You are on page 1of 12

REVITALISASI PELAKSANAAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH

DAN PEMEGANG IZIN PERTAMBANGAN DALAM MENYIKAPI


PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN HUTAN
I Putu Gede Ardhana
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Denpasar-Bali

Abstract

This Article aims to study the governmental policy for methods which participate the act No. 19 of 2004th
concerning the perspective preservation of biodiversity. This Article represent the normative legal research
that is concern with legislation approach (the statute approach), case study approach (the case approach),
approach by factual (the fact approach), the approach of analytical legal concept (analytical conceptual
approach), and the bibliography approach (the library approach) that is the collection of the reading
materials related with this topic of problems. From the conclusion of this article, we can obtain the
summary that act No. 19 of 2004th was the concretion of synchronized activity of the mining industry in the
forest zone and threatens the preservation of biodiversity. To remove this threaten we must revitalize the
methods which enact laws and regulations concerning with forestry, conservation of biodiversity, and
ecosystem against the mining’s operation. Especially against the conduct of 13 mining companies which
are authorized by permissions of the mining industry for exploitation, the sanction agents the offender
accurately must be imposed and must be accordance with the law or regulation in force for methods
which guarantee the reservation of biodiversity.

Key words: mining, forest zone, preservation, biodiversity, law, regulation.

1. Pendahuluan menjadi Undang-Undang No. 19/2004. MK juga


Kehadiran Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 menggunakan lampiran Undang-Undang No. 10
sebagai perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
merupakan peristiwa menandai dibukanya usaha atau PerUndang-Undangan yang menyatakan bahwa
kegiatan kembali untuk menambang dengan metode segala hubungan hukum yang ada atau tindakan
open pit minning di kawasan hutan lindung. hukum yang terjadi, baik sebelum, pada saat maupun
Hal ini berarti telah merangsang kembali iklim sesudah perundang-undangan yang baru itu
investasi dari sektor pertambangan, walaupun dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan
gugatan judicial review dari Tim Advokasi perundang-undangan yang baru. Dengan demikian,
Penyelamat Hutan Lindung dan Indonesian Center seharusnya semua ketentuan Undang-Undang No.
for Environmental Law (ICEL) sebagai salah satu 41/1999 tentang Kehutanan termasuk tentang adanya
anggotanya dan penanggung jawab secretariat1 larangan penambangan di hutan lindung dengan pola
terhadap pemerintah agar produk hukum tersebut pertambangan terbuka, berlaku untuk semua pelaku
dibatalkan, namun Mahkamah Konstitusi (MK) tetap penambangan, setidak-tidaknya bagi yang sudah
menolak. Adapun yang menjadi petimbangan MK memperoleh izin sebelum berlakunya Undang-
dalam memutuskan perkara tersebut adalah PERPU Undang No. 41/1999 harus menyesuaikan2
No. 1/2004 telah diterima dan disetujui oleh DPR RI Penggunaan kawasan hutan lindung untuk

1
Peraturan Pemerintah. 2009.
http://www.icel.or.id/judicial_review_uu_no._19_tahun_2004_penetapan_peraturanpemerintah _
pengganti_uu_p.icel
2
Departemen Kehutanan, 2005. Aktualisasi Kebijakan Kehutanan. Kumpulan Siaran Pers Tahun 2005.
Departemen Kehutanan, Jakarta

93
Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm. 93 - 104

kegiatan pertambangan akan dilaksanakan atas dasar Kehutanan oleh DPR RI, yang telah ditindaklanjuti
persetujuan Kementerian Kehutanan dalam bentuk dengan diterbitkannya Keppres No. 41 Tahun 2004
izin kegiatan atau izin pinjam pakai kawasan hutan yang mengijinkan 13 perusahaan melakukan
lindung tentang Penggunaan Kawasan Hutan penambangan di hutan lindung. Pada saat itu, salah
Lindung untuk Kegiatan Pertambangan, dengan satu pertimbangan pemerintah memberikan
tujuan untuk membatasi dan mengatur penggunaan izinpenambangan kepada 13 perusahaan tersebut,
kawasan hutan lindung untuk kegiatan karena dinilai telah siap melakukan eksploitasi, namun
penambangan. Namun demikian disebutkan pula ternyata pengajuan izin kegiatan yang dilakukan ke
bahwa persetujuan Menteri Kehutanan tersebut 13 perusahaan tersebut ada yang masih dalam tahap
hanya berlaku terhadap 13 izin atau perjanjian di studi kelayakan dan eksplorasi (Tabel 1).
bidang pertambangan yang nama perusahaan, lokasi Pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan
penambangannya tercantum dalam lampiran dalam memproses perijinan yang diajukan, tetap
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004.3 berpegang pada azas kelestarian, dan akan
Pemberian izin untuk melakukan penambangan memperketat terhadap kemungkinan-kemungkinan
di hutan lindung di atas merupakan konsekuensi dari kerusakan hutan lindung akibat aktivitas
disetujuinya PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang penambangan. Akibat lahirnya Undang-Undang No.
perubahaan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang 19 Tahun 2004, di lain pihak produk hukum tersebut

Tabel 1. Nama Perusahaan Tambang yang Mendapatkan Izin Melakukan Penambangan di Hutan Lindung
Pedoman Keppres 41 Tahun 2004

No. Nama Perusahaan Jenis Tahap Lokasi Luas (Ha)


