You are on page 1of 154

STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN

BISKUIT IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

SKRIPSI

AMANDA CAESSARA

F34070073

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011
THE FEASIBILITY STUDY OF AN AFRICAN CATFISH (Clarias gariepinus)
FLOUR AND BISCUIT INDUSTRY

Amanda Caessara1, Aji Hermawan2, Clara M. Kusharto3

1
University Student of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University
2
Lecturer of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University
3
Lecturer of Community Nutrition Department, Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural
University

ABSTRACT

African catfish (Clarias gariepinus) is one of the popular fishes that cultivated in Indonesia.
It contributes to the fulfilment of people nutrition need. African catfish can be processed into flour
which can be further processed in to a variety of foods, including biscuits. The fish biscuits can be
used as an alternative food to improve nutrition for the poor in Indonesia. The purpose of the study is
to analyze the feasibility of an African catfish (Clarias gariepinus) flour and biscuit industry. The
scope of the research includes a feasibility on the aspects of market and marketing, technology,
management and organization, environment, legal, and finance.

The potential markets of the fish biscuits are infants and toddlers having nutritional problems
and disaster victim children. The targeted market of the fish biscuit requires is 8.653 children per year.
The products can be delivered in two form: biscuits and mixed flour. This is equivalent to 3.115.080
biscuit chips per year and the mixed flour of 7.200 kg per year. The factory is located in Bogor and the
production capacity is 3.120.000 pieces of biscuits per year and 7.800 kg of mixed flour.

The total investment needed is Rp 884.335.000, including investment in fixed assets (Rp
687.775.000), and working capital (Rp 196.650.000). The NPV of this business is Rp 2.176.702.231.
The IRR value is 61%. The net B/C ratio is 3. The payback period is 2 years and 1 month. These
results shows that the catfish biscuit industry is feasible. The sensitivity analysis shows that business
is still feasible under the condition of 30% price increase of raw materials and utilities and of 20%
sales price decrease.

Keyword: biscuits, feasibility, african catfish.


Amanda Caessara F34070073. Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus). Di bawah bimbingan Aji Hermawan dan Clara M. Kusharto 2011.

RINGKASAN

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar
yang dibudidayakan di Indonesia dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat karena
mengandung 17,7% protein di dalamnya dan harganya yang terjangkau. Salah satu olahan dari ikan
lele dumbo adalah tepung ikan lele dumbo yang dapat diolah menjadi berbagai makanan, salah
satunya adalah biskuit. Biskuit ikan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alternatif pangan untuk
meningkatkan gizi kurang di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus). Ruang lingkup penelitian meliputi studi kelayakan pada aspek pasar
dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta
finansial.

Potensi pasar biskuit ikan meliputi balita berstatus gizi kurang dan balita rawan bencana.
Diperkirakan pangsa pasar dari jumlah balita bergizi kurang dan buruk adalah sebesar 0,28% (8.153
jiwa ) dan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana adalah sebesar 1% (500 jiwa). Oleh
karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total biskuit ikan adalah seluruh volume
kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita. Produk yang dihasilkan dari industri biskuit ikan
lele dumbo terdiri dari dua macam, yaitu tepung mix sebagai bahan dasar pembuatan biskuit ikan yang
merupakan pencampuran antara tepung ikan lele dumbo dengan isolat protein kedelai serta biskuit
ikan. Dari hasil perhitungan didapat kebutuhan biskuit ikan untuk memenuhi seluruh pangsa pasar
adalah sebesar 3.115.080 keping per tahun dan tepung mix sebesar 7.200 kg per tahun.

Industri biskuit ikan lele dumbo direncanakan didirikan di Bogor dengan pertimbangan
kondisi infrastuktur yang mendukung, ketersediaan sumber daya manusia, serta kemudahan akses
dengan pasar dan sarana penunjang produksi. Kapasitas produksi pabrik sebesar 3.120.000 keping
biskuit per tahun dan 7.800 kg tepung mix. Bahan baku ikan lele dumbo yang digunakan merupakan
ikan lele dumbo segar yang berasal dari Kabupaten Bogor dengan pertimbangan ketersediaan bahan
baku yang stabil dan melimpah. Industri ini dijalankan oleh 28 orang tenaga kerja dengan deskripsi
kerja masing-masing. Industri biskuit ikan lele dumbo menghasilkan limbah dalam bentuk padat, cair,
dan gas, namun jumlahnya relatif sedikit dan memenuhi standar baku mutu, sehingga masih aman
bagi lingkungan.

Besar biaya investasi yang diperlukan adalah sebesar Rp 884.335.000, yang terdiri dari biaya
investasi tetap sebesar Rp 687.775.000, dan biaya modal kerja sebesar Rp 196.650.000 pada tahun
pertama. Nilai NPV industri ini sebesar Rp 2.176.702.231. Nilai IRR-nya sebesar 61%. Nilai Net B/C-
nya sebesar 3. Payback period industri ini adalah selama 2 Tahun 1 Bulan. Hasil analisis finansial
menunjukkan bahwa industri biskuit ikan lele dumbo ini layak untuk didirikan. Perhitungan analisis
sensitivitas industri biskuit ikan lele dumbo dilakukan terhadap kenaikan harga bahan baku dan
utilitas sebesar 30% serta penurunan harga jual 20% yang menunjukkan bahwa industri biskuit ikan
lele dumbo masih layak untuk didirikan.
STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN BISKUIT
IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

AMANDACAESSARA

F34070073

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Studi Kelayakan Pendirian
Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)” adalah karya asli saya sendiri
dengan arahan dari dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian daftar pustaka.

Bogor, Juli 2010


Yang membuat pernyataan,

Amanda Caessara
F34070073
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1989. Penulis


merupakan anak pertama, putri dari pasangan Bapak Drs. Amir Hamzah
(Alm.) dan Ibu I. Rosiana. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan
pendidikan taman kanak-kanak di TK Kasih Ananda X Jakarta Utara yang
dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001
di SD Kasih Ananda I Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah menengah pertama di SMP 30 Jakarta pada tahun 2004. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 4 Kota Bekasi dan lulus pada
tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Minyak
Atsiri, Rempah-rempah, dan Fitofarmaka (2011). Penulis juga aktif di sejumlah organisasi dan
kepanitiaan, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri IPB (Himalogin IPB).

Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2010 dengan topik “Pengembangan
Organisasi di PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Divisi Bogasari Flour Mills Jakarta”. Untuk
menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian
yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)”.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah AWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir yang berjudul Studi
Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Mami, I. Rosiana, yang selalu memberikan dukungan, bantuan, nasihat, dan doa, serta Alm.
Papi, Amir Hamzah, yang selalu menginginkan yang terbaik untuk penulis.
2. Dr. Ir. Aji Hermawan, M. M. dan Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc. sebagai dosen
pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan
skripsi ini.
3. Ir. Muslich, M. Si. sebagai dosen penguji dalam sidang skripsi.
4. Dosen-dosen dan karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah
memberikan ilmu dan pelajaran yang berguna bagi penulis.
5. Mbak Nunung dan Mbak Risty yang selalu bersedia menjawab semua pertanyaan penulis
demi kelancaran penyusunan skripsi.
6. Keluarga besar Alm. Adang Priyatna sebagai pemebri dukungan dan doa.
7. Andika Caessara dan A. Arviandito Caessara sebagai adik yang selalu mendukung dan
mendoakan.
8. Eko Apriyanto yang selalu menemani, memberi semangat, mendoakan, dan menjadi tempat
keluh kesah penulis.
9. Ditta Nirmala, Kartika Sari, dan Fatta Qurota A’yun sebagai teman seperjuangan atas segala
bantuan dan dukungan selama penelitian ini.
10. Seluruh teman-teman TIN 44, adik-adik dan kakak-kakak di TIN yang telah membantu
dalam pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikannya. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pihak manapun yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2011

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Tujuan ...................................................................................................... 2

C. Ruang Lingkup ......................................................................................... 2

II. Tinjauan Pustaka

A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................... 4

B. Tepung Ikan ............................................................................................. 5

C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai........................................................... 6

D. Biskuit ..................................................................................................... 8

1. Bahan Baku Biskuit ........................................................................ 9

2. Proses Pembuatan Biskuit .............................................................. 10

E. Studi Kelayakan ..................................................................................... 13

1. Aspek Pasar dan Pemasaran ........................................................... 13

2. Aspek Teknik dan Teknologi ......................................................... 14

3. Aspek Manajemen dan Organisasi ................................................. 16

4. Aspek Legalitas .............................................................................. 16

5. Aspek Lingkungan .......................................................................... 17

6. Aspek Finansial ............................................................................. 17

ii
Halaman

III. Metodologi

A. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 21

B. Pendekatan Studi Kelayakan ............................................................... 21

C. Metode Penelitian ............................................................................... 23

IV. Analisis Pasar dan Pemasaran

A. Potensi Pasar ....................................................................................... 31

B. Analisis Persaingan ............................................................................. 39

C. Strategi Pemasaran .............................................................................. 41

1. Segmentasi ..................................................................................... 41

2. Penetapan Target ........................................................................... 43

3. Positioning ..................................................................................... 44

4. Bauran Pemasaran .......................................................................... 45

V. Analisis Teknik dan Teknologi

A. Bahan Baku ........................................................................................ 52

1. Spesifikasi Bahan Baku ................................................................ 52

2. Ketersediaan Bahan Baku ............................................................ 55

B. Perencanaan Kapasitas Produksi ...................................................... 57

C. Teknologi Proses Produksi ............................................................... 58

1. Proses Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo ................................. 58

2. Mesin dan Peralatan Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo............ 62

3. Proses Produksi Biskuit Ikan........................................................ 66

4. Mesin dan Peralatan Produksi Biskuit Ikan ................................. 69

D. Penentuan Lokasi Pabrik .................................................................. 72

E. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik ............................. 73

VI. Analisis Manajemen dan Organisasi

A. Kebutuhan Tenaga Kerja .................................................................. 78

B. Struktur Organisasi ........................................................................... 80

iii
Halaman

C. Deskripsi Pekerjaan ................................................................................. 81

VII. Analisis Lingkungan dan Legalitas

A. Aspek Lingkungan .................................................................................. 84

B. Aspek Legalitas ...................................................................................... 85

1. Badan Usaha ...................................................................................... 85

2. Perizinan ........................................................................................... 86

C. Pajak ...................................................................................................... 89

VIII. Analisis Finansial

A. Asumsi Perhitungan Finansial .............................................................. 90

B. Biaya Investasi ..................................................................................... 91

C. Perhitungan Depresiasi ........................................................................ 92

D. Prakiraan Harga dan Penerimaan ........................................................ 92

E. Proyeksi Laba Rugi ............................................................................ 93

F. Proyeksi Arus Kas ............................................................................. 94

G. Kriteria Kelayakan Investasi .............................................................. 95

1. Net Present Value (NPV) .............................................................. 95

2. Internal Rate of Return (IRR) ........................................................ 95

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) .................................................. 96

4. Payback Period (PBP) ................................................................... 96

5. Break Even Point (BEP) ................................................................ 96

H. Analisis Sensitivitas ........................................................................... 96

IX. Simpulan dan Saran

A. Simpulan .............................................................................................. 97

B. Saran .................................................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 99

LAMPIRAN .................................................................................................. 103

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya ................................... 4

Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele .................................................................. 5

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai ................................................................ 7

Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit ......................................................................... 8

Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya


pada Pembuatan Biskuit ................................................................. 9

Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang
Diperlukan ...................................................................................... 23

Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010 ................................ 32

Tabel 4.2 Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut
Provinsi Tahun 2010 ..................................................................... 34

Tabel 4.3 Kandungan Zat Gizi dan Energi per Takaran Penyajian (50 gram) .. 38

Tabel 4.4 Perkiraan Perhitungan Kebutuhan Biskuit Ikan dan Tepung Mix .... 38

Tabel 4.5 Biskuit Balita dan Detail Keterangannya .......................................... 39

Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998)
Tahun 1998 ...................................................................................... 45

Tabel 4.7 Kandungan Mutu Biskuit Ikan ......................................................... 46

Tabel 4.8 Kandungan Gizi Tepung Ikan Lele .................................................. 48

Tabel 5.1 Tujuh Propinsi Sentra Budidaya Ikan Lele dan Jumlah Produksi
Pada Tahun 2009 ............................................................................ 55

Tabel 5.2 Data Produksi Ikan lele di Kabupaten Bogor .................................. 56

Tabel 5.3 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Tepung
Ikan Lele Dumbo............................................................................... 62

Tabel 5.4 Formulasi Biskuit Ikan dengan Pelengkap Tepung Ikan dan Isolat
Protein Kedelai .............................................................................. 66

Tabel 5.5 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Biskuit
Ikan.................................................................................................. 69

v
Halaman

Tabel 5.6 Lembar Kerja untuk Diagram Keterkaitan Antar Aktivitas ........... 75

Tabel 5.7 Perhitungan TCR (Total Closeness Rating) ................................... 76

Tabel 5.8 Kebutuhan Luas Ruang Produksi Tepung Ikan dan Biskuit Ikan ... 77

Tabel 6.1 Penentuan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan .......................... 79

Tabel 6.2 Kebutuhan dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang Dibutuhkan pada
Industri Tepung dan Biskuit Ikan .................................................... 80

Tabel 8.1 Komponen Biaya Investasi Tetap yang Dibutuhkan dalam


Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan .................................... 92

Tabel 8.2 Prakiraan Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan ................. 93

Tabel 8.3 Proyeksi Laba Rugi Penjualan Biskuit Ikan dan Tepung Mix dalam
10 Tahun Produksi ........................................................................... 94

Tabel 8.4 Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan ....................... 95

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit ............................................................ 11

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................... 22

Gambar 3.2 Alir Proses Analisis Pasar dan Pemasaran ................................... 25

Gambar 3.3 Alir Proses Analisis Aspek Teknik dan Teknologi ...................... 26

Gambar 3.4 Alir Analisis Manajemen dan Organisasi .................................... 30

Gambar 4.1 Pravelensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Menurut
Indikator BB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia,
Tahun 2007 dan 2010 ................................................................... 32

Gambar 4.2 Pravelensi Balita Gizi Pendek dan Sangat Pendek Menurut
Indikator TB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia,
Tahun 2007 dan 2010 ................................................................... 34

Gambar 4.3 Pravelensi Balita Gizi Kurus dan Sangat Kurus Menurut
Indikator BB/TB di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia,
Tahun 2007 dan 2010 ................................................................... 36

Gambar 4.4 Biskuit Ikan .................................................................................. 47

Gambar 4.5 Kemasan Primer Biskuit Ikan ...................................................... 47

Gambar 4.6 Kemasan Sekunder Biskuit Ikan ................................................. 47

Gambar 4.7 Tepung Daging Ikan Lele Dumbo .............................................. 49

Gambar 4.8 Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ............................................... 49

Gambar 5.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan dan Tepung Kepala
Ikan Lele Dumbo .......................................................................... 60

Gambar 5.2 Neraca Massa Pembuatan Tepung Badan dan Tepung Kepala
Ikan Lele Dumbo .......................................................................... 61

Gambar 5.3 Timbangan Dacin ........................................................................ 62

Gambar 5.4 Retort Chamber ........................................................................... 63

Gambar 5.5 Pressure Pneumatic .................................................................... 63

vii
Halaman

Gambar 5.6 Drum Dryer ................................................................................ 64

Gambar 5.7 Boiler .......................................................................................... 64

Gambar 5.8 Mesin Penggiling Basah ............................................................. 65

Gambar 5.9 Mesin Penggiling Kering ............................................................ 65

Gambar 5.10 Freezer ........................................................................................ 65

Gambar 5.11 Impulse Sealer ............................................................................ 66

Gambar 5.12 Diagram Alir Pembuatan Biskuit Balita dengan Penambahan


Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai ..................................... 67

Gambar 5.13 Neraca Massa Pembuatan Biskuit Ikan


(Basis Bahan Baku 1000 gr) ..................................................... 68

Gambar 5.14 Timbangan Digital ...................................................................... 69

Gambar 5.15 Jenis Pengaduk ........................................................................... 70

Gambar 5.16 Mixer .......................................................................................... 70

Gambar 5.17 Dough Sheeter ............................................................................ 70

Gambar 5.18 Lemari Pendingin ....................................................................... 71

Gambar 5.19 Gas Baking Oven ....................................................................... 71

Gambar 5.20 Bagan Keterkaitan Antar Aktivitas pada Pabrik Tepung dan
Biskuit Ikan ............................................................................... 74

Gambar 5.21 Tata Letak dan Hubungan Antar Ruang Pabrik Tepung dan
Biskuit Ikan ............................................................................... 76

Gambar 6.1 Struktur Organisasi Industri Tepung dan Biskuit Ikan ................ 81

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner Pembobotan Lokasi Menggunakan Metode


Pembanding Eksponensial ............................................................. 104

Lampiran 2. Dokumentasi Calon Lokasi Pendirian Pabrik Tepung dan Biskuit


Ikan ................................................................................................ 109

Lampiran 3. Denah Ruangan Pabrik Industri Tepung dan Biskuit ikan .............. 110

Lampiran 4. Layout Ruang Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo .......................... 111

Lampiran 5. Layout Ruang Produksi Biskuit Ikan .............................................. 112

Lampiran 6. Asumsi – Asumsi untuk Analisis Finansial Industri Tepung dan


Biskuit Ikan .................................................................................... 113

Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan


Biskuit Ikan ................................................................................... 114

Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB ............... 115

Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan
Biskuit Ikan ................................................................................... 119

Lampiran 10. Kebutuhan Biaya Operasional Industri Tepung dan Biskuit Ikan 123

Lampiran 11. Rekapitulasi Produksi dan Proyeksi Penerimaan Industri Tepung


dan Biskuit Ikan ............................................................................ 124

Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan ................ 125

Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan ................. 127

Lampiran 14. Kriteria Kelayakan Investasi .................................................... 128

Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas
Naik 30% ............................................................................. 129

Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% .............................. 134

ix
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan gizi yang mendominasi perhatian para pakar gizi selama ini adalah masalah
kekurangan energi dan protein (KEP) yang disebabkan akibat konsumsi makanan yang tidak cukup
mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa
tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun, pada anak-anak
khususnya di bawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih
memprihatinkan (Soekirman, 2000).

Salah satu sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat
adalah pangan hewani. Pangan hewani memiliki keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini
tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki
kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi yang mudah diserap, dan
mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya, diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi
dalam tubuh ikan yang tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam
amino dalam tubuh manusia.

Ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati, serta dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi
secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang popular di
masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan
sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut
adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi,
rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Anonymous, 2006).

Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan lele dumbo juga mempunyai kekurangan,
yaitu tingginya kandungan air dan pH, serta kandungan asam lemak tak jenuh yang dagingnya mudah
mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat
penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk
menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah, 2007).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil sampingan ikan. Usaha
pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena
rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal.
Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto, 1992).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif
bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan ikan segar, bentuknya
yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya.
Penggunaan tepung ikan sebagai bahan pelengkap tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan
salah satu alternatif pengunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas yang dihasilkan.

Biskuit merupakan makanan yang cukup populer dan praktis karena dapat dimakan kapan
saja dengan pengemasan yang baik, serta memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat

1
dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan
khusus manusia. Berbagai jenis biskuit telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak
saja enak tapi juga menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu, seperti tepung ikan
lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai tambah yang baik untuk
kesehatan (Manley, 2000).

Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang
tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai
juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai
adalah isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah untuk
memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley, 2000).

Adanya kebutuhan akan alternatif pangan bergizi dengan harga terjangkau membuka peluang
untuk memproduksi biskuit dari tepung ikan lele dumbo. Pasar produk biskuit lele ini masih terbuka
lebar dan persaingan belum ketat. Selain itu, teknologi pembuatan biskuit lele tidaklah terlalu rumit
dan dapat menggunakan peralatan yang sederhana, serta ketersediaan bahan baku untuk pembuatan
biskuit ini cukup melimpah.

Untuk melakukan pendirian industri tepung dan biskuit dari tepung ikan lele dumbo
diperlukan adanya studi kelayakan. Studi kelayakan merupakan suatu analisis perencanaan yang
sistematis dan mendalam atas setiap faktor yang memiliki pengaruh terhadap kemungkinan proyek
untuk mencapai sukses. Semua data, fakta dan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam studi
kelayakan tersebut akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan apakah proyek yang
bersangkutan akan direalisasikan, dibatalkan, atau dikaji ulang. Beberapa aspek studi kelayakan yang
diperlukan dalam pendirian industri ini, antara lain: aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi,
manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, dan analisis finansial.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus) dari aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen
dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi aspek-aspek yang mempengaruhi pendirian industri
tepung dan biskuit ikan lele dumbo di lokasi terpilih yakni sebagai berikut.

1. Analisis aspek pasar dan pemasaran, meliputi analisis pasar dan rencana pemasaran, serta strategi
bauran pemasaran.

2. Analisis aspek teknik dan teknologi, meliputi spesifikasi dan ketersediaan bahan baku, penentuan
kapasitas produksi, jenis teknologi beserta informasi neraca masa, mesin dan peralatan yang
digunakan, serta lokasi proyek dan tata letak pabrik.

2
3. Analisis aspek manajemen dan organisasi, meliputi penentuan struktur organisasi, kebutuhan tenaga
manajerial dan operasional yang mendukung keberhasilan usaha, serta deskripsi dan spesifikasi
kerja masing-masing.

4. Analisis aspek lingkungan dan legalitas, meliputi analisis dampak lingkungan akibat pendirian
industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo, dan peraturan pemerintah terkait pendirian industri,
serta perizinan yang harus dipenuhi.

5. Analisis aspek finansial, meliputi perkiraan jumlah dana yang diperlukan, serta perhitungan
kelayakan investasi.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan lele
memiliki bentuk tubuh yang memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik). Sesuai dengan familinya,
yaitu Claridae, lele dumbo memiliki bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Di
sekitar mulut terdapat empat pasang sungut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang
berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang
terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari
udara. Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar
oksigen (Suyanto, 2007).

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka
pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya
terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan.
Seperti pada tahun 2009, kenaikan tersebut terjadi mencapai 200 ribu ton. Ikan lele yang banyak
dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus sp). Sementara
itu, ikan lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya
sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal,
hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung
lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal (Mahyuddin, 2007).

Lele dumbo termasuk ke dalam: filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo
Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu dari beberapa literatur menyebutkan
bahwa lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias
fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran
yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu unggulan lele dumbo adalah lele
sangkuriang. Lele sangkuriang merupkan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya
Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No.
KEP.26/MEN/2004 (Mahyuddin, 2007).

Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70%. Kepala, ekor,
sirip, dan isi perutnya merupakan limbah ikan yang kebanyakan tidak dapat digunakan sebagai
makanan. Bagian-bagian tubuh ikan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya

Bagian Tubuh Komponen Utama Manfaat

Daging ikan Protein, Lemak Berbagai macam makanan


Kepala ikan Protein, Lemak, Garam Ca, Tepung Ikan
dan Fosfat
Tulang, Sirip Garam Ca, Fosfat, dan Tepung Tulang
Senyawa Nitrogen
Kulit Kolagen Lem, Kulit Olahan
Sisik Kolagen, Quanin Lem
Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

4
Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah
jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi
gizi ikan lele disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele

Zat Gizi (%) Kandungan

Protein 17,7
Lemak 4.8
Mineral 1,2
Air 76
Karbohidrat 0,3
Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

B. Tepung Ikan

Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar
air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu
hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara
pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian
mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mekanis (Ilyas, 1993).

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air
pada daging ikan adalah hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi
maka proses pembusukan dapat dihambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus-menerus, maka
proses pembentukannya akan berhenti. Selain menggunakan metode pengeringan, dalam pembuatan
tepung ikan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan
proses pembusukan baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan
sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto, 1982b).

Menurut Departemen Perdagangan (1982) tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi
terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin.
Disamping itu, tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang
rendah. Tepung ikan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan fosfor (P). Tepung ikan juga
mengandung trace element, seperti: seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), dan kobalt (Co)
(Moeljanto, 1982a).

Usaha pembentukan tepung ikan menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah
didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI, 1999). Sebagian produksi tepung ikan
dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara
yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung
ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-butirannya agak seragam, bebas
dari sisa-sisa tulang, mata ikan, dan benda-benda asing lainnya.

Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam
ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin, serta senyawa-senyawa
nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi

5
berubah, terutama akibat terjadinya penurunan kadar minyak, kadar air, dan kerusakan (perubahan)
senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo processing). Komposisi kimia tepung ikan
juga ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahan (Moeljanto,
1982a).

Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang
digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut.

- air (moisture) 6% - 10%

- lemak 5% - 12%

- protein 60% -75%

- abu 10% - 20%

Menurut Moeljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6%
sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan
selang terendah 6% sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada air tepung ikan.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33%
untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari
tepung kepala dan tulang ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari
sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung
ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moeljanto, 1982).

Menurut Ilyas (1993), tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai
terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak,
tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung
lemak 5% - 10% dan protein 60% - 65%.

C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili Leguminosae, sub family
Papilionaceae dan genus Glycine L. Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua
keping biji (cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan dibagian inilah minyak dan
protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan sekaligus memberikan
perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari biji dengan menggunakan prinsip aspirasi
(Matthews, 1989).

Menurut Matthews (1989), kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup
potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan
21%. Komposisi kimia biji kedelai dapat di lihat pada Tabel 2.3.

6
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai

Komponen Komposisi
Kalori (Kal) 331.0
Air (%) 7.5
Protein (%) 34.9
Lemak (%) 18.1
Karbohidrat (%) 34.8
Kalsium (mg/ 100 g) 227.0
Fosfor (mg/ 100 g) 585.0
Besi (mg/ 100 g) 8.0
Vitamin A (SI/ 100 g) 110.0
Vitamin B (SI/ 100 g) 1.07
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar
protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan
lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun
tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak
maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat
berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi. Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi
sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavor produk. Penggunaan
isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim,
daging sintetik, roti, dan biskuit (Koswara, 1995).

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini
telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkannya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier
yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau
pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk bakery, dan
sup (Koswara, 1995).

Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak.
Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga
dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Kedua adalah
untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena isolat protein kedelai
dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan
sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara, 1995).

Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Hal ini
disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar, seperti
gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya
serap air isolat protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein kedelai
sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan
rendemen dan memudahkan penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama
kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara, 1995).

7
E. Biskuit

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari
tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan.
Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah
dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat
dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening, serta rendahnya kandungan air di dalam
adonan (Faridi dan Faubion, 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti
yang terlihat pada Tabel 2.4. Selain itu biskuit umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak
licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta aroma yang menyenangkan (Matz
dan Matz, 1978).

Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%
Protein Minimum 9%
Lemak Minimum 9,5%
Karbohidrat Minimum 70%
Abu Maksimum 1,5%
Logam berbahaya Negatif
Serat kasar Maksimum 0,5%
Kalori (per 100 gr) Minimum 400
Jenis tepung Terigu
Bau dan rasa Normal, tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992

Menurut Manley (1998), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, yaitu tekstur
dan kekerasan, perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas adonan, dan pembentukan
produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan
keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening
efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten
mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten
mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang
berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan
pembakaran (Sunaryo, 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25% - 40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah
biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi
pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh
bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12% - 15%, contohnya adalah biskuit
marie. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan
kadar lemak 25% - 30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo, 1985).

Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak,
sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi,
air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bahan

8
pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang kompak, sedangkan
bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz,
1978).

Menurut Vail et al. (1978), mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan
penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi
akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Untuk lebih
jelasnya jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit dapat di
lihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya pada Pembuatan Biskuit

Jenis Penyimpangan Penyebab


Keras Kurang lemak
Kurang air
Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat
Pemanggang kurang panas
Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata
Penanganan tidak hati-hati
Panas tidak merata
Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang
Keras dan poros Pencampuran tidak tepat
Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal
Penanganan terlalu lama
Sumber: Vail et al. 1987

1. Bahan Baku Biskuit

a. Tepung

Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan
biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selain itu, menurut Matz dan Matz (1978),
tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata.
Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak
dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al., 1987).

b. Telur

Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai pengental, perekat atau
pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan
disamping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo,1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi
utama telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu, telur
juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan kelembutan biskuit (Matz dan Matz,
1978). Menurut Winarno (1995), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan
cephalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.

c. Gula

Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten,
membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-
enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan

9
menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis.
Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan
biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz, 1978).

d. Lemak

Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai
bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak juga berperan dalam
pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit,
antara lain adalah lard, butter, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain penggunaan
lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi, seperti hidrogenasi minyak dan interesterifikasi minyak
juga bisa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit (Matz dan Matz, 1978).

e. Susu

Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, flavor, bahan
pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan
mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit
karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz, 1978).

f. Bahan pengembang

Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk
mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan
pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan soda kue
(sodium bikarbonat). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking
powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas
selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk
menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium
bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat, dan sulfat. Menurut Manley (2000),
penggunaan ammonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana
rata-rata digunakan sebesar 0.47% dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%,
sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit dan rata-rata digunakan
antara 0.18% sampai dengan 1.92%.

g. Air

Dalam pembuatan roti dan kue, air mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk mengontrol
kepadatan dan suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan
tepung secara seragam, membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna, dan
memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Anonim, 1981). Pedoman pembuatan roti dan kue.
Djambatan, Jakarta.

2. Proses Pembuatan Biskuit

Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan, pencampuran dan
pengadukan, pembuatan lebar adonan, dan pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum
dikategorikan dalam dua cara, yaitu metode krim dan metode all- in. Pada metode krim, gula dan
lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutkan dilakukan penambahan susu ke dalam

10
krim dan pencampurannya dilakukan secara singkat. Pada tahap akhir, tepung dan sisa air
ditambahkan kemudian dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan
mudah dibentuk, sedangkan pada metode all- in semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode ini
lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada adonan pada metode krim
(Whiteley, 1971).

Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas dari kotoran, batu,
komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap, dilakukan pencampuran dilanjutkan
dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah
adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan merusak
susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas, sehingga merusak tekstur biskuit serta
menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya, jika waktu pengadukan
kurang, maka adonan akan kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo, 1985).

Proses pembuatan biskuit dilakukan dengan cara mencampurkan bahan sehingga membentuk
adonan, kemudian dicetak dan dipanggang dalam oven, sehingga menghasilkan biskuit. Skema
pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Persiapan bahan

Pencampuran/ pengadukan

Pembentukan lembaran adonan

Pencetakan

Pemanggangan

Pendinginan

Pengemasan

Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit (Sunaryo, 1985)

a. Persiapan Bahan

Masing-masing bahan dalam tahap ini ditimbang atau diukur volumenya berdasarkan
komposisi adonan. Bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: bebas
dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, tikus, dan standar mutu yang ditetapkan (Sunaryo,
1985).

b. Pencampuran atau Pengadukan

Tujuan pencampuran atau pengadukan adalah untuk memperoleh adonan yang homogen dan
menghasilkan pengembangan gluten yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan alat
mixing.

11
Untuk mendapatkan adonan yang baik perlu memperhatikan waktu pengadukan sehingga
tercapai pengembangan gluten yang optimal. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan
gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan
retak pada permukaan biskuit pada saat pemanggangan. Jika waktu pengadukan kurang, maka adonan
akan kurang menyerap air, sehingga adonan kurang elastis dan lembaran adonan menjadi lebih mudah
patah (Sunaryo, 1985).

Sunaryo (1985) membagi beberapa jenis adonan sesuai dengan jenis produk yang
dikehendakinya, yaitu:

1. Adonan Pendek

Adonan ini digunakan untuk membuat cookies. Pada adonan ini gluten tidak mengembang
akibat shortening effect dari lemak, efek pelunakan gula, dan rendahnya kadar air sekitar 3%. Adonan
ini memiliki kadar gula tinggi sekitar 25% - 40% dan kadar lemak maksimal 15%.

2. Adonan Keras

Adonan keras digunakan untuk pembuatan biskuit. Pada adonan ini gluten mengembang
sampai batas tertentu, karena kadar air yang ditambahkan tidak sebanyak pada adonan fermentasi.
Selain terjadi pengembangan gluten, juga terjadi ikatan antara protein dan pati, larutnya gula, garam,
pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Kandungan lemak pada adonan ini 15%
dan gula 20%.

Proses pencampuran pada kedua adonan di atas adalah sebagai berikut: semua bahan kecuali
tepung diaduk dengan mixer sampai tercampur halus, baru kemudian tepung dimasukkan untuk
kemudian diaduk lagi bersama-sama.

3. Adonan Fermentasi

Adonan fermentasi digunakan untuk pembuatan biskuit crackers. Pada adonan ini gluten
mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan terjadi pengembangan tersebut
sebesar 30%. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk akhir, penyusutan panjang setelah
pencetakan dan pemanggangan. Biasanya produk akhir mempunyai sifat cryspinnes tertentu. Kadar
gula adonan sangat rendah dengan kadar lemak 25% - 30%.

Segera setelah proses pencampuran adonan selesai, adonan harus digunakan maksimal 30
menit kemudian. Apabila adonan dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan,
sehingga mempengaruhi pengembangan gluten, atau adonan menjadi keras karena terjadi penguapan
air.

c. Pembuatan Lembaran Adonan

Pelempengan atau pembuatan lembaran adonan bertujuan untuk mengubah bentuk adonan
(deformasi) dan menarik adonan secara mekanis. Pelempengan sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin setelah proses pencampuran, agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat
pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang agar dihasilkan suatu
lembaran adonan yang halus dan kompak (Sunaryo, 1985).

12
d. Pencetakan

Proses pencetakan bertujuan untuk memberi bentuk biskuit. Pada industri tepung dan biskuit,
proses ini dapat dilakukan dengan alat reciprocating cutter atau wire cutter, tergantung dari jenis
adonan biskuit (Sunaryo, 1985).

e. Pemanggangan

Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven. Suhu dan waktu pemanggangan berlangsung
antara 2,5 – 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan biskuit yang dihasilkan. Perubahan yang
terjadi selama pemanggangan biskuit adalah perubahan struktur, pengurangan kadar air, dan
perubahan warna (Sunaryo, 1985).

f. Pendinginan dan Pengemasan

Pendinginan biskuit segera setelah keluar dari oven mutlak diperlukan, dengan tujuan untuk
menurunkan suhu dengan segera dari suhu pemanggangan ke suhu ruang untuk mencegah penyerapan
uap air, mencegah kontaminasi kotoran dari atmosfir, dan untuk pengerasan tekstur biskuit. Begitu
keluar dari oven, tekstur biskuit agak lunak dan elastis karena gula dan lemak masih berbentuk cair.
Jika telah didinginkan gula dan lemak kembali padat sehingga tekstur mengeras (Sunaryo, 1985).

Biskuit termasuk produk yang cepat menyerap air dan oksigen, oleh karena itu pengeras
harus kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap sinar, dan mampu melindungi biskuit dari kerusakan
mekanis (Sunaryo, 1985).

F. Studi Kelayakan

Sutojo (1983) dan Kadariah et al. (1999) menyebutkan bahwa kajian terhadap keadaan dan
prospek suatu pabrik dilakukan atas aspek-aspek tertentu, yaitu aspek teknis, aspek manajerial dan
administratif, aspek organisasi, aspek pemasaran, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Umar (2005)
menambahkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik juga memerlukan analisis
terhadap aspek lingkungan, aspek legalitas, dan aspek sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut
biasanya dianalisis dengan teknik-teknik tertentu dengan mempertimbangkan manfaat bagi industri
tersebut.

1. Aspek Pasar dan Pemasaran

Studi pasar dan pemasaran dapat dikatakan merupakan “darah daging” setiap studi
kelayakan. Bagi suatu proyek baru, pengetahuan dan analisis pasar bersifat menentukan karena
banyak keputusan tentang investasi tergantung dari hasil analisis pasar (Simarmata, 1992).

Aspek pasar dan pemasaran dikaji untuk mengungkapkan permintaan, penawaran, harga,
program pemasaran, dan perkiraan penjualan yang dapat dicapai oleh perusahaan, atau pangsa pasar
yang dapat dikuasai oleh perusahaan. Selain itu, analisis terhadap pasar dan pemasaran pada suatu
usulan proyek ditujukan untuk mendapatkan gambaran tentang potensi pasar bagi produk yang
tersedia untuk masa yang akan datang, dan menentukan jenis strategi pemasaran yang digunakan guna
mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan (Husnan dan Suwarsono, 2000).

