You are on page 1of 92

ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR

BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA


SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI

CANDRA LUDITAMA
F34102053

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR
BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA
SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
CANDRA LUDITAMA
F34102053

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR


BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA
SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
CANDRA LUDITAMA
F34102053

Dilahirkan di Tangerang
pada tanggal 20 Februari 1984

Tanggal Lulus : 9 November 2006

Bogor, Desember 2006


Menyetujui,

Dr.Ir. Erliza Noor Dr. Gustan Pari, MSi, APU


NIP : 131667793 NIP : 710.005.078
Pembimbing I Pembimbing II
Candra Luditama (F34102053). Isolation and Purification of Liquid Smoke
from Coconut Shell and Coir by Pyrolisis and Distillation. Revised by Dr. Ir.
Erliza Noor and Dr. Gustan Pari, MSi.

SUMMARY

Liquid smoke is a vinegar obtained by pyrolisis of organic material such


as wood, then followed by condensation through water-cooled condenser. Liquid
smoke consist of antibakterial and antioxydant compounds, so that it was widely
used in food industries as preservatives, health industries, fertilizers,
bioinsecticides, pesticides, desinfectants, herbisides, and many more.
Smoke was obtained by the combustion of the wood that is consist of
hemicellulose, cellulose, and lignine. The combustion of hemicellulose, cellulose,
and lignine of wood will produce acids and its derivations, alcohols, phenols,
aldehydes, karbonils, ketons and piridins. Besides antimikrobial and antioxydant
compounds, liquid smoke also consist of Polysiclic Aromatic Hydrocarbon
(PAH) that is hazardous if consumed by human being. This hazardous substrate
can be separated from the liquor by precipitation for 24 hours or by distillation.
Principally, another organic material that is consist of hemicellulose, cellulose,
and lignine can be used as a raw material of liquid smoke, such as coconut coir,
coconut shell, and paddy rank. The condition of combustion process affects the
quality and quantity of liquid smoke obtained. Factors that is determine the
quality and quantity of liquid smoke are the materials, pressure, heat temperature,
and the duration of combustion process.
The aim of this research is to produce liquid smoke from coconut shell
and coir at various conditions of process, identify the compounds consist in liquid
smoke, and separate the active compouns in liquid smoke. The pyrolisis was
carried out in a reactor at temperature 300 °C and 500 °C for 5 hours. At this
pyrolisis process, wood components, that is consist of hemicellulose, cellulose,
and lignine, decomposed to acids and its derivations, alcohols, phenols,
aldehydes, karbonils, ketons, piridins, and tar. After that, purification is done to
separate tar and condense the concentration of phenol and acetic acid. Purification
is conducted by distillation at 4 spanning temperatures, that is 0-100 °C, 100-125
°C, 125-150 °C, dan 150-200 °C.
The result of coconut coir combustion at temperature of 300 °C and 500
°C yield 40,29 % dan 57,45 % liquid smoke and the coconut shell combustion at
temperature of 300 °C dan 500 °C yield 40,08 % and 42,10 % liquid smoke. The
result of 300 °C and 500 °C coconut coir’s liquid smoke purificaton yield 14,7 %
- 22,9 % and 7,5 % - 45,5%, while the 300 °C and 500 °C coconut shell’s liquid
smoke purificaton yield 1,4 % - 15,9 % and 1,3 % - 18,8 %.
From physical and chemical properties test, purified liquid smoke has 1,76
- 2,97 acidity, 4,151 % - 59,934 % acids, 0,370 % - 0,835 % phenols, and 1,076
g/ml – 1,144 g/ml of specific gravity. Liquid smoke characteristic in the form of
pH, acid contents and specific gravity fulfill standard of wood Japan vinegar.
Candra Luditama (F34102053). Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan
Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Dibawah
bimbingan Dr. Ir. Erliza Noor dan Dr. Gustan Pari, MSi.

RINGKASAN

Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara
pirolisis bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa
kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair mengandung senyawa-
senyawa antibakteri dan antioksidan, sehingga penggunaannya sangat luas
mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk
tanaman, bioinsektisida, pestisida desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya.
Asap diperoleh melalui pembakaran kayu yang mengandung selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Pembakaran hemiselulosa, selolusa, dan lignin dari kayu
akan menghasilkan senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid,
karbonil, keton dan piridin. Selain terdapat zat antimikroba, antibakteri, dan
antioksidan, di dalam asap cair juga terdapat senyawa Polisiklik Aromatis
Hidrokarbon (PAH) yang berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia. Zat
berbahaya ini dapat dipisahkan dari asap cair dengan cara diendapkan selama 24
jam atau didistilasi. Pada prinsipnya, bahan-bahan lain yang memiliki kandungan
senyawa-senyawa diatas dapat digunakan sebagai bahan baku asap cair, seperti
serabut kepala, tempurung kelapa maupun merang padi. Kondisi proses
pembakaran mempengaruhi kualitas dan kuantitas asap cair yang diperoleh.
Faktor-faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut adalah
bahan baku, tekanan, suhu pembakaran, dan lamanya waktu pembakaran.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat asap cair dari tempurung dan sabut
kelapa pada berbagai kondisi proses, mengidentifikasi komposisi senyawa-
senyawa yang terkandung di dalamnya, dan memisahkan komponen-komponen
aktif pada asap cair. Variasi suhu pembakaran adalah 300 °C dan 500 °C selama 5
jam. Pada proses pirolisis ini, komponen kayu, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan
lignin, mengalami dekomposisi menghasilkan senyawa asam dan turunannya,
alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton piridin dan tar. Selanjutnya dilakukan
proses pemurnian untuk memisahkan senyawa tar dan meningkatkan konsentrasi
fenol dan asam organik. Proses pemurnian ini dilakukan dengan cara distilasi pada
4 rentang suhu, yaitu 0-100 °C, 100-125 °C, 125-150 °C, dan 150-200 °C.
Hasil pembakaran sabut kelapa pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C
menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,29 % dan 57,45 %,
sedangkan pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C
menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,08 % dan 42,10 %. Pada
pemurnian asap cair dengan cara distilasi didapatkan hasil bahwa asap cair dari
bahan sabut kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C memiliki
rendemen distilasi sebesar 14,7 % - 22,9 % dan 7,5 % - 45,5%, sedangkan pada
pemurnian asap cair dari bahan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300
°C dan 500 °C memiliki rendemen distilasi sebesar 1,4 % - 15,9 % dan 1,3 % -
18,8 %.
Dari pengujian sifat fisik dan kimia asap cair didapatkan bahwa asap cair
yang didistilasi memiliki keasaman (pH) sebesar 1,76-2,97, kadar asam sebesar
4,151 % - 59,934 %, kadar fenol 0,370 % - 0,835 %, dan bobot jenis 1,076 g/ml –
1,144 g/ml. Karakteristik asap cair berupa pH, kadar asam dan bobot jenis
memenuhi standar wood vinegar Jepang.
LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripasi dengan judul :


ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR BERBAHAN DASAR
TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI
adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik,
kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya

Bogor, Desember 2006


Yang membuat pernyataan

Candra Luditama
NRP : F34102053
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada


tanggal 20 Februari 1984 dan merupakan anak
pertama dari dua bersaudara.
Penulis memulai jenjang pendidikannya
di SDN Cipeureudeuy I dan SDN Serang XI, lalu
melanjutkan ke SLTPN 1 Serang dan SLTPN 5
Cirebon serta SMUN 1 Cirebon. Penulis
melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002.
Selama pendidikannnya di IPB, penulis pernah terlibat dalam beberapa
organisasi diantaranya KOPMA (Koperasi Mahasiswa), IKC (Ikatan
Kekeluargaan Cirebon), serta menjadi staf Departemen Kewirausahaan
HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Selain itu juga penulis
pernah mengikuti seminar-seminar yang diadakan di IPB.
Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Gambar
Teknik pada semester 5 dan asisten praktikum mata kuliah Laboratorium
Penyimpanan dan Pengemasan pada semester 6. Penulis juga terlibat dalam tim
PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) berjudul ‘Penanganan Limbah Cair dan
Gas pada Industri Kecil dengan Teknologi Biotrickling Filter’.
Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PG. Jatitujuh
dengan judul ‘Mempelajari Teknologi Proses Produksi Gula di PT. Rajawali II
Unit PG. Jatitujuh’.
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
kuasanya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian berjudul Isolasi dan Pemurnian Asap
Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan
Distilasi. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret sampai Agustus di
Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen pembimbing yang telah mengarahkan
penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,
2. Dr. Gustan Pari, MSi sebagai pembimbing II yang telah menyediakan sarana
dan prasarana penelitian serta bimbingan,
3. Prayoga Suryadharma, STP, MT sebagai dosen penguji atas evaluasi dan
sarannya pada skripsi ini,
4. Ayah dan Ibu tercinta atas kesabaran, perhatian, dan saran-saran bijaknya,
serta adikku Tika,
5. Pak Mahpudin, Pak Salim, Pak Dadang S., serta seluruh staf dan karyawan
Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan
Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian,
6. Nurlita Soraya, yang selalu ada dan mendampingi penulis serta memberikan
semangat dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, serta
7. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermafaat bagi pembaca.

Desember 2006

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan.................................................................................. i
Summary...................................................................................................... ii
Ringkasan.................................................................................................... iii
Lembar Pernyataan.................................................................................... v
Riwayat Hidup............................................................................................. vi
Kata Pengantar........................................................................................... vii
Daftar Isi...................................................................................................... viii
Daftar Tabel................................................................................................ x
Daftar Gambar............................................................................................ xi
Daftar Lampiran......................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Tujuan.............................................................................................. 3
C. Manfaat............................................................................................ 3

II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 4


A. Asap Cair.......................................................................................... 4
B. Bahan Pengasap................................................................................ 7
C. Proses Pirolisa.................................................................................. 9
D. Pemurnian Asap Cair Dengan Distilasi............................................ 10
E. Perkembangan Produksi Asap Cair.................................................. 11
F. Aplikasi............................................................................................ 11

III. METODOLOGI.................................................................................... 14
A. Bahan dan Alat.................................................................................. 14
B. Metode.............................................................................................. 14
C. Rancangan Percobaan....................................................................... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 18


A. Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Asap Cair
Secara Pirolisis.................................................................................. 18
B. Komponen-Komponen pada Asap Cair............................................ 21
C. Fraksinasi Asap Cair........................................................................ 23
D. Pengujian Kualitas Asap Cair.......................................................... 25
1. Nilai pH..................................................................................... 26
2. Kadar Asam............................................................................... 29
3. Kadar Fenol................................................................................ 33
4. Bobot Jenis................................................................................. 36
5. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian.................................. 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 41

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 42

LAMPIRAN.............................................................................................. 47
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair..................................................... 6
Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa...................................... 8
Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa................... 9
Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda..... 19
Tabel 5. Senyawa Dominan di dalam Asap Cair
Hasil Deteksi GC-MS............................................................... 21
Tabel 6. Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai
Rentang Suhu Distilasi.............................................................. 24
Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan
Pengasap dan Suhu Pembakaran............................................... 27
Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi........... 28
Tabel 9. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran.................................... 30
Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi........... 32
Tabel 11. Kadar Asam pada Bahan Pengasap........................................... 32
Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran.................................... 33

Tabel 13. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi


Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi........... 35
Tabel 14. Kadar Fenol pada Bahan Pengasap........................................... 35
Tabel 15. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi
Bahan Pengasap........................................................................ 36

Tabel 16. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi


Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi........... 37

Tabel 17. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian................................. 38


Tabel 18. Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair pada Berbagai Grade.......... 39
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Alat Pembuat Asap Cair......................................................... 14
Gambar 2. Rancangan Alat Untuk Distilasi............................................. 15
Gambar 3. Sabut dan Tempurung Kelapa................................................ 18
Gambar 4. Asap Cair Sabut dan Tempurung Kelapa............................... 20
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat
Sabut Kelapa Suhu 300 °C................................................. 48
Lampiran 2. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat
Sabut Kelapa Suhu 500 °C................................................. 49
Lampiran 3. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat
Tempurung Kelapa Suhu 300 °C........................................ 50
Lampiran 4. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat
Tempurung Kelapa Suhu 500 °C........................................ 51
Lampiran 5. Komponen Kondensat Sabut Kelapa
Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS................................... 52
Lampiran 6. Komponen Kondensat Sabut Kelapa
Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS................................... 54
Lampiran 7. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa
Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS................................... 55
Lampiran 8. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa
Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS................................... 56
Lampiran 9. Hasil Uji ANOVA Pirolisis............................................. 57
Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi............................................. 58
Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA pH..................................................... 60
Lampiran 12. Hasil Uji ANOVA Kadar Asam...................................... 62
Lampiran 13. Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol...................................... 64
Lampiran 14. Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis....................................... 66
Lampiran 15. Data dan Perhitungan Pirolisis........................................... 68
Lampiran 16. Data dan Perhitungan Distilasi........................................... 69
Lampiran 17. Data dan Perhitungan Kadar Asam.................................... 70
Lampiran 18. Data dan Perhitungan Kadar Fenol..................................... 72
Lampiran 19. Data dan Perhitungan Bobot Jenis...................................... 74
Lampiran 20. Data dan Perhitungan Produktivitas................................... 76
Lampiran 21. Analisis Sifat Fisik dan Kimia............................................ 77
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara
distilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa
kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair berasal dari bahan alami
yaitu pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras
sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang memiliki efek antimikroba,
antibakteri, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol,
aldehid, karbonil, keton dan piridin.
Prospek penggunaan asap cair sangat luas, mencakup industri makanan
sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida
desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya. Prospek penggunaan asap cair yang
sangat luas ini memiliki berbagai keunggulan bila dibandingkan dengan
penggunaan bahan kimia sintetik. Asap cair lebih mudah diaplikasikan karena
konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama
dan seragam. Asap cair telah disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada
bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging. Bahan ini
dapat diproduksi secara sederhana dengan menggunakan bahan dan peralatan
yang mudah diperoleh serta relatif murah.
Kualitas dan kuantitas unsur kimia asap umumnya tergantung pada jenis
bahan pengasap yang digunakan. Bahan baku yang umum digunakan adalah
bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selama ini bahan
kayu keras seperti kayu jati (Firmansyah, 2004), mangium, tusam (Nurhayati,
2000), dan sengon banyak digunakan sebagai bahan pembuatan asap cair. Kedua
jenis kayu tersebut digunakan dalam bentuk blok kayu ataupun serbuk kayu yang
dipres. Namun, harga kayu yang mahal dan ketersediaannya yang terbatas
menyebabkan biaya produksi pembuatan asap cair menjadi tinggi.
Adanya kendala-kendala penggunaan bahan pengasap dari kayu tersebut
mendorong penggunaan bahan pengasap dari jenis lain, seperti tempurung dan
sabut kelapa. Bahan ini masih memiliki komponen selulosa, hemiselulosa, dan
lignin yang cukup besar. Selain itu, penggunaan limbah kelapa ini dapat
memberikan nilai tambah lain sebagai asap cair dibandingkan dengan
penggunaannya sebagai keset, anyaman, atau suvenir. Saat ini asap cair dijual
dengan harga berkisar antara Rp. 6000,- sampai Rp. 18000,- per liter, tergantung
kualitas dari asap cair.
Kualitas dan kuantitas asap cair sangat dipengaruhi oleh kondisi proses
pembakaran bahan bakunya. Selama ini, penelitian-penelitian terdahulu telah
dilakukan untuk menentukan proses terbaik dalam pembuatan asap cair. Misalnya
Tranggono et al. (1996) yang menggunakan suhu pembakaran 350 - 400 °C.
Selain itu, Nurhayati (2000) mencoba membandingkan dua metode pembakaran,
yaitu metode tungku kubah dan metode distilasi kering (destructive distillation)
pada produksi asap cair. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa metode
destilasi kering, dimana suhu karbonisasi dapat dikontrol sampai 500 °C
menghasilkan asap cair dengan jumlah yang lebih banyak daripada metode tungku
yang memiliki rata-rata suhu sebesar 350 °C. Selain itu juga, metode distilasi
kering mampu menghasilkan asap cair dengan kadar fenol dan kadar asam yang
lebih besar. Firmansyah (2004) juga mencoba untuk menentukan kondisi proses
pembakaraan yang terbaik untuk memproduksi asap cair dengan cara
menambahkan cangkang telur pada bahan pengasap berupa serbuk kayu jati
dengan berbagai komposisi yang mampu meningkatkan suhu pembakaran.
Namun asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar fenol yang
kecil karena suhu pembakaran yang terbentuk tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 210
°C.
Dari ketiga penelitian terdahulu diatas, dapat diketahui bahwa kondisi
proses berupa suhu pembakaran sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari
asap cair yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan suhu
yang lebih tinggi yaitu 500 °C untuk menghasilkan asap cair dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih tinggi daripada penelitian-penelitian terdahulu. Selain itu,
suhu 500 °C dipilih agar komponen lignin dapat terdekomposisi membentuk
senyawa fenol pada suhu 400 °C. Sedangkan suhu 300 °C dipilih karena pada
suhu tersebut komponen selulosa dan hemiselulosa terdekomposisi membentuk
senyawa-senyawa asam organik.
Kualitas dari asap cair ditentukan oleh kemurnian dari senyawa-senyawa
yang terkandung didalamnya, terutama fenol dan asam-asam organik. Oleh karena
itu, proses pemurnian perlu dilakukan untuk memisahkan kedua senyawa tersebut
sehingga dihasilkan asap cair dengan kualitas yang tinggi. Selama ini, proses
pemurnian yang dilakukan pada asap cair hanya sebatas menghilangkan
kandungan tar dengan cara mengendapkannya selama 24 jam. Cara tersebut tidak
mampu memisahkan senyawa fenol dan asam organik. Pemurnian yang
digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara distilasi berdasarkan perbedaan
titik didih. Kualitas dan kuantitas fenol dan asam asetat dibandingkan pada
berbagai rentang suhu distilasi.

