopsi menggunakan arang aktif tempurung kelapa.

2. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini alat yang digunakan antara lain: alat hot plate, peralatan refluks, magnetic stirerr,
furnace, kertas saring, dan corong.
Bahan yang dibutuhkan pada penelitian ini antara lain: limbah cair tahu, asam phospat, aquadest,
tempurung kelapa.

Prosedur kerja :
1. Pembuatan adsorben

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 43
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.42-46) 978-602-60766-4-9

Mengeringkan tempurung kelapa, memanaskan tempurung kelapa di dalam oven pada temperature 105˚C
selama 1 jam, memanaskan tempurung kelapa di dalam furnace pada temperature 600˚C selama 2 jam,
aktivasi menggunakan asam phospat 9%, menetralkan dengan aquadest, mengeringkan tempurung
kelapa,mengecilkan ukuraan arang aktif menggunakan screening dengan ukuran -70 +100, -100 +170, dan
-170 + 200 mesh.
2. Adsorpsi
Masukkan 50 mL limbah cair tahu ke dalam gelas kimia menggunakan gelas ukur 100 mL, masukkan 5
gram arang aktif pada setiap sampel, homogenkan limbah cair tahu tersebut mengggunakan magnetic
strirrer dan hot plate selama 10, 30, 50, 70, dan 90 menit, saringlah limbah cair tahu menggunakan kertas
saring ke dalam botol.
3. Analisa Kadar COD

Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Limbah cair tahu yang digunakan pada penelitian ini berasal dari UKM produksi tahu yang berlokasi di
Kecamatan Selili Kota Samarinda menggunakan limbah tahu. Pada tahap awal dilakukan analisa sampel
sebelum diadsorpsi unyuk mengetahui kadar COD sampel. Selanjutnya diadsorpsi dengan menggunakan
arang aktif berdasarkan ukuran adsorben dan waktu kontak.

Tabel 2. Kadar COD pada limbah cair tahu sebelum melalui proses adsorpsi
Waktu (menit) Kadar COD (ppm)
0 9340

Tabel 3. Daya serap Iod pada arang aktif tempurung kelapa


Ukuran Adsorben
Daya Serap Iod (mg/g)
(mesh)
-70 +100 909,9902
-100 +170 922,3118
-170 +200 945,3218
Sumber : Hasil Analisa (2018)

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 44
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.42-46) 978-602-60766-4-9

Tabel 4 Pengaruh ukuran adsorben dan waktu kontak terhadap penurunan kadar COD pada limbah
tahu
Ukuran Adsorben
‘-70 +100 -100 +170 -170 +200
Volume
waktu FAS
(menit) (ml) Volume Volume Volume
Kadar Persentase Kadar Persentase kadar Persentase
Blanko FAS FAS FAS
COD Penurunan COD Penurunan COD Penurunan
(ml) (ml) (ml)
(ppm) (%) (ppm) (%) (ppm) (%)
Sampel Sampel Sampel

10 2 6800 27.19 2.7 6240 33.19 5.1 4320 53.75


30 5.1 4320 53.75 8 2000 78.59 8.3 1760 81.16
50 5.5 4000 57.17 8.1 1920 79.44 9.5 800 91.43
10, 5
70 9 1200 87.15 9.4 880 90.58 9.6 720 92.29
90 9.4 880 90.58 9.7 640 93.15 9.8 560 94.00
100 5.8 3760 59.74 6.2 3440 63.17 7.2 2880 69.16
Sumber :Hasil Analisa (2018)

Pembahasan
Pengaruh Ukuran Adsorben dan Waktu Kontak Terhadap Kadar COD Pada Limbah Tahu
Proses adsorpsi mengunakan arang aktif dari tempurung kelapa yang telah diaktivasi secara fisika
dengan pemanasan pada temperature 600˚C selama 2 jam dan aktivasi kimia menggunakan asam phospat 9%.
Pada penelitian ini menggunakan variasi ukuran adsorben dan waktu adsorpsi. Variasi ukuran adsorben yang
digunakan adalah adalah -70 +100 , -100 +170 dan -170 +200 mesh.
Pengukuran kadar COD pada limbah tahu dilakukan untuk mengetahui kadar COD awal limbah cair tahu
sebelum dilakukan proses adsorpsi. Kadar yang didapatkan pada limbah cair tahu tersebut ialah 9340 ppm
yang melampaui batas standar baku mutu limbah cair tahu berdasarkan peraturan daerah Kalimantan timur
No.2 Tahun 2011 yaitu maksimal 300 ppm..
100009340
9340
9340
-70+100
Kadar COD (ppm)

8000 6800
6240
-100+170
6000 4320 4320 4000 3760 -170+200
3440
2880
4000 2000
1760 1920
800 1200
880
720 880
640
2000 560
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Waktu (menit)

Gambar 2a. Pengaruh ukuran adsorben dan waktu kontak terhadap kadar COD pada limbah tahu

120
91.43 92.29
90.58
87.15 94
93.15
90.58
100 81.16
Penurunan COD (%)

78.59 79.44 -70+100=


69.16
63.17
80 57.17 59.74
53.75 53.75 -100+170
60
33.19
27.19 -170+200
40
20
0
0 20 40 60 80 100 120
Waktu (menit)

Gambar 2b. Pengaruh ukuran adsorben dan waktu kontak terhadap Persen Penurunan COD pada limbah tahu

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 45
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.42-46) 978-602-60766-4-9

Dari gambar 2a dan 2b terlihat pada ukuran -70 +100, -170 +170, dan -170 +200 untuk waktu 10 menit
diperoleh kadar COD berturut-turut 6800, 6250, 4320 ppm dengan persen penurunan 27.19%, 33.19% dan
53.75%. Semakin kecil ukuran adsorben maka semakin kecil kadar COD yang diperoleh. Ukuran adsorben
merupakan salah satu dari faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi. Menurut Faust & Aly (1987) luas
permukaan dari adsorben meningkat dengan penurunan ukuran partikel. Peningkatan waktu adsorpsi untuk
variasi ukuran adsorben diperoleh kadar COD semakin kecil dan kadar COD terkecil pada proses adsorpsi
dengan waktu 90 menit dengan kadar COD untuk masing-masing variasi ukuran adsorben adalah 880, 640
dan 560 ppm dengan penurunan kadar COD masing-masing sebesar 90,58%, 93,15% dan 94%. Setelah proses
adsorpsi selama 100 menit kadar COD mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena adsorben telah
mengalami kejenuhan sehingga daya jerap adsorben berkurang.

4. KESIMPULAN
1.Semakin kecil ukuran adsorben, semakin besar penurunan kadar COD.
2.Waktu yang paling baik untuk penurunan kadar COD yaitu pada saat waktu adsorpsi 90 menit pada ukuran
adsorben -170 +200 mesh dengan persentase penurunan sebesar 94%.

5. DAFTAR PUSTAKA
Alimsyah, A., Damayanti, A. (2013). Penggunaan arang Tempurung Kelapa dan Eceng Gondok untuk
Pengolahan Air Limbah Tahu dengan Variasi Konsentrasi.Jurnal Teknik Lingkungan, ITS, Vol. 2,
No. 1.
Azmi, M., Andrio, D., Edward HS. (2016) Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Tanaman
Typa Latifolia dengan Metode Construced Wetland. Jurnal Fakultas Teknik, Universitas Riau, Vol.
3, No. 2.
Cheremisinoff, N. P. (2002). Handbook of water and wastewater treatment technological. Amerika: Pollution
engineering.
Dinas Perindustrian Kota Samarinda Kalimantan Timur. (2017). Badan Perindustrian dan Perdagangan Kota
Samarinda, Kalimantan Timur.
Faust, S.D. and Aldy, O.M. (1987). Adsorption Process for Water Treatment “2ND Edition”. Stoneham:
Butterworths Publisher
Faust, Samuel D., & Aly, Osman M. ( 1929 ). “ Adsorption Process for Water Treatment”. London
:Butterworth Publisher,
Kasimin, Diran, Yanto, Purnomo, Kasidi, Eko, Agus, Damin, Sukirno, Joko. (2017) Wawancara Pribadi.
Laras, N.S., Yuliani, Fitrihidajati, H. (2015). Pemanfaatan Arang Aktif Limbah Kulit Kacang Kedelai (Glycine
max) dalam Meningkatkan Kualitas Limbah Cair Tahu. Jurnal Jurusan Biologi, Universitas Negeri
Semarang, Vol. 4, No. 1.
Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Kalimantan Timur No. 2 Tahun 2011 tentang Baku Mutu Air Limbah
Industri Tahu
Siregar, M.R.T., Djadjadiningrat, A., Hiskia, Syamsi, D., Idayanti, N., Wiyarani. (2004). Roadmap Teknologi:
Pemantauan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pengolahan Limbah. Jakarta: LIPI Press
Suhartana. (2006). Pemanfaatan Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Baku Arang Aktif dan Aplikasinya Untuk
Penjernihan Air Sumur di Desa Belor Kecamatan Ngaringan Kabupaten Grogoban. Jurnal FMIPA
Undip, Vol. 9, No. 3.
Ramdja, A. Faudi dkk. (2008). “ Pembuatan Karbon Aktif Dari Coalite Batubara Dan Aplikasinya Dalam
Pengolahan Limbah Cair Industri Kain Jumputan” . Jurnal Teknik Kimia. Des. Vol.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih penulis ucapkan kepada Politeknik Negeri Samarinda yang telah membiayai penelitian
ini yang berasal dari PNBP Politeknik Negeri Samarinda tahun 2018.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 46
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.47-52) 978-602-60766-4-9

PENGARUH EJEKTOR HASIL RANCANG BANGUN TERHADAP PENGURANGAN GAS


KARBON MONOKSIDA DAN DEBU TOTAL DI DALAM RUANGAN PENGELASAN

Sattar Yunus1), Makmur Saini 2), Ahmad Rizal Sultan3), Rusdi Nur4), Ibrahim5)
1)
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Teknologi Sulawesi,Makassar
2)
Dosen Program Studi Teknik Pembangkit Energi Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
3)
Dosen Program Studi Teknik Listrik Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
4)
Dosen Program Studi Teknik Mesin Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
5)
Dosen Program Studi Teknik Mesin Politeknik ATI, Makassar

ABSTRACT

In this study, the investigation of the effect of the ejector’s performance on the reduction of air pollutants in the
welding room was carried out. This is done once gas and dust particles comes up during welding. The measurement of air
pollutants is carried out in two conditions. Firstly, it is done during welding with no ejector running and secondly, when
the welding and ejector are simultaneously running. the measurements taken are carbon monoxide (CO) and total dust
(Total Suspended Particulate). the Ambient Gas Sampler is utilized in measuring the CO gas, while the Staflex Air
Sampler measures the TSP. the results show that when the ejector is run, the carbon monoxide and dust are lower
compared to the situation when the ejector is not run.

Keywords: Ejector, air pollution, measurement, carbon monoxide, total suspended particulate

1. PENDAHULUAN
Industrialisasi yang pesat selama dua dekade terakhir telah membawa banyak masalah dalam
lingkungan, termasuk polusi udara yang pengaruhnya mulai terasa dan bahkan telah menjadi masalah utama
saat ini dan tentu memerlukan perhatian khusus di dalam pembangunan suatu negara (Lima dkk., 2009),
termasuk di Kota Makassar (Sattar dkk., 2012), Peningkatan jumlah populasi bukan hanya semakin meningkat
di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang yang telah menyebabkan polusi udara secara
meluas (WHO, 2005). Polusi udara perkotaan mempengaruhi kesehatan, kesejahteraan dan kehidupan ratusan
juta manusia, perempuan dan anak-anak sehari-hari di Asia. Dilaporkan bahwa polusi udara luar ruangan
menyebabkan sekitar 537.000 kematian setiap tahunnya, polusi udara dalam ruangan menyebabkan lebih dari
dua kali lipat jumlah kematian ini (WHO, 2002), ini diartikan bahwa polusi dalam ruangan (indoor pollution)
menimbulkan dampak lebih besar dari polusi luar ruangan, terlebih kegiatan dalam ruangan yang secara
langsung menghasilkan gas-gas dan partikel (debu) yang cukup berbahaya bagi yang terpapar seperti halnya
pada kegiatan pengelasan.
Dari penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui bahwa teknik penyambungan logam
yang dikenal saat ini dengan pengelasan, telah diketahui sejak dari zaman prasejarah, misalnya pembrasingan
logam paduan emas tembaga dan pematrian timbal-timah. Menurut keterangan telah diketahui dan
dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM dan diduga sumber panas berasal dari
pembakaran kayu dan arang. Pada abad ke 19, teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah
dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008). Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN), las adalah
ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan panas dan cair, dijelaskan
lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan jenis yang sama digabungkan menjadi satu
sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas dan tekanan
(Suharno, 2008). Oleh karena ada sumber panas maka akan menghasilkan gas-gas dan partikel, dimana gas-
gas yang timbul adalah Debu (Partikel) dalam asap las besarnya berkisar antara 0,2 µm sampai dengan 3 µm.
Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan dan elektroda yang digunakan. Bila
elektroda jenis hydrogen rendah, di dalam debu asap akan terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam
pengelasan busur listrik tanpa gas, asapnya akan banyak mengandung oksida magnesium (MgO). Gas-gas
yang terjadi pada waktu pengelasan adalah gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3)
dan gas nitrogen dioksida (Wiryosumarto dan Okumura, 2004). Menurut Harsono (1996) sewaktu proses
pengelasan berlangsung terdapat gas-gas yang berbahaya yang perlu diperhatikan yaitu Gas Karbon
Monoksida (CO). Gas ini mempunyai afinitas yang tinggi terhadap haemoglobin (Hb) yang akan menurunkan

1
Korespondensi penulis: Sattar Yunus, Telp 082187010203, sattaryunus@ymail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 47
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.47-52) 978-602-60766-4-9

daya penyerapannya terhadap oksigen, serta kondisi Total Suspended Particle (TSP) juga perlu memperoleh
perhatian dalam ruang pengelasan.
Untuk meminimalisir gas-gas dan partikel yang berbahaya yang timbul dalam ruangan ketika
berlangsung pengelasan, diperlukan suatu sistem atau alat yang dapat mengurangi gas-gas atau partikel yang
timbul. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode ejektor. Ejektor telah
berhasil digunakan untuk aplikasi pembersihan gas tercemar selama beberapa dekade terakhir karena
kemampuan mereka menangani gas yang mengandung polutan seperti uap, gas, dan aerosol padat/cair hingga
ukuran 0,1 μ (Dutton dkk., 1982; Subramarian dkk., 2006). Sejalan dengan hal tersebut, dikemukakan
bahwa ejektor adalah salah satu perangkat yang paling penting yang digunakan di industri. Perangkat ini
memiliki dua tugas utama. Salah satunya adalah untuk membuat vakum dan membuang gas serta lainnya
adalah mencampurnya dalam cairan. Salah satu tugas di atas atau keduanya bisa dipertimbangkan dalam
mendesain dan menggunakan ejector (Stefan dan Hamjak, 2008; Gamisansa, 2002). Berdasarkan uraian
tersebut maka pada penelitian ini akan menyelidiki apakah ada pengurangan konsentrasi gas-gas dan partikel
di udara yang timbul khususnya Karbonmonoksida (CO) dan debu total (TSP) dengan alat yang telah
dirancang dengan metode ejektor.

2. METODE PENELITIAN

Instalasi Ejektor

Rancang bangun Instalasi ejektor yang terdiri dari beberapa komponen inti seperti tabung silinder, bak
penampungan dan komponen lainnya telah dikerjakan dan diselesaikan. Instalasinya seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut :

Gambar 2.1. Instalasi Ejektor Hasil Rancang Bangun

Alat Sampling
Pelaksanaan penelitian untuk menguji sejauh mana pengaruh alat ejektor yang telah dirancang dan
dibuat maka diperlukan pengujian langsung ke lingkungan yang sebenarnya, yaitu lingkungan industri.
Sebagai tahapan uji coba alat ini dilakukan di ruang praktek pengelasan mahasiswa pada Politeknik Akademi
Teknik Industri (ATI) Makassar, dengan pertimbangan bahwa pada ruang pengelasan ketika berlangsung
pengelasan maka akan timbul kondisi udara yang rentang dengan kondisi udara buruk yang tentu
dikhawatirkan memiliki dampak terhadap pekerja las ataupun mahasiswa yang sementara praktik las.
Seluruh proses sampling udara menggunakan alat dari Balai Teknik Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit Kelas I Makassar, yang peralatannya tersedia dan memadai untuk pengambilan sampel dan juga
untuk analisis dari sampel udara yang telah diambil. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel udara

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 48
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.47-52) 978-602-60766-4-9

untuk gas digunakan Gas Sampler Ambien (Impinger Model : MD-51MP), sedangkan sampel TSP digunakan
alat Staflex Air Sampler. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel ditunjukkan pada gambar berikut :

(a) (b)
Gambar 2.2.Alat Pengukur CO (a) dan Alat Pengukur TSP (b)

Pengambilan sampel dilakukan dalam dua kondisi pengujian udara yaitu:


1. Kondisi I (Ejektor OFF): Pengambilan dan analisis sampel udara ketika sedang berlangsung praktik
pengelasan namun belum dioperasikan ejektor. Data yang dihasilkan adalah sebagai kontrol untuk melihat
seberapa besar pengaruh ejektor.
2. Kondisi II (Ejektor ON): Pengambilan dan analisis sampel udara ketika sedang berlangsung praktik
pengelasan dan sementara dioperasikan ejektor. Data yang dihasilkan akan dibandingkan dengan data
yang dihasilkan pada kondisi I.

Prosedur Pelaksanaan Sampling


a. Mencatu sistem peralatan instalasi dengan daya listrik.
b. Mengoperasikan mesin pompa (5) untuk mengisi bak penampung (4).
c. Membuka katup (9) dan katup (10) serta menutup katup (3) hingga silinder (2) dapat terisi penuh.
d. Menutup katup (9) dan katup (10) setelah silinder (2) terisi penuh.
e. Mengukur tinggi awal level air bak penampung (4).
f. Menjalankan ejektor dengan membuka katup (3) dan katup (10), sehingga air tersirkulasi secara kontinyu
g. Mencatat nilai vakum yang terukur pada vacuum gauge (8) setelah membuka katup (10).
h. Mencatat dan menjaga ketinggian level air pada bak penampung (4).
i. Menetapkan throat ejector (3) yang panjangnya 30 cm yang digunakan berdasarkan hasil pengujian yang
telah dilakukan sebelumnya (Saini dkk., 2018).
j. Mengoperasikan alat gas sampler ambien dan staflex air sampler
k. Mencatat waktu mulai mengoperasikan alat pada langkah n
l. Alat Sampling dioperasikan selama 60 menit, dengan tiga kali pengambilan sampel yaitu jam 9-10; 10-
11;13-14 (dalam keadaan mahasiswa sementara melakukan pengelasan, seperti kondisi ketika
pengambilan sampel tanpa menjalankan ejektor).
m. Setelah cukup dengan durasi waktu masing-masing, maka ejektor di stop dan juga alat sampler
n. Sampel udara dibawa ke Laboratorium BTKL-PP untuk dianalisis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil pengukuran udara dalam ruangan pengelasan untuk parameter Karbon monoksida
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 dengan kondisi Ejektor belum dijalankan (OFF) pada
pengambilan sampel pukul 09-10 pagi konsentrasi CO sebesar 2,384 ppm, pukul 11-12 sebesar 2.43 ppm,
sedangkan pada pukul 13-14 konsentrasinya sebesar 2,425 ppm, sementara untuk kondisi pengukuran pada
saat ejektor dijalankan pukul 09-10 pagi konsentrasi CO sebesar 2,378 ppm, pukul 11-12 sebesar 2.41 ppm,
sedangkan pada pukul 13-14 konsentrasinya sebesar 2,39 ppm. Konsentrasi pada saat ejektor dijalankan pada
semua jam pengembilan sampel menunjukkan penurunan konsentrasi, yang lebih nampak penurunannya pada

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 49
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.47-52) 978-602-60766-4-9

pengambilan sampel pukul 13-14. Ini berarti bahwa semakin lama ejektor dijalankan maka akan semakin
mengurangi karbon monoksida di udara dalam ruangan.

KARBON MONOKSIDA (CO)


2.44
2.43
2.42
Konsentrasi (ppm)

2.41
2.4
Ejektor OFF
2.39
Ejektor ON
2.38
2.37
2.36
2.35
Jam 9-10 Jam 11-12 Jam 13-14
Waktu Sampling

Gambar 3.1. Grafik konsentrasi CO di udara pada saat ejektor OFF dan ON

Berdasarkan hasil pengukuran udara dalam ruangan pengelasaan untuk parameter Debu Total (Total
Suspended Particle) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2, dengan kondisi ejektor tidak dijalankan,
pada pengambilan sampel pukul 09-10 pagi diperoleh konsentrasi TSP sebesar 0,155 mg/m3, pukul 11-12
sebesar 0,156 mg/m3, sedangkan pada pukul 13-14 konsentrasinya sebesar 0,158mg/m3. Sementara hasil
pengukuran TSP pada kondisi ejektor dijalankan, pada pukul pukul 09-10 pagi diperoleh konsentrasi TSP
sebesar 0,152mg/m3, pukul 11-12 sebesar 0,149mg/m3, sedangkan pada pukul 13-14 konsentrasinya sebesar
0,147mg/m3. Nampak ada penurunan konsentrasi TSP ketika dijalankan ejektor, juga lebih nampak
pengurangan pada pengambilan sampel pukul 13-14, seperti halnya pada Karbon monoksida.

TOTAL SUSPENDED PARTICLE (TSP)


0.16
0.158
0.156
Konsentrasi (mg/m3)

0.154
0.152
Ejektor OFF
0.15
0.148 Ejektor ON
0.146
0.144
0.142
0.14
Jam 9-10 Jam 11-12 Jam 13-14
Waktu Sampling

Gambar 3.2. Grafik konsentrasi TSP di udara pada saat ejektor OFF dan ON

Berdasarkan grafik data yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2, kelihatan ada
perbedaan yang dapat diamati yaitu bahwa pada pengukuran Karbon monoksida, konsentrasi tertinggi pada
jam pengambilan sampel pukul 11-12 baik pada saat ejektor tidak dijalankan maupun pada saat ejektor
dijalankan. Sedangkan pada pengukuran TSP kelihatan bahwa pada saat ejektor belum dijalankan konsentrasi

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 50
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.47-52) 978-602-60766-4-9

TSP trendnya kelihatan meningkat, sedangkan ketika ejektor dijalankan konsentrasi debu total (TSP) trendnya
menurun. Dari kedua jenis pengukuran udara yaitu CO dan TSP, nampak bahwa lebih besar tingkat penurunan
konsentrasi debu total (Total Suspended Particle) sebagai pengaruh ejektor sekitar yang 4,47 persen,
dibandingkan terhadap Karbon monoksida (CO) sekitar 0,78 persen. Salah satu penyebabnya karena partikel
memiliki massa yang lebih berat dibandingkan CO disamping diameter yang lebih besar ukurannya, Partikel
sendiri dapat dikategorikan berdasarkan diameternya. Jika diameternya lebih kecil atau sama dengan 2,5
mikron maka dikategorikan partikel halus, jika diameternya antara 2,5-10 mikron disebut partikel kasar,
sedangkan yang diameternya lebih besar dari 10 mikron inilah yang disebut Debu Total atau dikenal juga
dengan Total Suspended Partikel (Sattar dkk., 2014). Semakin halus partikel itu semakin tinggi dampaknya
terhadap kesehatan pernapasan (Rashid dkk, 2014).

4. KESIMPULAN
Dalam makalah ini, pengurangan dan pemulihan gas pencemar serta debu total adalah diisap dari udara
dengan kondisi kevakuman ke dalam tabung dan selanjutnya gas pencemar dan partikel tersebut akan dikirim
ke dalam fluida air yang terus menerus bersirkulasi, kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1.) Terdapat pengurangan konsentrasi gas Karbon monoksida dan Total Suspended Partikel dengan
pengoperasian ejektor.
2.) Semakin lama ejektor dioperasikan maka kelihatan pengurangan gas karbon monoksida dan Total
Suspended Partikel semakin lebih besar.
3.) Dibandingkan dengan gas Karbon monoksida, konsentrasi Total Suspended Partikel nampak lebih besar
tingkat pengurangannya pada seluruh jam pengambilan sampel.
4.) Semakin besar nilai vakum maka akan semakin tinggi kemampuan pengurangan konsentrasi gas
karbonmonoksida dan Total Suspended Partikel .

5. DAFTAR PUSTAKA
Dutton, J. C., Mikkelsen, C.D. and Addy, A. L., 1982.A theoretical and experimentalInvestigation of the
constant area, supersonic-supersonic ejector, AIAA Journal, 20, 1392-1400.
Gamisansa, X., Sarrab, M., and Lafuente, F. J,.2002. Gas pollutants removal in a single and two-stage ejector
venturi scrubber, Journal of Hazardous Materials, B90, 251-266.
Harsono., 1996. Teknologi Pengelasan Logam. PT. Pradya Paramita. Jakarta.
Lima. E.A.P., Guimaraes. E.C., Pozza. S.A., Barrozo. M.A.S., Coury J.R ,. 2009. A Study of atmospheric
particulate matter in a city of the central region of Brazil using time-series analysis.Int.J. Environment
Engineering. 1: 1-9.
Rashid M,Sattar,Y.,Ramli, M., Sabariah., and Puji, L., 2014. PM10 black carbon and ionic species
concentration of urban atmospheric in Makassar of South Sulawesi Province, Indonesia. Atmospheric
Pollution Research . 5 : 610-615: doi: 10.5094/APR.2014.070.
Saini M., Rusdi, N., Sattar, Y., Ibrahim. The Influence of Throat Length and Vacum Pressure on Air Pollutant
Filtration Using Ejectors.AIP Conference Proceedings, 2018.
Sattar Y, M. Rashid, M. Ramli and B. Sabariah., 2014. Black carbon and elemental concentration of ambient
particulate matter in Makassar Indonesia. IOP Conf.Series: Earth and Environmental Science. 18.
012099: doi : 10.1088/1755-1315/18/1/012099.
Sattar., M Rashid., R Mat., and L Puji., 2012. A Preliminary Survey of Air Quality in Makassar City South
Sulawesi Indonesia. Jurnal Teknologi, 57:123-136.
Stefan E, Harnjak P..2008. Ejector refrigeration: an overview of historical and present developments with
emphasis on air-conditioning applications. International Refrigeration and Air Conditioning Conference;
U S A; 1–8.
Subramarian G., Natrajan. S.K., Adhimolane .K., Natarajan. A. T,.2006. Comparison of Numerical and
experimental Investigation of jet Ejectors with Blower. InternationalJournal of Thermal Science, 84:134-
142.
Suharno., 2008. Prinsip-Prinsip Teknologi dan Metalurgi Pengelasan Logam.UNS Press. Surakarta
WHO,. 2002. The World Health Report 2002 : Reducing Risks, Promoting Health Life, WHO. Geneva.
WHO,. 2005. Indoor Air Pollution and Health, Bonn.
Wiryosumarto, H., Okumura,T,. 2004, Teknologi Pengelasan Logam, PT Pradaya Paramita, Jakarta.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 51
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.47-52) 978-602-60766-4-9

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Kegiatan penelitian ini terlaksana atas bantuan dana dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
(DRPM)Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melalui Unit Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (UPPM) Politeknik Negeri Ujung Padang, sehingga pada kesempatan ini kami menyampaikan
apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Demikian juga kami sampaikan terima kasih kepada
Politeknik ATI Makassar atas izin pengambilan sampel di ruang pengelasan, serta Badan Teknik Kesehatan
Lingkugan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Makassar yang telah menfasilitasi peralatan sampling dan
menganalisis sampel.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 52
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.53-57) 978-602-60766-4-9

PREPARASI DAN KARAKTERISASI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2) MESOPORI


SEBAGAI ADSORBEN LOGAM Cu(II) DAN METHYLENE BLUE
Ridhawati Thahir1), Rosalin1), Khaerunnisa2) , Sinthia Laurenz2), Puspitasari3)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
3)
Penyelia Laboratorium Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

Titanium dioxide (TiO2) is a mesoporous materials having pore size diameter 2-50 nm, pore structure uniform,
large surface area, and uniform of pore size distribution. The purpose of this research is to synthesize TiO2 mesoporous
materials using hydrothermal method, titanium tetra isopropoxide (TTIP) as a precursor and pluronik 123 (P123) as
surfactant agent for the pore-forming template. The products of TiO2 mesoporous has analyzed using the Brunauer-
Emmet-Teller (BET) methode, FTIR, XRD and DSC. The results of these analyses of surface area and pore size
distribution were 121 m2/g, pore volume 0.173 cc/g and pore diameter of 9.46 nm. The results of XRD analysis show the
tetragonal structure and anatase phase. TiO2 mesoporous was generated the amount of Cu(II) adsorption were 450 mg/g
for 60 minutes and the amount of methylene blue adsorption were 96 mg/g for 60 minutes.

Keywords: Titanium dioxide, mesoporous, surface area, pore size, adsorption

1. PENDAHULUAN
Nanoteknologi merupakan ilmu yang dikembangkan di dunia sains dan teknologi. Salah satu produk
nanoteknologi adalah material titanium dioksida (TiO2) dengan ukuran mesopori. TiO2 adalah material yang
dikenal luas sebagai fotokatalis didasarkan pada sifat semikonduktornya. Proses fotokatalis banyak
diaplikasikan untuk penghilangan atau pendegradasian polutan cair seperti logam tembaga dan methylene blue
menjadi senyawa yang lebih ramah lingkungan. Logam tembaga dan methylene blue merupakan unsur
berbahaya dan akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan jika dibuang ke lingkungan tanpa diolah
terlebih dahulu. Oleh karena itu, keberadaannya dalam lingkungan harus dikurangi atau dihilangkan. Adsorpsi
merupakan salah satu cara untuk mengurangi kandungan tembaga dan methylene blue dalam larutan.
Ying et al. (1995) mensintesis TiO2 mesopori menggunakan surfaktan alkil fosfat sebagai template
melalui proses sol-gel, tetapi material yang di hasilkan bukan murni TiO2 oleh karena masih terdapat molekul
fosfor yang terikat kuat pada TiO2. Xiang et al. (2009) menggunakan titanium sulfat (Ti2(SO4)3) sebagai
prekursor, amonium bikarbonat (NH4HCO3) sebagai template melalui metode presipitasi diperoleh luas
permukaan sebesar 138 m2/g. Kim et al. (2007) melaporkan bahwa sintesis TiO2 mesopori melalui metode
hidrotermal dapat meningkatkan kristalinitas, stabilitas termal, luas permukaan dan aktivitas fotokatalitik.
Peningkatan ukuran pori TiO2 terkait dengan penggunaan bahan surfaktan sebagai template. Template
adalah cetakan yang terbuat dari bahan surfaktan yang berfungsi sebagai pencetak pori. Template sulit
dibersihkan dan pembersihan template seringkali menyebabkan runtuhnya pori yang terbentuk. Metode
hidrotermal merupakan metode yang dapat mempercepat penghilangan surfaktan pada proses kalsinasi tanpa
merusak struktur pori yang telah terbentuk. Selain itu, metode hidrotermal juga dapat meningkatkan luas
permukaan pada TiO2 mesopori hingga baik digunakan untuk adsorpsi (Jin et al.2017).
Dari uraian tersebut di atas maka dilakukan penelitian sintesis TiO2 mesopori menggunakan metode
hidrotermal untuk diaplikasikan sebagai adsorben logam tembaga dan methylene blue. Pada penelitian ini
digunakan titanium tetraisopropoksida (TTIP) sebagai prekursor, pluronik 123 (P123) sebagai surfaktan,
temperatur pemanasan 105oC selama 17 jam, temperatur kalsinasi 500oC selama 5 jam. Analisis yang
dilakukan adalah struktur pori (diameter, volume, dan luas permukaan) menggunakan analisa Brunauer-
Emmet-Teller (BET), fase kristal menggunakan analisa X-ray diffractometer, identifikasi gugus fungsi dari
ikatan Ti-O menggunakan analisa Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Analisis termal
menggunakan analisa Differential Scanning Calorimetri (DSC) serta mengaplikasikan TiO2 mesopori sebagai
adsorben logam Cu dan methylene blue.

1
Korespondensi penulis: Ridhawati Thahir, Telp 081342608424, ridha331@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 53
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.53-57) 978-602-60766-4-9

2. METODE PENELITIAN
Bahan : Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Titanium tetraisopropoksida (TTIP),
Pluronik 123 (P123), etanol, asam asetat pekat, amoniak 32%, asam sulfat 98%, aquabidest.
Alat : Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : alat gelas laboratorium, hotplate, magnetic stirer,
teflon, centrifuge,cawan porselin, oven, tanur, kotak adsorpsi, lampu (Hg) merkuri 150 watt, BET
Quartachroma Nova 2000 version 11.0, FTIR-8400S SHIMADZU Gen, XRD D2 PHASER 2nd BRUKER,
Differential Scanning Calorimetri, Spektrofotometri UV-Vis.

Prosedur Penelitian :
Sintesis TiO2 mesopori
Sebanyak 2,4 gram P123 dimasukkan ke dalam gelas kimia yang berisi 15 mL TTIP, 60 mL etanol dan 6 mL
asam asetat pekat. Campuran diaduk menggunakan magnetic stirer selama satu jam, kemudian pengadukan
dengan alat sonikasi selama 30 menit. Larutan dimasukkan ke dalam teflon lalu dilakukan pemanasan pada
suhu 105oC selama 17 jam, kemudian dilakukan proses kalsinasi menggunakan tanur pada suhu 500oC selama
5 jam. Analisis karakteristik TiO2 menggunakan analisa BET, FTIR, XRD dan DSC.

Adsorpsi TiO2 mesopori


TiO2 mesopori sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam masing-masing larutan Cu(II) 500 ppm dan
methylene blue 100 ppm, kemudian dimasukkan ke dalam box adsorpsi dan diaduk dengan magnetic stirer.
Larutan diaduk dengan variasi waktu pengadukan 10,20,30,40,50 dan 60 menit. Absorbansi filtrat diukur
dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penentuan Surface Area menggunakan Analisa Bruneuer Emmet Teller (BET)
Analisis surface area menggunakan metode BET untuk menentukan luas permukaan, volume pori,
dan diameter pori dari TiO2 mesopori. Berdasarkan literatur, TiO2 masuk ke dalam kategori mesopori jika
diameter porinya berada pada rentang 2–50 nm. Hasil pengujian BET menunjukkan surface area sampel 121
m2/g, volume pori 0.173 cc/g dan diameter pori sebesar 9.46 nm. Berdasarkan analisis diperoleh TiO2 yang
masuk ke dalam kategori mesopori. Berdasarkan analisis BET didapatkan pula kurva adsorpsi-desorpsi TiO2
mesopori yang terdapat pada gambar 1.

Gambar 1. Kurva adsorpsi-desorpsi TiO2 mesopori

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 54
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.53-57) 978-602-60766-4-9

Gambar 1 menunjukkan kurva adsorpsi-desorpsi TiO2 mesopori yang merupakan hubungan antara
relative pressure dan volume adsorpsi. Karakteristik kurva TiO2 mesopori mendekati tipe IV isoterm
adsorpsi-desorpsi dan tipe H1 hysterisis loop berdasarkan klasifikasi IUPAC yang merupakan ciri dari
material mesopori.

Analisis Ikatan Ti-O pada TiO2 Mesopori dengan Analisa FTIR


Sintesis material TiO2 mesopori dikatakan berhasil jika pada analisis Fourier Transform Infra Red
(FTIR) terdapat gugus Ti-O. Pengujian dilakukan menggunakan FTIR-8400S SHIMADZU dan menghasilkan
spektrum FTIR TiO2 mesopori pada gambar 2.

1/cm

Gambar 2. Spektrum FTIR TiO2 Mesopori

Berdasarkan literatur, bilangan gelombang dari ikatan Ti-O berada pada rentang 400-700 cm-1 dan
hasil pengujian FTIR diperoleh ikatan Ti-O pada spektrum 557 cm-1 dengan intensitas 0,95

Analisis Struktur, Fasa dan Ukuran Kristal TiO2 Mesopori dengan Analisa XRD
Pola difraksi didapatkan dari pengukuran menggunakan XRD-BRUKER D2 PHASER X-Ray
Diffractometer dengan Cu-Kα crystal sebagai sumber radiasi (λ=1,54 Å), rentang sudut putar (2θ) 15-75º dan
kecepatan scanning 2º per menit. Berdasarkan analisis TiO2 mesopori yang dihasilkan merupakan fase anatase
dengan struktur tetragonal, hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa TiO 2 dengan suhu
pemanasan 400 hingga 650 akan membentuk fase anatase.

Gambar 3. Difraktogram TiO2 Mesopori

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 55
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.53-57) 978-602-60766-4-9

Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh difraktogram TiO 2 mesopori pada gambar 3, dilakukan
intrepertasi dan diperoleh nilai FWHM untuk menentukan ukuran kristal yang dihitung dengan menggunakan
persamaan Scherrer. Berdasarkan perhitungan diperoleh bahwa ukuran kristal TiO 2 mesopori telah berukuran
nanometer (nm), dengan median ukuran 5.0 nm.

Analisis Nilai Transisi Gelas (Tg) pada TiO2 Mesopori dengan Analisa DSC
Karakterisasi termal TiO2 mesopori differential scanning calorimeter (DSC)-60 Plus SHIMADZU.
Analisis termal digunakan untuk mengetahui karakteristik material sebagai fungsi waktu dan suhu. Pembuatan
kurva akan menunjukkan 3 titik puncak yang mengindikasikan 3 titik gelap Tg, Tc dan Tm. Grafik termal
TiO2 dengan analisa DSC dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Difragtogram DSC TiO2 Mesopori

Berdasarkan analisis DSC diketahui bahwa suhu transisi gelas (Tg) adalah 56oC dan energi yang
dibutuhkan sebesar 0,12 J/g. Dengan naiknya suhu, padatan amorf akan menjadi kurang kental sehingga
molekul-molekul memperoleh kebebasan bergerak yang cukup. Selanjutnya secara spontan mengatur diri
menjadi bentuk kristal pada suhu kristalisasi (Tc). Berdasarkan analisis suhu kristal (Tc) adalah 158 oC.
Transisi dari amorf padat ke kristal padat ini adalah proses eksotermik (entalpi bernilai negatif) ditunjukkan
adanya puncak pada sinyal termogram DSC. Jika pemanasan dilanjutkan maka suhu meningkat dan sampel
meleleh sehingga diperoleh suhu pelelehan (Tm). Pada tahap ini terjadi proses endotermik dan menghasilkan
titik endotermik pada kurva DSC. Namun pada kurva hasil analisis belum menujukkan puncak nilai Tm,
sehingga menunjukkan bahwa sampel TiO2 mesopori memiliki ketahanan termal yang cukup tinggi.

Kapasitas dan Daya Adsorpsi TiO2 Mesopori Terhadap Logam Cu(II) dan Methylene Blue
TiO2 mesopori yang telah disintesis kemudian diaplikasikan untuk menjerap logam Cu dan methylene
blue. Kemampuan adsorpsi TiO2 mesopori dilihat dari daya jerap dan kapasitas adsorpsinya. Daya adsorpsi
TiO2 mesopori terhadap logam Cu(II) dan methylene blue dihitung dengan mengevaluasi konsentrasi sebelum
dan setelah proses adsorpsi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, daya adsorpsi TiO2 mesopori terhadap
logam Cu diperoleh sebesar 99,70% dan kapasitas adsorpsi sebesar 450 mg/g selama 60 menit, sedangkan
untuk methylene blue diperoleh daya adsorpsi sebesar 99,14 % dan kapasitas adsorpsi sebesar 96 mg/g selama
60 menit. Menurut Standar Industri Indonesia (SII No.02588-88) salah syarat mutu adsorben yaitu memiliki
daya jerap minimal 60 mg/g terhadap methylene blue. Hal ini membuktikan bahwa TiO2 mesopori yang telah
disintesis dapat menjadi adsorben untuk logam Cu(II) dan methylene blue karena telah memenuhi Standar
Industri Indonesia mengenai syarat mutu adsorben. Kemampuan TiO2 mesopori dalam menjerap logam Cu
dan methylene blue disebabkan oleh besarnya diameter pori yang dihasilkan, untuk TiO2 mesopori diperoleh
diameter adsorbat sebesar 9.46 nm. Semakin besar diameter pori, maka kemampuan adsorben untuk menjerap
juga semakin besar sehingga kapasitas adsorpsi juga meningkat.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 56
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.53-57) 978-602-60766-4-9

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil analisis karakteristik TiO2 mesopori yang dihasilkan pada kalsinasi suhu 500oC, maka TiO2
mesopori yang diperoleh dapat digunakan sebagai adsorben dengan karakteristik sebagai berikut :
a) Luas Permukaan 121 m2/g, volume pori 0.173 cc/g dan diameter pori 9.46 nm.
b) Bentuk struktur tetragonal fase anatase dengan ukuran kristal 5 nm.
c) Ikatan Ti-O pada spekrum 557 cm-1 dan intensitas 0,95.
d) Suhu transisi gelas 56oC, suhu kristalisasi 158oC.
2. Kemampuan adsorpsi TiO2 mesopori sebagai berikut :
a) Daya adsorpsi logam Cu(II) sebesar 99,70% dan kapasitas adsorpsi 450 mg/g.
b) Daya adsorpsi methylene blue sebesar 99,14% dan kapasitas adsorpsi 96 mg/g.

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. dkk., 2008, Review: Sintesis Nanomaterial, In : Jurnal Nanosain dan Nanoteknologi, 1(2) 33-57.
Alqab, A., & Sopyan, I., 2009, Low Temperature hydrothermal Syntesis of Calsium Phosphate Ceramics:
Effect of excess Ca Precursor on phase behavior, In : Indian Journal of Chemistry, 48:1492-1500.
Chen, X., Mao, S.S., 2007, Titanium Dioxide Nanomaterials: Synthesis, Properties, Modifications, and
Applications, In : Chem. Rev., 107, 2891-2959.
Choi D.Y., J.Y. Park, and J.W. Lee., 2012, Adsorption and Photocatalysis of Spherical TiO2 Particles
Preparated by Hydrothermal Reaction, In: Mater. Lett., 89:212-215.
Feng H., M.H. Zhang, and L.E. Yu, 2012, Hydrothermal Synthesis and Photocatalytic Performance of
Metal-Ions Doped TiO2. In : App. Cat. A : General, 413-414, 238-244.
Gupta S.M., and M. Tripathi, 2012, A Review on the Synthesis of TiO2 Nanoparticles by Solution Route, In :
Cent. European J. Chem., 10(2) 279-294.
Johansson, Emma M., 2010, Controlling the Pore Size and Morphology Mesoporous Silica, In : Sweden: LiU-
tryck.
Jin et al., 2017., Water Steam Modified Crystallization and Microstructure Of Mesoporous Tio2 Nanofibers.
In : Journal Of Experimental Nanoscience.
Kim D.S., and S.Y.Kwak, 2007, The Hydrothermal Synthesis of Mesoporous TiO2 with High Crystallinity,
Thermal Stability, Large Surface Area, and Enhanced Photocatalytic Activity, In : App. Catal. A:
General, 323 : 110-118.
Prambasto. S.B.U., 2013, Sintesis Fotokatalis TiO2 dan Aplikasinya untuk Dekomposisi Air, Skripsi Jurusan
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Q. Huo, R. Leon, P. M. Petroff, G. D. Stucky., 1995, Mesostructure Design with Gemini Surfactants:
Supercage Formation in a Three-Dimensional Hexagonal Array, In : Science.
Septina, Wilman, 2007, Sintesa Nanokristal Mesopori TiO2 dengan Metoda Sol Gel., Skripsi Program Studi
Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung.
Sing, K.S.W., 1985, Reporting physisorption data for gas/solid systems with special reference to the
determination of surface area and porosity (Recommendations 1984), In : Pure Appl. Chem. 57 : 603-
619.
Xiang et al., 2009, Preparation and Photocatalytic Activity of Mesoporous TiO2 Microspheres, 1: 12-16.
Yin et al., 2016, Preparation of Highly Crystalline Mesoporous TiO2 by Sol–Gel Method Combined with
Two-Step Calcining Process, In : Journal of Experimental Nanoscience, 11:14, 1127-1137.
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan atas hibah penelitian RUTIN DIPA Politeknik Negeri Ujung
Pandang sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksana Penelitian Nomor 018/PL.10.13/PL/2018 tangggal 2 April
2018

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 57
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.58-60) 978-602-60766-4-9

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL EMAS-UBI JALAR UNGU


MENGGUNAKAN POLIVINIL ALKOHOL (PVA)

M. Yasser1), Andi Muhammad Iqbal Akbar1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Synthesis, modification and characterization of gold nanoparticles-purple sweet potato extract with a modifier of
Polyvinyl Alcohol (PVA) was successfully carried out. The results showed that qualitatively of gold nanoparticles were
formed based on measurements by UV-Vis Spectroscopy which obtained the maximum wavelength of unmodified purple
sweet potato nanoparticles of 544 nm and absorbance of 0.613. While the maximum wavelength of 545 nm in the gold
nanoparticles-modified purple sweet potato PVA and absorbance of 0.662.

Keywords: Gold Nanoparticle, Purple Sweet Potato Ekstract, Polyvinyl Alcohol (PVA), UV-Vis Spectroscopy

1. PENDAHULUAN
Nanopartikel emas merupakan kajian ilmuan yang saat ini mengalami perkembangan. Berbagai
aplikasi dari nanopartikel emas telah berkembang pesat seperti sebagai sensor kimia, terapi fotodinamik, alat
diagnosis dan sebagai katalisis reaksi-reaksi kimia. Kemapuan suatu nanopartikel emas dalam aplikasinya
salah satunya tergantung dari ukuran dan kestabilan dari nanopartikel emas tersebut.
Nanopartikel saat ini dapat disintesis dengan cara fisika, kimia maupun green synthesis. Diantara
ketiga metode tersebut, green synthesis merupakan metode yang paling ramah lingkungan, tidak memerlukan
biaya yang mahal, tidak memerlukan tekanan, energi dan temperatur yang tinggi serta tidak perlu bahan kimia
yang beracun (Sett, A., et al., 2016; Bindhani, B.K., & Panigrahi., A.K., 2015).
Green synthesis nanopartikel emas dapat melibatkan ekstrak tumbuhan maupun enzim. Kandungan
metabolit sekunder pada tumbuhan dapat berperan dalam proses reduksi emas menjadi ukuran nanopartikel.
Ubi Jalar Ungu merupakan salah tanaman yang memiliki potensi tersebut (Rakhi, et al, 2012). Namun,
terkadang ukuran nanopartikel emas yang dihasilkan green synthesis yang melibatkan ekstrak tanaman
memiliki ukuran dan kestabilan yang berbeda dibanding nanopartikel emas yang telah direaksikan dengan
stabilizer seperti Polivinil Alkohol (PVA).
Aplikasi nanopartikel emas dalam berbagai bidang memunculkan berbagai variasi dalam
pengembangan nanopartikel. Salah satunya adalah penggunaan ligan dalam modifikasi nanopartikel
Nanopartikel termodifikasi ligan telah diaplikasikan untuk menganalisis keberadaan molekul-molekul kecil
seperti DNA, protein termasuk logam toksik. Ligan yang dapat digunakan sebagai modifikator dapat berupa
anion atau polimer yang diabsorbsi nanopartikel.

2. METODE PENELITIAN
2.1. Sintesis Nanopartikel Emas Tanpa Modifikasi
Sintesis nanopartikel emas dilakukan dengan mencampurkan air rebusan ubi jalar ungu dan larutan HAuCl4
dengan rasio 1:10 (v:v) yaitu 10:100 mL, kemudian diaduk selama 2 jam. Pembentukan nanopartikel emas
ditandai dengan berubahnya larutan dari warna kuning menjadi merah. Kemudian diujikan pula dengan
campuran yang tidak mengalami proses pengadukan. Nanopartikel yang terbentuk selanjutnya di karakterisasi
dengan menggunakan Spektroskopi UV-Vis.

2.2. Modifikasi Nanopartikel Emas dengan PVA


Modifikasi nanopartikel emas dengan PVA dilakukan dengan mencampurkan air rebusan ubi jalar ungu,
HAuCl4 1000 ppm dan ditambahkan PVA 1% dengan rasio volume larutan (1:10:3) 10:100:30 mL (v:v:v).
Larutan tersebut diaduk selama 2 jam kemudian digunakan. Nanopartikel yang terbentuk selanjutnya di
karakterisasi dengan menggunakan Spektroskopi UV-Vis.

1)*
Korespondensi penulis: M. Yasser, Telp 085399777151, myasser@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 58
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.58-60) 978-602-60766-4-9

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nanopartikel emas telah berhasil disintesis dengan memanfaatkan ekstrak ubi jalar ungu yang
selanjutnya dimodifikasi dengan menggunakan Polivinil Alkohol (PVA). Kemampuan Ekstrak Ubi Jalar Ungu
dalam mereduksi emas dalam ukuran makro menjadi nanopartikel emas karena kandungan metabolit sekunder
dalam Ubi Jalar Ungu berupa Flavonoid Antosianin (Arfini, F. Dan Fitri, M. 2016) yang dapat bertindak
sebagai reduktor karena antosianin memiliki surface active molecule stabilizing.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kandungan flavonoid dapat bertindak sebagai reduktor
dalam sintesis nanopartikel emas, seperti (Yasser, Widiyanti, & Arif, 2017) yang telah memanfaatkan Ekstrak
daun jati untuk mensintesis nanopartikel emas. Singh, et al (2012) yang memanfaatkan ektrak daun Dalbergia
sissoo untuk mensintesis nanopartikel emas dan perak, Pawar, O., et,al (2016) memanfaatkan apoenzim
fosfatase untuk mensintesis nanopartikel perak, Jayaseelan, C., et al (2013) memanfaatkan ekstrak
Abelmoschus esculentus untuk mensintesis nanopartikel emas.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan warna larutan dari kuning menjadi
merah keunguan pada saat mereaksikan antara Larutan Emas dengan reduktor Ubi Jalar Ungu baik yang tanpa
modifikasi maupun yang telah termodifikasi dengan PVA. Perubahan warna ini merupakan salah satu
indikator terbentuknya nanopartikel emas (Yasser & Widiyanti, 2017).

1.1

1.0 Nanopartikel Emas Tanpa Modifikasi


0.9 Nanopartikel Emas Modifikasi PVA
0.8

0.7
Absorbansi

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0.0
500 600
Panjang Gelombang

Gambar 1. Spektrum UV-Vis Nanopartikel Emas-Ekstrak Ubi Jalar Ungu

Hasil Karakterisasi menggunakan Spektroskopi UV-Vis memeperkuat bahwa telah terbentuk


nanopartikel emas baik yang tanpa modifikasi maupun yang telah dimodifikasi dengan PVA. Panjanag
Gelombang maksimum yang dihasilkan pada range 500 nm – 600 nm adalah indikator bahwa telah terbentuk
nanopartikel emas.

Tabel 1. Data pengukuran Nanopartikel Emas-Ubi Jalar Ungu dengan Spektroskopi UV-Vis
Nanopartikel Emas-Ekstrak
Panjang Gelombang (nm) Absorbansi
Ubi JalarUngu
Tanpa Modifikasi 544,00 0,613
Modifikasi PVA 545,00 0,662

Dari Hasil karakterisasi menggunakan Spektroskopi UV-Vis terhadap nanopartikel emas_ekstrak ubi
jalar ungu baik yang tanpa modifikasi maupun yang termodidifikasi dengan PVA menunujukkan bahwa
secara kualitatif telah terbentuk nanopartikel emas yang ditandai dengan terbentuknya panjang gelombang

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 59
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.58-60) 978-602-60766-4-9

maksimum 544 nm pada nanopartikel emas-ekstrak ubi jaar ungu tanpa modifikasi dan panjang gelombang
maksimum 545 nm pada nanopartikel emas-ubu jalar ungu yang telah dimodifikasi dengan PVA.
Panjang gelombang gelombang maksimum yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan. Hal ini berarti bahwa secara kualitatif ukuran nanopartikel emas-ekstrak ubi jalar ungu tanpa
modifikasi dihasilkan memiliki ukuran yang relatif sama dengan nanopartikel emas-ekstrak ubi jalar ungu
yang dimodifikais dengan PVA. Kesamaan Ukuran ini kemungkinan diakibatkan oleh dari sifat modifikato
PVA, selain dapat bersifat sebagai reduktor, PVA juga memiliki kemampuan sebagai stabilizer yang berarti
mampu menjaga kondisi ukuran nanopartikel yang dihasilkan.
Hal yang sama juga diperoleh pada Absorbansi yang dihasilkan dari nanopartikel emas-ekatrak ubi
jalar ungu tanpa modifikasi maupun yang telah termodifikasi dengan PVA. Pada nanopartikel emas-ekstrak
ubi jalar ungu tanpa modifikasi dihasilkan absorbansi 0,613 sedangkan pada nanopartikel emas-ekstrak ubi
jalar ungu termodifikasi PVA diperoleh absorbansi 0,662. Hal ini menunjukkan bahwa secara jumlah
nanopartikel emas yang dihasilkan baik nanopartikel emas termodifikasi PVA maupun tanpa modifikasi
memiliki jumlah nanopartikel emas (konsentrasi) yang hampir sama.

4. KESIMPULAN
1) Telah berhasil disintesis nanopartikel emas menggunakan ekstrak ubi jalar ungu yang termodifikasi dengan
Polivinil Alkohol (PVA).
2) Panjang gelombang maksimum yang dihasilkan pada pengukuran menggunakan Spektroskopi UV-Vis
menunjukkan panjang gelombang maksimum sebesar 544 nm pada nanopartikel emas tanpa modifikasi
dan panjang gelombang maksimum sebesar 545 nm pada nanopartikel emas termodifikasi PVA.
3) Absorbansi yang dihasilkan pada pengukuran menggunakan Spektroskopi UV-Vis menunjukkan
Absorbansi sebesar 0,613 nm pada nanopartikel emas tanpa modifikasi dan absorbansi sebesar 0,662 nm
pada nanopartikel emas termodifikasi PVA
4) Artikel secara keseluruhan ditulis menggunakan jarak spasi 1 dan 1 kolom. Jumlah halaman keseluruhan
artikel ini maksimal 6 (enam) halaman termasuk daftar pustaka dan ucapan terima kasih.

5. DAFTAR PUSTAKA
Arfini, F., dan Fitri, M., 2016, Ipteks Bagi Masyarakat Kelompok Tani Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L)
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, Jurnal Dinamika Pengabdian Vol. 2 No. 1 Oktober 2016.
Bindhani, B.K., and Panigrahi, A.K., 2015, Biosynthesis and Characterization of Silver Nanoparticles (Snps)
by using Leaf Extracts of Ocimum Sanctum L (Tulsi) and Study of its Antibacterial Activities, J Nanomed
Nanotechnol 2015, S6.
Jayaseelan, C., Ramkumar, R., Rahuman, A.A., and Perumal, P. 2013, Green Synthesis of Gold Nanoparti les
Using Seed Aqueous Extract of Abelmoschus Esculentus and Its Antifungal Activity, Industrial Crops and
Products 45 (2013) 423–429.
Pawar, O., Deshpande, N., Dagade, S., Waghmode, S., and Joshi, P.N., 2016, Green Synthesis of Silver
Nanoparticles from Purple Acid Phosphatase Apoenzyme Isolated from a New Source Limonia Acidissima,
Journal of Experimental Nanoscience, 2016, Vol. 11, No. 1, 28-37.
Rakhi, M., Gopal, B.B., 2012, Terminalia Arjuna Bark Extract Mediated Size Controlled Synthesis of
Polyshaped Gold Nanoparticles and Its Application in Catalysis, Int. J. Res. Chem. Environ. Vol.2 Issue 4
Oct. 2012(338-342)
Sett, A., Gadewar, M., Sharma, P., Deka, M., and Bora U., 2016, Green Synthesis of Gold Nanoparticles
Using Aqueous Extract of Dillenia Indica, Adv. Nat. Sci.: Nanosci. Nanotechnol. 7 (2016) 025005.
Singh, C., Baboota, R.K., Naik, P.K., Singh, H., 2012, Biocompatible Synthesis of Silver and Gold
Nanoparticles Using Leaf Extract of Dalbergia Sissoo, Adv. Mat. Lett. 2012, 3(4), 279-285.
Yasser, M., & Widiyanti, S. E., 2017, Modifikasi dan Karakterisasi Nanopartikel Emas-Ekstrak Daun Jati
dengan L-Sistein, In Seminar Nasional “Tellu Cappa” (pp. 404–407).
Yasser, M., Widiyanti, S. E., & Arif, A. R. 2017, Synthesis and Characterization of Gold Nanoparticles Using
Teak Leaf Extract Tectona Grandis, Indonesia Chimica Acta, 10(1), 69–72.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 60
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.61-64) 978-602-60766-4-9

POTENSI BELIMBING BAJO (Sarcotheca celebica VELDK) SEBAGAI TUMBUHAN


AKUMULATOR UNTUK REMEDIASI LAHAN YANG MENGALAMI CEKAMAN LOGAM
BERAT NIKEL

Naima Haruna1), Tatik Wardiyati2), Moch. Dawam Maghfoer2), Eko Handayanto3)


1
Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Andi Djemma, Palopo
2
Dosen Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Brawijaya, Malang
3
Dosen Jurusan Tanah Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRACT

Starfruit bajo (Sarcotheca celebica Veldk) is an endogenous plant that is commonly found growing around
the Nickel mining area in Sorowako. The ability to grow bajo starfruit in post-Nickel mining areas that have high Ni
metal content can be caused by bajo starfruit which has a high adaptability to the environment with Ni content in the soil.
To determine the ability of bajo starfruit plants to absorb Ni from the soil, this experiment was carried out by planting
seedlings of bajo starfruit in a 40 x 50 cm polybag using a planting medium taken from the land after Nickel mining in
Sorowako with Ni content of around 8926 ppm. Analysis of the content of Ni in soil and leaves was carried out five
times, namely at planting (t0), when the plants were 12 MST (t1), 17 MST (t2), 21 MST (t3) and 25 MST. Soil samples
and bajo starfruit leaves analyzed were composite samples. The results showed that the total Ni content of the soil
planted with bajo starfruit decreased from time to time, from 8926 ppm at the beginning of planting (t0) to 2494.75 ppm
when the bajo starfruit plant was 25 MST (t4) or about 72.05 %. Ni content in bajo starfruit leaves increased from 86.47
ppm (t0) to 158.45 ppm (t1) or around 45.42%, but tended to decrease along with the decrease in the amount of Ni
content in the soil.
Keywords: bajo starfruit, heavy metal, remediation

1. PENDAHULUAN
Lahan-lahan pasca penambangan Nikel di Sorowako merupakan salah satu lahan yang mengalami
cekaman logam berat dengan kandungan Nikel yang relatif masih tinggi yaitu berkisar 2000-5000 ppm (Netty
et.al, 2012). Konsentrasi Ni pada tanah normal sekitar 2-750 mg.kg-1 namun pada tanah tercemar dapat
mencapai 26.000 ppm (Alloway, 1995). Keberadaan logam berat pada tanah dengan jumlah yang relative
tinggi dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan produksi tanaman yang diusahakan pada lahan ini
terutama bagi tanaman-tanaman yang tidak toleran. Beberapa tanaman budidaya cukup toleran terhadap
kondisi cekaman logam berat dan bersifat akumulator namun produk dari tanaman ini sangat beresiko
terhadap kesehatan apabila dikonsumsi karena logam berat dapat terakumulasi pada jaringan tanaman yang
dikonsumsi. Ambang batas aman kandungan Ni pada tanaman berdasarkan Indian Standar Awashthi 2000
adalah1,5 µg.g-1 (Sing et al., 2010).
Upaya remediasi lahan yang mengalami cekaman logam berat sangat diperlukan sebelum lahan
dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, dan salah satu cara remediasi yang ramah lingkungan
adalah menggunakan tumbuhan yang bersifat akumulator Nikel, toleran, mudah diperoleh dan. Tanaman
belimbing bajo (Sarcotheca celebica Veldk) merupakan salah satu jenis tumbuhan liar yang banyak
ditemukan di sekitar areal pertambangan Nikel di Sorowako dengan pertumbuhan yang normal tanpa terlihat
adanya gejala toksisitas atau klorosis. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa belimbing bajo termasuk
tanaman toleran pada lahan yang mengalami cekaman Nikel, namun belum diketahui termasuk dalam
kelompok akumulator rendah, sedang atau tinggi. Salah satu kriteria tanaman akumulator menurut Malayeri
et.al., (2008) didasarkan atas nilai BCF tanaman yaitu jika nilai BCF 0,1-1,0 maka termasuk tanaman
akumulator tinggi atau hiperakumulator, BCF 0,01-0,1 akumulator sedang, BCF 0,001-0,01 akumulator
rendah, dan BCF < 0,001 tanaman non akumulator.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dalam bentuk percobaan di nursery milik PT. Vale di Sorowako Sulawesi Selatan,
sedang analisis tanah dan jaringan tanaman dilakukan di laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sulawesi Selatan. Percobaan ini menggunakan wadah berupa polybag berukuran 40x50 cm dengan berat
media per polybag sekitar 15 kg. Media yang digunakan adalah tanah dari lahan pasca penambangan Nikel
site Inalahi VI dengan kandungan Ni sekitar 8000 ppm. Adapun tanaman belimbing bajo yang digunakan
1
Korespondensi penulis: Naima Haruna, Telp 082189803012, naima_latuppa@yahoo.co.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 61
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.61-64) 978-602-60766-4-9

merupakan bibit cabutan dari areal sekitar tambang Nikel dengan ukuran tinggi bibit bervariasi mulai dari 10-
50 cm. Jumlah populasi setiap perlakuan adalah 60 dengan jumlah sampel 20 tanaman. Pengamatan terhadap
kandungan Ni pada tanah dan jaringan tanaman dilakukan sebanyak lima kali yaitu saat tanam (t0), umur 12
MST (t1), 17 MST (t2), 21 MST (t3) dan 25 MST (t4). Bagian tanaman yang digunakan untuk analisis
kandungan Ni pada jaringan tanaman adalah daun yang terletak pada bagian pucuk (telah berwarna hijau),
tengah dan bawah. Daun dari setiap tanaman sampel dikeringkan dengan cara dioven selama 2 x 24 jam pada
suhu 80oC, kemudian digerus hingga halus dan sampel siap dinalisis di laboratorium. Pengambilan sampel
tanah untuk analisis kandungan Ni-total pada tanah menggunakan pipa paralon berukuran 1 inch yang
ditancapkan ke dalam media tanam. Tanah yang terkumpul dicampur secara merata dan selanjutnya dianalisis
di laboratorium. Adapun proses pelaksanaan percobaan yang dimulai dengan pengambilan media tanam dari
lahan pasca penambangan Nikel sampai tahap persiapan sampel tanah dan jaringan yang akan dianaleisis di
laboratorium, seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan pelaksanaan percobaan di nursery PT. Vale

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil percobaan yang dilakukan dengan menggunakan belimbing bajo yang ditanam pada media dari
lahan pasca penambangan Nikel (mengalami cekaman logam berat) seperti terlihat pada Gambar 2, 3 dan 4.
Hasil analisis jaringan tanaman (daun) yang dilakukan pada awal penanaman (t0) sampai umur 25 MST (t4)
terlihat pada Gambar 2, sedang hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penanaman (t0) sampai umur
25 MST (t4) seperti terlihat pada Gambar 3.

180 158.45
160
kandungan Ni pada daun

140
120
86.47
(ppm)

100
75.18
80
53.97
60
35.00
40
20
0
0 12 17 21 25
Waktu pengamatan (MST)

Gambar 2. Kandungan Ni pada daun belimbing bajo (S.celebica) yang ditanam pada media tanam yang
mengalami cekaman logam berat Nikel

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 62
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.61-64) 978-602-60766-4-9

10000 8926.00

kandungan Ni total pada tanah


9000 8451.00
8000
7000 6123.00 6001.00
(ppm) 6000
5000
4000
3000 2494.57
2000
1000
0
0 12 17 21 25
Waktu pengamatan (MST)
Gambar 3. Kandungan Ni total pada media tanam yang ditanami
belimbing bajo (S.celebica)

Terlihat pada Gambar 2 kandungan Ni pada daun belimbing bajo setelah tiga bulan penanaman (12
MST) mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa belimbing bajo memiliki kemampuan menyerap
Ni dari dalam tanah dan menyimpannya pada daun. Masuknya Ni pada tubuh (daun) belimbing bajo dapat
terjadi secara bersamaan dengan penyerapan unsur hara dan air dari dalam tanah oleh akar baik secara aktif
maupun pasif. Tingginya kandungan Ni pada daun belimbing bajo umur 12 MST dibandingkan dengan umur
17 MST, 21 MST dan 25 MST dapat disebabkan karena kandungan Ni dalam tanah yang cukup tinggi pada
saat tanam yaitu 8926 ppm. Penyerapan Ni yang cukup besar oleh belimbing bajo selama tiga bulan yaitu
sejak tanam hingga 12 MST yang mencapai 71,97 ppm atau 45,42 % menyebabkan jumlah kandungan Ni
dalam tanah berkurang. Berkurangnya jumlah Ni dalam tanah dari waktu ke waktu akibat penyerapan Ni oleh
belimbing bajo berakibat menurunnya jumlah penyerapan Ni pada umur 17, 21 dan 25 MST. Adanya
pengaruh jumlah kandungan Ni dalam tanah terhadap tingkat penyerapan Ni oleh tanaman juga terlihat pada
hasil penelitian Irwan (1993) yang menunjukkan bahwa Cd, Ni dan Pb pada daun bayam mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi logam berat dalam media tumbuh yang digunakan.

Gambar 4. Kondisi pertumbuhan belimbing bajo (S.celebica) umur 25 MST


Jumlah Ni yang cukup tinggi dalam daun belimbing bajo yaitu 158,45 ppm pada umur 12 MST tidak
mengakibatkan gangguan pertumbuhan tanaman karena tidak terlihat adanya klorosis dan nekrosis sebagai
tanda-tanda umum pada tanaman yang mengalami keracunan Ni. Menurut Ghost dan Singh, (2005),
fitotoksisitas Ni berkisar pada 40-246 mg.kg-1 BK tanaman namun tergantung pada kultivar dan species.
Tanaman belimbing bajo hingga berumur 25 MST (akhir percobaan) tetap tumbuh dengan baik seperti terlihat
pada Gambar 4. Kemampuan belimbing bajo menyerap Nikel dan sangat toleran pada kondisi tanah yang

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 63
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.61-64) 978-602-60766-4-9

mengandung Ni yang cukup tinggi dapat menjadi alasan untuk menjadikan belimbing bajo sebagai salah satu
tanaman untuk melakukan remediasi logam berat Ni.

4. KESIMPULAN
Simpulan dari penelitian ini adalah tanaman belimbing bajo (S.celebica) memiliki kemampuan
menurunkan jumlah kandungan Ni dalam tanah melalui penyerapan oleh akar dan mengakumulasi Ni pada
jaringan daun sehingga tanaman belimbing bajo dapat dimanfaatkan untuk remediasi lahan yang mengalami
cekaman logam berat Nikel.

5. DAFTAR PUSTAKA
Alloway, B.J. 1995. Heavy metal in soils. Blackie Academic and Professional. London (2nd ed). pp 368.
Ghosh, M., and S.P.Singh. 2005. Comparative uptake and phytoremediation study soil induced Chromium by
accumulator and high biomassa species. Applied Ecology and Environmental Research. 3(2):67-79.
Irwan, A. 1993. Akumulasi Cd, Ni dan Pb pada daun bayam (Amaranthus tricolor L.) dan kangkung darat
(Ipomoea reptans Poir). Jurusan Kimia FMIPA IPB, Bogor.
Malayeri, B.E., A.Chehregani, N. Yousefi and B.Lorestani. 2008. Identification of the hyper accumulator
plants in Copper and Iron mine in Iran. Pakistan Journal of Biologycal Science. 11(3): 490-492.
Netty,S., T.Wardiyati, E.Handayanto and M.D.Maghfoer. 2012. Nickel accumulating plants in the post-
mining land of Sorowako, South Sulawesi, Indonesia. Journal of Tropical Agriculture.50(1-2): 45-
48.
Singh,A., R.K.Sharma, M.Agrawal and F.M.Marshall. 2010. Risk assessment of heavy metal toxicity through
contaminated vegetables from waste water irrigated area of Varanasi. Tropical Ecology. 51(2S):375-
387.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini terselenggara atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kemenristekdikti, yang telah memberikan bantuan pendanaan melalui skim PDD dengan SK.
No.3/E/KTP/2018
2. Pimpinan PT.Vale di Sorowako yang telah memberikan ijin penelitian di nursery PT. Vale di Sorowako,
Luwu Timur

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 64
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.65-70) 978-602-60766-4-9

SINTESIS DAN KARAKTERISASI POLIELEKTROLIT KOMPLEKS (PEC) KITOSAN-


PEKTIN SEBAGAI MATRIKS FILM INDIKATOR pH
Abigael Todingbua’1), Ridhawati Thahir1), Isnaeni Saka2) , Mershiana Dase2), Pabbenteng3)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
3)
Penyelia Laboratorium Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

Polyelectrolyte complex (PEC) was formed by the ionic interaction between the polyanion of pectin and polycation of
chitosan. The electrostatic attraction between the amino group bonding (-NH3+) of protonated chitosan and carboxyl acid
bond (-COO-) deprotonated from pectin is the main interaction of the formation of PEC chitosan-pectin. The purpose of
this research is to synthesize and characterize PEC chitosan-pectin for application as a pH indicator. The comparison of
solution chitosan 3% to pectin 3% (b/v) are 0, 10, 30, 50, 70, 90 and 100% at pH 4. The process of synthesis PEC film
has used the ultrasonic method. The product of polyelectrolyte complex chitosan-pectin can be synthesized by indirect
methods at pH 4. The difference in the characteristics of the PEC chitosan-pectin of various polymer composition and
provenance are indicated with the analysis of functional group analysis, thermal analysis, swelling and color analysis.

