You are on page 1of 10

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.

1 April 2016, 1-10

PENGEMBANGAN INSTRUMEN ASESMEN UNTUK MENDETEKSI


PENGALAMAN TRAUMATIS PENYINTAS ERUPSI GUNUNG BERAPI

Salma1,2, Rahmat Hidayat2


1
Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang,
2
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia

salma@live.undip.ac.id

Abstract
Volcano eruption was one kind of disaster which could cause psychological problems among its survivors.
Traumatic experience particularly was one of three determinant factors which increases risk of psychological
problems after disaster. Hence, a rapid assessment instrument of survivors’ traumatic experience could examine
vulnerability of survivors, so that an effective intervention could be done for them. The study aims to develop
rapid assessment instrument for Merapi eruption survivors namely Traumatic Experience’s Checklist.
Concurrent validity of the instrument is tested for trauma which is known as one of the most common
psychological problems after disaster. A number of 66 survivors participated in this study with age above 21
years old. Subjects were divided into three zones: victim, endangered, and evacuated zone. Data were collected
using Traumatic Experience’s Checklist for measuring traumatic experience and Harvard Trauma Questionnaire
(HTQ) for measuring trauma. Pearson’s product moment analysis was used in the study analysis. The result
showed that the instrument is valid and has significant positive correlation with trauma (r= .487; p< .001).
Zonation also showed a significant ability to differentiate the level of trauma among survivors. Further
discussion and study is needed to find the best rapid assessment method to predict psychological problems
among volcano eruption survivors.

Keywords: traumatic experience; trauma; rapid assessment; volcano eruption

Abstrak
Erupsi gunung berapi merupakan salah satu bentuk bencana yang dapat menyebabkan problem psikologis pada
penyintas (survivor). Pengalaman traumatis pada khususnya merupakan satu dari tiga faktor utama yang
ditengarai meningkatkan resiko problem psikologis pasca bencana. Asesmen cepat terhadap tingkat pengalaman
traumatis dengan demikian dapat membantu menilai kerentanan penyintas sehingga dapat dilakukan intervensi
yang cepat dan tepat terhadap problem psikologis yang muncul. Penelitian ini bertujuan melakukan studi
pendahuluan pengembangan instrumen asesmen cepat bagi penyintas erupsi gunung berapi yang dinamakan
Checklist Pengalaman Traumatis (CPT). Uji Validitas konkuren CPT dilakukan terhadap salah satu problem
psikologis yang banyak muncul pasca bencana, yaitu gejala trauma. Sebanyak 66 orang penyintas bencana erupsi
Gunung Merapi Yogyakarta 2010 yang berusia di atas 20 tahun terlibat dalam penelitian. Subjek terbagi ke
dalam tiga zona, yaitu: zona korban, terancam, dan terungsi. Data dikumpulkan menggunakan CPT untuk
mengukur pengalaman traumatis dan Harvard Trauma Questionnaire (HTQ) untuk mengukur tingkat trauma.
Analisis data menggunakan uji korelasi Pearson’s product moment. Hasil analisis menunjukkan bahwa
instrumen ini valid dengan korelasi positif yang signifikan terhadap trauma (r= 0,487; p< 0,001). Zonasi juga
terbukti mampu membedakan secara signifikan tingkat trauma pada penyintas. Diskusi dan pengujian lebih
lanjut mengenai metode asesmen dampak psikologis yang terbaik untuk penyintas erupsi gunung berapi perlu
dilakukan.

Kata kunci: pengalaman traumatis; trauma; asesmen cepat; erupsi gunung berapi

PENDAHULUAN terjadi di Indonesia adalah bencana erupsi


gunung berapi. Salah satu gunung berapi
Sebagai wilayah yang dilalui oleh ring of yang aktif di Indonesia dan mengalami
fire, salah satu bencana yang banyak erupsi secara berkala adalah gunung