B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rendemen asap cair
dari berbagai kondisi fisik (suhu pembakaran dan suhu distilasi) dan kimia (bahan
baku)

C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai
produksi serta kualitas asap cair dari bahan pengasap tempurung dan sabut kelapa.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Asap Cair
Pengasapan merupakan pemanfaatan panas dan asap dari hasil
pembakaran. Tujuan pengasapan pada awalnya hanya untuk pengawetan bahan
makanan, namun dalam pengembangannya berubah, yaitu menghasilkan produk
dengan aroma tertentu, meningkatkan cita rasa, memperbaiki penampilan dan
meningkatkan daya simpan produk yang diasap (Girard, 1992). Asap mengandung
sejumlah besar senyawa yang dibentuk oleh pirolisis konstituen dari kayu seperti
selulosa, hemiselulosa dan lignin, dari hasil ikutan hewani seperti tulang, darah
dan sebagainya (Djatmiko et al., 1985).
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap
asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari
campuran senyawa murni (Maga, 1988). Asap diproduksi dengan cara
pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen
polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh
panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992).
Partikel asap mempunyai diameter 0,1 μm. Proporsi partikel padatan dan cairan
dalam medium gas menentukan kepadatan asap. Selain itu asap juga memberikan
atribut warna dan flavor pada medium pendispersi gas (Pszczola, 1995).
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) diperoleh secara distilasi kering
bahan baku asap misalnya batok kelapa, sabut kelapa atau kayu pada suhu 400 °C
selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor
berpendingin air (Pszczola, 1995). Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam
corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak
diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam pirolignat. Asam
pirolignat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lain-
lain.
Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik
farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode kasar dari distilasi kayu
asap (Pszczola, 1995). Produk yang berupa asap cair digunakan untuk
mengawetkan daging babi dan babi asin dan untuk memberi citarasa pada
beberapa bahan makanan.
Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain :
a. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan
tradisional.
b. Lebih intensif dalan pemberian flavor.
c. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah
d. Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan.
e. Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial.
f. Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap.
g. Polusi lingkungan dapat diperkecil.
h. Dapat diaplikasikan ke dalam berbagai cara penyemprotan,
pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan (Pearson and
Tauber, 1984).
Eklund (1982) mengemukakan bahwa asap cair tidak menunjukkan
karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian Hidrokarbon
Aromatik Polisiklik (HAP). Hal ini didukung oleh pernyataan Hollenbeck (1978),
bahwa asap cair mempunyai sifat anti bakterial, mudah diaplikasikan dan lebih
aman dari asam konvensional dan fraksi tar yang mengandung hidrokarbon
aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan
karsinogenik.
Zaitsev et al. (1969) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa
zat antimikroba, antara lain :
a. Asam dan turunannya : format, asetat, butirat, propionat, metil ester.
b. Alkohol : metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol.
c. Aldehid : formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural.
d. Hidrokarbon : silene, kumene, dan simene.
e. Keton : aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil
keton.
f. Fenol
g. Piridin dan metil piridin.
Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen asap dibagi menjadi 4
kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap nilai gizi produk yang diasap, antara
lain :
a. Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan
menghambat perubahan kimiawi dan biologis yang merugikan.
b. Komponen yang tidak menunjukkan aktivitas dari segi nilai gizi.
c. Senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan
menurunkan nilai gizi produk yang diasap.
d. Komponen beracun.
Komposisi kimia asap cair beserta persentasenya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair


Komposisi Kimia Kandungan (%)
Air 11 – 92
Fenol 0,2 – 2,9
Asam 2,8 – 4,5
Karbonil 2,6 – 4,6
Ter 1 - 17
Sumber : Maga (1988)

Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa


fenol dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat apabila kedua senyawa
tersebut ada bersama – sama (Darmadji, 1995). Selain fenol, senyawa aldehid,
aseton dan keton juga memiliki daya bakteriostatik dan bakteriosidal pada produk
asap. Menurut Maga (1987), asap cair pada konsentrasi 6,5 gr/kg dapat
memperpanjang fase lage Staphylococcus aurus (105 CFU/ml) selama 4 hari pada
suhu kamar (30ºC) dan pada konsentrasi 9,8 g/kg adalah 14 hari. Girrard (1992)
menyatakan bahwa asap dalam bentuk cair berpengaruh terhadap keseluruhan
jumlah asam dalam kondensat asap, yaitu mencapai 40% dengan 35 jenis asam.
Kandungan asam yang mudah menguap dalam asam akan menurunkan pH,
sehingga dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al.,1985).
Menurut Haris dan Karmas (1989), kerja bakteriosidal dari pengasapan adalah
faktor nyata dalam perlindungan nilai gizi produk yang diasap terhadap perusakan
biologis. Efek fungisidal dalam asap disebabkan oleh fenol dan formaldehid
(Daun, 1979; Toth dan Potthast, 1984).
Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini
terutama pada senyawa fenol dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimethoksi
fenol, 2,6-dimethoksi-4-metil fenol dan 2,6-dimethoksi-4-ethyl fenol (Pearson dan
Tauber, 1973). Senyawa – senyawa fenolat lainnya yang terdapat dalam asap dan
memperlihatkan aktivitas oksidatif adalah pirokathkol, hidrokuinon, guaiakol,
eugenol, isoeugenol, vanilin, salisilaldehid, asam 2-hidroksibenzoat, dan senyawa
- senyawa tersebut hampir semuanya bersifat larut dalam eter (Maga, 1988;
Fiddler et al., 1970). Senyawa ini mendonasikan hidrogen dan dalam konsentrasi
yang sangat kecil sudah memperlihatkan efektivitasnya sebagai penghambat
reaksi oksidasi. (Maga, 1988). Senyawa fenol dengan titik didih rendah memiliki
sifat antioksidan yang agak rendah. Aktivitas antioksidan dari komponen asap
adalah sifat yang penting dalam melindungi penyusutan nilai gizi produk yang
diasap (Daun, 1979).
Asap dalam bentuk cair juga masih mempunyai berbagai sifat fungsional.
Fungsi lainnya adalah untuk memberikan flavor yang diinginkan pada produk
asap karena adanya senyawa fenol dan karbonil (Pszczola, 1995). Rasa dan aroma
khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa guaiakol, 4-metil-
guaiakol, dan 2,6-dimetoksi fenol. Girard (1992) mengatakan bahwa dari berbagai
penelitian terdahulu, diketahui bahwa senyawa – senyawa fenolat tertentu seperti
guaiakol, 4-metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenil dan seringol menentukan flavor
dari bahan pangan yang diasap dimana guaiakol akan memberikan rasa asap dan
seringol memberikan aroma asap. Rasa dan aroma yang khas pada makanan yang
diasap disebabkan oleh senyawa fenol yang bereaksi dengan protein dan lemak
yang terdapat pada makanan (Daun, 1979).

B. Bahan Pengasap
Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu lunak yang
banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin (Maga, 1988). Menurut
Zaitsev et al. (1969), umumnya kayu mengandung selulosa 40-60%,
hemiselulosa 20-30%, lignin 20-30%. Menurut Tillman et al. (1981), secara
umum kayu keras memiliki holoselulosa (e.g. karbohidrat) dan lebih sedikit lignin
daripada kayu lunak. Selulosa adalah golongan polisakarida (C6H10O5)n dengan
berat molekul sekitar 1.500.000, jika dihidrolisis akan membentuk glukosa.
Selanjutnya dikatakan, bahwa selain kayu juga dapat digunakan serabut dan
tempurung kelapa maupun merang padi sebagai penghasil asap (Zaitsev et al.,
1969). Hasil pirolisis dari senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin diantaranya
akan menghasilkan asam organik, fenol dan karbonil yang berbeda dalam proporsi
diantaranya tergantung pada jenis kayu, kadar air kayu dan suhu pirolisis yang
digunakan (Yulistyani et al., 1997).
Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu
keras, tetapi mempunyai kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah.
Pirolisa tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30%
dan keasaman 10,2% (Tranggono et al., 1996; Darmadji, 1995). Tempurung
merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kerasnya
disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat (SiO2) di tempurung tersebut. Dari
berat total buah kelapa, 15-19% merupakan berat tempurungnya. Selain itu,
tempurung juga banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl
dalam tempurung hampir sama dengan yang terdapat dalam kayu. Namun, jumlah
kandungan unsur-unsur itu bervariasi tergantung lingkungan tumbuhnya.
Komposisi kimia tempurung kelapa menurut Djatmiko et al. (1985) disajikan
dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa


Komponen Persentase (%)
Abu 0,23
Lignin 33,30
Selulosa 27,31
Pentosan 17,67
Metoxil 5,39
Sumber : Djatmiko et al., (1985)
Sutater et al. (1998) menyatakan bahwa sifat kimia dari serbuk sabut
kelapa sangat bervariasi dari daerah mana kelapa tersebut diproduksi. Komponen
utama penyusun sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa


Komponen Persentase (%)
Sabut Kelapa Serbuk Sabut Kelapa
Air 26,0 5,23
Pektin 14,25 3,00
Hemiselulosa 8,50 0,25
Lignin 29,23 45,84
Selulosa 21,07 43,44
Sumber : Joseph dan Kindagen (1993)

C. Proses Pirolisa
Proses pirolisa melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi,
oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa
kayu adalah : penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C, pirolisa
hemiselulosa pada suhu 200-250 °C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C dan
pirolisa lignin pada suhu 400 °C. Pirolisa pada suhu 400 °C ini menghasilkan
senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih
tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi
produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis
aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988).
Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling
awal menghasilkan furfural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa
tersusun atas pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi
ini tergantung pada spesies kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural,
furan dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat.
Bersama-sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan
homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 °C (Girrard,
1992). Lignin dalam pirolisis menghasilkan senyawa fenol dan eter fenolik seperti
guaiakol (2-metoksifenol) dan homolognya serta turunannya yang berperan
terhadap aroma asap dari produk-produk hasil pengasapan. Fenol dihasilkan dari
dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 °C dan berakhir pada suhu 450 °C
(Girrard, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa menghasilkan senyawa
asam asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehida, glikosal dan akreolin.
Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaiakol, siringol bersama
dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988).
Distilasi kering kayu adalah salah satu cara yang digunakan untuk
membuat produk-produk komersial dalam bentuk cair, padat maupun gas. Proses
distilasi kering dilakukan dengan cara memanaskan kayu secara langsung maupun
tidak langsung dengan udara terbatas ataupun tanpa udara. (Hendra, 1992).
Produk yang diawetkan dengan asap yang diproduksi pada suhu 400 °C, lebih
unggul mutu organoleptiknya dibanding perlakuan asap yang diproduksi dengan
suhu yang lebih tinggi (Hanson, 2004). Selain itu, menurut Fretheim et al. (1980),
efektifitas antara antioksidan dari fenol yang paling baik adalah dari hasil
pembakaran pada temperatur 400 °C.
Jumlah dan sifat fenol yang terdapat dalam asap berhubungan langsung
dengan suhu pirolisis kayu (Hamm dan Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Kadar
maksimum senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 °C (Hamm dan
Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Peningkatan suhu sebesar 150 °C dari 350
menjadi 500 °C secara nyata tidak merubah kondensat asam, tetapi terjadi sedikit
peningkatan efek antioksidatif. Suhu optimum pembuatan asap adalah sekitar 400
°C (Fratheim et al., 1980).

D. Pemurnian Asap Cair Dengan Distilasi


Unit operasi distilasi merupakan metode yang digunakan untuk
memisahkan komponen-komponen yang ada di dalam suatu larutan atau cairan,
yang tergantung pada distribusi komponen-komponen yang ada di dalam suatu
larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi komponen-komponen tersebut
antara fase uap dan fase cair. Semua komponen-komponen ini terdapat dalam
kedua fase tersebut. Fase uap terbentuk dari fase cair melalui penguapan pada titik
didihnya (Geankoplis, 1983). Distilasi asap cair dilakukan untuk menghilangkan
senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti poliaromatik
hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga
diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren (Darmadji,
2002). Senyawa utama yang terkandung di dalam tar yang merupakan hasil dari
suatu proses distilasi adalah senyawa fenol yang terdapat dalam jumlah yang
sedikit terutama terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903).

