You are on page 1of 7

Jurnal Natur Indonesia 14(2), Februari 2012: 143-149

ISSN 1410-9379 Karakteristik Biofisik Gambut 143

Efek Pembukaan Lahan terhadap Karakteristik Biofisik Gambut pada


Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Bengkalis
Suwondo1*), Supiandi Sabiham2), Sumardjo2) dan Bambang Paramudya2)

1)
Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Riau, Pekanbaru 28293
2)
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

Diterima 20-03-2011 Disetujui 04-07-2011

ABSTRACT
Oil palm plantations at peatland are faced with problems of land degraded, low productivity and produced to green house gas (GRG) emission.
The objectives of this study were to land clearing effect of peatlands and to identified factors that affect the peatlands in the biophysical
characteristics. This study was conducted on District Bengkalis-Riau at marine and brakish peat. The data was collected using field survey and
documentation. The descriptive analysis was used to determine biophysical characteristics and linier regresion was used to corelation perform
important factors. The research results showed that the biophysical characteristics of peatland experienced changes in the horizon profile,
peat thickness, decomposition level, moisture content, ash content, pH, C-organic and biomass. The secondary peat swamp forest of
biophysical characteristics have to different in the horizon profile, peat thickness, decomposition level, moisture content, ash content, pH,
C-organic and biomass compared with marine and brackish peat.

Keywords: biophysical characteristics, land clearing, peatland, oil palm plantations

ABSTRAK
Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut dihadapkan pada permasalahan degradasi lahan, produktivitas rendah dan potensi emisi gas
rumah kaca (GRK). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan karakteristik biofisik lahan gambut akibat aktivitas pembukaan
lahan perkebunan kelapa sawit. Lokasi penelitian berada dalam wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau pada dua tipe fisiografi lahan
gambut yakni gambut pantai dan gambut transisi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survey dan dokumentasi.
Analisis data karakteristik biofisik dilakukan secara deskriptif dan hubungan antar faktor dengan regresi liner. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aktivitas perkebunan kelapa sawit dapat merubah karakteristik biofisik lahan gambut. Kandungan C-organik dan kadar air semakin
menurun, sedangkan muka air tanah, pH dan kadar abu semakin meningkat. Karakteristik biofisik hutan rawa gambut sekunder mempunyai
perbedaan tingkat dekomposisi, kadar air, kadar abu, pH, C-organik dan biomassa dibandingkan dengan fisiografi lahan gambut pantai dan
transisi.

Kata kunci: karakteristik biofisik, lahan gambut, pembukaan lahan, perkebunan kelapa sawit

PENDAHULUAN luas lahan gambut di Kabupaten Bengkalis mencapai


Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem 856.386 ha dengan luas areal perkebunan mencapai
yang terbentuk pada kondisi anaerob (drainase buruk) di 102.858,5 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau 2009).
rawa pasang surut atau lebak dan mengandung bahan Alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa
organik (> 50%) dari hasil akumulasi sisa tanaman. Lahan sawit pada ekosistem rawa gambut merupakan faktor
gambut memberikan beberapa pelayanan (services) ekologi, dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan
ekonomi dan sosial yang potensial untuk dikembangkan gambut (Riwandi 2003). Aktivitas pembukaan lahan yang
sebagai sistem pendukung kehidupan (life supporting kurang memperhatikan karakteristik biofisik lingkungan,
system) (Galbraith et al. 2005). menyebabkan lahan gambut mengalami degradasi dan
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan menjadi lahan terlantar (Noorginayuwati et al. 1997; Sutikno
20,6 juta ha dan 4,1 juta ha di Provinsi Riau. Pemanfaatan et al. 1998 diacu dalam Noor 2001).
lahan gambut untuk perkebunan mencapai 817.593 ha dari Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut juga
total luas perkebunan yang mencapai 2,6 juta ha. Sedangkan dihadapkan pada permasalahan potensi emisi CO2 sebagai
gas rumah kaca (GRK) (Hooijer et al. 2006), dan hilangnya
biodiversitas (Noor 2001; Riwandi 2003). Pembukaan lahan
*Telp: +628127512108
e-mail: wondo_su@yahoo.co.id
144 Jurnal Natur Indonesia 14(2): 143-149 Suwondo, et al.

