You are on page 1of 10

BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA

PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN


Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN


AKSESORIS) PADA UPACARA PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG
SUMATERA SELATAN

Vebby Tifanny 1, Nanang Rizali 2, Ganal Rudiyanto3

Abstract
The fabric known as Palembang songket weaving (hand-woven brocade, intricate patterned with
gold thread) features high cultural evidence, because the songket is associated with various things
such as high sales value, high quality fabrics made of silk and gold, and duration the time it takes to
make it. Songket contains a certain meaning that shows how the use and level of people who wear
it. Songket tent first appeared in Ki Gede Ing Suro area and later developed to experience various
changes in the type of yarns used to make Aesan Gede cloth used in traditional Palembang wedding
ceremonies, while the inside of songket remains unchanged. There are a number of elements that
characterize Palembang songket. The problems discussed in this research are the background of
Palembang songket in the traditional wedding procession of Palembang, the form and accessories of
Aesan Gede in the procession of wedding custom, and the philosophical and symbolic meaning
contained in Aesan Gede clothes used in the traditional wedding procession of Palembang. The
purpose of this study is to examine the role of songket cloth in the customary wedding procession of
Palembang. This study used descriptive qualitative method. The results showed that: first, the
background of the creation of Palembang songket cloth in the ceremony of marriage is influenced by
the aristocracy in the era of Sriwijaya kingdom. At that time songket should only be used by the
King and Queen. Secondly, Palembang songket used in the ceremony procession of Palembang's
traditional wedding ceremony is Aesan Gede and Aesan Paksangkong. Each dress has different
characteristics. Third, Aesan Gede dress worn during traditional wedding ceremonies of Palembang,
contains important philosophical and symbolic meaning.
Keywords: traditional Palembang wedding procession

Abstrak
Kain yang dikenal sebagai tenun songket Palembang (brokat tenunan tangan, bercorak
rumit dengan benang emas) menampilkan bukti budaya yang tinggi, karena kain songket
ini terkait dengan berbagai hal seperti nilai penjualannya yang tinggi, kualitas kainnya
yang tinggi terbuat dari sutera dan emas, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
membuatnya. Songket berisi makna tertentu yang menunjukkan bagaimana
penggunaannya dan tingkat orang yang memakainya. Tenda songket pertama kali muncul
di kawasan Ki Gede Ing Suro dan kemudian berkembang untuk mengalami berbagai
perubahan dalam jenis benang yang digunakan untuk membuat kain Aesan Gede yang
digunakan dalam upacara pernikahan tradisional Palembang, sementara bagian dalam
kain songket tetap tidak berubah. Ada sejumlah elemen yang menjadi ciri khas songket
Palembang. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah latar belakang adanya
songket Palembang dalam prosesi adat pernikahan tradisional Palembang, bentuk dan
aksesoris Aesan Gede dalam prosesi adat pernikahan, dan makna filosofis dan simbolis

1 Mahasiswa Magister Desain Produk FSRD Universitas Trisakti, e-mail: vebbytifanny20@yahoo.com


2 Staf Pengajar Magister ITB – Magister Usakti
3 Staf Pengajar Magister Usakti, e-mail: ganalrudi@yahoo.com

213
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

yang terkandung dalam busana Aesan Gede yang digunakan dalam prosesi pernikahan
tradisional Palembang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peranan kain
songket pada prosesi pernikahan adat Palembang. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, latar belakang
terciptanya pemakaian kain songket Palembang dalam upacara adat pernikahan
dipengaruhi oleh aristokrasi pada jaman kerajaan Sriwijaya. Saat itu songket hanya boleh
dipakai oleh Raja dan Ratu. Kedua, songket Palembang yang dipakai pada acara prosesi
adat pernikahan Palembang itu merupakan busana Aesan Gede dan Aesan Paksangkong.
Masing-masing busana memiliki ciri khas yang berbeda. Ketiga, busana Aesan Gede yang
dipakai dalam upacara pernikahan adat tradisional Palembang, mengandung makna
filosofis dan simbolis yang penting.
Kata kunci: songket, prosesi penikahan adat Palembang