13
Sutojo (1983) menyebutkan bahwa dalam mengkaji aspek pasar dan pemasaran, hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

 Bagaimana produk tersebut dalam pasar dewasa ini.

 Berapa permintaan produk di masa lampau dan sekarang, bagaimana komposisi permintaan
tiap segmen pasar serta bagaimana kecenderungan perkembangan permintaan.

 Bagaimana proyeksi permintaan produk pada masa mendatang serta berapa persen dari
permintaan dapat diambil.

 Bagaimana kemungkinan adanya persaingan.

Kegunaan dari analisis pasar adalah menentukan besar, sifat, dan pertumbuhan permintaan
total akan produk yang bersangkutan, deskripsi tentang produk dan harga jual, situasi pasar dan
adanya persaingan, berbagai faktor yang ada pengaruhnya terhadap pemasaran produk, dan program
pemasaran yang sesuai untuk produk (Edris, 1993).

2. Aspek Teknik dan Teknologi

Aspek teknik dan teknologi merupakan salah satu aspek penting bagi proyek karena
merupakan jawaban dari pertanyaan dapat tidaknya produk tersebut dibuat. Hal ini sangat dirasakan
jika bidang usaha yang digunakan bersifat manufacturing atau poros intinya adalah teknologi
(Simarmata, 1992).

Berdasarkan analisis aspek teknik dan teknologi dapat diketahui rancangan awal penaksiran
biaya investasi. Analisis teknik berhubungan dengan input proyek berupa barang dan jasa dan menguji
hubungan-hubungan teknik yang memungkinkan dalam suatu proyek yang diusulkan serta
mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam informasi selama perencanaan dan tahap
pelaksanaan. Analisis teknik secara spesifik mencakup analisis terhadap ketersediaan bahan baku,
proses produksi, mesin dan peralatan, perancangan aliran bahan, analisis keterkaitan antar aktivitas,
jumlah mesin dan peralatan, keperluan tenaga kerja, penentuan luas pabrik, dan perancangan tata letak
pabrik (Husnan dan Muhammad, 2000).

Sutojo (1983) menyebutkan bahwa evaluasi aspek teknis dan teknologi meliputi hal-hal
berikut.

 Penentuan lokasi proyek, yaitu lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk
pertimbangan lokasi maupun lahan proyek. Peubah-peubah yang perlu diperhatikan, antara
lain: iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik
dan air, keadaan dan sikap masyarakat, dan rencana masa depan perusahaan untuk perluasan.
Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu letak konsumen potensial atau pasar sasaran, letak
bahan baku, dan peraturan pemerintah.

 Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume atau jumlah satuan produk
yang dihasilkan selama waktu tertentu. Kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efisiensi operasi proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan
berdasarkan perpaduan hasil penelitian berbagai macam komponen evaluasi, yaitu perkiraan
jumlah penjualan produk di masa yang akan datang atau kemungkinan pasar yang akan

14
diraih, kemungkinan pengadaan bahan baku, bahan pembantu dan tenaga kerja, serta
tersedianya mesin dan peralatan di pasar sesuai dengan teknologi yang diterapkan.

 Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh kemungkinan pengadaan tenaga ahli,
bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam dan lainnya tergantung proyek yang didirikan.

 Penentuan proses produksi yang dilakukan dan tata letak pabrik yang dipilih, termasuk tata
letak bangunan dan fasilitas lain. Tata letak pabrik merupakan alat efektif untuk menekan
biaya produksi dengan cara menghilangkan atau mengurangi sebesar mungkin semua
aktivitas yang tidak produktif.

Lokasi merupakan hal yang penting bagi pendirian suatu perusahaan karena akan
mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup
perusahaan tersebut. Perusahaan yang didirikan tanpa pertimbangan lokasi yang ekonomis, akan
mengalami kesulitan dalam menjamin kelangsungan hidupnya. Penentuan lokasi yang kurang tepat
merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya
produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu
pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu
industri sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran,
serta faktor lingkungan.

Menurut Assauri (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi analisis lokasi suatu industri
dapat digolongkan menjadi faktor-faktor utama dan faktor-faktor tambahan. Faktor-faktor utama akan
berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan produksi dan distribusi dari industri yang
akan didirikan. Faktor-faktor utama tersebut meliputi letak dari pasar, letak dari sumber bahan baku,
tingkat biaya dan ketersediaan fasilitas pengangkutan, biaya ketersediaan tenaga kerja, dan adanya
pembangkit listrik.

Pola aliran bahan merupakan salah satu langkah yang penting dalam perencanaan fasilitas.
Pola aliran dapat dikelompokkan menjadi pola aliran di dalam tempat kerja, pola aliran dalam
fasilitas, dan aliran antar fasilitas. Menurut Birchfield (1988), terdapat tiga bentuk umum tata letak
ruang kerja, yaitu garis lurus, bentuk U, dan bentuk L dimana setiap bentuk memiliki peruntukkannya
sendiri. Bentuk garis lurus sering digunakan untuk mengefisiensikan waktu dan pergerakan. Bentuk U
akan memberikan area yang cukup, namun jumlah waktu yang terbuang lebih banyak karena
pergerakan pekerja untuk masuk dan keluar ruangan. Analisa aliran bahan sangat diperlukan dalam
merancang suatu tata letak industri atau pabrik. Penentuan aliran bagi manajemen, material, aliran
bahan, distribusi fisik dan logistik merupakan salah satu langkah dalam perencanaan fasilitas yang
sangat penting terutama penentuan pola aliran bahan.

Menurut Heizer dan Render (1993), peta keterkaitan kegiatan atau disebut juga relationship
chart, merupakan suatu cara untuk menunjukkan aliran departemen. Peta kegiatan keterkaitan serupa
dengan peta dari-ke, tapi tidak seperti peta dari-ke yang berisi data perpindahan material, peta ini
berisikan tanda kualitatif yang menggambarkan hubungan antar departemen. Analisis terhadap peta ini
memperlihatkan departemen-departemen yang tidak boleh berdekatan. Untuk membantu menentukan
kegiatan yang harus diletakkan pada suatu tempat, telah ditetapkan suatu pengelompokkan derajat
kedekatan, yang diikuti dengan tanda bagi tiap derajat kedekatan tadi. Keterkaitan antar aktivitas dan
hasil dari proses perancangan kegiatan tersebut adalah dalam bentuk bagan dan diagram keterkaitan

15
antar kegiatan, yang secara sistematis telah menunjukkan bagaimana kedudukan (letak atau lokasi)
suatu kegiatan (ruang) tertentu dikaitkan dengan kegiatan (ruang) yang kain (Apple, 1990).

3. Aspek Manajemen dan Organisasi

Hal yang perlu dipelajari dalam aspek manajemen adalah manajemen selama masa
pembangunan proyek yang meliputi pelaksanaan proyek tersebut, jadwal penyelesaian proyek, aktor
yang melakukan studi setiap aspek manajemen dalam operasi. Manajemen dalam operasi meliputi
bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi jabatan, jumlah tenaga
kerja yang akan dipergunakan dan anggota direksi serta tenaga-tenaga terinci.

Aspek manajemen dan organisasi dapat digolongkan menjadi dua, seperti dijelaskan di
bawah ini:

a. Manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang terkait dengan mewujudkan gagasan sampai
menjadi hasil proyek berbentuk fisik.

b. Manajemen operasi, yaitu menangani kegiatan operasi dan produksi fasilitas hasil proyek
(Soeharto,2000).

Aspek manajemen dan organisasi dapat dikelompokkan menjadi manajemen proyek, yaitu
pengelolaan kegiatan yang berkaitan dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek
berbentuk fisik, manajemen operasi atau produksi fasilitas hasil proyek. Lingkup manajemen
organisasi meliputi pengelolaan kegiatan yang langsung berhubungan dengan kegiatan memproduksi
barang atau memberikan pelayanan. Mulai dari usaha mendapatkan sumber daya, mengkonversikan
masukan menjasi produk atau pelayanan yang diinginkan. Masukan tersebut dapat terdiri dari bahan
mentah, tenaga kerja, material, energi, dan waktu.

Ariyoto (1990) menyatakan bahwa manajemen merupakan cara mencapai tujuan dari
sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini adalah uang (modal), mesin dan peralatan, personil
(tenaga kerja), dan material. Umar (2005) menyatakan bahwa tujuan kajian aspek manajemen adalah
mengetahui apakah pembangunan dan implementasi bisnis dapat direncanakan, dilaksanakan, dan
dikendalikan sehingga rencana bisnis dapat dinyatakan layak atau sebaliknya.

Aspek manajemen operasional adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi
perencanaan organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan, dan pengawasan terhadap operasi
perusahaan (Umar, 2005). Penelitian aspek manajemen dan organisasi mencakup dua hal, yaitu
struktur organisasi dan manajemen tenaga kerja yang mencakup kebutuhan tenaga kerja, kualifikasi
tenaga kerja, dan pembagian tugas kerja (Behrens dan Hawranek, 1991).

4. Aspek Legalitas

Aspek legalitas penting karena menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan usaha.
Untuk menampung aspirasi dalam mencapai tujuan usaha diperlukan suatu wadah untuk menampung
kegiatan. Dalam evaluasi yuridis, salah satu pokok pengamatan yang merupakan kekuatan yang
menunjang usaha adalah tentang izin-izin yang dimiliki karena dapat dikatakan bahwa izin usaha
merupakan syarat legalisasi usaha (Ariyoto, 1990).

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000) dalam pengkajian aspek yuridis atau hukum, hal
yang perlu diperhatikan meliputi bentuk badan usaha yang akan digunakan dan berbagai akte,

16
sertifikat, serta izin yang diperlukan. Aspek legalitas atau yuridis berguna untuk kelangsungan hidup
proyek dalam rangka meyakinkan kreditor dan investor bahwa proyek yang akan dibuat sesuai dengan
peraturan yang berlaku (Umar, 2005).

5. Aspek Lingkungan

Pembangunan suatu industri hendaknya tetap memperhatikan kepentingan manusia dan


lingkungannya. Pembangunan industri yang baik adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Pembangunan tersebut dapat terwujud apabila semua komponen dalam perusahaan mengerti
pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan dalam setiap tahapan proses produksinya. Kajian
aspek lingkungan hidup bertujuan untuk menentukan dapat dilaksanakannya industri secara layak atau
tidak dari segi lingkungan hidup. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek lingkungan, antara lain:
peraturan dan perundang-undangan AMDAL dan kegunaan dalam kajian pendirian industri dan
pelaksanaan proses pengelolaan dampak lingkungan (Umar, 2005).

6. Aspek Finansial

Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan.
Selain itu, juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin,
1984).

Aspek finansial dilakukan setelah selesai evaluasi aspek lain dalam rencana investasi proyek
selesai dilaksanakan. Analisis finansial adalah perbandingan antara pengeluaran dengan pemasukan
suatu proyek dengan melihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan modalnya dalam proyek
tersebut memberikan sumbangan atau rencana yang positif dalam pembangunan ekonomi nasional
(Jadariah et al,. 1978).

Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur permodalan bagi perusahaan
yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan
sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya
modal kerja. Biaya investasi meliputi pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan,
mesin dan peralatan, berbagai aset tetap, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan
pembangunan proyek. Biaya kerja meliputi biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, overhead
pabrik, dan lain-lain), biaya administrasi, biaya pemasaran, dan penyusutan. Kemudian dilakukan
penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan
jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak (Edris, 1993).

Modal investasi dalam analisis finansial dibagi menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal
kerja. Modal tetap dipergunakan antara lain untuk pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan
tanah, bangunan, mesin dan peralatan, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan
proyek, serta pengadaan dana modal tetap itu sendiri (Sutojo, 1996).

Untuk menghindari salah perhitungan karena timbulnya hal-hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya, maka ditambahkan biaya lain-lain atau biaya yang biasa disebut dengan biaya
kontingensi. Nilai yang lazim digunakan dalam menghitung biaya kontingensi adalah sebesar 10%
(Sutojo, 1996).

Penyusutan merupakan pengalokasian biaya investasi suatu proyek pada setiap tahun
sepanjang umur proyek tersebut. Menurut De Garmo et al. (1984), metode yang sering digunakan,

17
yaitu metode garis lurus dimana perhitungan penyusutan didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
nilai peralatan atau bangunan berlangsung secara konstan selama umur pemakaian. Rumus untuk
menghitung penyusutan berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai berikut:

Dimana: D = Biaya penyusutan tiap tahun

P = Harga awal (Rp)

S = Harga akhir (Rp)

L = Perkiraan umur ekonomis (tahun)

Menurut Gray et al. (1993) dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar
penerima atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang
dinamakan kriteria investasi. Kriteria investasi yang digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Payback
Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Selain itu, diperlukan perhitungan biaya investasi dan
kebutuhan modal kerja (Behrens dan Hawranek, 1991).

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang
investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di masa
yang akan datang pada tingkat bunga tertentu (Husnan dan Muhammad, 2000). Menurut Gray et al.
(1993), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut.

∑[ ]
( )

Dengan Bt = keuntungan pada tahun ke-t

Ct = biaya pada tahun ke-t

i = tingkat suku bunga (%)

t = periode investasi (t = 0,1,2,3,…,n)

n = umur ekonomis proyek

Proyek dianggap layak dan dapat dilaksanakan apabila NPV > 0. Jika NPV < 0, maka proyek
tidak layak dan tidak perlu dijalankan. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis
sebesar opportunity cost faktor produksi modal.

2. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah discount factor pada saat NPV = 0 dan dinyatakan
dalam persen (Gray et al., 1993). Menurut Sutojo (2002), IRR merupakan tingkat bunga yang
bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan

18
menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Tujuan perhitungan IRR adalah
mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadariah et al. (1999),
rumus IRR adalah sebagai berikut.

( )
( ) () ( )
( ) ()

dengan ( ) = NPV bernilai positif

(-) = NPV bernilai negatif

( ) = discount factor yang membuat NPV positif

(-) = discount factor yang membuat NPV negatif

Proyek layak dijalankan bila nilai IRR besar atau sama dengan dari nilai discount factor.

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Perhitungan Net B/C dilakukan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang diperoleh dari
biaya yang dikeluarkan (Gray et al., 1993).

∑ )
( )
∑ )
( )

Jika Net B/C bernilai lebih dari satu, berarti NPV > 0 dan proyek layak dijalankan,
sedangkan jika Net B/C kurang dari satu, maka proyek sebaiknya tidak dijalankan (Kadariah et al.,
1999).

4. Break Even Point (BEP)

Break Even Point atau titik impas merupakan titik dimana total biaya produksi sama dengan
pendapatan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi sama besarnya dengan biaya produksi
yang dikeluarkan. Menurut Kotler (1993) hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel dapat
disajikan pada rumus berikut.

BEP = Total Fixed Cost / [1- (Variabel Cost/ Total Penerimaan)]

5. Pay Back Period (PBP)

Pay Back Period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan meliputi periode
waktu yang diperlukan dalam melunasi seluruh pengeluaran investasi. Rumus yang digunakan untuk
menghitung nilai PBP adalah sebagai berikut.

( )

19
Dengan n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negative yang terakhir (tahun)

m = nilai kumulatif Bt-Ct negative yang terakhir (Rp)

Bn = manfaat bruto pada tahun ke-n (Rp)

Cn = biaya bruto pada tahun ke-n (Rp)

6. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan parameter aspek
finansial yang berpengaruh terhadap keputusan yang dipilih. Apabila nilai unsur tersebut berubah
dengan variasi yang relatit besar tetapi tidak berakibat terhadap investasi, maka dapat dikatakan
bahwa keputusan untuk berinvestasi pada suatu proyek tidak sensitive terhadap unsur yang dimaksud.
Sebaliknya, bila terjadi perubahan yang kecil saja mengakibatkan perubahan keputusan investasi,
maka dinamakan keputusan untuk berinvestasi tersebut sensitive terhadap unsur yang dimaksud.
Analisis sensitivitas terhadap unsur-unsur yang terdapat di dalam aliran kas meliputi perubahan harga
bahan baku, biaya produksi, berkurangnya pangsa pasar, turunnya harga jual produk per unit, ataupun
tingkat bunga pinjaman (Soeharto, 2000).

Analisis proyek biasanya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak


ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa mendatang. Suatu proyek dapat berubah-ubah
sebagai akibat empat permasalahan utama, yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan
pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi (Gittinger, 1986).

20
III. METODOLOGI

A. Kerangka Pemikiran

Pengembangan industri tepung dan biskuit dari tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) harus mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu analisis pasar dan pemasaran, analisis
ketersediaan bahan baku, analisis teknik dan teknologi, analisis manajemen operasi dan organisasi,
analisis legalitas, analisis lingkungan, dan analisis finansial. Hasil dari analisis-analisis tersebut dapat
memberikan gambaran mengenai permasalahan-permasalahan yang mungkin ada, sehingga dapat
disusun rekomendasi pengembangannya.

Teknik yang dilakukan dalam melakukan studi kelayakan ini adalah dengan mengumpulkan
data-data yang dibutuhkan, baik data primer maupun sekunder. Data yang telah terkumpul kemudian
diolah dan dihitung perincian biaya investasinya. Sebelum perincian biaya, terlebih dahulu ditentukan
asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi finansial yang digunakan, antara lain: umur ekonomis proyek, biaya-
biaya operasional, kapasitas produksi, jumlah produk yang terjual, dan sebagainya.

Secara konsep, penelitian ini dimulai dengan melakukan studi pustaka sekaligus
mempelajari deskripsi produk dan industri tepung dan biskuit berbasis tepung lele. Kemudian
dilanjutkan dengan pengumpulan data dan informasi. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi
data primer dan data sekunder yang meliputi aspek pasar dan pemasaran, analisis teknik dan
teknologi, analisis manajemen dan organisasi, analisis lingkungan dan legalitas, serta analisis
finansial. Apabila data yang dikumpulkan belum cukup, maka kembali dilakukan pengumpulan data.
Namun jika data dan informasi yang dibutuhkan sudah mencukupi kemudian dilakukan tabulasi data
dan analisis pada tiap aspek. Setelah itu dilakukan analisis data dan informasi yang sudah dianalisis
disusun alam bentuk laporan lengkap. Setelah disusun dalam bentuk laporan, penelitian selesai. Alir
kerangka pemikiran sebagai langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

B. Pendekatan Studi Kelayakan

Pendekatan studi kelayakan dilakukan untuk memecahkan masalah pendirian industri tepung
dan biskuit ikan lele dumbo. Djamin (1984) menyatakan bahwa studi kelayakan terdiri atas lima
tahap, yaitu tahap identifikasi, tahap seleksi awal, tahap pengujian, tahap evaluasi, dan tahap
penyusunan laporan.

21
Mulai

Studi Pustaka, mempelajari deskripsi


produk dan industri

Pengumpulan data (primer dan sekunder)

Tabulasi data

Analisis pasar dan pemasaran


 Potensi pasar dan persaingan
 Segmenting, targeting, positioning, marketing mix

Analisis teknik dan teknologi


 Spesifikasi bahan baku
 Ketersediaan bahan baku
 Penentuan kapasitas produksi
 Penentuan proses produksi
 Neraca massa
 Penentuan lokasi
 Perencanaan tata letak pabrik, bangunan,
&fasilitas lain

Analisis manajemen dan organisasi


 Struktur organisasi
 Deskripsi kerja
 Kebutuhan tenaga kerja

Analisis lingkungan dan legalitas


 Penanganan limbah
 Perizinan pendirian usaha
 Peraturan pemerintah
 Peraturan izin gangguan

Analisis finansial
 Penentuan asumsi
 Biaya investasi
 Proyeksi aliran kas
 PBP, IRR, NPV, B/C Ratio, BEP
 Analisis sensitivitas

Penyusunan laporan

Selesai

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

22
C. Metode Penelitian

Tahapan yang harus dilakukan pada studi kelayakan ini adalah melakukan analisis masalah
dan meneliti aspek-aspek yang berhubungan dengan perancangan kelayakan industri tersebut, yaitu
aspek pasar dan pemasaran, aspek teknik dan teknologi, aspek manajemen operasi dan organisasi,
aspek lingkungan dan legalitas, dan aspek finansial. Metode studi kelayakan ini terdiri dari
pengumpulan data dan analisis data.

1. Pengumpulan Data

Data dan informasi dikumpulkan untuk keperluan analisis aspek-aspek yang berkaitan
dengan proses perencanaan suatu analisis industri. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak terkait serta pakar bidang teknik dan
teknologi yang sesuai serta gambaran mengenai berbagai aspek ketersediaan bahan baku dan pasar.
Data sekunder diperoleh dari laporan, artikel, jurnal, data statistik dari instansi-instansi pemerintah,
swasta, balai penelitian, dan sebagainya. Contoh data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut ini.

Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan

Jenis Data Sumber Metode Pengumpulan Data

1. Pasar dan Pemasaran

a. Harga jual biskuit Pasar, swalayan Survei

b. Jumlah produksi biskuit BPS Pengumpulan dokumen

c. Jumlah permintaan biskuit BPS Pengumpulan dokumen

d. Jenis biskuit terlaris Swalayan, SPG, konsumen Survei & wawancara

e. Produk subtitusi biskuit Ahli gizi, konsumen Wawancara

f. Daftar industri tepung dan biskuit Kementerian Perindustrian Pengumpulan dokumen


pesaing

g. Jumlah balita KEP BPS, BKKBN Pengumpulan dokumen

h.Daerah rawan bencana di Indonesia Mitigasi & bencana Pengumpulan dokumen

2. Teknik dan Teknologi

a.Daftar lokasi budidaya lele dumbo Internet, BPS Survei

b.Kapasitas produksi lele dumbo Penghasil ikan lele dumbo Wawancara

c. Harga ikan lele dumbo/kg Penghasil ikan lele dumbo Wawancara

d.Teknologi pembuatan tepung Inventor & pakar tepung Wawancara


ikan lele dumbo ikan
e.Mesin dan alat pembuat tepung Inventor & pakar tepung Wawancara
ikan lele dumbo ikan

23
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan (Lanjutan)

Jenis Data Sumber Metode Pengumpulan Data

f. Teknologi pembuatan biskuit Pakar & produsen biskuit Wawancara

g. Mesin dan alat pembuat biskuit Pakar & produsen biskuit Wawancara
h.Daftar lokasi alternatif pendirian Ahli peruntukan wilayah & Wawancara
industri tepung dan biskuit lele pemerintah setempat

i. Metode pemilihan lokasi Buku & pakar Wawancara

j. Metode perencanaan tata letak Buku & pakar Wawancara


dan site plan

3. Manajemen dan Organisasi

a. Daftar jenis bentuk usaha Undang-undang/ peraturan Pengumpulan dokumen

b. Jenis struktur organisasi Undang-undang/ peraturan Pengumpulan dokumen

c.Spesifikasi dan deskripsi Buku, jurnal Pengumpulan dokumen


pekerjaan

d. Jenis kebutuhan tenaga kerja Buku, jurnal Pengumpulan dokumen

4. Lingkungan dan Legalitas

a.Jenis SDA yang tersedia di Pemerintah Daerah Wawancara


sekitar lokasi industri

b. Peruntukan wilayah Pemerintah Daerah Wawancara


c. Peraturan Pemerintah Undang-undang Pengumpulan dokumen

d.Metode pengolahan dan Buku & pakar Wawancara


pembuangan limbah

5. Finansial

a. Daftar penentuan asumsi Buku, inventor, investor Pengumpulan dokumen

b. Daftar harga mesin dan alat yang Produsen penghasil mesin Wawancara

c.Metode perhitungan PBP, IRR, Buku, jurnal Pengumpulan dokumen


NPV, B/C Ratio, BEP

d. Jenis analisis sensitivitas Buku, jurnal Pengumpulan dokumen

2. Analisis Data

Analisis yang dilakukan meliputi analisis pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi,
manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, dan finansial. Analisis data dilakukan dengan
dua metode pendekatan, yaitu analisis secara kualitatif dan kuantitatif.

24
a. Analisis Pasar dan Pemasaran

Aspek-aspek yang dikaji pada analisis pasar dan pemasaran meliputi proyeksi permintaan
dan penawaran, pangsa pasar yang mungkin diraih, perilaku konsumen, dan strategi pemasaran untuk
mencapai pangsa pasar tersebut. Semua aspek tersebut diukur dengan teknik yang sesuai dengan
kebutuhan penelitian dan sumber data yang diperoleh.

Setelah diketahui jumlah permintaan biskuit balita dan jumlah yang diproduksi di Indonesia,
maka peluang pasar akan didapatkan dari selisih nilai tersebut. Setelah diketahui pangsa pasar yang
dapat diraih, maka diperlukan strategi pemasaran, diantaranya dengan segmentasi (segmenting),
penentuan target pasar (targeting), penentuan posisi di pasar (positioning), serta bauran pemasaran
(marketing mix). Langkah-langkah dalam analisis pasar dan pemasaran ini dapat dilihat pada Gambar
3.2.

Mulai

Pencarian data

1. Jumlah permintaan biskuit


balita

2. Harga biskuit balita

Analisis peluang pasar biskuit lele

Analisis struktur pasar dengan pesaing

Persentase pangsa pasar yang dapat diraih

Selesai

Gambar 3.2 Alir Proses Analisis Pasar dan Pemasaran

b. Analisis Teknik dan Teknologi

Analisis teknik dan teknologi meliputi ketersediaan bahan baku, penentuan kapasitas
produksi dan lokasi, pemilihan teknologi proses, mesin, dan peralatan, neraca massa, dan perencanaan
tata letak, kebutuhan luas ruang produksi, dan site plant dari pabrik tersebut. Alir proses analisis aspek
teknik dan teknologi dapat dilihat pada Gambar 3.3.

25
Mulai

Pencarian data bahan baku

Penentuan alternatif
bahan baku

Penentuan alternatif lokasi

Lokasi pabrik terpilih

Penentuan kapasitas produksi

Pemilihan teknologi proses produksi,


mesin, dan peralatan

Penyusunan neraca massa

Penyusunan tata letak pabrik dan


kebutuhan luas ruang produksi

Selesai

Gambar 3.3 Alir Proses Analisis Aspek Teknik dan Teknologi

Ketersediaan bahan baku dianalisis dengan melihat data produksi, penggunaan, dan ekspor
ikan lele dumbo. Jika bahan baku tidak terpenuhi di satu lokasi penghasil ikan lele dumbo, maka
dilakukan pencarian terhadap lokasi lain yang juga menghasilkan ikan lele dumbo.

Penentuan kapasitas produksi dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku,


pasar, dan kemampuan investasi. Ketiga komponen tersebut dianalisis sehinggga didapatkan kapasitas
produksi industri tepung dan biskuit berbasis tepung ikan lele dumbo ini.

Penentuan lokasi pabrik dilakukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE). MPE
merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantifikasi pendapat seseorang atau
lebih dalam skala tertentu. Pada prinsipnya ia merupakan metode skoring terhadap pilihan yang ada.
Dengan perhitungan secara eksponensial, perbedaan nilai antar kriteria dapat dibedakan tergantung
kepada kemampuan orang yang menilai.

26
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan MPE adalah
sebagai berikut.

1. Penentuan alternatif keputusan.

2. Penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji.

3. Penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala
konversi tertentu sesuai keinginan pengambil keputusan.

4. Penentuan derajat kepentingan relatif dari setiap alternatif keputusan.

5. Pemeringkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan.

(Maarif, 2003)

Menurut Maarif (2003), formulasi perhitungan total nilai setiap pilihan keputusan adalah
sebagai berikut:

Rkij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i, yang dapat dinyatakan
dengan skala ordinal (1,2,3,4,5).

TKKj = derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot.

n = jumlah pemilihan keputusan

m = jumlah kriteria keputusan

Hal terpenting dalam penerapan MPE adalah penentuan derajat kepentingan/ bobot dari
setiap kriteria yang ditetapkan, karena akan mempengaruhi nilai akhir dari setiap pilihan keputusan.
Bobot memiliki sifat sebagai berikut.

0 <we = “bobot” e = “1,2,…,k” we = “1”>

Wk, artinya tujuan/ kriteria e lebih penting dari tujuan/ kriteria k. Ketika We = Wk, artinya tujuan/
kriteria e sama penting dari tujuan/ kriteria k.

Berikut ini adalah beberapa metode penentuan bobot.

1. Langsung

Artinya pemberian bobot bersifat subjektif, disini pemberian bobot oleh seseorang dilakukan
secara langsung tanpa melakukan perbandingan relatif terhadap kriteria lainnya. Biasanya
dilakukan oleh orang yang mengerti, paham, dan berpengalaman dalam menghadapi masalah
keputusan yang dihadapi.

2. Metode Eckenrode

Konsep ini adalah melakukan perubahan urutan menjadi nilai, dimana urutan 1 dengan tingkat
(nilai) tertinggi, urutan 2 dengan tingkat (nilai) dibawahnya, dan seterusnya.

27
Pemilihan jenis teknologi dan proses produksi didasarkan pada kemudahan proses produksi
dan prakiraan biaya produksi. Pemilihan mesin dan peralatan ditentukan berdasarkan teknologi dan
proses produksi yang dipilih. Neraca massa disusun untuk melihat laju alir, jumlah input, dan jumlah
output masing-masing komponen bahan pada setiap proses. Neraca energi disusun untuk melihat
kesetimbangan energi di setiap proses dan keseluruhan proses serta menghitung jumlah energi yang
dibutuhkan pada setiap proses dan keseluruhan proses.

Penentuan tata letak pabrik dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antar aktivitas,
kemudian menentukan kebutuhan luas ruang dan alokasi area. Untuk menganalisis keterkaitan antar
aktivitas, perlu ditentukan derajat hubungan aktivitas. Derajat hubungan aktivitas dapat diberi tanda
sandi sebagai berikut.

 A (absolutely necessary) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus saling berdekatan
dan bersebelahan.

 E (especially important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus bersebelahan.

 I (important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan cukup berdekatan.

 O (ordinary) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan tidak harus saling berdekatan.

 U (unimportant) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan bebas dan tidak saling mengikat.

 X (undesirable) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus saling berjauhan atau tidak
boleh saling berdekatan.

Sandi derajat hubungan aktivitas diletakkan pada bagian dalam kotak peta keterkaitan antar
aktivitas. Alasan-alasan yang mendukung kedekatan hubungan meliputi keterkaitan produksi,
keterkaitan pekerja, dan aliran informasi. Alasan keterkaitan produksi meliputi urutan aliran kerja,
penggunaan peralatan, catatan, dan ruang yang sama, kebisingan, kotor, debu, getaran, serta
kemudahan pemindahan barang. Alasan keterkaitan pekerja meliputi penggunaan karyawan yang
sama, pentingnya berhubungan, jalur perjalanan, kemudahan pengawasan, pelaksanaan pekerjaan
serupa, perpindahan pekerja, dan gangguan pekerja. Alasan informasi meliputi penggunaan catatan
yang sama, hubungan kertas kerja, dan penggunaan alat komunikasi yang sama (Apple,1990). Pada
peta keterkaitan antar aktivitas, alasan-alasan pendukung ini disesuaikan penempatannya dalam kotak
agar tidak tumpang tindih dengan kode derajat hubungan antar aktivitas.

Tahapan proses dalam merencanakan peta keterkaitan antar aktivitas adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi semua kegiatan penting dan kegiatan tambahan.

2. Membagi kegiatan tersebut ke dalam kelompok kegiatan produksi dan pelayanan.

3. Mengelompokkan data aliran bahan atau barang, informasi, pekerja, dan lainnya.

4. Menentukan faktor atau subfaktor mana yang menunjukkan keterkaitan (produksi, pekerja, dan
aliran informasi)

5. Mempersiapkan peta aliran aktivitas.

28
6. Memasukkan kegiatan yang sedang dianalisis ke sebelah kiri peta keterkaitan aktivitas.
Urutannya tidak mengikat, namun dapat juga diurutkan menurut logika ketergantungan kegiatan.

7. Memasukkan derajat hubungan antar aktivitas di dalam kotak yang tersedia.

Peta keterkaitan antar aktivitas yang telah dibuat kemudian diolah lebih lanjut menjadi
diagram keterkaitan antar aktivitas. Berikut ini tahapan proses pembuatan diagram keterkaitan antar
aktivitas.

1. Mendaftar semua kegiatan pada templet kegiatan diagram keterkaitan aktivitas.

2. Memasukkan nomor kegiatan dari peta keterkaitan aktivitas pada sisi pojok dan tengah setiap
templet kegiatan diagram keterkaitan aktivitas untuk menunjukkan derajat kedekatan antar
aktivitas.

3. Melanjutkan prosedur untuk setiap templet yang tersedia sampai keseluruhan kegiatan tercatat.

4. Menyusun model dalam sebuah diagram keterkaitan aktivitas, memasangkan yang A terlebih
dahulu, kemudian E, dan seterusnya.

5. Menggambarkan pola aliran sederhana.

Dari hasil lembar kerja diagram keterkaitan antar aktifitas yang telah dilakukan, kemudian
dilakukan pengalokasian aktifitas dengan menggunakan metode Total Closeness Rating (TCR), yang
dirumuskan sebagai berikut:

∑ ( )

Keterangan : V(rij) = Derajat hubungan aktifitas yang diberikan pada aktifitas i dan j

m = Jumlah aktifitas

Perancangan tata letak pabrik didasarkan atas diagram alir proses produksi dan diagram
keterkaitan aktifitas yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya tata letak pabrik disusun dengan
denah yang efektif dan efisien serta disesuaikan dengan lahan yang tersedia. Keefektifan dan
keefisienan perancangan pabrik ini diperoleh dari minimalnya jarak perpindahan bahan, keteraturan
tempat kerja, dan runutnya aliran proses.

Kebutuhan luas ruang produksi tergantung pada jumlah mesin dan peralatan, tenaga kerja
atau operator yang menangani fasilitas produksi, serta jumlah dan jenis sarana yang mendukung
kegiatan produksi.

c. Analisis Manajemen dan Organisasi

Kajian terhadap manajemen dan organisasi meliputi pemilihan bentuk perusahaan dan
struktur organisasi yang sesuai, kebutuhan tenaga kerja, deskripsi dan spesifikasi kerja, pola
rekruitmen, dan penjadwalan implementasi proyek. Alir analisis manajemen dan organisasi ini dapat
dilihat pada Gambar 3.4.

29
Mulai

Menentukan bentuk usaha yang dipilih

Menentukan struktur organisasi, deskripsi dan spesifikasi


kerja, dan kebutuhan tenaga kerja

Selesai

Gambar 3.4 Alir Analisis Manajemen dan Organisasi

d. Analisis Lingkungan dan Legalitas

Analisis lingkungan meliputi sejauh mana keadaan lingkungan yang dapat menunjang
perwujudan pendirian industri, terutama sumber daya yang diperlukan, seperti air, energi, manusia,
dan ancaman alam sekitar, serta analisis mengenai dampak lingkungan yang di timbulkan oleh
pendirian industri ini. Analisis legalitas meliputi mekanisme perizinan dan peraturan-peraturan yang
berlaku.

e. Analisis Finansial

Kriteria-kriteria yang digunakan dalam analisis finansial meliputi net present value, internal
rate of return, net benefit cost ratio, break even point, payback period, dan analisis sensitivitas.
Kriteria-kriteria ini digunakan untuk melihat kelayakan industri secara finansial.

30
IV. ANALISIS PASAR DAN PEMASARAN

Dalam menganalisis aspek pasar dan pemasaran, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, seperti kedudukan produk saat ini, komposisi dan perkembangan permintaan produk,
serta kemungkinan adanya persaingan. Pada saat memasuki pasar harus memperkirakan pasar
potensial agar sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara efektif. Pasar potensial adalah
sejumlah konsumen yang mempunyai kadar minat tertentu pada tawaran tertentu (Kotler, 2000).

Biskuit ikan termasuk dalam kategori pangan bergizi yang kandungan komponen aktifnya
dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat gizi yang
terkandung di dalamnya (Wildman & Kelley 2007). Oleh karena itu, konsumen produk biskuit ikan
terbagi berdasarkan status gizi bayi dan balita di seluruh Indonesia, serta daerah rawan bencana.