Kegiatan Penambangan

1 PT. Freeport Indonesia Tembaga, Produksi Papua 212.950


emas, dan
mineral pengi-
kutnya (dmp)
2 PT. Indominco Mandiri Batubara Produksi Kaltim 25.121
3 PT. Inco Tbk. Nikel Produksi Sulsel, Sulteng dan 218.528
Sultra
4 PT. Aneka Tambang Nikel Produksi Sultra 14.570
5 PT. Karimun Granit Granit Produksi Kepulauan Riau 2.761
6 PT. Aneka Tambang Nikel Eksplorasi Maluku Utara 39.040
7 PT. Gag Nikel Nikel Eksplorasi Papua 13.136
8 PT. Pelsart Tambang Emas dmp Eksplorasi Kalsel 201.000
Kencana
9 PT. Weda Bay Nickel Nikel Eksplorasi Maluku Utara 76.280
10 PT. Sorikmas Mining Emas dmp Eksplorasi Sumatera Utara 66.200
11 PT. Interex Sacra Raya Batubara Studi Kaltim dan Kalsel 15.650
kelayakan
12 PT. Natarang Mining Emas dmp Kontruksi Maluku Utara 12.790
13 PT. Nusa Halmahera Emas dmp Produksi Maluku Utara 29.622
Minerals Konstruksi
Eksplorasi

Sumber: Departemen Kehutanan, 2005

3
Ibid

94
I Putu Gede Ardhana : Revitalisasi Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Pemerintah dan Pemegang.....

mengancam pelestarian keanekaragaman hayati 2. Metode Telaahan


(biodiversity) pada kawasan hutan yang akan Tipe telaahan ini tergolong ke dalam telaahan
ditambang. Kemunduran dan kerusakan habitat-pun hukum normatif dan penelitian hukum kepustakaan
tidak dapat dihindari, pelestarian plasma nutfah pada maka titik berat penelitian mempergunakan bahan
kawasan hutan yang akan ditambang sangat sensitif hukum bukan data, sehingga data primer yang
dari sisi konservasi dan telah ditunjuk fungsinya dipergunakan hanya bersifat memperkuat,
sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi. melengkapi dan menunjang, kemudian sumber data
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 atau disebut sekunder dilakukan melalui sumber data kepustakaan
juga Undang-Undang Konservasi Hayati (UUKH) (library research) yang terdiri atas bahan hukum
pada prinsipnya telah mengatur prinsip perlindungan primer dan bahan hukum sekunder.
antara lain: perlindungan jenis yang meliputi jenis- Adapun bahan hukum primer yang digunakan
jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang tidak terutama berpusat dan bertitik tolak pada peraturan
dilindungi. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
tentang Kehutanan Pasal 38 ayat (4) juga telah adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang
mengatur bahwa pada kawasan hutan lindung Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
dilarang melakukan penambangan terbuka. Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1)
Kehutanan menjadi Undang-Undang, Undang-
disebutkan bahwa kegiatan penambangan diluar
Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
kehutanan yang dapat dilaksanakan didalam
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
ditetapkan secara selektif, dan dilarang melakukan
Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
fungsi hutan yang bersangkutan. Disini sudah jelas Berikutnya dipergunakan pula bahan hukum
adanya suatu ketentuan Undang-Undang yang sekunder berupa pendapat para ahli hukum, hasil-
melarang suatu kegiatan pembangunan yang hasil kajian, kegiatan ilmiah dan beberapa informasi
merusak kawasan hutan lindung. dari media masa. Pendekatan masalah yang dipakai
Setelah melalui proses persidangan dan terhadap telaahan ini, adalah beberapa pendekatan
berdasarkan pertimbangan, serta keterangan para yang dikenal dalam hukum normatif, yaitu pendekatan
ahli, MK menilai bahwa gugatan yang diajukan oleh kasus (the case approach), pendekatan perundang-
masyarakat yang mewakili berbagai kepentingan dan undangan (the statute approach), pendekatan
profesi, tidak cukup beralasan sehingga permohonan analisis konsep hukum (analitical conceptual
mereka ditolak. Dengan demikian, diharapkan semua approach).
pihak menghormati keputusan MK tersebut, Jenis bahan hukum yang dipergunakan berupa
khususnya para pengusaha pertambangan di hutan bahan-bahan hukum primer seperti peraturan
lindung yang akan melanjutkan prosesnya pada perundang-undangan, Keputusan Presiden,
tahap eksploitasi.4 Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri,
Mencermati dari latar belakang permasalahan sedangkan bahan-bahan hukum sekunder yaitu
di atas dengan lahirnya Undang-Undang No. 19 bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-
Tahun 2004 yang merupakan perwujudan PERPU No. bahan hukum primer dapat membantu menganalisis
1 Tahun 2004 dalam penyelenggaraan pemerintah dan memahami hukum primer adalah : a) hasil karya
tentang kegiatan pertambangan pada kawasan hutan ilmiah para sarjana; b) hasil kajian; c) laporan-laporan,
sehubungan dengan hal itu perlu ditegaskan agar media massa.
dilakukan revitalisasi pelaksanaan ketentuan Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan
peraturan pemerintah dan pemegang izin yang memberikan informasi tentang bahan-bahan
pertambangan dalam menyikapi pelestarian hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi
keanekaragaman hayati di kawasan hutan. bibliografi. Adapun metode pengumpulan bahan