Pendahuluan
Indonesia memiliki beragam kebudayaan. Salah satu bagian dari kebudayaan
adalah kesenian. Indonesia telah mengenal kesenian membuat kain tradisional
sejak dahulu, provinsi di Indonesia khususnya Sumatera telah lebih dahulu
mengenal kain tenun tradisional. Kain tenun tradisional yang berkembang di
Sumatera dikenal dengan kain tenun ikat yang memiliki berbagai macam jenis
kain tenun tradisional seperti Kain Tapis yang berkembang di Lampung, Kain
Ulos di Sumatera Utara, Kain Tenun Pandai Sikek di Sumatera Barat, dan Kain
Songket di Palembang.

Palembang merupakan salah satu kota yang memiliki sejarah yang panjang, mulai
dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya sampai Kesultanan Palembang Darussalam.
Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan
Kerajaan Sriwijaya. Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain
songket, memberikan nilai tersendiri dan menunjukkan sebuah kebesaran dari
orang-orang yang membuat kain songket. Kata songket berasal dari istilah sungkit
dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti “mengait” atau
“mencungkil“. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan
mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas.
Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri,
perayaan atau pesta.

Songket Palembang sebagai busana pernikahan adat di antaranya, aesan gede dan
pak sangkong. Aesan Gede dan Pak sangkong dipakai oleh pengantin ketika acara
resepsi pernikahan di Palembang. Pakaian ini dipakai saat upacara adat
perkawinan di Palembang, yaitu “penganten munggah”. Setelah melewati beberapa

214
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

tata upacara adat perkawinan di Palembang, seperti: madik (memilih calon


pengantin), menyenggung (memantapkan pilihan), meminang (melamar), berasan,
memutus kato, mengantar uang belanja, bedandan, akad nikah, mengarak pacar, munggah,
upacara di ruangan gegajah, menjenguk pengantin, menjemput pengatin, berkeramas
(mandi simbur), mempertemukan pengantin, syukuran, nyanjoke pengantin dan
pengantin tandang (Saragih, 2001: 24). Munggah adalah salah satu upacara adat
perkawinan yang merupakan puncak dari pada upacara perkawinan seluruhnya
(Saramat, 1997: 93). Pada acara munggah inilah aesan gede dan pak sangkong dipakai
dalam acara tersebut.

Pakaian adat pernikahan Palembang, yakni aesan gede dan pak sangkong terdapat
bagian bagian mulai dari yang pokok sampai aksesoris pelengkapnya. Yang
kesemuanya memiliki pesan tersirat atau memiliki makna-makna simbol dari
tiap-tiap bagian dari pakaian adat pernikahan Palembang.

Berdasarkan gambaran tersebut maka perlu dikaji dalam bentuk penelitian


tentang makna simbolis dan filosofis yang terkandung dalam busana Aesan Gede
dan aksesorisnya pada prosesi pernikahan adat Palembang.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Dipilih metode deskriptif kualitatif karena langsung menggambarkan atau
mengungkapkan fakta-fakta keadaan yang ada dalam kebudayaan masyarakat di
Palembang. Penelitian deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh
keadaan yang ada, yaitu keadaan yang apa adanya saat penelitian dilakukan.
Penelitian dilakukan secara terjun langsung ke lapangan, menyesuaikan diri
dengan waktu dan ruang setempat untuk mendapatkan data (Miles & Heberman
1992: Sugiyono 2009). Data penelitian bersumber dari data primer dan data
sekunder. Pertama, data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan
wawancara. Wujud data primer dalam penelitian ini berupa informasi lisan dan
tindakan subjek penelitian. Kedua, data sekunder berupa bahan informasi secara
tidak langsung, mengumpulkan data yang spesifik dari para informan. Kemudian
data tersebut diolah dan dianalisis hingga diperoleh simpulan.

Dalam melakukan pengumpulan data, digunakan teknik wawancara (Nazir 42).


Analisa kerja dan aktivitas adalah penelitian yang ditujukan untuk menyelidiki

215
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

aktivitas yang dapat memberi fakta untuk mempertegas suatu masalah yang
diteliti (Nazir 71).