E. Perkembangan Produksi Asap Cair


Asap cair adalah kondensat komponen asap yang bisa digunakan untuk
menciptakan flavor asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair
sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tapi baru sepuluh sampai lima belas tahun
belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody
dan Flick, 1990).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan produk asap
cair, diantaranya melihat sifat kimia dan komposisi kimia asap cair dari berbagai
jenis kayu yang dibuat secara pirolisis pada suhu 350 – 400 °C (Tranggono et al.,
1996; Holzschuh et al., 2003). Darmadji (2002) melakukan optimasi kondisi
proses barupa suhu distilasi, waktu distilasi dan suhu kondensasi pembuatan asap
cair dengan menggunakan bahan tempurung kelapa pada suhu 400 °C yang
dibakar selama 1 jam.
Saat ini, asap cair yang beredar di pasaran adalah asap cair yang telah
dipisahkan dari komponen tar. Di dalam tar terkandung senyawa Polisiklik
Aromatik Hidrokarbon (PAH) yang karsinogenik terhadap manusia. Cara
pemisahan komponen tar dari asap cair dilakukan dengan cara mengekstrak
kondensat hasil pirolisis dengan menggunakan pelarut antara lain gugus CO,
propana, metana, etilen, amonia, metanol, air dan campuran dari satu atau lebih
komponen tersebut (Plaschke, 2002).

F. Aplikasi
Pengasapan cair merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
untuk dapat membandingkan ikan asap yang dihasilkan dari pengasapan
tradisional. Metode pengasapan cair akan dapat dilakukan modifikasi proses
pengeringan atau pengovenan sehingga kadar air produk yang dihasilkan dapat
lebih rendah yang berdampak pada daya simpan yang lebih lama. Selain itu,
senyawa-senyawa Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) dapat diminimalisasi
(Maga, 1988).
Pengasapan cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair
dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair
telah juga disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada bahan pangan dan
sekarang ini banyak digunakan pada produk daging (Eklund, 1982). Pengasapan
cair dilakukan dengan merendam produk pada asap yang sudah dicairkan melalui
proses pirolisis. Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan
larutan asap, baik asap cair alami ataupun sintetik (Maga, 1988).
Penggunaan asap cair menurut Pearson dan Tauber (1973), pada
pembuatan makanan yang diasap adalah dengan cara :
a. Mencampur secara langsung ke dalam emulsi daging.
b. Pencelupan.
c. Pemercikan cairan (spraying).
d. Penyemprotan kabut asap cair ke dalam ruang pengasapan
(atomizing).
e. Asap cair diuapkan dengan cara meletakkan asap cair tersebut di atas
permukaan yang panas.
Boetje (1998) melakukan penelitian terhadap total jamur dari ikan asap
yang diberikan perlakuan penyuntikan dalam asap cair dalam perlakuan kuring,
dan perendaman dalam larutan kuring masing-masing 3 x 10, 9.8 x 103 dan 1.2 x
102.
Hasil distilasi kering yang potensial untuk dimanfaatkan terutama adalah
ter, kreosote, fenol dan asam-asam kayu. Ter mempunyai peluang untuk
digunakan sebagai bahan pelunak (softener) sebagai campuran dalam pembuatan
ban, desinfektan dan bahan pengawet kayu dan juga dapat digunakan sebagai
bahan perekat. Residu produk tunggal yang tertinggal dalam retort adalah arang
kayu. Arang kayu ini dapat diaplikasikan lebih lanjut menjadi arang aktif yang
dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi (Hendra, 1992).
Cuka kayu merupakan produk multi manfaat karena dapat berfungsi
sebagai penyubur tanaman, hormon dan pupuk, pengendali organisme perusak
tanaman dan berfungsi sebagai antiseptik yang optikal. Penggunaannya sebagai
pestisida, hormon dan pupuk memberipetunjuk bahea cuka kayu termasuk bagian
dari teknologi Clean Development Mechanism. Oleh karena itu, selain dalam
penggunaannya tidak memberikan efek pada lingkungan (tidak beracun dan dapat
dipegang oleh pemakai), juga terdapat pendaur ulangan unsur C, yaitu
pengembalian unsur C ke tanah melalui semprotan pada tanaman yang
mengakibatkan tanaman menjadi sehat (Nurhayati et al., 2003).
Di Jepang, asap cair dari bambu diaplikasikan sebagai anti alergi dan
antioksidan. Asap cair ini dibuat dengan suhu pembakaran 350 °C sampai 450 °C
dan didistilasi pada suhu rendah, yaitu 50 °C sampai 60 °C. Asap cair ini untuk
konsumsi sehingga umumnya 1 liter asap cair dicampur dengan 100 liter air atau
jus jeruk. Komponen utama dari asap cair ini adalah asam asetat dan tidak
mengandung senyawa penyebab kanker seperti benzopyren, dibenzathracene, dan
methylcholanthrene (Imamura dan Watanabe, 2004).
III. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sabut kelapa dan
tempurung kelapa yang didapat dari penjual kelapa parut di Pasar Gunung Batu.
Tempurung kelapa dibersihkan permukaannya dari sabut dan dipecah dengan
menggunakan golok sampai diameter 5-8 cm, sedangkan sabut dan serbuk kelapa
dipisahkan dari jaringannya dengan menggunakan tangan. Untuk bahan analisis
digunakan etanol 95 %, akuades, reagen Folin-Ciocalteu, asam tanat 0,2 %,
Na2S2O3 5 %, Na2CO3 5 %, indikator fenolphthalein, dan NaOH 0,1 N.
Peralatan yang digunakan adalah pembuat arang, labu leher tiga,
kondensor, selang, bunsen, golok, termometer, pH meter, erlenmeyer, gelas piala,
tabung reaksi, buret, pipet tetes, labu ukur, vortex shaker, sentrifuse,
spektrofotometer, piknometer, dan GC-MS.

B. Metode
Adapun metodologi pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap,
yaitu :
1. Pembuatan Asap Cair

Gambar 1. Alat pembuat asap cair


Sebelum dibakar, bahan baku dibersihkan terlebih dahulu. Tempurung kelapa
dibersihkan untuk menghilangkan sabut dari permukaannya. Setelah itu,
tempurung kelapa dipotong-potong sampai berukuran diameter kira-kira 5-6
cm, sedangkan sabut dilepaskan serat-seratnya agar mudah dimasukkan ke
dalam alat pembakar.. Pengukuran kadar air dilakukan pada bahan setiap
bahan baku sebelum dibakar. Pembuatan asap cair dilakukan dengan
menggunakan kiln yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan
alat pemanas listrik, tiga kondensor dan dua buah labu penampung destilat.
Setiap kali pembakaran, kiln dapat memuat 2000 – 2500 gram tempurung
kelapa atau 500 gram sabut kelapa. Suhu pengolahan diukur dengan
thermokopel yang dipasang pada bagian tengah kiln. Suhu yang digunakan
adalah 300 °C dan 500 °C untuk masing-masing bahan dengan pemanasan
selama 5 jam. Cairan yang terbentuk mengalir melalui bagian bawah kiln ke
alat pendingin, kemudian destilat ditampung dalam 2 buah labu dengan
volume 2 liter. Destilat dikumpulkan dalam labu pemisah, dikocok dan
dibiarkan 24 jam untuk mengendapkan ter. Bagian atas larutan destilat adalah
pyroligneous liquor sedangkan bagian bawah adalah endapan ter (settled ter).

2. Pemurnian Asap Cair

Gambar 2. Rancangan alat untuk distilasi


Pemurnian asap cair dilakukan dengan cara distilasi. Asap cair dimasukkan
sebanyak 200 ml ke dalam labu distilasi, dipanaskan menggunakan pemanas
listrik. Proses distilasi ini dilakukan untuk mengambil seluruh fraksi dan
diatur pada berbagai suhu dan dilakukan hingga suhu maksimum, yaitu 200
°C. Suhu yang ditera adalah suhu asap cair dalam labu distilasi. Uap yang
terbentuk lalu masuk ke dalam pipa pendingin balik (condensor) dan destilat
ditampung dalam sebuah wadah atau labu.

3. Analisis
Analisis – analisis yang dilakukan antara lain :
a. Rendemen (SNI 06-3735-1998)
b. pH (AOAC, 1995)
c. Total Asam Tertitrasi (SNI, 1992)
d. Kadar Fenol (Shetty et al., 1995)
e. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998)

4. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk menganalisis hasil penelitian yang didapat dan
menarik kesimpulan dari apa yang diteliti. Studi pustaka ini dapat berasal dari
buku, jurnal, laporan penelitian, majalah, atau melalui media elektronik
seperti internet.

C. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor dalam
rancangan ini adalah :
a. Sampel yang terdiri dari dua taraf, yaitu a11 = sabut kelapa, dan a12 =
tempurung kelapa
b. Suhu pirolisis yang terdiri dari dua taraf, yaitu a21 = 300 °C, dan a22 = 500 °C
c. Suhu distilasi yang terdiri dari empat taraf, yaitu a31 = T < 100 °C, a32 = 100
°C < T < 125 °C, a33 = 125 °C < T < 150 °C, dan a34 = 150 °C < T < 200 °C.
Adapun model rancangan percobaannya sebagai berikut :
Y = μ + aij + ε
dimana Y = Pengamatan hasil percobaan
μ = Rataan umum
aij = Faktor ke-i, taraf ke-j
ε = Pengaruh galat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Asap Cair Secara Pirolisis

Gambar 3. Sabut dan tempurung kelapa

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair pada penelitian ini
adalah tempurung dan sabut kelapa (Gambar 3) yang mengalami proses pirolisis
pada dua suhu yang berbeda, yaitu 300 °C dan 500 °C. Suhu 300 °C dipilih
sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard (1992) dan Maga (1988), pada
suhu 300 °C komponen selulosa terdekomposisi menghasilkan asam-asam
organik. Suhu 500 °C dipilih sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard
(1992) dan Maga (1988) pada suhu 500 °C komponen kayu seperti lignin dapat
diuraikan dan menghasilkan berbagai macam senyawa seperti fenol, guaiakol, dan
sebagainya. Selain itu, suhu 500 °C juga merupakan suhu pembakaran maksimal
pada proses pembuatan asap cair. Pada suhu diatas 500 °C, yang terjadi bukan lagi
dekomposisi komponen-komponen kayu menjadi senyawa-senyawa organik,
melainkan proses pemanasan dan pemasakan arang. Menurut Girard (1992),
reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah :
1. Penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C;
2. Pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C yang menghasilkan furfural,
furan, asam asetat, dan homolognya;
3. Pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C yang menghasilkan senyawa asam
asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glioksal, dan akreolin; dan
4. Pirolisa lignin pada suhu 400 °C menghasilkan senyawa fenol, guaiakol,
siringol bersama dengan homolog dan derivatnya.
Perbedaan suhu reaksi penguraian komponen-komponen kayu tersebut menjadi
dasar pemilihan suhu pada penelitian ini. Banyaknya kondensat yang diperoleh
dihitung dengan membandingkan antara bobot kondensat yang diperoleh dengan
bobot awal bahan baku yang dibakar.
Jumlah Kondensat (%b/b) = Bobot kondensat hasil pirolisis (gram)
Bobot awal bahan yang dibakar (gram)
Jumlah Arang (%b/b) = Bobot arang hasil pirolisis (gram)
Bobot awal bahan yang dibakar (gram)
Produksi asap cair sabut dan tempurung kelapa kotor pada dua suhu pirolisis yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda
No Bahan Suhu Jumlah Jumlah Jumlah
Pengasap Pirolisis Kondensat Arang Bobot yang
(°C) (% b/b) (% b/b) Hilang (%)
1 Sabut Kelapa 300 40,29 45,57 14,14
2 Sabut Kelapa 500 57,45 37,08 5,47
3 Tempurung Kelapa 300 40,08 38,27 21,16
4 Tempurung Kelapa 500 42,10 34,42 23,48
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 15

Hasil yang didapat pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Tranggono et al. (1996) yaitu sebesar 52,85 %. Tranggono
menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa serta
dilakukan pada suhu pembakaran 350 - 400 °C.
Asap cair dari sabut kelapa pada suhu pembakaran 500 °C memiliki bobot
yang paling tinggi yaitu sebesar 57,45 %. Hal ini disebabkan karena pada pirolisis
dengan suhu 300 °C belum terjadi dekomposisi lignin yang sempurna sehingga
jumlah asap yang dihasilkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pirolisis suhu
500 °C.
Sabut kelapa memiliki jumlah kondensat yang lebih besar bila
dibandingkan dengan tempurung kelapa. Hal ini disebabkan karena sabut kelapa
memiliki kadar air yang lebih besar daripada tempurung kelapa. Sabut kelapa
yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C masing-masing memiliki kadar air
awal sebesar 23,14 % dan 27,04 %, sedangkan tempurung kelapa yang dibakar
pada suhu 300 °C dan 500 °C memiliki kadar air masing-masing sebesar 14,06 %
dan 14,88 %. Bahan yang memiliki kadar air yang tinggi cenderung menghasilkan
kondensat yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan pada saat pembakaran
berlangsung, kandungan air pada bahan akan ikut menguap pada suhu 100 °C dan
mengalami kondensasi ketika uap air melalui kondensor sehingga meningkatkan
jumlah kondensat asap cair yang dihasilkan.
Selisih jumlah kondensat yang dihasilkan dari pembakaran sabut pada
suhu 300 °C dan 500 °C adalah sebesar 17,16 %, sedangkan selisih jumlah
kondensat dari pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C
adalah sebesar 2,02 %. Ini menunjukkan bahwa perbedaan kandungan komponen
lignin pada sabut, yang lebih besar daripada tempurung kelapa, berpengaruh
terhadap jumlah kondensat yang dihasilkan. Sabut kelapa mengandung 29,23-
45,84 % lignin, sedangkan tempurung kelapa mengandung 33,30 % lignin (Joseph
dan Kindagen (1993); Djatmiko et al. (1985)). Jumlah kondensat asap cair pada
suhu pembakaran 500 °C lebih banyak daripada jumlah kondensat pada suhu
pembakaran 300 °C karena pada suhu pembakaran 500 °C terjadi dekomposisi
lignin pada suhu 400 °C sehingga meningkatkan jumlah kondensat dari asap cair.

Gambar 4. Asap cair sabut dan tempurung kelapa

Pada produksi asap cair ini terdapat kehilangan (loss) bobot sebesar 5,47-
23,48 %. Kehilangan bobot terbesar terdapat pada proses pirolisis tempurung
kelapa yaitu sebesar 21,16-23,48 %. Bobot yang hilang ini dapat berupa gas yang
tidak terkondensasi dan langsung manguap setelah melewati kondesor. Selain itu,
kehilangan bobot pada proses pirolisis ini juga dapat berupa kerak yang tertinggal
pada alat pembakaran ataupun pada kondensor.