1
2 Salma & Hidayat

Merapi, yang berada di tiga wilayah dan pasir yang berjatuhan, atau mungkin
kabupaten: Sleman, Magelang, dan Klaten. melihat anggota keluarganya terluka.
Pada bulan Oktober-November 2010 Ketika individu baru mengalami peristiwa
gunung Merapi kembali mengalami erupsi traumatis, secara normal tubuh akan
eksplosif hingga mengakibatkan 116 orang memberikan respon untuk lebih siaga dan
meninggal dunia, 218 luka-luka, dan waspada. Individu menjadi lebih peka
puluhan ribu masyarakat mengungsi terhadap stimulus yang terkait dengan
(Badan Nasional Penanggulangan peristiwa traumatis (Wei, Qiu, Du, & Luo,
Bencana, 2010). 2011), sering mengalami flashback atau
seolah-olah mengalami kembali peristiwa
Dalam kondisi bencana semacam itu, traumatis, dan memunculkan perilaku
dampak yang diakibatkan tidak hanya menghindar terhadap hal-hal yang
bersifat fisik seperti hancurnya bangunan berkaitan dengan pengalaman traumatis
dan luka yang dialami oleh penyintas, (Parkinson, 2000). Perubahan kondisi
melainkan juga psikologis. Sebagian individu tersebut merupakan wujud dari
penyintas bencana mengalami dampak gejala trauma. Gejala trauma merupakan
psikologis yang serius dan jangka panjang reaksi wajar ketika individu baru saja
sehingga berpengaruh terhadap mengalami peristiwa traumatis. Akan
kesejahteraan psikologis penyintas dalam tetapi, gejala ini perlu ditangani agar tidak
menjalani aktivitas sehari-hari (Davidson berlanjut menjadi kondisi gangguan stress
& Mcfarlane, 2006; Fullerton & Ursano, pasca trauma, yaitu kondisi trauma yang
2005). Sejumlah gangguan psikologis juga berlangsung lebih dari enam bulan
ditemukan pada penyintas bencana, seperti (Maslim, 2001).
gangguan stress akut, gangguan stress
pasca trauma, dan depresi yang berkaitan Untuk dapat mengurangi dampak
dengan trauma (Fullerton & Ursano, psikologis pasca bencana, dibutuhkan
2005). peran dari pemerintah dalam melakukan
intervensi psikologis yang cepat dan tepat
Salah satu faktor determinan yang terhadap penyintas. Akan tetapi, suatu
meningkatkan resiko munculnya problem intervensi yang cepat dan tepat tentu saja
psikologis pasca bencana adalah membutuhkan asesmen yang cepat dan
pengalaman traumatis (Hidayat, 2010). tepat juga sebelumnya. Asesmen cepat
Pengalaman traumatis merupakan diperlukan untuk dapat memetakan dan
pengalaman yang mengancam keselamatan mengelompokkan masyarakat dengan
individu sehingga individu tersebut kerentanan rendah, sedang, hingga tinggi
mengalami ketakutan yang ekstrem sehingga dapat diberikan intervensi atau
(Parkinson, 2000). Yang dimaksud dengan penanganan yang sesuai dengan kebutuhan
ancaman terhadap keselamatan tidak hanya masing-masing.
keselamatan fisik, melainkan juga
psikologis atau jiwa. Pengalaman traumatis Pada kasus penanggulangan bencana
ini dialami ketika masyarakat mengalami erupsi Merapi 2010, intervensi psikologis
kepanikan ketika menyadari terjadinya yang diberikan kepada penyintas
bencana dan harus menyelamatkan diri. dikoordinir oleh Badan Nasional
Dalam konteks erupsi Merapi, penyintas Penanggulangan Bencana (BNPB). Belum
mungkin harus berlari menjauhi lahar terdapat asesmen sistematis yang
panas atau wedhus gembel, berlari di dilakukan kecuali untuk kebutuhan
tengah hujan kerikil, mendengar suara pendataan identitas penyintas di lokasi
letusan yang keras dan suara batu, kerikil, pengungsian. Posko psikologi disediakan

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 1-10


Pengembangan instrumen asesmen untuk mendeteksi pengalaman traumatis penyintas erupsi 3
Gunung Berapi