Dengan demikian yang menjadi teknik penelitian dalam penelitian kualitatif


mencakup wawancara, dokumentasi serta observasi. Sumber penelitian ini adalah
kriya tekstil pusat sentra Kain Songket di Palembang. Observasi ke pusat sentra
Kain Songket di Palembang untuk mengumpulkan data-data mengenai profil
sentra pembuatan kriya tekstil. Kegiatan wawancara yang dilakukan dalam
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan nilai budaya yang
terkandung dalam busana Aesan Gede dan aksesorisnya pada pernikahan adat
Palembang. Peneliti melakukan wawacara dengan narasumber masyarakat
Kelurahan 30 Ilir Palembang, yaitu Zuhro, Anna Kumari, Rahman, Yudhi
Syarofie, Indrawati, Cek Iya dan Cek Ma, Efendi.

Untuk menjaga kepercayaannya, penelitian ini menggunakan teknik analisis


interaktif, artinya proses pengujian kepercayannya dapat dilakukan dengan cara
memeriksa data yang telah diperoleh melalui berbagai metode. Analisis data
dilakukan mulai dari penyajian data, reduksi data, tabulasi, penarikan
kesimpulan/verifikasi. Penarikan kesimpulan dilakukan sesuai dengan catatan-
catatan data lapangan yang terkumpul. Dalam reduksi data ini peneliti
melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan,
pengabstrakkan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di
lapangan. Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses
penelitian. Langkah selanjutnya yaitu penyajian data lengkap, yaitu sekumpulan
informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan.

Hasil
Kain songket merupakan kain formal yang mewah, karena karya ini termasuk
kerajinan seni yang menuntut keterampilan tinggi serta ketekunan yang luar
biasa. Kain songket identik dipenuhi warna-warna yang cerah dan kilau emas atau
perak dengan ragam motif yang rumit nan indah. Penggunaan gemerlap warna
serta kilauan benang emas atau perak menempatkannya pada nilai kemewahan.
Pada masa lalu kain songket benang emas hanya boleh dikenakan oleh kalangan
tertentu seperti raja dan keluarganya dengan sederet tingkatan peraturan. Kain
songket dapat dikenakan khususnya pada acara istimewa seperti pernikahan atau
upacara adat, upacara cukur rambut pada hari ke-40 bayi lahir. Kain songket

216
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

memberikan nilai tersendiri yang dapat menunjukkan kebesaran bagi orang-


orang yang mengenakan dan membuatnya.

Sejak dulu songket lebih banyak dikenakan oleh kaum perempuan yang
dipadankan dengan baju kurung panjang. Untuk busana pengantin, songket yang
dipakai adalah songket dengan benang emas yang penuh. Songket yang
dikenakan dipernikahan yaitu motif songket lepus. Songket lepus ini songket yang
pertama ada di Palembang. Selain itu, songket ini juga merupakan pakaian para
Raja dan Ratu zaman kerajaan Sriwijaya pada saat itu. Selain faktor sejarah yang
kuat, hal paling terpenting dalam hasil cipta karya budaya manusia adalah sikap
memegang teguh dan rasa bangga yang tertanam pada masyarakat Palembang
untuk tetap menggunakan pakaian adat dalam setiap moment upacara adat. Bagi
masyarakat Palembang penggunaan pakaian adat dianggap sebagai peng-
hormatan kepada leluhur sebagai upaya menjunjung tinggi adat dan budaya
mereka.

Palembang mempunyai beberapa pakaian adat yaitu, di antaranya, aesan gede dan
paksangkong. Busana adat pernikahan Palembang sangat terkenal dengan sebutan
Aesan Gede. Busana ini melambangkan kebesaran raja Sriwijaya yang kemudian
diterjemahkan sebagai busana pengantin Palembang. Warna merah jambu (pink)
dan keemasan serta gemerlap perhiasan dan mahkota yang dipadukan dengan
baju dodot dan kain Songket semakin mempertegas keagungan bangsawan
Sriwijaya. Kesan mewah pada pakaian Aesan Gede ini tidak terlepas dari
penggunaan perhiasan yang berupa bungo cempako, mahkota Aesan Gede, kelapo
standan, dan kembang goyang. Sama seperti Aesan Gede, Aesan Paksangkong juga
melambangkan keagungan masyarakat Palembang. Warna yang mendominasi
pakaian Aesan Paksangkong adalah warna merah dan emas, untuk pakaian
wanita biasanya menggunakan baju kurung warna merah berhiaskan motif
bertabur bunga bintang keemasan yang dipadukan dengan kain songket lepus
bersulam emas. Busana ini dilengkapi dengan penutup dada, perhiasan dan
mahkota dengan untaian bunga. Sedangkan untuk pakaian pria yang digunakan
jubah bertabur bunga emas, celana, dan kain songket serta songkok emas sebagai
penghias kepala.