pada hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit perubahan tingkat kesuburan lahan, penurunan muka tanah
pada siklus pertanaman 25 tahun diperkirakan menghasilkan (subsidensi) dan dapat menimbulkan kering tidak balik
-1 -1
net emisi CO2 rata-rata 41 ton ha tahun (Agus et al. 2009). (irreversibel drying).
Pada rentang waktu 1990–2007 total emisi CO 2 yang Untuk itu, telah dilakukan penelitian guna mengetahui
dihasilkan dari degradasi hutan, kebakaran dan dekomposisi aspek biofisik dan faktor penting yang mempengaruhi
gambut di Riau mencapai 3,66 G ton CO2 (WWF 2008). perubahan karakteristik biofisik lahan gambut akibat
Pemanfaatan lahan gambut untuk usaha perkebunan kegiatan pembukaan lahan pada perkebunan kelapa sawit.
di Kabupaten Bengkalis belum mampu menjaga
keberlanjutan fungsi ekologis pada ekosistem tersebut. BAHAN DAN METODE
Hal ini terlihat dari degradasi lahan gambut yang terjadi Lokasi penelitian berada dalam wilayah Kabupaten
seperti penurunan muka tanah dan kejadian kering tidak balik. Bengkalis Propinsi Riau dengan lokasi utama penelitian di
Kondisi ini menyebabkan terjadinya kebakaran lahan pada Kecamatan Siak Kecil dan Bukit Batu. Sedangkan sebagai
musim kemarau dan banjir pada musim penghujan. pembanding dilakukan penelitian pada lokasi terpilih di
Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan suatu sekitar Kecamatan Siak Kecil dan Bukit Batu (Gambar 1).
sistem yang sangat kompleks dan dinamis. Dinamika sistem Penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja
terbentuk dari berbagai interaksi antara vegetasi, siklus hara (purposive) dengan pertimbangan berada pada kawasan
dan hidrologi (Meiling & Goh 2008). Perkebunan kelapa sawit cadangan gambut. Pengamatan dilakukan pada dua tipe
di lahan gambut diharapkan dapat menerapkan prinsip fisiografi lahan gambut yakni gambut pantai (marine peat)
ekologis kawasan yang berbasis pada optimalisasi dan dan transisi (brackish peat).
kelestarian sumber daya. Data biofisik lahan gambut diperoleh dari hasil survey
Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi sering lapangan melalui pengukuran parameter secara in situ dan
memberikan perubahan yang besar dan menyebabkan laboratorium. Pengambilan contoh tanah gambut utuh
hilangnya fungsi ekologis pada lahan gambut tersebut. (undisturbed soil samples) pada lahan gambut yang belum
Aktivitas pembukaan dan pembersihan lahan (land dilakukan pembukaan lahan (land clearing). Hal ini dilakukan
clearing) dan pembuatan saluran (drainase) menyebabkan untuk membandingkan karakteristik biofisik lahan gambut
terjadinya perubahan tata air (hidrologi). Las et al. (2009) alami dengan perubahan biofisik lahan gambut pada
menyebutkan bahwa kondisi ini berpengaruh pada terjadinya perkebunan kelapa sawit. Pengambilan contoh tanah

99 °3 0' 10 1° 00' 102 °3 0' 104 °0 0'

98 °00 ' 10 4°0 0' 110 °00 ' 11 6°00 ' 1 22 °0 0 ' 128 °00 ' 13 4 °0 0' 14 0 °0 0 '
Tha il and Ph i li p in es
ea
S
na
2°30'

2°30'
hi
C
4°00'

th

4°00'
DI . A ceh B ru ne i Da ru ssa lam
ou
S
S tr
a
it
of

Ma lay sia
M
al a

M ala ysi a Cel e be s Se a


c
c
a

Su mat era Ut ara


S in gap ore Kal i mant an Ti mur
Sul aw e si U ta ra M alu ku
Ri au Kep. Ri au
Ka li man tan Ba ra t

S uma tera B arat


r
a
as

2° 00'

Su law e si Te ng ah
2°00'

k
S

a
tr

Kal i mant an T enga h


M
a it

Jambi
to
o

ai
f

tr
Ka
r

S
im
a

Su l a
w esi S el at an
ta

K al im a nta n Se la tan
Su mate ra Sel at an I ri an J aya
Ben gku u
l
Su law e si Ten g gara

Malaysia
L ampu ng
Ja va Sea
i t P apua New G ui nne a
t ra DK I . Jaka rta
daS
Su n Jaw a B arat
8° 00'

Jaw a Ten gah


8°00'

