You are on page 1of 23

Assalamu'alaikum wr wb. Pengurus bahtsul masail yang saya hormati.

Saya ingin bertanya


tentang hukum musik karena saya mendengar bahwa ada kelompok yang mengharamkannya
dengan mengategorikannya ke dalam perkataan yang sia-sia. Mohon penjelasannya. Saya
mengucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Sahrul Amin) Jawaban Assalamu
‘alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Perihal lagu,
musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Ulama
berbeda pendapat perihal mendengarkan lagu, musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian. Sebagian
ulama mengharamkannya. Tetapi sebagian lagi membolehkannya. Untuk masalah ini Imam Al-
Ghazali mengangkat pandangan ulama yang mengharamkannya dan ulama yang
membolehkannya. Namun demikian dalam Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali secara detil
menanggapi dalil dan argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengaharamkannya.
Pada tulisan ini kami mencoba mengangkat ringkasan ulasan Imam Al-Ghazali perihal masalah
ini. Dalam ringkasan ulasannya, Imam Al-Ghazali cenderung memperbolehkan mendengarkan
musik, lagu, dan nyanyi-nyanyian. Berikut ini kutipannya. ‫اعلم أن قول القائل السماع حرام معناه أن هللا‬
‫تعالى يعاقب عليه وهذا أمر ال يعرف بمجرد العقل بل بالسمع ومعرفة الشرعيات محصورة في النص أو القياس على‬
‫المنصوص وأعنى بالنص ما أظهره صلى هللا عليه و سلم بقوله أو فعله وبالقياس المعنى المفهوم من ألفاظه وأفعاله فإن لم يكن‬
‫فيه نص ولم يستقم فيه قياس على منصوص بطل القول بتحريمه وبقى فعال ال حرج فيه كسائر المباحات وال يدل على تحريم‬
‫السماع نص وال قياس ويتضح ذلك في جوابنا عن أدلة المائلين إلى التحريم ومهما تم الجواب عن أدلتهم كان ذلك مسلكا كافيا‬
‫في إثبات هذا الغرض لكن نستفتح ونقول قد دل النص والقياس جميعا على إباحته أما القياس فهو أن الغناء اجتمعت فيه معان‬
‫ينبغي أن يبحث عن افرادها ثم عن مجموعها فإن فيه سماع صوت طيب موزون مفهوم المعنى محرك للقلب فالوصف االعم‬
‫انه صوت طيب ثم الطيب ينقسم إلى الموزون وغيره والموزون ينقسم إلى المفهوم كاالشعار والى غير المفهوم كأصوات‬
‫الجمادات وسائر الحيوانات أما سماع الصوت الطيب من حيث إنه طيب فال ينبغي أن يحرم بل هو حالل بالنص والقياس‬
Artinya, “Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, ‘Aktivitas mendengar (nyanyian, bunyi, atau
musik) itu haram’ mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.’
Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan
naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara‘ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap
nash. Yang saya maksud dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui
ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara
analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu pun
nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini,
maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu
tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain.
Sementara (pada amatan kami) tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang menunjukkan
keharaman aktivitas ini. Hal ini tampak jelas pada tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang
dikemukakan oleh mereka yang cenderung mengharamkannya. Ketika tanggapan kami terhadap
dalil mereka demikian lengkap, maka itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas dalam
menetapkan tujuan ini. Hanya saja kami mulai membuka dan mengatakan bahwa nash dan
argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik.
Argumentasi qiyas menyatakan bahwa kata ‘bunyi’ itu mengandung sejumlah pengertian yang
perlu dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini mengandung pengertian sebuah
aktivitas mendengarkan suara yang indah, berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh
perasaan. Secara lebih umum ‘bunyi’ adalah suara yang indah. Bunyi yang indah ini terbagi atas
yang berirama (terpola) dan yang tidak berirama. Bunyian yang berirama terbagi atas suara yang
dipahami seperti syair-syair dan suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu.
Sedangkan mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas menjadi
haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda mati dan suara hewan itu halal
berdasarkan nash dan argumentasi qiyas,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268). Berangkat dari
apa yang kemukakan di atas, Imam Al-Ghazali tidak menemukan satupun nash yang secara jelas
mengharamkannya. Kalau pun ada nash yang mengharamkan musik dan nyanyian,
keharamannya itu bukan didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena dibarengi
dengan kemaksiatan seperti minum-minuman keras, perzinaan, perjudian, ataupun melalaikan
kewajiban. Adapun aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian itu sendiri, menurut Imam Al-
Ghazali seperti disebutkan di atas, halal. Jadi Imam Al-Ghazali memisahkan secara jelas antara
musik beserta nyanyian itu dan kemaksiatan yang diharamkan secara tegas di dalam nash
maupun qiyas terhadap nash. Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga dapat
dipahami dengan baik. Sikapi semua perbedaan dengan bijak. Kami selalu terbuka menerima
saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum
wr. wb.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/71877/hukum-dengar-lagu-dan-musik