B. Komponen-Komponen pada Asap Cair


Analisis GC-MS dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis senyawa yang
terdapat pada asap cair. Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi
gas akan terpisah menjadi komponen-komponen individual. Lima senyawa
dominan dari masing-masing sampel asap cair dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Senyawa Dominan di dalam Asap Cair Hasil Deteksi GC-MS


No Sampel Komponen %
1 Kondensat Sabut Kelapa Fenol 44,10
Suhu 300 °C 2-methoxy fenol 14,84
1,2-benzenediol 7,22
4 methyl catecol 4,54
2,6-dimethoxy fenol 4,17
2 Kondensat Sabut Kelapa Fenol 44,30
Suhu 500 °C 1,2-benzenediol 15,06
2,6-dimethoxy fenol 13,64
4 methyl catechol 5,55
3 methyl-1,2-benzenediol 2,90
3 Kondensat Tempurung Kelapa Fenol 34,45
Suhu 300 °C 2,6-dimethoxy fenol 12,58
2-methoxy fenol 9,81
1,2-benzenediol 8,62
3-methoxy-1,2-benzenediol 6,46
4 Kondensat Tempurung Kelapa Fenol 31,93
Suhu 500 °C 2,6-dimethoxy fenol 12,44
1,2-benzenediol 9,47
2-methoxy fenol 9,19
3-methoxy-1,2-benzenediol 6,20

Dari hasil spektra kromatografi gas, senyawa dominan dari masing-


masing sampel adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area bervariasi antara
31,93 - 44,30 %. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono,
et al. (1996), yang menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung
kelapa pada suhu pembakaran 350-400 °C, dimana senyawa dominan dari asap
cair hasil penelitiannya adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13 %. Senyawa
dominan lainnya adalah 2,6-dimethoxy fenol yang terdapat pada seluruh sampel
dan merupakan senyawa dominan kedua pada sampel yang menggunakan bahan
pengasap tempurung kelapa. Senyawa lainnya yang terdapat pada keempat sampel
adalah 1,2-benzenediol yang terdapat pada masing-masing sampel dengan
persentase luas area yang bervariasi, lalu diikuti oleh 2-methoxy fenol, 4 methyl
catechol, 3 methoxy 1,2-benzenediol, dan 3 methyl 1,2-benzenediol.
Dari hasil pengukuran menggunakan GC-MS diatas juga dapat diketahui
bahwa asap cair sabut kelapa memiliki kadar fenol yang lebih besar bila
dibandingkan dengan asap cair dari tempurung kelapa. Asap cair sabut kelapa
memiliki fenol sebesar 44,10 - 44,30 % sedangkan asap cair tempurung kelapa
memiliki fenol sebesar 31,93 - 34,45 %. Hal ini berarti bahwa sabut kelapa
memiliki potensi yang lebih besar sebagai asap cair daripada tempurung kelapa
apabila dilihat dari kandungan fenol pada asap cairnya.
Selain itu, dari pengukuran asap cair menggunakan GC-MS juga dapat
diketahui bahwa asap cair yang dibakar pada suhu pembakaran 300 °C memiliki
fenol yang tidak jauh berbeda dengan asap cair yang dibakar pada suhu
pembakaran 500 °C. Padahal berdasarkan teori, kadar fenol pada asap cair berasal
dari dekomposisi lignin pada suhu pembakaran 400 °C yang berarti pada suhu
pembakaran 300 °C seharusnya tidak terdapat fenol. Namun, pada penelitian ini
diketahui bahwa pada suhu pembakaran 300 °C terdapat fenol yang jumlahnya
tidak jauh berbeda dengan fenol yang terdapat pada asap cair dengan suhu
pembakaran 500 °C. Dengan kata lain, fenol ternyata tidak hanya dihasilkan dari
dekomposisi lignin saja, namun juga dapat dihasilkan dari dekomposisi
hemiselulosa atau selulosa pada suhu pembakaran dibawah 300 °C.
Fenol dan turunannya menjadi senyawa yang paling dominan dari seluruh
sampel asap cair. Hal ini dikarenakan komponen yang paling banyak terdapat
pada bahan pengasap kayu terutama kayu keras adalah lignin. Lignin apabila
dibakar dan mengalami pirolisis akan menghasilkan senyawa fenol. Hasil lengkap
senyawa penyusun masing-masing sampel asap cair hasil analisis GC-MS dapat
dilihat pada Lampiran 1 – 8.
C. Fraksinasi Asap Cair
Distilasi merupakan salah satu cara pemurnian terhadap asap cair, yaitu
merupakan proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan perbedaan titik
didihnya. Distilasi asap cair dilakukan untuk memisahkan zat aktif pada asap cair,
dalam hal ini berupa fenol dan asam asetat, sehingga didapatkan asap cair yang
memiliki sifat pengawetan yang tinggi. Selain itu, distilasi asap cair juga
dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan
,berbahaya, seperti Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) dan ter, dengan cara
pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas
ter dan benzopiren.
Distilasi ini dilakukan pada empat rentang suhu yang berbeda untuk
mendapatkan empat fraksi asap cair. Fraksi-fraksi tersebut yaitu fraksi suhu
sampai 100 °C, 100 °C sampai 125 °C, 125 °C sampai 150 °C, dan 150 °C
sampai 200 °C (Darmadji, 2002). Rentang suhu distilasi ini dipilih berdasarkan
titik didih komponen yang akan dipisahkan. Seperti yang terlihat pada subbab B,
komponen dominan pada asap cair adalah fenol. Fenol merupakan zat aktif pada
asap cair yang akan dipisahkan dari asap cair. Fraksi suhu sampai 100 °C dipilih
untuk menghilangkan kandungan air pada asap cair. Fraksi suhu 100 °C sampai
125 °C dipilih untuk memisahkan senyawa asam organik berupa asam asetat.
Asam asetat adalah senyawa yang memiliki titik didih 118 °C. Fraksi suhu 150 °C
sampai 200 °C dipilih untuk memisahkan komponen senyawa fenol pada asap
cair. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang memiliki titik didih 181,8 °C.
Proses distilasi asap cair ini terjadi dalam rentang waktu total 3 sampai 3,5
jam. Pada distilasi asap cair dari tempurung kelapa, asap cair terfraksinasi selama
1,5 sampai 2 jam pada suhu 0 - 100 °C, 0,5 sampai 1 jam pada suhu distilasi 100
°C - 125 °C, 0,5 jam pada suhu distilasi 125 °C - 150 °C, dan 0,5 jam pada suhu
distilasi 150 - 200 °C. Pada distilasi asap cair dari sabut kelapa, asap cair
terfraksinasi selama 2 jam pada suhu distilasi 0 - 100 °C, dan 0,5 sampai 1 jam
pada suhu distilasi 100 - 125 °C. Pada distilasi asap cair dari sabut kelapa, asap
cair hanya terdistilasi sampai suhu distilasi 100 °C sampai 125 °C.
Jumlah kondensat hasil pemurnian yang diperoleh dihitung berdasarkan
perbandingan volume kondensat yang diperoleh dalam satuan mililiter dengan
volume asap cair yang didistilasi dalam satuan mililiter.
Jumlah kondensat (%v/v) = Volume asap cair terdistilasi (ml)
Volume awal asap cair yang didistilasi (ml)
Jumlah kondensat asap cair pada berbagai rentang suhu distilasi dapat dilihat
pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai Rentang Suhu


Distilasi
No Bahan Pengasap Jumlah Kondensat (% v/v)
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat Sabut 56,75 36,50 - -
Kelapa
Suhu 300 °C

2 Kondensat Sabut 79,25 13,00 - -


Kelapa
Suhu 500 °C

3 Kondensat 39,75 30,75 4,45 3,57


Tempurung Kelapa
Suhu 300 °C

4 Kondensat 44,75 24,25 5,10 3,13


Tempurung Kelapa
Suhu 500 °C

Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 16

Untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi


mampu menghasilkan jumlah kondensat asap cair yang berbeda. Ini dapat dilihat
dari jumlah kondensat asap cair yang semakin kecil seiring dengan peningkatan
suhu distilasi. Dari hasil analisis ANOVA juga diketahui bahwa suhu pembakaran
tidak mempengaruhi jumlah kondensat asap cair yang diperoleh. Apabila
dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi
mempengaruhi jumlah kondensat asap cair yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat
pada hasil uji ANOVA pada Lampiran 10.
Berdasarkan hasil pengamatan dari keempat sampel kondensat yang
didistilasi, rendemen distilat asap cair yang terbesar terdapat pada fraksi suhu
distilasi sampai 100 °C. Hal ini dikarenakan pada suhu sampai 100 °C hampir
semua fraksi air yang ada pada asap cair tersebut menguap sehingga memperbesar
rendemen yang diperoleh. Selanjutnya semakin tinggi suhu fraksi distilasi,
persentase asap cair yang terekstrak semakin kecil. Hal ini dikarenakan pada suhu
fraksi diatas 100 °C, komponen yang teruapkan tidak lagi mengandung air bebas,
melainkan hanya komponen-komponen penyusun asap cair sehingga jumlah fraksi
asap cair yang dihasilkan tidak terlalu besar.
Fraksi suhu sampai 100 °C diharapkan memiliki komponen dominan
berupa air karena 100 °C merupakan titik didih air. Kehadiran air pada fraksi asap
cair akan menurunkan kemurnian dari asap cair yang dihasilkan. Oleh karena itu
diharapkan fraksi asap cair pada suhu distilasi antara 100 °C sampai 125 °C,
fraksi suhu antara 125 °C sampai 150 °C, dan fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C
tidak lagi mengandung air bebas dan hanya mengandung senyawa aktif yang
memiliki sifat pengawet. Pada fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C diharapkan
mengandung senyawa asam asetat. Asam asetat merupakan senyawa yang
memiliki sifat antimikroba. Fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C diharapkan
memiliki komponen dominan berupa fenol. Fenol merupakan zat aktif pada asap
cair yang memiliki sifat antibakteri dan antioksidan.
Hasil pengukuran pada penelitian ini berbeda dengan hasil yang didapat
oleh Darmadji (2002) yang menggunakan bahan tempurung kelapa dimana jumlah
fraksi suhu sampai 100 °C sebesar 15,72 %, jumlah fraksi suhu 100 °C sampai
125 °C sebesar 42,11 %, jumlah fraksi suhu 125 °C sampai 150 °C sebesar 27,22
%, dan fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C sebesar 3,69 %.

D. Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair


Kualitas asap cair sangat ditentukan oleh komposisi senyawa-senyawa
kimia yang dikandungnya, sebab senyawa tersebut dijadikan kriteria mutu citarasa
dan aroma sebagai ciri khas yang dimiliki oleh asap. Pengujian kualitas asap cair
terdiri dari pengujian sifat asap cair secara fisik maupun kimia. Sifat fisik yang
diamati adalah bobot jenis, sedangkan sifat kimia yang diamati meliputi pH, kadar
asam, dan kadar fenol.

1. Nilai pH
Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang
dihasilkan. Nilai pH ini menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu
yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Bila asap cair
memiliki nilai pH yang rendah, maka kualitas asap cair yang dihasilkan tinggi
karena secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan
produk asap maupun sifat organoleptiknya. Pengukuran nilai pH ini dilakukan
dengan menggunakan alat pH meter.
Hasil pengukuran sampel sebelum distilasi menunjukkan bahwa kenaikan
suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai pH dari asap cair. Hal ini dikarenakan
komponen kayu yang menghasilkan asam organik dan homolognya, yaitu
hemiselulosa dan selulosa, telah mengalami proses pirolisis pada suhu
pembakaran dibawah 300 °C. Nilai pH asap cair pada suhu pembakaran 300 °C
lebih rendah daripada asap cair pada suhu pembakaran 500 °C karena kadar asam
asap cair suhu pembakaran 300 °C lebih besar daripada asap cair suhu 500 °C
(lihat Tabel 9).
Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa sabut kelapa memiliki nilai
pH yang lebih besar dibandingkan dengan tempurung kelapa. Hal ini dikarenakan
tempurung kelapa memiliki komponen hemiselulosa dan selulosa lebih besar
daripada sabut kelapa sehingga jumlah asam yang dihasilkan lebih besar.
Hemiselulosa dan selulosa adalah komponen kayu yang apabila terdekomposisi
akan menghasilkan senyawa-senyawa asam organik seperti asam asetat. Menurut
Grimwood (1975), sabut kelapa mengandung hemiselulosa, yang merupakan
penghasil asam organik ketika dibakar, sebesar 7,69 % dan selulosa sebesar 18,24
%, sedangkan tempurung kelapa mengandung hemiselulosa sebesar 8,80 % dan
selulosa sebesar 19,24 %. Selain itu, perbedaan nilai pH dari sabut dan tempurung
kelapa juga dipengaruhi oleh kadar fenol dari kedua bahan ini. Semakin tinggi
kadar fenol dari asap cair, maka semakin rendah pula nilai pH dari asap cair
tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13, dimana tempurung kelapa memiliki
kadar fenol yang lebih tinggi daripada sabut kelapa sehingga tempurung kelapa
memiliki pH yang kebih rendah daripada sabut kelapa. Nilai pH asap cair pada
suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada pH asap cair pada suhu
pembakaran 300 °C. Hal ini juga disebabkan karena kadar fenol pada asap cair
pada suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada kadar fenol asap cair pada
suhu pembakaran 300 °C (lihat Tabel. 12). Seperti yang sudah dikatakan diatas
bahwa kadar fenol mempengaruhi keasaman asap cair dimana semakin tinggi
kadar fenol maka asap cair akan semakin asam. Nilai pH asap cair pada berbagai
variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan
Suhu Pembakaran
No Sampel pH
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 3,51 3,55
2 Tempurung Kelapa 2,75 2,80

Nilai pH asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji
ANOVA dari nilai pH asap cair setelah distilasi (Lampiran 11) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
menghasilkan nilai pH yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH yang
semakin kecil (semakin asam) seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari
hasil analisis ANOVA juga dapat diketahui baha suhu pembakaran tidak
mempengaruhi nilai pH yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu
distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai pH dari
kondensat asap cair.
Pengukuran pH pada masing-masing fraksi menunjukkan bahwa asap cair
sabut dan tempurung kelapa memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Fraksi asap
cair dengan suhu distilasi sampai 100 °C seharusnya memiliki pH 7 karena hanya
mengandung air, namun hasil pengukuran menunjukkan bahwa fraksi tersebut
memiliki pH 2,66 sampai 2, 97. Keasaman pada fraksi asap cair ini kemungkinan
disebabkan adanya kandungan fenol pada asap cair. sperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa kandungan fenol pada asap cair dapat menurunkan pH asap
cair tersebut.

Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu
Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel pH
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 2,97 2,87 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C

2 Kondensat 2,98 2,87 - -


Sabut Kelapa
Suhu 500 °C

3 Kondensat 2,66 2,47 2,07 1,76


Tempurung
Kelapa
Suhu 300 °C

4 Kondensat 2,66 2,44 2,07 1,77


Tempurung
Kelapa
Suhu 500 °C

Perlakuan distilasi pada asap cair cenderung menurunkan nilai pH atau


membuat asap cair semakin asam. Dari Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa
nilai pH dari sampel sebelum distilasi lebih rendah daripada nilai pH setelah
distilasi. Hal ini terjadi karena komponen asam organik pada asap cair yang
didistilasi terfraksinasi berdasarkan perbedaan titik didihnya masing-masing. Dari
Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa nilai pH menjadi semakin rendah seiring dengan
meningkatnya fraksi suhu distilasi. Asap cair yang didistilasi sampai suhu 100 °C
memiliki pH yang paling tinggi, karena pada fraksi asap cair ini mengandung
banyak air sehingga menurunkan keasaman dari asap cair. Fraksi asap cair pada
suhu distilasi 100 °C sampai 125 °C memiliki nilai pH yang lebih besar karena
fraksi asap cair ini mengandung asam asetat yang memiliki titik didih 118 °C
ataupun asam butanoic yang memiliki titik didih 122 °C. Fraksi asap cair dengan
suhu distilasi 125 °C sampai 150 °C dan suhu distilasi 150 °C sampai 200 °C
memiliki pH yang sangat rendah karena fraksi-fraksi asap cair tersebut memiliki
kadar asam yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 43-60 % (Tabel 11). Hasil
pengukuran nilai pH pada penelitian ini sesuai dengan standar kualitas wood
vinegar asal Jepang yaitu berkisar antara 1,5 sampai 3,7.

