You are on page 1of 93

STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN

DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN


DI KOTA BANJAR JAWA BARAT

INDY FITRIA ADICITA

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRACT

STUDY OF POLICY FORMULATION FOR FOOD AND NUTRITIONAL PLANNING


BASED ON DESIRABLE DIETARY PATTERN IN BANJAR CITY, WEST JAVA
PROVINCE

Indy Fitria Adicita, Hidayat Syarief, Yayuk Farida Baliwati

The general objective of this research was to formulate policy for food and
nutritional planning based on Desirable Dietary Pattern in Banjar City. The particular
objectives of the research were to 1) Analyze the situation of food consumption in
household level in Banjar City using Desirable Dietary Pattern, 2) Formulate
consumption necessity and food supplying directing to the ideal in Banjar City, 3)
Determine causing factor (causal model) of food and nutritional problem in Banjar
City, 4) Formulate the policy recommendation for food and nutritional planning based
on Desirable Dietary Pattern in Banjar City.
The research conducted in Banjar City, West Java Province, was a
prospective research to reflect the future. Sample was chosen by purposive
sampling. Sample for nutritional status and consumption data was 700 households
which 176 households in poor category and 524 households in non poor category.
The result shows that poverty problem, low income and low education are
some of the factors that cause low quantity and quality of energy consumption in
household level in Banjar City. It is difficult for poor family to access the food
because of food insecurity. Formulating the right policy for food and nutritional
planning will support food security in Banjar City.

Keywords: policy, food and nutritional planning, Desirable Dietary Pattern


RINGKASAN
INDY FITRIA ADICITA. Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan
Gizi Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar Jawa Barat. (Dibawah
bimbingan HIDAYAT SYARIEF dan YAYUK FARIDA BALIWATI).

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk merumuskan kebijakan


perencanaan pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Menganalisis situasi konsumsi pangan
tingkat rumah tangga Kota Banjar dengan pendekatan Pola Pangan Harapan
(PPH) 2) Menentukan faktor penyebab (causal model) masalah pangan dan gizi
Kota Banjar 3) Merumuskan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan
menuju ideal di Kota Banjar 4) Merumuskan rekomendasi kebijakan perencanaan
pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kota Banjar.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat prospektif untuk
memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian ini dilakukan di Kota
Banjar, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan sampel dilakukan secara purposive. Jenis
data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang meliputi: 1) Status gizi dan
konsumsi pangan rumah tangga Kota Banjar; 2) Jumlah penduduk dan laju
pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur, dan jenis kelamin;
3) Jumlah produksi pangan; 4) Kesehatan penduduk dan status gizi; 5) Keadaan
geografis. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Dinas
Kesehatan, Dinas pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan
Kota Banjar, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat
Satistik Kota Banjar. Data status gizi dan konsumsi pangan yang dikumpulkan
diolah dengan menggunakan program microsoft excell dan software “Aplikasi
Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan
Provinsi” yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati
(2005).
Hasil analisis menunjukkan Tingkat Konsumsi Energi penduduk Kota
Banjar yaitu sebesar 62.2 persen (1 210 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar
1 944 kkal/kapita/hari. Apabila dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu
rumah tangga miskin dan tidak miskin, maka dapat diketahui bahwa Tingkat
Konsumsi Energi penduduk rumah tangga tidak miskin Kota Banjar masih kurang
jika dibandingkan dengan AKE yang dianjurkan yaitu 64.4 persen
(1 252 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar. Tingkat Konsumsi Energi untuk
penduduk rumah tangga miskin juga masih di bawah AKE yang dianjurkan yaitu
60.2 persen (1 170 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar.
Kota Banjar mempunyai skor PPH sebesar 65.0, dengan kata lain skor
PPH Kota Banjar masih jauh di bawah kondisi ideal (100). Salah satu sasaran
ketahanan pangan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 yang
akan dicapai yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor PPH minimal 80
(DKP 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor PPH Kota Banjar
masih belum mencapai sasaran dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan
2006-2009. Apabila PPH Kota Banjar ingin mencapai kondisi ideal (100) pada
tahun 2020, maka bila dilakukan proyeksi perlu dilakukan peningkatan skor PPH
rata-rata sebesar 2.5 poin setiap tahunnya.
Hasil produksi padi sawah (34 875 ton) dan padi gogo (64 ton) tahun
2006 untuk tingkat wilayah Kota Banjar idealnya sudah bisa tercukupi. Akan
tetapi, konsumsi kelompok pangan padi-padian (beras) pada tingkat rumah
tangga masih kurang. Hal ini disebabkan masih kurangnya akses penduduk
terhadap pangan seperti daya beli dan pendapatan yang masih rendah. Seperti
halnya kelompok padi-padian, untuk kelompok pangan umbi-umbian, pangan
hewani masih belum mencukupi kebutuhan pangan penduduk Kota Banjar dan
perlu ditingkatkan.
Masalah kemiskinan, pendapatan rendah, pendidikan rendah merupakan
beberapa penyebab ketidaktahanan pangan rumah tangga. Sulitnya memperoleh
akses pangan bagi rumah tangga miskin menyebabkan rumah tangga miskin
mengalami rawan pangan. Selain itu kurangnya kerjasama antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat menyebabkan belum terwujudnya ketahanan pangan di
Kota Banjar. Perumusan kebijakan pangan dan gizi yang tepat serta
pembentukan lembaga atau unit kerja struktural akan membantu peningkatan
ketahanan pangan di Kota Banjar. Kebijakan ketahanan pangan yang
dirumuskan mencakup seluruh aspek ketahanan pangan, yaitu kebijakan dalam
aspek ketersediaan, aspek konsumsi pangan, aspek distribusi dan aspek status
gizi. Kebijakan perencanaan yang dapat dirumuskan berdasarkan permasalahan
pangan dan gizi yang terdapat di Kota Banjar yaitu: 1) Peningkatan status gizi
dan kesehatan masyarakat 2) Peningkatkan Kuantitas dan Kualitas Konsumsi
Pangan Penduduk serta Melaksanakan Diversifikasi Pangan Berbasis
Sumberdaya Lokal 3) Peningkatan Kemudahan dan Kemampuan Akses Pangan
Rumah Tangga Terhadap Pangan 4) Peningkatan pendidikan untuk
meningkatkan pengetahuan gizi dan pola asuh keluarga, 5) Pemantapan
ketersediaan pangan melalui produksi, dan 6) Pemantapan dan Pengembangan
Kelembagaan Pangan dan Gizi.
STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN
DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN
DI KOTA BANJAR JAWA BARAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Oleh :
INDY FITRIA ADICITA
A54103020

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi : Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan
Gizi Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar
Jawa Barat
Nama : Indy Fitria Adicita
NIM : A54103020

Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS
NIP 130 516 871 NIP 131 669 944

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr


NIP 131 124 019

Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Banjar, Jawa Barat pada tanggal 20 Juni 1985.
Penulis merupakan anak sulung dari pasangan almarhum Sholeh Iskandar, SH
dan Yuyu Yuliawati. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh pada tahun 1991
sampai tahun 1997 di SDN Balokang III Kota Administratif Banjar. Tahun 1997
penulis melanjutkan sekolah di SLTPN I Banjar sampai tahun 2000. Pada tahun
2000 penulis melanjutkan sekolah di SMUN I Banjar dan memperoleh kelulusan
pada tahun 2003.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun
2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan
kepanitian dan organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai
Sekretaris II Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian periode
2004/2005, Anggota DKM Alhuriyyah Departemen Sosial dan Kemasyarakatan
periode 2004/2005, Sekretaris I Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi
Pertanian periode 2005/2006, Anggota Bina Desa Departemen Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga IPB, Ketua Biro Pengembangan Sumberdaya
Manusia (PSDM) Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian periode 2006/2007,
dan terakhir sebagai Sekretaris Menteri Sosial dan Lingkungan BEM KM IPB
periode 2006/2007.
PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke Khadirat Allah SWT atas
segala karunianNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga salawat
dan salam senantiasa tercurahkan kepada teladan kebaikan kita, Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan umat pengikutnya. Skripsi
ini berjudul “Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi
Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar Jawa Barat” yang merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program
Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS. dan Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku
dosen pembimbing.
2. Ir. Budi setiawan, MS. Phd selaku dosen pemandu seminar.
3. Leily Amalia, STP, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan
arahan dan saran perbaikan dalam penulisan skripsi ini.
4. Yayat Heryatno, SP, MPS, Dr. Ir. Drajat Martianto, Dr Ir. Yayuk Farida
Baliwati, MS yang telah membantu dan izin penggunaan software Analisis
Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi.
5. Bapak Wali Kota Banjar, Bapak Kepala Sekretaris Daerah Kota Banjar,
Ibu Shopia beserta staf dari Dinas Kesehatan Kota Banjar, Bapak Tata
beserta staf dari Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan
Kehutanan, Kak Teuku beserta staf dari Badan Pusat Statistik Kota
Banjar atas kerjasama dan bantuannya selama pengumpulan data.
6. Mamah, Papah (alm), Bapa Cecep, Mama Sri, adik-adikku tercinta
(Shinta, Silfi, Shapira dan Hilmi) serta seluruh keluarga atas doa, kasih
sayang, dan semangatnya selama penyusunan skripsi.
7. Anna, Desty, Anes Nasrullah, Wida, Bambang, Ahmad, dan Kuswan yang
telah memberi semangat dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Teh Jihad, Teh Anggit, Teh Biwi, Ka Pindut atas kesabaran, bantuan, dan
nasihatnya selama ini.
9. Lenny, Aklesta, Alia, dan Bambang selaku pembahas yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukannya dalam skripsi ini.
10. Rekan-rekan seperjuangan HIMAGITA dan BEM KM IPB atas kerjasama
dan kenangan-kenangannya yang tak akan pernah terlupakan.
11. Teman-teman GMSK 40 tercinta yang telah memberikan kenangan
terindah.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak,
khususnya Pemerintah Daerah Kota Banjar sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan pangan dan gizi. Penulis sangat membutuhkan kritik dan
saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ......................................................................................... 1
Tujuan Penelitian...................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian ................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan................................................................................... 4
Indikator Ketahanan Pangan .................................................................... 5
Ketersediaan Pangan ......................................................................... 6
Distribusi Pangan ............................................................................... 7
Konsumsi Pangan .............................................................................. 7
Faktor Penyebab Masalah Pangan dan Gizi ............................................ 9
Akses terhadap Pangan, Kemiskinan, dan Masalah Gizi ................... 9
Perencanaan Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan ......... 10
Status Gizi ................................................................................................ 14
KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 16
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 18
Cara Penempatan Sampel ....................................................................... 18
Jenis dan Cara Pengumpulan Data.......................................................... 19
Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 19
Definisi Operasional ................................................................................. 30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah.......................................................................... 31
Geografis dan Topografi..................................................................... 31
Demografi dan Sosial Ekonomi .......................................................... 31
Produksi Pangan Kota Banjar .................................................................. 34
Analisis Situasi Konsumsi Pangan Kota Banjar Tahun 2006 ................... 38
Analisis secara Kuantitatif .................................................................. 39
Analisis secara Kualitatif..................................................................... 41
Komposisi dan Skor Mutu Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH....... 43
Proyeksi Skor dan Komposisi PPH .................................................... 47
Situasi Status Gizi di Kota Banjar............................................................. 49
Target Konsumsi Pangan di Kota Banjar ................................................. 52
Target Penyediaan Pangan di Kota Banjar .............................................. 53
Causal Model Masalah Pangan dan Gizi di Kota Banjar .......................... 54
Masalah Pokok Pangan dan Gizi........................................................ 54
Causal Model...................................................................................... 55
Kondisi Umum Aspek Kebijakan dan Program Aktual Kota Banjar .... 56
Rekomendasi Kebijakan Pangan dan Gizi di Kota Banjar........................ 58
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan............................................................................................... 64
Saran ........................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66
LAMPIRAN ..................................................................................................... 68
DAFTAR TABEL

1 Komposisi energi menurut Pola Pangan Harapan ..................................... 11


2 Penyempurnaan PPH dan skor PPH penyempurnaan PPH dan skor
PPH ............................................................................................................. 12
3 Daftar jumlah sampel Survey Status dan Konsumsi Gizi Kota Banjar
2006 berdasarkan kecamatan ..................................................................... 18
4 Jenis dan Sumber data yang digunakan dalam penelitian .......................... 19
5 Pengelompokan umur kecukupan gizi ........................................................ 23
6 Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk Memecah Kelompok Umur
Demografi menjadi Umur Tunggal............................................................... 24
7 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin untuk setiap kecamatan
di Kota Banjar tahun 2006 ........................................................................... 32
8 Jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin berdasarkan
kecamatan tahun 2005 di Kota Banjar ....................................................... 33
9 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan
usaha di Kota Banjar tahun 2005-2006 ....................................................... 33
10 Komposisi energi ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan ....................... 34
11 Produksi dan energi kelompok padi-padian menurut kecamatan di
Kota Banjar tahun 2006............................................................................... 35
12 Produksi dan energi kelompok umbi-umbian menjadi energi menurut
kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ........................................................ 35
13 Produksi pangan hewani (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota
Banjar tahun 2006 ....................................................................................... 36
14 Produksi pangan hewani dalam bentuk energi menurut kecamatan di
Kota Banjar tahun 2006............................................................................... 36
15 Produksi dan energi kelompok kacang-kacangan menjadi energi
menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 .......................................... 37
16 Produksi sayuran (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar
tahun 2006 .................................................................................................. 37
17 Produksi buah-buahan (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota
Banjar tahun 2006 ....................................................................................... 38
18 Produksi buah-buahan dan total energi menurut kecamatan di Kota
Banjar tahun 2006 (lanjutan) ....................................................................... 38
19 Energi sayuran (kkal/kapita/hari) menurut kecamatan di Kota
Banjar tahun 20062006 berdasarkan kecamatan........................................ 38
20 AKE Regional Kota Banjar tahun 2005 dan 2006 dengan menggunakan
metode Sprangue Multipliers....................................................................... 39
21 AKE Regional Kota Banjar dengan menggunakan software “Aplikasi
Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi”........... 40
22 Situasi konsumsi energi dan Tingkat Kecukupan Energi di Kota Banjar
berdasarkan status ekonomi ....................................................................... 41
23 Skor PPH Kota Banjar, keluarga miskin, dan tidak miskin .......................... 42
24 Konsumsi energi, skor PPH, dan pangan (gram) penduduk Kota Banjar
2006 dibandingkan dengan standar ideal.................................................... 43
25 Sumbangan energi masing-masing kelompok pangan berdasarkan
status ekonomi terhadap total konsumsi energi di Kota Banjar 20061)........ 45
26 Kontribusi kelompok pangan pada AKE aktual Kota Banjar 2006
berdasarkan satus ekonomi terhadap AKE Regional Kota Banjar ............. 46
27 Proyeksi skor Pola Pangan Harapan Kota Banjar....................................... 48
28 Proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan (%) Kota Banjar ..... 48
29 Jumlah dan presentase balita gizi kurang dan buruk menurut kecamatan
di Kota Banjar tahun 2006 ........................................................................... 49
30 Jumlah dan persentase penduduk di Kota Banjar yang mengalami
keluhan kesehatan, tahun 2005 dan 2006 .................................................. 50
31 Banyaknya tenaga dan sarana kesehatan di Kota Banjar tahun 2006........ 50
32 Jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin berdasarkan
kecamatan tahun 2005 di Kota Banjar ....................................................... 51
33 Jumlah dan persentase penduduk 10 tahun ke atas di Kota Banjar
menurut jenis kelamin dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan .............. 51
34 Persentase rumahtangga miskin menurut jenis air minum di Kota
Banjar tahun 2005 ....................................................................................... 52
35 Persentase rumahtangga miskin menurut jenis jamban/kakus di Kota
Banjar tahun 2005 ....................................................................................... 52
36 Proyeksi konsumsi pangan (kg/kapita/tahun) penduduk Kota Banjar ......... 53
37 Proyeksi penyediaan kebutuhan pangan wilayah Kota Banjar.................... 53
38 Masalah pangan dan gizi, kebijakan/program Kota Banjar yang sudah
dibuat, serta rekomendasi kebijakan/program, indikator dan stakeholder .. 60
DAFTAR GAMBAR

1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pangan dan gizi................. 17


2 Cover program aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan
konsumsi pangan wilayah propinsi........................................................... 20
3 Langkah-langkah penyusunan strategi dan implementasi pangan
dan gizi ..................................................................................................... 20
4 Faktor penyebab masalah kurang gizi pada balita ................................... 28
DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Kota Banjar ...................................................................................... 70


2 Luas lahan sawah menurut jenis pengairan di Kota Banjar tahun 2006 .. 71
3 Produksi padi palawija dan laju produksi menurut jenis tanaman di
Kota Banjar tahun 2005 dan 2006............................................................ 71
4 Luas lahan bukan sawah menurut penggunaan lahan di Kota Banjar
tahun 2006 ............................................................................................... 74
5 Produksi dan laju produksi sayuran menurut jenis tanaman di Kota
Banjar tahun 2005 dan 2006 .................................................................... 76
6 Produksi dan laju produksi buah-buahan menurut jenis tanaman di
Kota Banjar tahun 2005 dan 2006............................................................ 78
7 Energi kelompok pangan buah-buahan (kkal/kap/hari) menurut
kecamatan di Kota Banjar tahun 2006 ................................................... 79
8 Produksi dan laju produksi daging Kota Banjar tahun 2005 dan
2006.......................................................................................................... 70
9 Produksi dan laju produksi ikan menurut tempat pemeliharaan di
Kota Banjar tahun2005 dan 2006............................................................. 71
10 Jumlah konsumsi energi (kkal/kapita/hari) untuk setiap komoditi
berdasarkan status ekonomi .................................................................... 72
11 Kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap Angka
Kecukupan Energi Kota Banjar 2006 (1944 kkal/kap/hari) ....................... 74
12 Proyeksi konsumsi pangan Kota Banjar (kg/kapita/tahun) untuk
setiap komoditi.......................................................................................... 76
13 Proyeksi kebutuhan (ton/tahun) wilayah Kota Banjar untuk setiap
komoditi .................................................................................................... 78
14 Bagan causal model masalah pangan dan gizi di Kota Banjar ................ 79
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hakikat pangan berdasarkan pertimbangan Undang-undang No 7 tahun


1996 merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak
asasi manusia. Legalisasi ini sejalan dengan salah satu pasal dalam Human
Right Declaration 1948 dan World Conference on Human Right 1993
(Hardinsyah et al. 2001). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan
tersedia cukup merupakan prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan,
kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Sebagai komoditas, pangan harus
tersedia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Kondisi kemampuan suatu wilayah untuk pemenuhan kebutuhan
pangannya dinyatakan dengan istilah ketahanan pangan (food security)
(Hariyadi, Krisnamurti & Winarno 2003). Sebaliknya, kondisi tidak tahan pangan
(food insecurity) secara sederhana berarti kondisi pangan yang tidak terpenuhi
untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Dalam wujud nyata di masyarakat
tercermin dari ketersediaan dan konsumsi pangan yang tidak memadai, harga-
harga pangan yang tidak terjangkau, gizi kurang, dan pada tingkat yang parah
berupa kelaparan dan kematian.
Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu standar pelayanan
minimal pemerintah karena pangan adalah kebutuhan dasar dan hak azasi
manusia. Keluaran (output) dari pemenuhan kebutuhan pangan tersebut adalah
status gizi yang merupakan dasar dari sumber daya manusia. Terpenuhinya
konsumsi pangan penduduk baik secara kuantitas maupun kualitas akan
mempengaruhi kondisi status gizi penduduk. Pemerintahan berupaya
mewujudkan ketahanan pangan hingga tingkat rumah tangga bahkan individu
antara lain melalui program perbaikan diversifikasi pangan, penyediaan pangan,
dan perbaikan konsumsi pangan.
Permasalahan yang dihadapi dalam hal konsumsi pangan, tidak hanya
ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk, tetapi juga
masalah masih belum terpenuhinya kecukupan gizi. Penganekaragaman
konsumsi pangan mempunyai tujuan utama untuk peningkatan mutu gizi
konsumsi pangan. Berkaitan dengan itu, untuk dasar perencanaan dan untuk
mengukur keberhasilan berbagai upaya di bidang produksi, penyediaan dan
2

konsumsi pangan penduduk baik nasional maupun lokal, diperlukan suatu


indikator seperti skor PPH.
Kota Banjar merupakan daerah pengembangan yang memiliki potensi
daerah pertanian yang cukup tinggi yaitu hampir 60 persen penduduk kota Banjar
bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian memberikan kontribusi
sekitar 21 persen dari total kegiatan ekonomi. Kondisi pertanian yang cukup
besar, idealnya mampu memenuhi kebutuhan akan pangan bagi penduduk.
Jumlah penduduk Kota Banjar pada tahun 2006 tercatat sebanyak
168 912 jiwa, dengan rincian 84 328 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan
sebanyak 84 584 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk miskin
masih relatif tinggi, yaitu sebanyak 36 100 jiwa (22.25%). Hal ini akan
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan, kuantitas dan kualitas konsumsi
pangan dan status gizi penduduk.
Perwujudan ketahanan pangan pada era otonomi daerah saat ini
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2003 mengatur tentang
kewenangan pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola
pembangunan daerahnya masing-masing, termasuk pengaturan tentang
ketahanan pangan. Dalam konteks ketahanan pangan, setiap daerah lebih
mengenali potensi serta kerawanan pangan yang dihadapi sehingga kebijakan
yang diambil akan lebih tepat sasaran. Masing-masing daerah tentunya
mempunyai ciri dan keunggulan yang berbeda-beda. Upaya peningkatan
produksi dan produktivitas pangan dalam rangka membangun ketahanan pangan
nasional perlu pula dilakukan secara lokal, disesuaikan dengan potensi dan
kondisi masing-masing daerah setempat. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi
setiap daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk merumuskan suatu kebijakan
perencanaan pangan dan gizi untuk mewujudkan ketahanan pangan yang
berbasis sumberdaya lokal. Hal inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya
penelitian tetang studi perumusan kebijakan perencanaan pangan dan gizi di
Kota Banjar.
3

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Merumuskan kebijakan perencanaan pangan dan gizi berdasarkan Pola
Pangan Harapan di Kota Banjar.
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis situasi konsumsi pangan tingkat rumah tangga Kota Banjar
dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH).
2. Menentukan faktor penyebab berdasarkan (causal model) masalah
pangan dan gizi Kota Banjar.
3. Merumuskan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan menuju ideal
dengan Pola Pangan Harapan.
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pangan berdasarkan Pola Pangan
Harapan (PPH) dan status gizi di Kota Banjar.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan dan dijadikan sebagai
salah satu bahan bagi pemerintah daerah atau pengambil keputusan Kota Banjar
dalam memilih alternatif prioritas kebijakan pangan dan gizi, dimana program-
program yang akan diterapkan diharapkan mampu menyentuh kebutuhan dasar
masyarakat, berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu dapat juga dijadikan
sebagai salah satu acuan dalam menyusun arah kebijakan pembangunan
ketahanan pangan, dan pada akhirnya kejadian kerawanan pangan dapat diatasi
dan diantisipasi sedini mungkin.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan
Dasar utama kebijakan ketahanan pangan di Indonesia adalah Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan dalam
undang-undang tersebut didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya
pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup baik jumlah mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Sastraatmadja
2006). Sedangkan batasan yang dipakai oleh The World Food Summit (1996)
pada saat mencetuskan FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information
and Mapping Systems) adalah ketahanan pangan merupakan suatu kondisi
dimana semua orang, setiap waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi
pada bahan pangan yang aman dan bergizi sehingga cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh sesuai dengan kepercayaannya sehingga bisa hidup secara
aktif dan sehat.
Upaya pemantapan ketahanan pangan, sesuai amanat Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bertujuan untuk mewujudkan
ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup,
mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap
individu (Suryana 2003). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 68
Tahun 2002 (Badan Ketahanan Pangan 2002) tentang ketahanan pangan dalam
penjelasannya tertuliskan bahwa upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan
merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan
Bangsa Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumberdaya alam
dan sosial budaya yang beragam, harus dipandang sebagai karunia Ilahi untuk
mewujudkan ketahanan pangan. Upaya mewujudkan ketahanan pangan
nasional harus bertumpu pada sumberdaya pangan lokal yang mengandung
keragamanan antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan
pada pemasukan pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka
seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan strategi demi
mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Pengertian ketahanan pangan pada International Food Submit dan
International Conference of Nutrition 1992 (FAO 1997) diperluas menjadi kondisi
tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk
5

hidup sehat, aktif, dan produktif. Makna yang terkandung dalam pengertian
ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan),
dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu
(dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai
untuk hidup sehat, aktif, dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan
(kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan).
Mengingat kompleksnya pembangunan ketahanan pangan yang
melibatkan banyak pelaku dan daerah, dengan dinamika perubahan antar waktu,
maka koordinasi dan sinergi yang baik merupakan kunci keberhasilan dalam
pembangunan ketahanan pangan. Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan
Pangan 2006-2009 (BKP 2006) dalam melaksanakan koordinasi dan sinergisme
tersebut, maka pemerintah membentuk Dewan Ketahanan Pangan melalui
Keppres Nomor 132 Tahun 2001 yang mengatur koordinasi, evaluasi, dan
pengendalian upaya-upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
mengatur peran pemerintah yang lebih bersifat sebagai inisiator, fasilitator, dan
regulator, sedangkan masyarakat berperan sebagai pelaku utama pembangunan
ketahanan pangan. Sejalan dengan itu, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi
pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator, dan regulator atas penyelenggaraan
ketahanan pangan di wilayah masing-masing, namun tetap dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu, maka
kebijakan ketahanan pangan nasional menjadi payung kebijakan ketahanan
pangan daerah. Sedangkan kebijakan ketahanan pangan daerah menjadi
komponen utama dalam kebijakan pangan nasional. Kebijakan ketahanan
pangan nasional harus menjamin sinergisme kebijakan antar daerah, sehingga
tidak ada kebijakan suatu daerah yang merugikan daerah lain. Untuk itu
pemerintah memberikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang harus
ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk
menjaga sinergi pembangunan antar daerah dan mengarahkan proses
pembangunan pada tujuan bersama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan
nasional (DKP 2006).