oleh Center for Public Mental Health


(CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Asesmen cepat bagi penyintas bencana
Gadjah Mada, akan tetapi penyintas yang haruslah memiliki berkorelasi secara
datang ke posko masih bersifat sukarela signinifikan terhadap problem psikologis
atau atas rekomendasi dari relawan. pasca bencana. Korelasi suatu instrumen
Aktivitas psikososial yang difasilitasi oleh terhadap kriteria eksternal sesuai dengan
relawan juga tidak melibatkan pemetaan teori yang ada disebut juga dengan
secara khusus. Hal ini tentu beresiko validitas berbasis kriteria (Azwar, 2008).
meninggalkan sejumlah penyintas yang Adapun validitas berdasarkan kriteria
sesungguhnya membutuhkan bantuan terdiri atas dua macam, yaitu uji validitas
psikologis tidak tertangani karena tidak prediktif dan uji validitas konkuren. Pada
terdeteksi oleh relawan. skala yang bersifat retrospektif
(pengalaman yang diukur terjadi pada
Sebagai salah satu faktor determinan waku sebelumnya), kedua macam validitas
terhadap munculnya problem psikologis berbasis kriteria tersebut, baik prediktif
pada penyintas bencana, pengalaman maupun konkuren relevan diterapkan.
traumatis dapat digunakan sebagai Validitas prediktif dapat menilai seberapa
indikator dalam instrumen asesmen cepat baik kemampuan instrumen asesmen
pasca bencana. Sejumlah penelitian memprediksi kriteria eksternal penyimtas
menunjukkan bahwa pengalaman traumatis dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
merupakan prediktor dari gangguan validitas konkuren menilai seberapa baik
psikologis pasca bencana, seperti instrumen asesmen memprediksi kriteria
gangguan stress pasca trauma dan depresi eksternal yang diukur pada waktu yang
(Dewaraja & Kawamura, 2006; Hu, Cao, relatif dekat.
Wang, Chen, Liu & Yamamoto, 2015;
Knipscheer, Sleijpen, Mooren, June, & Aa, Penelitian ini dengan demikian bertujuan
2011). Pengalaman traumatis yang dialami untuk mengembangkan instrumen asesmen
oleh penyintas bencana tidak hanya berupa cepat pengalaman traumatis pada penyintas
ancaman yang dialami langsung, tetapi bencana erupsi gunung berapi dengan
juga dapat berupa menyaksikan peristiwa pengujian validitas berupa uji validitas
traumatis yang dialami oleh orang lain konkuren terhadap gejala trauma.
(Patki, Salvi, Liu, & Salim, 2015).
Sejumlah penelitian juga telah METODE
menggunakan instrumen yang mengases
pengalaman traumatis dalam konteks Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 66
bencana yang beragam, seperti pada orang penyintas bencana erupsi Merapi
pengungsi akibat konflik di Afrika Oktober 2010 di wilayah Kabupaten
(Mollica, McDonald, Massagli, & Silove, Sleman, DI Yogyakarta. Penelitian
2004), bencana kemanusiaan akibat dilakukan di tempat pengungsian atau
konflik di Timor-Lestei (Silove, Bateman, rumah subjek, tidak lebih dari 1 bulan
Brooks, Fonseca, Steel, Rodger, Soosay, pasca erupsi pertama terjadi.
Fox, Patel & Bauman, 2008; Silove,
Brooks, Bateman, Steel, Amaral, Rodger, Mengingat bencana baru saja terjadi, hanya
Soosay, 2010), perang (Dunlavy, 2001), penyintas yang dapat berkomunikasi
dan gempa bumi di Bantul (Hidayat, dengan baik serta tidak sedang mengalami
2010). Akan tetapi, instrumen asesmen gangguan fisik atau psikis berat yang
untuk penyintas erupsi gunung berapi di ditawarkan untuk terlibat dalam penelitian.
Indonesia belum tersedia. Proses pengambilan data juga dilakukan

