You are on page 1of 100

KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR

ANNA FEBRITTA INTAN SARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Sarapan


pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013

Anna Febritta Intan Sari


NIM I14104023
i

ABSTRACT

ANNA FEBRITTA INTAN SARI. Breakfast Habit in Teenage Girls of Vocational


High School in Bogor. Supervised by DODIK BRIAWAN and CESILIA METI
DWIRIANI.

The study was aimed to describe breakfast habit in teenage girls of vocational
high school Bogor. Design of this study was a cross sectional and the subject
was 68 students 14–18 years old. Breakfast consumption was collected by a 7-
day food record and verified by researcher. The result showed that there are
45.6% teenage girls having breakfast regularly. Breakfast frequency per week is
associated with BMI and anaemic status. The subject mostly answer breakfast
was defined as eating in the morning. Half of the subject answer breakfast was
defined as eating in the morning is beneficial and the other answered eating in
the morning consist of a solid food and beverage with medium portion. Food and
drink for breakfast was good by subject is bread and milk. The subject declare
breakfast is important, but also the subject ever not breakfast because wake up
late. Almost all of subject declared should be mother who prepare breakfast and
must breakfast at home before starting activity. The teenage girls having a good
quality breakfast with higher consumption of rice, bread, fruit, and milk than
teenage girls having a low quality breakfast with higher consumption of sweet tea
and snack was found in anaemic status (13.2%). Mother education, mother
occupation, parents income, and number of family member were related to
habitual breakfast (p<0.05). There is positive associated between habitual
breakfast and quality breakfast (p=0.000 ; r=0.539).

Key words: breakfast, concept, quality, teenage girls.


ii

RINGKASAN

ANNA FEBRITTA INTAN SARI. Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah
Menengah Kejuruan di Bogor. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan CESILIA
METI DWIRIANI.

Data menunjukkan masih banyak anak yang tidak terbiasa sarapan sehat
karena hanya sarapan dengan air minum dan memperoleh asupan energi dari
sarapan kurang dari 15% kebutuhan energi per hari, padahal sarapan yang ideal
seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Tujuan umum dari
penelitian ini adalah mempelajari kebiasaan sarapan pada remaja siswi sekolah
menengah kejuruan (SMK) di Bogor. Tujuan khususnya meliputi: 1) mempelajari
karakteristik individu dan keluarga remaja siswi SMK, 2) mempelajari
pengetahuan gizi remaja siswi SMK, 3) mempelajari konsep sarapan remaja
siswi SMK, 4) mengidentifikasi kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, 5) menilai
kualitas sarapan remaja siswi SMK, 6) menganalisis hubungan karakteristik
keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, 7) menganalisis
hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan
remaja siswi SMK, 8) menganalisis hubungan kualitas sarapan dengan status
anemia remaja siswi SMK.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study.
Penelitian ini secara keseluruhan dilakukan pada bulan Oktober-November 2012.
Proses pengumpulan data dilakukan di SMK Pelita Ciampea, Kabupaten Bogor.
Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 68 remaja siswi. Contoh penelitian
memiliki rata-rata usia 16.6±0.74 tahun. Prevalensi anemia dalam penelitian ini
adalah 19.1%. Masalah gizi contoh yaitu kegemukan (1.5%) dan stunted
(23.5%). Lebih dari separuh contoh (60.3%) diberikan uang saku dengan kategori
sedikit (< Rp 12.361). Sebagian besar pendidikan dan pekerjaan ibu contoh
adalah SD dan ibu rumah tangga. Sebagian besar pendapatan orangtua contoh
(29.4%) adalah Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan. Sebagian besar contoh
(94.1%) tergolong dalam kategori keluarga besar (> 4 orang). Sebagian besar
ayah (79.4%) dan ibu (88.2%) contoh berasal dari suku sunda.
Lebih dari separuh contoh (72.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi yang
sedang, sedangkan hanya 17.6% dari contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi
yang tergolong baik. Namun masih terdapat contoh yang tidak dapat menjawab
dengan baik tentang fungsi zat besi didalam tubuh (95.6%), salah satu upaya
menanggulangi masalah anemia gizi besi (76.5%), sumber pangan hewani yang
tinggi zat besi (64.7%), jenis minuman yang menghambat penyerapan (45.6%),
dan jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh (48.5%).
Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari. Sekitar
separuh contoh (55.9%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang
memberikan peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan zat
gizi untuk melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan
memenuhi kebutuhan tubuh dan sisanya (44.1%) mengartikan sarapan adalah
makan di pagi hari yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi
sedang. Makanan dan minuman saat sarapan yang baik menurut contoh adalah
roti dan susu (26.5%). Seluruh contoh menyatakan sarapan penting, namun
seluruh contoh juga pernah tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat.
Hampir seluruh contoh menyatakan sebaiknya ibu yang menyiapkan sarapan
(91.2%) dan terdapat aturan kewajiban sarapan di rumah sebelum memulai
aktivitas (80.9%).
iii

Hampir separuh contoh (45.6%) biasa melakukan sarapan setiap hari


yang dilakukan pada pukul 06.00-06.59 WIB hari sekolah (69.1%) dan pada
pukul 08.00-08.59 WIB hari libur (38.2%). Hampir separuh contoh tidak anemia
(47.3%) dan tidak gemuk (44.3%) selalu melakukan sarapan setiap hari.
Terdapat hubungan yang bermakna (p<0.05) antara kebiasaan sarapan dengan
status anemia dan status gizi. Sebagian besar menu sarapan contoh adalah
makanan sepinggan (29.4%). Jenis menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada
hari sekolah lebih banyak dengan makanan sepinggan, jajanan, dan minuman.
Separuh contoh (54.4%) termasuk dalam kategori kualitas sarapan
rendah. Seluruh contoh termasuk rendah asupan karbohidrat kompleks dan
serat, namun separuh contoh termasuk tinggi asupan lemak. Jenis menu
sarapan contoh lebih banyak diolah dengan teknik deep frying seperti ayam
goreng, tempe goreng, tahu goreng, ikan tongkol goreng, bakwan dan tempe
tepung goreng, selain itu sedikit konsumsi sayur dan buah. Diantara contoh
dengan kualitas sarapan sedang dan tinggi (45.6%), tidak ada contoh yang
melakukan sarapan sehat, melainkan 44.1% contoh termasuk kategori sarapan
kurang sehat, dan hanya 1.5% contoh yang termasuk sarapan cukup sehat. Hal
ini menunjukkan bahwa seluruh contoh belum melakukan sarapan sehat. Rata-
rata asupan Energi, Protein Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, dan Vitamin C
sarapan contoh adalah 342±153 kkal, 11.4±6.6 g, 102.2±110.4 mg, 129.9 ±128.1
mg, 2.9±1.4 mg, 52.7±60.2 RE, dan 1.6±3.2 mg. Rata-rata asupan Energi,
Protein, dan Vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi daripada hari
sekolah. Terdapat perbedaan antara asupan Energi dan Protein pada hari
sekolah dan hari libur (p<0.05). Jenis menu sarapan contoh lebih banyak tidak
makan sarapan bergizi seimbang karena hanya terbatas pada makanan
sepinggan yang kaya Karbohidrat; sedikit konsumsi sayur dan buah; serta lebih
sering konsumsi jajanan tradisional.
Terdapat hubungan karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
pendapatan orangtua, dan jumlah anggota keluarga) dengan kebiasaan sarapan
(p<0.05). Terdapat hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan
kualitas sarapan (p=0.000; r=0.539). Namun, tidak terdapat hubungan nyata
negatif antara pengetahuan gizi dan kualitas sarapan (p=0.275; r=-0.134). Tidak
terdapat hubungan nyata antara kualitas sarapan contoh dengan status anemia
contoh (p=0.844; r=-0.024).
.

