You are on page 1of 17

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA TANI KELAPA SAWIT PADA BEBERAPA

MANAJEMEN PENGELOLAAN DAN JENIS LAHAN USAHA DI KAMPAR, RIAU

Mamat H.S.1, Puspitasari2, Deciyanto Soetopo3, dan Chalid Talib4


1
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
4
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Email : mamath.suwanda@gmail.com

ABSTRACT
Sustainability Analysis of Oil Palm Farming Business in Several Management and Types of Business
Land in Kampar, Riau. Oil palm is one of the mainstay of export commodities and farmers' income, including
cultivated on peat land. The use of peat land for agriculture is feared to threaten the sustainability of farming, mainly
due to a decrease in environmental quality. Sustainability analysis of oil palm had objectives to assess the
sustainability index of oil palm farming system from some of the plasma management of oil palm farmers and to to
determine sensitive factors or leverage points as suggestions to improve the sustainability of oil palm farming system
especially on peatlands. Through multidimensional scalling (MDS) analysis based on five dimensions such as
economic, ecological, social, technological, and legal and institutional. MDS analysis was carried out on six
management models of oil palm farming. The results of the analysis showed that the plasma management of oil palm
farmers assisted by private companies (PT. Agro Lestari) on peatlands was the highest level of sustainability, which
index sustainability was 60.2 or in a fairly sustainable category. Sensitive factors that can used as a determinant point
of the sustainability of farming system, including market access , cultivated land area of farmers, and reasonable
prices (economic dimension); maturity of peat land, and the existence of cover crops as ground cover plants
(ecological dimension); negative oil palm issues, the role of farmer groups and availability of labor at the local level
(social dimension); availability of road facilities (technology dimension); companion effectiveness, ease of licensing,
and integration and contribution of existing institutions in the regions related to oil palm farming system (legal and
institutional dimensions). Those sensitive factors were leverage points that need to be considered and encouraged in
their implementation so that the sustainability of oil palm farming system continues to increase.
Keywords: oil palm, sustainability index, MDS analysis, peatland

ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan ekspor dan pendapatan petani, diantaranya diusahakan
di lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan usahatani
terutama akibat penurunan kualitas lingkungan. Analisis keberlanjutan usaha tani kelapa sawit ini mempunyai tujuan
untuk menilai indeks keberlanjutan usaha tani kelapa sawit dari beberapa manajemen pengelolaan kelapa sawit petani
plasma, dan menentukan faktor peka atau titik ungkit sebagai saran dalam meningkatkan keberlanjutan usaha tani
kelapa sawit khususnya di lahan gambut, dengan menggunakan analisis Multi-Dimensional Scaling (MDS)
berdasarkan lima dimensi yaitu ekonomi, ekologi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Analisis MDS
dilakukan terhadap enam model manajemen pengelolaan usaha tani kelapa sawit. Hasil analisis menunjukkan
manajemen pengelolaan kelapa sawit petani plasma binaan perusahaan swasta (PT. Agro Lestari) di lahan gambut
merupakan model manajemen pengelolaan usaha tani kelapa sawit yang paling tinggi tingkat keberlanjutannya,
dengan indeks keberlanjutan 60,2 atau masuk katagori cukup berkelanjutan. Faktor peka yang dapat menjadi titik
ungkit dalam dimensi ekonomi meliputi akses pasar, luas lahan garapan petani, dan harga TBS yang layak, faktor
peka dalam dimensi ekologi adalah kematangan lahan gambut, dan keberadaan tanaman cover crops sebagai tanaman
penutup tanah. Faktor peka pada dimensi sosial di antaranya isu negatif kelapa sawit, peran kelompok tani dan
ketersediaan tenaga kerja di tingkat lokal, faktor peka dalam dimensi teknologi adalah ketersediaan fasilitas jalan,

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 67
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
sedangkan faktor peka pada dimensi hukum dan kelembagaan adalah efektivitas pendamping, kemudahan perijinan,
serta keterpaduan dan kontribusi lembaga yang ada di daerah terkait usaha tani kelapa sawit. Faktor-faktor peka
tersebut, merupakan titik ungkit yang perlu diperhatikan dan didorong dalam implementasinya agar keberlanjutan
usaha tani kelapa sawit terus meningkat.
Kata kunci: kelapa sawit, indeks keberlanjutan, analisis MDS, lahan gambut

PENDAHULUAN sawit mentah dan produk turunannya. Irawan


(2007) mengemukakan bahwa fluktuasi harga
Luas lahan gambut di Indonesia sekitar
komoditas pertanian pada dasarnya terjadi akibat
7,2 juta ha dengan timbunan karbon 18,8 juta ton.
ketidakseimbangan antara kuantitas pasokan dan
Riau memliki lahan gambut terluas 3,89 juta ha
permintaan yang dibutuhkan konsumen.
dengan karbon 14,6 juta ton (Masganti et al.,
Widayana (2016) merekomendasikan agar
2014). Pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan
pemerintah perlu menetapkan harga TBS untuk
pertanian banyak menimbulkan polemik,
menjaga kestabilan harga.
terutama komentar negatif terhadap pengusahaan
tanaman perkebunan dan pangan di lahan gambut Kay dan Alder (2000) mengemukakan
yang berada di dalam kawasan hutan. bahwa beberapa kriteria yang dapat menjadi
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya acuan pembangunan berkelanjutan adalah
pertanian, dikhawatirkan akan menimbulkan menyangkut aspek ekologi, ekonomi, sosial
dampak negatif, yaitu akan terganggunya potensi budaya serta hukum dan kelembagaan.
karbon yang tersimpan dalam gambut, dan juga Perkebunan kelapa sawit memiliki multifungsi,
dikhawatirkan menurunkan kemampuan gambut yakni fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
dalam menimbun karbon (carbon sink), Dengan multifungsi tersebut dapat memberikan
terganggunya keanekaragaman hayati gambut, kontribusi, baik secara ekonomi, sosial, maupun
serta kekhawatiran dengan perubahan lingkungan, bagi pencapaian sustainibility
penggunaan lahan gambut tersebut akan development goals (SDGs). Kontribusi industri
menimbulkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang minyak sawit dalam aspek ekonomi antara lain
sangat besar (Suwanda, 2016). Selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan
dikemukakan bahwa penelitian di lahan gambut daerah, serta sumber devisa dan pendapatan
yang ditanami karet, menunjukkan bahwa pH negara. Dalam aspek sosial antara lain untuk
tanah dan air, serta tinggi muka air tanah yang pembangunan pedesaan dan pengurangan
sangat mempengaruhi produktivitas dan kemiskinan. Peranan ekologis dari perkebunan
kelestarian lingkungan. Permasalahan lain juga sawit mencakup pelestarian daur karbon dioksida
terjadi pada kerusakan lingkungan yang semakin dan oksigen, restorasi degraded land, konservasi
intensif karena limbah domestik, residu tanah dan air, peningkatan biomassa dan karbon
penggunaan pestisida, herbisida serta pupuk, stok lahan, serta mengurangi emisi gas rumah
berpengaruh negatif terhadap produktivitsas, kaca/restorasi lahan gambut. Dengan paradigma
yang dapat memperpendek usia ekonomis kelapa yang komprehensif tersebut, industri minyak
sawit (Wigena et al., 2009). sawit Indonesia terus tumbuh dalam perspektif
berkelanjutan (Purba dan Sipayung, 2017).
Dalam aspek ekonomi, salah satu kunci
penting adalah akses pasar dan harga produk Berdasarkan data Direktorat Jenderal
hasil petani yang menarik. Petani mengharapkan Perkebunan, nilai pendapatan komoditas
agar harga stabil dengan nilai tukar petani (NTP) unggulan tanaman perkebunan mencapai Rp 357
yang tinggi. Untuk meningkatkan harga tandan trilyun (Yunita dan Wawa, 2018), yang sebagian
buah kelapa sawit (TBS), pemerintah menghapus besar bersumber dari kontribusi tanaman kelapa
pungutan ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan salah satu