4
ibid

95
Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm. 93 - 104

hukum dalam telaahan ini adalah dengan melibatkan instansi terkait yaitu LIPI selaku Scientific
menggunakan metode gabungan antara bola salju Authority, lingkungan hidup, Departemen yang
(snowball method) dengan metode sistematis terkait dan penetapannya atas persetujuan Dewan
(systematic method). Berlandaskan hasil Perwakilan Rakyat. Penelitian dimaksud meliputi
pengumpulan bahan hukum, kemudian dianalisis, aspek biofisik (perubahan iklim, ekosistem, gangguan
dikontruksi dan diolah sesuai dengan rumusan tata air) dan aspek sosial ekonomi masyarakat.6
masalah yang telah ditetapkan, kemudian disajikan Ketentuan perundang-undangan kehutanan dalam
secara deskriptif. 5 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sudah sangat
jelas dan kuat untuk mempertahankan kondisi
3. Pembahasan kawasan hutan lindung agar pembangunan yang
akan dilaksanakan tetap menjamin kelestarian fungsi
3.1 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang lingkungan hidup yang ada di sekitarnya sehingga
Kehutanan pembangunan dapat berjalan dengan
Undang-Undang Kehutanan ini dikeluarkan berkesinambungan “sustainable development” yang
pada tanggal 30 September 1999, untuk mengganti sampai saat ini masih terus menjadi topik pembahasan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1967. Dalam penjelasan dalam forum-forum Konferensi Tingkat Tinggi
umum, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Internasional.
disebutkan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun Penyelenggaraan kehutanan disebutkan
1967 dianggap belum cukup memberikan landasan berazaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan,
hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan
oleh karena itu perlu diganti sehingga memberikan keterpaduan. Azas manfaat dan lestari dimaksudkan
landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan
pembangunan kehutanan pada saat ini dan saat memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur
mendatang. lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi. Menyikapi
Dengan lahirnya Undang-Undang kehutanan pelaksanaan azas itu kemudian dilakukan dengan
ini maka sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (4) diatur mengalokasikan kawasan hutan sesuai dengan
bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi
melakukan penambangan dengan pola dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula
pertambangan terbuka. Selanjutnya dalam penjelasan tentang perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa kegiatan Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjaga agar
pembangunan di luar kehutanan yang dapat fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-
dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan Undang ini merinci berbagai perbuatan yang
hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan- dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi
kegiatan yang dapat mengakibatkan hilangnya hutan, menetapkan larangan-larangan serta
fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kegiatan mekanisme penegakan hukumnya.
pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai
untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan pemerintah memegang peran penting dalam
antara lain kegiatan pertambangan. penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang- Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan di dalam
Undang Kehutanan beserta penjelasannya dapat wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam
disimpulkan bahwa untuk kepentingan di luar yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
pembangunan kehutanan dimungkinkan untuk untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
melakukan perubahan peruntukan dan perubahan Penguasaan hutan oleh negara memberikan
fungsi kawasan. Namun perubahan tersebut harus wewenang kepada pemerintah pusat untuk mengatur
melalui serangkaian penelitian terpadu yang dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan

5
Ashshofa, B. 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta
6
Budi Riyanto. Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan
Lingkungan. Bogor

96
I Putu Gede Ardhana : Revitalisasi Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Pemerintah dan Pemegang.....

hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa
status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa
hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative
hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan dispute resolution).7
meliputi kegiatan perencanaan kehutanan,
pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, 3.2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Sebagai
pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta Perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004
pengawasan. Dengan demikian, pemerintah Dengan lahirnya Undang-Undang No. 19 tahun
berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi 2004 merupakan perwujudan PERPU No. 1 Tahun
izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, 2004. Hal tersebut berarti akan terbuka kembali iklim
penyuluh sekaligus pengawas. investasi dari sektor pertambangan. Di lain pihak
Semangat desentralisasi dalam Undang- peristiwa hukum tersebut mengancam pelestarian
Undang ini dimuat dalam Pasal 66. dalam rangka ekosistem dan pelestarian plasma nutfah pada
penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat kawasan hutan yang akan ditambang mengingat
menyerahkan sebagian kewenangannya kepada kawasan hutan yang akan menjadi objek kegiatan
pertambangan termasuk wilayah yang sangat sensitif
pemerintah daerah. Namun kewenangan yang
dan telah ditunjuk fungsinya sebagai kawasan hutan
diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang
lindung. Hutan lindung tersebut sesuai fungsinya
bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar
sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah daerah
kehidupan dan mengatur tata air, mencegah banjir,
pun tidak terlibat dalam proses penyusunan
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi
memelihara kesuburan tanah (Pasal 6 ayat (1) Undang-
semacam ini bertentangan dengan Undang-Undang Undang No. 41 Tahun 1999.8 Namun demikian
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, semestinya pemerintah harus memikirkan kondisi
khususnya Pasal 10 ayat (1). kawasan hutan lindung sebelum menetapkan
Ditinjau dari aspek kelembagaan, Undang- Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 agar terhindar
Undang ini memberikan kewenangan terlampau luas dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.
kepada Departemen Kehutanan. Departemen Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi Undang (PERPU) No. 1 Tahun 2004 ini adalah bentuk
hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang peraturan perUndang-Undangan yang ditetapkan
berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satu oleh presiden tanpa melalui persetujuan Dewan
pun ketentuan yang menyebutkan perlunya Perwakilan Rakyat terlebih dahulu yang
koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan kedudukannya sejajar dengan Undang-Undang.
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi PERPU disusun berdasarkan ketentuan Pasal
menimbulkan perebutan kewenangan dalam 22 Undang-Undang Dasar 1945, berbunyi sebagai
pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi berikut.
pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam 1) Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa,
wilayah yang sama terutama pada kegiatan presiden berhak menetapkan Peraturan Peme-
penambangan di kawasan hutan lindung yang rintah sebagai pengganti Undang-Undang;
sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan 2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat
konservasi. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam persidangan yang berikut;
Undang-Undang ini. Sanksi yang diberikan tidak 3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan
hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif. Pemerintah itu harus dicabut.