DI Y og yakar ta
Jaw a Ti mur
B al i

St IN D IAN OC E AN
Nu sa Te ngga raB ara tN usa T eng gara T im ur Ti mor Ti mur

r ai T im o r Sea

Su m a tera Ut ara K AB . R OK AN HIL IR to Aus t rali a

fM 98 °00 ' 10 4°0 0' 110 °00 ' 11 6°00 ' 1 22 °0 0 ' 128 °00 ' 13 4 °0 0' 14 0 °0 0 '

KO T A D UM AI a la
cc
a
S in g ap o re
K AB . B EN G KA L IS
1°00'

1°00'

KA B. RO K AN H U L U

K AB . SIA K

 Lokasi Sampling Kep u lau an R iau


K OT A PEK A NB AR U

K AB . K AM PA R
K AB . PE LA LA WA N
KA B. IND RA GIR I H IL IR

IN D IA N O C E A N Su m a tera Barat

K AB . K U AN T AN SIN G IN GI
0°30'

0°30'

N
KA B . IND RA GIR I H U L U

W E

S
50 0 50 100 K il om ete rs
Jam b i

99 °3 0' 10 1° 00' 102 °3 0' 104 °0 0'

Gambar 1 Peta lokasi sampling lahan gambut di kabupaten bengkalis


Karakteristik Biofisik Gambut 145

terganggu (disturbed soil samples) pada lahan gambut yang tumbuhan dengan menggunakan metode persamaan
telah dilakukan pembukaan lahan (land clearing). Analisis alometrik (Brown et al. 1989; Istomo 2002). Karakteristik
contoh tanah meliputi warna tanah, kedalaman air tanah, biofisik lahan gambut dianalisis secara deskriptif dan untuk
komposisi dan ketebalan gambut, pH (H 2 O, KCl), melihat hubungan antar parameter utama dilakukan analisis
C-organik (%), kadar air (%), kadar abu (%) dan biomassa regresi-korelasi dengan menggunakan model hubungan
tanaman (ton ha-1). logaritmik (Steel & Torrie 1980).
Untuk memberi gambaran menyeluruh terhadap kondisi
biofisik lahan gambut, pengambilan contoh tanah gambut HASIL DAN PEMBAHASAN
dilakukan antara lain : (1) pada hutan rawa gambut yang Aktivitas pembukaan lahan pada hutan rawa gambut
alami (sekunder) dan belum banyak mengalami perubahan menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya
biofisik; (2) perkebunan kelapa sawit umur tanam < 3, 3-9 perubahan profil horizon pada lahan gambut tersebut. Hal
dan > 10 tahun. Penentuan umur tanaman kelapa sawit ini terlihat dari perubahan lapisan horizon dan kedalaman
dilakukan dengan mempertimbangkan periode (TBM) serta tingkat kematangan gambut. Perubahan kedalaman
Tanaman Belum Menghasilkan/< 3 tahun, (TM) Tanaman horizon hemik menjadi semakin dangkal dengan pertambahan
Menghasilkan dengan periode produksi awal (3–9 tahun) umur perkebunan kelapa sawit (Tabel 1). Kondisi ini
dan periode tanaman menghasilkan pada produksi puncak disebabkan oleh perubahan tingkat kematangan gambut dari
(> 10 tahun). fibrik menuju kondisi hemik dan saprik. Hal ini dapat dilihat
Metode analisis warna tanah gambut dengan munsel dari warna gambut menjadi hitam kemerahan pada lapisan
soil chart, ketebalan gambut (cm) dan kedalaman air 0–33 cm.
tanah (cm) dengan pemboran langsung di lapangan, Aktivitas pembukaan lahan pada perkebunan kelapa
kematangan/komposisi gambut dengan metode cepat di sawit juga menyebabkan terjadinya perubahan ketebalan
lapangan (McKinzie). Pengukuran kadar air (%) dengan gambut, muka air tanah dan kadar air (Gambar 2). Tingkat
metode gravimetri, pH H2O dan KCl (1:1) dengan pH-meter, ketebalan (kedalaman) gambut bervariasi, dimana semakin
C-organik (%) dengan metode Walkley and Black dan kadar ke arah kubah gambut (dome) akan semakin meningkat.
abu (%) dengan metode gravimetri. Pengukuran biomassa Berdasarkan fisiografi kedalaman gambut pantai di
Tabel 1 Perubahan profil gambut di perkebunan kelapa sawit
Hutan Rawa Gambut
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman (cm)
Oe 0-20 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), hemik
Oe 20-50 Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik
Oei 50-75 Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik-fibrik
Oi 75-120 Hitam kemerahan – merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/1-2); fibrik
Oi 120-480 Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); -fibrik
Perkebunan Kelapa Sawit Umur < 3 tahun
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman (cm)
Oe 0-18 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), hemik
Oi 18-42 Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); fibrik
Oi 42-84 Merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/2); fibrik
Ao 84-106 Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu, masif
A > 106 Kelabu kehijauan terang (10 Y 7/2), liat; masif
Perkebunan Kelapa Sawit Umur 3- 9 tahun
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman (cm)
Oe 0-10 Coklat kemerahan (5YR 2.5/1), hemik
Oi 10-30 Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); hemik
Oi 30-80 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik
Oi 80-130 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); fibrik
Oi > 130 Coklat kemerahan gelap (5YR 3/2); fibrik
Perkebunan Kelapa Sawit > 10 tahun
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman (cm)
Oa 0-33 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), saprik
Ao 33-43 Coklat gelap (7.5 YR 3/2), hemik liat berdebu, masif
A1 43-100 Merah lemah – coklat olive ringan (10 R 5/4 – 2.5 Y 5/3), liat, matang
A2 > 100 Kelabu kecoklatan ringan (10 YR 6/2), liat, matang
146 Jurnal Natur Indonesia 14(2): 143-149 Suwondo, et al.