Pakaian adat pernikahan Palembang aesan gede, dari masing-masing bagian


mempunyai makna filosofis dan simbolik. Dalam simbol perkawinan masyarakat
Sumatra Selatan, kain songket serta pakaian adat yang diberikan pada saat

217
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

lamaran, kain songket melambangkan sumber kehidupan kedua pengantin serta


dilihat dari segi kepribadiannya, pendidikannya, dan status ekonominya. Aesan
gede memiliki nilai filosofis bahwa Sumatera memang layak dijuluki sebutan
swarnadwipa atau pulau emas. Makna simbol aesan gede dan aksesorisnya ini akan
diuraikan lebih lanjut yaitu, sebagai berikut:

218
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

Keterangan singkat tentang baju adat dari Sumatera Selatan “Aesan Gede”:
1. Mahkota yang digunakan adalah Kesuhun pengantin lakilaki dan Kesuhun
pengantin perempuan. Yang artinya seorang laki-laki harus mempunyai
sifat berani dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan pada wanita,
bahwa wanita harus memiliki sifat keibuan, kelembutan dan mempunyai
rasa kekeluargaan.
2. Cempako adalah bunga cempaka. Yang dipakai dikepala ditusuk digelung
malang. Memiliki makna simbol bahwa orang Palembang harus menjaga
keindahan perilakunya.
3. Sanggul Malang, adalah rambut yang digelung agar terlihat rapi. Memiliki
makna simbol bahwa perempuan Palembang adalah sosok yang anggun
mengutamakan kerapian dan memiliki rasa ketenangan dalam
menghadapi sesuatu.
4. Tebeng Malu, penutup bagian samping kepala. Berbentuk bola-bola warna-
warni yang dirangkai dan dipasang disamping telinga. Memiliki makna
bahwa manusia harus menjaga pandangannya.
5. Terate adalah hiasan yang digunakan oleh si laki-laki dan perempuan
untuk menutupi bagian dada dan pundak. Terate sendiri bebentuk
lingkaran bersudut lima dengan motif bunga melati bersepuh emas. Bagian
tepinya terdapat pekatu berbentuk bintang serta rantai dan juntaian
lempengan emas berbentuk biji mentimun. Hiasan ini menggambarkan
kemegahan dan kesucian, kesabaran dalam hal apapun.
6. Kebo Munggah atau Kalung Tapak Jajo, taitu kalung yang terbuat dari
emas 24 karat dengan bentuk lempengan bersusun 3 (khusus untuk yang
sudah menikah). Anda belum menikah? Tenang, kalung ini masih boleh
digunakan oleh laki-laki atau wanita yang belum menikah hanya saja
terdiri dari lempengan bersusun 2 atau 1 saja. Motif kerbau ini mengandung
arti kesuburan dan dipandang sebagai penolak yang jahat jahat.
7. Selempang Sawir, adalah salah satu bagian dari pakaian adat Palembang
yang terbuat dari emas 22 karat dengan ragam hias sulur da nada aksen
intan di bagian tengah. Selendang sawit ini berjumlah 2 yang dipakai
menyilang dari bahu kiri ke pinggang sebelah kanan, dan dari bahu kanan
kepinggang sebelah kiri. Memiliki makna simbol bahwa laki-laki dan
perempuan harus sejajar, tidak ada yang merasa dibawah.
8. Keris. keris ini digunakan oleh pengantin pria (keturunan raja/bangsawan)
yang diselipkan di pinggang depan sebelah kanan dengan gagangnya
menghadap keluar. Untuk laki-laki yang bukan bangsawan atau keturunan