2. Kadar Asam
Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan kualitas
dari asap cair yang diproduksi. Asam organik yang memiliki peranan tinggi dalam
asap cair adalah asam asetat. Asam asetat kemungkinan terbentuk sebagian dari
lignin dan sebagian lagi dari komponen karbohidrat dari selulosa. Achsan dalam
Browning (1963) memformulasikan produksi asam asetat sebagai berikut :
CH2OH CH2OH CH2OH

HOH
HO OH OH OH

OH OH OH

CH2OH CH2 CH2OH

HO OH HO OH HO OH

OH OH
- H2O - H2O

CH2OH CH2OH CH2


HOCH O
HOH
HO OH OH

OH O OH

- H2O

C6H10O5 Dehidration and


Charring
Lalu apabila (C6H10O5)n dihidrolisis akan membentuk glukosa :
(C6H10O5)n + nH2O (C6H12O6)
C6H12O6 3CH3COOH
C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2HCOOH
Senyawa-senyawa asam pada asap cair memiliki sifat antimikroba. Sifat
antimikroba tersebut akan semakin meningkat apabila asam organik ada bersama-
sama dengan senyawa fenol.Ssenyawa asam organik terbentuk dari pirolisis
komponen-komponen kayu seperti hemiselulosa dan selulosa pada suhu tertentu.
Penentuan kadar asam ini dengan menggunakan metode total asam tertitrasi yang
dihitung sebagai jumlah asam asetat dalam asap cair.
Hasil pengamatan kadar asam asap cair sebelum distilasi menunjukkan
bahwa asap cair memiliki kadar asam yang lebih kecil pada suhu pembakaran
yang lebih tinggi. Perbedaan jumlah kadar asam ini dikarenakan asam organik
yang dihasilkan dari dekomposisi komponen hemiselulosa dan selulosa
mengalami proses pirolisis pada suhu pembakaran dibawah 300 °C. Asap cair
pada suhu pembakaran 500 °C memiliki kadar asam yang lebih rendah karena
menurut Maga (1988) pada suhu pembakaran diatas 300 °C senyawa-senyawa
fenol, guaikol, siringol telah terdekomposisi dari lignin sehingga mempengaruhi
kadar asam dari asap cair. Sedangkan perbedaan kadar asam pada asap cair sabut
dan tempurung kelapa disebabkan karena perbedaan kadar fenol dari kedua asap
cair tersebut. Asap cair tempurung kelapa memiliki kadar fenol yang lebih tinggi
daripada asap cair sabut kelapa sehingga kadar asam asap cair tempurung kelapa
lebih tinggi daripada kadar asam asap cair sabut kelapa. Kadar asam asap cair
pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada
Tabel 9.

Tabel 9. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap
dan Suhu Pembakaran
No Sampel Kadar Asam (%)
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 7,918 6,815
2 Tempurung Kelapa 8,390 8,273
Kadar asam asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji
ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 12) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
mempengaruhi persentase kadar asam dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari
persentase kadar asam yang semakin tinggi (semakin asam) seiring dengan
peningkatan suhu distilasi. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi
kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai rendemen yang
diperoleh.
Kadar asam yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 4,262 %
sampai 59,934 % yang jauh berbeda dengan hasil Darmadji (2002) yang
dihasilkan pada suhu 400 °C selama 1 jam dengan kadar asam berkisar antara
4,94 % sampai 29,10 %. Hal ini terjadi karena proses pirolisis pada penelitian ini
berlangsung selama 5 jam sehingga memungkinkan bagi komponen dari kayu
untuk terdekomposisi seluruhnya menghasilkan senyawa-senyawa penyusun asap
cair, termasuk asam-asam organik. Apabila pembakaran dilakukan secara cepat,
maka ada kemungkinan komponen kayu tersebut tidak terdekomposisi secara
sempurna. Selain itu, suhu pembakaran yang digunakan pada penelitian ini lebih
tinggi daripada suhu yang digunakan pada penelitian Darmadji (2002). Pirolisis
pada suhu 400 °C akan menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas
organoleptik tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi
pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan
linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatik (Girrard, 1992; Maga,
1988).
Keasaman dari asap cair ini juga dipengaruhi oleh kadar fenol pada asap
cair tersebut. Semakin tinggi kadar fenol, maka asap cair akan menjadi semakin
asam. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 13 dimana semakin tinggi suhu
distilasi, kadar fenol dari asap cair hasil distilasi juga semakin tinggi. Hasil
pengujian kadar asam dari asap cair juga menunjukkan bahwa semakin tinggi
fraksi suhu distilasi, maka kadar asamnya menjadi semakin besar. Hal ini sesuai
dengan hasil pengukuran pH (Tabel 8) dimana semakin tinggi fraksi suhu distilasi,
maka pH asap cair menjadi semakin kecil atau dengan kata lain asap cair menjadi
semakin asam.
Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,
Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel Kadar Asam (%)
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 4,262 8,186 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C

2 Kondensat 4,151 8,082 - -


Sabut Kelapa
Suhu 500 °C

3 Kondensat 9,649 18,748 43,963 59,934


Tempurung
Kelapa
Suhu 300 °C

4 Kondensat 9,582 18,919 44,243 58,634


Tempurung
Kelapa
Suhu 500 °C
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 17

Apabila data kadar asam pada Tabel 9 dikalikan dengan jumlah persen
kondensat hasil pirolisis pada Tabel 4 dan hasilnya dirata-ratakan, maka akan
didapat data kadar asam sebagai asam asetat yang terdapat pada bahan baku asap
cair.
Kadar asam pada bahan baku (%)= Kadar asam pada asap cair (%)
Jumlah kondensat hasil pirolisis (%)
Dari hasil perhitungan kadar asam pada bahan baku didapatkan bahwa
kandungan asam organik yang berperan sebagai zat antimikroba pada asap cair
pada sabut dan tempurung kelapa relatif sama yaitu sekitar 3,5 %. Data kadar
asam pada sabut dan tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kadar Asam pada Bahan Pengasap


No Sampel Kadar Asam (%)
1 Sabut Kelapa 3,552
2 Tempurung Kelapa 3,442
3. Kadar Fenol
Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan
antimikroba pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek
antioksidan kepada bahan makanan yang akan diawetkan. Identifikasi fenol
terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan diharapkan dapat mewakili kriteria
dari mutu asap cair tersebut, sehingga hasilnya dapat diaplikasikan kepada semua
produk pengasapan. Kadar fenol pada asap cair juga menentukan aplikasi asap
cair tersebut. Kadar fenol yang rendah digunakan untuk asap cair yang dapat
dikonsumsi langsung oleh manusia. Kadar fenol asap cair pada berbagai variasi
bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 12.
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perbedaan suhu pembakaran dari suatu
bahan tidak mempengaruhi kadar fenol dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari
kadar fenol yang nilainya hampir sama pada asap cair dengan suhu pembakaran
yang berbeda. Sedangkan perbedaan penggunaan bahan pengasap mempengaruhi
kadar fenol pada asap cair yang dihasilkan. Perbedaan kadar fenol pada bahan
pengasap ini disebabkan oleh perbedaan kandungan lignin pada bahan pengasap.
Lignin merupakan komponen kayu yang apabila terdekomposisi akan
menghasilkan senyawa fenol. Menurut Djatmiko, et al. (1985), tempurung kelapa
mengandung lignin sebesar 33,30 % sedangkan menurut Joseph dan Kindagen
(1993), sabut kelapa mengandung lignin sebesar 29,23 %.

Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap
dan Suhu Pembakaran
No Sampel Kadar Fenol (%)
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 0,89 0,91
2 Tempurung Kelapa 1,40 1,44

Faktor utama yang menentukan kadar fenol dalam asap cair adalah
banyaknya asap yang dihasilkan selama pembakaran. Hal ini terkait pada faktor
suhu dan bahan pengasap yang digunakan. Intensitas pirolisis berhubungan
langsung dengan suhu yang dicapai yang terdiri atas transfer panas dan
keberadaan oksigen (reaksi oksidasi). Sedangkan bahan pengasap berhubungan
langsung dengan jenis bahan yang terdiri atas kayu keras ataupun bahan yang
dapat dibakar yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, persenyawaan protein dan
mineral yang mempengaruhi keberadaan senyawa-senyawa kimia asap (Djatmiko
et al., 1985).
Kadar fenol asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil uji
ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 13) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
mampu menghasilkan nilai kadar fenol yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari
kadar fenol yang cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan suhu
distilasi kecuali pada fraksi suhu distilasi keempat. Dari analisis ANOVA ini juga
dapat dikatahui bahwa suhu pembakaran tidak mempengaruhi kadar fenol yang
diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, suhu
distilasi mempengaruhi nilai kadar fenol dari asap cair yang diperoleh.
Asap cair yang didistilasi memiliki kadar fenol yang lebih rendah daripada
asap cair sebelum distilasi. Hal ini dikarenakan asap cair tersusun dari berbagai
macam senyawa fenolat dengan titik didih yang bervariasi. Senyawa fenolat
tersebut diantaranya fenol, 2-methyl fenol, 2-methoxy fenol, 2-ethyl fenol, 2,4-
dimethyl fenol, 3-ethyl fenol, 3,4-dimethyl fenol, dan 2-methoxy-4-methyl fenol.
Dengan distilasi pada suhu yang berbeda-beda, senyawa-senyawa fenolat tersebut
terfraksinasi berdasarkan titik didihnya masing-masing. Selain itu, ada beberapa
senyawa fenolat yang memiliki titik didih tinggi sehingga tidak terfraksinasi pada
distilasi sampai suhu 200 °C yang digunakan pada penelitian ini sehingga
menyebabkan kadar fenol pada asap cair setelah distilasi lebih rendah daripada
kadar fenol asap cair sebelum distilasi.
Dari hasil pengukuran kadar fenol dari fraksi-fraksi asap cair, didapatkan
hasil bahwa fraksi yang memiliki kadar fenol paling tinggi adalah fraksi asap cair
dengan suhu distilasi 150 °C sampai 200 °C. Hal ini terjadi karena senyawa fenol,
yang merupakan komponen dominan pada asap cair memiliki titik didih 181,8 °C.
Kadar fenol asap cair pada penelitian ini berkisar antara 0,39 - 1,44 %, sesuai
dengan hasil penelitian Maga (1988) yaitu kadar fenol sebesar 0,2 % - 2,9 %.
Tabel 13. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,
Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel Kadar Fenol (%)
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 0,39 0,65 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C

2 Kondensat 0,37 0,62 - -


Sabut Kelapa
Suhu 500 °C

3 Kondensat 0,47 0,59 0,64 0,78


Tempurung
Kelapa
Suhu 300 °C

4 Kondensat 0,44 0,66 0,84 0,64


Tempurung
Kelapa
Suhu 500 °C
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 18

Apabila data Tabel 12 dibagi dengan jumlah kondensat pirolisis (Tabel 4)


maka akan didapatkan data kadar fenol yang terdapat pada bahan baku asap cair.
Kadar fenol pada bahan pengasap (%) = Kadar fenol asap cair (%)
Jumlah kondensat hasil pirolisis (%)
Dari hasil perhiungan kadar asam pada bahan baku dapat dilihat bahwa
kandungan fenol pada sabut kelapa lebih sedikit bila dibandingkan dengan kadar
fenol yang terdapat pada tempurung kelapa. Hal ini disebabkan karena pada asap
cair sabut kelapa tidak mengandung fenol yang bertitik didih tinggi. Hal ini dapat
terlihat dari hasil distilasi dimana asap cair sabut kelapa hanya mampu terdistilasi
sampai fraksi suhu 100 °C-125 °C. Data kadar fenol pada bahan pengasap dapat
dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Kadar Fenol pada Bahan Pengasap


No Sampel Kadar Fenol (%)
1 Sabut Kelapa 0,087
2 Tempurung Kelapa 0,134
4. Bobot Jenis
Bobot jenis merupakan rasio antara berat suatu sampel dengan volumenya.
Dalam sifat fisik asap cair, bobot jenis tidak berhubungan langsung dengan tinggi
rendahnya kualitas asap cair. Namun bobot jenis dapat menunjukkan banyaknya
komponen di dalam asap cair. Penentuan bobot jenis asap cair ini dilakukan
dengan menggunakan alat piknometer.
Hasil pengamatan bobot jenis asap cair sebelum distilasi menunjukkan
bahwa jenis sampel dan suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai bobot jenis
dari asap cair. Bobot jenis dari keempat sampel asap cair diatas menunjukkan nilai
yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,084 sampai 1,119. Bobot jenis
asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat
dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap
dan Suhu Pembakaran
No Sampel Bobot Jenis
300 °C 500 °C
1 Sabut Kelapa 1,091 1,084
2 Tempurung Kelapa 1,113 1,119

Hasil pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini berkisar
antara 1,076 sampai 1,151. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Nurhayati (2000) yang menggunakan bahan pengasap kayu mengium
dan tusam dengan bobot jenis asap cair antara 1,019 sampai 1,028. Hasil
pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini lebih besar daripada
standar wood vinegar Jepang yang bernilai 1,001 sampai 1,005.
Bobot jenis asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji
ANOVA dari bobot jenis asap cair setelah distilasi (Lampiran 14) menunjukkan
bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi
mempengaruhi nilai bobot jenis dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari nilai
bobot jenis yang semakin tinggi seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari
analisis ANOVA ini juga dapat diketahui bahwa suhu pembakaran tidak
mempengaruhi nilai bobot jenis asap cair. Apabila dianalisis sampai pada suhu
distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai bobot
jenis asap cair yang diperoleh. Bobot jenis ini dipengaruhi oleh berat molekul dari
senyawa-senyawa yang menyusun asap cair.