 Faedah Ilmu
 Naskah Khutbah
 Ebook
 Video Kajian
 About Me

Home Umum Saatnya Meninggalkan Musik

 Hukum Islam
 Umum

Saatnya Meninggalkan Musik


By
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
-
July 17, 2009
59539
10
Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian.
Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap
lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap
harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar
dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al
haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai
nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah
(Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya  mencintai dan merindukan perjumpaan dengan
Rabbnya.

Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan
nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia
dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan
Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya
perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum
keharamannya.

Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama
masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih
gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan
memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir
(Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).

Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”

Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)

Allah Ta’ala berfirman,

ٌ ‫يل هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َويَتَّ ِخ َذهَا هُ ُز ًوا أُولَئِكَ لَهُ ْم َع َذابٌ ُم ِه‬
‫ين َوإِ َذا‬ ِ ِ‫ُض َّل ع َْن َسب‬
ِ ‫ث لِي‬ ِ ‫اس َم ْن يَ ْشت َِري لَه َْو ْال َح ِدي‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
َ ُ َ َ َّ
ٍ ‫تُ ْتلَى َعلَ ْي ِه آيَاتُنَا َولى ُم ْستَ ْكبِرًا َكأ ْن لَ ْم يَ ْس َم ْعهَا َكأ َّن فِي أ ُذنَ ْي ِه َو ْقرًا فَبَ ِّشرْ هُ بِ َع َذا‬
‫ب ألِ ٍيم‬

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah
itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum
mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)

Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar
tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan ‫ث‬ ِ ‫“ لَ ْه َو ا ْل َح ِدي‬lahwal hadits” dalam ayat
tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan
mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf
mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –
rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir
ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu– berkata,

ٍ ‫ ي َُر ِّد ُدهَا ثَالَث َ َمرَّا‬،‫ َوالَّ ِذي الَ إِلَهَ إِالَّ هُ َو‬،‫ال ِغنَا ُء‬
.‫ت‬

“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]

Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari
Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug
(genderang).[2]

Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang
melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita
bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang
mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian.
Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]

Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana
mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”

Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah,
bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’).
Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di
atas sebagai berikut,

“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa
seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang
mereka ini menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa
menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang
sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan,
“Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada
penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti
tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka
hidup”.[4]

Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan ‫ث‬ِ ‫ لَ ْه َو ا ْل َح ِدي‬/lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima
karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”

Allah Ta’ala berfirman,

‫ فَا ْس ُجدُوا هَّلِل ِ َوا ْعبُدُوا‬, َ‫ َوأَ ْنتُ ْم َسا ِم ُدون‬, َ‫ َوتَضْ َح ُكونَ َوال تَ ْب ُكون‬,   َ‫ث تَ ْع َجبُون‬
ِ ‫أَفَ ِم ْن هَ َذا ْال َح ِدي‬
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah
(Dia).” (QS. An Najm: 59-62)

Apa yang dimaksud َ‫سا ِمدُون‬


َ /saamiduun/?

Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa
orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah
untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]

‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah


bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela
dalam Al Qur’an.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

Hadits Pertama

Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya”
sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak
berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ ‫ َولَيَ ْن ِزلَ َّن أَ ْق َوا ٌم إِلَى َج ْن‬، َ‫ازف‬


‫ب َعلَ ٍم يَرُو ُح َعلَ ْي ِه ْم‬ َ ‫لَيَ ُكون ََّن ِم ْن أُ َّمتِى أَ ْق َوا ٌم يَ ْست َِح ُّلونَ ْال ِح َر َو ْال َح ِر‬
ِ ‫ير َو ْالخَ ْم َر َو ْال َم َع‬
ِ ‫ َويَ ْم َس ُخ‬، ‫ض ُع ْال َعلَ َم‬
َ‫آخَرين‬ َ َ‫ فَيُبَيِّتُهُ ُم هَّللا ُ َوي‬. ‫ير – لِ َحا َج ٍة فَيَقُولُوا ارْ ِج ْع إِلَ ْينَا َغدًا‬ َ ِ‫ يَأْتِي ِه ْم – يَ ْعنِى ْالفَق‬، ‫ار َح ٍة لَهُ ْم‬ ِ ‫بِ َس‬
‫َازي َر إِلَى يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة‬ ِ ‫قِ َر َدةً َو َخن‬
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng
gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu
keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah
mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah
mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan
menghalalkan musik, berarti musik itu haram.

Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259).
Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy
Syaukani –rahimahumullah-.

Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat
beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat
sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits
ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan
sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:

Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar
langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja
dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.

Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak
akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah
pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat
banyak orang  yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat
masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis
(kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih,
yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih
menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?

Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang
terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang
artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya
telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, …]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan
bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.
[8]

Hadits Kedua

Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ف َو ْال ُم َغنِّيَا‬
‫ت يَ ْخ ِسفُ هَّللا ُ بِ ِه ُم‬ ِ ‫لَيَ ْش َربَ َّن نَاسٌ ِم ْن أُ َّمتِى ْال َخ ْم َر يُ َس ُّمونَهَا بِ َغي ِْر ا ْس ِمهَا يُعْزَفُ َعلَى ُر ُء‬
ِ ‫وس ِه ْم بِ ْال َم َع‬
ِ ‫از‬
‫ير‬ ِ ‫ض َويَجْ َع ُل ِم ْنهُ ُم ْالقِ َر َدةَ َو ْالخَ ن‬
َ ‫َاز‬ َ ْ‫األَر‬
“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya
dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan
membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan
babi.”[9]

Hadits Ketiga

Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,

‫يق َوه َُو يَقُو ُل يَا نَافِ ُع‬ِ ‫احلَتَهُ َع ِن الطَّ ِر‬ ِ ‫ض َع إِصْ بَ َع ْي ِه فِى أُ ُذنَ ْي ِه َو َع َد َل َر‬
َ ‫اع فَ َو‬ٍ ‫ار ِة َر‬ َ ‫صوْ تَ زَ َّم‬َ ‫ُع َم َر َس ِم َع ابْنُ ُع َم َر‬
‫هَّللا‬
ِ ‫ُول‬ ُ َ
َ ‫ال َرأيْت َرس‬ َ َ‫يق َوق‬ َّ َ
ِ ‫َّاحلةَ إِلى الط ِر‬ َ َ
ِ ‫ض َع يَ َد ْي ِه َوأعَا َد الر‬ َ ‫ال فَ َو‬ ُ ْ ُ
َ َ‫ ق‬.َ‫ضى َحتى قلت ال‬ َّ ِ ‫ قَا َل فَيَ ْم‬.‫أَتَ ْس َم ُع فَأَقُو ُل نَ َع ْم‬
‫صنَ َع ِم ْث َل هَ َذا‬َ َ‫اع ف‬
ٍ ‫صوْ تَ َز َّما َر ِة َر‬ َ ‫ َو َس ِم َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat
kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu
‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata,
“Iya, aku masih mendengarnya.”

Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu
lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar
suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[10]

Keterangan Hadits

Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan
musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula
pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar
mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya
yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-
jelas terlarang.

Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya
menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara
nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah
sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,

َ ‫اللَّهُ َّم إاَّل أَ ْن يَ ُكونَ فِي َس َما ِع ِه‬


‫ض َر ٌر ِدينِ ٌّي اَل يَ ْن َدفِ ُع إاَّل بِال َّس ِّد‬

“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan
pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak
mendengarnya.”[11]

Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan sayuran.”

Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku
melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang
bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?”  Al Qasim pun mengatakan,”Wahai
anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi
mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”

‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya
adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah
kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah
murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian
dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan
nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya
kemunafikan dalam hati.”

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”


Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan
kemurkaan Allah.”

Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian
karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan
nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. …
Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”[12]

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian

1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya


sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata
budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan
budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak
kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan
mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan
dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat
ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]

Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau
mengatakan,

“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak
disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan
dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk
melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan
manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”

Lalu, Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang
terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka,
pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an.
Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”[18]

Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang
betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan
bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk
menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena
hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang
tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam
mengatakan,

“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa
lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an.
Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan
kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid).
Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan
lisannya akan sering keliru.”[19]

Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara
mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat
berikut:

1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya
menari dan berdansa.
4. Tidak diiringi alat musik.
5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun
tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh
kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika
berjihad.
8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]

Penutup

Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an.
Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup
dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.

Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa
memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari
memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian
selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak
belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita
untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al
Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan
melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal
yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]
Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah,
jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang
lebih baik.

ُ‫ك هَّللا ُ بِ ِه َما ه َُو خَ ْي ٌر لَكَ ِم ْنه‬


َ َ‫ك لَ ْن تَ َد َع َشيْئا ً هَّلِل ِ َع َّز َو َج َّل إِالَّ بَ َّدل‬
َ َّ‫إِن‬
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi
ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]

Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan
manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran,
niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan.
Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi


robbil ‘alamin.