219
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

raja, kerisnya diletakkan dibagian pinggang belakang. Hal ini untuk


menghormati para raja atau atasan. Kalo aslinya dulu, sarung keris ini
dibuat dari emas 20 karat.
9. Pending, adalah ikat pinggang laki-laki dan perempuan berbentuk
lempengan emas dengan ukuran 6×9 cm terbuat dari emas 20
karat. Memiliki makna simbol bahwa perempuan dan laki-laki siap untuk
menjalani kehidupan.
10. Gelang Palak Ulo, adalah gelang emas 24 karat bertabur berlian dengan
bentuk ular naga bersisik dan berpulir. Eits, jangan lupa gelang ini hanya
digunakan oleh perempuan di bagian lengannya.
11. Gelang Kecak, kiga adalah gelang emas 24 karat berbentuk mata yang
dihiasi pekatu polos dan ditengahnya ada 2 tumpukan lingkaran berhias
emas. Gelang ini digunakan oleh kedua mempelai dibagian pangkal lengan.
12. Gelang Sempuru dan Gelang Kanu.
13. Saputangan Segitigo, adalah saputangan yang terbuat dari beludru
berwarna merah yang salah satu sisinya bertabur kelopak bunga melati dari
emas. Dipinggir saputangan ini terdapat rantai dan juntaian bandul +
lempengan logam berbantuk wajik. Dipakai mempelai pria di jari tengah
sebelah kanan (Aesan Gade), atau dipakai mempelai pria di telunjuk
sebelah kiri (Aesan Paksangko). Sedangkan mempelai wanita
menggunakannya pada kelingking sebelah kanan baik pada Aesan Gade
maupun Aesan Paksangko. Memiliki makna simbol ketegaran dan
ketenangan hidup.
14. Kain songket lepus. Songket lepus memiliki motif geometris abstrak, dan
motif zigzag. Songket lepus merupakan songket tertua dalam sejarah.
Makna simbol yang terdapat pada kain songket ini adalah keramahan,
ketertiban dan saling menghormati pada masyarakat Palembang.
15. Celana Sutera adalah celana panjang yang berbahan sutra. Dibagian bawah
celana sutra ini terdapat bordiran berbentuk bunga yang mempunyai
tangkai dan menjalar panjang. Yang artinya, mentalitas orang Palembang
sangat gigih dalam menjalani kehidupan dimanapun berada.
16. Cenela, adalah sejenis sandal yang dipakai oleh kedua mempelai pengantin
biasanya berwarna senada dengan atasan. Mempunyai makna simbol
bahwa dalam kehidupan dalam melangkah harus mempunyai pelindung
diri yaitu agama.

220
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari bab-bab sebelumnya maka, dapat
disimpulkan bahwa hal yang melatarbelakangi songket sebagai Busana Prosesi
adat pernikahan Palembang dikarenakan songket dulunya merupakan pakian
Raja dan Ratu Kerajaan Sriwijaya, selain faktor sejarah, penggunaan pakaian adat
dianggap sebagai penghormatan kepada leluhur sebagai upaya menjunjung tinggi
adat dan budaya mereka. Kain Songket yang dipakai saat prosesi pernikahan adat
Palembang kain songket motif lepus yang memiliki benang emas yang penuh.
Busana tenun songket pada prosesi upacara adat pernikahan Palembang ada dua
jenis, yaitu Aesan Gede dan Aesan Paksangkong. Keduanya sama-sama memiliki
kemewahan, karena warna emas yang berkilauan memberikan kesan mewah.
Bentuk busana Aesan gede pada pengantin wanita terbagi atas bagian kepala badan
tangan dan kaki. Pada Busana bagian kepala terdiri dari Bungo cempako, Gandik,
Gelung Malang, Tebeng Malu, Kesuhun, Kelapo Standan dan Bungo Rampai.
Selanjutnya, pada bagian badan terdiri dari Taratai, Kalung Kebo Munggah dan
Songket Lepus. Pada bagian Tangan dan Kaki terdiri dari Gelang Kulit Bahu,
Gelang Sempuru, Gelang Ulo Betapo, Dan Gelang Gepeng. Kemudian bagian alas
kaki menngunakan Cenela. Selanjutnya, Bentuk Busana pada Pengantin Pria.
Bagian Kepala terdiri dari Kesuun dan Tebeng Malu. Pada Bagian Badan tediri
dari Kalung Kebo Munggah dan Slempang Sawir. Selanjutnya, pada bagian
Tangan terdapat Gelang Kulit Bahu, Gelang Sempuru, Gelang Gepeng dan Gelang
Ulo Betapo. Pada bagian kaki menggunakan Celano Sutra dan Cenela. Masing-
masing bagian tersebut mengandung unsur nilai nilai religius, nilai individu, dan
nilai sosial.