Kata kunci: sarapan, konsep, kualitas, remaja siswi.


iv

KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI


SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR

ANNA FEBRITTA INTAN SARI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
v

Judul Skripsi : Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah


Kejuruan di Bogor
Nama : Anna Febritta Intan Sari
NIM : I14104023

Menyetujui:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc
NIP. 19660701 199002 1 001 NIP. 19660527 199203 2 003

Mengetahui:
Ketua
Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus :
vi

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
karunia dan cinta-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di
Bogor” dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW serta keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman. Namun demikian selama penyusunan skripsi ini pun tidak
terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN dan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan
pikirannya; memberikan arahan, kritik dan saran; serta dorongan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan dan arahannya selama ini.
3. dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S.Ked selaku dosen pemandu seminar
yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi.
4. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan
arahan, kritik, dan saran untuk memaksimalkan perbaikan mutu penulisan.
5. Kepala sekolah, Wali kelas XI dan XII, serta Staff Tata Usaha SMK Pelita
Ciampea Bogor atas kerja sama dalam membantu pengambilan data.
6. Kedua orang tua yang terkasih, atas doa yang selalu dipanjatkan untuk
keberhasilan penulis. Semoga ini menjadi persembahan terbaik.
7. Kakak dan adik tercinta yang telah memberikan doa dan motivasinya.
8. Seluruh teman-teman dan civitas akademik yang selalu memberikan
dukungan moril dan pendapat serta saran yang membangun, serta seluruh
pihak telah membantu dalam penyelesaian skripsi.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah
penyempurnaan skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
berkepentingan khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2013

Anna Febritta Intan Sari


vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 02 Februari 1990. Penulis


adalah putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suwandi dan Ibu
Maria Magdalena Suyatminah. Penulis menempuh pendidikan formal di TK
Mandiri Karya Cilegon, SD Negeri 4 Cilegon, SMP Negeri 2 Cilegon, SMA Negeri
3 Cilegon. Saat penulis masih SMA, penulis pernah mengikuti Jumpa Bakti
Gembira Palang Merah Remaja (JUMBARA PMR) Tingkat Nasional di
Palembang pada tahun 2006.
Penulis diterima di Direktorat Program Diploma, Program Keahlian
Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2007 dan lulus pada
tahun 2010. Saat mengikuti Program Diploma, penulis melaksanakan praktek
kerja lapang (PKL) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi pada bulan
Agustus-November 2009. Penulis tercatat sebagai pengurus Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM) sebagai sekretaris di bidang Komisi Internal tahun 2007/2008.
Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
Program Sarjana Mayor Ilmu Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang diperoleh pada tahun 2010.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi enumerator dalam Riset
Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (BALITBANGKES) pada bulan Juli-Agustus
2011. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) pada bulan Juni hingga
Agustus 2012 di Desa Luwunggesik, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten
Indramayu. Penulis juga mengikuti kegiatan lain seperti radio broadcast yang
bertema tentang osteoporosis di RRI Cabang Bogor, ikut serta dalam
mempromosikan sarapan sehat (Healthy breakfast) melalui media iklan di
beberapa stasiun televisi, dan aktif sebagai sekretaris dalam kepanitiaan
Seminar Gizi dan Pangan Nasional Food and Nutrition For Fresh, Fit, Active and
Health.
viii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang .............................................................................. 1
Tujuan ........................................................................................... 3
Tujuan Umum ......................................................................... 3
Tujuan Khusus ........................................................................ 3
Kegunaan Penelitian ...................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
Remaja .......................................................................................... 4
Sarapan .......................................................................................... 6
Konsep dan Pengertian Sarapan ........................................... 6
Peranan dan Manfaat Sarapan ................................................ 6
Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan .................................. 8
Jenis Menu Sarapan ............................................................... 9
Ketersediaan Sarapan ............................................................ 10
Aturan Kewajiban Sarapan ...................................................... 11
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Sarapan .................. 11
Konsumsi Pangan ......................................................................... . 15
Anemia pada Remaja .................................................................... 18
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 21
METODE PENELITIAN.......................................................................... 23
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .......................................... 23
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh .......................................... 23
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................... 23
Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 24
Definisi Operasional ....................................................................... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 33
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................... 33
Karakteristik Individu dan Keluarga................................................. 33
Pengetahuan Gizi ........................................................................... 40
Konsep Sarapan Remaja ............................................................... 42
ix

Kebiasaan Sarapan Remaja .......................................................... 48


Kualitas Sarapan Remaja ............................................................... 55
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kebiasaan Sarapan....... 62
Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kebiasaan Sarapan dengan
Kualitas Sarapan ........................................................................... 65
Hubungan Kualitas Sarapan dengan Status Anemia ...................... 67
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 70
Kesimpulan .................................................................................... 70
Saran ............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 72
LAMPIRAN ........................................................................................... 77
x

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja ................................... 5
2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada
remaja .............................................................................................. 8
3 Batas normal kadar hemoglobin ........................................................ 18
4 Pengkategorian karakteristik individu dan keluarga dan
pengetahuan gizi remaja siswi smk ................................................... 25
5 Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan
serta status anemia dan status gizi ................................................... 28
6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh............................. 34
7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi ........................................... 38
8 Persentase contoh yang menjawab benar tentang pengetahuan
gizi ................................................................................................... 41
9 Definisi sarapan menurut contoh ...................................................... 43
10 Distribusi frekuensi kebiasaan sarapan contoh menurut
status anemia dan status gizi ........................................................... 49
11 Sebaran contoh berdasarkan waktu dan lokasi sarapan ................... 51
12 Distribusi frekuensi tersedianya sarapan di rumah berdasarkan
pekerjaan ibu .................................................................................... 52
13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan bersama............... 53
14 Sebaran contoh berdasarkan jenis menu sarapan ............................ 53
15 Rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan
zat gizi sarapan ................................................................................. 56
16 Rata-rata konsumsi dan kontribusi energi dan zat gizi sarapan (%AKG) 58
17 Sebaran contoh berdasarkan sarapan sehat..................................... 62
18 Hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan ........... 63
19 Hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan
kualitas sarapan contoh ................................................................... 66
20 Hubungan kualitas sarapan dengan status anemia ........................... 68
xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan................ 15
2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi
sekolah menengah kejuruan di bogor................................................ 22
3 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ..................................... 37
4 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan dengan WHO ........................ 39
5 Distribusi TB/U contoh dibandingkan dengan WHO ......................... 40
6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ..................... 42
xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Konsep sarapan ................................................................................ 78
2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari ......................................... 83
3 Hasil uji korelasi karakteristik, ketersediaan, anemia dan gemuk ...... 85
4 Hasil uji korelasi karakteristik dengan kebiasaan sarapan ................ 85
5 Hasil uji korelasi pengetahuan gizi, kebiasaan, kualitas sarapan
dan anemia ...................................................................................... 85
6 Harga dan kandungan energi dan zat gizi sarapan ........................... 86
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini adalah masalah gizi
kurang dan gizi lebih. Masalah gizi menyebabkan kualitas sumberdaya manusia
(SDM) menjadi rendah. Rendahnya kualitas SDM merupakan tantangan berat
dalam menghadapi persaingan bebas di era globalisasi. Oleh karena itu,
diperlukan perilaku konsumsi makanan yang baik dan sesuai yang diwujudkan
dalam bentuk pesan umum gizi seimbang (Depkes 2005).
Sarapan merupakan salah satu waktu makan yang penting bagi setiap
orang. Pada anak sekolah, termasuk remaja usia 16-18 tahun, sarapan berfungsi
untuk mendapatkan sumber energi dan zat gizi agar dapat berpikir, belajar, dan
melakukan aktivitas secara optimal setelah bangun pagi. Menurut Depkes
(2005), proporsi asupan zat gizi makro yang dianjurkan untuk anak sekolah
sehari menurut pedoman umum gizi seimbang (PUGS) meliputi karbohidrat 50-
60%, lemak sekitar 25%, dan protein sekitar 15%. Proporsi tersebut sudah
mencakup sarapan. Khomsan (2002) berpendapat sarapan dapat menyumbang
kontribusi energi sebesar 25 persen dari angka kebutuhan gizi sehari. Sarapan
dibutuhkan untuk mengisi lambung yang telah kosong selama 8-10 jam,
sehingga kadar glukosa yang semula turun akan kembali meningkat.
Sarapan terbukti dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan stamina
anak sekolah. Dengan sarapan kadar gula darah akan kembali normal setelah 8-
10 jam tidak makan. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa
lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Namun,
hasil analisis data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, masih banyak
anak yang tidak terbiasa sarapan sehat, yaitu sekitar 35.000 anak usia sekolah
(26.1%) yang hanya sarapan dengan air minum dan 44.6% memperoleh asupan
energi dari sarapan kurang dari 15% kebutuhan energi per hari (Balitbangkes
2010). Sarapan sebaiknya memenuhi 330-550 kkal dan 8.3-13.8 g protein untuk
mencukupi kebutuhan remaja siswi (15%-25% kebutuhan gizi sehari) sehingga
dapat mengikuti berbagai kegiatan sekolah dan berkonsentrasi serta memahami
pelajaran yang diberikan guru.
Kebiasaan sarapan adalah salah satu pola hidup sehat bergizi seimbang
untuk anak sekolah, termasuk remaja. Namun, sarapan relatif lebih sering
dilakukan oleh anak usia kurang dari 10 tahun dan dewasa lebih dari 65 tahun.
Hasil studi yang dilakukan pada remaja usia 13-16 tahun di Amerika Serikat dan
2