Tabel 16. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,
Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi
No Sampel Bobot Jenis
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat 1,076 1,084 - -
Sabut Kelapa
Suhu 300 °C

2 Kondensat 1,077 1,083 - -


Sabut Kelapa
Suhu 500 °C

3 Kondensat 1,090 1,100 1,127 1,151


Tempurung
Kelapa
Suhu 300 °C

4 Kondensat 1,087 1,112 1,125 1,144


Tempurung
Kelapa
Suhu 500 °C
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 19

E. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian


Perhitungan produktivitas asap cair ini berguna untuk memperkirakan
jumlah kondensat asap cair yang didapatkan per 1000 gram bahan baku, dihitung
dengan mengalikan persentase kondensat hasil pirolisis (Tabel 4) dengan berat
bahan baku, lalu dibagi bobot jenisnya masing-masing (Tabel 15).
Jumlah kondensat pirolisis (ml) = Persen kondensat (%) × 1000 gram
Bobot jenis (gr/ml)
Jumlah kondensat distilasi (ml) = Jumlah kondensat pirolisis (ml) ×
Persen kondensat distilasi (%)
Jumlah kondensat distilasi (gr) = Jumlah kondensat distilasi (ml) ×
Bobot jenis (gr/ml)
Produktivitas = Jumlah kondensat distilasi (gr) × 100 %
1000 gram

Perhitungan produktivitas asap cair ini berguna ketika kita akan


mendirikan suatu industri pembuatan asap cair yang dimurnikan, terutama pada
saat penentuan kapasitas produksi. Data jumlah kondensat hasil pemurnian per
1000 gram sabut dan tempurung kelapa disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian


No Bahan Pengasap Produktivitas (%)
T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200
1 Kondensat Sabut 22,9 14,7 - -
Kelapa
Suhu 300 °C

2 Kondensat Sabut 45,5 7,5 - -


Kelapa
Suhu 500 °C

3 Kondensat 15,9 12,3 1,8 1,4


Tempurung Kelapa
Suhu 300 °C

4 Kondensat 18,8 10,2 2,1 1,3


Tempurung Kelapa
Suhu 500 °C

Keterangan : Data dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 20

Fraksi asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kualitas dan
kuantitas yang bervariasi yang disebabkan oleh perbedaan suhu distilasi. Semakin
tinggi suhu distilasi, kualitas asap cair yang dihasilkan semakin tinggi. Namun
sebaliknya, semakin tinggi suhu distilasi, kuantitas asap cair yang dihasilkan
semakin rendah. Aplikasi dari asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini dapat
disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut. Oleh karena itu,
grade asap cair dibuat untuk membedakan kualitas dan kuantitas dari masing-
masing fraksi asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini. Grade ini dibuat
berdasarkan fraksi suhu pada proses distilasi atau pemurnian. Grade 1 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 150<T≤200 °C, grade 2 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 125<T≤150 °C, grade 3 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 100<T≤125 °C, dan grade 4
adalah fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi T≤100 °C. Grade 1
adalah asap cair yang memiliki kualitas yang paling tinggi, sedangkan grade 4
adalah asap cair yang memiliki kualitas paling rendah. Kualitas dan kuantitas asap
cair pada berbagai grade dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair pada Berbagai Grade
No Grade* Kuantitas Kualitas
(% b/b) Kadar Fenol (%) Kadar Asam (%)
1 Grade 1 1,3 - 1,4 0,64 - 0,78 58,63 - 59,93
2 Grade 2 1,8 - 2,1 0,64 43,96 - 44,24
3 Grade 3 7,5 - 14,7 0,59 - 0,64 8,08 - 18,92
4 Grade 4 15,9 - 45,5 0,37 - 0,47 4,15 - 9,65
*Keterangan : Penentuan grade oleh penulis

Grade 1 merupakan asap cair yang dihasilkan dari distilasi pada suhu 150
°C sampai 200 °C. Grade 1 memiliki kualitas yang tertinggi dibandingkan dengan
fraksi asap cair lainnya karena memiliki kandungan fenol dan asam organik yang
paling tinggi. Asap cair grade 1 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,64 - 0,78 %
dan kadar asam sebesar 58,63 - 59,93 %. Menurut Darmadji (1995), fenol dan
asam organik berfungsi sebagai zat antimikrobial pada asap cair, dan peranannya
akan semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama-sama.
Namun, grade 1 ini memiliki kuantitas distilat yang paling rendah dibandingkan
dengan grade lainnya yaitu hanya 1,3 - 1,4 %. Grade 1 hanya terdiri dari asap cair
dengan bahan baku tempurung kelapa yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C.
Grade 2 merupakan asap cair yang dihasilkan dari distilasi pada suhu 125
°C sampai 150 °C. Asap cair grade 2 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap
cair grade 1 karena memiliki kadar fenol sebesar 0,64 % dan kadar asam sebesar
43,96 - 44,24 %. Namun asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas sebesar 1,8 - 2,1
%, yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kuantitas asap cair grade 1. Asap
cair grade 2 ini hanya terdiri dari asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa
pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C.
Grade 3 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu 100 °C
sampai 125 °C. Asap cair grade 3 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap cair
grade 2 karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang lebih rendah. Asap cair
grade 3 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,59 - 0,64 % dan kadar asam sebesar
8,08 - 18,92 %. Asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan asap cair grade 2 dan grade 1. Jumlah distilat yang bisa
dihasilkan pada grade 3 ini adalah sebesar 7,5 - 14,7 %. Asap cair grade 3 ini
terdiri dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu
pembakaran 300 °C dan 500 °C.
Grade 4 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu sampai
100 °C. Asap cair grade 4 ini merupakan asap cair dengan kualitas yang paling
rendah karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang paling kecil, yaitu
sebesar 0,37 - 0,47 % dan 4,15 - 9,65 %. Walaupun memiliki kualitas yang paling
rendah, asap cair drade 4 ini memiliki kuantitas yang paling tinggi diantara grade
lainnya, yaitu sebesar 15,9 - 45,5 %. Kuantitas yang tinggi ini disebabkan karena
asap cair grade 4 ini memiliki komponen air dalam jumlah yang banyak. Air dapat
menurunkan kepekatan dan kualitas dari asap cair. Asap cair grade 4 ini terdiri
dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu
pembakaran 300 °C dan 500 °C.
Kualitas asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini ditentukan oleh
kadar fenol dan kadar asam pada asap cair karena kedua senyawa tersebut yang
memiliki peranan paling besar sebagai zat antimikroba. Semakin tinggi kadar
fenol dan kadar asam dari asap cair, maka kemampuan untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme dari asap cair tersebut akan semakin tinggi. Asap
cair yang memiliki kualitas paling tinggi (grade 1) memiliki kuantitas yang paling
rendah karena kandungan air pada asap cair tersebut sangat rendah sehingga
meningkatkan kepekatan dari zat aktif di dalamnya seperti fenol dan asam asetat.
Sebaliknya, asap cair dengan kualitas yang paling rendah (grade 4) memiliki
kuantitas yang paling tinggi, karena kandungan air di dalamnya sangat tinggi
sehingga menurunkan tingkat kepekatan zat aktif di dalamnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Tempurung dan sabut kelapa memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan
asap cair.
2. Kualitas asap cair, yaitu kadar fenol dan asam asetat, dari asap cair tempurung
kelapa lebih tinggi dari asap cair sabut kelapa yaitu masing-masing sebesar
19,23 % dan 128,13 % pada suhu pembakaran 300 °C, serta sebesar 30,30 %
dan 132,98 % pada suhu pembakaran 500 °C.
3. Distilasi mampu memisahkan berbagai komponen asap cair tempurung dan
sabut kelapa menjadi empat fraksi dengan suhu distilasi antara 0 sampai 200
°C. Namun perlu dilakukan aplikasi secara langsung untuk mengetahui
kemampuan masing-masing fraksi sebagai pengawet atau fungsi lainnya.

B. Saran
Perlunya dilakukan analisis komponen kimia penyusun fraksi-fraksi asap
cair hasil distilasi dengan menggunakan GC-MS untuk menentukan kegunaan dari
fraksi-fraksi asap cair hasil distilasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis.


16th edition. Assiciation of Official Analytical Chemist, Inc. Washington.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan.


Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Indonesian University Press.
Jakarta.

Boetje. 1998. pengaruh Cara Aplikasi Asap Cair Terhadap Umur Simpan
Cakalang Asar dalam Bentuk ‘Steak’. Penelitian Pasca Sarjana.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Browning, B. L. 1963. The Chemistry of Wood. Interscience Publishers John


Wiley & Sons, Inc. USA.

Cutting, C. I. 1965. Smoking dalam Fish As Food. Vol 3. Edited by Borgstorm.


G. New York. Academic Press. 55-105p.

Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas


Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair dengan Metode Redistilasi.


Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 8(3);267-171.

Daun, H.1979. Interaction of Wood Smoke Components and Foods. Food


Technol. 33 (5) 66-71.

Davis, T. A. 1992. Coconut Research Institute, Manado Indonesia Overview of


Research Activities, Indonesia.
Departemen Pertanian. 2002. Statistik Perkebunan Kelapa Indonesia. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Djatmiko, B., S. Ketaren dan Setyakartini. 1985. Arang Pengolahan dan


Kegunaannya. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Eklund. 1982. Inhibitor of Clostridium botulinum Types A and B Toxin


Production by Liquid Smoke and NaCl in Hot Process Smoke Flavoured
Fish. J. Food Protect. 6:32-41.

Foster, W. W. 1977. The Physic of Wood Smoke dalam Fish as Food. Vol. 3.
Edited by Borgstorm. G. London. Three Academic Press.

Fremond,Y., R. Ziller, dan M. De La Motte. 1966. Le Cocotier. Maisonneuve and


La Rose, Paris.

Fretheim, K., P. E. Granum dan Vold. 1980 Influence of Generation Temperature


on The Chemical Composition, Antioxidative Antimicrobial Effects of
Wood Smoke. J. Food Science 45 : 999-1007.

Geankoplis, C. J. 1983. Transport Processes and Unit Operations, 2nd ed. Allyn
and Bacon, Inc., Boston.

Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis horwood. New
York.

Grimwood, B. E. 1975. Coconut Palm Product Tropical. London. Product


Institute.

Harris, R. S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan.


Terjemahan Achmadi S., Bandung Technology Institute Press, Bandung.
Hendra, D. 1992. Hasil Pirolisis dan Nilai Kalor dari 8 Jenis Kayu di Indonesioa
Bagian Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10(4);122-124.

Holleman, H. F. 1903. A Text Book of Organic Chemistry. John Wiley & Sons,
New York.

Hollenbeck, C. M. 1978. Summaries of Addition Paper on Smoke Curing. The


Symposium Smoke Curing Advances in Theory of Food Tech. Dallas.
Texas June 4-7.

Holzschuh, Pierre ; et al. Process for the production of alimentary smoke by


pyrolysis, the use of means particularly adapted to said process, smoke
and smoked foodstuffs obtained. www.uspto.gov

Immamura, E., dan Y. Watanabe. 2004. Anti-Allergy Composition Comprising


Wood Vinegar or Bamboo Vinegar-Distilled Solution. United States
Patent Application. Cleveland.

Joseph, G. H. dan J. G. Kindagen. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan


Tempurung, Sabut dan Batang Kelapa untuk Bahan Baku. Prosiding
Konperensi Nasional Kelapa III, Yogyakarta.

Kuriyama, A. 1961. Destructive distillation of Wood. Overseas Technical


Corporation Agency. Tokyo.

Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Florida.

Moeljanto. 1982. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. Jakarta. Penebar Swadaya.

Moody, M. W. dan G. J. Flick. 1990. Smoked, Cured, and Dried Fish. Di dalam
Martin, R. E. Dan G. J. Flick (eds.) The Seafood Industry. Van Nostrand
Reinhold. New York.
Nurhayati, T. 2000. Produksi Arang dan Destilat Kayu Mangium dan Tusam dari
Tungku Kubah. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(3);137-151.

Nurhayati, T., Sylviani, dan Mahpudin. 2003. Analisis Teknis dan Ekonomis
Produksi Terpadu Arang dan Cuka Kayu dari Tiga Jenis Kayu. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 21(2) ; 155-166.

Pearson, A.M. dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats, second edition. AVI
Publishing Company Inc., Wesport Connecticut.

Pranatalia, D. 2004. Pyroligneous Acid dari Limbah Tempurung Kelapa Sawit


(Elaeis guineensis Jacq) dan Pemanfaatannya pada Bibit Mahoni
(Swietenia macrophylla King). Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.

Price, J. F., B. S. Schweigert. 1987. The Science of Meat and Meat Products.
Food and Nutrition Press, Inc. Wesport, Connecticut.

Pszczola, Donald E. 1995. Tour Highlights Production and Uses of Smoke-Based


Flavors. Food Technol. 49(1);70-74.

Reinhold, J. F. F. 1993. Martindale. The Extract Pharmacopodia 30th. edition.


The Pharmacentical. London

Rumokoi, M. M. M., H. F. J. Motulo, H. Kembuan, E. Goniwala, dan E.


Lumintang. 1997. Biokonversi Sabut dan Air Kelapa menjadi Pakan dan
Pupuk Organik. Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan
Palma Lain. Badan Penalitian dan Pengambangan Pertanian, Manado.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Soetoyo, M. D. 1987. Pedoman Mengasap Ikan Cara Sederhana dan Modern.
Jakarta. Titik Terang.

Sutater, T., Sucianti dan R. Tejasarwana. 1998. Serbuk Sabut Kelapa sebagai
Media Tanam Krisan. Konperensi Nasional Kelapa. Modernisasi Usaha
Pertanian Berbasis Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Bandar Lampung.

Tillman, D. A., A. J. Rossi dan W. D. Kitto. 1981. Wood Combustion, Principles,


Processes, and Economics.Academic Press. New York.

Toth, L. dan K. Potthast. 1984. Chemical Aspect of the Smoking of Meat and
Meat Products dalam C. O. Chichester, E. M. Mrakdan B. S. Schweigert
(ed.). Advances in Food Research. Vol. 29. Academic Press, Inc., New
York. London.

Tranggono, Suhardi, B. Setiadji, P.Darmadji, Supranto, dan Sudarmanto. 1996.


Identifikasi Asap Cair dari Berbagai jenis Kayu dan tempurung Kelapa. J.
Ilmu dan Teknologi Pangan 1(2);15 – 24.

Whittle, K. J., P. Howgate. 2002. Glossary of Fish Technology Terms.


www.onefish.org/global/ishTechnologyGlossaryFeb02.

Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. Lacunov, T. Makarova, L. Mineer, dan V. Podsevalor.