Produk utama yang diproduksi adalah biskuit ikan, sedangkan tepung mix yang dihasilkan
merupakan produk hasil pencampuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai yang
digunakan sebagai bahan baku pelengkap utama pembuatan biskuit ikan, serta sebagai pelengkap
bahan baku pembuatan kue dan makanan yang bernilai tambah cukup tinggi. Potensi pasar biskuit
ikan cukup besar karena pada saat ini tidak ada industri biskuit yang memproduksi biskuit ikan,
sedangkan permintaan akan makanan tambahan yang dapat meningkatkan gizi balita dalam waktu
relatif singkat sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan status gizi balita di Indonesia. Tentu saja
dengan harga yang terjangkau. Selain itu, biskuit ikan juga dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif pangan bantuan bencana, mengingat bahwa Indonesia merupakan wilayah negara yang
rawan terkena bencana alam.

A. Potensi Pasar

Biskuit ikan merupakan biskuit yang dihasilkan dari tepung mix, yaitu campuran antara
tepung ikan lele dan isolat protein kedelai yang mengandung protein tinggi dan sangat dibutuhkan
bagi balita yang menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Biskuit ikan tidak lagi hanya
sekedar makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut atau memberi
kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan menarik, namun juga mempertimbangkan
terhadap potensi aktifitas fisiologi komponen yang dikandungnya. Di lain pihak, tepung ikan lele
merupakan salah satu tepung pangan berbahan baku ikan segar. Mengingat bahwa keberadaan tepung
pangan berbahan baku ikan segar masih sangat jarang di Indonesia, kebanyakan tepung ikan yang
dihasilkan diperuntukan sebagai pakan ternak. Sampai saat ini tidak tersedia data pasti mengenai
kebutuhan dalam negeri, nilai ekspor, maupun impor tepung ikan untuk pangan sebab belum terdapat
industri yang mengolah ikan segar menjadi tepung ikan untuk pangan. Begitu pula untuk biskuit ikan
yang termasuk ke dalam kategori biskuit bergizi, karena kebanyakan biskuit yang dijual di pasaran
merupakan jenis biskuit konvensional yang lebih mengarah pada makanan ringan dan makanan
tambahan.

Oleh karena itu, untuk mengetahui potensi konsumsi biskuit ikan dan tepung mix yang akan
diproduksi dapat diperkirakan dari volume kebutuhan biskuit berdasarkan data jumlah balita berstatus
gizi kurang dan jumlah balita di daerah rawan bencana di Indonesia. Akan tetapi permintaan potensial

31
akan produk biskuit ikan sebenarnya akan jauh lebih besar dari perkiraan ini, terutama apabila
diketahui jumlah permintaan biskuit oleh konsumen dalam negeri. Kebutuhan akan biskuit ikan di
Indonesia didekati dengan menggunakan data laporan nasional riset kesehatan dasar akan status gizi
bayi dan balita tahun 2010, pemetaan daerah rawan bencana di Indonesia, serta persentase rata-rata
jumlah balita yang menjadi korban bencana alam selama ini.

1. Pasar Balita Berstatus Gizi Buruk dan Kurang

Status gizi balita Indonesia dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat
badan dan panjang/tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh tim survei Riskesdas di beberapa daerah
yang telah mulai dilakukan sejak bulan Juni 2010 dan berakhir pada tanggal 8 Agustus 2010 sampel
yang terkumpul datanya adalah sekitar 96,5% dari 2.800 dan siap untuk dianalisis. Hasil analisis
menunjukkan bahwa prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara
nasional adalah sebesar 17,9% diantaranya 4,9% yang gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang
menurut provinsi yang tertinggi adalah Propinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Propinsi Sulut
(10,6%). Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6%,
dengan rentang 22,5% (DI Yogyakarta) sampai 58,4% (NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara
nasional adalah sebesar 13,3%, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah
adalah Bangka Belitung (7,6%). Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi (BB/U, TB/U dan
BB/TB) dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010

BB/U TB/U BB/TB


PROPINSI GIZI BURUK PENDEK KURUS
& KURANG (%) (%)
(%)
2007 2010 2007 2010 2007 2010
1. Nanggroe Aceh Darussalam 26,5 23,7 44,6 38,9 18,3 14,2
2. Sumatera Utara 22,8 21,4 43,1 42,3 17,0 14,0
3. Sumatera Barat 20,2 17,1 36,5 32,8 15,3 8,2
4. R i a u 21,4 16,2 33,0 32,2 22,1 17,2
5. Jambi 18,9 19,6 36,4 30,2 19,2 20,0
6. Sumatera Selatan 18,3 19,9 44,7 40,4 15,8 14,6
7. Bengkulu 16,8 15,3 36,0 31,6 14,1 17,8
8. Lampung 17,5 13,4 38,7 36,3 13,7 13,9
9. Bangka Belitung 18,3 14,9 35,5 29,0 10,8 7,6
10. Kepulauan Riau 12,4 14,0 26,2 26,9 13,5 7,9
11. DKI Jakarta 12,9 11,3 26,7 26,6 16,9 11,3
12. Jawa Barat 15,0 13,0 35,5 33,6 9,0 11,0
13. Jawa Tengah 16,1 15,7 36,5 33,9 11,8 14,2
14. DI Yogyakarta 10,9 11,2 27,6 22,5 9,0 9,1
15. Jawa Timur 17,5 17,1 34,8 35,9 13,7 14,2
16. Banten 16,7 18,5 39,0 33,5 14,1 14,1

32
Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010 (Lanjutan)

BB/U TB/U BB/TB


PROPINSI GIZI BURUK PENDEK KURUS
&KURANG (%) (%)
(%)
2007 2010 2007 2010 2007 2010
17. B a l i 11,4 11,0 31,0 29,3 10,0 13,2
18. Nusa Tenggara Barat 24,8 30,5 43,7 48,2 15,5 14,0
19. Nusa Tenggara Timur 33,6 29,4 46,8 58,4 20,0 13,2
20. Kalimantan Barat 22,5 29,1 39,3 39,7 17,3 16,7
21. Kalimantan Tengah 24,3 27,6 42,7 39,6 16,9 15,6
22. Kalimantan Selatan 26,6 22,9 41,8 35,3 16,3 15,6
23. Kalimantan Timur 19,3 17,1 35,2 29,1 15,9 12,9
24. Sulawesi Utara 15,7 10,6 31,2 27,8 10,2 9,2
25. Sulawesi Tengah 27,6 26,5 40,4 36,2 15,5 14,8
26. Sulawesi Selatan 17,6 25,0 29,1 38,9 13,7 12,0
27. Sulawesi Tenggara 22,8 22,8 40,5 37,8 14,7 15,8
28. Gorontalo 25,4 26,5 39,9 40,3 16,6 11,9
29. Sulawesi Barat 25,4 20,5 44,5 41,6 16,8 16,7
30. Maluku 27,8 26,2 45,8 37,5 17,2 13,2
31. Maluku Utara 22,8 23,6 40,2 29,4 14,8 17,8
32. Papua Barat 23,1 26,5 39,4 49,2 16,4 11,4
33. P a p u a 21,3 16,2 37,7 28,3 12,4 13,8
INDONESIA 18,4 17,9 36,8 35,6 13,6 13,3
Sumber: Riskesdas (2010)

Secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan kurang menurun sebanyak 0,5 % yaitu dari
18,4 % pada tahun 2007 menjadi 17,9 % pada tahun 2010. Demikian pula halnya dengan prevalensi
balita pendek yang menurun sebanyak 1,2 % yaitu dari 36,8 % pada tahun 2007 menjadi 35,6 % pada
tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3 % yaitu dari 13,6 % pada tahun 2007
menjadi 13,3 % pada tahun 2010. Untuk lebih jelasnya komposisi prevalensi balita gizi kurang dan
gizi buruk (BB/U) menurut provinsi tahun 2010 disajikan pada Tabel 4.2.

33
Tabel 4.2 Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010

Status Gizi BB/U (%)


Propinsi
Gizi Gizi Buruk+
Gizi buruk
kurang Gizi Kurang
1. Nanggroe Aceh Darussalam 7,1 16,6 23,7
2. Sumatera Utara 7,8 13,5 21,4
3. Sumatera Barat 2,8 14,4 17,1
4. R i a u 4,8 11,4 16,2
5. Jambi 5,4 14,3 19,6
6. Sumatera Selatan 5,5 14,4 19,9
7. Bengkulu 4,3 11,0 15,3
8. Lampung 3,5 10,0 13,4
9. Bangka Belitung 3,2 11,7 14,9
10. Kepulauan Riau 4,3 9,8 14,0
11. DKI Jakarta 2,6 8,7 11,3
12. Jawa Barat 3,1 9,9 13,0
13. Jawa Tengah 3,3 12,4 15,7
14. DI Yogyakarta 1,4 9,9 11,2
15. Jawa Timur 4,8 12,3 17,1
16. Banten 4,8 13,7 18,5
17. B a l i 1,7 9,2 11,0
18. Nusa Tenggara Barat 10,6 19,9 30,5
19. Nusa Tenggara Timur 9,0 20,4 29,4
20. Kalimantan Barat 9,5 19,7 29,1
21. Kalimantan Tengah 5,3 22,3 27,6
22. Kalimantan Selatan 6,0 16,8 22,9
23. Kalimantan Timur 4,4 12,7 17,1
24. Sulawesi Utara 3,8 6,8 10,6
25. Sulawesi Tengah 7,9 18,6 26,5
26. Sulawesi Selatan 6,4 18,6 25,0
27. Sulawesi Tenggara 6,5 16,3 22,8
28. Gorontalo 11,2 15,3 26,5
29. Sulawesi Barat 7,6 12,9 20,5
30. Maluku 8,4 17,8 26,2
31. Maluku Utara 5,7 17,9 23,6
32. Papua Barat 9,1 17,4 26,5
33. P a p u a 6,3 10,0 16,2
(%) 4,9 13,0 17,9
INDONESIA (Jiwa)1,097,459 2,911,627 4,009,086

Sumber: Riskesdas (2010)

34
Terdapat perbedaan perkembangan prevalensi balita gizi buruk dan kurang, balita pendek dan
balita kurus dari tahun 2007 ke 2010 antara daerah kota dan desa. Di daerah kota secara umum terjadi
penurunan prevalensi balita gizi buruk dan kurang, balita pendek dan balita kurus. Di daerah desa
tidak terjadi penurunan prevalensi. Di daerah kota prevalensi balita gizi Burkur menurun dari 15,9 %
tahun 2007 menjadi 15,2 % tahun 2010 (Gambar 4.1), prevalensi balita pendek turun dari 32,7 %
tahun 2007 menjadi 31,4 % tahun 2010 (Gambar 4.2), dan prevalensi balita kurus turun dari 13,1 %
tahun 2007 menjadi 12,5 % tahun 2010 (Gambar 4.3).

Gambar 4.1 Pravelensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Menurut Indikator BB/U di Daerah Desa
dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010
Sumber: Riskesdas (2010)

Gambar 4.2 Pravelensi Balita Gizi Pendek dan Sangat Pendek Menurut Indikator TB/U di Daerah
Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010
(Sumber: Riskesdas 2010)

35
Gambar 4.3 Pravelensi Balita Gizi Kurus dan Sangat Kurus Menurut Indikator BB/TB di Daerah Desa
dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010
(Sumber: Riskesdas 2010)

Hasil Riskesdas 2010 juga menunjukan bahwa 40,6% penduduk mengkonsumsi makanan
dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan
tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4% balita mengkonsumsi makanan dibawah
kebutuhan minimal. Sementara itu proporsi penduduk tertinggi dengan konsumsi < 70% AKG adalah
NTB (46,6%), dan terendah adalah provinsi Bengkulu (23,7%).

Berdasarkan data persentase status gizi balita yang disajikan pada Tabel 4.2 di atas
permintaan pasar akan biskuit ikan yang dibutuhkan oleh seluruh balita yang mengalami gizi kurang
bernilai cukup besar. Pasar potensial berdasarkan status gizi balita yang dijadikan sasaran pasar
biskuit ikan adalah kategori balita di atas dengan memperhatikan jumlah dan penyebaran balita
dengan status gizi kurang di Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Riskesdas 2010,
terdapat 13% balita gizi kurang yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Jumlah balita Indonesia
berumur satu hingga lima tahun pada 2009, yaitu sejumlah 22.109.704 jiwa, dengan peningkatan
sebesar 1,3% pada tahun 2010 diperkirakan jumlahnya menjadi 22.397.130 jiwa (Data Statistik
Indonesia, 2009). Sehingga didapatkan balita bergizi kurang di Indonesia sebesar 2.911.627 jiwa.
Apabila diperkirakan nilai dari pangsa pasar adalah sebesar 0,28% dari jumlah balita bergizi kurang di
Indonesia, maka jumlah balita gizi kurang yang harus ditingkatkan status gizinya berjumlah 8.153
jiwa.

2. Balita Korban Bencana

Berbagai daerah di Indonesia merupakan titik rawan bencana, terutama bencana gempa bumi,
tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi. Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia,
lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik yang sewaktu-waktu lempeng ini dapat bergeser patah
dan menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat
menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.

Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan
rawan gempa dan tsunami. Di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung,
Banten, Jateng dan DIY bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB dan NTT. Kemudian Sulut,

36
Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan
Kaltim.

Namun sangat disayangkan, dari berbagai bencana alam yang menimpah Indonesia data
jumlah balita yang menjadi korban tidak tersedia secara riil dan lengkap. Seperti bencana tsunami
yang melanda Aceh 2004 lalu, menurut petugas Lembaga Informasi Nasional (LIN) diperkirakan
jumlah balita yang berada di seluruh tempat pengungsian sekitar 1/8 (12.5%) dari total seluruh
pengungsi yang berjumlah melebihi 400,000 jiwa. Bahkan, Badan Kordinasi Nasional (Bakornas)
Penanggulangan Bencana Aceh tidak memiliki data resmi yang dapat menunjukkan jumlah balita di
antara ratusan ribu pengungsi yang ada. Semua balita yang ada membutuhkan makanan pendamping
untuk perbaikan gizi selama berada di tempat pengungsian selain susu dan makanan pokok.

Selain digunakan sebagai makanan pendamping untuk meningkatkan gizi balita, produk
biskuit ikan ini dapat digunakan sebagai bantuan makanan untuk peningkatan gizi balita di tempat
pengungsian. Karena bentuk biskuit yang ringkas, ringan, langsung makan, dan juga mengenyangkan,
biskuit merupakan salah satu andalan pangan yang diberikan kepada korban bencana terutama balita.
Dengan melihat kandungan gizi per takaran penyajian, biskuit ikan sudah dapat memenuhi syarat
pangan bantuan bencana.

Kebutuhan pasar akan biskuit ikan yang dibutuhkan oleh seluruh balita yang menjadi korban
bencana bernilai cukup besar. Berdasarkan data perkiraan jumlah korban bencana tsunami Aceh 2004,
balita yang ikut menjadi korban berjumlah lebih dari 50,000 jiwa. Namun, pangsa pasar berdasarkan
jumlah balita korban bencana tidaklah dapat dipastikan, karena diharapkan tidak terjadi bencana alam
di Indonesia. Oleh karena itu, perkirakan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana alam
adalah sebesar 1% dari jumlah balita korban bencana tsunami Aceh 2004, yaitu sebesar 500 jiwa
balita.

Berdasarkan data persentase status gizi balita serta jumlah balita yang rawan menjadi korban
bencana alam, permintaan pasar akan biskuit ikan dianggap cukup besar dan dibutuhkan oleh seluruh
balita yang mengalami gizi kurang dan balita yang berada di daerah rawan bencana alam. Pangsa
pasar yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kedua kategori balita di atas dengan
memperhatikan jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang dan buruk, serta pemetaan
daerah rawan bencana di Indonesia. Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total
biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita yang didasari
atas data jumlah status gizi balita buruk sebesar 8.153 jiwa dan jumlah balita rawan korban bencana
alam sebesar 500 jiwa.

Kebutuhan biskuit ikan yang cukup besar di berbagai daerah di Indonesia memberikan
peluang besar untuk pengembangan produk tersebut. Dalam usaha peningkatan status gizi balita,
biskuit ikan dapat digunakan sebagai makanan pendamping yang tinggi akan protein dan berfungsi
untuk mencukupi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mervina
(2009), biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai, berdasarkan hasil proksimat
dan perhitungan energi, per 50 gram diperoleh kandungan zat gizi per takaran penyajian yang
disajikan pada Tabel 4.3.

37
Tabel 4.3 Kandungan Zat Gizi dan Energi per Takaran Penyajian (50 gram)

Energi dan Zat Gizi Jumlah per Sajian (gram)

Energi (kkal) 240


Protein (gram) 9.8
Karbohidrat (gram) 26.9
Lemak (gram) 10.6

Sumber: Mervina (2009)

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk dapat meningkatkan status gizi balita secara
maksimal diperkirakan setiap balita harus mengkonsumsi biskuit ikan sebanyak 4 keping/bungkus
selama 90 hari. Itu artinya, jumlah biskuit ikan untuk dapat memenuhi kebutuhan 8.653 jiwa balita per
tahun yang terhitung dalam potensi pasar selama kurun waktu 90 hari adalah sebanyak 3.115.080
keping biskuit/ tahun yang terbagi menjadi 778.770 bungkus/ tahun. Untuk membuat seluruh jumlah
kebutuhan biskuit tersebut maka diperlukan tepung daging ikan lele, tepung kepala ikan lele, dan
isolat protein kedelai yang cukup banyak. Dalam pembuatan 60 keping biskuit diperlukan takaran satu
adonan yang terdiri dari 35 gram tepung daging ikan lele, 15 gram tepung kepala ikan lele, dan 100
gram isolat protein kedelai, serta 850 gram bahan lainnya (tepung terigu, margarin, gula halus, baking
soda, susu, mentega, dan soda kue). Sehingga untuk membuat 3.115.080 keping biskuit/ tahun
diperlukan tepung daging ikan lele sebanyak 1.817 kg/ tahun, tepung kepala ikan lele sebanyak 779
kg/ tahun, dan 5.192 kg isolat protein kedelai/ tahun. Jumlah ini hanyalah sebesar kebutuhan pasar
potensial utama, namun karena keterbatasan data konsumsi biskuit balita maka pada perhitungan tidak
dimasukkan, hal ini berarti permintaan potensial sebenarnya jauh lebih besar dari nilai yang
diperkirakan. Untuk lebih jelasnya perhitungan akan kebutuhan biskuit ikan dan tepung mix yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Perkiraan Perhitungan Kebutuhan Biskuit Ikan dan Tepung Mix

Perkiraan Kebutuhan
Jumlah Balita Isolat Protein
Biskuit Ikan Tepung Daging Tepung Kepala
(Jiwa) Kedelai
(keping biskuit) (kg) (kg)
(kg)
8.653/ Tahun 3.115.080/ tahun 1.817/ tahun 779/ tahun 5.192/ tahun

Pemenuhan akan seluruh kebutuhan biskuit ikan untuk 8.653 jiwa balita dilakukan dalam
kurun waktu setahun dengan pemberian biskuit selama 90 hari. Jadi pemenuhan biskuit untuk seluruh
balita tersebut dilakukan secara bergiliran.

Disamping itu, dengan penambahan probiotik di dalam biskuit ikan ini dapat mengubah
kategori biskuit dari pangan bergizi menjadi pangan fungsional dapat menjadikan peningkatan status
gizi balita lebih cepat karena mengandung probiotik yang merupakan suplemen pangan berupa
mikroba hidup yang dapat memberi pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan dan kehidupan
inangnya (Salminen et al, 2004).

38
Dikaji dari jumlah kebutuhan yang potensial akan biskuit ikan dan tepung mix yang cukup
tinggi, maka peluang untuk mendirikan industri ini diduga cukup prospektif, terutama ditelaah dari
besarnya angka status gizi kurang dan jumlah balita di daerah rawan bencana di Indonesia. Hal ini
mendukung pendirian industri biskuit berbasis tepung ikan lele dan isolat protein kedelai untuk
menjadi salah satu bahan pangan bergizi yang digunakan dalam peningkatan gizi balita Indonesia.

B. Analisis Persaingan

Bila diamati akhir-akhir ini, banyak sekali industri biskuit yang menawarkan produk ataupun
merek baru baik lokal maupun impor bagi segmen balita, anak-anak maupun remaja. Dengan banyak
bermunculan perusahaan baru di industri biskuit maka makin memperketat persaingan pasar yang
telah terjadi sebelumnya sehingga diharapkan para ‘pemain baru’ ini mampu bersaing dengan industri
biskuit yang sejenis agar mendapat tempat di hati konsumen. Salah satu pembagian jenis biskuit yang
tersedia di pasar adalah berdasarkan usia pengguna, yaitu balita usia enam bulan hingga lima tahun.
Peruntukan biskuit balita ini adalah sebagai makanan pendamping asi. Biskuit yang diberikan adalah
biskuit yang memang ditujukan untuk balita berusia enam hingga lima tahun yang mengandung zat
gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan vitamin karena balita pada usia tersebut memang
memerlukan makanan tambahan pendamping asi dengan kandungan zat gizi yang memang diperlukan
dalam tahap tumbuh kembang balita. Beberapa contoh biskuit balita beserta detail keterangannya
dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Biskuit Balita dan Detail Keterangannya

Harga/ Komposisi
Jumlah/ Kemasan Berat Bersih
Nama Biskuit Kemasan Protein Gambar Kemasan
(keping) (gr)
(Rp) (% AKG)

Farley Classic 12 120 8.900 9

Toddler 15 120 11.900 5

Milna 12 130 10.900 10

SUN 24 130 7.900 10

Biskuit balita yang ditawarkan kepada para konsumen cukup banyak jenis dan mereknya,
seperti Milna, Toddler, Farley, Sun dan masih banyak lagi. Biskuit balita, seperti Farley, Toddler, dan
Milna memiliki kemasan berupa karton dengan gambar yang menarik di depannya, sedangkan biskuit
Sun merupakan biskuit bayi jenis marie dengan kemasan plastik LDPE nilon. Takaran per sajian
biskuit bayi ini antara 2 hingga 4 keping dengan massa berkisar antara 20-23 gram. Berdasarkan

39
persen AKG, biskuit balita yang banyak tersedia di pasaran memiliki komposisi protein paling tinggi
sebesar 10%.

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan di Giant Supermarket Botani Square
Bogor, menunjukkan bahwa merek biskuit balita yang biasa dibeli oleh konsumen (ibu balita) adalah
biskuit balita Farley jenis classic. Alasan konsumen yang paling utama dalam membeli biskuit Farley
Classic adalah karena teksturnya yang lembut dan langsung cair apabila terkena air liur, sehingga
tidak membahayakan balita yang belum mempunyai gigi. Media informasi yang paling berpengaruh
yang menjadi sarana konsumen dalam mengenal dan mengetahui produk biskuit adalah melalui media
mouth to mouth.

Melihat salah satu kenyataan yang terjadi di pasar, biskuit balita Farley Classic merupakan
biskuit yang mendominasi pasar konsumen menengah ke atas. Sehingga dapat dikatakan pesaing
utama biskuit ikan untuk kalangan konsumen menengah ke atas adalah biskuit Farley Classic. Namun
sangat disayangkan ketidaktersediaan biskuit balita untuk konsumen menengah ke bawah, biasanya
konsumen kalangan ini mendapatkan biskuit makanan pendamping asi yang berasal dari posyandu
ataupun para ibu dari kalangan ini biasa memberikan balita mereka bubur hasil buatan sendiri. Biskuit
yang diberikan oleh posyandu hanya berupa biskuit susu yang tinggi kandungan karbohidrat. Untuk
itu, biskuit ikan yang kaya protein sangat cocok untuk diberikan pada balita dari kalangan menengah
ke bawah. Selain itu, pesaingnya juga tidak sebanyak dan sekuat biskuit untuk kalangan menengah ke
atas. Di lain pihak, biskuit ikan belum memiliki pesaing yang benar-benar sejenis, dalam artian belum
ada biskuit balita yang terbuat dari tepung ikan.

Pesaing terdekat dari biskuit ikan adalah biskuit WFP. Biskuit WFP merupakan biskuit yang
diproduksi oleh PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk yang menjalin kerjasama dengan United Nations
Word Food Programe (WFP) dalam produksi biskuit. Biskuit yang dihasilkan oleh PT. TPS atau biasa
disebut dengan biskuit WFP tidak untuk dijual, karena biskuit WFP merupakan program bantuan
perbaikan gizi balita dan anak sekolah dasar. Biskuit WFP disumbangkan bagi anak-anak Sekolah
Dasar (SD) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan daerah tujuan seperti Makasar,
Medan,Surabaya, Jakarta, Kupang dan Aceh. Biskuit WFP ini dilengkapi atau difortifikasi dengan 9
vitamin dan 5 mineral. Biskuit yang diproduksi PT. TPS termasuk biskuit keras yang mengandung
70% tepung terigu, sehingga biskuit WFP yang dihasilkan memiliki rasa manis susu gurih, aroma khas
milk, bentuk persegi empat dengan tulisan WFP, warna kuning kecoklatan, kadar air 1,8-5%. Berat
biskuit tiap pack dengan standart 50 gr (Endah Yulianingsih, 2007).

Biskuit ikan dan biskuit WFP memiliki tujuan utama yang sama, yaitu untuk memperbaiki
gizi balita Indonesia. Namun, kandungan yang terdapat dalam biskuit ikan sangat berbeda dengan
kandungan yang terdapat dalam biskuit WFP. Biskuit WFP merupakan biskuit yang kaya akan
karbohidrat, karena mengandung 70% tepung terigu yang memang lebih banyak mengandung
karbohidrat dibandingkan protein. Sedangkan untuk meningkatkan status gizi balita zat gizi proteinlah
yang lebih diperlukan daripada karbohidrat, seperti protein yang terkandung dalam biskuit ikan, yaitu
sebesar 25% berdasarkan AKG. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa biskuit ikan masih
mempunyai peluang pasar yang cukup besar untuk memasuki pangsa pasar makanan bantuan
perbaikan gizi balita Indonesia.

40
C. Strategi Pemasaran

Faktor yang menentukan dalam pencapaian keberhasilan suatu industri adalah kemampuan
industri tersebut memenuhi kebutuhan konsumen melalui pemasaran produk yang dilakukan oleh
industri yang bersangkutan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut diperlukan suatu strategi yang tepat
dalam memasarkan produk biskuit ikan dan tepung mix. Industri biskuit berbasis tepung mix
memerlukan strategi pemasaran dan bauran pemasaran yang tepat.

Pemasaran produk difokuskan pada daerah-daerah dengan tingkat status gizi balita kurang
yang tinggi. Secara lebih spesifik, strategi pemasaran yang akan dilakukan pada tahap awal meliputi:

1. Segmentasi

Segmentasi pasar adalah usaha pemisahan pasar pada kelompok-kelompok pembeli menurut
jenis-jenis produk tertentu dan yang memerlukan bauran pemasaran tersendiri. Perusahaan
menetapkan berbagai cara yang berbeda dalam memisahkan pasar tersebut, kemudian
mengembangkan profil-profil yang ada pada setiap segmen pasar, dan penentuan daya tarik masing-
masing segmen.

Segmentasi pasar produk biskuit ikan dibedakan berdasarakan demografis dan kelas sosial,
sedangkan tepung mix dibedakan berdasarkan jenis industri pengguna. Secara lebih lengkap,
segmentasi pasar biskuit ikan dan tepung mix akan dijelaskan berikut ini.

a. Segementasi Pasar Makanan Pendamping ASI

Makanan pendamping Air Susu Ibu (ASI) atau yang biasa dikenal sebagai makanan bayi
terbagi ke dalam dua kategori utama, yaitu biskuit dan bubur. Bubur yang diperuntukan untuk bayi
berupa bubur instant dengan berbagai rasa dan juga terbagi ke dalam kategori umur bayi, mulai dari
enam bulan hingga dua tahun. Sedangkan biskuit hanya dibedakan berdasarkan rasanya, karena
biskuit yang digunakan sebagai makanan pendamping asi tidaklah dibedakan berdasarkan umur.
Balita yang dapat mengkonsumsi biskuit adalah bayi dan balita yang sudah memliki gigi atau bayi
minimum berusia enam bulan dengan cara mencairkan biskuit di dalam susu. Biskuit bayi yang
banyak tersedia di pasar merupakan biskuit konvensional dengan harga jual rata-rata cukup tinggi
yang hanya bisa dijangkau oleh konsumen dengan pendapatan menengah ke atas. Sedangkan balita
dari kalangan bawah yang memang sangat membutuhkan makanan pendamping asi tidaklah mampu
untuk mengkonsumsi biskuit balita yang berharga cukup mahal bagi mereka.

Segmen pasar biskuit ikan berdasarkan demografis ditujukan pada balita dengan usia satu
hingga lima tahun yang memang membutuhkan makanan pendamping asi dengan zat gizi yang
memenuhi syarat AKG. Balita yang membutuhkan biskuit ikan adalah seluruh balita dengan status
gizi, mulai dari gizi baik maupun kurang. Balita dengan status gizi baik mengkonsumsi biskuit ikan
sebagai makanan tambahan alternatif dari yang sudah tersedia di pasaran, sedangkan balita dengan
status gizi kurang menggunakan biskuit ikan sebagai makanan tambahan utama yang dapat
meningkatkan status gizi mereka dengan waktu yang relatif singkat.

Selain berdasarkan faktor demografis, segmen pasar biskuit ikan juga berdasarkan faktor
geografis, yaitu berdasarkan persentase penyebaran jumlah balita dengan status gizi kurang dan buruk
di seluruh propinsi di Indonesia, seperti di wilayah Jawa barat, NTB, dan NTT yang memiliki status
gizi kurang dan buruk mencapai angka di atas 19%, yaitu berjumlah lebih dari 3.000 balita.

41
b. Segmentasi Pasar Makanan Bencana

Saat terjadi bencana alam sering kali para korban mendapat bantuan mi instan. Padahal,
dalam kondisi darurat, makanan ini tidak praktis dan sangat merepotkan. Selain dibutuhkan air bersih
untuk memasaknya, korban juga membutuhkan kompor yang belum tentu tersedia. Menurut Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diperlukan makanan darurat yang praktis, tetapi bergizi
dan memenuhi kebutuhan pangan korban bencana alam. Makanan darurat ini menjadi sumber
karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam. Terdapat sedikitnya tujuh makanan utama yang
diperlukan saat terjadinya bencana, antara lain:

1). Air

Air merupakan zat terpenting di dalam setiap tubuh manusia. Manusia dapat bertahan tanpa
makan, namun tidak tanpa minum. Disamping itu, kehadiran air juga sangat berguna untuk keperluan
lain seperti mandi, memasak dan mencuci.

2). Biskuit

Biskuit merupakan salah satu makanan yang sangat berguna setiap saat. Tidak hanya pada
saat bencana, di situasi apapun biskuit yang mengandung lemak dan karbohidrat tentunya dapat
mengisi perut yang lapar.

3). Kacang-kacangan

Kacang merupakan sumber karbohidrat yang penting untuk menambah energi pada tubuh.
Selain untuk menambah energi, kacang juga merupakan camilan dan makanan yang sehat untuk
tubuh.

4). Makanan kaleng

Ikan, daging, sayuran yang dikemas dalam kaleng tentu memiliki waktu kadaluarsa yang
lama. Memberikan makanan kaleng bagi para korban bencana merupakan langkah tepat karena
makanan kaleng banyak mengandung protein dan lemak yang dapat memberi sumber tenaga bagi
tubuh.

5). Susu bubuk

Susu merupakan minuman yang kaya akan kalsium dan vitamin D bagi tubuh. Selain itu,
susu yang memiliki rasa manis juga merupakan minuman yang dapat membuat perut kenyang karena
juga banyak mengandung lemak dan protein.

6). Multivitamin

Multivitamin berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh saat mengalami suatu
bencana.Vitamin dapat berfungsi sebagai pengganti nutrisi yang terkandung di dalam makanan.

42
7). Selai kacang

Kacang merupakan salah satu sumber energi bagi tubuh. Kacang banyak mengandung lemak
dan karbohidrat yang tentunya dapat membuat perut terasa kenyang dan menjadikan sumber energi.
Tentu selai kacang merupakan makanan yang memiliki waktu kadaluarsa yang lama.

Dalam konteks penanganan bencana, pemberian bantuan berupa makanan untuk bayi dan
balita tidak bisa dilakukan dengan sembarangan agar bantuan yang akan kita berikan dengan niat baik,
tidak berubah menjadi sumber permasalahan baru bagi korban yang selamat. Biasanya bahan makanan
yang diberikan untuk bayi dan balita korban bencana berupa susu formula dan biskuit. Biskuit yang
diberikan pada para balita ini adalah biskuit khusus untuk usia bawah lima tahun. Namun sangat
disayangkan, kebanyakan pemberian biskuit balita ini berasal dari pemerintah setempat, bukan dari
perusahaan penghasil biskuit balita ataupun donatur. Hal ini terjadi karena para donatur tidak
membedakan jenis biskuit yang mereka sumbangkan. Sehingga sering ditemui kurangnya pasokan
bahan pangan untuk balita.

2. Penetapan Target

Setelah proses segmentasi pasar selesai dilakukan, maka dapat diketahui beberapa segmen
yang dianggap potensial untuk dimasuki. Secara umum, penetapan pasar dilakukan dengan
mengevalusi kelebihan setiap segmen, kemudian dilakukan penentuan target pasar yang akan dilayani.
Targetting adalah suatu tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki. Target
pasar dari produk biskuit ikan dan tepung mix dijelaskan sebagai berikut.

Target pasar produk biskuit ikan adalah balita dengan status gizi kurang dan balita yang
terkena bencana alam di Indonesia, sedangkan target pasar tepung mix adalah industri biskuit dan
industri bakery. Namun, segmen pasar lain yang potensial menggunakan tepung mix akan dilayani
dengan persentase lebih kecil dibanding pasar utama.

a. Target Pasar Makanan Pendamping ASI

Target pasar produk biskuit ikan sebagai makanan pendamping asi ditentukan dari jumlah
status gizi balita kurang dan buruk yang memiliki persentase paling tinggi, yaitu NTB, NTT, dan Jawa
Barat. Berdasarkan evaluasi pada tiap segmen pasar serta kemudahan distribusi, segmen pasar wilayah
Jawa Barat merupakan wilayah yang mempunyai nilai tertinggi dari segi volume potensial kebutuhan
biskuit ikan karena wilayah Jawa Barat merupakan wilayah dengan kabupaten terbanyak yang
memiliki cukup banyak penduduk berusia balita dengan status gizi kurang sebesar 9,9% atau 1.468
balita serta wilayah terdekat dari tempat dihasilkannya biskuit ikan tersebut. Selain itu, pemilihan
wilayah Jawa Barat sebagai target pasar biskuit ikan dikarenakan pemerintah daerah Jawa Barat
sangatlah peduli terhadap status gizi balita di wilayahnya dengan menggalakan program Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) untuk balita gizi kurang dan buruk. Oleh karena itu, pasar wilayah Jawa
Barat merupakan pasar yang memberikan nilai tertinggi dibandingkan pasar lainnya, sehingga
menjadikan target utama pasar yang akan dilayani, namun segmen pasar lainnya pun akan dilayani,
tetapi bukan sebagai segmen utama.

43
b. Target Pasar Makanan Bencana

Sama halnya dengan penentuan target pasar makanan pendamping asi, penentuan pasar
makanan bencana juga dikaji dari segmen pasar yang memiliki nilai tertinggi baik dari segi kebutuhan
pasar, nilai tambah yang dihasilkan, dan perkembangan di masa yang akan datang. Berdasarkan dari
evaluasi pada setiap segmen, target pasar makanan bencana yang dibidik adalah kebutuhan biskuit
balita kaya protein yang khusus ditujukan untuk balita korban bencana. Biskuit balita untuk
penanganan bencana adalah segmen utama yang dilayani, namun tidak menutup kemungkinan segmen
lain pun akan dilayani menyesuaikan dengan kapasitas produksi yang dimiliki.

3. Positioning

Salah satu elemen penting dari strategi pemasaran adalah positioning, yaitu bagaimana
menempatkan keunggulan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan menempatkan
keunggulan di benak konsumen, hal ini akan menumbuhkan kepuasan konsumen sekaligus akan
membedakan produk dari para pesaing di benak target pasar. Jika diamati pada keadaan pasar, produk
biskuit ikan dan tepung mix (campuran tepung ikan lele dan isolat protein kedelai) masih sangat
jarang ditemukan terutama di kalangan produsen dalam negeri, sehingga masih sangat potensial untuk
dikembangkan. Namun perlu diperhatikan saat ini pesaing biskuit ikan adalah biskuit balita yang telah
dahulu berada di pasaran, sedangkan pesaing tepung mix ini adalah tepung yang juga berasal dari
bahan baku dalam negeri, seperti tepung jagung dan tepung singkong. Selain itu, pesaing muncul dari
industri yang menghasilkan produk yang dapat disubstitusi oleh biskuit ikan dan tepung mix.