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 1-10


4 Salma & Hidayat

secara empatik agar tidak memperburuk Instrumen yang digunakan dalam


kondisi subjek. penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu
Checklist Pengalaman Traumatis (CPT)
Kriteria inklusi untuk subjek dalam untuk mengukur tingkat pengalaman
penelitian ini adalah: traumatis dan Harvard Trauma
1. Subjek merupakan penyintas erupsi Quetionnaire (HTQ) untuk mengukur
Merapi 2010 yang termasuk dalam gejala trauma. Instrumen pertama
satu di antara tiga zona berikut: merupakan instrumen yang sedang
a. Zona korban, yaitu wilayah yang dikembangkan dan diuji validitasnya
terkena dampak awan panas, lahar, dalam penelitian ini, sementara instrumen
maupun material gunung Merapi kedua merupakan instrumen yang sudah
secara massif sehingga berakibat terstandarisasi dan diadaptasi ke dalam
pada hancurnya suatu wilayah yang bahasa Indonesia. Instrumen kedua
pemulihannya dapat memakan digunakan sebagai kriteria eksternal dari
waktu hingga bertahun-tahun. instrumen yang dikembangkan.
b. Zona terancam, yaitu wilayah yang
terkena dampak hujan kerikil dan Checklist Pengalaman Traumatis (CPT)
pasir secara massif, hingga CPT merupakan instrumen asesmen
mengakibatkan kerusakan di pengalaman traumatis pada penyintas
wilayahnya. Meski demikian, erupsi gunung berapi yang sedang
wilayah tersebut masih dapat dikembangkan dalam penelitian ini.
diperbaiki dan dihuni kembali Aitem-aitem dalam CPT disusun
pasca bencana. berdasarkan studi literatur dan hasil dari
c. Zona terungsi, yaitu wilayah yang tahap preliminary interview, yaitu
pada bencana erupsi Merapi terkena wawancara terhadap sejumlah penyintas.
dampak hujan pasir dan kerikil, Instrumen asesmen yang dikembangkan
tetapi dalam intensitas yang lebih dipilih dalam bentuk checklist dengan
rendah dan tidak menimbulkan pilihan jawaban “Ya”/”Tidak”.
kerusakan signifikan pada Pertimbangan menggunakan format
wilayahnya. checlist adalah karena pasca bencana,
Penggunaan zona sebagai bagian dari sebagian besar penyintas dalam kondisi
kriteria inklusi bertujuan untuk psikologis yang belum benar-benar stabil
membuat sampel yang diperoleh sehingga instrumen asesmen yang hendak
representatif terhadap keseluruhan diterapkan haruslah sederhana dan mudah
populasi. Representasi yang lebih dijawab. Respon subjek terhadap CPT
ditekankan dalam hal ini adalah selanjutnya dikuantifikasi menjadi 1 untuk
representasi pengalaman traumatis respon “Ya” dan 0 untuk respon “Tidak”.
subjek karena pengalaman traumatis Seluruh respon selanjutnya dijumlahkan
penyintas pada tiap zona sangat sehingga diperoleh total skor pengalaman
mungkin berbeda. traumatis menggunakan CPT.
2. Subjek berjenis kelamin laki-laki atau
perempuan dengan tingkat pendidikan
tidak dibatasi. Harvard Trauma Questionnaire (HTQ)
3. Subjek berusia >20 tahun (dewasa
atau lansia). HTQ merupakan kuesioner kuantitatif
4. Subjek mengungsi pada masa bencana yang berfungsi mengungkap tingkat gejala
berlangsung. trauma yang dialami oleh individu. HTQ
terdiri dari 42 aitem yang merupakan

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 1-10


Pengembangan instrumen asesmen untuk mendeteksi pengalaman traumatis penyintas erupsi 5
Gunung Berapi

daftar gejala trauma. Cara merespon aitem Data dianalisis menggunakan SPSS 16.0.
dalam HTQ adalah dengan memilih satu di Analisis deskriptif diterapkan pada data
antara empat pilihan respon (Tidak sama subjek. Uji validitas konkuren dilakukan
sekali/ Sedikit/ Kadang-kadang/ Sering). menggunakan Pearson’s product moment
Skor bergerak dari angka 0 hingga 3. Skor analysis. Uji beda terhadap tingkat gejala
0 diberikan untuk respon “Tidak sama trauma antar zona juga dilakukan sebagai
sekali”, sedangkan skor 3 diberikan untuk analisis tambahan.
respon “Sering”. Skor HTQ merupakan
jumlah total dari skor tiap aitem. Contoh
aitem HTQ adalah “Pemikiran yang HASIL DAN PEMBAHASAN
berulang atau ingatan tentang kejadian
yang menyakitkan atau mengerikan”, Konstruksi Aitem CPT
“Merasa gugup, mudah terkejut”, dan Checklist Pengalaman Traumatis (CPT)
“Kurang tertarik untuk melakukan disusun berdasarkan temuan dari reviu
aktivitas sehari-hari”. literatur, preliminary interview, dan
penilaian ahli. Tujuannya adalah untuk
Penelitian diawali dengan preliminary
memastikan seluruh peristiwa traumatis
interview untuk menggali peristiwa-
yang mungkin dialami oleh para penyintas
peristiwa traumatis yang dialami penyintas
terepresentasi dalam checklist. Pada tahap
bencana erupsi Merapi 2010. Wawancara
reviu literatur, dilakukan pengkajian
yang dilakukan bersifat tidak terstruktur
mengenai peristiwa traumatis yang
dengan pertanyaan utama “Bagaimana
mungkin dialami oleh penyintas bencana
pengalaman bapak/ibu saat terjadi erupsi
erupsi gunung berapi. Selanjutnya pada
Merapi?” Pewawancara melakukan
preliminary interview, tiga orang penyintas
probing pada setiap jawaban sehingga
dari tiga zona yang berbeda diwawancara
diperoleh gambaran yang utuh dan lengkap
mengenai pengalaman mereka saat erupsi
mengenai pengalaman penyintas dalam
Merapi berlangsung. Hasil wawancara
bencana erupsi Merapi. Hasil dari
tersebut digunakan untuk menunjang
wawancara beserta penilaian ahli (expert
identifikasi peristiwa traumatis yang
judgement) digunakan sebagai dasar untuk
mungkin dialami oleh penyintas. Terakhir,
menyusun aitem-aitem dari instrumen
daftar peristiwa traumatis yang telah
asesmen yang dikembangkan, yaitu
diidentifikasi dinilai oleh seorang ahli di
Checklist Pengalaman Traumatis (CPT).
bidang Psikologi untuk memastikan
Peneliti bersama tim selanjutnya kesesuaian aitem yang ada dengan
mengadministrasikan CPT dan HTQ konstruk yang diharapkan, dalam hal ini
kepada subjek yang bersedia terlibat dalam adalah pengalaman traumatis.
penelitian.
CPT dan HTQ diadministrasikan dengan Keseluruhan proses tersebut menghasilkan
cara wawancara kepada subjek penelitian. tiga aspek yang digunakan dalam CPT,
Hal ini bertujuan untuk meminimalisir yaitu: aspek stimulus perilaku, visual, dan
kondisi yang mengganggu bagi subjek. audio. Penggunaan tipe stimulus sebagai
Teknik wawancara membantu peneliti aspek didasarkan pada pertimbangan
untuk menyampaikan item-item di dalam bahwa memori pengalaman traumatis
CPT dan HTQ dengan tempo yang sesuai terekam (encoding) dan terpantik kembali
dengan kondisi masing-masing subjek. untuk muncul (decoding) melalui
modalitas yang beragam. Total aitem dari