Keywords: polyelectrolyte complex, chitosan, pectin, pH indicator

1. PENDAHULUAN
Polielektrolit kompleks (PEC) terbentuk oleh interaksi ionik antara polianion dan polikation. Daya tarik
elektrostatik antara ikatan gugus amino (-NH3+) terionisasi dari kitosan dan gugus asam karboksil (-COO-)
terionisasi dari pektin adalah interaksi utama dalam pembentukan matriks PEC kitosan-pektin (Rashidova et al.
2004). Kitosan merupakan polisakarida kationik linier yang diperoleh dari kitin, dapat ditemukan di kulit
udang, lobster dan kepiting. Hal ini ditandai dengan pembentukan film fleksibel dan tahan dengan penghalang
oksigen yang efisien (Yoshida et al. 2010; Recillas et al. 2011). Pektin merupakan polisakarida alami anionik
yang diekstraksi dari dinding sel sebagian besar tanaman, seperti apel, jeruk dan pir. Berdasarkan pada tingkat
substitusi gugus karboksil d-galakturonat oleh kelompok metoksil (-OCH3), yang didefinisikan sebagai
tingkat esterifikasi (DE), pektin diklasifikasikan sebagai pektin dengan esterifikasi tinggi (DE> 50%) atau
pektin esterifikasi rendah (DE <50%) (Jindal et al. 2013).
Beberapa penelitian aplikasi PEC kitosan-pektin, terutama di bidang medis sebagai pembawa obat
(drug delivery) dan indikator pH. Vinicius Borges dkk 2015, melakukan penelitian sintesis PEC kitosan-
pektin menggunakan antosianin (ATH) sebagai sumber indikator pH. Kitosan dan pektin merupakan
polisakarida yang memiliki interaksi antar molekul yang sangat kuat. Kitosan dan pektin dipilih sebagai
sumber bahan baku pembentukan PEC karena bersifat alami, dapat terurai oleh lingkungan (biodegradable)
dan bersifat berkelanjutan (sustainable) (Borges et al. 2015). lyas Md isa dkk, 2012 menggunakan kitosan
sebagai ionophore dan polivinil klorida (PVC) sebagai matriks pengikat (binder) pada pembentukan membran
sensor pH (Md Isa et al. 2012)
Dari uraian di atas, dilakukan penelitian sintesis PEC kitosan-pektin sebagai film dan bromthymol blue
(BTB) sebagai pemberi warna pada film indikator pH. Karakterisasi film indikator meliputi analisis spektrum
IR dari ikatan –NH3+, -COO-, dan PEC kitosan-pektin menggunakan fourier transform infra red (FTIR),
analisis kestabilan termal menggunakan differential scanning calorimetry (DSC), dan analisis swelling.

2. METODE PENELITIAN
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Labu ukur 500 mL,Gelas kimia 500, 250, 100 mL,
Magnetic stirrer, Hotplate, Pipet ukur 5, 10, 25 mL, Gelas ukur 100 mL, Ultrasonik Stream Ultrascien Elma,
Oven, Cawan Petridis, DSC-60plus SHIMADZU, FTIR-8400S SHIMADZU.Bahan,Aquadest, CH3COOH 1%,
Kitosan (Sigma Aldrich), Pektin from apple (Sigma Aldrich), PVA (Sigma Aldrich), NaOH 1 M, HCl 1 M,
Indikator bromothymol blue (BTB) 0,2%, Gliserol, Kertas pH nesco pH test paper.

1
Korespondensi penulis: Ridhawati Thahir, Telp 081342608424, ridha331@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 65
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.65-70) 978-602-60766-4-9

Sintesis Film PEC Kitosan-Pektin %(b/v) dengan Variasi Komposisi


Pembuatan film PEC kitosan-pektin (30:70); larutan kitosan 3% sebanyak 30 mL dicampur dengan
larutan pektin 3% sebanyak 70 mL sambil diaduk dengan magnetic stirrer kemudian ditambahkan larutan
PVA 1 % sebanyak 10 mL, pewarna indikator bromothymol blue (BTB) 0,2% sebanyak 2 mL dan gliserol 4
mL lalu diaduk selama 1 jam dan dicek pHnya yakni 4. Kemudian campuran diultrasonik selama 1 jam, lalu
dituang ke dalam cawan petridis kecil berdiameter 6 cm. setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 60℃
selama 24 jam. Film PEC dilepas dari cawan petri kemudian diaplikasikan. prosedur yang sama dilakukan
pada variasi komposisi kitosan terhadap pektin 0, 10, 30, 50, 70, 90 and 100%.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sintesis film PEC dari kitosan-pektin
Penelitian ini mensintesis film PEC kitosan-pektin dengan variasi komposisi kitosan-pektin yaitu:
sampel A (100:0); B (90:10); C (70:30); D (50:50); E (30:70); F (10:90); dan G (0:100). Film PEC disintesis
dari kitosan 3% dalam larutan asam asetat 1% dan pektin 3% dalam aquadest. Dalam suasana asam kitosan
membentuk polikation sedangkan pektin jika dilarutkan dalam aquadest membentuk polianion. Polikation dan
polianion bereaksi membentuk polielektrolit kompleks melalui interaksi ionik.

Tabel 1. Perbandingan warna visual dan chromameter film PEC kitosan-pektin

Visual Chromameter
Sampel
Gambar Warna L* a* b* Warna
Kuning Kuning
A 25.54 -0.25 6.7
Kehijauan kehijauan

Kuning Kuning
B 27.82 -0.58 6.27
Kehijauan Kehijauan

Kuning Kuning
C 21.91 -2.33 7.28
Kehijauan Kehijauan
D Kuning 20.25 -0.48 6.78 Kuning

E Orange 22.32 6.72 14.35 Orange

F Orange 22.66 6.67 14.11 Orange

G Kuning 48.96 -0.68 14.86 Kuning

Perbandingan warna di atas menunjukkan hasil warna film yang sama secara visual dan chromameter
yakni: sampel A berwarna kuning-kehijauan, B berwarna kuning-kehijauan, C berwarna kuning-kehijauan, D
berwarna kuning, E berwarna orange, F berwarna orange dan sampel G berwarna kuning. .

Analisis termal menggunakan DSC

Karakterisasi analisis termal menggunakan alat DSC (differential scanning calorimeter). DSC dapat
digunakan untuk membedakan polimer murni dengan polielektrolit kompleks yang terbentuk. Analisis termal
ini dilakukan terhadap film kitosan,film pektin dan film polielektrolit kompleks kitosan pektin dengan variasi
komoposisi kitosan-pektin yaitu A (100:0); B (90:10); C (70:30); D (50:50); E (30:70); F (10:90); dan G
(0:100). Analisis termal digunakan untuk mengkarakterisasi suhu kristalisasi (Tc), suhu transisi gelas (Tg),
dan suhu peleburan (Tm) melalui analisis differential scanning calorimetry (DSC). Output dari pengujian
DSC berupa kurva termogram yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik sampel.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 66
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.65-70) 978-602-60766-4-9

Tabel 1. Hasil analisis termal menggunakan DSC.

Tm
Sampel Temperatur
Heat (J/g)
(℃)
A 98 -0,13
B 138 -0,09
C 140 -0,14
D 118 -62,84
E 134 -7,51
F 123 -0,76
G 137 -0,70

Tabel 2 menunjukkan hasil suhu peleburan (Tm) dari sampel A=98℃ memerlukan panas sebesar -
0.13 J/g dan sampel G=137℃ memerlukan panas sebesar -0.70, sampel A memiliki nilai Tm yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan sampel G. sedangkan sampel polielektrolit kompleks yakni sampel B ,D, E,
F G memiliki nilai Tm diantara sampel A dan B dan untuk sampel C memiliki nilai Tm tertinggi yakni Tm
dari sampel C=140℃ memerlukan panas sebesar -0.14. Hal ini terjadi karena paduan antarmolekul kitosan dan
pektin menimbulkan interaksi antar molekul yang sangat kuat dan struktur polimer yang kaku, sehingga itu
diperlukan temperatur yang lebih tinggi untuk mencapai peleburan. Tm merupakan titik sampel mengalami
peleburan/meleleh. Proses peleburan menghasilkan puncak endotermik pada termogram DSC.

Gambar 1. Grafik DSC sampel A, B, C, D, E, F, dan G

Dari hasil analisis, dapat dilihat perbedaan antara puncak endotermik yang dihasilkan polielektrolit
kompleks kitosan-pektin berbagai variasi dengan polimer asalnya yaitu kitosan dan pektin. Hal tersebut
menandakan terjadi interaksi kimia antara kitosan dan pektin yang berupa interaksi ionik. Suhu puncak
endotermik polielektrolit kompleks kitosan-pektin yang paling bagus yakni sampel C yang memiliki kompisi
K-P 70:30, hal ini terlihat dari nilai Tm tertinggi yakni 140℃. Pengukuran DSC dimulai pada suhu 20℃ dan
tidak terdapat nilai Tg dan Tc, sedangkan nilai tersebut muncul sebelum nilai Tm. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa nilai Tg dan Tc berada dibawah suhu 20℃.

Analisis gugus fungsi


Karakterisasi kimia dilakukan dengan analisis gugus fungsi menggunakan alat Spektroskopi FTIR
(fourier transform infrared spectroscopy). Sejumlah film sampel ditimbang, kemudian dilakukan scanning
pada daerah bilangan gelombang 4000 cm-1 sampai 400 cm-1. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 67
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.65-70) 978-602-60766-4-9

Gambar 2 spektrum kitosan Gambar 3 spektrum pektin Gambar 4 Spektrum Sampel C (70:30)

Spektrum FTIR dari kitosan,pektin, dan polielektrolit kompleks komposisi (70:30) dapat dilihat pada
gambar 4.2 sampai 4.4. Spektrum FTIR kitosan tampak pada gambar 4.2 menunjukkan puncak pada1381,08
cm-1 yang menunjukkan adanya gugus amina (C-N) dan puncak 3441,12 cm-1 menunjukkan adanya gugus –
NH2 yang berasal dari senyawa amina yang terikat pada struktur kitosan. Spektrum FTIR pektin tampak pada
gambar 4.3 menunjukkan puncak pada 1745,64 cm-1 yang menandakan adanya gugus karbonil (C=O). Puncak
pada bilangan gelombang 1236,41 cm-1 menandakan adanya gugus karbonil (-COOH).
Spektrum FTIR polielektrolit kompleks pada Gambar 4.4 menunjukkan puncak pada 3498,99 cm-1 yang
menandakan adanya gugus amina (N-H) dan puncak pada 1041,6 cm-1 yang menandakan adanya gugus
karboksilat (-COOH) Selain itu terdapat puncak baru pada bilangan gelombang 1641,48 cm-1 yang
merupakan hasil interaksi antara gugus -NH3+ dari kitosan dan gugus –COO dari pektin. Puncak tersebut
menunjukkan perubahan lingkungan pada puncak N-H yang disebabkan oleh terjadinya interaksi ionik antara
atom nitrogen dari gugus amin kitosan dengan atom oksigen dari karboksilat pektin (Bigucci et al.,2008).
Berdasarkan interpretasi spektra FTIR tersebut, maka film PEC kitosan-pektin telah berhasil disintesis.

Analisis Swealling
Karakterisasi swelling dilakukan untuk mengetahui derajat penggembungan dan sifat kelarutan sampel
terhadap pelarut. sampel tidak mengalami penggembungan, tetapi sampel larut dalam aquadest. Oleh karena
itu sampel film PEC termasuk dalam tipe unlimited swelling yaitu swelling yang berlajut ke tahap pelarutan.
Pada analisis ini terjadi perubahan warna pada

Tabel 3. Hasil analisa swelling


Berat Sampel (gram)
Sampel
Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5

A 0,0795 0,0571 0,0570 0,0567 0,0562 0,0560

B 0,0616 0,0458 0,0444 0,0442 0,0442 0,0442

C 0,0493 0,0222 0,0214 0,0208 0,0208 0,0208

D 0,0624 0,0538 0,0533 0,0533 0,0499 0,0480

E 0,0685 0,0584 0,0549 0,0379 0,0308 0,0300

F 0,0721 0,0627 0,0542 0,0515 0,0422 0,0420

G 0,0753 0,0597 0,0425 0,0311 0,0306 0,0300

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 68
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.65-70) 978-602-60766-4-9

Aplikasi film PEC sebagai indikator pH


Salah satu aplikasi polielektrolit kompleks ialah sebagai matriks indikator pH. Penelitian ini mengkaji
pengaruh variasi jumlah kitosan dan pektin dalam pembentukan PEC sebagai matriks indikator pH untuk
mengetahui profil perubahan warna terhadap respon indikator pH. Cara pengaplikasiannya dengan cara
mencelupkan film PEC dalam larutan dengan PH berbeda, yakni pH 3, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14.

Tabel 4. hasil pengujian warna menggunakan chromameter


Sampel pH L* a* b* Warna
3 24.9 2 7.88 Orange
4 26.58 0.51 12.74 Kuning
6 25.36 -1.85 5.32 Kuning kehijauan
A 8 22.12 -2.38 0.56 Hijau kebiruan
10 24.09 -2.89 2.35 Hijau
12 24.78 -3.12 -0.56 Hijau kebiruan
14 21.89 -1.89 -0.68 Hijau kebiruan
3 28.23 2.05 7.14 Orange
4 26 2.36 13.97 Orange
6 24.46 -1.12 5.51 Kuning kehijauan
B 8 24.02 -2.16 2.93 Hijau
10 19.87 -2.49 3.58 Kuning kehijauan
12 21.33 -2.98 -1.22 Kijau kebiruan
14 22.25 -1.97 -1.9 Hijau kebiruan
3 21.2 3.77 9.9 Orange
4 23.62 2.46 15.23 Kuning
6 25.44 -1.19 5.25 Kuning kehijauan
C 8 22.67 -1.52 3.25 Hijau
10 20.44 -2.54 4.04 Hijau
12 17.7 -2.53 1.9 Hijau kekuningan
14 17.72 -2.6 -1.88 Hijau kebiruan
3 22.29 2.02 9.64 Orange
4 26.02 3.26 13.13 Orange
6 21.82 0.11 8.34 Kuning
D 8 21.46 -1.82 5.97 Kuning kehijauan
10 21.18 -2 4.75 Kuning Kehijauan
12 20.03 -3.07 1.28 Hijau
14 20.55 -2.46 0.95 Hijau

Hasil pengujian warna menggunakan chromameter didapatkan dengan cara membandingkan nilai a*, b*,
dan L*. jika nilai a* positif maka warnanya cenderung ke merah, sedangkan jika nilai a* negatif maka hasil
warnanya cenderung hijau. jika nilai b* positif maka warnanya cenderung ke kuning, sedangkan jika nilai b*
negatif maka hasil warnanya cenderung ke biru. Nilai L * menentukan gelap dan terang, semakin besar nilai
L* maka semakin terang. begitupun sebaliknya. misalnya sampel A pH 3 memiliki nilai L*=24,9; a*=2;
b*=7,88. Dari nilai a* dan b* positif didapatkan hasil warna yakni kuning dan merah (orange) dan nilai L*
kecil maka sampel bewarna agak gelap. Hasil ini sesuai dengan pengujian warna secara visual yakni
didapatkan warna orange pada sampel A pH 3. Begitupun untuk sampel lainnya memiliki hasil pengujian
yang sama secara visual dan menggunakan chromameter.
Aplikasi sebagai indikator pH menunjukkan profil perubahan warna pada pH 3, 4 dan 6 mendekati baris
kedua sedangkan pH 8, 10, 12 dan 14 mendekati baris pertama pada nesco pH test paper.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 69
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.65-70) 978-602-60766-4-9

Tabel 5 Profil perubahan warna

4. KESIMPULAN
Analisis termal menggunakan DSC menggambarkan sampel film PEC kitosan-pektin pada semua sampel
menunjukkan perubahan fase (padat ke cair, Tm) pada rentang suhu 98-140oC, sedangkan titik transisi gelas
dan titik kristal tidak nampak. Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR menggambarkan spektrum IR pada
bilangan gelombang 3300-3500 cm-1 untuk ikatan –NH3+ dari kitosan dan 1050-1300 cm-1 untuk ikatan –
COOH- dari pektin pada sampel film PEC kitosan-pektin. Analisis swelling menunjukkan sampel film PEC
kitosan-pektin temasuk tipe unlimited swelling. Analisis warna secara visual menunjukkan warna yang sama
jika dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunakan chromameter. Aplikasi sebagai indikator pH
menunjukkan profil perubahan warna pada pH 3, 4,6 mendekati baris kedua dan pH 8, 10, 12, 14 mendekati
baris pertama jika dibandingkan dengan kertas pH komersial jenis nesco pH test paper.
5. DAFTAR PUSTAKA
Borges, Vinicius, V Maciel, Cristiana M P Yoshida, and Telma Teixeira. 2015. “Chitosan / Pectin
Polyelectrolyte Complex as a pH Indicator.” Carbohydrate Polymers 132: 537–45.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2015.06.047.
Ghaffari, Alireza, Kian Navaee, Mahvash Oskoui, Khosrow Bayati, and Morteza Rafiee-Tehrani. 2007.
“Preparation and Characterization of Free Mixed-Film of pectin/chitosan/Eudragit?? RS Intended for
Sigmoidal Drug Delivery.” European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 67 (1): 175–86.
https://doi.org/10.1016/j.ejpb.2007.01.013.
Md Isa, Illyas, Mohd Hizuan Hamzah, Intan Safarinaz Sabian, and Sulaiman Ab Ghani. 2012. “Chitosan
Based Heterogeneous Membrane Sensor for pH – A Prototype.” Int. J. Electrochem. Sci 7: 12045–53.
Putu, Ni, Sri Ayuni, Ni Wayan Yuningrat, Ketut Yesi Andriani, Jurusan Analis Kimia, and Universitas
Pendidikan Ganesha. 2016. “Adsorpsi-Desorpsi Zat Warna Azo Jenis Remazol Black B Menggunakan
Membran Polielektrolit ( Pec )” 5 (1): 706–17.
Rashidova, S. Sh., R. Yu. Milusheva, L. N. Semenova, M. Yu. Mukhamedjanova, N. L. Voropaeva, S.
Vasilyeva, R. Faizieva, and I. N. Ruban. 2004. “Characteristics of Interactions in the Pectin?Chitosan
System.” Chromatographia 59 (11–12): 779–80. https://doi.org/10.1365/s10337-004-0289-6.
Recillas, Maricarmen, Luisa L. Silva, Carlos Peniche, Francisco M. Goycoolea, Marguerite Rinaudo, Julio
San Román, and Waldo M. Argüelles-Monal. 2011. “Thermo- and pH-Responsive Polyelectrolyte
Complex Membranes from Chitosan-G-N-Isopropylacrylamide and Pectin.” Carbohydrate Polymers 86
(3). Elsevier Ltd.: 1336–43. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2011.06.047.
Sugita, P. Wukirsari, T., Sjahriza, A., Wahyono, D. 2009. “Kitosan Sumber Material Masa Depan.” Penerbit
IPB Press. Bogor.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan atas hibah penelitian RUTIN DIPA Politeknik Negeri Ujung Pandang
sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksana Penelitian Nomor 018/PL.10.13/PL/2018 tangggal 2 April 2018.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 70
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.71-75) 978-602-60766-4-9

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR ENERGI DARI PERMUKIMAN


(RESIDENTIAL) DI KABUPATEN KARANGASEM
Affan Irfan Fauziawan1)
1)
Program Studi Sistem Informasi, STIMIK STIKOM Bali

ABSTRACT

Karangasem Regency, is an area in the eastern part of the island of Bali, which administratively is one of the
regencies within the province of Bali. The population of Karangasem Regency in 2016 based on the results of the BPS
population projection is 410,800 people. The population growth rate in Karangasem averages 0.88% per year. The area
of Karangasem Regency is 839.54 Km or 14.90% of the area of Bali Province (5,632.86 Km). Of the total area, around
7,070 Ha. (8.42%) is rice fields, while non-paddy fields are 76.884 Ha (91.58%). The increasing population, the greater
the amount of land used for housing / settlements. Increasing settlement will lead to greater use / use of fuel for
household activities. Climate change has become a global problem and to overcome it involves various countries and
various disciplines. Greenhouse gases (GHG) are gases in the atmosphere that function to absorb infrared radiation and
help determine atmospheric temperature. The response of the Indonesian government in responding to the issue of
climate change and global warming is contained in the Presidential Regulation Number 61 of 2011 concerning the
National Action Plan for Reducing Greenhouse Gas Emissions (RAN-GRK). Based on the results of the study it can be
seen that in Karangasem Regency, the highest GHG emissions are in Karangasem Subdistrict at 48.28 tons CO2-e. While
the lowest GHG emissions are in Sidemen sub-district, amounting to 18.74 tons of CO2-e. In this study the number of
contributors to emissions from the housing sector is from the use of LPG fuel and firewood.

Keywords: Climate Change, CO2 Emission, Solid Waste, Residential

1. PENDAHULUAN
Perubahan iklim telah menjadi persoalan global dan untuk mengatasinya melibatkan berbagai negara
dan berbagai disiplin ilmu. Dampak perubahan iklim mulai dirasakan 1di berbagai belahan bumi dengan
meningkatnya temperatur udara. Perubahan iklim mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, antara lain aspek
lingkungan, aspek sosial ekonomi, aspek kesehatan, serta aspek lainnya. Gas rumah kaca (GRK) merupakan
gas di atmosfir yang berfungsi menyerap radiasi infra merah dan ikut menentukan suhu atmosfir. Adanya
berbagai aktivitas manusia, khususnya sejak era pra-industri, menyebabkan emisi GRK ke atmosfer
mengalami peningkatan yang sangat tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer. Hal ini
menyebabkan timbulnya masalah pemanasan global dan perubahan iklim.
Pemanfaatan energi sektor rumah tangga terkait dengan kebutuhan tenaga listrik (untuk penerangan,
pengkondisian ruangan, peralatan elektronik lainnya) dan energi panas untuk memasak. Kebutuhan energi
panas dipenuhi dengan pembakaran BBM misalnya minyak tanah, LPG, gas bumi (untuk beberapa wilayah
kota besar) dan kayu bakar (untuk beberapa wilayah pinggiran kota dan pedesaan). Kegiatan permukiman
yang dapat menghasilkan emisi diantaranya adalah dalam kegiatan memasak menggunakan bahan bakar.
Kegiatan ini dapat menghasilkan emisi udara diantaranya senyawa organik volatil/ (Volatile Organic
Compounds /VOC). Emisi pembakaran bahan bakar memasak ini merupakan sumber utama penghasil VOC di
atmosfer perkotaan (Cheng, dkk., 2016). Selain VOC, emisi yang dihasilkan dari kegiatan memasak adalah
Gas rumah kaca (Permadi, dkk., 2017) serta masih banyak lagi.
Semakin meningkat jumlah penduduk maka semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca khususnya
karbon dioksida. Menurut Dhakal (2010), sumber utama emisi gas rumah kaca yang banyak dikaji adalah
karbondioksida (CO2). Hal tersebut cukup beralasan, mengingat karbondioksida (CO2) merupakan salah satu
gas yang banyak dihasilkan di wilayah perkotaan atau urban, terutama dari sektor rumah tangga. Data yang
dihimpun dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup Indonesia menunjukan bahwa sektor energi
memberikan sumbangan terbesar gas rumah kaca, khususnya CO2 yang bersumber dari permukiman salah
satunya dari penggunaan bahan bakar memasak.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro tahun 2002, menghasilkan konvensi
perubahan iklim dengan tujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat
yang tidak membahayakan sistem iklim.

1
Korespondensi penulis: Affan Irfan Fauziawan , Telp 08170160182, fauziawan@yahoo.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 71
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.71-75) 978-602-60766-4-9

Respon yang dilakukan pemerintah Indonesia di dalam menanggapi isu perubahan iklim dan
pemanasan global tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Pada Perpres tersebut terdapat komitmen pemerintah
Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% dari Business as Usual (BaU) pada tahun 2020. RAN-
GRK yang diprogramkan oleh pemerintah merupakan gabungan dari RAD-GRK (Rencana Aksi Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca). Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan pada tahun
2015 di Paris (COP 21 Paris), menghasilkan beberapa pokok-pokok Kesepakatan Paris (Paris Agreement)
diantaranya yaitu adanya kesepakatan dari masing-masing negara peserta untuk membatasi kenaikan suhu
global dibawah 20C dari tingkat pre-industri dan melakukan upaya untuk membatasinya hingga dibawah
1,50C. Selain itu setiap negara didorong untuk mendukung pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk
aktivitas penurunan emisi.
Kabupaten Karangasem, merupakan daerah yang berada di belahan timur Pulau Bali, yang secara
administratif merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Bali. Jumlah penduduk Kabupaten
Karangasem pada tahun 2016 berdasarkan hasil registrasi penduduk adalah 410.800 jiwa. Angka pertambahan
penduduk di Karangasem rata-rata 0,88% per tahun. Luas Kabupaten Karangasem adalah 839,54 Km atau
14,90 % dari luas Provinsi Bali (5.632,86 Km). Dari seluruh luas wilayah tersebut, sekitar 7.070 Ha. (8,42 %)
merupakan lahan persawahan, sedangkan yang bukan lahan sawah 76.884 Ha (91,58%). Semakin meningkat
jumlah penduduk, maka semakin besar lahan yang dipergunakan untuk perumahan/permukiman, hal ini akan
menyebabkan semakin besar kebutuhan penggunaan bahan bakar untuk kegiatan di rumah tangga. Sehingga,
apabila emisi GRK sudah diketahui, akan dengan mudah untuk melaksanakan aksi-aksi mitigasi yang akan
dilakukan, sebagai komitmen pemerintah Indonesia yang mendukung upaya untuk membatasi kenaikan suhu
global dibawah 20C. Selain itu dengan mengetahui emisi yang dihasilkan, maka tidak tertutup kemungkinan
untuk menarik investor dalam pengelolaan emisi tersebut menjadi energi yang bermanfaat bagi masyarakat
Karangasem, yaitu dengan mengubah gas penghasil emisi tersebut (methane) menjadi energi listrik.

2. METODE PENELITIAN
Penghitungan emisi GRK untuk sektor energi ini dengan menggunakan pendekatan nilai faktor emisi
yang terdapat dalam pedoman Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines (GL) 2006.
Data yang akan digunakan pada penelitian ini berasal dari hasil survey lapangan dan kuisioner yang dilakukan
pada masyarakat di Kabupaten Karangasem. Selain itu data yang dibutuhkan adalah data jumlah penduduk
yang ada di Kabupaten Karangasem, yang diambil dari data Karangasem Dalam Angka (BPS Karangasem).
Penentuan jumlah sampel yang akan dipakai untuk penelitian ini, dengan menggunakan sampel
terstrata (Stratified Sampling), dimana pada metode ini menggunakan kelompok untuk mencapai keterwakilan
atau untuk memastikan bahwa jumlah elemen dari masing-masing kelompok yang terpilih dipilih menjadi
sampel. Dalam penelitian ini, rumus yang akan digunakan untuk mengukur besarnya sampel, dapat
menggunakan rumus Slovin, yaitu:

(1)

Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi
d = nilai/ambang batas toleransi kesalahan (rentang 0-5%).
Agar keterwakilan disetiap kecamatan ada, maka setelah dilakukan perhitungan jumlah sampel yang
diambil, dilakukan perhitungan jumlah sampel rumah tangga di setiap kecamatan, dengan rumus:

(2)

Dimana:
Ni = Jumlah populasi pada masing-masing wilayah studi
N = Jumlah total populasi wilayah studi

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 72
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.71-75) 978-602-60766-4-9

n = Jumlah total sampel wilayah studi


ni = jumlah sampel pada masing-masing wilayah studi

Jumlah sampel yang diambil dari masing-masing kecamatan berdasarkan analisis Tipologi Klassen,
dimana analisis tersebut membagi wilayah berdasarkan 2 indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita. Sampel diambil per kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem. Pengambilan
sampel acak berdasarkan pembagian wilayah yang meliputi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita.
Berdasarkan UU No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, jumlah penghasilan pokok kepala rumah tangga
dibagi menjadi:
a. < Rp. 750.000,
b. Rp. 750.000 - Rp. 1.500.000,
c. Rp. 1.500.000 - Rp. 3.000.000,
d. > Rp. 3.000.000
Penghitungan emisi GRK untuk inventarisasi GRK, pada dasarnya merujuk pendekatan umum yang
terdapat dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines (GL) 2006 sebagaimana
disampaikan pada persamaan berikut:

Emisi GRK (kg/th) = Konsumsi Energi (TJ/thn) x Faktor Emisi (kg/TJ) x NCV (3)
Keterangan :
Emisi CO2 = Jumlah Emisi CO2 (ton CO2-e)
Konsumsi Bahan Bakar = Konsumsi Bahan Bakar (Kg/Tahun)
FE = Faktor Emisi Bahan Bakar (ton CO2)
NCV = Net Calorific Value (Nilai Kalori) bahan bakar (TJ/ton)

Besarnya emisi GRK hasil pembakaran bahan bakar fosil bergantung pada banyak dan jenis bahan
bakar yang dibakar. Banyaknya bahan bakar dipresentasikan sebagai data aktivitas sedangkan jenis bahan
bakar dipresentasikan oleh faktor emisi. Faktor emisi dinyatakan dalam satuan emisi per unit energi yang
dikonsumsi (kg GRK/TJ). Akan tetapi, data konsumsi energi yang tersedia umumnya dalam bentuk satuan
fisik (kg kayu bakar, kg LPG, dan lain-lain). Oleh karena itu sebelum digunakan persamaan 3, data konsumsi
energi harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam satuan energi TJ (Terra Joule), yaitu dengan mengalikan
dengan Nilai Kalor dari jenis bahan bakar yang dibakar.
Tabel 1. Nilai Faktor Emisi dan Nilai Kalor Masing-Masing Bahan Bakar
Bahan Bakar Faktor Emisi (Kg Nilai Kalor
CO2/TJ) (TJ/kg)
LPG 63100 47,3 x 10-6
Kayu Bakar 112000 15 x 10-6
Arang 112000 29,5 x 10-6
Minyak Tanah 71900 43,8 x 10-6

Dari data yang didapat dari hasil survey dan analisis, selanjutnya dilakukan perhitungan emisi CO2
tiap kecamatan, sehingga didapat keseluruhan emisi CO2 yang dihasilkan di Kabupaten Karangasem, Bali.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil survey, diperoleh hasil bahwa masyarakat Kab. Karangasem dalam kegiatan
memasak sehari-hari menggunakan bahan bakar LPG, minyak tanah dan kayu bakar.

No Kecamatan LPG (kg) Kayu Bakar (kg)


1 Rendang 658.897 1.696
2 Sidemen 627.538 720
3 Manggis 971.385 1195
4 Karangasem 1.617.399 305

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 73
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.71-75) 978-602-60766-4-9

5 Abang 1.357.548 4.698


6 Bebandem 941.192 2.546
7 Selat 721.616 1.236
8 Kubu 794.337 7.176
Total 7.689.912 19.572

Dari data tersebut, kemudian dilakukan perhitungan estimasi emisi GRK dari sektor energi (perumahan)
di kab. Karangasem. Hasilnya adalah sebagai berikut:

No LPG (kg CO2) Kayu Bakar (kg


Kecamatan
CO2)
1 Rendang 19.665,65 28,49
2 Sidemen 18.729,68 12,1
3 Manggis 28.992,26 20,08
4 Karangasem 48.273,39 5,12
5 Abang 40.517,77 78,93
6 Bebandem 28.091,09 42,77
7 Selat 21.537,57 20,76
8 Kubu 23.708,01 120,56
Total 229.515,42 328,81

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa estimasi emisi GRK yang paling tinggi ada di kecamatan
Karangasem yaitu sebesar 48,28 ton CO2-e, sedangkan estimasi emisi GRK paling rendah ada di kecamatan
Sidemen yaitu sebesar 18,74 ton CO2-e.
Emisi GRK yang dihasilkan dari pemakaian bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga ini bisa dilihat
dari jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan dari masing-masing kecamatan. Kecamatan
Karangasem merupakan kecamatan yang terletak ditengah kota Karangasem, juga sebagai Ibukotanya
Karangasem. Pemakaian bahan bakar LPG di Kecamatan Karangasem paling tinggi dibandingkan dengan
kecamatan lain, sedangkan pemakaian kayu bakar tidak terlalu banyak. Estimasi emisi yang dihasilkan di
Kecamatan Karangasem, juga dipengaruhi oleh kehidupan di kecamatan Karangasem yang sudah banyak
menggunakan bahan bakar LPG. Selain itu kepadatan penduduk juga menjadi penyebab tingginya estimasi
emisi GRK di kecamatan Karangasem. Sedangkan di kecamatan Sidemen, untuk estimasi emisi GRK yang
dihasilkan paling rendah dibandingkan dengan kecamatan lain. Hal ini disebabkan karena jumlah pemakaian
bahan bakar di kecamatan tersebut yang sedikit, sebanding dengan jumlah penduduk di kecamatan Sidemen
yang paling sedikit dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Selain itu kecamatan Sidemen juga termasuk
dalam kategori wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dibandingkan dengan kecamatan yang
lain, sehingga perilaku rumah tangga yang tidak boros dalam menggunakan bahan bakar untuk kegiatan
memasak dalam kesehariannya.
Menurut Rahut, dkk. (2015), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suatu rumah tangga atau
permukiman memilih bahan bakar untuk memasak diantaranya tingkat pendidikan kepala rumah tangga,
perekonomian, jenis kelamin, dan lokasi permukiman. Menurut Rachmawati (2015), tingkat emisi yang
dihasilkan juga sebanding dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk. Dengan pertambahan penduduk, maka
akan meningkatkan pula lahan yang akan dijadikan sebagai permukiman. Dengan bertambahnya jumlah
permukiman di Kabupaten Karangasem, maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan emisi GRK yang
dihasilkan dari kegiatan rumah tangga yang didapat dari pemakaian bahan bakar untuk memasak setiap
harinya.

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan ini dapat diambil kesimpulan bahwa emisi GRK yang dihasilkan
dari kegiatan rumah tangga suatu daerah yang padat penduduknya dapat menghasilkan emisi GRK yang lebih
besar dibandingkan dengan kegiatan rumah tangga yang jumlah penduduknya lebih sedikit. Selain itu, faktor
emisi dari bahan bakar yang dipakai untuk kegiatan memasak juga memegang peranan penting terhadap emisi
GRK yang dihasilkan. Faktor emisi LPG lebih kecil dibandingkan dengan faktor emisi bahan bakar kayu
bakar, tetapi LPG memiliki nilai kalor yang lebih besar daripada kayu bakar.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 74
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.71-75) 978-602-60766-4-9

5. DAFTAR PUSTAKA
Cheng, S., Wang, G., Wen, W., (2016). Characterization of Volatile Organic Compounds from Different
Cooking Emission. Atmospheric Environment 145 (2017). 299 – 307
Dhakal, S. 2010. GHG Emissions from Urbanization and Opportunities for Urban Carbon Mitigation.
Current Opinion in Environmental Sustainability. Vol. 2. 277-283.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2012). Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional. Vol. 1. Pengadaan dan Penggunaan Energi.
Maclaren, V. Urban Suistainability Reporting. Journal of The American Planning Association. Vol. 62.
No. 2. 184-202.
Nugrahayu, Q. (2017). Estimasi Emisi Karbondioksida dari Sektor Permukiman di Kota Yogyakarta
Menggunakan IPCC Guidelines. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan. Vol. 9. 25-36
Pemerintah Kabupaten Karangasem. (2017). Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten
Karangasem.
Peraturan Presiden No. 61 (2011). Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Peraturan Presiden No. 71 (2011). Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Permadi, A., Sofyan, A., Oanh, N., T., K. (2017). Assesment of Emissions of Greenhouse Gases and Air
Pollutants in Indonesia and Impact of National Policy for Elimination of Kerosene Use in Cooking.
Atmospheric Environment. 154 (2017). 82-94
Prasetyo, B. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta. PT Rajawali Pers .
Rachmawati, Veni. (2015). Penentuan Faktor Emisi Spesifik Untuk Estimasi Tapak Karbon Dan
Pemetaannya dari Penggunaan Bahan Bakar di Kabupaten Sidoarjo. Proceeding Seminar Nasional
Manajemen Teknologi XXII. Surabaya . Institut Teknologi Sepuluh November.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada STMIK STIKOM Bali yang telah mendukung
berlangsungnya penelitian ini. Dukungan yang diberikan dalam bentuk pendanaan dan bantuan moril atas
terlaksananya penelitian ini.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 75
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.76-79) 978-602-60766-4-9

EKSTRAKSI KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT KAPPAPHYCUS ALVAREZII DENGAN


METODE EKSTRAKSI GELOMBANG ULTRASONIK
Mahyati1), Muhammad Yusuf1) , Nama Nur Hikmah2), Annisa Dwiyanti S2)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Abstract, the carrageenan from Kappaphycus alvarezii were extracted using hot water or hot alkali which was
developed using ultrasonic waves. The purpose of this study was to determine the quality and quantity of the results of
extraction by ultrasonic wave method using Elma sonicator. Whereas for the variation of the use of the Elma sonicator
tool, the extraction time variations were 20, 30, 40, 50 minutes and temperature variations of 50, 60, 70, 80˚C for a
maximum of 50 minutes. Carrageenan quality tests carried out include water content, viscosity, and gel strength. The
results of this study showed the highest yield of carrageenan with a variation of extraction time of 50 minutes at a
temperature of 80˚C, ie 54.0671%, water content 2.5-9%, viscosity was 5-40 cP, and the strength of the gel was 300-
16000 dyne / cm2.

Keywords: Kappaphycus alvarezii, carrageenan, ultrasonic extraction

1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai penyumbang utama rumput laut yang menjadi produksi sektor budidaya perikanan
(seaweed) dan setiap tahun terus mengalami peningkatan, dari 2,574 juta ton pada tahun 2009 menjadi 3,082
juta ton pada tahun 2010 (Bunga 2013). Pemanfaatan rumput laut (K. alvarezii) menjadi agar-agar, algin,
karaginan dan furselaran yang merupakan bahan baku penting untuk industri makanan, farmasi, kosmetik dan
lain-lain (Kordi, 2011).
Rumput laut jenis K. alvarezii merupakan komoditas unggulan penghasil karaginan yang banyak
dimanfaatkan dalam industri kertas, tekstil, fotografi, pengalengan ikan dan pasta. Produksi karaginan
Indonesia mencapai 80% (3.896 ton) dan diekspor sebanyak 3.156 ton pada tahun 2002. Sedangkan di tahun
1996–2004, nilai ekspor karaginan Indonesia relatif konstan, dengan pertumbuhan berkisar antara 2,49-2,92%
per tahun (Emma, 2010 dalam Bunga 2013).
Melihat kegunaan dan kebutuhan karaginan dalam berbagai bidang yang semakin meningkat, maka
produksi karaginan perlu ditingkatkan. Ada berbagai cara untuk menghasilkan karaginan, salah satunya adalah
proses ekstraksi. Pada sepuluh tahun terakhir diperkenalkan beberapa teknik ekstraksi alternatif, di antaranya
ekstraksi ultrasonik (Péres, 2006 dalam Bunga 2013). Keuntungan terbesar dari pembentukan gel karaginan
menggunakan metode ekstraksi ultrasonik adalah menjaga kualitas tekstur gel, dan prosesnya lebih aman,
sederhana, efektif dan efisien. Penggunaan gelombang dengan frekuensi 20-40 kHz dapat meningkatlan sifat
tekstur gel karaginan, seperti kekerasan gel. Selain itu pembentukan gel karaginan dengan metode ini
potensial pada pembuatan gel karaginan berkualitas dengan sifat dan karakteristik yang sesuai dengan standar
mutu karaginan. Berdasarkan penjelasan di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana
gelombang ultrasonik yaitu Elma sonikator mempengaruhi persentase yield karaginan yang dihasilkan dari
rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii dan seperti apa pengaruh ekstraksi gelombang ultrasonik tersebut
pada kadar air, viskositas, dan kekuatan gel dari karginan.

2. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah metode ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik jenis
sonikator Elma dan membandingkan dengan metode ektraksi konvensional. Rumput laut halus ditimbang
sebanyak 15 gram, kemudian dilarutkan dengan akuades yang telah dikondisikan pada pH-9 (ditambahkan
KOH 0,01N). Kemudian dimasukkan kedalam alat sonikator elma dengan variasi waktu 20, 30, 40, 50 (menit)
dengan suhu tetap 80˚C, variasi suhu 50, 60, 70, 80 (˚C) dengan waktu tetap 50 menit. Bubur rumput laut
kemudian disaring dengan kain saring 150 mikro nilon mesh, dan diambil filtratnya untuk proses pengendapan.

1
Korespondensi penulis: Mahyati, Telp. 085298353527, mahyatikimia@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 76
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.76-79) 978-602-60766-4-9

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


HASIL
Dalam pembuatan tepung karaginan dilakukan dengan metode ekstraksi gelombang ultrasonik sonikator
Elma. Tepung karaginan hasil ekstraksi gelombang ultrasonik memiliki karakteristik berwarna putih
kekuningan; dan tidak berbau. Adapun hasilnya proses ekstraksi dan analisis sebagai berikut :
% Yield
Yield merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses pembuatan tepung
karaginan. Efektif dan efisiennya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan tepung karaginan dapat dilihat
dari nilai yield yang dihasilkan. Perhitungan yield dilakukan untuk mengetahui persentase karaginan yang
dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan. Yield karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung
berdasarkan rasio antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang digunakan.
Yield karaginan yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan gelombang ultrasonik sangat dipengaruhi oleh
lamanya waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi. Adapun hasilnya proses ekstraksi dan analisis % yield pada
gambar 1 sebagai berikut :

Gambar 1. Variasi Waktu Ekstraksi (Sonikator Elma) terhadap % yield


Kadar Air
Pengujian kadar air dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kandungan air dalam karaginan
dimana kadar air sangat diperngaruhi oleh pengeringan, penyimpanan, konsentrasi KOH yang digunakan,
lamanya waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi. Dalam penelitian ini data uji kadar air dapat dilihat pada tabel 4,
tabel 5 dan tabel 6 dimana kadar air yang diperoleh dari masing- masing variasi yang telah dilakukan berkisar
antara 3%-9%. Menurut FAO standar mutu kadar air karaginan maksimal 12% maka karaginan yang
dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu FAO dengan perbedaan yang cukup jauh. Adapun
hasilnya proses ekstraksi dan analisis kadar air pada gambar 2 sebagai berikut :

Gambar 2. Variasi Waktu Ekstraksi (Sonikator Elma) terhadap kadar air produk

Hasil yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh waktu dan suhu ekstraksi. Selain itu peningkatan waktu
ekstraksi juga menyebabkan karaginan semakin lama berada dalam kondisi basa yang disebabkan oleh larutan
KOH dimana larutan KOH tersebut mampu menghambat terjadinya peningkatan air dalam molekul rumput
laut Kappaphycus alvarezii sehingga kadar air menjadi berkurang.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 77
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.76-79) 978-602-60766-4-9

Viskositas
Viskositas merupakan faktor kualitas yang penting untuk zat cair dan semi cair (kental) atau produk
murni, dimana hal ini merupakan ukuran dan kontrol untuk mengetahui kualitas dari produk akhir dan tujuan
pengujian viskositas itu sendiri adalah untuk mengetahui tingkat kekentalan karaginan hasil ekstraksi.
Berdasarkan data uji viskositas dapat terlihat bahwa viskositas yang diperoleh dari masing- masing variasi
berbanding terbalik dengan kadar air. Menurut FAO standar mutu viskositas minimal 5 cP sehingga karaginan
yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat mutu FAO karena, viskositas pada penelitian ini
berkisar antara 10-30 cP. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Wenno, (2009) dalam Ega 2016 dimana
viskositas larutan karaginan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi
yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karaginan. Adapun hasilnya proses ekstraksi dan analisis uji
viskositas yang dilihat pada gambar 3 sebagai berikut :

Gambar 3. Variasi Waktu Ekstraksi (Sonikator Elma) terhadap viskositas


Kekuatan Gel
Salah satu sifat penting karaginan adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah
bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan tepung karaginan
sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun non pangan (Wenno, 2009 dalam Ega 2016).
Adapun hasilnya proses ekstraksi dan analisis kekuatan gel yang dilihat pada gambar 4 sebagai berikut :

Gambar 4. Variasi waktu ekstraksi (Sonikator Elma) terhadap kekuatan gel

Peningkatan waktu ekstraksi dapat meningkatkan kekuatan gel dari karaginan dimana kekuatan gel
tertinggi diperoleh pada waktu ekstraksi 120 menit yaitu sebesar 2782,71 dyne/cm2. Peningkatan kekuatan gel
pada penelitian ini dipengaruhi oleh lamanya waktu ekstraksi dan tingginya suhu ekstraksi, selain itu
penurunan nilai viskositas juga mempengaruhi peningkatan kekuatan gel pada karaginan. Nilai kekuatan gel
yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 300-16000 dyne/cm2 sangat jauh dari standar FAO yaitu 500
dyne/cm2 hal tersebut dipengaruhi oleh waktu ekstraksi yang masih kurang.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan ditulis dengan ketentuan sebagai berikut:

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 78
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.76-79) 978-602-60766-4-9

1. Penggunaan alat ekstraksi rumput laut K. Alvarezii dengan % yield terbaik menghasilkan karaginan
sebanyak 54,0671% yield adalah Sonikator Elma pada suhu 80°C selama 50 menit.
2. Uji mutu karaginan pada alat Sonikator Elma lebih baik daripada metode konvensional, dimana kadar air
lebih rendah, kekuatan gel lebih tinggi dan viskositas yang tinggi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka ditulis dengan huruf Times New Roman, font 11, spasi 1, dan 1 kolom. Daftar pustaka
diurut menurut urutan abjad. Nama jurnal dan judul buku ditulis miring (italic). Jumlah halaman keseluruhan
artikel ini maksimal 6 (enam) halaman termasuk daftar pustaka dan ucapan terima kasih. Contoh penulisan
daftar pustaka sebagai berikut:
Barnabas, P.L., 2008, Pelaksanaan Pembangunan Jalan Beton Semen (Rigid Pavement), Jurnal Jalan, No. 11,
hal 55-60, Palu.
Mujumdar, A.S., 2007, Handbook of Industrial Drying, 3rd Ed; CRC Press, USA.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih ditujukan kepada yaitu:
 Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional
 Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di
laboratorium Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 79
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.80-85) 978-602-60766-4-9

PEMBUATAN PUPUK SRF (SLOW RELEASE FERTILIZER) DENGAN MENGGUNAKAN


POLIMER AMILUM
Muhammad Saleh1), Zulmanwardi 1), Octovianus SR Pasanda 1)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Slow Release Fertilizers (SRF) or controlled release fertilizers, has been widely used to overcome the
conventional fertilizers use which are less efficient because the conventional fertilizer generally do not entirely absorbed
into plants. This research aims to make NPK (Nitrogen Potassium Phosfor) SRF (Slow Release Fertilizers) that can
reduce the rate of release of nutrient with the coating and matrix method in a formulatory 13:8:10. The matrix used is a
natural zeolite so its speed can be controlled while the coating method by dip coating using poly acrylic acid (PAA),
additive starch and polyethylene glycol (PEG) 6000 as a template. The dip coating process is done to know the optimal
concentration of starch and PAA. Optimal starch concentration is 5% whereas for PAA is 20%. The Optimal NPK SRF is
done the test incubation applications for 100 days to know the rate of release of NPK SRF compared to granule and
conventional fertilizer, then obtained results that SRF is slower and controlled compared with conventional fertilizers and
granule fertilizers.

Keywords: SRF, the concentration of starch, the concentration of the PAA

1. PENDAHULUAN
Pembangunan disektor pertanian Indonesia merupakan yang terpenting dari keseluruhan
pembangunan di Indonesia. Sebagian besar penduduk bermata pencarian sebagai petani dan menjadi basis
pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Salah satu kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah faktor
keadaan tanah yang kurang subur. Permasalahan tersebut dapat ditanggulangi dengan pemupukan. Akan
tetapi, pupuk yang digunakan petani lebih banyak terbuang percuma serta kebiasaan petani yang kurang
optimal dalam menggunakan pupuk dari segi pemakaian yang berlebihan dan berujung pada pengeluaran
biaya yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan suatu pupuk yang mempunyai pola pelepasan unsur hara sesuai
dengan pola penyerapan unsur hara oleh tanaman.Pupuk SRF merupakan jenis pupuk dengan prinsip yaitu
pengaturan pelepasan nutrient dari pupuk untuk melindungi pupuk yang terlarut secara umumdengan
pelapisan perlindungan dari bahan semipermeabel, tidak larut dengan air atau bahan berpori yang permeable.
Pada penelitian ini dibuat slow release fertilizer dengan menggunakan Pupuk NPK yang sudah diformulasi
dan sudah dicampurkan dengan zeolit, lalu dicoating dengan larutan pelapis yang terdiri dari poli asam akrilat
(PAA), amilum dan poli etilen glikol (PEG) 6000. Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu
konsentrasi amilum dan poli asam akrilat terhadap kadar air dan crushing strength. Pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Subandriyo (2014), menggunakan bahan asetaldehid sebagai bahan pelapis
pupuk SRF. Namum, bahan tersebut tidak ramah lingkungan karena tidak mudah terurai dan penelitian yang
dilakukan oleh Manggala,dkk (2018) menggunakan kitosan sebagai bahan pelapis, tetapi kitosan mempunyai
harga yang mahal jika digunakan sebagai bahan pelepis. Oleh karena itu, dibutuhkan pelapis yang mudah
terurai, harganya terjangkau dan aman terhadap lingkungan, dalam hal ini digunakan amilum serta bahan
tambahan poli etilen glikol (PEG) 6000. Adapun uji yang dilakukan yaitu uji karakterisasi menggunakan alat
SEM-EDX dan uji simulasi dengan di inkubasi selama 100 hari untuk mengetahui laju pelepasannya.

2. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan:hammer mill,pan granulator, NPK meter, moisture determination balance FD-660,
crushing strenght, neraca analitik. Bahan yang digunakan: SP-36 (diammonium phosphate), KCl (kalium
klorida), zeolit alam, poli asam akrilat (C3H4O2)n, amilum,polietilen glikol (PEG) 6000, aquades, molase,
pewarna makanan.
Tahapan Penelitian
Tahap 1. Pembuatan pupuk granul

1
Korespondensi penulis: Muhammad Saleh, Telp 08114101336, muhsaleh645@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 80
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.80-85) 978-602-60766-4-9

Pretreatment: urea, SP-36, KCL, dan zeolit masing-masing dikeringkan, kemudian dihaluskan
menggunakan hammer mill sehingga diperoleh produk powder yang berukuran sekitar 100
mesh.Formulasi:formulasi zeolit alam, urea, KCL, SP-36 dan binder adalah sangat penting dan dapat
mempengaruhi spesifikasi produk SRF yang diharapkan. Pada percobaan ini di gunakan formulasi 13-8-10.
Untuk mendapatkan formulasi tersebut digunakan perhitungan, sehingga didapatkan:urea 282,6087 g, fosfor
222,222 g, kalium 161,8725 g, dan zeolit 333,2929 g.Granulasi: semua bahan yang telah tercampur
selanjutnya dibuat granul dengan menggunakan pan granulator.Molase ditambahkan secara perlahan-lahan
hingga terbentuk granul. Ukuran granul antara 3 - 5 mm.
Tahap 2. Pelapisan pupuk SRF
Pembuatan larutan pelapis: disiapkan gelas kimia 100 ml sebanyak 5 buah, kalibrasi gelas kimia yang
akan digunakan dengan volume 30 ml, dan beri tanda pada gelas kimia tersebut, ditimbang amilum 1, 3, 5, 7,
dan 9%, (0,45; 1,35; 2,25; 3,15; dan 4,05 g), dipipet PAA 20% ( konsentrasi PAA dipilih secara acak),
ditimbang PEG 6000 sebanyak 1 g, dilarutkan PEG 6000 dalam air sebanyak 5 ml, menambahkan amilum dan
PAA kedalam larutan tersebut tambahkan aquades sampai tanda batas gelas kimia yang telah di kalibrasi,
diaduk menggunakan magnetik stirer dengan kecepatan 600 rpm dan suhu 100˚C di atas hot platehingga
latutan menjadi seperti gel.Proses pelapisan (dip coating): disiapkan cairan pelapis, dicelup pupuk NPK-SRF
selama  10 detik, menggunakan pinset, dikeringkan di dalam oven selama 3 jam dengan suhu
80˚C.Optimasi konsentrasi amilum: konsentrasi amilum yang optimal ditentukan berdasarkan hasil analisis
sebagai berikut:crushing strength, water content untuk mendapatkan kadar airnya.Langkah 2 ( melakukan
percobaan 2: Untuk mendapatkan konsentrasi PAA yang optimal). Pembuatan larutan pelapis: disiapkan gelas
kimia 100 ml sebanyak 5 buah, kalibrasi gelas kimia yang akan diagunakan dengan volume 30 ml, dan beri
tanda pada gelas kimia tersebut, dipipet larutan PAA 15, 20, 25, 30, dan 30%, ( 4,5; 6; 7,5; 9; dan 10,5 ml),
ditimbang amilum yang optimal dari percobaan 1 yaitu 5 %. Ditimbang PEG 6000 sebanyak 1 gram,
sebanyak 5 gelas.
Dilarutkan PEG 6000 dalam air sebanyak 5 ml, menambahkan amilum dan PAA kedalam larutan tersebut
tambahkan aquades sampai tanda batas gelas kimia yang telah di kalibrasi, diaduk menggunakan magnetik
stirer dengan kecepatan 600 rpm dan suhu 100˚C di atas hot platehingga latutan menjadi seperti gel.Proses
pelapisan (dip coating): disiapkan cairan pelapis, dicelup pupuk NPK-SRF selama 10 detik, menggunakan
pinset, lalu dikeringkan didalam oven selama 3 jam dengan suhu 80˚C.
Tahap 3. Konsentrasi PAA yang optimal ditentukan berdasarkan hasil analisis sebagai berikut:Crushing
strength,Water content untuk mendapatkan kadar airnya, Uji Karakterisasi,Uji Disolution Rate.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data pengamatan analisis yang didapat pada penelitian ini yaitu konsentrasi amilum dan konsentrasi PAA
yang optimal dengan melihat kadar airdan crusshing strengthnya. Berikut ini adalah hasil dari analisis
tersebut:
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi amilum terhadap kadar air dan crushing strength
Kadar air (%)
Amilum PAA CS Pupuk CS pupuk
(%) (%) Pupuk Pupuk SRF (N) Granul (N)
SNI
SRF Granul
1 20 3,43 3 7,13 55,57 13
3 20 3,2 3 7,13 63,7 13
5 20 2,2 3 7,13 64,33 13
7 20 2,34 3 7,13 70,1 13
9 20 2,29 3 7,13 80,67 13
Ket: CS = Crushing Strength
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi PAA terhadap kadar air dan crushing strength
Kadar air (%) CS
PAA Amilum CS Pupuk pupuk
(%) (%) SRF (N) Granul
Pupuk SRF SNI Pupuk Granul (N)

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 81
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.80-85) 978-602-60766-4-9

15 5 3,68 3 7,13 40,33 13


20 5 2,07 3 7,13 64,33 13
25 5 3,03 3 7,13 50,87 13
30 5 3,12 3 7,13 69,54 13
35 5 3,04 3 7,13 78,13 13
ket: CS = Crushiung Strength
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Hasil scanning menggunakan alat SEM menunjukkan struktur mikro dan penyebaran atau pemetaan
(mapping) unsur penyusun lapisan permukaan pupuk seperti unsur Al dan Si. Mapping elemen tersebut dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

Unsur Al Unsur Si

Hasil karakterisasi perbesaran 20X Hasil karakterisasi perbesaran 500X


Gambar 1. Hasil karaterisasi uji SEM-EDX
Pupuk SRF didesain menggunakan teknologi membaran dengan menggunakan bahan pelapis yang
ramah lingkungan. Penelitian menggunakan pupuk NPK yang diformulasi sendiri dan ditambahkan zeolit
alam sebagai absorbennya, pupuk tersebut dinamakan pupuk granul. Proses pembuatan pupuk granul tersebut
melalui beberapa tahap yaitu pratreatment, formulasi, dan granulasi. Pupuk granul yang sudah jadi kemudian
dilapisi menggunakan membran yang terbuat dari amilum, PAA, dan PEG- 6000. Pada percobaan 1 dilakukan
optimasi konsentrasi amilum dengan mengikuti prosedur yang tertera pada bab Metodologi. Untuk
mendapakan kondisi optimal maka dilakukan beberapa pengujian, yaitu uji kadar air dan uji crussing strength.
Dari data terlihat bahwa kadar air tertinggi adalah pada konsentrasi amilum1% yaitu 3,55%, sedangkan
terendah pada konsentrasi amilum 5% yaitu 2,2%. Sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) bahwa
pupuk NPK harus memiliki kadar air maksimal adalah 3%. Maka SRF NPK yang memiliki konsentrasi
amilum 5% telah sesuai dari SNI.Amilum pada larutan pelapis berperan sebagai aditif untuk meningkatkan
kekuatan dari pelapis tersebut, karena kelarutan amilum didalam air lebih rendah dibandingkan nutrien
khususnya pupuk urea. Perbandingan konsentrasi amilum dengan crushing strength berbanding lurus, semakin
tinggi konsentrasi amilum maka semakin tinggi crushing strengthnya. Amilum untuk pupuk SRF harus
memiliki kekuatan sesuai dengan kebutuhan release pupuk tersebut, kebutuhan release pupuk berpengaruh
pada penggunaan pupuk pada bidang pertanian, karena semakin kuat pupuk tersebut maka semakin lama
releasenya dan semakin lama pula terserap oleh tanaman.Hasil dari uji kadar air sebelumnya menyatakan yang
mendekati SNI adalah SRF NPK konsentrasi amilum 5%, 7%, dan 9%, pupuk SRF NPK tersebut nilai
crushing strength-nya adalah 64,33; 70,10; dan 80,6 N. Tetapi apabila dipertimbangkan dari sisi
ekonomisnya, SRF NPK dengan konsentrasi amilum 5% yang lebih optimal. Maka dipilih konsentrasi
amilum optimalnya adalah 5% dengan pertimbangan data uji crussing strength dan uji kadar air. Pada
percobaan 2 dicari kondisi optimal dari konsentrasi PAA dalam larutan pelapis berperan sebagai aditif yang
akan mempengaruhi release dari SRF NPK. PAA berfungsi sebagai absorben untuk meningkatkan kekuatan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 82
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.80-85) 978-602-60766-4-9

larutan pelapis. Dilihat data bahwa nilai crushing strength tertinggi adalah pada konsentrasi PAA 35% yaitu
78,13N, dan terendah pada konsentrasi 15% yaitu 40,33%. Pupuk SRF harus memiliki kekuatan sesuai dengan
kebutuhan release pupuk tersebut, kebutuhan release pupuk berpengaruh pada penggunaan pupuk pada bidang
pertanian, karena semakin kuat pupuk tersebut maka semakin lama release nya dan semakin lama pula
terserap oleh tanaman.
Kadar air yang memenuhi Standar Nasional Indonesia adalah konsentrasi 20%. Dilihat dari grafik,
konsentrasi PAA 15% belum berada pada standar kadar air SNI sedangkan konsentrasi PAA 20% mengalami
penurunan yang sangat drastis tetapi memenuhi standar kadar air SNI, kemudian pada konsentrasi 25 dan 30%
mengalami kenaikan kenaikan dan tidak memenuhi standar kadar air SNI sedangkan pada konsentrasi 35%
mengalami penurunan. Konsentrasi optimal PAA yang dipilih dari pertimbangan hasil uji crushing strength
dan uji kadar air adalah 20% volume dilihat dari sisi ekonomisnya. Maka data yang didapat setelah melakukan
dua percobaan yaitu konsentrasi amilum 5% vol, suhu 80˚C, dan konsentrasi PAA 20%.
Laju pelepasan nutrisi (Nitrogen, Fosfor, dan Kalium) pupuk SRF, pupuk granul, dan pupuk konvensional
Setelah didapatkan konsentrasi amilum dan poli asam akrilat yang optimal maka dilakukan uji
simulasi dengan inkubasi selama 100 hari, setelah diinkubasi dianalisis kadar NPK meter dengan bantuan
reagen sesuai dengan pengujiannya. Pada pengujian kadar nitrogen, reagen yang digunakan adalah nessler.
Untuk pengujian kadar fosfor, reagen yang digunakan adalah amolvan. Sedangkan untuk pengujian kadar
kalium, reagen yang Laju pelepasan nitrogen pupuk SRF, pupuk granul, dan pupuk konvensional

100
90
80
70
% Nitrogen

60
50
40
30 Pupuk Granul
20
10
0
0 10 20 30 40 waktu
50 (hari)
60 70 80 90 100

Gambar 2. Laju pelepasan nitrogen pupuk SRF, pupuk granul, dan pupuk konvensional
Laju pelepasan kadar nitrogen dapat dilihat pada grafik 2. dapat dilihat bahwa pupuk SRF NPK
berada diposisi paling bawah yaitu paling lambat. Tidak jauh dari pupuk SRF NPK, pupuk NPK granul juga
memiliki laju pelepasan yang lambat, walaupun tidak selambat pupuk SRF NPK. Sedangkan pada pupuk NPK
Konvensional memiliki laju pelepasan yang cepat dapat dilihat dari grafik bahwa pada hari pertama sudah
50% kadar nitrogen yang dilepas. Maka dapat disimpulkan bahwa laju pelepasan kadar nitrogen terhadap
waktu inkubasi pupuk SRF NPK lambat, dan dapat dikategori Slow Release Fertilizer
.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 83
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.80-85) 978-602-60766-4-9

100
90
80
70
60
% fosfor

50
40 Pupuk Granul
30
20 SRF
10
0
0 20 40 60 80 100
waktu (hari)
Gambar 3. Laju pelepasan kadar fosfor terhadap waktu inkubasi pupuk SRF, pupuk granul, dan pupuk
konvensional
Laju pelepasan kadar fosfor dapat dilihat pada gambar 2. Pada grafik terlihat bahwa pupuk SRF NPK
tetap lebih lambat,sama dengan pada saat pelepasan kadar nitrogen. Maka dapat disimpulkan bahwa laju
pelepasan kadar phosfor terhadap waktu inkubasi pupuk SRF NPK lambat, dan dapat dimasukan sebagai
kategori Slow Release Fertilizer.Laju pelepasan kalium pupuk SRF, pupuk granul, dan pupuk konvensional

100
90
80
70
60
% kalium

50
40
Pupuk Granul
30
20 SRF
10
0
0 20 40 60 80 100
waktu (hari)
Gambar 4. Laju pelepasan kalium pupuk SRF, pupuk granul, dan pupuk konvensional
Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa laju pelepasan kadar kalium SRF NPK tetap pada pelepasan yang
paling lambat. Sedangkan pupuk NPK Granul lebih lambat dari pada pupuk NPK Konvensional. Maka dapat
disimpulkan bahwa laju pelepasan kadar kalium terhadap waktu inkubasi pupuk SRF NPK lambat dan dapat
dimasukan sebagai kategori Slow Release Fertilizer
Hasil karakterisasi SEM-EDX
Dari gambar dapat dilihat struktur morfologi SRF NPK yang terlapisi dengan pembesaran 65Xdan
500X. Pada gambar terlihat adanya dua lapisan yang terbentuk dimana lapisan terluar tersebut merupakan
lapisan polimer yang menempel pada permukaan SRF NPK. Permukaan lapisan SRF NPK yang terlapisi
polimer memiliki permukaan lebih halus namun terdapat rongga, rongga ini berfungsi sebagai jalan keluar
nutrisi pupuk. Dari data analisis SEM-EDX (mapping) didapatkan bahwa nilai Si sebesar 1,24% dan nilai Al
sebesar 0,35%.

4. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan
1) Konsentrasi amilum yang optimal yaitu 5%
2) Konsentrasi PAA yang optimal yaitu 20%

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 84
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.80-85) 978-602-60766-4-9

3) Pupuk SRF NPK optimal memiliki laju pelepasan kadar N, P, dan K lebih lambat dan terkontrol
dibanding pupuk granul dan NPK konvensional.

5. DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Kiki. (2014). Penggunaan Pati Tapai Padat (Brem) sebagai Bahan Tambahan Sirup Kering
Amoksisilin. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. (diakses tanggal 9 April 2018)
Andika, Dina Kartika Maharani, 2018, PenentuanDayaPenyerapan Air (Swelling) Pupuk Urea (Slow Release
Fertilizer) DalamMatriksKitosan – AsamHumat.UniversitasNegeri Surabaya: Surabaya.
Anggraini, sucilila, (2013). zeolit dan manfaat nya.
https://sucililaangraini.files.wordpress.com/2013/04/nebeng-yo-do.pdf. (diakses pada tanggal 10 juli
2018)
Hidayat, Witono,(2016). Manfaat Tetes Tebu dalam Pembuatan Pupuk Organik.
http://www.kampustani.com/manfaat-tetes-tebu-dalam-pembuatan-pupuk-organik/. (diakses pada
tanggal 1 agustus 2018)
Lantang, Olivia. (2011). Sintesis Controlled Release Fertilizer (CRF) Menggunakan Zat Aktif Pupuk Urea
dengan Pelapis Silika. Tugas Akhir, Institut Teknologi Bandung, Bandung. (diakses tanggal 4 maret)
Lawyer, D W, 1970. Absorpion of PEG by plan enther effect on plan growth. New physol.Vol 69, pp :501-
503.
Mexal., J. J.T Fisher., J. Osteryoung and C.P. particks Reid. 1975. Oxygen Aviability in Polyetylena Glycol
Solution and its Implications in Plant Water Relation. Plant Physiol Vol 55, pp : 915-916.
Sari, ApriliaKumala,dkk, (2017), KeragamanStrukturButir Amilum,KadarTepung,danClustering Delapan
TaksaTanamanBerumbidiDesa SimoKecamatanKendalKabupaten Ngawi. UniversitasBrawijaya.
Malang. (diaksestanggal 12 Juli 2018)
Silahooy,Ch, (2008). EfekPupukKcldan SP36 TerhadapKaliumTersedia, SerapanKalium Dan HasilKacang
Tanah (ArachisHypogen L) Pada Tanah Brunizem.
Suantomo, Deni dkk, (2008).Pembuatan Komposit Polimer superabsorben denagn Mesin Berkas elektron.
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir Batan.Daerah Istimewa Yogyakarta
Subandriyo, Moh Eko, 2014, Pembuatan Pupuk Urea Lepas Lambat Dengan Proses Pelapisan Urea
Asetaldehid Dan Zeolit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sugiyono.(2011). PengaruhVariasi Kadar AmilumBiji Durian (Duriozibethinus, Murr)
sebagaiBahanPengikatTerhadapSifatFisikdan Kimia Tablet Parasetamol.Prosiding Seminar
NasionalSainsdanTeknologi. Semarang: Universitas Wahid Hasyim. Hal:67.
Supandi, Suminta, (2006). KarasteristikZeolitAlamdenagnMetodeDifraksiSinar-X.(diaksespadatanggal 11 juli
2018)
Taufiq, A. 2002. Status P dan K lahan kering tanah alfisol pulau Jawa dan Madura serta optimasi
pemupukannya untuk tanaman kacang tanah. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Malang. ( diakses pada tanggal 9 juli 2018)
Yenni, Afri.,dkk, (2012).PembuatanSlow ReleaseFertilizer denganMenggunakanPolimerAmilum Dan
AsamAkrilat
SertaPolivinilAlkoholSebagaiPelapisDenganMenggunakanMetodaFluidizedbed.LaporanTesis
Program PascasarjanaTeknik Kimia UniversitasDiponegoro, SemarangISBN 978-602-99334-1-3.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 85
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.86-91) 978-602-60766-4-9

INDEKS KEANEKARAGAMAN CAPUNG (INSECTA: ODONATA) SEBAGAI


PENGUKUR KUALITAS LINGKUNGAN SUNGAI DALAM KAWASAN
TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
Syarif Hidayat Amrullah1)
1)
Dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains, Universitas Cokroaminoto Palopo

ABSTRACT

Dragonflies (Insecta: Odonata) has important roles in the ecosystem. They act as a predator, control population,
and indicator of environmental pollution. The research objectives are to inventory and calculate the species diversity of
dragonflies in Bantimurung Bulusaraung National Park (Babul NP) region and also measure the environment quality of
rivers according to the Species Diversity Index (SDI). The study was conducted through exploration in the six resorts.
Dragonflies specimens will be identified and confirmed to LIPI Cibinong, Bogor, West Java. SDI calculated by the
Shannon-Wiener formula. The results showed that there are 27 species of Odonata (17 members of the Suborder
Anisoptera and 10 of Suborder Zygoptera) in Babul NP region. SDI shows >2.41 means that environmental quality is in
very good category. The conclusion of this research was that dragonflies in the Babul NP is very diverse with the
discovery of 27 species in six working area resort.