68 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
komoditas ekspor Indonesia yang cukup penting kelapa sawit sebagai bagian integral dari
sebagai penghasil devisa negara sesudah minyak pembangunan ekonomi Indonesia, memantapkan
dan gas, bahkan Indonesia merupakan negara sikap dasar bangsa Indonesia untuk
produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan,
sebagian besar ekspor minyak sawit dari dan mendukung komitmen Indonesia dalam
Indonesia adalah dalam bentuk bahan mentah pelestarian sumber daya alam dan fungsi
sehingga nilai tambah yang didapatkan relatif lingkungan hidup (Kospa, 2016). Dengan upaya
kecil (Utami et al., 2017; Purba dan Sipayung, tersebut diharapkan dapat mereduksi kampanye
2017; Sinaga dan Hendarto, 2012; Panjaitan et negatif kelapa sawit di Uni Eropa, meski ada
al., 2014). respon sebaliknya yang kurang mendukung
keputusan tersebut (Hidayat et al., 2018). Selain
Tanaman kelapa sawit merupakan
itu, studi kasus tentang keberlanjutan usaha tani
komoditas perkebunan yang sudah dikelola
kelapa sawit di wilayah perbatasan juga pernah
secara profesional oleh perusahaan yang
dilakukan dengan titik perhatian banyak
bermodal besar, dengan memperhatikan mulai
ketidakberkelanjutan dilihat dari sisi
dari persiapan lahan, pembibitan, pemeliharaan
kelembagaan dan aset jalan (Ngadi dan Noveria,
dan budidaya lainnya hingga ke aspek prosesing
2017). Penelitian bertujuan untuk menganalisis
dan pasca panen. Namun demikian masih
keberlanju an usahatani kelapa dari beberapa pola
terdapat ketimpangan yang besar, dimana
manajemen pengelolaan dan faktor ungkit yang
keuntungan ekonomi yang diperoleh dari
dapat meningkatkan keberlanjutan usahatani
perkebunan kelapa sawit belum diikuti oleh
kelapa sawit, khususnya di lahan gambut.
pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Kondisi
ini menyebabkan secara ekologi lahan gambut
mengalami degradasi yang berakibat pada METODOLOGI
produktivitas lahan semakin rendah (Nasrul et al.,
2012). Di samping itu keberlanjutan usaha tani Waktu dan Lokasi Penelitian
kelapa sawit berkorelasi dengan kesejahteraan Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober
petaninya, sehingga manajemen pola tanam yang sampai dengan Desember 2018. Lokasi penelitian
menyangkut peremajaan atau re-planting perlu terletak di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau, di
mendapat perhatian. Hal ini terkait dengan umur lokasi lahan gambut dan non gambut yaitu:
produktif kelapa sawit yaitu 25 tahun, sehingga
perlu peremajaan. Kelapa sawit mulai 1. Kecamatan Tapung, yaitu di Desa
berproduksi pada tahun ke-4, diikuti Petapahan, Desa Pelambaian, Desa Kijang
pertumbuhan produksi cepat pada usia muda (4- Rejo, yang merupakan sentra usahatani
10 tahun), usia 11-15 tahun laju pertumbuhan kelapa sawit di lahan gambut.
produksi lambat, kemudian pada usia 16-25 tahun 2. Kecamatan Bangkinang, di Desa Bukit
produksi menurun, secara ekonomi pola ini akan Payung, dan Kecamatan Tapung di Desa
berkorelasi dengan pendapatan petani (Wigena et Pelambaian dan Desa Kijang Rejo, yang
al., 2009). merupakan sentra usahatani kelapa sawit di
Salah satu yang menjadi perhatian dalam lahan non-gambut.
pengelolaan kelapa sawit adalah tata kelola Jenis Data
kelapa sawit berkelanjutan melalui sistim
sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia Data yang dikumpulkan merupakan data
atau ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil yang digunakan untuk menilai tingkat
Certification System) yang dikeluarkan oleh keberlanjutan usahatani kelapa sawit di lahan
pemerintah. Tujuan ditetapkannya ISPO di gambut, yang terdiri atas aspek ekonomi, sosial,
antaranya untuk memposisikan pembangunan ekologi, teknologi serta hukum dan kelembagaan

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 69
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
(Hidayat et al., 2018; Kementan, 2015; Suwanda, kontribusi lembaga pendukung, eksistensi
2016; Ngadi dan Noveria, 2017). Pada masing- dan keselarasan program pertanian
masing aspek terdapat atribut yang akan berkelanjutan antara pusat dan daerah.
dilakukan penilaian, yaitu: Aspek kelembagaan merupakan prasyarat
agar usaha tani sawit efisien dan lancar
 Aspek ekonomi: luas garapan, produktivitas,
sehingga akan berkelanjutan.
tingkat penghasilan petani, aspek pasar,
harga kelapa sawit, efisiensi ekonomi. Rincian yang lebih detail tentang atribut,
Aspek ekonomi ini merupakan faktor skor dan skala penilaian tingkat keberlanjutan
penting terutama terkait dengan nilai dan usahatani kelapa sawit disusun dalam bentuk
skala ekonomi yang menguntungkan bagi matrik sekaligus menjadi kuisioner terstruktur
petani. Jika menguntungkan secara ekonomi dalam analisis ini, seperti dalam Tabel 1 berikut.
maka akan mendukung keberlanjutan usaha Tabel 1. Atribut, skor dan skala penilaian
tani sawit.
Atribut Skor Skala Penilaian
 Aspek ekologi: tingkat kematangan lahan Ekonomi: 1 s/d Nilai 1 (buruk)
gambut, elevasi tinggi muka air, pH tanah, - Luas lahan garapan 10 s/d 10 (sangat
pH air, kondisi tanaman penutup tanah, - Tingkat penghasilan baik)
pengelolaan kesuburan tanah. Aspek ekologi petani
- Aspek pasar
merupakan faktor yang mendukung
- Harga kelapa sawit
kelestarian lingkungan, sehingga jika - Efisiensi ekonomi
kelestarian lingkungan terjaga maka akan Ekologi: 1 s/d Nilai 1 (buruk)
mndukung keberlanjutan usaha tani sawit. - Tingkat kematangan 10 s/d 10 (sangat
gambut baik)
 Aspek sosial: tingkat pendidikan formal
- Elevasi tinggi muka
petani, persepsi petani terhadap isu air
lingkungan akibat kelapa sawit, intensitas - pH tanah
kegiatan penyuluhan, ketersediaan informasi - pH air
tentang pertanian keberlanjutan, - Kondisi tanaman
pengembangan kelompok tani, ketersediaan penutup tanah
tenaga kerja. Aspek sosial merupakan faktor - Pengelolaan kesuburan
penting terkait dengan respon dan adopsi tanah
informasi dalam mendukung usaha tani Sosial: 1 s/d Nilai 1 (buruk)
sawit. - Tingkat pendidikan 10 s/d 10 (sangat
- Persepsi petani baik)
 Aspek teknologi: ketersediaan teknologi terhadap isu
budidaya (GAP), efektivitas penerapan lingkungan
teknologi budidaya, dukungan sarana irigasi, - Intensitas penyuluhan
dukungan sarana jalan, penerapan sarana - Ketersediaan
informasi
mekanisasi, penerapan standar produk.
- Pengembangan
Aspek teknologi merupakan syarat dalam Kelompok Tani
mencapai efisiensi usaha. Jika aspek - Ketersediaan tenaga
teknologi tersedia maka akan mendukung kerja
keberlanjutan usaha tani sawit. Teknologi: 1 s/d Nilai 1 (buruk)
- Ketersediaan teknologi 10 s/d 10 (sangat
 Aspek kelembagaan: ketersediaan lembaga budidaya baik)
pendukung usahatani kelapa sawit, - Efektivitas penerapan
efektivitas lembaga pendamping, teknologi budidaya
ketersediaan regulasi antara lain perijinan, - Dukungan sarana