Indikator Ketahanan Pangan


Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan
sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: (1) Ketersediaan, yang artinya bahwa
6

pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik


jumlah maupun mutunya, serta aman; (2) Distribusi, dimana pasokan pangan
dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh
rumah tangga; dan (3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses
pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan,
serta preferensinya (DKP 2006). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan
sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem ketahanan pangan di atas.

Ketersediaan Pangan
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan
serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan
harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat
musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia
bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya
dari waktu ke waktu (Suryana 2001).
Syarief (1992) menyatakan bahwa ketersediaan pangan (food availability)
di suatu daerah atau negara ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan
produksi pangan, tingkat kerusakan, dan kehilangan pangan karena penanganan
yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan
harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk
terhadap pangan. Jika keadaan ini tercapai maka keterjaminan pangan (food
security) akan berada pada tingkat yang aman. Peningkatan jumlah penduduk,
disamping mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan pangan, menyebabkan
adanya perubahan ekosistem pertanian. Lahan yang biasanya digunakan untuk
memproduksi pangan dapat berubah fungsi menjadi pemukiman, tapak industri,
prasarana transportasi atau prasarana lain. Pergeseran fungsi lahan ini dapat
menyebabkan penurunan produksi pangan apabila tidak diikuti dengan
terobosan teknologi budaya dan kelembagaan. Penurunan produksi pada
gilirannya dapat mengancam kelestarian swasembada pangan. Akan tetapi,
menurut pandangan Amiruddin (2004) bahwa ketersediaan pangan yang cukup
di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin hal yang sama di tingkat rumah
tangga, karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses
pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli).
Menurut Gsianturi (2003), penyediaan pangan yang cukup, beragam,
bergizi dan berimbang, baik secara kuantitas maupun kualitas, merupakan
fondasi yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu
7

bangsa. Kekurangan pangan berpotensi memicu keresahan dan berdampak


pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi. Besarnya persediaan pangan
suatu daerah, baik yang berasal dari produksi domestik maupun impor, adalah
satu ukuran yang mencerminkan cukup tidaknya suplai pangan di daerah yang
bersangkutan. Salah satu alat yang lazim digunakan untuk menilai tingkat
ketersediaan pangan di suatu wilayah, baik negara, provinsi atau kabupaten,
dalam kurun waktu tertentu adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) yang dalam
bahasa asing disebut Food Balance Sheet.

Distribusi Pangan
Suryana (2001) menyatakan bahwa subsistem distribusi pangan
mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik secara fisik
maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata
mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang
membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang
dicerminkan oleh harga dan daya beli masyarakat. Meskipun ketersediaan
pangan secara mikro/nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum
tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara sama. Dengan
demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan
bagi individu.

Konsumsi Pangan
Subsistem konsumsi menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan
kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal.
Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang
cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang
sehat, kuat, cerdas, dan produktif (Suryana 2001)
Konsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah
satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia
manusia. Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan budaya masyarakat.
Permasalahan dan tantangan yang perlu diantisipasi dan diatasi dalam
mewujudkan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang
adalah : (i) besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan
kemampuan akses pangan rendah; (ii) rendahnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi; (iii) masih dominannya
8

konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari beras; (iv) rendahnya
kesadaran dan penerapan sistem sanitasi dan higienis rumah tangga; dan (v)
rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan (DKP 2006).
Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki
Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi
seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki
oleh seluruh wilayah, masih dapat dikembangkan untuk memenuhi
keanekaragaman pangan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan.
Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan
peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan
dapat mengubah perilaku konsumsinya, sehingga mancapai status gizi yang
baik. Disamping itu, perkembangan teknologi informatika serta strategi
komunikasi publik dapat menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat
proses, serta memperluas jangkauan upaya pendidikan masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran gizi masyarakat.
Sementara itu, terdapat berbagai institusi (infrastruktur sosial) di tingkat
lokal (kecamatan atau bahkan desa), yang dapat menjadi mitra kerja pemerintah
maupun lembaga non-pemerintah dalam perbaikan konsumsi pangan dan status
gizi. Beberapa contoh institusi lokal tersebut adalah tersedianya posyandu,
kantor cabang dinas, balai penyuluhan dan para penyuluh dari berbagai bidang,
kelembagaan masyarakat seperti organisasi ibu-ibu PKK, majlis ta’lim, dan
sebagainya. Institusi ini dapat berperan aktif dalam mendeteksi masalah, serta
memfasilitasi upaya-upaya peningkatan kualitas konsumsi dan perbaikan gizi
(DKP 2006).
Program-program pengembangan masyarakat, dalam pengentasan
kemiskinan, yang mencakup kapasitas masyarakat untuk bekerja sama,
peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan akses sumberdaya produktif,
telah dilaksanakan oleh berbagai kementrian lingkup pemerintahan maupun
berbagai organisasi non pemerintah. Program ini diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga pada masyarakat miskin.
Keberhasilan program tersebut memberikan peluang cukup tinggi bagi keluarga
miskin untuk meningkatkan kualitas konsumsinya, ke arah pangan yang lebih
beragam dan bergizi seimbang. Peluang ini akan lebih memberikan hasil apabila
disertai dengan proses penyadaran kepada mereka atas pentingnya
9

mengkonsumsi pangan dan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan,


produktivitas dan kecerdasan anak-anak generasi penerus mereka (DKP 2006).
Faktor Penyebab Masalah Pangan dan Gizi

Akses terhadap Pangan, Kemiskinan, dan Masalah Gizi


Akses pangan bergantung pada daya beli rumah tangga, yang pada
akhirnya merupakan fungsi dari akses mata pencaharian. Akses terhadap
matapencaharian berarti terjaminnya penghasilan dalam jangka waktu yang
panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung
pada akses terhadap mata pencaharian yang tetap. Mereka yang tidak
berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin
merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif
terhadap mata pencaharian yang memadai. Kelompok tersebut juga mempunyai
akses yang relatif rendah terhadap infrastuktur dasar seperti jalan, listrik, dan
sebagainya. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula
akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin
tinggi tingkat kerawanan pangan di daerah tersebut (Departemen Pertanian
2006).
Kemiskinan dalam peta kerawanan pangan 2006 (Deptan 2006)
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam hal ekonomi,
sosial, budaya, dan politik. Sebab utama kemiskinan di Indonesia adalah tata
pemerintahan yang buruk, kurangnya alokasi anggaran untuk sektor-sektor
utama seperti pendidikan dan kesehatan, kurangnya peluang mata pencaharian
yang cukup, dan eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam. Dengan situasi
ekonomi yang ada, maka statistik relatif yang dikumpulkan mengenai kesuburan
(ukuran keluarga) dan kesejahteraan, mencerminkan suatu hubungan timbal
balik, dimana semakin tinggi kesuburan maka semakin rendah tingkat
kesejahteraan atau semakin miskin suatu keluarga. Statistik mencerminkan
bahwa keluarga yang lebih kaya memiliki angka kesuburan yang lebih rendah,
lebih berpendidikan dan mempunyai angka kematian bayi yang lebih rendah.
Penduduk di daerah pedesaan pada umumnya lebih miskin dan kurang
berpendidikan dibandingkan penduduk di daerah perkotaan. Kurangnya
informasi, pendidikan, dan kebiasaan/kepercayaan tradisional menghalangi
orang untuk menggunakan alat kontrasepsi. Faktor-faktor tersebut, dirangkaikan
dengan akses yang lebih rendah ke sumber penghasilan dan rendahnya
10

kapasitas keuangan, mengakibatkan angka kematian bayi yang lebih tinggi dan
peningkatan kemiskinan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006) dalam Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010 menyebutkan bahwa dari berbagai faktor
penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai mempunyai peranan dan bersifat
timbal balik. Artinya, kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan
melalui tiga cara, yaitu: (1) kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya
produktivitas karena kelemahan fisik; (2) kurang gizi secara tidak langsung
menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat
pendidikan, dan (3) kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga
karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.
Anggota rumah tangga miskin tidak dapat memenuhi kecukupan gizi
sesuai kebutuhan karena asupan makanan yang masih rendah baik kuantitas
maupun kualitasnya. Dengan asupan yang tidak mencukupi, anak balita keluarga
miskin menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit.
Keluarga miskin dicerminkan oleh mata pencaharian dan pendidikan yang
rendah sehingga tingkat pengetahuan gizi dan pola asuh keluarga yang kurang
berkualitas. Adanya hubungan kemiskinan dan kurang gizi sering diartikan
bahwa upaya penanggulangan kekurangan gizi dapat diatasi apabila ekonomi
meningkat dan kemiskinan dapat dikurangi. Padahal secara empirik telah
dibuktikan bahwa mencegah dan menanggulangi masalah kekurangan gizi tidak
harus menunggu sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Salah satunya adalah
dengan memperbaiki gizi anggota rumah tangga miskin sejak dini. Semakin
banyak rakyat miskin diperbaiki gizinya, akan semakin berkurang jumlah rakyat
miskin. Investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat, tetapi
perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam
jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2006).

Perencanan Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan


Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan
utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Terpenuhinya
kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit
menunjukkan bahwa kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang
sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor pola konsumsi
pangan mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman
11

konsumsi pangan. Berdasarkan definisi ini, dikemukakan tingkat konsumsi energi


pada setiap wilayah yaitu proporsi konsumsi energi aktual dengan Angka
Kecukupan Energi (AKE). Dengan mengacu pada Angka Kecukupan Energi
sebesar 2 200 kkal/orang/hari maka dapat diketahui sebaran komposisi dan
keragaman konsumsi pangan sehingga dapat dilakukan penilaian skor mutunya
dalam bentuk skor PPH.
Tingkat konsumsi pangan merupakan akumulasi dari berbagai faktor
mulai dari yang bersifat individual sampai dari dari lingkungan baik fisik maupun
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karakteristik beragam faktor tersebut
tentunya berbeda antar wilayah. Oleh karena itu, susunan Pola Pangan Harapan
antar wilayah tidak selalu dianggap sama.
Informasi mengenai jenis pangan yang dikonsumsi, frekuensi konsumsi
dan jumlah pangan yang dikonsumsi suatu penduduk secara tidak langsung
dapat menggambarkan status gizi penduduk. Survei konsumsi pangan adalah
kegiatan survei yang dilakukan untuk mengumpulkan data pangan apa saja yang
dikonsumsi suatu penduduk. Berikut ini Tabel 1 komposisi energi menurut Pola
Pangan Harapan (PPH).

Tabel 1 Komposisi energi, bobot, dan skor pangan dalam Pola Pangan Harapan
Kelompok Pangan Energi (kkal) % Energi Bobot Skor Pangan
Padi-padian 1000 50.0 0.5 25.0
Umbi-umbian 120 6.0 0.5 2.5
Pangan hewani 240 12.0 2.0 24.0
Minyak dan lemak 200 10.0 0.5 5.0
Buah dan biji berminyak 60 3.0 0.5 1.0
Kacang-kacangan 100 5.0 2.0 10.0
Gula 100 5.0 0.5 2.5
Sayur dan buah 120 6.0 5.0 30.0
Lain-lain 60 3.0 0.0 0.0
Total 2000 100.0 100.0
Sumber: Deptan (2001)
Konsep PPH dan skor PPH diperkenalkan di Indonesia pada awal dekade
90-an, dimana konsep PPH ini digunakan sebagai basis perencanaan dan
penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah
dijadikan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan dalam
kebijakan pembangunan termasuk evaluasi penyediaan , konsumsi pangan , dan
diversifikasi pangan. Hal ini merupakan kekuatan dari konsep PPH dan Skor
PPH (Hardinsyah et al. 2001)
Akan tetapi, kehadiran konsep PPH dan skor PPH tidak lepas dari
kelemahan metodologis yaitu bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi
12

sesuai kondisi/pola pangan masing-masing negara dan sistem skor yang


dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Justifikasi ilmiah perlu
dilakukan untuk mengadaptasi konsep ini seperti yang disarankan oleh tim FAO-
RAPA.
Hardinsyah et al. (2001) menyatakan penyempurnaan PPH dan skor PPH
yaitu dengan mempertimbangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2 000 kkal/kap/hari; 2) persentase
energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2 200
kkal sebagai penyebut); 3) rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating;
4) skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) peran pangan hewani, gula,
serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) peran umbi-umbian
ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan
pengembangan pangan lokal; 7) peran makanan lainnya terutama bumbu dan
minuman lainnya tidak dinihilkan. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat
dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Penyempurnaan PPH dan skor PPH


FAO-RAPA Meneg Pangan Deptan (2001)
Kelompok (1994) Gr/kap/hr
pangan % Min-Max % Bobot Skor % Bobot Skor
Padi-padian 40.0 40.0 – 60.0 50.0 0.5 25.0 50.0 0.5 25.0 300.0
Umbi-umbian 5.0 0.0 – 8.0 5.0 0.5 2.5 6.0 0.5 2.5 100.0
Pangan hewani 20.0 5.0 – 20.0 15.3 2.0 30.6 12.0 2.0 24.0 150.0
Minyak dan 10.0 5.0 – 15.0 10.0 1.0 10.0 10.0 0.5 5.0 25.0
lemak
Buah/biji 3.0 0.0 – 3.0 3.0 0.5 1.5 3.0 0.5 1.0 10.0
berminyak
Kacang- 6.0 2.0 – 10.0 5.0 2.0 10.0 5.0 2.0 10.0 35.0
kacangan
Gula 8.0 2.0 – 15.0 6.7 0.5 3.4 5.0 0.5 2.5 30.0
Sayur dan buah 5.0 3.0 – 8.0 5.0 2.0 10.0 6.0 5.0 30.0 250.0
Lain-lain 3.0 0.0 – 5.0 0.0 0.0 0.0 3.0 0.0 0.0 (25)
100 100 93.0 100.0 100.0

Sasaran pembangunan pangan selama PJP II adalah terwujudnya


ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang tercermin pada
ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi
dan layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu.
Ketahanan pangan dikembangkan antara lain dengan bertumpu pada
keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan potensi lokal. Oleh
karena itu, orientasi penyediaan pangan tidak lagi semata berorientasi pada
peningkatan kuantitas, tetapi juga berorientasi pada kualitas, khususnya dinilai
dari aspek komposisi/keragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta mutu
13

gizi konsumsi pangan dengan menitikberatkan pada potensi sumberdaya


setempat.
Hariyadi et al. (2003) menyatakan otonomi daerah perlu dimanfaatkan
sebagai suatu momentum untuk membangun ketahanan pangan. Untuk itu,
pemerintah daerah perlu secara cermat melakukan identifikasi potensi indigenus
ungulan daerah dengan memperhatikan sumberdaya potensialnya (lingkungan,
teknologi, masyarakat, dan sosial budaya) ke dalam sistem dan struktur ekonomi
daerahnya. Hal ini perlu secara tegas sebagai komitmen pemerintahan daerah
(struktur politik dan ekonomi).
Penyusunan perencanaan pangan guna mewujudkan katahanan pangan
yang berbasis sumberdaya lokal di era otonomi, sangatlah penting bagi setiap
daerah (provinsi dan kabupaten-kota). Salah satu acuan/pendekatan yang dapat
digunakan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini pertama kali
direkomendasikan oleh FAO Kantor Wilayah Asia-Pasifik (FAO-RAPA).
Perencanaan pangan nasional dan daerah dengan pendekatan PPH
dirumuskan didasarkan pada pertimbangan, aspek legal maupun substansial.
Dari segi legal, beberapa produk hukum yang turut mendukung yaitu: 1) TAP
MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004; 2) Undang-undang No.7
tentang pangan; 3) Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, Bab IV Pembangunan
Ekonomi, Bagian C Program Pembangunan, nomor 1.4 yaitu Pengembangan
Pertanian, Pangan dan Pengairan; 4) Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah. Sedangkan dari segi substansial perlunya perencanaan pangan
untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah sebagai berikut: 1) ketahanan
pangan merupakan suatu sistem, yang terdiri dari tiga subsistem yang saling
berinteraksi dan harmoni, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan
susistem konsumsi. Pembangunan subsistem konsumsi bertujuan untuk
menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang
cukup, aman dan beragam. 2) untuk memperbaiki konsumsi pangan masyarakat
harus ditunjang oleh produksi dan penyediaan pangan yang mampu memenuhi
syarat tersebut (Hardinsyah et al. 2001)
Menurut Hardinyah et al. (2001), dikenal tiga macam pendekatan
perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan yakni
1) pendekatan kecenderungan (trend) konsumsi dan permintaan; 2) pendekatan
kecenderungan produksi; dan 3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan
14

(PPH). Sejak tahun 1988, FAO-RAPA merekomendasikan pendekatan yang


diharapkan dapat membantu para perencana yang berkecimpung baik dalam
bidang produksi maupun konsumsi pangan (FAO-RAPA, 1989). Pendekatan ini
dikenal dengan Desirable Dietary Pattern (DDP) atau Pola Pangan Harapan
(PPH).

Status Gizi
Status gizi merupakan muara akhir dari semua subsistem dalam sistem
ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator
yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan. Terdapat beberapa tolak
ukur untuk menilai status gizi, antara lain berat badan dan tinggi badan menurut
umur serta prevalensi gangguan pertumbuhan (DKP 2006)
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi
menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu (kehamilan
dan menyusui). Angka agregasi rata-rata nasional angka kecukupan energi dan
angka kecukupan protein, yaitu 2 000 kkal dan 52 g/kap/hr. Sebagai salah satu
basis untuk perencanaan ketersediaan pangan, maka AKE dan AKP tingkat
konsumsi dikali faktor 1,1 atau ditambah 10 % sehingga menjadi 2 200 kkal dan
57 g protein/kap/hari pada tingkat penyediaan (Suryana 2004)
Penilaian pertumbuhan, kesehatan, atau penyakit dengan cara
antropometri merupakan praktek yang sudah lama dikerjakan. Metode yang
sudah lama dikerjakan adalah pemeriksaan umum (general inspection), terutama
penilaian subjektif tentang kekurusan atau kegemukan; pengukuran tunggal
(single measurement), sebagai contoh, tinggi badan digunakan dalam seleksi
anggota militer; atau pengukuran seri (serial measurement), dalam hal ini,
menggunakan berat badan untuk memonitor pertumbuhan anak. Pengukuran
antropometri difokuskan pada pengukuran berbagai dimensi, proporsi, dan
berbagai aspek komposisi tubuh manusia pada berbagai umur dan derajat gizi
yang berbeda (Jelliffe, et. al., 1989).
Gibson (1990) menyederhanakan dimensi pengukuran antropometri
menjadi dua dimensi, yaitu pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pada dimensi
pertumbuhan, Jelliffe, et. al., (1989) memisahkan antara komponen pertumbuhan
linear (tinggi badan) dan pertumbuhan ponderal atau massa tubuh (berat badan).
Menggunakan model dua komponen, lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak
(fat-free mass).
15

Pengukuran antropometri yang sering dilakukan di lapangan, yaitu:


(1) Berat Badan (BB) untuk mengetahui massa tubuh, (2) Panjang atau Tinggi
badan (PB atau TB) untuk mengetahui dimensi linear, dan (3) Tebal lipatan kulit
(skinfold thickness) dan Lingkar Atas (LILA) untuk mengetahui komposisi tubuh,
serta cadangan energi dan protein.
Indikator antropometri tersebut banyak bergantung dengan umur, dan ini
merupakan faktor kesulitan utama, terutama pada masyarakat pedesaan atau di
negara-negara berkembang yang biasanya sulit untuk mendapatkan data umur
anak secara tepat. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang jarang
mencatat tanggal peristiwa kelahiran anak, kecuali pada masyarakat perkotaan
yang sudah sadar akan pentingnya data pencatatan kelahiran.
Secara umum, pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa
keuntungan (kelebihan) dan kekurangan. Beberapa keuntungan pengukuran
secara antropometri (Gibson, 1990) yaitu: (1) Cara penggunaannya sederhana
dan aman, (2) Peralatan tidak mahal, portable, tahan lama, dan mudah di dapat,
(3) Di ambil petugas yang relatif tidak ahli, (4) Dapat diperoleh informasi tentang
riwayat gizi masa lampau, (5) Dapat mengidentifikasi keadaan gizi ringan,
sedang, dan buruk, (6) Untuk pemantauan status gizi dari waktu ke waktu,
(7) digunakan untuk melakukan screening test.
Beberapa kekurangan (kelemahan) pengukuran antropometri (Gibson,
1990) yaitu: (1) relatif kurang sensitive, (2) tidak dapat mendeteksi gangguan
status gizi, (3) tidak dapat membedakan gangguan pertumbuhan atau komposisi
tubuh yang disebabkan oleh defisiensi zat gizi tertentu, (4) faktor-faktor non gizi
dapat mengurangi spesifitas dan sensitivitas pengukuran antropometri, tetapi
efek ini dapat dihilangkan atau dipertimbangkan melalui desain percobaan dan
sampling yang lebih baik.
16

KERANGKA PEMIKIRAN

Ketahanan pangan diantaranya mencakup berbagai aspek ketersediaan


pangan, konsumsi pangan hingga status gizi tingkat rumah tangga dan individu.
Keadaan ketahanan pangan sangatlah penting diperhatikan karena dampaknya
tidak hanya terjadinya rawan pangan saja tetapi dalam jangka panjang akan
berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia.
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan
konsumsi, namun dinilai belum mencukupi dalam konteks ketahanan pangan,
karena masih banyak variabel lain yang berpengaruh untuk mencapai ketahanan
pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri
(domestik). Bila terjadi kelebihan (surplus), pangan tersebut dapat
diperdagangkan antar wilayah (ekspor), terutama terhadap wilayah yang
mengalami defisit pangan dan ekspor. Sebaliknya bila terjadi defisit, sebagian
pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat dipenuhi dari impor (Ariani 2005).
Konsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah
satu faktor penting yang menentukan status gizi manusia. Hasan (1993)
mengemukakan bahwa mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan
macam zat-zat gizi yang dikonsumsi. Makin beragam sumber zat-zat gizi (dari
beragam bahan pangan) yang dikonsumsi seseorang, makin besar juga
kemungkinan terpenuhi kebutuhan gizinya. Suatu acuan untuk menilai tingkat
keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor
100 sebagai pola ideal.
Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga
salah satunya dipengaruhi oleh status ekonomi (keluarga miskin dan tidak
miskin). Kelompok masyarakat dengan status ekonomi rendah (keluarga miskin)
rentan terhadap masalah kerawanan pangan, karena kemampuan daya beli
terhadap pangan yang beragam untuk memenuhi kecukupan gizinya sangat
rendah. Oleh Karena itu, pemerintah wajib mengupayakan jaminan akses
pangan, agar mereka senantiasa terpenuhi haknya untuk memperolah pangan
yang cukup.
Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan
arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi
pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah dan Ariani, M., 2000). Dengan
17

demikian, dapat dipahami betapa penting dan strategisnya merumuskan suatu


kebijakan pangan dan gizi sampai tingkat kabupaten/kota.