***

Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 16 Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:


https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html

DR Zakir Naik Menjawab Pertanyaan


Hukum Musik Dalam Islam
Posted on 23 Oktober 2015
by Nahimunkar.com

 DR Zakir Naik
 Hukum Musik Dalam Islam

 Fatwa
 Pilihan
Siapa yang tidak kenal Dr Zakir Naik?. Ya, Beliau adalah seorang pembicara umum Muslim
India, dan penulis hal-hal tentang Islam dan perbandingan agama. Secara profesi, ia adalah
seorang dokter medis, memperoleh gelar Bachelor of Medicine and Surgery (MBBS) dari
Maharashtra, tapi sejak 1991 ia telah menjadi seorang ulama yang terlibat dalam dakwah Islam
dan perbandingan agama. Ia menyatakan bahwa tujuannya ialah membangkitkan kembali dasar-
dasar penting Islam yang kebanyakan remaja Muslim tidak menyadarinya atau sedikit
memahaminya dalam konteks modernitas.

Tokoh Muslim ternama ini telah menerima penghargaan bergengsi dari pemerintah Arab Saudi
atas jasanya terhadap Islam. Penghargaan itu langsung diberikan oleh Raja Salman dalam sebuah
acara di sebuah hotel berbintang di Riyadh. King Faisal International Prize (KFIP) memberikan
penghargaan terhadap karya-karya luar biasa dari individu dan lembaga dalam lima kategori
yakni Dakwah Islam, Studi Islam, Bahasa dan Sastra Arab, Kedokteran dan Ilmu Pengetahuan.

Pada sebuah acara yang disiarkan oleh Peace Tv, DR Zakir Naik menjawab pertanyaan yang
selama ini masih mengganjal dan membingungkan masyarakat muslim tentang hukumnya musik
dalam Islam berdasarkan Al Quran dan Hadist. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan musik
sebagai sarana atau media dakwah.

Berikut percakapan dari siaran televisi Peace Tv:

Pembawa Acara:

“Terkait hukum musik, banyak muslim yang membolehkan musik. Bisakah Anda membahas
bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang musik?”
Dr. Zakir Naik:

Ada banyak pendapat yang mengupas hukum tentang musik, apakah boleh atau tidak. Dalam Al-
Qur’an tidak ada ayat yang melarang musik secara tegas, tetapi ada isyarat.

Allah Subhanau Wa Ta’la berfirman dalam Surat Lukman [31] ayat 6:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-
olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”

Berdasarkan ayat ini, banyak ahli tafsir, termasuk penafsiran sahabat Ibnu Mas’ud, mengatakan
perkataan yang tidak berguna (Lahwal hadits) ini maksudnya adalah nyanyian dan alat musik.

Terkait larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang musik, bisa kita dapatkan
dalam beberapa hadits. Jika telah jelas ada larangan dari Rasulullah, maka tidak ada keraguan
akan keharamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina,
sutera, khamr dan alat musik.” (Sahih Al Bukhari volume 7 Book of Drinks Hadith 5590)

Hadits ini menyebutkan bahwa kelak akan ada yang menghalalkan beberapa hal. Dan kita telah
tahu bahwa khamr hukumnya haram, kita sudah tahu zina itu haram. Karena alat musik
disebutkan bersama-sama dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, itu artinya Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam mengharamkannya.

Tetapi ada sebagian orang yang tetap menghalalkannya, kita tahu ada beberapa ulama
kontemporer yang membolehkan. Dari hadits ini secara jelas mengatakan bahwa alat musik itu
haram.

Tetapi ada hadits shahih lainnya yang membolehkan alat musik tertentu, yaitu duff (rebana).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara pernikahan, beliau datang dan
berkumpul bersama para sahabatnya. Kemudian datang dua orang anak kecil perempuan yang
memainkan rebana. Mereka menyebutkan kebaikan para sahabat yang telah wafat di medan jihad
(dalam perang Badar), ketika salah satunya menjanjung Nabi (mengatakan bahwa Rasulullah
mengetahui tentang hari esok) Rasulullah berkata: “Tinggalkanlah ucapan tersebut, ucapkan saja
yang tadi kau katakan.” (Sahih Al Bukhari volume 5 Book of Maghaazi Hadith 4001)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka memainkan
rebana.