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 1-10


6 Salma & Hidayat

Tabel 1
Aspek dan Aitem dalam Checklist Pengalaman Traumatis
Aspek Aitem

Stimulus perilaku 1. Berkejar-kejaran dengan terjangan awan panas


2. Menyelamatkan diri dari terjangan awan panas
3. Menyelamatkan diri di tengah hujan pasir, kerikil, atau abu vulkanik
4. Merasakan getaran akibat aktivitas gunung Merapi
5. Mengalami luka bakar
6. Berada di jalan yang penuh dengan orang menyelamatkan diri

Stimulus visual 1. Melihat dari jauh awan panas menerjang rumah atau perkampungan
2. Menyaksikan keluarga atau tetangga atau orang lain ketika tersengat awan panas
3. Menyaksikan hewan atau ternak milik sendiri atau milik orang lain tersengat awan
panas
4. Melihat kondisi korban yang tewas akibat awan panas
5. Melihat korban yang mengalami luka bakar
6. Menyaksikan kondisi hewan yang mati terbakar
7. Menyaksikan kondisi hewan yang mengalami luka bakar
8. Melihat kondisi diri sendiri yang penuh dengan abu
9. Melihat kondisi orang lain yang penuh dengan abu
10. Berada dalam cuaca mendung yang sangat gelap

Stimulus audio 1. Mendengar suara gemuruh dari dalam perut gunung Merapi
2. Mendengar suara ledakan gunung Merapi
3. Mendengar suara gemuruh material yang menggelinding dari puncak Merapi
4. Mendengar terjangan awan panas
5. Mendengar suara pohon terbakar
6. Mendengar suara rumah terbakar
7. Mendengar suara yang ditimbulkan oleh hujan kerikil
8. Mendengar suara yang ditimbulkan oleh hujan pasir
9. Mendengar teriak kepanikan orang-orang sekitar
10. Mendengar suara-suara hewan yang panic
11. Mendengar perintah atau anjuran untuk mengungsi
12. Mendengar suara sirine (ambulance, peringatan, dll.)
13. Mendengar teriak kesakitan korban yang mengalami luka bakar
14. Mendengar suara hewan yang mengalami luka bakar
15. Mendengar isu awan panas yang sudah dekat