Keywords: diversity, Odonata, environment, National Park

1. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat
tinggi (megabiodiversity). Hal ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang berada di kawasan tropik;
mempunyai iklim yang relatif stabil dan merupakan salah satu negara kepulauan yang terletak diantara dua
benua yaitu Asia dan Australia (Primack et al., 2012). Salah satu keanekaragaman hayati yang dapat
dibanggakan Indonesia adalah serangga, dengan jumlah 250.000 jenis atau sekitar 15% dari jumlah jenis biota
utama yang diketahui di Indonesia (Sahabuddin et al., 2005). Salah satu serangga yang paling terkenal adalah
capung, banyak dikenal karena bentuknya yang khas, dengan warna beragam dan menarik. Capung termasuk
ke dalam Ordo Odonata (Borror et al., 1996).
Capung erat kaitannya dengan perairan, Capung dewasa terbang di udara, sedangkan masa pradewasa
mulai dari telur hingga nimfa hidup di dalam air. Menjelang dewasa, nimfa stadium akhir akan berpindah ke
habitat terestrial, sehingga dapat digolongkan sebagai serangga semiakuatik (Aswari, 2011). Keragaman
habitat sawah, perkebunan teh, hutan, sungai maupun kolam, dan lahan pertanian sangat mendukung
kehidupan capung yang beragam jenisnya (Aswari, 2003). Capung berperan sebagai predator dalam rantai
makanan. Mangsa utama capung dewasa yang hidup di area sawah dan perairan adalah serangga kecil,
umumnya serangga hama seperti, lalat buah, wereng, kupu/ngengat. Sedangkan nimfa capung yang hidup di
air memangsa jentik nyamuk dan invertebrata kecil lainnya, sehingga dianggap bermanfaat dalam bidang
pertanian dan kesehatan (Ariwibowo, 1991). Capung juga berperan sebagai indikator pencemaran lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dari keadaan populasi capung. Ketika kondisi perairan tercemar, maka siklus hidup
capung, terutama pada fase nimfa, terganggu dan populasinya menurun (Susanti, 1998).
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) terletak di wilayah Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan. Sampai dengan tahun 2013, di kawasan TN BaBul telah
terdaftar sedikitnya 683 jenis tumbuhan dan 643 jenis satwa liar. Sebagian besar wilayahnya terdiri dari
bentang alam karst yang dicirikan dengan topografi yang bergelombang dan berbukit. Dari segi hidrologi
kawasan karst TN BaBul merupakan reservoir air raksasa. Penunjukan kawasan sebagai Taman Nasional juga
didasarkan pada pertimbangan untuk perlindungan sistem tata air beberapa sungai besar dan kecil di Sulawesi
Selatan (Handayani et al., 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan menghitung keanekaragaman jenis capung
dalam kawasan TN Babul. Selain itu, penelitian ini juga mengukur kualitas lingkungan sungai berdasarkan
Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Diversity Index/SDI) capung. Data hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai acuan untuk konservasi habitat bagi semua jenis satwa yang hidup di dalamnya, khususnya anggota
Odonata.
1
Syarif Hidayat Amrullah, Telp. 085146280933, syarifhidayat@uncp.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 86
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.86-91) 978-602-60766-4-9

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, terletak di wilayah
Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Secara
geografis areal ini terletak antara 119°34’17” – 119°55’13” BT dan antara 4°42’49” – 5°06’42” LS. Wilayah
kerja TN BaBul terbagi menjadi tujuh resort. Minasatene (MST), Balocci (BLC), dan Tondong Tallasa (TTL)
di Seksi Pengelola Taman Nasional (SPTN) wilayah 1 Kabupaten Pangkep. Bantimurung (BTM), Pattunuang
(PTG), Camba (CMB), dan Mallawa (MLW) di SPTN wilayah 2 Kabupaten Maros. Penelitian dilakukan di
masing-masing SPTN dengan mengambil masing-masing tiga resort sebagai lokasi pengamatan, kecuali
Resort Camba. Pemilihan lokasi pengambilan sampel berdasarkan ketersediaan habitat yang mendukung
kelangsungan hidup capung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jelajah/ekplorasi. Prosedur kerja meliputi
observasi awal mencakup: penentuan dan dokumentasi lokasi penelitian. Selanjutnya penelitian lapangan yang
mencakup penangkapan dan dokumentasi langsung, dan identifikasi mencakup pengawetan dan koleksi,
penghitungan dan pencatatan. Setelah itu, koleksi dan catatan digunakan untuk identifikasi menggunakan
panduan identifikasi capung karya Theischinger (2009), Heckman (2006 dan 2008). Verifikasi jenis temuan
dilakukan di Laboratorium Entomologi, Balitbang Zoologi, Puslitbang Biologi, LIPI Cibinong, Bogor, Jawa
Barat.
Setelah menghitung dan menginventarisasi keanekaragaman jenis, dihitung Indeks Keragaman Jenis
menggunakan rumus Shanon-Wiener dalam (Krebs, 2014):
H' = -Σ (Pi) (lnPi) dengan, Pi =
Keterangan:
H' = Indeks Keragaman Jenis Pi = Kelimpahan relatif
ni = Jumlah individu jenis ke- I N = Jumlah total semua jenis dalam komunitas
Penghitungan dilakukan dengan menggunakan software MS Excel. Hasil perhitungan indeks
keanekaragaman tersebut kemudian dicocokkan dengan Tabel 1, untuk mengetahui kualitas lingkungan yang
menjadi habitat capung dalam peranannya sebagai indikator ekologi.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Pembobotan Kualitas Lingkungan
Indeks
Kondisi Struktur
Keanekaragaman Kategori Skala
Komunitas
(H’)
>2,41 Sangat Stabil Sangat Baik 5
1,81-2,4 Lebih Stabil Baik 4
1,21-1,8 Stabil Sedang 3
0,61-1,2 Cukup Stabil Buruk 2
<0,6 Tidak Stabil Sangat Buruk 1
(Sumber: Krebs 1986, dalam Aswari 2003)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Capung anggota Ordo Odonata yang ditemukan dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung terdiri dari 27 jenis; 17 jenis anggota Subordo Anisoptera dan 10 jenis anggota Subordo
Zygoptera (Tabel 2). Semua jenis capung tersebut ditemukan di sekitar perairan berupa sungai, saluran irigasi,
persawahan, padang rumput, dan mata air dari bebatuan karst yang banyak terdapat dalam kawasan taman
nasional.
Anggota Subordo Anisoptera terdiri atas, Famili Libellulidae yaitu; Neurothemis stigmatizans, N.
ramburii, Trithemis aurora, T. festiva, Crocothemis servilia, Brachythemis contaminata, Orthetrum glaucum,
O. sabina, O. pruinosum, Lathrecista asiatica, Potamarcha congener, Tholymis tillarga, Pantala flavescens,
Diplacodes trivialis, Nannophlebia eludens, dan Celebothemis delecolllei. Satu-satunya anggota Familia
Gomphidae yaitu Ichtinogomphus sp. Anggota Subordo Zygoptera terdiri atas, Famili Coenagrionidae yaitu;
Teinobasis rufithorax, Agriocnemis pygmaea, Ischnura senegalensis, Pseudagrion microcephalum,
Pseudagrion pilidorsum, dan Aciagrion femina orizae. Satu anggota Famili Platystictidae yaitu Drepanosticta
quadrata. Anggota Famili Chlorocyphidae yaitu; Libellago aurantiaca, L. lineata, dan Rhinochypha
monochroa.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 87
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.86-91) 978-602-60766-4-9

Tabel 2. Keanekaragaman Jenis Capung (Ordo: Odonata), Kehadiran, Sebaran, dan Jumlah Individu dalam
Kawasan TN BaBul
A. Anisoptera (A)
Kehadiran Jumlah individu di resort-
No. Nama Jenis
(P/S) BTM PTG MLW MST BLC TTL Ʃ
1 N. stigmatizans P-S 58 24 48 31 39 37 237
2 N. ramburii P-S 24 26 24 22 96
3 T. aurora P 31 17 48
4 T. festiva P-S 32 22 17 71
5 C. servilia P 34 16 15 18 83
6 B. contaminata P-S 23 10 33
7 O. glaucum P-S 15 20 14 49
8 O. sabina P-S 26 11 28 17 19 15 116
9 O. pruinosum P 22 26 20 17 85
10 L. asiatica P 10 13 23
11 P. congener P-S 26 39 13 78
12 T. tillarga S 14 9 23
13 P. flavescens P-S 38 29 22 32 35 156
14 D. trivialis P-S 25 13 27 16 19 18 118
15 N. eludens P-S 8 17 25
16 C. delecollei P-S 15 9 24
17 Ictinogomphus sp. P-S 6 3 9
Ʃ per resort 296 133 237 222 216 170 1274
B. Zygoptera (Z)
Kehadiran Jumlah individu di resort-
No. Nama Jenis Ʃ
(P/S) BTM PTG MLW MST BLC TTL
18 T. rufithorax P 10 13 6 6 5 6 46
19 D. quadrata P-S 21 18 12 51
20 A. pygmaea P 11 7 13 31
21 I. senegalensis P 11 13 8 32
22 P. microcephalum P-S 15 10 25
23 L. aurantiaca P 23 19 42
24 L. lineata P 8 17 25
25 R. monochroa P-S 32 25 24 81
26 P. pilidorsum P-S 16 12 8 36
27 A. femina oryzae P 7 4 11
Ʃ per resort 26 111 40 73 52 78 380
Total Odonata
322 244 277 295 268 248 1654
(A + Z)
Jumlah Jenis 13 14 13 19 14 14
(Sumber: Data Primer, 2015)
Keterangan:
P: Kehadiran Pagi (08.00-11.00), S: Kehadiran Sore (15.00-17.00)
Ʃ: Banyaknya satu individu/jenis capung dalam satu populasi atau ekosistem
Ʃ per resort: Jumlah semua jenis capung (anggota Subordo Anisoptera/Zygoptera saja) dalam satu resort

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 88
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.86-91) 978-602-60766-4-9

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa setiap resort memiliki keanekaragaman jenis yang berbeda-beda.
Hanya Resort MST yang memiliki jumlah keanekaragaman yang lebih banyak dari resort lainnya. Ditemukan
19 jenis anggota Ordo Odonata di Resort MST, sedangkan di resort lain ditemukan masing-masing 13 jenis di
resort BTM dan MLW, 14 jenis di resort PTG, BLC dan TTL. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekosistem di
kawasan Leang Londrong di Resort MST yang beranekaragam. Tidak hanya terdapat sungai, tapi juga
terdapat padang rumput, genangan di bekas sawah, persawahan aktif, dan aliran mata air dari bebatuan karst.
Terlihat pula perbedaan yang jelas antara anggota Subordo Anisoptera dan anggota Subordo
Zygoptera di resort BTM, sedangkan di lima resort lain cenderung seimbang. Hal ini disebabkan kondisi
perairan di BTM yang berupa bendungan dan tidak banyak terdapat bebatuan di tengah atau di tepi sungai.
Kebanyakan dari jenis anggota Ordo Zygoptera seperti L. lineata, L. aurantiaca, R. monochroa, dan D.
quadrata di kawasan TN BaBul ini menyukai hinggap di bebatuan sungai yang kurang tersedia di resort BTM.
Terdapat dua jenis capung endemik Sulawesi yang termasuk ke dalam 27 jenis capung di TN BaBul;
Celebothemis delecollei dan Rhinocypha monochroa. Kedua jenis ini masing-masing memiliki ciri khas. C.
delecollei dengan sintoraks berkilau ketika terkena cahaya dan R. monochroa dengan corak sayap indah
seperti pelangi juga ketika terkena cahaya. Kehadiran kedua jenis ini menambah daftar serangga ataupun
satwa endemik yang ada dalam kawasan TN BaBul, sehingga menarik untuk dikunjungi.

(a)

(b) (c)
Gambar 1. a) Celebothemis delecollei ♂♀ (mating) b) Rhinocypha monochroa ♂ c) R. monochroa ♀
Semua jenis capung yang ditemukan di kawasan TN Babul memiliki perbedaan umum di bagian
warna mata, toraks, abdomen dan sayapnya. Begitupun dengan ukurannya, anggota Subordo Anisoptera
umumnya lebih besar/panjang daripada anggota Subordo Zygoptera. Kemampuan terbang anggota Subordo
Anisoptera pun lebih baik dibandingkan anggota Subordo Zygoptera. Perbedaan warna biasanya berhubungan
dengan perilaku kawin (mating behaviour). Capung jantan memiliki warna yang terang dan bervariasi untuk
menarik perhatian betinanya (Aswari, 2003). Beberapa jenis capung jantan memiliki wilayah tetap dalam
mencari pasangan ataupun mangsanya. Sehingga ketika terdapat gangguan dari jenis lain, jenis capung
tersebut akan lebih agresif. Misalnya O. pruinosum dan O. glaucum yang berkompetisi dalam wilayah
teritorial untuk mencari mangsa. Tapi umumnya jenis capung lain bisa bersosialisasi dengan mendiami suatu
wilayah dengan tenang, walaupun harus berdampingan dengan jenis lain.
Posisi capung dalam suatu ekosistem yaitu sebagai konsumen tingkat kedua. Selain memangsa
serangga herbivora terutama yang menjadi hama di lahan pertanian, capung juga menjadi makanan dari satwa
lain seperti amfibi, reptil, primata dan burung insektivora. Ada beberapa jenis seperti O. sabina yang bersifat
kanibal dengan memangsa capung lain bahkan dari jenisnya sendiri. Sehingga keberadaan capung dalam
rantai/jaring makanan sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem tempat hidupnya dengan
kemampuannya mengontrol populasi serangga herbivora dan hewan insektivora. Keanekaragaman capung
(Insecta: Odonata) di kawasan TN Babul ini tergolong dalam keanekaragaman alfa. Skala alfa tersebut paling
sederhana dibandingkan keanekaragaman beta ataupun gamma (Indarmawan, 2010).

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 89
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.86-91) 978-602-60766-4-9

Tabel 3. Indeks Keanekaragaman Jenis di Masing-masing Resort dalam Kawasan TN BaBul


A. Anisoptera
Indeks Keanekaragaman Jenis di resort-
No. Nama Jenis
BTM PTG MLW MST BLC TTL
1 N. stigmatizans 0.31 0.23 0.30 0.24 0.28 0.28
2 N. ramburii 0.23 0.22 0.20 0.21
3 T. aurora 0.23 0.17
4 T. festiva 0.27 0.21 0.18
5 C. servilia 0.24 0.16 0.16 0.19
6 B. contaminata 0.19 0.11
7 O. glaucum 0.14 0.19 0.14
8 O. sabina 0.20 0.14 0.23 0.16 0.19 0.17
9 O. pruinosum 0.18 0.22 0.18 0.18
10 L. asiatica 0.11 0.14
11 P. congener 0.21 0.28 0.15
12 T. tillarga 0.14 0.11
13 P. flavescens 0.25 0.24 0.19 0.25 0.28
14 D. trivialis 0.20 0.16 0.23 0.16 0.19 0.19
15 N. eludens 0.11 0.16
16 C. delecollei 0.17 0.11
17 Ictinogomphus sp. 0.09 0.05
B. Zygoptera
Indeks Keanekaragaman Jenis di resort-
No. Nama Jenis
BTM PTG MLW MST BLC TTL
18 T. rufithorax 0.11 0.16 0.08 0.08 0.07 0.09
19 D. quadrata 0.21 0.17 0.14
20 A. pygmaea 0.13 0.09 0.15
21 I. senegalensis 0.13 0.14 0.11
22 P. microcephalum 0.17 0.13
23 L. aurantiaca 0.22 0.19
24 L. lineata 0.10 0.18
25 R. monochroa 0.27 0.21 0.23
26 P. pilidorsum 0.15 0.14 0.10
27 A. femina oryzae 0.10 0.06
H' 2.44 2.52 2.44 2.81 2.49 2.53
Kategori Kualitas SB SB SB SB SB SB
Lingkungan
(Sumber: Data Primer, 2015)
Keterangan:
H’: Indeks Keanekaragaman Jenis (Rumus Shannon-Wiener)
SB: Sangat Baik

Pengukuran Indeks Keanekaragaman Jenis (IKJ)/Species Diversity Index (SDI) dihitung dengan
rumus Shannon-Wiener dan dikenal dengan simbol huruf H aksen (H’). Tujuan utama dari pengukuran IKJ ini
adalah untuk mengetahui jumlah jenis capung dalam satu ekosistem. Beberapa informasi yang dapat diperoleh
selanjutnya adalah jumlah individu dalam setiap kategori jenis, beserta lokasi ditemukannya jenis-jenis
tersebut. Sehingga peranan jenis tersebut dalam membangun stabilitas dalam ekosistemnya juga dapat
diketahui.
Pengukuran indeks keanekaragaman hanya mencakup sebagian pengertian yang meluas terhadap
keanekaragaman hayati. Pendekatan kuantitatif ini berguna untuk membicarakan tentang pola penyebaran
jenis, serta membandingkan dengan daerah lain di dunia. Cara ini juga berguna untuk menyoroti area-area
yang memiliki jumlah jenis yang banyak atau sedikit, yang memerlukan perlindungan konservasi
(Indarmawan, 2010).

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 90
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.86-91) 978-602-60766-4-9

Semua jenis capung dalam kawasan TN BaBul memiliki IKJ yang berbeda-beda di setiap lokasi/resort
berdasarkan jumlah yang terhitung dalam kegiatan penelitian di lapangan. Melalui penghitungan
menggunakan rumus Shannon-Wiener terhadap jumlah semua jenis dalam satu resort didapatkan informasi
bahwa IKJ: Resort BTM (2.44); PTG (2.52); MLW (2.44), MST (2.81), BLC (2.49), dan TTL (2.53) (Tabel 3).
Berdasarkan hasil penghitungan IKJ yang kemudian dicocokkan dengan tabel kriteria penilaian
pembobotan kualitas lingkungan (Tabel 1), maka dapat dikatakan keenam resort yang menjadi lokasi
penelitian berada pada kategori kualitas lingkungan yang “sangat baik” dengan skala 5 dan kondisi struktur
komunitas masih “sangat stabil”. Sehingga diketahui peranan capung di TN BaBul tidak hanya sebagai
indikator ekologi, tapi juga dapat mengendalikan populasi serangga herbivora dan hewan insektivora.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Keanekaragaman jenis capung (Insecta: Odonata) di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Sulawesi Selatan termasuk tinggi karena ditemukan 27 jenis capung yang terdiri atas 17 jenis anggota
Subordo Anisoptera dan 10 jenis anggota Subordo Zygoptera.
2) Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Diversity Index) secara keseluruhan adalah 2.53, artinya kualitas
lingkungan sungai dalam kawasan TN Babul berada dalam kategori sangat baik dengan kondisi struktur
komunitas masih sangat stabil.

5. DAFTAR PUSTAKA
Ariwibowo, D. 1991. Kajian Biologik Capung Jarum, Agriocnemis pygmea (Rambur) Seelys sebagai Musuh
Alami Wereng Coklat, Nilaparvata lugens Stal. Yogakarta: Institut Pertanian “STIPER”.
Aswari, P., Kahono S., Amir M., Erniwati, Ubaidillah R., Pujiastuti L.E., Noerdjito W.A., dan Suwito A. 2003.
Keragaman Capung (Odonata) dalam Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat
Edisi I. Biodiversity Conservation Project. Bogor: LIPI Press.
Aswari P., Noerdjito W.A., dan Peggie D. 2011. Capung di Kawasan Gunung Ciremai dalam Fauna
Serangga Gunung Ciremai. Bogor: LIPI Press.
Borror, D.J, C.A. Triplehorn dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serannga. Edisi ke 6.
Diterjemahkan oleh Soeriono Partospoedjono. Yogyakarta: UGM Press.
Handayani, S.A., Chaeril, Hermiati M.K., Rasjid I.A., Tahari, dan Usman. 2012. Buku Informasi Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros: Balai TN Bantimurung Bulusaraung.
Indarmawan. 2010. Petunjuk Praktikum Taksonomi Hewan. Purwokerto, Unsoed.
Krebs, C.J. 2014. Ecological Methodology, 3rd ed. Addison-Wesley Educational Publishers, Inc.
Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata, 2012. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Sahabuddin, H., Purnama, A.N., Woro, M., dan Syafrida. 2005. Penelitian Biodiversitas Serangga di
Indonesia: Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) dan Peran Ekosistemnya. Jurnal Biodiversitas 6:
141-146.
Susanti, S. 1998. Mengenal Capung. Bogor: Puslitbang Biologi, LIPI.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini,
tim Laboratorium Entomologi UGM, Tim Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Tim Museum
Zoologicum Bogoriense (MZB) LIPI Bogor, atas bantuan dan kerjasamanya.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 91
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

PENGARUH WAKTU TERHADAP EKSTRAKSI PEKTIN DARI KULIT PISANG KEPOK


DENGAN METODE MICROWAVE ASSISTED EXTRACTION (MAE)
Mardhiyah Nadir1), Eza Ifan Risfani 2)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik KimiaPoliteknik Negeri Samarinda

ABSTRACT

East Kalimantan is one of the bananas producing provinces with a potential of 79,343 tons/year. Meanwhile,
banana peel as its waste is not utilized well. Whereas, the banana peel contains pectin up to 21% of the banana peel’s
mass. Therefore, it is important to study the extraction of pectin from banana peel. This research aims to determine the
optimum extraction time to obtain the highest rendement of pectin with Microwave Assisted Extraction method (MAE)
that meets the standard. The pectin was extracted with variation of extraction time (15, 20, 25, 30 and 35 minutes) form
30 grams that were dissolved in 600 mL of 0.25% HCl at 80°C using MAE as heating method with power of 600 Watt.
The experimental results showed that the highest pectin’s rendement obtained at 30 minutes extraction time. The pectin
produced has rendement of 21.64%, water content of 12.4%, ash content of 7.29%, equivalent weight of 2397 mg,
methoxyl content of 2.96%, and galacturonic acid content of 67.95%.

Keywords: banana peel, extraction, pectin, rendement

1. PENDAHULUAN
Produksi pisang kepok mencapai 79.343 ton/tahun( BPS Kal-Tim, 2016 ). Tingginya produksi pisang
kepok secara tidak langsung berdampak pada tingginya produksi limbah kulit pisang kepok. Bobot kulit
pisang mencapai 40% dari buahnya (Tchobanoglous et al., 2003 dalam Hanum dkk., 2012 ) sehingga kulit
pisang yang dihasilkan berkisar 31.737 ton/tahun.Kulit pisang kepok terdiri dari berbagai komponen, salah
satunya adalah pektin. Pektin yang terkandung dalam kulit pisang kepok mencapai hingga 21% dari total kulit
pisang kepok (Fitria, 2013). Kandungan pektin yang tinggi ini memungkinkan limbah kulit pisang kepok
dimanfaatkan untuk diambil pektinnya dengan cara ekstraksi.Pektin merupakan polimer asam galakturonat
mengandung asam polisakarida dan bersifat mengikat banyak air sehingga menghasilkan sifat pengental.
Pektin untuk penggunaan dalam makanan didefinisikan sebagai polimer yang mengandung unit asam
galakturonat (paling sedikit 65%)International Pectin Producers Association(IPPA ).Pektin adalah sebuah
heteropolimer yang memiliki efek fisiologis terkait dengan peningkatan glukosa plasma, kolesterol dan total
lipid. Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, tanaman pisang mengandung
berbagai macam senyawa seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, protopektin, lemak
kasar, serat kasar dan abu.
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian zat terlarut antara dua
pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain.
Campuran bahan padat dan cair (misalnya bahan alami) tidak dapat atau sukar sekali dipisahkan dengan
metode pemisahan mekanis atau termis sehingga proses paling ekonomis adalah ekstraksi (Rahayu, 2008).
Ekstraksi pektin dari buah-buahan didasarkan pada sifat pektin yang dapat larut dalam air, sedangkan sebagian
besar polisakarida lain, seperti selulosa dan hemiselulosa yang bersama-sama pektin menyusun dinding sel
tanaman, bersifat tidak larut air (Fitria, 2013).Microwave Asisted Extraction (MAE)merupakan ekstraksi yang
memanfaatkan radiasi gelombang mikro untuk mempercepat ekstraksi selektif melalui pemanasan pelarut
secara cepat dan efisien (Jain et al., 2009). Menurut beberapa hasil penelitian, meningkatkan efisiensi dan
efektifitas ekstraksi bahan aktif berbagai jenis rempah-rempah, tanaman herbal, dan buah-
buahan (Calinescu et al., 2001). Gelombang mikro adalah gelombang elektromaknetik pada frekuensi tertentu
yang memiliki persamaan dengan reaksi pengaktifan fotokimia. Batas frekuensi gelombang mikro adalah
interval yang luas dengan batas frekuensi 300MHz – 300GHz.Gelombang mikro mengurangi aktivitas
enzimatis yang merusak senyawa target (Salas et al., 2010).
Penelititan ini bertujuan untuk mengetahui waktu ekstraksi yang optimum untuk mendapatkan
rendemen tertinggi dari pektin yang memenuhi standar dengan metode MAE. Pektin yang dihasilkan dianalisa
rendemen, kadar air , kadar abu ,berat ekivalen, kadar metoksilnya, kadar asam galakturonat dan gugus fungsi

1
Korespondensi penulis: Mardhiyah Nadir, Telp 08125863243, mardhiyahnadir@yahoo.co.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 92
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

(FTIR).Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan metode untuk mengolah limbah kulit pisang
kepok menjadi pektin yang memiliki nilai ekonomis lebih, karena selama ini limbah kulit pisang kepok hanya
dijadikan sebagai pakan ternak dan sebagian besar dibuang saja tanpa diolah terlebih dahulu.
Fitria (2013) mengekstraksi pektin secara konvensional dengan pelarut asam laktat, selama 80 menit,
variasi pH dan suhu ekstraksi . Hasil optimum pada pH asam laktat 1,5 dan suhu 90°C dengan rendemen
10,78%. Megawati dkk., (2016) mengekstraksi pektin metode MAE( daya 600 W ), pelarut HCl 0,25%, ,
waktu ekstraksi 20 menit dan variasi berat bahan baku. Hasil optimum didapat pada berat bahan baku 15
gram dengan rendemen 16,53%.
Dalam studi kerusakan sel akibat berbagai metode ekstraksi terhadap tembakau, metode MAE
menunjukkan tingkat kerusakan sel yang lebih tinggi dibanding metode ekstraksi refluksasi panas (heat-
reflux) akibat kenaikan suhu dan tekanan dalam sel secara signifikan (Mandal et al., 2007). Migrasi ion
terlarut akibat radiasi gelombang mikro memudahkan penetrasi pelarut ke matriks bahan. Pemanasan molekul
air dalam sistem kelenjar dan pembuluh tanaman misalnya. Hal ini menyebabkan panas terlokalisir. Akibatnya
terjadi pengembangan volume dan perusakan sel (Mandal et al., 2007).Kelebihan MAE adalah waktu
ekstraksi dan kebutuhan pelarut yang relatif rendah dibanding ekstraksi konvensional (Mandal et al.,
2007).Waktu ekstraksi mempengaruhi kontak antara bahan dan pelarut, sehingga memberikan kesempatan
untuk menghidrolisis protopektin yang terdapat dalam bahan dan akan meningkatkan rendemen pektin yang
dihasilkan (Hariyati, 2006).

2. METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan pada ekstraksi kulit pisang kepok adalah microwave(daya 600 Watt), gelas
beaker,labu ukur, corong, erlenmeyer vakum,kaca arloji, pipet volume, pipet ukur,buret, cawan porselen ,
blender, oven, furnace, hot plate, thermometer. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit pisang
kepok yang telah dikeringkan, HCl 0,25 %, aquadest , NaOH (0,25 N dan 0,1 N), etanol 96%, indikator PP
dan kertas saring.Kulit pisang kepok sebelum diekstraksi dipreparasi dengan mencuci,
memotong,mengeringkan di oven (suhu 50°C ),menghaluskan dan mengayak (100 mesh).Ekstraksi
pektinmenggunakan microwave,serbuk kulit pisang kepok sebanyak 30 gram dilarutkan dalam HCl 600 mL.
Kemudian campuran dipanaskan dimicrowavepada suhu 80°C danwaktu pemanasandivariasikan(15, 20, 25,30
dan 35 menit ).Campuran kemudian disaring menggunakan corong , filtrat yang dihasilkan dipanaskan dengan
hot plate sampai kental (1/2 dari volume awal). Filtrat ditambahkan alkohol 96% sebanyak 1,5 kali volume
cairan hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan disaring dengan kertas saring sambil mencuci dengan
alkohol 96% hingga residu yang dihasilkan tidak lagi bersifat asam. Tahap akhir mengeringkan endapan
pektin yang telah netral di oven selama 8 jam pada suhu 40°C.
Parameter Analisa
Endapan pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang kepok menggunakan microwave dianalisa
jumlahnya dengan menghitung rendemen. Standar mutu pektin dianalisa berdasarkan standar mutu IPPA
(2001) meliputi : kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar asam galakturonat. Analisa gugus
fungsi dengan (FTIR).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kulit pisang kepok yang telah dipreparasi dicampur dengan HCl 0,25% dan diektraksi dengan
microwave variasi waktu (15, 20, 25, 30 dan 35 menit). Pektin yang telah didapat dianalisa rendemen dan
mutu berdasarkan IPPAseperti ditunjukkanpada tabel 4.1. berikut :
Tabel 4.1 Data Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi Kulit Pisang Kepok
15 menit 20 menit 25 menit 30 menit 35 menit

Rendemen (%) 7,09 12,95 18,96 21,64 13,80


Kadar Air (%) 10,22 11,02 11,93 12,4 11,67
Kadar Abu (%) 7,88 4,74 6,05 7,29 9,41
Berat Ekivalen (mg) 3195 2994 2815 2397 2316
Kadar Metoksil (%) 2,43 2,56 2,88 2,96 3,10
Kadar Galakturonat(%) 55,73 58,77 66,02 67,95 71,32
Spektrum FTIR Pektin

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 93
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

Pektin yang didapatkan dari hasil penelitian dilakukan uji FTIR untuk mengidentifikasi kelompok
bahan kimia utama dalam pektin, kelompok-kelompok gugus fungsional utama pektin biasanya berada di
wilayah antara 1000 dan 2000 cm-1 dari spektrum FTIR (Ismail et al, 2012). Ikatan karbonil pada 1630 - 1650
cm-1, ikatan eter pada 1100 cm-1, ikatan karbon siklik pada 1200 cm-1 dan ikatankarbonil teresterifikasi berada
pada bilangan gelombang 1740-1760 cm-1 (Ismail et al, 2012).

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Panjang Gelombang dengan Transmitan Spektrum FTIR Pektin
Komersial
Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 menunjukkan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada panjang
gelombang yang sama, tetapi terjadi perbedaan nilai transmitan yang berbeda-beda pada setiap variasi pektin
hasil penelitian dan pektin komersial. Perbedaan nilai transmitan ini menunjukkan perbedaan intensitas gugus
fungsi dalam senyawa pektin pada masing-masing variasi. Intensitas transmitan yang berbeda pada setiap
variasi ini tetap menunjukkan senyawa pektin karena penyerapan sinar IR masih berada dalam daerah serapan
gugus utama fungsional senyawa pektin.Tabel 4.2 menunjukkan komposisi senyawa pektin hasil analisa FTIR.
Adanya gugus karbonil pada rentang panjang gelombang 1630 -1650 cm-1 menunjukkan sampel tergolong
sebagai pektin karena dengan adanya gugus karbonil ini menunjukkan bahwa terdapat ester di dalam pektin
tersebut. Ikatan absorbs pada 1200 cm-1 yang menunjukkan gugus karbon siklik berasal dari eter dalam
struktur cincin molekul pektin (Ismail, 2012).

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Panjang Gelombang dengan Transmitan Spektrum FTIR (A) 15 Menit,
(B) 20 Menit, (C) 25 Menit, (D) 30 Menit dan (E) 35 Menit
Tabel 4.2 Komposisi Senyawa Hasil Penelitian
Ikatan Absorbsi (cm-1)
Karbonil (cm-1) Karboksilat(cm-1) Eter (cm-1) Karbon siklik(cm-1)

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 94
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

Standar 1630-1650 1740-1760 1050-1300 1200


15 menit 1647,70 1742,29 1082,81 1155,38
20 menit 1647,34 1741,94 1082,37 1155,20
25 menit 1645,31 1741,13 1082,00 1154,82
30 menit 1637,95 1743,05 1082,68 1156,01
35 menit 1646,19 1741,86 1082,23 1155,72
Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen Pektin
Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin tinggi juga rendemen pektin yang diperoleh (Gambar
4.3)Lamanya waktu ekstraksi mengakibatkan semakin banyak pula kesempatan solven untuk mendifusi ke
dalam sel jaringan sehingga memberikan kesempatan untuk menghidrolisis protopektin yang terdapat dalam
bahan dan akan meningkatkan rendemen pektin yang dihasilkan (Hariyati, 2006).Setelah 30 menit terjadi
penurunan, hal ini disebabkan karena apabila waktu ekstraksi terlalu lama proses hidrolisis dilanjutkan
senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat (Tohuloula dkk., 2013). Rendemen pektin yang dihasilkan
berkisar antara 7,09 – 21,64%. Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa rendemen pektin tertinggi diperoleh pada
saat kulit pisang kepok diekstraksi selama 30 menit yaitu sebesar 21,64%.

25
20
Rendemen (%)

15
10
5
0
0 10 20 30 40
Waktu ekstraksi (menit)

Gambar 4.3 Grafik Hubungan Waktu Ekstraksi dengan Rendemen Pektin

Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air


12
10.5
Kadar Air (%)

9
7.5
6
4.5
3
1.5
0
0 10 20 30 40
Waktu Ekstraksi (menit)

Gambar 4.4 GrafikHubungan Waktu Ekstraksi dengan Kadar Air Pektin


Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
Kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 10,22 – 12,4%. Batas maksimum nilai
kadar air yang diperbolehkan yaitu 12% berdasarkan standar mutu (IPPA), artinya kadar air pada pektin yang
dihasilkan masih masuk dalam standar yang diperbolehkan. Kadar air yang terlalutinggi ini dapat juga
dipengaruhi oleh derajat pengeringan dan kondisi penyimpanan pektin. Tingginya kadar air juga dapat
dipengaruhi oleh banyaknya molekul air tunggal atau kelompok air yang terikat pada permukaan pektin
melalui ikatan hidrogen antar gugus –OH pada molekul pektin dengan atom H dari molekul air. Penyerapan
air oleh pektin selama proses ekstraksi tergantung pada gugus –OH bebas dari molekul pektin. Kadar air
tertinggi pektin yang dihasilkan adalah pada waktu ekstraksi 30 menit (12,4%) dan kadar air terendah pada
waktu ekstraksi 15 menit (Gambar 4.4). Kadar air yang diperoleh ini dipengaruhi oleh rendemen pektin.
Semakin tinggi rendemen pektin yang dihasilkan maka akan semakin tinggi pula kadar airnya (Budiyanto,
2008).

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 95
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu Pektin


Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa bahan anorganik. Kadar abu
berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu di dalam
pektin semakin rendah (Budiyanto,2008).Pada penelitian ini kadar abu yang diperoleh berkisar 4,06-9,41%
sehingga pektin yang dihasilkan sudah sesuai standar berdasarkan standar mutu IPPA dengan kadar abu
maksimum pektin adalah 10%. Semakin lama waktu ekstraksi maka kadar abu pektin juga semakin tinggi
( Gambar 4.5 ). Hal ini terjadi karena adanya reaksi hidrolisis protopektin. Hidrolisis protopektin
menyebabkan bertambahnya kandungan kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium merupakan
mineral sebagai komponen abu. Kandungan mineral yang banyak berupa kalsium dan magnesium akan
semakin meningkatkan kadar abu pektin tersebut (Budiyanto,2008).

10

8
Kadar Abu (%)

0
0 10 20 30 40
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.5 GrafikHubungan Waktu Ekstraksi dengan Kadar Abu Pektin

Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen Pektin


Berat ekivalen yang diperoleh berkisar 2316-3195 mg. Berat ekivalen pektin berdasarkan standar
mutu IPPA yakni berkisar antara 600-800 mg. Pektin yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki berat
ekivalen yang tidak memenuhi standar yang ada. Pada penelitian ini berat ekivalen dari pektin hasil ekstraksi
dengan metode MAE cenderung mengalami penurunan semakin lamanya waktu ekstraksi seperti yang terlihat
pada Gambar 4.6.Suhu yang tinggi dan semakin lama ekstraksi menyebabkan terjadinya depolimerisasi dan
demetilasi (Hanum dkk.,2012). Selain itu suhu tinggi dapat menyebabkan pula proses deesterifikasi pektin
menjadi asam pektat. Proses deesterifikasi akan meningkatkan jumlah gugus asam bebas. Peningkatan jumlah
gugus asam bebas akan menurunkan berat ekivalen. Berat ekivalen rendemen tertinggi pada waktu ekstraksi
30 menit adalah 2397 mg.

3500
3000
2500
Berat Ekivalen

2000
1500
1000
500
0
0 10 20 30 40
Waktu Ekstraksi (menit)

Gambar 4.6 Grafik Hubungan Waktu Ekstraksi dengan Berat Ekivalen Pektin

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 96
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil Pektin


Kadar metoksil merupakan jumlah mol methanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat.
Kadar metoksil yang diperoleh dari penelitian ini berkisar 2,43-3,1%. Kadar metoksil pektin berperan dalam
menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin.
Berdasarkan range kadar metoksil ini, dapat dinyatakan bahwa pektin hasil penelitian termasuk golongan
pektin yang mempunyai kadar metoksil rendah. Hal ini merujuk pada ketentuanIPPA yang menggolongkan
pektin dengan kadar metoksil 2,5-7,12% sebagai pektin berkadar metoksil rendah.. Gambar 4.7menunjukkan
semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin tinggi kadar metoksil yang dihasilkan. Peningkatan kadar
metoksil ini dikarenakan semakin meningkatnya gugus karboksil bebas yang teresterifikasi.Rendemen
tertinggipada waktu ekstraksi 30 menit menghasilkan metoksil 2,96 %.
3.5
3
Kadar Metoksil (%)

2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40
Waktu Ekstraksi (menit)

Gambar 4.7 Grafik Hubungan Waktu Ekstraksi dengan Kadar Metoksil Pektin
Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Asam Galakturonat Pektin
80
70
Kadar Galakturonat (%)

60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40
Waktu Ekstraksi (menit)

Gambar 4.8 Grafik Hubungan Waktu Ekstraksi dengan Kadar Galakturonat Pektin
Kadar galakturonat menentukan gugusfungsional pada larutan pektin. Adanya gugus fungsional
tersebut berhubungan dengan gugus fungsional karboksilat pada galakturonat. Kadar galakturonat dapat
mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin. Gambar 4.8 menunjukkan kadar galakturonat semakin
meningkat seiring dengan lamanya waktu ekstraksi. Kadar galakturonat yang diperoleh berkisar antara 55.73-
71.32%. perolehan kadar galakturonat tertinggi diperoleh pada ekstraksi pektin dengan waktu 30 menit. Kadar
galakturonat yang meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dikarenakan meningkatnya reaksi hidrolisis
protopektin menjadi pektin yang komponen dasarnya adalah asam D-galakturonat.Kadar galakturonat dari
pektin yang didapatkan dari penelitian ini sudah memenuhi standar berdasarkan IPPA dengan kadar
galakturonat minimal 35%. Kadargalakturonat pada waktu ekstraksi 30 menit adalah 67,95 %.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 97
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.92-98) 978-602-60766-4-9

4. KESIMPULAN
1. Ekstraksi kulit pisang kepok dengan metode MAE menunjukkan semakin lama waktu ekstraksi maka
semakin tinggi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar metoksil dan kadar asam galakturonat pektin
yang dihasilkan. Tetapi, semakin rendah berat ekivalen yang didapatkan..Waktu ekstraksi optimum
adalah 30 menit dengan rendemen sebesar 21,64% , kadar air 12, 4 %, kadar abu 7,29%, kadar
metoksil 2,96 %, kadar asam galakturonat 67,95 % (sesuai IPPA ). Sedangkan berat ekivalen 2397 mg
tidak memenuhi standar IPPA.
5. DAFTAR PUSTAKA
BPS. (2016). Kaltim Dalam Angka 2016. Samarinda: BPS Provinsi Kalimantan Timur. 19 November 2017.
Budiyanto, Agus. 2018. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk
Siam (Citrus nobilis L). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian: Bogor
Calinescu, I., Ciuculescu, C., Popescu, M., Bajenaru, S., & Epure, G. (2001). Microwaves Assisted Extraction
of Active Principles from Vegetal Material. Romanian International Conference on Chemistry and
Chemical Engineering , 12, 1-6.
Fitria, V. (2013). Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok. Skripsi Program
Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta.
Hanum, F., Kaban, I.M.D., dan Tarigan, M.A., (2012). Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Raja. Jurnal
Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara, Vol. 1, N0. 2
International Pectin Producers Association (IPPA). (2001) http://www.ippa.info/what-is-pectin.htm. Diakses
pada 5 Januari 2018.
Ismail, N. S. M., Ramli, N., Hani, N. M., dan Meon, Z. 2012. Extraction and Characterization of Pectin from
Dragon Fruit (Hylocereus polyhizus) using Various Extraction Conditions. Sains Malaysiana 41(1): 41-
45.
Jain, T., Jain, V., Pandey, R., Vyas, A., & Shukla, S. S. (2009). Microwave Assisted Extraction for
Phytoconstituents – An Overview. Asian Journal Research Chemistry , 1 (2), 19-25.
Megawati dan Machsunah E. L. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang Kepok (Musa Paradisiaca)
Menggunakan Pelarut HCl sebagaiEdibe Film. Jurnal Bahan Alam Terbarukan. Vol. 5 (1)
Mandal, V., Mohan, Y., & Hemalatha, S. (2007, January-May). Microwave Assisted Extraction – An
Innovative and Promising Extraction Tool for Medicinal Plant Research. Pharmacognosy Reviews ,
1 (1), pp. 7-18.
Salas, P. G., Aranzazu, M.-S., Antonio, S.-C., & Alberto, F.-G. (2010, December 3). Phenolic-Compound-
Extraction Systems for Fruit and Vegetable Samples. Molecules , 15, pp. 8813-8826.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 98
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.99-104) 978-602-60766-4-9

PENGARUH LAJU UMPAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA RAFINASI TERHADAP


PRODUKSI BIOGAS (ENERGI TERBARUKAN)

Rahmiah Sjafruddin1), Lasire1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

Biogas is an alternative fuel that is environmentally friendly and can be produced using raw materials from solid or
liquid waste containing organic compounds. The raw material for making biogas in this study is to use raw materials
for the refined sugar industry’s liquid waste with the aim that the industrial liquid waste can be optimized for its
utilization so that it does not become a pollutant for the environment and can produce renewable energy and become
alternative fuels for industries and household. In long term, it is also hoped that the result of this fuel can be converted
into electrical energi. Along with that the results of this research are expected to establish cooperative relations with the
industrial world regarding the processing of liquid waste. The research strategy was carried out by acclimatizing the
starter of refined sugar liquid waste (70%) with cow dung (30%) for 21 days. Acclimatization for 21 days gives a biogas
flame in blue and stable condition. The next process is the feed process (in this step the bait is liquid waste) with
variation of 0.5 L and 1,5 L in a semi-continuous biodigester with a capacityof 20 L with an operating volume of 16 L.
The purpose of this study was (1) to determine the effect of bait composition (0,5 L/day, 1 L/day, 1,5 L/day) refined
sugar industry waste water on biogas production with good methane gas content (flame test). (2) Determinethe optimum
time to produce steady state condition for biogas production with good methane gas (blue flame). The result of the
research on the feed process, the production of biogas are increased but the methane gas formed decreased (dead flame).
Biogas on feed substrate 0,5 L and 1 L produce biogas with bluef lame until 5th feed (day 30) and feed volume 1,5 L
produces blue flame until 4th feed (day 28).

Keywords : Biogas, Feed substrate, Methane, Waste sugar

1. PENDAHULUAN
Limbah cair industri gula rafinasi dengan kandungan nilai chemical oxsigen demand (COD) sekitar
8500 ppm, volatile solit (VS) berkisar 97% - 99% dan pH sekitar 6 – 7., (Sjafruddin, R., 2017). Parameter ini
memberikan gambaran bahwa limbah cair tersebut mengandung bahan organik yang sangat tinggi yang akan
memberikan efek buruk bagi lingkungan jika langsung dibuang. Oleh karena itu, limbah cair industri gula
perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan atau badan air/perairan. Salah satu cara
pengolahan yang dapat dilakukan untuk limbah cair industry gula adalah dengan pengolahan secara biologi
dengan menggunakan bantuan mikroorganisme yang bekerja secara anaerob. Penelitian dengan proses
anaerob secara batch telah dilakukan dengan melakukan variasi komposisi limbah cair industri gula dengan
kotoran sapi dengan hasil terbaik pada komposisi 70% : 30% dengan waktu tinggal 6 minggu dengan
kemampuan degradasi kandungan senyawa organik sekitar 43%, (Sjafruddin, R., 2017). Pada proses batch
kondisi keterbatasan substrat dan akumulasi produk yang menyebabkan akan terjadi fase kematian dari
mikroorganisme. Keterbatasan pada proses batch dapat diatasi jika sistem beroperasi secara semi kontinyu
atau kontinyu. Pada penelitian ini dilakukan pengkajian dengan melihat pengaruh komposisi laju umpan (0,5
L/hari, 1 L/hari, 1,5 L/hari) limbah cair industri gula rafinasi terhadap produksi biogas dengan kadar gas
metana yang baik (uji nyala), dan parameter slury dalam biodigester serta waktu optimum untuk
menghasilkan kondisi produksi biogas dengan gas metana yang baik (nyala api yang biru). Proses
pengumpanan, dengan laju umpan yang terlalu besar yakni kandungan COD, VS yang tinggi akan
meyebabkan terjadinya washed out bagi mikroorganisme dan terbetuknya asam-asam yang lebih banyak dan
menghambat pembentukan gas metana. Pada proses pengumpanan loading rate merupakan banyaknya
material pada volatile solid (VS), COD yang dimasukkan ke dalam biodigester dalam waktu tertentu (per 2
hari) per volume operasi biodigester. Menurut Alvarez and Liden (2008), waktu tinggal proses pembuatan
biogas dari campuran bahan organik, limbah hewan, dan kotoran sapi selama 30 hari. Sementara Viswanath,
dkk (1991), dengan bahan baku sampah buah dan sayur untuk produksi biogas dengan waktu tinggal 20 hari.
Kesuksesan proses start-up proses aklimatisasi dan pengoperasian sistem anaerobik sangat ditentukan
dengan keseimbangan mikroorganisme hidrolitik dan asetogenesis yang terlibat pada tahap pertama dan

1
Korespondensi penulis: Rahmiah Sjafruddin, Telp 081355467803, rahmiah.sjafruddin@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 99
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.99-104) 978-602-60766-4-9

mikroorganisme metanogenesis yang bertanggung jawab untuk tahap kedua (pembentukan gas metana).
Mikroorganisme pada tahap pertama memiliki kecenderungan pertumbuhan yang cepat ( 1 – 4 hari) dengan
kondisi pH 5 – 8 sementara mikroorganisme tahap kedua (metanogenesis) pertumbuhan mikroorganisme lebih
lambat ( 5 – 16 hari) dengan kondisi keasaman slury di dalam biodigester berkisar 6,5 – 7,5 (Deublein, 2008).
Kondisi operasi dengan slury di dalam biodigester memiliki pH 6,5 – 7 akan menghasilkan biogas dengan
nyala api biru. Kondisi ini merupakan kondisi yang stabil bagi pertumbuhan mikroorganisme metanogenesis
di mana waktu tinggal berkisar 21 hari. Pengkajian pembuatan biogas secara semi kontinyu atau kontinyu
merupakan proses operasi pembuatan biogas yang diharapkan dapat diaplikasikan di lingkungan masyarakat
dan industry yang menghasilkan limbah cair setiap hari dengan tujuan mengendalikan efek pencemaran bagi
lingkungan. Hasil penelitian pada Proses pengumpanan menghasilkan biogas yang meningkat namun gas
metana terbentuk mengalami penurunan (nyala api mati) di mana parameter TS, VS yang fluktuatif dan nilai
COD yang cenderung turun.Produk biogas pada pengumpanan substrat 0,5 L dan 1 L menghasilkan biogas
dengan nyala api biru sampai pada pengumpanan ke-5 (hari ke-30) dan pengumpanan dengan volume umpan
1,5 L menghasilkan nyala api biru sampai pada umpan ke-4 (hari ke-28).

2. METODE PENELITIAN
Start-up biodigester anaerob semi kontinyu untuk proses pengumpanan (setiap 2 hari) dengan
melakukan proses aklimatisasi campuran substrat limbah cair industri gula 70% dicampur kotoran sapi 30%
selama 21 hari. Slury di dalam biodigester anaerob semi kontinyu dengan kapasitas volume total sebesar 20
liter dan volume kerja cairan efektif sebesar 16 liter. Aklimatisasi selama 21 hari dihasilkan produk biogas
dengan nyala api biru (stabil). Proses pengumpanan limbah cair industri gula dengan laju umpan masing-
masing 0,5 L, 1 L, dan 1,5 L. Tahapan Pengumpanan dengan melakukan analisis karakteristik umpan limbah
cair dengan parameter pH, TS, VS dan, COD. Proses di dalam biodigester akan dipantau dengan melakukan
analisis slury berupa, pH dan temperatur yang dilakukan setiap hari, dan analisis slury (efluen) berupa TS, VS,
dan COD, serta uji nyala produk biogas setiap pekan. Proses ini dipantau selama waktu operasi sampai
diperoleh kondisi dengan produksi biogas parameter uji nyala yang dihasilkan. Melakukan proses
pengulangan pengumpanan dengan komposisi umpan limbah cair dengan komposisi 1 liter/hari, dan 1,5
liter/hari. Metoda analisis total solid (TS) dengan pemanasan (oven), dan volatile solid (VS), dilakukan
dengan metode pemanasan (pengabuan), sementara untuk metode analisis penentuan nilai COD dengan
metode refluks. Kualitas biogas diukur dengan uji nyala api yang dihasilkan (warna merah/kadar metana
rendah dan warna biru/kadar gas metana lebih tinggi dari pada gas CO2).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses aklimatisasi starter
Hasil pengamatan selama proses start-up proses aklimatisasi starter dengan komposisi 70% limbah cair
gula rafinasi dengan 30% kotoran sapi di dalam biodigester diketengahkan dengan melihat parameter berupa
pH, TS, VS, COD dan nyala api biogas sampai diperoleh nyala yang biru. Adapun data parameter slury pada
proses aklimatisasi starter dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter proses aklimatisasi starter untuk setiap laju pengumpanan.
Parameter starter setiap pengumpanan
Waktu 0.5 L 1L 1,5 L
(hari)
TS VS COD TS VS COD TS VS COD
pH pH pH
(%) (%) mg/L (%) (%) mg/L (%) (%) mg/L
1 7 2,09 98,01 10200 7 2,09 98,01 10200 7 1,09 96,79 10200
7 6.5 6.5 6.5
14 7 7 7
21 7 4,14 97,14 7900 7 4,14 97,14 7500 7 1,23 95.67 7390

Selama proses aklimatisasi starter, pemantauan dilakukan dengan pengamatan parameter berupa total
solid (TS), volatile solid (VS), dan COD serta kondisi di dalam biodigester berupa pH dan temperature.
Produk biogas diuji dengan melakukan uji nyala. Kondisi temperatur di dalam biodigester berada pada kisaran
28 – 30oC, di mana kondisi temperatur cenderung dipengaruhi kondisi lingkungan. Adapun hasil uji nyala
biogas yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 100
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.99-104) 978-602-60766-4-9

Tabel 2. Hasil Nyala Biogas pada star-up Starter


Hari ke- pH slury Uji Nyala Api Warna
1 7 Belum ada gas -
7 6,5 Mati/api masuk biodigester -
14 7 Nyala/belum stabil Merah
21 7 Nyala stabil Biru

Pada Tabel 1, terlihat bahwa parameter berupa pH awalnya pada kondisi 7 kemudian terjadi penurunan
(6,5), kemudian naik kembali dan stabil pada nilai 7. Sementara parameter TS untuk setiap variabel
mengalami peningkatan dan parameter VS, COD cenderung mengalami penurunan. Pada Tabel 2 terlihat
produk biogas pada start-up starter dimana pada hari ke-21 terlihat nyala api biogas yang biru dan stabil.
Kondisi inilah yang menjadi acuan bahwa konsorsium mikroorganisme asetogenesis dan metanogenesi dalam
kondisi yang setimbang. Kondisi di dalam biodigester dianggap sebagai kondisi yang sudah siap mengalami
kondisi operasi yang berubah dalam hal ini perubahan substrat dengan melakukan pengumpanan limbah cair
gula rafinasi dengan variasi 0,5 L; 1 L dan 1,5 L setiap dua hari.

Parameter Total Solid (TS) dan Volatil Solid (VS)


Salah saru parameter yang mempengaruhi keberhasilan proses produksi biogas adalah tingkat
pengenceran slurry dan kandungan bahan organik di dalam biodigester. Pengenceran slurry di dalam
biodigester dapat dilihat dari total padatan (total solid). Pada proses pengumpanan mulai dari laju umpan 0,5
L, 1 L, dan 1,5 L terlihat tingkat pengenceran dapat dilihat pada Gambar 1 .

8
7
laju umpan 0,5 L
6
Total solid (%)

5 Laju umpan 1 L
4
Laju umpan 1,5 L
3
2
1
0
0 22 24 26 28 30 32 34
Waktu (Hari)
Gambar 1. Hubungan Waktu terhadap total solit (TS) pada setiap pegumpanan substrat.

Penyajan Gambar 1, dapat dilihat bahwa pengenceran substrat di dalam biodigester pada laju
pengumpanan 1,5 L pada awalnya sangat encer (1,09%) dibandingkan pada laju umpan 0,5 L dan 1 L
(4,41%). Tahap awal pengumpanan 0,5 L total solid mengalami peningkatan (7,25%) kemudian tetap sampai
hari ke-24, karena pada fase ini merupakan fase adaptasi, di mana terjadi pertambahan voume sel
mikroorganisme, kemudian mengalami penurunan sampai pada hari ke-34 (pengumpanan ke-7). Sementara
pada pengumpanan 1 L total solid pada tahap awal (4,41%) mengalami menurunan (1,51%) yang
memberikan gambaran mikroorganisme belum berkembang dengan baik, dan pada hari ke-24 baru terjadi
peningkatan (2,69%) kemudian terjadi perubahan yang fluktuati dan sampai pada hari ke-34 dengan total solid
turun menjadi 0,6%. Sementara pada laju umpan 1,5 L memberikan gambaran pada tahap awal cenderung
tetap kemudian pada hari ke-26 mengalami peningkatan (4,54%) dan kemudian sampai hari ke-34 mengalami
penurunan (1,99%).
Parameter volatil solid (VS) merupakan substrat untuk proses hidrolisis dan pembentukan asam secara
anaerob di dalam biodigester. Parameter volatil solid (VS) merupakan bahan organik yang dirubah oleh
mikroorganisme menjadi biogas. Adapun perubahan volatile solid (VS) di dalam biodigester selama proses
produksi biogas dapat dilihat pada Gambar 2.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 101
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.99-104) 978-602-60766-4-9

99
98 Umpan 0,5 L

Volatil Solit, VS (%)


97 Umpan 1 L
96 Umpan 1,5 L
95
94
93
92
91
0 22 24 26 28 30 32 34
Waktu (hari)
Gambar 2. Hubungan Waktu terhadap penyisihan volatil solit (VS) pada setiap pegumpanan substrat.

Pada tahap awal volatil solid untuk setiap variasi laju umpan adalah 0,5 sekitar 97,14 %, umpan 1 L
sekitar 97,14% dan umpan 1,5 L sekitar 96,97% . Volatil solid untuk laju umpan 1 L dan 1,5 L dari awal
pengumpanan sampai hari ke-24 mengalami penurunan yang sangat kecil yakni dari 97,1% menjadi 96,98%
sementara untuk pengumpanan 1,5 L perubahan volatil solid dari 96,97% sampai hari ke-24 menjadi 96,07%
dan pada hari ke-24 diperoleh produk biogas dengan nyala api berwarna biru dan cukup stabil. Laju umpan
0,5 L pada hari ke-22 mengalami penurunan menjadi 95,78% pada hari ke-24. Pada tahap awal
pengumpanan kondisi parameter volatil solid mengalami kondisi fluktuati yang disebabkan mikroorganisme
didalam biodigester mengalami shok looding dari proses pengumpanan substrat. Volatil solid merupakan
gambaran substrat yang didegradasi miroorganisme asetogenesis untuk menghasilkan biogas.
Penentuan Parameter COD Terhadap Produksi Biogas
Indikator pencemaran air dapat dilihat pada nilai COD yang merupakan kandungan bahan-bahan
organik dalam limbah cair industry termasuk limbah cair industry gula rafinasi. Perubahan nilai COD selama
proses mulai dari start up sampai proses pengumpanan dapat dilihat pada Gambar 3.

12000
10000
Umpan 1 L
Nilai COD (mg/L)

8000
Umpan 0,5 L
6000 Umpan 1,5 L

4000
2000
0
0 10 20 30 40
Waktu (Hari)

Gambar 3. Hubungan waktu terhadap penyisihan Nilai COD Pada setiap Pengumpanan substrat.

Gambar 3, menunjukkan bahwa pada saat dilakukan pengumpanan substrat, bahan organik di dalam
biodigester yang disisihkan relatif rendah tetapi cenderung mengalami penurunan sampai hari ke-34
(Pengumpanan ke-7). Penurunan penyisihan bahan organik yang paling rendah terjadi pada pengumapan 1 L
dengan nilai COD terendah pada 4400 mg/L sementara untuk umpan 0,5 L pada nilai COD 5780 mg/L dan
pada pengumpanan 1,5 L terjadi penyisihan sampai pada nilai COD 5890 mg/L. Pengumpanan dilakukan
memberikan efek penambahan bahan oerganik di dalam biodigester yang menyebabkan produksi biogas
bertambah, namun gas metana terbentuk tidak demikian. Pengumpanan dengan vlume umpan 0,5 L dan 1 L
pada proses pengumpanan ke-5 (hari ke-30) terjadi penurunan kualitas nyala api yang dihasilkan dan sampai
hari ke-34 biogas yang dihasilkan tidak dapat menyala (mati). Sementara pada pengumpanan dengan volume
1,5 L (hari ke-28) produksi biogas yang dihasilkan lebih besar daripada umpan 0,5 L dan 1 L, namun gas

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 102
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.99-104) 978-602-60766-4-9

metana yang dihasilkan semakin rendah, hal ini dapat dilihat dari biogas yang dihasilkan mengalami
penurunan kualitas nyala dan sampai hari ke-34 biogas yang dihasilkan mati. Biogas merupakan produk
dengan kandungan beberapa gas diantaranya gas CO2, CH4, H2S, H2, gas CO2 dan gas CH4 merupakan
komponen gas dengan kadar yang tinggi. Apabila kandungan gas CO2 cukup tinggi dan gas CH4 rendah (kecil
dari 50%) maka gas yang dihasilkan akan menghasilkan nyala api yang merah bahkan tidak dapat menyala
(Sjafruddin, R., 2011). Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan mikroorganisme non
metanogenesis dan metanogenesis tidak sinergis. Hal ini disebabkan mikroorganisme metanogenesis
(mikroorganisme penghasil gas metana, CH4) merupakan mikroorganisme yang sangat sensitif dengan
perubahan kondisi lingkungan termasuk perubahan substrat yang ada (Gaudy, A., 1981)

Nyala Api Biogas


Proses pembentukan biogas sudah dimulai pada hari ke-4 pada proses star-up starter, kemudian
fermentasi dilanjutkan sampai hari ke-21, di mana diperoleh produk biogas dengan nyala api yang biru. Pada
hari ke-21 merupakan kondisi operasi proses dimana kondisi pertumbuhan mikroorganisme non
metanogenesis dan mikroorganisme metanogenesis dalam kondisi fase pertumbuhan dan berkembang secara
sinergis. Kondisi ini, merupakan kondisi mikroorganisme sudah siap apabila terjadi perubahan kondisi, salah
satunya perubahan kondisi substrat dengan adanya perlakuan pengumpanan. Pengumpanan yang dilakukan
ada tiga variabl yaitu pengumpanan dengan volume 0,5 L, 1 L, dan 1,5 L. Pada proses pengumpanan dapat
dilihat hasil uji nyala api biogas setiap perlakuan pengumpanan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Nyala api biogas

Nyala api biogas yang dihasilkan didukung dengan kondisi operasi di dalam biodigester berupa derajat
keasaman pada pH 7 di manarajat keasaman 7 memberikan kondisi yang cocok untuk mikroorganisme non
metanogenesis dan metanogenesis. Sementara kondisi temperatur operasi di dalam biodigester berada pada
kisaran 28 – 30 oC.
4. KESIMPULAN

Proses pengumpanan menghasilkan biogas yang meningkat namun gas metana terbentuk mengalami
penurunan (nyala api mati) di mana parameter TS, VS cenderung fluktuatif dan nilai COD yang cenderung
turun. Produk biogas pada pengumpanan substrat 0,5 L dan 1 L menghasilkan biogas dengan nyala api biru
sampai pada pengumpanan ke-5 (hari ke-30) dan pengumpanan dengan volume umpan 1,5 L menghasilkan
nyala api biru sampai pada umpan ke-4 (hari ke-28).

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktur dan Ketua Unit
Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Politeknik Negeri Ujung Pandang, atas kepercayaannya untuk
membiayai kegiatan Penelitian ini.

6. REFERENSI

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 103
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.99-104) 978-602-60766-4-9

1. Alvarez, R., dan Liden, G., 2008, Semi-continuous co-digestion of solid slaughterhouse waste, manure,
and fruit and vegetable waste., Renewable Energy, 33, 726-734.
2. Deublein, D. And Steinhauser, A., 2008 ”Biogas from Waste and Renewable Resource” Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KgaA. Weinheir.
3. Gaudy, A., Gaudy, E., 1981, ”Microbiology for Environmental Scientists and Engineers” McGraw Hill,
Inc.
4. Rittmann, B.E., McCarty, P. L., 2001, “Environmental Biotechnology:Principles and Applications”,
McGraw-Hill Higher Education, McGraw-Hill Companies, Inc., New York.
5. Sjafruddin, R., 2011., “Star up Pembuatan Biogas dari Sampah Buah”, Tesis S2., Universitas Gadja Mada
Yogyakarta
6. Sjafruddin, R., 2017., “Pemanfaatan Limbah Cair Industri Gula Rafinasi Sebagai Bahan Baku Pembuatan
Energi Terbarukan (Biogas)”, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian, ISBN 978-602-60766-
32., Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 104
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.105-109) 978-602-60766-4-9

EKSTRAKSI ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH SEBAGAI PEWARNA


ALAMI
Sitti Sahraeni1), Harjanto1), Hanisa Rahim1)
1)
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda

ABSTRACT

The Production of dragon fruits in 2014 in Samarinda especially at Loa Janan KM 2 reached up to 800 Kg of red
dragon fruits. One of the parts of dragon fruits which can utilized is the peel which consists of 30-35 % of the total
weight of the fruit and is usually only wasted while in fact the dragon fruit peel consists of anthocyanin pigment.
Anthocyanin pigment is a red pigment group to blue widespread in plants including dragon fruit. This research aims to
determine the effect of the amount of the volume of solvent at varied temperature comparisons. The method used to
obtain the pigment anthocyanin is by using a solvent extraction process maceration 1.43% citric acid for 24 hours. The
Dependent variable in this research is the volume of solvent 400 mL, 500 mL, 600 mL, 700 mL, and 800 mL and the
comparison between the use of 29oC and 40 ° C. The results showed the best treatment is at room temperature with a
volume of 400 mL with concentration of anthocyanin pigments is 77.7092 ppm at 27oC.

Keywords: anthocyanin, extraction, red dragon fruit peel

1. PENDAHULUAN
Produksi buah naga di Samarinda untuk tahun 2014 terdata 800 kg per bulan untuk di daerah Loa
Janan km 2 Samarinda. Sebenarnya ada beberapa titik daerah produksi buah naga yang di produksi di kota
Samarinda namun belum terdata oleh badan pertanian kota Samarinda, diantaranya yaitu Sungai Siring dan
Makroman (Nurfarida, 2014). Menurut Citramukti (200) menyatakan bahwa kulit buah naga yang terdapat
pada buahnya sekitar 30-35% sehingga bahan baku kulit buah naga yang tersedia sekitar 240-280 kg per
bulan. produksi buah naga yang bear merupakan indikasi banyaknya pula kulit buah naga di kota Samarinda.
Namun selama ini kulit buah naga tidak diolah atau tidak dimanfaatkan, kulit buah naga hanya dibuang begitu
saja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Ini berakibat pada penumpukan sampah-sampah dari limbah buah
naga.
Kulit buah naga hanya dibuang begitu saja padahal kulit buah naga mengandung pigmen antosianin.
Pigmen antosianin merupakan kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas pada
tanaman termasuk buah naga. Dengan adanya pigmen antosianin yang terkandung pada kulit buah naga maka
kulit buah naga dapat termanfaatkan sebagai pewarna alami. Pengambilan pigmen antosianin pada kulit buah
naga
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah pelarut dengan perbandingan suhu untuk
mendapatkan ekstrak pigmen antosianin dalam kulit buah naga. Kulit buah naga yang berkisar 30-35% dari
total keseluruhan berat buah naga ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan dagingya. Kulit
buah naga yang dipakai oleh penulis adalah kulit buah naga merah. Menurut penelitian Fennyanto (2013),
didapatkan bahwa kulit buah naga merah mengandung antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan daging
buah naga. Dari hasil penelitiannya ditunjukan bahwa kandungan phenolic yang terdapat pada kulit buah naga
merah sebesar 28,16 mg/100 gr, sedangkan kandungan phenolic pada daging buah naga merah hanya sebesar
19,72 mg/100 gr.
Selain memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, kulit buah naga merah juga mengandung pigmen
warna tumbuhan yang disebut dengan antosianin (pigmen tumbuhan merah-biru-ungu (Fennyanto, 2013).
Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengisolasi suatu senyawa dari bahan alam tergantung pada
tekstur, kandungan senyawa, dan sifat senyawa yang diisolasi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu, sokletasi, maserasi, dan perkolasi.
Pada penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode maserasi. Teknik ini digunakan karena
kandungan senyawa organik yang ada 15 dalam bahan cukup tinggi dan telah diketahui jenis pelarut yang
dapat melarutkan senyawa yang diisolasi. Metode maserasi sangat menguntungkan karena pengaruh suhu
dapat dihindari, suhu yang tinggi memungkinkan terdegradasinya senyawa-senyawa metabolit sekunder.

1
Korespondensi penulis: Sitti Sahraeni, Telp 081355134965, sittisahraeni@yahoo.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 105
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.105-109) 978-602-60766-4-9

Pemilihan pelarut yang digunakan untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan
memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup
lama dengan sampel (Djarwis, 2013).
Salah satu kekurangan dari metode maserasi adalah membutuhkan waktu yang lama untuk mencari
pelarut organik yang dapat melarutkan dengan baik senyawa yang akan diisolasi dan harus mempunyai titik
didih yang tinggi pula sehingga tidak mudah menguap (Manjang, 2004).
Pigmen adalah zat pewarna alami yang merupakan golongan senyawa yang berasal dari hewan atau
tumbuhan. Pewarna alami dapat dipakai sebagai tambahan makanan, tetapi beberapa pewarna sintetis,
terutama karotenoid, dianggap sama dengan pewarna alam sehingga tidak perlu pemeriksaan toksikologi
secara ketat seperti bahan pengisi lain (Dziezak, 1988).
Salah satu jenis dari pigmen adalah antosianin. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang
berarti bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, tersebar
luas dalam bunga dan daun, serta menghasilkan warna dari merah sampai biru. Zat pewarna alami antosianin
merupakan senyawa flavonoid yang tergolong ke dalam turunan benzopiran. Struktur utama turunan
benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom
karbon yang membentuk cincin (Moss, 2002).

Gambar 1. Struktur dasar benzopiran

Antosianin akan berubah warna seiring dengan perubahan nilai pH. Pada pH tinggi antosianin
cenderung bewarna biru atau tidak berwarna, sedangkan untuk pH rendah berwarna merah. Kebanyakan
antosianin menghasilkan warna merah keunguan pada pH kurang dari 4. Jumlah gugus 6 hidroksi atau
metoksi pada struktur antosianidin, akan mempengaruhi warna antosianin. Adanya gugus hidroksi yang
dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil, sedangkan jika gugus metoksi yang
dominan pada struktur antosianidin, akan menyebabkan warna cenderung merah dan relatif stabil (Deman,
1997).

Gambar 2. Struktur antosianidin

Faktor yang juga mempengaruhi stabilitas antosianin adalah struktur antosianin dan
komponenkomponen lain yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Antosianin dapat membentuk kompleks
dengan komponen polifenolik lainnya. Komponen flavonol dan flavon yang biasanya selalu berkonjugasi
dengan antosianin juga memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas antosianin (Gomez, 2006).

2. METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Pipet ukur 10 mL dan 100 mL, pipet volume
100 mL, labu ukur 1000 mL, gelas kimia 500 mL dan 1000 mL, bulp, satu set alat rotary evaporator, pompa
vakum, neraca digital, oven, blender.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: asam sitrat bubuk, aquadest, dan kulit buah
naga merah.
Cara kerja:
Ekstraksi maserasi dilakukan dengan perendaman kulit buah naga merah selama 24 jam pada 5
variasi volume pelarut 400 mL, 500 mL, 600 mL, 700 ml dan 800 ml dengan perbandingan antara suhu
ruangan dan suhu tambahan 40oC. Hasil ekstraksi yang didapat kemudian dipekatkan dengan menggunakan
rotary vacuum evaporator selama 3 jam untuk masingmasing sampel ekstrak. Ekstrak yang telah dipekatkan
kemudian dianalisis kadar pigmen antosianin yang terkandung dengan menggunakan Uv-Visible.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 106
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.105-109) 978-602-60766-4-9

3. HASIL DAN PEMBAHSAN


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah volume pelarut dengan perbandingan
suhu. Volume pelarut divariasikan pada suhu ruangan dan suhu pemanasan 40oC yaitu 400 mL, 500 mL, 600
mL, 700 mL, dan 800 mL dengan massa kulit buah naga 100 gram, waktu ekstraksi 24 jam dan variabel
responnya adalah konsentrasi pigmen antosianin dalam ppm. Pelarut yang digunakan adalah asam sitrat karena
bersifat polar. Pigmen antosianin yang bersifat polar hanya bisa diekstrak dengan pelarut yang bersifat polar
pula.
Berdasarkan hasil analisa pigmen antosianin menggunakan spektofotometri Uv-Visible didapatkan
hasil seperti pada grafik di bawah ini:
Kons
entraAnto
si siani 85
Pigmn
75
en (ppm
) 65
Suhu ruangan
55
o
45 Pemanasan 40 C

35
300 500 700 900
Volume Pelarut (mL)

Gambar 3. Grafik hubungan antara konsentrasi pigmen antosianin terhadap volume pelarut dengan
perbandingan suhu

Gambar 3 menunjukkan terjadi penurunan konsentrasi pigmen antosianin. Konsentrasi pigmen


antosianin terbesar dihasilkan oleh volume pelarut 400 mL dengan kadar antosianin sebesar 77,71 ppm dan
konsentrasi terkecil pada volume 800 mL dengan kadar antosianin sebesar 49,74 ppm. Penggunaan asam sitrat
yang bersifat polar bertujuan untuk mengekstrak gugus hidroksi yang ada dalam kulit buah naga merah yang
biasa disebut sianidin, sehingga ekstrak pigmen yang didapat berwarna merah keunguan. Pada saat
Pengontakan yang terjadi mekanisme pelarutan dan difusi. Pelarutan merupakan peristiwa penguraian suatu
molekul zat menjadi komponennya, baik berupa molekul-molekul, atom-atom maupun ion-ion, karena
pengaruh pelarut cair yang melingkupinya. Partikelpartikel yang terlarutkan ini berkumpul dipermukaan
antara (interface) padatan dan terlarut. Bila peristiwa pelarutan masih terus berlangsung, maka terjadi difusi
partikel-partikel zat terlarut dari lapisan antara fase menembus lapisan permukaan pelarut dan masuk kedalam
badan pelarut dimana zat terdistribusikan merata
Semakin bertambahnya volume pelarut, konsentrasi dari pigmen antosianin juga semakin menurun.
Penurunan konsentrasi antosianin terjadi karena gugus sianidin yang terdapat dalam kulit buah naga merah
sudah terambil oleh pelarut asam sitrat sehingga dengan bertambahnya volume tidak membuat kadar
antosianin yang didapat semakin banyak. Hal ini sesuai dengan teori ekstraksi yang menyatakan bahwa
semakin besar jumlah pelarut maka konsentrasi produk semakin kecil (Treybal, R.E., 1955).
Gambar 1 menunjukkan perbandingan antara penggunaan suhu ruangan dan suhu 40OC, gambar
tersebut menunjukkan bahwa ekstraksi dengan menggunakan suhu ruangan memberikan hasil yang lebih baik
pada kadar pigmen antosianin yang didapat. Hasil terbesar pada ekstraksi menggunakan suhu ruangan
menghasilkan kadar antosianin sebesar 77,71 ppm dan hasil terbesar pada suhu 40 oC adalah 64,19 ppm.
Dengan meningkatnya suhu ekstraksi maka terlarutnya pigmen antosianin semakin baik, tetapi
oksidasi antosianin juga ikut meningkat dengan meningkatnya suhu. Waktu ekstraksi yang terlalu lama juga
mempengaruhi kadar antosianin yang didapat karena proses ekstraksi berlangsung dengan menggunakan
tambahan suhu. Pigmen antosianin akan rusak diatas suhu 600C, namun waktu kontak yang terlalu lama akan
menyebabkan kerusakan pada pigmen antosianin walaupun suhu yang digunakan belum mencapai suhu 60 oC.
Pada penelitian Hutapea, (2014) dkk terjadi penurunan kadar antosianin pada waktu ekstraksi 8 jam dengan
suhu 50oC. Hal inilah yang menyebabkan kadar antosianin yang didapat dari proses
ekstraksi menggunakan suhu 40oC lebih kecil. Sehingga hanya dengan menggunakan suhu ruangan tanpa

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 107
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.105-109) 978-602-60766-4-9

memberikan pemanasan tambahan memberikan hasil yang baik, hal ini dapat menghemat energi pada proses
ektraksi.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan 100gram kulit buah naga merah
dapat disimpulkan:
1. Semakin banyak volume pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi maka kadar antosianin akan
menurun, dengan konsentrasi terbesar pada volume 400 mL yaitu 77,71 ppm pada suhu ruangan dan 64,19
ppm pada suhu 40oC.
2. Penggunaan suhu ruangan pada proses ekstraksi menghasilkan kadar antosianin lebih besar dibandingkan
dengan penggunaan suhu 40oC.

5. DAFTAR PUSTAKA
Bustan, M.D, Febriyani, R, Pakpahan, H. (2008). Pengaruh Waktu Ekstraksi dan Ukuran Partikel terhadap
Berat Oleoresin Jahe yang diperoleh dalam Berbagai jumlah Pelarut Organik (Methanol).
Sumatera Selatan: Universitas Sriwijaya
Citramukti, I. (2008). Ekstraksi dan Uji Kualitas Pigmen Antosianin pada Kulit Buah Naga Merah
(Hylocereus costaricensis). Malang: Universitas muhammadiyah Malang.
Deman, J.M. (1997). Kimia Makanan (Padmawinata k, Penerjemah). Bandung: ITB Press.
Djarwis, D, Santoni, A. dan Syahri, S. 2013. Isolasi Antosianin dari Buah Pucuk Merah (Syzygium
Campanulatum Korth) Serta Pengujian Antioksidan dan Aplikasi sebagai Pewarna Alami.
Padang : Universitas Andalas.
Dziezak, J.D. 1988. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Food Technology:
136-151.
Emayanti, D. (2012). Super Lengkap Aneka Buah Kaya Vitamin Berkhasiat Obat. Yogyakarta: Pinang
Merah.
Emilan, T, Kurnia, A, Utami, B, Diyani, L.N, Maulana, A. (2011). Konsep Herbal Indonesia: Pemastian Mutu
Produk Herbal. Jakarta: Universitas Indonesia
Fennyanto, E. (2013). Uji Kesukaan Hasil Jadi Macaron Menggunakan Pewarna Buatan dan Pewarna Alami
Kulit Buah Naga Merah. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.
Gόmez-Plaza E, Miñano A, dan Lόpez-Roca JM. 2006. Comparison of chromatic properties,
stability and antioxidant capacity of anthocyanin-based aqueous extracts from
grape pomace obtained from different vinification methods. Food Chemistry 97:8794.
Hendayana, S. (1994). Kimia Analitik Instrumen. Semarang : IKIP Semarang Press.
Hidayah, T. (2013). Uji Stabilitas Pigmen dan Antioksidan Hasil Ekstraksi Zat Warna Alami dari Kulit Buah
Naga (Hylocereus undatus). Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Isnaini, L. (2010). Ekstraksi Pewarna Merah Cair Alami Berantiokidan dari Kelopak Bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L) dan Aplikasinya pada Produk Pangan . Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian : Malang.
Khopkar, S.M. (1983). Konsep Dasar kimia Analitik (Terjemahan). Bombay : Indian Institute of Technology.
McCabe, W.L., Smith, J.C., & Harriot, P. (1986). Operasi Teknik Kimia. Jakarta : Erlangga.
Moss, B.W. (2002). The Chemistry of Food Colour. Di dalam D.B MacDougall, Editor, 2002.Colour in Food :
Imporving Quality. Washington : CRC Press.
Nurfarida, E. (21 Oktober, 2014). Pelaksana Sub Bagian Perencana Program Dinas Pertanian Kota Samarinda.
Wawancara pribadi.
Setyaningrum, E.N. (2010). Efektivitas penggunaan Jenis Asam Dalam Proses Ekstraksi Pigmen Antosianin
Kulit Manggis (Garcinia mangostana L). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Simanjuntak, L, Sinaga, C, Fatimah (2014). Ekstraksi Pigmen Anthosianin dari Kulit Buah Naga Merah
(Hylocereus Polyrzhizus). Medan : Universitas Sumatera Utara.
Treybal, R. E. (1981). Mass-Transfer Operations (3rd ed). Singapore : McGraw-Hill.
Underwood, A. L. dan R.A. Day Jr. (1989). Analisis Kimia Kuantitatif (6th ed). (Diterjemahkan oleh R.
Soendoro). Jakarta : Erlangga.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 108
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.105-109) 978-602-60766-4-9

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Kepada Direktur Politeknik Negeri Samarinda atas biaya Penelitian melalui dana DIPA Politeknik
Negeri Samarinda dan Ketua UP2M Politeknik Negeri Samarinda

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 109
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.110-115) 978-602-60766-4-9

PEMANFAATAN CANGKANG BUAH KARET SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN


ARANG AKTIF

Firman1), Taufik2), Kusyanto1), Chairun Nisa3)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Polteknik Negeri Samarinda
2)
Dosen Jurusan Teknik Mesin Polteknik Negeri Samarinda
3)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Polteknik Negeri Samarinda

ABSTRACT

Fruit rubber shell (Hevea Brasilliensis) is one of the wastes in agricultural products which has the potentials to be
processed as activated charcoal using charcoalization and activation processes because it contains lignin of 33.54%.
Activated charcoal is used as an adsorbent, gas purification and a catalyst. This study aims to determine the effect of the
temperature of charcoalization on the quality of activated charcoal based on SNI 06-3730-1995 standard. With the
variations of charcoalization temperature of 300°C, 400°C, 500°C, 600°C, and 700°C for 1 hour with material mass of
360 gram for each temperature variation, chemical activation using sulfuric acid of 7% for 1 hour and activation of
physics with the temperature of 600°C for 1 hour. The best results showed at a temperature of 500°C with rendement of
21.39%, water content of 12.78%, ash content of 12.78%,, volatile matter content of 17.18%, the absorption of iodine
1096.59 mg/g. Moreover, an analysis using SEM pores before activation was 2.92 µm and after activation was 15.41 µm.
Activated charcoal before and after activation experienced enlargement of pores of 12.49 µm. As a result, the absorption
will be greater when compared with the charcoal of fruit rubber shells without activation.

Keywords: activated charcoal, activation, charcoalization, fruit rubber shells

1. PENDAHULUAN
Di Kalimantan Timur perkebunan karet merupakan produksi terbesar kedua dengan luas lahan tanaman
karet 113.485 Ha (BPS KalTim, 2015). Tiap 1 Ha lahan tanaman karet biasanya ditanami ±500 pohon dengan
penanaman menghasilkan rata-rata 800 biji karet per pohon per tahun (Siregar dan Suhendry., 2013) . Dengan
presentasi buah karet masak terdiri dari 70% kulit buah dan 30% biji karet dengan berat rata-rata 3 gram/biji
(Wizna et. al. 2000). Sehingga produksi limbah cangkang buah karet yang dihasilkan per tahun adalah
105.919 ton/tahun.
Potensi tingginya limbah cangkang buah karet yang demikian besarnya sampai saat ini belum
termanfaatkan secara optimal, bahkan menjadi suatu limbah yang tidak memiliki nilai jual. Padahal bahan
tersebut memiliki potensi untuk diolah menjadi produk yang lebih bermanfaat dan bernilai jual,misalnya
karbon aktif dengan menggunakan proses karbonisasi dan aktivasi.
Komposisi kimia yang terkandung dalam cangkang karet yaitu selulosa 48,64 %, lignin 33,54 %,
pentosan 16,81 %, kadar Abu 1,25 %, kadar Silika 0,52 % (Pari., 2003 dalam Vinsiah dkk., 2015). Secara
fisik cangkang buah karet memiliki ciri sebagai tumbuhan yang berlignin. Selain pemanfaatannya yang masih
kurang optimal, jika dibandingkan dengan bagian buah lainnya, bagian cangkang termasuk bagian yang
mengandung lignin yang cukup banyak, sehingga bagian ini cukup potensial untuk diolah menjadi produk
karbon aktif yang sangat bermanfaat dan bernilai jual yang tinggi. Hal ini akan membuat cangkang buah karet
menjadi lebih termanfaatkan.
Kegunaan atau manfaat karbon aktif yaitu sebagai adsorben, decolorizing, pemurnian air, katalis dan
dalam bidang pengobatan ( Shreve Norris R. 1984). Pembuatan karbon aktif menggunakan bahan baku limbah
cangkang buah karet dengan memvariasikan temperatur karbonisasi diperoleh kualitas karbon aktif terbaik
dicapai pada suhu furnace 600ᵒC dimana kadar air 1,584694%, kadar abu 4,597352%, kadar zat volatile
20,31735%, penyerapan iodin sebesar 500,6268 mg/g dan penyerapan metilen blue sebesar 14,130096 mg/g
(Vinsiah dkk., 2015). Selain itu juga telah dilakukan pembuatan karbon aktif oleh Bangun dkk. (2014)
menggunakan bahan baku yang sama dengan memvariasikan konsentrasi aktivasi kimia, temperatur dan
waktu aktivasi fisika diperoleh kualitas karbon aktif terbaik pada suhu aktivitasi fisika 600ᵒC selama 60 menit
menggunakan larutan H2SO4 7% dimana kadar air 14,3105%, kadar abu 0,4094%, dan bilangan Iodin
1163,1654 mg/gr. Karbon aktif cangkang buah karet hasil penelitian mampu menyerap Fe (II) dalam larutan
dengan effisiensi 99% pada masa optimum 1,5 gr dan waktu kontak optimum 90 menit.

1
Korespondensi penulis: Firman, Telp 081235609999, firmansmd@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 110
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.110-115) 978-602-60766-4-9

Pada penelitian Vinsiah dkk., (2015) kualitas karbon aktif belum memenuhi salah satu kriteria standar
SNI 06-3730-1995 pada penyerapan iodin minimal sebesar 750 mg/g pada penelitian ini didapatkan hanya
sebesar 500,6268 mg/g.
Untuk bisa memenuhi SNI 06-3730-1995 maka dilakukan pengembangan dengan variasi temperatur
pada penelitian Vinsiah dkk., (2015) dan mengganti larutan aktivator kimia dengan menggunakan konsentrasi
hasil terbaik dari penelitian Bangun dkk., (2016) serta menambahkan proses aktivasi fisika hal ini dilakukan
untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Asam sulfat dipilih sebagai aktivator karena memiliki sifat
dehydrating agent dan memiliki lebih banyak situs aktif dibandingkan dengan asam pada umumnya. Selain itu
asam sulfat juga dapat memperluas pori-pori pada logam dengan cara menghancurkan kotoran berupa oksida-
oksida logam (magnesium, besi, alumunium dan kalsium) yang menutupi pori-pori arang tersebut (Asrijal
dkk., 2016) dan penambahan aktivasi fisika dapat memperluas diameter pori dengan membuang tar pengotor
yang tidak hilang pada proses karbonisasi dan aktivasi kimia serta membuat beberapa pori baru.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh temperatur pada proses untuk memenuhi standar
SNI 06-3730-1995 dan untuk memanfaatkan limbah cangkang buah karet yang diolah menjadi produk yang
lebih bermanfaat dan bernilai jual seperti karbon aktif.
2. METODOLOGI
Pada penelitian ini alat yang digunakan antara lain: ayakan 100 mesh, neraca analitik,furnace, oven,
buret 50 ml, Erlenmeyer, corong,kertas saring whatman no. 42, kurs porselen, gelas kimia 250 ml, labu ukur,
pipet tetes,shaker , Bulp, Kertas lakmus, Spatula, Batang pengaduk, Labu ukur 250 ml, Gelas ukur 10 ml,
Gegep, Desikator, Botol semprot, Kaca arloji.
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain: Cangkang buah karet, Larutan standar H2SO4
7%, Aquadest, Larutan iodin 0,1 N, Larutan tiosulfat 0,1 N, Larutan amilum 1%, Indikator universal,
Alumunium Foil, K2Cr2O7.
Persiapan Sampel dan Pembuatan Arang (Karbon)
Cangkang buah karet dikeringkan lalu dikarbonisasi dalam furnace dengan variasi suhu 300ᵒC, 400ᵒC,
500ᵒC, 600ᵒC dan 700ᵒC selama ±1 jam. Karbon yang dihasilkan dihaluskan lalu diayak dengan ayakan 100
mesh.
Pembuatan Karbon Aktif
Karbon direndam dalam larutan aktivator H2SO4 7% selama 24 jam dengan ratio perbandingan 1:4. Setelah
itu, karbon dicuci dan disaring, lalu dikeringkan pada suhu 100ᵒC untuk mengurangi jumlah pelarutnya.
Karbon aktif yang didapat selanjutnya dianalisa.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh variasi temperatur karbonisasi dalam pembuatan karbon
aktif untuk memenuhi standar SNI No.06-3730-1995. Dengan melakukan pengolahan data setelah diperoleh
data pengamatan saat penelitian maka diperoleh Tabel 3.1 sebagai data hasil karbonisasi karbon aktif.
Pada proses karbonisasi cangkang buah karet, temperatur karbonisasi yang digunakan adalah 300°C,
400°C, 500°C, 600°C dan 700°C selama 1 jam dengan massa bahan yang digunakan 360 gram untuk setiap
variasi temperatur, kemudian dilakukan aktivasi secara kimia menggunakan larutan H 2SO4 7% selama 24 jam
dan aktivasi secara fisika dengan temperatur 600°C selama 1 jam setelah itu di analisa dengan perlakuan
duplo kadar air, kadar abu, zat mudah menguap dan daya serap iodinnya. Adapun data rendemen hasil
karbonisasi yang dihasilkan, kadar air, kadar abu, zat mudah menguap dan daya serap iodinnya ditunjukkan
pada Tabel 3.1.
Rendemen

Gambar 3.1 Grafik pengaruh temperatur terhadap rendemen karbon dan daya serap iodin yang dihasilkan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 111
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.110-115) 978-602-60766-4-9

Berdasarkan Gambar 3.1 rendemen karbon yang dihasilkan berkisar antara 15,83 % - 50 %. Pada
penelitian Vinsiah dkk., (2015) dihasilkan rendemen karbon berkisar antara 26,40 % - 58,4067 % perbedaan
ini dikarenakan semakin tingginya suhu yang digunakan maka ikatan oksigen dan karbon menjadi lemah,
sehingga dengan mudah gas hidrogen mereduksi oksigen lepas dari karbon oleh karena berkurangnya oksigen
dalam arang maka terjadi penyusutan massa sampel karbon (Widitama dkk., 2013). Temperatur sangat
berpengaruh terhadap produk karbon yang dihasilkan, dimana semakin tinggi temperatur akan mempercepat
proses pembakaran dan menurunkan jumlah produk rendemen karbon yang dihasilkan dengan penyerapan
iodin yang terus meningkat. Pada gambar 4.1 terlihat bahwa produk rendemen karbon terendah dihasilkan
pada temperatur 700°C yaitu sebesar 15,83% sedangkan produk rendemen karbon tertinggi dihasilkan pada
temperatur 300°C yaitu sebesar 50%, untuk memenuhi kelayakan keekonomian rendemen karbon aktif yang
dihasilkan minimal 30 - 40% (Anonim, 2015). Pada penelitian ini hasil yang memenuhi kelayakan
keekonomian rendemen karbon aktif adalah variasi pada temperatur 300°C, sedangkan pada variasi
temperatur 400°C - 700°C rendemen yang didapatkan semakin menurun. Produk rendemen karbon terus
menurun bersamaan dengan meningkatnya temperatur yang digunakan. Hal ini membuktikan bahwa semakin
tinggi temperatur maka semakin banyak bahan biomaterial seperti hemiselulosa, selulosa dan lignin yang
terdegradasi menjadi karbon dengan menguapkan material non karbonnya yang menyebabkan jumlah padatan
berkurang dan untuk daya serap iodin yang dihasilkan semakin tinggi berkisar antara 811,67 – 1.205,55 mg/g.
Sesuai SNI 06 – 3730 – 1995 syarat mutu karbon aktif serbuk untuk daya serap iodin adalah minimal 750
mg/g, semua sampel karbon telah memenuhi standar daya serap iodin. Daya serap iodin terendah dimiliki oleh
sampel karbon yang dikarbonisasi pada temperatur 300°C yakni sebesar 811,67 mg/g. Nilai tertinggi daya
serap iodin oleh karbon aktif ini terjadi pada temperatur 700°C yakni sebesar 1.205,55 mg/g. Pada penelitian
Bangun dkk., (2016) daya serap iodin pada temperatur karbonisasi 500°C yakni sebesar 1.119,607 mg/g
sedangkan pada penelitian ini daya serap iodin yang didapatkan lebih rendah yakni sebesar 1.096,59 mg/g
hal ini dikarenakan pada proses aktivasi kimia dan fisika masih ada zat pengotor yang menutupi pori-pori
arang aktif sehingga daya serap yang dihasilkan lebih rendah. Dengan daya serap iodin yang dihasilkan
berkisar antara 811,67 – 1.205,55 mg/g maka karbon aktif tersebut dapat digunakan dengan melihat besarnya
angka serapan iodin. Untuk kisaran daya serapan iodin 800 – 1000 mg/g digunakan untuk penyaringan
industri sirup gula, industri air mineral dan penampungan air hujan, serapan iodin 1100 mg/g digunakan
sebagai absorben fase gas, penghilang warna dan bau pada air di area pembangkit listrik, bekerja sebagai
pembawa katalis, industri obat dan serapan iodin sebesar 1200 mg/g digunakan pada industri petrokimia,
industri listrik, industri makanan dan industri emas (Anonim, 2017).
Kadar Air
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak air yang dapat teruapkan agar air
yang terikat pada karbon aktif cangkang buah karet tidak menutupi pori-porinya.

Gambar 3.2 Grafik pengaruh temperatur terhadap kadar air dan daya serap iodin (SNI 06 – 3730 –
1995)

Berdasarkan Gambar 3.2 kadar air yang dihasilkan berkisar antara 9,71 % -17,56 %. Sesuai SNI 06 –
3730 – 1995 syarat mutu karbon aktif serbuk untuk kadar air adalah maksimal 15 %, sampel karbon yang
telah memenuhi standar kadar air adalah pada temperatur 400-700°C. Kadar air tertinggi dimiliki oleh sampel
karbon yang dikarbonisasi pada temperatur 300°C yakni sebesar 17,56 %. Sedangkan kadar air terendah
dimiliki oleh sampel karbon yang dikarbonisasi pada temperatur 700°C yakni sebesar 9,71 %. Pada penelitian
Bangun dkk., (2016) kadar air pada temperatur karbonisasi 500°C yakni sebesar 18,322 % sedangkan pada

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 112
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.110-115) 978-602-60766-4-9

penelitian ini kadar air yang didapatkan lebih rendah yakni sebesar 12,78 % hal ini dikarenakan pada saat
pada proses preparasi cangkang buah karet sudah benar-benar kering sehingga pada proses karbonisasi air
terikat pada cangkang buah karet banyak menghilang. Kadar air ini mengalami penurunan seiring dengan
naiknya temperatur karbonisasi yang digunakan. Secara kimia H2O mulai mengalami perubahan fase menjadi
gas pada saat telah mencapai titik didihnya, yakni pada temperatur 100°C. Pada titik itu, H 2O bebas yang
terikat pada karbon terlepas dan membentuk fase gas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Sjostrom dalam
Nailul Fauziah (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur maka semakin meningkat pula
proses dehidrasi dalam karbon sehingga air yang terkandung semakin banyak yang menguap dan kadarnya
akan semakin rendah. Kadar air yang semakin tinggi akan menyebabkan daya serap karbon semakin
berkurang dengan daya serap iodin yang dihasilkan berkisar antara 811,67 – 1.205,55 mg/g.

Kadar Abu
Penentuan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan oksida logam dalam karbon aktif.

Gambar 3.3 Grafik pengaruh temperatur terhadap kadar abu (SNI 06 – 3730 – 1995)

Berdasarkan data tabel 3.3, Sesuai SNI 06 – 3730 – 1995 syarat mutu karbon aktif serbuk untuk kadar
abu adalah maksimal 10%, sampel karbon yang telah memenuhi standar kadar abu adalah pada temperatur
karbonisasi 300 - 600°C. Temperatur 300°C merupakan karbon aktif dengan kadar abu terendah yakni
sebesar 1,83 %. Sedangkan kadar abu tertinggi dimiliki oleh karbon aktif yang dikarbonisasi pada temperatur
700°C yakni sebesar 11,07 %. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar abu bertambah seiring dengan naiknya
temperatur yang digunakan dalam proses karbonisasi. Pada penelitian Bangun dkk., (2016) kadar abu pada
temperatur karbonisasi 500°C yakni sebesar 0,649 % sedangkan pada penelitian ini kadar abu yang
didapatkan lebih tinggi yakni sebesar 5,57 % hal ini dikarenakan karbon aktif yang dihasilkan masih
memiliki sisa-sisa bahan organik yang belum sempat menguap yang kadarnya lebih banyak dibandingkan
kadar abunya. Semakin tinggi temperatur maka kadar abu semakin meningkat. Menurut Sudrajat dalam Nailul
Fauziah (2011), peningkatan kadar abu dapat terjadi akibat terbentuknya garam-garam mineral pada saat
proses karbonisasi yang bila dilanjutkan akan membentuk partikel-partikel halus dari garam mineral tersebut.
Ini dapat disebabkan karena adanya kandungan bahan mineral yang terdapat di dalam bahan awal biomassa
pembuat karbon. Bahan mineral inilah yang kemudian akan membentuk menjadi senyawa abu apabila
dilakukan proses oksidasi (Keenan, Kleinefelter dan Wood, 1984:337). Semakin tingginya kadar abu dan
temperatur karbonisasi yang digunakan maka daya serap iodin yang dihasilkan akan semakin besar pula
dengan daya serap iodin yang dihasilkan berkisar antara 811,67 – 1.205,55 mg/g hal ini dikarenakan kadar abu
pada setiap variasi sebagian besar masih masuk dalam standar SNI 06 – 3730 – 1995 syarat mutu karbon aktif
serbuk untuk kadar abu adalah maksimal 10% kecuali untuk temperatur karbonisasi 700°C karena jika kadar
abu yang dihasilkan melebihi syarat mutu karbon aktif akan mengurangi efektifitas karbon aktif dalam
menyerap adsorbat (Pari, 2002)

Kadar zat menguap


Penetapan kadar zat mudah menguap bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa yang mudah
menguap pada karbon aktif.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 113
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.110-115) 978-602-60766-4-9

Gambar 3.4 Grafik pengaruh temperatur terhadap zat mudah menguap (SNI 06 – 3730 – 1995)
Berdasarkan gambar 3.4, temperatur karbonisasi yang tinggi akan menghasilkan karbon dengan kadar
zat menguap yang rendah. Kadar zat menguap tertinggi dimiliki oleh sampel yang dikarbonisasi pada
temperatur 300°C yakni sebesar 33,01 %. Sedangkan kadar volatile terendah dimiliki oleh sampel yang
dikarbonisasi pada temperatur 700°C sebesar 9,91 %. Penurunan kadar zat menguap ini terjadi seiring dengan
naiknya temperatur karbonisasi karbon yang digunakan. Menurut Hendra dan Darmawan dalam Nailul
Fauziah (2011), besarnya kadar zat menguap ditentukan oleh waktu dan temperatur pengarangan. Ketika lama
proses karbonisasi dan temperatur ditingkatkan maka zat menguap yang terbuang akan semakin banyak,
sehingga kadar zat menguap akan semakin rendah. Adanya zat menguap yang masih menempel pada karbon
akan mempengaruhi daya serap karbon. Semakin tinggi temperatur maka zat menguap yang menutupi karbon
semakin banyak yang menguap, sehingga permukaan pori karbon yang tadinya tertutup akan terbuka dan
meningkatkan kemampuan menyerap karbon hal ini dapat dilihat dari nilai daya serap iodin yang dihasilkan
berkisar antara 811,67 – 1.205,55 mg/g. Berdasarkan dari data yang didapat, hanya data karbonisasi pada
temperatur 500-700°C saja yang memenuhi standar kadar volatile atau zat menguap yang sesuai standar
ketentuan SNI, sedangkan untuk data karbonisasi pada temperatur 300°C dan 400°C tidak.

Analisa Karakterisasi Morfologi Menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM)


Analisa morfologi dilakukan pada bahan baku cangkang buah karet, karbon cangkang buah karet hasil
karbonisasi tanpa aktivasi dan karbon aktif dari cangkang buah karet pada temperatur 500°C. Hasil yang
didapatkan dari analisa SEM ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

(a) (b)
Gambar 4.6 Hasil analisa SEM (a) karbon tanpa aktivasi (b) karbon yang telah diaktivasi
Gambar 4.6 dapat dilihat perbedaan antara cangkang buah karet, karbon tanpa aktivasi dan karbon yang
telah diaktivasi. Dilihat pada gambar (a) cangkang buah karet terlihat terbentuknya rongga-rongga dan pori-
pori yang ada masih sangat sedikit dan ukuran pori yang dihasilkan masih kecil yaitu 2,92 µm. Hal ini
disebabkan adanya zat pengotor yang menutupi pori-pori cangkang buah karet tersebut. Setelah cangkang
buah karet diberi perlakuan karbonisasi dan aktivasi dapat dilihat pada gambar (b), rongga-rongga telah
terbentuk dan pori-porinya semakin bertambah dan membesar menjadi sebesar 15,41 µm. Namun, terdapat
perbedaan antara karbon tanpa diaktivasi dan karbon yang telah diaktivasi. Pada karbon yang telah diaktivasi
pori-pori yang terbentuk lebih banyak dan telah membentuk rongga pori-pori dengan kedalaman yang lebih
besar jika dibandingkan dengan karbon tanpa aktivasi (Hartini dkk, 2014). Hal ini dapat disebabkan karena
kandungan air yang terikat dan senyawa zat pengotor seperti tar telah hilang akibat telah diaktivasi secara
kimia yang kemudian diaktivasi secara fisika. Hal ini mengakibatkan terbukanya pori-pori sehingga daya
serapnya semakin besar.
Hasil terbaik yang diperoleh pada penelitian ini ditunjukkan pada temperatur 500°C dengan rendemen
21,39%, kadar air 12,78%, kadar abu 5,56%, kadar zat mudah menguap 17,18%, daya serap iod 1096,59
mg/g. Selain itu, hasil analisa SEM setelah aktivasi menunjukkan bahwa kandung air yang terikat dan
senyawa zat pengotor seperti tar telah menghilang sehingga pori-porinya semakin terbuka, akibatnya daya
serapnya semakin besar jika dibandingkan dengan karbon cangkang buah karet tanpa aktivasi.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 114
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.110-115) 978-602-60766-4-9

4. KESIMPULAN
Temperatur pada proses karbonisasi sangat berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas karbon aktif.
Semakin tinggi teperatur karbonisasi maka semakin rendah rendemen, kadar air, kadar zat mudah menguap
yang dihasilkan. Namun semakin besar kadar abu dan daya serap iodin yang dihasilkan.
Hasil terbaik pada penelitian ini ditunjukkan pada temperatur 500°C dengan rendemen 21,39%, kadar air
12,78%, kadar abu 5,56%, kadar zat mudah menguap 17,18%, daya serap iod 1096,59 mg/g.
Hasil analisa SEM setelah aktivasi menunjukkan kandungan air yang terikat dan senyawa zat pengotor
seperti tar telah hilang sehingga pori-pori arang semakin terbuka dari ukuran 2,92 µm menjadi 15,41 µm,
akibatnya daya serapnya akan semakin besar jika dibandingkan dengan karbon cangkang buah karet tanpa
aktivasi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, N.D. (2008). Analisa SEM (Scanning Electrone Microscopy) dalam pemantauan proses oksidasi
magnetite menjadi hematite. Seminar Nasional-VII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri
Kampus ITENAS, Bandung.
Asrijal ST, Chadijah dan Aisyah (2016) “Variasi Konsentrasi Aktivator Asam Sulfat pada Karbon
Aktif Ampas Tebu terhadap Kapasitas Adsorpsi Logam Timbal” UIN Alauddin Makassar.
Bassett, J., Denney, R. C., Jeffery, G. H., Mendham, J. (1994). Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif
Anorganik. Pudjaatmaka, H ( Editor). Jakarta: Kedokteran EGC.
BPS, 2015. Statistic Luas Perkebunan Lahan Karet Provinsi Kalimantan Timur. Badan Pusat Statistik Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda.http://kaltim.bps.go.id/Publikasi/view/id/134
Hambali, E., S. Mujdalipah, G. Sulistiyanto, dan T. Lesmana. 2006. Diversifikasi Produk Olahan Jarak Pagar
dan kaitannya dengan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta di Indonesia. SBRC&
Eka Cipta Fondation , IPB Bogor. Hlm 38- 45.
Hassler, J.W., Actived Carbon, Chemichal Publishing Co. Inc., New York, 1951.
Joni Tallo Lembang, dkk, 1995 “Rekayasa Pembuatan Tungku Pembakaran Sekam padi untuk pembuatan
Arang Aktif dari Sekam Padi”. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Ujunga Pandang.
Keenan, C.W. dan W. Kleinfelter. 1984. Ilmu Kimia untuk Universitas Edisi ke-6. Terjemahan Aloysius
Hadyana Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta. Hal. 512-543.
Rananda Vinsiah, Andi Suharman, dan Desi.“Pembuatan Karbon Aktif dari Cangkang Kulit Buah Karet
(Hevea Brasilliensis)”. Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sriwijaya. 2015.
Siregar,T.H.S dan I.Suhendry.2013. Budidaya dan Teknologi Karet. Penebar Swadaya.Jakarta
https://books.google.co.id
Smisek, M. & Cerny S. 1970. Active Carbon Manufactute Properties and Aplication. Amsterdam: El Savier
Publishing Company. Hal 10-25
Sudradjat, R., Pari, G. (2011). Arang aktif: Teknologi dan Pengolahan dan Masa depannya. Jakarta: Badan
Penilitian dan Pengembangan Kehutanan
Sudradjat, R., Tresnawati, D., Setiawan, D. (2005). Pembuatan Arang aktif dari Tempurung Biji jarak pagar
(Jatropa curcas L.) Bogor: Pusat LitBang Teknologi Hasil Hutan.
Surest, A. H., Permana, I., Wibisono, R. G. (2010). Pembuatan Karbon Aktif dari Cangkang Biji Ketapang.
Sumatera Selatan: Universitas Sriwijaya
Teger Ardyansah Bangun, Tititn Anita Zaharah, dan Anis Shofiyani.“Pembuatan Arang Aktif dari Cangkang
Buah Karet untuk Adsorpsi Ion Besi (II) Dalam Larutan”. Program Studi Kimia FMIPA Universitas
Tanjungpura. 2014.
Utomo, T Pratondo , Udin Hasanudin & Erdi Suroso. 2012. Agroindustri Karet Indonesia. Jakarta: PT. Sarana
Tutorial Nurani Sejahtera
Wizna, et al.2000. Pemanfaatan Produk fermantasi biji karet ( Hevea brasiliensis) dengan Rhizopus
Oligosporus dalam ransum ayam boiler. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 18-19 September

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis Mengucapkan terima kasih kepada Politeknik Negeri Samarinda atas dana penelitian Dosen melalui
DIPA Nomor : SP DIPA 024.04.02.401010/2018.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 115
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.116-120) 978-602-60766-4-9

EFEKTIVITAS PEMURNIAN MINYAK GORENG BEKAS DENGAN ADSORBEN ARANG


AKTIF DARI KULIT SINGKONG

Irmawati Syahrir 1), Muh. Syahrir 1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda

ABSTRACT

With the development of technology and the abundance of natural resources that are not fully utilized, it is
necessary to develop natural resources that are less useful to have high economic value. Related to this, one of the natural
resources that can be utilized is cassava peel. This study aims to determine the effectiveness of cassava peel activated
charcoal as an adsorbent in refining used cooking oil. This research method includes making activated charcoal from
cassava peel with carbonation at a temperature of 400 0C and 15 minutes, chemical activation with phosphoric acid for
24 hours, physical activation for 3 hours, after that analysis of the quality of activated charcoal of cassava peel includes
moisture content, ash content, volatile metter and absorbency to iodine, purification of used cooking oil, analysis of the
quality of cooking oil purified by analyzing acid numbers and peroxide numbers. The results showed that the best
peroxide number analysis was at 6 grams of activated charcoal with an interaction temperature of 100 ie 7.41 meq O2 /
kg which had met the SNI 3741: 2013 standard. While the optimum condition of acid number analysis was obtained in
the conditions of cooking oil adsorption on charcoal mass 4 grams and a temperature of 120 which is 0.41 mg NaOH /
gr.

Keywords: adsorbent, activated charcoal, cassava peels.

1. PENDAHULUAN
Singkong merupakan tanaman umbi-umbian yang banyak diolah oleh masyarakat dan industry
makanan menjadi berbagai produk makanan ringan, namun pemanfaatan singkong tersebut menghasilkan
limbah kulit singkong sebesar 15-20% dari berat total singkong (Rahmawati, 2010). Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Samarinda tahun 2015 diketahui bahwa produksi singkong di Samarinda adalah
sebanyak 151 ton yang artinya potensi limbah kulit singkong mencapai 26,425 ton. Dengan melimpahnya
produksi singkong di wilayah Kalimantan, maka sangat berpotensi untuk dikembangkan pemanfaatan kulitnya
sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Selama ini kulit singkong hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak, bioenergi dan pembuatan
kompos selebihnya langsung dibuang ke tempat pembuangan akhir. Walaupun dapat diolah menjadi kompos,
ternyata limbah kulit singkong tidak baik bagi lingkungan karena mengandung sianida (toksik) yang tinggi
sehingga dapat merusak tanah dan mecemari lingkungan karena menimbulkan bau yang tidak sedap jika
ditumpuk.
Kulit singkong mengandung karbon (C) sebesar 59,31%, hydrogen (H) sebesar 9,78%, oksigen (O)
sebesar 28,74%, nitrogen (N) sebesar 2,06%, sulfur (S) sebesar 0,11% dan air (H2O) sebesar 11,4% (Ikawati
dan Melati, 2010). Berdasarkan kandungan karbon yang cukup tinggi tersebut maka kulit singkong berpotensi
untuk dijadikan arang aktif dengan proses aktivasi dan karbonisasi. Arang aktif ini dapat digunakan sebagai
adsorben.
Arang aktif merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% arang, dihasilkan dari bahan-
bahan yang mengandung arang dengan pemanasan pada suhu tinggi. Arang aktif dapat digunakan sebagai
adsorben untuk memucatkan minyak, dapat juga menyerap suspensi koloid yang menghasilkan bau yang tidak
dikehendaki dan mengurangi jumlah peroksida sebagai hasil degradasi minyak (wahyusi dkk., 2012)
Penggunaan minyak goreng secara kontinyu dan berulang-ulang pada suhu tinggi (160-180 oC)
disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses penggorengan akan mengakibatkan terjadinya reaksi
degradasi yang komplek dalam minyak dan menghasilkan berbagai senyawa hasil reaksi. Minyak goreng juga
mengalami perubahan warna dari kuning menjadi warna gelap. Reaksi degradasi ini menurunkan kualitas
minyak dan akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus dibuang. Walaupun menimbulkan dampak
yang negatif, penggunaan minyak goreng yang telah digunakan lebih dari sekali untuk menggoreng adalah hal
yang biasa di masyarakat.

1
Korespondensi penulis: Irmawati Syahrir, Telp 081347057354, syahririrmawati@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 116
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.116-120) 978-602-60766-4-9

Upaya untuk menghasilkan bahan pangan yang berkualitas serta pertimbangan dari segi ekonomi,
memacu minat penelitian untuk pemurnian minyak goreng bekas agar minyak dapat dipakai kembali tanpa
mengurangi kualitas bahan yang digoreng. Pemurnian minyak goreng bekas merupakan pemisahan produk
reaksi degradasi dari minyak. Beberapa cara dapat dilakukan untuk pemurnian minyak goreng bekas, salah
satunya adalah pemurnian dengan menggunakan adsorben. Pemurnian minyak goreng bekas dengan adsorben
merupakan proses yang sederhana dan efisien (Maskan, 2003).
Penelitian tentang pembuatan arang aktif dan pemurnian minyak goreng bekas dengan proses adsorpsi
menggunakan arang aktif telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pada penelitian pembuatan arang aktif
yang dilakukan oleh Permatasari, dkk (2014) bahan baku yang digunakan yaitu kulit singkong dengan variasi
aktivator asam fosfat (H3PO4). Kondisi terbaik yang didapatkan pada perendaman H3PO4 5% dengan kadar air
19,188%, kadar abu 7,171%, volatile matter 21,706% dan daya serap iodium 1177,709 mg/g.
Penelitian tentang pemurnian minyak goreng bekas masih perlu dikembangkan dengan mengamati
beberapa variable yang berpengaruh terhadap proses adsorpsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas arang aktif kulit singkong sebagai adsorben pada pemurnian minyak goreng bekas, sehingga dalam
penelitian ini akan diamati beberapa variable yang berpengaruh terhadap proses adsorpsi yaitu variasi massa
arang aktif dengan minyak goreng bekas dan temperature adsorpsi.

2. METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah minyak goreng bekas, kulit singkong, H3PO4 5%, Etanol 95%, asam
asetat 95%, kloroform, larutan KI 20%, natrium thiosulfat, indikator PP, NaOH 0.1 N, HCl 4 N, kalium
dikromat dan aquadest.
Alat yang digunakan adalah seperangkat alat gelas, oven, hot plate, neraca digital, ayakan 100 mesh,
thermometer, magnetic stirrer, furnace, desikator dan cawan crucible.
Proses pembuatan arang aktif dari kulit singkong meliputi tahap karbonisasi dalam furnace selama 15
menit dengan suhu pembakaran 400 oC. Arang yang dihasilkan dihaluskan, diayak dengan ukuran 100 mesh
dan diaktivasi. Uji kualitas arang aktif meliputi penetapan kadar abu, kadar air, volatile matter dan daya Jerap
terhadap Iodin.
Proses pemurnian dilakukan tanpa suhu interaksi dengan variasi massa arang 2, 4 dan 6 gram. Proses
pemurnian antara minyak dan arang aktif dengan variasi massa arang yaitu 2, 4, dan 6 gram dan suhu interaksi
yang divariasikan sebesar 100 ℃ , 110 ℃ dan 120 ℃ . Selanjutnya menganalisa kualitas minyak hasil
Reprocessing dengan menganalisa bilangan peroksida dan bilangan asam.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini diawali dengan proses pembuatan arang aktif dari kulit singkong dengan larutan
pengaktif asam fosfat H3PO4 5 %. Kulit singkong dipilih menjadi bahan arang aktif karena kulit singkong
memiliki karakteristik yang baik untuk dijadikan sebagai arang aktif dan memiliki kemampuan adsorpsi yang
baik. Karakterisasi arang aktif dari kulit singkong dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 .Karakteristik kulit singkong dan arang aktif
Parameter Kulit Singkong Arang Aktif SNI 06-3730-1995
Kadar Abu (%) 11.55 9.51 Maks. 10
Kadar Air (%) 4.79 1.97 Maks. 15
Volatile Matter (%) 36.11 3.47 Maks. 25
Daya serap terhadap iod (mg/g) 340.34 829.61 Min. 750

Dari tabel 1 dapat dilihat hasil uji mutu arang aktif dari kulit singkong telah memiliki karakteristik
yang sesuai dengan SNI No 06-3730-1995 sehingga arang aktif ini dapat digunakan untuk proses adsorpsi
pada proses pemurnian minyak goreng bekas.
Bilangan peroksida menunjukkan tingkat kerusakan minyak karena oksidasi. Tingginya bilangan
peroksida menunjukkan telah terjadi kerusakan pada minyak tersebut dan minyak akan segera mengalami
ketengikan. Pengukuran bilangan peroksida dapat digunakan untuk mengetahui kadar ketengikan minyak.
Pada gambar 1 dapat dilihat perbandingan minyak goreng bekas sebelum proses adsorpsi dan setelah
proses adsorpsi dengan memvariasikan massa arang aktif dan temperature adsorpsi. Analisa bilangan
peroksida pada setiap variasi suhu sebelum proses adsorpsi, hasil yang didapatkan semakin besar yaitu 148.70
meq O2/kg. Hal ini dikarenakan pemberian suhu yang terlalu tinggi adalah salah satu penyebab terbentuknya

117
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.116-120) 978-602-60766-4-9

senyawa peroksida pada minyak. Tingginya bilangan peroksida menunjukkan telah terjadi kerusakan pada
minyak tersebut dan minyak akan segera mengalami ketengikan.

Gambar 1. Grafik hubungan bilangan peroksida terhadap massa arang aktif dan temperature adsorpsi

Pada penelitian dengan proses adsorpsi arang aktif kulit singkong pada minyak goreng bekas dengan
pengadukan selama 45 menit. Pengadukan ini bertujuan untuk mempercepat reaksi antara adsorben dan
adsorbat (senyawa peroksida). Adanya proses pengadukan, maka peroksida yang terkandung dalam minyak
akan sering melakukan kontak atau bertumbukan dengan arang aktif. Bila terus-menerus mengalami
tumbukan, maka peroksida tersebut akan mendekati arang aktif. Akhirnya, peroksida berpindah dari minyak
menuju arang aktif, selanjutnya peroksida tersebut akan menyebar dan mengisi atau menempel pada dinding
pori atau permukaan arang aktif (Mas’ud, 2015).
Semakin tinggi temperatur adsorpsi, bilangan peroksida dalam minyak goreng semakin menurun. Hal
ini dikarenakan pada temperatur makin tinggi, energi kinetik molekul untuk terjadinya tumbukan akan
semakin besar, sehingga kemampuan adsorben untuk mengadsorpsi senyawa peroksida juga akan meningkat.
Namun, temperatur yang terlalu tinggi juga berdampak kurang baik, karena dapat mempercepat terbentuknya
senyawa peroksida (Rahayu dan Purnavita, 2014). Gambar 2 menunjukkan bahwa bilangan peroksida dari
suhu 100 oC hingga 110 oC cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan proses pemurnian
minyak goreng bekas semakin efektif.
Hasil analisis bilangan peroksida yang diperoleh setelah proses adsorpsi mengalami penurunan dari
bilangan peroksida sebelum diadsorpsi 102.95 meq O2/kg dan setelah adsorpsi 7.41 meq O2/kg dengan massa
arang aktif 6 gram dan temperature adsorpsi 100 telah memenuhi standar SNI 3741: 2013. Hal ini
menunjukkan adsorben arang aktif kulit singkong cukup efektif digunakan sebagai adsorben untuk pemurnian
minyak goreng bekas.
Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak
atau lemak. Asam lemak ini berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik.
Asam lemak bebas merupakan dasar untuk mengetahui umur minyak, kemurnian minyak dan tingkat hidrolisa.
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa pengolahan minyak goreng bekas pada setiap variasi temperature adsorpsi
tanpa arang aktif memiliki bilangan asam yang cukup tinggi. Bilangan asam tertinggi dihasilkan pada suhu
120 yaitu 5.13 mg NaOH/gr. Bilangan asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar, asam
lemak ini berasal dari reaksi hidrolisa minyak.

118
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.116-120) 978-602-60766-4-9

Gambar 2. Grafik hubungan bilangan asam terhadap massa arang aktif dan temperature adsorpsi

Sama dengan bilangan peroksida, bilangan asam minyak setelah adsorpsi semakin kecil, dikarenakan
pada suhu yang semakin tinggi, energi kinetik molekul untuk terjadinya tumbukan akan semakin besar,
sehingga kemampuan adsorben untuk mengadsorpsi asam lemak bebas juga akan meningkat. Namun, suhu
yang terlalu tinggi juga berdampak kurang baik (bilangan asam kembali meningkat) karena minyak goreng
pada pemanasan pada suhu 120ºC dengan massa 4 gram mengalami kerusakan dan membentuk asam lemak
bebas lagi.
Dari gambar juga dapat dilihat semakin banyak massa arang yang diberikan, bilangan asam perlahan-
lahan mengalami penurunan. Wenti, dkk (2009), telah melakukan penelitian bahwa semakin banyak arang
aktif, proses adsorpsi akan berlangsung dengan baik karena luas permukaan tempat berlangsungnya proses
adsorpsi semakin besar sehingga semakin banyak asam lemak bebas dan asam lemak tidak jenuh yang
terserap.
Bilangan asam pada minyak menurun dikarenakan kemampuan adsorpsi yang terjadi karena
terserapnya senyawa asam lemak bebas pada sisi aktif dan luas permukaan yang terdapat pada arang aktif dari
kulit singkong. Mas’ud, 2015).
Kondisi optimum analisa bilangan asam diperoleh pada kondisi proses adsorpsi minyak goreng pada
massa arang 4 gram dan suhu 120 yaitu 0.49 mg NaOH/gr. Perbedaan massa arang 4 gram dan 6 gram
dengan suhu interaksi yang sama tidak memberikan hasil yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada
kondisi tersebut adsorben sudah mencapai suhu optimum, sehingga peningkatan massa arang pada proses
adsorpsi, tidak memberikan pengaruh yang berlebih terhadap penurunan bilangan asam.

Tabel 2. Mutu minyak goreng bekas sebelum dan sesudah adsorpsi


No Jenis Analisis Sebelum Setelah Standar SNI
adsorpsi adsorpsi 3741 : 2013
1 Bilangan asam mg NaOH/g 2.98 0.99 Maks. 0.6
2 Bilangan peroksida meq O2/kg 102.95 7.41 Maks. 10

4. KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan kulit singkong dapat digunakan sebagai bahan baku arang aktif,
dengan karakteristik kadar abu 9.51%, kadar air 1.97%, volatile Matter 3.47% dan daya serap terhadap iod
829.61 mg/g. Hasil yang diperoleh tersebut efektif digunakan untuk pemurnian minyak goreng bekas dengan
hasil bilangan peroksida dan bilangan asam sudah memenuhi standar SNI minyak goreng 3741 : 2013.
Efektivitas pemurnian minyak goreng bekas dengan adsorben arang aktif kulit singkong, tercapai pada massa
arang aktif 6 gram dengan temperature 100 dengan bilangan asam 0.99 mg NaOH/gr dan bilangan peroksida
7.41 meq O2/kg.

119
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.116-120) 978-602-60766-4-9

5. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. Komoditi Kulit Singkong. 06 Agustus 2016.
Ikawati dan Melati. 2008. Pembuatan Karbon Aktif dari Kulit Singkong di Kabupaten Pati. Jurusan Teknik
Kimia Universitas Diponegoro.
Mas’ud, Munawarah. (2015). Pemurnian Minyak Goreng Bekas Dengan Menggunakan Arang Aktif dari Kulit
Singkong Untuk Menurunkan Kualitas dari Minyak Goreng Bekas.Samarinda: Politeknik Negeri
Samarinda
Rahayu, R, L., Purnavita, S. (2014). Pengaruh Suhu dan Waktu Adsorpsi Terhadp Sifat Kimia-Fisika Minyak
Goreng Hasil Pemurnian Menggunakan Adsorben Ampas Pati Aren dan Bentonit. Semarang:
Akademi Kimia Industri Santo Paulus Semarang
Rahmawati. (2010). Karakterisasi Singkong. 12 Maret 2016. http://www.karakteristik-singkong-05.com.
SNI (06-1682-1995). Mutu dan Cara Uji Arang Aktif Teknik. 29 November 2017. Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional Indonesia
SNI (3741: 2013). Syarat Mutu minyak goreng. 30 November 2017.
https://www.scribd.com/doc/92078023/SNI-01-3741-2002
Wahyusi dkk. 2012. Briket Arang Kulit Kacang Tanah dengan Proses Karbonisasi. Fakultas Teknologi
Industri. Universitas Pembangunan Nasional. Veteran Jawa Timur.
Wenti, A.W., & Alinda F. R. (2009). Peningkatan Kualitas Minyak Goreng Bekas Dari Kfc Dengan
Menggunakan Adsorben Karbon Aktif. Semarang: Jurusan teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro

6. UCAPAN TERIMA KASIH


.Ucapan terima kasih disampaikan kepada Politeknik Negeri Samarinda yang telah memberikan
pendanaan penelitian melalui DIPA Nomor : SP DIPA 024.04.02.401010/2018 sehingga penelitian ini dapat
terlaksana dengan baik.

120
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.121-125) 978-602-60766-4-9

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN JAMUR PADA MEDIA


BEKATUL DEXTROSE AGAR (BDA) DAN POTATO DEXTROSE AGAR (PDA)

Mujahidah Basarang1), Nurlia Naim2), Rahmawati1)


1)
Dosen Akademi Analis Kesehatan Muhammadiyah Makassar
2)
Dosen Poltekkes Kemenkes Makassar

ABSTRACT

Fungal culture media in laboratory containing high carbohydrate source, nitrogen source are required for the growth. This
nutrient can be found in bran that contains high carbohydrates, proteins, fats, vitamins, and crude fiber. So that bran can
be used as raw material for alternative fungal growth media. The aim of this study was to compare fungal growth on bran
infusion dextrose agar (BDA) and potato dextrose agar (PDA). Mix bran infusion with dextrose, agar and water and boil
to dissolve. PDA used as the standard. Plugs of spores of Aspergillus niger placed at the centre of each petri plate were
used to assess growth and sporulation. Candida albicans is inoculated on BDA and PDA using the spread plate method.
The mycelial growth and sporulation of A. niger on all media were reasonably good. There was no significant difference
(P > 0.05) between colony diameters and sporulation. Colonies of Candida albicans on BDA and PDA were 8.5x105
CFU and 8.5x105 CFU. The bran media in the study supported growth and sporulation of the test fungi.

Keywords: Bekatul Dextrose Agar, Potato Dextrose Agar, Aspergillus niger, Candida albicans

1. Pendahuluan
Mikroorganisme yang sedang tumbuh membuat replika dirinya sendiri, dan memerlukan unsur-unsur
yang terdapat dalam komposisi kimia tubuh mikroorganisme tersebut. Nutrien harus menyediakan unsur-
unsur tersebut dalam bentuk yang dapat dimetabolisme (Brooks et al., 2012). Nutrien yang disiapkan untuk
pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium disebut media kultur yang akan mempengaruhi morfologi,
warna koloni dan jumlah koloni jamur (Uthayasooriyan et al., 2016). Secara kimiawi media pertumbuhan
dibedakan menjadi media sintetik dan media nonsintetik. Media sintetik seperti Sabouraud Dextrose Agar
(SDA) atau Potato dextrose Agar (PDA) memiliki kandungan yang diketahui secara terperinci yaitu
penambahan senyawa organik dan inorganik murni yang secara selektif menumbuhkan jamur karena
keasamannya rendah (pH 4,5-5,6) sehingga menghambat pertumbuhan bakteri (Cappucino dan Sherman,
2013).
Media nonsintetik merupakan media alternatif yang memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat di alam.
Kandungan bahan-bahan ini tidak diketahui kandungan kimianya secara rinci tapi dapat digunakan karena
tersedia melimpah di alam, mudah disiapkan dan harganya murah. Beberapa hasil penelitian yang
menggunakan media alternatif dari bahan alam seperti pati singkong untuk pertumbuhan Aspergillus niger dan
Fusarium oxysporum (Kwoseh et.al, 2012), kacang tunggak, kacang hijau, kacang soya hitam, dan kedelei
(Arulanantham, et al, 2014), ganyong, gembili dan garut (Aini dan Rahayu, 2015), sereal, dan kacang-
kacangan (Uthayasooriyan, et al., 2016).
Media alternatif yang lain adalah media yang menggunakan bahan baku bekatul. Bekatul adalah limbah
halus yang diperoleh dari proses penggilingan gabah padi. Kadar selulosa dan hemiselulosa pada bekatul lebih
tinggi dibandingkan pada beras. Bekatul mengandung sumber nutrisi bagi jamur karena terdiri atas
karbohidrat (84,36%) dan protein (8,77%) (Nursalim dan Razali, 2007). Selain itu bekatul juga mengandung
lemak, vitamin, dan serat kasar (Houston 1972 dalam Dewi et al, 2005). Basu et al (2015) menjelaskan bahwa
media pertumbuhan jamur harus mengandung sumber karbohidrat tinggi dan sumber nitrogen. Nutrien dalam
media pertumbuhan harus mengandung semua unsur yang diperlukan untuk sintesis biologis organisme-
organisme baru (Brooks et al., 2012). Bekatul mempunyai kandungan vitamin B yang merupakan faktor
penting untuk pertumbuhan jamur. Oleh karena itu bekatul telah dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan
Aspergillus sp di laboratorium (Naim, 2016). Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai media untuk pertumbuhan
jamur penghasil enzim, seperti Aspergillus niger, Rhizopus sp, dan Mucor sp (Satyawiharja 1984 dalam Dewi
et al, 2005). Pertumbuhan Aspergillus sp pada media bekatul dengan penambahan glukosa tidak berbeda
dengan pertumbuhan Aspergillus sp pada media SDA sebagai media kontrol. Pertumbuhan Aspergillus sp
pada media BDA dan SDA terlihat setelah 24 jam inokulasi. Aspergillus sp terlihat sebagai serabut-serabut

1
Korespondensi Penulis: Mujahidah Basarang, Telp. 085255011014, mujahidahbasarang@yahoo.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 121
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.121-125) 978-602-60766-4-9

halus berwarna putih. Setelah 48 jam konidia berwarna hitam mulai terlihat sehingga penampakan
maksorkopik dari atas koloni-koloni jamur berubah warna menjadi hitam (Basarang et al., 2016).
Peluang pertumbuhan khamir pada media yang kurang subuh lebih baik jika dilakukan penambahan
glukosa (karbohidrat) pada media tersebut. Hifa akan menyerap molekul sederhana seperti glukosa secara
langsung. Penambahan glukosa 5% dan 7% pada medium SDB (Sabouraud Dextrose Broth) dapat
meningkatkan pertumbuhan C. albicans secara signifikan (Leepel et al., 2012). Oleh karena itu penambahan
gula sederhana seperti dextrose pada media bekatul dapat mengoptimalkan pertumbuhan jamur. Pembuatan
media alternatif BDA menggunakan prosedur yang sama dengan pembuatan PDA dari infus kentang. Bekatul
yang telah dilarutkan dalam aquades disaring untuk mendapatkan infus bekatul. Infus bekatul inilah yang
dicampur dengan bahan lain seperti dextrosa dan agar (FDA, 2017). Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini dilakukan untuk membandingkan pertumbuhan jamur pada media infus bekatul dextrose agar
(BDA) dan media potato dextrose agar (PDA).

2. Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah cawan petri, autoklaf, incubator, hot plate, timbangan digital, labu
erlenmeyer, gelas ukur, beker gelas, tabung reaksi, batang pengaduk, sendok tanduk, nall/ose, corong, plastik
klip, plastik tahan panas, tabung eppendorf, pipet mikro, kain saring saring, aluminium foil, ose bulat, ose
lurus, swab steril, kapas, kaca preparat, pipet tetes, lampu spritus, ayakan, mikroskop dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah bekatul, aquades, isolat Candida albicans, isolat Aspergillus niger, agar,
dextrosa, kloramfenikol, NaCl, alkohol 70%, spritus, kapas, Potato Dextrosa Agar, kristal violet, lugol,
alkohol 96%, karbol fuchsin, lactophenol cotton blue, dan minyak emersi.
Prosedur Penelitian
Penyiapan media bekatul mengikuti prosedur penyiapan media Potato Dextrosa Agar yang ditentukan
oleh Food and Drug Administration (2017). Bekatul dikumpulkan dari pabrik penggilingan padi. Bekatul
kemudian diayak menggunakan ayakan mesh 100. Untuk membuat infus bekatul, bektul direbus dalam 1000
mL aquades. Bekatul disaring ke dalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan agar, dextrosa dan aquades
sampai tanda 1000 mL. Media bekatul dextrose agar (BDA) dipanaskan di atas hot plate sampai larut
sempurna. Diukur pH 5,6 ± 2. Mulut labu Erlenmeyer disumbat dengan kapas dan aluminium foil kemudian
disterilkan menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C. Setelah proses sterilisasi selesai, media
dikeluarkan dari autoklaf. BDA dibiarkan sampai suhu 45-50oC kemudian ditambahkan kloramfenikol untuk
menghambat pertumbuhan bakteri. Media BDA dituang ke dalam cawan petri setril sebanyak 15-20 mL dan
dibiarkan memadat.
Ditimbang PDA sebanyak 39 gram kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, ditambahkan
1000 mL aquades steril. Media dipanaskan menggunakan hot plate sampai larut dengan sempurna. Diukur pH
5,6 ± 2. PDA kemudian disterilisasi di dalam autoklaf selama 15 menit, pada suhu 121 oC, dengan tekanan 1-2
atm. Setelah proses sterilisasi selesai, media dikeluarkan dari autoklaf, media didinginkan sampai suhu 45-
50oC. Ditambahkan kloramfenikol untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Media PDA dituang ke dalam
cawan petri setril sebanyak 15-20 mL dan dibiarkan memadat.
Aspergillus niger diinokulasikan pada media BDA dan PDA dengan metode single dot di tengah media
agar pada cawan petri. Inkubasi pada suhu 35oC selama 2-7 hari. Setiap 24 jam dilakukan penghitungan
diameter pertumbuhan Aspergillus niger. Pertumbuhan koloni diamati kemudian dilakukan pengamatan
mikroskopik untuk mengamati morfologi keduanya. Sedangkan Candida albicans diencerkan sampai 10-6 dan
diinokulasi pada media BDA dan PDA. Inkubasi pada suhu 35oC selama 48 jam dengan metode spread plate,
setelah inkubasi dihitung total jamur dengan metode TPC (Total Plate Count).
Pertumbuhan jamur pada masing-masing cawan petri diamati bentuk dan warna koloni. Koloni yang
tumbuh kemudian diamati secara mikroskopis menggunakan preparat basah. Untuk pengamatan Aspergillus
sp., dengan hati-hati koloni diletakkan di tengah kaca objek yang telah digenangi lactophenol cotton blue.
Amati di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x40 (Lay, 1994). Identifikasi Candida sp dapat dilakukan
dengan teknik pewarnaan Gram kemudian amati di bawah mikroskop pada perbesaran 10x100 (Cappucino
dan Sherman, 2013).
Pengamatan yang dilakukan meliputi pengukuran diameter pertumbuhan Aspergillus niger. Diameter
pertumbuhan dianalisis menggunakan aplikasi SPSS untuk membandingkan pertumbuhan Aspergillus niger
pada media BDA dan PDA. Pengamatan Candida albicans dengan menghitung jumlah koloni dan analisis
data dilakukan secara deskriptif.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 122
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.121-125) 978-602-60766-4-9

3. Hasil dan Pembahasan


Pertumbuhan jamur membutuhkan nutrien dan faktor-faktor lingkungan yang sesuai. Nutrien berupa
unsur-unsur atau senyawa kimia dari lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel.
Menurut Basu, et.al. (2015), jamur akan tumbuh optimal pada media dengan sumber karbohidrat dan nitrogen
yang tinggi. Peran utama nutrien adalah sebagai sumber energi, bahan pembangun sel, dan aseptor elektron,
sumber mineral, faktor pertumbuhan, dan nitrogen (Waluyo, 2016). Selain faktor nutrien, selama pertumbuhan
pH dan suhu harus terkontrol (Brooks, et al., 2012). Candida albicans, dan Aspergillus niger mengalami
pertumbuhan yang baik pada media BDA dan PDA karena tersedianya nutrien dan faktor lingkungan yang
terjaga. Pertumbuhan Candida albicans, dan Aspergillus niger disajikan dalam tabel hasil pengamatan berikut.
Tabel 1. Rata-rata Diameter Pertumbuhan Aspergillus niger pada Media BDA dan PDA
Diameter Pertumbuhan pada Jam ke-
Media (mm)
24 48 72 96 120 144 168
85 85 85
Bekatul Dextrosa Agar 15,25 24,75 46,5 64,75
(Full) (Full) (Full)
85 85
Potato Dextrosa Agar 13 22,25 34 46,75 78
(Full) (Full)

Dari tabel 1 terlihat bahwa setiap 24 jam terdapat pertambahan diameter Aspergillus niger. Koloni
Aspergillus niger memenuhi semua permukaan media bekatul dextrosa agar pada jam ke-120, sedangkan di
median potato dextrosa agar pada jam ke-144. Berikut adalah gambar grafik pertumbuhan Aspergillus niger.

90
80
Rata-rata Diamater Koloni
Aspergillus niger (mm)

70
60
BDA
50
PDA
40
30
20
10
0
24 48 72 96 120 144 168
Waktu Pertumbuhan (Jam)

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Aspergillus niger pada Media Bekatul


Dextrose Agar (BDA) dan Potato Dextrose Agar (PDA)
Diameter pertumbuhan Aspergillus niger mengalami pertambahan yang diukur setiap 24 jam. Pada
grafik di atas Aspergillus niger menunjukkan pertambahan diameter secara eksponensial pada jam ke 24
sampai jam ke 120, pada jam ke 120 sampai jam ke 168 pertumbuhan memenuhi cawan petri sehingga tidak
dapat diukur lagi. Pada media PDA Aspergillus niger mengalami pertumbuhan eksponensial pada umur
biakan 24 jam sampai 168 jam. Setelah 168 jam diameter tidak dapat dihitung lagi karena Aspergillus niger
telah tumbuh memenuhi cawan petri.
Pertumbuhan Candida albicans dinyatakan dalam jumlah koloni pada tabel sebagai berikut.
Tabel 2. Pertumbuhan Candida albicans pada Media BDA dan PDA
Media Jumlah Koloni (CFU)
Bekatul Dextrosa Agar 8,5x105
Potato Dextrosa Agar 8,9x105

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 123
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.121-125) 978-602-60766-4-9

Pada BDA ditemukan koloni Candida albicans 8,5x105 CFU dan pada media PDA ditemukan koloni
Candida albicans 8,5x105 CFU.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa Aspergillus niger dan Candida albicans dapat tumbuh
pada media infus Bekatul Dextrose Agar dan pada media sintetik yang sering di gunakan di laboratorium yaitu
media Potato Dextrose Agar. Pertumbuhan jamur seiring dengan dengan perbanyakan jumlah sel ini
disebabkan tercukupinya nutrisi yang dibutuhkan oleh jamur untuk mensintesis komponen-komponen sel pada
proses perbanyakan sel. Media BDA menggunakan bahan baku bekatul yang memiliki kandungan kompleks.
Bekatul mengandung karbohidrat (84,36%) dan protein (8,77%), selain itu bekatul mengandung karbohidrat
tinggi, protein, lemak, vitamin, dan serat kasar (Nursalim dan Razali, 2007).
Aspergillus sp pada media BDA dan PDA menunjukkan hifa berwarna putih dan konidia yang mulai
terlihat setelah masa inkubasi 24 jam berupa hifa putih. Setelah 48 jam konidia yang berwarna coklat gelap
sampai hitam terlihat menutupi hifa yang berwarna putih (Gambar 1 dan 2). Aspergillus niger pada media
BDA mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan A. niger yang ditumbuhkan pada media PDA.
Meskipun demikian pertumbuhan A. niger pada media BDA dan PDA tidak berbeda secara signifikan
(p>0,05). Hasil pengamatan pertumbuhan pada kedua media menunjukkan pertumbuhan eksponensial pada
biakan berumur 24 jam sampai 120 jam pada media BDA dan dan 24 jam sampai 144 jam. Setelah itu
pertumbuhan tidak dapat diamati lagi karena pertumbuhan jamur telah memenuhi cawan petri. Pada fase
pertumbuhan eksponensial ini jamur bertumbuh sangat cepat. Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh
medium tempat tumbuhnya (Waluyo, 2016). Pertumbuhan ini akan terus berlanjut hingga satu atau lebih
nutrien dalam medium telah habis atau produk metabolik toksik terkumpul dan menghambat pertumbuhan
(Brooks et al., 2013).

1 2
Gambar 1. Pertumbuhan Aspergillus niger pada media
Potato Dextrose Agar (1), dan Bekatul
Dextrose Agar (2)

Pertumbuhan Candida albicans dinyatakan dalam jumlah koloni. Pada media BDA jumlah koloni
Candida albicans adalah 8,5x105 CFU dan pada media PDA jumlah koloni Candida albicans adalah 8,5x105
CFU. Koloni C. albicans tumbuh pada BDA dan PDA setelah inkubasi 24 jam tampak berwarna putih, halus,
licin, ukuran koloni dari kecil sampai ukuran besar dan berbau ragi (Gambar 2). Pada pengamatan mikroskop
ditemukan bentuk bulat sampai oval dan tunas spora (budding blastokonidia).