perkebunan sawit berkisar 30–40 cm, gambut transisi antara perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya terdapat hubungan
44–440 cm dan hutan rawa gambut >440 cm. yang sangat signifikan ( R2=0,964) antara pertambahan umur
Semakin lama umur tanam perkebunan sawit akan kelapa sawit dengan peningkatan biomassa (t ha-1). Hal ini
semakin rendah kadar air pada lahan gambut tersebut. mengindikasikan bahwa tanaman kelapa sawit dapat
Dimana kondisi ini terjadi pada gambut pantai maupun menyerap CO2 (carbon sink) yang cukup signifikan. Kondisi
transisi. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan tingkat ini terlihat pada tanaman kelapa sawit umur > 10 tahun
kematangan (dekomposisi) gambut yang terjadi pada mempunyai biomassa lebih besar dari hutan rawa gambut
perkebunan sawit tersebut. Noor (2001) menyebutkan bahwa sekunder.
kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang Meilling et al. (2005), menyebutkan bahwa alih fungsi
(retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat lahan gambut untuk kelapa sawit dapat menurunkan emisi
kematangannya. Kemampuan menyerap dan mengikat air CO2. Potensial emisi CO2 dari hutan rawa gambut mencapai
pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik, 7850 g CO2 m-2 tahun-1, sedangkan pada perkebunan kelapa
sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik. sawit mencapai 5706 g CO2 m-2 tahun-1. Hal ini disebabkan
Ketebalan gambut mempunyai hubungan yang erat oleh tingginya respirasi tanah pada hutan rawa gambut yang
dengan kandungan karbon dan penambahan biomassa mencapai 7817 g CO 2 m -2 tahun -1 , sedangkan pada
kelapa sawit (Gambar 3). Hooijer et al. (2006), dan Handayani perkebunan kelapa sawit masing-masing 4074 g CO2 m-2
(2009), menyebutkan bahwa semakin tebal gambut maka tahun-1 dan 5652 g CO2 m-2 tahun-1. Handayani (2009),
kandungan karbon (C) akan semakin meningkat dengan menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan emisi CO2 akan
2
tingkat korelasi yang tinggi (R =0,996). Kedalaman muka air semakin berkurang dengan pertambahan umur kelapa sawit.
tanah berpengaruh dengan fluks CO2 pada lahan gambut di

800 700
700 600
600 500
500 400
400 300
300
200
200
100
100
0
0
< 3 th 3-9 th >10 th
< 3 th 3-9 th > 10 th
Hutan sekunder B. Kebun sawit (Gambut pantai)
Hutan sekunder A. Kebun sawit (Gambut transisi)
Ketebalan gambut (cm) Ketebalan gambut (cm)
Kedalaman air tanah (cm) Kedalaman air tanah (cm)
Kadar air (%) Kadar air (%)
Gambar 2 Karakteristik biofisik pada hutan rawa gambut dan perkebunan sawit (a. Gambut transisi, b. Gambut pantai)

