Professional Documents
Culture Documents
CANDRA LUDITAMA
F34102053
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR
BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA
SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI
Oleh
CANDRA LUDITAMA
F34102053
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Oleh
CANDRA LUDITAMA
F34102053
Dilahirkan di Tangerang
pada tanggal 20 Februari 1984
SUMMARY
RINGKASAN
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara
pirolisis bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa
kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair mengandung senyawa-
senyawa antibakteri dan antioksidan, sehingga penggunaannya sangat luas
mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk
tanaman, bioinsektisida, pestisida desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya.
Asap diperoleh melalui pembakaran kayu yang mengandung selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Pembakaran hemiselulosa, selolusa, dan lignin dari kayu
akan menghasilkan senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid,
karbonil, keton dan piridin. Selain terdapat zat antimikroba, antibakteri, dan
antioksidan, di dalam asap cair juga terdapat senyawa Polisiklik Aromatis
Hidrokarbon (PAH) yang berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia. Zat
berbahaya ini dapat dipisahkan dari asap cair dengan cara diendapkan selama 24
jam atau didistilasi. Pada prinsipnya, bahan-bahan lain yang memiliki kandungan
senyawa-senyawa diatas dapat digunakan sebagai bahan baku asap cair, seperti
serabut kepala, tempurung kelapa maupun merang padi. Kondisi proses
pembakaran mempengaruhi kualitas dan kuantitas asap cair yang diperoleh.
Faktor-faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut adalah
bahan baku, tekanan, suhu pembakaran, dan lamanya waktu pembakaran.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat asap cair dari tempurung dan sabut
kelapa pada berbagai kondisi proses, mengidentifikasi komposisi senyawa-
senyawa yang terkandung di dalamnya, dan memisahkan komponen-komponen
aktif pada asap cair. Variasi suhu pembakaran adalah 300 °C dan 500 °C selama 5
jam. Pada proses pirolisis ini, komponen kayu, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan
lignin, mengalami dekomposisi menghasilkan senyawa asam dan turunannya,
alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton piridin dan tar. Selanjutnya dilakukan
proses pemurnian untuk memisahkan senyawa tar dan meningkatkan konsentrasi
fenol dan asam organik. Proses pemurnian ini dilakukan dengan cara distilasi pada
4 rentang suhu, yaitu 0-100 °C, 100-125 °C, 125-150 °C, dan 150-200 °C.
Hasil pembakaran sabut kelapa pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C
menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,29 % dan 57,45 %,
sedangkan pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C
menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,08 % dan 42,10 %. Pada
pemurnian asap cair dengan cara distilasi didapatkan hasil bahwa asap cair dari
bahan sabut kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C memiliki
rendemen distilasi sebesar 14,7 % - 22,9 % dan 7,5 % - 45,5%, sedangkan pada
pemurnian asap cair dari bahan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300
°C dan 500 °C memiliki rendemen distilasi sebesar 1,4 % - 15,9 % dan 1,3 % -
18,8 %.
Dari pengujian sifat fisik dan kimia asap cair didapatkan bahwa asap cair
yang didistilasi memiliki keasaman (pH) sebesar 1,76-2,97, kadar asam sebesar
4,151 % - 59,934 %, kadar fenol 0,370 % - 0,835 %, dan bobot jenis 1,076 g/ml –
1,144 g/ml. Karakteristik asap cair berupa pH, kadar asam dan bobot jenis
memenuhi standar wood vinegar Jepang.
LEMBAR PERNYATAAN
Candra Luditama
NRP : F34102053
RIWAYAT HIDUP
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
kuasanya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian berjudul Isolasi dan Pemurnian Asap
Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan
Distilasi. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret sampai Agustus di
Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen pembimbing yang telah mengarahkan
penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,
2. Dr. Gustan Pari, MSi sebagai pembimbing II yang telah menyediakan sarana
dan prasarana penelitian serta bimbingan,
3. Prayoga Suryadharma, STP, MT sebagai dosen penguji atas evaluasi dan
sarannya pada skripsi ini,
4. Ayah dan Ibu tercinta atas kesabaran, perhatian, dan saran-saran bijaknya,
serta adikku Tika,
5. Pak Mahpudin, Pak Salim, Pak Dadang S., serta seluruh staf dan karyawan
Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan
Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian,
6. Nurlita Soraya, yang selalu ada dan mendampingi penulis serta memberikan
semangat dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, serta
7. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermafaat bagi pembaca.
Desember 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan.................................................................................. i
Summary...................................................................................................... ii
Ringkasan.................................................................................................... iii
Lembar Pernyataan.................................................................................... v
Riwayat Hidup............................................................................................. vi
Kata Pengantar........................................................................................... vii
Daftar Isi...................................................................................................... viii
Daftar Tabel................................................................................................ x
Daftar Gambar............................................................................................ xi
Daftar Lampiran......................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Tujuan.............................................................................................. 3
C. Manfaat............................................................................................ 3
III. METODOLOGI.................................................................................... 14
A. Bahan dan Alat.................................................................................. 14
B. Metode.............................................................................................. 14
C. Rancangan Percobaan....................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 42
LAMPIRAN.............................................................................................. 47
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair..................................................... 6
Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa...................................... 8
Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa................... 9
Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda..... 19
Tabel 5. Senyawa Dominan di dalam Asap Cair
Hasil Deteksi GC-MS............................................................... 21
Tabel 6. Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai
Rentang Suhu Distilasi.............................................................. 24
Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan
Pengasap dan Suhu Pembakaran............................................... 27
Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi........... 28
Tabel 9. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran.................................... 30
Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi........... 32
Tabel 11. Kadar Asam pada Bahan Pengasap........................................... 32
Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran.................................... 33
A. Latar Belakang
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara
distilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa
kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair berasal dari bahan alami
yaitu pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras
sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang memiliki efek antimikroba,
antibakteri, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol,
aldehid, karbonil, keton dan piridin.
Prospek penggunaan asap cair sangat luas, mencakup industri makanan
sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida
desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya. Prospek penggunaan asap cair yang
sangat luas ini memiliki berbagai keunggulan bila dibandingkan dengan
penggunaan bahan kimia sintetik. Asap cair lebih mudah diaplikasikan karena
konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama
dan seragam. Asap cair telah disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada
bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging. Bahan ini
dapat diproduksi secara sederhana dengan menggunakan bahan dan peralatan
yang mudah diperoleh serta relatif murah.
Kualitas dan kuantitas unsur kimia asap umumnya tergantung pada jenis
bahan pengasap yang digunakan. Bahan baku yang umum digunakan adalah
bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selama ini bahan
kayu keras seperti kayu jati (Firmansyah, 2004), mangium, tusam (Nurhayati,
2000), dan sengon banyak digunakan sebagai bahan pembuatan asap cair. Kedua
jenis kayu tersebut digunakan dalam bentuk blok kayu ataupun serbuk kayu yang
dipres. Namun, harga kayu yang mahal dan ketersediaannya yang terbatas
menyebabkan biaya produksi pembuatan asap cair menjadi tinggi.