Melalui kegiatan positioning, perusahaan harus mampu membentuk citra produk unggulan
dimana persepsi konsumen terhadap biskuit ikan dan tepung mix yang diproduksi sebagai produk
yang lebih unggul dibanding dengan produk pesaing dengan kualitas yang dapat dipercaya. Elemen
positioning yang dimiliki oleh biskuit ikan dan tepung mix adalah elemen benefit positioning. Benefit
positioning dari biskuit ikan dan tepung mix adalah produk dibuat sesuai dengan kebutuhan konsumen
yang memang memerlukan gizi tinggi untuk meningkatkan status gizi mereka. Biskuit ikan terbuat
dari tepung mix, campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai, yang menjadikan
biskuit ikan menjadi biskuit berbahan baku pelengkap hewani pertama di Indonesia. Benefit positiong
biskuit ikan berupa kandungan zat gizi yang terkandung di dalamnya, yaitu kandungan protein sebesar
25% per takaran penyajian berdasarkan persen Angka Kecukupan Gizi (AKG), sehingga dapat
dikatakan bahwa biskuit ikan merupakan biskuit berprotein tinggi. Selain benefit positioning, biskuit
ikan juga memiliki atribut positioning berupa nama, yaitu biskuit ikan karena saat ini belum ada
biskuit ikan lain di Indonesia selain biskuit ikan yang berasal dari tepung ikan lele dumbo yang
menjadi pelopor biskuit berbahan baku hewani di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan dengan
pemberian nama biskuit ikan, semua konsumen akan mengingat biskuit ikan lele dumbo apabila
mendengar sebutan biskuit ikan.

Positioning dari biskuit ikan dan tepung mix lebih mengutamakan kualitas, manfaat, dan
spesifikasi tersandar dari kebutuhan konsumen tersebut, karena pengguna merupakan balita usia satu
hingga lima tahun yang berstatus gizi kurang dan buruk dengan harapan dapat meningkatkan status
gizi mereka dalam waktu yang cukup singkat. Oleh karena itu, positioning dari biskuit ikan dan
tepung mix adalah barang berkualitas dengan tingkat manfaat dan kegunaan yang tinggi. Berbeda
dengan positioning dari pesaing biskuit ikan, yaitu berupa biskuit balita konvensional yang lebih
menonjolkan kegunaan biskuit balita sebagai makanan pendamping asi sekaligus mengenalkan balita
terhadap makanan padat pertamanya. Sehingga kebanyakan biskuit yang dibuat mengandung susu

44
dalam komposisi besar dan menghasilkan karbohidrat tinggi tanpa mementingkan zat gizi lain yang
memang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh balita untuk tumbuh kembangnya. Salah satu pesaing
utama biskuit ikan adalah biskuit balita seperti Farley Classic yang memiliki atribut positioning
berupa keberadaannya sebagai biskuit balita paling pertama dan kedudukannya sebagai biskuit balita
paling diminati dan dikenal oleh konsumen.

4. Bauran Pemasaran

Bauran pemasaran (marketing mix) merupakan seperangkat alat pemasaran yang digunakan
perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Alat-alat itu
diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang luas yang disebut empat P dalam pemasaran, yaitu
produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion) (Kotler, 2000).

1. Strategi Produk

Strategi produk sangat perlu disiapkan dengan baik oleh suatu perusahaan yang berkaitan
dengan produk yang dipasarkannya. Strategi produk yang tepat akan menempatkan perusahaan dalam
suatu posisi persaingan yang lebih unggul daripada pesaingnya. Produk yang dihasilkan oleh industri
berbasis tepung ikan lele dan isolat protein kedelai adalah biskuit ikan dan tepung mix.

a. Strategi Produk Biskuit Ikan

Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan
konsumen. Menurut tujuan pemakaian, biskuit ikan yang diproduksi merupakan barang konsumsi,
karena dapat langsung dikonsumsi oleh konsumennya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para balita,
terutama balita berstatus gizi kurang. Standarisari yang digunakan dalam produksi biskuit ikan pada
perusahaan ini mengacu pada SNI 01-4445-1998 sebagai syarat mutu biskuit bayi dan balita. Standar
syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998

Kriteria Uji Persyaratan Mutu


(Parameter) Disajikan dengan Susu Disajikan tanpa Susu
Keadaan (bau,warna,rasa,tekstur) Normal Normal
Kadar air (% b/b) Minimum 5.0 Minimum 5.0
Kadar Protein (% b/b) Maksimum 6.5 Maksimum 10.0
Kadar Abu (% b/b) Maksimum 2.0 Maksimum 2.0
Kadar Lemak (% b/b) 6.0-11.0 6.0-11.0
Serat Kasar (% b/b) Maksimum 0.5 Maksimum 0.5
Karbohidrat (% b/b) Minimum 75.0 Minimum 70.0
Kalori (kal/100 gr) Minimum 370.0 Minimum 390.0
Bahan Tambahan Makanan
- pewarna dan pemanis buatan Tidak boleh ada Tidak boleh ada
Besi, Fe (mg/kg) Maksimum 140.0 Maksimum 140.0
Kalsium, Ca (% b/b) Maksimum 1.0 Maksimum 1.0
Cemaran logam:
- Timbal, Pb (mg/kg) Maksimum 0.3 Maksimum 0.3
- Tembaga, Cu (mg/kg) Maksimum 5.0 Maksimum 5.0
- Seng, Zn (mg/kg) Maksimum 40.0 Mansimum 40.0

45
Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 (Lanjutan)

Kriteria Uji Persyaratan Mutu


(Parameter) Disajikan dengan Susu Disajikan tanpa Susu
- Timah, Sn (mg/kg) Maksimum 40.0 Maksimum 40.0
- Raksa, Hg (mg/kg) Maksimum 0.03 Maksimum 0.03
- Arsen, As (mg/kg) Maksimum 0.1 Maksimum 0.1
Cemaran Mikroba
- TPC (koloni/g) Maks 1.0 x 104 Maks 1.0 x 104
- E.coli (APM/g) <3 <3
- Salmonela (koloni/25 g) Negatif Negatif
- Staphylococcus aureus (cfu/g) Maks 1.0 x 102 Maks 1.0 x 102
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, LIPI (1998)

Biskuit ikan yang dihasilkan dari tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memiliki pesaing
kuat dalam industri makanan, selain industri yang menghasilkan produk yang sama, yang menjadi
pesaing utama dalam pasar adalah produk sejenis yang dihasilkan dari bahan baku tepung lain.
Pesaing utama biskuit ikan adalah industri penghasil biskuit dari bahan baku tepung terigu, dimana
biskuit dari bahan tepung terigu saat ini paling banyak tersedia di pasaran. Namun, biskuit ikan yang
dihasilkan ini memiliki keunggulan dibanding produk substitusinya, yaitu tingkat kandungan gizi yang
tinggi dan terstandar untuk mendukung perbaikan kualitas gizi balita. Untuk lebih jelasnya kandungan
mutu biskuit ikan dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini.

Tabel 4.7 Kandungan Mutu Biskuit Ikan

Kriteria Uji (Parameter) Kandungan Gizi

Keadaan (bau,warna,rasa,tekstur) Normal


Kadar air (% b/b) 3.96
Kadar Protein (% b/b) 18.77
Kadar Abu (% b/b) 2.42
Kadar Lemak (% b/b) 21.99
Karbohidrat (% b/b) 53.72
Kalori (kal/100 gr) 480
Sumber: Mervina (2009)

Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit bayi dan balita berbahan baku tepung
terigu pada SNI, kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan pelengkap tepung ikan lele dan isolat
protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan karena kandungan gizi yang dimiliki bahan baku
penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan
suatu permasalahan dan biasanya memang diperlukan suatu standar produk yang berbeda terhadap
suatu produk baru yang dihasilkan, dalam hal ini adalah biskuit ikan. Menurut Manley (2000), biskuit
merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan sehat atau pangan fungsional yang
menyediakan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang
dimaksud adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi kandungan zat
gizi lainnya. Dalam hal biskuit ikan, zat gizi yang mengalami penurunan adalah karbohidrat.

46
Berat satu keping biskuit ikan kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5 cm yang dikemas
per empat keping biskuit dalam kemasan primer berupa poly propylene (PP) berukuran 15.2 cm x 7.7
cm dengan ketebalan rata-rata 0.069088 mm. Biskuit ikan yang telah terbungkus kemasan primer
dimasukan kedalam kemasan sekunder, yaitu berupa berupa kardus yang terbuat dari karton berukuran
48 cm x 16 cm x 7 cm dengan keterangan nama biskuit, tanggal produksi, masa kadaluarsa, dan
kandungan gizi. Dalam satu kemasan sekunder terdapat 6 bungkus biskuit ikan berkemasan primer,
sedangkan kemasan tertier berbahan sama seperti kemasan sekunder dengan ukuran 50 cm x 34 cm x
8 cm yang memuat 6 kotak kemasan sekunder. Sehingga dalam satu dus terdapat 144 keping biskuit.
Untuk lebih jelasnya tampilan biskuit ikan beserta kemasan primer, dan sekunder dapat dilihat pada
Gambar 4.4, 4.5, dan 4.6.

Gambar 4.4 Biskuit Ikan Gambar 4.5 Kemasan Primer

Gambar 4.6 Kemasan Sekunder

Biskuit ikan dengan bahan baku hewani tergolong ke dalam produk baru yang memerlukan
pengujian produk untuk mengukur kandungan dalam bahan, rancangan, dan biaya operasi. Pada
industri tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan, pengujian produk telah dilakukan sebelumnya
oleh seorang mahasiswi tingkat sarjana Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sebagai
bahan penelitian. Sistem pengujian biskuit ikan berupa formulasi, sifat fisik (penetapan rendemen,
daya serap air, tekstur), sifat kimia (analisis proksimat, kandungan energi, daya cerna protein), dan uji
organoleptik yang dilakukan oleh panelis semi terlatih, balita, dan ibu balita. Selain itu, saat ini juga
sedang dilakukan penelitian pengembangan produk biskuit ikan, yaitu biskuit ikan probiotik.

47
b. Strategi Produk Tepung Mix

Selain biskuit ikan sebagai produk utama yang dihasilkan oleh industri biskuit ikan, produk
yang juga dihasilkan adalah tepung mix. Tepung mix merupakan bahan baku pelengkap utama dalam
pembuatan biskuit ikan, karena dengan pemakaian tepung mix inilah biskuit ikan yang diproduksi
mengandung gizi yang berbeda dengan biskuit berbahan baku tepung terigu. Tepung mix terbuat dari
campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai. Penggunaan tepung mix dalam
pembuatan biskuit ikan hanyalah sebesar 15% atau 150 gram dari 1000 gram berat bahan baku yang
digunakan. Walaupun penggunaannya hanya sedikit, namun kandungan protein yang didapatkan
cukup tinggi.

Tepung mix dibuat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan biskuit ikan dan
bahan penunjang dalam industri makanan, terutama industri bakery. Saat ini memang masih jarang
sekali ditemui adanya tepung ikan untuk pangan, sehingga mengurangi adanya persaingan. Namun
pesaing utama dari tepung ikan adalah tepung berbahan baku nabati yang memang sudah banyak
tersedia di pasaran. Tepung nabati merupakan tepung yang dihasilkan dari bahan baku biji-bijian atau
ketela pohon, seperti tepung gandum, tepung singkong, dan tepung ubi. Hanya saja kandungan gizi
yang terdapat di dalam tepung ikan dengan tepung nabati sangatlah berbeda, hal ini yang menjadi
keunggulan utama tepung ikan. Kebanyakan tepung nabati mengandung protein yang rendah. Untuk
lebih jelasnya kandungan gizi tepung ikan lele dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Kandungan Gizi Tepung Ikan Lele

Kandungan (%)
Zat Gizi
Tepung Daging Tepung Kepala
Kadar aw 0.71 0.66
Densitas Kamba (gr/ml) 0.3710 0.4537
Derajat Putih 30.9575 28.9975
Kadar Air 8.68 9.63
Kadar Abu 4.83 14.1
Kadar Protein 63.83 56.04
Kadar Lemak 10.83 9.39
Kadar Karbohidrat 20.5149 16.4665
Sumber: Mervina (2009)

Pengujian produk tepung mix juga telah dilakukan seperti pengujian biskuit ikan dan
dilakukan oleh orang yang sama. Sistem pengujian tepung ikan lele dilakukan dengan cara menguji
sifat fisik (aw, densitas kamba, derajat putih) dan sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar
lemak, kadar karbohidrat). Namun sangat disayangkan, saat ini belum tersedia SNI tepung ikan untuk
pangan. Tepung mix adalah tepung ikan lele dan isolat protein kedelai yang telah dicampurkan dengan
komposisi tertentu, kemudian tepung mix ini dikemas dalam kemasan berupa plastik poly propylene
berukuran satu kg. Dalam tahap penetrasi pasar, tepung mix hanya akan dikemas seberat satu
kilogram, karena kebutuhan tepung mix tidaklah sebanyak kebutuhan tepung terigu dalam pembuatan
biskuit. Namun seiring dengan permintaan pasar mendatang, tidaklah menutup kemungkinan untuk
mengemas tepung mix ke dalam kemasan yang lebih besar. Tepung daging ikan lele dan tepung
kepala dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan 4.8.

48
Gambar 4.7 Tepung Daging Ikan Lele Gambar 4.8 Tepung Kepala Ikan Lele

Orientasi perusahaan ke arah pasar menggunakan pendekatan konsep produk dimana dalam
implementasi pemasarannya sangat mengutamakan keunggulan produk, baik dari segi kandungan gizi,
manfaat, tingkat mutu, kualitas bahan baku, keamanan mengkonsumsi, dan kehalalan. Pendekatan
konsep itu dibentuk dengan harapan biskuit ikan dan tepung mix dapat bersaing di pasaran.

2. Strategi Harga

Perusahaan melakukan penetapan harga dengan cara menghitung biaya produksi serta
membandingkan harga produk yang sering digunakan di pasaran atau biasa disebut dengan industri
standar, yaitu membandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing yang saat ini berlaku di
pasaran pada umumnya. Harga jual biskuit balita di Giant-Hero Supermarket berkisar antara Rp
7.900,00 – Rp 12.500 per bungkus (75 - 130 gram), sedangkan harga jual tepung terigu berada pada
kisaran harga Rp 5.200,00 – Rp 11.000,00 per Kg. Harga jual biskuit ikan memang bisa dibandingkan
dengan harga biskuit sejenis yang berada di pasaran, namun harga jual tepung mix tidak dapat
dibandingkan dengan harga tepung lainnya yang sudah lebih dulu ada. Hal ini disebabkan karena tidak
ada tepung mix dengan jenis yang sama. Oleh karena itu, penentapan harga tepung mix berdasarkan
biaya produksi pembuatan tepung ikan lele dan pembelian isolat protein kedelai.

Untuk menetapkan harga biskuit ikan digunakan harga biskuit yang berada sedikit di bawah
harga pasar saat ini. Kebijakan ini diambil sebagai upaya penetrasi pasar. Harga jual biskuit ikan yang
di produksi adalah Rp 3.300,00 per empat keping per bungkus (50 gram), sedangkan tepung mix di
jual dengan harga Rp 90.000,00 per Kg. Penetapan harga sebesar Rp 90.000,00 per Kg untuk tepung
mix dianggap tidak terlalu tinggi, karena tepung yang dijual merupakan campuran antara tepung ikan
lele dengan isolat protein kedelai dengan komposisi tepung daging dan kepala ikan : isolat protein
kedelai adalah 1 : 2. Biaya pembuatan tepung mix yang terdiri dari pembuatan tepung ikan dan isolat
protein kedelai adalah sebesar Rp 69.089,00 per Kg. Oleh karena itu, dengan penambahan margin
sebesar 30%, maka didapatkan harga jual tepung mix, yaitu Rp 90.000 per Kg. Penggunaan tepung
mix untuk menghasilkan 60 keping biskuit hanyalah 150 gram seharga Rp 13.500,00. Itu artinya, satu
kilogram dapat digunakan untuk membuat 400 keping biskuit. Sedangkan biaya pembuatan biskuit
per bungkus adalah sebesar Rp 2.553,00, sehingga dengan penambahan margin sebesar 30%
ditetapkan harga jual biskuit ikan adalah sebesar Rp 3.300,00 per bungkus.

Harga produk biskuit ikan dan tepung mix yang di produksi diusahakan tidak akan
mengalami peningkatan, mengingat pasar biskuit ikan dan tepung mix merupakan pasar yang baru
dibangun sehingga sangat memerlukan strategi pemasaran sebagai tahap awal pengenalan produk di
pasaran. Peningkatan harga hanya akan terjadi apabila terdapat perubahan dalam kemasan yang
digunakan. Selain itu, konsumen utama biskuit ikan berasal dari kalangan bawah, sehingga apabila
harga ditingkatkan maka akan memberatkan konsumen dan biskuit ikan pun terancam akan
ditinggalkan oleh konsumennya.

49
3. Strategi Distribusi

Saluran pemasaran dapat dilihat sebagai sekumpulan organisasi yang saling tergantung satu
dengan yang lainnya serta terlibat dalam proses penyediaan sebuah produk atau pelayanan untuk
digunakan. Saluran pemasran dicirikan dengan jumlah tingkat saluran. Biskuit ikan sebagai barang
konsumsi dan tepung mix sebagai barang industri memiliki tipe saluran pemasaran tersendiri untuk
memasarkan produk tersebut ke konsumen dan industri hilir pengguna produk.

Terdapat beberapa alternatif saluran pemasaran yang dapat digunakan dalam memasarkan
biskuit ikan dan tepung mix. Pertama, perusahaan dapat membentuk suatu tim penjual produk biskuit
ikan dan tepung mix yang menawarkan dan menjual secara langsung produk ini ke pemerintah kota
dan daerah yang mempunyai program peningkatan status gizi balita di wilayahnya. Kedua, produk
biskuit ikan dan tepung mix disalurkan melalui distributor industri pada wilayah dan industri
pengguna akhir yang berbeda-beda. Namun, pada tahap penetrasi pasar pada awal produksi dilakukan
alternatif pertama, yaitu memasarkan langsung melalui tim penjual yang dibentuk oleh perusahaan.
Hal ini dilakukan karena biskuit ikan dan tepung mix yang dibuat masih dalam jumlah terbatas dan
kegiatan pemasaran yang digunakan adalah perusahaan ke konsumen tertentu sehingga dibutuhkan
komunikasi langsung antara penjual dengan pembeli. Mengingat biskuit ikan adalah biskuit yang
ditujukan utama untuk balita dengan status gizi kurang dan buruk maka pemasaran dan penawaran
biskuit ikan dilakukan kepada pemerintah daerah dan kota yang memiliki program pemberian
makanan tambahan.

Pemilihan strategi ini mengharuskan perusahaan mempersiapkan segala sesuatu yang


dibutuhkan dalam pemasaran produk biskuit ikan dan tepung mix yang dihasilkan, diantaranya,
pembentukan tim penjual, tempat persediaan produk, dan strategi pemasaran.

4. Strategi Promosi

Menurut Kotler (2000), dalam pelaksanaan pemasaran produk biskuit ikan dan tepung mix
diperlukan strategi pemasaran yang tepat karena produk biskuit ikan dan tepung mix masih tergolong
produk baru yang berada pada tahap pengenalan. Promosi merupakan suatu komponen yang sangat
penting dalam pemasaran karena promosi dapat dijadikan alat pengenalan produk sekaligus meraih
pangsa pasar. Bauran komunikasi pemasaran (bauran promosi) terdiri dari empat perangkat utama,
yaitu iklan, promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (public relation), dan
penjualan personal (personal selling). Bauran promosi yang digunakan, yaitu melalui promosi
penjualan melalui pameran-pameran, kerjasama dengan pihak institusi (perguruan tinggi, lembaga
sosial kemanusiaan), dan melakukan penjualan personal dengan cara penawaran-penawaran ke
pemerintah kota dan daerah sehingga dapat menjalin hubungan kemitraan dengan pemerintah tersebut.

Strategi pemasaran yang paling tepat dilakukan adalah strategi penjualan langsung ke
pemerintah karena target pasar produk biskuit ikan dan tepung mix adalah balita yang mengalami gizi
kurang dan buruk yang pada umumnya tergolong ke dalam masyarakat miskin. Hal utama yang
dipertimbangkan dalam strategi pemasaran langsung ke pemerintah adalah spesifikasi biskuit ikan
yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan gizi yang dibutuhkan para balita penderita gizi kurang.
Strategi penjualan dilakukan melalui promosi dengan mengutamakan pada metode penjualan personal
melalui persentasi produk, pertemuan penjualan, komunikasi melalui media elektronik (telepon, fax,
email), program intensif, sample pada pemerintah, serta melalui pameran dagang nasional maupun
internasional. Dalam melakukan promosi produk biskuit ikan dan tepung mix akan dilakukan melalui

50
dua cara, yaitu melakukan penjualan dengan menjual sendiri menggunakan tenaga penjual yang
dimiliki perusahaan dan menjual produk dengan bekerja sama dengan Usaha Kecil Menengah (UKM)
makanan yang berada di wilayahnya masing-masing.

Konsumen dari industri biskuit ikan merupakan balita berstatus gizi kurang dan buruk
melalui program peningkatan gizi pemerintah, sedangkan konsumen tepung mix adalah industri hilir
makanan yang masih sedikit mengetahui kehadiran produk biskuit ikan dan tepung mix dari campuran
tepung ikan lele dan isolat protein kedelai. Oleh karena itu, terdapat tiga tahapan untuk
memperkenalkan, yaitu menarik perhatian (awareness), lalu tumbuh minat (interest), kemudian
berkehendak (desire) untuk melakukan pembelian produk tersebut. Di Indonesia, produk biskuit sudah
lama di konsumsi oleh masyarakat, namun biskuit yang dikonsumsi berasal dari bahan baku tepung
nabati, sehingga perusahaan perlu melihat peluang pasar utama. Selain itu, kebanyakan biskuit yang
diproduksi berbahan baku impor. Sehingga untuk memperoleh pasar perlu diciptakan pasar penguna
biskuit ikan dan tepung mix, serta memperkenalkan produk yang dibuat pada pasar dengan
menciptakan citra produk pada benak konsumen sebagai produk bergizi yang memenuhi spesifikasi
yang dibutuhkan oleh para pengguna.

51
V. ANALISIS TEKNIK DAN TEKNOLOGI

A. Bahan Baku

1. Spesifikasi Bahan Baku

Salah satu faktor produksi penting yang dikaji dalam analisis kelayakan usaha dalam
pendirian industri adalah bahan baku. Spesifikasi bahan baku yang dibutuhkan menunjang kebutuhan
informasi untuk mendapatkan bahan baku selama proses produksi berlangsung.

Bahan baku utama yang akan digunakan dalam pembuatan produk biskuit ikan terdiri dari
dua macam, yaitu ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Bahan baku ikan lele dumbo didapat dari
produsen yang ada di sekitar wilayah Jawa Barat, terutama Kabupaten Bogor, sedangkan isolat protein
kedelai saat ini didapat dari impor karena belum tersedianya produksi isolat protein kedelai di
Indonesia. Penggunaan ikan lele dumbo sebagai bahan baku berdasarkan pertimbangan pangan yang
yang sedang dikembangkan di Indonesia dan kandungan gizi di dalamnya. Selain itu, dengan
menggunakan bahan baku lokal, biaya pengangkutan bahan baku dapat menurunkan biaya produksi
serta harga bahan baku langsung dari produsen akan lebih murah dibandingkan dengan harga di
pasaran.

a). Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Bahan baku berupa ikan lele yang digunakan adalah ikan lele dumbo dengan berat per ekor
berkisar antara 500 – 1000 gram. Ikan lele dumbo yang diperoleh dari pengrajin budidaya ikan lele di
sekitar wilayah Kabupaten Bogor atau Kabupaten Sukabumi ini yang kemudian akan diubah menjadi
tepung daging ikan dan tepung kepala ikan.

Tepung daging dan tepung kepala ikan diperoleh dengan cara pengolahan ikan lele dumbo.
Prinsip utama pembuatan tepung ikan lele adalah dengan cara mengurangi kadar air yang terkandung
dalam ikan lele dumbo. Tahapan proses pembuatannya dimulai dari pemisahan antara daging dan
tulang serta kepala ikan lele dumbo hingga tahap pengeringan dan penggilingan lalu terbentuk tepung
daging ikan dan tepung kepala ikan. Tepung daging dan tepung ikan lele inilah yang dibutuhkan
sebagai bahan baku pelengkap pembuatan biskuit ikan.

Tepung ikan yang dibutuhkan juga harus memenuhi standar mutu yang ada. Tingkat suatu
mutu ditentukan oleh banyak faktor, seperti: ukuran, bentuk, warna, rasa, dan banyak faktor lainnya.
Namun sangat disayangkan Dewan Standarisasi Nasional (DSN) belum mengeluarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu tepung ikan untuk pangan. Oleh karena itu, dalam
pembuatan tepung ikan ini syarat mutu didasari pada literatur-literatur yang telah tersedia. Untuk lebih
jelasnya kandungan gizi tepung ikan lele dapat dilihat pada Tabel 4.7. pada bab analisis pasar dan
pemasaran. Tepung ikan lele merupakan bahan baku yang ideal dengan waktu maksimal penyimpanan
selama satu tahun. Lama penyimpanan dapat mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan.

Tepung ikan lele kaya dengan protein namun kurang kandungan gizi lainnya. Hal ini terjadi
akibat kandungan protein tinggi di seluruh bagian ikan lele, yaitu melebihi 50% dari total kandungan
gizinya.

52
b). Isolat Protein Kedelai

Protein merupakan salah satu unsur gizi penting dalam bahan pangan. Kandungan protein
dalam bahan pangan beragam. Untuk memperoleh protein dalam konsentrasi tinggi, dibuat protein
dalam bentuk konsentrat atau isolat. Konsentrat protein mengandung protein minimal 70%, sementara
isolat protein mencapai 95%. Keduanya memiliki kandungan yang lebih besar dibanding tepung
protein biasa yang kandungannya hanya sekitar 50%. Cara pembuatan isolat protein adalah dengan
menyingkirkan komponen-komponen lain dalam bahan pangan seperti karbohidrat dan lemak.
Pembuatan isolat protein dilakukan dengan menggunakan sifat-sifat fungsional protein. Salah satu
yang paling berpengaruh adalah sifat kelarutan protein. Isolat protein dibuat dengan cara
mengendapkan protein pada titik isoelektriknya. Dengan cara ini, protein dapat diisolasi dan
dipisahkan dari bagian bahan lainnya yang tidak diinginkan (Annonymous, 2009).

Salah satu isolat protein yang banyak dikenal adalah isolat protein kedelai. Protein kedelai
cukup kaya sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan nilai nutrisi berbagai jenis pangan.
Berdasar konsentrasi protein yang terdapat dalam pekatan kedelai, kadar protein meningkat dari
tepung ke konsentrat ke isolat, masing-masing 56%, 72% dan 96%. Kadar karbohidrat sebaliknya
turun dari 33.5% menjadi 7.5% dan 0.3%. Adanya pemanasan akan menginaktivasi antitripsin dan
enzim lipoksigenase sehingga tepung yang dihasilkan bergizi tinggi dan bau langunya hilang
(Annonymous, 2009).

Isolat merupakan produk protein rendah lemak bahkan tanpa lemak. Kemurnian protein ini
berguna dalam industri pangan berkaitan dengan sifat fungsional protein. Isolat protein merupakan
bentuk paling murni dari protein karena kadarnya yang sangat tinggi yaitu minimal 95% dalam berat
kering. Produk ini hampir bebas dari komponen lain seperti karbohidrat dan lemak. Isolat protein
dibuat hampir sama dengan konsentrat protein, hanya saja ekstraksinya berbeda. Caranya dengan
mencampurkan isolat dengan air dengan perbandingan 1:8 kemudian diatur pH sampai 8.5-8.7 dengan
penambahan NaOH 2N dan diaduk selama 30 menit pada 50-55°C hingga protein terekstrak
(Annonymous, 2009).

Namun, isolat protein kedelai saat ini hanya bisa didapat dengan cara impor, karena belum
terdapat industri lokal yang memproduksi isolat protein kedelai. Hal inilah yang menyebabkan
mahalnya harga jual biskuit ikan, karena salah satu bahan bakunya masih mengimpor dengan harga
Rp 62.000,00 per kilogram.

c). Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga
memegang peran penting dalam citarasa. Selain itu, tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat
bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung
terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten
yang tidak terlalu banyak sesuai dengan SNI 01-3751-2009.

d). Gula

Gula yang digunakan dalam pembuatan biskuit ikan adalah gula halus atau gula bubuk. Gula
halus digunakan untuk menjaga agar bentuk tekstur biskuit ikan tetap renyah dan tidak keras. Gula
halus yang dibutuhkan adalah gula halus yang sesuai dengan SNI 01-3821-1995 dengan kriteria kadar

53
pereduksi maksimal 0.2 (% b/b), kadar air maksimal 0.2 (% b/b), kadar abu maksimal 1 (% b/b), dan
lolos ayakan 80 mesh.

e). Telur

Telur yang digunakan adalah telur ayam negeri yang berasal dari ayam petelur. Telur yang
dibeli berdasarkan standar kualitas telur ayam yang tercantum dalam SNI 3926-2008 mengenai
standar pertanian Indonesia yang mengatur standar telur ayam konsumsi. Standar telur ayam untuk
konsumsi adalah telur yang berwarna coklat dengan berat paling kecil tidak kurang dari 50 gram dan
yang paling besar beratnya tidak lebih dari 60 gram, kulit telur licin (halus), bersih bebas kotoran yang
menempel maupun noda, dengan kantung udara kurang dari 0.5 cm, putih telur kental, dan kuning
telur bulat dengan posisi pas ditengah.

f). Lemak

Lemak yang digunakan berasal dari margarin untuk makanan. Margarin yang digunakan
berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah serta
penambah cita rasa. Selain itu, margarin digunakan untuk efisiensi biaya produksi karena harganya
lebih murah dibandingkan sumber lemak yang lain. Margarin yang digunakan adalah margarin untuk
produk makanan yang sesuai dengan SNI 01-3541-2002 dengan kriteria kadar air maksimal 18 (%
b/b), kadar lemak minimal 80 (% b/b), asam lemak bebas yang dihitung sebagai asam oleat (dari %
lemak) maksimal 0.3 (% b/b), dan garam dapur (NaCl) maksimal 4 (% b/b).

g). Tepung Susu

Tepung susu atau susu tepung susu segar yang semua airnya diuapkan sehingga berbentuk
seperti tepung serta lemak yang juga dikurangi hingga 0.1%. Jenis tepung susu ini sangat cocok untuk
bayi karena tinggi akan kandungan protein dan memiliki kadar lemak yang rendah. Tepung susu ini
memiliki kandungan protein, lemak, dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu cair.

h). Tepung Maizena

Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan sumber karbohidrat yang
digunakan untuk bahan pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi, serta digunakan dalam
industri farmasi. Tepung maizena jarang sekali digunakan sebagai bahan utama pada pembuatan cake
dan cookies, tapi selalu menjadi bahan pembantu untuk mendapatkan tekstur sempurna.

i). Bahan Pengembang

Bahan pengembang yang digunakan, yaitu baking powder untuk mengembangkan adonan.
Baking powder yang digunakan adalah salah satu bahan pengembang yang dinyatakan aman
penggunaannya utnuk bahan makanan seperti yang tercantum dalam SNI 01-0222-1995 tentang
peraturan bahan tambahan makanan. Baking powder ini terdiri dari bahan-bahan yang kandungannya
aman untuk bahan pangan yang sesuai dengan batas penggunaannya.

j). Air

Dalam pembuatan roti dan kue, air mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk mengontrol
kepadatan dan suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan

54
tepung secara seragam, membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna, dan
memungkinkan terjadinya kegiatan enzim.

2. Ketersediaan Bahan Baku

Ketersediaan bahan baku yang baik akan dapat menjaga keseimbangan proses produksi suatu
industri. Kajian mengenai ketersediaan bahan baku dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana
peluang ketersediaan bahan baku untuk masa yang akan datang.

Berdasarkan data yang didapat dari Ditjen Perikanan Budidaya (2010), lele yang memiliki
nama ilmiah Clarias sp ini perkembangan produksinya secara nasional sangat baik. Selama lima tahun
terakhir produksi lele terus meningkat. Pada tahun 2005 produksi nasional ikan lele sebesar 69.386
ton, tahun 2006 sebesar 77.332 ton, tahun 2007 sebesar 91.735 lalu tahun 2008 meningkat menjadi
114.371 ton dan pada tahun 2009 terus meningkat menjadi 144.755. Tahun 2010, angka sementara
yang dipublikasikan produksi ikan lele dari hasil budidaya sebesar 273.554 ton. Perkembangan
budidaya lele yang sangat baik ini didukung dengan produksi ikan lele yang cukup besar di beberapa
propinsi yang menjadi sentra budidaya ikan lele. Tujuh diantaranya dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Tujuh Propinsi Sentra Budidaya Ikan Lele dan Jumlah Produksi Pada Tahun 2009

Jumlah Produksi
Propinsi
(Ton)
Jawa Barat 48.044
Jawa Tengah 28.290
Jawa Timur 26.690
D.I. Yogyakarta 7.902
Lampung 5.572
Sumatera Barat 7.292
Riau 3.835
Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya (2010)

Dari ketujuh propinsi sentra budidaya ikan lele terbesar di Indonesia, Jawa Barat merupakan
daerah penghasil ikan lele terbesar yang menguasai sekitar 33% produksi ikan lele Indonesia tahun
2009. Produksi lele hasil pembudidayaan pada tahun 2009 propinsi Jawa Barat mencapai 48.044 ton.
Produktivitas yang tinggi ini didukung oleh luas areal budidaya ikan lele yang mencapai 2000 hektar.
Lele di propinsi Jawa Barat dibudidayakan di dalam wadah kolam baik kolam tanah, bak ataupun
kolam terpal. Tidak hanya di kolam, disebagian wilayah Jawa Barat juga dikembangkan budidaya lele
dengan sistem jaring apung dan budidaya sawah. Selain itu, di propinsi ini juga terdapat Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Tawar yang terletak di Sukabumi.

Di Jawa Barat sendiri terdapat dua sentra utama penghasil ikan lele, yaitu Kabupaten
Indramayu dan Kabupaten Bogor yang meliputi wilayah Parung, Pamijahan, Cibinong, Sukaraja,
Tajur Halang, Ciomas, Cisarua, Ciseeng, dan Kemang. Selain dua Kabupaten tersebut, ada juga tiga
Kabupaten yang produksinya pada tahun 2009 mencapai di atas 1.000 ton. Ketiga provinsi tersebut
yaitu Kabupaten Subang, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung (Ditjen Perikanan Budidaya,
2010).

55
Bahan baku ikan lele yang digunakan pada industri biskuit ikan berasal dari Kabupaten
Bogor Propinsi Jawa Barat. Hal ini didasarkan pada pertimbangan jarak antara tempat budidaya ikan
lele dengan letak industri biskuit ikan serta kebutuhan bahan baku untuk produksi akan terpenuhi
dengan jumlah produksi pada daerah tersebut, yaitu berkisar di atas 7.000 ton per tahun.

Tepung ikan lele merupakan hasil olahan dari daging, tulang, dan kepala ikan lele dumbo.
Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat keamanan ketersediaan ikan lele dumbo di Kabupaten
Bogor perlu diketahui data produksi ikan lele dumbo di wilayah tersebut. Data Produksi ikan lele di
beberapa wilayah di Kabupaten Bogor pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Data Produksi Ikan lele di Kabupaten Bogor

Jumlah Produksi
Wilayah
(Ton)
Parung 7.660
Pamijahan >1000
Ciampea >1000
Tenjolaya >1000
Kemang >1000
Ciseeng >1000
Gunung Sindur >1000
Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya (2010)

Produksi ikan lele di Indonesia yang menjadi bahan baku produksi tepung ikan lele untuk
pembuatan biskuit ikan tersedia dalam jumlah yang memadai. Pembudidaya ikan lele melakukan
pemanenan ikan lele setiap harinya untuk memenuhi seluruh kebutuhan akan ikan lele, baik untuk
konsumsi maupun bahan baku industri. Pembelian ikan lele dari petani ikan lele setempat dengan
harga sebesar Rp 13.000,00 per kilogram yang telah dikeluarkan isi perutnya dan dipisahkan antara
fillet daging ikan lele, serta kepala dan tulang ikan lele. Kebutuhan ikan lele per hari mencapai 84
kilogram, sehingga dalam seminggu dengan 6 hari kerja pasokan ikan lele mencapai 504 kilogram.
Pengiriman bahan baku ikan lele ini dilakukan setiap dua hari sekali untuk menjaga kesegaran ikan
lele saat diproses.