600 35
Kandungan karbon (ton-1)

500 30
Biomassa (ton ha)

400 25

20
300
15
200
y = 223,9ln(x) - 1385. 10
100 R² = 0,938 y = 10,27ln(x) - 1,462
5 R² = 0,964
0
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 0 5 10 15 20
A. Ketebalan gambut (cm) B. Umur tanaman sawit (th)
Gambar 3 Hubungan ketebalan gambut dengan kandungan karbon dan umur tanaman sawit dengan peningkatan biomassa
Karakteristik Biofisik Gambut 147

Pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan kunci yang lebih baik. Keadaaan ini dapat juga dipengaruhi oleh
dalam pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa tingkat ketebalan gambut. Subagyo et al. (1996),
sawit dan usaha untuk melestarikan lingkungan (Handayani menyebutkan bahwa tingkat keasaman gambut dalam relatif
2009; Las et al. 2009). Demikian pemanfaatan lahan gambut lebih tinggi daripada gambut dangkal. Gambut dangkal
untuk perkebunan kelapa sawit dapat diusahakan dengan mempunyai pH antara 4,0–5,1, sedangkan gambut dalam
melakukan pengelolaan tata air yang baik. mempunyai pH antara 3,1–3,9.
pH H2O dan pH KCl untuk gambut pantai dan transisi Kandungan C-organik (%) pada lahan gambut di
serta pada hutan rawa gambut sekunder mempunyai nilai perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar umur
yang berbeda. Pada gambut pantai pH H2O pada umur tanam tanam, fisiografi lahan dan hutan rawa gambut sekunder.
sawit < 3 tahun: 3,98, umur tanam sawit 3–9 tahun: 4,00 dan Pada perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut pantai
umur tanam > 10 tahun 4,25. Untuk pH KCl pada umur tanam kandungan C-organik berkisar antara 15,49–32,42. Pada lahan
sawit < 3 tahun: 3,25, umur tanam sawit 3–9 tahun: 3,50 dan gambut transisi kandungan C-organik berkisar antara
umur tanam > 10 tahun: 4,60. Pada gambut transisi nilai pH 11,57–56,95 dan pada hutan rawa gambut 0,87 (Gambar 4).
H2O pada umur tanam sawit < 3 tahun: 4,03, umur tanam Menurut Barchia (2009), dan Riwandi (2003), kandungan
sawit 3–9 tahun: 4,02 dan umur tanam > 10 tahun: 4,10. Untuk C-organik pada tanah gambut termasuk tinggi berkisar antara
pH KCl pada umur tanam sawit < 3 tahun: 3,15, umur tanam 54,3–57,84%. Sabiham dan Ismangun (1997), menyebutkan
sawit 3– 9 tahun 3,12 dan umur tanam > 10 tahun: 3,43. Bila bahwa kandungan rata-rata C-organik pada lahan gambut
dibandingkan nilai pH H2O di hutan sekunder rawa gambut sebesar 57,23%.
dengan lahan gambut pantai dan transisi mempunyai nilai Kadar Abu (%) pada lahan gambut di perkebunan
pH yang tidak terlalu berbeda. Sedangkan nilai pH KCl (2,98) kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar umur tanam dan
pada hutan sekunder rawa gambut lebih kecil dibandingkan tipe fisiografi lahan serta hutan sekunder rawa gambut.
dengan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Nilai pH Perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut pantai
gambut pada hutan sekunder rawa gambut lebih kecil kadar abu berkisar antara 43,98–73,23. Pada lahan gambut
dibandingkan lahan perkebunan kelapa sawit pada gambut transisi kadar abu berkisar antara 15,18–79,99 dan pada hutan
transisi. pH pada lahan gambut transisi lebih rendah sekunder rawa gambut 60,95 (Gambar 4). Sabiham dan
dibandingkan gambut pantai. Andriesse (1988), diacu dalam Ismangun (1997), menyebutkan bahwa kadar abu (%) pada
Barchia (2009), menyebutkan bahwa pH gambut yang berada lahan gambut di Kalimantan Tengah ditemukan sebesar
di sekitar kubah (peatdome) lebih rendah dibandingkan 0,94 % dan di Sumatera Selatan sebesar 5,10%.
dengan gambut yang berada di kawasan pinggir atau Terdapat hubungan antara kadar abu (%) dengan C-
mendekati sungai. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh organik (%) dan ketebalan gambut (cm) dan kadar abu (%)
air sungai atau payau yang mempunyai pH dan kualitas air pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit (Gambar 5).