7
Nurjaya, I Nyoman, 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Hukum. Prestasi Pustaka,
Jakarta
8
Budi Riyanto. Op.cit. hal 20-21

97
Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm. 93 - 104

Sedangkan batasan PERPU adalah PERPU industri, lapangan golf, pembangunan pertambangan
dapat dilaksanakan dalam hal ihwal kegentingan yang dan sebagainya. Di samping itu juga karena
memaksa; PERPU merupakan “Noodverordening- perburuan yang melampaui regenerasi populasi
recht” Hak Presiden untuk mengatur dalam (over-harvesting), pencemaran, serta introduksi jenis
kegentingan yang memaksa; PERPU disusun dalam tumbuhan dan hewan eksotik yang tidak melalui
hal keadaan yang mendesak dan perlu segera diatur prosedur karantina yang benar, yang kemungkinan
dengan peraturan yang sederajat dengan Undang- dapat mendesak kelestarian jenis endemic yang ada.
Undang, supaya tidak berlarut agar keselamatan Jadi kemunduran keanekaragaman hayati itu terutama
Negara terjamin; PERPU mempunyai derajat dan diakibatkan oleh ulah manusia yang merupakan
kekuatan yang sama dengan Undang-Undang; ancaman terhadap upaya pembangunan, dan pada
Materi muatan PERPU adalah materi yang akhirnya mengancam keselamatan manusia.9
seharusnya diatur dalam Undang-Undang; PERPU Pertambangan batubara misalnya, menjadi
harus mendapat persetujuan DPR pada sidang ancaman utama bagi keanekaragaman hayati karena
berikutnya untuk diubah menjadi Undang-Undang. cadangan terbukti Indonesia (4,4 milyar ton) dan
Apabila PERPU tidak disetujui DPR harus dicabut. perkiraan cadangan (27,7 milyar ton dari perkiraan 35
Lahirnya PERPU dalam penyelenggaraan milyar ton di semua Negara ASEAN) demikian
pemerintahan diperlukan apabila benar-benar dalam besarnya dan hampir sebagian besar terletak
keadaan yang mendesak dan untuk kepentingan langsung di bawah hutan hujan tropis yang sangat
Negara dan bangsa Indonesia. Sedangkan dalam kaya dengan keanekaragaman hayati. Produksi
pengelolaan hutan tidak pernah mengalami dalam tahunan batubara, sebagian besar di Sumatera, naik
keadaan genting dan mendesak sehingga harus dari kira-kira 337 ribu ton tahun 1980 menjadi 22,5
diterbitkam PERPU No. 1 Tahun 2004 dan kemudian juta ton tahun 1992 (Marr, 1993). Rencana
menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2004. Adapun pembangunan yang sedang berjalan sekarang
alasan dikeluarkan PERPU tersebut adalah untuk menetapkan perluasan produksi menjadi 71 juta ton
mengakomodir perizinan dan perjanjian yang telah menjelang tahun 1999 (GOI, 1994).10
ada agar pemerintah tidak dituntut oleh para investor Sampai saat ini sudah ada sekitar 150 kontrak
di International Arbitrase. Alasan tersebut sangat pertambangan dengan seizin pemerintah, telah
tidak rasional karena Undang-Undang No. 41 tidak mengeluarkan biaya investasi yang cukup besar
berlaku surut artinya perizinan yang telah ada pada untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah
tahap eksploitasi tetap berlanjut sesuai izin. Padahal hutan. Sementara fakta di lapangan menunjukkan,
dengan menggunakan mekanisme Pasal 19 Undang- pertambangan merupakan salah satu penyebab
Undang No. 41 tahun 1999, hal yang terkait dengan kerusakan hutan.
kegiatan pertambangan dapat di atasi dengan Di lokasi-lokasi pertambangan terlihat jelas
pertimbangan yang sangat selektif dengan melibatkan bagaimana wajah hutan Indonesia yang hancur
Tim Terpadu dan persetujuan DPR untuk karena penggalian, pembuangan limbah batuan dan
mempertimbangkan aspek lingkungan. Semestinya limbah tailing serta aktivitas penunjang operasi
pemerintah dapat memberlakukan PERPU dengan tambang lainnya. Beberapa perusahaan yang akan
alasan bahwa kondisi hutan pada saat ini sedang menghentikan kegiatan tambangnya, menyatakan
mengalami tantangan dan ancaman yang cukup tidak mampu menghutankan kembali bekas lubang
berat dan sangat mengkhawatirkan yang dapat tambang dan kolam limbah mereka.Lubang-lubang
mengakibatkan kemunduran. itu dibiarkan terus menganga dan menjadi danau
Kemunduran akibat kerusakan habitat, asam beracun pasca penambangan. Begitu pula
umumnya karena adanya konversi habitat alam kolam limbah tailing akan menjadi hamparan pasir
menjadi sistem buatan manusia seperti perkebunan, yang mengandung logam berat dalam kurun waktu
pertanian, pemukiman, hutan tanaman industri, sangat panjang.