Eropa pada tahun 1970 hingga 2004 di pedesaan dan perkotaan menunjukkan
sebanyak 10-30% mempunyai kebiasaan tidak sarapan (Rampersaud et al.
2005). Hasil studi di Indonesia yang dilakukan di enam kota besar (Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpansar) menunjukkan hasil
yang lebih kurang sama, yaitu sekitar 14-25% remaja yang tidak sarapan. Alasan
umum remaja tidak pernah sarapan atau sarapan secara kadang-kadang karena
makanan belum tersedia, tidak terbiasa, malas atau waktu makan sempit pada
pagi hari. Susunan hidangan sarapan pada remaja tidak selalu merupakan
susunan hidangan lengkap yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah,
tetapi hanya nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie goreng
sehingga menyediakan konsumsi zat gizi yang tidak seimbang (Mudjianto et al.
1994). Affenito et al. (2005) juga menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa
kebiasaan sarapan pada usia remaja cenderung menurun dengan bertambahnya
usia. Persentase remaja perempuan yang memiliki kebiasaan sarapan menurun
dari 77% pada usia 9 tahun menjadi kurang dari 32% pada usia 19 tahun.
Padahal, remaja yang mengonsumsi sarapan secara rutin memiliki asupan
karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan asupan lemak yang lebih
rendah daripada mereka yang tidak sarapan (Rampersaud et al. 2005).
Penelitian mengenai kebiasaan sarapan pada remaja di Indonesia belum
banyak dibahas. Pearson et al. (2009) menekankan pentingnya meneliti faktor
yang terkait dengan konsumsi sarapan pada remaja, terutama faktor orangtua
karena dapat berimplikasi dalam pengembangan dan implementasi efektif
intervensi gizi pada kelompok risiko tinggi.
Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi
remaja. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air
dan serat (Bonnie 1998). Namun, kebanyakan remaja tidak makan sarapan
bergizi seimbang. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kontribusi energi dan zat
gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis pangan yang
dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012). Remaja putri
merupakan golongan umur sensitif terhadap perilaku makan, termasuk perilaku
sarapan. Golongan ini mulai mencari identitas dan sangat menjaga penampilan
tubuh. Menurut Adimuntja et al. (2008), hasil analisis data Riskesdas 2007
adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik perilaku konsumsi remaja,
maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia, yang berarti rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) maupun sel darah merah. Jumlah penderita anemia yang
3

berasal dari kelompok usia sekolah (6-16 tahun) mencapai 65 juta jiwa.
Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat
menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi,
Magnesium dan Seng. Briawan (2008) menyatakan hasil penelitiannya di Bogor
menunjukkan prevalensi anemia di kalangan remaja putri adalah 25.1% (kategori
sedang). Prevalensi defisiensi gizi besi (IDA) sebesar 16.4% yang menunjukkan
bahwa sekitar 65% anemia di kalangan remaja putri disebabkan oleh defisiensi
zat besi. Data Riskesdas 2007 mengungkapkan 93.6% penduduk Indonesia
diatas usia 10 tahun kurang konsumsi sayur dan buah, sementara konsumsi gula
dan garam meningkat. Hal ini bisa menyebabkan kegemukan serta menimbulkan
penyakit degeneratif (Adimuntja et al. 2008). Oleh karena itu, penelitian ini
penting dilakukan untuk melihat kebiasaan sarapan pada remaja siswi yang
sedang sekolah setingkat sekolah menengah atas.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kebiasaan
sarapan pada remaja siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mempelajari karakteristik individu dan keluarga remaja siswi SMK.
2. Mempelajari pengetahuan gizi remaja siswi SMK.
3. Mempelajari konsep sarapan remaja siswi SMK.
4. Mengidentifikasi kebiasaan sarapan remaja siswi SMK.
5. Menilai kualitas sarapan remaja siswi SMK.
6. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan
remaja siswi SMK.
7. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan
kualitas sarapan remaja siswi SMK.
8. Menganalisis hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja siswi
SMK.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai kebiasaan sarapan remaja SMA/SMK/MA. Informasi
tersebut dapat membantu orang tua dan remaja dalam menyadarkan pentingnya
meningkatkan kualitas sarapan. Informasi ini juga dapat digunakan pihak sekolah
dan pemerintah dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai
pentingnya sarapan dengan makanan bergizi.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja
Istilah adolescence atau remaja yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan
dengan periode sebelum dan sesudahnya. Perkembangan fisik yang cepat dan
disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada
masa awal remaja. Perubahan fisik yang terjadi selama awal masa remaja
mempengaruhi tingkat perilaku individu (Hurlock 1999). Pertumbuhan cepat ini
juga ditandai dengan pertumbuhan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).
Pada masa remaja pertumbuhan BB perempuan dan laki-laki sekitar 16 g dan 19
g per hari, sedankan pertambahan TB anak perempuan dan laki-laki masing-
masing dapat mencapai kurang lebih 15 cm per tahun. Puncak pertambahan
pesat TB terjadi di usia 11 tahun untuk remaja perempuan dan sekitar usia 14
tahun untuk remaja laki-laki. Masa remaja juga terjadi peningkatan massa tubuh
(tulang, otot, lemak, dan BB) serta perubahan biokimia hormonal (Kurniasih et al.
2010).
Menurut WHO/UNFPA, remaja adalah anak berumur 10-19 tahun.
Remaja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok umur 10-15 tahun dan 15-
19 tahun. Masa remaja dikenal dengan masa pertumbuhan cepat (growth spurt)
yaitu tahap pertama dari serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan
seksual. Selain itu, ciri-ciri seks sekunder semakin tampak, seperti tercapainya
kematangan fertilitas, serta terjadinya perubahan yang signifikan dalam
kematangan psikologis dan kognitif. Pertumbuhan pesat tersebut terjadi baik oleh
perempuan maupun laki-laki, menjelang dan masa pubertas (Kurniasih et al.
2010). Umumnya laki-laki mengalami kematangan yang lebih lambat daripada
perempuan, sehingga laki-laki mengalami periode masa awal remaja yang lebih
singkat yang mengakibatkan laki-laki tampak kurang matang untuk usianya
dibandingkann dengan perempuan (Hurlock 1999).
Menurut Sarwono (1993), berdasarkan usia tahap perkembangannya
remaja dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap remaja awal (14-17 untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk perempuan)
dengan ciri-ciri yaitu: (a) status sosial belum jelas antara anak-anak dan
remaja; (b) terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan
kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain,
sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat pesat
5