Dalam hadits lain (Sahih Al Bukhari volume 2 Book of ‘Eidain Hadits 987), yang diberitakan
oleh ‘Aisyah radhiallaahu anha, Aisyah berkata:
“Ada dua orang anak perempuan yang bermain rebana sambil bernyanyi. Ketika Abu Bakar
radhiallaahu anhu melihatnya, beliau menyuruh mereka berhenti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata kepada Abu Bakar: “Biarkanlah mereka melakukannya, karena sesungguhnya
ini adalah hari raya.”

Pada hadits yang lain (Sahih Al Tirmidhi Book of Manaaqib Hadith 3690):

Ada seseorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku telah
bernadzar kepada Allah, jika anda (Rasulullah) kembali dalam keadaan selamat, aku berjanji
akan memainkan rebana.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jika engkau
bernadzar maka lakukanlah, jika belum maka jangan engkau lakukan.”

Dari semua hadits tersebut mengindikasikan bahwa alat musik secara umum haram, kecuali
rebana, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya dalam situasi tertentu.

Syaikh Utsaimin berkata: Menabuh duff pada hari-hari resepsi pernikahan itu boleh atau sunnah,
jika hal itu dilakukan dalam rangka I’lanunnikah (menyiarkan pernikahan).

Menabuh duff yang dimaksud adalah alat yang dikenal dengan nama rebana, yaitu yang tertutup
satu bagian saja, karena yang tertutup dua bagian (lubang)nya disebut thablu (gendang). Yang ini
tidak boleh, karena tergolong alat musik, sedangkan semua alat musik hukumnya haram, kecuali
ada dalil yang mengecualikannya, yaitu seperti rebana untuk pesta pernikahan.

(Al-Fatawa ASy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-


Haram)

https://www.nahimunkar.org/dr-zakir-naik-menjawab-pertanyaan-hukum-musik-dalam-islam/

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama. Dan
lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun ada juga yang diperselishkan.

Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan
cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam.
Terutama ketika musik itu diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi.
Atau jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada
wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat
atau menunda-nundanya dan lain-lain.

Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para ulama
berbeda pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga yang
menghalalkannya.

Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar para dua hal.
Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya lemah meski istidlalnya kuat.

Contoh 1

Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang kuat sanadnya namun lemah
istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena
semua ayatnya mutawatir. Namun belum tentu yang kuat sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita
ambil ayat berikut ini:

Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 5)

Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar untuk istidlal
mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah
nyanyian, lagu dan musik.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena secara eksplisit tidak mengandung
pengharaman tentang lagu, musik atau nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak
berguna. Bahwa ada ulama yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh
memaksakan pandangannya.

Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas. Beliau mengatakan bahwa yang
diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal itu dikarenakan orang-orang kafir itu menjadi
agama Allah sebagai ejekan. Meski seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka
dia pun kafir. Itulah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak
mencela orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai penyesat
manusia.

Contoh 2: Hadits Nabawi

Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil
pengharaman nyanyian dan musik.

Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat
yang melalaikan`. (HR Bukhari)

Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka dari sisi keshahihan sudah tidak ada
masalah. Sanadnya shahih meski ada juga sebagian ulama hadits yang masih meragukanya.

Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu
dengan namanya secara spesifik dan eksplisit. Di titik inilah sesungguhnya terjadi selisih
pendapat para ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila langsung
dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu.
Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun apakah
bentuknya alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.

Contoh 3: Hadits Nabawi

Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya
dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi`
apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai
saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling
gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu Rasulullah menutup telinganya saat
mendengar suara seruling gembala. Namun dari segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits
mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih
parah dari sekedar hadits dhaif.

Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya bermasalah. Dan
wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, "Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk
mengharamkan nyanyian."

Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, "Semua riwayat hadits tentang haramnya
nyanyian adalah batil."

Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa
dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul
menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).

Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik

Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat nabi SAW,
tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian.

Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid,
Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal.

Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama
Madinahmemberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.

Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah
bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita
untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa
khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada
Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-
Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar.

Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa
ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar
merenungi kemudian berkata, "Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?".Ibnu Zubair menjawab,
"Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."

Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas
membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik
karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di
masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik
karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas
mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan
faktor-faktor berikut:

1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan
dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`, maka hukumnya
dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka dilarang.

2. Alat Musik yang Digunakan.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah
bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan
ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik
pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama
adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk
mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah
semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

3. Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara` seperti
pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

4. Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan
seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung
dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz
dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).