1 2
Gambar 2. Pertumbuhan Candida albicans pada media
Potato Dextrose Agar (1), dan Bekatul
Dextrose Agar (2)
Selain tercukupinya nutrien, pertumbuhan dan perkembangan jamur juga membutuhkan faktor-faktor
lingkungan yang sesuai, seperti pH dan suhu. Pada penelitian ini pH media sekitar 5,6 dan diinkubasi pada
suhu 35oC. Cappucino dan Sherman (2013) mengatakan bahwa media pertumbuhan jamur membutuhkan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 124
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.121-125) 978-602-60766-4-9

keasamannya rendah (pH 4,5-5,6). Pertumbuhan C. albicans lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan
dengan pH normal atau alkali (Biswas dan Chaffin, 2005). Beberapa enzim, sistem transpor elektron dan
sistem transpor nutrien yang berada di membran sel sangat sensitif (peka) terhadap konsentrasi ion hidrogen
(H+). Hal ini dapat mempengaruhi struktur tiga dimensi protein pada umumnya, termasuk enzim-enzim
pertumbuhan (Ali, 2005). Fungi mesofilik tumbuh paling baik pada suhu 30-37oC (Brooks et al., 2013). Pada
suhu optimum, reaksi kimiawi dan enzimatis dalam sel berlangsung lebih cepat sehingga pertumbuhan
meningkat lebih cepat pula. Akan tetapi di atas suhu tertentu, protein, asam nukleat dan komponen-komponen
sel lainnya mengalami kerusakan permanen. Selanjutnya bila terjadi kenaikan suhu pada kisaran tertentu,
pertumbuhan dan fungsi metabolit meningkat sampai titik tertinggi yang memungkinkan reaksi tidak berjalan
sama sekali (Ali, 2005).

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1) Pertumbuhan Aspergillus niger pada media Bekatul Dextrose lebih cepat dibandingkan pada media Potato
Dextrose Agar (p>0,05) tapi tidak berbeda secara signifikan.
2) Jumlah koloni Candida albicans pada media Bekatul Dextrose Agar dan media Potato Dextrose Agar
adalah 8,5x105 CFU dan 8,9x105 CFU.

5. Daftar Pustaka
Aini, N., dan Rahayu, T. 2015. Media Alternatif untuk Pertumbuhan Jamur Menggunakan Sumber
Karbohidrat yang Berbeda (Skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Suarakarta.
Arulanantham, R., et al. 2014. Alternative culture media for fungal growth using different formulation of
protein sources. Annals of Biological Research. 5(1):36-39.
Basarang, M., Rianto, MR., dan Magfirah. 2016. Penambahan Glukosa pada Media Bekatul Agar untuk
Pertumbuhan Aspergillus sp. Jurnal Medika: Media Ilmiah Analis Kesehatan. 1(2): 56-61.
Basu, S., et al. Evolution of bacterial and fungal growth media. Bioinformation. 2015. 11(4): 182-184.
Biswas, SK., dan Chaffin, WL. 2005. Anaerobic Growth of C. albicans Does Not Support Biofilm Formation
Under Similar Conditions Used for Aerobic Biofilm. Curr Microbiol. 51(2): 100-4.
Brooks, GF., Carroll, KC., Butel, JS., Morse, SA., Mietzner, TA. 2013. Mikrobiologi Kedokteran Jawets,
Melnick & Adelberg’s Ed. 25. Alih Bahasa: Aryandhito Widhi Nugroho, dkk. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Cappucino, J., G., Sherman, N. 2013. Manual Laboratorium Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Dewi, C., Purwoko, T., dan Pangastuti, A. 2005. Produksi Gula Reduksi oleh Rhizopus oryzae dari Substrat
Bekatul. Bioteknologi. 2(1): 21-26.
Kwoseh, C., K., Darko, M., A., Adubofour, K. 2012. Cassava starch-agar blend as alternative gelling agent
for mycological culture media. Bots. J. Agric. Appl. Sci. 2012. 8(1): 8-15.
Lay, B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Naim, N. 2016. Pemanfaatan Bekatul Sebagai Media Alternatif untuk Pertumbuhan Aspergillus sp. Media
Analis Kesehatan. 2(2): 1-6.
Uthayasooriyan, M., et al. 2016. Formulation of Alternative Culture Media for Bacterial and Fungal Growth.
Der Pharmacia Lettre. 8(1): 431-436.
Waluyo, L. 2016. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang.

6. Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM)
Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui skim
penelitian dosen pemula.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 125
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.126-131) 978-602-60766-4-9

EKSTRAKSI KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEMUMA COTTONII DENGAN


BANTUAN GELOMBANG ULTRASONIK

Barlian Hasan1), Firman1), Hasbiya Nurul K2), Annisaa R.H2)


1)
Staf dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

Carrageenan is a seaweed sap extracted from red algae usually using alkaline solvents at high temperatures. In
this study, the utilization of ultrasonic waves will be studied to accelerate the dissolution process of carrageenan in
solvents at low temperatures. Research Objectives 1. Study the effect of temperature and time on yield, and 2. study the
effect of extraction time on quality, 3 compare the quality of carrageenan extracted with standard carrageenan quality.
Carrageenan extraction with the help of ultrasonic waves was carried out at temperatures of 30 and 40 oC, pH 8.5-9,
wave frequency of 40 kHz, ratio of weight of seaweed with solvent 1:30, and time of extraction varied. The extract was
filtered with a 150 mesh filter cloth and the filtrate was mixed with iso propanol with a volume ratio of 1: 2 to precipitate
carrageenan. Then dried for 10 hours at 60 oC and weighed to determine the yield. Carrageenan extraction results are
tested for quality including water content, ash content, viscosity, and gel strength. The highest carrageenan yield was
31.25% at 40 minutes and 40 oC. The greater the temperature and extraction time, the greater the yield Carrageenan
moisture content is higher with increasing time and constant to increase in temperature, ash content tends to be constant
with increasing temperature and time, viscosity decreases with increasing time and temperature, and the strength of the
gel tends to increase with the increase of time and temperature. Carrageenan quality test results show that the strength of
the gel has met commercial standards, viscosity has met FCC and FAO standards for all treatments. Ash content only
meets FCC standards, while moisture content meets all standards.

Keywords: Euchema cotonii, extraction, carrageenan, ultrasonic waves, yield

1. PENDAHULUAN
Potensi rumput laut Indonesia yang sangat menjanjikan dan dapat menjadi komoditi yang bisa
berperan dalam pergerakan kemajuan ekonomi nasional. Terbukti, Indonesia menjadi salah satu produsen
terbesar rumput laut jenis Euchema cotonii dan menguasai 50% pangsa pasar dunia untuk memenuhi
permintaan pasar ekspor dari industri kosmetik dan farmasi. Namun demikian, produk yang diekspor 80%
masih dalam bentuk bahan mentah (raw material) yaitu berupa rumput laut kering. Walaupun Indonesia telah
memiliki upaya pemasaran dan budidaya rumput laut yang cukup berkembang namun belum diimbangi
dengan pengembangan pengolahan yang memadai. Hal ini terlihat dari hasil produksi rumput laut nasional
baru sekitar 20% yang dapat terserap dan diolah oleh industri dalam negeri (Hikmah, 1015). Salah satu hasil
ekstrak rumput laut yang penting adalah karaginan. Karaginan merupakan salah satu jenis hidrokoloid yang
diekstrak dari rumput laut golongan ganggang merah (Rhodophyceae). Spesies dari Rhodophyceae yang
menjadi sumber karaginan adalah Eucheuma cotonii penghasil kappa karaginan . Kappa karaginan dalam
produk pangan banyak dimanfaatkan sebagai pengental, pembentuk gel, bahan penstabil, pengemulsi, perekat,
pensuspensi, pembentukan tekstur, menjaga bentuk kristal es, dan lain-lain terutama pada produk susu, jeli,
jamu, permen, sirup, dan pudding. Pada produk non pangan sebagai pembentuk gel, pengental, yang
diaplikasikan pada industri-industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, pakan ternak, dan lain-lain
Karaginan secara komersil terdiri dari tiga jenis yaitu kappa, iota, dan lambda karaginan (McHugH,
2003). Perbedaan dari ketiga jenis karaginan ini terletak pada komposisi dan struktur kimianya (Imeson,
2010). Kappa karaginan mempunyai 4-3, 6-anhidrogalaktosa dengan hanya satu gugus ester sulfat, sedangkan
iota karaginan mempunyai 4-3, 6-anhidrogalaktosa dengan dua gugus ester sulfat. Lambda karaginan tidak
mempunyai 4-3, 6-anhidrogalaktosa namun mempunyai tiga gugus ester sulfat.

1
Korespondensi penulis: Barlian Hasan, Telp 081342373829, barlian_hasan59@yahoo.co.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 126
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.126-131) 978-602-60766-4-9

Gambar 1. Sruktur kimia karaginan (Venugopal, 2011)

Kappa karaginan mengandung 22% ester sulfat dan 33% 3, 6-anhidrogalaktosa, iota karaginan
mengandung 32% ester sulfat dan 26% 3, 6-anhidrogalaktosa, dan karaginan mengandung 32% ester sulfat
dan 37 %. Komposisi yang berbeda ini mempengaruhi kekuatan gel, tekstur,viscositas, titik leleh, dan sinerisis
Penggunaan larutan alkali dalam proses ekstraksi mempunyai fungsi, yaitu membantu ekstraksi
polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-
anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel dan reaktivitas produk terhadap protein,
membantu proses pemuaian (pembengkakan) jaringan sel-sel rumput laut yang mempermudah keluarnya
karaginan dari dalam jaringan. Selain itu, pada penggunaan konsentrasi yang cukup tinggi, dapat
menyebabkan terjadinya modifikasi struktur kimia karaginan akibat terlepasnya gugus 6-sulfat dari karaginan
sehingga terbentuk residu 3,6-anhydro-D-galactose dalam rantai polisakarida. Hal ini akan meningkatkan
kekuatan gel karaginan yang dihasilkan (Yasita dan Intan, 2010)..
Teknik ekstraksi konvensional yang digunakan selama ini (maserasi, soxhlet, dan hidrodistilasi) pada
umumnya berdasarkan pada pemilihan dan penggunaan sejumlah besar volume pelarut yang tepat disertai
dengan pemanfaatan panas dan/atau pengadukan untuk memperbaiki kelarutan komponen sehingga dapat
meningkatkan laju perpindahan massa-nya. Teknik tersebut membutuhkan banyak waktu dan beresiko
terjadinya degradasi thermal terhadap sebagian atau sejumlah besar konstituen nabati yang terkandung
didalamnya serta pemanfaatan sejumlah besar volume pelarut berdampak pada penambahan biaya produksi,
yaitu saat pengadaan maupun pembuangan racun pelarut yang berbahaya bagi lingkungan. Pada dekade
terakhir diperkenalkan beberapa teknik ekstraksi alternatif untuk meminimalkan keterbatasan tersebut,
diantaranya ekstraksi ultasonik dan gelombang mikro . Pourhossein et al. (2009) berpendapat bahwa ekstraksi
ultrasonik termasuk salah satu alternatif dari preparasi sampel padat, karena dapat mepermudah dan
mempercepat beberapa langkah preparasi, seperti pelarutan, fusi dan leaching. Hal ini dikarenakan efek dari
gelombang ultrasonik yang membentuk local high temperature dan gerakan mekanik antarmuka zat padat dan
zat cair, sehingga akan mempercepat laju perpindahan massa-nya.

2. METODE PENELITIAN
Rumput laut eucheumma cottonii diperoleh di Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan
Mangngara’ Bombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Setelah disortir dari kotoran-kotoran dan
dibersihkan dengan menggunakan air tawar, rumput laut direndam dalam larutan kaporit 1 % sampai berwarna
putih dan dibilas dengan air bersih. Rumput laut dikeringkan dengan sinar matahari selama 5 hari. Selanjutnya
rumput laut direndam selama 12 jam dengan larutan alkali pH 8,5-9 , dihaluskan dengan blender, dan
diekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan bantuan gelombang ultrasonik digerakkan oleh suatu alat yang
namanya power sonic 445 yang bekerja pada frekuensi 40 kHz yang merambat kedalam sampel yang akan
diekstraksi melalui medium air. Rasio berat rumput laut dengan pelarut 1:30, dan waktu ekstaksi divariasikan.
Ekstrak disaring dengan kain saring ukuran 150 mesh dan filtrat dicampur dengan iso propanol dengan rasio
volume 1:2 untuk mengendapkan karaginan. Selanjutnya dikeringkan selama 10 jam pada suhu 60 oC dan dan
ditimbang beratnya untuk menentukan yield. Karaginan hasil ekstraksi diuji mutunya meliputi kadar air,
kadar abu,viskositas, dan kekuatan gel (AOAC, 1995, dan FCC, 1977).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh suhu dan waktu terhadap yield

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 127
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.126-131) 978-602-60766-4-9

Yield merupakan parameter untuk mengetahui efektif tidaknya suatu proses ekstraksi.Yield dihitung
dengan membagi berat karaginan kering yang dihasilkan pada proses ekstraksi dengan berat rumput laut
kering dikali 100%. Pada penelitian ini kondisi proses dilakukan pada rasio rumput laut dengan pelarut 1:30,
frekuensi gelombang ultrasonik 40 kHz , suhu ruang dan waktu (20, 25, 30, 35 dan 40 menit) divariasikan
untuk mencari yield maksimum. Hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :
40

30
%Yield

20
30℃
10
40℃
0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)

Gambar 2. Hubungan antara variasi waktu ekstraksi terhadap % yield

Gambar 2, menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka semakin tinggi yield , hal ini disebabkan
karena pada suhu tinggi, pemutusan ikatan rantai polisakarida menjadi karaginan semakin cepat dan
menghasilkan yield yang semakin besar. Demikian pula dengan waktu, semakin lama waktu kontak antara
pelarut dengan karaginan dalam rumput laut maka semakin besar karaginan yang terlarut dalam pelarut
sehingga yield akan bertambah besar. Yield untuk suhu 40 oC masih memenuhi persyaratan Departemen
Perdagangan Republik Indonesia (1989) yaitu 25% kecuali pada waktu 20 menit, sedangkan untuk kondisi
suhu 30 oC , yang memenuhi persyaratan hanya pada waktu 40 menit.Yield hasil penelitian berkisar 19 –
31,25%

Pengaruh Suhu dan waktu ekstraksi terhadap mutu karaginan


Parameter mutu karaginan yang diuji adalah kadar air dengan AOAC 1995, viscositas dengan AOAC
1995 dan FMC Corp. 1977, dan kekuatan gel AOAC 1995 dan FMC Corp. 1977. Standar Nasional Indonesia
(SNI) untuk mutu karaginan belum tersedia sehingga mutunya akan dibandingkan mutu karaginan hasil
ekstraksi konvensional dan karaginan komersil.

Kadar air
Penentuan kadar air yang terkandung dalam produk bubuk karaginan dari rumput laut E. cottonii
yang dihasilkan pada kegiatan ini dilakukan secara gravimetri sesuai prosedur yang dikeluarkan oleh AOAC,
(1995).
10
8
Kadar Air (%)

6
4 30℃
2 40℃

0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)

Gambar 3. Hubungan antara variasi ekstraksi suhu dan waktu terhadap kadar air

Nilai kadar air karaginan rumput laut E. cottonii pada penelitian ini cenderung meningkat dengan
bertambahnya waktu dan cenderung konstan dengan kenaikan suhu ekstraksi. Kadar air berkisar 6,27 – 8,61
% masih memenuhi standar mutu karaginan menurut FCC, EEC , FAO dan komersil. Waktu ektraksi yang

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 128
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.126-131) 978-602-60766-4-9

semakin lama memberikan waktu yang cukup banyak bagi pelarut untuk menembus dinding sel dan menarik
keluar senyawa-senyawa yang terkandung dalam bahan, sehingga dihasilkan karaginan dengan kadar air yang
semakin tinggi.

Kadar Abu
Menurut Peranginangin dkk.(2011) Kadar abu merupakan hasil pembakaran bahan organik dan
berhubungan dengan kadar mineral suatu bahan. Data-data kadar abu karaginan sebagai fungsi waktu dapat
dilihat pada gambar dibawah ini
16
14
12
10
% Abu

8 30℃
6 40℃
4
2
0
15 25 35 45
Waktu (Menit)
Gambar 4. Hubungan antara variasi ekstraksi suhu dan waktu terhadap kadar abu

Gambar 4, menunjukkan nilai kadar abu karaginan cenderung stabil meskipun dengan bertambahnya
waktu dan suhu ekstraksi. Kadar berkisar antara 12,68 – 13, 65 %. Nilai kadar abu yang diperoleh memenuhi
standar mutu karaginan menurut FCC (Maks. 35%) akan tetapi berdasarkan mutu karaginan menurut EEC
(15-40%) dan FAO (15-40%) . Kadar abu dihasilkan dari pembakaran bahan organik dan berhubungan erat
dengan jumlah mineral suatu bahan. Rendahnya nilai kadar abu yang diperoleh disebabkan oleh kandungan
garam yang rendah pada rumput laut. Semakin lama rumput laut berada dalam perairan maka semakin banyak
garam mineral yang diserap oleh rumput laut dan sebaliknya.
Seperti pada penelitian sebelumnya oleh Max Robinson Wenno dkk (2012) yang melakukan ekstraksi
rumput laut pada berbagai umur panen yaitu 40, 45, 50 dan 55 hari, pada analisa kadar abu menunjukkan
semakin lama umur panen rumput laut maka semakin besar kadar abu yang diperoleh seperti pada umur panen
44 hari yaitu 16,60%. Jika dibandingkan dengan kegiatan ini maka umur panen rumput laut yang digunakan
berada dibawah 44 hari karena rata-rata kadar abu yang diperoleh sebesar 13,02%. Hal ini disebabkan karena
rumput laut yang digunakan merupakan bukan hasil panen sendiri melainkan pembelian pada Pusat
Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo yang mengolah rumput laut sehingga umur panen rumput
laut yang digunakan kemungkinan bukan 44 hari.

Viskositas
Viskositas karaginan diukur dengan viskometer Brookfiled.Hasil pengujian viskositas dengan variasi
waktu dan suhu dapt dilihat dalam gambar 5.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 129
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.126-131) 978-602-60766-4-9

25

20

Viskositas (cP)
15
30℃
10
40℃
5

0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)
Gambar 5. Hubungan suhu dan waktu terhadap viskositas

Gambar 5 menunjukkan nilai viskositas karaginan semakin menurun seiring dengan bertambahnya
waktu dan suhu ekstraksi. Hal ini disebabkan karena viskositas karaginan berbanding lurus dengan kadar
sulfatnya, dimana waktu ekstraksi yang lama dan suhu yang semakin tinggi mampu menurunkan kadar sulfat
karaginan sehingga nilai viskositas juga semakin menurun Adanya garam-garam yang terlarut dalam
karaginan akan menurunkan muatan bersih sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan
penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah
dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Menurut Arfini (2011),bertambahnya waktu dan suhu ekstraksi
berpengaruh terhadap viskositas, hal ini disebabkan kadar sulfat dalam karaginan yang menurun akibat
bereaksi dengan alkali. Viskositas karaginan berkisar 10,4 cP – 19,6 cP dan nilai telah memenuhi persyaratan
standar karaginan FCC, FAO dan komersil yaitu minimal 5 cP (A/S Kobenhvas Pektufabrik dalam
Wenno,2009).

Kekuatan Gel
Pengujian kekuatan gel dilakukan untuk mengetahui kemampuan karaginan dalam pembentukan gel.
Penentuan kekuatan gel yang terkandung dalam bubuk karaginan dari rumput laut E. cottonii yang dihasilkan
pada kegiatan ini dilakukan sesuai prosedur yang dikeluarkan oleh AOAC, 1995 dan FMC Corp., 1977. Data-
data kekuatan gel dapat dilihat pada gambar 6

4000

3000
Kekuatan gel

2000 30℃
40℃
1000

0
15 25 35 45
Waktu (menit)

Gambar 6. Grafik Hubungan suhu dan waktu terhadap kekuatan gel karaginan

Gambar 6 menunjukkan bahwa suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai
kekuatan gel karaginan. Dimana suhu yang semakin naik dan waktu ekstraksi semakin lama menyebabkan
kekuatan gel semakin tinggi karena ikatan 3,6-anhidrogalaktosa terbentuk semakin banyak. Adanya 3,6-
anhidrogalaktosa menyebabkan sifat anhidrofilik dan meningkatkan pembentukan heliks rangkap sehingga
terbentuk gel tinggi (Suryaningrum, 1988). Pola kekuatan gel karaginan yang dihasilkan dari beberapa
kombinasi perlakukan yang diterapkan adalah tetap dan polanya berlawanan dengan viskositas karaginan. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai viskositas berbanding terbalik dengan nilai kekuatan gel, yaitu jika viskositas

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 130
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.126-131) 978-602-60766-4-9

tinggi maka kekuatan gel cenderung rendah, demikian pula sebaliknya jika nilai viskositas yang diperoleh
rendah maka kekuatan gel akan tinggi. Kekuatan gel karaginan berkisar 926-3799 dyne/cm2 dan nilai yang
diperoleh ini telah memenuhi persyaratan karaginan komersil yaitu minimal 685 ±13,43 g/cm2(A/S
Kobenhvas Pektufabrik dalam Wenno, 2009).

4. KESIMPULAN
1. Semakin besar suhu dan waktu ekstraksi maka yield semakin besar
2. Kadar air karaginan semakin tinggi dengan pertambahan waktu dan konstan terhadap kenaikan suhu,
kadar abu cenderung konstan dengan pertambahan suhu dan waktu, viscositas menurun terhadap
pertambahan waktu dan suhu, dan kekuatan gel cenderung naik dengan penambahan waktu dan suhu.
3. Hasil uji mutu karaginan menunjukkan bahwa kekuatan gel telah memenuhi standar komersil,
viskositas telah memenuhi standar FCC dan FAO untuk semua perlakuan. Kadar abu hanya
memenuhi standar FCC, sedangkan kadar air telah memenuhi semua standar.

5. DAFTAR PUSTAKA
AOAC.1995. Official Methode of Analysis of the association of Official Analytical Chemist.
Inc.Washington DC.
Arfini, F. 2011. Optimasi Proses Ekstraksi Pembuatan Karaginan dari RumputLaut Merah (Eucheuma
cottonii) serta Aplikasinya sebagai Penstabil padaSirup Markisa.(Skripsi). Institut Pertanian Bogor.
Depatemen Perdagangan,. 1989. Ekspor Rumpu laut Indonesia. Jakarta
FMC Corp. 1977. Carrageenan.New Jersey, USA:Marine Colloid Monograph Number One.
Hikmah.2015.Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Komoditas Rumput Laut E.cottonii untuk
Peningkatan Nilai Tambah di Sentra Kawasan Industrialisasi, Balai Besar Penelitian Ekonomi
Kelautan dan Perikanan.Jaka
Imeson AP. 2010. Food Stabiliser, Tickeners and Gelling Agent. Wiley Blackwell. India. pp.73-79
McHugh, D.J. 2003. A Guide to the Seaweed Industry. FAO Fisheries Technical Paper. Australia. pp 61-65
Peranginangin, R., A. Rahman dan H. E. Irianto. 2011. Pengaruh Perbandingan Air Pengekstrak dan
Penambahan Celite terhadap Mutu Kappa Karaginan. Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur.Hal.1077-1085.
Pourhossein, A., M. Madani, and M. Shahlaei. 2009."Valuation of an Ultrasound– assisted Digestion Method
for Determination of Arsenic and Lead in Edible Citric Acid Samples by ETAAS." Canadian
Journal of Analytical Sciences and Spectroscopy 54 (1) (2009): 39–44.
Robinson, Max Wenno dkk. 2012. Karakteristik Kappa Karaginan dari Kappaphycus alvarezii Pada
Berbagai Umur Panen. JPRB Perikanan. Vol 7 No 1 2012. Diambil :
https://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/jurnal-jpbkp/index.php/jpbkp/article/viewFile/69/50 (diakses
pada : 31 Juli 2018).
Suryaningrum TD. 1988. Sifat-sifat Mutu Komoditi Rumput Laut Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum.
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Wenno, M.R.,2009. Karakteristik Fisiko Kimia Karaginan dari Eucheuma Cottonii pada Berbagai Bagian
Thallus, Berat Bibit dan Umur Panen. Tesis. Institut Pertanian Bogor
Venugopal, V. 2011. Marine Polysaccarides Food Aplications . CRC Press. New York. Pp. 111-115.
Yasita, D dan Intan D. R., 2010. Optimasi Proses Ekstruksi pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut
Eucheuma cottonii Untuk Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro, Semarang

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 131
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.132-137) 978-602-60766-4-9

PEMANFAATAN EKSTRAK KULIT BUAH MARKISA SEBAGAI INHIBITOR KOROSI


BAJA LUNAK (MILD STEEL) DALAM LARUTAN ASAM
Wahyu Budi Utomo1), Hastami Murdiningsih1), Fitrisea Sargini Syam2), Ummi Rosida2)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

A research on the performance of passion fruit peel extract to inhibit corrosion of mild steel in acidic media has
been conducted using weigth loss method. The passion fruit peel was dried and extracted, it was then evaporated to
produce crystal extract and it was used as a corrosion inhibitor of steel in acidic media of 0.1M phosphoric acid.
Immersion test of mild steel was conducted using different concentration of inhibitor (0-550ppm) for 4 days. The rate of
corrosion and inhibition efficiency were calculated and compared to those without inhibitor. The passion fruit peel
extract which contains lignin was proven to act effectively as corrosion inhibitor for mild steel in acidic electrolyte with
stirrer. Average inhibition efficiency occurs at 43% in water and increased up to 57% in acidic media.

Keywords : Corrossion, inhibitor, mild steel.

1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan logam meningkat pesat sejalan dengan kemajuan teknologi namun demikian, bahan dari
alam ini juga dapat menjadi sia-sia akibat korosi. Dalam banyak hal korosi tidak dapat dihindarkan tetapi
dapat dikendalikan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh korosi akan sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan manusia, antara lain dari segi ekonomi dan lingkungan. Banyak logam dan paduan digunakan
dalam industri rentan terhadap korosi. Salah satu cara untuk mengurangi tingkat korosi pada logam adalah
dengan cara penambahan zat inhibitor. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan senyawa yang
dapat digunakan sebagai inhibitor antara lain yang telah dilakukan oleh Aprael (2013), Akbar (2011),
Ningrum (2013) dan Utomo (2015). Studi melaporkan bahwa ada sejumlah senyawa organik dan senyawa
anorganik yang dapat menghambat korosi pada baja. Salah satu inhibitor korosi adalah zat – zat yang berasal
dari alam, contohnya ekstrak dari buah – buahan. Buah – buahan mengandung bahan kimia seperti vitamin,
mineral dan senyawa lainnya.
Ekstrak kulit markisa mengandung senyawa protein kasar 7,32%, tannin 1,85% dan lignin 31,79%.
Menurut Altwaiq et al (2011) lignin dari tanaman dapat digunakan sebagai bahan inhibitor korosi.
Berdasarkan penelitian Alaneme & Olusegun (2012) yang telah meneliti lignin bunga matahari, dinyatakan
bahwa lignin efektif sebagai bahan inhibitor korosi dengan efisiensi inhibisi 55,5% hingga 78,8%. Oleh
karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisa laju penghambatan korosi pada baja lunak dengan
penambahan ekstrak kulit markisa yang mengandung lignin dalam media larutan asam fosfat. Media ini
digunakan untuk menyesuaikan keadaan lingkungan dalam proses pengolahan di industry makanan dan
minuman yang umumnya bersifat asam lemah.
Korosi merupakan penurunan kualitas yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan logam dengan
unsur–unsur lain yang tedapat di alam.. Atom – atom akan bereaksi dengan zat asam dan membentuk ion-ion
positif (kation). Hal ini akan menyebabkan timbulnya aliran-aliran elektron dari suatu tempat ke tempat yang
lain pada permukaan metal. Mekanisme korosi yang terjadi pada logam besi (Fe) dituliskan sebagai berikut
Fe (s) + H2O (l) + ½ O2(g) Fe(OH)2(s) ………………..................................(1)
Fero hidroksida [Fe(OH)2] yang terjadi merupakan hasil sementara yang dapat teroksidasi secara
alami oleh air dan udara menjadi feri hidroksida [Fe(OH)3], sehingga mekanisme reaksi selanjutnya adalah :
4 Fe(OH)2(s) + O2 (g) + 2H2O(l) 4Fe(OH)3(s) …………………………………………(2)
Ferri hidroksida yang terbentuk akan berubah menjadi Fe2O3 yang berwarna merah kecoklatan yang
biasa kita sebut karat. (Vogel, 1979) Reaksinya adalah:
2Fe(OH)3 Fe2O3 + 3H2O ......................................................................................(3)
Korosi dapat diperlambat dengan mengunakan bahan kimia yang disebut inhibitor yang bekerja
dengan cara membentuk lapisan pelindung pada permukaan metal. Inhibitor korosi dapat berasal dari
senyawa-senyawa organik dan anorganik yang mengandung gugus-gugus yang memiliki pasangan elektron

1
Korespondensi penulis: Wahyu Budi Utomo, Telp 081241735562, wahyubudiutomo@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 132
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.132-137) 978-602-60766-4-9

bebas, seperti nitrit, kromat, fospat, urea, fenilalanin, imidazolin, dan senyawa-senyawa amina. Namun
demikian, pada kenyataannya bahwa bahan kimia sintesis ini merupakan bahan kimia yang berbahaya,
harganya lumayan mahal, dan tidak ramah lingkungan.
Lapisan molekul pertama yang tebentuk mempunyai ikatan yang sangat kuat. Mekanisme
penghambatannya terkadang lebih dari satu jenis. (M. Fajar Sidik, 2013). Inhibitor berfungsi sebagai
katalisator yang memperlambat (retarding catalyst) reaksi korosi. Pemakaian inhibitor dalam suatu sistem
tertutup atau system resirkulasi pada umumnya hanya dipakai sebanyak 0.1% berat. Inhibitor yang
ditambahkan akan menyebabkan meningkatnya polarisasi anoda, polarisasi katoda, dan tahanan listrik dari
sirkuit oleh pembentukan lapisan tebal pada permukaan logam.
Ekstrak bahan alam khususnya senyawa yang mengandung atom N, O, P, S, dan atom-atom yang
memiliki pasangan elektron bebas dapat berfungsi sebagai ligan yang akan membentuk senyawa kompleks
dengan logam. Efektivitas ekstrak bahan alam sebagai inhibitor korosi tidak terlepas dari kandungan nitrogen
yang terdapat dalam senyawaan kimianya. Mekanisme proteksi ekstrak bahan alam terhadap besi/baja dari
serangan korosi diperkirakan hampir sama dengan mekanisme proteksi oleh inhibitor organik.
Reaksi antara Fe2+ dengan inhibitor ekstrak bahan alam menghasilkan senyawa kompleks. Inhibitor
ekstrak bahan alam yang mengandung nitrogen mendonorkan sepasang elektronnya pada permukaan logam
mild steel ketika ion Fe2+ terdifusi ke dalam larutan elektrolit, reaksinya adalah:

Fe Fe2+ + 2e- (melepaskan elektron) …………………….………………………(4)

Fe2+ + 2e- Fe (menerima elektron). ……………………..…………………..(5)


Produk yang terbentuk di atas mempunyai kestabilan yang tinggi dibanding dengan Fe saja, sehingga
sampel besi/baja yang diberikan inhibitor ekstrak bahan alam akan lebih tahan (terproteksi) terhadap korosi.
Efektivitas ekstrak bahan alam sebagai inhibitor korosi tidak terlepas dari kandungan nitrogen yang terdapat
dalam senyawa kimianya. Kulit buah markisa mempunyai kandungan protein kasar 7,32%, tannin 1,85% dan
lignin 31,79%. (Astuti, 2011). Kandungan tannin yang terdapat pada kulit buah markisa dapat berikatan
dengan mineral bervalensi dua seperti Fe, Zn, Mg dan Ca dan membentuk sennyawa tannin mineral yang
tidak terdegradasi. (Herrick,1987 dalam YA Sagala, 2011 ). Lignin merupakan jaringan pada tanaman yang
berfungsi sebagai perekat mempertahankan hemiselulosa dan selulosa dalam membentuk dinding sel. Lignin
dalam tanaman merupakan polimer atau biopolymer yang tersusun dari makro molekul fenolik atau disebut
dengan monolignol. Gugus fungsional lignin yang berupa gugus fenolik, hidroksil, karboksil yang merupakan
pusat aktif untuk interaksi fisik (fisiisorpsi) dan kimia (kemisorpsi) sehingga dapat berinteraksi dengan logam
dan membentuk lapisan pencegah korosi. (Nehemia, 2015). Lignin adalah makromolekul fenolik terdiri dari
tiga unit fenilpropana utama (monolignol) yaitu: koniferil alkohol, sinapil alkohol, dan p-kumaril alcohol
(Dence, 1992). Gugus OH dan cincin aromatik pada struktur lignin diketahui sebagai pusat adsorpsi yang
membentuk lapisan inhibitor (Altwaiq. Dkk, 2011).
Pada eksperimen atau uji korosi dengan metode weight loss, laju korosi dihitung menggunakan
persamaan,
.
X= . . ( ) ………………………………………..(6)
dimana K adalah konstanta konversi (3,45 x 106), w adalah pengurangan berat (gram), ρ adalah massa
jenis logam terkorosi (gram/cm3), A adalah luas permukaan logam terrendam (cm2) dan, t adalah waktu (jam)
(Dahmani, 2010). Sedangkan efisiensi inhibitor yang menyatakan seberapa efisien inhibitor dapat menurunkan
laju korosi dihitung menggunakan persamaan,
Ef = 100% ……………………………………..(7)
dimana Xa adalah laju korosi tanpa inhibitor (MPY) dan Xb adalah laju korosi dengan penambahan inhibitor
(MPY) (Dahmani, 2010). .
Energi aktifasi (Ea) korosi baja ST37 dalam air tanpa inhibitor dan dengan inhibitor ekstrak daun teh
dan kafein murni dihitung dengan persamaan serupa- Arhenius.
Ea
 ……………………………………….(8)
X  Ae RT

dimana Ea adalah energy aktivasi; R adalah konstanta gas universal; A adalah factor pre-eksponensial
Arrhenius; T adalah temperaur dan X adalah laju korosi. Nilai energy aktivasi Ea dihitung dari slpoe kurva W
versus 1/T. (Dahmani, 2010). Mekanisme Inhibitor dipelajari dengan cara membuat kurva hubungan antara C

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 133
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.132-137) 978-602-60766-4-9

(Konsentrasi Inhibitor) terhadap untuk mengetahui kesesuaian hasil analisa dengan persamaan Langmuir,
dan menentukan nilai K (Koefisien Adsorbsi)
= + ……………………………………….(9)
dimana :
C = Konsentrasi inhibitor (g/L)
K = Koefisien adsorbsi inhibitor (L/g)
IE = Efesiensi inhibitor (%)
%
= Suface coverage, =
Penelitian ini bertujuan mengamati aksi penghambatan ekstrak lignin kulit buah markisa terhadap
korosi baja karbon di dalam asam phosfat. Tujuan lain penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh
pengadukan dan konsentrasi serta menjelaskan mekanisme aksi penghambatan korosi ekstrak lignin kulit buah
markisa pada korosi baja karbon di dalam larutan asam phosfat 0.1 M. Penelitian ini berperan sangat penting
karena fakta bahwa penggunaan bahan-bahan kimia sebagai aditif anti korosi bersifat toxic terhadap manusia
maupun lingkungan. Oleh sebab itu bahan alami yang berasal dari tumbuhan diharapkan dapat difungsikan
sebagai bahan antikorosi yang murah, nontoxic dan ramah lingkungan.

2. METODE
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kimia dasar jurusan Teknik Kimia Politeknik dari bulan
Maret sampai November 2018. Eksperimen terdiri atas tiga bagian utama, pertama adalah proses ekstraksi,
kedua uji korosi dengan metode weight loss dan ketiga pengolahan dan interpretasi data, pelaporan dan
diseminasi hasil penelitian. Sebanyak 50 gram kulit buah markisa kering dihaluskan kemudian diekstrak di
dalam larutan NaOH selama 5 jam dengan refluks. Larutan ekstrak disaring dan dinetralkan lalu dipekatkan
sampai seluruh pelarut menguap. Ekstrak padat ini kemudian digunakan untuk uji inhibisi korosi dengan
variasi konsentrasi 0-550 ppm di dalam air dan asam phosfat encer. Spesimen baja karbon dipotong dengan
ukuran sekitar 3 x 2 x 0.2 cm, permukaan diamplas halus, dicuci dengan aceton dan dibilas dengan air
aquades. Sekitar 0.1M H3PO4 dibuat dengan cara mengencerkan dengan aquades. Spesimen direndam dalam ±
1L larutan asam dengan pengadukan dan konsentrasi inhibitor (0-550 ppm) selama 4 hari. Ekstrak
ditambahkan ke dalam larutan kemudian specimen yang telah ditimbang beratnya dimasukkan ke dalam
larutan. Setelah itu pengaduk dinyalakan selama 4 hari. Setelah 4 hari besi diambil dari larutan, dibersihkan
dan berat akhirnya ditimbang. Laju korosi kemudian dihitung menggunakan persamaan (8). Efisiensi inhibitor
dihitung menggunakan persamaan (9).

Gambar 1. Pengaturan uji korosi dengan pengadukan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil uji korosi baja di dalam air dengan konsentrasi inhibitor berbeda dan dengan pengadukan dapat
dilihat pada grafik 1 dan 2. Laju korosi baja tanpa inhibitor (0 ppm) terdeteksi pada laju 1.75 mg/cm2.h yang
kemudian menurun menjadi 1.25 mg/cm2.h pada konsentrasi inhibitor 50 ppm. Penurunan penurunan laju juga
terjadi pada konsentrasi inhibitor 100 ppm dan selanjutnya cenderung menjadi konstan sampai konsentrasi
inhibitor 550 ppm dengan laju berkisar 1 mg/cm2.h. Dari grafik 2 terlihat bahwa ekstrak kulit buah markisa

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 134
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.132-137) 978-602-60766-4-9

mampu menurunkan laju korosi baja di dalam air dengan kecepatan pengadukan 50 rpm. Efisiensi inhibitor
meningkat pada konsentrasi inhibitor 50 sampai 200 ppm yang selanjutnya cenderung konstan pada nilai 45%
pada konsentrasi inhibitor yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh pembatas arus difusi
dimana spesies aktif inhibitor tidak dapat mencapai permukaan logam.
2

Laju korosi (mg/cm2.h 1.5

0.5

0
0 100 200 300 400 500 600

Konsentrasi inhibitor (ppm)


Grafik 1. Laju korosi baja dalam air dengan pengadukan (50 rpm).

80

60
Efisiensi Penghambatan (%)

40

20

0
0 100 200 300 400 500 600

Konsentrasi inhibitor (ppm)

Grafik 2. Efisiensi inhibitor ekstrak kulit buah markisa pada korosi baja dalam air dengan pengadukan

Laju korosi baja di dalam asam phosfat encer (0.1M) dengan pengadukan dan efisiensi inhibitor
ditampilkan pada grafik 3 dan 4. Dari grafik 1 terlihat bahwa secara keseluruhan, laju korosi baja di dalam
larutan asam phosfat jauh lebih rendah disbanding dalam air. Pada uji korosi baja tanda inhibitor, laju korosi
hanya sekitar 0.035 mg/cm2.h, hal ini memnandakan bahwa asam phosfat encer juga telah mempengaruhi
lingkungan dan keaktifan permukaan baja. Selanjutnya laju korosi secara bertahap menurun dengan
peningkatan konsentrasi inhibitor sampai 300 ppm dan cenderung konstan pada konsentrasi lebih dari 300
ppm. Keadaan ini terjadi karena kemampuan difusi spesies aktif yang telah mencapai batas atau yang disebut
arus pembatas difusi. Efisiensi inhibitor pada keadaan ini mengalami peningkatan dari 0 ppm sampai 300
ppm dan cenderung konstan pada konsentrasi inhibitor diatas 300 ppm. Secara keseluruhan efisiensi inhibitor
rata-rata di dalam larutan asam phosfat meningkat menjadi sekitar 57% .

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 135
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.132-137) 978-602-60766-4-9

0.040

0.030

Lajukorosi (mg/cm2.h)
0.020

0.010

0.000
0 100 200 300 400 500 600

Konsentrasi inhibitor (ppm)

Grafik 3. Laju korosi baja dalam asam phosfat (0.1 M) dengan pengadukan (50 rpm).
80

60
Efisiensi Penghambatan (%)

40

20

0
0 100 200 300 400 500 600

Konsentrasi inhibitor (ppm)


Grafik 4. Efisiensi inhibitor ekstrak kulit buah markisapada korosi baja di dalam asam phosfat (0.1 M) dengan
pengadukan (50 rpm).

4. KESIMPULAN
Ekstrak kulit buah markisa yang mengandung lignin dapat menurunkan laju korosi baja lunak dalam
larutan asam fosfat dan air dengan pengadukan. Efesiensi meningkat dengan peningkatan konsentrasi dan
menjadi konstan sekitar 45% terjadi pada konsentrasi inhibitor lebih dari 200 ppm di dalam air. Sedangkan di
dalam larutan asam phosfat, efisiensi meningkat menjadi sekitar 57%. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak kulit
buah markisa yang mengandung senyawa lignin berfungsi sebagai inhibitor atau penghambat korosi baja di
dalam larutan asam maupun air. Ekstrak kulit buah markisa lebih efisien menghambat korosi baja di dalam
larutan asam.

5. PUSTAKA
Akbar, Muhammad. 2011. Pengaruh Penambahan Ekstrak Kasar daun Teh Sebai Inhibitor Organik Pada
Baja Karbon Rendah. Politeknik Negeri Ujung Pandang. Makassar.
Aprael S. Yaro, Anees A. Khadom, Rafal K. Wael, Apricot Juice As Green Corrosion Inhibitor Of Mild Steel
In Phosphoric Acid, Alexandria Engineering Journal (2013) 52, 129–135
Altwaiq, A., Khouri, S. J., Al-luaibi, S., Lehman, R., Drücker, H.,dan Vogt, C. 2011. The Role of Extracted
Alkali Lignin as Corrosion Inhibitor. J. Mater. Environ. Sci. Vol. 2 (3): 259-270.
Asdim, Penentuan Efisiensi Inhibisi Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L) Pada Reaksi
Korosi Baja Dalam Larutan Asam, Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 273-276
Astuti,T. 2008. Potensi Dan Teknologi Pemanfaatan Kulit Buah Markisa Sebagai Pakan Ternak Ruminansi.
Universitas Andalas.Padang
Budi Utomo, Wahyu dan Sri Indriati. 2015. Ekstrak Daun Teh Sebagai inhibitor Organik Korosi Baja St3.
Politeknik Negeri Ujung Pandang.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 136
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.132-137) 978-602-60766-4-9

Dence, C.W. 1992. Methods In Lignin Chemistry. Berlin: Springer-Verlag.


Fajar Sidik, M. 2013. Analisa Korosi dan Pengendaliannya. Akademi Perikanan Baruna Slawi. Jurnal
Foundry Vol. 3 No. 1 April 2013 ISSN : 2087-2259
Nehemia. 2015. Pemanfaatan Lignin Kulit Kopi Sebagai Inhibitor Korosi Pada Besi. Universitas Jember.
Jember.
Ningrum, Lutfiani. 2013. Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) Sebagai Inhibitor Korosi Baja Lunak (Mild Steel).
Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Maria Erna, dkk. 2009. Karboksimetil Kitosan Sebagai Inhibitor Korosi Pada Baja Lunak Dalam Media Air
Gambut. Jurusan kimia FMIPA. .Universitas andalas.
Ttrethewey.KR. J. Chamberlain.1991. Korosi Untuk Mahasiswandan Rekayasa. Jakarta. PT Grsmedia Pustaka
Utama.

6. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada Direktur PNUP, Ketua unit penelitian PNUP, dan pihak
Kementrian ristekdikti yang telah mendanai penelitian ini sesuai kontrak penelitian tahun 2018 dengan nomor:
066/SP2H/DRPM/2018, tanggal 9 Maret 2018 sehingga dapat terlaksana dengan baik,. juga kepada rekan-
rekan dosen dan staf Jurusan Teknik kimia.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 137
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.138-142) 978-602-60766-4-9

PEMBUATAN ADSORBEN BERBAHAN AKTIF BIJI KELOR UNTUK PENGOLAHAN


AIR

Abdul Azis1), HR. Fajar1)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang

ABSTRACT

Water supply in some part of Indonesia especially in village and remote area still depends on water from natural
sources such as river and well. This water quality can change easily. This research aimed to create adsorbent from natural
material (Moringa seed) which can be easily obtained or grown by people to improve water quality. This research was
conducted in two variations. Firstly, the variation in Moringa seed compositions (25, 30, and 35%) with contact time 3
hours, respectively. Secondly, the contact time variation (2, 3, 4, 5, and 6 hours) with Moringa seed compositions 25%.
Water quality before and after processing was examined based on metal analysis of Cu and Fe components, pH,
conductivity, turbidity and total coliforms. The results indicated that adsorbent with 25% Moringa seed composition was
the most effective in improving river and well water quality with an optimum contact time 3 hours.

Keywords: water, quality, processing, absorbent, moringa seed.

1. PENDAHULUAN
Air bersih sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk
keperluan industri, untuk kebersihan sanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan lain sebagainya.
Dewasa ini, air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk mendapat air yang baik
sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal, karena air sudah banyak tercemar oleh
bermacam-macam limbah dari berbagai hasil kegiatan manusia. Sehingga secara kualitas, sumber daya air
telah mengalami penurunan. Demikian pula secara kuantitas, ketersediaan air bersih kadangkala sudah tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya yang terus meningkat dari waktu
ke waktu.
Menurut Achmad (2004), kualitas air berhubungan dengan adanya bahan-bahan lain yang terkandung
dalam air, terutama senyawa-senyawa sintetik baik dalam bentuk organik maupun anorganik, juga adanya
mikroorganisme. Setiap tahun berjuta ton partikel padat terlepas di udara melalui cerobong asap pabrik dan
knalpot kendaraan sehingga mengkontaminasi awan yang terbentuk, sehingga hujan yang turun pun dari hari
ke hari semakin tinggi derajat keasamannya, yang kemudian di dalamnya terkandung zat-zat yang berbahaya
bagi tubuh kita yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit dari yang ringan dan instant seperti gatal-gatal di
kulit atau timbulnya penyakit diare, maupun yang berat dan bersifat akumulasi sehingga berakibat timbulnya
potensi penyakit seperti kanker.
Air sungai dan air sumur umumnya masih merupakan sumber daya air alami yang sangat diandalkan
di beberapa daerah pedesaan maupun pedalaman. Air yang umumnya memiliki kualitas yang rendah akibat
pencemaran tersebut biasanya dipergunakan untuk keperluan keluarga sehari-hari mulai dari mencuci, mandi,
sampai masak dan minum. Berbagai definisi pencemaran air dikemukakan dalam beberapa literatur antara
lain oleh Warlina (2004) bahwa pencemaran air adalah terjadinya perubahan komposisi atau kondisi yang
diakibatkan oleh adanya kegiatan atau hasil kegiatan manusia sehingga secara langsung maupun tidak
langsung air menjadi tidak layak atau kurang layak untuk semua fungsi atau tujuan pemanfaatan sebagaimana
kewajaran air yang dalam keadaan alami.
Oleh karena itu, perlu dicarikan cara pengolahan untuk meningkatkan kualitas air tersebut dengan
menggunakan bahan alami yang mudah ditemui dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat di pedesaan atau
pedalaman yang dapat digunakan sebagai bahan pengendap atau penjernih. Sehingga dalam penelitian ini,
akan digunakan biji kelor sebagai bahan penjernih yang menggunakan bahan baku biji kelor dengan melalui
modifikasi yang bertujuan untuk digunakan secara berulang, karena biji kelor tumbuh musiman sedangkan air
bersih digunakan setiap hari. Pemanfaatan biji kelor untuk penjernih air adalah sebuah teknik penjernihan air
yang secara alami belum diketahui banyak orang secara umum. Menurut Oludoro dan Aderiye (2007), biji
kelor dapat menjernihkan air karena di dalam biji kelor terdapat kandungan protein bermuatan positif yang

1
Korespondensi penulis: Abdul Azis, Telp 081342352885, abdulazislatif7@yahoo.co.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 138
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.138-142) 978-602-60766-4-9

berperan sebagai agen penjernih air. Amagloh dan Benang (2009) mengemukakan bahwa serbuk biji kelor
mampu menumpas bakteri Escherichia coli, Streptococcus faecalis dan Salmonella typymurium.
Proses koagulasi dengan biji kelor memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengolahan air
yang menggunakan bahan sintetis karena bersifat alami dan dapat dikonsumsi. Biaya penggunaan lebih murah
dibandingkan penggunaan koagulan yang biasa digunakan yakni alum. Mengingat hal tersebut, penelitian ini
dilakukan untuk melihat kemampuan serbuk biji kelor matang dan kering sebagai koagulan dalam proses
pengolahan air sungai dan air tanah atau air sumur setelah dimodifikasi menjadi batuan dengan campuran
pasir, serbuk batu bata, dan semen.. Parameter kualitas air yang diuji, dalam penelitian ini diantaranya
turbiditas, konduktifitas, kadar logam (Cu dan Fe), pH, dan total koliform.

2. METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan uji (sampel) dan bahan kimia serta biji
kelor yang diambil di Jeneponto pada bulan Maret 2018.
Bahan kimia yang digunakan adalah besi (III) sulfat, tembaga (II) sulfat, Single Strength Lactose
Broth (Merck), Double Strength Lactose Broth (Merck), pereaksi oksigen alkali iodida azida, Natrium Iodida
(NaI) sebagai oksidator, Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,025 N (Merck), Asam Sulfat (H2SO4) 6 N (Merck),
Mangan Sulfat (MnSO4) 4 M (Merck), dan indikator amilum.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH meter (Myron L ARH1), thermometer
digital, portable conductymeter (Myron L ARH1), portable turbidity meter (HANNA Instrument),
Spectrophotometer UV-Vis (Perkin Elmer), magnetic stirrer (Cymarec*2), cuvet, tabung durham, dan alat
lainnya.

Prosedur Penelitian
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah air yang diperoleh dari Sungai Tello dan salah satu
sumur warga di Kecamatan Tello Kota Makassar. Sebelum dan sesudah diolah menggunakan adsorben yang
telah dibuat, kedua jenis sampel air tersebut dinalisis untuk mengetahui perubahan kualitas kedua jenis sampel
air dengan mengukur beberapa parameter uji yang meliputi kadar Fe dan Cu menggunakan spektrofotometer
UV/Vis, turbiditas dengan turbidimeter, konduktivitas dengan konduktometer, pH dengan pH-meter, dan total
koliform dengan metode MPN koliform.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Sampel Air Sungai dan Air Sumur Sebelum Diolah
Sebelum dilakukan pengolahan terhadap sampel air sungai dan air sumur, terlebih dahulu dilakukan
analisis awal pada beberapa parameter uji kualitas air yakni kandungan logam Cu dan Fe, turbiditas,
konduktivitas, pH, dan total koliform. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran kondisi awal dari
sampel air yang akan diolah, sehingga tingkat keberhasilan pengolahan yang dilakukan dapat diukur. Hasil
analisis awal air sungai disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Analisis Awal Air Sungai dan Air Sumur


Hasil
Parameter
Air sungai Air sumur
Kadal logam Cu (mg/l) 62,5 31,25
Kadar logam Fe (mg/l) 2,89 1,53
Konduktivitas 1,62 0,88
Turbiditas (NTU) 30,78 70,64
pH 7,63 7,98
Total koliform (MPN) ≥2400000 ≥2400000

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan baku mutu air menurut Permenkes
Nomor 492 tahun 2010, kedua jenis tersebut tidak layak digunakan sebagai air minum. Untuk dapat digunakan
sebagai air minum atau air baku pengolahan air minum, maka air tersebut perlu diolah terlebih dahulu.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 139
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.138-142) 978-602-60766-4-9

Berbagai teknik pengolahan air telah diteliti atau dikembangkan oleh para ahli, bahkan beberapa di antaranya
telah diaplikasikan untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat. Pada penelitian ini pengolahan air tersebut
dilakukan dengan teknik adsorbsi menggunakan adsorben yang dibuat dari campuran pasir, serbuk batu bata,
dan semen serta serbuk biji kelor kering sebagai bahan aktif.

Analisis Sampel Air Setelah Adsorpsi dengan Variasi Komposisi Biji Kelor
Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini adalah adsorben berupa batuan yang dibuat dari campuran
pasir, serbuk batu bata, dan semen dengan perbandingan volume 3 : 1,5 : 1 yang diukur dengan gelas ukur dan
ditambahkan pula serbuk biji kelor kering dengan variasi komposisisi 20, 25 dan 30% dari total material yang
digunakan. Proses adsorpsi dilakukan melalui suatu proses kontak langsung yakni perendaman adsorben
baik dalam sampel air sungai maupun dalam sampel air sumur yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas
air tersebut masing-masing selama 3 jam. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Hasil Analisis Air Pada Variasi Komposisi Biji Kelor (Waktu Kontak 3 Jam)
Sampel Air Parameter Uji Komposisi Biji Kelor dalam Adsorben (%)
20 25 30
Air Sungai Kadar Cu (mg/l) 0,139 0,104 0,138
Kadar Fe (mg/l) 1,32 1,21 1,45
Konduktivitas (mS/cm) 0,367 0,274 0,375
Turbiditas (NTU) 32,98 7,61 12,78
pH 7,18 7,27 7,91
Total koliform (MPN) TU 6300 TU
Air Sumur Kadar Cu (mg/l) 0,087 0,083 0,135
Kadar Fe (mg/l) 0,76 0,72 0,81
Konduktivitas (mS/cm) 0,511 0,419 0,283
Turbiditas (NTU) 25,0 5,1 9,9
pH 7,16 7,29 7,71
Total koliform (MPN) TU 1700 TU
Catatan: TU = tidak diuji

Analisis Sampel Air Setelah Adsorpsi dengan Variasi Waktu Kontak


Proses adsorpsi juga dilakukan terhadap sampel air sungai dan air sumur dengan memvariasikan waktu
kontak 2, 3, 4, 5, dan 6 jam. Untuk variasi ini digunakan adsorben berupa batuan yang telah dibuat dengan
komposisi biji 25% terhadap total campuran material yang digunakan. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Analisis Air Pada Variasi Waktu Kontak (Komposisi Biji Kelor 25%)
Sampel Parameter Uji Waktu Kontak (Jam)
Air 2 3 4 5 6
Air Kadar Cu (mg/l) 0,113 0,126 0,135 0,139 0,148
Sungai Kadar Fe (mg/l) 2,03 0,69 2,04 2,40 2,66
Konduktivitas (mS/cm) 0,467 0,449 0,367 0,298 0,287
Turbiditas (NTU) 6,32 4,85 12,6 21,3 41,2
pH 7,60 7,45 7,53 7,52 7,56
Total koliform (MPN) TU 6300 TU TU TU
Air Kadar Cu (mg/l) 0,022 0,022 0,026 0,026 0,035
Sumur Kadar Fe (mg/l) 0,70 0,61 0,76 0,93 1,18
Konduktivitas (mS/cm) 1,192 1,036 0,340 0,238 0,213
Turbiditas (NTU) 3,97 3,90 5,87 5,11 8,76
pH 7.97 6,74 6,98 7,13 7,22
Total koliform (MPN) TU 1700 TU TU TU

Hasil penelitian yang disajikan dalam tiga tabel di atas menunjukkan bahwa biji kelor memiliki
kemampuan sebagai adsorben atau penjerap berbagai zat kimia dan mikroorganisme yang terkandung dalam

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 140
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.138-142) 978-602-60766-4-9

sampel air sungai dan air sumur. Hal tersebut terlihat dengan terjadinya penurunan pada hampir semua
parameter yang diuji dalam penelitian ini yakni kandungan logam Cu dan Fe, turbiditas, konduktivitas, total
pH, dan total koliform.

Kandungan logam Cu dan Fe


Adsorben yang mengandung bahan aktif biji kelor 25% dengan waktu kontak 3 jam mampu
menurunkan kandungan senyawa tembaga (Cu) dalam air sungai dari 62 mg/l menjadi 0,104 mg/l. Penurunan
ini sangat besar mencapai 99,8% dan merupakan angka penurunan yang relatif sama pada semua perlakuan
pengolahan yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal yang sama terjadi pada sampel air sumur, penurunan
kandungan Cu tertinggi mencapai 99,9% (pada komposisi biji kelor 25% dengan waktu kontak 2-3 jam) yakni
dari 31,25 mg/l menjadi 0,022 mg/l dan terendah 99,6% (pada komposisi biji kelor 30% dengan waktu kontak
3 jam) dari 31,25 mg/l menjadi 0,148 mg/l. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan adsorben
berupa batu buatan yang mengandung bahan aktif biji kelor tersebut sangat memuaskan karena Permenkes
No. 492 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Minum membatasi kadar maksimum untuk tembaga 2 mg/l. Dari
semua variasi perlakuan proses pengolahan menghasilkan air dengan kandungan logam tembaga yang
memenuhi standar tersebut.
Adsorben buatan ini juga terbukti memiliki kemampuan menjerap atau menurunkan zat besi (Fe) yang
terkandung dalam sampel air sungai dan air sumur. Untuk sampel air sungai penurunan terbesar mencapai
75,8% yakni dari 2,89 mg/l menjadi 0,70 mg/l (pada komposisi biji kelor 25% dengan waktu kontak 3 jam),
sedangkan penurunan terkecil 7,96% yakni dari 2,89 mg/l menjadi 2,66 mg/l pada waktu kontak 6 jam.
Sedangkan pada sampel air sumur penurunan kadar Fe terbesar mencapai 60% yakni dari 1,53 mg/l menjadi
0,61 mg/l (pada komposisi biji kelor 25% dengan waktu kontak 3 jam). Meskipun pengolahan tersebut mampu
menurunkan kadar besi yang sangat besar, namun kadar besi dalam semua air hasil olahan masih melebihi
baku mutu yang ditetapkan dalam Permenkes No. 492 Tahun 2010 yang membatasi kadar besi maksimum 0,3
mg/l.

Konduktivitas
Hasil uji konduktivitas sampel air baku dan sampel air hasil olahan sebagaimana tersaji dalam ketiga
tabel di atas menunjukkan bahwa pengolahan dengan adsorben yang telah dibuat mampu menurunkan
konduktivitas air sungai dari 1,62 mS/cm kei kisaran 0,287-0,467 mS/cm, dimana penurunan tertinggi
diberikan oleh adsorben dengan komposisi biji kelor 25% pada waktu kontak 6 jam. Begitupula pada sampel
air sumur, terjadi penurunan konduktivitas dari 0,88 mS/cm ke kisaran 0,213-1,192 mS/cm. Penurunan ini
sejalan dengan penurunan kandungan logam Cu dan Fe setelah proses pengolahan karena konduktivitas pada
air merupakan ekspresi numeric yang menunjukkan kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan arus
listrik yang diakibatkan adanya ion-ion bermuatan yang terlarut dalam air tersebut. Namun demikian,
konduktivitas sampel air bukan semata-mata disebabkan oleh kedua jenis logam tersebut melainkan juga
disebabkan oleh logam-logam dan zat-zat bermuatan lainnya.

Turbiditas
Turbiditas atau kekeruhan adalah adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu bahan pencemar antara
lain beberapa bahan organic dan bahan anorganik dari buangan industry, rumah tangga, budidaya perikanan,
dan sebagainya yang terkandung dalam perairan (Suraiwira, 1993). Jenis turbidimeter yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan satuan NTU. Satuan NTU dipergunakan untuk menggambarkan tingkat
kekeruhan, semakin banyak cahaya yang terpancarkan, maka semakin tinggi nilai kekeruhannya. Sehingga,
nilai NTU yang rendah mengindikasikan tingginya tingkat kejernihan air, sebaliknya nilai NTU yang tinggi
mengindikasikan bahwa nilai kejernihannya rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekeruhan sampel
air sungai dan air sumur cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya komposisi biji kelor dalam
adsorben kecuali pada komposisi 20% dengan waktu kontak 6 jam (penurunan kekeruhan tertinggi) dan pada
komposisi 25% dengan waktu kontak 3 jam. Hal ini disebabkan adanya partikel dari material penyusun
adsorben yang terlarut atau membentuk suspensi pada air olahan.

Derajat Keasaman, pH
Derajat keasaman (pH) sampel air sungai dan air sumur secara umum relatif stabil walaupun cenderung
sedikit menurun setelah proses pengolahan, dimana pH sebelum dan sesudah pengolahan berada dalam
kirasan 6,74-7,91, sedangkan baku mutu yang ditetapkan dalam Permenkes No. 492 tahun 2010 adalah 6,5-

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 141
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.138-142) 978-602-60766-4-9

8,5. Hal ini disebabkan adanya beberapa jenis asam yang terkandung dalam biji kelor seperti asam palmitat,
stearat, dan oleat.

Total koliform
Uji parameter total koliform hanya dilakukan terhadap sampel air baku dari sungai dan sumur, juga
terhadap air hasil pengolahan pada kondisi terbaik yaitu komposisi biji kelor 25% dengan waktu kontak 3 jam.
Hasil uji pendugaan hasil positif ditandai dengan adanya gelembung pada tabung durham yang berarti terjadi
proses fermentasi laktosa menjadi asam dan gas. Pada sampel air sumur MPN 10-1 terdapat hasil positif dari
ketiga tabung tersebut.Pada MPN 10-2 terdapat ketiga tabung menunjukkan hasil yang negatif. Sedangkan
pada MPN 10-3 terdapat hasil positif pada tabung pertama dan negatif pada tabung kedua dan ketiga. Setelah
ditentukan nilai MPN Coliform berdasarkan tabel MPN dengan formasi 3-0-1 nilai MPN/g dari air sumur
adalah 38 atau dalam sampel air tersebut mengandung Coliform 38/100 ml air pada setiap gramnya.
Adsorben berbahan aktif biji kelor ini terbukti mampu menghilangkan atau membunuh mikroorganisme
dalam sampel air sungai dan air sumur dari masing-masing lebih ≥2400000 menjadi 6300 dan 1700/100 ml
sampel. Namun disayangkan bahwa nilai tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam Permenkes
No. 492 Tahun 2010 yakni 0 per 100 ml sampel. Berarti air hasil pengolahan ini tidak boleh digunakan
sebagai air minum tanpa pemasakan.

4. KESIMPULAN
Adsorben yang dibuat campuran pasir, batu bata, dan semen serta bahan aktif biji kelor terbukti mampu
memperbaiki kualitas sampel air sungai dan sampel air sumur, dimana komposisi biji kelor yang terbaik
dalam adsorben adalah 25% dengan waktu kontak 3 jam. Namun demikian air hasil pengolahan tersebut
belum bisa dikonsumsi langsung karena masih mengandung mikroorganisme patogen yang tidak boleh ada
berdasarkan Permenkes 492 Tahun 2010.

5. DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Bandung: ITB.
Amagloh, Francis Kweku dan Amos Benang. 2009. Effectiveness of Moringa Oleifera Seed as Coagulant for
Water Purification. Full Length Research Paper. African Journal of Agricultural Research Vol. 4 (1), pp.
119-123. http://www.academicjournals.org/AJAR .ISSN 1991-637X © 2009 Academic Journals
Oluduro, A. O and B.I. Aderiye. 2007. Efficacy of Moringa oleifera Seed Extract on the Microflora of Surface
and Underground Water. Department of Microbiology, University of Ado-Ekiti, Ado-Ekiti, Nigeria.
SNI. 2004. Pengujian Kualitas Air Sumber dan Limbah Cair. Direktorat Pengembangan Lab Rujukan dan
pengolahan Data. BAPEDAL. Jakarta.
Warlina, Lina. 2004. Pencemaran Air: Sumber, Dampak dan Penanggulangannya. Makalah pribadi. Sekolah
Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 142
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.143-148) 978-602-60766-4-9

EVALUASI SENSORI DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA MINUMAN INSTAN


KAYA POLIFENOL DARI BIJI KAKAO PILIHAN

Pirman1), Muh.Yusuf1), Meidi Utami2), Rahmawati2), Syamsul Alam3)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
3)
Teknisi Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Theobroma cacao L. is a food plant rich in phytochemicals compounds, such as polyphenols that are beneficial
for health. The main objective of this research is to make functional drink and to determine the total polyphenol content
of products, color value (L*,a*,b*), in vitro antioxidant activity (free radical DPPH), antidiabetic effect (pancreatic
amylase inhibitory), and sensory evaluation. Cocoa instant drink formula with the highest acceptability based on taste
and aroma are the formula A1, B2, B1 and E1. Instant drink of cocoa inhibits DPPH (49.38% - 88.89%) and α-amylase
(28.06% - 67.43%). In conclusion, the formula of instant drink of selected cocoa have potential developed to health
food for preventive of diabetic diseases.

Keywords: antioxidant, α-amilase, cocoa, and polyphenols

1. PENDAHULUAN
Minuman instan merupakan salah satu produk yang paling popular di dunia (Da Silva et al, 2008).
Produk tersebut tidak hanya disukai oleh anak-anak melainkan juga orang dewasa. Ditinjau dari aspek
fitokimia biji kakao sangat baik dikembangkan menjadi produk coklat fungsional yang bernilai ekonomi
seperti tablet antioksidan, dark chocolate dan minuman instan coklat kaya polifenol. Beberapa manfaat
senyawa polifenol pada biji kakao adalah sebagai antidiabetes, antihipertensi, anti penuaan dini serta
kemungkinan sebagai anti kanker (Martin et al., 2010 : 2013).
Pada umumnya biji kakao yang dihasilkan oleh petani merupakan biji kakao tanpa fermentasi
sehingga kualitasnya sebagai bahan baku produk makanan olahan coklat termasuk kategori rendah. Beberapa
kelemahan biji kakao yang dihasilkan oleh petani diantaranya tingkat keasaman rendah, kadar biji slaty relatif
tinggi, dan citarasa khas kakao yang lemah karena tidak terbentuknya senyawa prekursor aroma. Kualitas biji
kakao untuk industri coklat sangat ditentukan oleh kandungan senyawa polifenol, aroma dan citarasa.
Kandungan senyawa aroma coklat dan citarasa dapat diperoleh melalui proses fermentasi sempurna biji kakao
basah sebelum pengeringan (Putra dkk, 2010). Proses fermentasi yang optimal dapat menghasilkan biji kakao
berkualitas baik dengan karakteristik yang diinginkan (Cruz et al, 2015).
Kandungan senyawa polifenol, proses pengolahan dan jenis bahan tambahan akan mempengaruhi
kandungan gizi, sifat fungsional dan karakteristik sensori pada minuman. Didasarkan pada uraian di atas,
maka studi ini dilakukan untuk mengembangkan minuman instan fungsional dari biji kakao pilihan blended
fermentasi maupun tanpa fermentasi, evaluasi sensori sebagai formula minuman fungsional dengan aroma
coklat dan cita rasa yang disukai dan penentuan sifat fisikokimia formula minuman instan. Tahapan penelitian
yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: seleksi buah kakao, pelepasan biji kakao, fermentasi biji kakao,
pengeringan biji kakao fermentasi dan tanpa fermentasi, formulasi kakao, evaluasi sensori dan sifat
fisikokimia formula minuman instan.

2. METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel biji kakao pilihan varietas lokal forastero
(BKLF) yang diperoleh dari Kabupaten Bulukumba. Semua pelarut dan pereaksi yang digunakan seperti
etanol, aseton, methanol, heksan, natrium karbonat, natrium asetat, asam asetat glasial, pereaksi Folin-
Ciocalteus berkualiatas pro analisis dan diperoleh dari Merck (Germany). 2,2-diphenyl-2-picylhydrazyl
hydrate (DPPH), asam galat, asam askorbat, acarbose, DNS, α-amylase (EC 3.2.1.1) pankreas diperoleh dari
Sigma Chemical Corporation (St. Louis, MO, USA). Bahan tambahan lain seperti pemanis stevia, CMC, susu
bubuk rendah lemak, vanilla dan gula aren berkualitas pangan.