1969. Fish Curing and Processing. Mir Publishers. Moskow.
Lampiran 1. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
Lampiran 2. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
Lampiran 3. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
Lampiran 4. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
Lampiran 5. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C Hasil
Deteksi GC-MS
No Sampel %
1 Fenol 44,1
2 Pyridin, 3-methoxy 0,92
3 Butanoic acid, propyl ester 0,70
4 2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl 1,68
5 1,3-dimethyl-2-cyclopentwn 0,13
6 Fenol, 2-methyl 2,78
7 Fenol, 2-methoxy 14,84
8 Oxyrane, propyl 0,19
9 2-methoxycyclohexanone / trans-2-methyl-4-hexan 1,83
10 4-pyran-4-one, 3-hydroxy-2-metil 0,93
11 2-cyclopenten-1-one, 3ethyl-2-hydroxy 0,72
12 Fenol, 2-ethyl 0,21
13 Fenol, 2,4-dimethyl 0,90
14 Fenol, 3-ethyl 0,51
15 Fenol, 3,4-dimethyl 0,70
16 2-methoxy-4-methyl fenol 1,99
17 Pyridinone, 3-methyl 1,04
18 1,2-benzenediol 7,22
19 1-methoxy-4-(1’-methyl ethyl) cyclo 0,23
20 1,2-benzenediol, 3-methoxy 1,95
21 Fenol, 4-ethyl-2-methoxy 0,55
22 1,2-benzenediol, 3-methyl 1,69
23 4-methyl catechol 4,54
24 Fenol, 2,6-dimethoxy 4,17
25 2,5-dihydroxybenzaldehide 0,29
26 Benzaldehide, 4-hydroxy-3-methoxy 0,27
27 1,3-benzenediol, 4-ethyl 0,89
Lampiran 5. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C Hasil
Deteksi GC-MS (lanjutan)
No Sampel %
28 1,2,4-trimethoxybenzene 0,83
29 Etanone 0,27
30 3-(2-nepthyl)-1-butene 0,32
31 2,6-dimethyl-4-hydroxyaniline 1,45
Lampiran 6. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C Hasil
Deteksi GC-MS
No Sampel %
1 Fenol 44,30
2 1-hidroxy-2-pentanone 1,84
3 Pyridin, 3-methoxy 0,79
4 2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl 1,44
5 Fenol, 2-methyl 4,62
6 Fenol, 2-methoxy 13, 64
7 3-methylene-1,5-heptadien-4-ol 0,31
8 4-pyran-4-one, 3-hydroxy-2-metil 0,22
9 2-cyclopenten-1-one, 3ethyl-2-hydroxy 0,28
10 Fenol, 2-ethyl 0,18
11 Fenol, 2,4-dimethyl 0,57
12 Fenol, 3-ethyl 0,93
13 Fenol, 2,4-dimethyl 0,48
14 2-methoxy-4-methyl fenol 0,84
15 4-ethoxy pyridine 0,06
16 1,2-benzenediol 15,06
17 1,2-benzenediol, 3-methoxy 1,91
18 1,2-benzenediol, 3-methyl 2,90
19 4-methyl catechol 5,55
20 Fenol, 2,6-dimethoxy 2,42
21 4-flourocumene 1,16
22 4,5-dimethoxy-2-methyl fenol 0,60
23 2,3,5-trimethoxy toluene 0,22
24 2-methoxy-4-propyl fenol 0,91
Lampiran 7. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C Hasil
Deteksi GC-MS
No Sampel %
1 Fenol 34,45
2 3-cyclobutene-1,2-dione, 3,4-dihydroxy 0,18
3 Pyridin, 3-methoxy 0,35
4 Butanoic acid, propyl ester 0,32
5 2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl 2,57
6 Fenol, 2-methyl 1,84
7 Fenol, 2-methoxy 9,81
8 4-hexene-3-one, 4,5-dimethyl 0,52
9 Hexadecane, 1,1-dimethoxy 4,21
10 Fenol, 3-ethyl 0,38
11 2-methoxy-4-methyl fenol 3,05
12 1,2-benzenediol 8,62
13 1,2-benzenediol, 3-methoxy 6,46
14 1,2-benzenediol, 3-methyl 0,66
15 4-methyl catechol 1,60
16 Fenol, 2,6-dimethoxy 12,57
17 Fenol, 3,4-dimethoxy 0,29
18 Benzoic acid, 4-hydroxy metil ester 0,91
19 Benzaldehide, 4-hydroxy-2-methoxy 0,32
20 Fenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl) 0,32
21 Benzene, 1,2,3-trimethoxy 3,09
22 2,4-dimethyl-3-(methoxycarbonil) 2,62
23 Benzeneacetic acid, 4-hydroxy-3-metil 1,38
24 Fenol, 2,4-dimethoxy-4-(2-propenyl) 0,96
25 Ethanone, 1-(4-hydroxy-2,5,dimethoxy) 0,37
26 2-pentanone, 1-(2,4,6-trihydroxyphenyl) 1,45
Lampiran 8. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C Hasil
Deteksi GC-MS
No Sampel %
1 Fenol 31,93
2 2-pyran, 3,4-dihydro-2-methoxy 0,22
3 Pyridin, 3-methoxy 0,31
4 Butanoic acid 0,26
5 2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl 2,53
6 Fenol, 2-methyl 1,67
7 Fenol, 2-methoxy 9,19
8 Thiopene, 2-propyl 0,44
9 Octadecane, 1,1-dimethoxy 3,40
10 Fenol, 2,4-dimethyl 0,34
11 Fenol, 3,5-dimethyl 0,41
12 2-methoxy-4-methyl fenol 2,85
13 1,2-benzenediol 9,47
14 1,2-benzenediol, 3-methoxy 6,20
15 4-methyl catechol 1,87
16 Fenol, 2,6-dimethoxy 12,44
17 Fenol, 3,4-dimethoxy 0,26
18 Benzoic acid, 4-hydroxy metil ester 1,42
19 Benzaldehide, 4-hydroxy-3-methoxy 0,39
20 Fenol, 2-methoxy-4-(1-propanyl) 0,64
21 1,2,4-trimethoxybenzene 3,62
22 4-(methylthio) acetophenone 0,67
23 7,8-dimethylbenzocyclooctene 3,45
24 Benzeneacetic acid, 4-hydroxy-3-metil 1,67
25 Fenol, 2,4-dimethoxy-4-(2-propenyl) 1,44
26 2-chloro-1-phenyl-1-penten-3-ol 0,52
27 Ethanone, 1-(4-hydroxy-3,5-dimethoxy) 0,53
28 1-butanone, 1-(2,4,6-trihydroxy-3-methylpenyl) 1,87
Lampiran 9. Hasil Uji ANOVA Pirolisis

Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    2             268.47115333            134.23557667     3.95    0.0712 
Error                    7             238.10560667             34.01508667 
Corrected Total          9             506.57676000 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE        KONDST Mean 
                  0.529971                 13.16475              5.83224542        44.30200000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SAMPEL                   1              68.77962667             68.77962667     2.02    0.1980 
SUHU                     1             199.69152667            199.69152667     5.87    0.045 

Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi


Distilasi sabut
   Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: DIS 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    2            3763.06250000           1881.53125000     8.03    0.0275 
Error                    5            1171.40625000            234.28125000 
Corrected Total          7            4934.46875000 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE           DIS Mean 
                  0.762607                 33.04993             15.30624872        46.31250000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.28125000              0.28125000     0.00    0.9737 
SUDIS                    1            3762.78125000           3762.78125000    16.06    0.0102 

Distilasi Tempurung
   Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: DIS 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    4            4535.23812500           1133.80953125   145.53    0.0001 
Error                   11              85.70171875              7.79106534 
Corrected Total         15            4620.93984375 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE           DIS Mean 
                  0.981454                 14.79052              2.79124799        18.87187500 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.66015625              0.66015625     0.08    0.7764 
SUDIS                    3            4534.57796875           1511.52598958   194.01    0.0001 
Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi (lanjutan)

Distilasi Sabut+tempurung 
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: DIS 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    3            3903.04687500           1301.01562500     7.52    0.0043 
Error                   12            2075.56250000            172.96354167 
Corrected Total         15            5978.60937500 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE           DIS Mean 
                  0.652835                 32.39799             13.15156043        40.59375000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SAMPEL                   1             523.26562500            523.26562500     3.03    0.1075 
SUPMB                    1               1.26562500              1.26562500     0.01    0.9332 
SUDIS                    1            3378.51562500           3378.51562500    19.53    0.0008 
 

Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA pH


pH Sabut
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: PH 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    2               0.02322500              0.01161250    29.59    0.0017 
Error                    5               0.00196250              0.00039250 
Corrected Total          7               0.02518750 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE            PH Mean 
                 0.922084                 0.677031              0.01981161         2.92625000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.00011250              0.00011250     0.29    0.6153 
SUDIS                    1               0.02311250              0.02311250    58.89    0.0006 
 
pH Tempurung
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: PH 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    4               1.91292500              0.47823125  1277.22    0.0001 
Error                   11               0.00411875              0.00037443 
Corrected Total         15               1.91704375 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE            PH Mean 
                  0.997852                 0.864574              0.01935024         2.23812500 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.00005625              0.00005625     0.15    0.7057 
SUDIS                    3               1.91286875              0.63762292  1702.91    0.0001 
Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA pH (lanjutan)

pH sabut+tempurung
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: PH 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    3               0.63642500              0.21214167   200.84    0.0001 
Error                   12               0.01267500              0.00105625 
Corrected Total         15               0.64910000 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE            PH Mean 
                  0.980473                 1.185050              0.03250000         2.74250000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SAMPEL                   1               0.54022500              0.54022500   511.46    0.0001 
SUPMB                    1               0.00010000              0.00010000     0.09    0.7636 
SUDIS                    1               0.09610000              0.09610000    90.98    0.0001 
 
 

Lampiran 12. Hasil Uji ANOVA Kadar Asam

kadar asam sabut


Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: KAS 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    2              21.30730600             10.65365300    26.60    0.0022 
Error                    5               2.00241000              0.40048200 
Corrected Total          7              23.30971600 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE           KAS Mean 
                  0.914095                 12.55752              0.63283647         5.03950000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               1.05705800              1.05705800     2.64    0.1652 
SUDIS                    1              20.25024800             20.25024800    50.56    0.0009 

kadar asam tempurung  


Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: KAS 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    4            5227.95373975           1306.98843494  1488.30    0.0001 
Error                   11               9.65996119              0.87817829 
Corrected Total         15            5237.61370094 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE           KAS Mean 
                  0.998156                 3.123816              0.93711167        29.99893750 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.67363056              0.67363056     0.77    0.3998 
SUDIS                    3            5227.28010919           1742.42670306  1984.14    0.0001 
Lampiran 12. Hasil Uji ANOVA Kadar Asam (lanjutan)

kadar asam sabut+tempurung 


Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: KAS 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    3             432.29107850            144.09702617    58.82    0.0001 
Error                   12              29.39664750              2.44972063 
Corrected Total         15             461.68772600 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE           KAS Mean 
                  0.936328                 15.34845              1.56515834        10.19750000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SAMPEL                   1             259.48377225            259.48377225   105.92    0.0001 
SUPMB                    1               0.00313600              0.00313600     0.00    0.9720 
SUDIS                    1             172.80417025            172.80417025    70.54    0.0001 
 
 
Lampiran 13. Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol

kadar fenol sabut


Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: FENOL 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    2          146573.29040000          73286.64520000    38.99    0.0009 
Error                    5            9397.68180000           1879.53636000 
Corrected Total          7          155970.97220000 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE         FENOL Mean 
                  0.939747                 8.027036             43.35361992       540.09500000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1            1700.61120000           1700.61120000     0.90    0.3852 
SUDIS                    1          144872.67920000         144872.67920000    77.08    0.0003

kadar fenol tempurung


Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: FENOL 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    4          205570.47272501          51392.61818125     6.60    0.0058 
Error                   11           85699.13207500           7790.83018864 
Corrected Total         15          291269.60480000 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE         FENOL Mean 
                  0.705774                 13.40497             88.26567956       658.45500000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1            6211.80422500           6211.80422500     0.80    0.3910 
SUDIS                    3          199358.66850000          66452.88950000     8.53    0.0033 

Lampiran 13. Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol (lanjutan)

kadar fenol sabut+tempurung 


Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: FENOL 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    3          205195.01762500          68398.33920833    28.02    0.0001 
Error                   12           29287.45515000           2440.62126250 
Corrected Total         15          234482.47277500 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE         FENOL Mean 
                  0.875097                 8.904125             49.40264429       554.82875000 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SAMPEL                   1            3473.33422500           3473.33422500     1.42    0.2559 
SUPMB                    1             147.62250000            147.62250000     0.06    0.8099 
SUDIS                    1          201574.06090000         201574.06090000    82.59    0.0001 
Lampiran 14. Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis
BJ sabut
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: BJ 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    2               0.00009125              0.00004562     3.59    0.1082 
Error                    5               0.00006363              0.00001273 
Corrected Total          7               0.00015488 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE            BJ Mean 
                  0.589185                 0.330259              0.00356721         1.08012500 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.00000012              0.00000012     0.01    0.9249 
SUDIS                    1               0.00009112              0.00009112     7.16    0.0440 

BJ tempurung
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: BJ 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    4               0.00787975              0.00196994    62.78    0.0001 
Error                   11               0.00034519              0.00003138 
Corrected Total         15               0.00822494 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE            BJ Mean 
                  0.958032                 0.501480              0.00560185         1.11706250 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SUPMB                    1               0.00000006              0.00000006     0.00    0.9652 
SUDIS                    3               0.00787969              0.00262656    83.70    0.0001 

Lampiran 14. Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis (lanjutan)

BJ sabut+tempurung 
Analysis of Variance Procedure 
Dependent Variable: BJ 
Source                  DF           Sum of Squares             Mean Square  F Value    Pr > F 
Model                    3               0.00175225              0.00058408    16.55    0.0001 
Error                   12               0.00042350              0.00003529 
Corrected Total         15               0.00217575 
 
                  R‐Square                     C.V.                Root MSE            BJ Mean 
                  0.805354                 0.545705              0.00594068         1.08862500 
 
Source                  DF                 Anova SS             Mean Square  F Value    Pr > F 
SAMPEL                   1               0.00115600              0.00115600    32.76    0.0001 
SUPMB                    1               0.00002025              0.00002025     0.57    0.4634 
SUDIS                    1               0.00057600              0.00057600    16.32    0.0016
Lampiran 15. Data dan Perhitungan Pirolisis

No Sampel Suhu Bobot Kadar Bobot Persen Bobot Persen


(°C) Sampel Air kondensat Kondensat Arang Arang
(gr) (%) (gr) (% b/b) (gr) (% b/b)
1 Sabut 300 520 22,57 175 41,13 195 46,02
2 Sabut 300 480 23,71 153 39,45 175 45,18
3 Sabut 500 507 26,31 231 57,56 147 36,57
4 Sabut 500 503 27,76 226 57,34 148 37,60
5 Tempurung 300 2600 14,77 952 42,02 948 41,85
6 Tempurung 300 2600 13,34 875 38,14 796 34,70
7 Tempurung 500 1704 15,14 688 46,48 519 35,07
8 Tempurung 500 2322 14,63 764 37,72 684 33,77

Contoh Perhitungan :
Sampel 1
Berat kering = Bobot Sampel × 100 %
(100 + kadar air) %
= 520 gr × 100 % = 424,25 gr
(100 + 22,57) %
Persen Kondensat = Bobot Kondensat × 100 %
Berat Kering
= 175 gr × 100 % = 41,13 %
424,25 gr
Persen Arang = Bobot Arang × 100 %
Berat Kering
= 195 gr × 100 % = 46,02 %
424,25 gr

Rata-rata
Persen kondensat rata-rata = % kondensat ulangan 1 + % kondensat ulangan 2
2
= 41,13 % + 39,45 % = 40,29 % (lihat Tabel 4)
2
Lampiran 16. Data dan Perhitungan Distilasi