dibandingkan tahap akhir; (c) masa peningkatan emosi; (d) masa tidak stabil
(cepat bosan, sulit konsentrasi, dan lain-lain); (e) merasa banyak masalah.
2. Tahap remaja akhir (18-21 tahun untuk laki-laki dan perempuan) dengan ciri-
ciri yaitu: (a) lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi, dan cara berfikir; (b)
bertambah realistis; (c) meningkatnya kemampuan untuk memecah masalah;
(d) tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang; (e)
pertumbuhan yang cenderung lamban.
Masa remaja merupakan masa perubahan yang cepat dalam diri
seseorang. Pertumbuhan pada usia anak yang relatif terjadi dengan kecepatan
yang sama, secara mendadak meningkat saat memasuki usia remaja.
Peningkatan pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan
hormonal, kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi
secara khusus, misalnya pada remaja putri secara normal akan mengalami
kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Oleh karena itu, kebutuhan
zat besi remaja putri lebih besar dibandingkan laki-laki (Soetardjo 2011).
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel jaringan tubuh pada usia remaja
ditandai dengan perubahan bentuk badan, perkembangan organ reproduksi, dan
pembentukan sel-sel reproduksi. Selain itu, kegiatan fisik (jasmani) lebih
meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Oleh karena itu, kecukupan remaja
per orang per hari lebih banyak dibandingkan pada masa anak-anak (Hardinsyah
& Martianto 1992). Kecukupan energi dan zat gizi remaja secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja
Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)
Zat Gizi
13-15 16-18 13-15 16-18
Energi (kkal) 2350 2200 2400 2600
Protein (g) 57 55 60 65
Kalsium (mg) 1000 1000 1000 1000
Besi (mg) 26 26 19 15
Vitamin A (RE) 600 600 600 600
Vitamin E (mg) 15 15 15 15
Vitamin B1 (mg) 1.1 1.1 1.2 1.3
Vitamin C (mg) 65 75 75 90
Folat (mg) 400 400 400 400
Sumber: WNPG (2004)

Asupan energi anak perempuan pada tiga tahap perkembangan (pra-


pubertas, tumbuh cepat, dan pasca-pubertas) berhubungan dengan tingkat
perkembangan fisiologis. Kebutuhan protein remaja lebih dekat dengan pola
pertumbuhan dibandingkan dengan usia. Angka kecukupan protein dalam
6

hubungannya dengan tinggi badan merupakan cara paling tepat untuk


memperkirakan kebutuhan protein remaja. Apabila asupan energi kurang,
asupan protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga
mungkin protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan baru atau
untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Hal ini dapat menyebabkan
pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan massa otot tubuh. Kebutuhan
vitamin dan mineral selama masa remaja meningkat karena remaja berada
dalam masa puncak pertumbuhan (Soetardjo 2011).

Sarapan
Konsep dan Pengertian Sarapan
Breakfast berasal dari kata break dan fast yang berarti sarapan. Sarapan
merupakan cadangan energi awal untuk beraktivitas. Saat tidur pada malam hari,
tubuh mengalami seperti dalam keadaan puasa. Ketika itu terjadi peningkatan
glukagon, yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah.
Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali
melalui sarapan (Michaud et al. 2001).
Menurut Hardinsyah (2012), sarapan merupakan makan di awal hari
biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman. Makanan dan
minuman yang dikonsumsi di pagi hari menyediakan energi dan zat gizi agar
perasaan, berpikir, dan bekerja atau stamina yang lebih baik. Sarapan sehat
mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat
makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan
karbohidrat sederhana (Indeks glikemik tinggi), minuman (air putih, susu, teh
atau kopi).
Peranan dan Manfaat Sarapan
Seseorang membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar
glukosa darah agar stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi kebutuhan
gizi di pagi hari yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari gizi seimbang
sehari-hari agar perasaan yang lebih baik dan berpikir dan bekerja optimal;
mencegah hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat badan; dan untuk
membentuk perilaku sarapan sehat (Hardinsyah 2012).
Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi
anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan
memudahkan menyerap pelajaran sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik.
Membiasakan sarapan memang terasa sulit. Padahal kebiasaan sarapan
7

membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari.


Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan
berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah,
keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak sekolah
kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang mengakibatkan
menurunnya pretasi belajar (Depkes 2005).
Konsumsi sarapan dapat meningkatkan fungsi kognitif yang berhubungan
dengan memori, nilai ujian, dan kehadiran di sekolah. Sarapan sebagai bagian
dari diet sehat dan gaya hidup positif dapat mempengaruhi kesehatan anak dan
kesejahteraan. Namun, Apabila tidak sarapan akan mempengaruhi fungsi
kognitif, emosi, dan perilaku anak. Kemampuan pemecahan masalah, memori
jangka pendek, daya konsentrasi, dan memori episodik anak akan menurun.
Sarapan dapat menjauhkan masalah emosional, perilaku, dan akademis pada
anak dan remaja serta menghilangkan rasa lapar (Michaud et al. 2001). Hasil uji
Anova menunjukkan adanya interaksi nyata antara kebiasaan sarapan dengan
anemia terhadap konsentrasi belajar anak sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa
anak yang tidak biasa makan pagi dan menderita anemia sangat merugikan
karena kelompok ini ternyata mempunyai daya konsentrasi belajar yang rendah
(Saidin et al. 1991).
Ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari sarapan. Pertama, sarapan
dapat meyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar
gula darah. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik
sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan
akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh
tubuh. Ketersediaan zat gizi ini berfungsi untuk berbagai proses fisiologis dalam
tubuh (Khomsan 2002). Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2003 pada 29 anak
sekolah di perkotaan mengungkapkan anak yang tidak sarapan dan hanya
memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat
perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring
dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003). Menurut Reddan et al. (2002),
sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi dan kemampuan anak sekolah
untuk memperhatikan guru di sekolah.
Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang
tidak sarapan lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola
sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan
8

lipidemia. Smith KJ et al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang


melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki
kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana
kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui
inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase.
Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan
Sarapan seharusnya menyediakan karbohidrat yang cukup agar kadar
gula darah tetap normal, sehingga gairah dan aktivitas setiap hari dapat
dilakukan secara maksimal. Sarapan juga harus mengandung zat gizi lainnya
yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, air, dan serat agar semua
proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik. Sarapan
sebaiknya menyediakan 15-25% kebutuhan gizi sehari, tergantung zat gizinya.
Angka kecukupan energi remaja siswi (16-18 tahun) sekitar 2.200 kkal dan 55 g
protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 330-550 kkal dan 8.3-
13.8 g protein (Hardinsyah 2012). Tabel 2 menunjukkan anjuran kecukupan
energi dan zat gizi dari sarapan yang dihitung sebesar 25% AKG.
Tabel 2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada remaja
Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)
Zat Gizi
13-15 16-18 13-15 16-18
Energi (kkal) 588 550 600 650
Protein (g) 14.3 13.8 15 16.3
Kalsium (mg) 250 250 250 250
Besi (mg) 6.5 6.5 4.8 3.8
Vitamin A (RE) 150 150 150 150
Vitamin E (mg) 3.8 3.8 3.8 3.8
Vitamin B1 (mg) 0.3 0.3 0.3 0.3
Vitamin C (mg) 16.3 18.8 18.8 22.5
Folat (mg) 100 100 100 100
Sumber: WNPG (2004)