Adanya kendala-kendala penggunaan bahan pengasap dari kayu tersebut
mendorong penggunaan bahan pengasap dari jenis lain, seperti tempurung dan
sabut kelapa. Bahan ini masih memiliki komponen selulosa, hemiselulosa, dan
lignin yang cukup besar. Selain itu, penggunaan limbah kelapa ini dapat
memberikan nilai tambah lain sebagai asap cair dibandingkan dengan
penggunaannya sebagai keset, anyaman, atau suvenir. Saat ini asap cair dijual
dengan harga berkisar antara Rp. 6000,- sampai Rp. 18000,- per liter, tergantung
kualitas dari asap cair.
Kualitas dan kuantitas asap cair sangat dipengaruhi oleh kondisi proses
pembakaran bahan bakunya. Selama ini, penelitian-penelitian terdahulu telah
dilakukan untuk menentukan proses terbaik dalam pembuatan asap cair. Misalnya
Tranggono et al. (1996) yang menggunakan suhu pembakaran 350 - 400 °C.
Selain itu, Nurhayati (2000) mencoba membandingkan dua metode pembakaran,
yaitu metode tungku kubah dan metode distilasi kering (destructive distillation)
pada produksi asap cair. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa metode
destilasi kering, dimana suhu karbonisasi dapat dikontrol sampai 500 °C
menghasilkan asap cair dengan jumlah yang lebih banyak daripada metode tungku
yang memiliki rata-rata suhu sebesar 350 °C. Selain itu juga, metode distilasi
kering mampu menghasilkan asap cair dengan kadar fenol dan kadar asam yang
lebih besar. Firmansyah (2004) juga mencoba untuk menentukan kondisi proses
pembakaraan yang terbaik untuk memproduksi asap cair dengan cara
menambahkan cangkang telur pada bahan pengasap berupa serbuk kayu jati
dengan berbagai komposisi yang mampu meningkatkan suhu pembakaran.
Namun asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar fenol yang
kecil karena suhu pembakaran yang terbentuk tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 210
°C.
Dari ketiga penelitian terdahulu diatas, dapat diketahui bahwa kondisi
proses berupa suhu pembakaran sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari
asap cair yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan suhu
yang lebih tinggi yaitu 500 °C untuk menghasilkan asap cair dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih tinggi daripada penelitian-penelitian terdahulu. Selain itu,
suhu 500 °C dipilih agar komponen lignin dapat terdekomposisi membentuk
senyawa fenol pada suhu 400 °C. Sedangkan suhu 300 °C dipilih karena pada
suhu tersebut komponen selulosa dan hemiselulosa terdekomposisi membentuk
senyawa-senyawa asam organik.
Kualitas dari asap cair ditentukan oleh kemurnian dari senyawa-senyawa
yang terkandung didalamnya, terutama fenol dan asam-asam organik. Oleh karena
itu, proses pemurnian perlu dilakukan untuk memisahkan kedua senyawa tersebut
sehingga dihasilkan asap cair dengan kualitas yang tinggi. Selama ini, proses
pemurnian yang dilakukan pada asap cair hanya sebatas menghilangkan
kandungan tar dengan cara mengendapkannya selama 24 jam. Cara tersebut tidak
mampu memisahkan senyawa fenol dan asam organik. Pemurnian yang
digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara distilasi berdasarkan perbedaan
titik didih. Kualitas dan kuantitas fenol dan asam asetat dibandingkan pada
berbagai rentang suhu distilasi.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rendemen asap cair
dari berbagai kondisi fisik (suhu pembakaran dan suhu distilasi) dan kimia (bahan
baku)
C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai
produksi serta kualitas asap cair dari bahan pengasap tempurung dan sabut kelapa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Asap Cair
Pengasapan merupakan pemanfaatan panas dan asap dari hasil
pembakaran. Tujuan pengasapan pada awalnya hanya untuk pengawetan bahan
makanan, namun dalam pengembangannya berubah, yaitu menghasilkan produk
dengan aroma tertentu, meningkatkan cita rasa, memperbaiki penampilan dan
meningkatkan daya simpan produk yang diasap (Girard, 1992). Asap mengandung
sejumlah besar senyawa yang dibentuk oleh pirolisis konstituen dari kayu seperti
selulosa, hemiselulosa dan lignin, dari hasil ikutan hewani seperti tulang, darah
dan sebagainya (Djatmiko et al., 1985).
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap
asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari
campuran senyawa murni (Maga, 1988). Asap diproduksi dengan cara
pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen
polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh
panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992).
Partikel asap mempunyai diameter 0,1 μm. Proporsi partikel padatan dan cairan
dalam medium gas menentukan kepadatan asap. Selain itu asap juga memberikan
atribut warna dan flavor pada medium pendispersi gas (Pszczola, 1995).
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) diperoleh secara distilasi kering
bahan baku asap misalnya batok kelapa, sabut kelapa atau kayu pada suhu 400 °C
selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor
berpendingin air (Pszczola, 1995). Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam
corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak
diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam pirolignat. Asam
pirolignat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lain-
lain.
Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik
farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode kasar dari distilasi kayu
asap (Pszczola, 1995). Produk yang berupa asap cair digunakan untuk
mengawetkan daging babi dan babi asin dan untuk memberi citarasa pada
beberapa bahan makanan.
Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain :
a. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan
tradisional.
b. Lebih intensif dalan pemberian flavor.
c. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah
d. Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan.
e. Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial.
f. Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap.
g. Polusi lingkungan dapat diperkecil.
h. Dapat diaplikasikan ke dalam berbagai cara penyemprotan,
pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan (Pearson and
Tauber, 1984).
Eklund (1982) mengemukakan bahwa asap cair tidak menunjukkan
karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian Hidrokarbon
Aromatik Polisiklik (HAP). Hal ini didukung oleh pernyataan Hollenbeck (1978),
bahwa asap cair mempunyai sifat anti bakterial, mudah diaplikasikan dan lebih
aman dari asam konvensional dan fraksi tar yang mengandung hidrokarbon
aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan
karsinogenik.
Zaitsev et al. (1969) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa
zat antimikroba, antara lain :
a. Asam dan turunannya : format, asetat, butirat, propionat, metil ester.
b. Alkohol : metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol.
c. Aldehid : formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural.
d. Hidrokarbon : silene, kumene, dan simene.
e. Keton : aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil
keton.
f. Fenol
g. Piridin dan metil piridin.
Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen asap dibagi menjadi 4
kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap nilai gizi produk yang diasap, antara
lain :
a. Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan
menghambat perubahan kimiawi dan biologis yang merugikan.
b. Komponen yang tidak menunjukkan aktivitas dari segi nilai gizi.
c. Senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan
menurunkan nilai gizi produk yang diasap.
d. Komponen beracun.
Komposisi kimia asap cair beserta persentasenya dapat dilihat pada Tabel 1.
B. Bahan Pengasap
Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu lunak yang
banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin (Maga, 1988). Menurut
Zaitsev et al. (1969), umumnya kayu mengandung selulosa 40-60%,
hemiselulosa 20-30%, lignin 20-30%. Menurut Tillman et al. (1981), secara
umum kayu keras memiliki holoselulosa (e.g. karbohidrat) dan lebih sedikit lignin
daripada kayu lunak. Selulosa adalah golongan polisakarida (C6H10O5)n dengan
berat molekul sekitar 1.500.000, jika dihidrolisis akan membentuk glukosa.
Selanjutnya dikatakan, bahwa selain kayu juga dapat digunakan serabut dan
tempurung kelapa maupun merang padi sebagai penghasil asap (Zaitsev et al.,
1969). Hasil pirolisis dari senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin diantaranya
akan menghasilkan asam organik, fenol dan karbonil yang berbeda dalam proporsi
diantaranya tergantung pada jenis kayu, kadar air kayu dan suhu pirolisis yang
digunakan (Yulistyani et al., 1997).
Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu
keras, tetapi mempunyai kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah.
Pirolisa tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30%
dan keasaman 10,2% (Tranggono et al., 1996; Darmadji, 1995). Tempurung
merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kerasnya
disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat (SiO2) di tempurung tersebut. Dari
berat total buah kelapa, 15-19% merupakan berat tempurungnya. Selain itu,
tempurung juga banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl
dalam tempurung hampir sama dengan yang terdapat dalam kayu. Namun, jumlah
kandungan unsur-unsur itu bervariasi tergantung lingkungan tumbuhnya.
Komposisi kimia tempurung kelapa menurut Djatmiko et al. (1985) disajikan
dalam Tabel 2.
C. Proses Pirolisa
Proses pirolisa melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi,
oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa
kayu adalah : penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C, pirolisa
hemiselulosa pada suhu 200-250 °C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C dan
pirolisa lignin pada suhu 400 °C. Pirolisa pada suhu 400 °C ini menghasilkan
senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih
tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi
produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis
aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988).
Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling
awal menghasilkan furfural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa
tersusun atas pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi
ini tergantung pada spesies kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural,
furan dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat.
Bersama-sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan
homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 °C (Girrard,
1992). Lignin dalam pirolisis menghasilkan senyawa fenol dan eter fenolik seperti
guaiakol (2-metoksifenol) dan homolognya serta turunannya yang berperan
terhadap aroma asap dari produk-produk hasil pengasapan. Fenol dihasilkan dari
dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 °C dan berakhir pada suhu 450 °C
(Girrard, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa menghasilkan senyawa
asam asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehida, glikosal dan akreolin.
Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaiakol, siringol bersama
dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988).
Distilasi kering kayu adalah salah satu cara yang digunakan untuk
membuat produk-produk komersial dalam bentuk cair, padat maupun gas. Proses
distilasi kering dilakukan dengan cara memanaskan kayu secara langsung maupun
tidak langsung dengan udara terbatas ataupun tanpa udara. (Hendra, 1992).
Produk yang diawetkan dengan asap yang diproduksi pada suhu 400 °C, lebih
unggul mutu organoleptiknya dibanding perlakuan asap yang diproduksi dengan
suhu yang lebih tinggi (Hanson, 2004). Selain itu, menurut Fretheim et al. (1980),
efektifitas antara antioksidan dari fenol yang paling baik adalah dari hasil
pembakaran pada temperatur 400 °C.
Jumlah dan sifat fenol yang terdapat dalam asap berhubungan langsung
dengan suhu pirolisis kayu (Hamm dan Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Kadar
maksimum senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 °C (Hamm dan
Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Peningkatan suhu sebesar 150 °C dari 350
menjadi 500 °C secara nyata tidak merubah kondensat asam, tetapi terjadi sedikit
peningkatan efek antioksidatif. Suhu optimum pembuatan asap adalah sekitar 400
°C (Fratheim et al., 1980).
F. Aplikasi
Pengasapan cair merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
untuk dapat membandingkan ikan asap yang dihasilkan dari pengasapan
tradisional. Metode pengasapan cair akan dapat dilakukan modifikasi proses
pengeringan atau pengovenan sehingga kadar air produk yang dihasilkan dapat
lebih rendah yang berdampak pada daya simpan yang lebih lama. Selain itu,
senyawa-senyawa Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) dapat diminimalisasi
(Maga, 1988).
Pengasapan cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair
dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair
telah juga disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada bahan pangan dan
sekarang ini banyak digunakan pada produk daging (Eklund, 1982). Pengasapan
cair dilakukan dengan merendam produk pada asap yang sudah dicairkan melalui
proses pirolisis. Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan
larutan asap, baik asap cair alami ataupun sintetik (Maga, 1988).
Penggunaan asap cair menurut Pearson dan Tauber (1973), pada
pembuatan makanan yang diasap adalah dengan cara :
a. Mencampur secara langsung ke dalam emulsi daging.
b. Pencelupan.
c. Pemercikan cairan (spraying).
d. Penyemprotan kabut asap cair ke dalam ruang pengasapan
(atomizing).
e. Asap cair diuapkan dengan cara meletakkan asap cair tersebut di atas
permukaan yang panas.
Boetje (1998) melakukan penelitian terhadap total jamur dari ikan asap
yang diberikan perlakuan penyuntikan dalam asap cair dalam perlakuan kuring,
dan perendaman dalam larutan kuring masing-masing 3 x 10, 9.8 x 103 dan 1.2 x
102.
Hasil distilasi kering yang potensial untuk dimanfaatkan terutama adalah
ter, kreosote, fenol dan asam-asam kayu. Ter mempunyai peluang untuk
digunakan sebagai bahan pelunak (softener) sebagai campuran dalam pembuatan
ban, desinfektan dan bahan pengawet kayu dan juga dapat digunakan sebagai
bahan perekat. Residu produk tunggal yang tertinggal dalam retort adalah arang
kayu. Arang kayu ini dapat diaplikasikan lebih lanjut menjadi arang aktif yang
dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi (Hendra, 1992).