Kebijakan perencanaan
pangan dan gizi

Produksi

Ketersediaan Konsumsi Pangan Status Gizi


pangan rumah tangga (PPH)

- Ekspor
- Impor
- Stok
Status Ekonomi
(pendapatan)
- Keluarga miskin
- Keluarga tidak miskin

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pangan dan gizi


Keterangan:
→ Variabel yang diteliti
→ Va → Variabel yang tidak diteliti
18

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian


Desain penelitian ini adalah Descriptive Study. Penelitian ini bersifat
prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian dilakukan
di Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan sampel dilakukan secara
purposive dengan alasan: (1) merupakan salah satu wilayah pengembangan
baru yang mewakili karakteristik kota dengan potensi pertanian yang masih
cukup tinggi, (2) pada tahun 2006 Dinas Kesehatan Kota Banjar melakukan
kegiatan Survey Status dan Konsumsi Gizi Masyarakat Kota Banjar.
Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Mei 2007.
Cara Penetapan Sampel
Cara penetapan sampel data sekunder ini dilakukan dengan purposive.
Sampel data Status Gizi dan Konsumsi diperoleh sebanyak 700 Kepala Keluarga
(KK) yaitu 176 KK yang dikategorikan miskin dan 524 KK yang dikategorikan
tidak miskin. Berikut ini Tabel 3 daftar jumlah sampel Status dan Konsumsi Gizi
Kota Banjar.
Tabel 3 Daftar jumlah sampel Status dan Konsumsi Gizi Kota Banjar 2006
berdasarkan kecamatan
Jumlah sampel dalam
Jumlah Sampel
Nama kecamatan (KK)
Nama Desa
Kecamatan
KK tidak KK tidak
KK Miskin KK Miskin
miskin miskin
Purwaharja 21 59 Purwaharja 8 22
Karangpanimbal 5 13
Raharja 4 12
Mekarharja 4 12
Langensari 53 154 Langensari 8 24
Rejasari 9 27
Waringinsari 8 24
Muktisari 7 18
Bojongkantong 10 29
Kujangsari 11 32
Pataruman 54 161 Hegarsari 15 45
Pataruman 13 41
Mulyasari 9 27
Batulawang 7 19
Karyamukti 6 15
Binangun 4 14
Banjar 48 150 Banjar 14 44
Mekarsari 15 46
Balokang 8 24
Cibeureum 4 12
Neglasari 4 13
Situbatu 3 11
Total 176 524
19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang meliputi:
1) status gizi dan konsumsi pangan rumah tangga Kota Banjar; 2) jumlah dan laju
pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin;
3) jumlah produksi pangan; 4) kesehatan dan status gizi penduduk; 5) keadaan
geografis. Data sekunder berupa data aktual serta data time series selama dua
tahun terakhir (tahun 2005 dan 2006) yang terkait dengan penelitian. Data yang
digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Dinas Kesehatan, Dinas
Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Banjar, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Satistik Kota Banjar.
Berikut adalah uraian jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian


Data Jenis Data Sumber
Status gizi dan konsumsi Sekunder Dinas Kesehatan
pangan rumah tangga Kota
Banjar 2006
Jumlah dan laju pertumbuhan Sekunder BPS Kota Banjar
penduduk, komposisi penduduk
menurut umur dan jenis kelamin
(2005 dan 2006)
Jumlah produksi pangan (2005 Sekunder Dinas Pertanian,
dan 2006) ketahanan pangan,
perkebunan, dan
kehutanan, BPS
Kesehatan dan status gizi Sekunder Dinas Kesehatan, BPS
penduduk (2006) Kota Banjar
Keadaan geografis (2006) Sekunder BPS Kota Banjar
Data sekunder yaitu data status gizi dan konsumsi pangan rumah tangga
Kota Banjar 2006, data jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin, jumlah produksi pangan, kesehatan
penduduk dan status gizi, keadaan geografis dan sosial diperoleh dengan
mengumpulkan data dari Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan,
Perkebunan, dan Kehutanan Kota Banjar, Bappeda, dan BPS.

Pengolahan dan Analisis Data


Data sekunder status gizi dan konsumsi pangan yang dikumpulkan akan
diolah dengan menggunakan program microsoft excell dan software “Aplikasi
Komputer Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan
Provinsi” yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati
20

(2005). Sedangkan data jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut umur


dan jenis kelamin, jumlah produksi pangan, jumlah rumah tangga miskin dan
penduduk miskin, serta kesehatan penduduk dan gizi buruk digunakan sebagai
data pendamping dalam penelitian ini.

Gambar 2 Cover program aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan


konsumsi pangan wilayah propinsi.

Hasil pengolahan data konsumsi pangan Kota Banjar ini kemudian


digunakan sebagai dasar dalam merumuskan alternatif kebijakan perencanaan
pangan dan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Kota Banjar menurut
keadaan ekonomi. Secara berurutan tahapan-tahapan dalam upaya penyusunan
strategi dan langkah-langkah implementasi disajikan pada Gambar 3.
21

Data konsumsi
Dinkes, 2006

Penyusunan Target
Evalusi Pola Proyeksi Skor dan Penyediaan Pangan
Konsumsi dan Skor Komposisi PPH (II) Pada Taraf Konsumsi
PPH (I) Kg/Kap/Th (III)

Data Ketersediaan Penyusunan Target


1. Produksi Penyediaan Pangan
2. Data penduduk Pada Taraf Produksi
3. Data lainnya Ton/Th (IV)

Penyusunan Strategi
dan Langkah-langkah
Implementasi (V)

Gambar 3 Langkah-langkah penyusunan strategi dan implementasi pangan dan


gizi

I. Evaluasi Pola Konsumsi dan Skor PPH


Produksi Pangan Kota Banjar
Pada tahapan ini diperlukan data jumlah penduduk. Hasil produksi
pangan (ton) dikonversi kedalam satuan energi (kkal) dengan menggunakan
rumus :

Energi (kkal)
= Jumlah produksi (ton/thn) x kandungan energi komoditas x BDD(%)
100 gram

kemudian energi (kkal) dikonversi lagi menjadi energi (kkal/kapita/hari) dengan


menggunakan rumus :

Energi (kkal/kap/hari) = Energi (kkal)


356 hari/jumlah penduduk tahun 2006

Selanjutnya hasil akhir konversi dibandingkan dengan standar ideal konsumsi


energi 2 200 kkal/kap/hari sehingga dapat diketahui apakah produksi Kota Banjar
telah memenuhi kebutuhan konsumsi energi penduduknya atau belum memenuhi
kebutuhan.
22

Analisis Situasi Konsumsi Pangan dan Gizi


Analisis situasi konsumsi pangan yang akan dilakukan meliputi :
a. Analisis secara Kuantitaf
Analisis ini diukur dengan menggunakan Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
yang menggambarkan persentase konsumsi energi terhadap Angka Kecukupan
Energi Kota Banjar. Hasil yang diperoleh akan diklasifikasikan menurut kriteria
Departemen Kesehatan tahun 1996 (PPKP BKP 2005), sebagai berikut :
TKE < 70% : defisit berat
TKE 70-79 % : defisit tingkat sedang
TKE 80-90% : defisit tingkat ringan
TKE 90-119 % : normal (tahan pangan)
TKE ≥ 120% : kelebihan/diatas AKE (tahan pangan)
AKE Regional Kota Banjar
Angka Kecukupan Energi (AKE) untuk Kota Banjar adalah jumlah energi
yang harus dipenuhi oleh rata-rata penduduk Kota Banjar agar hampir semua
penduduk dapat hidup sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Perhitungan
Angka Kecukupan Energi Rata-rata Penduduk (AKERP) suatu wilayah
memerlukan informasi mengenai komposisi dan jumlah penduduk menurut
kelompok umur dan jenis kelamin (dalam persen), jumlah wanita hamil (dalam
persen), dan jumlah wanita menyusui (dalam persen). Perhitungan AKERP
dilakukan dengan cara Unit Konsumen Energi (UKE).
Pengelompokan umur penduduk berdasarkan demografi yang
dikeluarkan oleh BPS berbeda dengan pengelompokan umur untuk perhitungan
AKERP, sehingga perlu diubah menjadi pengelompokan umur kecukupan gizi.
Informasi yang biasanya tidak tersedia adalah jumlah bayi usia 0.5-1 tahun,
jumlah wanita hamil, dan jumlah wanita menyusui. Jumlah bayi umur 0.5-1 tahun
diperkirakan sama dengan setengah jumlah bayi 0-1 tahun, wanita hamil sama
dengan 10% lebih banyak dari bayi usia 0-1 tahun, dan wanita menyusui sama
dengan jumlah bayi umur 0-0.5 tahun (PPKP BKP 2005).
Hingga umur tertentu pengelompokan umur penduduk berdasarkan
demografi berbeda dengan pengelompokan umur untuk menghitung AKERP.
Salah satu penyelesaian masalah ini adalah dengan menggunakan metode
Sprangue Multipliers. Metode ini pada prinsipnya yaitu metode yang digunakan
untuk memecah jumlah penduduk menurut kelompok umur lima tahunan (yang
23

dikeluarkan BPS) menjadi jumlah penduduk umur tunggal dengan menggunakan


Faktor Pengali Sprague (FPS).
Tabel 5 Pengelompokan umur kecukupan energi
Jenis Kelompok
Cara Perhitungan
Kelamin Umur
0.5 -1 (0.5) x umur 1 th
1–3 umur demografi (0-4 th) – umur 1 th - umur 4 th
4–6 umur 4 th + umur 5 th + umur 6 th
7–9 umur demografi (5-9 th) – umur 5 th – umur 6 th
Pria
10 – 12 umur demografi (10-14 th) – umur 13 th – umur 14 th
13 – 15 umur 13 th + umur 14 th + umur 15 th
16 – 19 umur demografi (15-19 th) – umur 15 th
20 – 29 umur demografi (20-24 th) + (25-29 th)
30 – 59 umur demografi (30-34 th) + (35-39 th) + (40-44 th) + (45-49
th) + (50-59 th) + (55-59 th)
≥60 umur demografi (60-64 th) + (65-69 th) + (70-74 th) + 75 th
Wanita
10 -12 umur demografi (10-14 th) – umur 13 th – umur 14 th
13 – 15 umur 13 th + umur 14 th + umur 15 th
16 – 19 umur demografi (15-19 th) – umur 15 th
20 – 29 umur demografi (20-24 th) + (25-29 th)
30 – 59 umur demografi (30-34 th) + (35-39 th) + (40-44 th) + (45-49
th) + (50-59 th) + (55-59 th)
≥ 60 umur demografi (60-64 th) + (65-69 th) + (70-74 th) + 75 th
Tambahan
Hamil 10% lebih banyak dari bayi usia 0-1 tahun,
Menyusui sama dengan jumlah bayi umur 0-0,5 tahun
Sumber : Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan & Departemen GMSK (2005)
Kelompok umur demografi yang perlu dipecah menjadi umur tunggal
untuk menghitung AKE penduduk yaitu: (1) kelompok umur 0-4 tahun menjadi 0
dan 4 tahun, sisanya umur (1-3) tahun, tanpa dibedakan jenis kelamin (2)
kelompok umur (5-9) tahun menjadi umur 5 dan 6 tahun, sisanya (7-9) tahun,
tanpa dibedakan jenis kelamin (3) kelompok umur (10-14) tahun menjadi umur 13
dan 14 tahun, sisanya umur (10-12) tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin
(4) kelompok umur (15-19) tahun menjadi umur 15 tahun, sisanya umur 16-19)
tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin. Setelah empat kelompok umur
dipecah, kemudian disusun dan dihitung jumlah (persentase) penduduk menurut
umur kecukupan gizi. Rumus yang digunakan yaitu:
Nj = ∑ (FPSi) (Ni)
Keterangan:
Nj = jumlah penduduk umur satu tahunan (umur tunggal) pada umur j,
dimana j = umur tunggal
FPSi = Faktor pengali Sprague pada kelompok umur lima tahunan yang ke i
Ni = jumlah penduduk kelompok umur lima tahunan pada kelompok umur
ke-i
24

Tabel 6 Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk memecah kelompok umur


demografi menjadi umur tunggal
Umur
tunggal Kelompok umur interval lima tahunan (Ni)
(nj)
N1 N2 N3 N4 N5
First End Panel (FEP)
n0 +0.3616 -0.2768 +0.1488 -0.0366 -
n1 +0.2640 -0.0760 +0.0400 -0.0080 -
n2 +0.1840 +0.0400 -0.0320 +0.0080 -
n3 +0.1200 +0.1360 -0.0720 +0.0160 -
n4 +0.0704 +0.1968 -0.0848 +0.0176 -
First Next to End Panel (FNEP)
n0 +0.0336 +0.2272 -0.0752 +0.0144 -
n1 +0.0086 +0.2320 -0.0480 +0.0080 -
n2 -0.0086 +0.2160 -0.0080 +0.0000 -
n3 -0.0160 +0.1840 +0.0400 -0.0080 -
n4 -0.0176 +0.1408 +0.0912 -0.0144 -
Mid Panel (MP)
n0 -0.0128 +0.0848 +0.1504 -0.0240 +0.0144
n1 -0.0016 +0.0144 +0.2224 -0.0416 +0.0080
n2 +0.0064 -0.0336 +0.2544 -0.0336 +0.0000
n3 +0.0064 -0.0416 +0.2224 +0.0144 -0.0080
n4 +0.0016 -0.0240 +0.1504 +0.0848 -0.0144
Last Next to End Panel (LNEP)
n0 -0.0144 +0.0912 +0.1408 -0.0176 -
n1 -0.0080 +0.0400 +0.1840 -0.0160 -
n2 +0.0000 -0.0080 +0.2160 -0.0080 -
n3 +0.0080 -0.0480 +0.2320 +0.0080 -
n4 +0.0144 -0.0752 +0.2272 +0.0336 -
Last End Panel (LEP)
n0 +0.0176 -0.0848 +0.1668 +0.0704 -
n1 +0.0160 -0.0720 +0.1360 +0.1200 -
n2 +0.0080 -0.0400 +0.0400 +0.1840 -
n3 -0.0080 -0.0960 -0.0960 +0.2640 -
n4 -0.0144 -0.2768 -0.2768 +0.3616 -
Sumber : Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan & Departemen GMSK (2005)
Keterangan :
Ni = Jumlah penduduk pada kelompok umur lima tahunan
nj = Perkiraan jumlah penduduk umur satu tahunan
Faktor Pengali Sprangue (FPS) dikelompokkan menjadi lima kelompok,
yaitu First End Panel (FEP), First Next to End Panel (FNEP), Mid Panel (MP),
Last Next to End Panel (LNEP) dan Last End Panel (LEP). FPS mana yang akan
digunakan tergantung pada kelompok umur mana yang akan dipecah. Bila
kelompok umur lima tahunan pertama (N1) yang akan dipecah, maka digunakan
FPS FEP, bila kelompok umur lima tahunan kedua (N2) yang akan dipecah maka
digunakan FPS FNEP, bila kelompok lima tahunan ketiga (N3) dan keempat (N4)
25

yang akan dipecah maka digunakan FPS MP. Selanjutnya perhitungan AKE
regional dihitung dengan cara mengalikan persentase penduduk menurut
kelompok umur kecukupan gizi dengan Faktor UKE. Faktor Pengali Sprangue
(FPS) untuk memecah kelompok umur demografi menjadi umur tunggal dapat
dilihat pada Tabel 6.
AKE Regional selain diperoleh dengan menggunakan Multiple Sprangue
dapat juga diperoleh dari pengolahan data dengan software “Aplikasi Komputer
Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kbupaten/Kota dan Provinsi”.
b. Analisis secara kualitatif
Kualitas konsumsi pangan akan diukur dengan skor PPH yang memiliki
angka maksimal 100. Semakin tinggi skor PPH , maka kualitas konsumsi pangan
semakin baik.
Hasil olahan data konsumsi pangan dengan menggunakan software
“Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah
Kabupaten/Kota dan Provinsi” kemudian dianalisis secara deskriptif, yang
nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam perumusan kebijakan
perencanaan pangan dan gizi Kota Banjar. Berikut ini langkah-langkah untuk
menghitung skor dan komposisi PPH aktual :
1). Konversi bentuk, Jenis, dan satuan
Pangan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai bentuk.
jenis dengan satuan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan konversi ke
dalam satuan dan jenis komoditas yang sama (yang disepakati).
2). Pengelompokan pangan menjadi 9 kelompok
a. Padi-padian meliputi beras dan olahannya, jagung dan olahannya,
gandum dan olahannya.
b. Umbi-umbian meliputi ubi kayu dan olahannya, ubi jalar, kentang, talas,
dan sagu (termasuk makanan berpati)
c. Pangan hewani meliputi daging dan olahannya, ikan dan olahanya, telur,
serta susu dan olahannya.
d. Minyak dan lemak meliputi minyak kelapa, minyak sawit, margarin, dan
lemak hewani.
e. Buah/biji berminyak meliputi kelapa, kemiri, kenari, dan coklat.
f. Kacang-kacangan meliputi kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau,
kacang merah, kacang polong, kacang mete, kacang tunggak, kacang
lain, tahu, tempe, tauco, oncom, sari kedelai, kecap.
26

g. Gula meliputi gula pasir, gula merah, sirup, minuman jadi dalam
botol/kaleng.
h. Sayur dan buah meliputi sayur segar dan olahannya, buah segar dan
olahannya, dan emping.
i. Lain-lain meliputi aneka bumbu dan bahan minuman seperti terasi,
cengkeh, ketumbar, merica, pala, asam, bumbu mask, terasi, teh dan
kopi.
3). Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan
Pada tahap ini perlu dilakukan :
a. perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi
dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM).
b. menjumlahkan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi
menurut kelompok pangan.
4). Menghitung total konsumsi energi dari kelompok pangan 1 sampai dengan 9
Angka ini menunjukkan angka konsumsi pangan wilayah Kota Banjar
pada tahun 2006.
5). Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1 s/d ke 9
Langkah untuk menilai pola/komposisi konsumsi pangan dengan cara
menghitung kontribusi energi menurut AKE dari setiap kelompok pangan. dalam
bentuk persen yaitu dengan cara membagi masing-masing energi kelompok
pangan dengan AKE sebesar 1 944 kkal/kapita/hari dikalikan 100%.
6). Menghitung Skor PPH
Terdapat perbedaan antara cara perhitungan PPH yang baru
(Deptan, 2001) dengan yang lama (Meneg Pangan, 1994). Perhitungan
PPH yang lama menggunakan perbandingan antara energi yang
dikonsumsi dengan total energinya sedangkan yang baru menggunakan
perbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan AKEnya. Selain itu,
pada perhitungan PPH cara lama tidak dilakukan koreksi terhadap skor
maksimal.
a. tahap I : mengalikan % kontribusi energi per AKE dengan bobot/rating
b. tahap II : memperhatikan batas skor maksimum. Jika skor AKE lebih tinggi
dari skor maksimum. maka yang diambil adalah skor maksimum.
Jika skor AKE lebih rendah dari skor maksimum. maka yang
diambil adalah skor AKE. Skor PPH setiap kelompok pangan
27

menunjukkan komposisi konsumsi pangan penduduk pada


waktu/tahun tertentu.
7). Menghitung Total Skor Mutu Konsumsi Pangan
Total skor mutu konsumsi pangan adalah jumlah dari skor kelompok padi-
padian sampai dengan skor kelompok lain-lain. Angka ini disebut skor konsumsi
pangan aktual yang menunjukkan tingkat keragaman konsumsi pangan
penduduk pada tahun tertentu. Hasil perhitungan skor dan komposisi PPH aktual
(susunan PPH) suatu wilayah pada tahun tertentu.
Cara menghitung komposisi pangan aktual dapat digunakan AKE regional
berdasarkan UKE (jika datanya tersedia) atau dapat juga menggunakan AKE
Nasional berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004. yaitu sebesar
2 000 kkal/kap/hari.