70 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
Atribut Skor Skala Penilaian 3. Petani kelapa sawit swadaya di lahan
irigasi gambut.
- Dukungan sarana jalan
- Penerapan mekanisasi 4. Petani kelapa sawit sebagai plasma dari
- Penerapan standar perusahaan swasta (PT. Agro Lestari, PT.
mutu Sinar Mas) di lahan non-gambut.
Kelembagaan: 1 s/d Nilai 1 (buruk)
- Ketersediaan lembaga 10 s/d 10 (sangat
5. Petani kelapa sawit sebagai plasma dari
pendukung baik) perusahaan pemerintah (PTPN V) di lahan
- Efektivitas lembaga non-gambut.
pendamping 6. Petani kelapa sawit swadaya di lahan non
- Ketersediaan regulasi
gambut.
Jumlah responden masing-masing
kelompok adalah enam petani responden
Metode Pengumpulan Data sehingga total responden sebanyak 36 petani. Hal
Data sekunder dikumpulkan melalui tersebut didasarkan atas jumlah minimal atribut
pengumpulan data deskriptif yang bersumber dari dari masing-masing dimensi yaitu enam dan atas
Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Kampar dasar persyaratan cuplikan untuk data non-
dan BPTP Riau. Data primer diperoleh melalui parametrik.
diskusi dengan Pimpinan Disbun dan staf, Pengolahan dan Analisis Data
wawancara melalui kuisioner terstruktur dengan
petani kelapa sawit sebagai responden, dan Untuk menilai tingkat keberlanjutan
observasi langsung ke lahan usahatani milik usahatani kelapa sawit, didasarkan atas data
petani. primer yang diperoleh melalui pendekatan survei
terstruktur, yang sumber datanya adalah petani
Pemilihan Sampel Pengamatan kelapa sawit di Kabupaten Kampar, Riau.
Pemilihan sampel responden petani Selanjutnya data tersebut diolah dengan multi-
ditentukan dengan pendekatan cluster purposive dimensional scalling (MDS) (Jung, 2013). Secara
sampling, yaitu dipilih responden sebagai sederhana skala nilai keberlanjutan ditentukan
pewakil dari setiap kelompok status pengusahaan oleh fungsi dari nilai atribut aspek ekonomi,
kelapa sawit atau kelompok berdasarkan ekologi, sosial, teknologi dan nilai atribut aspek
manajemen pengelolaannya di Kabupaten kelembagaan, dengan formula:
Kampar. Terdapat enam kelompok petani kelapa IKb = f (E,L,S,T,K)
sawit berdasarkan status manajemen pengelolaan
atau pembinaan oleh perusahaan inti dan jenis Dimana:
lahan usaha, yaitu sebagai berikut (Tabel 2): IKb = skala nilai indeks keberlanjutan
1. Petani kelapa sawit sebagai plasma dari E = skor atribut aspek ekonomi
perusahaan swasta (PT. Agro Lestari, PT. L = skor atribut aspek ekologi
Sinar Mas) di lahan gambut. S = skor atribut aspek sosial
T = skor atribut aspek teknologi
2. Petani kelapa sawit sebagai plasma dari K = skor atribut aspek kelembagaan
perusahaan pemerintah (PTPN V) di lahan
gambut.

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 71
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
Tabel 2. Lokasi dan jumlah sampel petani responden di Kabupaten Kampar
Lahan Gambut Lahan Non-Gambut
Manajemen Pengelolaan (Lokasi dan jumlah (Lokasi dan jumlah Jumlah
responden) responden)
Petani Plasma Perusahaan Desa Petapahan, Desa Bukit Payung, 12
Swasta KecamatanTapung (6) Kecamatan Bangkinang (6)
Petani Plasma PTPN 5 Desa Pelambaian, Kecamatan Desa Pelambaian, Kecamatan 12
Tapung (6) Tapung (6)
Petani Swadaya Desa Kijang Rejo, Desa Kijang Rejo, Kecamatan 12
Kecamatan Tapung (6) Tapung (6)
Jumlah 18 18 36

Metode MDS menggunakan proses Peternakan Kabupaten Kampar tahun 2018, dari
ordinasi rapid appraisal for oil palm (Rap Palm). luasan tersebut di antaranya terdiri atas:
Kriteria atau atribut pada setiap aspek tersebut
a. Perkebunan kelapa sawit seluas 408.977 ha
merupakan hal penting dalam menilai status
terdiri atas tanaman produktif (TM) 383.262
keberlanjutan secara cepat (rapid appraisal)
ha, tanaman belum menghasilkan (TBM)
dengan menggunakan metode multivariable non-
26.993 ha dan tanaman tua atau rusak (TTR)
parametric yang disebut multidimentional
702 ha. Sentra kelapa sawit di Kabupaten
scaling (Susilo, 2003). Penilaian (skoring) setiap
Kampar adalah Kecamatan Tapung, Tapung
atribut dilakukan dalam skala ordinal berdasarkan
Hulu, Siak Hulu, Kampar Kiri, Kampar, Salo,
kriteria berkelanjutan, kemudian dilakukan
Kuok dan Tapung Hilir. Status
analisis MDS untuk menentukan ordinasi dan
pengelolaannya dalam bentuk (1) Perkebunan
nilai (Sudiono et al., 2017). Selanjutnya akan
Rakyat 322.474 ha (Plasma dan Swadaya)
diperoleh skala nilai indeks keberlanjutan (IKb)
sebagian besar perkebunan kelapa sawit
untuk masing-masing dimensi (Fisheries
(225.600 ha) yang terdiri atas TM 204.056 ha,
Communication, 1999). Skala nilai >75 artinya
TBM 20.046 ha dan TTR 702 ha, melibatkan
IKb baik, skala nilai 50 – 75 artinya IKb cukup,
sekitar 86.170 KK petani sawit, (2)
25 – 50 artinya IKb cukup dan skala nilai <25
Perkebunan Besar Negara (PTPN 5) seluas
artinya IKb buruk. Serta dilakukan analisis
50.831 ha dan (3) Perkebunan Swasta (PT.
leverage untuk menilai sensitivitas atau faktor
Agro Lestari, PT. Sinar Mas) seluas 135.700
peka. Nilai atau grafik leverage yang tinggi
ha. Diantara perkebunan rakyat tersebut
menunjukkan tingkat kepekaan tinggi, sehingga
diatas, berada di Kecamatan Tapung seluas
atribut itulah yang menjadi titik ungkit dan harus
35.790 ha (20.457 KK petani), Kecamatan
mendapat perhatian untuk meningkatkan indeks
Tapung Hulu seluas 55.970 ha (16.009 KK
keberlanjutan usaha tani kelapa sawit.
petani) dan di Kecamatan Tapung Ilir seluas
37.994 ha (20.793 KK petani).
HASIL DAN PEMBAHASAN b. Perkebunan kelapa sawit dalam kawasan
hutan seluas 200.000 ha.
Gambaran Umum Usahatani Kelapa Sawit di
Kabupaten Kampar c. Luas kelapa sawit di lahan gambut tahun 2016
adalah seluas 4.000 ha dan bahkan pada tahun
Kabupaten Kampar memiliki luas
2017, di antaranya 1.800 ha berada di
1.098.346 ha, terdiri atas 20 kecamatan.
kawasan lindung dan 3.385 ha di kawasan
Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan
budidaya.