Cuka kayu merupakan produk multi manfaat karena dapat berfungsi
sebagai penyubur tanaman, hormon dan pupuk, pengendali organisme perusak
tanaman dan berfungsi sebagai antiseptik yang optikal. Penggunaannya sebagai
pestisida, hormon dan pupuk memberipetunjuk bahea cuka kayu termasuk bagian
dari teknologi Clean Development Mechanism. Oleh karena itu, selain dalam
penggunaannya tidak memberikan efek pada lingkungan (tidak beracun dan dapat
dipegang oleh pemakai), juga terdapat pendaur ulangan unsur C, yaitu
pengembalian unsur C ke tanah melalui semprotan pada tanaman yang
mengakibatkan tanaman menjadi sehat (Nurhayati et al., 2003).
Di Jepang, asap cair dari bambu diaplikasikan sebagai anti alergi dan
antioksidan. Asap cair ini dibuat dengan suhu pembakaran 350 °C sampai 450 °C
dan didistilasi pada suhu rendah, yaitu 50 °C sampai 60 °C. Asap cair ini untuk
konsumsi sehingga umumnya 1 liter asap cair dicampur dengan 100 liter air atau
jus jeruk. Komponen utama dari asap cair ini adalah asam asetat dan tidak
mengandung senyawa penyebab kanker seperti benzopyren, dibenzathracene, dan
methylcholanthrene (Imamura dan Watanabe, 2004).
III. METODOLOGI
B. Metode
Adapun metodologi pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap,
yaitu :
1. Pembuatan Asap Cair
3. Analisis
Analisis – analisis yang dilakukan antara lain :
a. Rendemen (SNI 06-3735-1998)
b. pH (AOAC, 1995)
c. Total Asam Tertitrasi (SNI, 1992)
d. Kadar Fenol (Shetty et al., 1995)
e. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998)
4. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk menganalisis hasil penelitian yang didapat dan
menarik kesimpulan dari apa yang diteliti. Studi pustaka ini dapat berasal dari
buku, jurnal, laporan penelitian, majalah, atau melalui media elektronik
seperti internet.
C. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor dalam
rancangan ini adalah :
a. Sampel yang terdiri dari dua taraf, yaitu a11 = sabut kelapa, dan a12 =
tempurung kelapa
b. Suhu pirolisis yang terdiri dari dua taraf, yaitu a21 = 300 °C, dan a22 = 500 °C
c. Suhu distilasi yang terdiri dari empat taraf, yaitu a31 = T < 100 °C, a32 = 100
°C < T < 125 °C, a33 = 125 °C < T < 150 °C, dan a34 = 150 °C < T < 200 °C.
Adapun model rancangan percobaannya sebagai berikut :
Y = μ + aij + ε
dimana Y = Pengamatan hasil percobaan
μ = Rataan umum
aij = Faktor ke-i, taraf ke-j
ε = Pengaruh galat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair pada penelitian ini
adalah tempurung dan sabut kelapa (Gambar 3) yang mengalami proses pirolisis
pada dua suhu yang berbeda, yaitu 300 °C dan 500 °C. Suhu 300 °C dipilih
sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard (1992) dan Maga (1988), pada
suhu 300 °C komponen selulosa terdekomposisi menghasilkan asam-asam
organik. Suhu 500 °C dipilih sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard
(1992) dan Maga (1988) pada suhu 500 °C komponen kayu seperti lignin dapat
diuraikan dan menghasilkan berbagai macam senyawa seperti fenol, guaiakol, dan
sebagainya. Selain itu, suhu 500 °C juga merupakan suhu pembakaran maksimal
pada proses pembuatan asap cair. Pada suhu diatas 500 °C, yang terjadi bukan lagi
dekomposisi komponen-komponen kayu menjadi senyawa-senyawa organik,
melainkan proses pemanasan dan pemasakan arang. Menurut Girard (1992),
reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah :
1. Penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C;
2. Pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C yang menghasilkan furfural,
furan, asam asetat, dan homolognya;
3. Pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C yang menghasilkan senyawa asam
asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glioksal, dan akreolin; dan
4. Pirolisa lignin pada suhu 400 °C menghasilkan senyawa fenol, guaiakol,
siringol bersama dengan homolog dan derivatnya.
Perbedaan suhu reaksi penguraian komponen-komponen kayu tersebut menjadi
dasar pemilihan suhu pada penelitian ini. Banyaknya kondensat yang diperoleh
dihitung dengan membandingkan antara bobot kondensat yang diperoleh dengan
bobot awal bahan baku yang dibakar.
Jumlah Kondensat (%b/b) = Bobot kondensat hasil pirolisis (gram)
Bobot awal bahan yang dibakar (gram)
Jumlah Arang (%b/b) = Bobot arang hasil pirolisis (gram)
Bobot awal bahan yang dibakar (gram)
Produksi asap cair sabut dan tempurung kelapa kotor pada dua suhu pirolisis yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda
No Bahan Suhu Jumlah Jumlah Jumlah
Pengasap Pirolisis Kondensat Arang Bobot yang
(°C) (% b/b) (% b/b) Hilang (%)
1 Sabut Kelapa 300 40,29 45,57 14,14
2 Sabut Kelapa 500 57,45 37,08 5,47
3 Tempurung Kelapa 300 40,08 38,27 21,16
4 Tempurung Kelapa 500 42,10 34,42 23,48
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 15
Hasil yang didapat pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Tranggono et al. (1996) yaitu sebesar 52,85 %. Tranggono
menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa serta
dilakukan pada suhu pembakaran 350 - 400 °C.
Asap cair dari sabut kelapa pada suhu pembakaran 500 °C memiliki bobot
yang paling tinggi yaitu sebesar 57,45 %. Hal ini disebabkan karena pada pirolisis
dengan suhu 300 °C belum terjadi dekomposisi lignin yang sempurna sehingga
jumlah asap yang dihasilkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pirolisis suhu
500 °C.
Sabut kelapa memiliki jumlah kondensat yang lebih besar bila
dibandingkan dengan tempurung kelapa. Hal ini disebabkan karena sabut kelapa
memiliki kadar air yang lebih besar daripada tempurung kelapa. Sabut kelapa
yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C masing-masing memiliki kadar air
awal sebesar 23,14 % dan 27,04 %, sedangkan tempurung kelapa yang dibakar
pada suhu 300 °C dan 500 °C memiliki kadar air masing-masing sebesar 14,06 %
dan 14,88 %. Bahan yang memiliki kadar air yang tinggi cenderung menghasilkan
kondensat yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan pada saat pembakaran
berlangsung, kandungan air pada bahan akan ikut menguap pada suhu 100 °C dan
mengalami kondensasi ketika uap air melalui kondensor sehingga meningkatkan
jumlah kondensat asap cair yang dihasilkan.