CPT yang tersusun terdiri dari 31 butir Karakteristik Subjek


(lihat tabel 1). Dari 66 subjek Berdasarkan analisis
deskriptif demografi subjek, diperoleh
Adapun instruksi untuk pengisian CPT gambaran 47 % dari keseluruhan subjek
adalah “Berikut ini adalah daftar peristiwa (31 orang) merupakan laki-laki dan 53 %
terkait dengan bencana erupsi Merapi. (35 orang) adalah perempuan. Sementara
Tolong dengarkan baik-baik dan tentukan
apakah Anda mengalaminya atau tidak.”
Pewawancara memberikan tanda cek (√) untuk gambaran subjek di zona korban saja
pada kolom yang sesuai dengan jawaban adalah 11 laki-laki (48%) dan 12
yang dikemukakan oleh subjek. perempuan (52 %), zona terancam 10 laki-
laki (45,5 %) dan 12 perempuan (54,5 %),
serta zona terungsi 10 laki-laki (48 %) dan
11 perempuan (52 %). Usia responden

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 1-10


Pengembangan instrumen asesmen untuk mendeteksi pengalaman traumatis penyintas erupsi 7
Gunung Berapi

berkisar dari 25 hingga 78 (M= 41,59; jauh. Hal yang sama juga terjadi pada
SD= 13,945). bencana erupsi St. Helens, di mana
dampak psikologis semakin besar pada
Pada Checklist Pengalaman Traumatis, wilayah yang semakin dekat dengan
tampak bahwa jumlah peristiwa traumatis puncak (Fullerton & Ursano, 2005).
yang dialami oleh subjek dalam penelitian
ini berkisar dari satu hingga 22 Tabel 3
pengalaman traumatis (M= 12,45; SD= Rerata dan Standar Deviasi CPT dan HTQ
4,743). Sedangkan hasil dari analisis Berdasarkan Jenis Kelamin
deskriptif terhadap HTQ menunjukkan
tingkat trauma subjek berkisar dari skor Jenis CPT HTQ
nol hingga 58 (M= 16,88; SD= 15,03). Kelamin M SD M SD
Gambaran lebih rinci sebaran pengalaman Perempuan 11,74 4,648 19,89 17
traumatis dan tingkat trauma subjek tersaji Laki-laki 13,26 4,796 13,48 11,809
pada tabel 2 dan tabel 3. Uji beda independent sample t-test untuk CPT dan
HTQ berdasarkan jenis kelamin tidak signifikan
Tabel 2 (p>0,05)

Rerata dan Standar Deviasi CPT dan HTQ Sementara pada tabel 3 tampak bahwa
Berdasarkan Zona jumlah pengalaman traumatis yang dialami
Zona CPT** HTQ** laki-laki cenderung lebih banyak
M SD M SD dibandingkan perempuan. Hal ini dapat
Korban 15 4,954 24,35 16,278 disebabkan oleh peran laki-laki yang harus
Terancam 12,91 2,653 18,41 11,492 bertahan lebih lama di lokasi bencana
Terungsi 9,19 4,457 7,10 11,696 untuk menyelamatkan anggota keluarga
maupun menyelamatkan harta benda
** Uji one-way anova untuk CPT dan kruskal dibandingkan perempuan. Hal ini juga
wallis untuk HTQ berdasarkan zona signifikan pada
p<0,01
sejalan dengan prinsip mitigasi bencana
maupun yang memprioritaskan perempuan
Secara umum, dari tabel 2 tampak bahwa dan anak-anak untuk diselamatkan terlebih
baik pengalaman traumatis maupun dahulu dibandingkan laki-laki. Sebaliknya,
tingkat trauma subjek meningkat seiring meski pengalaman traumatis yang dialami
dengan meningkatnya kategori zona. cenderung lebih rendah, perempuan justru
Jumlah pengalaman traumatis dan tingkat menunjukkan tingkat trauma yang lebih
trauma terendah tampak pada zona tinggi dibandingkan laki-laki, meski secara
terungsi, kemudian meningkat pada zona statistik perbedaan tersebut belum
terancam, dan tampak paling tinggi pada signifikan.
zona korban. Hasil tersebut serupa dengan
kondisi yang ditemukan dalam konteks Reliabilitas dan Validitas Konkuren CPT
konflik kemanusiaan di Aceh (Departemen terhadap Gejala Trauma
Kesehatan Republik Indonesia, Organisasi Hasil uji reliabilitas CPT dilakukan
Internasional untuk Migrasi Universitas menggunakan Cronbach’s Alpha
Syah Kuala, Harvard Medical School, menunjukkan koefisien reliabilitas CPT
2006). Hasil penelitian tersebut sebesar 0,854. Sementara analisis
menunjukkan bahwa responden di wilayah reliabilitas terhadap data HTQ
yang semakin dekat dengan pusat konflik menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar
menunjukkan pengalaman traumatis lebih 0,921. Hasil ini menunjukkan bahwa CPT
tinggi dibandingkan wilayah yang lebih reliabel dalam mengukur pengalaman