9
Soerjani, M., 1997. Pembangunan dan Lingkungan Meniti Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable
Development. IPPL, Jakarta
10
ibid

98
I Putu Gede Ardhana : Revitalisasi Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Pemerintah dan Pemegang.....

PT. Kelian Equatorial Mining misalnya, akan bertanggung jawab untuk memelihara serta
menutup tambangnya di Kelian, Kalimantan Timur melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati
pada tahun 2003. perusahaan milik Rio Tinto ini akan dan untuk memanfaatkan sumberdaya hayati itu
membiarkan lubang tambangnya seluas 1.766.250 m2 secara berkesinambungan atas dasar berwawasan
sedalam 600 meter tanpa mampu dihutankan kembali. lingkungan.
Keterbatasan teknologi dan besarnya biaya yang Ancaman utama inilah yang semestinya sebagai
mereka pakai sebagai alasan menelantarkan tanah dasar pemerintah untuk menentukan kebijakan
yang porak poranda setelah sumberdayanya mereka pertambangan dalam menerbitkan PERPU di kawasan
nikmati dan tak lagi bisa diperah hasilnya. hutan lindung. Dengan demikian PERPU yang
Hal yang sama dilakukan PT. Freeport seharusnya disusun pemerintah yaitu tentang
Indonesia. Limbah tailing Freeport yang dibuang moratorium pemanfaatan hasil hutan untuk keperluan
langsung ke Sungai Ajkwa telah mematikan ratusan komersial dalam jangka waktu tertentu agar hutan
hektar hutan di kawasan operasi tambangnya. dapat bernafas dan memulihkan kondisinya. Bukan
Sementara Newmont Minahasa Raya di Sulawesi sebaliknya justru menerbitkan PERPU yang sangat
Utara yang menutup tambangnya di tahun 2003, Kontroversial sebagaimana PERPU No. 1 Tahun 2004
menyebutkan meninggalkan enam lubang tambang yang selanjutnya menjadi Undang-Undang No. 19
besar dan dalam yaitu : Mesel, Nibong, Limpoga, Tahun 2004.
Nona Hua dan Pasolo dengan luas totalnya 26 ha. Dengan dikeluarkannya PERPU No. 1 Tahun
Mesel merupakan daerah bekas tambang terluas 2004 yang kemudian di syahkan menjadi Undang-
dengan lubang besar sepanjang 700 meter, lebar 500 Undang No. 19 Tahun 2004 yang berakibat
meter dan kedalaman maksimum 250 meter. Sedang melemahkan posisi Undang-Undang No. 41 Tahun
kedalaman lubang lain diperkirakan 100-110 meter. 1999 dalam pengelolaan Hutan Lindung. Lahirnya
Lebih tragis lagi mereka hanya akan mereklamasi Undang-Undang ini cenderung kebijakan Pemerintah
sebesar 15,4% dari wilayah bekas penambangan. mengarah ke faham antroposentris sempit yang tidak
Banyak perusahaan lain juga tidak mampu atau peduli terhadap lingkungan dan merupakan
tidak mau menghutankan kembali bekas galian kemunduran dari sisi kebijakan lingkungan. Pendapat
tambang mereka seperti, PT Indo Muro Kencana di ini didukung oleh Budi Riyanto, 2005. Namun
Kalimantan Timur, PT Adaro di Kalimantan Selatan, Undang-Undang ini masih harus berhadapan dengan
PT Timah di Bangka dan Belitung, PT Barisan Undang-Undang konservasi hayati dan Undang-
Tropical Mining di Sumatera Selatan, PT Kaltim Prima Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Coal di Kalimantan Timur dan banyak lainnya.Semua dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengingat 6
perusahaan ini akan meninggalkan lubang-lubang (enam) lokasi yang telah ditetapkan pemerintah
tambang yang menyerupai danau pada akhir mempunyai fungsi sebagai hutan konservasi yang
operasional pertambangan mereka, di kawasan yang dilarang melakukan kegiatan selain untuk fungsi
dulunya hutan.11 kawasan tersebut dan kegiatan ini harus melalui studi
Secara global Indonesia menyepakati berbagai analisis dampak lingkungan terlebih dahulu untuk
hasil dan kesepakatan dalam Konperensi Rio de menganalisis perencanaan dan menganalisis dampak
Janeiro United Nation Conference on Environment yang akan terjadi apabila kegiatan pertambangan
and Development (UNCED) khususnya bab ke 15 dilaksanakan sehingga mekanisme pengkajian
tentang Conservation of Biological Diversity serta lingkungan telah terpenuhi dan tidak melecehkan
Convention on Biological Diversity.Dalam Konvensi keberadaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Keanekaragaman Hayati ini disebutkan bahwa setiap tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
negara mempunyai hak atas sumberdaya hayati, Hidup. 12
tetapi masing-masing juga berkewajiban dan

11
Walhi, No.2/th XXII/2002. Tanah Air. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi. Jakarta
12
Budi Riyanto. Op.cit