Selisih jumlah kondensat yang dihasilkan dari pembakaran sabut pada
suhu 300 °C dan 500 °C adalah sebesar 17,16 %, sedangkan selisih jumlah
kondensat dari pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C
adalah sebesar 2,02 %. Ini menunjukkan bahwa perbedaan kandungan komponen
lignin pada sabut, yang lebih besar daripada tempurung kelapa, berpengaruh
terhadap jumlah kondensat yang dihasilkan. Sabut kelapa mengandung 29,23-
45,84 % lignin, sedangkan tempurung kelapa mengandung 33,30 % lignin (Joseph
dan Kindagen (1993); Djatmiko et al. (1985)). Jumlah kondensat asap cair pada
suhu pembakaran 500 °C lebih banyak daripada jumlah kondensat pada suhu
pembakaran 300 °C karena pada suhu pembakaran 500 °C terjadi dekomposisi
lignin pada suhu 400 °C sehingga meningkatkan jumlah kondensat dari asap cair.
Pada produksi asap cair ini terdapat kehilangan (loss) bobot sebesar 5,47-
23,48 %. Kehilangan bobot terbesar terdapat pada proses pirolisis tempurung
kelapa yaitu sebesar 21,16-23,48 %. Bobot yang hilang ini dapat berupa gas yang
tidak terkondensasi dan langsung manguap setelah melewati kondesor. Selain itu,
kehilangan bobot pada proses pirolisis ini juga dapat berupa kerak yang tertinggal
pada alat pembakaran ataupun pada kondensor.
1. Nilai pH
Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang
dihasilkan. Nilai pH ini menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu
yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Bila asap cair
memiliki nilai pH yang rendah, maka kualitas asap cair yang dihasilkan tinggi
karena secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan
produk asap maupun sifat organoleptiknya. Pengukuran nilai pH ini dilakukan
dengan menggunakan alat pH meter.
Hasil pengukuran sampel sebelum distilasi menunjukkan bahwa kenaikan
suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai pH dari asap cair. Hal ini dikarenakan
komponen kayu yang menghasilkan asam organik dan homolognya, yaitu
hemiselulosa dan selulosa, telah mengalami proses pirolisis pada suhu
pembakaran dibawah 300 °C. Nilai pH asap cair pada suhu pembakaran 300 °C
lebih rendah daripada asap cair pada suhu pembakaran 500 °C karena kadar asam
asap cair suhu pembakaran 300 °C lebih besar daripada asap cair suhu 500 °C
(lihat Tabel 9).
Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa sabut kelapa memiliki nilai
pH yang lebih besar dibandingkan dengan tempurung kelapa. Hal ini dikarenakan
tempurung kelapa memiliki komponen hemiselulosa dan selulosa lebih besar
daripada sabut kelapa sehingga jumlah asam yang dihasilkan lebih besar.
Hemiselulosa dan selulosa adalah komponen kayu yang apabila terdekomposisi
akan menghasilkan senyawa-senyawa asam organik seperti asam asetat. Menurut
Grimwood (1975), sabut kelapa mengandung hemiselulosa, yang merupakan
penghasil asam organik ketika dibakar, sebesar 7,69 % dan selulosa sebesar 18,24
%, sedangkan tempurung kelapa mengandung hemiselulosa sebesar 8,80 % dan
selulosa sebesar 19,24 %. Selain itu, perbedaan nilai pH dari sabut dan tempurung
kelapa juga dipengaruhi oleh kadar fenol dari kedua bahan ini. Semakin tinggi
kadar fenol dari asap cair, maka semakin rendah pula nilai pH dari asap cair
tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13, dimana tempurung kelapa memiliki
kadar fenol yang lebih tinggi daripada sabut kelapa sehingga tempurung kelapa
memiliki pH yang kebih rendah daripada sabut kelapa. Nilai pH asap cair pada
suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada pH asap cair pada suhu
pembakaran 300 °C. Hal ini juga disebabkan karena kadar fenol pada asap cair
pada suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada kadar fenol asap cair pada
suhu pembakaran 300 °C (lihat Tabel. 12). Seperti yang sudah dikatakan diatas
bahwa kadar fenol mempengaruhi keasaman asap cair dimana semakin tinggi
kadar fenol maka asap cair akan semakin asam. Nilai pH asap cair pada berbagai
variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan
Suhu Pembakaran
No Sampel pH
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 3,51 3,55
2 Tempurung Kelapa 2,75 2,80
Nilai pH asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji
ANOVA dari nilai pH asap cair setelah distilasi (Lampiran 11) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
menghasilkan nilai pH yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH yang
semakin kecil (semakin asam) seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari
hasil analisis ANOVA juga dapat diketahui baha suhu pembakaran tidak
mempengaruhi nilai pH yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu
distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai pH dari
kondensat asap cair.
Pengukuran pH pada masing-masing fraksi menunjukkan bahwa asap cair
sabut dan tempurung kelapa memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Fraksi asap
cair dengan suhu distilasi sampai 100 °C seharusnya memiliki pH 7 karena hanya
mengandung air, namun hasil pengukuran menunjukkan bahwa fraksi tersebut
memiliki pH 2,66 sampai 2, 97. Keasaman pada fraksi asap cair ini kemungkinan
disebabkan adanya kandungan fenol pada asap cair. sperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa kandungan fenol pada asap cair dapat menurunkan pH asap
cair tersebut.
Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu
Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel pH
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 2,97 2,87 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C
2. Kadar Asam
Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan kualitas
dari asap cair yang diproduksi. Asam organik yang memiliki peranan tinggi dalam
asap cair adalah asam asetat. Asam asetat kemungkinan terbentuk sebagian dari
lignin dan sebagian lagi dari komponen karbohidrat dari selulosa. Achsan dalam
Browning (1963) memformulasikan produksi asam asetat sebagai berikut :
CH2OH CH2OH CH2OH
HOH
HO OH OH OH
OH OH OH
HO OH HO OH HO OH
OH OH
- H2O - H2O
OH O OH
- H2O
Tabel 9. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap
dan Suhu Pembakaran
No Sampel Kadar Asam (%)
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 7,918 6,815
2 Tempurung Kelapa 8,390 8,273
Kadar asam asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji
ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 12) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
mempengaruhi persentase kadar asam dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari
persentase kadar asam yang semakin tinggi (semakin asam) seiring dengan
peningkatan suhu distilasi. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi
kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai rendemen yang
diperoleh.
Kadar asam yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 4,262 %
sampai 59,934 % yang jauh berbeda dengan hasil Darmadji (2002) yang
dihasilkan pada suhu 400 °C selama 1 jam dengan kadar asam berkisar antara
4,94 % sampai 29,10 %. Hal ini terjadi karena proses pirolisis pada penelitian ini
berlangsung selama 5 jam sehingga memungkinkan bagi komponen dari kayu
untuk terdekomposisi seluruhnya menghasilkan senyawa-senyawa penyusun asap
cair, termasuk asam-asam organik. Apabila pembakaran dilakukan secara cepat,
maka ada kemungkinan komponen kayu tersebut tidak terdekomposisi secara
sempurna. Selain itu, suhu pembakaran yang digunakan pada penelitian ini lebih
tinggi daripada suhu yang digunakan pada penelitian Darmadji (2002). Pirolisis
pada suhu 400 °C akan menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas
organoleptik tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi
pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan
linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatik (Girrard, 1992; Maga,
1988).