Gambaran kontribusi energi dari sarapan dibedakan menjadi dua


kategori, yaitu kurang (apabila asupan energi sarapan < 550 kkal atau < 25%
AKG sehari) dan cukup (apabila asupan energi sarapan ≥ 550 kkal atau ≥ 25%
AKG sehari) (Hermina et al. 2009). Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah
memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20%
kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan
kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang
mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997). Menurut
Darmayanti (2010), makanan sarapan memberikan kontribusi energi terhadap
kecukupan gizi sebesar 19% dan kontribusi protein sebesar 22.2% pada siswa
9

laki-laki dan 19.2% pada siswa perempuan. Kontribusi makanan sarapan


terhadap kecukupan zat besi siswa laki-laki lebih tinggi dibandingkan siswi
perempuan. Adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) dari kontribusi energi
dan zat besi terhadap kecukupan gizi siswa laki-laki dan perempuan.
Jenis Menu Sarapan
Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai
dengan keadaan. Namun, jenis menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari
makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005).
Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari
nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan
mineral.
Konsep sarapan yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi
dengan pemberian makanan sebagai berikut (Depkes 2001):
1) Sumber karbohidrat, yaitu nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung
maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong, dan ubi.
2) Sumber protein, yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju,
kacang hijau, dan lain-lain.
3) Sumber vitamin dan mineral, yaitu berasal dari sayuran seperti wortel, bayam,
kangkung, labu siam, buncis; dan buah-buahan antara lain pepaya, jambu biji,
melon, alpukat, dan lain-lain.
Jenis sarapan yang banyak dikonsumsi oleh remaja di enam kota besar di
Indonesia pada waktu sarapan adalah nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan
isi, dan mie instant. Selain makanan-makanan tersebut ada jenis makanan lain
yang banyak dikonsumsi di kota-kota tertentu. Jenis makanan tersebut adalah
bubur ayam (Jakarta, Bandung, dan Semarang); nasi gudeg (Yogyakarta), nasi
rawon, nasi soto, dan nasi pecel (Surabaya). Jumlah remaja yang biasa sarapan
nasi dan laukpauk terbanyak di Yogyakarta sebesar 73% (Mudjianto et al. 1994).
Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu
menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak,
serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C (Abalkhail & Shawky
2002). Berbagai penelitian telah dikaitkan kejadian anemia defisiensi besi pada
perubahan kebiasaan makan. Kebiasaan sarapan dengan mengkonsumsi susu,
nasi, roti cokelat, sayuran segar dan ikan telah berubah menjadi hidangan junk
food dan kurang sayuran berwarna hijau, serta buah-buahan (Anderson 1991).
Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak
10

makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji
statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002).
Sarapan khas sereal yang kaya akan karbohidrat kompleks dapat
membantu mempertahankan kinerja selama pagi hari (Wesnes et al. 2003). Cho
et al. (2003), seseorang yang sarapan dengan mengkonsumsi sereal siap saji,
sereal dimasak, atau roti memiliki IMT yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan yang tidak sarapan dan pemakan daging dan telur. Hal ini
menunjukkan tidak sarapan bukan merupakan cara untuk mengatur berat badan.
Ketersediaan Sarapan
Khomsan (2002) menyatakan bahwa apabila ibu memiliki peran ganda
yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pencari nafkah
keluarga, maka terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan anak.
Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat
menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan di rumah
tangga. Ibu yang bekerja seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk
membuat sarapan.
Rohayati (2001) menyatakan pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi
sarapan anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga
khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis
pangan dan penyusunan menu untuk keluarga. Penelitian Svenskarin (2012)
menunjukkan kualitas kebiasaan sarapan baik pada anak dengan ibu bekerja
maupun tidak bekerja berhubungan signikan positif (p<0.01) dengan aturan
sarapan keluarga dan ketersediaan waktu ibu dalam penyediaan pangan
sarapan. Studi FAO (1987) dalam menunjukkan bahwa wanita di negara
berkembang yang mengalokasikan waktu lebih banyak diluar rumah, biasanya
akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan rumah tangga baik dengan
cara mengurangi frekuensi memasak maupun mengurangi jenis makanan yang
di masak. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap ketersediaan ibu
adalah status dan jenis pekerjaan ibu, kehadiran ibu di rumah, ketersediaan
peralatan masak modern, dan ketersediaan pangan yang praktis atau siap saji
(Hardinsyah 2007).
Penelitian yang dilakukan pada 217 orang remaja siswi Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Depok pada bulan Desember 2007 menunjukkan
adanya hubungan antara ketersediaan sarapan dengan kebiasaan sarapan
remaja siswi (P<0.05). Adanya kecenderungan bahwa remaja siswi yang terbiasa
11

sarapan sebagian besar karena sarapan tersedia di rumah (62.2%). Apabila tidak
tersedia, remaja putri (40.5%) yang sarapan lebih sedikit (Hermina et al. 2009)
Aturan Kewajiban Sarapan
Norma dan nilai di dalam keluarga berlaku sebagai tata tertib hubungan
antar keluarga. Sebuah keluarga juga berlaku kebiasaan tertentu yang biasa
disebut kebiasaan keluarga, misalnya sebuah keluarga mempunyai kebiasaan
sarapan dengan nasi dan lauk pauk dan secara umum semua anggota
melakukan sarapan. Makan bersama keluarga biasanya dilakukan pada saat
sarapan atau makan malam. Aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan
menyebabkan kebiasaan sarapan yang baik. Ibu memiliki peranan yang besar
terhadap pembentukan kebiasaan makan anak di rumah karena ibu yang
mempersiapkan makanan, mengatur menu, menyiapkan hidangan, dan
mendistribusikan makanan, serta mengajarkan tata cara makan kepada anak.
Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan,
dan bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga
dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama
(Pearson et al. 2009).
Hasil penelitian Mudjianto et al. (1994) di enam kota besar, sarapan biasa
dilakukan dirumah oleh remaja lebih dari 70% di masing-masing kota. Selain itu,
remaja melakukan sarapan di sekolah atau dalam perjalanan menuju sekolah.
Sarapan yang dilakukan dalam perjalanan ke sekolah tersebut yaitu dengan cara
makan di warung-warung atau di kendaraan bagi remaja yang diantar dengan
mobil. Menurut Rahkonen et al. (2003) sarapan dirumah membantu
meningkatkan hubungan keakraban sesama anggota keluarga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan sarapan


Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia
dalam memenuhi kebutuhan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan
pemilihan makanan. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makanan ini
terjadi seumur hidup yakni sejak lahir hingga dewasa. Kebiasaan makan tidak
hanya terbentuk dari dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi
disamping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi
(Sukandar 2007). Menurut Den Hartog et al. (2006), kebiasaan makan sebagai
cara individu atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh sosial dan budaya,
tekanan ekonomi, pilihan dalam mengkonsumsi, dan menggunakan pangan yang
tersedia. Kebiasaan makan secara umum meliputi frekuensi makan seseorang
12

sehari, kebiasaan sarapan, keteraturan makan, susunan hidangan makan, orang


yang berperan dalam memilih dan mengolah makanan dalam keluarga, makanan
pantangan dan kebiasaan makan bersama dalam keluarga (Ulfa & Latifah 2007).
Kebiasaan makan terbentuk dari empat komponen, yaitu (1) konsumsi
makanan (pola makan), meliputi jumlah, jenis, frekuensi, dan proporsi makanan
yang dikonsumsi atau komposisi makanan; (2) preferensi terhadap makanan
(suka atau tidak suka dan pangan yang belum pernah dikonsumsi); (3) ideologi
atau pengetahuan terhadap makanan, terdiri atas kepercayaan dan tabu
terhadap makanan; dan (4) sosial budaya makanan, meliputi umur, asal,
pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata
pencaharian atau pekerjaan, luas pemilikan lahan, dan ketersediaan makanan
(Sukandar 2007).
Faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku sarapan, dalam wujud sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman
sebaya (Hermina et al. 2009).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo
2003). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal tinggi diharapkan
memiliki pengetahuan gizi yang tinggi pula. Latar belakang pendidikan formal
sangat erat hubungannya dengan kemampuan menyerap informasi dari berbagai
sumber baik itu media elektronik maupun dari sumber media massa (Ulfa &
Latifah 2007). Penelitian Madanijah (2003) menunjukkan terdapat hubungan
positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan
pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai
pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Tingkat
pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka skor keragaman konsumsi pangan juga semakin tinggi
(Hardinsyah 2007). Siega et al. (1998) memaparkan kebiasaan sarapan anak
yang baik berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi. Hermina
et al. (2009) juga membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara
pendidikan ibu dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri (p<0.05), yaitu
ibu berpendidikan tinggi (> SMA) mempunyai anak remaja putri yang lebih
13

banyak (biasa) sarapan sebelum berangkat ke sekolah dibandingkan ibu dengan


berpendidikan rendah (≤ SMA). Selain itu, siswi yang memiliki ibu berpendidikan
tinggi 2 kali lebih sering (terbiasa) sarapan dibandingkan dengan siswi yang
memiliki ibu berpendidikan rendah.
Pendapatan diartikan sebagai jumlah semua hasil perolehan yang didapat
oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang
dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Jumlah pendapatan yang diperoleh
akan menggambarkan besarnya daya beli seseorang. Pendapatan seseorang
identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga seorang yang
berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula
(Guhardja et al. dalam Sukandar 2007).
Jumlah uang yang dikeluarkan untuk pangan bergantung pada tingkatan
pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti tingginya jumlah
dan jenis pangan yang dikonsumsi (Sukandar 2007). Hasil studi Siega et al.
(1998) menunjukkan adanya kaitan antara pendapatan dengan kebiasaan
sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga makan kebiasaan
konsumsi sarapan juga akan semakin tinggi. Namun, penelitian Hermina et al.
(2009) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak ada hubungan yang
bermakna antara pekerjaan ayah dan ibu serta penghasilan orangtua terhadap
kebiasaan sarapan remaja putri.
Konsumsi makanan merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan
gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih
makanan yang murah dengan nilai gizi lebih tinggi dan sesuai dengan jenis
pangan yang tersedia serta kebiasaan makan minum sejak kecil sehingga
kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Sukandar 2007). Rohayati (2001)
menyatakan bahwa salah satu alasan seorang anak mengkonsumsi makanan
yang beragam adalah uang saku. Pemberian uang saku pada anak merupakan
bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga kepada anak untuk memenuhi
keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Menurut Hermina et al. (2009)
membuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan
kebiasaan makan pagi pada remaja putri.
Besar keluarga adalah sekelompok orang yang yang terdiri dari ayah, ibu,
anak, dan anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari pengeluaran
sumberdaya yang sama. Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi
distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota
14

keluarga (World Bank 2006). Menurut Sukandar (2007), terdapat hubungan


antara besar keluarga, pendapatan, dan konsumsi pangan yang berarti keluarga
miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi
kebutuhan pangannya apabila dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anak
sedikit. Besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian makanan dalam
keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan individu. Semakin besar keluarga maka
semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu terkait dengan
kemampuan keluarga. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama
keluarga berkolerasi besar hubungannya dalam konsumsi sarapan pada remaja.
Orang tua menjadi contoh teladan yang positif terhadap anak-anak mereka
dengan mendukung kebiasaan makan dan struktur keluarga harus
dipertimbangkan dalam merancang program untuk mengenalkan kebiasaan
sarapan sehat.
Menurut Khan (2005), adapun alasan remaja melewatkan sarapan lebih
banyak terkait dengan kebebasan remaja dalam menentukan pilihan tindakan
yang lebih disukai, terlambat bangun, tidak merasa lapar, makanan belum
tersedia, dan tidak ada yang menyiapkan makanan daripada alasan yang terkait
dengan persepsi body image dan program diet. Namun, berbeda dengan
penelitian Shaw (1998) yang menjelaskan bahwa alasan seseorang melewatkan
waktu sarapan antara lain tidak memiliki waktu untuk sarapan, tidak suka makan
pada pagi hari, tidak menyukai makanan yang tersedia dan takut kegemukan.
Kebiasaan menghindari sarapan dengan tujuan untuk menurunkan berat badan
merupakan kekeliruan yang dapat mengganggu kondisi kesehatan, antara lain
gangguan pada saluran pencernaan (Depkes 2005). Penelitian Zullig et al.
(2006) juga menegaskan bahwa remaja yang melewatkan sarapan secara
signifikan seperti berpuasa untuk menurunkan berat badan. Menurut Fiore et al.
(2006), remaja yang sarapan cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan
dengan remaja yang tidak sarapan. IMT yang lebih tinggi dapat menunjukkan
kegemukan dan obesitas. Affenito (2007) juga menekankan dalam penelitiannya
di Afrika dan Amerika bahwa perempuan yang tidak sarapan cenderung memiliki
Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat dan kalsium yang
rendah. Berikut model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan dapat
dilihat pada Gambar 1.
15

Masalah terkait
berat badan
Kualitas
Makanan
Frekuensi Asupan Berat
Sarapan Energi badan
Kontrol Nafsu
Makan

Gambar 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan

Konsumsi Pangan
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 bahwa pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan
atau minuman. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu
tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah
maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat
gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan (Hardinsyah &
Martianto 1992).
Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian konsumsi pangan dapat
berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian
konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Penilaian
secara kualitatif dilakukan dengan pengumpulan yang lebih menitikberatkan
pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kebutuhan makan dan faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Secara kuantitatif dihitung
dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara
kualitatif dengan melihat kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan menurut
jenis pangan dan frekuensi makan.
Data konsumsi pangan sarapan terdiri dari menu makanan, jenis pangan,
Ukuran Rumah Tangga (URT), berat (gram), kandungan energi dan zat gizi
masing-masing jenis pangan, dan total kandungan tersebut setiap satu kali
sarapan. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam
gram/URT diperoleh menggunakan aplikasi analisis konsumsi pangan. Jumlah
makanan dalam bentuk gram/URT dikonversi menggunakan Daftar Kandungan
Bahan Makanan (DKBM) ke dalam satuan penukar konsumsi. Kemudian
16