99
Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm. 93 - 104

3.3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang 3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
Konservasi Hayati hayati dan ekosistemnya, dilakukan melalui
Di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, kegiatan:
wewenang dan tanggung jawab untuk “cabang- a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan
cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang pelestarian alam dengan tetap menjaga
menguasai hajat hidup orang banyak” berada dalam kelestarian fungsi kawasan;
tangan Negara, dan sejak tahun 1967 pemerintah telah b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa
membuat berbagai Undang-Undang dan liar, dengan memperhatikan kelangsungan
kebijaksanaan untuk memudahkan penggunaan potensi, daya dukung, dan
sumberdaya secara besar-besaran. Tetapi dalam keanekaragaman jenis tumbuhan dan
sepuluh tahun yang terakhir ini, pemerintah juga satwa liar14
membuat Undang-Undang dan alat-alat perencanaan
yang sengaja dirancang untuk melindungi Perlindungan kawasan pada hakikatnya
keanekaragaman hayati. 13 melindungi kawasan hutan beserta unsur kehidupan
Dasar hukum untuk pengelolaan kawasan di atasnya sebagai wilayah perlindungan sistem
lindung diperkuat dengan disahkannya Undang- penyangga kehidupan dan pelestarian plasma nutfah
Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan agar tetap utuh. Sehingga kegiatan yang ada di dalam
Ekosistemnya tahun 1990. Hal ini dimaksudkan kawasan hanya diperbolehkan untuk kegiatan
sebagai kerangka menyeluruh untuk pelestarian tertentu yaitu antara lain penelitian dan
keanekaragaman hayati dan penggunannya. pengembangan yang menunjang fungsi kawasan,
Undang-Undang ini bertujuan melindungi sistem pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata
pendukung kehidupan; melindungi keanekaragaman alam (kecuali di cagar alam tidak diperkenankan
jenis tanaman dan hewan, termasuk ekosistemnya, kegiatan wisata alam). Sedangkan kegiatan lain di
dan melestarikan tumbuhan dan hewan yang luar hal-hal tersebut di atas dilarang termasuk
dilindungi. Undang-Undang ini dikeluarkan pada kegiatan pertambangan. Keutuhan ekosistem
tanggal 10 Agustus 1990, setelah ada kesadaran merupakan hal yang sangat penting dalam
perlunya melindungi ekosistem dan perlindungan pengelolaan kawasan hutan konservasi.15
jenis tumbuhan dan satwa yang berguna bagi Undang-Undang ini mengartikan sumberdaya
pelestarian alam. Kesadaran tersebut baru muncul alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang
setelah 23 (dua puluh tiga) tahun sejak lahirnya terdiri atas sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1967. sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur
Ekosistemnya, pemanfaatan hutan dilakukan melalui: dalam sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, pada dasarnya saling bergantung antara satu dengan
dimaksudkan untuk terpeliharanya proses yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga
ekologis yang menunjang kelangsungan kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan
kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan berakibat terganggunya ekosistem.
masyarakat dan mutu kehidupan manusia; Konservasi sumberdaya alam hayati dan
2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan ekosistemnya dalam pandangan Undang-Undang ini
dan satwa beserta ekosistemnya, dengan cara merupakan urusan negara yang kemudian
menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah
tetap dalam keadaan asli; daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika ada

13
Bappenas. 1993. Biodiversity Action For Indonesia. Bappenas, JAkarta
14
Abdul Khakim, 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah. PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
15
Budi Riyanto. Op.cit