72 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
d. Status pengelolaan kelapa sawit perkebunan Karakteristik petani sawit di Kampar
rakyat, terdiri atas: (1) Swadaya murni yang pada umumnya merupakan peserta
109.053 ha, (2) Pola Plasma dalam bentuk transmigrasi dari Jawa dan Sumatera Utara,
Pirtrans PTPN 5 seluas 28.408 ha, Pirtrans sampai saat ini sebagian besar memiliki
Swasta seluas 21.088 ha; Pola Kemitraan pengalaman bertani lebih dari 15 tahun, dengan
dengan PTPN 5 seluas 2.476 ha dan pola pemilikan lahan usaha tani sawit sebagian besar
kemitraan dengan Swasta seluas 39.432 ha. adalah 2 ha. Umumnya status lahan usaha tani
kelapa sawit adalah sertifikat hak milik (SHM).
Informasi lain yang berkaitan dengan
Pendidikan formal petani sawit sebagian besar
agribisnis kelapa sawit di wilayah Kabupaten
adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Kampar adalah:
(SLTP). Karakteristik petani ditampilkan pada
a. Rata-rata produktivitas TBS (PR, PTPN, Tabel 3.
swasta) saat ini adalah 15,306 ton per ha.
Tabel 3. Karakteristik petani sawit di Kampar
b. Dalam tahun 2018, rencana re-planting kelapa
Proporsi (%)
sawit dari dana BPDKS seluas 5.600 ha dan No Karakter diurutkan mulai dari %
5.800 ha, dengan skema dalam bentuk besar
bantuan hibah Rp 25 juta per hektar atau 1. Pengalaman bertani:
maksimum Rp. 60 juta per 2 hektar. - > 15 tahun 59,3
- 10 – 15 tahun 21,8
c. Permasalahan yang dihadapi dalam
- 5 – 10 tahun 12,5
pengusahaan kelapa sawit, adalah: (a) terjadi - < 5 tahun 6,4
sengketa lahan adat yang sudah beralih 2. Luas pemilikan lahan
kepemilikannya sejak jaman Belanda, (b) usaha sawit: 59,3
masalah status fungsi lahan yang ada di KSA, - 2 ha 21,8
(c) regulasi pemerintah tentang PP - 4 ha 9,3
moratorium. - 6 ha 6,2
- 3 ha 3,4
e. Dalam aspek manajemen usaha, telah - 8 ha
berkembang pengelompokkan petani mandiri 3. Status pemilikan lahan
dalam bentuk usaha bersama (Pujakesuma) sawit: 71,8
yang sekarang sudah terbentuk 5 kelompok di - Sertifikat hak milik 28,2
Kecamatan Tapung. (SHM)
- SKT Camat
f. Khusus BUMN (PTPN 5) dan Swasta telah 4. Pendidikan formal
memiliki sertifikasi ISPO, bahkan BUMN petani: 37,5
telah memiliki RSPO. Namun - SLTP 28,1
implementasinya di lapangan, terutama di - SLTA 18,7
lahan plasma petani belum seperti yg - S1 15,7
diharapkan. - SD
g. Terkait dengan harga TBS di tingkat petani,
Pemda sudah menetapkan harga TBS sesuai Keberlanjutan Usahatani Kelapa Sawit pada
dengan kualitas berbasis umur tanaman. Beberapa Pola Manajemen Pengelolaan dan
Tipe Lahan
h. Status plasma belum memberikan manfaat
seperti yang diharapkan karena perusahaan Pada usahatani kelapa sawit rakyat di
inti tidak berfungsi membina seperti yang Kampar dikenal dua pola manajemen, yaitu
diharapkan dan petani plasma merasa tidak swadaya (mandiri) dan plasma, baik di lokasi
punya keterikatan dengan inti. usaha lahan gambut maupun non gambut.

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 73
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
Usahatani kelapa sawit rakyat swadaya dalam sawit petani swadaya di lahan gambut (SG),
pemenuhan kebutuhan sarana produksi dan pola dengan nilai skala masing-masing berturut-turut
pemasarannya lebih bersifat bebas, bergantung 48,8; 48,6; dan 45,6.
pada ketersediaan modal dan harga TBS di pasar.
Berdasarkan dimensi sosial, nilai skala
Sebaliknya pada usahatani kelapa sawit rakyat
keberlanjutan menunjukkan cukup berkelanjutan,
plasma, pemenuhan kebutuhan sarana produksi
yaitu pada manajemen pengelolaan kelapa sawit
dan pemasaran hasil sawit banyak bergantung
petani plasma PTPN V di lahan gambut (PPG),
pada perusahaan inti.
manajemen pengelolaan kelapa sawit petani
Analisis Keberlanjutan Kelapa Sawit plasma swasta di lahan gambut (PSG) dan
manajemen pengelolaan kelapa sawit plasma
Hasil analisis tingkat keberlanjutan
PTPN V di lahan non-gambut (PPNG) dengan
usahatani kelapa sawit berdasarkan penilaian
nilai masing-masing berturut-turut 57,6; 57,1 dan
terhadap masing-masing atribut dari setiap
53,6. Manajemen pengelolaan kelapa sawit
dimensi ditampilkan pada Tabel 4. Dalam
plasma swasta di lahan non-gambut, manajemen
dimensi ekonomi yang menunjukkan kelas cukup
pengelolaan kelapa sawit petani swadaya di lahan
berkelanjutan adalah berturut-turut untuk
non-gambut dan manajemen pengelolaan kelapa
manajemen pengelolaan kelapa sawit petani
sawit swadaya di lahan gambut menunjukkan
plasma swasta di lahan gambut (PSG) yaitu 56,3;
kurang berkelanjutan, dengan nilai skala masing-
manajemen pengelolaan kelapa sawit petani
masing berturut-turut 30,2; 25,4; dan 23,8.
plasma PTPN V di lahan gambut (PPNG) yaitu
51,0; manajemen pengelolaan kelapa sawit petani Berdasarkan dimensi teknologi, skala
swadaya di lahan non-gambut (SG) yaitu 50,8 nilai keberlanjutan umumnya kurang
dan manajenen pengelolaan kelapa sawit petani berkelanjutan, kecuali pada manajemen
swadaya di lahan non-gambut (SNG) yaitu 50,8. pengelolaan kelapa sawit petani plasma swasta di
Dalam dimensi ekonomi pada manajemen lahan gambut (PSG) yang nilai skalanya cukup
pengelolaan kelapa sawit plasma di lahan gambut yaitu 61,8. Demikian juga pada dimensi hukum
(PPG) dan manajemen pengelolaan kelapa sawit dan kelembagaan umumnya kurang
plasma PTPN V (PSNG) berada pada kelas berkelanjutan, kecuali pada manajemen
kurang berkelanjutan yaitu skala nilai masing- pengelolaan kelapa sawit petani plasma swasta
masing 49,1. (PSG) yang nilai skalanya cukup yaitu 74,7.
Berdasarkan dimensi ekologi, nilai skala Hasil pada Tabel 4 dan Gambar 1
keberlanjutan masing-masing manajemen menunjukkan pola manajemen pengelolaan
pengelolaan berada pada kelas cukup kelapa sawit plasma swasta di lahan gambut
berkelanjutan yaitu pada manajemen pengelolaan (PSG) mempunyai nilai skala keberlanjutan yang
kelapa sawit petani plasma swasta di lahan non- paling baik dibanding dengan manajemen
gambut (PPNG), manajemen pengelolaan kelapa pengelolaan lainnya. Untuk semua dimensi
sawit petani swadaya di lahan non-gambut (SNG) termasuk dimensi ekonomi, ekologi, sosial,
dan manajemen pengelolaan kelapa sawit petani teknologi dan hukum pola PSG menunjukkan
plasma swasta di lahan gambut (PSG) dengan nilai skala diatas 50.
nilai skala masing-masing berturut-turut 56,1;
Hasil penelitian tersebut didukung oleh
55,7; dan 50,9. Model manajemen lainnya kurang
kenyataan di lapangan bahwa petani yang
berkelanjutan, yaitu manajemen pengelolaan
bermitra dengan swasta, mempunyai
kelapa sawit petani plasma PTPN V di gambut
produktivitas kelapa sawit (TBS) yang umumnya
(PPG), manajemen pengelolaan kelapa sawit
mencapai lebih dari 2 ton/ha per bulan atau 24-30
petani plasma swasta di lahan non-gambut
ton/ha per tahun. Produktivitas petani swadaya
(PSNG) dan manajemen pengelolaan kelapa
atau yang tanpa kemitraan umumnya tidak