Keasaman dari asap cair ini juga dipengaruhi oleh kadar fenol pada asap
cair tersebut. Semakin tinggi kadar fenol, maka asap cair akan menjadi semakin
asam. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 13 dimana semakin tinggi suhu
distilasi, kadar fenol dari asap cair hasil distilasi juga semakin tinggi. Hasil
pengujian kadar asam dari asap cair juga menunjukkan bahwa semakin tinggi
fraksi suhu distilasi, maka kadar asamnya menjadi semakin besar. Hal ini sesuai
dengan hasil pengukuran pH (Tabel 8) dimana semakin tinggi fraksi suhu distilasi,
maka pH asap cair menjadi semakin kecil atau dengan kata lain asap cair menjadi
semakin asam.
Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,
Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel Kadar Asam (%)
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 4,262 8,186 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C
Apabila data kadar asam pada Tabel 9 dikalikan dengan jumlah persen
kondensat hasil pirolisis pada Tabel 4 dan hasilnya dirata-ratakan, maka akan
didapat data kadar asam sebagai asam asetat yang terdapat pada bahan baku asap
cair.
Kadar asam pada bahan baku (%)= Kadar asam pada asap cair (%)
Jumlah kondensat hasil pirolisis (%)
Dari hasil perhitungan kadar asam pada bahan baku didapatkan bahwa
kandungan asam organik yang berperan sebagai zat antimikroba pada asap cair
pada sabut dan tempurung kelapa relatif sama yaitu sekitar 3,5 %. Data kadar
asam pada sabut dan tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap
dan Suhu Pembakaran
No Sampel Kadar Fenol (%)
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 0,89 0,91
2 Tempurung Kelapa 1,40 1,44
Faktor utama yang menentukan kadar fenol dalam asap cair adalah
banyaknya asap yang dihasilkan selama pembakaran. Hal ini terkait pada faktor
suhu dan bahan pengasap yang digunakan. Intensitas pirolisis berhubungan
langsung dengan suhu yang dicapai yang terdiri atas transfer panas dan
keberadaan oksigen (reaksi oksidasi). Sedangkan bahan pengasap berhubungan
langsung dengan jenis bahan yang terdiri atas kayu keras ataupun bahan yang
dapat dibakar yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, persenyawaan protein dan
mineral yang mempengaruhi keberadaan senyawa-senyawa kimia asap (Djatmiko
et al., 1985).
Kadar fenol asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil uji
ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 13) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
mampu menghasilkan nilai kadar fenol yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari
kadar fenol yang cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan suhu
distilasi kecuali pada fraksi suhu distilasi keempat. Dari analisis ANOVA ini juga
dapat dikatahui bahwa suhu pembakaran tidak mempengaruhi kadar fenol yang
diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, suhu
distilasi mempengaruhi nilai kadar fenol dari asap cair yang diperoleh.
Asap cair yang didistilasi memiliki kadar fenol yang lebih rendah daripada
asap cair sebelum distilasi. Hal ini dikarenakan asap cair tersusun dari berbagai
macam senyawa fenolat dengan titik didih yang bervariasi. Senyawa fenolat
tersebut diantaranya fenol, 2-methyl fenol, 2-methoxy fenol, 2-ethyl fenol, 2,4-
dimethyl fenol, 3-ethyl fenol, 3,4-dimethyl fenol, dan 2-methoxy-4-methyl fenol.
Dengan distilasi pada suhu yang berbeda-beda, senyawa-senyawa fenolat tersebut
terfraksinasi berdasarkan titik didihnya masing-masing. Selain itu, ada beberapa
senyawa fenolat yang memiliki titik didih tinggi sehingga tidak terfraksinasi pada
distilasi sampai suhu 200 °C yang digunakan pada penelitian ini sehingga
menyebabkan kadar fenol pada asap cair setelah distilasi lebih rendah daripada
kadar fenol asap cair sebelum distilasi.
Dari hasil pengukuran kadar fenol dari fraksi-fraksi asap cair, didapatkan
hasil bahwa fraksi yang memiliki kadar fenol paling tinggi adalah fraksi asap cair
dengan suhu distilasi 150 °C sampai 200 °C. Hal ini terjadi karena senyawa fenol,
yang merupakan komponen dominan pada asap cair memiliki titik didih 181,8 °C.
Kadar fenol asap cair pada penelitian ini berkisar antara 0,39 - 1,44 %, sesuai
dengan hasil penelitian Maga (1988) yaitu kadar fenol sebesar 0,2 % - 2,9 %.
Tabel 13. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,
Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel Kadar Fenol (%)
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 0,39 0,65 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C
Tabel 15. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap
dan Suhu Pembakaran
No Sampel Bobot Jenis
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 1,091 1,084
2 Tempurung Kelapa 1,113 1,119
Hasil pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini berkisar
antara 1,076 sampai 1,151. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Nurhayati (2000) yang menggunakan bahan pengasap kayu mengium
dan tusam dengan bobot jenis asap cair antara 1,019 sampai 1,028. Hasil
pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini lebih besar daripada
standar wood vinegar Jepang yang bernilai 1,001 sampai 1,005.
Bobot jenis asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji
ANOVA dari bobot jenis asap cair setelah distilasi (Lampiran 14) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
mempengaruhi nilai bobot jenis dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari nilai
bobot jenis yang semakin tinggi seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari
analisis ANOVA ini juga dapat diketahui bahwa suhu pembakaran tidak
mempengaruhi nilai bobot jenis asap cair. Apabila dianalisis sampai pada suhu
distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai bobot
jenis asap cair yang diperoleh. Bobot jenis ini dipengaruhi oleh berat molekul dari
senyawa-senyawa yang menyusun asap cair.