5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik
tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap
dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka. (HR Abu Dawud)

6. Orang yang menyanyikan.

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan
muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi
kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1172114667

Ustadz Adi Hidayat

Hukum alat melekat pada fungsinya

Ustadz Abdul Shomad

Fiqh Musik Yusul Al Qardhawi

Ustadz Buya Yahya

Tempat, Lirik, Yang Menyanyikan, Kapan

Pada intinya music boleh asalkan


Lafal: tidak mengandung perkataan kotor dan melalaikan

Penyanyi: Laki-laki atau wanita yang masih kecil

Alat Musik: Bebas tapi tidak melalaikan

https://www.youtube.com/watch?v=mweMXFhGZs8

Bagaimana Hukum Wanita Bernyanyi di


Hadapan Bukan Mahram ?
Author : Pimpinan Pusat Muhammadiyah | Jum'at, 14 Juli 2017 14:06 WIB

Aurat secara bahasa berarti celah atau lubang yang menyebabkan sesuatu tidak seimbang. Ulama
mendefinisikannya dengan bagian-bagian tubuh laki-laki dan perempuan dengan batasan yang
dikaitkan dengan jenis (lelaki atau perempuan), umur seseorang, dan perempuan itu sendiri yang
dinisbahkan pada mahram atau non mahram (Asy-Sarh ash-Shaghir, 1: 283). Istilah mahram
mengacu pada kata haram. Maksudnya, perempuan atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Ulama lain, al-Khatib asy-Syarbini mendefinisikan aurat dengan sesuatu yang diharamkan untuk
dilihat (Mughni al-Muhtaj, 1: 185).

Seorang perempuan dibolehkan terlihat sebagian auratnya di depan laki-laki yang menjadi
mahram baginya serta di depan sesama muslimah. Kepada lakilaki yang bukan mahram, juga
dengan sesama wanita tapi bukan muslimah, maka yang boleh terlihat hanya wajah dan kedua
tapak tangannnya saja. Sebaliknya, di depan suami sendiri seorang wanita dibolehkan terlihat
seluruh bagian tubuhnya. Artinya halal dan sah.

Mengenai suara perempuan itu aurat atau bukan, sepengetahuan pihak fatwa tarjih tidak pernah
ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita adalah aurat. Realitas sejarah kehidupan
para sahabat menunjukkan, bagaimana para sahabat (baik lelaki maupun perempuan) berinteraksi
dengan  para istri Nabi Muhammad SAW, bertanya mengenai suatu permasalahan, saling
memberikan fatwa, dan meriwayatkan hadist. Tentu interaksi mereka dilandasi dengan adab dan
akhlak yang baik. Bahkan Aisyah RA sendiri termasuk sahabat kedua yang paling banyak
meriwayatkan hadist.

Jika ditelisik dalam Al-Qur’an dan Hadist, banyak sekali ayat dan riwayat yang menganjurkan
agar kita menjadi estetikus, manusia yang menghargai estetika (keindahan) segala ciptaan Allah
SWT. Beberapa di antaranya sebagai berikut:

ٍ ‫ض َج ِميعًا ثُ َّم ا ْستَ َوى إِلَى ال َّس َما ِء فَ َسوَّاه َُّن َس ْب َع َس َما َوا‬
‫ت َوه َُو بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذي خَ ل‬
ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما فِي األر‬

Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.”[QS.al-Baqarah (2): 29]

َ َ‫الَّ ِذي خَ لَقَكَ فَ َسوَّاكَ فَ َع َدل‬


‫ك‬

Artinya : “(Dialah) yang membuat segala sesuatu (dengan) sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah” [QS.al-Infithar (82): 7]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw beliau bersabda: Tidak akan
masuk surga siapa yang di dalam hatinya ada kesombongan meski (porsinya) kecil. Berkata
seorang lelaki: (Kalau) ada seseorang yang menyukaipakaian dan sandalnya bagus. Nabi
bersabda: Sesungguhnya Allah  Maha Indah dan mencintai keindahan, sombong adalah menolak
kebenaran dan merendahkan manusia (lain).”[HR. Muslim]

Melalui dalil-dalil di atas, Islam menganjurkan umatnya untuk menghargai keindahan, sehingga
diperlukan sarana pengungkapan atau penyaluran ekspresi tersebut. Oleh karena itu, kita
mengenal seni sastra hingga seni musik yang menjadi sarana ekspresi keindahan bunyi, suara,
sebagaimana manusia diberikan anugerah indera pendengaran.