74 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
Tabel 4. Skala nilai indeks keberlanjutan (IKb) pada setiap dimensi dan manajemen pengelolaan
Skala Nilai Indeks Keberlanjutan (Ikb)
Dimensi
PSG PPG SG PSNG PPNG SNG
Ekonomi 56,3486 49,1275 50,8430 49,1167 51,0817 50,8430
Ekologi 50,9771 48,8735 45,6312 48,6471 56,1108 55,7971
Sosial 57,1442 57,6514 23,8276 30,2207 53,6189 25,4693
Teknologi 61,8579 41,9863 27,1332 27,3466 31,7372 33,2674
Hukum dan Kelembagaan 74,7310 46,6988 10,0000 32,5736 44,7515 10,0000
Rata-rata IKb 60,2118 48,8675 31,4870 37,5809 47,4600 35,0754
Keterangan:
PSG = manajemen pengelolaan kelapa sawit petani plasma swasta di lahan gambut
PPG = manajemen pengelolaan kelapa sawit petani plasma PTPN V di lahan gambut
SG = manajemen pengelolaan kelapa sawit petani swadaya di lahan gambut
PSNG = manajemen pengelolaan kelapa sawit petani plasma swasta di lahan Non gambut
PPNG = manajemen pengelolaan kelapa sawit petani plasma PTPN V di lahan non gambut
SNG = manajemen pengelolaan kelapa sawit petani swadaya di lahan non gambut

PSG
70,0000
60,0000
50,0000
SNG 40,0000 PPG
30,0000
20,0000
10,0000
0,0000

PPNG SG

PSNG
Gambar 1. Diagram Ikb manajemen pengelolaan kelapa sawit

mencapai 2 ton. Produktivitas kelapa sawit yang Berdasarkan sisi pemasaran dan
bermitra lebih tinggi karena sistem manajemen perlindungan hukum, posisi petani yang bermitra
kebun sudah ditentukan oleh perusahaan, seperti akan lebih terjamin. Menurut Sinaga dan
pengelolaan budidaya termasuk pemupukan dan Hendarto (2012) pengembangan perkebunan dan
penanganan hama dan penyakit tanaman, seleksi industri kelapa sawit hendaknya dilaksanakan
buah, dan pemanenan. dalam sistem agroindustri yang terintegrasi antara
perkebunan dan pabrik yang dikelola petani
menuju terwujudnya petani pekebun yang

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 75
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
mandiri, melalui pemberdayaan masyarakat olahan RapPalm. Semakin besar nilai leverage
pekebun. Manajemen pengelolaan yang paling analysis artinya semakin peka atribut tersebut
rendah adalah manajemen pengelolaan petani dalam mempengaruhi keberlanjutan.
swadaya (SG), terutama dalam dimensi
Menurut pendekatan dimensi ekonomi,
kelembagaan, teknologi dan sosial.
terdapat enam atribut yang dinilai berpengaruh
Hasil pengamatan di lapangan, beberapa terhadap keberlanjutan usahatani kelapa sawit di
aspek atau dimensi tersebut memang belum baik, lahan gambut maupun non-gambut di Kabupaten
meliputi: akses ke lembaga pendukung dan Kampar. Atribut atau faktor yang paling peka
lembaga penyuluhan, perijinan usaha kelapa dalam mempengaruhi keberlanjutan usaha tani
sawit, ketersediaan dan efektivitas penerapan kelapa sawit adalah akses pasar, luas usaha tani
teknologi budidaya (GAP), terbatasnya dukungan dan harga kelapa sawit, seperti tertera pada
sarana irigasi, sarana jalan, dan mekanisasi. Gambar 2.
Khusus dalam dimensi sosial, petani swadaya
Akses pasar merupakan faktor peka
pada umumnya pendidikan petani rendah,
dalam dimensi ekonomi yang paling berpengaruh
ketersediaan informasi tentang pertanian
terhadap keberlanjutan usahatani kelapa sawit.
berkelanjutan tidak ada, eksistensi kelompok tani
Petani umumnya melakukan panen tandan buah
tidak jelas, dan penerapan standar produk tidak
segar (TBS) kelapa sawit dua minggu sekali,
menjadi perhatian utama.
kemudahan petani untuk menjual TBS menjadi
Berdasarkan hasil olah RapPalm terhadap hal yang penting bagi perputaran perekonomi
6 model manajemen pengelolaan kelapa sawit di mereka.
Kampar menunjukkan bahwa secara umum
Beragam perbedaan saluran pemasaran
berada dalam kelas “kurang berkelanjutan”, dan
memberikan indikasi perbedaan tingkat harga
hanya manajemen pengelolaan kelapa sawit
yang diterima petani dan besarnya biaya yang
petani plasma swasta atau PSG (PT. Agro
dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran,
Lestari) yang kelas keberlanjutannya cukup
seperti biaya angkut, biaya transportasi ke pabrik,
dengan nilai skala 60,2.
biaya susut buah, dan biaya-biaya lainnya.
Faktor Peka yang Mempengaruhi Saluran yang paling banyak digunakan oleh
Keberlanjutan petani swadaya adalah saluran petani-pedagang
pengumpul-pabrik, saluran tersebut memiliki
Untuk menilai faktor peka atau titik
margin tertinggi dan farmer’s share yang rendah
ungkit yang dominan dalam meningkatkan
(Sumartono et al., 2018). Harga TBS merupakan
keberlanjutan usaha tani adalah dengan
faktor ekonomi yang berpengaruh pada
menggunakan nilai atau leverage analysis dalam