II. Proyeksi Skor PPH dan Komposisi PPH


Apabila evaluasi terhadap skor mutu pangan wilayah sudah dilakukan,
maka selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi skor mutu PPH yang akan di
capai. Diharapkan Kota Banjar mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun
2020. Penyusunan proyeksi mutu pangan sebelum tahun 2020 antara lain dapat
dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier. Titik awal skor mutu adalah
hasil perhitungan atau evaluasi skor PPH aktual, sedangkan proyeksi akhir skor
mutu adalah skor PPH 2020.
Skor mutu pangan tahun proyeksi sampai dengan 2020 dihitung dengan
menggunakan interpolasi sederhana dengan rumus berikut :

St= S0 + n(S2020-S0)/dt

Keterangan: St = skor mutu pangan tahun t


S0 = skor mutu pangan tahun awal
S2020 = skor mutu pangan tahun 2020
dt = selisih tahun antara tahun 2020 dengan tahun awal
n = selisih tahun yang dicari dengan tahun dasar
III. Penyusunan Target Penyediaan Pangan pada Taraf Konsumsi
Kg/Kap/Thn
Dengan asumsi setahun sama dengan 365 hari, maka kebutuhan
konsumsi pangan dalam satuan kg/kap/tahun diperoleh dengan menggunakan
rumus :

Proyeksi konsumsi (kg/kap/tahun) = gram konsumsi x 365


1 000
28

IV. Penyusunan Target Penyediaan Pangan pada Taraf Produksi Ton/Thn


Pada tahapan ini diperlukan data pertumbuhan penduduk. Proyeksi
konsumsi pangan dalam satuan ton/tahun dapat dihitung dengan rumus
Konsumsi (ton/thn)
= 110% x konsumsi (gr/kap/hari) x 365 x jumlah penduduk tahun tersebut
1 000 000

Causal Model
Terdapat berbagai macam faktor penyebab terjadinya masalah
konsumsi pangan. Beragam faktor penyebab tersebut saling berkaitan dan
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu diperlukan analisis
“apakah suatu faktor merupakan penyebab langsung atau tidak langsung
terjadinya masalah konsumsi pangan?”. Analisis dapat dilakukan melalui
pengembangan kerangka pikir (conceptual framework) atau model faktor
penyebab (causal model) masalah konsumsi pangan. Causal model
menggambarkan rangkaian faktor yang menyebabkan masalah konsumsi
pangan. Causal model disusun berdasarkan jawaban atas pertanyaan “mengapa
terjadi faktor penyebab tersebut”, dan seterusnya sehingga terjadi suatu
rangkaian faktor penyebab terjadinya masalah konsumsi pangan.

KURANG GIZI

ASUPAN ZAT GIZI PENYAKIT INFEKSI


Penyebab
RENDAH TINGGI
LANGSUNG

Ketersediaan Perawatan Anak Pelayanan


pangan di dan ibu hamil kesehatan kurang Penyebab TAK
tingkat RT yang kurang memadai LANGSUNG
rendah

KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIAAN Masalah


PANGAN, KESEMPATAN KERJA UTAMA

Masalah
KRISIS POLITIK DAN EKONOMI DASAR

Gambar 4 Faktor penyebab masalah kurang gizi pada balita


29

Causal Model pada Gambar 4 disusun atas dasar pertanyaan-pertanyaan


sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi masalah kurang gizi pada balita?
2. Mengapa terjadi kekurangan asupan zat gizi? Mengapa balita sering
menderita penyakit infeksi?
3. Mengapa ketersediaan pangan di tingkat rumahtangga; perawatan anak dan
ibu hamil; dan pelayanan kesehatan tidak memadai?
4. Masalah utama tersebut terjadi karena adanya krisis politik dan ekonomi.

V. Perumusan Rekomendasi Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi


Tahap perumusan rekomendasi kebijakan pangan dan gizi ini perlunya
membandingkan antara konsumsi pangan harapan dan aktual pada setiap
kelompok pangan sebagai salah satu acuan dalam menyusun kebijakan
perencanaan pangan dan gizi. Selain itu dilakukan pula analisis terhadap kondisi
kebijakan pangan dan gizi yang telah ada di daerah, kemudian dibandingkan
dengan faktor penyebab pangan dan gizi aktual untuk menentukan rekomendasi
kebijakan perencanaan pangan dan gizi Kota Banjar. Apabila kebijakan yang ada
masih kurang sesuai dengan permasalahan pangan dan gizi aktual maka perlu
direkomendasikan suatu rumusan kebijakan baru sebagai alternatif perbaikan
kebijakan yang telah ada.
30

Definisi Operasional

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang
atau kelompok orang pada waktu tertentu (recall 24 jam).
Pola konsumsi pangan rumah tangga adalah susunan makanan yang
mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per rumah tangga yang
umum dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu (recall 24 jam).
Keluarga Miskin dan Tidak Miskin adalah pengkategorian keluarga yang dapat
dilihat dengan menggunakan 14 variabel yang dimiliki oleh suatu rumah tangga.
Pola Pangan Harapan adalah komposisi/susunan pangan atau kelompok
pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya baik mutlak maupun relatif ,
yang memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun
keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya,
agama, dan cita rasa.
Skor Pola Pangan Harapan adalah nilai yang menunjukkan kualitas atau tingkat
mutu pangan (beragam) yang dikonsumsi oleh rumah tangga
Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang
yang diukur oleh konsumsi pangan dan antropomentri (BB dan TB).
Produksi adalah jumlah keseluruhan hasil masing-masing bahan makanan yang
dihasilkan dari sektor pertanian, baik yang belum mengalami proses pengolahan
maupun yang sudah mengalami proses pengolahan
Ketahanan Pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah mutunya,
aman, merata, dan terjangkau.
Kebijakan konsumsi pangan dan gizi adalah suatu hal yang ditetapkan dan
diberlakukan sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian
pengambilan keputusan tentang konsumsi pangan dan gizi.
31

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah


Geografis dan Topografi
Kota Banjar merupakan kota strategis yang berada pada jalur lintasan
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Secara geografis terletak diantara 07019’ - 07026’
Lintang Selatan dan 108026’ - 108040’ Bujur Timur. Kota Banjar terletak di
sebelah timur Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan Provinsi
Jawa Tengah dengan karakteristik daerah sebagai berikut : (1) wilayah selatan
merupakan wilayah perbukitan, (2) wilayah utara merupakan wilayah dataran
dan perbukitan, (3) wilayah barat merupakan wilayah dataran atau pesawahan,
dan (4) wilayah timur merupakan wilayah dataran atau pesawahan.
Luas wilayah Kota Banjar yaitu 11 431 ha (114.31 km2) dengan batas
wilayah sebagai berikut : (1) sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Cisaga Kabupaten Ciamis, (2) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Lakbok Kabupaten Ciamis dan Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap Provinsi
Jawa Tengah, (3) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lakbok dan
Pamarican Kabupaten Ciamis, dan (4) sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Cimaragas dan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Peta Kota Banjar
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Keadaan curah hujan Kota Banjar tahun 2006 pada umumnya sedang
dengan hari hujan relatif sedikit. Curah hujan di Kota Banjar berdasarkan data
dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Banjar tahun 2006 tercatat rata-rata curah
hujan dalam setahun mencapai 162.3 milimeter. Bulan Januari, Februari dan
April tercatat memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibanding bulan lainnya.
Selain itu, tingkat kesuburan tanah Kota Banjar pada umumnya tergolong sedang
(baik) dengan tekstur tanah sebagian besar halus dengan jenis tanah alufial,
kecuali Kecamatan Langensari yang selain memiliki jenis tanah alufial juga
berjenis tanah podsonik merah kuning.

Demografi dan Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Kota Banjar menurut data dari Dinas Catatan Sipil
Kependudukan dan KB tahun 2006 tercatat sebanyak 168 912 jiwa dengan
rincian 84 328 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 84 584 jiwa
berjenis kelamin perempuan, sehingga angka sex ratio (perbandingan penduduk
laki-laki dan perempuan) sebesar 99.70 persen. Kecamatan Pataruman
32

merupakan kecamatan yang paling besar penduduknya yaitu sebesar 51 348


jiwa, sedangkan Kecamatan Purwaharja merupakan kecamatan dengan
penduduk paling sedikit yaitu sebanyak 19 711 jiwa. Berikut ini Tabel 7 jumlah
penduduk menurut jenis kelamin di Kota Banjar akhir tahun 2006.

Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin untuk setiap kecamatan di


Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Penduduk
Laki-laki Perempuan
Banjar 24 058 24 365
Purwaharja 9 981 9 730
Pataruman 25 387 25 961
Langensari 24 902 24 528
Kota Banjar 84 328 84 584
Sumber : Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005, BPS 2006

Kota Banjar secara administrasi terbagi menjadi 4 kecamatan dengan 24


desa, 101 dusun, 474 RW dan 1 097 RT. Berdasarkan klasifikasi jenis desa,
seluruh desa yang ada yaitu 24 desa seluruhnya tergolong desa swakarya.
Persebaran penduduk untuk tiap kecamatan di Kota Banjar secara umum relatif
sama. Hal ini disebabkan letak wilayah Kota Banjar yang tidak terlalu menyebar.
Pusat kegiatan ekonomi, tempat pendidikan, dan hiburan relatif mudah di
jangkau. Angka pertumbuhan penduduk Kota Banjar tahun 2006 sebesar 3.78
persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai
0.88 persen untuk tahun 2005 dan 1.23 persen untuk tahun 2004. Kecamatan
Langensari menjadi kecamatan yang paling tinggi pertumbuhannya di banding
kecamatan lain yaitu 1.63 persen. Sementara itu, Kecamatan Purwaharja
memiliki angka pertumbuhan penduduk yang relatif kecil yaitu sebesar 0.23
persen.
Rumah tangga miskin di Kota Banjar tahun 2005 secara keseluruhan
adalah 10 908 rumah tangga atau 24.56 persen dari 44 408 rumah tangga yang
ada di Kota Banjar. Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005
atau SLT oleh Badan Pusat Statistik, Kecamatan Banjar merupakan kecamatan
yang memiliki rumah tangga miskin terbesar yaitu 34.16 %, diikuti berturut-turut
oleh Kecamatan Pataruman, Langensari, dan Purwaharja masing-masing
sebesar 32.69%, 22.19%, dan 10.96%. Berikut ini Tabel 8 jumlah penduduk
miskin dan jumlah rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan. Jumlah
penduduk miskin di Kecamatan Banjar mempunyai persentase tertinggi yaitu
sebesar 35.20 persen dan Kecamatan Purwaharja mempunyai persentase
terendah sebesar 10.85 persen.
33

Tabel 8 Jumlah rumah tangga dan penduduk miskin berdasarkan kecamatan


tahun 2005 di Kota Banjar
Kecamatan Rumah tangga miskin Penduduk miskin
Jumlah Persen Jumlah Persen
Banjar 3 726 34.16 12 708 35.20
Purwaharja 1 195 10.96 3 917 10.85
Pataruman 3 566 32.69 11 020 30.53
Langensari 2 421 22.19 8 455 23.42
Kota Banjar 10 908 100.00 36 100 100.00
Sumber : Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005, BPS 2005

Bidang ketenagakerjaan berdasarkan data potensi Kota Banjar tahun


2005 dan Suseda 2006 Kota Banjar (BPS 2006), jumlah penduduk usia 15 tahun
ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan sebanyak 30.16 persen
bergerak di bidang pertanian, 9.66 persen sektor Industri, 8.14 persen di sektor
bangunan/konstruksi, 22.55 persen disektor perdagangan selebihnya disektor
jasa-jasa dan sektor lainnya masing-masing sebesar 18.43 dan 11.06 persen.
Meskipun penduduk yang bergerak disektor pertanian persentasenya paling
tinggi, namun bila di banding tahun sebelumnya mengalami penurunan yang
signifikan yaitu sebesar 176 persen. Hal ini menunjukkan bahwa makin lama
pergeseran lapangan usaha akan semakin mengarah ke sektor selain pertanian
seiring dengan perkembangan wilayah perkotaan yang lebih maju.

Tabel 9 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut


lapangan usaha di Kota Banjar tahun 2005, 2005, dan 2006
Lapangan Usaha Tahun
2004 2005 2006
Pertanian 30.16 22.80 22.12
Industri 9.66 15.07 13.10
Bangunan 8.14 12.00 11.90
Perdagangan 22.55 22.11 20.41
Jasa-jasa 18.43 24.45 16.44
Lainnya 11.06 3.57 16.03
Sumber : BPS Kota Banjar, Data Potensi dan Suseda 2006 Kota Banjar

Tahun 2006, persentase penduduk perempuan di Kota Banjar yang tidak


tamat SD/MI yaitu 25.61% lebih tinggi bila dibandingkan penduduk laki-laki yaitu
20.52%. Persentase penduduk laki-laki yang menamatkan SLTP/MTS/Sederajat
dan SMU/MA/Sederajat lebih tinggi yaitu 17.20 persen dan 10.55 persen bila
dibandingkan dengan penduduk perempuan yaitu 15.89 persen dan 7.56 persen.
Dengan demikian, penduduk perempuan mempunyai kesempatan yang lebih
rendah untuk sekolah atau mendapatkan pendidikan dibandingkan dengan
penduduk laki-laki.
34

Produksi Pangan Kota Banjar


Menurut Departemen Pertanian (2005), pengertian produksi adalah
jumlah keseluruhan hasil masing-masing bahan makanan yang dihasilkan dari
sektor pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Peternakan, Perikanan, dan
Perkebunan), baik yang belum mengalami proses pengolahan maupun yang
sudah mengalami proses pengolahan. Tabel 10 menunjukkan komposisi energi
ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH).

Tabel 10 Komposisi energi ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan


Kelompok Pangan Energi (kkal/kap/hari) % Energi
Padi-padian 1100 50
Umbi-umbian 132 6
Pangan hewani 264 12
Minyak dan lemak 220 10
Buah dan biji berminyak 66 3
Kacang-kacangan 110 5
Gula 110 5
Sayur dan buah 132 6
Lain-lain 66 3
Total 2200 100
Sumber: Deptan (2001)

Berikut ini hasil-hasil produksi pertanian di Kota Banjar berdasarkan kelompok


pangan (padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran
dan buah-buahan) dalam Pola Pangan Harapan.

Padi-padian
Produksi kelompok pangan padi-padian Kota Banjar tahun 2006 dapat
dilihat dari tiga jenis komoditas yaitu padi sawah, padi gogo, dan jagung. Tabel
11 menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan dari kelompok pangan padi-
padian (1 330 kkal/kap/hari) telah mencukupi proporsi ideal yang dianjurkan
untuk kelompok padi-padian yaitu 1 100 kkal/kap/hari (50% dari AKE
ketersediaan ideal). Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ketersediaan, produksi
kelompok padi-padian sudah mencukupi kebutuhan penduduk Kota Banjar.
Berdasarkan Tabel 11, daerah produksi padi sawah terbesar tahun 2006
terdapat di Kecamatan Langensari (15 233.0 ton/tahun). Sedangkan daerah
produksi jagung terbesar yaitu Kecamatan Pataruman (498.6 ton/tahun). Hal ini
disebabkan luas lahan sawah di Kecamatan Langensari lebih luas dibandingkan
dengan kecamatan lainnya (Lampiran 2). Jenis tanaman padi-padian yang
berpotensi untuk dikembangkan yaitu padi sawah, karena terjadi peningkatan
produksi dari tahun 2005 hingga 2006 yaitu 6.3 persen (Lampiran 3)
35

Tabel 11 Produksi dan energi kelompok padi-padian menurut kecamatan di


Kota Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)* Energi (kkal/kap/hari)
Kecamatan Padi Padi Jagung Padi Padi Jagung Total
sawah gogo sawah gogo
Banjar 5 912.4 0.0 131.1 218 0 7 225
Purwaharja 5 497.8 10.0 91.0 203 0 5 208
Pataruman 8 232.0 0.0 498.6 304 0 26 330
Langensari 15 233.0 54.0 61.3 562 2 3 567
Total 34 875.2 64.0 782.0 1 287 2 41 1 330
Keterangan: * Data Potensi Kota Banjar, Dinas Pertanian Kota Banjar

Umbi-umbian
Produksi pangan kelompok umbi-umbian Kota Banjar tahun 2006 dapat
dilihat dari komoditas ubi kayu dan ubi jalar. Bedasarkan Tabel 12, komoditas ubi
kayu dan ubi jalar menyumbangkan energi sebesar 69 kkal/kapita/hari. Hal ini
menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan oleh kelompok umbi-umbian belum
mencukupi proporsi ideal yang dianjurkan untuk kelompok umbi-umbian yaitu
132 kkal/kap/hari (6 % dari AKE ketersediaan ideal). Kontribusi energi terbesar
diperolah dari komoditas umbi kayu (91.3 persen dari total energi).
Apabila dibedakan menurut kecamatan, daerah produksi kelompok
umbi-umbian terbesar yaitu Kecamatan Pataruman yaitu produksi ubi kayu
2 121.6 ton/thn dan ubi jalar 247.9 ton/thn. Penggunaan lahan untuk berkebun
dan berladang di Kecamatan Pataruman yang masih luas menyebabkan produksi
umbi-umbian lebih tinggi dibanding kecamatan lainnya. Laju produksi ubi kayu
Kota Banjar dari tahun 2005 hingga 2006 mengalami peningkatan yang cukup
tinggi yaitu sebanyak 1 232.1 persen. Akan tetapi, produksi ubi kayu ini belum
mampu memenuhi kebutuhan ideal penduduk Kota Banjar sehingga perlu terus
ditingkatkan terutama Kecamatan Pataruman.

Tabel 12 Produksi dan energi kelompok umbi-umbian menjadi energi menurut


kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)* Energi (kkal/kap/hari)
Kecamatan Ubi kayu Ubi Jalar Ubi kayu Ubi Jalar Total
Banjar 773.0 65.1 14 1 15
Purwaharja 198.4 30.0 4 1 15
Pataruman 2 121.6 247.9 38 4 42
Langensari 437.0 10.0 8 0 8
Total 3 530.0 353.0 63 6 69
Keterangan: * Data Potensi Kota Banjar, Dinas Pertanian Kota Banjar

Pangan Hewani
Ketersediaan pangan hewani dapat dilihat dari produksi daging sapi,
domba, kambing, ikan, ayam, itik, dan telur. Tabel 13 menunjukkan bahwa
36

produksi pangan hewani terbesar terdapat pada komoditas ikan. Kecamatan


Pataruman merupakan kecamatan penghasil ikan terbesar di Kota Banjar yaitu
920.7 ton/tahun. Hal ini disebabkan luas lahan yang digunakan untuk
kolam/tambak di Kecamatan Pataruman masih cukup besar dibandingkan
dengan kecamatan lainnya.

Tabel 13 Produksi pangan hewani (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota


Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)*
Kecamatan sapi domba Kambing ikan ayam itik Telur
Banjar 47.0 20.0 9.0 213.2 4.8 0.3 30.0
Purwaharja 250.0 8.7 4.1 102.4 6.2 0.6 0
Pataruman 54.2 5.5 7.0 920.7 30.3 0.7 511.8
Langensari 90.0 15.0 20.0 352.4 15.8 0.9 0
Total 441.0 49.2 40.0 1 588.7 57.1 2.5 541.8

Berdasarkan Tabel 14, energi yang dihasilkan dari kelompok pangan


hewani yaitu 20 persen (49 kkal/kapita/hari) dari proporsi pangan hewani ideal
(264 kkal/kapita/hari). Hal ini menunjukkan bahwa produksi pangan hewani di
Kota Banjar masih cukup kurang. Energi terbesar dari produksi pangan hewani
terdapat pada ikan (18 kkal/kap/hari) dan sapi (15 kkal/kapita/hari). Laju produksi
ikan dan sapi dari tahun 2005 hingga 2006 menunjukkan peningkatan (Lampiran
8 dan 9). Apabila dari tahun ke tahun produksi sapi dan ikan terus meningkat
maka ketersediaan pangan hewani menuju ideal akan tercapai terutama di
daerah Kecamatan Purwaharja dan Pataruman.

Tabel 14 Produksi pangan hewani dalam bentuk energi menurut kecamatan di


Kota Banjar tahun 2006
Energi (kkal/kap/hari)
Kecamatan sapi domba kambing ikan ayam itik Telur Total
Banjar 2 1 0 2 0 0 1 6
Purwaharja 8 0 0 1 0 0 0 9
Pataruman 2 0 0 11 0 0 12 25
Langensari 3 1 1 4 0 0 0 9
Total 15 2 1 18 0 0 13 49

Kacang-kacangan
Produksi kelompok kacang-kacangan di Kota Banjar tahun 2006 dapat
dillihat dari komoditas kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang
merah. Berdasarkan Tabel 15, produksi terbesar terdapat pada kacang merah
yaitu 1 512.5 ton/tahun. Kecamatan penghasil kacang merah terbesar yaitu
Kecamatan Banjar (1 001.0 ton/tahun). Selain itu, Tabel 15 menunjukkan total
energi yang dihasilkan dari kelompok pangan kacang-kacangan sebesar 121
kkal/kap/hari. Sedangkan proposi ideal kelompok kacang-kacangan sebesar 110
37

kkal/kap/hari (5% dari AKE ideal). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kacang-
kacangan telah mencukupi kebutuhan penduduk Kota Banjar.
Laju produksi kacang merah dari tahun 2005 hingga 2006 mengalami
peningkatan sebanyak 222.6 persen (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa
kacang-kacangan merupakan komoditas yang cukup potensial untuk
dikembangkan di Kota Banjar terutama di Kecamatan Banjar.

Tabel 15 Produksi dan energi kelompok kacang-kacangan menjadi energi


menurut kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)* Energi (kkal/kap/hari)
Kecamatan Kacang Kacang Kacang Kacang Kacang Kacang Kacang Kacang Total
kedelai tanah hijau merah kedelai tanah hijau merah
Banjar 35.0 23.2 34.7 1 001.0 2 2 2 52 58
Purwaharja 3.0 63.7 33.9 341.5 0 5 2 18 25
Pataruman 0.0 61.0 0.0 10.0 0 4 0 1 5
Langensari 0.0 22.2 419.4 160.0 0 2 23 8 33
Total 38.0 170.0 488.0 1 512.5 2 13 27 79 121

Sayur dan Buah-buahan


Produksi pangan kelompok sayuran di Kota Banjar tahun 2006 dapat
dilihat dari komoditas kacang panjang, cabe rawit, ketimun, labu siam, kangkung,
bayam, melinjo, dan petai. Berdasarkan Tabel 16, produksi terbesar dari
kelompok sayuran terdapat pada komoditas petai (603.0 ton/tahun) dan daerah
penghasil terbesar petai yaitu Kecamatan Pataruman. Luas lahan dan banyaknya
jumlah penduduk di Kecamatan Pataruman (Tabel 7) mempengaruhi besarnya
produksi petai.