Makna simbol dan filosofis yang terkandung dalam aesan gede bahwasanya pada
pakaian adat aesan gede ini merupakan simbol kebaikan kehidupan di dunia dan
akhirat. Kebaikan di dunia yaitu agar setelah pernikahan akan mendapatkan
kebahagian dan kemujuran. Juga, terdapat simbol dalam berperilaku yaitu,
ramah, tertib dan saling menghormati.

221
BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA
PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN
Vebby Tifanny, Nanang Rizali, Ganal Rudiyanto
Jurnal Seni & Reka Rancang Volume 1, No.2, April 2019, pp 213-222

Referensi
Alam, Syamsir, dkk. 1996. Kain Songket Palembang.Palembang: Depdikbud BPPP
Sumatera Selatan.
Budiwirman. 2003. ”Kain Tenun Songket Minangkabau (kajian fungsi kain songket
dalam perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Minangkabau)” Tesis. Padang:
UNP.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1992. Kongres Kebudayaan 1991: Daya Cipta
dan Perkembangan Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Hermawat. 2008. ”Busana Aesan Gede di Palembang (Kajian Bentuk dan Fungsi pada
Upacara Adat)” Tesis. Surakarta
Jalaludin. 1997. Petunjuk Kota Palembang. Palembang: Humas Pemda Tingkat II
Kotamdya Palembang.
Kartiwa, Suwati. 1996. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan.
M, Soegeng Toekio. 2000. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung: Angkasa.
Palembang Koleksi Museum Bala Putra Dewa. Palembang: Dinas Pendidikan
Nasional Propinsi Sumatera Selatan.
Miles, H.B. dan Heberman A M. 1992. Analisis Data Kualitatif (terj. Tjetjep
Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press.
Rosyadi, Ulin Nuha. 2012. Kekayaan Seni Budaya Bangsaku. Bekasi: Aranca Pratama.
Saragih, Meriati S. dkk. 2001. Perlengkapan Upacara Daur Hidup Masyarakat.
Palembang: Koleksi Museum Bala Putra Dewa. Palembang: Dinas Pendidikan
Nasional Propinsi Sumatera Selatan.
Sedyawati, Edi dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Rupa dan Desain.
Jakarta: Rajawali Pers.
Soehardjo. 2009. Pengantar Estetika. Semarang: UNM.
Soelaeman, Munandar. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Eresco, 1987.
Sofiah, Rahmi. 2011. “Bentuk, Fungsi, dan Makna Motif Kain Songket Palembang
Dalam Upacara Adat Perkawinan”. Tesis, Padang: UNP.
Sumaryanto, Totok. 2007. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Dalam Penelitian
Pendidikan Seni. Semarang: UNNES Press.
Syarofie, Yudhy. 2007. Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi.
Palembang: Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan.
Syarofie, Yudhy. 2016. Pakaian Adat Pengantin di Sumatera Selatan: Palembang, OKI
dan OKU Selatan. Palembang: Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi
Sumatera Selatan.
Uslirida. 2011. “Perubahan Bentuk, Fungsi dan Makna „I‟enun Songket Siak Pada
Masyaraka Melayu Riau”. Tesis, Padang: UNP.
Vander, Hoop A.N.J. 1949. Ragam-Ragam Perhiasan Indonesia. Bandung: AC Nix &
Co.

222

You might also like