Provitas

Luas

Efisiensi

Harga

Pasar

Pendapatan

0 1 2 3 4 5 6

Gambar 2. Faktor peka dimensi ekonomi

76 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
Kesuburan

Cover crops

pH air

pH tanah

Elevasi tanah

Kematangan gambut

0 2 4 6 8 10

Gambar 3. Faktor peka dimensi ekologi

pengelolaan lahan gambut. kesejahteraan diperlukan peningkatan


produktivitas, namun bila tidak diikuti oleh
Hasil penelitian Nasril et al. (2012)
perbaikan harga yang diterima petani tentulah
menyatakan bahwa pada dimensi ekonomi faktor
pendapatannya tidak optimal (Kospa, 2016).
yang berpengaruh adalah struktur permodalan,
Realita di lapangan menunjukkan bahwa petani
harga TBS, dan sarana produksi. Faktor harga
swadaya umumnya melakukan pemupukan
merupakan insentif yang menarik bagi petani
berdasarkan harga kelapa sawit, jika harga tidak
untuk mengusahakan suatu komoditas pertanian.
bagus maka tanaman tidak akan dipupuk, hal ini
Dalam hal ini, prospek perkebunan kelapa sawit
tentu akan berimbas pada produktivitas kelapa
dikatakan baik bila dapat meningkatkan
sawit yang dihasilkan.
kesejahteraan petaninya, untuk meningkatkan

Tenaga Kerja

Kelompok Tani

Informasi

Penyuluhan

Isu Negatif

Pendidikan

0 1 2 3 4 5 6

Gambar 4. Faktor peka dimensi sosial

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 77
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
Pada dimensi ekologi (Gambar 3), enam tingkat global. Perbandingan untuk keenam
faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap atribut tersebut tertera pada Gambar 4.
keberlanjutan usaha tani kelapa sawit khususnya
Isu negatif tentang usahatani kelapa sawit
yang paling peka di lahan gambut adalah
baik di tingkat global maupun nasional dapat
kematangan lahan gambut, keberadaan tanaman
menjadi faktor penghambat dalam
cover crops sebagai tanaman penutup tanah di
keberlanjutannya. Isu negatif di tingkat global
antara tanaman kelapa sawit dan tinggi muka air
dapat menjadi hambatan non tarif bagi
tanah (elevasi).
perdagangan minyak kelapa sawit Indonesia di
Kematangan gambut sangat menentukan pasar dunia dan mengakibatkan lemahnya daya
produktivitas lahan gambut (Dariah et al., 2014), saing kelapa sawit Indonesia (Sinaga dan
gambut dengan kematangan yang tinggi Hendarto, 2012).
mempunyai ketersediaan hara lebih banyak, lebih
Salah satu isu yang penting adalah
mampu menyerap dan menyimpan air, dan
banyaknya konversi hutan dan lahan gambut
struktur tanahnya lebih baik bagi pertumbuhan
menjadi lahan kelapa sawit di Indonesia yang
tanaman. Gambut yang tingkat kematangannya
berpengaruh terhadap perubahan iklim global,
tinggi atau disebut saprik akan cenderung lebih
dan isu pembakaran hutan untuk pembukaan
halus dan lebih subur. Di samping itu,
lahan kelapa sawit yang menyebabkan polusi
kematangan gambut sangat menentukan
udara, hal ini tentunya akan mempengaruhi
kemampuan dalam mengikat air, tanah gambut
agribisnis kelapa sawit nasional. Isu negatif
mempunyai kapasitas mengikat air (water
lainnya seperti pencemaran oleh limbah kelapa
holding capacity) yang relatif sangat tinggi atas
sawit, serta pestisida dan pupuk kimia yang
dasar berat kering (Suswati et al., 2011).
disebabkan oleh intensifikasi kebun kelapa sawit
Salah satu faktor kunci dalam (Kospa, 2016). Hasil penelitian Utami et al.
pengelolaan kelapa sawit di lahan gambut adalah (2017) ekspansi perkebunan kelapa sawit
pengaturan tata air karena kelapa sawit berdampak pada penurunan kuantitas air tanah
merupakan tanaman yang rakus air, bahkan (kekeringan), pencemaran air dan berkurangnya
perkebunan kelapa sawit dapat mengganggu populasi satwa.
persediaan air tanah untuk tanaman lain di luar
Isu-isu negatif ini perlu mendapat
kebun kelapa sawit (Utami et al., 2017, Saragih
perhatian pemerintah dan stakeholders terkait
dan Hariyadi, 2016; Nasrul et al., 2012). Dengan
untuk menjamin keberlanjutan usahatani kelapa
demikian, keberadaan cover crops yang dapat
sawit. Selain itu sangat penting untuk
menahan laju kehilangan air dan elevasi air tanah
membangun kepedulian petani kelapa kelapa
merupakan faktor yang penting bagi ketersediaan
sawit terhadap kelestarian lingkungan. Dengan
air tanah. Faktor peka tersebut secara langsung
demikian diperlukan kebijakan pengelolaan
akan berpengaruh terhadap kelestarian
perkebunan kelapa sawit yang dapat memberikan
sumberdaya lahan dan produktivitas tanaman
dampak ekonomi namun memperhatikan
kelapa sawit.
lingkungan, salah satunya dengan sertifikasi
Menurut dimensi sosial, dari enam faktor ISPO/RSPO (Utami et al., 2017). Apabila
atau atribut, di antaranya yang peka perusahaan perkebunan telah menerapkan prinsip
mempengaruhi tingkat keberlanjutan usaha tani dan kriteria ISPO ini dengan baik, maka pasar
kelapa sawit adalah isu negatif tentang usahatani dunia akan melirik Indonesia sebagai penghasil
kelapa sawit, peran kelompok tani dan CPO yang mengedepankan prinsip-prinsip
ketersediaan tenaga kerja. Isu negatif dimaksud pembangunan berkelanjutan dan pembangunan
adalah isu tentang hal negatif yang isunya di berwawasan lingkungan (Panjaitan 2014).

78 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
Standarisasi Produk

Mekanisasi

Jalan

Irigasi

Efektifitas Teknologi

Ketersediaan Teknologi

0 2 4 6 8 10 12 14

Gambar 5. Faktor peka dimensi teknologi

Ketersediaan tenaga kerja merupakan petani, sampai ke pabrik untuk diproses menjadi
salah satu faktor peka atau pengungkit dalam produk minyak nabati. Sarana jalan ini
keberlanjutan usahatani kelapa kelapa sawit. berpengaruh juga terhadap efisiensi dalam biaya
Menurut Wigena et al. (2009), formulasi masalah pengangkutan. Kebun yang terdapat akses jalan
dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma yang lebar dan memadai dapat dimasuki
berkelanjutan adalah kompetensi dan kendaraan roda empat (truk/mobil bak), sehingga
keterampilan petani plasma dan pekerja belum hasil panen dapat diangkut sekaligus. Jika tidak
memadai untuk membangun perkebunan terdapat akses jalan, hasil panen harus diangkut
berkelanjutan, karena tenaga kerja yang memiliki dengan gerobak atau motor, sehingga
keterampilan akan berpengaruh positif terhadap pengangkutan hasil panen dilakukan berulang
optimalisasi sarana produksi. Ketersediaan tenaga kali.
juga merupakan salah satu faktor yang dapat
Dalam dimensi hukum dan kelembagaan,
memacu perluasan areal tanam dan peningkatan
yang paling peka dalam mempengaruhi tingkat
produksi kelapa kelapa sawit (Triyono et al.,
keberlanjutan usaha petani kelapa sawit adalah
2015).
peran pendamping petani, regulasi pemerintah
Dimensi teknologi (Gambar 5), faktor dan kontribusi lembaga yang ada dalam usahatani
peka yang berperan dalam mempengaruhi tingkat kelapa sawit, seperti tertera dalam Gambar 6.
keberkelanjutan pengelolaan usahatani kelapa Hasil penelitian Triyono et al. (2015) yang
sawit adalah ketersediaan fasilitas jalan yang menyatakan bahwa faktor yang menjadi kekuatan
merupakan bagian dari atribut dukungan sarana. utama dalam pengembangan kebun kelapa sawit
Hal ini terutama terkait dengan kelancaran di lahan gambut adalah kebijakan pemerintah
pengangkutan hasil panen kelapa sawit ke lokasi dalam mendukung pengembangan kelapa sawit.
pabrik pengolahan. Kelancaran pengangkutan ini Peran pendamping dimaksud terutama peran
akan terkait juga dengan mutu kelapa sawit yang penyuluh, dinas terkait dalam mengusahakan.
dipengaruhi oleh lamanya waktu pengangkutan Regulasi pemerintah terutama terkait dengan
sejak kelapa sawit dipanen di lokasi kebun larangan pembakaran lahan pada saat mengolah