Nyanyian dalam Islam termasuk dalam kategori masalah duniawi sehingga berlaku
kaidah fiqhiyah “Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah (diperbolehkan) hingga terdapat dalil
yang melarangnya”, kaidah ini disimpulkan dari (Qs. Baqarah:29) di atas. Para ahli hukum Islam
memasukkan kebutuhan terhadap seni secara umum, khususnya lagu, ke dalam
kategori mashlahah tahsiniyah, yaitu kebutuhan (hidup) yang apabila tidak terpenuhi, tidak akan
mengakibatkan seseorang terancam hidupnya, mengalami kesengsaraan dan kesulitan.
Penjelasan demikian tidak berlebihan jika kita membaca riwayat Hadis di atas. Selain itu terdapat
sebuah riwayat berikut:

Artinya: “Menceritakan pada kami Musaddad (dari) Bisyr bin Mufadhal (dari) Khalid bin
Dzakwan: Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ berkata: Nabi saw datang (menghadiri pesta
nikah) lalu duduk (di tempat yang sama ketika) aku (dulu) menikah (sehingga) aku dan Nabi
saling berhadapan. (Lalu) beberapa wanita membawakan nyanyian disertai iringan
tamboruntuk mengenang keluarganya yang mati syahid di Badar. Salah seorang wanita
(penyanyi) tersebut mengatakan bahwa (di depan mereka) ada Rasul yang mengetahui apa yang
terjadi hari esok. Rasul bersabda: Jauhi meramal dan teruslah bernyanyi.”[HR. al-Bukhari]

Seni suara sebagai ekspresi keindahan pada diri manusia, dengan demikian tidak dapat dikatakan
bertentangan dengan agama. Namun perlu diperhatikan bagaimana suatu seni disajikan. Setiap
karya memiliki unsur tekstual dan visual. Apabila teks (isi) nyanyian tersebut mengajak orang
kepada kemaksiatan atau dibawakan oleh seseorang, misalkan wanita, dengan pakaian yang
bertentangan dengan ajaran Islam, maka terlarang. Disini yang dilarang bukan nyanyiannya
sebagai suatu ekspresi seni semata, melainkan cara-cara penampilan (visual) dan isinya (tekstual)
yang membawa kepada kemaksiatan, yaitu perbuatan-perbuatan di luar ketaatan kita kepada
Allah atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah (Ushul Bazdawi, 3: 200)

Dalam khazanah fikih klasik, para ulama fikih memang sebagian besar mengharamkan nyanyian.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa nyanyian adalah permainan yang sia-sia (lahw) yang mirip
kebatilan. Orang yang banyak mendengarkannya menjadi orang tolol dan kesaksiannya di depan
hakim tidak sah. Murid-muridnya mengharamkan mendengar wanita menyanyi. Imam Abu
Hanifah menganggap nyanyian itu dosa dalam (Ihya’ Ulumiddin, 2: 1121-1122). Ibnu Qudamah
dari mazhab Hanbali menyatakan, memainkan alat musik seperti gambus, genderang, gitar,
rebab, seruling, dan lainnya adalah haram. Kecuali duff (tambor), karena Nabi saw membolehkan
di pesta pernikahan dan di luarnya sebagaimana riwayat di atas (al-Mughni, 3: 40-41).
Pandangan para ulama ini sesuai dengan situasi zaman mereka dan keadaan bagaimana nyanyian
pada waktu itu disuguhkan.

Keharaman nyanyian biasanya dihubungkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan pada
satu makna saja. Sebagai contoh yang dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian adalah
firman Allah berikut:

ٌ ‫ض َّل ع َْن َسبِي ِل هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َويَتَّ ِخ َذهَا هُ ُز ًوا أُولَئِكَ لَهُ ْم َع َذابٌ ُم ِه‬
‫ين‬ ِ ‫اس َم ْن يَ ْشت َِري لَ ْه َو ْال َح ِدي‬
ِ ُ‫ث لِي‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

 Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [QS.
Lukman (31): 6]

Kata-kata “perkataan yang tidak berguna” (Lahw al-Hadits) di atas ditafsirkan sebagai nyanyian
sebagaimana pendapat sahabat Ibnu Umar ra., Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Abbas ra., serta Ikrimah dan
Mujahid dari tabi’in. Perlu dipahami bahwa: pertama; selain dimaksudkan sebagai nyanyian,
masih ada penafsiran lain yaitu kabar, berita, kisah-kisah asing tentang para raja Romawi
sebagaimana pernah diceritakan oleh seorang musyrik Quraisy, Nadhar bin al-Harits pada
penduduk Mekah sehingga melalaikan mereka dari al-Qur’an, kedua; penafsiran sahabat tidak
dapat dihukumi marfu’ (setara berasal dari Nabi) kecuali terkait dengan sebab turunnya suatu
ayat (asbabun nuzul). Sekalipun ada yang menghukuminya marfu’, tapi terkategorikan
pada marfu’ fi’lan (perbuatan) yang tidak dapat digunakan sebagai landasan perbedaan pendapat
dalam hal ini. Ayat di atas secara eksplisit tidak mengerucut mencela pada penyanyi, pemusik,
dan yang melakukan perbuatan sia-sia. Tapi mencela dan mengancam siapa yang
memperjualbelikannya untuk menyesatkan manusia lain dari jalan Allah, membawa kepada
kemaksiatan, dan untuk sekedar olok-olokan. (Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Ghina’ wal-Musiqa:
30). Penafsiran Ibnu Umar dan Ibnu Abbas adalah pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an,
di mana para sahabat lain juga mempunyai pemahaman yang berbeda, di antaranya Umar bin al-
Khatab ra., Utsman bin Affan ra., Abdurrahman bin Auf ra., dan Abdullah bin az-Zubair ra. Oleh
karena itu, perkataan baik yang tidak membawa pada arah kesesatan dan kemaksiatan, tidak
termasuk dalam larangan ayat di atas.