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 1-10


8 Salma & Hidayat

traumatis, begitu pula HTQ pada penyintas bencana. Meski CPT


pengambilan data dalam penelitian ini juga memberikan kebaruan dalam deteksi
menunjukkan hasil yang reliabel. problem psikologis pada penyintas erupsi
gunung berapi, instrumen ini masih
Pengujian validitas konkuren CPT membutuhkan pengembangan lebih lanjut.
terhadap gejala trauma yang dalam hal ini Pada tahap penelitian ini, tiap aitem dalam
diukur menggunakan HTQ dilakukan CPT masih dibobot dengan skor yang
melalui uji korelasi Pearson’s product sama, padahal dimungkinkan tidak setiap
moment. Hasil analisis menunjukkan peristiwa memberikan intensitas
terdapat korelasi yang signifikan antara pengalaman traumatis yang sama.
pengalaman traumatis (CPT) dengan Sehingga untuk penelitian selanjutnya,
tingkat gejala trauma (HTQ dengan pembobotan tingkat traumatis pada aitem
koefisien korelasi r= 0,478 (p<0,001). CPT dapat dilakukan. Selain itu, uji
Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen validitas prediktif dengan jarak
asesmen cepat CPT valid untuk pengukuran yang lebih lama dan dengan
memprediksi tingkat gejala trauma pada menggunakan kriteria eksternal lain dapat
penyintas bencana erupsi Merapi. dilakukan.

Hasil uji validitas CPT ini juga mendukung KESIMPULAN


penelitian sebelumnya bahwa pengalaman
traumatis merupakan prediktor bagi Berdasarkan hasil analisis data, dapat
gangguan psikologis pasca bencana, disimpulkan bahwa Checklist Pengalaman
khususnya gangguan stress pasca bencana. Traumatis (CPT) valid dan reliabel untuk
Sejumlah pengalaman traumatis yang digunakan sebagai instrumen asesmen
terbukti memprediksi trauma antara lain cepat dampak psikologis pada penyintas
berada dalam kondisi yang mengancam bencana erupsi gunung berapi, dengan
(Beiser, Wiwa, & Adebajo, 2010) dan koefisien reliabilitas rxx’= 0,854 dan
menyaksikan meninggalnya orang lain, koefisien validitas konkuren terhadap
terutama yang memiliki kedekatan gejala trauma sebesar rxy= 0,487 (p< ,001).
emosional (Dewaraja & Kawamura, 2006;
Hu dkk., 2015). CPT dapat menjadi pilihan instrumen
asesmen cepat dan sistematis bagi tim
Instrumen asesmen CPT dengan demikian penanggulangan bencana dalam
dapat menjadi alternatif metode asesmen memetakan resiko problem psikologis pada
cepat yang lebih sistematis yang dapat penyintas bencana erupsi gunung berapi.
digunakan dalam konteks penanggulangan Untuk penelitian selanjutnya dapat
bencana erupsi Merapi. Jika selama ini dilakukan pembobotan tingkat traumatis
pemberian layanan psikologis maupun dari aitem-aitem Checklist Pengalaman
psikososial dilakukan dengan cara yang Traumatis (CPT) sehingga semakin sensitif
sama terhadap semua penyintas dan dalam menggambarkan resiko problem
melalui permintaan khusus yang psikologis pasca bencana. Studi lanjutan
tertangkap oleh relawan, maka instrumen juga dapat menguji validitas prediktif CPT
ini dapat membantu tim penanggulangan terhadap problem psikologis maupun
bencana dalam memetakan penyintas kriteria eksternal lain dalam jangka waktu
berdasarkan resiko problem psikologisnya. tertentu.
Adanya instrumen CPT juga
meminimalisir penggunaan asumsi dalam
pemberian bantuan psikologis terhadap

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 1-10


Pengembangan instrumen asesmen untuk mendeteksi pengalaman traumatis penyintas erupsi 9
Gunung Berapi

DAFTAR PUSTAKA UK: John Wiley & Sons, Ltd.


