You are on page 1of 20

Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi

dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare


Akut Pada Balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir
Posted on Juli 16, 2008 by kuliahbidan

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY


AND KNOWLEDGE AMONG MOTHERS TOWARDS INCIDENS OF
ACUTE DIARRHEA ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD

IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT

OF INDRAGIRI HILIR REGENCY

BY

YANCE WARMAN

Diarrhea is still fully guarded to fell in children under five years old. It’s one of
the main factor of death and illness to children in the developed country as
Indonesia. Many factors influenced this phenomenon. Some of them were
environment, social-economy and well informed mother. The aim of this research
was conducted to map the condition and specifically executed in Pekan Arba
Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency.

This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population


was mother who have children under five with numery 535, but the sample was
230. The instrument of the research was questionnaire. The analysis data used
SPSS program.

From this research was founded that percentage of respondent environment


condition at 41.7 % was good health. 54.4% was moderate and 3.9% was bad
environment. Instead, respondent social-economy can be categorized 3.9% was
underprosperous, 79.1% was prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4
% was prosperous level III and 7.8% was upper prosperous. Looking at well
informed factor research concludes that 46,5 % was good and 53,5 % was
moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of children
under five was 53% of sample. The correlation between environment, social
economy and knowledge among mothers towards incidens of acute diarrhea on
children under five years old indicated significant correlation and positif relation.
Overall well informed factor was more significantly influence acute diarrhea rate
in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency compared
to other factors.

Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens


of acute diarrhea on children under five years old

ABSTRAK

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI

DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA


BALITA

DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN


KABUPATEN INHIL

OLEH

YANCE WARMAN

Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare
merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak di Negara
berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan,
sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari
penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang bertempat tinggal di
Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL. Populasi
berjumlah 535, dengan sample berjumlah 230. Instrumen penelitian berupa
kuesioner. Pengolahan dan analisis data dengan mengunakan SPSS.

Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam


kategori baik 41,7%, cukup 54,4% dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi
berada dalam kategori keluarga prasejahtera 3,9%, keluarga sejahtera I 79,1%,
keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga sejahtera III 4,4% dan keluarga sejahtera III
plus 7,8%. Tingkat pengetahuan ibu berada dalam kategori tinggi 46,5%, sedang
53,5%. Angka kejadian diare pada anak balita 53% dari jumlah sample. Korelasi
antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian
diare akut pada anak balita menunjukkan korelasi yang signifikan dan hubungan
yang positif, dimana pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat
dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi
kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan
Kabupaten INHIL.

Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut
pada anak balita

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu
negara. Masa perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa
balita. Masa balita merupakan masa yang paling rentan terhadap serangan
penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat
negatif bagi pertumbuhan anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995,
Adzania, 2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita adalah
diare (Sutoto, Indriyono, 1996, Widjaja, 2003)

Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun,
dengan korban meninggal sekitar 5 juta jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap
tahun terdapat 20-35 juta kasus diare dan 16,5 juta diantaranya adalah balita
(Pickering et al, 2004). Angka kematian balita di negara berkembang akibat diare
ini sekitar 3,2 juta setiap tahun (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik menunjukkan
bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya
adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Pickering et al,
2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada tahun 2003
angka kejadian diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak
87.660 orang dan pada tahun 2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh
besar penyakit pada pasien rawat inap di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir mencatat bahwa angka kejadian
diare di Tembilahan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus, pada tahun 2005
sebanyak 725 kasus. Data dari puskesmas Tembilahan diketahui bahwa kejadian
diare di Kelurahan Pekan Arba tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun 2005
sebanyak 102 kasus.
Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian
bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara
anggota Assosiation South East Asia Nation (ASEAN). Penyebab utama kesakitan
dan kematian pada anak di negara berkembang adalah diare. Sampai saat ini diare
tetap sebagai child killer peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995,
Warouw, 2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak


faktor yang mempengaruhi kejadian diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah faktor lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan
ibu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat
diperbaiki, sehingga dengan memperbaiki faktor resiko tersebut diharapkan dapat
menekan angka kesakitan dan kematian diare pada balita (Irianto, 2000, Warouw,
2002, Asnil et al, 2003).

Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan


antara lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare
akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah
“Apakah terdapat hubungan antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan
pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan INHIL?”

1.3. Hipotesis penelitian

Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum,


jamban, perumahan, sampah dan pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut
pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut
pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada
balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

1.4. Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum :


Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu
dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan
Tembilahan.

1.4.2 Tujuan Khusus :

Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Kelurahan Pekan


Arba Kecamatan Tembilahan

2. Mengetahui gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Pekan


Arba Kecamatan Tembilahan

3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian


Diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita
di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian


diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada
balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu


terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan
Tembilahan

1.5. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi


dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali
permasalahan kesehatan di masyarakat serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu
yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat.

b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan,


pengembangan program khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi
dan peningkatan pengetahuan ibu-ibu di bidang kesehatan

c. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Riau,


memberi masukan, saran kepada fakultas mengenai target-target dan kurikulum
apa saja yang akan dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan lulusan dokter
yang siap terjun di masyarakat

d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan


faktor yang dapat mempengaruhi kejadian diare akut pada balita.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diare Akut

2.1.1.Definisi Diare

Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang
tidak normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair.
(Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998)

2.1.2. Klasifikasi Diare

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare
persisten dan diare kronis. (Asnil et al, 2003).

2.1.2.1 Diare Akut

Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14
hari, dengan pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir
dan darah

2.1.2.2 Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan
dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

2.1.2.3 Diare kronis

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab
non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme
yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari.
2.1.3. Etiologi

Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat,
imunodefisiensi dan keadaan-keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al,
2003).

2.1.3.1 Infeksi

Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi
saluran pencernaan dan infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar
alat pencernaan. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Ngastiyah, 2004).
Mikroorganisme yang menjadi penyebabnya antara lain Aeromonas,
Compylobacter, Clostridiumdifficile, Escherichiacoli, Enterotoxigenic,
Enteropathogenic, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera, Enteroinvasive (Pickering
et al, 2004).

2.1.3.2 Makanan

Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang
mengandung bakteri atau toksin. Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu
sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein, vitamin dan
mineral.

2.1.3.3 Imunodefisiensi

Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang


mengakibatkan berlipat gandanya bakteri, flora usus, jamur, terutama Candida

2.1.3.4 Terapi obat

Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid

2.1.3.5 Keadaan tertentu

Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis


(ketakutan, gugup), gangguan saraf.

2.1.4. Epidemiologi

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih
besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak
perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan
minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita (Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 1999). Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang
merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang
menyebabkan turunnya daya tahan tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya
dengan pemberian ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran
minum anak dan sebagian lagi karena faktor pencegahan imunologik dari ASI
(Asnil et al, 2003). Perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik
dan meningkatkan resiko terjadinya diare antara lain, tidak memberikan ASI
secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan, menggunakan botol susu,
menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang
tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan sesudah buang
air besar (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 1999).

2.1.5. Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni
gangguan osmotik dan gangguan sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UI, 1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 1999 ).

2.1.5.1 Gangguan osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan
cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit
diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik,
air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi
diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik
akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari
isi usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.

2.1.5.2 Gangguan sekretorik

Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili


gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung
terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit
ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
mengeluarkannya sehingga timbul diare.

2.1.6. Manifestasi klinis

Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin
disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-
hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya
lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang
berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah
dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. (Ngastiyah, 1997, Mansjoer et al,
2000, Asnil et al, 2003). Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik
selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi, gangguan
keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi.
(Asnil et al, 2003)

2.1.6.1 Dehidrasi

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air.
Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat
badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan
menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan

Derajat dehidrasi Penurunan berat badan (%)

Tidak dehidrasi <2½

Dehidrasi ringan 2½–5

Dehidrasi sedang 5-10

Dehidrasi berat 10

( Buku ajar diare, 1999 )

Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinis

Penilaian A B C
Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel« Lesu, tidak sadar«
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum sepertiHaus, ingin minumMalas minum, tidak
biasa banyak« bisa minum
Periksa:Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat« Kembali sangat
lambat
Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/Dehidrasi beratBila
sedangBila ada 1ada 1 tanda ditambah
tanda ditambah1/lebih tanda lain
1/lebih tanda lain
Terapi Rencana Rencana Rencana
pengobatan A pengobatan B pengobatanC

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.6.2 Gangguan keseimbangan asam-basa

Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis.
Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja,
terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan, produk
metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh
ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.