Produksi lokal isolat protein kedelai belum tersedia di Indonesia, untuk itu dalam pemenuhan
kebutuhan akan isolat protein kedelai sebagai bahan baku pembuatan biskuit ikan dilakukan dengan
cara membeli kepada para pemasok impor. Namun karena keterbatasan data impor, maka jumlah
isolat protein kedelai yang di impor oleh Indonesia pun tidak diketahui jumlahnya secara pasti.
Kebutuhan isolat protein kedelai yang dibutuhkan untuk membuat biskuit ikan adalah sebesar 34
kilogram per hari dengan harga beli Rp 62.000,00 per kilogram. Kebutuhan akan isolat protein kedelai
ini dipastikan dapat terpenuhi karena jumlah penggunaan isolat protein kedelai selama seminggu
hanyalah sebesar 204 kilogram dan pemasok pun telah menyanggupi akan permintaan ini.

Kebutuhan bahan-bahan pembantu lainnya dipasok dari pasar setempat atau distributor
utama. Pembelian gula diperoleh dari distributor gula yang ada di dekat industri biskuit ikan, yaitu
wilayah Kabupaten Bogor. Pembelian gula dilakukan seminggu sekali sebanyak 16 sak yang masing-
masing berkapasitas 50 kilogram. Tepung terigu yang dipakai dalam adonan didatangkan dari

56
pemasok tepung terigu yang berada di sekitar wilayah Kabupaten Bogor setiap sebulan sekali
sebanyak 22 sak dengan kapasitas 50 kilogram per sak. Lemak atau margarin yang digunakan adalah
margarin curah dengan kualitas generik. Margarin secara keseluruhan didatangkan dari distributornya
sebanyak 52 karton per minggu, masing-masing beratnya 15 kg. Telur yang digunakan adalah telur
ayam ras yang didatangkan dari peternak di daerah Bogor. Telur didatangkan seminggu sekali
sebanyak 52 peti, masing-masing peti berkapasitas 15 kg. Pemakaian telur sehari hanyalah sebanyak
30,06 kilogram. Bahan lainnya yang diperlukan adalah pengembang atau baking powder. Baking
powder yang digunakan dikemas dalam kaleng besar dengan berat bersih 25 kilogram. Kebutuhan
baking powder per hari hanya sebesar 2 kg.

B. Perencanaan Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi merupakan kuantitas atau jumlah satuan produk yang seharusnya
diproduksi selama satuan waktu tertentu untuk mencapai keuntungan yang optimal dalam bentuk
keluaran (output) per satuan waktu. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penentuan
kapasitas produksi, yaitu dengan pendekatan pangsa pasar yang mungkin diraih, ketersediaan bahan
baku, kapasitas teknologi proses, ketersediaan modal, dan kemampuan teknis.

Potensi pasar produk biskuit ikan dan tepung mix cukup besar karena biskuit ikan dibutuhkan
oleh para balita untuk meningkatkan status gizi mereka, sedangkan tepung mix digunakan dalam
pembuatan biskuit ikan tersebut. Berdasarkan kajian jumlah balita berstatus gizi kurang dan buruk di
Indonesia seluruhnya berjumlah 4.009.086 jiwa, sedangkan jumlah balita dengan potensi rawan
terkena bencana di Indonesia berjumlah total sebesar 50.000 jiwa. Hingga saat ini kebutuhan akan
makanan pendamping asi dan makanan bencana untuk para balita masih mengandalkan pasokan
biskuit yang berbahan baku tepung terigu, padahal untuk meningkatkan gizi para balita tersebut zat
gizi proteinlah yang sangat dibutuhkan dan belum tersedia biskuit dengan kandungan protein tinggi,
sehingga daya serap pasar akan biskuit ikan masih sangat terbuka.

Selain berdasar pada pertimbangan ketersediaan bahan baku, kemampuan mesin dan
peralatan yang digunakan serta waktu produksi yang tersedia menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi penentuan kapasitas produksi. Teknologi yang diterapkan pada produk ini adalah
teknologi tepat guna karena disesuaikan dengan kebutuhan usaha, kondisi finansial, serta kemampuan
pekerja dalam mengoperasikannya. Teknologi tepat guna bertujuan agar proses produksi berjalan
dengan efektif dan efisien sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi. Kapasitas dalam
pembuatan biskuit ikan ini juga ditentukan berdasarkan kemampuan investasi. Sejauh mana investasi
mampu memenuhi target kapasitas produksi yang akan ditetapkan.

Penentuan kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi
proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan perpaduan hasil penelitian
berbagai macam komponen evaluasi. Komponen tersebut, yaitu perkiraan jumlah penjualan produk di
masa yang akan datang atau kemungkinan pangsa pasar yang dapat diraih, kemungkinan pengadaan
bahan baku, bahan pembantu, dan tenaga kerja, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar yang
sesuai dengan teknologi yang diterapkan (Sutojo, 1996).

57
Berdasarkan pertimbangan daya serap pasar, ketersediaan bahan baku, kemampuan investasi,
dan kemampuan teknis tersebut, maka kapasitas produksi yang dipilih adalah mengambil 0,28% dari
pangsa pasar balita gizi kurang dan buruk serta 1% dari balita rawan terkena bencana alam yang
diperkirakan, yaitu sebesar 8.653 yang membutuhkan biskuit sebanyak 3.115.080 per tahun yang
diberikan selama 90 hari. Selain itu, penentuan pasar yang diambil sebesar 0,2% karena biskuit ikan
tergolong produk baru yang berada pada siklus produk tahap pengenalan, sehingga diperlukan
pengenalan dan pencarian pasar. Nilai 0,28% dianggap cukup optimis untuk membuka pasar. Apabila
mengambil pasar diatas 0,28% dikhawatirkan pasar yang mampu diraih kurang, namun apabila di
bawah 0,28% terlalu pesimis untuk memulai meraih pasar produk biskuit balita yang cukup potensial.
Target produksi industri biskuit ikan adalah sebesar 10.000 keping/ hari. Apabila dalam setahun
terdapat 312 hari kerja, maka biskuit ikan yang dihasilkan sebanyak 3.120.000/ tahun. Dengan
kapasitas produksi di atas, diperkirakan kebutuhan bahan baku masih dapat dipenuhi dengan mudah
yang diimbangi dengan investasi yang memadai.

C. Teknologi Proses Produksi

Teknologi proses produksi yang terlibat pada industri yang didirikan secara umum terbagi
menjadi dua proses, yaitu pembuatan tepung ikan lele dan pembuatan biskuit ikan. Pembuatan produk
biskuit ikan diawali dengan pengolahan ikan lele segar menjadi tepung badan dan tepung kepala ikan
lele. Ikan lele tersebut diolah untuk memudahkan dalam pembuatan produk, sedangkan isolat protein
kedelai yang digunakan sudah dalam bentuk isolat yang langsung dapat digunakan.

1. Proses Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo

Proses pembuatan tepung ikan lele dimulai dengan pengolahan bahan baku berupa ikan lele
dumbo segar. Ikan lele dumbo yang digunakan berumur 3-4 bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm.
Pembuatan tepung ikan lele dumbo diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan
dibuang isi perutnya, lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut LIPI (1999),
pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan terutama limbah
ikan. Tetapi pada pembuatan tepung ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biskuit ikan,
kulit dan isi perut dibuang. Pembuangan kulit bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki
warna yang lebih cerah, sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan
ikan sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa dalam
pembuatan filet ikan, isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri harus disiangi agar tidak
mencemari daging ikan. Dalam industri biskuit ikan ini, bahan baku ikan lele yang digunakan sudah
dipisahkan antara daging ikan, tulang dan kepala ikan, serta kulit dan jeroan ikan oleh pemasok,
sehingga tidak ada proses pemisahan bagian-bagian ikan lagi.

Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah pemasakan. Ikan
dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan retort chamber. Menurut Moeljanto
(1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh
bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat
menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu proses pembusukan dapat
dihentikan sama sekali bila waktu dan waktu yang digunakan cukup, sehingga pada pembuatan tepung
ini digunakan suhu 121°C selama 2 jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan
untuk melunakkan tulang ikan, sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu, diharapkan

58
pula tepung ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung. Proses pemasakan badan dan
kepala ikan dilakukan secara terpisah agar keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Fennema
(1996) menyatakan bahwa proses pemanasan juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam
hal inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium
botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Disamping itu, proses
pemanasan juga dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna pangan.
Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan kerusakan pangan seperti
protease, lipase serta enzim yang bersifat oksidatif dan hidrolisis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada ikan. Menurut
Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila
kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak
daging dan kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian
minyak. Moeljanto juga menambahkan bahwa proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka
proses pembusukannya akan berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih
lanjut dengan menggunakan drum dryer.

Menurut Juming et. al. (2003) dalam Fernando (2008), penggunaan drum dryer memiliki
beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik,
alat yang digunakan bersih dan higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan
mikroorganisme, dan mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengeringan drum memiliki
kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Selain itu Bluestein dan
Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif
murah. Pengunaan pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan
setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas drum.

Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80°C dengan tekanan 3
bar. Pengeringan dengan pemanasan drum menghasilkan serpihan ikan kering yang sangat tipis yang
kemudian dihaluskan menggunakan disc mill. Tepung yang dihasilakan setelah penggilingan
berukuran sekitar 60 mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna coklat muda, sedangkan tepung
kepala berwarna agak gelap karena pada proses pembuatan tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna
hitam pada kepala ikan lele tidak dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada
tepung badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala ikan lebih tinggi.
Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan pada tepung badan dan kepala sama,
sedangkan pada kepala ikan kandungan airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan
mengeringnya berbeda. Diagram alir dan neraca massa pembuatan tepung badan ikan dan tepung
kepala ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan 5.2.

59
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Dibersihkan dari kulit dan jeroannya

Dipisahkan bagian daging badan dengan tulang dan kepalanya

Daging badan ikan lele dumbo Kepala dan tulang ikan lele dumbo

Dimasak dengan retort chamber bersuhu Dimasak dengan retort chamber bersuhu
121°C selama 2 jam 121°C selama 2 jam

Daging badan matang Kepala dan tulang ikan matang

Dipress dengan pengepres pneumatic Dipress dengan pengepres pneumatic

Daging badan agak kering Kepala dan tulang ikan agak kering

Dihaluskan dengan penggiling basah Dihaluskan dengan penggiling basah

Daging badan berbentuk pasta Kepala dan tulang ikan berbentuk


pasta
Dikeringkan dengan drum dryer Dikeringkan dengan drum dryer
dengan suhu 80°C dan tekanan 3 bar dengan suhu 80°C dan tekanan 3 bar

Daging badan ikan kering Kepala dan tulang ikan kering

Penghalusan dengan disc mill Penghalusan dengan disc mill

Tepung daging ikan lele dumbo Tepung kepala ikan lele dumbo

Gambar 5.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo
(Sumber: Mervina 2009)

60
Ikan Lele Dumbo (200 kg)

Pemisahan antar bagian


Loss Kulit dan jeroan
(27,7 kg)

Daging badan (109.3 kg) Kepala dan tulang badan


(63 kg)

Pemasakan 121°C
selama 2 jam Pemasakan 121°C
selama 2 jam
Loss (1.15 kg)
Loss (0.7 kg)
Daging badan (108.15 kg)
Kepala dan tulang badan
(62.3 kg)
Loss minyak
Pengepresan
dan air (25.6
Loss minyak dan kg)
Pengepresan
air (53.5 kg)
Daging badan (54.65 kg)

Kepala dan tulang badan


Penggilingan basah (36.7 kg)

Penggilingan basah
Pasta Daging badan
(54.65 kg)

Pasta kepala dan tulang


badan (36.7 kg)
Pengeringan suhu 80°C,
tekanan 3 bar
Loss uap air
(25.6 kg) Pengeringan suhu 80°C,
Daging badan (29.05 kg) tekanan 3 bar
Loss uap air
(19.5 kg)

Penggilingan dan Kepala dan tulang badan


pengayakan (17.2 kg)
Loss tepung
(0.7 kg)
Penggilingan dan
Tepung Daging badan
pengayakan
(28.35 kg) Loss tepung
(0.5 kg)
Tepung kepala dan
tulang badan (16.7 kg)

Gambar 5.2. Neraca Massa Pembuatan Tepung Badan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo

61
2. Mesin dan Peralatan Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo

Pada proses pembuatan tepung ikan berbahan baku ikan lele segar dibutuhkan beberapa
mesin dan peralatan. Ringkasan kebutuhan, kapasitas dan dimensi mesin yang digunakan untuk
memproduksi tepung ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 5.3, sedangkan penjelasan lengkapnya
akan dijelaskan berikut ini.

Tabel 5.3 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Tepung Ikan Lele Dumbo

Jumlah Dimensi
Kapasitas
No. Nama Mesin Kebutuhan (P x l x T)
(Kg/ jam)
(Unit) (cm)
1 Timbangan Dacin 1 100 8,2 x 4,2 x 9,10
2 Retort Chamber 1 250 60 x 60 x 100
3 Pressure Pneumatic 1 70 30 x 20x 80
4 Alat Pengering (Drying Drum) 1 2 100 x 150 x 115
5 Boiler 1 - 65 x 50 x 200
6 Pengiling Basah (grinder) 1 210 115 x 100 x 125
7 Penggiling Kering (disc mill) 1 220 104 x 42 x 100
8 Freezer 2 300 150 x 50 x 80
9 Pengemas 1 170 8.5 x 45 x 18

a. Timbangan Dacin

Timbangan dacin merupakan timbangan multifungsi yang dapat mengukur beban hingga 100
kg dengan cara menggeser bandul pemberat. Timbangan ini digunakan untuk mengukur berat bahan
baku ikan lele serta tepung ikan lele yang telah selesai dibuat. Timbangan ini memiliki spesifikasi
tinggi keseluruhan 870-910 mm, berat 5 kg, diameter bobot lawan 60-65 mm, diameter bobot ingsut
60-65 mm, panjang 80-82 mm, besi sekang berlebar strip plat 19-21 mm dan tebal 607 mm, badan
timbangan terbuat dari pipa kuningan asli berdiameter 18-19 mm, serta rumah pisau dengan panjang
62-72 mm, lebar 38-42 mm, dan tebal 20-30 mm. Timbangan dacin dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Timbangan Dacin


(Sumber: www.indodacin.com)

b. Retort Chamber

Retort chamber merupakan alat yang digunakan untuk memasak, melunakkan, dan
mensterilisasikan badan, tulang, dan kepala ikan lele dengan cara memanaskan bahan di dalamnya
dengan suhu tinggi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, bagian ikan lele tersebut di proses

62
dalam retort chamber selama dua jam dengan suhu 121°C. Alat ini terbuat dari stainless steel dengan
dimensi 60 x 60 x 100 cm, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4 Retort Chamber


(Sumber: Laboratorium pilot plan, PAU IPB)

c. Pressure Pneumatic

Pressure pneumatic merupakan alat pres dengan prinsip tekanan yang digunakan untuk
memisahkan air dan minyak yang terkandung dalam badan, kepala, dan tulang ikan lele agar menjadi
lebih kering sebelum diproses lebih lanjut. Pengepresan dilakukan selama kurang lebih 15 menit agar
mendapatkan hasil yang maksimal. Alat ini terbuat dari besi dengan wadah kayu yang berdimensi 30 x
20x 80 cm, serta tidak memerlukan tenaga listrik, melainkan dijalankan secara manual oleh operator.
Pressure pneumatic dapat dilihat pada Gambar 5.5.

Gambar 5.5 Pressure Pneumatic


(Sumber: PT. Carmelitha Lestari)

d. Drum Dryer

Drum Dryer merupakan alat pengering berbentuk bulat seperti drum yang digunakan untuk
mengurangi kadar air dan minyak yang masih terkandung dalam bagian ikan lele. Selain itu, alat ini
juga dapat mengubah bentuk badan, kepala, dan tulang ikan lele menjadi bentuk yang halus dan tipis,
sehingga dapat diolah menjadi tepung. Alat yang terbuat dari besi dan stainless ini digunakan pada

63
suhu 80°C dengan tekanan tiga bar untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Dimensinya adalah 100 x
150 x 115 cm. Untuk lebih jelasnya drum dryer dapat dilihat pada Gambar 5.6.

Gambar 5.6 Drum Dryer


(Sumber: PT. Carmelitha Lestari)

e. Boiler

Boiler adalah alat sumber energi yang berfungsi sebagai penghasil panas yang panasnya
dialirkan pada retort chamber dan drum dryer sehingga dapat mencapai suhu tinggi yang diinginkan.
Sistem kerja boiler adalah dengan cara memanaskan air yang terdapat di dalamnya untuk
menghasilkan uap panas yang dijadikan sebagai energi. Boiler ini berdimensi 65 x 50 x 200 cm.
Boiler dapat dilihar pada Gambar 5.7.

Gambar 5.7 Boiler


(Sumber: Laboratorium pilot plan, PAU IPB)

f. Mesin Penggiling Basah

Mesin penggiling basah merupakan mesin yang digunakan untuk mengubah bentuk bagian
ikan lele menjadi bentuk pasta sebelum selanjutnya dikeringkan dengan drum dryer. Mesin yang
terbuat dari besi ini berdimensi 115 x 100 x 125 cm. Untuk lebih jelasnya mesin penggiling basah
dapat dilihat pada Gambar 5.8.

64
Gambar 5.8 Mesin Penggiling Basah
(Sumber: www.tokomesin.com)

g. Mesin Penggiling Kering

Alat penggiling kering yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele merupakan mesin
penepung kering yang biasa disebut dengan disc mill dengan dimensi 104 x 42 x 100 cm dengan
kapasitas 180-220 kg/ jam. Fungsi dari alat ini adalah sebagai penggiling tepung agar menjadi lebih
halus. Mesin penggiling kering dapat dilihat pada Gambar 5.9.

Gambar 5.9 Mesin Penggiling Kering


(Sumber: PT. Carmelitha Lestari)

h. Freezer

Freezer atau mesin pendingin digunakan untuk menyimpan bahan baku yang akan digunakan
dalam pembuatan biskuit lele, seperti ikan lele segar, isolat protein kedelai, dan bahan baku tambahan
lainnya. Mesin pendingin yang digunakan berdimensi 150 x 50 x 80 cm sebanyak 2 unit agar tidak
terjadi kontaminasi bau antara bahan-bahan yang disimpan di dalamnya. Untuk lebih jelasnya mesin
pendingin dapat dilihat pada Gambar 5.10.

Gambar 5.10 Freezer


(Sumber: Laboratorium pilot plan, PAU IPB)

65
i. Sealer

Sealer yang digunakan adalah jenis impuls sealer yang biasa digunakan untuk merekatkan
plastik tipe PE/ PP dengan menggunakan sistem pemanas elektrik. Alat ini cocok digunakan untuk
membungkus barang-barang berukuran kecil dan sedang. Atur tingkat kepanasan sesuai dengan
ketebalan plastik yang akan direkatkan, kemudian jepit bagian plastik yang akan direkatkan. Lampu
indikator akan menyala pada saat plastik dijepitkan, dan lampu indikator akan padam secara otomatis
(dalam hitungan detik) yg berarti proses perekatan sudah selesai. Alat ini memerlukan daya sebesar
400 watt dengan dimensi 8.5 x 45 x 18 cm yang dapat merekatkan plastik dengan panjang maksimum
200 mm dan tebal maksimum 0.4 mm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.11.

Gambar 5.11 Impulse Sealer


(Sumber: Megatron Elektrik)

3. Proses Produksi Biskuit Ikan

Proses pembuatan biskuit ikan diawali dengan mempersiapkan semua bahan baku yang
dibutuhkan serta formulasi biskuit dengan pelengkap tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan
isolat protein kedelai terhadap tepung terigu yang dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan
protein dari biskuit. Formulasi biskuit ikan dengan pelengkap tepung ikan dan isolat protein kedelai
dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Formulasi Biskuit Ikan dengan Pelengkap Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai

Komponen (gram) Formulasi


Tepung badan ikan lele 35
Tepung kepala ikan lele 15
Isolat protein kedelai 100
Tepung terigu 250
Gula bubuk 180
Telur ayam 180
Margarin 180
Tepung susu 60
Maizena 15
Baking Powder 12
Air 45
Total 1000
Sumber: Mervina (2009)

66
Setelah semua bahan siap, kemudian gula bubuk dan margarin dicampur dengan cara diaduk
dengan menggunakan mixer berkecepatan tinggi sampai warnanya memucat. Lalu ditambahkan telur
ayam dan diaduk kembali sampai agak mengembang. Kemudian tepung badan ikan, tepung kepala
ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, dan tepung susu dimasukkan ke dalam adonan secara
berurutan. Adonan diaduk dengan kecepatan rendah sampai kalis. Adonan yang telah kalis
dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 15 menit, fungsinya agar adonan lebih mudah
dibentuk dan dicetak. Setelah itu, adonan dipipihkan setebal 0,5 cm lalu dicetak. Pemanggangan
dilakukan selama 20 menit dengan suhu 150°C sampai warna biskuit coklat keemasan. Diagram alir
dilihat pada Gambar 5.12. Setelah keluar dari gas baking oven, biskuit harus cepat didinginkan untuk
menurunkan suhu dan mengeraskan kue kering akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu
mendinginkan biasanya 2 – 3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley, 1983).

Berdasarkan diagram alir proses produksi pembuatan biskuit ikan dapat dibuat neraca massa
yang dapat dilihat pada Gambar 5.12. Neraca massa yang dibuat berdasarkan kebutuhan pada masing-
masing tahapan dalam proses. Neraca massa menampilkan jumlah keseluruhan bahan baku yang
dibutuhkan serta hasil yang diperoleh. Neraca massa dihitung berdasarkan basis biskuit ikan yang
dihasilkan untuk mengetahui komposisi total keseluruhan bahan baku.

Margarin dan gula bubuk

Diaduk dengan mixer berkecepatan tinggi selama 5 menit

Ditambahkan telur ayam

Diaduk dengan mixer berkecepatan tinggi selama 10 menit

Adonan berwarna kuning pucat

Ditambahkan tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, tepung susu, maizena, baking powder

Diaduk dengan mixer berkecepatan rendah selama 5 menit sampai kalis

Adonan Kalis

Didinginkan dalam lemari pendingin selama 15 menit

Adonan Dingin

Dipipihkan dengan dough sheeter setebal 0.5 cm, lalu dicetak dengan cetakan bulat berdiameter 5 cm

Dipanggang dalam gas baking oven dengan suhu 150°C selama 20 menit

Biskuit ikan

Gambar 5.12 Diagram Alir Pembuatan Biskuit Balita dengan Penambahan Tepung Ikan dan Isolat
Protein Kedelai

67
Margarin (180 gr) Gula bubuk (180 gr)

Loss (25 gr)


Pengocokan 5 menit
(360 gr)
Telur ayam (180 gr)

Pengocokan 10 menit
(515 gr)

Adonan berwarna kuning


(515 gr)
Tepung daging ikan Tepung kepala ikan
(35 gr) (15 gr)

Isolat protein kedelai Tepung terigu


(100 gr) (250 gr)

Tepung susu Baking powder


(60 gr) (12 gr)

Pengocokan 5 menit
Maizena Air (45 gr)
(1035 gr)
(15 gr)

Adonan kalis
(1035 gr)

Pendinginan 15 menit
(1086 gr)

Adonan dingin
(1086 gr)

Roll dengan ketebalan 5 mm

Pencetakan

Pemanggangan dengan suhu 150°C selama 20 menit Loss (210 gr)

Pendinginan Loss (126 gr)

Biskuit ikan (750 gr)

Gambar 5.13 Neraca Massa Pembuatan Biskuit Ikan (Basis Bahan Baku 1000 gr)

68
4. Mesin dan peralatan Produksi Biskuit Ikan

Pada proses pembuatan biskuit ikan berbahan baku tepung ikan lele dumbo dan isolat protein
kedelai dibutuhkan beberapa mesin dan peralatan. Ringkasan kebutuhan, kapasitas dan dimensi mesin
yang digunakan untuk memproduksi biskuit ikan disajikan pada Tabel 5.5, sedangkan penjelasan
lengkapnya akan dijelaskan berikut ini.

Tabel 5.5 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Biskuit Ikan

Jumlah Dimensi
Kapasitas
No. Nama Mesin Kebutuhan (P x l x T)
(Kg/ jam)
(Unit) (cm)
1 Timbangan 1 5 20 x 15 x 5
2 Mixer 1 20 53 x 46 x 88
3 Dough Sheeter 1 - 72 x 83 x 110
4 Lemari pendingin 1 170 54,7 x 51 x 159,2
5 Oven 1 30 134 x 90 x 60

a. Timbangan

Timbangan adalah alat yang digunakan untuk mengukur massa bahan baku yang akan
digunakan dalam pembuatan biskuit ikan. Timbangan yang digunakan merupakan timbangan digital
yang akurat, dapat menimbang barang dari 1 gram hingga 5 kilogram. Sangat cocok digunakan untuk
industri makanan dan laboratorium. Timbangan digital ini mempunyai dimensi 20 x 15 x 5 cm dengan
high precision strain gauge sensor, low battery dan 13 mm LCD display. Timbangan ini juga telah
memiliki sertifikat ISO 9001 : 2000 oleh SGS. Timbangan digital ini dapat dilihat pada Gambar 5.14.

Gambar 5.14 Timbangan Digital


(sumber: www.alatkantor.com)

b. Mixer

Mixer adalah alat yang digunakan untuk mengocok dan mencampurkan bahan-bahan untuk
membuat biskuit ikan menjadi adonan yang sesuai teksturnya. Mixer yang digunakan terdiri dari tiga
macam pengaduk, yaitu: (1) spiral (hook) untuk mengaduk adonan tepung dan jenis makanan yang
sangat kental, (2) beater untuk mengaduk aneka tepung dan mentega, (3) whip untuk mengaduk
makanan encer, seperti susu segar, telur, dan cream. Mixer ini bekerja berdasarkan teori perputaran
planet, dimana beater berputar mengelilingi bowl, sehingga bowl tidak berputar. Mixer ini akan
menghasilkan adonan yang rata dan lembut. Mesin ini berdimensi 53 x 46 x 88 cm, dengan berat 98

69
kg. Dengan Volume bowl sebesar 20 liter pada mesin ini dapat menghasilkan kapasitas adonan 5 kg
dalam satu kali pengadukan. Kecepatan pengaduk ini terdiri dari masing-masing alat pengaduknya,
yaitu, spiral : 197 rpm, beater : 317 rpm, whip : 462 rpm. Mesin ini membutuhkan daya listrik sebesar
1100 watt, 220 volt, dan 50 Hz untuk menjalankannya. Untuk lebih jelasnya gambar jenis pengaduk
dapat dilihat pada Gambar 5.15 dan gambar mixer pada Gambar 5.16.

Gambar 5.15 Jenis Pengaduk Gambar 5.16 Mixer


(Sumber: www.tokomesin.com) (Sumber: www.tokomesin.com)

c. Dough Sheeter

Dough Sheeter merupakan mesin pengepres adonan dengan menggunakan roll. Dalam
pembuatan biskuit ikan ini dibutuhkan mesin pengepres, untuk mengepres adonan dengan ketebalan 5
mm. Mesin roll yang digunakan dapat mengepres adonan dengan ukuran 2 – 32 mm, dengan lebar
potongan 32 cm. Mesin ini berdimensi 72 x 83 x 110 cm dengan berat 85 kg, dengan kecepatan 133
rpm. Daya listrik yang dibutuhkan untuk menjalankan mesin ini adalah sebesar 1500 watt, 220 volt.
Dough sheeter dapat dilihat pada Gambar 5.17.

Gambar 5.17 Dough Sheeter


(Sumber: www.maksindo.com)

70
d. Lemari Pendingin

Lemari pendingin digunakan pada saat adonan telah kalis dengan tujuan mengistirahatkan
adonan agar dapat mengembang dengan sempurna. Lemari pendingin ini mempunyai dimensi 547 x
510 x 1592 mm, dengan total kapasitas 170 liter. Daya listrik yang dibutuhkan adalah sebesar 150
watt, 50 Hz, dan 220 volt. Lemari pendingin ini berpintu kaca yang dapat dilihat dari luar, sehingga
mencegah terjadinya kontaminasi dari luar serta mempermudahkan memantau perkembangan adonan
tanpa harus membuka pintu lemari pendingin. Lemari pendingin dapat dilihat pada Gambar 5.18.

Gambar 5.18 Lemari Pendingin


(Sumber: www.tokobagus.com)

e. Gas Baking Oven

Gas Baking Oven adalah mesin pemanggang kue dengan suhu ruang bisa diatur (30 - 400°C),
dilengkapi thermostat untuk pengatur suhu dan timer untuk pengatur waktu dengan digital display,
dilengkapi dengan handle atau pegangan, rounded chamber dan internal fan, serta kabinet yang
terbuat dari stainless steel. Oven ini dilengkapi dengan rak yang terdiri dari 6 susun. Rak tersebut diisi
dengan loyang yang telah diisi biskuit yang telah dicetak sebelumnya. Jumlah loyang yang dibutuhkan
adalah loyang besar berukuran 49 x 58 cm sebanyak 20 loyang. Dimensi mesin ini adalah 134 x 90 x
60 cm, dengan berat 135 kg. Mesin ini dijalankan dengan listrik dan gas. Listrik yang dibutuhkan
adalah watt untuk menggerakkan kipas (fan) yang terletak di dalam oven dan sebagai sistem
pemanasnya menggunakan LPG 22.500 BTU. Kapasitas produksi yang mampu dihasilkan mesin ini
adalah 40 kg/ jam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.19.

Gambar 5.19 Gas Baking Oven


(Sumber: www.tokomesin.com)

71
D. Penentuan Lokasi Pabrik

Salah satu perencanaan yang paling penting dalam pendirian suatu perusahaan adalah factory
planning, yang salah satunya adalah penentuan lokasi perusahaan. Lokasi merupakan hal yang penting
bagi perusahaan karena akan mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan
menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut.

Pemilihan lokasi yang tepat dalam mendirikan industri merupakan hal yang penting.
Pemilihan lokasi yang tepat akan menentukan posisi perusahaan dan kelangsungan hidup perusahaan,
karena akan berpengaruh terhadap efisiensi perusahaan. Lokasi suatu industri yang ditentukan dengan
tepat akan membantu industri tersebut berjalan dengan lancar, efektif, dan efisien. Oleh karena itu,
pemilihan lokasi industri tersebut perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biaya
produksi dan biaya distribusi produk yang dihasilkan sehingga biaya-biaya ini dapat ditekan
seminimal mungkin. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi adalah tata
ruang wilayah, kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku, serta sarana dan prasarana yang tersedia.

Suatu industri yang lokasinya tidak tepat, akan menghadapi persoalan yang terus menerus
dan tidak terselesaikan, terutama dalam menghadapi saingan sehingga kelangsungan hidup dan
stabilitas industri tersebut akan selalu mengalami kesulitan. Oleh sebab itu, untuk memperoleh
keputusan yang tepat dalam penentuan lokasi, maka perlu dilakukan pengkajian berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Lokasi industri yang tepat dapat melayani proses-proses baru, perkembangan
teknologi, dan dapat menampung kemungkinan-kemungkinan perluasan industri.

Calon lokasi pabrik biskuit ikan ditetapkan oleh calon pendiri pabrik, yaitu di daerah Desa
Sukajadi Bogor dan Darmaga Hijau Bogor. Pemilihan lokasi perlu dilakukan dengan cara
membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan tersebut.

Darmaga Hijau Bogor menjadi salah satu alternatif pendirian pabrik biskuit ikan adalah
berdasarkan faktor kedekatan dengan sumber bahan baku sehingga memperkecil biaya transportasi
dan infrasturktur yang cukup mendukung. Selain itu, letak Darmaga Hijau Bogor sangat dekat dengan
Kampus IPB Darmaga dimana pemilik berkantor dan rumah pemilik, sehingga mempermudah pemilik
melakukan pengawasan. Sumberdaya manusia yang berada di sekitar Darmaga Hijau Bogor cukup
mendukung karena saat ini banyak tersedia sumberdaya manusia yang kompeten di lokasi ini. Namun,
di Darmaga Hijau Bogor hanya tersedia sebidang lahan tanpa bangunan di atasnya, sehingga pemilik
diharuskan membangun bangunan pabrik terlebih dahulu yang memakan cukup banyak biaya. Di lain
pihak Desa Sukajadi dipilih menjadi alternatif berikutnya adalah karena infrasturktur yang sangat
mendukung untuk pendirian pabrik biskuit ikan diantaranya tersedia lahan yang cukup luas untuk
pabrik dan harga sewanya murah. Namun, ketersediaan sumberdaya manusia dan sarana penunjang
seperti listrik dan air belum tersedia dengan baik di lokasi ini. Kedua alternatif lokasi ini sama-sama
berada di Kabupaten Bogor, namun jarak pasar maupun kemudahan dalam akses pemasaran lebih
tinggi pada Desa Darmaga Hijau.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE),


lokasi yang terpilih adalah Darmaga Hijau Bogor dengan total nilai pilihan terbesar, yaitu 9.862,
diikuti oleh alternatif berikutnya, yaitu Desa Petir Bogor dengan nilai sebesar 2.573. Kuesioner dan
hasil perhitungan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial dapat di lihat pada

72
Lampiran 1. Penetapan lokasi pabrik didasarkan pada berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan.
Dikaji dari karakteristiknya industri biskuit ikan membutuhkan lokasi yang cukup luas, karena terbagi
menjadi dua proses, yaitu proses pembuatan tepung ikan lele dumbo dan proses pembuatan biskuit
ikan sehingga area yang dibutuhkan meliputi area produksi tepung ikan lele dumbo, area produksi
biskuit ikan, dan kelengkapannya. Industri biskuit ikan tidak menghasilkan limbah padat, cair, dan gas
yang membahayakan bagi lingkungan sehingga lokasi pendirian industri pun tidak harus jauh dari
pemukiman penduduk. Untuk mendukung proses pendistribusian bahan baku dan produk dibutuhkan
infrasturktur yang mendukung. Industri biskuit ikan membutuhkan infrastruktur yang mendukung,
yaitu kebutuhan tenaga listrik harus memadai, pasokan air tanah memadai dengan kualitas air cukup
baik. Selain itu, air yang berasal dari Perusahaan Daerah Air minum juga tersedia, sehingga kebutuhan
air bersih dapat terpenuhi dengan baik. Keseluruhan kriteria kebutuhan pendirian industri tersebut
terpenuhi pada alternatif lokasi Darmaga Hijau Bogor, sehingga pemilihan lokasi di Darmaga Hijau
Bogor sudah tepat. Dokumentasi calon lokasi pabrik dapat dilihat pada Lampiran 2.

Ketersediaan sumber daya manusia pun menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan.
Pasokan sumber daya yang kompeten dan tenaga kerja tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan
adanya industri biskuit ikan, tenaga kerja yang ada di daerah ini dapat terserap dan mampu
mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu, faktor berbagai biaya seperti transportasi pemasaran,
biaya sewa lahan, dan pendirian bangunan cukup terjangkau.

Meskipun lokasi Darmaga Hijau agak jauh dari tempat pemasaran utama, namun hal ini tidak
menjadi permasalahan besar karena biskuit ikan memiliki umur simpan hingga satu tahun. Selain itu,
sifatnya yang ringan, ringkas, dan tidak membutuhkan tempat yang luas semakin mempermudah dalan
pendistribusian biskuit ikan. Kelemahannya hanya ada pada biaya transportasi pendistribusian biskuit
ikan yang menjadi lebih tinggi.

E. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik

Desain tata letak berhubungan dengan penyusunan mesin, peralatan produksi serta ruangan
dalam pabrik dengan tepat agar proses produksi dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Susunan
yang baik akan berpengaruh terhadap laba yang diperoleh oleh perusahaan. Selain mesin dan
peralatan, fasilitas lain seperti gudang, kantor dan yang lainnya juga perlu diatur tata letaknya. Heizer
dan Render (2004) menyatakan bahwa tata letak merupakan salah satu strategi wilayah yang akan
menentukan efisiensi operasi dalam jangka panjang. Tata letak yang efektif dapat membantu sebuah
perusahaan mendapatkan strategi yang mendukung perbedaan, harga yang rendah, atau respon. Selain
itu, perancangan tata letak dapat meminimumkan elemen-elemen biaya, seperti biaya untuk konstruksi
dan instalasi baik untuk bangunan, mesin, maupun fasilitas produksi lainnya, biaya pemindahan
bahan, biaya produksi, perawatan mesin, dan biaya penyimpanan produk setengah jadi.

Pada penentuan tata letak pabrik terdapat dua tipe yang digunakan, yaitu tipe proses dan tipe
produk. Industri biskuit ikan memproduksi dua jenis produk yang saling berhubungan, yaitu tepung
ikan lele dumbo dan biskuit ikan namun dalam satu lini proses. Oleh karena itu, tipe tata letak yang
digunakan adalah tipe produk. Product layout adalah cara pengaturan dan penempatan semua fasilitas
produksi yang diperlukan ke dalam suatu departemen tertentu atau khusus. Suatu produk dapat

73
diproduksi sampai selesai di dalam departemen tersebut dan tidak perlu dipindah-pindahkan ke
departemen yang lain. Dalam product layout, mesin-mesin atau alat bantu disusun menurut urutan
proses dari suatu produk. Produk-produk bergerak secara terus menerus dalam suatu garis perakitan.
Product layout akan digunakan bila volume produksi cukup tinggi dan variasi produk tidak banyak
dan sangat sesuai untuk produksi yang kontinyu. Tujuan dari product layout pada dasarnya adalah
untuk mengurangi proses pemindahan bahan dan memudahkan pengawasan bahan di dalam aktivitas
produksi, sehingga pada akhirnya terjadi penghematan biaya.

Pola aliran bahan yang digunakan pada pabrik biskuit ikan ini adalah tipe U yang bertujuan
untuk mengefisiensikan penggunaan ruang. Analisa aliran bahan sangat diperlukan dalam merancang
suatu tata letak industri atau pabrik. Penentuan aliran bagi manajemen, material, aliran bahan,
distribusi fisik dan logistik merupakan salah satu langkah dalam perencanaan fasilitas yang sangat
penting terutama penentuan pola aliran bahan.

Berdasarkan diagram alir proses pembuatan tepung ikan lele dumbo dan biskuit ikan yang
telah dibuat, maka dilakukan analisis keterkaitan antar aktivitas untuk menentukan tata letak pabrik.
Keterkaitan antar aktivitas dan hasil dari proses perancangan kegiatan tersebut adalah dalam bentuk
bagan dan diagram keterkaitan antar kegiatan yang secara sistematis telah menunjukkan bagaimana
kedudukan (letak atau lokasi) suatu kegiatan (ruang) tertentu dikaitkan dengan kegiatan (ruang) yang
lain (Apple, 1990). Dalam merancang hubungan antar kegiatan maka harus dipertimbangkan faktor
penting, yaitu persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk kegiatan atau ruang tertentu,
karakteristik bangunan, letak bangunan, fasilitas eksternal, dan kemungkinan perluasan. Bagan
keterkaitan antar aktifitas digunakan untuk merencanakan dan menganalisis keterkaitan antar aktifitas
kemudian diwujudkan dalam bentuk diagram yang disebut bagan keterkaitan antar aktifitas yang dapat
dilihat pada Gambar 5.20.

1. Gudang bahan baku


U
2. Gudang produk A
X A
3. R. sortasi & cuci A A
E A O
4. R. produksi tepung E U
I
O U A U
5. R. Produksi biskuit \ A X U U
A U U U
AO X U
6. R. Laboratorium A U U
X X U
E U
X U
7. R. Pengemasan U X
U U X U
8. Kantor X X U
X U
I
9. Mushola & toilet X U
X I
10. IPAL U
U
11. Area parkir

Gambar 5.20 Bagan Keterkaitan Antar Aktivitas pada Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan

74
Bagan keterkaitan antar aktivitas di atas dijadikan patokan sebagai perhitungan keterkaitan
antar ruang. Informasi yang didapat dari bagan keterkaitan antar aktivitas tersebut kemudian
diwujudkan dalam bentuk diagram yang disebut keterkaitan antar aktivitas. Diagram keterkaitan antar
aktivitas menggunakan template-template yang menggambarkan kegiatan yang ada. Setiap template
mencantumkan informasi mengenai derajat keterkaitan kegiatan tersebut dengan kegiatan lain yang
diperoleh dari bagan keterkaitan antar aktivitas. Untuk membuat diagram ini dihitung dengan
menggunakan metode Total Closeness Rating (TCR). Analisis TCR digunakan untuk melihat urutan
kerja dengan lokasi yang harus berdekatan. Aliran proses juga diperlukan untuk melihat urutan kerja
yang digunakan tata letak ruang industri biskuit ikan ini.

Informasi yang dihasilkan bagan keterkaitan aktivitas hanya akan berguna dalam
merencanakan dan menganalisis keterkaitan antar kegiatan apabila diwujudkan dalam bentuk suatu
diagram. Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah diagram keterkaitan antar aktivitas dibentuk
dengan bantuan lembar kerja seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6 Lembar Kerja untuk Diagram Keterkaitan Antar Aktivitas

Simbol
Aktivitas
A E I O U X
1. Gudang bahan baku 3,4,5 - - 6 2,7,8,9,10,11 -
2. Gudang produk 4,5,7 6 - - 1,8,9,11 3,10
3. Ruang sortasi &
1 4 5 - 6,8,9,11 2,7,10
pencucian
4. Ruang produksi tepung 1,2,6,7 3 - 5 8,11 9,10
5. Ruang produksi biskuit 1,2,6,7 - 3 4 8,111 9,10
6. Ruang Laboratorium 4,5 2,7 - 1 3,8,9,11 10
7. Ruang pengemasan 2,4,5 6 - - 1,8,11 3,9,10
8. Kantor - - 9,11 - 1,2,3,4,5,6,7 10
9. Mushola & toilet - - 8 - 1,2,3,6,11 4,5,7,10
10. Pembuangan limbah - - - - 1,11 2,3,4,5,6,7,8,9
11. Area parkir - - 8 - 1,2,3,4,5,6,7,9,10 -

Dari hasil lembar kerja diagram keterkaitan antar aktivitas di atas kemudian dilakukan
pengalokasian aktivitas dengan menggunakan metode perhitungan TCR yang dapat dilihat pada Tabel
5.7. Berdasarkan perhitungan yang didapat, nilai TCR yang paling besar adalah aktivitas , yaitu area
produksi tepung ikan lele dumbo, sehingga penempatan area tersebut diletakkan pertama.

75
Tabel 5.7 Perhitungan TCR (Total Closeness Rating)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 0 2 6 6 6 3 2 2 2 2 2
2 2 0 1 6 6 5 6 2 2 1 2
3 6 1 0 5 4 2 1 2 2 1 2
4 6 6 5 0 3 6 6 2 1 1 2
5 6 6 4 3 0 6 6 2 1 1 2
6 3 5 2 6 6 0 5 2 2 1 2
7 2 6 1 6 6 5 0 2 1 1 2
8 2 2 2 2 2 2 2 0 4 1 4
9 2 2 2 1 1 2 1 4 0 1 2
10 2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 2
11 2 2 2 2 2 2 2 4 2 2 0
Total 33 33 26 38 37 34 32 23 18 12 22

Pada hasil perhitungan di atas dapat diaplikasikan ke dalam sebuah gambar keterkaitan ruang
sehingga desain dari bangunan pabrik dapat ditentukan letak dan lokasinya dan hubungan antar ruang
yang ditunjukkan pada Gambar 5.21.

R.sortasi & R. produksi


Area Parkir
pencucian tepung ikan
IPAL
Gudang R.Laboratorium

Bahan Baku

Mushola &
R. produksi biskuit ikan
R. Pengemasan Toilet
Kantor

Gudang Produk

Gambar 5.21 Tata Letak dan Hubungan Antar Ruang Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan

Setelah dibuat diagram keterkaitan antar ruang, kemudian ditentukan kebutuhan luas ruang.
Luas ruang dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan luas ruangan yang dibutuhkan oleh tiap-tiap
mesin dan peralatan produksi, kebutuhan luas ruang operator, kelonggaran, kebutuhan luas gudang,
kantor, dan ruangan-ruangan lain. Kebutuhan luas ruang pada industri biskuit ikan ini dapat dilihat
pada Tabel 5.8.

76
Tabel 5.8 Kebutuhan Luas Ruang Produksi Tepung Ikan dan Biskuit Ikan

150% Jumlah Luas Total Luas Total


Panjang Lebar Luas
Nama Ruangan Kelonggaran Mesin Sebenarnya Pembulatan
(m) (m) (m2)
Luas (m2) (unit) (m2) (m2)
Gudang bahan baku 1.5 0.5 0.75 1.125 2 2.25 3
Gudang produk 2.25 4
Ruang sortasi & pencucian 3 3
Ruang produksi tepung ikan
a. Area penimbangan 0.082 0.03 0.0246 0.0369 1 0.0369 1
b. Area pemasakan 0.6 0.6 0.36 0.54 1 0.54 1
c. Area pengepresan 0.3 0.2 0.06 0.09 1 0.09 1
d. Area pengeringan 1.5 1 1.5 2.25 1 2.25 3.5
e. Area Boiler 0.5 0.65 0.325 0.4875 1 0.4875 1
f. Area penggilingan basah 1.15 1 1.15 1.725 1 1.725 2
g. Area penggilingan kering 1.04 0.42 0.4368 0.6552 1 0.6552 1
Ruang produksi biskuit ikan
a. Area penimbangan 0.2 0.15 0.03 0.045 1 0.045 1
b. Area pengadukan 0.53 0.46 0.2438 0.3657 1 0.3657 1
c. Area pendinginan 0.547 0.51 0.3 0.45 1 0.45 1
d. Area pemipihan 0.72 0.83 0.7 1.05 1 1.05 2
e. Area pencetakan 1 1 1 2
f. Area pemanggangan 1.34 0.9 1.206 1.809 1 1.809 2.5
Ruang laboratorium 6
Ruang pengemasan 1 0.5 0.5 0.75 2 0.75 4
Kantor 12
Mushola & toilet 8
Lokasi pembuangan limbah 6
Area parkir 6
Total 72

Catatan: Karena luas area setelah kebutuhan cukup kecil, maka dibuat luas pembulatan agar
mempermudah kegiatan proses produksi.

Area kelonggaran ditentukan sebesar 150% yang disediakan untuk kegiatan penanganan
bahan, pergerakan pekerja dan perawatan, lorong, kolom, dan sebagainya sesuai kebutuhan.
Berdasarkan perhitungan pada Tabel di atas, luas pabrik yang dibutuhkan adalah 71.45 m2 dengan luas
total lahan tempat berdirinya pabrik adalah 72 m2 (6 m x 12 m). Untuk lebih jelasnya denah ruangan
dalam pabrik dapat dilihat pada Lampiran 3 layout ruang produksi tepung ikan lele dumbo pada
Lampiran 4, dan layout ruang produksi biskuit ikan pada Lampiran 5.

77
VI. ANALISIS MANAJEMEN DAN ORGANISASI

A. Kebutuhan Tenaga Kerja

Salah satu aspek dalam manajemen operasi yang perlu direncanakan pada awal proyek
adalah analisis kebutuhan tenaga kerja. Proses produksi tepung ikan lele dumbo dan biskuit ikan
sebagian besar bahkan hampir keseluruhan dilakukan oleh mesin, namun dalam pelaksanaan proses
produksi tetap dibutuhkan tenaga kerja manusia sebagai operator, pengawas proses produksi, dan
beberapa kegiatan produksi yang membutuhkan campur tangan manusia secara langsung. Selain
dalam lingkup proses produksi, tenaga kerja dibutuhkan dalam pelaksanaan aktivitas di luar produksi,
seperti pemasaran, administrasi, transportasi dan distribusi, serta kegiatan lainnya. Tenaga kerja yang
dibutuhkan disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan dan kriteria tenaga kerja yang dibutuhkan.

Industri tepung dan biskuit ikan merupakan perusahaan yang benar-benar baru didirikan,
sehingga kebutuhan sumber daya merupakan hal yang sangat penting untuk ditetapkan dengan baik.
Untuk saat ini perlu dibuat penggolongan pekerja ke dalam golongan tetap, yaitu beberapa orang
pekerja mulai dari direktur, manajer, operator, laboran, dan staf masing-masing bidang yang telah
ditetapkan dan sistem penggajian ditetapkan dengan cara pembayaran berkala setiap bulan, sedangkan
buruh angkut digolongkan ke dalam tenaga kerja tidak tetap.

Penentuan jumlah tenaga kerja diperhitungkan dengan mengidentifikasi kegiatan, sifat, dan
beban kerja sehingga dapat ditentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan
pekerjaan tersebut. Rincian penetapan tenaga kerja dapa dilihat pada Tabel 6.1.

78
Tabel 6.1 Penentuan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan

Jumlah Tenaga Kerja


No. Kegiatan Sifat
(Orang)
1 Produksi tepung ikan lele dumbo
a. Sortasi dan pencucian bahan baku Rutin harian 1
b. Pemasakan Rutin harian 1
c. Pengepresan Rutin harian 1
d. Pengeringan Rutin harian 1
e. Penghalusan Rutin harian 1
f. Pengemasan Rutin harian 1
Produksi biskuit ikan
a. Sortasi dan penimbangan bahan baku Rutin harian 1
b. Pengadukan Rutin harian 1
c. Pemipihan Rutin harian 1
d. Pencetakan Rutin harian 1
e. Pemanggangan Rutin harian 1
f. Pengemasan Rutin harian 1
2 Perencanaan produksi
Berkoordinasi dengan bagain pemasaran dan logistik untuk mengontrol
Rutin harian 1
kontinuitas produksi
3 Administrasi
Melakukan pembukuan perusahaan dan melakukan maintenance
Rutin harian 1
perlengkapan kantor perusahaan
4 Keuangan Rutin harian
Melakukan pembukuan keuangan dan mengatur pemasukan dan
Rutin harian 2
pengeluaran perusahaan
5 Pemasaran
a. Menetapkan sistem pamasaran bagi perusahaan Rutin harian 1
b. Menjalin kerja sama dengan pemerintah yang menjalankan program
Rutin harian 2
pemberian makanan tambahan bagi balita
c. Membuat perencanaan pasar dan web perusahaan Temporer 1
d. Mengikuti pameran-pameran dan mengadakan roadshow Temporer 2
6 Logistik
Mengatur jumlah persediaan bahan baku dan produk Rutin harian 1
7 Distribusi produk
Pendistribusian produk dilakukan oleh supir dan bagian pemasaran Rutin harian 1
8 Pengawasan mutu
Melakukan pengawasan mutu pada produk yang dihasilkan Rutin harian 1
9 Kebersihan
Membersihkan lingkungan pabrik dan membantu merawat aset perusahaan Rutin harian 1
10 Keamanan
Menjaga keamanan pabrik selama 24 jam (2 shift) Rutin harian 2
Total 27

79
Berdasarkan perhitungan kebutuhan tenaga kerja tersebut, langkah selanjutnya adalah
membuat kualifikasi pendidikan atas tenaga kerja yang dibutuhkan yang disajikan pada tabel 6.2.

Tabel 6.2 Kebutuhan dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang diButuhkan pada Industri Tepung dan
Biskuit Ikan

No. Jabatan Kualifikasi Pendidikan Jumlah (Orang)


1 Direktur S1 1
2 Manajer Produksi dan QC S1 1
3 Manajer Pemasaran S1 1
4 Manajer Administrasi dan Keuangan S1 1
5 Staff pemasaran S1 5
6 Staff logistik S1 1
7 Staff administrasi SMA sederajat 1
8 Staff keuangan SMA sederajat 1
9 Operator SMA sederajat 12
10 Laboran SMK analisis kimia 1
11 Supir SMA sederajat 1
12 Petugas Keamanan SMP 2
Total 28

Pada kajian ini diperkirakan jumlah sumber daya yang dibutuhkan adalah 28 orang, dengan
rincian pekerja tetap sebanyak 25 orang dan pekerja temporer sebanyak tiga orang. Pada awal
pendirian industri, komposisi tenaga kerja yang paling banyak difokuskan pada bagian pemasaran. Hal
ini berkaitan dengan sifat produk yang tergolong produk baru dan masih berada pada tahap
pengenalan. Oleh karena itu, pemasaran merupakan salah satu hal terpenting dalam rangka pengenalan
dan pencarian pasar biskuit ikan yang diproduksi. Untuk perkembangan ke depannya, tidak menutup
kemungkinan perusahaan melakukan perubahan komposisi tenaga kerja maupun melakukan rotasi
kerja.

B. Struktur Organisasi

Manajemen operasional industri yang baik akan mampu memenuhi segala kebijakan dan
tujuan perusahaan. Tenaga manajemen yang asli merupakan faktor utama dalam keberhasilan
manajemen industri. Tenaga kerja yang tepat dan berkualitas dapat diperoleh dengan mengetahui
beberapa hal penting, yaitu uraian jenis pekerjaan atau tugas pokok yang diperlukan untuk
menjalankan operasional industri, struktur organisasi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas-tugas
perusahaan secara efisien, dan persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk mengisi jabatan yang
ada untuk mengisi kekurangan ahli.

Besar kecilnya perusahaan akan sangat menentukan bentuk perusahaan dan struktur
organisasi yang dijalankan oleh perusahaan tersebut. Hubungan koordinasi antar bagian-bagian dalam
perusahaan akan berbeda-beda pada tiap perusahaan. Semua pekerjaan yang akan dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan perusahaan harus dirinci dan didistribusikan semuanya kepada orang-orang
yang mampu bekerja di bidang tersebut. Untuk itu harus disiapkan mekanisme koordinasi.

80
Setelah identifikai jabatan menghasilkan gambaran yang jelas kemudian disusun neraca
organisasi pengelola operasi karena penekanan pada spesialisasi dan efisiensi, maka struktur
organisasi operasi umumnya dikelompokkan berdasarkan fungsi dengan beberapa variasi, seperti
organisasi berdasarkan produk atau area. Pada perusahaan biskuit ikan yang akan didirikan, setiap
pekerjaan didistribusikan kepada pekerja berdasarkan kualifikasi yang dimiliki.

Keseluruhan rangkaian kegiatan operasi akan dijalankan oleh beberapa bagan sesuai dengan
bidang masing-masing. Secara umum, struktur organisasi pada perusahaan biskuit ikan terbagi
menjadi beberapa tahapan hirarki, yaitu direktur, manajer, dan staf. Rencana struktur organisasi
perusahaan yang menunjukan setiap bagian memiliki peranan dalam bidang yang menjadi tanggung
jawabnya dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Direktur

Manajer Manajer Manajer Keuangan


Pemasaran Produksi dan QC dan Administrasi

Staf Pemasaran Operator Laboran Staf Logistik Staf Staf Supir Security
Keuangan Administrasi

Gambar 6.1 Struktur Organisasi Industri Tepung dan Biskuit Ikan

C. Deskripsi Pekerjaan

Salah satu masalah yang selalu timbul dalam pengorganisasian adalah menentukan seberapa
banyak tugas yang harus dikerjakan oleh seorang anggota organisasi. Oleh karena itu, dalam sebuah
perusahaan perlu dibuat deskripsi pekerjaan dari tiap-tiap jabatan yang ada pada perusahaan tersebut.
Dengan adanya deskripsi pekerjaan diharapkan setiap pekerja mengetahui tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Deskripsi pekerjaan
pada industri ini adalah sebagai berikut.

1. Direktur

Direktur bertanggung jawab untuk mengatur keseluruhan fungsi dan kelancaran seluruh
kegiatan perusahaan pada seluruh bagian, yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
serta mengawasi manajer dan staf yang berada di bawahnya.

2. Manajer Produksi dan Quality Control (QC)

Manajer Produksi dan Quality Control (QC) bertanggung jawab dalam melakukan
pengawasan dan pelaksanaan seluruh kegiatan produksi, pengadaan dan ketersediaan bahan baku dan
bahan pembantu dalam pembuatan produk, pengawasan kualitas bahan baku dan produk,
pemeliharaan dan perawatan mesin-mesin yang digunakan dan mengontrol kelancaran distribusi

81
produk, serta penelitian dan pengembangan produk agar mampu menghasilkan produk yang sesuai
dengan keinginan konsumen sasaran.

3. Manajer Pemasaran

Manajer pemasaran bertugas mengelola keseluruhan kegiatan pemasaran mencakup


pencarian peluang-peluang pasar danbauran pemasaran, seperti pengorganisasian kegiatan-kegiatan
promosi penjualan, penjualan, dan kerja sama dengan mitra.

4. Manajer Keuangan dan Administrasi

Manajer keuangan dan administrasi bertanggung jawab untuk mengatur berbagai hal yang
terkait dengan penjualan, pembuatan strategi harga, dan pembukuan data-data perusahaan.

5. Staf Pemasaran

Staf pemasaran bertugas untuk memasarkan produk, melaksanakan strategi pemasaran yang
telah ditetapkan, dan menjalankan kegiataan promosi.

6. Staf Logistik

Staf logistik bertugas mengelola pendistribusian produk dan mengatur pengadaan dan
pengelolaan bahan baku.

7. Staf Keuangan

Staf keuangan bertugas melaksanakan dan mengelola kegiatan pencatatan keuangan dan
pengelolaan keuangan perusahaan.

8. Staf Administrasi

Staf administrasi bertugas melaksanakan dan mengawasi kegiatan pencatatan administrasi


kantor dan operasional perusahaan.

9. Operator

Operator bertugas menjalankan mesin sesuai dengan prosedur yang ada dan memastikan
mesin berjalan sesuai dengan kriteria yang seharusnya. Operator harus secara terus menerus
melakukan pengawasan terhadap proses produksi dan kinerja mesin agar tidak terjadi penyimpangan
produk yang tidak diinginkan. Operator juga bertugas untuk melakukan perawatan mesin dan alat-alat
produksi.

10. Laboran

Laboran bertugas melakukan pengawasan terhadap mutu produk dengan melakukan


pengecekan mutu bahan baku, hasil dari tiap tahap produksi, dan produk akhir sesuai dengan standar
mutu yang ditetapkan sesuai dengan arahan dari manajer produksi dan QC.

82
11. Supir

Supir bertugas mengendarai kendaraan milik perusahaan dalam rangka pendistribusian


produk yang dihasilkan. Selain itu, supir juga bertugas melaksanakan kegiatan transportasi yang
berhubungan dengan kegiatan perusahaan.

12. Security

Security bertugas menjaga keamanan perusahaan dengan jumlah jam kerja 24 jam siang dan
malam dengan pembagian waktu menjadi 2 shift.

83
VII. ANALISIS LINGKUNGAN DAN LEGALITAS

A. Aspek Lingkungan

Dari setiap proses produksi di dalam industri pasti menghasilkan limbah, baik yang bersifat
merugikan ataupun menguntungkan. Limbah yang sifatnya merugikan dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran. Pencemaran pada tiap tahap proses produksi tidak dapat dihilangkan atau dihindari tetapi
pencemaran dapat dicegah sehingga menimbulkan dampak yang seminimal mungkin.

Industi biskuit ikan menghasilkan limbah berupa limbah padat, cair, dan gas. Namun jumlah
limbah yang dihasilkan relatif kecil dan tidak membahayakan. Limbah padat yang dihasilkan dari
industri ini berasal dari proses penghalusan daging ikan menjadi tepung, yaitu berupa ceceran tepung
yang terjatuh dari mesin penggiling dan cangkang telur dari telur ayam yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan biskuit ikan. Limbah padat ini tidak tergolong limbah berbahaya bagi lingkungan,
terlebih lagi jumlahnya yang sedikit, sehingga dapat dibuang secara langsung ataupun dikumpulkan
untuk kemudian dijual kepada peternak sebagai tepung pakan ternak dan pengrajin cangkang telur.
Selain limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi, kemasan yang digunakan untuk mengemas
produk dan kemasan yang berasal dari bahan baku yang digunakan, seperti kemasan tepung terigu dan
gula bubuk juga dapat menjadi sumber limbah padat industri. Misalnya kemasan produk yang cacat
ataupun rusak dan kemasan tepung terigu yang telah habis akan menjadi potensi dihasilkannya limbah
padat. Limbah berupa kemasan akan ditampung dan dibuang secara berkala ke tempat pembuangan
samapah ataupun dikumpulkan untuk kemudian dijual ke pengrajin sampah kemasan.

Limbah lain yang dihasilkan industri tepung dan biskuit ikan adalah limbah cair yang berasal
dari proses pengepresan ikan lele dumbo, pencucian peralatan, dan limbah domestik dari kegiatan
sanitasi (MCK). Limbah yang berasal dari sanitasi akan ditampung dengan menggunakan septic tank,
sedangkan limbah yang dihasilkan dari pengepresan ikan lele dumbo akan dimanfaatkan kembali
untuk dijadikan suplemen minyak ikan dalam bentuk softgel karena dari proses pengepresan
dihasilkan jumlah minyak yang cukup banyak dan mengandung omega 6 yang tinggi. Pembuatan
sofgel minyak ikan lele dumbo, pada saat ini dalam proses penelitian lebih lanjut.

Selain kedua jenis limbah di atas, industri tepung dan biskuit ikan juga menghasilkan limbah
berupa gas yang berasal dari proses produksi dan kendaraan bermotor. Limbah yang dihasilkan dapat
menyebabkan penurunan terhadap penurunan kualitas udara terutama pada proses pemasakan ikan lele
dumbo dan debu yang dihasilkan dari proses pengeringan ikan lele dumbo dengan menggunakan drum
dryer. Udara yang dihembuskan masih mengandung material produk yang dapat mengakibatkan
kehilangan sekaligus mengotori udara lingkungan pabrik. Pengelolaan limbah gas difokuskan untuk
menjaga kualitas udara dan debu di lokasi oabrik dan sekitarnya agar berada di bawah baku mutu yang
telah ditetapkan oleh pemerintah sekaligus meminimalkan kehilangan produk akibat terbawa udara
pengeluaran. Pada penanganan limbah gas, pabrik memanfaatkan penggunaan penyaring dan exhaust
fan. Exhaust fan berfungsi untuk membuang limbah gas ke udara bebas sehingga limbah gas yang
terlepas dapat terurai di udara bebas.

84
B. Aspek Legalitas

Tiap perusahaan atau industri yang didirikan haruslah mendapatkan pengakuan secara hukum
dari pihak terkait, dalam hal ini adalah pemerintah. Pengakuan atau legalitas suatu perusahaan
bertujuan untuk mengetahui keberadaan industri tersebut, memberikan kemudahan dalam
menjalankan kegiatan usaha, dan mendapatkan dukungan serta terikat pada kebijakan yang berlaku di
lokasi pendirian perusahaan. Dalam melegalisasi pendirian suatu industri perlu dibentuk menjadi
suatu badan usaha, begitu pula dengan industri tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan.

1. Badan Usaha

Bentuk badan usaha dari industri tepung dan biskuit ikan yang didirikan adalah Perseroan
Terbatas (PT) yang merupakan badan hukum persekutuan modal yang didirikan berdasarkan
perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 dan peraturan
pelaksanaannya. Pemilihan bentuk badan usaha berupa Perseroan Terbatas dikarenakan industri
tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan merupakan kerja sama dari tiga orang penanam modal.
Selain itu, bentuk badan usaha Perseroan Terbatas memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut.

a. Terstruktur dengan baik

Terdapat pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus atau direksi yang bertugas
langsung mengelola perusahaan dan komisaris yang bertanggung jawab sebagai pengawas.

b. Efisiensi manajemen

Manajemen dan spesialisasi memungkinkan pengelolaan modal yang efisien sehingga


memungkinkan untuk melakukan ekspansi. Dengan menempatkan orang yang tepat, maka dapat
memaksimumkan modal yang tersedia.

c. Kewajiban terbatas

Tidak seperti bentuk usaha Partnership, pemegang saham sebuah PT tidak memiliki
kewajiban untuk obligasi dan hutang perusahaan. Akibatnya kehilangan potensial yang terbatas tidak
akan melebihi dari jumlah yang mereka bayarkan terhadap saham. Tidak hanya mengizinkan
perusahaan untuk melaksanakan dalam usaha yang beresiko, tetapi kewajiban terbatas juga
membentuk dasar untuk perdagangan di saham perusahaan.

d. Masa hidup abadi

Aset dan struktur perusahaan dapat melewati masa hidup dari pemegang saham dan
pengurusnya. Hal ini menyebabkan stabilitas modal yang dapat menjadi investasi dalam proyek yang
lebih besar dan dalam jangka waktu yang lebih panjang dari aset perusahaan tetap dapat menjadi
subyek disolusi dan penyebaran. Kelebihan ini juga sangat penting dalam periode pertengahan.

Perusahaan biskuit ikan yang didirikan bernama PT. Carmelitha Lestari yang diberikan oleh
salah seorang pemegang saham. Pendirian perusahaan ini merupakan salah satu langkah dalam
pemanfaatan bahan baku lokal yang tersedia sangat banyak di Indonesia dan memberikan makanan
tambahan bergizi tinggi bagi balita kurang mampu. Visi dan Misi PT. Carmelitha Lestari adalah
sebagai berikut.

85
Visi: “Menjadi perusahaan pangan berbasis hewani terpadu yang terkemuka dan memberi manfaat
maksimal bagi masyarakat”.

Misi: - Mengembangkan potensi usaha perusahaan dalam bidang pangan sehat dan bergizi dengan
harga terjangkau.

- Membangun industri pengolahan pangan dengan memanfaatkan potensi kekayaan alam


Indonesia yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah dan kualitan produk.

- Dalam jangka panjang, berperan aktif meningkatkan daya saing produk pangan Indonesia di
pasar global, sehingga dapat memberikan kontribusi pada devisa negara dan perekonomian
nasional, serta kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab
perusahaan.

2. Perizinan

Dalam proses pendirian PT. Carmelitha Lestari ini diperlukan beberapa langkah perizinan,
yaitu dengan menggunakan akte resmi yang dibuat oleh notaris yang didalamnya tercantum nama lain
dari Perseroan Terbatas, modal, bidang usaha, alamat perusahan, dan yang lainnya. Berdasarkan UU
N0. 40 Tahun 2007, syarat-syarat pendirian PT secara formal adalah sebagai berikut.

a. Pendiri minimal dua orang atau lebih (pasal 7 ayat 1).

b. Akte notaris berbahasa Indonesia.

c. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan (pasal 7 ayat 2
dan 3).

d. Akte pendirian harus disahkan oleh Menteri Kehakiman dan diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia (pasal 7 ayat 4).

e. Modal dasar minimal Rp 50.000.000,00 dan modal disetor minimal 25% dari modal dasar (pasal 32
dan 33).

f. Minimal terdapat satu orang direktur dan satu orang komisaris (pasal 92 ayat 3 dan pasal 108 ayat
3).

g. Pemegang saham harus WNI atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, kecuali
PT. Penanaman Modal Asing.

Persyaratan material yang harus dipenuhi berupa kelengkapan dokumen yang harus
disampaikan kepada Notaris pada saat penandatanganan akte pendirian adalah sebagai berikut.

a. KTP dari para pendiri (minimal dua orang dan bukan suami istri). Apabila pendirinya hanya suami
istri (dan tidak pisah harta) maka, harus ada satu orang lain yang bertindak sebagai pemegang
saham/ pendiri.

b. Modal dasar dan modal disetor.

c. Jumlah saham yang diambil oleh masing-masing pendiri.

d. Susunan direksi dan komisaris serta jumlah dewan direksi dan dewan komisaris.

86
Selain itu, untuk izin-izin perusahaan berupa surat keterangan domisili perusahaan, NPWP
perusahaan, SIUP, TDP/ WDP, dan PKP, maka dokumen-dokumen pelengkap yang diperlukan adalah
sebagai berikut.

a. Kartu Keluarga Direktur Utama.

b. NPWP Direksi.

c. Salinan perizinan sewa gedung berikut surat keterangan domisili dari pengelola gedung (apabila
kantornya bertatus sewa), sedangkan apabila berstatus milik sendiri, maka diperlukan salinan
sertifikat tanah dan PBB terakhir berikut bukti lunasnya.

d. Pas foto Direktur Utama/ penanggung jawab ukuran 3 x 4 cm sebanyak dua lembar.

e. Foto kantor tampak depan dan dalam (ruangan berisi meja, kursi, komputer berikut satu hingga dua
orang pegawainya). Biasanya ini dilakukan untuk mempermudah pada waktu survei lokasi untuk
PKP atau SIUP.

f. Stempel/ cap perusahaan.

Adapun proses teknis pendirian PT adalah sebagai berikut.

a. Pemesanan nama
- Kuasa pengurusan hanya bisa kepada Notaris
- Dalam jangka waktu maksimal 60 hari, harus diajukan pengesahannya ke Departemen
Kehakiman atau nama menjadi expired.

b. Pembuatan akta Notaris.

c. Pengurusan ijin domisili & Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Perseroan sekaligus pembayaran
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) & Berita Negara Republik Indonesia (BNRI).

d. Pembukaan rekening Perseroan dan menyetorkan modal ke kas Perseroan.

e. Permohonan pembuatan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Ijin Usaha lain yang terkait
sesuai dengan maksud & tujuan usaha.

f. Pembuatan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sekaligus pendaftaran Perseroan untuk memenuhi
kriteria Wajib Daftar Perusahaan (WDP). Pada waktu pendaftaran, asli-asli dokumen harus
diperlihatkan.

g. Pengumuman pada BNRI.

Disamping itu, terdapat pula SOP izin gangguan (IG/HO) berdasarkan peraturan daerah
Kabupaten Bogor No. 25 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Gangguan. SOP IG ini bertujuan untuk
tertib administrasi dan tertib hukum dalam melakukan kegiatan usaha baik yang dilakukan oleh
perorangan atau badan hukum. Sasaran dan objek yang dikenakan SOP IG adalah setiap orang pribadi
atau badan yang mendirikan atau memperluas tempat usahanya dilokasi tertentu yang dapat

87
menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Persyaratan
permohonan baru izin gangguan adalah sebagai berikut.

a. Surat permohonan IG yang ditandatangani oleh pemohon di atas materai.

b. Surat kuasa bila pengurus perizinan dikuasakan kepada orang lain.

c. Fotokopi KTP pemohon atau Surat Izin Tinggal Sementara (khusus untuk Penanaman Modal
Asing).

d. Fotokopi IMB.

e. Fotokopi pemilikan tanah, dan jika pemohon bukan sebagai pemilik tanah, harus menyampaikan
akta otentik yang menerangkan hubungan hukum antara pemohon dengan obyek tanah dalam
bentuk:

 perjanjian sewa menyewa;


 perjanjian pinjam pakai; atau
 perjanjian dalam bentuk lain.

(Sepanjang para pihak yang menandatangani perjanjian sewa menyewa, perjanjian pinjam
pakai, atau perjanjian dalam bentuk lainnya bukan pemilik dan atau pengurus perusahaan)

f. Fotokopi akte pendirian perusahaan (khusus Perseroan Terbatas harus melampirkan pengesahan
pendirian perusahaan dari Menteri Hukum dan Ham).

g. NPWP

h. Fotokopi SPPT dan STTS PBB tahun terakhir.

i. Surat persetujuan tetangga radius 200 meter dari lokasi dan dilampiri fotokopi KTP,
penandatanganan diketahui RT, RW dan Desa/ Kelurahan.

j. Melampirkan dokumen Amdal atau UKL/UPL untuk usaha tertentu.

k. Fotokopi surat persetujuan dari BKPM (khusus untuk PMA dan PMDN).