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 79
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
lahan, dan standar mutu hasil kelapa sawit petani, mempertahankan luas garapan lahan kelapa sawit
serta kewajiban perusahaan untuk menerapkan petani melalui pemeliharaan yang intensif
ISPO (Panjaitan et al., 2014). Kontribusi lembaga sehingga luas garap kelapa sawit yang produktif
yang ada dalam usaha tani kelapa sawit adalah terjaga. Upaya mempertahankan kelayakan harga
terkait dengan efektivitas lembaga dimaksud kelapa sawit petani dan untuk saat ini harga layak
terhadap pengembangan usaha tani kelapa sawit minimal Rp 1.200 per kg TBS. Untuk itu, petani
terutama di tingkat petani. harus menjaga mutu hasil kelapa sawitnya
melalui panen kelapa sawit pada umur yang
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
matang dan tidak terlalu lama (maksimal 2 hari)
Nasrul et al. (2012) yang menyatakan bahwa
dalam proses pengangkutan setelah dipanen
faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
sampai TBS tersebut sampai di pabrik
usahatani kelapa sawit di lahan gambut adalah
pengolahan.
pemberdayaan petani, sinkronisasi kebijakan,
penyelesaian konflik lahan, dan lemahnya Dalam dimensi ekologi, faktor peka yang
penegakan hukum. harus diperhatikan adalah kematangan gambut,
cover crops, dan elevasi tinggi muka air tanah.
Berdasarkan hasil olahan leverage
Untuk itu disarankan agar pemberian kompos dan
analysis terdapat beberapa faktor yang nilai
mineral untuk mempercepat kematangan lahan
leveragenya tinggi artinya faktor atau atribut
gambut, serta mengupayakan penanaman cover
tersebut yang harus mendapat prioritas untuk
crops atau tanaman penutup tanah sehingga iklim
ditangani sehingga keberlanjutan usaha tani sawit
mikro lahan akan terjaga dan sekaligus menekan
di Kampar dapat meningkat.
biaya pemeliharaan lahan kelapa sawit. Menjaga

Pemasaran

Eksistensi

Kontribusi

Regulasi

Pendamping

Pendukung

0 2 4 6 8 10

Gambar 6. Faktor peka dimensi hukum dan kelembagaan

Dalam dimensi ekonomi, faktor atau elevasi tinggi muka air maka perlu
atribut yang peka mempengaruhi tingkat memfungsikan saluran air di petakan dan saluran
keberlanjutan adalah akses pasar, luas garapan air keliling kebun terutama untuk lahan gambut
usaha kelapa sawit, dan harga jual kelapa sawit juga sangat penting dilakukan.
milik petani. Petani dan stakeholders perlu
Dalam dimensi sosial, faktor peka yang
mempertahankan keberadaan pedagang
harus diperhatikan agar terjadi keberlanjutan
pengumpul kelapa sawit, memperluas atau
usaha tani kelapa sawit adalah penyuluhan isu

80 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
negatif, kelestarian lahan dan lingkungan. Faktor sangat tinggi yaitu pada aspek sosial, teknologi
lainnya adalah meningkatkan peran kelompok dan kelembagaan.
tani terutama terkait pengadaan sarana produksi
Atribut atau faktor yang peka yang dapat
dan pemasaran hasil kelapa sawit petani, selain
menjadi titik ungkit dalam meningkatkan
ketersediaan tenaga kerja di tingkat lokal perlu
keberlanjutan usahatani petani kelapa sawit di
mendapat perhatian.
Kabupaten Kampar, meliputi: 1) Dimensi
Dalam dimensi teknologi, faktor peka ekonomi: akses pasar hasil kelapa sawit petani,
yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan luas lahan garapan petani, harga yang layak, 2)
usaha tani kelapa sawit adalah ketersediaan Dimensi ekologi: kematangan gambut,
fasilitas jalan, sehingga pemeliharaan terhadap keberadaan tanaman cover crops sebagai
fasilitas jalan mulai dari jalan kebun sampai jalan tanaman penutup tanah, 3) dimensi sosial: isu
di luar kebun menuju pabrik pengolahan perlu negatif kelapa sawit, peran kelompok tani dan
diperhatikan. Dengan fasilitas jalan yang baik, ketersediaan tenaga kerja di tingkat lokal, 4)
maka akan berpengaruh terhadap dua hal pokok dimensi teknologi: ketersediaan fasilitas jalan,
yaitu meningkatnya mutu kelapa sawit (TBS) serta 5) dimensi hukum dan kelembagaan:
karena kelancaran pengangkutan sehingga tidak efektivitas pendamping, kemudahan perijinan,
memakan waktu lama dalam proses serta keterpaduan dan kontribusi lembaga yang
pengangkutan. Efisiensi biaya juga meningkat ada di daerah terkait usaha tani kelapa sawit.
karena dengan fasilitas jalan yang bagus,
Faktor-faktor peka di atas, perlu didorong
sehingga biaya pengangkutan relatif lebih murah.
atau ditingkatkan agar keberlanjutan usaha tani
Dalam dimensi hukum dan kelembagaan, kelapa sawit dapat terus meningkat. Saran
untuk menjaga tingkat keberlanjutan usaha tani konkrit yang dapat diaplikasikan dalam
kelapa sawit disarankan beberapa hal, yaitu: meningkatkan keberlanjutan usaha tani sawit di
efektivitas lembaga pendamping antara lain dari Kampar adalah: (i) kontrak tahunan kerjasama
dinas terkait dan perguruan tinggi. Kemudahan- pemasaran TBS antara petani (terutama petani
kemudahan terkait ijin lokasi, ijin usaha swadaya) dengan perusahaan/pabrik pengolah
perkebunan dan lain-lain, serta keterpaduan dan TBS, terutama dalam menentukan harga dan
kontribusi lembaga yang ada di daerah terkait jumlah pasokan; (ii) penanaman tanaman cover
usaha kelapa sawit juga penting diperhatikan. crops sebagai penutup tanah yang berguna untuk
menekan gulma dan menjaga kesuburan lahan;
(iii) perlu bantuan pemerintah dalam memelihara
KESIMPULAN prasarana jalan dan saluran air, (iv) memfasilitasi
Berdasarkan enam manajemen lembaga pendamping dan pemberdayaan
pengelolaan petani kelapa sawit di Kabupaten kelompok tani, (v) serta intensifikasi penyuluhan
Kampar, manajemen pengelolaan petani kelapa terkait manajemen pengelolaan usaha tani sawit
sawit plasma perusahaan swasta (PT. Agro khususnya di lahan gambut.
Lestari) di lahan gambut, merupakan yang paling
tinggi tingkat keberlanjutannya, yaitu 60,2 atau UCAPAN TERIMA KASIH
masuk kategori cukup berkelanjutan.
Penulis mengucapkan terima kasih atas
Manajemen pengelolaan petani kelapa dukungan biaya penelitian dari Badan Litbang
sawit lainnya (5 manajemen pengelolaan) berada Pertanian melalui Proyek KP4S/SMARTD tahun
pada kategori kurang berkelanjutan (nilai kurang 2018.
dari 50,0). Dari 5 aspek yang dievaluasi, 3 aspek
diantaranya manajemen plasma swasta (PT. Agro
Lestari) menunjukkan perbedaan nilai yang