Tabel 16. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,
Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel Bobot Jenis
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 1,076 1,084 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C
Fraksi asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kualitas dan
kuantitas yang bervariasi yang disebabkan oleh perbedaan suhu distilasi. Semakin
tinggi suhu distilasi, kualitas asap cair yang dihasilkan semakin tinggi. Namun
sebaliknya, semakin tinggi suhu distilasi, kuantitas asap cair yang dihasilkan
semakin rendah. Aplikasi dari asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini dapat
disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut. Oleh karena itu,
grade asap cair dibuat untuk membedakan kualitas dan kuantitas dari masing-
masing fraksi asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini. Grade ini dibuat
berdasarkan fraksi suhu pada proses distilasi atau pemurnian. Grade 1 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 150<T≤200 °C, grade 2 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 125<T≤150 °C, grade 3 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 100<T≤125 °C, dan grade 4
adalah fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi T≤100 °C. Grade 1
adalah asap cair yang memiliki kualitas yang paling tinggi, sedangkan grade 4
adalah asap cair yang memiliki kualitas paling rendah. Kualitas dan kuantitas asap
cair pada berbagai grade dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair pada Berbagai Grade
No Grade* Kuantitas Kualitas
(% b/b) Kadar Fenol (%) Kadar Asam (%)
1 Grade 1 1,3 - 1,4 0,64 - 0,78 58,63 - 59,93
2 Grade 2 1,8 - 2,1 0,64 43,96 - 44,24
3 Grade 3 7,5 - 14,7 0,59 - 0,64 8,08 - 18,92
4 Grade 4 15,9 - 45,5 0,37 - 0,47 4,15 - 9,65
*Keterangan : Penentuan grade oleh penulis
Grade 1 merupakan asap cair yang dihasilkan dari distilasi pada suhu 150
°C sampai 200 °C. Grade 1 memiliki kualitas yang tertinggi dibandingkan dengan
fraksi asap cair lainnya karena memiliki kandungan fenol dan asam organik yang
paling tinggi. Asap cair grade 1 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,64 - 0,78 %
dan kadar asam sebesar 58,63 - 59,93 %. Menurut Darmadji (1995), fenol dan
asam organik berfungsi sebagai zat antimikrobial pada asap cair, dan peranannya
akan semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama-sama.
Namun, grade 1 ini memiliki kuantitas distilat yang paling rendah dibandingkan
dengan grade lainnya yaitu hanya 1,3 - 1,4 %. Grade 1 hanya terdiri dari asap cair
dengan bahan baku tempurung kelapa yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C.
Grade 2 merupakan asap cair yang dihasilkan dari distilasi pada suhu 125
°C sampai 150 °C. Asap cair grade 2 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap
cair grade 1 karena memiliki kadar fenol sebesar 0,64 % dan kadar asam sebesar
43,96 - 44,24 %. Namun asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas sebesar 1,8 - 2,1
%, yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kuantitas asap cair grade 1. Asap
cair grade 2 ini hanya terdiri dari asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa
pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C.
Grade 3 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu 100 °C
sampai 125 °C. Asap cair grade 3 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap cair
grade 2 karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang lebih rendah. Asap cair
grade 3 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,59 - 0,64 % dan kadar asam sebesar
8,08 - 18,92 %. Asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan asap cair grade 2 dan grade 1. Jumlah distilat yang bisa
dihasilkan pada grade 3 ini adalah sebesar 7,5 - 14,7 %. Asap cair grade 3 ini
terdiri dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu
pembakaran 300 °C dan 500 °C.
Grade 4 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu sampai
100 °C. Asap cair grade 4 ini merupakan asap cair dengan kualitas yang paling
rendah karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang paling kecil, yaitu
sebesar 0,37 - 0,47 % dan 4,15 - 9,65 %. Walaupun memiliki kualitas yang paling
rendah, asap cair drade 4 ini memiliki kuantitas yang paling tinggi diantara grade
lainnya, yaitu sebesar 15,9 - 45,5 %. Kuantitas yang tinggi ini disebabkan karena
asap cair grade 4 ini memiliki komponen air dalam jumlah yang banyak. Air dapat
menurunkan kepekatan dan kualitas dari asap cair. Asap cair grade 4 ini terdiri
dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu
pembakaran 300 °C dan 500 °C.
Kualitas asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini ditentukan oleh
kadar fenol dan kadar asam pada asap cair karena kedua senyawa tersebut yang
memiliki peranan paling besar sebagai zat antimikroba. Semakin tinggi kadar
fenol dan kadar asam dari asap cair, maka kemampuan untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme dari asap cair tersebut akan semakin tinggi. Asap
cair yang memiliki kualitas paling tinggi (grade 1) memiliki kuantitas yang paling
rendah karena kandungan air pada asap cair tersebut sangat rendah sehingga
meningkatkan kepekatan dari zat aktif di dalamnya seperti fenol dan asam asetat.
Sebaliknya, asap cair dengan kualitas yang paling rendah (grade 4) memiliki
kuantitas yang paling tinggi, karena kandungan air di dalamnya sangat tinggi
sehingga menurunkan tingkat kepekatan zat aktif di dalamnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tempurung dan sabut kelapa memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan
asap cair.
2. Kualitas asap cair, yaitu kadar fenol dan asam asetat, dari asap cair tempurung
kelapa lebih tinggi dari asap cair sabut kelapa yaitu masing-masing sebesar
19,23 % dan 128,13 % pada suhu pembakaran 300 °C, serta sebesar 30,30 %
dan 132,98 % pada suhu pembakaran 500 °C.
3. Distilasi mampu memisahkan berbagai komponen asap cair tempurung dan
sabut kelapa menjadi empat fraksi dengan suhu distilasi antara 0 sampai 200
°C. Namun perlu dilakukan aplikasi secara langsung untuk mengetahui
kemampuan masing-masing fraksi sebagai pengawet atau fungsi lainnya.
B. Saran
Perlunya dilakukan analisis komponen kimia penyusun fraksi-fraksi asap
cair hasil distilasi dengan menggunakan GC-MS untuk menentukan kegunaan dari
fraksi-fraksi asap cair hasil distilasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Boetje. 1998. pengaruh Cara Aplikasi Asap Cair Terhadap Umur Simpan
Cakalang Asar dalam Bentuk ‘Steak’. Penelitian Pasca Sarjana.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Foster, W. W. 1977. The Physic of Wood Smoke dalam Fish as Food. Vol. 3.
Edited by Borgstorm. G. London. Three Academic Press.
Geankoplis, C. J. 1983. Transport Processes and Unit Operations, 2nd ed. Allyn
and Bacon, Inc., Boston.
Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis horwood. New
York.
Holleman, H. F. 1903. A Text Book of Organic Chemistry. John Wiley & Sons,
New York.
Moody, M. W. dan G. J. Flick. 1990. Smoked, Cured, and Dried Fish. Di dalam
Martin, R. E. Dan G. J. Flick (eds.) The Seafood Industry. Van Nostrand
Reinhold. New York.
Nurhayati, T. 2000. Produksi Arang dan Destilat Kayu Mangium dan Tusam dari
Tungku Kubah. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(3);137-151.
Nurhayati, T., Sylviani, dan Mahpudin. 2003. Analisis Teknis dan Ekonomis
Produksi Terpadu Arang dan Cuka Kayu dari Tiga Jenis Kayu. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 21(2) ; 155-166.