dilakukan perhitungan total kandungan energi dan zat gizi berdasarkan


kandungan gizi bahan makanan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut
Sukandar (2007), hasil total kandungan energi dan zat gizi tersebut dapat
dihitung tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dihitung sebagai
perbandingan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan
dikalikan 100%. Jika tingkat kecukupan gizi sama dengan 70% atau lebih maka
ini dikatakan konsumsi gizi telah memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Warthington (2000) menyatakan bahwa pada dasarnya intake makanan
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri seperti emosi
atau kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan, kebutuhan fisiologi, body image,
konsep diri, nilai dan kepercayaan individu, pemilihan arti makanan, psikososial,
dan kesehatan. Faktor eksternal ialah faktor yang ada di alam sekitarnya serta
kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap
bahan pangan, antara lain jumlah dan karakteristik keluarga, peran orang tua,
teman sebaya, budaya, nilai dan norma, media massa, fast food, pengetahuan
gizi, dan pengalaman individu. Menurut Sediaoetama (2000), konsumsi pangan
merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang.
Konsumsi pangan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun
kualitas akan menyebabkan masalah gizi.
Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap
terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun
keluarga.Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi kedalam
pemilihan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan
jenis makanan yang dikonsumsi (Nasoetion & Riyadi 1995). Pengetahuan
tentang gizi dan kebiasaan sarapan merupakan hal penting yang harus dimiliki
oleh remaja. Studi yang dilakukan pada anak sekolah di Taiwan menunjukkan
anak-anak yang memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik juga menyatakan
sikap gizi yang lebih positif, peduli tentang perilaku gizi lebih sering, dan memiliki
kualitas makanan yang baik (Wei Lin et al. 2007).
Kebiasaan makan yang salah akan mempengaruhi konsumsi pangan,
terutama dalam hal penyerapan zat gizi yang terkandung dalam makanan.
Apabila zat-zat yang diserap tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas,
maka dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap status gizi (Sukandar
2007). Kebiasaan makan yang buruk pada remaja perempuan dapat disebabkan
17

oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan lemak pada
bagian tubuh tertentu dan aktivitas disebut sebagai faktor fisiologis. Sedangkan,
adanya trend bentuk tubuh ideal pada wanita yang kurus dan tinggi disebut
sebagai faktor tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja perempuan
untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja perempuan sering mengalami
kurang gizi (Eastwood 2003). Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada
periode puncak tumbuh kembang, kurang asupan zat gizi karena pola makan
yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri
yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal dan kurang zat
besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang (Pardede 2002).
Kebanyakan remaja tidak makan sarapan bergizi seimbang. Jenis
hidangan yang seringkali dikonsumsi pada waktu sarapan hanya terbatas pada
makanan pokok yang kaya karbohidrat. Hal ini terlihat dari masih rendahnya
kontribusi energi dan zat gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis
pangan yang dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012).
Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja.
Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat
(Bonnie 1998).
Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di
dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorpsi besi, yaitu faktor yang
mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong
penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan
bentuk besi yang dikonsumsi (Almatsier 2004). Konsumsi pangan hewani
ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh.
Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya
zat besi sehingga apabila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan
pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi
dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi
dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat
besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat
membantu penyerapan zat besi, yaitu vitamin C, makanan hasil fermentasi dan
pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat
penyerapan zat besi antara lain makanan yang mengandung tanin, fitat, dan
kalsium (Morck et al. 1983)
18

Anemia pada Remaja


Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam
darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan karena
kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Sebagian
besar anemia di Indonesia dikarenakan kekurangan zat besi (Fe) disebut anemia
kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi yang terjadi karena makanan yang
dikonsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Menurut Permaesih &
Herman (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara
lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan,
sosial ekonomi dan demografi, pendidikan, wilayah, umur dan jenis kelamin.
Remaja laki-laki maupun perempuan dalam masa pertumbuhan membutuhkan
energi, protein, dan zat gizi lainnya yang lebih banyak dibandingkan kelompok
umur lainnya. Pematangan seksual pada remaja menyebabkan kebutuhan zat
besi meningkat. Kebutuhan zat besi remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan
remaja laki-laki, karena dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang hilang pada
saat menstruasi sekitar 0.8 mg/hari. Ernawati dan Saidin (2008) menunjukkan
bahwa faktor determinan terhadap anemia remaja adalah jenis kelamin, dimana
remaja putri beresiko menderita anemia 2.2 kali (Cl 95%: 1.3-3.7) dibandingkan
laki-laki.
Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah
hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah
yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui
sistem peredaran darah ke dalam jaringan dalam tubuh. Status anemia remaja
yang mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) dibawah nilai normal menurut umur
(15-19 tahun) yaitu kadar Hb perempuan < 12 g/dl dan kadar Hb laki-laki < 13
g/dl (WHO 2001). Cara penentuan kadar Hb yang dianggap cukup teliti dan
dianjurkan oleh International Communite for Standarrization in Hematology
(ICSH) adalah Cyanmethemoglobin. Adapun batas normal kadar hemoglobin
menurut WHO (2001) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Batas normal kadar hemoglobin
Kelompok Kadar Hb (g/dl)
Anak balita 11
Anak usia sekolah 12
Wanita dewasa 12
Laki-laki dewasa 13
Ibu Hamil 11
Ibu Menyusui 12
Sumber: WHO (2001)
19

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara


perlahan-lahan. Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa
tahap. Tahap pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati
karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi
disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal.
Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk
system ertiropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin
juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh).
Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar
hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia,
ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit
menurun (Almatsier 2004). Gejala umum anemia atau sindrom anemia dijumpai
pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl.
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga, dan kepala
terasa melayang, serta konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar
rendah dan menurunkan produktivitas kerja. Apabila anemia bertambah berat,
bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Permaesih & Herman 2005).
Dampak anemia terhadap daya pikir akan mempengaruhi remaja didalam
prestasi di sekolah. Anemia dapat menurunkan IQ sekitar 5-10%. Anemia juga
berdampak pada imunitas sehingga mempengaruhi menurunnya produktivitas
secara tidak langsung melalui seringnya tidak masuk sekolah karena sakit
(Ernawati & Saidin 2008). World Bank (2006) menyatakan bahwa kualitas
manusia ditentukan oleh status gizi bayi sejak dalam kandungan sampai umur 2
tahun, artinya sangat penting untuk mempersiapkan calon ibu dengan status gizi
baik. Ibu hamil yang menderita anemia resiko melahirkan anak dengan anemia
dan kekurangan gizi termasuk anemia pada masa anak tersebut menyebabkan
gangguan pertumbuhan otak dan fisik yang sulit diperbaiki.
Menurut Saraswati dan Sumarno (1997), sebanyak 904 orang remaja
putri SMA di Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan jawaban tentang
pengetahuan anemia dan 819 orang remaja putri diperiksa darahnya. Secara
umum hasil survei tersebut menunjukkan rata-rata Hb remaja putri adalah 12.2
g/dl dengan prevalensi anemia sebesar 42.6% remaja putri sampel. Secara
umum pengetahuan anemia remaja putri tentang anemia masih rendah dimana
hasil survei menunjukkan sebesar 65% sampel mengetahui gejala anemia,
20

namun hanya 21% yang menjawab penyebab anemia karena kurang zat gizi
yaitu zat besi, tergambarkan pada jawaban penyebab anemia kurang makan
makanan yang mengandung zat besi (1.8%) dan kurang makan sayuran (16.4%).
Kejadian anemia secara signifikan lebih lazim di kalangan sekolah negeri
dan siswa dengan ibu yang berpendidikan rendah. Anemia juga secara signifikan
lebih tinggi pada remaja yang telah menstruasi. Diantara 800 siswa yang dalam
penelitian ini, terdapat 119 siswa yang tidak sarapan menunjukkan tanda
anemia. Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan
atau tidak makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food,
namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002). Menurut
Permaesih & Herman (2005) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu remaja 10-
19 tahun yang berpendidikan rendah memiliki hubungan yang signifikan (p<0.05)
dengan kejadian anemia (OR=3.8; 95% CI: 1.9-7.2). Remaja laki-laki memiliki
risiko yang lebih rendah terjadi anemia. Kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.4-
0.9), merokok (OR=1.35; 95% CI: 1-1.8), dan konsumsi energi yang cukup
(OR=0.7; 95% CI: 0.6-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
anemia. Hasil penelitian ini dengan menggunakan uji statistik regresi
menunjukkan bahwa variabel yang terkait dengan anemia adalah pendidikan,
jenis kelamin, usia, asal wilayah, kebiasaan sarapan, keluhan penyakit, dan
kondisi tubuh. Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak
sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium,
Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng.
21