Jangka waktu penyelesaian izin gangguan baru adalah maksimal 12 hari kerja setelah
pemohon memenuhi persyaratan dengan lengkap dengan masa berlaku izin gangguan selama 3
tahun dan dapat diperpanjang apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Biaya retribusi untuk
izin gangguan permohonan baru, yaitu:

 Luas ruangan usaha 100 m2 pertama x indeks lokasi x indeks gangguan x Rp 500
 Luas ruangan usaha selebihnya x indeks lokasi x indeks gangguan x Rp 250

Penetapan indeks gangguan didasarkan pada besar kecilnya gangguan dengan klasifikasi
sebagai berikut.

a. Intensitas gangguan besar / tinggi indeks: 5


b. Intensitas gangguan sedang indeks: 3
c. Intensitas gangguan kecil indeks: 2

88
Penetapan indeks jalan didasarkan pada letak/ lokasi perusahaan dengan klasifikasi sebagai
berikut.
a. Lokasi di Jalan Negara, indeks : 5
b. Lokasi di Jalan Propinsi, indeks : 4
c. Lokasi di Jalan Kabupaten, indeks : 3
d. Lokasi di Jalan Desa, indeks : 2

C. Pajak

Pendirian industri tepung dan biskuit ikan tidak terlepas dari kewajiban pajak yang
dibebankan, sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan yang menyatakan
bahwa yang menjadi subjek pajak adalah badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Perseroan
atau perkumpulan lainnya, Firma, Kongsi, dan yayasan atau lembaga untuk usaha tetap.

Penentuan besar pajak penghasilan yang dilakukan berdasarkan UU perpajakan No. 36


Tahun 2008 ayat 1b yang menyatakan bahwa pajak penghasilan untuk suatu badan dalam negeri dan
bentuk badan usaha adalah sebesar 28%.

89
VIII. ANALISIS FINANSIAL

Analisis finansial bertujuan untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan dalam
perencanaan suatu industri melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan
membandingkan antara pengeluaran dan penerimaan. Dalam analisis finansial juga ditetapkan
mengenai sumber dana yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana, serta membahas
mengenai kelayakan proyek yang akan dikerjakan dari sisi finansial. Beberapa aspek yang
diperhitungkan dalam analisis finansial diantaranya adalah biaya investasi total, sumber dana
pembiayaan proyek, biaya produksi total, estimasi aliran kas proyek, serta analisis kelayakan
investasi.

Untuk analisis kelayakan investasi meliputi berbagai perhitungan kriteria investasi yang telah
umum digunakan. Kriteria kelayakan yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate
of Return (IRR), Net B/C, Pay Back Period (PBP), Break Even Point (BEP), dan analisis sensitivitas.

A. Asumsi Perhitungan Finansial

Analisi finansial memerlukan beberapa penetapan asumsi yang disesuaikan dengan kondisi
pada saat kajian dilakukan dan didasarkan pada hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan pada
analisis aspek-aspek yang lain, standar pendirian usaha, serta peraturan yang berlaku. Asumsi-asumsi
dasar yang menjadi perhitungan dalam analisis finansial digunakan untuk dapat menentukan
kelayakan industri tepung dan biskuit ikan. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Analisis finansial ini dilakukan dengan biaya investasi untuk pendirian usaha baru.

b. Umur ekonomi proyek diasumsikan selama 10 tahun, disesuaikan dengan umur ekonomi mesin
dan peralatan.

c. Nilai sisa bangunan pada akhir proyek adalah 50% dari nilai awal, nilai sisa mesin dan peralatan
adalah 5% dari nilai awal dan nilai sisa kendaraan adalah 20% dari nilai awal.

d. Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan adalah 2% dari harga mesin dan peralatan.

e. Kapasitas produksi biskuit ikan sebesar 10.000 keping per hari dan tepung mix sebesar 25 kg per
hari dengan bahan baku ikan lele segar sebesar 84 kg per hari.

f. Jumlah hari kerja per tahun adalah 312 hari dengan asumsi dalam sebulan terdapat 26 hari kerja
dan dalam setahun terdapat 12 bulan.

g. Bunga modal diasumsikan sebesar 18%

h. Pajak dihitung berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 untuk pajak badan usaha, yaitu sebesar 28%.

i. Modal kerja dihitung berdasarkan asumsi biaya modal kerja adalah 10% dari penjualan tahun
berikutnya.

90
j. Kapasitas produksi pada tahun pertama adalah 60%, kapasitas produksi pada tahun kedua adalah
80%, sedangkan kapasitas produksi tahun ketiga dan seterusnya adalah 100%.

k. Proyek dimulai pada tahun ke- 0, sedangkan produksi pertama dimulai pada tahun ke- 1. Asumsi-
asumsi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

B. Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan biaya yang diperlukan untuk mendirikan industri tepung dan
biskuit ikan. Biaya investasi yang diperlukan meliputi biaya investasi tetap dan biaya modal kerja.
Biaya investasi tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pengadaan harga tetap, pembiayaan
kegiatan praoperasi, serta biaya lain yang berkaitan dengan pembangunan pabrik sampai pabrik siap
beroperasi. Modal tetap meliputi biaya pengadaan lahan, pendirian bangunan, pengadaan mesin dan
peralatan produksi, biaya kegitan awal (prainvestasi), biaya kontingensi, serta pengadaan fasilitas
pendukung lainnya. Adapun total biaya investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 884.335.000
dengan kebutuhan modal tetap Rp 687.775.000 dan kebutuhan modal kerja Rp 196.560.000. Perincian
kebutuhan investasi tetap disajikan pada Lampiran 7 dan ringkasan biaya investasi dapat dilihat pada
Tabel 8.1.

Industri tepung dan biskuit ikan akan didirikan pada lahan seluas 72 m2 dengan luas
bangunan yang sama. Asumsi harga tanah di daerah Darmaga Hijau, Kabupaten Bogor adalah sebesar
Rp 1.000.000, dengan demikian dana yang dibutuhkan untuk pembelian tanah adalah sebesar Rp
72.000.000. Biaya untuk pembangunan pabrik dan kantor diperkirakan sebesar Rp 50.000.000. Biaya
prainvestasi adalah biaya yang digunakan untuk melaukan berbagai kegiatan yang diperlukan sebelum
produksi mulai berjalan. Biaya prainvestasi meliputi studi kelayakan, izin sertifikasi BPOM, perizinan
lokasi usaha, dan akte perusahaan, serta pengesahan. Biaya prainvestasi pada proyek ini diperkirakan
sebesar Rp 75.000.000.

Karena berbagai faktor, suatu perkiraan biaya tidak mungkin sepenuhnya tepat, karena itu
dalam suatu proyek biasanya terdapat suatu kontingensi yang disiapkan untuk menutupi kekurangan
yang mungkin terjadi. Biaya kontingensi adalah biaya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga
yang diperkirakan akan terjadi seperti bencana alam atau kesalahan perhitungan awal. Selain itu, biaya
kontingensi juga disiapkan untuk mengantisipasi kenaikan harga yang mungkin terjadi selama
berlangsungnya pelaksanaan proyek. Pada analisis finansial ini biaya kontingensi dihitung dengan
cara memisahkan komponen-komponen biaya yang termasuk dalam biaya investasi dalam dua
golongan, yaitu yang termasuk dalam perkiraan biaya tetap dan biaya tidak tetap. Golongan biaya
tetap adalah biaya-biaya yang selama pengerjaan proyek mungkin mengalami perubahan harga,
seperti biaya bahan-bahan bangunan, biaya pengurusan administrasi, dan lain-lain. Cadangan dana
yang disiapkan adalah sebesar 10% dari biaya-biaya tetap, sehingga total biaya kontingensi adalah
sebesar Rp 62.525.000.

91
Tabel 8.1 Komponen Biaya Investasi Tetap yang Dibutuhkan dalam Pendirian Industri Tepung dan
Biskuit Ikan

No. Komponen Nilai Total (Rp)


1. Biaya prainvestasi 75.000.000
2 Tanah dan bangunan 122.000.000
3. Fasilitas penunjang 27.500.000
4. Mesin dan peralatan 233.150.000
5. Alat kantor 17.600.000
6. Sarana distribusi 150.000.000
Subtotal 625.250.000
Kontingensi 10% 62.525.000
Total 687.775.000

Modal kerja adalah dana awal yang diperlukan untuk membiayai kebutuhan operasional dan
produksi pada waktu pertama kali dijalankan. Total biaya modal kerja yang dibutuhkan pada awal
pendirian pabrik diasumsikan sebesar 10% dari total penjualan tahun berikutnya. Modal kerja yang
dibutuhkan adalah sebesar Rp 196.560.000 pada tahun pertama, sedangkan tahun kedua sebesar Rp
262.080.000, dan tahun ketiga Rp 327.600.000. Pada tahun berikutnya tidak dibutuhkan tambahan
untuk modal kerja karena produksi pada tahap sebelumnya sudah mampu terjual dan menutupi biaya
modal kerja yang dibutuhkan.

C. Perhitungan Depresiasi

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam membuat arus kas adalah depresiasi.
Depresiasi adalah suatu metode perhitungan akuntansi yang bermaksud membebankan biaya
perolehan aset dengan membayar selama periode tertentu dimana aset tersebut masih berfungsi
(Soeharto, 1995). Menurut peraturan, depresiasi merupakan pengeluaran yang dianggap dapat
dipotong dari bagian yang dikenakan pajak. Pada analisis ini metode yang digunakan adalah metode
garis lurus (straight line depreciation). Metode ini dipilih karena merupakan metode yang paling
banyak dipakai. Hasil perhitungan menunjukkan nilai depresiasi industri setiap tahunnya adalah
sebesar Rp 56.081.000. Rincian perhitungan depresiasi ini disajikan pada Lampiran 8.

D. Prakiraan Biaya Produksi dan Penerimaan

Biaya yang digunakan dalam analisis finansial ini dikategorikan menjadi biaya tetap dan
biaya variabel. Biaya variabel merupakan biaya yang jumlahnya akan berubah dengan perubahan
intensitas volume kegiatan. Biaya variabel meliputi biaya bahan baku dan utilitas, serta gaji tenaga
kerja langsung. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap, tidak dipengaruhi oleh
intensitas kegiatan.

Biaya yang termasuk biaya tetap adalah biaya produksi tetap, biaya administrasi, biaya
penyusutan, biaya pemeliharaan, dan pajak. Komposisi biaya tetap dan biaya variabel disajikan pada
Lampiran 9 dan perhitungan biaya operasional lengkap disajikan pada Lampiran 10. Prakiraan biaya

92
produksi biskuit ikan dan tepung mix pada tahun pertama sebesar Rp 1.539.029.760, pada tahun
kedua Rp 1.883.983.680, pada tahun ketiga dan seterusnya Rp 2.228.937.600. Prakiraan biaya pada
awal-awal produksi memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan tahun ketiga dan seterusnya,
hal ini dikarenakan pada awal produksi kapasitas produksi belum penuh, sedangkan pada tahun ketiga
dan seterusnya kapasitas produksi sudah mencapai 100%.

Pada tahun pertama perusahaan memproduksi sebanyak 60% dari kapasitas total. Pada tahun
kedua perusahaan memproduksi 80%, sedangkan pada tahun ketiga sampai tahun kesepuluh
perusahaan memproduksi dalam kapasitas total. Prakiraan penerimaan yang diperoleh pada tahun
pertama adalah Rp 1.965.600.000, pada tahun kedua adalah Rp 2.620.800.000, sedangkan prakiraan
penerimaan pada tahun ketiga dan seterusnya adalah Rp 3.276.000.000. Harga dan perkiraan
penerimaan ini dihitung dengan asumsi harga tetap selama periode operasional. Informasi mengenai
harga dan prakiraan penerimaan dapat dilihat pada Tabel 8.2 dan informasi selengkapnya disajikan
pada Lampiran 11.

Tabel 8.2 Prakiraan Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Produksi Biskuit Produksi Tepung


Kapasitas Total Penerimaan
Tahun Ke- Ikan per Tahun Mix per Tahun
Produksi (%) (Rp)
(bungkus) (kg)
1 60 468.000 4.680 1.965.600.000
2 80 624.000 6.240 2.620.800.000
3 100 780.000 7.800 3.276.000.000
4 100 780.000 7.800 3.276.000.000
5 100 780.000 7.800 3.276.000.000
6 100 780.000 7.800 3.276.000.000
7 100 780.000 7.800 3.276.000.000
8 100 780.000 7.800 3.276.000.000
9 100 780.000 7.800 3.276.000.000
10 100 780.000 7.800 3.276.000.000

E. Proyeksi Laba Rugi

Perkiraan rugi laba merupakan ringkasan penerimaan dari hasil penjualan produk dan seluruh
biaya yang dikeluarkan industri setiap tahun dalam jangka waktu tertentu. Laba bersih adalah nilai
yang diperoleh dari pengurangan total penerimaan dengan total pengeluaran, termasuk bunga
pinjaman dan pajak penghasilan.

Laporan rugi laba dalah suatu cara untuk melihat profitabilitas dari suatu usaha. Jadi dari
laporan rugi laba dapat dilihat keuntungan atau kerugian yang dialami oleh perusahaan pada kurun
waktu tertentu. Secara sederhana sistematika perhitungan rugi laba adalah sebagai berikut, biaya
operasi dijumlahkan dengan biaya-biaya administrasi, penjualan, dan depresiasi sehingga akan
didapatkan pendapatan kotor sebelum pajak, kemudian diperhitungkan pengeluaran untuk pembayaran
bunga hutang dan pajak sehingga didapatkan pendapatan bersih, yang setelah dikurangi laba ditahan

93
dan ditambahkan depresiasi akan menjadi aliran kas bersih. Penyusunan laporan rugi laba harus dibuat
sedemikian rupa agar mudah diikuti urutan jalannya perhitungan dari awal sampai akhir.

Pendapatan adalah jumlah pembayaran yang diterima perusahaan dari penjualan produk.
Pendapatan dihitung dengan mengalikan kuantitas produk yang dihasilkan dengan harga satuan
produksi yang dihasilkan dengan harga satuannya. Pada awal-awal proyek biasanya sarana produksi
tidak dipacu untuk berproduksi secara maksimal, tetapi naik perlahan-lahan sehingga pendapatan pun
akan naik perlahan-lahan.

Pada industri tepung dan biskuit ikan diperkirakan setiap tahunnya perusahaan akan
memperoleh pendapatan bersih setelah dikurangi pajak pendapatan adalah sebesar Rp 753.884.928
bila beroperasi pada kapasitas produksi penuh yang semakin meningkat. Besarnya proyeksi laba rugi
ini dapat dilihat pada Tabel 8.3 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 12.

Tabel 8.3 Proyeksi Laba Rugi Penjualan Biskuit Ikan dan Tepung Mix dalam 10 Tahun Produksi

Total
Tahun Total Penerimaan EBIT Pajak Laba Bersih
Pengeluaran
ke- (RP) (RP) (Rp) (Rp)
(RP)
1 1.965.600.000 1.539.029.760 426.570.240 119.439.667 307.130.573
2 2.620.800.000 1.883.983.680 736.816.320 206.308.570 530.507.750
3 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
4 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
5 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
6 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
7 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
8 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
9 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928
10 3.276.000.000 2.228.937.600 1.047.062.400 293.177.472 753.884.928

F. Proyeksi Arus Kas

Aliran kas dihitung dengan mengurangi aliran kas masuk dengan aliran kas keluar setiap
tahunnya. Aliran arus kas proyek dikelompokkan menjadi tiga, yaitu aliran kas awal (initial cash
flow), aliran kas periode operasi (operatinal cash flow), dan aliran kas terminal (terminal cash flow).

Aliran kas masuk terdiri dari modal kerja sendiri (initial cash flow), laba bersih, depresiasi
(operational cash flow), dan pengembalian modal kerja (terminal cash flow). Aliran kas keluar terdiri
dari investasi tetap, dan modal kerja. Kas bersih didapatkan dengan mengurangi kas masuk dengan
kas keluar setiap tahunnya. Proyeksi arus kas industri tepung dan biskuit ikan dapat dilihat pada Tabel
8.4 dan rinciannya disajikan pada Lampiran 13.

94
Tabel 8.4 Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Total Kas Masuk Total Kas Keluar Aliran Kas Bersih


Tahun ke-
(Rp) (Rp) (Rp)
0 - 884.335.000 (884.335.000)
1 363.211.573 65.520.000 297.691.573
2 586.588.750 65.520.000 521.068.750
3 809.965.928 - 809.965.928
4 809.965.928 - 809.965.928
5 809.965.928 - 809.965.928
6 809.965.928 - 809.965.928
7 809.965.928 - 809.965.928
8 809.965.928 - 809.965.928
9 809.965.928 - 809.965.928
10 809.965.928 - 1.137.565.928

G. Kriteria Kelayakan Investasi

Kriteria kelayakan investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV),
Internal Rate of Return (IRR), Net B/C, Pay Back Period (PBP), Break Even Point (BEP), dan
analisis sensitivitas. Perhitungan kriteria-kriteria ini didasarkan pada aliran kas bersih (net cash flow)
pada proyeksi arus kas. Bunga modal yang digunakan sebesar 18%. Berdasarkan proyeksi arus uang
tersebut dapat dihitung berbagai kriteria investasi.

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari manfaat dan biaya
dari suatu proyek investasi. Perhitungan angka yang dihasilkan menunjukkan besarnya penerimaan
bersih selama 10 tahun setelah dikalikan discount factor yang dihitung pada masa kini. Berdasarkan
investasi metode NPV, suatu investasi dikatakan layak untuk dijalankan jika nilainya lebih besar dari
nol. Rincian mengenai perhitungan NPV industri ini dapat dilihat pada Lampiran 14.

Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 14, nilai NPV menunjukkan angka positif, yaitu
pada discount factor 18% per tahun dengan umur investasi 10 tahun. Angka tersebut menunjukkan
bahwa investasi yang ditanam perusahaan sepanjang 10 tahun ke depan memperoleh manfaat bersih
menurut nilai uang sekarang sebesar Rp 2.176.702.231.

2. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rete of Return (IRR) adalah discount factor pada saat NPV sama dengan nol dan
dinyatakan dalam persen. Untuk menentukan layak tau tidaknya proyek dilaksanakan maka sebagai
patokan dasar pembanding adalah discount factor, yaitu ditetapkan sebesar 18%. Jika nilai IRR lebih
besar dibandingkan discount factor, maka usaha dinyatakan layak. IRR pada industri ini sebesar 61%
yang berarti bahwa pendirian pabrik biskuit ikan layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR yang diperoleh
sangat besar karena produk yang dihasilkan merupakan produk yang bernilai tambah sangat tinggi.
Perhitungan nilai IRR dapat dilihat pada Lampiran 14.

95
3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net benefit cost ratio, yaitu suatu perbandingan nilai kini arus manfaat bersih dibagi dengan
nilai sekarang arus biaya bersih. Analisis ini merupakan perbandingan antara jumlah present value
dari net benefit yang bernilai negatif. Suatu investasi dikatakan layak apabila hasil perhitungan Net
B/C nya lebih besar atau sama dengan satu. Dari hasil perhitungan Net B/C kegiatan investasi
produksi biskuit ikan diperoleh nilai sebesar Rp 3,yaitu setiap investasi Rp 1 yang dikeluarkan
sekarang pada tingkat discount factor 18% akan memperoleh keuntungan bersih Rp 3. Perincian Net
B/C disajikan pada Lampiran 14.

4. Payback Period (PBP)

PBP merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal suatu
investasi, yang dihitung dari aliran kas bersih. Masa pengembalian ini dapat diartikan sebagai jangka
waktu pada saat NPV sama dengan nol. Nilai NPV yang besar menunjukkan jangka waktu
pengembalian investasi yang ditanam semakin cepat. Dari hasil perhitungan PBP investasi produksi
biskuit ikan diperoleh tahun, yaitu investasi yang ditanam akan kembali setelah 2 tahun 1 bulan.
Jangka waktu pengembalian investasi tergolong cukup cepat karena biskuit ikan yang dihasilkan
merupakan produk bernilai tambah sangat tinggi. Perincian perhitungan PBP dapat dilihat pada
Lampiran 14.

5. Break Even Point (BEP)

Titik impas atau Break Even Point atau titik dimana total biaya produksi sama dengan
penerimaan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi telah menghasilkan pendapatan yang
sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Titik impas selama umur proyek industri
tepung dan biskuit ikan ini berada pada penjualan saat harga jual biskuit ikan Rp 3.211 dan harga
tepung mix Rp 122.730. Titik impas selama umur proyek dalam bentuk unit, yaitu berada pada saat
produksi biskuit ikan sebesar 751.218 bungkus dan 12.853 kg tepung mix. Perhitungan BEP di atas
didapatkan dari hasil perhitungan asumsi perusahaan memproduksi produk secara terpisah.

H. Analisis Sensitivitas

Kelayakan proyek dibuat berdasarkan sejumlah asumsi yang disebabkan banyaknya faktor
ketidakpastian mengenai kondisi dan situasi di masa depan. Perubahan asumsi yang digunakan akan
berpengaruh pula terhadap keputusan akan layak atau tidaknya proyek. Karena itu perlu dilakukan
analisis sensitivitas yang mengkaji sejauh mana unsur-unsur dalam aspek finansial ekonomi
berpengaruh terhadap keputusan yang diambil terhadap perubahan unsur-unsur tertentu. Analisis
sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi selama periode investasi seperti kenaikan harga bahan baku dan bahan utilitas.

Dari hasil analisis sensitivitas, menunjukkan bahwa toleransi kenaikan biaya bahan baku dan
bahan utilitas 30% memberikan nilai Net B/C sebesar 2. Hal ini berarti perusahaan masih dapat
dijalankan, namun apabila terjadi kenaikan harga bahan baku lebih besar dari angka tersebut maka
perusahaan tidak layak lagi untuk dijalankan dalam jangka panjang. Perincian perhitungan analisis
sensitivitas kenaikan harga bahan baku dan utilitas 30% dapat dilihat pada Lampiran 15 dan analisis
sensitivitas penurunan harga jual 20% pada Lampiran 16.

96
IX. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Permintaan pasar akan biskuit ikan dinilai cukup besar dan dibutuhkan oleh seluruh balita
yang mengalami gizi kurang dan balita yang berada di daerah rawan bencana alam. Pasar potensial
yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kedua kategori balita di atas dengan memperhatikan
jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang dan pemetaan daerah rawan bencana di
Indonesia. Pangsa pasar berdasarkan status gizi balita yang dijadikan sasaran diperkirakan bernilai
sebesar 0,28% dari jumlah balita bergizi kurang dan buruk di Indonesia, yaitu berjumlah 8.153 jiwa
balita dari total seluruh balita bergizi kurang di Indonesia sebesar 2.911.627 jiwa, sedangkan potensi
pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana alam adalah sebesar 1% dari jumlah balita korban
bencana tsunami Aceh 2004, yaitu sebesar 500 jiwa balita. Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai
total dari pangsa pasar biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa
balita.

Industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo yang akan didirikan di Darmaga Bogor, Jawa
Barat ini memiliki bentuk badan usaha perseroan terbatas. Berdasarkan hasil analisis aspek pasar dan
pemasaran, potensi pasar biskuit ikan masih terbuka, oleh karena itu pendirian industri tepung dan
biskuit ikan lele dumbo menjadi potensial. Pabrik biskuit ikan lele dumbo yang akan didirikan
memiliki kapasitas produksi total 3.120.000 keping biskuit per tahun dan 7.800 Kg tepung mix per
tahun. Tepung mix merupakan campuran antara tepung ikan daging dan kepala lele serta isolat protein
kedelai yang digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit ikan. Bahan baku ikan lele
dumbo yang digunakan berasal dari beberapa tempat di Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat yang
merupakan sentra produksi ikan lele dumbo di Indonesia. Berdasarkan informasi yang tersedia,
diperkirakan pasokan bahan baku ikan lele dumbo segar untuk industri dapat terpenuhi. Biskuit ikan
akan dijual dengan harga Rp 3.300 per empat keping dan tepung mix dijual dengan harga Rp 90.000
per kilogram.

Kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo
adalah 28 orang dengan kualifikasi sesuai dengan spesifikasi kerja yang menjadi tanggung jawab
masing-masing pekerja. Dari hasil analisis lingkungan, industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo
menghasilkan limbah berupa limbah cair, gas, dan padat yang tidak menimbulkan bahaya. Limbah
yang dihasilkan diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke lingkungan.

Total keseluruhan biaya investasi sebesar Rp 884.335.000, yang terdiri dari biaya investasi
tetap sebesar Rp 687.775.000, dan biaya modal kerja sebesar Rp 196.650.000 pada tahun pertama.
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo ini layak
untuk didirikan. Berdasarkan perhitungan kriteria investasi, diperoleh nilai NPV industri ini sebesar
Rp 2.176.702.231. Nilai IRR-nya sebesar 61%. Nilai Net B/C-nya sebesar 3. Payback period industri
ini adalah selama 2 Tahun 1 Bulan. Titik impas selama umur proyek industri tepung dan biskuit ikan
lele dumbo berada pada saat harga jual biskuit ikan Rp 3.211 dan tepung mix Rp 122.730. Hasil
analisis sensitivitas menunjukkan industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo memiliki sensitivitas
yang tidak terlalu tinggi terhadap kenaikan harga bahan baku dan utilitas sebesar 30%. Namun, risiko
yang cukup tinggi terjadi pada saat penurunan harga jual 20%. Sehingga apabila terjadi kenaikan

97
harga bahan baku dan utilitas lebih dari 30% atau penurunan harga jual lebih dari 20% persen, maka
perusahaan akan mengalami kerugian.

B. Saran

Berbagai informasi yang didapat dari kegiatan studi kelayakan pendirian industri tepung dan
biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak,
khususnya yayasan Inovasi dan teknologi (Inotek) Indonesia dan para pendiri PT. Carmelitha Lestari
dalam merealisasikan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo di Darmaga Bogor.
Beberapa saran yang perlu dipertimbangkan untuk menyempurnakan penelitian ini.

1. Perlu dilakukan pengkajian pasar yang lebih dalam dan detail agar diperoleh pasar potensial yang
lebih baik sehingga pasar menjadi lebih jelas dan dilakukan peramalan terhadap permintaan pasar
terhadap biskuit ikan saat ini.

2. Perlu dilakukan pengujian pasar yang lebih luas dan merata di seluruh Indonesia terhadap produk
biskuit ikan yang dihasilkan, baik daya serap pasar maupun kesesuaian penentuan harga pasar
dengan daya beli pasar. Melalui pengujian pasar ini dapat ditentukan strategi pasar yang tepat
untuk memenuhi permintaan pasar biskuit ikan dan tepung mix.

98
DAFTAR PUSTAKA

Apple, J. M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Penanganan Bahan. Mardiono dan Nurhayati, penerjemah;
Sutalaksana I.Z., penyunting. Penerbit ITB Bandung. Terjemahan dari: Plant Layout and
Material Handling. 3rd Edition.

Annonymous. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Penerbit Jembatan, Jakarta.

_____. 2006. Pembenihan Ikan Lele Dumbo. http://viewtopic.ptp.htm/leledumbo/


Pembenihan_Ikan_Lele_Dumbo [19 Desember 2010].

_____. 2009. Isolat Protein. http://capuholic.blogspot.com/2009/08/isolat-protein.html [22 Februari


2011].

Adawyah, R. 2007. Penolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Arditha, R. 2011. Pengaruh Penyimpanan Terhadap Mutu Biskuit yang Diperkaya dengan tepung
Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max). [skripsi].
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Ariyoto, K. 1990. Feasibility Study. Mutiara, Jakarta.

Assauri, K. 1990. Feasibility Studi. Mutiara, Jakarta.

Astawan, M. Lele Bantu Pertumbuhan Janin. http://wilystra2007.multiply.com/journal/item/62


/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin [19 Desember 2010].

Badan Koordinasi Nasional. 2009. Jumlah Korban Bencana Tsunami Aceh dan Sumatera Barat.
Aceh.

Behrens, W dan P. M. Hawranek. 1991. Manual for The Preparation of Industrial Feasibility Studies.
United Nations Industrial Development Organization, Vienna.

Bierchfield, J. C. 1988. Design and Layout of Food Service Facilities. Di dalam Analisis Tata Letak
Pabrik dan Keseimbangan Lini Dalam Proses Produksi Jus Buah (Studi Kasus di PT. Sari
Segar Alami, Sentul). Jenni Eva L. S. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bluestein, P.M. & T.P. Labuza. 1988. Effect of Moisture Removal on Nutriens. Dalam E. Kermas dan
RS Harris (ed.) Nutrional Evaluation of Food Processing 3 th Edition. Van Nostrand
Reinhold, New York.

Brennan, JG. 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publ. Ltd, London.

De Garmo, E. P., W.G. Sullivan dan J.R. Ganada. 1984. Engineering Economy. 7th Edition. McMillan
Publishing Co., Inc., New York.

Dewan Standarisasi Nasional. 1992. Biskuit. Nomor 01-2973. Departemen Perindustrian, Jakarta.

99
_____. 1995. Gula Halus. Nomor 01-3821. Departemen Perindustrian, Jakarta.

_____. 1995. Bahan Pengembang. Nomor 01-0222. Departemen Perindustrian, Jakarta.

_____. 1998. Biskuit Bayi. Nomor 01-4445. Departemen Perindustrian, Jakarta.

_____. 2002. Lemak. Nomor. 01-3541. Departemen Perindustrian, Jakarta.

_____. 2008. Telur Ayam Konsumsi. Nomor 3926. Departemen Perindustrian, Jakarta.

_____. 2009. Tepung Terigu. Nomor 01-3751. Departemen Perindustrian, Jakarta.

Djamin, Z. 1984. Perencanaan dan Analisis Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral. 2008. Wilayah Indonesia rawan gempa dan tsunami. Jakarta.

Ditjen Perikanan Budidaya. 2010. Profil Perikanan Budidaya Kabupaten Bogor. Jawa Barat.

Edris, M. 1993. Penuntun Menyusun Studi Kelayakan Proyek. Sinar Baru, Bandung.

Yulianingsih, E. 2007. Proses Produksi Biskuit Di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food TBK Unit IV Sragen
Jawa Tengah. [Laporan Magang]. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Sebelas Maret.

FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infants and Young
Children. Roma: FAO/WHO.

Faridi, H dan J. M. Faubion. 1990. Dough Reologu and Baked Product Texture. Nostrand Reinhold,
USA.

Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc, New York.

Fernando, E.R. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif makanan pendamping
ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. UI Press, Jakarta.

Gray, C., P. Simanjuntak, L. K. Sabur, P. F. L. Maspatiella, dan R. G. C. Varley. 1993. Pengantar


Evaluasi Proyek. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Heizer, J., B. Render. 2004. Principle of Operation Management. 7th Edition. Pearson Education Inc.,
New Jersey.

Husnan, S. dan M. Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. UPP AMP YKPM, Yogyakarta.

Ilyas, S. 1993. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan Tinggi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Kadariah, L., Karlina, dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.

100
_____. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta.

Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.

Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Edisi Ketujuh. Jilid Kedua. Terjemahan. UI Press, Jakarta.

LIPI. 1999. Tepung Ikan. Proyek Sistem Informasi Nasional Guna Menunjang Pembangunan, Jakarta.

_____. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta.

Maarif, M. S. 2003 Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Grasindo, Jakarta.

Mahyuddin, K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya, Jakarta.

Manley, D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition. CRC Press
Washington.

_____. 2000. Biscuit, Cracker, and Cookies Recipes for the Food Industry Third Edition. CRC Press
Washington.

Matthews, R.H. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition). Marcel Dekker Inc,
New York.

Matz, S. A. dan T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co., Inc,
Texas.

Mervina. 2009. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus)
dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi
Kurang. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Moeljanto. 1982a. Pengolahan Hasil-hasil Samping Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.

_____. 1982b. Penanganan Ikan Segar. Penebar Swadaya, Jakarta.

_____. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rieuwpassa F. 2005. Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Prebiotik sebagai Makanan Tambahan
untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan Status Gizi Anak Balita. [thesis]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Riset Kesehatan Dasar. 2010. Status Gizi Bayi dan Balita Indonesia. Dinas Kesehatan, Jakarta.

Simarmata, D. A. 1992. Pendekatan Sistem dan Analisa Proyek Investasi dan Pasar Modal. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suharto, I. 2000. Manajemen Proyek, dari Konseptual sampai Operasional. Penerbit Erlangga,
Jakarta.

101
Sultan, W.J. 1983. Modern Pastry Chef Vol. 1. The AVI Publishing, Westport, Connecticut.

Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor.

Sutojo, S. 1983. Studi Kelayakan Proyek. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

_______. 1996. Studi Kelayakan Proyek. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

_______. 2002. Studi Kelayakan Proyek. Penerbit Damar, Jakarta.

Suyanto, S. dan N. Y. Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tarwotjo, C.S. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Gramedia Widiasarana, Jakarta.

Umar, H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Vail, G.E., J.A. Philips, L.O. Rust et al.1978. Foods. 7th Edition. Houghton Mifflin Company, Boston.

Whiteley, P.R. 1971. Foods. 7th Edition. Applied Sci. Publ., London.

Winarno, 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Wiyati, D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri (Stolephorus sp.) Terhadap
Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk Anak Balita. [skripsi]. Program Studi Pangan
dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

102
LAMPIRAN

103
Lampiran 1. Kuisioner Pembobotan Lokasi Menggunakan Metode Pembanding Eksponensial

Nama responden : Iswindyartono

Pekerjaaan : Swasta

Tanggal pengisian: 13 April 2011

Pemilihan Lokasi Dengan Metode Perbandingan Eksponensial Berdasarkan Tingkat


Kepentingan

Tabel Pembobotan oleh Pakar

Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih.

Tingkat Kepentingan
Kriteria Jenis Kriteria Keputusan
1 2 3 4 5
1 Kemudahan mengakses bahan baku √
2 Jarak lokasi dengan sarana pendukung √
produksi
3 Tingkat harga bahan baku √
4 Tingkat upah buruh di lokasi tersebut √
5 Tingkat biaya sewa lahan √
6 Tingkat biaya pendirian bangunan √
7 Ketersediaan lahan untuk kemungkinan √
perluasan industri
8 Kondisi jalan menuju jalan raya √
9 Tingkat pajak bumi dan bangunan √
10 Ketersediaan sumber air √
11 Ketersediaan fasilitas listrik √
12 Kondisi iklim di lokasi √
13 Tingkat adaptasi masyarakat sekitar √
terhadap intoduksi modern
14 Dukungan masyarakat disekitar lokasi √
15 Orientasi masyarakat sekitar terhadap √
bisnis komersil
16 Tingkat sosial masyarakat disekitar √
lokasi
17 Ketersediaan sumber daya manusia √
18 Kemudahan akses dengan pasar √

Keterangan:

Nilai Tingkat kepentingan


1 Sangat tidak penting
2 Tidak penting
3 Cukup penting
4 Penting
5 Sangat penting

104
Pemilihan Lokasi Dengan Metode Perbandingan Eksponensial Berdasarkan Skala Nilai

Tabel Pembobotan oleh Pakar

Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih.

Desa Sukajadi Darmaga Hijau


Kriteria Jenis Kriteria Keputusan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
1 Kemudahan mengakses bahan √ √
baku
2 Tingkat harga bahan baku √ √
3 Tingkat upah buruh di lokasi √ √
tersebut
4 Tingkat biaya sewa lahan √ √
5 Tingkat biaya pendirian bangunan √ √
6 Tingkat pajak bumi dan bangunan √ √
7 Orientasi masyarakat sekitar √ √
terhadap bisnis komersil
8 Kemudahan akses dengan pasar √ √

Keterangan:

Nilai Kelompok kriteria nilai


1 Sangat rendah
2 Rendah
3 Agak rendah
4 Sedang
5 Agak tinggi
6 Tinggi
7 Sangat tinggi

105
Tabel Pembobotan oleh Pakar

Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih.

Desa Sukajadi Darmaga Hijau


Kriteria Jenis Kriteria Keputusan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
1 Ketersediaan lahan untuk √ √
kemungkinan perluasan industri
2 Kondisi jalan menuju jalan raya √ √
3 Ketersediaan sumber air √ √
4 Ketersediaan fasilitas listrik √ √
5 Tingkat adaptasi masyarakat √ √
sekitar terhadap intoduksi modern
6 Dukungan masyarakat disekitar √ √
lokasi
7 Tingkat sosial masyarakat √ √
disekitar lokasi
8 Ketersediaan sumber daya √ √
manusia

Keterangan:

Nilai Kelompok kriteria nilai


1 Sangat tidak baik
2 Tidak baik
3 Agak tidak baik
4 Sedang
5 Agak baik
6 Baik
7 Sangat Baik

106
Tabel Pembobotan oleh Pakar

Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih.