Tabel 16 Produksi sayuran (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota Banjar


tahun 2006
Produksi (ton/thn)*
Kecamatan Kacang Cabe Ketimun Labu Kangkung Bayam Melinjo Petai
panjang rawit siam
Banjar 9.5 0.3 186.3 0.0 33.1 9.7 6.9 172.6
Purwaharja 2.2 0.4 23.2 135.0 0.0 0.0 5.1 8.0
Pataruman 1.0 3.0 195.0 0.0 122.4 93.2 0.0 603.0
Langensari 18.0 0.0 3.9 0.0 29.4 7.9 1.7 3.7
Total 24.7 3.7 408.4 135.0 184.9 110.8 13.7 787.3

Produksi kelompok buah-buahan dapat dilihat dari alpukat, durian, jambu


biji, jambu air, mangga, nangka, pepaya, pisang, rambutan, dan sawo. Produksi
buah-buahan terbesar terdapat pada komoditas pisang yaitu 26 825.8 ton/tahun.
Sedangkan daerah penghasil pisang terbesar yaitu Kecamatan Langensari
(Tabel 18). Laju produksi pisang dari tahun 2005 hingga 2006 mengalami
penurunan sebesar 68.5 persen (Lampiran 6). Padahal komoditas pisang
diharapkan mampu menjadi pangan lokal yang berpotensi di Kota Banjar. Oleh
38

karena itu, produksi pisang untuk tahun selanjutnya perlu ditingkatkan kembali
khususnya di Kecamatan Langensari dan Banjar.
Tabel 17 Produksi buah-buahan (ton/tahun) menurut kecamatan di Kota
Banjar tahun 2006
Produksi (ton/thn)*
Kecamatan Alpukat Durian Jambu biji Jambu air Mangga
Banjar 60.6 173.9 4.6 21.4 615.1
Purwaharja 4.5 4.1 1.5 4.9 29.1
Pataruman 55.5 250.0 302.6 150.7 859.4
Langensari 1.1 0.9 14.2 21.0 315.5
Total 121.7 428.9 322.9 198.0 1819.1

Tabel 18 Produksi buah-buahan dan total energi menurut kecamatan di Kota


Banjar tahun 2006 (lanjutan)
Produksi (ton/thn) Total Energi
Kecamatan Nangka Pepaya Pisang Rambutan Sawo (kkal/kap/hr)*
Banjar 88.9 29.8 11 589.7 1 144.0 82.8 217
Purwaharja 7.5 8.4 182.5 12.1 5.8 3
Pataruman 550.6 65.5 532.8 2 334.8 53.9 32
Langensari 11.5 6.3 14 520.8 7.2 7.6 260
Total 658.5 110.0 26 825.8 3 498.1 150.1 513
Keterangan: * perhitungan energi selengkapnya terdapat pada Lampiran 7
Energi terbesar yang dihasilkan dari kelompok sayuran yaitu komoditas
petai (65 kkal/kap/hari). Daerah penghasil energi sayuran terbesar yaitu
Kecamatan Pataruman (50 kkal/kap/hari). Sedangkan energi terbesar yang
dihasilkan dari kelompok buah-buahan yaitu komoditas pisang
(476 kkal/kap/hari). Apabila dibandingkan dengan standar ideal untuk sayur dan
buah-buahan (132 kkal/kap/hari) maka jumlah energi kelompok sayuran dan
buah-buahan di Kota Banjar telah memenuhi standar ideal.

Tabel 19 Energi sayuran (kkal/kapita/hari) menurut kecamatan di Kota


Banjar tahun 2006
Energi (kkal/kapita/hari)
Kecamatan Kacang Cabe Ketimun Labu Kangkung Bayam Melinjo Petai Total
panjang rawit siam
Banjar 1 0 3 0 1 1 1 14 21
Purwaharja 0 0 0 5 0 0 0 1 6
Pataruman 0 1 3 0 4 4 0 50 62
Langensari 0 0 0 0 1 0 0 0 1
Total 1 1 6 5 6 5 1 65 90

Analisis Situasi Konsumsi Pangan Kota Banjar Tahun 2006


Hardinsyah et.al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara
kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Analisis situasi konsumsi
pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh
peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap
39

aspek kualitas konsumsi. Aspek kualitas konsumsi pangan dinilai dari aspek
komposisi atau keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan. Pendekatan yang
digunakan untuk analisis kualitas konsumsi (skor mutu konsumsi) yaitu
berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH). Analisis kualitatif dilakukan dengan
melihat mutu pangan berdasarkan keragaman pangan yang ditunjukkan oleh
skor PPH. Hasil analisis ini dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan
kebutuhan konsumsi dan ketersediaan pangan melalui teknik proyeksi secara
interpolasi linear.
Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah nilai yang menunjukkan jumlah
energi yang diperlukan tubuh setiap hari untuk dapat hidup sehat bagi hampir
semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis
tertentu seperti hamil dan menyusui. AKE ditetapkan berdasarkan kajian dan
kesepakatan antar pakar berdasarkan hasil-hasil penelitian kebutuhan gizi
(requirement) individu. Dengan demikian, istilah kebutuhan energi lebih tepat
untuk menggambarkan banyaknya energi yang dibutuhkan individu agar dapat
hidup sehat, sedangkan kecukupan energi (AKE) lebih menggambarkan
banyaknya energi yang dibutuhkan agar sebagian besar populasi bisa hidup
sehat. Perhitungan AKE digunakan sebagai nilai rujukan untuk perencanaan dan
penilaian konsumsi pangan dan gizi bagi orang yang sehat agar dapat
mempertahankan kesehatannya dan terhindar dari kekurangan dan kelebihan
gizi. Hasil perbandingan antara konsumsi energi suatu populasi dengan AKE
disebut Tingkat Kecukupan Energi (PKKP 2006). Berikut ini hasil analisis situasi
konsumsi pangan Kota Banjar 2006 secara kuantitatif dan kualitatif.

Analisis secara Kuantitatif


Analisis konsumsi secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur Tingkat
Kecukupan Energi (TKE) yang akan menggambarkan persentase konsumsi
energi terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE). Tabel 20 menunjukkan hasil
perhitungan AKE Regional Kota Banjar dengan menggunakan metode Sprague
Multipliers. mengambil dua titik yaitu tahun 2005 dan 2006.

Tabel 20 AKE Regional Kota Banjar tahun 2005 dan 2006 dengan menggunakan
metode Sprangue Multipliers
Tahun
Tahun Rata-rata AKE
2005 2006
AKERP 1 985 1 984 1 985
AKE Konsumsi 1 985 1 984 1 985
AKE Ketersediaan 2 184 2 182 2 183
40

Angka Kecukupan Energi (AKE) untuk Kota Banjar adalah jumlah energi
yang harus dipenuhi oleh rata-rata penduduk Kota Banjar agar hampir semua
penduduk dapat hidup sehat dan menjalankan aktivitasnya. AKE konsumsi Kota
Banjar tahun 2005 dan 2006 dengan menggunakan metode di atas masing-
masing sebesar 1 985 dan 1 984 kkal/kap/hari. Apabila AKE konsumsi kedua
tahun ini dirata-ratakan akan diperoleh hasil sebesar 1 984.5 ≈ 1 985 yang
merupakan AKE konsumsi Kota Banjar yang dianjurkan.
Berbeda dengan AKE Regional hasil perhitungan di atas, AKE Regional
Kota Banjar hasil olahan data dengan menggunakan software “Aplikasi Komputer
Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi” adalah sebesar 1944
kkal/kapita/hari. Selanjutnya, seluruh perhitungan dalam pembahasan ini
menggunakan AKE regional hasil olahan dengan software “Aplikasi Komputer
Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi” dengan tujuan untuk
memudahkan dalam perhitungan. Berikut ini tabel 21 AKE Regional berdasarkan
software “Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah
Provinsi”.
Tabel 21 AKE Regional Kota Banjar dengan menggunakan software “Aplikasi
Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi”
Kecukupan Energi
Kelompok/Jenis Pangan
(Kkal/Kapita/Hari)
1. Padi-padian 972
2. Umbi-umbian 117
3. Pangan Hewani 233
4. Minyak dan Lemak 195
5. Buah/Biji Berminyak 58
6. Kacang-kacangan 97
7. Gula 97
8. Sayur dan Buah 117
9. Lain-Lain 58
Total 1 944

Hasil analisis terhadap data survei konsumsi pangan Dinas Kesehatan


Kota Banjar 2006 dengan menggunakan software “Aplikasi Komputer Analisis
kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Provinsi” menunjukkan bahwa jumlah
konsumsi energi penduduk Kota Banjar yaitu sebesar 1 210 kkal/kapita/hari (TKE
62.2 persen) dari AKE konsumsi yang dianjurkan yaitu 1944 kkal/kapita/hari.
Apabila dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu rumah tangga miskin dan
tidak miskin, maka dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi energi rumah tangga
miskin sebesar 1170 kkal/kapita/hari (TKE 60.2 persen) masih kurang dari AKE
yang dianjurkan. Sama halnya dengan rumah tangga miskin, jumlah konsumsi
41

energi rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 1251.6 kkal/kapita/hari (TKE 64.4
persen) masih di bawah AKE konsumsi yang dianjurkan. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 22 di bawah ini.

Tabel 22 Situasi konsumsi energi dan Tingkat Kecukupan Energi di Kota Banjar
berdasarkan status ekonomi *
Status Ekonomi
Situasi Konsumsi Miskin & Tidak
Miskin Tidak miskin
miskin
Energi (kkal/kap/hari) 1170 1251 1210
Tingkat Kecukupan Energi
60.2 64.4 62.2
(%AKE)
* Jumlah konsumsi energi (kkal/kapita/hari) untuk setiap komoditi terdapat pada
Lampiran 10

Salah satu faktor penyebab utama rendahnya konsumsi energi penduduk


Kota Banjar adalah masih cukup tingginya jumlah rumah tangga miskin sebanyak
10 908 atau 24.56 persen dari 44 408 rumah tangga yang ada (BPS 2005).
Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses
mereka terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan. Selain
itu, ketersediaan pangan di Kota Banjar yang cukup tinggi tidak akan menjamin
bahwa setiap individu atau rumah tangga akan tahan pangan. Hal ini terkait
dengan kemampuan masing-masing individu atau rumah tangga untuk
mengakses bahan pangan tersebut.
Kemampuan daya beli merupakan salah satu faktor yang dapat
mendukung seseorang untuk mendapatkan bahan pangan dengan mudah
(Martianto et. al. 2006). Oleh karena itu, pemerintah Kota Banjar perlu
memperhatikan kemampuan daya beli setiap penduduk yaitu salah satunya
peningkatan pendapatan penduduk.

Analisis secara Kualitatif


Analisis konsumsi pangan secara kualitatif dilakukan dengan melihat
mutu pangan berdasarkan keragaman pangan yang ditunjukkan oleh skor PPH.
Hasil analisis terhadap data konsumsi pangan Dinas Kesehatan Kota Banjar
2006 berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH), dapat diketahui bahwa skor
PPH Kota Banjar adalah sebesar 65. Sedangkan skor PPH untuk rumah tangga
tidak miskin dan rumah tangga miskin masing-masing sebesar 71.1 dan 58.8.
Analisis ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman konsumsi Kota Banjar belum
mencapai ideal (100).
42

Salah satu sasaran ketahanan pangan dalam Kebijakan Umum


Ketahanan Pangan 2006-2009 yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor
PPH minimal 80 (DKP 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor
PPH Kota Banjar masih belum sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum
Ketahanan Pangan 2006-2009.
Kualitas konsumsi pangan yang rendah disebabkan oleh tingkat
pendapatan penduduk Kota Banjar yang masih rendah, ditunjukkan dengan
persentase rumah tangga miskin yang masih cukup banyak, yaitu 24.56 %.
Tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga sangat mempengaruhi pilihan
seseorang atau rumah tangga untuk mendapatkan bahan pangan yang beragam
(Hariyadi 2003). Peningkatan produksi yang tidak diiringi dengan peningkatan
pendapatan akan mempersulit upaya keragaman pangan yang dikonsumsi.
Keluarga miskin yang mempunyai pendapatan rendah hanya memiliki jumlah
skor PPH sebesar 58.8. Skor PPH rumah tangga tidak miskin lebih besar jika
dibandingkan dengan rumah tangga miskin yaitu sebesar 71.1. Akan tetapi,
apabila dibandingkan dengan skor PPH ideal (100), skor PPH rumah tangga
tidak miskin belum mencapai ideal.

Tabel 23 Skor PPH Kota Banjar, keluarga miskin, dan tidak miskin
Skor PPH
Kelompok Pangan
Miskin Tidak Miskin Kota Banjar
Padi-padian 20.0 19.2 19.6
Umbi-umbian 0.4 0.4 0.4
Pangan Hewani 9.0 20.5 14.8
Minyak dan Lemak 0.4 0.6 0.5
Buah/Biji Berminyak 0.1 0.2 0.1
Kacang-kacangan 10.0 10.0 10.0
Gula 0.3 0.3 0.3
Sayur dan Buah 18.7 19.9 19.3
Lain-lain 0.0 0.0 0.0
Total 58.8 71.1 65.0

Tabel 24 menunjukkan pencapaian konsumsi energi, skor PPH serta


konsumsi pangan (gram) penduduk Kota Banjar tahun 2006 dibandingkan
standar ideal. Skor PPH Kota Banjar (65) jika dibandingkan dengan standar ideal
(100) masih jauh 35 poin di bawah standar ideal. Begitu pula halnya dengan
energi (kkal) yang dikonsumsi penduduk Kota Banjar yaitu 1 210 kkal jika
dibandingkan dengan standar ideal 2 000 kkal, maka konsumsi energi kota
Banjar perlu ditingkatkan lagi sebanyak 790 kkal.
43

Tabel 24 Konsumsi energi, skor PPH, dan pangan (gram) penduduk Kota Banjar
2006 dibandingkan dengan standar ideal
Kelompok 2006 Standar Ideal Selisih*)
pangan Energi Skor Energi Skor Energi Skor
1) Gram Gram Gram
(kkal) PPH (kkal) PPH (kkal) PPH
Padi- 763 19.6 211.6 1000 25.0 275 -237 -5.4 -63.4
padian
Umbi- 15 0.4 14.6 120 2.5 100 -105 -2.1 -85.4
umbian
Pangan 144 14.8 134.3 240 24.0 150 -96 -9.2 -15.7
Hewani
Minyak 20 0.5 2.2 200 5.0 20 -180 -4.5 -17.8
dan
Lemak
Buah/Biji 5 0.1 5.2 60 1.0 10 -55 -0.9 -4.8
Berminyak
Kacang- 161 10.0 48.4 100 10.0 35 61 0 13.4
kacangan
Gula 11 0.3 2.9 100 2.5 30 -89 -2.2 -27.1
Sayur dan 75 19.3 252.6 120 30.0 250 -45 -10.7 2.6
Buah
Lain-lain 16 0.0 7.4 60 0.0 0 -44 0 7.4
Total 1210 65.0 2000 100 -790 -35
1)
Untuk setiap komoditas disajikan pada Lampiran 10
Hardinsyah et.al. 2001 menyatakan bahwa untuk mengkoreksi
pertumbuhan konsumsi yang negatif ini perlu dirumuskan dan dilakukan upaya
peningkatan penyediaan berbagai komoditas pangan ini yang disertai dengan
peningkatan akses penduduk (secara ekonomi, fisik dan informasi) untuk
memperoleh dan mengkonsumsi beranekaragam pangan ini.
Namun, peningkatan penyediaan pangan dalam arti fisik saja belum
menjamin peningkatan konsumsi pangan, karena pangan yang tersedia belum
tentu dibeli karena rendahnya daya beli/pendapatan. Sementara peningkatan
penyediaan pangan dan pendapatan keluarga saja juga belum sepenuhnya
mendorong keluarga dapat mewujudkan pemenuhan konsumsi pangan, bila tidak
disertai dengan upaya peningkatan kesadaran dan perilaku gizi yang baik
terutama dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Oleh karena itu, upaya
perbaikan konsumsi pangan perlu dicermati secara komprehensif, baik dari
dimensi fisik penyediaan pangan maupun dari dimensi ekonomi dan kesadaran
gizi, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Komposisi dan Skor Mutu Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH


Komposisi konsumsi pangan memberikan berbagai informasi yaitu:
(1) kontribusi berbagai jenis pangan dalam suatu kelompok pangan; (2)
kontribusi kelompok pangan terhadap total energi yang dikonsumsi; serta
(3) kontribusi kelompok pangan terhadap anjuran energi yang sebaiknya
dikonsumsi. Informasi pertama dan kedua menunjukkan komposisi aktual
44

konsumsi pangan penduduk. Informasi pertama dapat dimanfaatkan sebagai


landasan untuk menghitung jumlah kebutuhan konsumsi dan ketersediaan
pangan penduduk pada tahun-tahun mendatang (dengan asumsi pola konsumsi
penduduk atau kontribusi jenis pangan setiap kelompok pangan tidak berubah).
Informasi ketiga mencerminkan posisi komposisi aktual terhadap komposisi ideal
yang sebaiknya dikonsumsi penduduk. Dengan memperhatikan rating setiap
kelompok pangan akan diperoleh skor PPH aktual.
Analisis terhadap data konsumsi pangan dan gizi Kota Banjar
menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi untuk setiap kelompok pangan
berbeda antara keluarga tidak miskin dan keluarga miskin. Tabel 16
menggambarkan rata-rata konsumsi energi setiap kelompok pangan keluarga
miskin dan tidak miskin. Sebagian besar konsumsi energi keluarga tidak miskin
diperoleh dari padi-padian yaitu 755 kkal/kap/hari, tidak berbeda jauh dengan
keluarga miskin sebesar 770 kkal/kap/hari. Jenis bahan pangan dari kelompok
padi-padian yang menyumbangkan energi terbesar yaitu beras (lihat lampiran 5)
masing-masing untuk rumah tangga tidak miskin dan miskin sebesar 731
kkal/kap/hari dan 688 kkal/kap/hari. Besarnya konsumsi berbagai jenis bahan
pangan dapat dilihat pada Lampiran 10.
Sumbangan energi kelompok umbi-umbian juga tidak berbeda jauh
antara rumah tangga tidak miskin (16 kkal/kap/hari) dan rumah tangga miskin (14
kkal/kap/hari). Jenis bahan pangan dari kelompok umbi-umbian yang
menyumbangkan energi terbesar yaitu ketela pohon. Selanjutnya untuk
kelompok pangan hewani pada rumah tangga tidak miskin lebih besar (201
kkal/kap/hari) daripada rumah tangga miskin (87 kkal/kap/hari). Jenis pangan
yang mendominasi untuk kelompok pangan hewani yaitu ikan.
Kelompok pangan minyak dan lemak pada rumah tangga tidak miskin,
miskin dan Kota Banjar masing-masing menyumbangkan sebesar 25
kkal/kap/hari, 14 kkal/kap/hari, dan 20 kkal/kap/hari dengan jenis pangan yang
mendominasi yaitu minyak sawit. Sumbangan energi kelompok pangan buah/biji
berminyak pada rumah tangga tidak miskin, miskin, dan Kota Banjar yaitu
masing-masing sebesar 7 kkal/kap/hari, 4 kkal/kap/hari, dan 5 kkal/kap/hari
dengan jenis pangan yang mendominasi yaitu kelapa.
Kelompok kacang-kacangan pada rumah tangga miskin menyumbangkan
energi lebih besar yaitu 184 kkal/kap/hari dibandingkan dengan rumah tangga
tidak miskin sebesar 139 kkal/kap/hari. Jenis bahan pangan yang dari kelompok
45

kacang-kacangan didominasi oleh kacang kedelai. Selanjutnya untuk kelompok


pangan gula pada rumah tangga tidak miskin tidak berbeda jauh dengan rumah
tangga miskin dan Kota Banjar yaitu masing-masingn 12 kkal/kap/hari, 10
kkal/kap/hari, dan 11 kkal/kap/hari.
Sumbangan energi kelompok pangan sayur dan buah pada rumah tangga
tidak miskin, miskin, dan Kota Banjar yaitu masing-masing sebesar 78
kkal/kap/hari, 72 kkal/kap/hari, dan 75 kkal/kap/hari. Selanjutnya untuk kelompok
lainnya pada rumah tangga tidak miskin, miskin, dan Kota Banjar masing-masing
menyumbangkan energi sebesar18 kkal/kap/hari, 15 kkal/kap/hari, dan 75
kkal/kap/hari.
Apabila diurutkan berdasarkan kelompok pangan penyumbang energi
terbesar, maka kelompok pangan padi-padian pada rumah tangga miskin, tidak
miskin maupun Kota Banjar penyumbang pertama terbesar yaitu lebih dari 60%
dari jumlah energi total Kota Banjar yang dikonsumsi (1210 kkal/kap/hari).
Kelompok penyumbang kedua yaitu pangan hewani (7.2% – 16.1%). Adapun
kelompok kacang-kacangan merupakan penyumbang energi ketiga (11.1% –
15.2%). Selanjutnya untuk sumbangan dari kelompok pangan lain (pangan sayur
dan buah, minyak dan lemak, lain-lain, gula, umbi-umbian, dan buah/biji
berminyak) terhadap jumlah konsumsi energi kurang dari 6.4%.
Tabel 25 Sumbangan energi masing-masing kelompok pangan berdasarkan
status ekonomi terhadap total konsumsi energi di Kota Banjar 20061)
Kelompok Pangan Tidak Miskin Miskin Kota Banjar
2006
Energi % Energi % Energi %
Padi-padian 755 62.4 770 63.6 763 63.1
Umbi-umbian 16 1.3 14 1.2 15 1.2
Pangan Hewani 201 16.6 87 7.2 144 11.9
Minyak dan Lemak 25 2.1 14 1.2 20 1.7
Buah/Biji Berminyak 7 0.6 4 0.3 5 0.4
Kacang-kacangan 139 11.5 184 15.2 161 13.3
Gula 12 1.0 10 0.8 11 0.9
Sayur dan Buah 78 6.4 72 5.9 75 6.2
Lain-lain 18 1.5 15 1.2 16 1.3
Total 1251 103.4 1170 96.7 1210 100.0
1)
jumlah energi untuk setiap komoditi dapat dilihat dalam lampiran 10

Menurut Ariyani 2005, daya beli masyarakat yang menurun karena


pendapatan yang rendah akan mengakibatkan pengurangan jenis pangan yang
harganya mahal dan mensubstitusi dengan jenis pangan dengan harga yang
relatif murah. Berdasarkan tabel 16 di atas konsumsi pangan hewani pada rumah
tangga miskin Kota Banjar lebih kecil bila dibandingkan dengan kacang-
46

kacangan dalam hal ini konsumsi kacang kedelai (tahu dan tempe). Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga miskin mensubstitusi pangan yang relatif
mahal (kelompok pangan hewani) dengan tahu dan tempe ( kelompok kacang-
kacangan). Sedangkan untuk rumah tangga tidak miskin yang memiliki
pendapatan cukup tidak melakukan substitusi dengan pangan yang murah, tetapi
mereka tetap mengkonsumsi pangan hewani.
Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan bahwa kelompok pangan padi-
padian wilayah Kota Banjar 2006 memberikan kontribusi energi terhadap AKE
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan standar ideal (AKE Regional Kota
Banjar), yaitu sebesar 39.2 % sedangkan standar ideal sebesar 50 % dari AKE
Regional Kota Banjar. Pemerintah Kota Banjar perlu membuat suatu kebijakan
bagi penduduk Kota Banjar agar lebih mudah untuk mengakses pangan,
khususnya kelompok padi-padian dalam hal ini pangan beras, misalnya bantuan
beras untuk rumah tangga miskin (Raskin).