Banyak riwayat (kurang lebih sekitar 15 buah, sebagaimana dikumpulkan oleh Yusuf al-
Qaradhawi) yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan musik. Di antaranya adalah
riwayat berikut

Artinya:  “Berkata Hisyam bin Amar (dengan sanadnya sampai kepada) Abi Amir atau Abu
Malik al-Asy’ari (yang) mendengar Nabi saw bersabda: Sungguh akan ada di antara umatku,
kaum-kaum yang akan menghalalkan zina, sutera, khamr dan alatalat yang melalaikan.”[HR.
al-Bukhari]

Hadist di atas terdapat dalam Shahih al-Bukhari, maka sisi kesahihannya tidak ada masalah.
Sanadnya sahih meski ada sebagian ulama Hadis yang masih meragukannya karena termasuk
dari “mua’llaqat” (putus, gugur rawinya seorang atau lebih pada awal sanadnya). Keterputusan
ada pada sosok Hisyam bin Amar. Ibnu Hajar al-Asqalani telah mencoba menguat-sambungkan
sanad ini dengan sekitar 9 jalur, tapi kesemuanya mengarah pada sosok Hisyam bin Amar ini,
meski terkenal sebagai ulama bagi penduduk Damaskus, dikuatkan oleh Ibnu Ma’in.Namun Abu
Dawud mengomentarinya,bahwa iapernah meriwayatkan sekitar 400 hadis yang tidak berasal-
usul. Ibnu Hatim menilainya benar, tapi sering berubah (shaduq wa qad taghayyara), an-Nasa’i
menilai tidak mengapa (tapi ini ungkapan melemahkan dalam kajian kritik hadist), dan oleh
Imam adz-Dzahabi dikomentari bahwa ia benar tapi banyak yang menilainya mungkar. Imam al-
Bukhari pun hanya memasukkan dua hadis dari sosok perawi ini dalam kitabShahih-nya. Dan
dari obyektifitas (amanah dan kefakihannya), Imam al-Bukhari memberi judul bab dimana
terdapat riwayat ini dengan “Bab Tentang Menghalalkan Khamr dan Menamakannya dengan
Nama Lain”. Artinya, ia tidak akan menyebutkan secara eksplisit, misalkan tentang bab khusus
diharamkannya al-Ghina’(musik-nyanyian).

Dari sisi istidlal (penalaran), teks Hadis di atas masih bersifat umum, tidak menunjuk alatalat
tertentu dengan namanya secara spesifik dan eksplisit. Di kisaran inilah, para ulama berselisih
pendapat. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan bila secara langsung dijadikan
landasan untuk mengharamkan sesuatu. Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu
bersifat melalaikan. Apakah bentuknya alat musik atau bukan, para ulama berbeda pendapat.
Oleh karena itu, Hadis-hadis yang ada dan sering digunakan oleh mereka yang mengharamkan
musik-nyanyian dapat disimpulkan ternilai sahih tapi tidak eksplisit-detail menjelaskan, atau
eksplisit-detail menjelaskan tapi tidak sahih, sehingga tidak dapat dijadikan dalil
pengharamannya (Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Ghina’ wal-Musiqa: 63). Abu Bakar Ibnu al-
Arabi dalam Ahkam al-Qur'an menguatkan, "Tidak ada satu pun dalil yang sahih untuk
mengharamkan nyanyian.”

Pemaparan di atas menyimpulkan beberapa hal yang menjadi pendapat fatwa tarjih
yaitu, pertama, suara perempuan bukanlah aurat, sehingga tidak ada halangan untuk didengar
oleh orang yang bukan mahram; kedua, hukum musik-nyanyian-lagu adalah diperbolehkan
(mubah) dengan syarat isinya tidak bertentangan dengan ketentuan agama, di antaranya tidak
mengandung kata-kata yang menyesatkan dan menjurus pada kemaksiatan, serta biduan yang
menyanyikan berpenampilan Islami, yakni menutup aurat dan tidak mengarah pada gerakan-
gerakan erotis.

You might also like