doi: 10.1002/047002125X.ch2.
Azwar, S. (2008). Reliabilitas dan
validitas. Yogyakarta: Pustaka Hidayat, R. (2010). Estimating the
Pelajar. psychological impacts of earthquake
from data of mortality, injury, and
Beiser, M., Wiwa, O., & Adebajo, S. physical destruction. Working paper.
(2010). Human-initiated disaster, Fakultas Psikologi Universitas
social disorganization and post- Gadjah Mada Yogyakarta.
traumatic stress disorder above
Nigeria’s oil basins. Social Science & Hu, X., Cao, X., Wang, H., Chen, Q., Liu,
Medicine, 71(2), 221–227. doi: M., & Yamamoto, A. (2015).
10.1016/j.socscimed.2010.03.039 Probable post-traumatic stress
disorder and its predictors in disaster-
Davidson, J. R. T., & Mcfarlane, A. C. bereaved survivors : A longitudinal
(2006). The extent and impact of study after the Sichuan earthquake.
mental health problems after disaster. Archives of Psychiatric Nursing, 6–
The Journal of Clinical Psychiatry, 11.http://doi.org/10.1016/j.apnu.2015.
67, 9–14. 08.011

Departemen Kesehatan Republik Knipscheer, J. W., Sleijpen, M., Mooren,


Indonesia, Organisasi Internasional T., June, F. J., & Aa, N. V. D. (2011).
untuk Migrasi, Universitas Syiah Trauma exposure and refugee status
Kuala, & Harvard Medical School. as predictors of mental health
(2006). Penelitian kebutuhan outcomes in treatment-seeking
psikososial masyarakat yang terkena refugees. BJPsych Bulletin, 39, 178–
dampak konflik di kabupaten Pidie, 182. doi: 10.1192/pb.bp.114.047951.
Bireuen, dan Aceh Utara. Aceh:
Universitas Syiah Kuala. Maslim, R. (2001). Buku saku pedoman
penggolongan diagnostik gangguan
Dewaraja, R., & Kawamura, N. (2006). jiwa III. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Trauma intensity and posttraumatic
stress: Implications of the tsunami Mollica, R.F., McDonald, L.S., Massagli,
experience in Sri Lanka for the M., & Silove, D.M. (2004).
management of future disasters. Measuring trauma, measuring
International Congress Series, 1287, torture: Instruction and guidance on
69–73. doi: 10.1016/j.ics.2005.11.098 the utilization of the Harvard
program in refuge traumas versons
Dunlavy, A. C. (2001). The impact of of the HSCL-25 and the HTQ.
acculturation, trauma, and post- Cambridge, MA: Harfard Program in
migration stressors on the mental Refuge Trauma.
health of african immigrants and
refugees in Sweden. Thesis. Parkinson, F. (2000). Post-trauma stress.
Graduate School of Public Health London: Fisher Books.
University of Pittsburgh.
Patki, G., Salvi, A., Liu, H., & Salim, S.
Fullerton, C. S., & Ursano, R. J., (2005). (2015). Witnessing traumatic events
Psychological & psychopatological and post-traumatic stress disorder :
consequences of disasters. Chicester, Insights from an animal model.

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 1-10


10 Salma &
Hidayat

Neuroscience Letters, 600, 28–32. Silove, D., Brooks, R., Bateman, C.S.,
doi: 10.1016/j.neulet.2015.05.060 Steel, Z., Amaral, Z. F. C., Rodger,
J., & Soosay, I. (2010). Social and
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. trauma-related pathways leading to
(2010). Peta Rekapitulasi Jumlah psychological distress and functional
Korban dan Pengungsi Letusan limitations four years after the
Gunungapi Merapi (6 Nov 2010). humanitarian emergency in timor-
Retrieved from leste. Journal of Traumatic Stress,
http://geospasial.bnpb.go.id/2010/11/0 23(1), 151–160.
6/peta-rekapitulasi-jumlah-korban-
dan-pengungsi-letusan-gunungapi- Wei, D. T., Qiu, J., Du, X., & Luo, Y. J.
merapi-6-nov-2010/ (2011). Emotional arousal to negative
information after traumatic
Silove, D., Bateman, C. R., Brooks, R. T., experiences: An event-related brain
Fonseca, C. A. Z., Steel, Z., Rodger, potential study. Neuroscience, 192,
J., Soosay, I., Fox, G., Patel, V., & 391–397. doi:10.1016/j.neuroscience.
Bauman, A. (2008). Estimating 2011.06.055.
clinically relevant mental disorders
in a rural and an urban setting in
postconflict timor leste. Archives of
General Psychiatry, 65 (10), 1205-
1212.doi:10.1001/archpsyc.65.10.12
05.

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 1-10

You might also like