Tabel 26 Kontribusi kelompok pangan pada AKE aktual Kota Banjar 2006
berdasarkan satus ekonomi terhadap AKE Regional Kota Banjar
Tidak Miskin Miskin Kota Banjar AKE Regional
Kelompok 2006 Kota Banjar
Pangan % % % %
Energi Energi Energi Energi
AKE AKE AKE AKE
Padi-padian 755 38.8 770 39.6 763 39.2 972 50.0
Umbi-umbian 301 0.8 14 0.7 15 0.8 117 6.0
Pangan 189 10.3 87 4.5 144 7.4 233 12.0
Hewani
Minyak dan 25 1.3 14 0.7 20 1.0 194 10.0
Lemak
Buah/Biji 5 0.4 4 0.2 5 0.3 58 3.0
Berminyak
Kacang- 139 7.2 184 9.5 161 8.3 97 5.0
kacangan
Gula 12 0.6 10 0.5 11 0.6 97 5.0
Sayur dan 78 4.0 72 3.7 75 3.9 117 6.0
Buah
Lain-lain 18 0.9 15 0.8 16 0.8 58 3.0
Total 1 252 64.4 1 170 60.2 1 210 62.2 1 944 100.0

Kontribusi kelompok umbi-umbian rumah tangga miskin (0.7%), tidak


miskin (0.8 %) dan agregat (0.8 %) masih dibawah standar ideal yaitu sebesar 6
%. Perlunya peningkatan produksi pangan umbi-umbian di koata Banjar,
misalnya ganyong dan gadung. Kontribusi pangan hewani Kota Banjar terhadap
AKE regional masih dibawah 12 % yaitu sebesar 7.4 %. Semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula pengeluaran rumah tangga untuk membeli
pangan hewani. Harga pangan hewani yang relatif mahal yang menjadi
47

pertimbangan rumah tangga miskin untuk mengurangi konsumsi pangan hewani.


Kelompok pangan minyak dan lemak Kota Banjar 2006 memberikan kontribusi
energi masih dibawah standar ideal 10% yaitu sebesar 1.0 %. Selanjutnya untuk
kelompok pangan buah/biji berminyak memberikan kontribusi terhadap AKE
Regional sebesar 0.3 %, masih di bawah 3.0%.
Kelompok pangan kacang-kacangan, baik pada rumah tangga miskin,
tidak miskin dan Kota Banjar memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
AKE Regional (diatas 5 %) yaitu masing-masing 9.6%, 7.1% dan 8.3%. Tingkat
pendapatan yang rendah mengakibatkan terjadinya pengalihan konsumsi
pangan hewani yang relatif mahal terhadap kelompok pangan kacang-kacangan,
khususnya pangan kacang kedelai (tahu dan tempe). Selanjutnya untuk
kontribusi energi Kota Banjar 2006 yang berasal dari kelompok pangan gula,
kelompok sayur dan buah serta lain-lain juga masih dibawah standar ideal
masing-masing 0.6%, 3.9%, dan 0.8%. Dimana standar ideal untuk gula 5%,
sayur dan buah 6%, dan kelompok lain-lain 3%.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, disebutkan
bahwa Survey konsumsi pangan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan tahun
2006 ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu sekitar 28% enumerator bukan
berlatar belakang gizi hanya mengikuti pelatihan saja. Kemungkinan hal ini salah
satu yang menyebabkan belum tergalinya seluruh informasi tentang siapa saja
yang makan di rumah dan yang makan diluar rumah. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap AKE Regional
dan jumlah energi yang dikonsumsi oleh penduduk Kota Banjar tahun 2006.

Proyeksi Skor dan Komposisi PPH


Skor PPH ideal yaitu 100 diharapkan dapat tercapai pada tahun 2020
sesuai dengan target yang ditetapkan secara nasional. Proyeksi skor PPH
secara total maupun pada setiap kelompok pangan perlu dilakukan setiap
tahunnya. Berdasarkan tabel 27 mengenai proyeksi skor PPH Kota Banjar,
apabila dilakukan peningkatan skor PPH rata-rata sebesar 2.5 poin setiap tahun,
maka PPH ideal Kota Banjar dapat tercapai. Skor PPH seluruh kelompok pangan
harus ditingkatkan kecuali kacang-kacangan tidak ditingkatkan karena konsumsi
kacang-kacangan telah melebihi skor PPH nasional.
48

Tabel 27 Proyeksi skor Pola Pangan Harapan Kota Banjar


Skor Pola Pangan Harapan
Kelompok Pangan
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
Padi-padian 19.6 20.0 20.4 20.8 21.2 23.1 25.0
Umbi-umbian 0.4 0.5 0.7 0.8 1.0 1.7 2.5
Pangan Hewani 14.8 15.5 16.1 16.8 17.4 20.7 24.0
Minyak dan Lemak 0.5 0.8 1.1 1.5 1.8 3.4 5.0
Buah/Biji Berminyak 0.1 0.2 0.3 0.3 0.4 0.7 1.0
Kacang-kacangan 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0
Gula 0.3 0.4 0.6 0.8 0.9 1.7 2.5
Sayur dan Buah 19.3 20.0 20.8 21.6 22.3 26.2 30.0
Lain-lain 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Skor PPH 65.0 67.5 70.0 72.5 75.0 87.5 100.0

Analisis terhadap pola konsumsi pangan di masing-masing daerah


sangat penting untuk dilakukan, sebagai acuan untuk melakukan proyeksi
kebutuhan pangan di masa yang akan datang. Berikut ini adalah gambaran
mengenai proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan (%) beberapa
kelompok pangan (Tabel 28).

Tabel 28 Proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan (%) Kota Banjar
Kontribusi Energi Menurut Kelompok Pangan (%)
Kelompok Pangan
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
Padi-padian 39.2 40.0 40.8 41.5 42.3 46.2 50.0
Umbi-umbian 0.8 1.1 1.5 1.9 2.3 4.1 6.0
Pangan Hewani 7.4 7.7 8.1 8.4 8.7 10.4 12.0
Minyak dan Lemak 1.0 1.6 2.3 2.9 3.6 6.8 10.0
Buah/Biji Berminyak 0.3 0.5 0.7 0.9 1.1 2.0 3.0
Kacang-kacangan 8.3 8.1 7.8 7.6 7.4 6.2 5.0
Gula 0.6 0.9 1.2 1.5 1.8 3.4 5.0
Sayur dan Buah 3.9 4.0 4.2 4.3 4.5 5.2 6.0
Lain-lain 0.8 1.0 1.1 1.3 1.5 2.2 3.0
Angka Kecukupan Energi
62.2 64.9 67.6 70.3 73.0 86.5 100.0
(kkal/Kap/Hari)

Proyeksi kontribusi energi dari setiap kelompok pangan bertujuan untuk


mengetahui kelompok pangan mana saja yang harus ditingkatkan atau
diturunkan serta besar kontribusinya dalam persen AKE. Berdasarkan tabel 19,
hampir semua kelompok pangan kontribusinya perlu ditingkatkan, sedangkan
kelompok pangan yang kontribusinya perlu diturunkan hingga ideal yaitu
kelompok pangan kacang-kacangan. Penurunan kontribusi konsumsi kacang-
kacangan setiap tahun agar mencapai ideal adalah sebesar 0.2%.
Kelompok pangan padi-padian yang merupakan kelompok pangan
penyumbang energi terbesar masih harus ditingkatkan tiap tahunnya sebesar
0.8%. Kelompok pangan umbi-umbian perlu ditingkat tiap tahunnya sebesar
49

0.4% agar mencapai standar ideal tahun 2020. Selanjutnya kelompok pangan
hewani harus ditingkatkan sebesar 0.3% setiap tahunnya. Peningkatan kontribusi
energi juga masih perlu dilakukan untuk kelompok pangan minyak dan lemak,
buah/biji berminyak, gula, sayur dan buah serta kelompok pangan lain-lain
masing masing sebesar 0.6 persen, 0.2 persen, 0.3 persen, 0.1 persen, dan 0.2
persen.

Situasi Status Gizi di Kota Banjar


Status gizi adalah output dari sistem ketahanan pangan, artinya baik
buruknya ketahanan pangan suatu wilayah akan dicerminkan oleh status gizinya.
Suatu wilayah dikatakan mempunyai masalah status gizi apabila persentase gizi
buruknya lebih dari 1 persen dan gizi kurang lebih dari 5 persen.
Situasi status gizi penduduk di Kota Banjar salah satunya dapat dilihat
dari persentase balita yang mengalami gizi kurang dan buruk. Berdasarkan data
sekunder dari Dinas Kesehatan tahun 2006, persentase balita yang mengalami
gizi buruk yaitu 1.01 persen sedangkan balita yang mengalami gizi kurang yaitu
5.36 persen (Tabel 29).

Tabel 29 Jumlah dan presentase balita gizi kurang dan buruk menurut
kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Kecamatan Jumlah balita tiap Jumlah
kecamatan Buruk % Kurang %
Banjar 5704 68 0.35 531 2.78
Pataruman 5705 44 0.23 219 1.16
Purwaharja 2204 9 0.05 56 0.29
Langensari 5465 72 0.38 216 1.13
Total 19078 193 1.01 1022 5.36
Sumber : Dinas Kesehatan

Tingginya penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab yang


mempengaruhi status gizi seseorang. Jumlah penduduk Kota Banjar yang
mengalami keluhan kesehatan pada tahun 2005 dan 2006 yaitu masing–masing
51461 jiwa (30.95%) dan 46639 jiwa (29.39%). Hal ini menunjukkan adanya
penurunan persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Adanya
kebijakan program pelayanan kesehatan gratis di Kota Banjar merupakan salah
satu yang mempengaruhi penurunan persentase penduduk yang sakit. Kebijakan
tersebut tentunya harus diimbangi dengan kesadaran penduduk untuk
berperilaku hidup sehat.
50

Tabel 30 Jumlah dan persentase penduduk di kota banjar yang mengalami


keluhan kesehatan, Tahun 2005 dan 2006
Tahun
Keluhan 2005 2006
Jumlah % Jumlah %
Ada Keluhan 51461 30.95 46639 29.39
Tidak ada keluhan 114836 69.05 123647 72.61
Jumlah 166297 100.00 170286 100.00
Sumber : BPS, Susenas 2004-2006, Suseda Kota Banjar 2006
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjar untuk menurunkan
persentase penduduk yang sakit dan meningkatkan kesehatan penduduk
diantaranya dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan
sarana dan fasilitas kesehatan serta kualitas pelayanannya. Sarana, fasilitas, dan
tenaga kesehatan yang memadai akan mendukung terlaksananya pelayanan
kesehatan yang baik. Berdasarkan tabel 21, terlihat bahwa jumlah dokter di
Kecamatan Langensari hanya 1 orang dokter masih kurang jika dibandingkan
dengan Kecamatan Pataruman yaitu 35 orang.

Tabel 31 Banyaknya tenaga dan sarana kesehatan di Kota Banjar tahun 2006
Tenaga Kesehatan Sarana Kesehatan
Kecamatan Dokter Perawat Bidan Puskesmas Puskesmas Posyandu
Pembantu
Banjar 7 12 13 2 1 47
Purwaharja 3 4 5 1 1 22
Pataruman 35 184 31 2 2 46
Langensari 1 14 9 2 - 42
Kota Banjar 46 214 58 7 4 157
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Banjar

Jumlah rumah tangga miskin di Kota Banjar sebanyak 10 908 rumah


tangga, dimana Kecamatan Banjar merupakan daerah yang mempunyai jumlah
rumah tangga miskin tertinggi yaitu 34.16%, sedangkan Kecamatan Purwaharja
memiliki jumlah rumah tangga miskin terendah yaitu 10.96%. Jumlah rumah
tangga miskin di suatu wilayah akan mempengaruhi kualitas gizi penduduk suatu
wilayah. Jumlah rumah tangga miskin yang masih banyak akan mempengaruhi
kualitas status gizi penduduk. Masalah kurang gizi akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan yaitu menyebabkan
kelemahan fisik, menurunkan fungsi kognitif, dan menurunkan ekonomi keluarga
(Bappenas 2006).
51

Tabel 32 Jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin berdasarkan


kecamatan Tahun 2005 di Kota Banjar
Kecamatan Rumah tangga miskin Penduduk miskin
Jumlah Persen Jumlah Persen
Banjar 3 726 34.16 12 708 35.20
Purwaharja 1 195 10.96 3 917 10.85
Pataruman 3 566 32.69 11 020 30.53
Langensari 2 421 22.19 8 455 23.42
Kota Banjar 10 908 100.00 36 100 100.00
Sumber : Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005, BPS 2005

Pendidikan yang rendah akan mengakibatkan pola asuh yang kurang,


sehingga akan mempengaruhi kualitas status gizi anak. Selain itu, pendidikan
yang rendah akan mempengaruhi pola konsumsi suatu keluarga. Apabila
dibandingkan dengan penduduk laki-laki (20.52%), maka persentase penduduk
perempuan yang tidak tamat SD/MI lebih banyak yaitu 25.61%. Persentase
penduduk perempuan yang menamatkan SLTP/MTS/Sederajat dan
SMU/MA/Sederajat lebih rendah yaitu 15.89 persen dan 7.56 persen bila
dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Dengan demikian, penduduk
perempuan mempunyai kesempatan yang lebih rendah untuk sekolah atau
mendapatkan pendidikan dibandingkan dengan laki-laki.
Minimalnya sumberdaya perempuan yang berpendidikan tinggi
memerlukan perhatian yang khusus dari Pemerintah Kota Banjar, karena ibu
memegang peranan yang sangat penting dalam keluarga, termasuk pola asuh
pada anak dan kualitas gizi keluarga. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka
kualitas gizi keluarga akan semakin bagus.

Tabel 33 Jumlah dan persentase penduduk 10 tahun ke atas di Kota Banjar


menurut jenis kelamin dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan
Pendidikan yang Laki-laki Perempuan Laki-laki dan
ditamatkan perempuan
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Tdk/Belum Tamat 14 313 20.52 18 207 25.61 32 520 23.09
SD/MI
SD/MI 28 587 40.98 30 562 42.98 59 149 41.99
SLTP/MTS/Sederajat 12 000 17.20 11 301 15.89 23 301 16.54
SMU/MA/Sederajat 7 363 10.55 5 378 7.56 12 741 9.04
SM Kejuruan 4 724 6.77 3 138 4.41 7 862 5.58
Diploma I-IV/S1/S2/S3 2 774 3.98 2 516 3.55 5 290 3.76
Jumlah 69 761 100.00 71 105 100.00 140 863 100.00
Sumber : Suseda Kota Banjar 2006

Sanitasi merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi status gizi
penduduk, sanitasi yang buruk akan berakibat mudahnya mengalami penyakit
52

infeksi yang akan menurunkan kualitas gizi seseorang. Umumnya rumah tangga
miskin identik dengan sanitasi yang buruk. Tabel 34 menunjukkan bahwa dari
seluruh rumah tangga miskin, hampir 76.12% masih menggunakan jenis air
minum yang kurang bersih. Apabila dibedakan menurut kecamatan, Kecamatan
Pataruman merupakan kecamatan yang tertinggi menggunakan jenis air yang
kurang bersih yaitu 86.43 persen. Penggunaan air minum yang kurang bersih
dapat menyebabkan seseorang terkena penyakit infeksi, seperti diare.

Tabel 34 Persentase rumahtangga miskin menurut jenis air minum di Kota


Banjar tahun 2005
Kecamatan Jenis Air Minum Jumlah
Bersih Kurang Bersih
Banjar 33.46 66.54 100.00
Purwaharja 35.01 64.99 100.00
Pataruman 13.57 86.43 100.00
Langensari 18.50 81.50 100.00
Kota Banjar 23.88 76.12 100.00
Sumber : PSE05 Kota Banjar

Tabel 35 menunjukkan bahwa dari seluruh rumah tangga miskin, yang


masih menggunakan kakus/jamban bersama yaitu sebanyak 77.21%.
Kecamatan Pataruman dan Langensari merupakan kecamatan yang persentase
penggunaan jamban/kakus tertinggi yaitu masing-masing 89 persen dan 87.65
persen. Hal ini menggambarkan sanitasi yang masih cukup rendah. Rendahnya
sanitasi akan mengakibatkan mudahnya penduduk mengalami penyakit infeksi.
Tabel 35 Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Jenis Jamban/Kakus di Kota
Banjar Tahun 2005
Kecamatan Jenis Jamban/Kakus Jumlah
Sendiri Bersama
Banjar 40.52 59.48 100.00
Purwaharja 23.18 76.82 100.00
Pataruman 11.00 89.00 100.00
Langensari 12.35 87.65 100.00
Kota Banjar 22.79 77.21 100.00
Sumber : PSE05
Target Konsumsi Pangan di Kota Banjar
Proyeksi konsumsi pangan penduduk Kota Banjar dapat dilihat pada
Tabel 36. Setiap tahunnya, jumlah pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi
semakin meningkat. Akan tetapi, khusus untuk kelompok pangan kacang-
kacangan, kebutuhannya semakin menurun untuk beberapa tahun ke depan. Hal
ini terjadi karena tahun 2006, kontribusi energi kelompok pangan kacang-
kacangan sudah melebihi kontribusi ideal yang dianjurkan (> 5%).
53

Tabel 36 Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/tahun) Penduduk Kota Banjar


Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/tahun)1)
Kelompok Pangan
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
Padi-Padian 77.2 78.7 80.2 81.6 83.1 90.3 97.6
Umbi-umbian 5.3 7.2 9.1 11.0 12.9 22.4 31.9
Pangan Hewani 49.0 49.1 49.1 49.2 49.2 49.4 49.7
Minyak dan Lemak 0.8 1.4 2.0 2.5 3.1 6.0 8.9
Buah/Biji berminyak 1.9 2.0 2.1 2.3 2.4 3.0 3.5
Kacang-kacangan 17.7 17.3 16.9 16.5 16.2 14.3 12.4
Gula 1.1 1.8 2.4 3.1 3.8 7.2 10.6
Sayur dan Buah 92.2 91.4 90.7 89.9 89.2 85.4 81.6
Lain-lain 2.7 2.9 3.1 3.3 3.4 4.4 5.3
1)
Untuk setiap komoditas dapat dilihat dalam Lampiran 12
Proyeksi kebutuhan penyediaan pangan merupakan implikasi dari
kebutuhan konsumsi pangan. Jumlah pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi
oleh penduduk berbeda dengan jumlah pangan yang harus disediakan oleh
suatu wilayah. Jumlah pangan yang disediakan harus lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah yang akan dikonsumsi, dengan asumsi adanya pangan yang
tercecer atau digunakan untuk hal-hal lain selain untuk dikonsumsi.

Target Penyediaan Pangan di Kota Banjar


Proyeksi kebutuhan penyediaan pangan ini merupakan jumlah pangan
yang harus tersedia untuk mecukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk
Kota Banjar beberapa tahun ke depan menuju harapan (Lampiran 13). Angka
konversi 110% dari proyeksi kebutuhan konsumsi pangan merupakan angka
save level yang memperhatikan kerusakan atau kehilangan dalam distribusi
pangan (Martianto 2006). Proyeksi penyediaan pangan wilayah Kota Banjar
(ton/tahun) yang dapat dilihat pada Tabel 27 menunjukkan bahwa proyeksi
penyediaan pangan setiap tahunnya meningkat. Salah satu penyebabnya adalah
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Kota Banjar setiap tahun.

Tabel 37 Proyeksi penyediaan kebutuhan pangan wilayah Kota Banjar


Proyeksi penyediaan kebutuhan pangan (ton/tahun)
Kelompok pangan
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
Padi-Padian 14 353 15 175 16 039 16 947 17 900 23 430 30 471
Umbi-umbian 993 1 397 1 830 2 293 2 789 5 821 9 972
Pangan Hewani 9 108 9 461 9 828 10 209 10 605 12 826 15 512
Minyak dan Lemak 150 266 392 526 670 1 554 2 770
Buah/Biji Berminyak 355 391 429 469 512 769 1 108
Kacang-kacangan 3 283 3 335 3 386 3 436 3 485 3 708 3 878
Gula 199 339 488 649 821 1 875 3 324
Sayur dan Buah 17 129 17 631 18 145 18 674 19 217 22 152 25 485
Lain-lain 500 555 614 676 742 1 137 1 662
54

Kegiatan ekonomi Kota Banjar hampir 60 persen adalah sektor pertanian.


Bahkan sektor pertanian juga merupakan salah satu lapangan pekerjaan utama
penduduk Kota Banjar yang cukup diminati yaitu 21.89 persen (Suseda 2006).
Hal ini dikarenakan masih banyaknya lahan pertanian yang mendominasi
kawasan lahan di Kota Banjar. Lahan pertanian yang masih banyak idealnya
akan menyediakan produksi pertanian yang cukup tinggi pula sehingga
kebutuhan pangan penduduk dapat terpenuhi. Menurut Martianto et. al. 2006,
meskipun jumlah pangan yang tersedia dalam suatu wilayah tercukupi, namun
tidak menjamin bahwa setiap individu atau rumah tangga akan tahan pangan.
Hal ini terkait dengan kemampuan masing-masing individu atau rumah tangga
untuk mengakses bahan pangan tersebut. Kemampuan daya beli merupakan
salah satu faktor yang dapatmendukung seseorang untuk mendapatkan bahan
pangan dengan mudah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan
kemampuan daya beli setiap penduduk yaitu salah satunya peningkatan
pendapatan penduduk.

Causal Model Masalah Pangan dan Gizi Kota Banjar

Penyebab utama masalah kurangnya konsumsi pangan dan kurang gizi


penduduk Kota Banjar adalah pendapatan yang rendah, pendidikan dan
pengetahuan tentang gizi yang rendah, dan kemiskinan.

Masalah pokok pangan dan gizi


1. Penyebab langsung kurang gizi, Berdasarkan hasil pendataan Dinas
Kesehatan Kota Banjar tahun 2006, dari jumlah balita/balita di Kota Banjar
yaitu 19078 jiwa, yang mengalami gizi buruk sebanyak 193 jiwa (1.01%) dan
yang mengalami gizi kurang sebanyak 1022 jiwa (5.36%) yaitu:
a. Asupan energi di Kota Banjar masih dibawah 70% Angka Kecukupan Gizi
(AKG) Regional Kota Banjar, yaitu konsumsi energi sebesar 1210
kkal/kap/hari (62.2%)
b. Skor PPH Kota Banjar 2006 belum mencapai standar ideal yaitu 65.
c. Prevalensi penduduk Kota Banjar yang mengalami keluhan kesehatan
pada tahun 2006 sebesar 29.39%
d. Tahun 2006 ini jumlah tenaga kesehatan dokter sebanyak 46 orang,
perawat 214 orang dan tenaga bidan sebanyak 58 orang tersebar di
seluruh kecamatan. Sedangkan jumlah puskesmas mencapai 7 unit,
puskesmas pembantu 4 unit, dan posyandu sebanyak 157 unit.
55

2. Penyebab tidak langsung terhadap masalah kurang gizi di Kota Banjar antara
lain karena:
a. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga yang tidak mencukupi. Faktor
penyebab tidak langsung kurangnya ketersediaan pangan tingkat rumah
tangga yaitu akses pangan yang masih kurang karena Pendapatan dan
daya beli penduduk yang masih rendah, khususnya bagi rumah tangga
miskin yang berjumlah 10 908 KK (24.56%)
b. Pola asuh anak kurang baik, yang disebabkan oleh jumlah dan
persentase penduduk 10 tahun ke atas masih banyak yaitu penduduk
yang berpendidikan tidak tamat SD sebanyak 32520 jiwa (23.09 %) dan
tamat SD 59149 jiwa (41.99%)
c. Kurangnya hygiene dan sanitasi di tingkat rumah tangga
• Di Kota Banjar, terdapat sebanyak 77.21 persen rumah tangga miskin
yang memiliki fasilitas tempat buang air besar bersama/umum,
sedangkan sisanya sebanyak 22.79 persen memiliki fasilitas tempat
buang air besar sendiri.
• Rumah tangga miskin di Kota Banjar dengan sumber air minum
kurang bersih sebanyak 76.12 persen, sedangkan sisanya sebanyak
23.88 persen memiliki sumber air minum bersih.