100
I Putu Gede Ardhana : Revitalisasi Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Pemerintah dan Pemegang.....

pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya yang berkaitan dengan hutan dan hasil-hasil hutan:
sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. 1) untuk mendapatkan penggunaan kawasan
Namun mengingat sangat tersebarnya kegiatan hutan lindung harus berdasarkan persetujuan
konservasi hayati di seluruh kepulauan Indonesia, Menteri Kehutanan dalam bentuk izinpinjam
adanya penyerahan urusan dan tugas pembantuan pakai dengan mempertimbangkan batasan luas
merupakan conditio sine qua non. dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
Dalam pada itu perlu diperhatikan, bahwa upaya lingkungan. Sesuai dengan Pasal 38 ayat (3)
konservasi ini memerlukan tenaga-tenaga yang Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
mempunyai keterampilan teknis yang hanya dapat Kehutanan;
diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan tentang 2) pemerintah dalam hal ini Kementerian
konservasi. Tenaga-tenaga seperti ini tidak selalu Kehutanan dalam memproses perijinan yang
tersedia di daerah. Di samping tenaga-tenaga teknis diajukan, tetap berpegang pada azas kelestarian
di bidang konservasi hayati diperlukan pula tenaga- dan berusaha memperketat terhadap
tenaga di bidang hukum yang dapat menuangkan kemungkinan-kemungkinan kerusakan hutan
berbagai ketentuan konservasi dalam bentuk lindung akibat penambangan;
peraturan. Dengan sendirinya para tenaga di bidang 3) melakukan penilaian areal kerja dan deposit
hukum ini perlu memahami berbagai segi yang mineral yang ekonomis untuk ditambang.
berhubungan dengan konservasi. Penilaian ini dilakukan dengan maksud untuk
Berbagai ketentuan perlu dituangkan dalam memperkirakan luasan yang diijinkan untuk
bentuk peraturan daerah yang memerlukan kerjasama dieksplorasi maupun dieksploitasi sehingga
dengan pihak DPRD. Ini berarti, bahwa para anggota nantinya akan jauh lebih kecil daripada yang
DPRD perlu memahami berbagai aspek konservasi dimohon. Dengan kata lain untuk
ini. Pada kenyataannya lembaga-lembaga eksekutif, meminimalisasi kemungkinan kerusakan hutan
legislatif dan yudikatif sama sekali tidak memiliki akibat aktivitas penambangan;
kepedulian untuk mewujudkan hutan yang memiliki 4) menentukan jangka waktu pemberian izinpinjam
fungsi ekonomi dan ekologi.Dengan demikian, pakai pada tahap eksploitasi selama 5 (lima)
penyerahan urusan dan tugas pembantuan tahun dan dapat diperpanjang setelah diadakan
memerlukan perangkat pelaku sebagaimana tersebut evaluasi. Untuk menjaga agar kegiatan
di atas untuk dapat dilaksanakan secara berdaya penambangan di hutan lindung tidak
guna dan berhasil guna. Dalam hubungan ini, kerja menimbulkan kerusakan yang luas, pemerintah
sama antara Pemerintah Daerah, DPRD dan pihak melakukan monitoring dan evaluasi, monitoring
universitas akan dapat meningkatkan kemampuan dilakukan oleh instansi yang terkait di daerah
daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan dan di koordinasikan oleh Dinas Propinsi yang
kebijaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati membidangi kehutanan.
dan ekosistemnya.16 5) kegiatan penambangan di kawasan hutan
lindung harus dilakukan dengan menggunakan
3.4 Revitalisasi Pelaksanaan Peraturan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan,
Pemerintah dan Pemegang Izin Pertambangan dengan proses reklamasi bekas tambang yang
dalam Menyikapi Pelestarian Keanekara- harus dilakukan secara simultan setelah blok
gaman Hayati awal diselesaikan;
Hak, Wewenang dan Kewajiban Pemerintah: 6) para pengusaha tambang dan asosiasinya
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 diwajibkan untuk memahami kebijakan Dephut
Pasal 4 ayat (2) tentang ketentuan pemerintah tersebut;]
mempunyai hak, wewenang, kewajiban dan tanggung 7) pemerintah dan pemerintah daerah wajib
jawab untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu melakukan pengawasan kehutanan, sesuai

16
Koesnadi Hadjasoemantri, 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

101
Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm. 93 - 104

dengan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No. dipinjam, menyusun rencana kerja. Penggunaan
41 Tahun 1999; kawasan hutan lain lima tahun maupun
8) pemerintah berkewajiban melakukan tahunan, membayar dana jaminan reklamasi,
pengawasan terhadap pengurusan hutan yang membeayai reboisasi, bertanggung jawab atas
diselenggarakan oleh pemerintah daerah, sesuai dampak negatif lingkungan sekitarnya akibat
dengan Pasal 61 Undang-Undang No. 41 Tahun penambangan, mereklamasi kawasan hutan
1999; lindung yang dipinjam pakai, sesuai dengan
9) dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pasal 35 ayat (1) dan (2), Pasal 45 ayat (2) dan
pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan (3), Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang No. 41
kepada pemerintah daerah, sesuai dengan Pasal Tahun 1999 dan Pasal 95 (a) dan (e), Pasal 96 (c)
66 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999; dan (e), Pasal 97, 98 dan 99 Undang-Undang
10) pemerintah wajib mendorong peranserta No. 4 Tahun 2009.
masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang 6) Pemegang izin yang melanggar atau tidak
kehutanan yang berdaya guna dan berhasil menaati kewajiban dikenakan sanksi
guna, sesuai dengan Pasal 70 ayat (2) Undang- administratif yang dapat berupa penghentian
Undang No. 41 Tahun 1999. sementara kegiatan di lapangan apabila
pemegang izin tidak memenuhi satu atau lebih
Adapun Hak, Wewenang dan Kewajiban perjanjian. Selain sanksi administratif juga dapat
Pemegang Izin Pertambangan berupa pencabutan izin pakai apabila pemegang
1) Pemegang izin atau penambang diberikan hak izin dalam waktu satu tahun tidak memenuhi
menambang secara terbuka di kawasan hutan kewajiban, tidak menggunakan kawasan yang
lindung sesuai dengan Undang-Undang No. 19 dipinjam pakai sesuai izin yang diberikan
Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 41 Tahun meninggalkan kawasan hutan yang dipinjam
1999. pakai sebelum waktunya berakhir, memindah
2) Mengajukan permohonan izin penggunaan tangankan sebagian atau seluruh kawasan
kawasan hutan lindung sebelum perusahaan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain
tambang melaksanakan kegiatan eksplorasi dan tanpa persetujuan tertulis Menteri Kehutanan,
eksploitasi penambangan sesuai dengan sesuai dengan Pasal 80 ayat (1), (2) dan (3)
persyaratan perizinan usaha pertambangan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
Pasal 64 dan 65 Undang-Undang No. 4 Tahun 7) Izin pinjam pakai dapat pula dicabut apabila
2009. Selanjutnya harus melalui Studi Analisis pemegang izin dikenai sanksi pidana, sesuai
Dampak Lingkungan sesuai dengan PP No. 27 dengan Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun
Tahun 1999. 1999 setelah ada putusan pengadilan yang
3) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan mempunyai kekuatan hukum tetap.
kawasan hutan lindung wajib menjaga,
memelihara dan melestarikan hutan tempat 4. Simpulan dan Saran
usahanya, sesuai dengan Pasal 32 Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999. 4.1 Simpulan
4) Melampirkan peta lokasi dan luas kawasan 1) Untuk menyikapi ancaman pelestarian
yang di mohon untuk eksplorasi, izin atau keanekaragaman hayati diperlukan revitalisasi
perizinan di bidang pertambangan dan rencana pelaksanaan Undang-Undang No. 19 Tahun
kegiatan eksplorasi di dalam kawasan hutan 2004 Jo Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
lindung, sesuai dengan ketentuan Permen No. 2) Kehadiran Undang-Undang No. 19 Tahun 2004
P.12/Menhut-II/2004. merupakan perwujudan PERPU No. 1 Tahun
5) Mewajibkan kepada pemohon untuk membayar 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.
ganti rugi nilai tegakan yang ditebang pada 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan oleh DPR RI
tahap eksplorasi, menyediakan dan dan telah ditindak lanjuti dengan Keppres No.
menyerahkan tanah kepada Dephut sebagai 41 Tahun 2004 yang mengijinkan 13 perusahaan
kompensasi atas kawasan hutan lindung yang melakukan penambangan di kawasan hutan