1
Korespondensi penulis: Pirman, Telp 082188479616, pirman_poliupg@yahoo.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 143
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.143-148) 978-602-60766-4-9

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakterisasi sifat fisik (warna L*a*b*) produk formula Minuman Instan Kakao
Hasil analisis warna pada 21 produk formula dapat dilihat pada Tabel 2 Produk minuman instan kakao
memiliki nilai L* antara 50,97 ± 0,03 - 58,32 ± 0,30. Nilai L* tertinggi terdapat pada produk formula F1
sebesar 58,32 ± 0,30, sedangkan terendah terdapat pada produk formula G2 sebesar 50,97 ± 0,03.
Tabel 2. Hasil analisis warna produk formula Minuman Instan Kakao
Sampel L* a* b* Sampel L* a* b*
A1 55,35 ± 0.40 12,69 ± 0,34 14,96 ± 0,28 D3 55,08 ± 0.37 12,55 ± 0,01 18,96 ± 0,04
A2 53,42 ± 0.24 12,98 ± 0,03 15,69 ± 0,30 E1 57,67 ± 0.49 11,66 ± 0,21 17,81 ± 0,56
A3 52,86 ± 1.44 12,87 ± 0,02 15,90 ± 0,08 E2 56,49 ± 0.53 12,12 ± 0,01 18,55 ± 0,17
B1 54,02 ± 0.70 11,92 ± 0,10 14,96 ± 0,13 E3 55,44 ± 0.75 12,13 ± 0,21 18,28 ± 0,31
B2 53,61 ± 0.80 12,27 ± 0,33 15,77 ± 0,48 F1 58,32 ± 0.30 10,92 ± 0,06 16,14 ± 0,06
B3 53,32 ± 0.43 12,50 ± 0,08 16,30 ± 0,54 F2 57,71 ± 0.30 11,14 ± 0,01 16,48 ± 0,00
C1 54,94 ± 1.06 11,49 ± 0,14 14,36 ± 0,14 F3 56,53 ± 0.61 11,67 ± 0,17 17,22 ± 0,16
C2 53,50 ± 0.33 11,65 ± 0,64 15,90 ± 0,92 G1 51,41 ± 0.13 10,57 ± 0,06 17,99 ± 0,02
C3 53,24 ± 0.25 11,91 ± 0,11 15,34 ± 0,30 G2 50,97 ± 0.03 10,76 ± 0,01 18,35 ± 0,00
D1 56,18 ± 0.38 12,43 ± 0,16 18,94 ± 0,22 G3 51,46 ± 0.01 11,78 ± 0,01 20,08 ± 0,00
D2 55,98 ± 0.01 12,53 ± 0,02 18,59 ± 0,74 - - - -
Keterangan : Pengukuran dilakukan duplo

Jumlah bahan baku dan jenis pemanis dalam produk minuman tidak berpengaruh siknifikan terhadap
nilai a* kecuali produk formula G1 dan G2 terdapat perbedaan yang disebakan karena pada produk tersebut
menggunakan tepung talbina di dalam formulanya. Sebaliknya nilai b* semua produk minuman instan kakao
meningkat dengan naiknya jumlah bubuk kakao di dalam formula. Formula (D1 - D3, E1 - E3, F1 - F3)
dengan persentase bubuk fermentasi 70% memiliki nilai L* dan b* yang lebih tinggi dibandingkan dengan
produk formula yang mengandung bubuk tanpa fermentasi 70%, sedangkan nilai a* tidak berbeda. Dengan
demikian semua produk minuman instan kakao termasuk kategori minuman warna kurang gelap (darkless)
dengan nilai L * diatas 45.
Evaluasi Sensorik Produk minuman Instan Kakao
Evaluasi sensorik terhadap produk minuman instan kakao dilakukan dengan uji hedonik berdasarkan
penilaian oleh 33 panelis. Parameter penilaian meliputi aroma, sweetness, acidity, bitterness dan astringency.
Hasil uji hedonik terhadap 9 kategori menunjukkan bahwa umumnya panelis memberikan penilaian
pada 3 kategori kesukaan dengan persentase tinggi. Persentase panelis yang memilih 3 kategori tingkat
kesukaan (suka, agak suka dan tidak suka) terhadap aroma, sweetness, acidity, bitterness dan astrigency dapat
dilihat pada Gambar 1 - 5.
60 50
50 40
40
% Panelis
% Panelis

30
30
20
20
10
10
0 0
E1
E2
E3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
A1
A2
A3

D1
D2
D3

G1
G2
G3
F1
F2
F3
E1
E2
E3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
A1
A2
A3

D1
D2
D3

G1
G2
G3
F1
F2
F3

Aroma Sweetness
Tidak Suka Agak Suka Suka Tidak Suka Agak Suka Suka
Gambar 1. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma Gambar 2. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
coklat produk minuman instan kakao manis (sweetness) produk minuman
instan kakao
Jumlah panelis terbanyak yang memilih kategori suka terdapat pada produk formula G3 dengan
persentase 48,48% diikuti oleh produk formula A1 dan B2 sebesar 42,42 %, sedangkan yang terendah adalah
produk formula B3 dengan persentase 9,09 %. Sebaliknya produk formula B3 memiliki persentase tertinggi
terhadap jumlah panelis yang memilih kategori agak suka yaitu sebanyak 39,39% diikuti oleh formula A2 dan
G2 sebanyak 33,33%. Panelis yang memilih kategori agak suka diindikasikan cenderung suka, sehingga dari
Gambar .1 dapat diketahui bahwa aroma yang disukai panelis yaitu produk formula A1 dan B2. Penilaian
panelis terhadap produk formula A1 dan B2 kategori tidak suka sangat rendah yaitu 0% (A1) dan 3,03% (B2).

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 144
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.143-148) 978-602-60766-4-9

Gambar 2 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap 21 formula minuman instan kakao dengan
atribut rasa manis (sweetness). Jumlah panelis terbanyak yang memilih kategori suka terdapat pada produk
formula B1 dengan persentase 42,42% diikuti oleh produk formula E1 sebesar 39,39 % dan yang tidak
memilih kategori suka adalah produk formula C1 - C3 dan F1 - F3. Persentase panelis yang menyatakan tidak
suka untuk produk formula C1 - C3 dan F1 - F3 cukup tinggi yaitu masing masing berkisar antara 12,1 - 36,36
% dan 36,36 - 42,42 %. Dengan demikian terindikasi tidak ada panelis yang menyatakan suka terhadap rasa
manis pada produk formula C1 - C3 dan F1 - F3. Produk formula C1 - C3 dan F1 - F3 menggunakan stevia
sebagai pemanis. Panelis yang memilih kategori agak suka diindikasikan cenderung suka, sehingga dari
Gambar 2 dapat diketahui bahwa rasa manis yang disukai panelis yaitu formula B1 dan E1 juga didukung
dengan data persentase panelis yang menyatakan tidak suka pada formula tersebut masing-masing sangat
rendah yaitu 3,03% dan 6,06%. Produk formula B dan E menggunakan pemanis dari campuran gula aren
dengan stevia. Persentase penilaian panelis terhadap produk formula A1 – A3 dan D1-D3 masing - masing
berkisar antara 12% - 24% dan 15% -24%. Pada produk ini digunakan gula aren sebagai pemanis. Tingkat
kesukaan panelis terhadap produk formula minuman instan kakao (A1- A3, B1 - B3, C1 - C3, D1 - D3, E1 -
E3, F1 - F3 dan G1 - G3) diduga karena perbedaan jenis pemanis yang digunakan. Pemanis stevia dan gula
aren (A. pinnata palm sugar) merupakan pemanis alamiah dengan nilai kalori yang rendah. Penggunaan stevia
dan gula aren dalam bentuk blended sebagai pemanis pada minuman instan kakao baru pertama kali
dilaporkan dalam penelitian ini.
40 35
30
30
25
% Panelis

% Panelis
20
20
15
10 10
5
0 0
E1
E2
E3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
A1
A2
A3

D1
D2
D3

G1
G2
G3
F1
F2
F3

E1
E2
E3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
A1
A2
A3

D1
D2
D3

G1
G2
G3
F1
F2
F3
Acidity Bitterness
Tidak Suka Agak Suka Suka Tidak Suka Agak Suka Suka
Gambar 3. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa Gambar 4. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
asam (acidity) produk minuman instan pahit (bitterness) produk minuman instan
kakao kakao

Jumlah panelis terbanyak yang memilih kategori suka terdapat pada produk formula B1 dengan
persentase 30,3% diikuti oleh produk formula E1 sebesar 24,24 % dan yang terendah adalah produk formula
C1 dan C3 dengan persentase 3,03 %. Adapun produk formula yang tidak dipilih oleh panelis dalam kategori
suka adalah produk formula F1 - F3. Jika dilihat dari persentase panelis yang menyatakan tidak suka untuk
produk F1 - F3 cukup tinggi yaitu berkisar antara 21,2 - 33,33 %.
Rasa asam berasal dari adanya kandungan asam-asam organik pada kakao yang terbagi dalam
kelompok asam asetat dan asam yang tidak mudah menguap termasuk didalamnya asam laktat, suksinik,
malik/malat, oksalat dan tartrat (Jinap dan Zeslinda, 1995).
Jumlah panelis terbanyak yang memilih kategori suka terdapat pada produk formula E1 dengan
persentase 27,27% diikuti oleh D2 sebesar 24,2 % dan produk formula yang tidak dipilih oleh panelis dalam
kategori suka adalah produk formula C1. Produk formula E1 merupakan campuran dari bubuk kakao
fermentasi (70%) dan tanpa fermentasi (30%). Persentase bubuk kakao fermentasi yang tinggi serta
penggunaan pemanis dari campuran stevia dan gula aren di dalam formula menyebakan produk tersebut lebih
disukai. Kandungan alkaloid (kafein dan theobromine) pada bubuk kakao fermentasi lebih rendah
dibandingkan dengan tanpa fermentasi dan senyawa tersebut berkontribusi terhadap penilaian produk dari
aspek rasa pahit (Van den Bogaard et.al., 2010). Selanjutnya produk formula C1 termasuk salah satu produk
yang tidak disukai dari semua produk formula. Dibuktikan dengan melihat dari persentase panelis yang
menyatakan tidak suka untuk produk C1 adalah yang paling tinggi yaitu 33,33 % panelis. Penyebab
ketidaksukaan panelis disebabkan karena pada formula C1 persentase bubuk kakao tanpa fermentasi yang
tinggi akibatnya kandungan total polifenol dan alkaloid juga tinggi dibandingkan dengan formula lain. Selain
itu, penggunaan pemanis stevia di dalam formula juga berkontribusi terhadap penilaian panelis.
Jumlah panelis terbanyak yang memilih kategori suka terdapat pada produk formula E1 dan E2
dengan persentase 24,24% diikuti oleh produk formula D2 sebesar 24,2 % dan produk formula yang tidak
dipilih oleh panelis dalam kategori suka adalah produk formula F1 - F3. Persentase panelis yang menyatakan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 145
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.143-148) 978-602-60766-4-9

tidak suka untuk produk F1 - F3 berkisar antara 21,2 - 33,33 %. Ketidaksukaan panelis terhadap produk
formula tersebut disebabkan karena rasa sepat produk yang diakibatkan oleh adanya senyawa polifenol dan
pemanis stevia di dalam formula juga berkontribusi terhadap penilaian panelis (Misnawi dan Jinap 2008 ;
Tejo. 2013). Berdasarkan hasil pengujian organoleptik (uji hedonik) maka dapat disimpulkan bahwa dari
aspek rasa (taste) produk yang paling disukai panelis yaitu produk formula B1 dan E1, sedangkan dari aspek
aroma, produk formula yang paling disukai adalah A1 dan D1.
35
30
25
% Panelis
20
15
10
5
0

E1
E2
E3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
A1
A2
A3

D1
D2
D3

G1
G2
G3
F1
F2
F3
Astrigency
Tidak Suka Agak Suka Suka

Gambar 5. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa sepat (astringency) produk minuman instan kakao

Kandungan Total Polifenol Produk Minuman Instan Kakao


Tabel 3. Kandungan total polifenol produk minuman instan kakao
Kadar Total polifenol Rata-rata Ekstrak Minuman Instan Kakao (mg GAE/100 mL)*
Sampel Gula Campuran Pemanis Stevia Tanpa Gula
(GC) (GS) (Kontrol)
B1 178,81 ± 1,10 173,54 ± 3,73 167,58 ± 1,39
B2 205,82 ± 2,13 198,98 ± 1,10 198,46 ± 2,70
B3 226,53 ± 1,05 223,89 ± 1,05 211,79 ± 2,41
E1 140,39 ± 2,13 134,25 ± 2,70 127,23 ± 1,69
E2 180,39 ± 1,10 171,09 ± 1,61 170,39 ± 3,81
E3 205,82 ± 1,32 189,68 ± 2,63 187,40 ± 0,30
NF1 200,56 ± 1,61 188,81 ± 1,10 179,68 ± 2,41
NF2 213,02 ± 1,22 208,63 ± 0,53 207,75 ± 2,13
NF3 263,89 ± 1,39 242,32 ± 2,79 226,18 ± 2,60
F1 144,95 ± 2,29 133,54 ± 2,90 124,07 ± 1,85
F2 174,60 ± 0,61 155,47 ± 1,05 151,61 ± 1,61
F3 193,37 ± 3,97 177,05 ± 1,39 174,95 ± 0,91
Keterangan : *Diekstrak menggunakan pelarut air mendidih (100 mL) selama 2 menit

Penentuan kadar total polifenol dilakukan terhadap 24 sampel minuman instan kakao yang
mengandung pemanis campuran gula aren : stevia (GC) dan pemanis stevia (GS). Sebagai kontrol
(pembanding) adalah formula tanpa gula. Hasilnya dilihat pada Tabel 3 Kadar total polifenol produk minuman
instan kakao yang menggunakan campuran gula aren : stevia sebagai pemanis (B1-B3, E1 – E3, NF1 – NF3
dan F1 –F3) GC lebih tinggi (140,39 ± 2,13 – 263,89 ± 1,39) jika dibandingkan dengan kadar total polifenol
minuman instan kakao gula stevia (133,54 ± 2,90 – 242,32 ± 2,79) maupun minuman tanpa gula sebagai
kontrol. Kandungan total polifenol pada formula tidak hanya bersumber dari bubuk kakao (kakao tanpa
fermentasi dan fermentasi), melainkan juga disumbang oleh polifenol yang terdapat dalam gula campuran
gula aren : stevia (GC) maupun pemanis stevia (GS). Menurut Andriani (2012), bahwa gula merah
mengandung senyawa flavanol yang relative tinggi. Adapun kadar total polifenol tertinggi dimiliki oleh
formula NF3GC (100% Bubuk tanpa fermentasi) sebesar 263,89 ± 1,39 mg GAE diikuti oleh B3GC (70% NF
: 30% F) sebesar 226,53 ± 1,05 dan yang terendah yaitu E1GC (70% F : 30% NF) sebesar 140,39 ± 2,13 mg
GAE/100 mL. Selain gula merah, gula stevia juga mengandung polifenol sekitar 25,18 mg/g (Madan et.al.,
2010). Produk minuman yang mengandung campuran gula aren dan stevia dengan variasi bubuk kakao (B1 -
B3, E1 - E3, NF1 - NF3 dan F1 - F3) memiliki kandungan total polifenol yang berbeda. Demikian pula halnya
pada formula minuman gula stevia dan minuman tanpa gula sebagai kontrol juga memiliki kandungan total
polifenol yang berbeda.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 146
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.143-148) 978-602-60766-4-9

Karakterisasi sifat Antidiabetes dan Antioksidan produk minuman instan kakao


Tabel 4. Persentase hambatan aktivitas α-amilase Tabel 5. Persentase hambatan radikal DPPH pada
ekstrak minuman formula formula
% inhibisi aktivitas α-amilase % inhibisi radikal DPPH
Sampel Gula Campuran Pemanis Tanpa Gula Sampel Gula Pemanis Tanpa
(GC) Stevia (Pembanding) Campuran Stevia Gula
(GS) (GC) (GS) (TG)
B1 68,82 59,26 46,01 B1 46,31 37,87 57,43
B2 77,95 67,90 49,43 B2 48,15 44,17 58,13
B3 85,93 71,60 52,47 B3 49,39 44,09 61,64
E1 73,00 62,96 43,73 E1 54,87 46,03 50,87
E2 74,14 65,43 40,68 E2 55,87 42,09 53,12
E3 82,89 69,14 49,81 E3 56,55 44,78 56,07
NF1 79,85 70,37 48,67 NF1 45,78 29,05 40,89
NF2 82,72 71,60 50,95 NF2 44,24 28,06 40,91
NF3 88,89 70,37 53,85 NF3 46,11 36,13 46,30
B1 68,82 59,26 46,01 F1 60,70 67,43 52,47
F1 60,49 49,38 41,83 F2 61,79 61,43 54,41
F2 66,67 51,85 46,01 F3 65,57 64,73 62,57
F3 74,07 64,20 45,63

Sifat antidiabetes (inhibisi amilase) ekstrak minuman instan kakao berkorelasi dengan kandungan
total polifenol formula. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa aktivitas penghambatan amilase
oleh ekstrak polifenol kakao fermentasi berkurang dibandinkan dengan ekstrak polifenol kakao tanpa
fermentasi.
Tabel 4 menunjukkan bahwa minuman coklat yang memiliki % inhibisi aktivitas α-amilase tertinggi
untuk masing-masing formula gula campuran (GC) dan pemanis stevia (GS) yaitu NF3 yang merupakan
formula dengan bahan baku utama 100% bubuk kakao tanpa fermentasi. Sedangkan yang terendah yaitu F1GS
dan F2GS dengan persentase hambatan masing-masing sebesar 49,38% dan 51,85%. Diantara formula tanpa
gula, gula campuran dan pemanis stevia, persentase hambatan tertinggi dimiliki oleh formula gula campuran
(gula aren : stevia), hal tersebut diindikasikan berasal dari gula merah dan stevia. Nursten, H (2005)
melaporkan bahwa gula merah memiliki komponen flavonoid dan benzoquinone yang berasal dari reaksi
Maillard pada proses pembuatan gula tersebut.
Tabel 5 menunjukkan aktivitas antioksidan (% inhibisi radikal DPPH) berbagai formula minuman instan
coklat. Persentase (%) inhibisi radikal DPPH berkisar antara 28,06% - 67,43%. Diantara formula yang ada,
terdapat 3 formula yang menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu formula minuman F1, F2 dan
F3. Ketiga formula tersebut menggunakan 100% bubuk kakao fermentasi. Antioksidan ekstrak polifenol
bubuk kakao fermentasi lebih aktif dibandingkan dengan bubuk kakao tanpa fermentasi. Ekstrak kakao
fermentasi lebih efektif sebagai antioksidan enzimatik (enzymatic antioxidant) dibandingkan kakao tanpa
fermentasi. Proses ferementasi dapan meningkat aktivitas antioksidan kakao secara in vivo (Emmanuel et al.,
2015).

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Formula minuman instan kakao dengan akseptibilitas yang paling tinggi berdasarkan rasa (taste),
aroma dan rasa manis adalah formula B1, E1, A1, B2, B1 dan E1. Kandungan total polifenol formula
minuman instan berada pada kisaran 133,54 ± 2,90 - 263,89 ± 1,39 mg GAE/100 mL. Kadar total polifenol
tertinggi dimiliki oleh formula NF3GC (100% Bubuk tanpa fermentasi) sebesar 263,89 ± 1,39 mg GAE
diikuti oleh B3GC (70% NF : 30% F) sebesar 226,53 ± 1,05 dan yang terendah yaitu F1GS (100% bubuk
fermentasi) sebesar 133,54 ± 2,90 mg GAE/100 mL. Formula minuman instan memiliki persentase
penghambatan terhadap DPPH dan α-amilase masing-masing berkisar antara 49,38% - 88,89% dan 28,06% -
67,43%. Optimasi formula untuk memaksimalkan aktivitas antidiabetes dengan penambahan ekstrak polifenol
yang bersumber dari bahan pangan kaya polifenol seperti bubuk kayu manis (cinnamon cassia).

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 147
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.143-148) 978-602-60766-4-9

5. DAFTAR PUSTAKA
Apostolidis, E.; Kwon, Y. I.; Ghaedian, R.; Shetty, K. 2007. Fermentation of milk and soymilk by
Lactobacillus bulgarius and Lactobacillus acidophilus enhances functionality for potential dietary
management of hyperglycemia and hypertension. Food Biotechnol. 21, 217−236.
Butkhup L. and Samappito S. 2011. Changes in Physico-chemical Properties, Polyphenol Compounds and
Antiradical Activity During Development and Ripening of Maoluang. Journal of Fruit and Ornamental
Plant Research. Vol. 19(1) 85-99
Clapperton et al. 1994. Contribution of Genotype to Cocoa (Theobroma cacao L) flavor. Trop. Agric.
(Trinidad) 71 : 303-308.
Cruz, J. F. M., et al. 2015. Bioactive compounds in different cocoa (Theobroma cacao, L) cultivars in
fermentation. Food Sci and Technol 35(2): 279-284.
Cvitanovic A.B., Benkovic M., Komes D., Bauman I., Horzic D., Dujmic F., and Matijasec M. 2010. Physical
Properties and Bioactive Constituents of Powdered Mixtures and Drink Prepared with Cocoa and
Various Sweeteners. J. Agric. Food Chem, 58: 7187-7195
Da Silva Lannes, S. C., & Medeiros, M. L. 2008. Rheological properties of chocolate drink from cupuassu.
International Journal of food engineering, 4 (1), 1-11.
De S, Chakraborty J, Chakraborty RN, Das S. 2000. Chemopreventive activity of quercetin during
carcinogenesis in cervix uteri in mice. Phytother Res., 14:347–351.
Dogan M., Toker O.S., Aktar T., Goksel M. 2013. Optimization of Gum Combination in Prebiotic Instant Hot
Chocolate Beverage Model System in Terms of Rheological Aspect: Mixture Design Approach. Food
Bioprocess Technol 6: 783-794
Emmanuel UE, Ebhohon OS, Omeh YN. 2015. Effect of fermented and unfermented cocoa bean on some
liver enzymes, creatinine and antioxidant in wistar albino rats. Carpathian Journal of Food Science and
Technology 7(4), 132-138
Jinap S., Zeslinda A. 1995. Influence of organic acids on flavour perception of Malaysian and Ghanian cocoa
beans. J Food sci. Technol., 32, 27-33
Keen, C. L., Holt, R. R., Oteiza, P. I., Fraga, C. G., & Schmitz, H. H. 2005. Cocoa antioxidants and
cardiovascular health. The American Journal of Clinical Nutrition, 81. 298S-303S. PMid:15640494
Madan S.,Sayeed Ahmad, G. N. Singh, Kancan Kohli, Yatendra Kumar, Raman Singh and Madhukar Garg.
2010. Stevia rebaudiana (Bert.) Bertoni – review. Indian Journal of Natural Products and resources. Vol
1 (3) pp. 267-286.
Martin MA., Serrano ABG, Ramos S, Pulido MI, Bravo L, Goya L. 2010. Cocoa Flavonoids up-regulate
Antioxidant Enzyme activity Via the ERKI Pathway to Protect Against Oxidative Stress-induced
Apotesis in HepG2 Cells. Journalof Nutritional Biochemistry, 21 196-205
Martin MA., Goya L, Ramos S. 2013. Potential for Preventife Effect of Cocoa and Cocoa Polyphenols in
Cancer. Food and Chemical Toxicology, 56: 336-351
Misnawi, Jinap, S., Jamilah, B., & Nazamid, S. 2008. Changes In Polyphenol Ability To Produce Astringency
During Roasting Of Cocoa Liquor. Journal of the Science of Food and Agriculture, 85, 917-924.
Nursten, Harry. 2005. The Maillard Reaction, Chemistry, Biochemistry and Implications. Royal Society of
Chemistry; Atheneum Press Ltd, Cambridge, UK.
Putra, G. P. Ganda, N.M. Wartini, A.A.M. Dewi Anggrei. 2010. Karakteristik Enzim Polifenol Oksidase Biji
Kakao (Theobroma cacao Linn). Jurnal Agritech Vol. 30 (3). 152-157.
Ratnaningrum D., Budiwati T.A., Kokasih W., and Pudjiraharti S. 2015. Sensory and Physicochemical
Evaluation of Instant Ginger Drinks Fortified with DFA III. Procedia Chemistry 16: 177-183
Stephen M. Boue, Kim W. Daigle, Ming-Hsuan Chen, Heping Cao, and Mark L. Heiman. 2016. Antidiabetic
Potential of Purple and Red Rice (Oryza sativa L.) Bran Extracts J. Agric. Food Chem., 64, 5345−5353
Tejo V.K. and Sontrunnarudrungsri A. 2013. Effect of Color and Flavor the Perceived Intensity of Stevia
(Stevia rebaudiana) in Sweetened Beverage Products.
Utami R.R., Supriyanto S., Rahardjo S., Armunanto R. 2017. Aktivitas antioksidan Kulit Biji Kakao dari
Hasil Penyangraian Biji Kakao Kering pada Derajat Ringan, Sedang dan Berat. Agritech, vol. 37, no 1
Van den Boogard, B., Draijer, R., Westerhof, B.E., Van den Born, B.J. 2010. Effects on peripheral and central
blood pressure a randomized, double-blind crossover trial. Hypertension, 56(5), 839-846.
Wollgast J, Anklam E. 2000. Review on polyphenols in Theobroma cacao : changes in composition during the
manufacture of chocolate and methodology identification and quantification. Food Res Int (33): 47-423.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 148
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.149-152) 978-602-60766-4-9

GANGGUAN DISLIPIDEMIA PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

Nur Qadri Rasyid1), Muawanah1), Rahmawati1)


1)
Dosen Akademi Analis Kesehatan Muhammadiyah Makassar, Makassar

ABSTRACT

Dyslipidemia in diabetics is characterized by an increase in fasting triglyceride levels, postprandial blood glucose, low
HDL cholesterol, increased LDL cholesterol and dominance of small dense LDL particles. In this study, we examined the
prevalence of diabetes and its relationship to lipid profiles with cholesterol, triglyceride, HDL and LDL parameters in 28
subjects, divided into two groups: group A consisted of 14 diabetes patients at Labuang Baji Hospital and group B
consisted of 14 non diabetic subjects. These results indicate the number of diabetic patients with cholesterol < 200 mg/dL
is 14.28%. The ratio of patients with triglyceride levels of < 150 mg/dL is 28.57%, patients with HDL levels between 40-
60 mg/dL are 42.85% and patients with LDL levels < 130 mg/dL is 14.28%. It was concluded that there were higher
levels of cholesterol, triglycerides and LDL levels in patients with poor glycemic control compared to control subjects
who were not patients with diabetes mellitus.

Keywords: Dislipidemia, Diabetes, lipid

1. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah gangguan/penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah
tinggi (hiperglikemia) dengan perubahan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein dalam tubuh akibat
gangguan pada kerja insulin, sekresi insulin atau keduanya. Kondisi ini terjadi ketika sel-sel β yang
memproduksi insulin telah rusak. Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin maka dapat
mengakibatkan menurunnya transport glukosa melalui membran sel, keadaan ini mengakibatkan sel-sel
kekurangan makanan sehingga meningkatkan metabolisme lemak dalam tubuh (Hasdianah, 2012).
Menurut WHO terdapat 100 juta orang di dunia dengan diabetes mellitus dan terus meningkat pesat
setiap tahunnya. Di Indonesia prevalensi Diabetes pada tahun 2007 meningkat dari 5,7% menjadi 6,9% atau
sekitar 9,1 juta pada tahun 2013. Data International Diabetes Federation tahun 2015 menyatakan estimasi
jumlah penderita Diabetes di Indonesia diperkirakan sebesar 10 juta, kondisi ini sama seperti kondisi di dunia
dimana diabetes kini menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia. Data Sample Registration
Survey tahun 2014 menunjukkan bahwa Diabetes merupakan penyebab kematian terbesar nomor 3 di
Indonesia dengan persentase sebesar 6,7% (Depkes, 2013) . Dislipidemia pada penderita diabetes mellitus
kebanyakan digambarkan sebagai hipertrigliseridemia dan kadar HDL-C yang rendah sehingga
keberlangsungan diabetes dapat meningkatkan risiko penyakit koroner (WHO, 1994). Pasien dengan penyakit
Diabetes Melitus (DM) telah diketahui kemungkinan memiliki partikel LDL yang kecil dan padat, partikel ini
tebentuk umumnya dari kadar trigliserida tinggi, LDL tidak terlalu tinggi dan HDL-C rendah yang sering
disebut sebagai “triad diabetic dyslipidemia” (Ginsberg et al., 2010). Pasien dengan DM juga memiliki
kemungkinan untuk mengalami glikalisasi LDL yang menyebabkan molekul LDL mudah mengalami oksidasi
dan membentuk plak aterosklerosis (Rabbani et. al. 2011). Kontrol glikemik pada penderita diabetes tidak
cukup untuk mencegah kejadian kardiovaskular karena proses atherotrombotik sudah ada selama era
prediabetik. Kadar kolesterol total dan LDL-C yang tinggi serta konsentrasi HDL-C yang rendah merupakan
faktor penting untuk penyakit vaskular atherothrombotik dan dapat dikurangi dengan perawatan yang tepat.
Dislipidemia adalah faktor yang terkenal yang menyebabkan aterosklerosis. Dalam beberapa penelitian,
penurunan kadar LDL-C menyebabkan penurunan frekuensi kejadian kardiovaskular (Eryilma Y et al., 2010).
Dislipidemia pada penderita diabetes ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida puasa dan
postprandial, kolesterol HDL rendah, peningkatan kolesterol LDL dan dominasi partikel LDL padat.
Perubahan profil lipid mewakili hubungan utama antara diabetes dan peningkatan risiko kardiovaskular pada
pasien diabetes mellitus yang disebabkan karena perubahan jalur sensitif insulin, peningkatan konsentrasi
asam lemak bebas dan peradangan tingkat rendah serta menghasilkan kelebihan produksi dan penurunan
katabolisme lipoprotein yang kaya trigliserida dari usus dan hati. Menurut Wu parhofer (2014) Modifikasi
gaya hidup dan kontrol glukosa dapat memperbaiki profil lipid sehingga dapat mengurangi risiko

1
Korespondensi penulis: Nur Qadri Rasyid, Telp 085242515145, nqadrir@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 149
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.149-152) 978-602-60766-4-9

kardiovaskular. Oleh karena itu kebanyakan penderita diabetes harus memodifikasi gaya hidup dan kontrol
glukosa. Namun, jika hal ini dibiarkan begitu saja, akan timbul komplikasi lain yang cukup fatal, seperti
penyakit jantung, ginjal, kebutaan, aterosklerosis, bahkan sebagian tubuh bisa diamputasi (Anthony, 2004).
Tujuan utama dari percobaan ini untuk mengidentifikasi hubungan profil lipid dengan kadar glukosa
darah puasa pada penderita diabetes. Pemeriksaan profil lipid dilakukan untuk menyelidiki penanda biokimia,
hubungan kadar lipid plasma dan prevalensi diabetes yang disebut sebagai “triad diabetic dyslipidemia”.
Penetapan konsentrasi elektrolit dilakukan dengan menggunakan automatic analyzer, ROCHE module Cobas
6000 dan penetapan dislipidemia dilakukan dengan Serum total kolesterol dan trigliserida serta HDL dengan
metode Serum total kolesterol dengan metode enzimatis (CHOD-PAP) dan trigliserida dengan metode
enzimatik (GPO-PAP) serta HDL dengan metode pengendapan.

2. METODE PENELITIAN
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tourniquet, spoit, mikropipet 100 µl dan 50 µl, tabung
reaksi, rak tabung reaksi, pipet tetes, cup sampel, sentrifus dan Fotometer 5010.

Bahan

Bahan yang akan digunakan adalah serum darah, kapas alkohol 70%, aquades, reagent kit trigliserida,
reagent kit kolesterol total dan reagent kit HDL.

Preparasi Sampel Pengambilan Darah Vena


Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, tourniquet di pasang di atas tempat penusukan,
dibersihkan dengan kapas alcohol 70% pada daerah yang akan dilakukan penusukan, dibiarkan kering, jarum
ditusukkan di dalam vena dengan posisi lubang jarum menghadap keatas dengan sudut 15-30 derajat,
kemudian ikatan tourniquet dilepas setelah darah mengalir, setelah diperoleh volume yang diinginkan, jarum
dilepaskan perlahan dan segala di tekan dengan kapas alkohol, kemudian jarum dilepaskan dari syringe,
setelah itu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, di centrifuge selama 5 menit dan dipisahkan
serum dan darah.
Preparasi sampel dilakukan di laboratorium Kimia Klinik, Akademi Analis Kesehatan
Muhammadiyah Makassar. Sebanyak 28 subjek digunakan dalam penelitian ini, yang dibagi dalam dua
kelompok : kelompok A terdiri dari 14 pasien diabetes dan kelompok B14 subjek sebagai kontrol. Glukosa
puasa penderita diabetes ≥ 110 mg/dL. Subjek penelitian ini berada pada rentang usia dari 30-70 tahun. Pasien
yang didiagnosis terutama DM tipe 2 dan tidak mengkonsumsi alkohol dan tidak hamil. Tujuan penelitian ini
dijelaskan dengan baik kepada pasien. Anonimitas pasien dipertahankan dengan mengkodekan sampel.

Pemeriksaan Profil Lipid


Uji Biokimia penetapan profil dislipidemia pada pasien diabetes mellitus dengan menggunakan
serum total kolesterol dan trigliserida serta HDL dengan metode serum total kolesterol dengan metode
enzimatis (CHOD-PAP) dan trigliserida dengan metode enzimatik (GPO-PAP) serta HDL dengan metode
pengendapan.
Nilai Referensi Profil Lipid :
 Kadar Kolesterol : <200 mg/dL
 Kadar Trigliserida : <150 mg/dL
 Kadar LDL : 40-60 mg/dL
 Kadar HDL : <130 mg/dL

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebanyak 28 subjek dilibatkan dalam penelitian ini, dengan rentang usia 30 hingga 70 tahun. Subjek dibagi
menjadi dua kelompok tergantung pada kadar glukosa serum. Kelompok A terdiri dari 14 pasien yang
memiliki glukosa serum di bawah 110 mg/dL (kontrol normal non diabetes). Kelompok B terdiri dari 14
pasien dengan glukosa serum lebih dari 110 mg/dL (subjek diabetes). Profil lipid dilakukan dengan
menggunakan parameter kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL karena keempatnya adalah parameter yang
paling umum dan berkorelasi dengan Diabetes Mellitus. Pada penelitian profil lipid, hasil ini menunjukkan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 150
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.149-152) 978-602-60766-4-9

peningkatan yang signifikan dalam kadar kolesterol pada 85,71% penderita diabetes, dalam kadar serum
trigliserida pada 71,42% penderita diabetes, serta kadar serum LDL pada 85,71 % penderita diabetes juga
meningkat. Sedangkan kadar serum HDL menurun pada 42,85% pasien diabetes mellitus. Sebaliknya profil
lipid relatif normal terhadap semua subyek non-diabetes. Hasil ini sesuai dengan Lamarche et al. 1999.
Hasil analisis statistik dengan menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS)
disajikan dengan menggunakan mean ± Standar Eror Mean (M ± SEM) untuk semua parameter profil lipid
pada pasien diabetes dan subjek kontrol. Hasilnya disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5.6 Perbandingan profil lipid pada pasien diabetes dan subjek kontrol

Parameter Kelompok A : Subjek Kontrol Kelompok B : Pasien Diabetes


Kolesterol (mg/dL) 187,14 ± 8,174 237,42 ± 10,967
Trigliserida (mg/dL) 147,64 ± 22,824 202,99 ± 20,285
HDL (mg/dL) 50,71 ± 2,461 42,71 ± 4,429
LDL (mg/dL) 138,07 ± 8,795 166,35 ± 13,908

Hasil pengukuran biokimia ditunjukkan pada tabel 5.6. Konsentrasi rata-rata Kolesterol, trigliserida,
HDL dan LDL pada pasien diabetes mellitus masing-masing adalah 237,42 ± 10,967 mg/dL, 202,99 ± 20,285
mg/dL, 42,71 ± 4,429 mg/dL, 166,35 ± 13,908 mg/dL. Jumlah pasien dengan kolesterol kurang dari 200
mg/dL adalah 2 (14,28%). Rasio pasien dengan tingkat Trigliserida kurang dari 150 mg/dL adalah 4 (28,57%),
pasien dengan kadar HDL antara 40-60 mg/dL adalah 6 (42,85%) dan pasien dengan kadar LDL kurang dari
130 mg/dL adalah 2 (14,28%). Hasil ini menunjukkan bahwa adanya tingkat kadar kolesterol, trigliserida dan
LDL yang lebih tinggi pada pasien dengan kontrol glikemik yang buruk dibandingkan dengan subjek kontrol
yang bukan pasien diabetes mellitus.
Pada diabetes, banyak faktor dapat mempengaruhi profil lipid darah yang menyebabkan
dislipidemia, yang paling penting adalah kekurangan insulin, yang memainkan peran penting dalam
pengaturan metabolisme perantara. Selain itu, Hiperglikemia secara progresif meningkatkan transfer ester
kolesterol HDL ke partikel LDL. Defisiensi insulin yang terjadi pada diabetes tipe 2 merusak aktivitas
lipoprotein lipase dan menghasilkan tingkat HDL yang lebih rendah dan kadar TG yang lebih tinggi, yang
dapat meningkat dengan perbaikan kontrol glikemik. Menurut Richard dan Prabha (2002) Diabetel Mellitus
adalah resiko independen untuk penyakit kardiovaskuler, dan risiko ini lebih menonjol ketika bersamaa
dengan adanya dislipidemia. Dalam penelitian Multiple Risk Factor Intervention (MRFIT), menyatakan
bahwa pada penderita diabetes kematian yang disebabkan oleh kejadian kardiovaskular adalah 4 kali lebih
banyak dari pada non diabetes meskipun tingkat kolesterol sama pada keduanya.

4. KESIMPULAN
Konsentrasi rata-rata Kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL pada pasien diabetes mellitus masing-
masing adalah 237,42 ± 10,967 mg/dL, 202,99 ± 20,285 mg/dL, 42,71 ± 4,429 mg/dL, 166,35 ± 13,908
mg/dL. Jumlah pasien dengan kolesterol kurang dari 200 mg/dL adalah 2 (14,28%). Rasio pasien dengan
tingkat Trigliserida kurang dari 150 mg/dL adalah 4 (28,57%), pasien dengan kadar HDL antara 40-60 mg/dL
adalah 6 (42,85%) dan pasien dengan kadar LDL kurang dari 130 mg/dL adalah 2 (14,28%). Hasil ini
menunjukkan bahwa adanya tingkat kadar kolesterol, trigliserida dan LDL yang lebih tinggi pada pasien
dengan kontrol glikemik yang buruk dibandingkan dengan subjek kontrol yang bukan pasien diabetes
mellitus.

5. DAFTAR PUSTAKA
Anthony . 2004. Health Promotion and Health Education about Diabetes Mellitus, The Journal of the Royal
Society for the Promotion of Health, 124 (2): 70-73.
Depkes. 2013. Situasi dan Analisis Diabetes. Infodatin Pusat Data dan Infornasi Kementerian Kesehatan RI.
Eryilmaz Y. Kovankaya T. Tokgozoglu L. 2010. Diabetic dyslipidemia. Göztepe Tıp Dergisi 25(1):4-12
Ginsberg HN. et al. 2010. Effects of combination lipid therapy in type 2 diabetes mellitus. N Engl J Med.
362(18):1563-74.
Hasdianah H. R, 2012. Mengenal Diabetes Melitus Pada Orang Dewasa dan Anak-Anak dengan Solusi
Herbal. Nuha Medika, Yogyakarta.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 151
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.149-152) 978-602-60766-4-9

Lamarche, B.; Despres, J.P.; Moorjani, S.; Cantin, B.; Dagenais, G.R.; Lupien, P.J. 1996 Triglycerides and
HDL-cholesterol as risk factors for ischemic heart disease.Results from the Quebec cardiovascular study.
Atherosclerosis, 119, 235–245
Rabbani N, Godfrey L, Xue M, Shaheen F, Geoffrion M, Milne R, et al. 2011. Glycation of LDL by
methylglyoxal increases arterial atherogenicity. A possible contributor to increased risk of cardiovascular
disease in diabetes. Diabetes; 60 (7): 1973–80.
Richard S, Prabha S. 2002. Cholesterol treatment guidelines update. Am Fam Physician; 65:871-880.
Wu, L. Parhofer K. 2014. Diabetic Dyslipidemia. Metabolism clinical and experimental. 6 (3): 1469 – 1479.
World Health Organization. Expert Committee on Prevention and Treatment of Diabetes Mellitus; WHO
Technical Series No 844; World Health Organization: Geneva, Switzerland, 1994.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan apresiasi terdalam kepada DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui
program Penelitian Dosen Pemula DRPM 2018

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 152
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.153-158) 978-602-60766-4-9

THE PROCESSING AND ANALYSIS OF THE POLYPHENOLS CONTENT OF COCOA


BEAN (THEOBROMA COCOA L) AND THE DEVELOPMENT AS FUNCTIONAL FOODS

Sakius Ruso1), Pirman1)


1)
Food Processing Laboratory, Department of Chemical Engineering, State of Polytechnic Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Production and quality of cocoa in South Sulawesi have been decreasing that causes it falls below the industrial
standard. The quality of cacao bean is mainly determined by aroma and flavour produced from fermentation process of
wet cacao bean before drying. In this research processing of various cacao bean without fermentation to polyphenols-rich
cacao powder and polyphenols (catechin) analysis using HPLC have been carried out.
The experimental results showed that total polyphenols content of cacao bean (raw bean) was between 82.14 –
126.67 mg GAE/g powder. Cacao samples coded PLPK, BLKK and SWK (without boiling pretreatment) have
polyphenols content of 113, 119.78, and 126.67 mg/g powder respectively. Whereas the polyphenols content of cacao
sample coded PLP, SW and BLK (with blanching pretreatment) were 110.76, 113.75 and 82.14 mg GAE/g powder
respectively. NP-HPLC analysis result showed that cacao bean from Palopo, Bulukumba and Siwa have high
polyphenols content ranging from 149.38 mg/g to 367.21 mg/g powder.
Heat pretreatment decreases polyphenols content of cacao bean and it shows that polyphenols is not heat
resistant. Polyphenols - rich cacao bean can be obtained without fermentation and heat treatment. Cacao bean from
Bulukumba, Siwa and Palopo have high economic value when processed as polyphenols - rich health food products.

Keywords: Cacao bean, Polyphenols, Catechin.

1. INTRODUCTION

Cacao is an export comodity which contributes to increase state revenue. Indonesia is one of major
cacao exporter after Ivory Coast (38.3%) and Ghana (20.2%) with percentage of 13.6%. International demand
for cacao is always increasing. Until the year 2011, ICCO (International Cocoa Organization) estimates that
global cocoa production will reach 4.05 million tons, while consumption will reach 4.1 million tons, so there
will be a deficit of about 50 thousand tons per year. This condition is a good opportunity for Indonesia to
become a major producer of cocoa world.
South Sulawesi as the main cocoa-producing area has contributed 70% of national production of
cocoa beans. In 2003 the volume of exports of cocoa products are as follows: 258,545.994 tons of cocoa
beans, 4281.627 tons cocoa butter, 2290.120 tons cocoa cake, 4187.076 tons of cocoa powder and 557.500
tons cocoa liquor (Sulawesi Plantation Office, 2003). Although the production of Indonesian cocoa beans is
increasing significantly, but the quality is very low and varied. This is reflected in the price of Indonesian
cocoa beans in the world market that is relatively low and charged discounted price compared to similar
products from other producing countries. Indonesian cocoa quality, especially from South Sulawesi and West
Sulawesi are lower compared to that cocoa from Ivory Coast and Ghana. The main causes of poor quality
cocoa beans is due to the fermentation process that is not perfect or not fermented at all.
Unfermented cocoa beans contain a variety of compounds called polyphenols, approximately 60% of
total polyphenols in cocoa beans (raw cocoa beans) are monomers flavanols (epicatechin and catechin) and
pro-sianidin oligomers (dimers and dekamer) with varying concentrations. According to Osakabe et al.
(1998), concentrations of epicatechin in cocoa seed extract is estimated 7-10 times higher than that of cocoa
liquor. The content of polyphenols and flavonoids in cocoa /chocolate products depends on several factors
such as: varieties of cocoa beans, post-harvest handling, fermentation, drying and roasting.
Fermentation and roasting process of cocoa bean was caused the decreased of polyphenols in the
process of fermentation and roasting leads to reduced cocoa flavanol content, while processing cocoa with
alkali (alkalization process) can reduce content of flavanol and procyianidin (L. Stahl, et al 2009).
Amin Ismail., et al (2010) reported that the ethanol extract of unfermented cocoa beans from South
Sulawesi showed the highest antioxidant activity compared with extracts of cocoa beans from Malaysia,

1
Korespondensi penulis: Sakius Ruso, Telp 081341497771, zacky68.poliup@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 153
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.153-158) 978-602-60766-4-9

Ghana, Cote d'Ivoire (CD). This is due to the presence of the main components in the form of high
polyphenols epicatechin compound. Giving extract polyphenols in test animals was able to reduce the level of
plasma glucose and stimulate insulin secretion in patients with diabetes mellitus type 2 (Amin et al (2010).
Epidemiological data indicate 50% of stroke and heart attack in the elderly can be reduced if consuming cocoa
products that are rich in polyphenols or flavanols (Buijsse and others 2006). Therefore, the aim of this study is
focused on the production process of cocoa powder rich in polyphenols from cocoa beans without
fermentation and its development as a health product.

2. METODOLOGI

2.1 Material and Equipment

The materials used in this study is the fruit of the cocoa from cocoa production center in South
Sulawesi (Bulukumba, Palopo and Shiva), ethanol, methanol, acetone, hexane, Folin - Ciocalteus reagent
(Merck), catechins (Siqma Chemicals). The main equipment for the analysis of polyphenols is
Spektrofotmeter UV-VIS and HPLC (Shimadzu), sieving and fat press machine tool.

2.2. Cocoa Bean Sample Processing

Riped Cocoa pods were peeled, seeds were removed and washed with water to remove the pulp
attached to the seed. cocoa beans were then boiled with hot water at a temperature of 80 ° C (blanching) for
10 minutes for inactivate the polyphenol oxidase enzyme (PPO). As a control was the same sample of cocoa
beans without blanching. Cocoa beans were sun dried until it reaches 5% seed moisture content. The outer
cocoa seed skin was removed to obtain cocoa beans without skin (nibs). Nibs were cracked then blended until
smooth, cocoa powder was pressed with high pressure to approximately 10% fat remaining. Cocoa powder
was crushed and blended back into powder and sieved to obtain cocoa powder with a size of 100 mesh.

2.3. Extraction and Cocoa Total Polyphenols Determination.

Fat content of cocoa powder samples were separated by addition of 200 ml of solvent hexane and
stored for 24 hours, then centrifuged at 2,500 rpm for 10 minutes. This method was repeated 3 times with
hexane solvent so that a total of 600 mL of solvent used. 1 gram of fat-free cocoa powder was extracted three
times with acetone: water (7:3 v/v) and then centrifuged at 2,500 rpm for 10 minutes. Total extracts of
acetone-water as much as 60 mL was diluted with acetone - water into a 100 mL flask. Total polyphenols
content of cocoa is determined by the modified Folin-Calciteau method. A total of 1 mL acetone-water extract
incorporated into 50 mL flask, 20 mL distilled water and 2 mL of Folin-Calciteau reagent was added, then
shaken and allowed to settled for 5 minutes, then 20 mL of Na2CO3 15% was added and filled up to the mark,
incubated at room temperature for 90 minutes. The absorbance was measured at a wavelength of 750 nm.
Catechins are used to generate a standard calibration curve at various concentrations (5 ppm - 60 ppm). Total
polyphenols content expressed in mg catechin equivalent per gram of cocoa powder (mg CE/g cocoa powder).

2.4. Identification of Cocoa Catechins using HPLC method.

A total of 1 gram of fat-free cocoa powder is extracted with acetone: water (70:30) at room
temperature with shaking. Centrifugation was done at 2,500 rpm for 20 minutes the filtrate was taken while
the precipitate or residue was discarded. The filtrate was saturated with NaCl, the bottom layer was removed
and the upper layer (acetone: water) was taken and concentrated by rotary evaporator to dryness. Polyphenol
extract powder was added with 15 mL of water and washed with chloroform 4 times. The aqueous phase was
taken and filtered with a 0.45 um filter paper. The filtrate was diluted with methanol or water to 25 mL for the
catechin content analysis by NP HPLC method (Nelson and Sharpless, 2003). Type column Shim Pack VP-
ODS with a size of 250 x 4.6 mm, detector UV systems, mobile phase mixture of methanol: water 70: 30 with
a flow rate of 1mL / min were used. Catechin content was determined by UV detector system at a wavelength
of 280 nm with catechins as standard.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 154
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.153-158) 978-602-60766-4-9

3. RESULT AND DISCUSSION

3.1. Total Polyphenols Content

Polyphenols content of cocoa or cocoa derivative products depend on cocoa plant varieties (genetic,
agronomical, and others), and a number of factors related to post-harvest processing. In previous studies it has
been reported that the fermentation of cocoa beans for 5-7 days can produce cocoa beans with a distinctive
aroma of chocolate accompanied with good physical characteristics such as fine grain leather, thin and round
seed shape. However, the content of polyphenols in cocoa bean fermentation results showed a significant
reduction compared to the polyphenol content of unfermented cocoa beans. Decreased content of polyphenols
from cocoa beans during fermentation due to the diffusion of the compound out of pieces of seed through the
release of water molecules and then oxidation and condensation reactions of polyphenolic compounds
catalyzed by the enzyme polyphenol oxidase. Preparation of polyphenols rich cocoa powder from various
samples are shown in Figure 4.2, while the total polyphenols cocoa powder from various samples are shown
in Table 4.1.
Tabel 4.1 Polyphenols Content (gram sampel fat free cocoa powder)
Total Polyphenols
No Sampel Code (mg/g powder) Remarks
1 PLP 1 111.51 Blanching
2 PLP2 110.09 Blanching
3 PLP3 119.78 Without Blanching
4 SW1 82.14 Blanching
5 SW2 126.67 Without Blanching
6 BLK1 113.75 Blanching
7 BLK2 120.14 Without Blanching
184.27 to 101.92 Fermented cocoa bean
8 BLK 188,69 to 91.76 (Pirman, 2008)

Total polyphenols content of cocoa beans samples (raw cocoa bean) ranged between 82-126 mg / g
cocoa powder. Samples cocoa PLP3, BLK2 and SW2 without boiling treatment had higher levels of
polyphenols at 113 mg / g powder, 119.78 mg / g powder and 126.67 mg / g powder respectively. In contrast
levels of cocoa polyphenols sample code PLP1, PLP2, SW1, BLK1) with successive boiling treatment 111.51
mg / g powder, 110 mg / g powder, 113.75 mg / g powder and 82.14 mg / g powder respectively. Heat
treatment (boiling) for 10 minutes causes reduction of polyphenols levels in the sample. This suggests that the
cocoa polyphenols compounds are not resistant to heat. Another experimental result showed that the content
of total flavonoids of cocoa beans samples (raw cocoa bean) from the Bulukumba and Palopo were quite high
ranging from 171.880 to 180.567 mg / g cocoa powder.
Cocoa samples Palopo (CK4 code) without boiling have a highest total polyphenols and flavonoid (180.567
mg / gram samples of cocoa powder and 59.512 mg / g powder samples). Test showed that the antioxidant
content of total polyphenols and total flavonoids was positively correlated with antioxidant activity (Pirman,
2011). Therefore, to obtain a cocoa powder with high polyphenols content of the proposed method involves
the processing of cocoa beans without fermentation process, boiling and roasting. Osakabe et al. (1998)
reported that cocoa extracts obtained from cocoa liquor showed potent antioxidant activity. High antioxidant
capacity of cocoa powder due to the existant of phenolic compounds in the form of monomers, dimers and
trimers mainly catechins and epicatechin compounds (Ismail and Abbe Maleyki, 2010). The quantity of
phenolic compounds and flavonoids determine antioxidant activity of cocoa beans and cocoa products.

3.2. Profile of Cocoa Catechin Content

Cocoa catechin compounds can be identified using NP-HPLC method. Catechin chromatogram
profile of various cocoa samples are shown in Figure 4.3 - 4.5. The chromatograms in Figure 4.3- 4.5 has
different a retention time, area (area) and the peak heights. Peak with retention time 2.929, 2940, 2.931, 2.960,
2.939, 2.952, 2.921 and 2972 is catechin compounds and in accordance with the retention time standard

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 155
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.153-158) 978-602-60766-4-9

compounds (catechins). Results calculated with standard catechin showed that cocoa beans from different
regions (Palopo, Bulukumba and Shiva) contain catechin compounds with varying levels of 149.38 mg / g
cocoa powder up to 367.21 mg / g cocoa powder.

Gambar 4.3. NP - HPLC Chromatogram of catechin compounds of Bulukumba cocoa with boiling
treatment and without blanching

Gambar 4.4. NP - HPLC Chromatogram of catechin compounds of Palopo cocoa with blanching
treatment and without blanching

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 156
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.153-158) 978-602-60766-4-9

Gambar 4.5 NP - HPLC Chromatogram of catechin compounds of Siwa cocoa with blanching
treatment and without blanching

Bioactive compounds (epicatechin and catechin) in cocoa has been identified by HPLC-DAD.
According Osakabe et al. (2002), that epicatechin and catechin are the main components in cocoa powder. The
content of cocoa beans epicatechin levels ranged between 270 - 1235 mg / 100 grams of cocoa beans.
Sulawesi cocoa beans showed the highest levels of epicatechin followed cocoa Malaysia, Ghana, and Cote
dIvoirian (Othman et al. 2010).

4. CONCLUSION
Based on the above results, it can be concluded that the unfermented cocoa beans from South Sulawesi
(Bulukumba, Siwa and Palopo) shows high content of polyphenols, flavonoids (catechins) and thus potentially
be developed into a product that has economic value as a health food product.

5. ACKNOWLEDGEMENTS
The author would like to thank the Directorate of Research and Community Service, the Ministry of
Research, Technology and Higher Education for the support of research funding comes from grants National
Strategic Research in 2018 (Contract Number: 043/SP2H/LT/DRPM/2018).

6. REFERENCES

Abbe MJ, Amin I (2008), Antioxidant properties of cocoa powder. J. Food Biochem. DOI: 10.1111, 1745 –
4514.
Abbasi.S and H. Farzanmehr: Rheological Properties of Prebiotic Milk Chocolate. Food Technol. Biotechnol.
47 (4) 396–403 (2009).
Andres-Lacueva, C., Lamuela-Raventos, R.M., Jauregui, M., Permayer (2000). An LC method for the analysis
of cocoa phenolics. LC : GC Europe , 902 – 904.
Anonim, 2003. Produksi cacao Sulawesi Selatan. Laporan FAO. (On line) http:// www.fajar.com. diakses 12
Desember 2005.
AOAC (2000) Association of official Analytical Chemists official Methods of Analysis (17 th ed). W.
Hortuntzed (Ed) Washington.
AOAC (2000) Association of official Analytical Chemists official Methods of Analysis Method 985.29 for
dietery fibre.
Amin, I. et al (2010), Epicatechin content and antioxidant capacity of cocoa beans from four different
countries. African Journal of Biotechnology, 9(7), 1052 – 1059.
Ariefdjohan MW, Savaiano DA. 2005. Chocolate and cardiovascular health: is it too good to be true? Nutr
Rev 63(12):427–30.
Buijsse B, Feskens EJM, Kok FJ, Kromhout D. 2006. Cocoa intake, blood pressure and cardiovascular
mortality. Arch InternMed 166:411–7.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 157
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.153-158) 978-602-60766-4-9

Bernard R Chaitman, MD,1 Haro l d H S c h m i t z , PhD,2 and C a r l L Keen, PhD : Cocoa Flavanols and
Cardiovascular Health. Business Briefing : US Cardiology, 2006, hal 23-27
Elena Cienfuegos- Jovellanos, Maria Del Mar Quinones, Muguerza, B., Moulay, L., Miguel, M., and
Aleixandre, A. (2009) Antihypertensive effect of a polyphenol-rich cocoa powder industrially
processed to preserve the original flavonoids of the cocoa beans. J. Agric. Food Chem, 57, 6156-6162.
Engler MB, Engler MM. 2006. The emerging role of flavanoid-rich cocoa and chocolate in cardiovascular
health and disease. Nutr Rev 64(3):109–18.
ESPIN J.C., SOLER-RIVAS C., WICHERS H.J. 2000 Characterization of the Total Free Radical Scavenger
Capacity of Vegetable Oils and Oils Fractions using 2, 2-Diphenyl-1-pycrilhydrazyl Radical. Journal
of Agricultural Food Chemistry, 48, 648-656.
Fauziah Ashari & Pirman (2008) Fermentasi biji kakao (Theobroma cocoa) melalui penambahan kultur
campuran. Laporan Hasil Penelitian Riset Terapan, Kementerian Riset dan Teknologi
Kenneth B. Miller, David A. Stuart, Nancy L. Smith, Chang Y. Lee, Nancy L. Mchale, Judith A. Flanagan :
Antioxidant Activity and Polyphenol and Procyanidin Contents of Selected Commercially Available
Cocoa-Containing and Chocolate Products in the United States; J. Agric. Food Chem. 2006, 54, 4062-
4068.
Kofink, M., Papagiannopoulos, M., Galensa, R. (2007) Catechin in cocoa and chocolate: occurence and
analysis of an atypical flavan-3-ol enantiomer. Molecules,12, 1274 – 1288.
Lee, K. W., Hwang, E. S., Kang, N. J., Kim, K. H., & Lee, H. J. (2005). Extraction and chromatographic
separation of anticarcinogenic fractions from cacao bean husk. Biofactors, 23, 141–150.
Milosevic, S., Zekovic, Z., Lepojevics, Z., Vidovic, S. (2011) Antioxidant properties of tablets prepared from
ginkgo, echinacea and mentha dry extracts. Romanian Biotechnological Letters Vol. 16, No. 5.
Natsume, M., Osakabe, N., Yamagishi, M., Takizawa, T., Nakamura, T., Yoshida, T. (2000) Analyses of
polyphenols in cacao liquor, and chocolate by Normal- Phase and Reversed-Phase HPLC. Bioscience.
Biotechnology. Biochemistry, 64, 12, 2581 – 2587.
Osakabe N, Yamagishi M, Sambogi C, Natsume M (1998). The antioxidative substances in cocoa liquor. J.
Nutr. Sci. And Vit. 44: 313 – 321.
Othman, A., Ismail, A., Abdul Ghani, N., & Adenan, I. (2010). Epicatechin content and Antioxidant capacity
of cocoa beans from four different countries. African Journal of Biotechnology , vol 9 (7), 1052 –
1059.
Othman, A., Ismail, A., Abdul Ghani, N., & Adenan, I. (2007). Antioxidant capacity and phenolic content of
cocoa beans. Food Chemistry, 100, 1523–1530.
Park, Y., S., Jung, T., Kang, J., Namiesnik (2006). In Vitro studies of polyhpenol , antioxidant and other
dietary indices in kiwifruit (Actinidia deliciosa). International Journal of Food Sciences and
Nutrition, 57, 107 – 122.
Pirman dan Sakius, (2011) Proses pengolahan biji kakao untuk pembuatan functional food
pada sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan, Laporan Penelitian Kerjasama dengan BBPT.
Re R., N., Pellegrini, A., Proteggente, A., Pannala, M., Yang (1999). Antioxidant activity applying an
improved ABTS radical cations decolorization assay. Free Rad. Biol. Med. 6 : 1231 – 1237.
Ramiro, E., Franch, A., Castellote, C., Perez-Cano, F., Permanyer, J., Izquierdo-Pulido, M., et al. (2005).
Flavonoids from Theobroma cacao down-regulate inflammatory mediators. Journal of Agricultural
and Food Chemistry, 53, 8506–8511.
Rohman, Saepul. 2009. ”Teknik Fermentasi dalam Pengolahan Biji Kakao”. (On line),
(http://majarimagazine.com/2009/06/teknik-fermentasi-dalam-pengolahan-biji-kakao/), diakses 17
Oktober 2009.
Rudianto, Pirman (2007) Modifikasi proses fermentasi biji kakao melalui penambahan aktivator. Laporan
Hasil Penelitian Riset Terapan, Kementerian Riset dan Teknologi
Schroeter, H., Heiss, C., Balzer, J., Kleinbongard, P., Keen, C. L., Hollenberg, N. K., et al. (2006). (_)-
Epicatechin mediates benefial effects of flavanol-rich cocoa on vascular function in humans.
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 103, 1024–1029.
Stahl, L., Miller , K.B., Apgar, J., Sweigart , D.S., Stuart , D.A., Mchale , N., Kondo, M., and Hurst , W.J.
(2009) Preservation of Cocoa Antioxidant Activity, Total Polyphenols, Flavan-3-ols, and Procyanidin
Content in Foods Prepared with Cocoa Powder. Journal of Food Science -Vol. 74, Nr. 6.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 158
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.159-161) 978-602-60766-4-9

PEMBUATAN MINYAK ATSIRI DARI KULIT JERUK PURUT (CITRUS HISTRIX)


DENGAN METODE EKSTRAKSI

A.Sry Iryani1), Agustina deka1)


1)
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Fajar, Makassar

ABSTRACT

Orange rind contains essential oils, also known as the oil eteris (eetheric oil) many industrial chemical pafume,
add citrus fragrance on drinks and food, as well as in the field of health is used as an anti-oxidant and anti-cancer. In this
study who would like to know is which content is obtained and the content of essential oil skin Kaffir lime (Citrus
hystrix) using Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC MS) is as much as 27 unidentified chemical components in
skin oils Kaffir lime. As for the biggest deposits of oil contained in the Kaffir lime leaves 4 components with the highet
peak that is limonene of 16.45%, Sabinene of 11.13%, β-citronellol of 8,25% and citronellal of 7,64%.

Keywords: citrus oil, citrus hystrix, steam distillation,

1. PENDAHULUAN
Tanaman jeruk purut berpotensi sebagai penghasil minyak atsiri, termasuk kulitnya (Astarini dkk.,
2009) karena mengandung sabinena dan limonena yang berguna untuk kosmetik, aromaterapi, pencuci
rambut, antelmintik, obat sakit kepala, nyeri lambung dan biopestisida. Dalam perdagangan internasional
dikenal sebagai kaffir lime. Harga kaffir lime oil asal Indonesia yaitu sebesar USD 65-75 per kilogram
(Feryanto, 2007).
Ekstraksi minyak atsiri dari kulit jeruk dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti pengepresan
dingin, menggunakan bahan pelarut, maupun dengan distilasi. Cara yang sederhana dan mudah dilakukan
adalah dengan metode distilasi uap/air. Menurut Munawaroh dan Handayani (2010) kandungan senyawa
kimia yang utama dari minyak jeruk purut adalah senyawa sitronelal 81,49 %.
Kulit jeruk secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu flavedo (kulit bagian luar yang
berbatasan dengan epidermis) dan albedo (kulit bagian dalam yang berupa jaringan busa). Epidermis
merupakan bagian luar yang melindungi buah jeruk dan terdiri dari lapisan lilin, matriks kutin, dinding sel
primer dan sel epidermal. Flavedo mengandung kloroplas, karotenoid, dan kelenjar minyak (tempat
terakumulasinya minyak atsiri). Sedangkan albedo mengandung banyak selulosa, hemiselulosa, lignin, pektat
dan hesperiodes seperti hesperin dan nagirin serta senyawa limonin yang lebih banyak dari flavedo (Albrigo
dan Carter, 1977).
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan
kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Pada proses distilasi, campuran zat dididihkan
sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan (Kurniawan dkk.,
2011). Proses pembuatan minyak atsiri dapat dengan 3 cara yaitu: pengepresan (pressing), ekstraksi
menggunakan pelarut (solvent extraction), dan penyulingan (distilation) (Rizal dkk., 2009).
Beberapa penelitian tentang ekstraksi minyak atsiri dari jeruk purut dengan metode destilasi yang
telah dilakukan Hidayat (1999) menggunakan metode destilasi air dengan waktu selama 6 jam dan sampel
jeruk purut berasal dari daerah Ponorogo dan Madiun menghasilkan 4 senyawa utama salah satunya sitronelal
84,202 %.
Prinsip dasar metode distilasi adalah uap dari air digunakan untuk mengangkat minyak atsiri dari
dalam jaringan kulit jeruk purut dan kemudian didinginkan dengan air mengalir. Hasil yang diperoleh adalah
campuran air dan minyak yang karena perbedaan berat jenis akan terpisah dimana lapisan minyak ada di atas
sedangkan lapisan air ada di bawah. Lapisan minyak kemudian diambil menggunakan pipet dan dimasukkan
dalam botol berwarna gelap.Penyimpanan sebaiknya dilakukan di dalam lemari es (kulkas) karena memiliki
suhu rendah dan terhindar dari paparan sinar matahari.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan bahan kulit jeruk purut dan aquadest, adapun alat yang digunakan adalah
serangkaian alat ekstraksi, timbangan, botol penampung, kompor gas, pompa dan thermometer

1
Korespondensi penulis: A. Sry Iryani, Telp 085241019290, andisryani@unifa.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 159
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.159-161) 978-602-60766-4-9

Adapun prosedur penelitian antara lain, Pertama-tama sampel kulit jeruk purut dicuci dahulu
kemudian sampel kulit jeruk dibersihkan lalu sampel kulit jeruk diiris secara tipis-tipis kemudian dimasukkan
kedalam alat ekstraksi dipanaskan sampai mengeluarkan uap yang dapat mengektraksi kulit jeruk hingga
mengeluarkan campuran antara air dan minyak dan dipisahkan dengan menggunakan corong pisah untuk
mendapatkan minyak atsiri murni kemudian ditampung kedalam botol minyak. Secara skema dapat dilihat
dibawah ini:

Setelah diperoleh minyak atsiri dari kulit jeruk purut selanjutnya dilakukan analisis terhadap minyak
dengan menggunakan uji GC- MS untuk mengetahui kandungan dari minyak atsiri yang dihasilkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil penelitian yang dilaksanakan dalam pengujian GC MC di peroleh kandungan komposisi
kimiawi penyusun minyak atsiri dari kulit jeruk purut dapat dilihat pada data dibawah ini:
Tabel 1. Komposisi kimiawi penyusun minyak atsiri dari kulit jeruk purut
Rumus
No Indeks retensi Komponen Kimia BM Kandungan
Molekul
1. 6.139 α-pinene C10H16 136 2,94%
2. 7,263 Sabinene C10H16 136 11,13%
3. 7,482 Β-pinene C10H16 136 1,15%
4. 8,452 Limonene C10H16 136 16,45%
5. 9,109 D-carene C10H16 136 0,72%
6. 9,271 -terpinene C10H16 136 2,01%
7. 9,703 α-terpinole C10H16 136 1,20%
8. 9,934 Linalool C10H18O 154 3,64%
9. 10,272 Cyclohexen C6H12 84 0,08%
10. 10,979 Citronella C10H18O 154 7,64%
11. 11,210 Isopulegol C10H18O 154 0,60%
12. 12,368 Β-citronellol C10H20O 156 8,25%
13. 12,618 Geraniol C10H18O 154 0,55%
14. 13,275 Perilla alcohol C10H16O 152 0,08%
15. 13,612 Citronello acid C10H18O2 170 0,26%

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 160
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.159-161) 978-602-60766-4-9

16. 13,731 Octenoic acid C8H14O2 142 0,34%


17. 13,825 D-elemene C15H24 204 0,98%
18. 14,613 β-elemene C15H24 204 1,22%
19. 14,670 Dodecanal C12H24O 184 0,14%
20. 15,032 Trans-caryophyllene C15H24 204 0,13%
21. 15,133 Germacrene-β C15H24 204 0,59%
22. 15,477 α-humulene C15H24 204 0,11%
23. 15,833 Germacrene-β C15H24 204 0,79%
24. 15,908 Β-selinene C15H24 204 0,21%
25. 16,027 α-farnesene C15H24 204 4,69%
26. 17,034 Spathulenol C15H24O 220 0,08%
27. 18,955 α-sinensal C15H22O 218 0,21%
Total 66,19%

Berdasarkan data dari analisis GC-MS menunjukkan adanya 27 komponen yang teridentifikasi pada
minyak kulit jeruk purut dan 4 komponen dengan puncak tertinggi yaitu limonene sebesar 16,45%, Sabinene
sebesar 11,13%, β-citronellol sebesar 8,25% dan citronellal sebesr 7,64%

4. KESIMPULAN
Adapun hasil kesimpulan sementara yang dapat diperoleh dari hasil penelitian yaitu :
1. Kandungan yang diperoleh dari minyak atsiri dari kulit jeruk purut dari hasil uji GC-MS menunjukkan
adanya 27 komponen yang teridentifikasi pada minyak kulit jeruk purut dan 4 komponen dengan puncak
tertinggi yaitu limonene sebesar 16,45%, Sabinene sebesar 11,13%, β-citronellol sebesar 8,25% dan
citronellal sebesr 7,64%.
2. Kandungan terbesar yang terdapat dalam minyak atsiri dari kulit jeruk purut adalah limonene sebesar
16.45%

5. DAFTAR PUSTAKA
Albrigo, LG dan Carter, RD. 1977. Structure of Citrus Fruits In Relation to Processing. Connecticut: The
AVI Publishing Compny inc.
Astarini, N. P. F.; Burhan, R. Y. dan Zetra, Y., 2009. Minyak Arsiri dari Kulit BuahCitrus grandis, Citrus
aurantium (L.) dan Citrus aurantifolia (Rutaceae) sebagai Senyawa Antibakteria dan Insektisida,
Prosiding SK-091304.
Feryanto, A.D.A. 2007. Minyak Daun Jeruk Purut. http://ferryatsiri.blogspot.com/2007/07/minyak-daun-
jeruk-purut.html [diakses tanggal 25 April 2016].
Hidayat, F. K. 1999. Ekstraksi Minyak Atsiri dari Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix DC) pada Skala Pilot-
Plant. Sripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Kurniawan, D. 2011. Pengaruh Lama Penyulingan Terhadap Randemen Minyak Jeruk Purut Menggunakan
Destilasi Vakum. Tekhnik Kimia. Undip. Semarang.
Munawaroh, S. dan Handayani, P. A., 2010.Ekstraksi Minyak Daun jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) dengan
Pelarut Etanol dan N-Heksana, Jurnal Kompetensi Teknik., 2:73-78.
Rizal, M Rusli, SM dan Mulyadi, A. 2009. Minyak Atsiri Indonesia. Dewan Atsiri Indonesia. Bogor.
Suryaningrum, S. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Buah Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C)
terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Surakarta. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/ 5186/1/K100050195.pdf [diakses tanggal 25
April 2016].

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia selaku pemberi dana, dan kepada seluruh staf Program Studi Teknik Kimia UNIFA
serta adik-adik mahasiswa yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 161
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.162-166) 978-602-60766-4-9

ANALISIS KANDUNGAN DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN PADA RUMPUT LAUT


EUCHEUMA COTTONI YANG DIEKSTRAKSI DENGAN PELARUT ETANOL
Herman Bangngalino1), M. Badai1)
1)
Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Antioxidant have been extracted from the seaweed Eucheuma cottoni species by applied the maceration method,
the seaweed fresh are washed and cutting and then macerate in the beaker glass with the ethanol as a solvent. The ethanol
solvent prepares in three different concentrated, that are 55%, 75%, and 95%. The macerate is kept fixed time at 3 x 24
hour’s (three days) at room temperature. The extract is concentrated with vacuum rotary evaporator, the concentrated
extract that received are analysis for yield recovery, antioxidant activity, and extract composition with GC-MS. The
result showed that the yield extract recovery is 13.95% for the ethanol solvent 55%, 8.71 % for the ethanol solvent of
75%, and 17.06% for the ethanol solvent 0f 95%. While antioxidant activity or IC50 for each concentration solvent extract
are as in a series of 1,179.245 ppm for the ethanol 55%, 1,190.476 ppm for the ethanol 75%, and 4,032.258 ppm the
ethanol 95%. The GC-MS analysis resulted for the ethanol solvent 55% extract is detected there are 40 compounds
composed. From those result can be concluded that the best ethanol concentration for extracted the antioxidant from
seaweed Eucheuma cottoni it was 55%.