Causal Model
Status gizi masyarakat Kota Banjar yang bisa dilihat dari prevalensi balita
yang gizi kurang dan buruk dipengaruhi oleh dua faktor penyebab langsung yaitu
konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Rendahnya konsumsi pangan Kota
Banjar yang tercermin dari skor PPH sebesar 65 (masih jauh di bawah standar
minimal nasional yaitu 80). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya
tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah yaitu prevalensi penduduk di atas
10 tahun yang tidak/belum tamat SD masih tinggi sebesar 23.09%, ketersediaan
pangan, keamanan pangan, daya beli dan pola asuh yang juga masih rendah.
Faktor-faktor tersebut secara umum masih berada di bawah standar ideal.
Tingkat ketersediaan pangan yang masih rendah dipengaruhi oleh produksi
pertanian, cadangan pangan wilayah dan rumah tangga serta ekspor-impor yang
tidak sesuai dengan kebutuhan wilayah. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh
besarnya produksi pertanian, cadangan pangan wilayah dan rumah tangga, dan
laju ekspor impor beras. Ketersediaan pangan Kota Banjar hanya dapat dilihat
56

dari produksi pangan yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan keterbatasan data
ketersedian pangan yang tersedia di Kota Banjar, khususnya data ekspor impor.
Penyakit infeksi dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan dan pelayanan
kesehatan. Secara umum pelayanan kesehatan di Kota Banjar sudah baik,
terlihat dari pelayanan kesehatan gratis di semua puskesmas di Kota Banjar.
Akan tetapi prevalensi rumah tangga miskin yang masih cukup tinggi
menyebabkan sanitasi lingkungan yang masih relatif rendah. Sanitasi lingkungan
penduduk yang rendah mengakibatkan prevalensi penduduk yang mengalami
keluhan kesehatan (penyakit infeksi) masih tinggi yaitu sebesar 29.39%. Secara
umum, situasi pangan dan gizi wilayah Kota Banjar sangat terkait dengan
keberadaan kelembagaan pangan dan gizi di wilayah Kota Banjar, sebagai
pembuat kebijakan yang sangat menentukan program pangan dan gizi menuju
ketahanan pangan daerah berbasis sumberdaya lokal. Situasi pangan dan gizi
Kota Banjar berdasarkan Causal Model masalah pangan dan gizi dapat di lihat
pada bagan Causal model dalam Lampiran 14.
Kondisi Umum Aspek Kebijakan dan Program
Pemantapan ketahanan pangan yang ingin diwujudkan oleh
pemerintahan Kota Banjar berdasarkan Renstra Dinas Pertanian, Ketahanan
Pangan, Kehutanan, dan Perkebunan Kota Banjar (program kerja bidang
ketahanan pangan dan penyuluhan) yaitu mewujudkan ketahanan pangan
pangan rumah tangga, yang tentunya secara kumulatif akan menopang
ketahanan pangan Kota Banjar. Sehubungan dengan itu, strategi yang
dikembangkan dalam upaya pemantapan ketahanan pangan adalah:
1) Pengembangan kapasitas produksi pangan melalui rehabilitas kemampuan
dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, air dan perairan)
2) Peningkatan keberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan
sistem ketahanan pangan, melalui berbagai bentuk kerja sama dan kemitraan
usaha 3) Pengembangan dan peningkatan intensitas jaringan kerja sama lintas
pelaku, lintas wilayah, dan lintas waktu dalam suatu sistem koordinasi guna
mensinergiskan kebijakan, program, dan kegiatan pemantapan ketahanan
pangan 4) Penintgkatan efektivitas dan kualitas kinerja pemerintahan dalam
memfasilitasi masyarakat berpartisi pasi dalam pemantapan ketahanan pangan
5) Pengembangan agribisnis pangan yang berdaya saing, berkerakyatan,
berkelanjutan dan terdesentralisasi.
57

Tujuan program ketahanan pangan di Kota Banjar adalah untuk


meningkatkan keanejaragaman produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan
bersumber pada pangan asal ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, kehutanan beserta produk-produk olahannya. Selain itu, tujuan
program ketahanan pangan untuk mengembangkan kelembagaan pangan yang
menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam,
mengembangkan usaha bisnis pangan, menjamin ketersediaan gizi pangan bagi
masyarakat, dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya.
Sasaran dari kebijakan dan program ini adalah 1) Meningkatkan produksi
pangan yang berbasis pada sumberdaya lokal, guna mempertahankan standar
kecukupan ketersediaan energi perkapita minimal 2 550 kkal/hari, dan
ketersediaan protein perkapita minimal 55 gram/hari dengan proporsi protein
hewani 25% 2) Meningkatnya kemampuan pengelolaan cadangan pangan
masyarakat 3) Meningkatnya jangkauan jaringan distribusi dan pemasaran
pangan yang berkeadilan keseluruh bagi produsen dan konsumen
4) Meningkatnya kemampuan pemanfaatan dan konsumsi pangan perkapita
untuk memenuhi kecukupan energi 2 200 kkal/hari dan protein 50 ggram/hari
dengan proporsi protein hewani 25% 5) Meningkatnya kemampuan pemerintah
dan masyarakat dalam mengenali dan mengantisipasi secara dini masalah
kerawanan pangan dan keamanan pangan.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi a) Pembinaan
Ketahanan pangan masyarakat Kota Banjar b) Peningkatan kelembagaan tani
meleluia pemberian Bantuan Modal Usaha Ekonomi Produktif (LUEP)
c) Peningkatan ketahanan pangan melalui pangadaan sarana dan prasarana
pertanian d) Pendampingan kegiatan SPFS e) Kegiatan Penigkatan Pendapatan
Petani Kecil (P4K) f) Diversifikasi Pangan g) Pengembangan lahan pekarangan
h) Pengembangan SPFS i) Kegiatan Pra Mandiri Pangan j) Pemantapan Dewan
Ketahanan Pangan k) Peringatan Hari Pangan Sedunia (Promosi Pangan lokal).
Kondisi Umum dan Permasalahan Aspek Penelitian, Teknologi,
Kelembagaan dan keterlibatan Swasta Kota Banjar yaitu sebagai berikut:
1. Belum adanya alat ukur keberhasilan konsumsi pangan Kota Banjar. PPH
yang biasanya digunakan sebagai alat ukur belum dijadikan sebagai
acuan dalam perencanaan konsumsi pangan dan gizi
2. Kelembagaan yang secara khusus menangani bidang ketahanan pangan
belum ada. Dewan Ketahanan pangan Kota Banjar belum dibentuk,
58

bidang ketahanan pangan Kota Banjar sementara ini masih berada di


bawah Dinas Pertanian Kota Banjar.
3. Belum optimalnya kemitraan pemerintah kota dengan swasta/industri dan
Lembaga Swadaya Masyarakat serta belum maksimalnya peran berbagai
stakeholder di luar pemerintahan.

Rekomendasi Kebijakan Pangan dan Gizi Kota Banjar


Berdasarkan kondisi dan permasalahan ketahanan pangan dan gizi di
Kota Banjar, maka studi ini merekomendasikan beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
1. Peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat
Kebijakan yang mendorong terjadinya peningkatan status gizi masyarakat
dan perilaku hidup sehat yaitu melalui peningkatan pengetahuan gizi dan
kesehatan pada masyarakat. Selain itu, dibuat kebijakan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan baik sarana ataupun tenaga kesehatan bagi seluruh
masyarakat Kota Banjar.
Berikut ini program-program yang mendorong peningkatan status gizi dan
kesehatan masyarakat, yaitu melalui:
a. Pengembangan Isyarat dini dan penangggulangan keadaan rawan
pangan dan gizi (SKPG)
b. Revitalisasi posyandu dan puskesmas
c. Menyediakan fasillitas pelayanan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau khususnya bagi rumah tangga miskin
d. Penambahan tenaga kerja kesehatan yang terlatih hingga tingkat
pedesaan
e. Peningkatan pendidikan dan pengetahuan tentang perilaku hidup sehat,
sanitasi, dan penyakit
2. Peningkatkan Kuantitas dan Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk serta
Melaksanakan Diversifikasi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal
Perlunya kebijakan dalam rangka meningkatkan jumlah konsumsi pangan
berbasis sumberdaya lokal yaitu untuk kelompok jenis umbi-umbian (ubi jalar,
ubi kayu, dan ganyong), kelompok protein hewani (daging sapi, domba,
kambing, ayam, dan telur), sayuran dan buah-buahan (bayam, labu siam,
alpukat, jeruk, jambu biji, jambu air, dan pepaya) agar tercapai Angka
Kecukupan Energi yang sesuai ideal 2 000 kkal/kap/hari. Selain jumlah yang
cukup, kualitas pangan yang dikonsumsi penduduk perlu diperhatikan.
59

Semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi, maka semakin baik


kualitas gizi seseorang. Pelaksanaan program diversifikasi pangan perlu
dilakukan mengingat masih rendahnya skor PPH Kota Banjar (masih
rendahnya keragaman konsumsi pangan). Upaya yang dapat dilakukan
antara lain melalui:
a. Peningkatan sosialisasi keanekaragaman pangan (diversifikasi pangan)
yang berkualitas misalnya kampanye Aku Cinta Makanan Indonesia yang
beragam, bergizi dan berimbang (3B).
b. Pengembangan teknologi pengolahan dan penyajian pangan lokal,
khususnya untuk umbi-umbian dan pisang yang produksinya cukup
banyak di Kota Banjar. Peningkatan nilai tambah dan status sosial-
ekonomi komoditas ini perlu dilakukan untuk meningkatkan demand dari
konsumen. Misalnya pengolahan pisang menjadi tepung pisang yang
selanjutnya dibuat jenis olahan pangan baru. Hasil olahan pangan baru ini
diharapkan mampu menjadi pangan lokal Kota Banjar
3. Peningkatan Kemudahan dan Kemampuan Akses Pangan Rumah Tangga
Terhadap Pangan
Setiap rumah tangga memiliki kemampuan yang berbeda dalam
memenuhi kebutuhan akan pangan. Rumah tangga miskin dengan
pendapatan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan pangan dibandingkan rumah tangga yang tidak miskin. Oleh
karena itu, pemerintah pemerintah Kota Banjar perlu membuat suatu
kebijakan yang dapat menjamin setiap rumah tangga dapat mengakses
pangan yang tersedia. Berikut ini beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh
pemerintahan Kota Banjar, yaitu: (a) Kestabilan harga pangan pokok agar
bisa terjangkau oleh setiap rumah tangga; (b) Peningkatan efisiensi dan
efektivitas program Rakyat miskin (Raskin) sehingga tepat sasaran.
Mengingat beras adalah pangan pokok yang paling banyak di konsumsi oleh
penduduk Kota Banjar, maka prioritas utama pemerintah adalah menjamin
agar setiap rumah tangga dan individu mampu mengakses beras dalam
jumlah yang mencukupi.
4. Peningkatan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan gizi dan pola asuh
keluarga, khususnya pendidikan untuk perempuan melalui program:
a. Pendidikan gizi berupa penyuluhan dan kampanye di sekolah, kelompok
pengajian, PKK, karang taruna, dan sebagainya
60

b. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga


c. Peningkatan keluarga sadar gizi
5. Pemantapan ketersediaan pangan melalui produksi
Peningkatan produksi beberapa jenis pangan lokal terutama kelompok
pangan hewani (itik, kambing, domba, dan ayam), kelompok umbi-umbian
(ubi kayu dan ubi jalar), dan kelompok sayuran (kacang panjang, labu siam,
dan bayam) dan buah-buahan (alpukat, jeruk, jambu, dan pepaya). Program
yang dapat dilakukan yaitu melalui:
a. Pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul dan alsintan
b. Pengembangan permodalan yang kondusif bagi petani
c. Peningkatan Efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan
d. Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani dan kemitraan
6. Pemantapan dan Pengembangan Kelembagaan Pangan dan Gizi
Kelembagaan pangan dan gizi sangat berperan dalam mengkoordinir seluruh
sektor yang terkait dalam pembangunan pangan dan gizi. Oleh karena itu,
perlunya suatu kebijakan pemantapan atau penguatan kelembagaan
ketahanan pangan (menjadikannya suatu badan) agar program yang
mengarah pada pembangunan ketahanan pangan dapat berjalan optimal
dan tepat sasaran. Berikut ini kegiatan yang dikoordinir oleh kelembagaan
pangan dan gizi, yaitu:
a. Pengumpulan, pengolahan, analisis data pangan dan gizi (Data konsumsi
dan ketersediaan)
b. Advokasi hasil analisis data pangan dan gizi kepada pejabat berwenang
c. Penyusunan kebijakan pembangunan ketahanan pangan
d. Peningkatan kerjasama institusi pendidikan, lembaga penelitian di bidang
pangan dan gizi

Tabel 38 menunjukan masalah pangan dan gizi, kebijakan/program Kota


Banjar yang sudah dibuat, serta rekomendasi kebijakan/program, indikator dan
stakeholder.
61

Tabel 41 Masalah pangan dan gizi, kebijakan Kota Banjar yang sudah dibuat, serta rekomendasi kebijakan/program, indikator dan
Sakeholder
No Masalah Kebijakan /program yang sudah ada Rekomendasi
Pangan dan Gizi Rekomendasi Kebijakan/program Indikator Stakeholder
1. Masih banyaknya jumlah bayi/balita Peningkatan upaya pemeliharaan, Peningkatan status gizi masyarakat, dengan 1. Menurunnya persentase Dinas
yang mengalami gizi kurang dan perlindungan, keselamatan, melaksanakan program: keluarga yang rawan pangan Kesehatan
buruk, yaitu yang mengalami gizi peningkatan kesehatan dalam rangka 1. Pengembangan Isyarat dini dan da gizi dan Dinas
buruk sebanyak 193 jiwa (1.01%) peningkatan status kesehatan dan penangggulangan keadaan rawan pangan 2. Meingkatnya posyandu yang Pertanian
dan yang mengalami gizi kurang status gizi terutama miskin dan dan gizi (SKPG) aktif
sebanyak 1022 jiwa (5.36%) kelompok rentan; 2. Revitalisasi posyandu
2. Prevalensi penduduk Kota Banjar Peningkatan upaya pencegahan dan Peningkatan status gizi dan kesehatan 1. Menurunnya prevalensi Dinas
yang mengalami keluhan penyembuhan penyakit menular dan masyarakat, dengan melaksanakan program: penduduk yang mengalami pertanian
kesehatan pada tahun 2006 tidak menular terutama untuk 1. Menyediakan pelayanan kesehatan keluhan kesehatan dan Dinas
sebesar 29.39% percepatan penurunan kematian ibu dan yang bermutu dan terjangkau khususnya 2. Meningkatnya tenaga kerja kesehatan
bayi; bagi keluarga miskin yang terlatih di tiap desa
2. Penambahan tenaga kerja kesehatan
yang terlatih hingga tingkat pedesaan
3.. Tahun 2006 ini jumlah tenaga Peningkatan upaya pemenuhan Peningkatan status gizi dan kesehatan 1. Menurunnya prevalensi Dinas
kesehatan dokter sebanyak 46 kecukupan dan profesionalisme serta masyarakat, dengan melaksanakan program: penduduk yang mengalami Kesehatan
orang, perawat 214 orang dan daya saing petugas kesehatan melalui 1. Menyediakan pelayanan kesehatan keluhan kesehatan
tenaga bidan sebanyak 58 orang peningkatan mutu dan profesionalisme yang bermutu dan terjangkau khususnya 2. Meningkatnya tenaga kerja
tersebar di seluruh kecamatan. sumber daya manusia dan pelatihan bagi keluarga miskin yang terlatih di tiap desa
Sedangkan jumlah puskesmas (teknis, manajemen dan komunikasi) 2. Penambahan tenaga kerja kesehatan
mencapai 7 unit, puskesmas petugas kesehatan; yang terlatih hingga tingkat pedesaan
pembantu 4 unit, dan posyandu
sebanyak 157 unit.
4. Kurangnya sanitasi di tingkat rumah Peningkatan lingkungan sehat Peningkatan status gizi dan kesehatan Meningkatnya perilaku hidup Dinas
tangga, khususnya keluarga miskin kecamatan, desa dan permukiman masyarakat, melalui program : Peningkatan sehat di masyarakat, khususnya Kesehatan
kumuh padat dan miskin, serta pendidikan dan pengetahuan tentang perilaku keluarga miskin
perlindungan kesehatan keluarga miskin hidup sehat, sanitasi, dan penyakit
termasuk ketersediaan air bersih dan
jamban keluarga.

61
62

No Masalah Kebijakan /program yang sudah ada Rekomendasi


Pangan dan Gizi Rekomendasi Kebijakan/Program Indikator Stakeholder
5 Konsumsi pangan yang masih 1. Meningkatnya kemampuan Peningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi 1. Tingginya pemahaman Dinas
rendah, baik jumlah maupun pengelolaan cadangan pangan pangan penduduk serta melaksanakan masyarakat akan pentingnya Pertanian
jenisnya. masyarakat Diversifikasi Pangan berbasis sumberdaya konsumsi pangan yang dan Dinas
1. Asupan energi di Kota Banjar 2. Meningkatnya kemampuan lokal, dengan melaksanakan program: beragam, bergizi, dan Kesehatan
masih dibawah 70% Angka pemanfaatan dan konsumsi pangan a. Peningkatan sosialisasi keragaman seimbang (3B)
Kecukupan Gizi (AKG) perkapita untuk memenuhi kecukupan pangan(diversifikasi pangan) yang 2. Tetap terjaganya keragaman
Regional Kota Banjar, yaitu energi 2 200 kkal/hari dan protein 50 berkualitas misalnya kampanye Aku Cinta konsumsi pangan yang
konsumsi energi sebesar 1210 ggram/hari dengan proporsi protein Makanan Indonesia yang beragam, bergizi seimbang
kkal/kap/hari (62.2%) hewani 25% dan berimbang (3B)
2. Keragaman pangan masih b. Pengembangan teknologi pengolahan dan
kurang tercermin dari skor PPH Kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu: penyajian pangan lokal
Kota Banjar 2006 masih
rendah yaitu 65 Diversifikasi Pangan dan Peringatan
3. Konsumsi protein hewani, Hari Pangan Sedunia (Promosi Pangan
sayur dan buah rendah lokal)
6. Masih kurangnya kesadaran 1) Peningkatan perluasan dan Peningkatan pendidikan untuk meningkatkan 1. Menurunnya persentase Dinas
masyarakat terhadap masalah gizi pemerataan pendidikan dasar yang pengetahuan masyarakat, khususnya masyarakat yang tidak tamat Pendidikan,
dan pola asuh anak kurang baik, berkualitas; pendidikan untuk perempuan melalui program: sekolah Dinas
yang disebabkan oleh: masih 2) Peningkatan perluasan dan 1. Pendidikan gizi berupa penyuluhan dan 2. Meningkatnya jumlah Kesehatan,
banyak penduduk yang pemerataan pendidikan menengah kampanye di sekolah, kelompok kelompok di masyarakat PKK
berpendidikan tidak tamat SD yaitu yangberkualitas; pengajian, PKK, karang taruna, dan yang mendiskusikan masalah
32520 (23.09 %) dan tamat SD 3) Peningkatan kerjasama dengan sebagainya pangan dan gizi
59149 (41.99%). perguruan tinggi, swasta dan dunia 2. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk 3. Meningkatnya jumlah
industri; peningkatan gizi keluarga keluarga yang memanfaatkan
4) Peningkatan kualitas maupun kuantitas 3. Peningkatan keluarga sadar gizi pekarangan untu memenuhu
lembaga pendidikan anak usia dini. kebutuhan pangan keluarga
4. Meningkatnya presentase
keluarga sadar gizi
7. Akses pangan masih kurang di Peningkatkan ketersediaan, distribusi Peningkatan kemudahan dan kemampuan Distribusi pangan bersubsidi Bulog, Dinas
tingkat rumah tangga karena dan konsumsi pangan dalam akses pangan rumah tangga terhadap yang efisien dan tepat sasaran Pertanian,
pendapatan dan daya beli mewujudkan ketahanan pangan rumah pangan, yaitu melalui: LSM
penduduk yang masih rendah, tangga. Untuk mencapai keadaan 1. Kestabilan harga pangan pokok agar bisa
khususnya bagi rumah tangga tersebut secara operasional dilakukan terjangkau oleh setiap rumah tangga
miskin yang berjumlah 10 908 KK melalui program Peningkatan 2. Peningkatan efisiensi dan efektivitas
(24.56%) Ketahanan Pangan. program Beras miskin (Raskin)

62
63

No Masalah Kebijakan /program yang sudah ada Rekomendasi


Pangan dan Gizi Rekomendasi Kebijakan/Program Indikator Stakeholder
8. Ketersediaan kelompok pangan Pengembangan kapasitas produksi Menjamin Ketersediaan Pangan Kota Banjar Meningkatnya produksi Dinas
umbi-umbian, pangan hewani, pangan melalui rehabilitas kemampuan melalui program: kelompok pangan umbi-umbian, Pertanian,
sayur dan buah-buahan di wilayah dan optimalisasi pemanfaatan 1. Pengembangan dan penyediaan benih, pangan hewani, sayur dan LSM
Kota Banjar masih kurang yang sumberdaya alam (lahan, air dan bibit unggul dan alsintan buah-buahan di Kota Banjar
dapat dilihat dari rendahnya jumlah perairan) 2. Pengembangan permodalan yang kondusif
produksi. bagi petani
3. Peningkatan Efisiensi penanganan pasca
panen dan pengolahan
4. Penguatan penyuluhan, kelembagaan
petani dan kemitraan
9. Lembaga/unit kerja struktural Pengembangan dan peningkatan Pemantapan dan pengembangan Terbentuknya Dewan DRRD, Dinas
Ketahanan Pangan Kota Banjar intensitas jaringan kerja sama lintas kelembagaan pangan dan gizi melalui Ketahanan Pangan Kota Banjar Pertanian,
belum ada (masih berada di bawah pelaku, lintas wilayah, dan lintas waktu program : dan tersedia data pangan dan Sekretaris
Dinas Pertanian Kota Banjar) dan dalam suatu sistem koordinasi guna 1. Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan gizi terutama data konsumsi, Daerah,
keterbatasan data-data mengenai mensinergiskan kebijakan, program, Kota Banjar ketersediaan, dan harga) Asisten
pangan dan gizi. dan kegiatan pemantapan ketahanan 2. Pengumpulan, pengolahan, analisis data Daerah, dan
pangan pangan dan gizi (data konsumsi dan Badan
ketersediaa Kepegawaian
3. Advokasi hasil analisis data pangan dan
gizi kepada pejabat berwenang