Pearson, A.M. dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats, second edition. AVI
Publishing Company Inc., Wesport Connecticut.
Price, J. F., B. S. Schweigert. 1987. The Science of Meat and Meat Products.
Food and Nutrition Press, Inc. Wesport, Connecticut.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Soetoyo, M. D. 1987. Pedoman Mengasap Ikan Cara Sederhana dan Modern.
Jakarta. Titik Terang.
Sutater, T., Sucianti dan R. Tejasarwana. 1998. Serbuk Sabut Kelapa sebagai
Media Tanam Krisan. Konperensi Nasional Kelapa. Modernisasi Usaha
Pertanian Berbasis Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Bandar Lampung.
Toth, L. dan K. Potthast. 1984. Chemical Aspect of the Smoking of Meat and
Meat Products dalam C. O. Chichester, E. M. Mrakdan B. S. Schweigert
(ed.). Advances in Food Research. Vol. 29. Academic Press, Inc., New
York. London.
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 268.47115333 134.23557667 3.95 0.0712
Error 7 238.10560667 34.01508667
Corrected Total 9 506.57676000
R‐Square C.V. Root MSE KONDST Mean
0.529971 13.16475 5.83224542 44.30200000
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
SAMPEL 1 68.77962667 68.77962667 2.02 0.1980
SUHU 1 199.69152667 199.69152667 5.87 0.045
Distilasi Tempurung
Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: DIS
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 4535.23812500 1133.80953125 145.53 0.0001
Error 11 85.70171875 7.79106534
Corrected Total 15 4620.93984375
R‐Square C.V. Root MSE DIS Mean
0.981454 14.79052 2.79124799 18.87187500
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
SUPMB 1 0.66015625 0.66015625 0.08 0.7764
SUDIS 3 4534.57796875 1511.52598958 194.01 0.0001
Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi (lanjutan)
Distilasi Sabut+tempurung
Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: DIS
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 3903.04687500 1301.01562500 7.52 0.0043
Error 12 2075.56250000 172.96354167
Corrected Total 15 5978.60937500
R‐Square C.V. Root MSE DIS Mean
0.652835 32.39799 13.15156043 40.59375000
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
SAMPEL 1 523.26562500 523.26562500 3.03 0.1075
SUPMB 1 1.26562500 1.26562500 0.01 0.9332
SUDIS 1 3378.51562500 3378.51562500 19.53 0.0008
pH sabut+tempurung
Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: PH
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 0.63642500 0.21214167 200.84 0.0001
Error 12 0.01267500 0.00105625
Corrected Total 15 0.64910000
R‐Square C.V. Root MSE PH Mean
0.980473 1.185050 0.03250000 2.74250000
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
SAMPEL 1 0.54022500 0.54022500 511.46 0.0001
SUPMB 1 0.00010000 0.00010000 0.09 0.7636
SUDIS 1 0.09610000 0.09610000 90.98 0.0001
BJ tempurung
Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: BJ
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 0.00787975 0.00196994 62.78 0.0001
Error 11 0.00034519 0.00003138
Corrected Total 15 0.00822494
R‐Square C.V. Root MSE BJ Mean
0.958032 0.501480 0.00560185 1.11706250
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
SUPMB 1 0.00000006 0.00000006 0.00 0.9652
SUDIS 3 0.00787969 0.00262656 83.70 0.0001
BJ sabut+tempurung
Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: BJ
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 0.00175225 0.00058408 16.55 0.0001
Error 12 0.00042350 0.00003529
Corrected Total 15 0.00217575
R‐Square C.V. Root MSE BJ Mean
0.805354 0.545705 0.00594068 1.08862500
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
SAMPEL 1 0.00115600 0.00115600 32.76 0.0001
SUPMB 1 0.00002025 0.00002025 0.57 0.4634
SUDIS 1 0.00057600 0.00057600 16.32 0.0016
Lampiran 15. Data dan Perhitungan Pirolisis
Contoh Perhitungan :
Sampel 1
Berat kering = Bobot Sampel × 100 %
(100 + kadar air) %
= 520 gr × 100 % = 424,25 gr
(100 + 22,57) %
Persen Kondensat = Bobot Kondensat × 100 %
Berat Kering
= 175 gr × 100 % = 41,13 %
424,25 gr
Persen Arang = Bobot Arang × 100 %
Berat Kering
= 195 gr × 100 % = 46,02 %
424,25 gr
Rata-rata
Persen kondensat rata-rata = % kondensat ulangan 1 + % kondensat ulangan 2
2
= 41,13 % + 39,45 % = 40,29 % (lihat Tabel 4)
2
Lampiran 16. Data dan Perhitungan Distilasi
Contoh Perhitungan :
Sampel 7
Persen terekstrak (T≤100) = Volume Terekstrak (ml) × 100 %
Volume Awal (ml)
= 94 ml × 100 % = 47,00 %
200 ml
Contoh Perhitungan :
Sampel 5
Kadar Asam = Vol NaOH (l) × N NaOH × BM as. asetat × 100 %
Bobot Contoh (gr)
= (21,4-0) × 0,1 × 60 × 100 % = 6,426 %
1,988 × 1000
Contoh Perhitungan :
Sampel 1
Kadar Fenol (%) = Kadar Fenol (gr/l) × 1 l
BJ Fenol (gr/ml) 1000 ml
= 946,54 (gr/l) × 1 l = 0.895 %
1,0576 1000 ml
Contoh Perhitungan
Sampel 5
Bobot Jenis = Bobot Akhir (gr) – Bobot Awal (gr)
Volume (ml)
= 18,478 gr – 13,108 gr = 1,074 gr/ml
5 ml
b. pH (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 10 ml diukur dengan menggunakan pH meter, dengan
terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan buffer pH 4,0 dan 7,0.
pengukuran sampel dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter ke
dalam sampel dan skala dibaca setelah jarum penunjuk konstan.
f. GC-MS
Instrument : Agilent Technologies 6890 Gas
Chromatograph with Auto Sampler and
5973 Mass Selective Detector and
Chemstation Data System
Ionisation mode : Electron Impact
Electron energy : 70 eV
Coloumn : HP Ultra , Capillary Coluomn
Length 50 (m) × 0,2 (mm) I.D × 0,11
(µm) Film Thickness
Oven temperature : Initial temperature at 60 ºC hold for 2
minutes, rising at 5 ºC/min to 280 ºC
hold for 5 minutes
Injection port temperature : 250 ºC
Ion source temperature : 230 ºC
Interface temperature : 280 ºC
Quadrupole temperature : 140 ºC
Carrier gas : Helium
Colounm mode : Constant flow
Flow coloumn : 0,6 µL/minute
Injection volume : 5 µL
Split : 100 : 1