No Sampel Volume T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200


Awal Vol % Vol % Vol % Vol %
(ml) (ml) (v/v) (ml) (v/v) (ml) (v/v) (ml) (v/v)
1 Kondensat Sabut 200 148 74,00 37 18,50 - - - -
Kelapa Suhu 300 °C
2 Kondensat Sabut 200 117 58,50 70 35,00 - - - -
Kelapa Suhu 300 °C
3 Kondensat Sabut 200 169 84,50 15 7,50 - - - -
Kelapa Suhu 500 °C
4 Kondensat Sabut 200 148 74,00 37 18,50 - - - -
Kelapa Suhu 500 °C
5 Kondensat Tempurung 200 81 40,50 60 30,00 4,2 2,10 6,8 3,40
Kelapa Suhu 300 °C
6 Kondensat Tempurung 200 78 39,00 63 31,50 4,7 2,35 7,5 3,75
Kelapa Suhu 300 °C
7 Kondensat Tempurung 200 94 47,00 45 22,50 4,5 2,25 6,5 3,25
Kelapa Suhu 500 °C
8 Kondensat Tempurung 200 85 42,50 52 26,00 5,7 2,85 6 3,00
Kelapa Suhu 500 °C

Contoh Perhitungan :
Sampel 7
Persen terekstrak (T≤100) = Volume Terekstrak (ml) × 100 %
Volume Awal (ml)
= 94 ml × 100 % = 47,00 %
200 ml

% terekstrak rata-rata = %Terekstrak ulangan 1 + %Terekstrak ulangan 2 × 100%


2
= 47,00 % + 42,50 % × 100 % = 44,75 % ( lihat Tabel 6)
2
Lampiran 17. Data dan Perhitungan Kadar Asam

No Sampel Suhu Suhu Bobot Vol. Vol. Kadar


Pembakaran Distilasi Sampel NaOH NaOH Asam
(°C) (gr) Awal Akhir (%)
(ml) (ml)
1 Sabut 300 - 2,036 0 28 8,251
2 Sabut 300 - 2,025 0,3 28,3 8,296
3 Sabut 500 - 2,037 0 28,2 8,306
4 Sabut 500 - 2,032 0,1 28,8 8,474
5 Tempurung 300 - 1,988 0 21,4 6,426
6 Tempurung 300 - 1,982 21,7 45,5 7,205
7 Tempurung 500 - 1,992 1,4 29,3 8,404
8 Tempurung 500 - 1,991 0 24,7 7,443

9 Sabut 300 T≤100 1,968 20,2 35 4,512


10 Sabut 300 T≤100 1,967 35 49,9 4,545
11 Sabut 300 100<T≤125 1,988 0 27,4 8,270
12 Sabut 300 100<T≤125 1,999 0 28 8,404
13 Sabut 500 T≤100 1,973 0 9,8 2,980
14 Sabut 500 T≤100 1,976 9,8 19,8 3,050
15 Sabut 500 100<T≤125 1,989 19,8 40 6,093
16 Sabut 500 100<T≤125 1,997 0 20,2 6,069
17 Tempurung 300 T≤100 1,993 0 32,9 9,905
18 Tempurung 300 T≤100 1,980 0 32,6 9,879
19 Tempurung 300 100<T≤125 2,017 0 62 18,443
20 Tempurung 300 100<T≤125 2,019 0 62,6 18,603
21 Tempurung 300 125<T≤150 0,516 0 39,1 45,465
22 Tempurung 300 125<T≤150 0,512 0 39,4 46,172
23 Tempurung 300 150<T≤200 0,514 0 51,3 59,883
24 Tempurung 300 150<T≤200 0,524 0 53,2 60,916
25 Tempurung 500 T≤100 1,970 0 30,4 9,529
26 Tempurung 500 T≤100 1,981 0 31,1 9,419
27 Tempurung 500 100<T≤125 2,006 0 63,7 19,053
28 Tempurung 500 100<T≤125 2,015 0 64,6 19,236
29 Tempurung 500 125<T≤150 0,523 0 37,5 43,021
30 Tempurung 500 125<T≤150 0,520 0 38,8 42,461
30 Tempurung 500 150<T≤200 0,528 0 50,5 57,386
32 Tempurung 500 150<T≤200 0,516 0 50,7 58,953
Lampiran 17. Data dan Perhitunagn Kada Asam (lanjutan)

Contoh Perhitungan :
Sampel 5
Kadar Asam = Vol NaOH (l) × N NaOH × BM as. asetat × 100 %
Bobot Contoh (gr)
= (21,4-0) × 0,1 × 60 × 100 % = 6,426 %
1,988 × 1000

Kadar Asam Rata-Rata = % Kadar Asam Ulangan 1 + % Kadar Asam Ulangan 2


2
= 6,426 % + 7,205 % = 6,815 % (lihat Tabel 9)
2
Lampiran 18. Data dan Peritungan Kadar Fenol

No Sampel Suhu Suhu Distilasi Kadar Fenol


Pembakaran (°C) (°C) gr/l %
1 Sabut 300 - 946,54 0,895
2 Sabut 500 - 967,19 0,914
3 Tempurung 300 - 1482,38 1,402
4 Tempurung 500 - 1522,48 1,439

5 Sabut 300 T≤100 398,54 0,377


6 Sabut 300 T≤100 439,85 0,416
7 Sabut 300 100<T≤125 657,35 0,622
8 Sabut 300 100<T≤125 722,96 0,684
9 Sabut 500 T≤100 346,29 0,327
10 Sabut 500 T≤100 437,42 0,414
11 Sabut 500 100<T≤125 625,76 0,592
12 Sabut 500 100<T≤125 692,59 0,655
13 Tempurung 300 T≤100 467,80 0,442
14 Tempurung 300 T≤100 527,34 0,499
15 Tempurung 300 100<T≤125 645,20 0,610
16 Tempurung 300 100<T≤125 603,89 0,571
17 Tempurung 300 125<T≤150 633,05 0,598
18 Tempurung 300 125<T≤150 718,10 0,679
19 Tempurung 300 150<T≤200 803,16 0,759
20 Tempurung 300 150<T≤200 844,47 0,798
21 Tempurung 500 T≤100 467,80 0,442
22 Tempurung 500 T≤100 527,34 0,499
23 Tempurung 500 100<T≤125 667,07 0,631
24 Tempurung 500 100<T≤125 721,75 0,682
25 Tempurung 500 125<T≤150 885,78 0,837
26 Tempurung 500 125<T≤150 880,92 0,833
27 Tempurung 500 150<T≤200 594,17 0,562
28 Tempurung 500 150<T≤200 752,13 0,711
Lampiran 18. Data dan Perhitungan Kadar Fenol (lanjutan)

Contoh Perhitungan :
Sampel 1
Kadar Fenol (%) = Kadar Fenol (gr/l) × 1 l
BJ Fenol (gr/ml) 1000 ml
= 946,54 (gr/l) × 1 l = 0.895 %
1,0576 1000 ml

Kadar Fenol Rata-Rata = Kadar Fenol Ulangan 1 + Kadar Fenol Ulangan 2


2
= 0,377 % + 0,416 % = 0,396 % (lihat Tabel 13)
2
Lampiran 19. Data dan Perhitunagn Bobot Jenis

No Sampel Suhu Suhu Volume Bobot Bobot Bobot


Pembakaran Distilasi (ml) Awal Akhir Jenis
(°C) (°C) (gr) (gr) (gr/ml)
1 Sabut 300 - 5 13,103 18,558 1,091
2 Sabut 500 - 5 13,110 18,530 1,084
3 Tempurung 300 - 5 13,147 18,709 1,113
4 Tempurung 500 - 5 13,147 18,742 1,119

5 Sabut 300 T≤100 5 13,108 18,478 1,074


6 Sabut 300 T≤100 5 13,110 18,490 1,076
7 Sabut 300 100<T≤125 5 13,109 18,494 1,077
8 Sabut 300 100<T≤125 5 13,111 18,516 1,081
9 Sabut 500 T≤100 5 13,107 18,502 1,079
10 Sabut 500 T≤100 5 13,110 18,495 1,077
11 Sabut 500 100<T≤125 5 13,110 18,510 1,080
12 Sabut 500 100<T≤125 5 13,109 18,519 1,082
13 Tempurung 300 T≤100 5 13,113 18,538 1,085
14 Tempurung 300 T≤100 5 13,110 18,555 1,089
15 Tempurung 300 100<T≤125 5 13,111 18,616 1,101
16 Tempurung 300 100<T≤125 5 13,109 18,654 1,109
17 Tempurung 300 125<T≤150 5 13,111 18,756 1,129
18 Tempurung 300 125<T≤150 5 13,108 18,723 1,123
19 Tempurung 300 150<T≤200 5 13,114 18,854 1,148
20 Tempurung 300 150<T≤200 5 13,112 18,872 1,152
21 Tempurung 500 T≤100 5 13,107 18,502 1,079
22 Tempurung 500 T≤100 5 13,111 18,586 1,095
23 Tempurung 500 100<T≤125 5 13,110 18,635 1,105
24 Tempurung 500 100<T≤125 5 13,108 18,643 1,107
25 Tempurung 500 125<T≤150 5 13,109 18,719 1,122
26 Tempurung 500 125<T≤150 5 13,112 18,732 1,124
27 Tempurung 500 150<T≤200 5 13,110 18,830 1,144
28 Tempurung 500 150<T≤200 5 13,107 18,807 1,140
Lampiran 19. Data dan Perhitungan Bobot Jenis (lanjutan)

Contoh Perhitungan
Sampel 5
Bobot Jenis = Bobot Akhir (gr) – Bobot Awal (gr)
Volume (ml)
= 18,478 gr – 13,108 gr = 1,074 gr/ml
5 ml

Bobot Jenis Rata-Rata = Bobot Jenis Ulangan 1 + Bobot Jenis Ulangan 2


2
= 1,074 + 1,076 = 1,075 (lihat Tabel 16)
2
Lampiran 20. Data dan Perhitungan Produktivitas

No Sampel Suhu Suhu Jumlah Boot Jumlah Produktivitas


Pembakaran Distilasi Kondensat Jenis Kondensat (%)
(°C) (°C) Distilasi (gr/ml) Pirolisis
(%) (%)
1 Sabut 300 T≤100 56,75 1,076 40,29 22,9
2 Sabut 300 100<T≤125 36,50 1,084 40,29 14,7
3 Sabut 500 T≤100 79,25 1,077 57,45 45,5
4 Sabut 500 100<T≤125 13,00 1,083 57,45 7,5
5 Tempurung 300 T≤100 39,75 1,090 40,08 15,9
6 Tempurung 300 100<T≤125 30,75 1,100 40,08 12,3
7 Tempurung 300 125<T≤150 4,45 1,127 40,08 1,8
8 Tempurung 300 150<T≤200 3,57 1,151 40,08 1,4
9 Tempurung 500 T≤100 44,75 1,087 42,10 18,8
10 Tempurung 500 100<T≤125 24,25 1,112 42,10 10,2
11 Tempurung 500 125<T≤150 5,10 1,125 42,10 2,1
12 Tempurung 500 150<T≤200 3,13 1,144 42,10 1,3

Contoh Perhitungan (basis 1000 gram)


Sampel 1
Jumlah Kondensat Pirolisis = Persen Kondensat Pirolisis (%) × 1000 gram
Bobot Jenis (gr/ml)
= 40,29 % × 1000 gram = 374,44 ml
1,076 gr/ml

Jumlah Kondensat Distilasi = Jumlah kondensat Pirolisis (ml) ×


% Kondensat Distilasi (%)
= 374,44 ml × 56,75 % = 212,50 ml

Jumlah kondensat distilasi (gr) = Jumlah kondensat distilasi (ml) ×


Bobot jenis (gr/ml)
= 212,50 ml × 1,076 gr/ml = 228,64 gram

Produktivitas = Jumlah kondensat distilasi (gr) × 100 %


1000 gram
= 228,64 gr × 100 % = 22,86 %
1000 gr
Lampiran 21. Analisis Sifat Fisik dan Kimia

a. Rendemen (SNI 06-3735-1998)


Rendemen diukur berdasarkan volume kondensat yang dihasilkan (ml) dari
setiap satuan berat bahan yang dibakar.
Rendemen (%) = Volume (ml) × 100 %
Berat bahan (gram)

b. pH (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 10 ml diukur dengan menggunakan pH meter, dengan
terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan buffer pH 4,0 dan 7,0.
pengukuran sampel dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter ke
dalam sampel dan skala dibaca setelah jarum penunjuk konstan.

c. Total Asam Tertitrasi (SNI, 1992)


Sampel sebanyak 10 gram diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades.
Larutan sampel sebanyak 10 ml ditambah indikator fenolphthalein sebanyak
2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai titik akhir titrasi,
yaitu berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak
berubah bila dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen
asam asetat.
% Total Asam = V × N × BM × 100 %
BC
V = Volume titar NaOH
N = Normalitas NaOH
BM = Berat molekul asam asetat
BC = Bobot contoh (gram)

d. Kadar Fenol (Shetty et al., 1995)


Sampel sebanyak 10 ml disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Lalu 10
ml sampel ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol
95 % dan 5 ml air destilat ke dalam tabung reaksi tersebut. Kemudian
ditambahkan 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteu ke masing-masing tabung
tersebut. Diamkan selama 5 menit, lalu ditambahkan 1 ml Na2S2O3 5 % ke
tiap-tiap sampel, lalu dikocok dalam Vortex Shaker, lalu disimpan dalam
ruang gelap selama 60 menit. Setelah 60 menit, sampel kembali dikocok
dengan menggunakan Vortex Shaker dan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 725 nm.
Pembuatan kurva standar : 0,2 % asam tanat dibuat dengan pelarut air.
Kemudian ambil masing-masing 0, 1, 2, 3, 4, 5 ml dan masukkan dalam labu
ukur 10 ml. Kemudian tambahkan akuades ke dalam labu ukur sampai tera.
Kemudian masing-masing standar dipipet ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan 1 ml etanol 95 %, 5 ml akuades, 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteu,
dan 1 ml Na2CO3 5 %. Diamkan selama 60 menit, lalu ukur absorbansinya
pada panjang gelombang 725 nm.

e. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998)


Piknometer dibersihkan dengan alkohol, kemudian dikeringkan dan ditimbang
dengan teliti. Sampel diisi ke dalam piknometer sampai melebihi tanda tera,
kemudian ditutup dan dihindari dari adanya gelembung-gelembung udara.
bagian luar piknometer dikeringkan dari bahan yang menempel. Piknometer
yang telah diisi oleh akuades didiamkan beberapa saat, kemudian ditimbang.
Bobot Jenis =
(berat sampel + berat piknometer kosong) – berat piknometer kosong (gr)
(berat air + berat piknometer kosong) – berat piknometer kosong (gr)

f. GC-MS
Instrument : Agilent Technologies 6890 Gas
Chromatograph with Auto Sampler and
5973 Mass Selective Detector and
Chemstation Data System
Ionisation mode : Electron Impact
Electron energy : 70 eV
Coloumn : HP Ultra , Capillary Coluomn
Length 50 (m) × 0,2 (mm) I.D × 0,11
(µm) Film Thickness
Oven temperature : Initial temperature at 60 ºC hold for 2
minutes, rising at 5 ºC/min to 280 ºC
hold for 5 minutes
Injection port temperature : 250 ºC
Ion source temperature : 230 ºC
Interface temperature : 280 ºC
Quadrupole temperature : 140 ºC
Carrier gas : Helium
Colounm mode : Constant flow
Flow coloumn : 0,6 µL/minute
Injection volume : 5 µL
Split : 100 : 1

You might also like