500 500
450 450
400 400
350 350
300 300
250 250
200 200
150 150
100 100
50 50
0 0
< 3 th 3-9 th > 10 th < 3 th 3-9 th >10 th

Hutan sekunder Kebun sawit (Gambut Transisi) Hutan sekunder Kebun sawit (Gambut Pantai)
C-Org (%) C-Org (%)
Kadar abu (%) Kadar abu (%)
Ketebalan gambut (cm) Ketebalan gambut (cm)
Gambar 4 Kadar C-organik (%) dan kadar abu (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit dan hutan rawa gambut
148 Jurnal Natur Indonesia 14(2): 143-149 Suwondo, et al.

Kadar C-organik berhubungan negatif dengan kadar abu, sekunder (Gambar 6). Corley (1985), diacu dalam Barchia
dimana semakin tinggi kadar C-organik akan semakin rendah (2009), menyebutkan bahwa laju serapan CO2 oleh tanaman
2
kadar abu (R = 0,946) pada lahan gambut di perkebunan sawit mencapai 3 g m-2 jam-1. Produksi biomassa kelapa sawit
kelapa sawit. Sebaliknya semakin tinggi ketebalan gambut dapat mencapai 28–30 ton ha -1 pada umur tanaman
pada perkebunan kelapa sawit maka semakin rendah kadar 6,5–17,5 tahun. Perkebunan sawit di lahan gambut pada umur
abu (R2 = 0,797). Kadar C-organik juga berhubungan terbalik > 10 tahun mempunyai biomassa yang lebih besar dari hutan
dengan kadar abu, dimana semakin tinggi kadar C-organik sekunder. Hal ini mengindikasikan kemampuan menyerap
2
akan semakin rendah kadar abu (R = 0,98) pada lahan gambut karbon yang baik dalam bentuk biomassa tanaman dari
di perkebunan kelapa sawit. perkebunan sawit.
Biomassa tumbuhan menunjukkan adanya perbedaan Perubahan karakteristik biofisik lahan gambut
antara hutan rawa gambut dengan perkebunan kelapa sawit, disebabkan oleh pembukaan lahan yang menyebabkan
baik pada lahan gambut pantai maupun transisi. Pada hutan terjadinya perubahan tata air (hidrologi) yaitu muka air tanah
-1
rawa gambut biomassa ditemukan sebesar 103,28 ton ha , pada kawasan tersebut. Kondisi ini mempengaruhi tingkat
perkebunan sawit umur < 3 tahun 19,85 ton ha-1, perkebunan dekomposisi dan merubah karakteristik lahan gambut
-1
umur 3–9 tahun berkisar antara 26,94 ton ha . Pada dibandingkan dengan kondisi alami. Las et al. (2009), dan
perkebunan kelapa sawit umur >10 tahun ditemukan sebesar Sabiham (2007), menyebutkan bahwa pengaturan tata air
-1
132,63 ton ha (Gambar 6). makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi
Biomassa kelapa sawit akan meningkat sejalan dengan karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akan
bertambahnya umur tanaman, dimana pada umur > 10 tahun mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering
besarnya biomassa sudah menyamai hutan rawa gambut tak balik (irreversibel drying).

90 90
80 80
70 70
Kadar abu (%)
C-Organik (%)

60 60
50 50
40 40
30 30
20 y = -44,0ln(x) + 193,6 20
y = -21,9ln(x) + 140,6
10 R² = 0,946 10 R² = 0,797
0 0
0 10 20 30 40 50 60 70 0 100 200 300 400 500 600
A. Kadar abu (%) B. Ketebalan gambut (cm)
Gambar 5 Hubungan antara kadar abu (%) dengan C-organik (%) dan ketebalan gambut (cm) dan kadar abu (%) pada lahan gambut

140

120
Biomassa (ton ha-1)

100

80

60

40

20

0
< 3 th 3-9 th > 10 th < 3 th 3-9 th >10 th

Hutan sekunder Kebun sawit (Gambut Transisi) Kebun sawit (Gambut Pantai)
Fisiografi lahan gambut
Gambar 6 Perbandingan biomassa (t ha -1) tumbuhan pada hutan rawa gambut sekunder dengan perkebunan kelapa sawit
Karakteristik Biofisik Gambut 149