2.1.6.3 Hipoglikemia

Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih
sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori
protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah
menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala
hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat,
syok, kejang sampai koma.

2.1.6.4 Gangguan gizi

Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat
terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan
karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu diteruskan,
sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna
dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.

2.1.6.5 Gangguan sirkulasi

Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya


perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat
mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera
ditolong penderita dapat meninggal

2.1.7. Penatalaksanaan

2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut


Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman Prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain dengan
rehidrasi, nutrisi, medikamentosa (Andrianto, 1995)

2.1.7.1.1 Rehidrasi

Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat


etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang
telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan
yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya
cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung.
Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing
anak atau golongan umur.

2.1.7.1.2 Nutrisi

Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk


menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak
dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang
mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai
berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24
jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang,
makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan
diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan
pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin
dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena
malabsorbsi diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain :
Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai menengah, Intoleransi laktosa
berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan
rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari
masukan nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)

2.1.7.1.3 Medikamentosa

Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin. Obat-obat anti diare
meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben
seperti Norit, kaolin, attapulgit. Anti muntah termasuk prometazin dan
klorpromazin

2.1.7.2 Rencana pengobatan

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi
tiga, yakni rencana pengobatan A, B dan C.

2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A


Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di
rumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga
yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang. Gunakan
larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut :

Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur

Umur Jumlah oralit yang diberikan Jumlah oralit yang disediakan di


tiap BAB rumah

< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)

1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)

> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang,
dengan cara ; dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak
diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama

Umur < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun


Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml

( Buku ajar diare, 1999 )

Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk
meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan
juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan
bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk melanjutkan
pengobatan

2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama


berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik
maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah
rencana pengobatan yang sesuai.
2.1.8. Pencegahan Diare

Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan
lingkungan, seperti penyediaan sumber air minum yang bersih, penggunaan
jamban, pembuangan sampah pada tempatnya, sanitasi perumahan dan
penyediaan tempat pembuangan air limbah yang layak. Perbaikan perilaku ibu
terhadap balita seperti pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun, perbaikan
cara menyapih, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas,
membuang tinja anak pada tempat yang tepat, memberikan imunisasi morbili
(Andrianto, 1995). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan
tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan
sosialnya menjadi sehat ( Notoadmodjo, 2003)

2.2. Lingkungan

Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa
tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model
segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen,
host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung
dari lingkungan (Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang
sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk
memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan
(Trisnanta, 1995).

Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya
terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994).
Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah
dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang
dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya (Noerolandra, 1999).

Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang


adalah penyediaan air minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah,
perumahan dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).

2.2.1 Sumber air

Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat
fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu
sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air
tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan
misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung
bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100 cc
air.
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air
ini antara lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai
& danau.

2.2.2 Pembuangan kotoran manusia

Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh
dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah
pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena kotoran manusia
adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang
dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera,
bermacam-macam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang, pita,
schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori tanah
permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran
tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau
berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya mudah dan
murah (Notoatmodjo, 2003).

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus,
lantai kakus, sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur
penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan
pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau,
disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2003)

Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) :

2.2.2.1 Pit privy (cubluk)

Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan


batu-bata, hanya dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam.

2.2.2.2 Angsatrine

Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai
sumbat sehingga bau busuk tidak keluar.

2.2.2.3 Bored hole latrine

Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat
meluap sehingga mengotori air permukaan

2.2.2.4 Overhung latrine

Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses
dapat mengotori air permukaan
2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )

Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup.
Sehingga serangga mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka
jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air
minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)

Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang,
yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang
mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.

2.2.3 Pembuangan sampah

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal
dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni
sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk,
misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah
yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan,
buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo,
2003).

2.2.3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar
rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat
pembuangan akhir (TPA)

2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah

Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration),


dijadikan pupuk (Composting)

2.2.4 Perumahan

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene
dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari
ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat
sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).

2.2.4.1 Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah

2.2.4.2 Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang
masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya
bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.