63
64

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Tingkat konsumsi energi penduduk Kota Banjar yaitu sebesar 1 210
kkal/kapita/hari atau 62.2% dari AKE kota Banjar 1985 kkal/kapita/hari. Apabila
dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu rumah tangga miskin dan tidak
miskin, maka dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi pangan penduduk rumah
tangga tidak miskin Kota Banjar masih kurang jika dibandingkan dengan AKE
Kota Banjar yang dianjurkan yaitu sebesar 1 251 kkal/kapita/hari atau 64.4% dari
AKE Kota Banjar. Tingkat konsumsi energi untuk penduduk rumah tangga miskin
juga masih di bawah AKE yang dianjurkan yaitu sebesar 1 170 kkal/kapita/hari
atau 60.2% dari AKE Kota Banjar.
Kota Banjar mempunyai skor PPH sebesar 65.0, dengan kata lain skor
PPH kota Banjar masih jauh di bawah kondisi ideal (100). Salah satu sasaran
ketahanan pangan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 yang
akan dicapai yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor PPH minimal 80
(DKP 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor PPH kota Banjar
masih belum sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-
2009. Apabila PPH kota Banjar ingin mencapai kondisi ideal (100) pada tahun
2020, maka bila dilakukan proyeksi perlu dilakukan peningkatan skor PPH rata-
rata sebesar 2.5 poin setiap tahunnya.
Masalah kemiskinan, pendapatan rendah, pendidikan rendah merupakan
beberapa penyebab ketidaktahanan pangan rumah tangga. Sulitnya memperoleh
akses bagi keluarga miskin menyebabkan rumah tangga miskin mengalami
rawan pangan. Selain itu kurangnya kerjasama antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat menyebabkan belum terwujudnya ketahanan pangan di Kota Banjar.
Perumusan kebijakan pangan dan gizi yang tepat serta pembentukan
suatu badan khusus ketahanan pangan akan membantu peningkatan ketahanan
pangan di kota Banjar. Kebijakan ketahanan pangan yang dirumuskan mencakup
seluruh aspek ketahanan pangan, yaitu kebijakan dalam aspek ketersediaan,
aspek konsumsi pangan, aspek distribusi dan aspek status gizi.
65

SARAN
Upaya pengentasan kemiskinan di Kota Banjar harus terus dilakukan
sebagai salah satu cara dalam upaya perbaikan konsumsi pangan penduduk.
Selain itu peningkatan pendapatan juga perlu terus dilakukan khususnya pada
penduduk miskin agar dapat meningkatkan akses konsumsi pangan yang bergizi
dan berimbang.
Pembentukan suatu badan ketahanan pangan di Kota Banjar perlu
dilakukan untuk mengkoordinir seluruh sektor yang terkait dalam pembangunan
ketahanan pangan. Pelengkapan data yang mendukung kebijakan pangan harus
dilakukan agar program kebijakan pangan dan gizi dapat berjalan lancar dan
tepat sasaran. Perlunya penelitian mengenai pola ketersediaan dari berbagai
segi (produksi, ekspor, impor dan stok) di kota Banjar untuk mengetahui pangan
yang tersedia secara aktual dalam menentuka pembangunan ketahanan pangan
Kota Banjar
66

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, N., A.B. Tawali. 2004. Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis


Potensi Lokal : Kasus Di Sulawesi Selatan dalam Prosiding Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: BPS, Depkes, Badan POM,
Bappenas, Deptan, RISTEK, Persagi, Pergizi-Pangan, PDGMI

Ariani M. 2005. Penguatan Ketahanan Pangan Daerah Untuk Mendukung


Ketahanan Pangan Nasional dalam Penguatan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional.
Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2002. Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta:
Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Rencana Aksi


Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Kota Banjar dalam angka tahun 2005.
Banjar: BPS.

,Badan Perencanaan Daerah. 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kota


Banjar Tahun 2005. Banjar: BPS. Bapeda

, Badan Perencanaan Daerah. 2005. Penduduk Miskin dan Indeks


Kemahalan Konstruksi di Kota Banjar Tahun 2005. Banjar: BPS. Bapeda

[Dintan] Dinas Pertanian, ketahanan pangan, perkebunan, dan kehutanan. 2005.


Laporan tahunan dinas pertanian tahun 2005. Banjar: Dinas Pertanian.

,Dinas Pertanian, ketahanan pangan, perkebunan, dan kehutanan. 2005.


Program Kerja dinas pertanian, ketahanan pangan, perkebunan, dan
kehutanan 2007. Banjar: Dinas Pertanian.

Departemen Pertanian. 2006. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta:


Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian.

[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Hasil Konferensi Dewan Ketahanan


Pangan 2002. Jakarta :Sekretariat Dewan Ketahanan pangan.

. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta :


Dewan Ketahanan Pangan.

Gibson, R.S. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxpord: Oxpord


University Press.
67

Gsianturi. 2003. Arti Strategis Neraca Bahan Pangan Regional.


http://www.suarapembaruan.com/News/2003/07/08/index.html. [21 April
2007]

Hardinsyah, Y.F. Baliwati, D. Martianto, H.S. Rachman, A. Widodo, & Subiyakto.


2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola
Pangan Harapan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi
(PSKPG)-IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan
Bimas Ketahanan Pangan (BKP)-Departemen Pertanian.

Hariyadi P. 2003. Pengindustrian Aneka Ragam Pangan: Menuju Ketahanan


Pangan Nasional Berbasis Sumberdaya Indigenus dalam
Penganekaragaman Pangan (Prakarsa Swasta dan Pemerintahan
Daerah). Jakarta: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.

Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan & Departemen Gizi Masyarakat. 2006.
Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor : Departemen Gizi
Masyarakat, IPB.

Rachman HPS., Mewa Ariani&T.B. Purwantini. 2005. Distribusi Provinsi di


Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga dalam
Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai
Basis Ketahanan Pangan Nasional. Bogor : Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.

Sastraatmadja, Entang. 2006. Untukmu Dewan Ketahanan Pangan. Bandung :


Masyarakat geografi Indonesia.

Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan ketahanan pangan. Dalam


Pemberdayaan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan dan
pemulihan ekonomi (Ed) Hardinsyah, A. Rahardjo, D. Martianto, M.N.
Andrestian. Jakarta : Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Agrindo
Aneka Consult.

. 2003. Refleksi 40 Tahun dan Perspektif Penganekaragaman Pangan


dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional dalam
Penganekaragaman Pangan (Prakarsa Swasta dan Pemerintahan
Daerah). Jakarta: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.

Syarief, H. 1992. Metode Statistik untuk Pangan dan Gizi Masyarakat. Bogor:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Peta Kota Banjar
Lampiran 2 Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan Di Kota Banjar Tahun
2006
Jenis irigasi (ha)
Kecamatan
Teknis Semi teknis Tadah hujan
Banjar - - 559
Purwaharja 492 47 -
Pataruman 181 216 373
Langensari 1279 - 169
Total 1 952 263 1 101

Lampiran 3 Produksi padi palawija dan laju produksi menurut jenis tanaman di
Kota Banjar tahun 2005 dan 2006
Jenis tanaman Produksi (ton/tahun) Laju produksi
2005 2006 (%)
Padi Sawah 32 818 34 875 6.3
Padi Gogo 581 64 -89.0
Jagung 1 288 782 -39.3
Kedelai 118 38 -67.8
Kacang Tanah 586 170 -71.0
Kacang Hijau 22 488 2 118.2
Ubi kayu 265 3 530 1 232.1
Ubi Jalar 503 353 -29.8
Sorgum 5 - -
Talas 24 - -
Ganyong 40 - -
Irut 21 - -

Lampiran 4 Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Penggunaan Lahan di Kota


Banjar Tahun 2006
Penggunaan lahan (ha)
Kecamatan Pekarangan/tanah
Tegal/kebun/ladang Kolam/tambak
bangunan
Banjar 135 98 60
Purwaharja 78 278 17
Pataruman 946 1 526 89
Langensari 761 657 42
Total 1 920 2 559 208
Lampiran 5 Produksi dan laju produksi sayuran menurut jenis tanaman di Kota
Banjar tahun 2005 dan 2006
Jenis tanaman Produksi (ton)
2005 2006 Laju
Bawang merah - - -
Bawang putih - - -
Bawang daun 1.8 7.6 322.2
Kentang - - -
Kubis - - -
Kembang kol - - -
Petsai 40 20 -50.0
Wortel - - -
Lobak 15 - -
Kacang merah 46.9 151.3 222.6
Kacang panjang 227.5 142 -37.6
Cabe merah 7.6 30 294.7
Cabe rawit 9.1 36.6 302.2
Jamur 122.3 2.4 -98.0
Tomat 1.3 - -
Terong 219.4 29.3 -86.6
Buncis 8.1 9 11.1
Ketimun 68.7 408.4 494.5
Labu siam 1.8 135 7400.0
Kangkung 51.8 184.9 256.9
Bayam 28.3 110.8 291.5
Melinjo 8.3 13.8 66.3
Petai 85.8 787.3 817.6

Lampiran 6 Produksi dan laju produksi buah-buahan menurut jenis tanaman di


Kota Banjar tahun 2005 dan 2006
Jenis tanaman Produksi (ton)
2005 2006 Laju
Alpukat 3 852.8 221.7 -94.2
Belimbing 322.5 11.7 -96.4
Dukuh 3 884.0 45.6 -98.9
Durian 163.0 428.9 163.1
Jambu biji 664.3 322.9 -51.4
Jambu air 120.0 198 65.0
Jeruk siam 4.1 19.9 385.4
Jeruk besar 0.3 1.0 233.3
Mangga 42.6 1 819.1 4 170.2
Manggis 0.0 0.0 0.0
Nangka 5 193.2 658.5 -87.3
Nenas 39.3 28.0 -28.8
Pepaya 8 132.9 110.0 -98.6
Pisang 85 073.9 26 825.8 -68.5
Rambutan 4 211.1 3 498.1 -16.9
Salak 10 474.9 44.2 -99.6
Sawo 7 297.2 150.1 -97.9
Markisa 0.0 0.0 0.0
Sirsak 542.5 20.0 -96.3
Sukun 593.8 70.4 -88.1
Melon 0.0 0.2 0.0
Sumber : Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Banjar
Lampiran 7 Energi kelompok pangan buah-buahan (kkal/kap/hari) menurut
kecamatan di Kota Banjar tahun 2006
Energi (kkal/kapita/hari)
Kecamatan Alpukat Durian Jambu Jambu Mangga Nangka Pepaya Pisang Rambutan Sawo
biji air
Banjar 1 1 0 0 3 0 0 206 5 1
Purwaharja 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0
Pataruman 0 1 2 1 4 3 1 9 10 1
Langensari 0 0 0 0 2 0 0 258 0 0
Total 1 2 2 1 9 3 1 476 16 2

Lampiran 8 Produksi dan laju produksi daging Kota Banjar tahun 2005 dan
2006
Jenis tanaman Produksi (ton)
2005 2006 Laju
Daging sapi 13.81 441.20 3095.5
Daging kerbau 0.01 - -
Daging kuda 0.00 - -
Daging domba 3.99 49.20 1133.1
Daging kambing 3.16 40.05 1166.2
Ayam ras pedaging 0.04 0.04 1.9
Ayam buras 0.02 0.02 2.2
Itik 0.00 0.00 -
Sumber : Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Banjar

Lampiran 9 Produksi dan laju produksi ikan menurut tempat pemeliharaan di


Kota Banjar tahun2005 dan 2006
Jenis tanaman Produksi (ton)
2005 2006 Laju
Perikanan laut - - -
Tambak - - -
Kolam 1488.1 1527.5 2.6
Sawah (Mina padi) 35 40.2 14.9
Keramba/Jaring
apung - - -
Kolam Air Deras - - -
Perairan Umum - - -
Lampiran 10 Jumlah konsumsi energi (kkal/kapita/hari) untuk setiap komoditi
berdasarkan status ekonomi

Konsumsi Energi (kkal/kapita/hari)


Kelompok Pangan
Miskin Tidak Miskin Kota Banjar
1.Padi-padian
Beras giling 731.5 688.1 709.8
Jagung Pipilan 0.0 0.3 0.2
Tepung Terigu 38.3 66.9 52.6
Subtotal padi-padian 769.8 755.4 762.6
2.Umbi-umbian
Ketela Pohon 12.4 12.2 12.3
Ubi Jalar 0.6 0.2 0.4
Sagu 0.0 0.0 0.0
Kentang 0.5 3.8 2.1
Talas 0.0 0.0 0.0
Subtotal umbi-umbian 13.5 16.2 14.8
3.Pangan Hewani
Daging Ruminansia 4.4 26.5 15.5
Daging Unggas 7.2 27.9 17.5
Telur 18.1 50.1 34.1
Susu 7.1 24.5 15.8
Ikan 49.7 72.3 61.0
Subtotal pangan hewani 86.5 201.4 143.9
4.Minyak dan Lemak
Minyak Kelapa 6.0 16.4 11.2
Minyak Sawit 8.0 8.5 8.3
Lemak 0.0 0.0 0.0
Minyak Ikan 0.0 0.0 0.0
Subtotal minyak dan lemak 14.1 24.9 19.5
5.Buah/Biji Berminyak
Kelapa 3.9 4.2 4.0
Kemiri 0.0 0.2 0.1
Biji Jambu Mete 0.0 0.0 0.0
Melinjo 0.1 2.3 1.2
Subtotal buah/biji
4.0 6.7 5.3
berminyak
6.Kacang-kacangan
Kacang Tanah 3.3 6.1 4.7
Kacang Kedelai 177.6 125.7 151.7
Kacang Hijau 0.0 2.5 1.2
Kacang Merah 2.8 4.8 3.8
Subtotal kacang-kacangan 183.8 139.1 161.4
7.Gula
Gula Pasir 1.4 4.0 2.7
Gula Aren 8.4 7.5 7.9
Gula Kelapa 0.0 0.4 0.2
Subtotal gula 9.7 11.9 10.8
Konsumsi Energi (Kkal/Kapita/Hari)
Kelompok/jenis pangan
Miskin Tidak Miskin Kota Banjar
8.Sayur dan Buah
Sayur-Sayuran 57.3 51.7 54.5
Buah-Buahan 14.5 26.4 20.5
Subtotal sayur dan buah 71.8 78.1 74.9
9. Lain-Lain
Minuman 0.4 1.2 0.8
Bumbu 0.0 0.9 0.5
Lainnya 14.1 15.9 15.0
Subtotal lain-lain 14.5 18.1 16.3
Total Keseluruhan 1167.7 1251.6 1209.6

Lampiran 11 Kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap Angka


Kecukupan Energi Kota Banjar 2006 (1944 kkal/kap/hari)
Tidak Miskin Miskin Kota Banjar AKE Regional
Kelompok 2006 Kota Banjar
Pangan % % % %
Energi Energi Energi Energi
AKE AKE AKE AKE
Padi-padian 755 38.8 770 39.6 763 39.2 972 50.0
Umbi-umbian 301 0.8 14 0.7 15 0.8 117 6.0
Pangan 189 10.3 87 4.5 144 7.4
Hewani 233 12.0
Minyak dan 25 1.3 14 0.7 20 1.0
Lemak 194 10.0
Buah/Biji 5 0.4 4 0.2 5 0.3
Berminyak 58 3.0
Kacang- 139 7.2 184 9.5 161 8.3
kacangan 97 5.0
Gula 12 0.6 10 0.5 11 0.6 97 5.0
Sayur dan 78 4.0 72 3.7 75 3.9
Buah 117 6.0
Lain-lain 18 0.9 15 0.8 16 0.8 58 3.0
Total 1252 64.4 1170 60.2 1210 62.2 1944 100.0
Lampiran 12 Proyeksi konsumsi pangan Kota Banjar (kg/kapita/tahun) untuk setiap komoditi
Kelompok/jenis pangan Proyeksi Konsumsi (Kg/Kapita/tahun)
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
1.Padi-padian 77.2 78.7 80.2 81.6 83.1 90.3 97.6
Beras giling 71.9 73.3 74.6 76.0 77.3 84.1 90.8
Jagung Pipilan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Tepung Terigu 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 6.2 6.7
2.Umbi-umbian 5.3 7.2 9.1 11.0 12.9 22.4 31.9
Ketela Pohon 4.4 6.0 7.6 9.2 10.7 18.6 26.5
Ubi Jalar 0.1 0.2 0.3 0.3 0.4 0.6 0.9
Sagu 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Kentang 0.8 1.0 1.3 1.6 1.9 3.2 4.6
Talas 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
3.Pangan Hewani 49.0 49.1 49.1 49.2 49.2 49.4 49.7
Daging Ruminansia 5.3 5.3 5.3 5.3 5.3 5.3 5.3
Daging Unggas 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.1
Telur 11.6 11.6 11.6 11.6 11.7 11.7 11.8
Susu 5.4 5.4 5.4 5.4 5.4 5.4 5.5
Ikan 20.8 20.8 20.8 20.8 20.9 21.0 21.0
4.Minyak dan Lemak 0.8 1.4 2.0 2.5 3.1 6.0 8.9
Minyak Kelapa 0.5 0.8 1.1 1.5 1.8 3.4 5.1
Minyak Sawit 0.3 0.6 0.8 1.1 1.3 2.5 3.8
Lemak 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Minyak Ikan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
5.Buah/Biji Berminyak 1.9 2.0 2.1 2.3 2.4 3.0 3.5
Kelapa 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 2.2 2.7
Kemiri 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1
Biji Jambu Mete 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Melinjo 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.7 0.8

74
Proyeksi Konsumsi (Kg/Kapita/tahun)
Kelompok/jenis pangan
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
6.Kacang-kacangan 17.7 17.3 16.9 16.5 16.2 14.3 12.4
Kacang Tanah 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 0.4
Kacang Kedelai 16.6 16.3 15.9 15.5 15.2 13.4 11.7
Kacang Hijau 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Kacang Merah 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.3 0.3
7.Gula 1.1 1.8 2.4 3.1 3.8 7.2 10.6
Gula Pasir 0.3 0.4 0.6 0.8 0.9 1.8 2.6
Gula Aren 0.8 1.3 1.8 2.3 2.8 5.3 7.8
Gula Kelapa 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.2
8.Sayur dan Buah 92.2 91.4 90.7 89.9 89.2 85.4 81.6
Sayur-Sayuran 67.0 66.5 65.9 65.4 64.8 62.1 59.3
Buah-Buahan 25.2 25.0 24.8 24.5 24.3 23.3 22.3
9. Lain-Lain 2.7 2.9 3.1 3.3 3.4 4.4 5.3
Minuman 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.3
Bumbu 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2
Lainnya 2.5 2.7 2.8 3.0 3.2 4.0 4.9

75
Lampiran 13 Proyeksi kebutuhan (Ton/tahun) wilayah Kota Banjar untuk setiap komoditi
Kelompok/jenis pangan Proyeksi Kebutuhan (Ton/tahun)
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
1.Padi-padian 14353 15175 16039 16947 17900 23430 30471
Beras giling 13360 14125 14929 15774 16661 21808 28362
Jagung Pipilan 3 3 3 4 4 5 7
Tepung Terigu 990 1047 1107 1169 1235 1617 2102
2.Umbi-umbian 993 1397 1830 2293 2789 5821 9972
Ketela Pohon 824 1158 1517 1902 2313 4827 8270
Ubi Jalar 27 38 50 63 76 159 273
Sagu 0 0 0 0 0 0 0
Kentang 142 200 262 329 400 834 1429
Talas 0 0 0 0 0 0 0
3.Pangan Hewani 9108 9461 9828 10209 10605 12826 15512
Daging Ruminansia 978 1016 1056 1096 1139 1378 1666
Daging Unggas 1110 1153 1198 1244 1293 1563 1891
Telur 2158 2242 2329 2419 2513 3039 3676
Susu 1001 1040 1080 1122 1165 1409 1705
Ikan 3860 4010 4166 4327 4495 5436 6575
4.Minyak dan Lemak 150 266 392 526 670 1554 2770
Minyak Kelapa 86 153 225 303 386 894 1594
Minyak Sawit 63 113 166 223 284 660 1176
Lemak 0 0 0 0 0 0 0
Minyak Ikan 0 0 0 0 0 0 0
5.Buah/Biji Berminyak 355 391 429 469 512 769 1108
Kelapa 267 294 323 353 385 578 834
Kemiri 6 7 7 8 9 13 19
Biji Jambu Mete 0 0 0 0 0 0 0
Melinjo 82 90 99 108 118 177 256

76
Kelompok/jenis pangan Proyeksi Kebutuhan (Ton/tahun)
2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020
6.Kacang-kacangan 3283 3335 3386 3436 3485 3708 3878
Kacang Tanah 96 97 99 100 101 108 113
Kacang Kedelai 3085 3134 3182 3229 3275 3485 3644
Kacang Hijau 25 25 26 26 27 28 30
Kacang Merah 77 79 80 81 82 87 91
7.Gula 199 339 488 649 821 1875 3324
Gula Pasir 50 84 121 161 204 466 827
Gula Aren 146 248 358 475 601 1373 2435
Gula Kelapa 4 6 9 12 15 35 62
8.Sayur dan Buah 17129 17631 18145 18674 19217 22152 25485
Sayur-Sayuran 12454 12818 13192 13577 13971 16105 18528
Buah-Buahan 4676 4812 4953 5097 5245 6047 6956
9. Lain-Lain 500 555 614 676 742 1137 1662
Minuman 24 27 30 33 36 55 81
Bumbu 14 16 18 19 21 33 48
Lainnya 461 512 566 624 685 1049 1534
Lampiran 14 Bagan Causal Model Masalah Pangan dan Gizi di Kota Banjar

STATUS GIZI tahun 2006


Balita Gizi kurang 1022
(5.36%)*) Gizi buruk 193
(1.01%)**)

Konsumsi***) Infeksi : Prevalensi


(PPH=65; 62.2% AKG Regional) penduduk yang mengalami
keluhan kesehatan
(29.39%)

Tingkat Ketersediaan Keamanan Daya beli rendah Pola


Pangan (Keluarga Asuh
Pendidikan/Pengetahua Pangan****) miskin =10908 Sanitasi lingkungan : KK Pelayanan kesehatan
(24.56 %)resiko miskin memiliki WC umum gratis, jumlah dokter
tinggi)**) (77.21%) dan sumber air 46 org, perawat 214
minum krg bersih (76.12%) org dan bidan 58 org

Produksi Pertanian: Cadangan Ekspor Impor


Padi: 33 393 ton Beras (belum
PSB: Palawija ton Pangan ada data tertulis)
Sayuran ton Wilayah dan
Peternakan 2003 ton
Perikanan ton

KELEMBAGAAN PANGAN DAN GIZI

77

You might also like