SIMPULAN Hooijer, A., Silvius, M., Wosten., H & Page, S. 2006. Peat-CO 2.
Assessment of CO 2 Emissions from Drained Peatlands in SE
Aktivitas perkebunan kelapa sawit dapat merubah Asia.
karakteristik biofisik lahan gambut. Kandungan C-organik Handayani, E.P. 2009. Emisi karbondioksida (CO2) dan metan (CH4)
pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki
dan kadar air semakin menurun, sedangkan muka air tanah, keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman.
pH dan kadar abu semakin meningkat. Biomassa kelapa sawit Disertasi: Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya
pada umur > 10 tahun mempunyai biomassa yang lebih besar Pada Tanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut. Disertasi
Program Pascasarjana. Bogor: IPB.
dari hutan rawa gambut sekunder. Karakteristik biofisik hutan
Las, I..K., Nugroho & Hidayat, A. 2009. Strategi Pemanfaatan
rawa gambut sekunder mempunyai perbedaan tingkat Lahan Gambut Untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
dekomposisi, kadar air, kadar abu, pH, C-organik dan Pertanian. Bogor. J Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4):
biomassa dibandingkan dengan fisiografi lahan gambut 295-298.
Meiling, L & Goh, K.J. 2008. Sustainable oil Palm cultivation on
pantai dan transisi. tropical peatland. Kualalumpur: Trofical Peat Research
Laboratory and Applied Agricultural Resources.
Melling, L., Hatano, R & Goh, K.J. 2005. Soil CO2 flux from
UCAPAN TERIMAKASIH three Ecosystems in Tropical Peatland of Sarawak. Malaysia:
Terima kasih disampaikan kepada kepada Tim Peneliti Tellus B 57(1): 1-11.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut; Potensi dan Kendala.
The Toyota Foundation yang telah memberikan dukungan Yogyakarta: Kanisius.
Riwandi. 2003. Indikator stabilitas gambut berdasarkan analisis
dana penelitian (Research Grant Program), sehingga kehilangan karbon organik, sifat fisikokimia dan komposisi bahan
kegiatan penelitian yang dilakukan dapat berjalan sesuai gambut. Jurnal Penelitian UNIB 9(1): 25-36.
Sabiham S. 2007. Pengembangan lahan secara berkelanjutan sebagai
dengan rencana dan tahapan yang telah ditetapkan. dasar dalam pengelolaan gambut di Indonesia. Makalah Utama
Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kapuas 3-4 Juli 2007.
Sabiham, S & Ismangun, M. 1997. Potensi dan kendala
DAFTAR PUSTAKA pengembangan lahan gambut untuk pertanian. Proseding
Agus, F.E., Runtunuwu, T., June, E., Susanti, H., Komara, I., Simposium Nasional dan Konggres V PERAGI. Jakarta, 25-27
Las & van Noordwijk, M. 2009. Carbon budget in land use Januari 1996.
transitions to plantation. J Penelitian dan Pengembangan Steel, R.G.D & Torrie, J.H. 1980. Analysis of covariance, In:
Pertanian 29(4): 119-126. Principles and Procedures of Statistics: a Biometrical Approach,
Barchia, M.F. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. New York: McGraw-Hill.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Subagyo, H., Marsoedi & Karama, A.S. 1996. Prospek
Brown, S., Gillespie, A.J.R & Lugo, A.E. 1989. Biomass estimation pengembangan lahan gambut untuk pertanian; Seminar
methods for tropical forest with application to forest inventory Pengembangan Tehnologi Berwawasan Lingkungan Untuk
Data. Forest Science 35(4): 881-902. Pertanian Pada Lahan Gambut. Dalam Rangka Peringatan
Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Statistik Perkebunan Dies Natalis ke 33 Bogor: IPB Tgl 26 September 1996.
Riau. Pekanbaru. [WWF] Word Wild Found. 2008. How Pulp & Paper and Palm Oil
Galbraith, H., Amerasinghe, P & Lee, H.A. 2005. The effects from Sumatra Increase Global Climate Change and Drive Tigers
of Agricultural Irrigation on Wetland Ecosystems in Developing and Elephants to Local Extinction. WWF Indonesia Technical
Countries: A literature review. CA Discussion Paper 1 Colombo, Report.
Sri Lanka: Comprehensive Assessment Secretariat.

You might also like