102
I Putu Gede Ardhana : Revitalisasi Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Pemerintah dan Pemegang.....

lindung maka pemerintah dalam hal ini Dephut 2) Dalam mengelola sumberdaya alam,
hendaknya secara konsekuen menerapkan etika lingkungan sangat perlu diperhatikan
kebijakan tersebut dalam hal pemberian karena jiwa Undang-Undang No. 19 Tahun
izinpertambangan yaitu hanya khusus 2004 yang menganut faham antroposentris,
diberlakukan untuk 13 perusahaan saja yang harus dikesampingkan dengan
dinilai telah siap untuk melakukan eksploitasi, menyeimbangkan antara kepentingan
walaupun masih terdapat 6 (enam) perusahaan ekonomi dan ekologi agar terhindar dari
yang masih dalam tahap studi kelayakan dan malapetaka bagi kelestarian lingkungan hidup
tahap eksplorasi dan pada saat memasuki tahap terutama untuk menjamin pelestarian
eksploitasi harus tunduk pada ketentuan Pasal keanekaragaman hayati.
38 ayat (4) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 3) Ditinjau dari aspek sosial masyarakat yang
sepanjang antara izineksplorasi dan eksploitasi bermukim diwilayah yang akan dilakukan
tidak merupakan satu kesatuan atau terpisah, kegiatan pertambangan perlu diberikan
dan tunduk pada ketentuan Pasal 5 Undang- informasi dan dimintakan persetujuan
Undang No. 5 Tahun 1990. bagi rencana pemberian izinpertambangan,
agar tidak merugikan masyarakat
4.2 Saran setempat terutama bagi masyarakat adat.
1) Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan Masyarakat adat ini perlu diperhatikan hak-hak
yudikatif hendaknya memiliki kepedulian adat mereka dan diberdayakan dalam rangka
terhadap keberadaan hutan dalam menyikapi meningkatkan kesejahteraan sesuai
ancaman serius terhadap pelestarian dengan Pasal 95 (d) Undang-Undang No. 4
keanekaragaman hayati. Tahun 2009.

Daftar Pustaka
Ashshofa, B., 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta
Bappenas. 1993. Biodiversity Action For Indonesia. Bappenas, Jakarta
Barber, C.V., N. Johnson, and E. Hafild. 1994. Breaking the Logjam; Obstacles to Forest Policy Reform in
Indonesian and the United States. Washington, D.C: World Resources Institute (WRI)
Barber, C.V., S. Afiff, dan A. Purnomo. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan
Pembangunan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Barber, C.V. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan pembangunan di Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Departemen Kehutanan. 2005. Aktualisasi Kebijakan Kehutanan Kumpulan Siaran Pers Tahun 2005.
Departemen Kehutanan, Jakarta
Iskandar, U., dan S.A. Siran. 2000. Pola Pengelolaan Hutan Tropika Alternatif Pengelolaan Hutan yang
Selaras dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: BIGRAF Publishing
Kadin. 2009. http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-107-2412-02012008.pdf.
diakses tanggal 22 Juni 2010.
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Pemberian IzinPenambangan Kegiatan 13 Perusahaan
Pertambangan
Khakim, A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah. Citra Aditya Bakti,
Bandung
Nurjaya, I.N. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum. Prestasi Pustaka,
Jakarta

103
Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari 2011, hlm. 93 - 104

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah, 2009. http://www.icel.or.id/judicial_ review_uu_no._19_ tahun_ 2004_
penetapan_peraturan_pemerintah_pengganti_uu_p.icel
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-
Undangan.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang PERPU No. 1 Tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Riyanto, B. 2005. Bunga Rampai Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dalam Perspektif Etika Lingkungan.
Hukum Kehutanan dan Sumberdaya Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan,
Bogor
Soerjani, M. 1997. Pembangunan dan Lingkungan Meniti Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable
Development. IPPL, Jakarta
Walhi, No.2/th XXII/2002. “Tanah Air”. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi. Jakarta
Wikipedia. 2009. “Hutan”. http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan. diakses tanggal 10 Juni 2010.

104

You might also like