Kayworth: maceration, ethanol extract, antioxidant, seaweed, yield recovery, and antioxidant activity.

1. PENDAHULUAN
Penelitian yang mengarah pada penemuan senyawa antioksidan merupakan hal menarik untuk
dikembangkan terutama sumber antioksidan dari biota laut, seperti Sargassum polycystum, Laurencia obtuse,
dan Eucheuma cottoni (Anggadireja et al., 1997 dalam Pramesti, 2013), begitu juga rumput laut Caulerpa
serrulata yang diduga dapat digunakan sebagai antioksidan. Sebagai salah satu upaya untuk mengungkapkan
sifat medis dari flora laut serta untuk mengoptimalkan bahan alam laut Indonesia, khususnya di Daerah
Takalar, maka pada penelitian ini dilakukan ekstraksi senyawa aktif pada alga merah Eucheuma cottoni
dengan pelarut etanol, kemudian dilanjutkan dengan pengujian aktivitas antioksidan terhadap DPPH.
Dari uraian tersebut di atas maka dilakukan penelitian tentang penentuan ativitas antioksidan ekstrak
etanol rumput laut jenis Eucheuma cottoni yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di pesisir pantai Desa
Punaga Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan dengan mengekstraksi komponen
antioksidan dari rumput laut segar dengan pelarut etanol yang konsentrasinya divariasikan. Konsentrasi etanol
disediakan dalam tiga variable konsenttrasi, yakni 55%, 75%, dan 95%. Dengan ketiga variable konsentrasi
ini dapat ditentukan konsentrasi pelarut yang paling optimal mengekstraksi antioksidan dari rumput laut segar.
Ekstrak etanol yang diperoleh masing-masing dianalisis sifat antioksidannya dengan metode DPPH. Selain
itu, dianalisis juga persentase perolehan dan komposisi antioksidan dengan menggunakan Kromatografi Gas
yang ditandemkan dengan Spektroskopi Massa (GC-MS).
Beberapa jenis rumput laut yang dikenal dan umum tumbuh di perairan Indonesia antara lain
 Eucheuma spinosum
 Eucheuma muricatum
 Eucheuma cottonii
 Gracilaria spp.
 Gelidium spp.
 Sargassum spp.
Dari berbagai jenis rumput laut, yang umumnya telah dibudidayakan adalah rumput laut dari genus
Eucheuma dan Gracilaria.
Manfaat yang paling dikenal dari rumput laut adalah untuk pembuatan agar-agar. Namun di samping
itu rumput laut ternyata mempunyai manfaat-manfaat lainnya. Berikut adalah manfaat rumput laut.
1. Penghasil agar-agar; manfaat yang paling dikenal ini berasal dari rumput laut jenis Gracilaria spp,
Gelidium spp., dan Gelidiopsis spp.
2. Penghasil Peragian; proses kimia peragian dapat memanfaatkan rumput laut dari jenis Eucheuma spp.

1
Korespondensi penulis: Herman Bangngalino, Telp 082188619616, hermanbangngalino@yahoo.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 162
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.162-166) 978-602-60766-4-9

3. Penghasil algin atau alginat; alginat dapat dihasilkan dari rumput laut berjenis seperti Sargassum spp.
4. Manfaat lainnya, antara lain sebagai obat tradisional, bahan makanan dan sayuran, bahan kosmetik dan
kecantikan, penyerap karbondioksida.
Alga, baik yang liar maupun yang telah dibudidayakan secara tradisional digunakan sebagai obat diet,
bahan makanan dan obat-obatan karena kaya akan protein, lipid, vitamin, dan mineral yang sangat penting
bagi manusia. Temuan terakhir membuktikan bahwa rumput laut berpotensi sebagai antivirus, anti bakteri,
anti jamur, anti-tumor dan antioksidan (Zandi et al., 2010 dalam Anonim, 2018).
Iskandar (2009) melakukan penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol alga merah jenis Eucheuma
cottoni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol alga merah memiliki aktivitas anti bakteri
terhadap bakteri uji dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) terhadap bakteri Bacillus cereus adalah
0,1% dan terhadap Escherechia coli adalah 0,5%.
Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama
menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Nama
daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun
internasional.
Analisis fitokimia merupakan pengujian yang digunakan untuk memberikan informasi jenis senyawa kimia
yang terkandung di dalam tumbuhan serta dapat memberikan efek fisiologis. Informasi mengenai komponen
aktif sangat berguna untuk memprediksi manfaatnya bagi tubuh manusia (Copriyadi dkk., 2005). Analisis
fitokimia yang dilakukan antara lain, flavonoid, fenol, hidrokuinon, triterpenoid, tannin dan saponin. Hasil
analisis fitokimia secara kualitatif menunjukkan bahwa ekstrak Padina australis dan Eucheuma cottonii
mengandung antara lain flavonoid, fenol, hidrokuinon dan triterpenoid yang diduga berperan sebagai zat
potensial untuk bahan baku krim tabir surya.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan tingkatan sifat antioksidan (IC50) ekstrak etanol rumput laut Eucheuma cottoni pada ketiga
varibel konsentrasi pelarut etanol yang digunakan.
2. Menentukan persentase perolehan antioksidan ekstrak etanol pada ketiga variable konsentrasi etanol yang
digunakan.
3. Menentukan komposisi antioksidan yang terkadung di dalam ekstrak etanol rumput laut Eucheuma cottonii
berdasarkan hasil analisis GC-MS.

2. METODE PENELITIAN
Rumput laut segar dicuci dengan air bersih sampai bersih, ditiriskan kemudian dipotong-potong
dengan panjang kira-kira 1 cm. Disimpan dalam wadah bersih.
Larutan etanol disediakan dalam tiga variable konsentrasi yakni 55%, 75%, dan 95%. Penyediakan
larutan ini dilakukan dengan cara pengenceran dari etanol absolut (konsentrasi 100% etanol). Setiap
konsentrasi dibuat sebanyak 2 liter dan disimpan dalam wadah bersih.
Rumput laut E. cottoni yang telah dipotong-potong 1 cm ditimbang sebanyak 500 g, lalu dimasukkan
ke dalam gelas kimia 1000 mL, kemudian ditambahkan larutan etanol 55% sebanyak 500 mL (1:1 w/v) lalu
ditutup dengan baik dan disimpan pada suhu kamar. Dimaserasi selama 3 x 24 jam, setiap 24 jam dilakukan
penyaringan dengan kertas saring Whatman no. 42 dan residu ditambah lagi dengan pelarut baru sebanyak
500 mL. Filtrat digabungkan dan dievaporasi dengan Rotavapor pada suhu 40oC hingga diperoleh ekstrak
kental. Ekstrak kental yang diperoleh dikumpulkan secara kuantitatif dan ditimbang dengan neraca analitik
untuk penentuan persentase perolehan dan analisis aktivitas antioksidan dengan metode DPPH serta analisis
komposisi dan massa molekul tiap komponen antioksidaan dengan GC-MS.
Ekstrak kental yang diperoleh dari prosedur 3.4.2 diencerkan dalam methanol sampai diperoleh
konsentrasi berturut-turut 100, 150, 200, 250, dan 300 ppm. Disediakan 5 buah tabung reaksi bersih dan dan
dibungkus dengan aluminium foil. Dipipet sebanyak 3 mL larutan ekstrak encer di atas dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi tersebut kemudian ditambahkan masing-masing 1 mL larutan DPPH 0.004%. Larutan
dikocok sampai homogen dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar. Kemudian diukur serapannya
dengan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm (serapan dicatat sebagai A s) , larutan
DPPH 0,004% juga diukur serapannya pada panjang gelombang yang sama (serapan dicatat sebagai (Ab) .
Nilai persentase hambatan oksidasi (tingkat inhibisi) dihitung dengan rumus

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 163
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.162-166) 978-602-60766-4-9

Nilai IC50 dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara
konsentrasi ekstrak v.s. tingkat inhibisi tiap konsentrasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Analisis Tingkat Inhibisi Ekstrak Rumput Laut
Tabel 1. Hasil ekstraksi dengan etanol 55%
Konsentrasi Tingkat Inhibisi (I%) Ekstrak Etanol
No. Ekstrak
55% 75% 95%
(ppm)
1 100 1,63 - -
2 200 11,61 - -
3 400 21,2 - -
4 800 47,01 19,29 7,06
5 1200 - 45,11 16,84
6 1600 59,56 70,38 21,7
7 2000 - 95,11 25
8 2400 95,38 96,74 28,26

Tingkat inhibisi pada tabel di atas dihitung dengan rumus:

Dimana Ab = absorbansi DPPH standar yang nilainya 0,368 sedangkan As = absorbansi sampel.
Dari hasil tersebut dapat ditentukan IC50 (Tabel 2) ekstrak rumput laut yang diperoleh dengan mengalurkan
konsentrasi ekstrak terhadap tingkat inhibisi seperti grafik pada gambar 1.
Tabel 2. Hasil penentuan IC50
No. Konsentrasi Pelarut Ekstrak IC50 (ppm)
(%)
1 Etanol 55% 13,95 1.179,245
2 Etanol 75% 8.71 1.190,476
3 Etanol 95% 17.06 4.032,258

Gambar 1. Hubungan konsentrasi ekstrak etanol (ppm) dengan tingkat inhibisi


(%) untuk ekstrak etanol 55%, etanol 75%, dan Etanol 95%

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 164
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.162-166) 978-602-60766-4-9

Berdasarkan hasil yang diperoleh di atas, perolehan ekstrak dan nilai IC 50 dipengaruhi oleh
konsentrasi pelarut yang digunakan, dalam hal ini etanol. Nilai IC 50 paling kecil diperoleh dari ekstrak etanol
50%, ini menunjukkan bahwa aktivitas anti oksidan paling tinggi dari rumput laut Eucheuma cottonii dapat
diperoleh dengan menggunakan pelarut etanol 55%. Berkaitan dengan hasil analisis tersebut, selanjutnya
dilakukan analisis untuk mengetahui komposisi ekstrak etanol 55% dengan menggunakan GC-MS
(kromatografi gas yang ditandemkan dengan spektroskopi massa). Hasil analisis GC-MS dalam bentuk data
report pada lampiran I, menunjukkan bahwa ada 40 komponen senyawa di dalam ekstrak etanol yang
diperoleh. Dari keempat puluh komponen senyawa tersebut, masih terlalu sulit untuk menentukan senyawa
mana diantaranya yang memiliki sifat antioksidan. Dengan kata lain perlu di lakukan penelitian lebih lanjut
dan mendalam.

4. KESIMPULAN
Berdasarkaan hasil yang diperoleh dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Nilai IC50 dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut (etanol) yang digunakan pada proses ekstraksi, dimana nilai
IC50 sebesar 1.179,245 ppm yang diperoleh pada ekstraksi dengan pelarut etanol 55%.
2. Persentase perolehan ekstrak etanol optimal adalah 13,95% yang diperoleh pada ekstraksi dengan pelarut
etanol 55%.

5. DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N., H. Wijaya, dan D. T. Cahyono. 1996. Aktivitas Antioksidan dari Daun Sirih
(Piper betle L.) Dalam: Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. VII (I): 29—30.
Anggadireja, J., R. Andyani, Hyati, dan Muawanah. 1997. Antioxidant Activity of Sargassum
polycystum (Phaeophyta) and Laurencia abtusa (Rhodophyta) from Seribu Islands (Pulau
Seribu). Dalam: Journal of Applied.
Anonim. 2013. Penderita Kanker Global Capai 14 Juta.
http://www.bbc.co.uk/Indonesia/majalah/2013/12/131212_iptek_kanker_global. [25
Oktober 2015].
Bangngalino, Herman dan Abigael Todingbua’. 2017. Jobsheet Lab Kimia Organik. Jurusan
Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Blois MS (1958) Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Nature 26: 1199-
1200.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Cahyana, A. H. 1991. Pyropheophytin-A as an Antioxidative Substance from The Marine Algae
(Eisenia bicyclis). In: J. Biosci. Biotech. Biochem. 56(10): 1533—1535.
Cahyaningrum, Kun., Amir Husni, dan Siti Ari Budhiyanti. 2016. Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Rumput Laut Coklat (Sargassum polycystum). Dalam: Agritech. 26 (2): 137—144.
Copriyadi, J., Yasmi E., dan Hidayati. 2005. Isolation and Characterization of coumarins from
Peels of Orange (Citrus hystrix DC). In: Jurnal Biogenesis. 2: 13—25.
Fujimoto, K. 1985. Screening for Antioxigenic Compound in Marine Algae and Bromophenols
as Effective Principles in Red Algae Polysiphonia ulcelata. In: Bulletin of Japanese
Society of Scientific Fisheries. 51(9): 1139—1143.
Isdarmojo, D. 1986. Pengaruh Penambahan Rumput Laut sebagai Antioksidan pada Ketengikan
Tepung Silase. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Maharany, Fevita dkk. 2017. Kandungan Senyawa Bioaktif Rumput Laut Padina australis dan
Eucheuma cottonii sebagai Bahan Baku Krim Tabir Surya. Dalam: JPHPI. 20 (1): 10—
17.
Moosa, M.K. 1999. Sumber Daya Laut Nusantara: Keanekaragaman Hayati Laut dan
Pelestariannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta: LIPI.
Podungge, Alindra, Lena J. Gamongilala, dan Hanny W. Wewengkang. 2018. Kandungan
Antioksidan pada Rumput Laut Eucheuma spinosum yang Diekstraksi dengan Metanol dan Etanol.
Dalam: Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 6 (1): 197—201.
Pramesti, Rini. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rumput Laut Caulerpa serrulata dengan
Metode DPPH (1,1-Diphenil-2-Pikrilhidrazil). Dalam: Buletin Oseanografi Marina. (2):

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 165
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.162-166) 978-602-60766-4-9

7—15.
Rosalina. 2013. Ancaman Diabetes di Indonesia Meningkat.
<http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/060510562/Ancaman-Diatbetes-di-Indonesia-
Meningkat. [20 Januari 2015]
Supriyono, Agus. 2007. Aktivitas Antioksidan Beberapa Spesies Rumput Laut dari Pulau
Sumba. Dalam: Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 9 (1): 34—38.
Tsuda, T., Makino Y., Kato H., and Osawa T. 1993. Screening for Antioxidative Activity of
Edible Pulses. Dalam: Biosci. Biotechnol. Biochem. 56: 1606—1608.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 166
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.167-171) 978-602-60766-4-9

PENGARUH SUHU KALSINASI PADA SINTESIS KATALIS PADAT TITANIUM


DIOKSIDA TERSULFONASI TERHADAP KONVERSI PEMBENTUKAN ESTER PADA
REAKSI ESTERIFIKASI DESTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT MENGGUNAKAN
METANOL
Hb. Slamet Yulistiono 1), Swastanti Brotowati1)
1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

Solid catalyst synthesis has been carried out, including sulfonated titanium dioxide catalysts and their
derivatives. These catalysts can be used to help the reaction to biodiesel production. However, information about the
catalyst synthesis processed related to the calcination temperature and its effect on the conversion to biodiesel formation
is very rarely found. This study aims to investigate the effect of calcination temperature on the catalyst synthesis process
so that it can be useful in determining the right calcination temperature in the synthesis of sulfonated titanium dioxide
catalysts and their derivatives. Catalyst synthesis using impregnation method and testing for catalytic effects were carried
out on the chemical reaction of esterification of fatty acids contained in fatty acid distillates from palm oil (PFAD). The
results showed that the catalyst synthesized at 500 0C calcinations gave the best catalytic effect, where the conversion to
methyl ester formation was 98.1% with physical properties including density and viscosity at 40 0C in accordance with
SNI standards for biodiesel.

Keywords: solid catalyst of sulfonated titanium dioxide, palm oil fatty acid distillate (PFAD), esterification, methyl
ester, biodiesel

1. PENDAHULUAN
Biodiesel umumnya diproduksi melalui jalur reaksi kimia transesterifikasi trigliserida atau esterifikasi
asam lemak menggunakan alkohol dan dengan bantuan katalis tertentu. Sumber trigliserida antara lain adalah
minyak nabati dan lemak hewani, sedangkan sumber asam lemak antara lain adalah destilat asam lemak dari
minyak sawit (DALMS). Basa kuat seperti NaOH atau asam kuat seperti H2SO4 sebelumnya sering digunakan
sebagai katalis karena memiliki keunggulan dapat mengkonversi minyak / lemak atau asam lemak menjadi
metil ester atau etil ester dengan yield yang tinggi, waktu yang singkat dan dengan biaya yang rendah. Kini,
penggunaan katalis homogen tidak lagi menjadi pilihan utama karena adanya peraturan yang lebih ketat
tentang energi yang bersih dan potensi pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya.
Dibalik keunggulan katalis homogen, terdapat kelemahan-kelemahan diantaranya adalah sulitnya
melakukan pemungutan kembali katalis dari produk dan proses pemurniannya menghasilkan limbah cair
dalam jumlah yang besar. Katalis homogen basa atau asam juga berifat korosif terhadap peralatan sehingga
menimbulkan permasalahan tersendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, katalis heterogen (padat) sepertinya
berpotensi dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan diatas, selain karena tidak korosif,
tidak beracun, dan mudah dipisahkan dari campuran produk, juga memungkinkan penggunaan yang berulang
kali (reuses) sehingga proses pembuatan biodiesel nantinya akan menjadi makin ekonomis.
Tahap akhir pada proses sintesis katalis padat (heterogen) umumnya adalah kalsinasi pada suhu tinggi
yang bertujuan untuk merubah struktur bahan katalis sehingga memiliki efek katalitik yang tinggi, misalnya
pori yang lebar dengan volume yang luas tetapi tetap kuat secara mekanis dan termis. Penelitian ini
memastikan adanya pengaruh suhu kalsinasi terhadap efek katalitik, yang mana dapat diamati misalnya
melalui konversi pembentukan metil ester pada reaksi kimia esterifikasi destilat asam lemak minyak sawit
menggunakan metanol.
Pemilihan destilat asam lemak minyak sawit sebagai sumber asam lemak dalam penelitian ini
merupakan upaya atau solusi mengatasi pertentangan ”untuk bahan makanan atau untuk bahan bakar”.
Destilat asam lemak sawit adalah produk samping pada proses pemurnian minyak goreng sawit, mengandung
banyak sekali asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang tidak baik untuk dimakan (non edible), karenanya
penggunaannya tidak akan mengganggu ketahanan pangan nasional, bahkan sebaliknya dapat meningkatkan
nilai tambah tanaman sawit itu sendiri.

1
Korespondensi penulis: Hb. Slamet Yulistiono, Telp 081210243464, hbslamet1@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 167
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.167-171) 978-602-60766-4-9

Yulistiono, S. Hb. (2008) telah melaporkan bahwa reaksi esterifikasi DALMS menggunakan etanol
dan katalis homogen berupa asam sulfat pekat selama waktu reaksi 90 menit hanya mempu menghasilkan etil
ester dengan konversi maksimal hanya 92%. Berkaitan dengan sintesis katalis heterogen, maka Refaat (2012)
melaporkan bahwa penggunaan oksida logam sebagai penyangga katalis dapat memberikan efek katalitik
yang maksimum. Berikutnya, Sheikh, R. (2013) telah membuktikan pula bahwa penggunaan penyangga
katalis yang berbasis pada oksida logam seperti ZrO2, Al2O3, dan SiO2 dapat membuat tahapan proses menjadi
lebih efisien dan ada tendensi terjadinya reaksi transesterifikasi dan esterifikasi secara simultan. Katalis
dengan dua jenis penyangga TiO2 dan SiO2 juga telah berhasil disintesis oleh Embong (2016) dan
diaplikasikan untuk mengkonversi DALMS menjadi metil ester.
Secara umum, situs aktif katalis sulfat dapat dimasukkan ke dalam pori-pori penyangga katalis oksida
logam melalui beberapa cara, diantaranya adalah metode impregnasi dan diakhiri dengan kalsinasi. Proses
kalsinasi pada suhu tinggi sangat menentukan bentuk / struktur kristal yang akan mempengaruhi performa
katalis. Oksida TiO2 misalnya, pada suhu 120 0C hingga 500 0C memiliki struktur kristal anatase dengan luas
permukaan yang lebih besar, sedangkan pada suhu 700 0C memiliki struktur kristal rutil dengan luas
permukaan yang lebih kecil.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi Indonesia melalui penggunaan energi terbarukan yang
bersih dan salah satunya adalah biodiesel (alkil ester), maka penelitian pembuatan biodiesel dari minyak atau
asam-asam lemak masih tetap perlu dilakukan dan sehubungan dengan tuntutan lingkungan hidup yang makin
ketat, maka proses pembuatan biodiesel haruslah aman dan tidak menghasilkan limbah yang tidak mencemari
lingkungan. Pembuatan biodiesel menggunakan bantuan katalis yang lebih ramah lingkungan adalah suatu
keharusan sehingga penelitian yang berhubungan dengan teknologi sintesis katalis ini perlu dikembangkan.

2. METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung
Pandang dalam waktu 8 bulan penelitian.
Pada proses sintesis katalis dibutuhkan TiO2 dan H2SO4 2 M, dan alat-alat penelitian seperti
termometer, neraca analitik, motor dan batang pengaduk, penyaring vakuum, kertas saring, dan tanur dan
sejumlah wadah dan gelas-gelas kimia. Pada proses reaksi esterifikasi untuk produksi biodiesel dibutuhkan
bahan-bahan seperti metanol, destilat asam lemak minyak sawit, dan alat-alat penelitian seperti reaktor
erlenmeyer/labu leher 3 yang dilengkapi dengan thermometer setting, reflux condensor, heating mantle, motor
dan batang pengaduk, neraca analitik, hot plate, pompa akuarium dan gelas-gelas kimia secukupnya.
Sintesis Katalis Padat SO42- / TiO2
Sitesis katalis sulfat/titanium dioksida dilakukan secara impregnasi, untuk itu mula-mula 70 gram
serbuk TiO2 direndam di dalam larutan H2SO4 2M. Campuran diaduk terus selama 6 jam dengan kecepatan
250 rpm dan setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring Buchner. Padatan yang
diperoleh kemudian ditiriskan dan dikeringkan pada suhu 105 0C selama 24 jam. Bahan katalis tersebut
selanjutnya dikalsinasi selama 4 jam di dalam tanur pada suhu sesuai variasi percobaan (300, 400, 500, dan
600 0C). Produk kalsinasi yang diperoleh kemudian ditumbuk halus dan akhirnya disimpan dalam botol atau
bejana berpenutup rapat untuk digunakan sebagai katalis pada proses reaksi kimia esterifikasi asam lemak.
Uji Performa Katalis Melalui Reaksi Esterifikasi DALMS
Katalis-katalis padat yang dihasilkan selanjutnya diuji efek katalitiknya melalui reaksi esterifikasi
asam-asam lemak yang terkandung dalam destilat asam lemak minyak sawit (DALMS) menggunakan metanol
dengan kondisi operasi yang konstan, yakni suhu reaksi 64 0C, kecepatan pengadukan 250 rpm.
Mula-mula 10 gram DALMS dicairkan dengan menggunakan hot plate, kemudian setelah mencair
dimasukkan ke dalam reaktor erlenmeyer yang telah diatur pada kondisi operasinya. Berturut-turut kemudian
dimasukkan sejumlah metanol dan katalis padat. Setelah reaktor mencapai kondisi operasi yang diinginkan,
ditetapkanlah waktu mulai reaksi selama 4 jam.
Setelah waktu reaksi tercapai, reaktor kemudian dimatikan. Setelah reaktor menjadi dingin, semua
material dalam reaktor dikeluarkan dan langsung dilakukan pemisahan katalis dengan menggunakan
penyaring Buchner. Bagian filtrat yang diperoleh kemudian ditempatkan di corong pisah untuk menjalani
proses settling secara grafitasi sehingga dapat dipisahkan sekali lagi bagian-bagian padatan dan cairan. Bagian
cairan yang diperoleh kemudian dipanaskan hingga 115 0C untuk menyingkirkan komponen air dan metanol.
Produk akhirnya ditampung dalam wadah berpenutup rapat. Analisis kadar asam lemak bebas sisa (yang tidak
bereaksi) kemudian dilakukan dengan metoda titrasi asam basa.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 168
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.167-171) 978-602-60766-4-9

Prosedur diatas dilakukan dengan menggunakan produk katalis yang telah dikalsinasi pada suhu 300,
400, 500, dan 600 0C dan dengan jumlah katalis 20% dan 25% terhadap jumlah DALMS. Rasio molar antara
metanol dan DALMS ditetapkan sebesar 20. Produk reaksi terbaik adalah produk yang memiliki kadar asam
lemak bebas sisa terendah dan digunakan sebagai penentu suhu kalsinasi terbaik pada pembuatan katalis.
Sebagai modifikasi, dilakukan pula kalsinasi terhadap serbuk TiO 2 pada suhu kalsinasi terbaik sebelum proses
perendaman menggunakan asam sulfat 2 M.
Produk reaksi terbaik kemudian dianalisis lagi tentang sifat-sifat fisisnya meliputi densitas dan
viskositas dan tentang komponen-komponen penyusunnya menggunakan instrument GC-MS. Berdasarkan
data analisis menggunakan GC-MS terhadap bahan baku DALMS dan produk reaksi terbaik, maka
(1) dikumpulkan persentase asam-asam lemak atau ester-ester asam lemak sehingga dapat dihitung persentase
keseluruhan asam-asam lemak dan persentase ester-ester yang terkandung pada DALMS, (2) dikumpulkan
persentase asam-asam lemak yang tidak bereaksi dan ester-ester yang terbentuk selama reaksi esterifikasi pada
produk reaksi terbaik sehingga dapat dihitung konversi pembentukan ester pada reaksi esterifikasi.
Berikut adalah rumus perhitungan konversi reaksi esterifikasi:

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada prinsipnya, sintesis katalis pada suhu kalsinasi 300, 400, 500 dan 600 0C telah dilakukan,
sedangkan uji efek katalitik juga telah dilakukan melalui reaksi kimia esterifikasi terhadap asam-asam lemak
yang terkandung dalam destilat asam lemak minyak sawit (DALMS).
Table 1. Data Analisis Kadar Asam Lemak Bebas Pada Bahan Baku DALM Sebagai Sumber Asam Lemak

No Metode Pengukuran Komponen Jumlah


1 Titrasi [ mgrek KOH/gram sampel ] Campuran asam lemak 285,5
Tetradecanoic acid 1,30 %
N-Hexadecanoic acic 49,79 %
Octadec-9-onoic acid 35,80 %
Octadecanoic acid 4,33 %
Gas Chromatography Dengan Mass Spectrometer
2 ( GC-MS ) Total asam lemak 91,22 %
[%]
Methyl ester ( triglyceride ) 2,96 %
Ethyl ester ( triglyceride ) 0,46 %
Total ester ( minyak ) 3,42 %

Tabel 1 diatas dan Gambar 1 dibawah menunjukkan bahwa DALMS mengandung banyak sekali
asam-asam lemak bebas dan sedikit minyak, dan oleh karena itu sangat cocok atau sangat berpotensi menjadi
bahan baku pada proses pembuatan biodiesel melalui reaksi kimia esterifikasi menggunakan alkohol.
Table 2. Data Analisis Kadar Asam Lemak Bebas Pada Produk Reaksi
Kadar Asam Lemak Bebas
Katalis Dgn Suhu Konversi [ % ]
Kode [ mgrek KOH / gram sampel ]
Kalsinasi
Sampel
[ 0C ] Katalis 20% Katalis 25% Katalis 20% Katalis 25%
A 300 29,40 16,72 89,7 94,1
B 400 24,13 10,10 91,5 96,5
C 500 9,65 7,74 96,6 97,3
D 600 15,37 36,36 94,6 87,3
E 500* 10,10 96.5

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 169
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.167-171) 978-602-60766-4-9

Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa diantara kode sampel A, B, C, dan D, ternyata sampel C memiliki
konversi tertinggi untuk ke dua konsentrasi katalis yang digunakan. Hal ini berarti bahwa penggunaan katalis
yang dikalsinasi pada suhu 500 0C pada reaksi kimia esterifikasi asam lemak menunjukkan efek katalitik
terbaik. Berdasarkan Tabel 2 tersebut terlihat bahwa suhu kalsinasi yang meningkat mulai dari 300 0C hingga
puncaknya pada suhu 500 0C memberikan efek katalitik yang makin baik sebaliknya pada suhu 600 0C efek
katalitiknya menjadi menurun. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sekali lagi percobaan sintesis katalis pada suhu
disekitar 500 0C, sehingga pada akhirnya diperoleh katalis yang memiliki efek katalitik terbaik yang akan
memberikan konversi pembentukan ester yang maksimal.
Sampel E adalah produk reaksi yang menggunakan katalis yang disintesis secara khusus, yakni serbuk
TiO2 terlebih dahulu dikalsinasi pada suhu 500 0C sebelum digunakan pada proses impregnasi menggunakan
H2SO4 2 M, jadi sedikit agak berbeda dengan katalis yang digunakan pada produk reaksi C. Hasil analisis
kemudian menunjukkan bahwa sampel E ini ternyata memiliki kadar asam lemak sisa yang lebih sedikit
dibandingkan sampel C, atau dengan kata lain katalis termodifikasi ini tidaklah sebaik katalis sebelumnya.
Penggunaan katalis sebesar 20% dan 25% memperlihatkan peningkatan konversi yang hanya sedikit
saja. Teoritis, penggunaan katalis yang terlalu banyak diduga akan meningkatkan viskositas reaktan yang
dapat menyebabkan hambatan pada reaksi yang akhirnya dapat mengurangi konversi secara keseluruhan. Oleh
sebab itu, penggunaan katalis yang lebih sedikit pada reaksi esterifikasi ini perlu dipertimbangkan.
Gambar 1 berikut memperlihatkan data analisis DALMS dan Sampel C menggunakan alat GC-MS.

Gambar 1. Data Analisis GC-MS Untuk (a) Bahan Baku DALMS Dan (b) Produk Reaksi Terbaik
Pada Tabel 3 berikut disajikan data hasil analisis sifat-sifat fisis dan pengelompokan komponen-
komponen pada produk reaksi berdasarkan analisis menggunakan GC-MS diatas.
Table 3. Data Analisis Sifat Fisis Dan Kimia Produk Reaksi Terbaik
Parameter uji /Komponen Satuan Jumlah SNI 7182:2015
Viskositas mm2/s 3,362 2,3 – 6,0
Densitas kg/m3 877,25 850 - 890
Metil Ester %b 92,13 -
Etil Ester %b 2,72 -
Total Ester %b 94,85 -
n-Hexadecanoic acid %b 1,25 % -
Octadec-9-enoic acid %b 0,45 % -
Total asam lemak sisa %b 1,7 % -

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 170
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.167-171) 978-602-60766-4-9

Pada Tabel 1 atau pada Gambar 1a dapat dilihat, bahwa bahan baku DALMS mengandung asam
lemak bebas sebesar 91,22 % dan minyak sebagai ester sebesar 3,42 %, sedangkan pada Tabel 3 atau Gambar
1b dapat dilihat produk reaksi terbaik mengandung ester 94,85 % dan asam lemak bebas sisa sebesar 1,7 %.
Meskipun instrument GC-MS memiliki keterbatasan tidak bisa menunjukkan kandungan minyak sebagai
trigliserida melainkan sebagai ester, namun data-data ini menunjukkan bahwa katalis yang digunakan selain
mengkonversi asam lemak menjadi ester, diduga juga dapat mengkonversi minyak menjadi ester. Seberapa
jauh katalis dapat berfungsi secara simultan mengkonversi asam lemak dan minyak, dalam hal ini perlu diteliti
lebih lanjut karena akan menyebabkan proses produksi biodiesel menjadi lebih efisien.
Jika perhitungan konversi didasarkan atas persentase keseluruhan asam-asam lemak pada DALMS
sebesar 91,22 % dan persentase keseluruhan sisa asam lemak sebesar 1,7 %, maka diperoleh nilai konversi
sebesar 98,1 %, sedangkan jika perhitungan konversi didasarkan hanya atas persentase n-hexadecanoic acid
pada DALMS sebesar 49,79 % dan pada produk reaksi sebesar 1,25 %, maka didapat konversi sebesar 97,5
%.
Analisis sifat fisis produk reaksi juga memperlihatkan bahwa nilai viskositas dan densitasnya
memenuhi persyaratan SNI 7182:2015 untuk biodiesel.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1) Suhu terbaik kalsinasi pada penelitian ini adalah 500 0C.
2) Reaksi kimia esterifikasi DALMS menggunakan metanol dengan rasio molar tehadap DALMS sebesar 20
dan dengan bantuan katalis yang disintesis pada suhu kalsinasi 500 0C pada konsentrasi 25 %
menghasilkan metil ester dengan konversi 98,1 % dan memiliki sifat fisis meliputi viskositas dan densitas
yang sesuai dengan SNI 7182:2015 tentang biodiesel.
3) Disarankan untuk meneliti lebih lanjut proses sintesis katalis dengan suhu kalsinasi di sekitar 500 0C
4) Disarankan untuk meneliti kemampuan katalis sulfat / titanium dioksida pada reaksi esterifikasi dan
transesterikasi secara simultan.
5) Disarankan pula untuk meneliti reaksi esterifikasi DALMS menggunakan katalis titanium dioksida
tersulfonasi ini dengan konsentrasi yang lebih rendah daripada 20 %

5. DAFTAR PUSTAKA
Embong, N.H., Maniam, G.P., Ab. Rahim, M.H., Lee., K.T., Huisingh, D., 2016, Utilization of PFAD in
Methyl Esters Preparation Using /TiO2-SiO2 as a Solid Acid Catalyst, Journal Clean. Prod. 116, pp. 244-
248. doi: 10:1016/j.jclepro.2015.12.108
Refaat, A.A, 2012, Biofuels from Waste Materials, in: Sayigh, A. (Ed.), Comprehensive Renewable Energy.
Elsevier, pp. 217-261, Oxford
Sheikh, R., Choi, M.-S., Im, J.,-S., Park, Y.,-H., 2013, Study on the Solid Acid Catalysts in Biodiesel
Production from High Acid Value Oil, Jounal of Industrial and Engineering Chemistry. 19, pp. 1413-1419.
doi:10.1016/j.jiec.2013.01.005
Yulistiono, S. Hb., 2008, Kinetika Reaksi Esterifikasi Destilat Asam Lemak Minyak Sawit dengan
Menggunakan Etanol Dan Katalis Asam Sulfat, INTEK Tahun 14 No. 1. Hlm. 14-24, Makassar

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Tim peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada UPPM Politeknik Negeri Ujung
Pandang yang telah memberikan pendanaan dan kepada Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung
Pandang serta seluruh teman sejawat yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan
baik. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 171
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.172-177) 978-602-60766-4-9

STUDI EFISIENSI PEMBERIAN AIR IRIGASI DESA SUMBER SARI KECAMATAN


WEDA SELATAN KABUPATEN HALMAHERA TENGGAH

Murad Abbas1), Dede Sumarna2), Aryandis Hanafi2)


1)
Mahasiswa Prodi Teknik Sipil Universitas Bumi Hijrah Maluku Utara
2)
Dosen Prodi Teknik Sipil.Universitas Bumi Hijrah Maluku Utara.

ABSTRACT

Water usage for irrigation is one of the various alternatives of water utilization. Water that can be put to good
use for farming includes the provision and delivery of irrigation water which is quite efficient, is a shortage or excess
water.
Provide and give efficient irrigation water that is not straightforward because many factors that affect how the
provision and delivery of irrigation water efficiently, but it is inefficient provision and delivery of irrigation water in the
channel or on land, can reduce or lower agricultural productivity. Issues raised in this study of the efficiency of irrigation
water supply in Sumber Sari village, South Weda, Halmahera Tenggah, having regard to the discharge channel and the
water needs of the plot / farm.
Research design uses descriptive quantitative approach of explaining the state of efficiency in the provision of
water Sumber Sari village, South Weda, Halmahera Tenggah, the data used in the analysis is the speed of water flow
(VAV), broad cross-section of the channel (A), flow in the channel (Q), the water needs to plant and water needs of each
area of irrigation, and the efficiency of delivery of irrigation water on each channel (E),

Keywords: Efficiency of irrigation water, Flow in the channel, Speed of water flow.

1. PENDAHULUAN
Dilihat dari lahan pertanian di desa sumber sari kecamatan weda selatan kabupaten Halmahera
tenggah areah persawahaanya memanfaatkan jaringgan irigasi air permukaan mengunakan air dari bendungan
wairoro,sehingga air dapat sampai ke area persawahan.
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apakah debit di saluran irigasi tersier pada
saat musim kemarau yang ada sudah mencukupi kebutuhan air untuk setiap area irigasi dan seberapa besar
tingkat efisiensi jaringan irigasi tersier dalam menyalurkan air ke petak sawah. Adapun tujuan penilitian ini
untuk mengukur debit air disaluran tersier, kebutuhan air untuk setiap area irigasi serta menghitung efisiensi
pada jaringan irigasi di Desa Sumber Sari.
Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bahan pertimbangan bagi Dinas Pekerjaan Umum Pengairan dan Dinas Pertanian khususnya di daerah
Halmahera Tenggah dalam pengambilan kebijaksanaan.
b. Tambahan pengetahuan bagi masyarakat dalam upaya pengelolaan jaringan irigasi guna mendukung
keberhasilan panen.
c. Bahan informasi bagi masyarakat Desa Sumber Sari khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dalam
upaya pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi.
d. Bahan informasi dan tambahan pengetahuan bagi mahasiswa jurusan teknik sipil pada khususnya, serta
mahasiswa jurusan lain pada umumnya mengenai jaringan irigasi, perhitungan debit secara aktual, dan
sebagainya.
Demikian juga dengan jaringan air permukaan, untuk memenuhi kebutuhan di areal pertanian Desa
Sumber Sari, air dialirkan secara gravitasional dari Bendung Wairoro memakai saluran primer, sekunder, dan
tersier. Pengaliran air tersebut dapat optimal jika keadaan saluran baik, sehingga upaya pemeliharaan fisik
saluran irigasi perlu lebih diperhatikan.

2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang akan dilakukan untuk mengumpulkan data, baik yang berupa
data primer maupun data sekunder, melalui survei yang di lakukan pala lokasi penilitian.
a. Data primer

1
Korespondensi penulis: Murad Abbas, Telp 085342753818, muradabbas0595@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 172
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.172-177) 978-602-60766-4-9

Bertujuan untuk mencari data yang sifatnya tidak tertulis, ataupun merupakan data yang memiliki tingkat
akurasi yang tinggi.
b. Data sekunder
Merupakan kegiatan pencarian data melalui kajian literatur, hasil penelitian terdahulu, peta-peta yang
dibutuhkan, data kependudukan, data pertanian, kondisi wilayah penelitian, ataupun data tertulis lainnya, yang
didapatkan langsung dari instansi yang terkait.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif bersifat deskriptif, artinya permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keadaan status fenomena yaitu mengetahui hal-hal
yang berhubungan dengan keadaan sesuatu sesuai dengan fenomena atau gejala yang terjadi.

Mulai

Pengukuran kecepatan aliran air dengan menggunakan metode


float

Analisis Data
Hitungan kecepatan rata-rata (Vav),
Hitungan luas penampang saluran (A),
Hitungan debit aliran saluran (Qakt),
Hitungan kebutuhan air untuk tanaman (usia) dan
kebutuhan air tiap petak
Nilai efisiensi irigasi tiap saluran (E).

Hasil

Pembahasan

Kesimpulan & saran

selesai

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian

3. HASIL PENELITIAN
Data penelitian yang telah dilakukan di lapangan, analisis data hasil penelitian, dan pembahasan
hasil penelitian. Adapun data penelitian tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Data terukur adalah: kecepatan aliran (V), lebar atas saluran (ba), lebar bawah saluran (bb), dan
tinggi permukaan air (hp),
b. Data terhitung adalah: Luas penampang saluran (A), kecepatan rata-rata (Vav), Debit saluran (Q
aktual), kebutuhan air untu tanaman padi, kebutuhan air untuk tiap area sawah, efisiensi air irigasi di tiap
saluran.
Berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode float adalah kecepatan aliran (V). Untuk
mengubah data menjadi kecepatan rata-rata maka dengan menggunakan rumus kecepatan aliran air
dipermukaan dikalikan koefisien kalibrasi sebesar (k=0,90) sebagai berikut.
Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 173
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.172-177) 978-602-60766-4-9

Tabel 1. Kecepatan Aliran Setiap Saluran


No Kode saluran V titik 1 V titik 2 V titik 3 V (m/s)
(m/s) (m/s) (m/s)
1 S1 0,346 0,370 0,183 0,2997
2 S2 0,322 0,318 0,320 0,3200
3 S3 0,348 0,344 0,325 0,3388

Tabel 2. Kecepata Rata-Rata (Vav)


No Kode Kecepatan aliran air Koefisien Kecepatan rata-
Saluran V (cm/s) Kalibrasi K rata
Vav (cm/s)
1 S1 29,967 0,9 26,97
2 S2 32,000 0,9 28,80
3 S3 33,876 0,9 30,49

Tabel 3. Luas Penampang Saluran (A)

Kode ba bb hp
No Luas penempang (m2)
saluran (m) (m) (m)

1 S1 1,00 0,6 0,27 0,216


2 S2 1,5 0,85 0,28 0,329
3 S3 1 0,6 0,25 0,200

Keterangan : ba = lebar bawah saluran


bb = lebar atas saluran
hp = tinggi permukaan air

3.1.Debit Aliran Saluran

Debit Aktual (Qakt)


Pehitungan debit air pada saluran tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
efektifitas dari saluran dalam memenuhi kebutuhan air untuk tanaman padi di sawah.Berdasarkan
hasil pengukuran di lapangan diperoleh debit air dari masing-masing saluran sebagai berikut.

Tabel 1.4 Debit Aktual Saluran (Debit Hasil Pengukuran)

Kecepatan Qaktual
Kode
No Luas penempang rata-rata Vav
saluran (m3/s) (ltr/s)
Saluran A (m2) (m3/s)
1 S1 0,216 0,270 0,0583 58,3

2 S2 0,329 0,288 0,0948 94,8

3 S3 0,200 0,305 0,0610 61,0

a. Kebutuhan Air untuk Tiap Petak Sawah

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 174
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.172-177) 978-602-60766-4-9

Kebutuhan air untuk tanaman padi dilihat dari kebutuhan maksimal yaitu pada umur padi berusia dua
bulan. Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data tentang kebutuhan air dari masing-masing petak
sawah pada umur padi berusia 0,5 bulan sampai 4 bulan sebagai berikut :

Tabel 4. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 0,5 Bulan
Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 0,5 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,2 6 7,2 0,007
2 S2 1,2 4 4,8 0,005
3 S3 1,2 8 9,6 0,010

Tabel 5. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 1 Bulan


Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 1 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,2 6 7,2 0,0072
2 S2 1,2 4 4,8 0,0048
3 S3 1,2 8 9,6 0,0096

Tabel 6. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 1,5 Bulan
Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 1,5 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,32 6 7,9 0,0079
2 S2 1,32 4 5,3 0,0053
3 S3 1,32 8 10,6 0,0106

Tabel 7. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 2 Bulan


Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 2 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,4 6 8,4 0,0084
2 S2 1,4 4 5,6 0,0056
3 S3 1,4 8 11,2 0,0112

Tabel 8. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 2,5 Bulan
Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 2,5 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,35 6 8,1 0,0081
2 S2 1,35 4 5,4 0,0054
3 S3 1,35 8 10,8 0,0108

Tabel 9. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 3 Bulan


Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 3 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,4 6 8,4 0,0084
2 S2 1,4 4 5,6 0,0056
Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 175
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.172-177) 978-602-60766-4-9

3 S3 1,4 8 11,2 0,0112

Tabel 10. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 3,5 Bulan
Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 3,5 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 1,12 6 6,7 0,0067
2 S2 1,12 4 4,5 0,0045
3 S3 1,12 8 9,0 0,0090

Tabel 11. Kebutuhan Air Tiap Petak Sawah Umur Padi 4 Bulan
Kebutuhan air saat
Kode Luas petak Kebutuhan air tiap petak
No umur 4 bulan
saluran (ha) (ltr/dtk) (m3/dtk)
(ltr/d/ha)
1 S1 0 6 0 0
2 S2 0 4 0 0
3 S3 0 8 0 0

b. Kebutuhan Air (Q aktual) di Saluran dan Petak Sawah


Kebutuhan air di saluran dan area pada penelitian dilakukan saat padi berusia 2 bulan yang dihitung
secara aktual digambarkan dengan skema berikut:

Tabel 12. Kebutuhan Air di Saluran dan Petak Sawah


Kebutuhan debit
Nama Luas Kode debit air aktual
No air tiap
Petak petak (ha) saluran (ltr/dtk)
petek(ltr/dtk)
1 Petak 1 6 6,74 S1 58,3
2 Petak 2 4 4,50 S2 94,8
3 Petak 3 8 8,99 S3 61,0
Jumlah 18 20,23 214,0

Berdasarkan diagram diatas maka debit aktual pada saluran S2 mampu mencukupi kebutuhan air
irigasi secara menyeluruh di area irigasinya. Pada saluran S1, dan, S3, debit aktual belum mampu mencukupi
kebutuhan air irigasi di area irigasinya

c. Efisiensi Pemberian Air di Setiap Saluran Irigasi


Air yang diambil dari sumber air atau sungai yang di alirkan ke areal irigasi tidak semuanya
dimanfaatkan oleh tanaman. Dalam praktek irigasi terjadi kehilangan air. Kehilangan air secara teoritis
disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, evaporasi, dan rembesan. Kehilangan akibat evaporasi dan rembesan
umumnya kecil saja bila dibandingkan dengan jumlah kehilangan akibat kegiatan eksploitasi.
Jumlah air yang dilepaskan dari bangunan sadap ke areal irigasi mengalami kehilangan air selama
pengalirannya. Kehilangan air ini menentukan besarnya efisiensi pengaliran. Efisiensi pengaliran dapat
dihitung dengan rumus:

E = (Asa/Adb) x 100%
dengan:
E = Efisiensi pengairan
Asa = Air yang sampai di irigasi
Adb = Air yang diambil dari bangunan sadap
Tabel 13. Persentase Efisiensi Irigasi
Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 176
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.172-177) 978-602-60766-4-9

Kode Adb Asa


No Efesiensi Pengaliran (%)
saluran (ltr/dtk) (ltr/dtk)

1 S1 15,58 12,57 81
2 S2 25,49 21,59 85
3 S3 43,75 34,21 78

4. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1) Berdasarkan penelitian ini debit di saluran irigasi tersier S1, dan S2, sudah mencukupi kebutuhan air di
area irigasi di Desa sumber Sari.
2) Pada saluran S3 belum mencukupi kebutuhan air tanaman padi, maka pada pintu air di saluran tersier S3
perlu dikendalikan

5. DAFTAR PUSTAKA
A.P. Rangga Mochamad. 2012. Studi Efesiensi Pemberian Air Irigasi Kutuharjo, Kecamatan Pati,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Direktorat Jendral Sumber Daya Air. 1986. Standar Perencanaan Irigasi. Jakarta. DPU Pengairan. 2004.
UU No.7 Tentang Sumber Daya Air. Jakarta.
http://lib.unnes.ac.id/19105/1/5101407025.pdf Upload 06 Agustus 2018, A.P. Rangga Mochamad. 2012.
Studi Efesiensi Pemberian Air Irigasi Kutuharjo, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
https://haltengkab.go.id/pertanian/ Upload 06 September 2018, BPS Halteng (2014-2015)
Mawardi, Erman. 2007. Desain Hidrolik Bangunan Irigasi. Jakarta: Alfabeta.
Peraturan Pemerintah No. 25, 2001. Tentang Sumber Daya Air. Jakarta.
Sosrodarsono, S. 2003. Hidrologi untuk Pertanian. Jakarta: Pradya Paramita.
Standar perencanaan irigasi, KP-01, Kriteria perencanaan Bagian jaringan irigasi. DPU Republik Indonesia.
Standar perencanaan irigasi, KP-03, Kriteria perencanaan Bagian saluran. DPU Republik Indonesia.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian
ini keluarga terkasih, Rektor dan Civitas Akademik Universitas Bumi Hijrah, Pembimbing I. Dede Sumarna,
ST., MT., Pembimbing II Aryandis Hanafi, ST., MT.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 177
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.178-182) 978-602-60766-4-9

SINTESIS KATALIS PADAT SO42- / TiO2 DENGAN METODE IMPREGNASI


DAN APLIKASINYA PADA METANOLISIS MINYAK JELANTAH
1
Joice Manga ), Wahyu Budi Utomo2), Sakius Ruso3)
1)
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar

ABSTRACT

This research relates to the utilization of cooking oil waste as a source of raw material for biofuel through
methanolysis reaction using heterogeneous / solid SO42- / TiO2 catalysts. The long-term goal to be achieved is the mastery
of biofuel production technology by utilizing waste or used cooking oil and using catalysts that are environmentally
friendly and economical so that they can contribute to increasing national energy security. The research activity begins
with the synthesis of catalysts by impregnation method, then followed by chemical reactions methanolysis. The SO 42- /
TiO2 catalyst diffractogram shows that at position 2θ = 26⁰ there is a peak with the highest intensity. This indicates that
TiO2 is in the anatase phase. Besides that the success of synthesis can be seen in FTIR spectrum where sulfate ions
coordinated with Ti⁴⁺ metal cations are shown on the appearance of absorption peaks of 1250.96, 1150.96 and 1098.68
cmˉ¹. Catalyst performance has been tested by identifying product composition using GC-MS and acid base titration. The
components of product are classified as C9H14O2 short carbon chain fatty acids, C3H4 aliphatic compounds, and C18H36O2
palmitic acid ethyl ester.

Keywords: heterogeneous catalyst, methanolysis, fatty acids, biofuels, used cooking oil

1. PENDAHULUAN
Bagi masyarakat Indonesia, minyak goreng adalah komoditi yang sangat dibutuhkan. Sehingga
menimbulkan banyaknya minyak goreng bekas, yang tidak dapat dikonsumsi lagi. Hal ini, akan mencemari
lingkungan dan mengganggu kesehatan. Minyak goreng bekas merupakan limbah yang masih bermanfaat jika
olah untuk penggunaan lain. Untuk itu berbagai upaya dilakukan dalam mengolahnya. Pada penelitian ini
akan dicoba untuk mengolahnya menjadi sumber bahan bakar terbarukan. Potensi komponen asam lemak
bebas yang tinggi, maka minyak jelantah dapat sebagai bahan baku untuk biodiesel. Asam lemak menjadi
komponen dominan sebagai hasil dari cracking trigliserida karena temperature yang penggorengan yang
tinggi.
Aplikasi katalis sangat penting dalam industri karena dapat menurunkan energi aktivasi reaksi dan
meningkatkan laju reaksi. Dalam industri lebih dari 75% proses produksi bahan kimia disintesis dengan
bantuan katalis. Katalis dapat bereaksi untuk membentuk intermedit dengan reaktan dan akan ditemukan
kembali dalam langkah berikutnya sehingga tidak dikomsumsi dalam reaksi(Chang, 2010). Katalis dapat
dibedakan ke dalam dua golongan utama berdasarkan perbedaan fase antara katalis dan reaktan. Jika reaktan-
reaktan yang bereaksi dan katalis memiliki fase yang sama, maka katalis yang digunakan masuk golongan
katalis homogen. Katalis ini memiliki keunggulan antara lain aktivitas dan selektivitas tinggi, tidak mudah
teracuni oleh keberadaan pengotor, mudah dioperasikan dan mudah dimodifikasi.
Sedangkan kelemahannya adalah sulit dipisahkan dari campuran reaksi, kurang stabil pada suhu
tinggi. Jika fase reaktan dan fase katalis berbeda, maka katalis tersebut masuk golongan katalis heterogen,
misalnya padatan dalam reaksi gas. Dibandingkan dengan katalis homogen, katalis heterogen memiliki
kelebihan antara lain kestabilan termalnya relative tinggi sehingga dapat digunakan untuk reaksi yang
memerlukan produk (Furuta et al., 2004). Jenis-jenis oksida logam tersebut adalah oksida logam alkali, oksida
logam alkali tanah, oksida logam transisi dan oksida logam campuran. Selain sebagai situs aktif, oksida logam
dapat dimodifikasi menjadi penyangga atau matriks katalis.Oksida logam transisi (titanium oksida) berfungsi
sebagai situs aktif katalis dan bersifat asam.. Salah satu teknologi terbaru dalam rangka sintesis katalis
adalah penggunaan penyangga katalis.
Penyangga-penyangga katalis umumnya bertujuan memperbesar luas permukaan dan volume
pori sehingga katalis asam dapat ditempatkan didalamnya sebanyak-banyaknya. Oksida-oksida
logam umumnya memiliki kestabilan mekanik dan termal yang baik, luas permukaan spesifik yang
tinggi dengan ukuran dan volume pori yang besar sehingga cocok digunakan sebagai penyangga

1)
Korespondensi penulis: Joice Manga, Telp. 082344666788, joicemanga@yahoo.com.au

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 178
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.178-182) 978-602-60766-4-9

katalis. Berikut ini adalah beberapa contoh oksida-oksida logam yang digunakan sebagai penyangga
katalis, yang mana kemudian setelah melalui proses sulfonasi akan menjadi katalis padat : SO 42- / Al2O3, SO42-
/ TiO2 , SO42- / ZrO2 , dan SO42- / SnO2 (Garcia et al., 2008). Proses preparasi katalis ditetapkan menggunakan
metode impregnasi dengan pertimbangan bahwa situs aktif akan terdifusi dengan baik dan tahapan perlakuan
tidak akan menyebabkan kerusakan pada struktur penyangga. Penelitian ini akan memanfaatkan potensi
minyak jelantah dengan mensintesis katalis padat (heterogen) menggunakan oksida logam TiO2 yang telah
tersulfatasi melalui metode impregnasi.

2. METODE PENELITIAN
2-
2.1 Sintesis Katalis SO4 /TiO2
Mula-mula 10 gram TiO2 direndam di dalam H2SO4 2M. Perbandingan volume H2SO4 dan serbuk
TiO2 ditetapkan 2:1. Campuran kemudian diaduk terus selama 6 jam dengan kecepatan 300 rpm dan setelah
itu dilakukan. Padatan dikeringkan pada suhu 105 0C selama 24 jam dan dilanjutkan dengan kalsinasi di dalam
tanur pada suhu 400 0C selama 4 jam.
2.2 Reaksi Metanolisis Minyak Jelantah
Mula-mula 10 gram bahan baku, dimasukkan ke dalam reaktor labu yang dikondisikan pada suhu
80 0C dengan kecepatan pengaduk 250 rpm. Berturut-turut dimasukkan sejumlah metanol dengan rasio berat
3:1 terhadap bahan dan sejumlah katalis padat dengan rasio berat terhadap baku sebesar 20%. Setelah reaktor
dihidupkan dan mencapai kondisi operasi yang diinginkan, ditetapkanlah waktu mulai reaksi selama 4 jam.
Analisis penentuan produk pada percobaan dilakukan dengan menggunakan titrasi asam-basa dan GC-MS
(GCMS-QP2010 ULTRA SHIMADZU). .
2.3 Karakterisasi Katalis
Material TiO2 dan SO42-/TiO2 dikarakterisasi menggunakan XRD radiasi Cu Kα (Bruker AXS D8
avance). Karakterisasi FTIR : untuk indikasi gugus TiO dan SO42-/TiO2 dan mikrograf (SEM) katalis SO42-
/TiO2

3. HASIL DAN DISKUSI


Percobaan metanolisis minyak jelantah menggunakan bantuan katalis SO42-/TiO2 telah
dilakukan. Waktu reaksi berlangsung 4 jam, rasio berat metanol terhadap minyak jelantah 3 :1 dan katalis
20% (b/b). Sampel bahan baku dan produk dianalisis dengan titrasi asam-basa untuk mendapatkan kadar
asam lemak bebas yang dapat dijadikan indikasi keberhasilan. Hasil analisis FFA yang diperoleh
untuk bahan baku adalah 12,76 mgrek/g dan produk adalah 38,71 mgrek/g. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya peningkatan kadar asam lemak bebas sebesar lebih dari 200% atau menjadi 3 kali
lebih besar. Selain itu komponen produk dianalisis melalui instrumen GC-MS dan menghasilkan
kromatogram yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kromatogram produk metanolisis minyak jelantah

Pada kromatogram ini memperlihatkan bahwa produk metanolisis minyak jelantah dapat diindikasi
dengan analisis GC-MS. Data-data komposisi produk dapat dilihat pada Tabel 1.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 179
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.178-182) 978-602-60766-4-9

Tabel 1. Komponen-komponen senyawa pada produk metanolisis

% Area
No. Nama Rumus Molekul
(komposisi)
1 (1,1’-Bibicyclo(2,2,2)Octane)-4-Carboxylic Acid C9H14O2 48,64
2 1-Propyne(Propuna) C3H4 18,46
3 1,2-Propadiene C3H4 12,15
4 Hexadecanoic acid,ethyl ester C18H36O2 20,75

Pada tabel 1. komponen asam lemak meningkat setelah proses metanolisis menggunakan katalis SO42-
/TiO2. Dari hasil analisis GC-MS diketahui bahwa asam lemak tersebut adalah 1,1’-Bibicyclo(2,2,2)Octane)-
4-Carboxylic Acid sebanyak 48,64%. Rumus molekul senyawa ini adalah C9H14O2 yang merupakan asam
karboksilat berantai karbon pendek dengan struktur siklik. Selain itu terdapat juga komponen senyawa C3H4
sebagai propuna dan 1,2-propadiena sejumlah 20,61% dan sisanya etil ester heksadekanoat sebagai ester dari
minyak.

Gambar 2. (a).Spektrum FTIR TiO2 dan (b).Spektrum FTIR Katalis SO42-/TiO2

Material katalis, dikarakterisasi menggunakan FTIR untuk mengindikasi puncak gugus SO₄²ˉ pada
TiO₂ sebelum dan setelah impregnasi. Pada gambar 2 kehadiran gugus sulfat S=O dapat terindikasi pada
puncak serapan 1401,41 cmˉ¹ (1410- 1380). Hal ini telah dilakukan oleh Esteban et al, 2008 bahwa respon
dari puncak ini akan muncul setelah melalui proses kalsinasi 400⁰C. Sedangkan ion sulfat yang terkoordinasi
dengan kation logam Ti⁴⁺ditunjukkan pada munculnya puncak serapan 1250,96 1150,96 dan 1098,68 cmˉ¹.
Sedangkan gugus TiO₂ terindikasi dari vibrasi Ti-O-Ti dengan munculnya puncak pada serapan lemah sekitar
2330.95 cmˉ¹(Is Fatimah et al., 2008). Untuk ikatan O=H hadir pada kedua material ini, yang masing-masing
berada pada puncak yang 3448,84 cmˉ¹ dan 3443,05 cmˉ¹. Menurut Rahmawati et al., 2013 bahwa material ini
masih terdapat kandungan air dan sangat mudah mengabsorb air.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 180
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.178-182) 978-602-60766-4-9

Gambar 3. Difraktogram TiO2 dan Difraktogram Katalis SO42-/TiO2

Hasil pengukuran XRD yang dapat dilihat pada gambar 3, mula-mula TiO2 (a) terindikasi dengan
keberadaan puncak pada 2θ = 25⁰. Kemudian TiO2 ini dimodifikasi menjadi katalis melalui metode
impregnasi dan kalsinasi, maka puncak tersebut bergeser ke 2θ = 26⁰ sebagai intensitas yang sangat tinggi.
Hal ini menujukkan karakteristik TiO₂ telah berada pada fase anatase. Kehadiran TiO2 pada fase anatase akan
memberikan luas permukaan yang lebih besar dan ukuran yang lebih kecil dibandingkan fase rutil dan brokit.
Selain itu pada awal difraktogram terlihat adanya puncak, hal ini menunjukan bahwa struktur material TiO2
dan katalis SO42-/TiO2 merupakan amorphous atau berpori. Kedua karakteristik ini menyebabkan TiO2
berpotensi untuk diintegrasi menjadi pendukung katalis ataupun diaplikasikan sebagai adsorben.

a b
Gambar 4. Mikrograf (SEM) (a). TiO2 dan (b). katalis SO42-/TiO2

Pada Gambar 4, hasil analisis SEM menunjukkan bahwa struktur kedua material ini berpori. Struktur
katalis SO42-/TiO2 , terlihat dinding-dinding TiO2 menjadi lebih tebal dan membentuk aglomerasi setelah
dimpregnasi dengan asam sulfat. Hal ini menjelaskan bahwa sulfat telah terkoordinasi dengan TiO2 yang
fungsinya sebagai pendukung atau matriks pada katalis.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 181
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.178-182) 978-602-60766-4-9

4. KESIMPULAN
Katalis heterogen SO42-/TiO2 telah berhasil disintesis dengan metode impregnasi dan telah
dikarakterisasi melalui análisis instrumen XRD dan FTIR. Selain itu performa katalis juga telah diuji untuk
diaplikasikan pada metanolisis minyak jelantah menjadi asam lemak dengan rantai karbon pendek, senyawa
alifatik dan etil ester. Berdasarkan karakteristik komposisi tersebut, produk ini memungkinkan dijadikan
sebagai alternatif bahan bakar nabati.

5. DAFTAR PUSTAKA
Chang, 2010, Chemistry, Tenth Edition. ed. Mc.Graw-Hill.
Furuta, S., Matsuhashi, H., Arata, K., 2004, Catalytic action of sulfated tin oxide for etherification and
esterification in comparison with sulfated zirconia, J. Appl. Catal. Gen. 269, 187–191.
https://doi.org/10.1016/j.apcata.2004.04.017
Garcia, C.M., Teixeira, S., Marciniuk, L.L., Schuchardt, U., 2008, Transesterification of soybean oil catalyzed
by sulfated zirconia, J. Bioresour. Technol. 99, 6608–6613.
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2007.09.092
Esteban Benito,H., Del Angel Sanchez, T., Garcia Alamilla,R., Hernandez,J.M., Sandoval Robles,G., and
Paraguay Delgado, F., 2014, Synthesis And Physicochemical Characterization of Titanium Oxide
Obtained by Thermal Hydrolysis of Titanium Tetrachloride, J. Brazilian Journal of Chemical
Engineering., Vol 31.,No.03., pp. 737-745.
Is Fatimah, Dwiarso Rubiyanto, Torikul Huda, 2008, Peranan Katalis TiO2/SiO2-Montmorillonit pada Reaksi
Konversi Sitronelal Menjadi Isopulegol, J. Reaktor 12, 83–89.
Rahmawati, Intaningrum, Istadi, 2013, Pembuatan dan karakterisasi katalis Heterogen SO4-2 - ZnO dan
SO4-2/ ZnO dengan metode Kopresipitasi dan Impregsinasi untuk Produksi Biodiesel dari Minyak
Kedelai, J. Teknol. Kim. Dan Ind., 4 2, 243–252.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 182
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.183-188) 978-602-60766-4-9

PENGARUH JENIS BIOKATALISATOR ASCOMYCOTA PADA PROSES PEMBUATAN


ASAM ITAKONAT DARI SUBSTRAT GLISEROL MODIFIKASI

Marlinda1), Ramli1), Doni Damara2)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda

ABSTRACT

Biodiesel production will produce a side reaction in the form of glycerol. The use of glycerol by using it as a
substrate in the fermentation process of itaconic acid production because glycerol still has alcohol sugar. The purpose of
the study was to determine the effect of aspergillus tereus and aspergillus niger biocatalysis from the time of fermentation
on the concentration of itaconic acid produced. The variables used were fermentation time 3,6,9,12 and 15 days and the
types of microorganisms used were aspergillus tereus and aspergillus niger. Modified 300 ml glycerol substrate was put
into a fermenter containing 500 ml of NPK nutrient and 25 ml of ascomycota starter with a liquid flow rate of 0.4 L/min.
Fermentation results are filtered and purified by rotary evaporator. The best research results at 9 days fermentation for
aspergillus tereus with glucose yield of 4,9% and concentration of itaconic acid 73.28 g/L while Aspergillus niger was
the best condition at 12 days with glucose levels of 6,4% and concentration itaconic acid is about 45,52 g/L.

Keywords: itaconic acid, aspergillus terreus, aspergillus niger, modified glycerol

1. PENDAHULUAN
Dewasa ini pemerintah semakin gencar mengembangkan energi terbarukan, salah satunya biodiesel.
Menurut data yang di rilis Kementrian ESDM, produksi biodiesel semakin meningkat pertahunnya. Data
terakhir yaitu per tanggal 11 Agustus 2013 menunjukkan, produksi biodiesel di indonesia mencapai 954 ribu
KL (ESDM, 2013). Gliserol hasil samping biodiesel (GHB) umumnya mengandung komposisi yang
bervariasi. Tergantung dari jenis katalis yang digunakan untuk memproduksi biodiesel (Farobie,2009). Namun
pada umumnya, gliserol hasil samping pembuatan biodiesel mengandung komposisi 30% gliserol, 50%
metanol, 13% sabun, 2% air, serta sekitar 2–3% garam (biasanya sodium atau potassium) dan 2–3% lainnya
adalah pengotor (Azis, 2008). GHB memiliki kadar gula alkohol (metanol & gliserol) yang terkandung di
dalamnya cukup besar, membuat gliserol merupakan bahan baku yang baik dalam proses fermentasi dengan
menggunakan mikroorganisme sebagai biokatalisator. Umumnya diperlukan proses pemurnian terlebih dahulu
agar gliserol hasil samping biodiesel bisa digunakan sebagai bahan baku atau substrat untuk dapat
meningkatkan nilai ekonomis dari GHB.
Permasalahan lingkungan dalam pengolahan biodiesel sehingga GHB digunakan sebagai sarana dalam
peningkatan nilai ekonomisnya dalam pembentukan produk yang lebih bermanfaat. Akan tetapi GHB
mempunyai beberapa kekurangan sebagai hasil samping biodiesel adalah kandungan gula yang ada
didalamnya dalam bentuk gula alkohol (metanol dan gliserol) sehingga akan membuat substrat GHB tidak
terlalu cukup memadai untuk kebutuhan nutrisi dan media tumbuh mikroorganisme untuk produksi asam
itakonat. Perbaikan kualitas GHB atau modifikasi GHB sebagai salah satu cara dalam memperbaiki kinerja
GHB sebagai substrat sehingga akan dapat meningkatkan produksi asam itakonat. Proses pembuatan asam
itakonat dapat dipengaruhi juga oleh faktor dari mikroorganisme yang digunakan. Pengubahan substrat
glukosa menjadi asam itakonat dilakukan oleh jamur ascomycota, proses biokatalisis yang lebih cepat dari
jenis ascomycota dalam pembuatan asam itakonat baik dari lama waktu dan dari hasil asam itakonat yang
dihasilkan (As.ad, 2008).
Asam Itakonat atau methylene butanedioc acid, methylene succinic acid, 3-carboxy-3-butanoic acid,
propylenedicarboxylite acidadalah salah satu jenis asam organik yang dapat dengan mudah digabungkan
untuk membentuk polimer dan dapat digunakan untuk menggantikan monomer berbasis petroleum dengan
yang alami. Asam itakonat memiliki 5 atom karbon, serta memiliki 2 gugus karboksilat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis biokatalisator ascomycota pada proses
pembuatan asam itakonat dari substrat gliserol modifikasi. Jenis Ascomycota yang digunakan adalah

1
Korespondensi penulis: Marlinda, Telp 081350208807, lin_syam@yahoo.co.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 183
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.183-188) 978-602-60766-4-9

aspergillus tereus dan aspergillus niger. Sedangkan modifikasi gliserol dilakukan untuk penyediaan nutrisi
makro bagi mikroorganisme sehingga dapat meningkatkan proses fermentasi.
Urgensi penelitian ini bagi negara adalah membantu menanggulangi limbah organik berupa gliserol
hasil samping biodiesel (GHB) dan memberikan alternatif substitusi bahan sintetik dan polimer sehingga akan
mengurami dampak pencemaran lingkungan. Sedangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan adalah dapat
memberikan kontribusi bagi penerapan teknologi bioproses untuk mendukung kebijakan pengembangan
substitusi bahan baku alternatif pengganti polimer yang lebih ramah lingkungan serta menghasilkan
pemanfaatan limbah menjadi alternatif produk polimer dan resin yang lebih ramah lingkungan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Doni, 2016, dalam pembuatan asam itakonat dengan substrat
gliserol menjadi asam itakonat dengan substrat GHB tanpa pemurnian dan GHB telah dimurnikan, dan
menunjukkan bahwa GHB yang dimurnikan lebih baik untuk pembuatan asam itakonat. Penelitian yang lain
tentang asam itakonat telah banyak dilakukan dengan bahan yang lain seperti ampas minyak jarak, laktosa dan
glukosa (El Imam, 2017 dan Long Stan, 2007).
Pembuatan asam itakonat dengan metode fermentasi oleh Aspergillus Terreus dengan bahan baku
gliserol telah dilakukan oleh Jarry (1995) dengan variasi jenis dan konsentrasi substrat serta lama fermentasi.
Diperoleh kondisi terbaik dalam pembentukan asam itakonat dengan konsentrasi tertinggi yaitu sebesar 57,15
g/L dengan menggunakan campuran substrat gliserol konsentrasi 50 g/L dicampur dengan substrat sukrosa
konsentrasi 50 g/L dan pada lama fermentasi selama 161 jam. M.I Juy dkk (2010) juga pernah melakukan
fermentasi asam itakonat dengan variabel variasi jenis substrat, konsentrasi substrat, dan konsentrasi bahan
tambahan. Didapatkan kondisi terbaik yang menghasilkan asam itakonat dengan konsentrasi tertinggi adalah
dengan menggunakan substrat gliserol konsentrasi 105 g/L dan konsentrasi NH4NO3 sebesar 6,5 g/L serta
KH2PO4 sebesar 0,9 g/L.
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang akan mengembangkan beberapa teknik modifikasi bahan
baku berupa gliserol dan mencari biokatalisator yang lebih efisien dalam proses fermentasi asam itakonat.
Begitu juga dengan teknik pembiakan ascomycota dalam bentuk media cair sehingga pengembangbiakan
ascomycota jenis aspergillus tereus dan aspergillus niger dapat bekerja dengan baik dalam transfer massa
nutrisi dan oksigen sehingga dapat mengkatalisis dengan baik sehingga fungsi sebagai biokatalis dalam
menghasilkan metabolit yang lebih banyak dan produktif. Dengan begitu akan didapatkan pengembangan
biokatalisis dalam peningkatan kapasitas produksi Aspergillus tereus dan Aspergillus niger sehingga dapat
dikembangkan dalam dimensi proses dan metode pengembangan lebih lanjut.

2. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah fermentor kapasitas 1,5 L yang dilengkapi dengan control pH dan suhu,
rotary evaporator, oven, gelas kimia, erlenmeyer,buret, magnetic stirrer, pipet volume, pipet ukur, labu ukur,
spatula dan kaca arloji. Bahan yang digunakan adalah gliserol hasil samping biodiesel 36%, glukosa 150
g/L,aspergillus tereus, aspergillus niger, NH4NO3, KH2PO4, MgSO4, Ca(OH)2, aquades, MgO dan CuNO3.
Prosedur Penelitian
Gliserol sebelum dilakukan fermentasi terlebih dahulu dipretreatment dengan cara mencampurkan
gliserol (GHB) 36% dengan Glukosa 15% dengan perbandinagn (2:1) hingga volume substrat 300 ml.
kemudian membuat nutrisi dengan cara memasukkan 1,2 g NH4NO3, 0,3 g MgSO4, 0,3 MgO, 0,315 g CaOH,
0,05 g KH2PO4, 0,380 g CuNO3 kedalam gelas kimia dan menambahkan aquadest hingga mencapai 1 L
kemudian menyesuaikan pH larutan hingga mencapai 2,8 - 3 dengan menambahkan larutan asam nitrat.
Proses fermentasi dilakukan dengan memasukkan substrat gliserol modifikasi sebanyak 300 ml, nutrisi
sebanyak 500 ml dan mikroorganisme ascomycota 25 ml dimasukkan ke dalam fermentor dengan waktu
fermentasi (3,6,9,12 dan 15 hari). Hasil fermentasi kemudian disaring dengan corong, filtrate dari hasil
saringan dilakukan pemurnian dengan rotary evaporator sedangkan residu hasil saringan dikeringkan di
dalam oven pada suhu 1100C. Hasil bawah rotary evaporator berupa asam itakonat kemudian hasil atas
berupa asam organik yang lain.
Prosedur Analisa
Konsentrasi asam itakonat ditentukan dengan menggunakan metode HPLC Varian 450. Dilengkapi
dengan pompa, detector UV dan detector fluoresensi. Panjang detector 210 nm. Analisa glukosa
menggunakan metode Luff Scroll.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 184
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.183-188) 978-602-60766-4-9

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Gliserol yang telah dipreparasi dicampur dengan glukosa 15% dan difermentasi dengan fermentor
variasi waktu fermentasi (3, 6, 9, 12 dan 15 hari). Asam itakonat yang telah didapat dianalisa kadar asam
itakonat dengan menggunakan HPLC, kadar glukosa dan rendemen asam untuk biokatalisator aspergillus
Tereus dan aspergillus niger seperti ditunjukkan pada tabel 3.1 dan 3.2 berikut:

Tabel 1. Data Proses Pembuatan Asam Itakonat Dengan Biokatalisator Aspergillus Tereus
Waktu Fermentasi Konsentrasi Yield
(hari) Konsentrasi Asam Asam
pH
Glukosa (g/L) Itakonat Itakonat
(g/L) (%)
0 4.5 23 0 0
3 3.5 11.5 24.13 31.3
6 3.0 10.3 46.27 39.0
9 2.0 4.9 73.28 68.7
12 2.0 4.2 66.51 44.2
15 2.5 4.5 59.87 30.2

Tabel 2. Data Proses Pembuatan Asam Itakonat Dengan Biokatalisator Aspergillus Niger
Waktu Fermentasi Konsentrasi Yield
(hari) Kadar Glukosa Asam Asam
pH
(%) Itakonat Itakonat
(g/L) (%)
0 4.5 23 0 0
3 4.0 14.7 25.36 20.3
6 3.5 11.7 33.42 28.6
9 3.0 8.5 38.35 32.8
12 2.5 6.4 45.52 47.9
15 2.5 6.0 40.89 36.8
Data HPLC Asam Itakonat
Asam itakonat yang dihasilkan dari hasil penelitian kemudian diuji HPLC dengan detector
210 nm, asam itakonat terdapat ada luas area 29.186 sesuai dengan standar asam itakonat. Data HPLC
asam itakonat pada biokatalisator aspergillus tereus dan biokatalisator aspergillus niger teridentifikasi.

(a) (b)
Gambar 1. Gambar Spektrum Asam Itakonat Pada Biokatalisator (a) Aspergillus Tereus
(b) Aspergillus Niger
Pada Gambar 3.1 terlihat terdapatnya asam itakonat pada puncak asam itakonat pada waktu retensi
sekita 25-30 menit pada kedua biokatalisator yang digunakan hanya saja luas area masing-masing
biokatalisator berbeda. Dengan teridentifikasi adanya asam itakonat berarti proses fermentasi gliserol

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 185
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.183-188) 978-602-60766-4-9

modifikasi dapat menghasilkan asam itakonat atau pemanfaatan gliserol sebagai hasil samping dapat
digunakan untuk produksi bahan lain.
Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap pH
Faktor lingkungan dalam proses fermentasi mempengaruhi proses pertumbuhan mikroorganisme. pH
merupakan salah satu indikator ascomycota menunjukkan proses metabolisme sel. Mikroorganisme memiliki
mekanisme untuk mempertahankan pH intraseluler pada nilai relatif konstan, meskipun pH bervariasi dalam
lingkungan eksternal. Ketika pH berbeda dari nilai optimal, akan ada peningkatan kebutuhan energi
pemeliharaan. PH optimum medium sering mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk dengan
mempengaruhi penyerapan nutrisi, jalur metabolisme dalam biosintesis asam itakonat dan kegiatan fisiologis
lainnya. Diketahui bahwa kurangnya kontrol pH selama proses fermentasi dapat mengakibatkan efek pada
produksi asam itakonat dan mungkin menghasilkan asam itakonat lebih sedikit (Meena, 2010).
Semakin lama proses fermentasi akan menghasilkan substrat yang dapat menaikkan pH dari pH pertumbuhan
sehingga proses metabolism mikroorganisme semakin menurun.

Gambar 2. Grafik Hubungan Waktu Fermentasi Dan pH Pada Ascomycota

Pada Aspergillus tereus pH optimum yang dapat dihasilkan lebih cepat tercapai dibandingkan dengan
aspergillus niger untuk pembuatan asam itakonat.
Pengaruh waktu fermentasi Terhadap Konsentrasi Glukosa
Waktu fermentasi merupakan faktor yang mempengaruhi proses fermentasi. Glukosa merupakan
makro nutrisi yang dibutuhkan oleh aspergillus tereus dan aspergillus niger untuk pertumbuhan sehingga hasil
metabolisme berupa enzim dapat dihasilkan dengan baik. Penggunaan glukosa oleh ascomycota dalam proses
fermentasi akan menghasilkan pengurangan jumlah glukosa. Proses fermentasi yang dilakukan oleh dua
biokatalisator mempunyai cara metabolisme yang sama akan tetapi cara kerja aspergillus niger lebih lama
dibandingkan dengan aspergillus tereus. Semakin lama waktu fermentasi untuk kedua biokatalisator dapat
menurunkan kadar glukosa pada substrat sehingga dapat dikatakan aspergillus tereus dan aspergillus niger
mengalami perkembangbiakan.

Gambar 3. Grafik Hubungan Waktu Fermentasi Dan Konsentrasi Glukosa Pada Ascomycota

Reaksi pembentukan asam itakonat dimulai dari substrat (bahan baku) dalam hal ini gliserol
modifikasi, molekul karbonnya diproses melalui tahap glikolisis menjadi piruvat. Pada saat proses glikolisis
yaitu proses pemecahan substrat menjadi asam piruvat, pada saat menggunakan substrat glukosa, satu glukosa
bisa dipecah menjadi dua asam piruvat dan kemudian melanjutkan proses hingga menjadi asam itakonat
(Bentley and Thiessen, 1957). Tahap glikolisis pada aspergillus tereus mampu menghasilkan asam piruvat

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 186
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.183-188) 978-602-60766-4-9

yang lebih cepat dan menghasilkan dua molekul asam piruvat sedangkan aspergillus niger tahap glikolisisnya
lambat.
Pengaruh waktu fermentasi Terhadap Konsentrasi Asam Itakonat
Proses fermentasi aspergillus tereus dan aspergillus niger dalam biosintesis asam itakonat dapat
terjadi di intraseluler dan ekstraseluler. Asam itakonat merupakan asam lanjutan yang dihasilkan oleh
mikroorganisme aspergillus tereus dan aspergillus niger. Aktivitas metabolisme sel dalam pertumbuhan sel
akan mempengaruhi hasil produksi asam itakonat.

Gambar 4. Grafik Hubungan Waktu Fermentasi Dan Konsentrasi Asam Itakonat

Pengaruh waktu fermentasi dan jenis mikroorganisme berupa Aspergillus Tereus dan Aspergillus
Niger terhadap konsentrasi asam itakonat dapat memberikan pengaruh yang cukup besar. Semakin lama
waktu fermentasi akan memberikan efek peningkatan konsentrasi asam itakonat dengan menggunakan
biokatalisator Aspergillus Tereus dan Aspergillus Niger.
Pembentukan asam itakonat untuk substrat gliserol modifikasi pada waktu fermentasi yang semakin lama
akan memberikan hasil yang semakin tinggi untuk semua jenis biokatalisator. Untuk mikroorganisme
Aspergillus Tereus akan menghasilkan asam itakonat yang lebih tinggi dibandingkan dengan Aspergillus
Niger. Hal ini dapat disebabkan karena pada Aspergillus Tereus metabolisme sel dalam glikolisis asam piruvat
cepat dan pengubahan enzim cis aconitate masuk ke dalam sel dan di urai menjadi enzim cis aconitate
decarboxylase (CAD) dan di tahap inilah terjadi reaksi karboksilase melepas gugus (-COOH) terlepas menjadi
CO2 hingga terbentuk asam itakonat (Jarry an Seruady, 1995). Terhambatnya pembentukan asam itakonat
pada Aspergillus niger ini membuat hasil asam itakonat menjadi berkurang dan membutuhkan waktu yang
lebih lama karena pengubahan enzim cis aconitate menjadi enzim cis aconitate decarboxylase (CAD) lambat
dan sangat kecil yang bisa di transfer keluar sel melalui dinding sel pada Aspergillus Niger dibandingkan
dengan Aspergillus Tereus. Sehingga pembentukan asam itakonat untuk Aspergillus Niger lebih kecil yang
bisa dihasilkan dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan Aspergillus Tereus seiring
dengan naiknya pH dan penggunanan substrat oleh mikroorganisme yang sedikit sehingga sisa glukosa dalam
substrat semakin tinggi. Katalisis Aspergillus Tereus lebih cepat dibandingkan dengan Aspergillus Niger
dalam menghasilkan metabolit lanjutan berupa asam itakonat. Aspergillus Niger mempunyai kemampuan
katalisis yang lebih baik untuk metabolit primer berupa asam piruvat dan asam sitrat sedangkan untuk
metabolit sekunder agak terhambat pada pengubahan enzim cis aconitate decarboxylase (CAD).
Pengaruh Waktu fermentasi Terhadap Konsentrasi Yield Asam Itakonat
Pengaruh waktu fermentasi terhadap pembentukan asam itakonat untuk biokalisator ascomycota
mengalami peningkatan. akan tetapi pada hari ke 15 telah mengalami penurunan baik biokatalisator
Aspergillus Tereus dan Aspergillus Niger.

Gambar 5 Grafik Hubungan Waktu Fermentasi Dan Yield Asam Itakonat

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 187
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.183-188) 978-602-60766-4-9

Penurunan yield pada hari ke 15 untuk biokatalisator Aspergillus Tereus dan Aspergillus Niger dapat
diakibatkan karena persediaan glukosa yang ada di dalam substrat mulai berkurang sehingga hasil metabolism
mikroorganismepun semakin berkurang sehingga hasil asam itakonat semakin menurun. Perhitungan yield
asam itakonat dihitung setelah pemurnian asam itakonat melalui proses pemurnian sehingga hasil semakin
sedikit karena hasil atasnya yang berupa reaksi samping semakin banyak yang dihasilkan.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan ditulis dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Proses fermentasi asam itakonat dengan menggunakan gliserol modifikasi menunjukkan semakin lama
waktu fermentasi akan menghasilkan konsentrasi asam itakonat yang semakin tinggi untuk biokatalisator
Aspergillus Tereus 73.28 g/L untuk waktu fermentasi optimum 9 hari dan untuk Aspergillus Niger
konsentrasi asam itakonat yang dihasilkan sebesar 45.52 g/L untuk waktu fermentasi optimum 12 hari .
2) Proses Katalisis metabolit Aspergillus Tereus lebih cepat sehingga menghasilkan yield asam itakonat
sebesar 68,7% dibanding Aspergillus Niger dengan yield asam itakonat sebesar 36,4%.
3) Mikroorganisme Ascomycota jenis Aspergillus Tereus dan Aspergillus Niger dapat dijadikan
biokatalisator pada pembuatan asam itakonat dengan substrat gliserol modifikasi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Asad-ur-Rehman, Saman WRG, Nomura N, Sato S, Matsumura M. 2008. Pre-treatment and utilization of raw
glycerol from sunflower oil biodiesel for growth and 1, 3-propanediol production by Clostridium
butyricum. J Chem Technol biotechnol. 83:1072–1080.
Azis, Isalmi., et al. 2008. Pemurnian Gliserol Dari Hasil Samping Pembuatan Biodiesel Menggunakan Bahan
Baku Minyak Goreng Bekas.Jakarta : Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah. Februari 28, 2016.
Bentley, R., and C. P. Thiessen. 1957. Biosynthesis of itaconic acid in Aspergillus terreus. III. The properties
and reaction mechanism of cis-aconitic acid decarboxylase. J. Biol. Chem. 226:703–720.
Choirunnisa Lely. 2017. Pengaruh Konsentrasi Strarter dan Lama Fermentasi Terhadap Karakteristik Fruith
Ghurt Kulit Buah Naga, Skripsi UIN Maulana malik Ibrahim.
EL-Imam ama, Kazeem Mo, Odebisi MB, Mushaffa AO, Abidoye AO. 2013. Production Of itaconic acid
from Jatropha Curcas seed cake by aspergillus terreus. Not Sci Biol.5(1):57.
Farobie O. 2009. Pemanfaatan Gliserol Hasil Samping Produksi Biodiesel Jarak Pagar sebagai Bahan
Penolong Penghancur Semen. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana InstitutPertanian Bogor
Jarry, A., Seraudie, Y. 1995. Production of itaconic acid by fermentation. US Pat. Nº 5.457.040.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2013. Program Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati.
http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/6424-program-percepatan-pemanfaatan-bahan-bakar-
nabati.html, diakses pada 23 Desember 2014.
Lai, Long Shan, Chih-Sheng Hung, Chi-chu-Lo. 2007. Effect of Lactose and Glucose onProduction of
Itaconic Acid and Lovastatin by Aspergillus Terreus ATCC 20542. Chaoyang University ofTechnolog.
M. I. Juy, J.A. Orejas, M.E. Lucca. 2010. Study of itaconic acid production by Aspergillus terreus MJL05
strain with Different Variable.
Patterson, T.F. & Sutton, D.A. 2005. Advances in the diagnosis and treatment of invasive aspergillosis.
infectious Disease Special Edition. 7: 1-6.
Wilke, Th., 2001, “Biotechnical Production of Itaconic Acid”, Appl Microbiol Biotechnol

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih Kepada Kemenristek Dikti yang telah memberikan Pendanaan Penelitian Produk Terapan
2016-2017 dan Penelitian Strategis Nasional 2017-2018 dan kepada P3M Politeknik Negeri Samarinda yang
telah banyak membantu terkait Pelayanan Administrasi dan informasi terkait Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 188
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.189-193) 978-602-60766-4-9

OPTIMASI MEMBRAN KITOSAN TERMODIFIKASI BERBASIS ENZIM AMOBIL PADA


APLIKASI BIOSENSOR OPTIK

Hamsina1), Ruslan Hasani2), Ismail3)


1)
Dosen Jurusan Teknik Kimia Universitas Bosowa,Makassar
2)
Dosen Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Makassar
3)
Tenaga Pengajar Jurusan Biologi SMU Negeri 7, Makassar

ABSTRACT

Research on the optimization of modified chitosan membrane based on immobilized enzymes on optical
biosensors has been carried out. The aim of the study was to determine the optimum conditions and characterization of
natural zeolite-modified chitosan membrane in immobilized chitin deasetylase enzyme and determine the
characterization of optical biosensors using modified chitosan membrane to monitor Cd (II) ions in water samples. The
method used in this study is the design of chitosan membrane by dissolving 12 mg of deasetylase into a buffer solution
and then part of the solution is dripped into a circular membrane. The membrane is then dried. all processes were carried
out by comparison of chitosan: natural zeolite: chitin deasetylase (1; 1; 1 ; 1; 1; 2 dan 1; 2;1 dan 1 ; 2;2 ) until the
covalent bond between chitin deasetylase and chitosan is well formed. after immobilization of chitin deasetylase is
complete, the membrane is attached to the pH of the paper which is also in the form of a circle, which is the same as the
membrane and then placed in a flow. Characterization of chitosan membrane and optical biosensor was carried out
including testing of membrane permeability properties, percentage of inhibition and measurement concentration range as
well as detection limit value. The results showed that the optimum conditions of chitosan membrane were obtained in the
ratio of chitosan: natural zeolite concentration: chitin deasetylase of 1: 2: 2, where membrane permeability increased the
concentration of natural zeolite. percentage of inhibition on optical biosensors of 27,126 % dan29,461% with a
measurement concentration range of 1,0 x 10-8 – 1.0 x 10-5 M or equivalent 0,0830 - 8,30 ppm (10-3 Cd (II) 83,0 ppm).
The detection limit value generated is equal to 6,5 and 6,8 or equivalent 5 x 10 -6 M (0,028 ppm) and 5,3 x 10-6 M (0,033
ppm). this value is relatively small for the measurement of Cd (II) ions when compared with the AAS measurement
technique with the detection limit value 0,001 – 2 ppm.

Keywords: Membrane optimization, Charachterization, Chitosan membrane, Optical biosensor, chitin deasetylase
immobilization

1. PENDAHULUAN
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan biosensor serat optik berbasis
immobilisasi enzim yakni biosensor tersebut memiliki konstruksi yang lebih rumit baik dalam hal skema
reaksi atau immobilisasi enzim maupun proses transduksinya, sehingga kurang efisien dan tidak ekonomis
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dalam rangka meningkatkan kinerja biosensor serat optik berbasis
immobilisasi enzim , maka diperlukan suatu rancangan biosensor yang lebih sederhana dan lebih
efisien dan dapat menganalisis ion logam yang ada dalam sampel secara keseluruhan..
Untuk tujuan tersebut maka dilakukan konstruksi biosensor serat optik berbasis immobilisasi kitin
deasetilase dalam membran kitosan yang berfungsi sebagai material pendukung pada biosensor tersebut.
Membran kitosan merupakan agen pengkompleks logam berat yang baik, yang ditandai oleh pergeseran
bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi dalam rantai kitosan tersebut. Menurut penelitian Guibal
(2000) adsorben kitosan jauh lebih efektif mengadsorpsi ion logam Fe 2+, Ni2+ dan Cu2+ dibandingkan
adsorben dari karbon aktif. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan mempunyai potensi lebih besar dibandingkan
karbon aktif untuk aplikasi adsorblsi logam berat.
Krajewska (2008) melaporkan penggunaan membran kitosan untuk menurunkan kadar logam berat
krom dan nikel dalam limbah cair industri pelapisan logam, dimana membran kitosan mampu menurunkan
kadar logam Cr sebanyak 99,8% dan kadar logam Ni sebesar 91,13%. Beberapa penelitian tentang
pemanfataan membran kitosan sebagai media adsorben untuk logam berat telah dilakukan. Namun penelitian
untuk menentukan optimasi kompoaisi dan karakterisasi membran kitosan immobiliasi kitin deasetilase
pada aplikasi biosensor serat optik belum dilakukan. Sehingga penelitian ini bertujuan5t untuk menentukan
komposisi membran kitosan yang optimal dan karakterisasi membran kitosan immobilisasi kitin deasetilase
pada biosensor serat optik yang meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, viskositas, derajat

1
Korespondensi penulis: Hamsina, 085299575018, hamsina.ruslan@ymail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 189
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.189-193) 978-602-60766-4-9

deasetilase serta analisis gugus fungsi dengan spektroskopi IR dan analisis kristalinitas dengan difraksi sinar
X.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) diperoleh kondisi optimum komposisi membran kitosan pada
biosensor serat optik berbasis immobilisasi kitin deasetilase , (2) diperoleh karakterisasi membran kitosan
pada biosesnsor serat optik berbasis immobilisasi kitin deasetilase yang meliputi Karakterisasi morfologi
komposit kitosan : pengukuran fluks air, struktur mikroskopi membran kitosan yang didasarkan pada hasil
uji kualitatif menggunakan Spektroskopi IR dan SEM.
Urgensi Penelitian
Penggunaan biosensor serat optik berbasis immobilisasi kitin deasetilase telah terbukti efektif dalam
mendeteksi pencemaran ion logam berat diwilayah perairan, namun biosensor tersebut masih memilki
kelemahan yakni konstruksi yang lebih rumit baik dalam hal skema reaksi atau immobilisasi enzim maupun
proses transduksinya, sehingga kurang efisien dan tidak ekonomis. Sejauh ini belum terdapat penelitian yang
bertujuan untuk mempelajari optimasi komposisi membran kitosan dan karakterisasi membran kitosan pada
biosensor serat optik berbasis immobilisasi kitin deasetilase. Hasil penelitian yang banyak dilaporkan adalah
pada proses isolasi, identifikasi dan penentuan aktivitas dan selektivitasenzim kitin deasetilase yang berasal
dari bakteri termofilik yang digunakan pada rangkaian biosensor serat optik.
Berkaitan dengan potensi biosensor serat opttik berbasis immobilisasi kitin deasetilase yang sangat
prosfek untuk dikembangkan, maka diperlukan informasi mengenai optimasi dan karakterisasi membran
kitosan yang meliputi perbandingan komposisi membran kitosan : kitin deasetilase serta penentuan
kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, viskositas, derajat deasetilase serta analisis gugus fungsi dengan
spektroskopi IR dan analisis kristalinitas dengan difraksi sinar X.
Dengan adanya informasi mengenai kondisi optimum komposisi membran kitosan serta karakterisasi
membran kitosan pada biosensor serat optik immobilisasi kitin deasetilase, diharapkan dapat diperoleh suatu
rancangan biosensor yang lebih efesien dan ekonomis dan memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dalam
mendeteksi pencemaran ion logam berbahaya di wilayah perairan.

2. METODE PENELITIAN
Immobilisasi kitin deasetilase dalam membran kitosan. Membran kitosan yang telah terbentuk,
digunakan sebagai material pendukung (solid support) immobilisasi untuk kitin deasetilase. Dalam hal ini
12 mg kitin deasetilase dilarutkan kedalam 200 ml buffer fosfat, dan kemudian sebagian dari larutan tersebut
diteteskan pada membran yang berbentuk lingkaran. Membran tersebut kemudian dikeringkan. Semua proses
dilakukan dengan berbagai perbandingan kitosan; asam asetat galsial; kitin deasesteilas masing –masing (1; 1;
1 ; 1; 1; 2 dan 1; 2;1 dan 1 ; 2;2 ) hingga ikatan kovalen antara kitin deasetiiase dengan membran kitosan
terbentuk dengan baik. Setelah immobilisasi kitin deasetiiase selesai dilakukan, membran tersebut dilekatkan
pada kertas pH yang juga berbentuk lingkaran yang sama dengan membran, kemudian ditempatkan di dalam
sel alir.
Konstruksi biosensor serat optik. Pada tahap ini dilakukan immobilisasi kitin deasetilase dalam
membran kitosan dilekatkan pada kertas pH (keduanya berbentuk lingkaran) lalu ditempatkan secara berhati-
hati ke dalam sel alir, yang dihubungkan dengan kolom dan baja antikarat (stainless-steel) dengan diameter
0,6 cm dengan panjang 7 cm. Untuk menyediakan fasilitas reflektansi pada dasar (reflective surface backing)
dalam sel alir tersebut, maka ditempatkan cermin dengan jarak 0,2 cm dari ujung biosensor serat optik
tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara umum, membran pendukung kitosan dengan perbandingan : kitosan : zeolite alam : kitin
deasetilase sebesar 1 : 2 : 2 merupakan kualitas terbaik untuk menghasilkan biosensor serat optik berbasis
immobilisasi kitin deasetilase ion Cd (II), dengan sensitivitas optimum dan nilai intensitas optimum.
Pada perbandingan membran tersebut memiliki nilai kemiringan (slope) masing-masing sebesar 31,19 dan
32,91 untuk ion Cd (II),
Membran kitosan nomor (4) tampaknya memiliki kelenturan dan porositasyang optimal untuk
menjerap fasa kitin deasetilase didalam membran. Kedua sifat fisika ini merupakan sifat fisik yang diperlukan
untuk mengetahui lipolifitas membran (Kuswandi, B, 2003). Membran biosensor kitin deasetilase yang baik
harus memiliki komposisi bahan aktif yang dapat berikatan dengan analit pada permukaan membran – larutan

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 190
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.189-193) 978-602-60766-4-9

sampel dengan reaksi yang sangat cepat, reversibel dan selektif (Buhlman, 1998). Membran kitosan
immobilisasi kitin deasetilase memiliki struktur pori yang asimetris terdiri dari lapisan permukaan atas (active
layer) dan lapisan pendukung (support layer). Hal ini menyebabkan jumlah kitin deasetilase amobil lebih
besar. Membran kitosan immobilisasi kitin deasetilase selanjutnya dilakukan proses Scanning Electron
Microscopy yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan enzim kitn deasetilase dalam membran kitosan.

Gambar 1. Hasil foto Scanning Electron Microscopy (SEM) membran kitosan amobil.

Karakterisasi membrane diuji berdasarkan sifat permeabilitas suatu membrane dinyatakan dalam
suatu nilai yang disebut dengan nilai fluks. Hasil uji permeabilitas dapat dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian
tersebut memperlihatkan bahwa pada sampel I, II III, dan IV dibuat dengan merendam kertas saring dalam
larutan kitosan (Chen, 2002) didapatkan data bahwa semakin banyak zeolit alam yang ditambahkan sebagai
pembentuk porogen menyebabkan fluks permeat dan permeabilitas air menjadi tinggi. Penambahan zeolit
alam pada larutan kitosan membuat membran menjadi porogen sehingga fluks permeat dan permeabilitas air
menjadi tinggi. Permeabilitas membran secara keseluruhan dipengaruhi bagaimana pori-pori membran
tersusun. Analisis morfologi membran dilakukan dengan menggunakan SEM. Hasiknya memperlihatkan
bagian permukaan dan penampang lintang membran kitosan sehingga akan terlihat susunan dan kerapatan
pori, ada tidaknya rongga besar yang terbentuk, kehalusan permukaan membran, serta cacat pada membran..
Proses pembentukan membran meliputi proses pembentukan inti (nukleasi) dan pertumbuhan inti, serta
pembentukan celah dan rongga (Rohman T dkk, 2005). Proses ini terjadi di dalam tempat koagulasi sehingga
baik komposisi membran yang dibuat dan komposisi koagulan yang digunakan sangat berpengaruh terhadap
morfologi membran yang dihasilkan.
Sedangkan karakterisasi biosensor mrenggunakan membrane kitosan pada enzim amobil ditentukan
berdasaran persebtase inhinisi enzim dan kisaram konsentrasi opengukuran . hyujikop[vbgthnjmnilai limit
deteksi, selektivitas, dan reprodubilitas. Penentuan persentase inhibisi dan kisaran pengukuran diperoleh
dengan cara mengalurkan persentase inhibisi terhadap –log C untuk biosensor kitin deasetilase - Cd (II).
Tabel 1. Persentase inhibisi terhadap –log Cd (II)

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 191
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.189-193) 978-602-60766-4-9

Gambar 1. Hubungan konsentrasi ion Cd (II) terhadap persentase inhibisi

Kurva pada gambar 2 menunjukkan garis linear pada –log Cd dari 8 – 5 atau sama dengan
konsentrasi 1,0 x 10-8– 1,0 x 10-5 M mempunyai kemiringan kurva (slope) masing-masing sebesar 0,576 dan
0,517 dengan nili regresi masing-masing sebesar 0,978 dan 0,9819. Biosensor serat optikkitin deasetilase
Cd(II) yang didesain dengan perbandingan kitosan : zeolite alam : kitin deasetilase (1:2:2) mempunyai nilai
persentase inhibisi sebesar 27,126 % dan29,461% dengan kisaran pengukuran 1,0 x 10-8 – 1.0 x 10-5 M atau
setara dengan 0,0830 - 8,30 ppm (10-3 Cd (II) 83,0 ppm). Pada kisaran konsentrasi ini dianggap paling
baik untuk pengukuran ion d (II) karena persentase inhibisi paling mendekati nilai teoritis (20,30 %) Dari
tabel 1 dapat dilihat bahwa harga intensitas pada daerah linear mengalami kenaikan sesuai dengan
bertambahnya konsentrasi ion Cd (II).
Limit deteksi ditentukan dengan membuat garis singgung pada fungsi linear yang Nernstian dan nonNernstian.
Titik potong kedua garis diektrapolasikan ke sumbu x sehingga diperoleh konsentrasi limit deteksi. Hasil
penentuan limit deteksi untuk ion Cd (II) dapat dilihat pada gambar 5 berikut.Dari hasil ektrapolasi terhadap
sumbu x : - log Cd (II) diperoleh limit deteksi masing-masing sebesar 6,5 dan 6,8 atau setara dengan 5 x 10-6
M (0,028 ppm) dan 5,3 x 10-6 M (0,033 ppm ). Nilai ini relatif cukup kecil untuk pengukuran ion Cd (II)
apabila dibandingkan dengan teknik SSA limit deteksinya 0,001 – 2 ppm. Kisaran pengukuran adalah 10-8 –
10-5 M. Kisaran yang lebar dapat dimungkinkan untuk mengukur Cd (II) pada berbagai konsentrasi sampel

Gambar 2. Nilai Limit Deteksi

4. KESIMPULAN
Bersdasarakan hasil dan pembahasan yang telah diuraiana maka dapat disimuoka sebagai berikut:
Kondisi optimum membram kitosan enzim amobil pada aplikasi biosensor optic diperoleh pada membran
nomor 2 dengan perbandingan kitosan: zeolite alam: kitin dealesite (1 : 2 : 2 )
1. Permebaliatas membran semakin meningkat dengan semakin meningkat konsetrasi zeolite alam
2. ersentase inhibisi pada biosensor optic hasil desain sebesar 27,126 % dan 29,461% dengan kisaran
pengukuran 1,0 x 10-8 – 1.0 x 10-5 M atau setara dengan 0,0830 - 8,30 ppm (10-3 Cd (II) 83,0 ppm).
3. Nilai limit deteksi yang dihasilkan sebesar 6,5 dan 6,8 atau setara dengan 5 x 10-6 M (0,028 ppm) dan 5,3
x 10-6 M (0,033 ppm). Nilai ini relatif cukup kecil untuk pengukuran ion Cd (II) apabila dibandingkan
dengan teknik SSA limit deteksinya 0,001 – 2 ppm.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 192
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.189-193) 978-602-60766-4-9

5. DAFTAR PUSTAKA
Agullo., 2003. Present and Future Role of Chitin and Chitosan in Food. Journal
Macromol. Bioschi. 3 : 521 – 530.
Ahmad, M dan Shahidan., 2003. Membran Kitosan Terdrop dengan Bromotimol Biru sebagai Penderia untuk
Pengesanan Gas CO2 Terlarut. Malaysian Journal of Chemistry Vol 5 No. 1 : 015 – 022.
Alfonso, C., Nuero, OM., Santamaria, F., Reyes, F., 1995. Purification of a Heat- stable Chitin deasetylase
from Aspergillus nidulans and its Role in Cell Wall Degradation. Current Microbiol (30) : 49 -54.
Andreas, R. T and Narayasnaswamy. R., 1995. Effect of Coupling Reagent on the Metal Inhibition of
Immobilised Rease in an Optical Biosensor. Journal Analyst, 120 : 1549-1554
Andreas, R. T and Narayasnaswamy. R., 1997. Fibre Optic Pesticide Biosensor Based on Covalenty
Immobilised Acetylcholinesterase and Thymol blue ", Talanta , 44 : 1335-1352
Boyer., Rodney., 2002. Concepts in Biochemistry. New York, Chichester, Toronto. John Wiley and Sons, Inc.
Briggs, G.E., Haldane, J. B.S., 1995. A Note on The Kinetics of Enzyme Action. Biochem. J. 19.
Cass, T and Ligler, F.S., 1998. Immobilised Biomolecules in Analysis. Oxford University Press.New York.
Chen, 2002. Antibacterial Properties of Chitosan in Waterbone Pathogen.J. Environ. Sci. Health A. 37 : 1379-
1390
Guibal, 2004. Interaction Metal Ion with Chitosan – based Sorbents.
A Review Separation and Purification Technology, 38 : 43 – 47. Krajewska, B, 2008. Urease Immobilised on
Chitosan Membrane, Inactivation by Heavy Metal Ions ", J. Chem Tech. Biotechnol 52: 157-162.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 193
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.194-198) 978-602-60766-4-9

ADSORBSI LOGAM Cu(II) DAN METHYLEN BLUE MENGGUNAKAN SILIKA


MESOPORI SBA-15
Ridhawati Thahir1), Syarif Ismail2), Ridha Aulia2), Abdul Wahid Wahab3), Nursiah La Nafie3), Indah Raya3)
1)
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
2)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
3)
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRACT

In this study, the synthesis of mesoporous silica SBA-15 via hydrothermal treatment has been investigated by
using Pluronik 123 as a direct structure agent and TEOS as precursor. Characterization was carry out through BET
methode to calculate surface area, pore diameter, and pore volume. The results showed that the surface area of SBA-15
948 m2/g, pore volume 1.305 cc/g and pore diameter 55 Å. The maximum percentage removal of Cu(II) and methylene
blue were 78% and 76%, respectively. The amount of capacity adsorption of SBA-15 were 76,4 mg/g for MB and 1532
mg/g for methylene blue. The present investigation introduced a new material silica mesoporous SBA-15 as an efficient
adsorbent for removal of Cu(II) and methylene blue

Keywords: silica mesoporous, SBA-15, adsorption, Cu(II), methylene blue

1. PENDAHULUAN
Limbah logam berat dan zat warna merupakan sumber pencemaran air dan lingkungan. Salah satu
limbah industri logam berat adalah logam tembaga (Cu) dan limbah zat warna adalah methylene blue (MB).
Limbah Cu dan MB memiliki potensi pencemaran lingkungan karena memiliki sifat racun pada konsentrasi
melebihi ambang batas sehingga menimbulkan efek toksisitas pada manusia maupun habitat lainnya [1–4].
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghilangkan limbah logam Cu(II) dan MB adalah
metode biologis, fisika, dan kimia. Metode biologis merupakan metode alternatif yang paling ekonomis jika
dibandingkan dengan metode kimia atau fisika. Metode ini diantaranya berupa degradasi menggunakan
bantuan mikroba dan merupakan sistem bioremediasi yang banyak diterapkan pada sistem pengolahan limbah
industri. Namun, pengolahan dengan metode ini membutuhkan area yang luas. Selain itu, zat warna yang
dihilangkan akan sulit didegradasi jika limbah warna memiliki struktur yang kompleks. Metode kimia seperti
koagulasi atau flokulasi dapat menghilangkan warna. Namun, pengolahan dengan metode ini kemungkinan
akan memunculkan masalah pembuangan yang baru karena menghasilkan sludge. Metode fisika yang dapat
digunakan untuk menghilangkan zat warna dan logam Cu(II) diantaranya menggunakan proses adsorpsi.[5]
Proses adsorpsi lebih banyak digunakan untuk mengolah limbah industri, karena bersifat ekonomis,
sederhana dan tidak menimbulkan efek racun serta mampu menghilangkan kontamin bahan organik maupun
anorganik [6]. Adsorpsi terjadi pada permukaan adsorben yang disebabkan oleh gaya tarik antar molekul
adsorbat dengan permukaan adsorben. Pada umumnya adsorben yang digunakan harus memiliki kemampuan
adsorpsi yang besar. Hal ini dapat diperoleh jika adsorben memiliki sisi aktif, diameter pori dan volume pori
yang besar.
Silika mesopori SBA-15 merupakan material berpori yang dapat digunakan sebagai adsorben karena
memiliki luas permukaan yang besar dan struktur pori teratur [7]. Mehdi dkk (2011), memodifikasi silika
mesopori SBA-15 sebagai adsorben untuk menjerap ion merkuri (Hg+). Adsorben SBA-15 memiliki kapasitas
adsorpsi terhadap ion merkuri (Hg+) sebesar 10.6 mg/g dan daya adsorpsi hingga 85% [5]. Huang dkk 2011,
juga memodifikasi silika mesopori SBA-15 dengan menambahkan ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA)
dan diaplikasikan sebagai adsorben untuk ion Pb(II). Kemampuan SBA-15 menjerap ion Pb(II) hingga 273.2
mg/g [8]. Ahda dkk (2016), mengaplikasikan MCM-41 sebagai adsorben methylene blue, hasil kinetika
adsorpsi Al-MCM 41 terhadap metilen biru mengikuti kinetika adsorpsi pseudo orde dua dengan nilai
koefisien determinasi (r2) sebesar 0,999 dan nilai konstanta laju adsorpsi Al-MCM 41 sebesar 10-2 g.mg-
1
.menit-1 [9]. Adapun tujuan penelitian ini adalah menentukan kapasitas adsorpsi dan daya adsorpsi silika
mesopori SBA-15 terhadap logam Cu(II) dan methylene blue yang disintesis melalui proses hidrotermal [10].

2. METODE PENELITIAN

1
Korespondensi penulis: Ridhawati Thahir, Telp 081342608424, ridha331@poliupg.ac.id

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 194
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.194-198) 978-602-60766-4-9

Bahan yang digunakan untuk mensintesis SBA-15 adalah Pluronik 123, NH4F, HCl 35%, TEOS
98%, n-heptane, aquabides, CuSO4.5H2O, methylene blue . Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
seperangkat alat gelas pyrex, oven, furnace, neraca analitik, hotplate, desikator, sonikator, termometer dan uji
analisis pori menggunakan metode BET. Penelitian dilakukan selama kurang lebih 6 bulan (Februari-Juli
2018) di Laboratorium Teknologi Proses dan di Laboratorium Kimia Analitik Instrument pada Jurusan Teknik
Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Prosedur Penelitian:
1. Sintesis silika mesopori SBA-15
Sintesis dilakukan dengan melarutkan 2,4gram Pluronik 123 dan 0,027gram NH4F ke dalam 84 ml
larutan HCl 1,3 M. Larutan kemudian didinginkan menggunakan waterbath selama 1 jam 10°C. Tahap
berikutnya adalah proses kondensasi larutan sampel. Penambahan TEOS 3,7 ml dan 1,2 ml n-heptane lalu
dilakukan pengadukan selama 24 jam. Larutan dipindahkan ke dalam teflon tertutup untuk dilakukan proses
hidrotermal.
Pada proses hidrotermal sampel ditempatkan pada teflon tertutup. Teflon yang digunakan dari bahan
PTFE (poly tetra fluoro ethylene). Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada 100oC selama 96 jam.
Selanjutnya sampel didinginkan dan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge. Pencucian sampel
menggunakan aquabides hingga pH 5 dengan bantuan alat centrifuge untuk memisahkan endapan dan filtrat
sampel. Sampel yang telah mencapai pH 5 dipindahkan ke cawan porselin untuk dilakukan proses
pengeringan.
Proses dilanjutkan dengan pematangan gel yang terbentuk (aging). Tahap pematangan menggunakan
oven pada suhu 60°C selama 24 jam. Sampel kemudian dikalsinasi pada suhu 550°C selama 5 jam. Hasil dari
proses ini adalah terbentuknya serbuk putih SBA-15. Analisis karakteristik SBA-15 menggunakan analisa
metode BET
2. Adsorpsi silika mesopori SBA-15
Silika mesopori SBA-15 sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam masing-masing larutan Cu(II) 500
ppm dan methylene blue 100 ppm, kemudian dimasukkan ke dalam box adsorpsi dan diaduk dengan magnetic
stirer. Larutan diaduk dengan variasi waktu pengadukan 10, 20, 30, 40, 50, 60 menit. Selanjutnya larutan
disentrifuge dengan kecepatan 200 rpm untuk memisahkan filtrar dan adsorben. Analisis Cu(II) dan MB yang
terjerap dilakukan melalui pengukuran absorbansi filtrat menggunakan spektrofotometri UV-Vis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penentuan surface area menggunakan Analisa Bruneuer Emmet Teller (BET):
Material silika mesopori SBA-15 disintesis menggunakan metode hidrotermal. Metode hidrotermal
merupakan proses pertumbuhan ukuran kristal yang disebabkan oleh pemanasan material oleh uap air.
Preparasi template dengan P123 dan NH4F dilakukan di bawah suhu kamar yaitu pada suhu 10oC. Selanjutnya
dilakukan penambahan TEOS sebagai sumber silika pada silika mesopori SBA-15. Penentuan surface area
menggunakan metode BET untuk menentukan luas permukaan, volume pori, dan diameter pori dari SBA-15.
Berdasarkan literatur, SBA-15 masuk ke dalam kategori mesopori jika diameter porinya berada pada rentang
2–50 nm. Hasil pengujian BET menunjukkan surface area SBA-15 mencapai 948 m2/g, volume pori 1.305
cc/g dan diameter pori sebesar 5.5 nm.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 195
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.194-198) 978-602-60766-4-9

Gambar 1. Kurva adsorpsi-desorpsi silika mesopori SBA-15

Gambar 1 menunjukkan kurva adsorpsi-desorpsi SBA-15 mesopori yang merupakan hubungan antara
relative pressure dan volume adsorpsi. Karakteristik kurva SBA-15 mesopori mendekati tipe IV isoterm
adsorpsi-desorpsi dan tipe H1 hysterisis loop berdasarkan klasifikasi IUPAC yang merupakan ciri dari
material mesopori.

Kapasitas dan Daya Adsorpsi SBA-15 Mesopori terhadap Logam Cu(II) dan Methylene Blue
SBA-15 yang telah disintesis kemudian diaplikasikan untuk menjerap logam Cu dan methylene blue.
Kemampuan adsorpsi SBA-15 mesopori dilihat dari daya jerap dan kapasitas adsorpsinya. Daya adsorpsi
SBA-15 mesopori terhadap logam Cu (II) dan methylene blue dihitung dengan mengevaluasi konsentrasi
sebelum dan setelah proses adsorpsi. Sampel SBA-15 yang digunakan untuk mengadsorpsi logam Cu (II) dan
MB adalah sampel yang memilki luas permukaan mencapai 948 m2/g, volume pori 1,305 cc/g dan diameter
pori sebesar 5,5 nm. Larutan logam Cu (II) dan MB masing-masing sebanyak 100 ml diadsorpsi dengan
0.1gram sampel SBA-15 dengan konsentrasi awal Cu (II) 500 ppm dan konsentrasi awal MB 100 ppm.
Proses adsorpsi dilakukan dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer selama 3 jam.
Pengambilan sampel untuk analisa spektrofotometri UV-vis pada 10, 20, 30, 40, 50, 60 menit. Hasil analisa
spektrofotometri UV-Vis (absorbansi) kemudian dimasukkan ke kurva standar (konsentrasi vs absorbansi)
untuk diukur daya adsorpsinya menggunakan rumus:

Kapasitas adsorpsi silika mesopori SBA-15 terhadap logam Cu (II) dan MB dihitung dari perbedaan
kadar awal sebelum dan sesudah proses adsorpsi dengan silika mesopori SBA-15 dengan menggunakan
rumus :

Dimana :
Q = kapasitas adsorpsi (mg/g) Co = konsentrasi awal (mg/L)
Ce = konsentrasi akhir (mg/L) V = volume larutan (L)
W = berat adsorben yang digunakan (gram)

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 196
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.194-198) 978-602-60766-4-9

Gambar 2. Daya adsorpsi SBA-15 terhadap logam Cu(II) dan methylen blue

Berdasarkan analisis yang dilakukan, daya adsorpsi SBA-15 mesopori terhadap logam Cu diperoleh
sebesar 78,73% dan methylene blue diperoleh daya adsorpsi sebesar 76,4 %.

Gambar 3. Kapasitas adsorpsi SBA-15 terhadap methylenen blue dan logam Cu(II)

Kapasitas adsorpsi SBA-15 terhadap methylene blue sebesar 76,4 mg/g selama 60 menit, sedangkan
untuk kapasitas adsorpsi SBA-15 terhadap logam Cu (II) sebesar 1532 mg/g selama 60 menit. Menurut
Standar Industri Indonesia (SII No.02588-88) salah syarat mutu adsorben yaitu memiliki daya jerap minimal
60 mg/g terhadap methylene blue. Hal ini membuktikan bahwa SBA-15 mesopori yang telah disintesis dapat
menjadi adsorben untuk logam Cu(II) dan methylene blue karena telah memenuhi Standar Industri Indonesia
mengenai syarat mutu adsorben. Kemampuan SBA-15 mesopori dalam menjerap logam Cu dan methylene
blue disebabkan oleh besarnya diameter pori yang dihasilkan, untuk SBA-15 mesopori diperoleh diameter
adsorbat sebesar 55Å. Semakin besar diameter pori, maka kemampuan adsorben untuk menjerap juga semakin
besar sehingga kapasitas adsorpsi juga meningkat.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 197
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.194-198) 978-602-60766-4-9

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Silika mesopori SBA-15 dapat disintesis dengan metode hidrotermal menggunakan P123 sebagai surfaktan
dan TEOS sebagai prekursor.
2. Hasil adsorpsi menunjukkan kapasitas adsorpsi (Q) sampel SBA-15 untuk logam Cu (II) adalah 1532.034
mg/g sedangkan untuk methylene blue adalah 76.4 mg/g.

5. DAFTAR PUSTAKA
Esmaeili Bidhendi M, Nabi Bidhendi GR, Mehrdadi N, et al. Modified Mesoporous Silica (SBA-15) with
Trithiane as a new effective adsorbent for mercury ions removal from aqueous environment. J Environ
Health Sci Eng. 2014;12:100.
Acosta-Silva YJ, Nava R, Hernández-Morales V, et al. Methylene blue photodegradation over titania-
decorated SBA-15. Applied Catalysis B: Environmental. 2011;110:108–117.
Ahmed K, Rehman F, Pires CTGVMT, et al. Aluminum doped mesoporous silica SBA-15 for the removal of
remazol yellow dye from water. Microporous and Mesoporous Materials. 2016;236:167–175.
Sharma P, Kaur H, Sharma M, et al. A review on applicability of naturally available adsorbents for the
removal of hazardous dyes from aqueous waste. Environ Monit Assess. 2011;183:151–195.
Ganzagh MAA, Yousefpour M, Taherian Z. The removal of mercury (II) from water by Ag supported on
nanomesoporous silica. J Chem Biol. 2016;9:127–142.
Kyzas GZ, Kostoglou M. Green Adsorbents for Wastewaters: A Critical Review. Materials (Basel).
2014;7:333–364.
Ho KY, McKay G, Yeung KL. Selective Adsorbents from Ordered Mesoporous Silica. Langmuir.
2003;19:3019–3024.
Huang J, Ye M, Qu Y, et al. Pb (II) removal from aqueous media by EDTA-modified mesoporous silica SBA-
15. J Colloid Interface Sci. 2012;385:137–146.
Ahda M, Sutarno, Kuniarti ES. METILEN BIRU THE KINETICS STUDY OF Al-MCM 41 TO
METHYLENE BLUE. Pharmaciana. 2016;6:2–5.
Ridhawati R, Wahab AW, Nafie NL, et al. Pengaruh Metode Sintesis Silika Mesopori SBA-15 terhadap
Analisis Differential Scanning Calorimetry dan Pengukuran Low Angles X-Ray Diffraction. INTEK:
Jurnal Penelitian. 2018;5:39–43.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan atas hibah penelitian RUTIN DIPA Politeknik Negeri Ujung
Pandang sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksana Penelitian Nomor 018/PL.10.13/PL/2018 tangggal 2 April
2018

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 198
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.199-203) 978-602-60766-4-9

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID ESTRAK ETANOL DAUN


MIANA (COLEUS ATROPURPEREUS)
Anita1), Dewi Arisanti1), Andi Fatmawati1)
1)
Dosen Akademi Analis Kesehatan Muhammadiyah Makassar

ABSTRACT

Miana (Coleus atropurpereus) is a herbal plant used in the traditional medicine in Indonesia like as anticestode
and anti-microbacterial activity. Research in 2013 showed 85,71% that Torajas TB patient in South Sulawesi used
traditional medicine such as Miana (Coleus atropurpereus) leaves extract as complement for TB drugs. The aim of the
study was to isolate and identification flavonoid from ethanol 96 % miana (Coleus atropurpereus) leaves extract. Our
study showed flavonoid component from qualitative method used sianida (HCl-Mg) from ethanol 96% Miana (Coleus
atropurpereus) leaves extract .Qualitative method using Spektrofotometer UV-V showed the total of flavonoid
component from ethanol 96% miana (Coleus atropurpereus) leaves estract is 8,59 mgRE/gram extract. This research
was intended the potentiality of flavonoid from Miana (Coleus atropurpereus) leaves extract as an immunostimulator in
preventing and curing many disease.

Keywords: Miana leaves (Coleus atropurpereus), Flavonoid

1. PENDAHULUAN
Tanaman Miana Miana (Coleus atropurpereus) merupakan sebuah tanaman yang unik karena
memiliki varietas yang sangat banyak. Perbedaan varietas tersebut dapat dilihat dari perbedaan warna daun
yang sangat beragam. Warna-warni daun ini disebabkan oleh pigmen yang dimilikinya. Formasi pigmen
didalam daun ditentukan secara genetik dan juga dipengaruhi faktor lingkungan seperti cahaya dan
lingkungan.
Miana (Coleus atropurpereus) merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara (Ridwan, 2010). Namun
saat ini miana (Coleus atropurpereus) telah tersebar luas dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Miana dikenal
didunia dengan nama Painted Nettle atau Rainbow Plaint. Nama Miana pada beberapa negara diantaranya
Tzai Ye Cao (Cina); Mayana, Maliana (Tagalog); Daun Ati-Ati, Ati-Ati Merah, Ati-Ati Besar
(Malaysia):Jeune, Okavu (Papua New Guinea); Ruuse Phasom Laeo dan Waan Lueat Haeng di Thailand
(Nadia, 2008).
Di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda tergantung daerah yang ditemukannya (Nadia,
2008). Di Sumatra dikenal dengan Gresing (Batak), Adong-Adong (Palembang), Miana;Pilado (Sumatra
Barat). Di daerah jawa dikenal dengan Jawer Kotok;Jengger Ayam (Sunda), Iler (Jawa Tengah), Kentangan
(Jawa Timur). Di Nusa Tenggara dikenal Janggar Siap, Ndae Ana Sina di Bali, dan Bunak Manu Larit di
Timur. Di Sulawesi dikenal dengan Mayana (Manado), At-Ati (Bugis);Bunga Lali Manu (Makassar) (Ridwan
et al, 2010).
Miana (Coleus atropurpereus) memiliki batang herba, tegak atau berbaring pada pangkal dan merayap
tinggi sekitar 30-150 cm, mempunyai penampamg batang berbentuk segiempat. Daunnnya berbentuk segitiga
atau bentuk bulat telur yang warnanya sangat bervariasi dari hijau hingga merah keunguan. Bunga berbentuk
untaian bersusun dipucuk tangkai dengan variasi warna merah atau putih, ungu atau kuning (Setiawati, 2008).
Miana (Coleus atropurpereus) merupakan salah satu tanaman yang termasuk ke dalam daftar 66
komoditas tanaman biofarmaka berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006
(Ridwan et al, 2010). Daunnya dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bidang kesehatan seperti ramuan untuk
mengobati optahalmia dan dyspepsia, racikan untuk mengurangi bengkak pada luka (inflamator), sakit kepala,
asma, batuk, melancarkan siklus menstruasi, penambah nafsu makan, mempercepat pematangan bisul, diare
dan obat cacing (Tag 2006; Ridwan et al, 2010).
Telah diketahui beberapa studi tentang senyawa aktif antimikrobial daun miana (Coleus
atropurpereus) yaitu berupa flavonoid, saponin, steroid, tanin, minyak atsiri, eugenol, senyawa polifenol,
alkaloid, etil salisilat, kalsium oksalat, senyawa rosmarinic acid (RA) (Ridwan,2005; Nugroho 2009;
Rahmawati 2008).

1
Korespondensi penulis: Anita, Telp 082190344770, nita_uh@yahoo.co.id/anitadinar1983@gmail.com

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 199
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.199-203) 978-602-60766-4-9

Ridwan (2010) menyinpulkan bahwa ekstrak etanol daun miana (Coleus atropurpereus) memiliki
aktivitas anti-cestoda terhadap cacing Hymenolepis microstoma in vivo. Aktivitas tersebut meningkat seiring
dengan peningkatan dosis ekstrak. Dosis efektif menengah (ED 50) ekstrak etanol terhadap cacing adalah 802
(618–997) mg/kgbb. Dosis efektif 99% (ED99) ekstrak etanol adalah 4896 (4008–6414) mg/kg bb untuk
cacing Hymenolepis microstoma dewasa.
Survei (2013) yang dilakukan di masyarakat Toraja Sulawesi Selatan menunjukkan sejumlah 85.71%
dari penderita yang menggunakan obat tradisional memilih daun miana (Coleus atropurpereus) sebagai
komplemen dalam pengobatan tuberkulosis. Secara in vitro ekstrak daun miana telah terbukti sebagai
antibakteri.Meskipun telah digunakan secara empiris oleh suku Toraja untuk pengobatan tuberkulosis tetapi
pembuktian ilmiah secara in vivo belum ada (Pakadang, 2014).
Aktivitas antihelmintek maupun antimikrobial dari daun miana miana (Coleus atropurpereus)
disebabkan karena adanya senyawa metabolit sekunder. Golongan senyawa yang berperan dalam
mengeliminasi cacing maupun bakteri diketahui karena keberadaan sifat-sifat golongan senyawa flavonoid
yang terkandung di dalamnya yang secara sistemik dapat bertindak sebagai imunostimulator yang dapat
meningkatkan respon tubuh hospes terhadap berbagai macam infeksi parasit maupun bakteri. Selain itu juga
golongan flavonoid berrperan andil cukup besar dalam perbedaan pigmen warna daun antar varietas miana.
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat
dalam estrak etanol 96% daun Miana (Coleus atropurpereus).

2. METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan Juni 2018. Tempat penelitian adalah
dilaboratorium Kimia Akademi Analis Kesehatan Muhammadiyah Makassar dan Laboratorium Fitokimia,
Fakultas Farmasi, Universitas Muslim Indonesia.
Alat
Labu ukur 50 ml, labu ukur 25 ml, timbangan, rotavapor (IKA,RV 10 basic), timbangan analitik,
wadah maserasi (toples kaca), pipet tetes, Oven, desikator, sendok tanduk, gelas ukur, gelas kimia, corong
pisah, erlenmeyer, Spektrofotometer Uv-1601 Shimadzu (Kyoto Japan), gunting, kuvet, pipet kapiler,
Bahan
Sampel daun miana (Coleus atropurpereus), etanol 96 %, metanol, asam asetat glasial, AlCl3, aquabidest,
aquabidestilasi, HCl, kalium asetat 1 M, prophylen glycol, serbuk Magnesium.
Preparasi sampel daun mian a (Coleus atropurpereus)
Daun miana (Coleus atropurpereus )yang telah dikumpulkan dibersihkan dari pengotor, selanjutnya
dicuci di bawah air mengalir sampai bersih, ditiriskan, kemudian dikeringkan anginkan selama 2 hari. Daun
miana (Coleus atropurpereus) yang telah kering sebagian dibuat menjadi serbuk dengan menggunakan
blender hingga diperoleh serbuk yang halus dan seragam.
Pembuatan Ekstrak
Ekstrak daun Miana (Coleus atropurpereus ) dibuat dengan cara maserasi. Sebanyak 600 gram serbuk
simplisia daun Miana (Coleus atropurpereus) dimasukkan ke dalam toples steril , kemudian direndam dengan
larutan etanol 96% p.a sebanyak 2000 ml,ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 7 hari sambil
sesekali diaduk. Setelah 7 hari, sampel yang direndam tersebut disaring menggunakan kertas saring
menghasilkan filtrat, lalu dievaporasi menggunakan rotary evaporator , sehingga diperoleh ekstrak kental.
Ekstrak kental yang dihasilkan dibiarkan pada suhu ruangan hingga seluruh pelarut etanol menguap. Ekstrak
ditimbang dan disimpan dalam wadah gelas tertutup sebelum digunakan untuk pengujian.
Identifikasi Kualitatif Flavonoid Ekstrak Daun Miana ( Coleus atropurpereus) dengan Metode Sianida
(HCL-Mg)
Sejumlah lebih kurang 1 g serbuk dididihkan dalam 100 mL air panas selama 5 menit kemudian
disaring. Terhadap 5 mL filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 2 mL etanol 70 % kemudian
ditambahkan 1 g serbuk Mg, 1 mL HCl pekat dan kemudian dikocok kuat, dibiarkan memisah. Adanya
flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga .
Identifikasi Kuantitatif Flavonoid Ekstrak Daun Miana ( Coleus atropurpereus) dengan
Spektrofotometer UV-Vis
Setelah dilakukan uji kualitatif flavonoid menggunakan metode sianida (HCl-Mg). kemudian
dilanjutkan dengan penentuan total flavonoid yang diperiksa menggunakan Spektrofotometri (UV-Vis). Kadar

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 200
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.199-203) 978-602-60766-4-9

flavonoid dari ekstrak daun Miana( Coleus atropurpereus) dihitung berdasarkan kurva baku yang Perhitungan
konsentrasi total flavonoid :

3.HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Ekstraksi
Hasil maserasi berupa filtrat berwarna hijau kehitaman sebanyak 2000 ml. Kemudian diuapkan
menggunakan rotary evaporatorhingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 5,37 gram berwarna kehitaman.
Ekstrak ini akan digunakan untuk identifikasi kuantitatif flavonoid ekstrak daun Miana ( Coleus
atropurpereus) dengan Spektrofotometer UV-Vis.
Identifikasi Kualitatif Flavonoid Ekstrak Daun Miana ( Coleus atropurpereus)dengan Metode Sianida
(HCL-Mg)
Hasil identifikasi flavonoid dari serbuk daun miana (Coleus atropurpereus) secara kualitatif
menggunakan metode sianida (HCl-Mg) menunjukkan adanya senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid
yang diamati setelah terlihat perubahan warna dari merah kehitaman ke merah atau jingga.
Analisis Kadar Flavonoid Ekstrak Daun Miana ( Coleus atropurpereus) dengan Spektrofotometer UV-
Vis
Pada penelitian ini digunakan larutan standar rutin sebagai pembanding berupa kuarsetin 3-rutinosid
atau senyawa rutin..Hasil pengukuran absorbansi larutan standar rutin pada panjang gelombang 410 dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi larutan standar rutin pada panjang gelombang 410 nm
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
40 0,289
50 0,39
60 0,447
70 0,534
80 0,606

Gambar 1. Kurva Baku Standar (Kuarsetin)

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 201
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.199-203) 978-602-60766-4-9

Analisis kadar flavonoid daun miana (Coleus atropurpereus) secara spektrofotometer UV-Vis
dilakukan dengan membuat kurva kalibrasi antara absorban dengan konsentrasi larutan baku flavonoid, dan
dihitung kadar dengan persamaan garis regresi kurva kalibrasi. Hasil analisis kadar flavonoid daun miana
ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Hasil pemeriksaan kadar total flavonoid daun miana (Coleus atropurpereus) dengan
Spektrofotometer UV-Vis

Kode Sampel Pengujian Dengan Spektrofotometer Uv-Vis


Replikasi 1 8,56 mg RE/gram esktrak
Replikasi 2 8,86 mgRE/gram esktrak
Replikasi 3 8,36 mgRE/gram esktrak
Rata-rata 8,59 mgRE/gram esktrak

Berdasarkan hasil pengujian kuantitatif kadar flavonoid daun miana (Coleus atropurpereus) dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. menunjukkan bahwa ditemukan adanya total flavonoid rata-
rata sebesar 8,59 mgRE/gram ekstrak.
Pembahasan
Tanaman Miana (Coleus atropurpereus) merupakan sebuah tanaman hias yang unik karena memiliki
varietas yang sangat banyak yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional dengan corak, bentuk dan
warna miana yang beranekaragam Akan tetapi pada penelitian ini daun miana yang digunakan dan
berdasarkan pengalaman empirik berkhasiat obat adalah daun yang berwarna merah kecoklatan
Daun miana (Coleus atropurpereus ) yang telah dikumpulkan dibersihkan dari pengotor, selanjutnya
dicuci di bawah air mengalir sampai bersih, ditiriskan, kemudian dikeringkan anginkan selama 2 hari.
Sebagian dibuat menjadi serbuk dengan menggunakan blender hingga diperoleh serbuk yang halus dan
seragam yang dipergunakan untuk uji kulaitatif.
Uji kualitatif untuk mengetahui kandungan falvonoid terhadap serbuk daun miana dilakukan metode
Sianida (HCL-Mg). Hasil identifikasi flavonoid dari serbuk daun miana (Coleus atropurpereus) secara
kualitatif menggunakan metode sianida (HCl-Mg) menunjukkan adanya senyawa metabolit sekunder yaitu
flavonoid yang diamati setelah terlihat perubahan warna dari merah kehitaman ke merah atau jingga.
Bobot simplisia yang telah kering yang dipergunakan untuk maserasi adalah 600 gram yang kemudian
dilarutkan dengan pelarut etanol 96% sebanyak 2000 ml. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan
kertas saring untuk memisahkan filtrat dan residunya. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan dengan
menggunakan rotary evaporator. Penggunaan rotary evaporator karena didalamnya terdapat sebuah vakum
yang berfungsi memudahkan proses pelarut sehingga akan menghasilkan ekstrak kental. Ekstrak kental yang
diperoleh adalah 5,37 gram.
Untuk uji kuantitatif terhadap estrak ekstrak kental daun miana untuk menentukan kadar flavonoid
total menggunakan metode spktrofotometer UV-Vis. Flavonoid mengandung sistem aromatis yang
terkonjugasi dan dapat menunjukkan pita serapan kuat pada daerah UV-Vis. Oleh karena itu metode tersebut
cocok digunakan untuk melakukan uji secara kuantitatif untuk meneyntukan jumlah flavonoid total yang
terdapat dalam sampel (Carborano, 2005). Analisi metode penetapan kadar flavonoid total dilakukan
berdasarkan metode Chang et al (2002), metode ini telah divalidasi oleh Mujahid (2011) yang menyatakan
metode Hang et al, merupakan metode terpilih untuk analisis flavonoid secara spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 410 nm serta menggunakan senyawa rutin baku pembanding.
Hasil absorbansi dari rangkaian konsentrasi larutan standar rutin pada tabel 1 diplotkan dengan
konsentrasinya untuk memperoleh kurva baku rutin dengan persamaan garis y= 0,007x -0,013 dengan nilai
koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,994 (Gambar 1) dan hasil absorbansi dari esktrak etanol
daun miana (Coleus atropurpereus) yang terdapat pada tabel 2.
Berdasarkan hasil pengujian kuantitatif tersebut maka diperoleh kandungan flavonoid total pada estrak
etanol dun miana (Coleus atropurpereus) sebesar 8,59 mgRE/gram.
Flavonoid merupakan kelompok fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Fenol bersifat
germisidal karena dalam konsentrasi tinggi menyebabkan koagulasi dan presipitasi protein sedangkan dalam

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 202
Prosiding Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.199-203) 978-602-60766-4-9

konsentrasi rendah menyebabkan denaturasi protein tanpa koagulasi. Fenol sangat mudah diserap melalui
jaringan bahkan melalui kulit sekalipun, masuk aliran darah dan dikeluarkan melalui ginjal bersama urine.
Flavonoid banyak terkandung dalam tumbuhan dan tanaman yang memiliki banyak fungsi, yaitu
sebagai berikut :
1. Sebagai antioksidan
Manfaat secara umum dari senyawa flavanoid adalah untuk mengusir radikal bebas. Radikal
bebas dapat berkembang dengan melakukan oksidasi terhadap sel – sel sehat. Oleh karena itu tubuh
perlu manfaat antioksidan yang cukup untuk mencegah terjadinya oksidasi.
2. Flavanoid dapat mencegah penuaan dini
Flavanoid juga memberi manfaat pada kesehatan kulit kita. Salah satunya mencegah terjadinya
penuaan dini. Kulit yang terpapar polusi memang menyebabkan kulit menjadi mudah kusam dan
mengalami penuaan yang lebih cepat. Maka dari itu Flavonoid akan meregenerasi kulit dan juga
menghilangkan kerutan akibat penuaan dini.
3. Flavanoid efektif menghindari thrombus
Flavonoid juga dapat membuat darah merah dalam tubuh kita mengalir tanpa terjadinya
penggumpalan atau trombus. Penggumpalan darah dalam tubuh dapat memberi efek yang serius
contohnya penggumpalan dalam otak yang dapat menyebabkan penyakit meningitis.
4. Flavonoid dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh
Manfaat senyawa flavanoid adalah dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Dari seluruhnya
ini manfaat yang paling mencakup semuanya. Karena senyawa flavanoid memang menjadi senyawa
yang membantu tubuh kita untuk menjadi lebih kebal. atau setidaknya menstabilkan kekebalan tubuh
kita.

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa senyawa flavonoid dapat diisolasi dan diidentifikasi
dari ekstrak etanol 96% daun Miana (Coleus atropurpereu). Dari hasil pengujian kuantitatif kadar flavonoid
daun Miana (Coleus atropurpereus) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. menunjukkan
bahwa ditemukan adanya total flavonoid rata-rata sebesar 8,59 mgRE/gram ekstrak .

5. DAFTAR PUSTAKA
Carborano, M., 2005, Absorption of Quarsetin and rutin in Rat Small Intestine, Annals of Nutrition and
Metabolism.
Mujahid, R., 2011, Pemilihan Metode Analisis Flavonoid Secara Spektroskopi UV-Vis Sera Penerapannya
Pada Seledri (Apium graviolens), Murbei (Muros alba), Patikan Kebo (Euphorbia hirta) dan Jeruk
Nipis (Citrus auranifolia), Fakultas Farmasi,Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Pakadang, S, 2014, Potensi Ekstrak Daun Miana (Coleus scutellarioides (L) Benth) Sebagai Imunomodulator
Pada Tikus Model Yang Terinfeksi Mycobacterium tuberculosis ,ADLN Perpustakaan Universitas
Airlangga.
Rahmawati F., 2008, Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Antibakteri Ekstrak Daun Miana (Coleus
stecullariodes (L) Benth). Tesis. Sekolah PascaSarjana IPB.
Ridwan ,et all, 2010, Efektifitas Anticestoda Ektrak Daun Miana (Coleus blumei Bent) terhadap Cacing
Hymenolapis microstoma pada Mencit. Media Peternakan Vol .33. No.1, hlm 6-11.
Setiawati, W., et all, 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya Untuk Pengendalian
Organisme Pengganggu Tumbuhan ( OPT), Bandung, Prima Tani Balita (Balai penelitian Tanaman
ayuran ).
Tag, H.,, et all, 2006, Anti-inflamatorry Plant Used by The Khanti Tribe Of Lokit District in Eastern Aranchal
Pradesh, India, Natural Product Radiance, Vol 6 (4), 2007, pp 334-340.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan apresiasi terdalam kepada DIKT Iyang telah mendanai penelitian ini melalui
program Penelitian Dosen Pemula DRPM 2018. Kepada seluruh civitas akademika Akademi Analis
Kesehatan Muhammadiyah Makassar yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan moril maupun
fasilitas Laboratorium selama penelitian ini dilaksanakan.
.

Bidang Ilmu Teknik Kimia, Kimia, Teknik Lingkungan, Biokimia Dan Bioproses 203

You might also like