Desa Sukajadi Darmaga Hijau


Kriteria Jenis Kriteria Keputusan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
1 Jarak lokasi dengan sarana √ √
pendukung produksi

Keterangan:

Nilai Kelompok kriteria nilai


1 Sangat Jauh
2 Jauh
3 Agak jauh
4 Sedang
5 Agak dekat
6 Dekat
7 Sangat dekat

Tabel Pembobotan oleh Pakar

Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih.

Desa Sukajadi Darmaga Hijau


Kriteria Jenis Kriteria Keputusan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
1 Kondisi iklim di lokasi √ √

Keterangan:

Nilai Kelompok kriteria nilai


1 Sangat tidak sesuai
2 Tidak sesuai
3 Agak tidak sesuai
4 Sedang
5 Agak sesuai
6 Sesuai
7 Sangat sesuai

107
Hasil Perhitungan untuk Menentukan Lokasi Pendirian Industri Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max )

Kriteria Ranking
Nilai Alternatif
Alternatif Alternatif
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 K17 K18 Keputusan
Keputusan

Desa Sukajadi 3 2 3 5 5 5 5 2 5 3 5 5 4 4 5 4 5 3 2573 2

Desa Darmaga 6 6 6 5 4 5 4 6 5 5 6 4 4 4 4 5 5 6 9862 1

Tingkat
4 4 4 3 3 4 3 4 3 4 4 2 3 3 3 3 3 4
Kepentingan

108
Lampiran 2. Dokumentasi Calon Lokasi Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan

Tampak Depan Bangunan Pabrik Bagian Dalam Calon Ruang Produksi

Bagian Dalam Calon Ruang Kantor Tampak Samping Bangunan Pabrik

Bagian Dalam Calon Ruang Gudang Bagian Dalam Calon Toilet


Bahan Baku

109
Lampiran 3. Denah Ruangan Pabrik Industri Tepung dan Biskuit Ikan

IPAL Mushola
2m

CO

Ruang produksi 2m
biskuit ikan
Ruang Laboratorium

HW

Gudang
produk
4m

Ruang produksi
tepung ikan lele
dumbo Ruang
pengemasan

9'-10 1/8"
6'-1"

Gudang
Bahan
Ruang sortasi baku
dan pencucian
4m

Kantor

Area parkir

3m 3m

110
Lampiran 4. Layout Ruang Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo

HW

C
1.8 m

4m
B E
D
2m

A
F

3m

Keterangan:

A : Timbangan

B : Retort chamber

C : Pressure pneumatic

D : Mesin penggiling basah

E : Drum dryer

F : Mesin Penggiling kering

HW : Boiler

111
Lampiran 5. Layout Ruang Produksi Biskuit Ikan

C
2m
B D

4m

1m

E
A

2m

Keterangan:

A : Timbangan

B : Mixer

C : Lemari pendingin

D : Dough Sheeter

E : Gas baking oven

112
Lampiran 6. Asumsi – Asumsi untuk Analisis Finansial Industri Tepung dan Biskuit Ikan

No Variabel Asumsi Satuan Nilai


1 Umur proyek Tahun 10
2 Hari kerja per bulan Hari 26
3 Bulan kerja per tahun Bulan 12
4 Jumlah hari kerja per tahun Hari 312
5 Nilai sisa bangunan dari nilai awal % 50
6 Nilai sisa tanah dari nilai awal % 100
7 Nilai sisa mesin dan peralatan dari nilai awal % 10
8 Nilai sisa kendaraan % 20
Umur ekonomis peralatan kantor, mesin dan peralatan,
9 Tahun 5
serta kendaraan
10 Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan dari harga % 2
11 Kapasitas produksi
a. Biskuit ikan Keping/ hari 10.000
b. Tepung mix Kg/ hari 25
12 Target kapasitas produksi
a. Tahun 1 % 60%
b. Tahun 2 % 80%
c. Tahun 3 dan seterusnya % 100%
13 Kebutuhan bahan baku/ hari
a. Ikan lele dumbo Kg 84
b. Isolat protein kedelai Kg 34
c. Tepung terigu Kg 42
d. Gula bubuk Kg 30
e. Telur ayam Kg 30
f. Margarin Kg 30
g. Tepung susu Kg 10
h. Baking powder Kg 2
i. Maizena Kg 2,5
j. Air Kg 7,5
14 Harga bahan baku/ kg
a. Ikan lele dumbo Rupiah 13.000
b. Isolat protein kedelai Rupiah 62.000
c. Tepung terigu Rupiah 7.000
d. Gula bubuk Rupiah 12.000
e. Telur ayam Rupiah 13.000
f. Margarin Rupiah 8.500
g. Tepung susu Rupiah 27.000
h. Baking powder Rupiah 9.000
15 Harga jual
a. Biskuit ikan Bungkus 3300
b. Tepung mix Kg 90.000
16 Discount factor % 18
17 Kebutuhan bahan bakar/ bulan Rupiah 1.500.000
18 Kontingensi % 10
19 Jumlah kemasan yang dibutuhkan/ hari Bungkus 3000
20 Harga kemasan Bungkus 15
21 Pajak % 28
22 Biaya distribusi % 10
23 Perbaikan total mesin produksi % 40

113
Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Harga/ unit Nilai Total


No Komponen Jumlah Satuan
(Rp) (Rp)
1 Biaya Persiapan
Studi kelayakan 1 Paket 55.000.000 55.000.000
Izin sertifikasi BPOM 1 Paket 5.000.000 5.000.000
Perizinan lokasi usaha 1 Paket 5.000.000 5.000.000
Akte perusahaan dan pengesahan 1 Paket 10.000.000 10.000.000
Sub Total 75.000.000
2 Tanah & Bangunan
Tanah 72 m2 1.000.000 72.000.000
Bangunan 72 m2 694.000 50.000.000
Sub Total 122.000.000
3 Instalasi Penunjang
Instalasi Mesin 1 Paket 7.500.000 7.500.000
Instalasi listrik 1 Paket 2.500.000 2.500.000
Instalasi IPAL 1 Paket 10.000.000 10.000.000
Generator 1 Unit 5.000.000 5.000.000
Kompresor 1 Unit 2.500.000 2.500.000
Sub Total 27.500.000
4 Mesin dan Peralatan
a. Mesin produksi tepung
Retort Chamber 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Pressure Pneumatic 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Alat Pengering (Drying Drum) 1 Unit 100.000.000 100.000.000
Pengiling Basah (grinder) 1 Unit 10.000.000 10.000.000
Penggiling Kering (disc mill) 1 Unit 10.000.000 10.000.000
Boiler 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Freezer 2 Unit 2.500.000 5.000.000
Pengemas 1 Unit 2.000.000 2.000.000
Timbangan Dacin 1 Unit 350.000 350.000
Bak pencucian 2 Unit 50.000 100.000
Sub Total 152.450.000
b. Mesin produksi biskuit
Timbangan 1 Unit 350.000 350.000
Mixer 1 Unit 5.500.000 11.000.000
Lemari pendingin 1 Unit 2.000.000 2.000.000
Dough Sheeter 1 Unit 8.500.000 8.500.000
Dough Moulder 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Oven 1 Unit 7.500.000 7.500.000
Loyang 20 Unit 100.000 2.000.000
Tabung gas 5 Tabung 40.000 200.000
Pengemas 2 Unit 2.000.000 4.000.000
Peralatan kebersihan 1 Paket 150.000 150.000
Sub Total 50.700.00
c. Alat laboratorium 1 Paket 20.000.000 20.000.000
Sub Total 20.000.000
d. Perlengkapan utilitas 1 Paket 10.000.000 10.000.000
Sub Total 10.000.000
Sub Total 233.150.000
5 Perlengkapan Kantor
Meja kursi kantor 1 Paket 7.000.000 7.000.000
Telepon 2 Unit 150.000 300.000
Alat tulis kantor 1 Paket 800.000 800.000
Komputer 2 Unit 4.000.000 8.000.000

114
Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)

Harga/ unit Nilai Total


No Komponen Jumlah Satuan
(Rp) (Rp)
Printer & fax 1 Unit 1.500.000 1.500.000
Sub Total 17.600.000
6 Sarana Distribusi
Mobil box 1 Unit 150.000.000 150.000.000
Sub Total 150.000.000
Total 625.250.000
Kontingensi 10% 62.525.000
Total Investasi 687.775.000

115
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB

Harga Biaya
Umur Ekonomi Biaya Penyusutan Pajak
No. Komponen Awal Pemeliharaan
(Rp) (Tahun) (Rp) (Rp) (Rp)
1 Biaya Persiapan

Studi kelayakan 55.000.000


Izin sertifikasi BPOM 5.000.000
Perizinan lokasi usaha 5.000.000
Akte perusahaan dan pengesahan 10.000.000
Sub Total 75.000.000
2 Tanah & Bangunan
Tanah 72.000.000 72.000
Bangunan 50.000.000 10 4.500.000 1.000.000 50.000
Sub Total 122.000.000 4.500.000 1.000.000 122.000
3 Instalasi Penunjang
Instalasi Mesin 7.500.000 10 675.000 150.000
Instalasi listrik 2.500.000 10 225.000 50.000
Instalasi IPAL 10.000.000 10 900.000 200.000
Generator 5.000.000 10 450.000 100.000
Kompresor 2.500.000 10 225.000 50.000
Sub Total 27.500.000 2.475.000 550.000

115
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB (Lanjutan)

Biaya
Harga Awal Umur Ekonomi Biaya Penyusutan Pajak
No. Komponen Pemeliharaan
(Rp) (Tahun) (Rp) (Rp)
(Rp)
4 Mesin dan Peralatan
a. Mesin produksi
tepung
Retort Chamber 15.000.000 10 1.350.000 300.000
Pressure Pneumatic 15.000.000 10 1.350.000 300.000
Alat Pengering (Drying
Drum) 100.000.000 10 9.000.000 2.000.000
Pengiling Basah (grinder) 10.000.000 10 900.000 200.000
Penggiling Kering (disc
mill) 10.000.000 10 900.000 200.000

Boiler 15.000.000 10 1.350.000 300.000


Freezer 5.000.000 10 450.000 100.000
Pengemas 2.000.000 10 180.000 40.000
Timbangan Dacin 350.000 10 31.500 7.000
Bak pencucian 100.000 5 16.000 2.000
Sub Total 152.450.000 15.527.500 3.449.000
b. Mesin produksi
biskuit
Timbangan 350.000 10 31.500 7.000
Mixer 11.000.000 10 990.000 220.000
Lemari pendingin 2.000.000 10 180.000 40.000

116
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB (Lanjutan)

Biaya
Harga Awal Umur Ekonomi Biaya Penyusutan Pajak
No. Komponen Pemeliharaan
(Rp) (Tahun) (Rp) (Rp)
(Rp)
Dough Sheeter 8.500.000 10 765.000 170.000
Dough Moulder 15.000.000 10 1.350.000 300.000
Oven 7.500.000 10 675.000 150.000
Loyang 2.000.000 10 180.000 40.000
Tabung gas 200.000 10 18.000 4.000
Pengemas 4.000.000 10 360.000 80.000
Peralatan kebersihan 150.000 5 24.000 3.000
Sub Total 50.700.00 4.573.500 1.014.000
c. Alat laboratorium 20.000.000 10 1.800.000 400.000
Sub Total 20.000.000 1.800.000 400.000
d. Perlengkapan utilitas 10.000.000 10 900.000 200.000
Sub Total 10.000.000 900.000 200.000
Sub Total 233.150.000 22.801.000 5.063.000
5 Perlengkapan Kantor
Meja kursi kantor 7.000.000 10 630.000 140.000
Telepon 300.000 10 27.000 6.000
Alat tulis kantor 800.000 5 128.000 16.000
Komputer 8.000.000 5 1.280.000 160.000
Printer & fax 1.500.000 5 240.000 30.000
Sub Total 17.600.000 2.305.000 352.000

117
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB (Lanjutan)

Biaya
Harga Awal Umur Ekonomi Biaya Penyusutan Pajak
No. Komponen Pemeliharaan
(Rp) (Tahun) (Rp) (Rp)
(Rp)
6 Sarana Distribusi
Mobil box 150.000.000 5 24.000.000 3.000.000
Sub Total 150.000.000 24.000.000 3.000.000
Total 625.250.000 56.081.000 9.965.000 122.000

118
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Biaya satuan per


Biaya satuan Total
No Komponen Jumlah Satuan tahun
(Rp) (Rp) (Rp)
A. Biaya Tetap
Biaya Tenaga Kerja Tidak
1
Langsung
a. Direktur 1 orang/ bulan 3.500.000 42.000.000 42.000.000

1 orang/ bulan 3.000.000 36.000.000 36.000.000


b. Manajer Produksi dan QC
1 orang/ bulan 3.000.000 36.000.000 36.000.000
c. Manajer Logistik

d. Manajer Administrasi dan 1 orang/ bulan 3.000.000 36.000.000 36.000.000


Keuangan
e. Staff pemasaran 2 orang/ bulan 2.000.000 24.000.000 24.000.000
f. Staff logistik 1 orang/ bulan 2.000.000 24.000.000 24.000.000

g. Staff administrasi 1 orang/ bulan 2.000.000 24.000.000 24.000.000


h. Staff keuangan 1 orang/ bulan 2.000.000 24.000.000 24.000.000
i. Sopir 1 orang/ bulan 1.500.000
18.000.000 18.000.000
j. Security 2 orang/ bulan 1.500.000
36.000.000 36.000.000
k. Laboran 1 orang/ bulan 1.500.000
18.000.000 18.000.000
Total 318.000.000

119
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)

Biaya satuan per


Biaya satuan Total
No Komponen Jumlah Satuan tahun
(Rp) (Rp)
(Rp)
2 Biaya Administrasi

a. Listrik dan air 1 per bulan 3,000,000


36,000,000 36,000,000

b. Bahan bakar 1 per bulan 1,500,000


18,000,000 18,000,000

c. Telepon & internet 1 per bulan 500,000 6,000,000 6,000,000

d. Transportasi 1 per bulan 2,000,000 24,000,000 24,000,000

Total 84,000,000

3 Promosi & pemasaran 1 per bulan 3,000,000 36,000,000 36,000,000

4 Penyusutan 56,081,000

5 Pemeliharaan 9,965,000

6 Pajak 122,000

Total Biaya Tetap 504,168,000

120
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)

Biaya satuan per


Biaya satuan Total
No Komponen Jumlah Satuan tahun
(Rp) (Rp)
(Rp)
B. Biaya Variabel

1 Bahan Baku

a. Ikan lele dumbo 2.184 kg/ bulan 28.392.000 340.704.000 340.704.000

b. Isolat protein kedelai 884 kg/ bulan 54.808.000 657.696.000 657.696.000

c. Tepung terigu 1.085,50 kg/ bulan 7.598.500 91.182.000 91.182.000

d. Gula bubuk 781,56 kg/ bulan 9.378.720 112.544.640 112.544.640

e. Telur ayam 781,56 kg/ bulan 10.160.280 121.923.360 121.923.360

f. Margarin 781,56 kg/ bulan 6.000.260 72.003.120 72.003.120

g. Tepung susu 260,52 kg/ bulan 7.000.040 84.000.480 84.000.480

h. Baking powder 52 kg/ bulan 468.000 5.616.000 5.616.000

i. Maizena 65 kg/ bulan 427.000 5.124.000 5.124.000

j. Air 195 kg/ bulan 250.000 3.000.000 3.000.000

Total 1.493.793.600

121
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)

Biaya satuan per


Biaya satuan Total
No Komponen Jumlah Satuan tahun
(Rp) (Rp)
(Rp)
2 Bahan utilitas

Kemasan Plastik 83.200 bungkus/ bulan 1.248.000 14.976.000 14.976.000

Total 14.976.000

3 Biaya Tenaga Kerja Langsung


Operator alat 12 orang/ bulan 1.500.000 216.000.000 216.000.000
Total 216.000.000
Total Biaya Variabel 1.724.769.600
Total Biaya Tetap + Biaya
2.228.937.600
Variabel

122
Lampiran 10. Kebutuhan Biaya Operasional Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Tahun ke- (Rp)


Komponen
1 2 3 4 5
A. Biaya Tetap
Biaya penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Biaya pemeliharaan 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000
Biaya Promosi 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000
Biaya administrasi 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000
Biaya tenaga kerja tak
318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000
langsung
Pajak 122.000 122.000 122.000 122.000 122.000
Sub Total 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
B. Biaya Variabel
Biaya bahan baku 896.276.160 1.195.034.880 1.493.793.600 1.493.793.600 1.493.793.600
Biaya bahan utilitas 8.985.600 11980800 14.976.000 14.976.000 14.976.000
Biaya tenaga kerja langsung 129.600.000 172800000 216.000.000 216.000.000 216.000.000
Sub Total 1.034.861.760 1.379.815.680 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600
Total 1.539.029.760 1.883.983.680 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600

Tahun ke- (Rp)


Komponen
6 7 8 9 10
A. Biaya Tetap
Biaya penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Biaya pemeliharaan 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000
Biaya Promosi 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000
Biaya administrasi 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000
Biaya tenaga kerja tak
318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000
langsung
Pajak 122.000 122.000 122.000 122.000 122.000
Sub Total 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
B. Biaya Variabel
Biaya bahan baku 1.493.793.600 1.493.793.600 1.493.793.600 1.493.793.600 1.493.793.600
Biaya bahan utilitas 14.976.000 14.976.000 14.976.000 14.976.000 14.976.000
Biaya tenaga kerja langsung 216.000.000 216.000.000 216.000.000 216.000.000 216.000.000
Sub Total 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600
Total 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600

123
Lampiran 11. Rekapitulasi Produksi dan Proyeksi Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Produksi
Produksi biskuit Biaya Harga jual Harga jual Penerimaan Penerimaan Total
Tahun Kapasitas tepung mix Biaya tetap
ikan per tahun Variabel (Rp/ biskuit ikan tepung mix biskuit ikan tepung mix penerimaan
ke- Produksi per tahun (Rp/ tahun)
(bungkus) tahun) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
(kg)
1 60% 468.000 4.680 504.168.000 1.034.861.760 3.300 90.000 1.544.400.000 421.200.000 1.965.600.000

2 80% 624.000 6.240 504.168.000 1.379.815.680 3.300 90.000 2.059.200.000 561.600.000 2.620.800.000

3 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

4 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

5 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

6 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

7 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

8 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

9 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

10 100% 780.000 7.800 504.168.000 1.724.769.600 3.300 90.000 2.574.000.000 702.000.000 3.276.000.000

124
Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Tahun ke-
Deskripsi
1 2 3 4 5
A. Penerimaan
1. Biskuit ikan
Harga (Rp) 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300
Volume produksi (bungkus) 468.000 624.000 780.000 780.000 780.000
Penjualan biskuit ikan
1.544.400.000 2.059.200.000 2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000
(Rp)
2. Tepung mix
Harga (Rp) 90.000 90.000 90.000 90.000 90.000
Volume produksi (Kg) 4.680 6.240 7.800 7.800 7.800
Penjualan tepung mix (Rp) 421.200.000 561.600.000 702.000.000 702.000.000 702.000.000
Total Penerimaan (Rp) 1.965.600.000 2.620.800.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000
B. Pengeluaran
Biaya tetap (Rp) 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
Biaya variabel (Rp) 1.034.861.760 1.379.815.680 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600
Total Pengeluaran (Rp) 1.539.029.760 1.883.983.680 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600
C. Laba sebelum pajak 426.570.240 736.816.320 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400
(Rp)
119.439.667 206.308.570 293.177.472 293.177.472 293.177.472
D. Pajak Penghasilan (Rp)
E. Laba Setelah Pajak 307.130.573 530.507.750 753.884.928 753.884.928 753.884.928
(Rp)

125
Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)

Tahun ke-
Deskripsi
6 7 8 9 10
A. Penerimaan
1. Biskuit ikan
Harga (Rp) 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300
Volume produksi (bungkus) 780.000 780.000 780.000 780.000 780.000
Penjualan biskuit ikan
2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000
(Rp)
2. Tepung mix
Harga (Rp) 90.000 90.000 90.000 90.000 90.000
Volume produksi (Kg) 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800
Penjualan tepung mix (Rp) 702.000.000 702.000.000 702.000.000 702.000.000 702.000.000
Total Penerimaan (Rp) 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000
B. Pengeluaran
Biaya tetap (Rp) 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
Biaya variabel (Rp) 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600
Total Pengeluaran (Rp) 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600
C. Laba sebelum pajak 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400
(Rp)
293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472
D. Pajak Penghasilan (Rp)
E. Laba Setelah Pajak 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928
(Rp)

126
Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan

Tahun ke- (Rp)


Deskripsi
0 1 2 3 4 5

Investasi
(687.775.000)
Modal kerja
(196.560.000) (65.520.000) (65.520.000)
Laba bersih 307.130.573 530.507.750 753.884.928 753.884.928 753.884.928

Penyusutan
56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Total Aliran Kas
Bersih (884.335.000) 297.691.573 521.068.750 809.965.928 809.965.928 809.965.928

Tahun ke - (Rp)
Deskripsi
6 7 8 9 10
Investasi

Modal kerja
327.600.000
Laba bersih 56.081.000 56.081.000 56.081.000
56.081.000 56.081.000
Penyusutan
753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928
Total Aliran Kas
Bersih 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 1.137.565.928

127
Lampiran 14. Kriteria Kelayakan Investasi

Bt - Ct Akumulasi DF 18 % PV NPV kumulatif


Tahun ke-
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
0 (884.335.000) (884.335.000) 1 (884.335.000) (884.335.000)
1 297.691.573 (586.643.427) 0,847457627 252.280.994 (632.054.006)
2 521.068.750 (65.574.677) 0,71818443 374.223.463 (257.830.543)

3 809.965.928 744.391.251 0,608630873 492.970.270 235.139.727


4 809.965.928 1.554.357.179 0,515788875 417.771.415 652.911.142
5 809.965.928 2.364.323.107 0,437109216 354.043.572 1.006.954.714

6 809.965.928 3.174.289.035 0,370431539 300.036.925 1.306.991.639

7 809.965.928 3.984.254.963 0,313925033 254.268.581 1.561.260.220

8 809.965.928 4.794.220.891 0,266038164 215.481.848 1.776.742.068

9 809.965.928 5.604.186.819 0,225456071 182.611.736 1.959.353.804

10 1.137.565.928 6.741.752.747 0,191064467 217.348.428 2.176.702.231

Kriteria Nilai
NPV (Rp) 2.176.702.231
IRR (%) 61
PBP (Tahun) 2 Tahun 1 Bulan
Net B/C 3

128
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%

Kebutuhan Biaya Operasional Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%

Tahun ke- (Rp)


Komponen
1 2 3 4 5
A. Biaya Tetap
Biaya penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Biaya pemeliharaan 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000
Biaya Promosi 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000
Biaya administrasi 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000
Biaya tenaga kerja tak
318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000
langsung
Pajak 122.000 122.000 122.000 122.000 122.000
Sub Total 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
B. Biaya Variabel
Biaya bahan baku 1.514.706.710 1.553.545.344 1.941.931.680 1.941.931.680 1.941.931.680

Biaya bahan utilitas 15.185.664 20.247.552 19.468.800 19.468.800 19.468.800


Biaya tenaga kerja
129.600.000 172.800.000 216.000.000 216.000.000 216.000.000
langsung
Sub Total 1.659.492.374 1.746.592.896 2.177.400.480 2.177.400.480 2.177.400.480
Total 2.163.660.374 2.250.760.896 2.681.568.480 2.681.568.480 2.681.568.480

Tahun ke- (Rp)


Komponen
6 7 8 9 10
A. Biaya Tetap
Biaya penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Biaya pemeliharaan 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000
Biaya Promosi 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000
Biaya administrasi 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000
Biaya tenaga kerja tak
318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000
langsung
Pajak 122.000 122.000 122.000 122.000 122.000
Sub Total 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
B. Biaya Variabel
Biaya bahan baku 1.941.931.680 1.941.931.680 1.941.931.680 1.941.931.680 1.941.931.680
Biaya bahan utilitas 19.468.800 19.468.800 19.468.800 19.468.800 19.468.800
Biaya tenaga kerja
216.000.000 216.000.000 216.000.000 216.000.000 216.000.000
langsung
Sub Total 2.177.400.480 2.177.400.480 2.177.400.480 2.177.400.480 2.177.400.480
Total 2.681.568.480 2.681.568.480 2.681.568.480 2.681.568.480 2.681.568.480

129
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)

Laporan Laba Rugi Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%

Tahun ke-
Deskripsi
1 2 3 4 5
A. Penerimaan
1. Biskuit ikan
Harga (Rp) 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300
Volume produksi
468.000 624.000 780.000 780.000 780.000
(bungkus)
Penjualan biskuit
1.544.400.000 2.059.200.000 2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000
ikan (Rp)
2. Tepung mix
Harga (Rp) 90.000 90.000 90.000 90.000 90.000
Volume produksi (Kg) 4.680 6.240 7.800 7.800 7.800
Penjualan tepung mix
421.200.000 561.600.000 702.000.000 702.000.000 702.000.000
(Rp)
Total Penerimaan
1.965.600.000 2.620.800.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000
(Rp)
B. Pengeluaran
Biaya tetap (Rp) 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
Biaya variabel (Rp) 1.345.320.288 1.793.760.384 2.242.200.480 2.242.200.480 2.242.200.480
Total Pengeluaran
1.849.488.288 2.297.928.384 2.746.368.480 2.746.368.480 2.746.368.480
(Rp)
C. Laba sebelum 116.111.712 322.871.616 529.631.520 529.631.520 529.631.520
pajak (Rp)
D. Pajak Penghasilan 32.511.279 90.404.052 148.296.826 148.296.826 148.296.826
(Rp)
E. Laba Setelah Pajak 83.600.433 232.467.564 381.334.694 381.334.694 381.334.694
(Rp)

130
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)

Laporan Laba Rugi Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)

Tahun ke-
Deskripsi
6 7 8 9 10
A. Penerimaan
1. Biskuit ikan
Harga (Rp) 3.300 3.300 3.300 3.300 3.300
Volume produksi
780.000 780.000 780.000 780.000 780.000
(bungkus)
Penjualan biskuit
2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000 2.574.000.000
ikan (Rp)
2. Tepung mix
Harga (Rp) 90.000 90.000 90.000 90.000 90.000
Volume produksi (Kg) 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800
Penjualan tepung mix
702.000.000 702.000.000 702.000.000 702.000.000 702.000.000
(Rp)
Total Penerimaan
3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000
(Rp)
B. Pengeluaran
Biaya tetap (Rp) 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
Biaya variabel (Rp) 2.242.200.480 2.242.200.480 2.242.200.480 2.242.200.480 2.242.200.480
Total Pengeluaran
2.746.368.480 2.746.368.480 2.746.368.480 2.746.368.480 2.746.368.480
(Rp)
C. Laba sebelum 529.631.520 529.631.520 529.631.520 529.631.520 529.631.520
pajak (Rp)
D. Pajak Penghasilan 148.296.826 148.296.826 148.296.826 148.296.826 148.296.826
(Rp)
E. Laba Setelah 381.334.694 381.334.694 381.334.694 381.334.694 381.334.694
Pajak (Rp)

131
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)

Perhitungan Arus Kas Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%

Tahun ke- (Rp)


Deskripsi
0 1 2 3 4 5

Investasi
(687.775.000)
Modal kerja
(196.560.000) (65.520.000) (65.520.000)
Laba bersih 83.600.433 232.467.564 381.334.694 381.334.694 381.334.694
Penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Total Aliran Kas
Bersih (884.335.000) 74.161.433 223.028.564 437.415.694 437.415.694 437.415.694

Tahun ke -
Deskripsi (Rp)
6 7 8 9 10
Investasi

Modal kerja
327.600.000
Laba bersih 381.334.694 381.334.694 381.334.694
381.334.694 381.334.694
Penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Total Aliran Kas
Bersih 437.415.694 437.415.694 437.415.694 437.415.694 765.015.694

132
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)

Kriteria Kelayakan Investasi

Tahun Bt - Ct Akumulasi DF 18 % PV NPV kumulatif


ke- (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
0 (884.335.000) (884.335.000) 1 (884.335.000) (884.335.000)
1 74.161.433 (810.173.567) 0,847457627 62.848.672 (821.486.328)
2 223.028.564 (587.145.004) 0,71818443 160.175.642 (661.310.687)
3 437.415.694 (149.729.309) 0,608630873 266.224.696 (395.085.991)

4 437.415.694 287686385 0,515788875 225.614.149 (169.471.842)

5 437.415.694 725.102.079 0,437109216 191.198.431 21.726.590

6 437.415.694 1.162.517.774 0,370431539 162.032.569 183.759.159

7 437.415.694 1.599.933.468 0,313925033 137.315.736 321.074.895


8 437.415.694 2.037.349.163 0,266038164 116.369.268 437.444.163
9 437.415.694 2.474.764.857 0,225456071 98.618.024 536.062.187

10 765.015.694 3.239.780.551 0,191064467 146.167.316 682.229.503

Kriteria Nilai
NPV (Rp) 682.229.503
IRR (%) 33
PBP (Tahun) 3 Tahun 4 Bulan
Net B/C 2

BEP Nilai

Harga jual biskuit/ bungkus (Rp) 2.997

Harga jual tepung mix/ kg (Rp) 59.717

Produksi biskuit (Bungkus) 681.950

Produksi tepung mix (Kg) 4.205

133
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20%

Kebutuhan Biaya Operasional Harga Jual Turun 20%

Tahun ke- (Rp)


Komponen
1 2 3 4 5
A. Biaya Tetap
Biaya penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Biaya Promosi 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000
Biaya administrasi 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000
Biaya pemeliharaan 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000
Pajak 122.000 122.000 122.000 122.000 122.000
Sub Total 186.168.000 186.168.000 186.168.000 186.168.000 186.168.000
B. Biaya Variabel
Biaya bahan baku 896.276.160 1.195.034.880 1.493.793.600 1.493.793.600 1.493.793.600
Biaya bahan utilitas 8.985.600 11980800 14.976.000 14.976.000 14.976.000
Biaya tenaga kerja
129.600.000 172800000 216.000.000 216.000.000 216.000.000
langsung
Sub Total 1.034.861.760 1.379.815.680 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600
Total 1.221.029.760 1.565.983.680 1.910.937.600 1.910.937.600 1.910.937.600

Tahun ke- (Rp)


Komponen
6 7 8 9 10
A. Biaya Tetap
Biaya penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Biaya Promosi 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000 36.000.000
Biaya administrasi 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000 84.000.000
Biaya pemeliharaan 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000 9.965.000
Biaya tenaga kerja
318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000 318.000.000
tak langsung
Pajak 122.000 122.000 122.000 122.000 122.000
Sub Total 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
B. Biaya Variabel
Biaya bahan baku 896.276.160 1.195.034.880 1.493.793.600 1.493.793.600 1.493.793.600
Biaya bahan utilitas 8.985.600 11980800 14.976.000 14.976.000 14.976.000
Biaya tenaga kerja
129.600.000 172800000 216.000.000 216.000.000 216.000.000
langsung
Sub Total 1.034.861.760 1.379.815.680 1.724.769.600 1.724.769.600 1.724.769.600
Total 1.539.029.760 1.883.983.680 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600

134
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)

Laporan Laba Rugi Bahan Harga Jual Turun 20%

Tahun ke-
Deskripsi
1 2 3 4 5
A. Penerimaan
1. Biskuit ikan
Harga (Rp) 2.640 2.640 2.640 2.640 2.640
Volume produksi
468.000 624.000 780.000 780.000 780.000
(bungkus)
Penjualan biskuit
1.235.520.000 1.647.360.000 2.059.200.000 2.059.200.000 2.059.200.000
ikan (Rp)
Harga (Rp) 72.000 72.000 72.000 72.000 72.000
Volume produksi (Kg) 4.680 6.240 7.800 7.800 7.800
Penjualan tepung mix
336.960.000 449.280.000 561.600.000 561.600.000 561.600.000
(Rp)
Total Penerimaan
1.572.480.000 2.096.640.000 2.620.800.000 2.620.800.000 2.620.800.000
(Rp)
B. Pengeluaran
Biaya tetap (Rp) 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
Biaya variabel (Rp) 1.034.861.760 1.379.815.680 1.724.769.000 1.724.769.000 1.724.769.000
Total Pengeluaran
1.539.029.760 1.883.983.680 2.228.937.000 2.228.937.000 2.228.937.000
(Rp)
D. Laba sebelum
33.450.240 212.656.320 391.863.000 391.863.000 391.863.000
pajak (Rp)
E. Pajak Penghasilan
9.366.067 59.543.770 109.721.640 109.721.640 109.721.640
(Rp)
F. Laba Setelah Pajak
24.084.173 153.112.550 282.141.360 282.141.360 282.141.360
(Rp)

135
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)

Laporan Laba Rugi Bahan Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)

Tahun ke-
Deskripsi
6 7 8 9 10
A. Penerimaan
1. Biskuit ikan

Harga (Rp) 2.640 2.640 2.640 2.640 2.640


Volume produksi
780.000 780.000 780.000 780.000 780.000
(bungkus)
Penjualan biskuit
2.059.200.000 2.059.200.000 2.059.200.000 2.059.200.000 2.059.200.000
ikan (Rp)
2. Tepung mix
Harga (Rp) 72.000 72.000 72.000 72.000 72.000
Volume produksi (Kg) 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800
Penjualan tepung mix
561.600.000 561.600.000 561.600.000 561.600.000 561.600.000
(Rp)
Total Penerimaan
2.620.800.000 2.620.800.000 2.620.800.000 2.620.800.000 2.620.800.000
(Rp)
B. Pengeluaran
Biaya tetap (Rp) 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000 504.168.000
Biaya variabel (Rp) 1.724.769.000 1.724.769.000 1.724.769.000 1.724.769.000 1.724.769.000
Total Pengeluaran
2.228.937.000 2.228.937.000 2.228.937.000 2.228.937.000 2.228.937.000
(Rp)
D. Laba sebelum
391.863.000 391.863.000 391.863.000 391.863.000 391.863.000
pajak (Rp)
E. Pajak Penghasilan
109.721.640 109.721.640 109.721.640 109.721.640 109.721.640
(Rp)
F. Laba Setelah Pajak
282.141.360 282.141.360 282.141.360 282.141.360 282.141.360
(Rp)

136
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)

Perhitungan Arus Kas Harga Jual Turun 20%

Tahun ke- (Rp)


Deskripsi
0 1 2 3 4 5

Investasi
(687.775.000)
Modal kerja
(196.560.000) (65.520.000) (65.520.000)
Laba bersih 24.084.173 153.112.550 282.141.360 282.141.360 282.141.360
Penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Total Aliran Kas
Bersih (884.335.000) 14.645.173 143.673.550 338.222.360 338.222.360 338.222.360

Tahun ke -
Deskripsi (Rp)
6 7 8 9 10
Investasi

Modal kerja
327.600.000
Laba bersih 282.141.360 282.141.360 282.141.360
282.141.360 282.141.360
Penyusutan 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000 56.081.000
Total Aliran Kas
Bersih 338.222.360 338.222.360 338.222.360 338.222.360 665.822.360

137
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)

Kriteria Kelayakan Investasi

Tahun Bt - Ct Akumulasi DF 18 % PV NPV kumulatif


ke- (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
0 (884.335.000) (884.335.000) 1 (884.335.000) (884.335.000)
1 14645173 (869.689.827) 0,84745763 12.411.163 (871.923.837)
2 143.673.550 (726.016.277) 0,71818443 103.184.107 (768.739.730)
3 338.222.360 (387.793.917) 0,60863087 205.852.570 (562.887.160)
4 338.222.360 (49.571.557) 0,51578888 174.451.331 (388.435.829)
5 338.222.360 288.650.803 0,43710922 147.840.111 (240.595.718)
6 338.222.360 626.873.163 0,37043154 125.288.229 (115.307.489)
7 338.222.360 965.095.523 0,31392503 106.176.466 (9.131.023)
8 338.222.360 1.303.317.883 0,26603816 89.980.056 80.849.032
9 338.222.360 1.641.540.243 0,22545607 76.254.284 157.103.317
10 665.822.360 2.307.362.603 0,19106447 127.214.994 284.318.311

Kriteria Nilai
NPV (Rp) 284.318.311
IRR (%) 24
PBP (Tahun) 4 Tahun 2 Bulan
Net B/C 1

BEP Nilai

Harga jual biskuit/ bungkus (Rp) 2.514

Harga jual tepung mix/ kg (Rp) 59.380

Produksi biskuit (Bungkus) 728.922

Produksi tepung mix (Kg) 5.927

138

You might also like