2.2.4.3 Luas bangunan rumah

Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk
tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka
menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni
menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota
keluarga lain.

2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat

Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang
cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas
dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak

2.2.5 Air limbah

Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri
dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai
dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah
terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan
lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit
terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme
patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak
serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan
tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas manusia, karena
bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).

Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi,
persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi
sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air
mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat
berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena udara luar
sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Sosial ekonomi masyarakat


Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah
orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan
dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran
kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004)

Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini
karena kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan
kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang,
miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka
kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi
relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar
menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko
imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena
penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan cukup. (Behrman,
1999)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi


atau peta kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam
pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin sehingga dapat
memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang
berkenaan dengan penanggulangan kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat
digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di Indonesia saat ini digunakan dua
ukuran kemiskinan, yakni yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) dan BKKBN
(Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional). Informasi kemiskinan yang
dihitung BPS merupakan informasi makro sedangkan informasi dari BKKBN
bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian
dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004)

Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara


menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun
minuman, yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Garis kemiskinan
sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu
untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kalori per orang per hari.
Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan digolongkan
sebagai penduduk miskin. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau,
2004).

Pendataan yang dilakukan oleh BKKBN tiap tahun dengan menggunakan


kuesioner, diperoleh gambaran status kesejahteraan keluarga. Keluarga di
Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga
sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III
plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah
keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial
psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah
dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat
memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang
sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi
belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya.
Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan
sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
(Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).

2.4. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel berikut :

Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Domain Definisi
Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
Memahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan secara benar.
Aplikasi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi riil.
Analisis kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut.
Sintesis kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
Evaluasi kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau obyek

( Notoatmodjo, 2003)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang


menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo,
2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan
kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan
pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan
lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)

-
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan


cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan
pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota


Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini didasari oleh data yang dikumpulkan dari
puskesmas setempat bahwa daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian diare
yang cukup tinggi, dan berdasarkan data dari kelurahan dan pengamatan dari
peneliti sendiri diketahui bahwa daerah tersebut memiliki keadaan georafis, sosial
ekonomi yang spesifik.

3.3. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2006

3.4. Variabel penelitian

Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare akut
pada anak balita. Variabel bebas atau independen yakni lingkungan, sosial
ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5. Definisi operasional

Definisi operasional pada penelitian ini mencakup lima variabel yakni, diare akut
pada anak balita, lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5.1 Diare akut pada anak balita adalah kejadian diare yang terjadi secara
mendadak, berlangsung kurang dari 14 hari, pada anak balita yang berdomisili di
Kelurahan Pekan Arba, diketahui dengan cara wawancara langsung dengan ibu
balita.

3.5.2 Lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan
perumahan, sumber air minum, jamban, pengelolaan sampah dan limbah, yang
dinilai dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan
penulis sendiri, dengan skala ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik,
cukup dan buruk.
3.5.3 Sosial ekonomi adalah tingkat kesejahteraan responden yang dinilai dengan
menggunakan kuesioner resmi yang dikeluarkan oleh BKKBN. Terdiri dari lima
tingkatan, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II,
keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus.

3.5.4 Pengetahuan ibu adalah kumpulan informasi tentang diare yang dipahami
oleh ibu-ibu yang memiliki anak balita di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh
dari pengalaman dan penginderaan terhadap objek tertentu yang diukur dengan
menggunakan kuesioner rancangan penulis dengan skala ukur interval. Terdiri dari
tiga tingkat, yakni pengetahuan ibu tinggi, sedang dan rendah.

3.6. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita yang tinggal
di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan dengan jumlah 535 orang.
Jumlah sampel diambil secara proporsional dengan teknik pengambilan sampel
secara acak sederhana ( simple random sampling) dengan cara lottery technique,
yakni dengan mengundi anggota populasi. (Notoatmodjo, 2003). Cara
menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan formula sebagai berikut :
(Notoadmodjo, 2002)

(http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/16/hubungan-faktor-lingkungan-
sosial-ekonomi-dan-pengetahuan-ibu-dengan-kejadian-diare-akut-pada-balita-di-
kelurahan-pekan-arba-kecamatan-tembilahan-kabupaten-indragiri-hilir/)

You might also like