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 81
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)
DAFTAR PUSTAKA terdegradasi di Provinsi Riau. Jurnal
Sumberdaya Lahan, 8(1): 59 – 66.
Dariah, A., Maftuah. E, dan Maswar. 2014.
Karakteristik lahan gambut. Panduan Nasrul, B., H. Suwondo, Anthony, Idwar, S.
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Nedi, dan Sunardi. 2012. Model
Terdegradasi Badan Penelitian pengelolaan perkebunan kelapa kelapa
Pengembangan Pertanian. p. 16 – 29. sawit berkelanjutan pada lahan gambut di
Provinsi Riau. Jurnal Agrotek Tropika,
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten
1(1): 8 – 13.
Kampar. 2018. Data sekunder tanaman
perkebunan di Kabupaten Kampar. Ngadi dan M. Noveria. 2017. Keberlanjutan
perkebunan kelapa kelapa sawit di
Fisheries Communication. 1999. Rapfish project.
Indonesia dan prospek pengembangan di
Hhtp://fisheries. com/ project/rapfish.htm
kawasan perbatasan. masyarakat Indonesia,
Hidayat, N.K., A. Offermans, dan P. 43(1): 95 – 111.
Glassbergen. 2018. Sustainable palm oil as
Panjaitan, M., Syahrin, A., Suhaidi, dan M.
public responsibility? on the governance
Siregar. 2014. Analisis hukum terhadap
capasity of indonesian standard for
kewajiban sertifikasi ISPO (Indonesian
sustainable palm oil (ISPO). Agric. Hum
Sustainable Palm Oil) dalam kaitannya
Values, 35: 223 – 242.
dengan pertumbuhan investasi di Indonesia
Kementerian Pertanian RI (Kementan). 2015. (studi pada PT. Rea Kaltim Plantation –
Peraturan Menteri Pertanian Republik Jakarta). USU Law Journal, 2(1): 43 – 61.
Indonesia No. 11 Permentan OT
Purba, J.H.V dan Sipayung, T. 2017. Perkebunan
140/3/2015 tentang sistem sertifikasi
kelapa sawit indonesia dalam perspektif
kelapa kelapa sawit berkelanjutan
pembangunan berkelanjutan. Masyarakat
Indonesia.
Indonesia, 43(1): 81 – 94.
Irawan, B. 2007. Fluktuasi harga, transmisi
Saragih, J.M. dan Hariyadi. 2016. Pengelolaan
harga dan marjin pemasaran sayuran dan
lahan gambut di perkebunan kelapa sawit
buah. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian,
di Riau. Buletin Agrohorti, 4(3): 312 –
5(4): 358 – 373.
320.
Jung, S. 2013. Lecture 8: multidimensional
Sinaga, D.M dan Hendarto, M. 2012. Analisis
scaling, advanced applied of multivariate
kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa
analysis STAT 2221. Fall 2013, Sungkyu
sawit di Provinsi Sumatra Utara.
Jung. Department of Statistics University
Diponegoro Journal of Economics, 1(2): 1
of Pittsburgh. E-mail: sungkyu@pitt.edu.
– 13.
http://www.stat.pitt.edu/sungkyu/AAMA/.
Sudiono, S.H. Sutjahjo, N. Wijayanto, P.
Kay, D. dan J. Alder. 2000. Coastal planning and
Hidayat, P, dan P. Kurniawan. 2017.
management. Routledge New York.
Analisis berkelanjutan usahatani tanaman
Kospa, H.S.D. 2016. Konsep perkebunan kelapa sayuran berbasis pengendalian hama
kelapa sawit berkelanjutan. Jurnal Tekno terpadu di Kabupaten Tanggamus Provinsi
Global, 5(1): 1 – 10. Lampung. Jurnal Hortikultura, 27(2): 297 –
Masganti, Wahyunto, A. Dariah, Nurhayati, R. 310.
Yusuf. 2014. Potensi karakteristik dan Sumartono, E., M. Suryanty, R. Badrudin, dan A.
potensi pemanfaatan lahan gambut Rohman. 2018. Analisis pemasaran tandan
buah segar kelapa sawit di Kecamatan

82 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, Maret 2019: 67-83
Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. Wetlands International. 2003. Peta luas sebaran
Jurnal Agraris, 4(1): 28 – 35. lahan gambut dan kandungan karbon di
Pulau Sumatera. Buku Edisi Pertama.
Susilo, S.B., 2003. Keberlanjutan pembangunan
Wetlands International–Indonesia
pulau-pulau kecil: studi kasus Kelurahan
Programme & Wildlife Habitat Canada
Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan
(WHC). ISBN : 979-95899-3-2.
Seribu, DKI Jakarta. Disertasi Program
Pasca Sarjana IPB. Widayana, E. 2016. Pendekatan pengendalian
fluktuasi harga tandan buah segar terhadap
Suswati, D., B. Hendro, D. Shiddieq, dan D.
pendapatan petani kelapa kelapa sawit.
Indradewa. 2011. Identifikasi sifat fisik
Jurnal Habitat, 27(3): 103 – 108.
lahan gambut Rasau Jaya III Kabupaten
Kubu Raya untuk Pengembangan Jagung. Wigena, I.G.P, H. Siregar, nFN. Sudradjat, dan
Jurnal Perkebunan & Lahan Tropika, 1: 31 S.R.P Sitorus. 2009. Desain model
– 40. pengelolaan kebun kelapa kelapa sawit
plasma berkelanjutan berbasis pendekatan
Suwanda, M.H. 2016. Analisis keberlanjutan
sistem dinamis (studi kasus kebun kelapa
usaha tani tanaman karet di lahan gambut
kelapa sawit plasma PTP Nusantara V Sei
terdegradasi: studi kasus di Kalimantan
Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau).
Tengah. Jurnal Penelitian Tanaman
Jurnal Agro Ekonomi, 27(1): 81 – 108.
Industri, 22(3): 115 – 124.
Yunita.S. C. dan J. E. Wawa. 2018. Ironi sektor
Triyono, D., A. Muani, dan S. Sagiman. 2015.
perkebunan. Harian Kompas, 14 Desember
Strategi pengembangan kebun kelapa
2018. p. 16.
kelapa sawit lahan gambut Kabupaten
Kubu Raya. Jurnal Social Economic of
Agriculture, 4(2): 40 – 48.
Utami, R., P.E.I. Kumala, dan M. Ekayani. 2017.
Dampak ekonomi dan lingkungan ekspansi
perkebunan kelapa sawit (studi kasus: Desa
Penyabungan, Kecamatan Merlung,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi).
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI),
22(2): 115 – 126.

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Kelapa Sawit pada Beberapa Manajemen Pengelolaan dan Jenis 83
Lahan Usaha di Kampar, Riau (Mamat H.S., Puspitasari, Deciyanto Soetopo dan Chalid Talib)

You might also like