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebiasaan makan yang optimal dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
Pola kebiasaan makan dapat mencerminkan pola konsumsi seseorang. Perilaku
konsumsi makanan yang baik diperlukan yakni diwujudkan dalam bentuk pesan
umum gizi seimbang. Sarapan merupakan salah satu perilaku penting dalam
mewujudkan gizi seimbang.
Kebiasaan sarapan membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan
gizinya sehari-hari yang digunakan untuk berpikir, bekerja, dan melakukan
aktivitas secara optimal setelah bangun pagi. Remaja memiliki aktivitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya sehingga memerlukan zat
gizi lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya. Oleh karena itu, sarapan pada
remaja harus ditunjang dengan asupan zat gizi yang optimal.
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh keberagaman dari karakteristik
individu dan faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Karakteristik individu seperti
usia dan uang saku. Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga (besar
keluarga), status sosial dalam keluarga (pekerjaan dan pendidikan ibu), status
ekonomi keluarga (pendapatan orang tua), pengetahuan dan kepercayaan
terhadap makanan (suku ayah dan ibu).
Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu
menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak,
serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C. Peningkatan
pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal,
kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi secara
khusus. Perubahan ini akan mempengaruhi remaja dalam menentukan makanan
yang dikonsumsi dimana semakin kurang baik perilaku konsumsi, maka akan
semakin tinggi angka kejadian anemia.
22

Karakteristik Individu : Karakteristik Keluarga :


- Usia - Pekerjaan Ibu
- Berat badan - Pendidikan ibu
- Tinggi badan - Pendapatan orang tua
- Uang saku - Besar keluarga
- Suku ayah dan Ibu

Pengetahuan Gizi Konsep Sarapan:


- Definisi sarapan
- Jenis sarapan
- Peranan dan manfaat sarapan
Kebiasaan Sarapan: - Alasan dan dampak tidak
- Frekuensi sarapan sarapan
- Waktu dan lokasi sarapan - Waktu sarapan
- Ketersediaan sarapan di Rumah - Penyiapan sarapan
- Kebiasaan sarapan bersama - Aturan kewajiban sarapan
- Jenis menu sarapan

Kualitas sarapan Status Gizi

Status Anemia

Keterangan:

Variabel yang diteliti


Hubungan yang dianalisis

Gambar 2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi


Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor
23

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan
menggunakan desain cross sectional study yaitu pengamatan terhadap paparan
dan outcome dilakukan dalam satu periode yang sama. Lokasi penelitian
dilakukan di SMK Pelita Ciampea Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat dilakukan
secara purposive, dengan pertimbangan kemudahan akses untuk melaksanakan
penelitian dan karakteristik sosial ekonomi contoh yang heterogen. Penelitian ini
menggunakan sebagian data endline dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir.
Dodik Briawan, MCN; Dr. Ir. Elvira Syamsir, M.Si; dan Dian Herawati, STP, M.Si
(SEAFAST Center) yang berjudul “Efikasi pangan lokal bergizi untuk perbaikan
anemia dan peningkatan prestasi akademik dalam rangka kegiatan
pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Peneliti
melakukan pengumpulan data tentang konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan
pada remaja. Waktu penelitian dimulai dari Oktober hingga November 2012.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh


Populasi penelitian adalah remaja siswi SMK kelas XI dan XII jurusan
keperawatan dan butik yang berjumlah 81 orang. Pemilihan kelas dilakukan
secara purposive. Seluruh siswi kelas XI dan XII diminta mengisi kuesioner
penelitian. Siswi yang mengembalikan kuesioner dan mengisi semua pertanyaan
dengan lengkap, serta mengikuti pengukuran kadar hemoglobin dijadikan
sebagai contoh dalam penelitian ini. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah
68 orang, terdiri dari 16 orang kelas XI butik, 21 orang kelas XII butik, dan 31
orang kelas XI keperawatan.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi konsep sarapan (definisi sarapan, jenis
makanan sarapan, waktu sarapan, ketersediaan sarapan, aturan sarapan,
peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan); sarapan yang
terdiri kebiasaan sarapan (frekuensi sarapan, waktu dan lokasi sarapan,
ketersediaan sarapan, kebiasaan sarapan bersama, jenis menu sarapan) dan
kualitas sarapan (tingkat kontribusi energi dan zat gizi sarapan). Data sekunder
meliputi data karakteristik individu (usia, berat badan, tinggi badan, dan uang
saku); karakteristik keluarga (pekerjaan dan pendidikan ibu, pendapatan orang
24

tua, besar keluarga, suku ayah dan ibu); pengetahuan gizi; dan data kadar
hemoglobin.
Sebelum pengumpulan data dilakukan, remaja siswi SMK diberikan
penjelasan umum tentang data yang akan dikumpulkan. Data konsep sarapan
diperoleh dengan mengisi pertanyaan terbuka pada kuesioner konsep sarapan.
Peneliti memberikan kebebasan kepada responden dalam mengisi pertanyaan
terbuka pada kuesioner konsep sarapan untuk menjawab serinci mungkin atas
apa yang ditanyakan peneliti. Data sarapan (kebiasaan dan kualitas sarapan)
diperoleh dengan food record, khusus sarapan selama seminggu (6 hari di hari
sekolah dan 1 hari di hari libur). Pengambilan data sarapan selama seminggu
dilakukan dalam tiga kali kunjungan dengan selang waktu satu hari. Siswi
diwawancarai tentang makanan atau minuman apa saja yang dikonsumsi beserta
ukuran atau takarannya ketika sarapan (mulai bangun tidur hingga pukul 09.00
WIB). Peneliti melakukan verifikasi data kepada siswi agar memastikan konsumsi
sarapan siswi setiap harinya.
Data karakteristik individu, karakteristik keluarga, dan pengetahuan gizi
diperoleh dengan mengisi pertanyaan tertutup dan pilihan ganda pada kuesioner
“Efikasi pangan lokal bergizi untuk perbaikan anemia dan peningkatan prestasi
akademik”. Data anthropometri dikumpulkan meliputi berat badan dan tinggi
badan. Untuk pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang
(SECA ketelitian 0.1 kg) dan stadiometer (ketelitian 0.1 cm). Data kadar
hemoglobin diperoleh melalui biokimia darah yaitu dengan cara mengambil darah
sebanyak ± 1 ml melalui pembuluh darah kapiler dilakukan dari ujung jari dengan
metode finger prick. Sampel darah diambil oleh tenaga kesehatan yang terlatih.

Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu coding, entry,
cleaning dan analisis. Data yang telah dientry dan dinyatakan clean kemudian
disajikan dalam bentuk tabel dan gambar, serta dianalisis secara statistik
(deskriptif dan inferensia). Data dianalisis secara deskriptif dengan melihat
distribusi frekuensi, nilai maksimum, nilai minimum, standar deviasi, nilai tengah
dan rata-rata variabel penelitian (karakteristik individu dan keluarga; status
anemia; status gizi; pengetahuan gizi; kebiasaan, konsep dan kualitas sarapan).
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Microsoft
Excel 2007 dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16 for Windows.
25

Tabel 4 Pengkategorian variabel karakteristik individu dan keluarga dan


pengetahuan gizi remaja siswi SMK
No Variabel Kategori Sumber
a. Karakteristik Individu
1 Umur 1.14-17 tahun Sarwono
2.18-21 tahun (1993)
2 Uang saku 1.Sedikit ≤ Rp 12.631 Hermina et
(Rp/hari) 2.Banyak >Rp 12.631 al. (2009)
b. Karakteristik Keluarga
1 Pekerjaan ibu 1.Bekerja Hermina et
2.Tidak Bekerja al. (2009)
2 Pendidikan ibu 1.Rendah (≤ SMA) Hermina et
2.Tinggi ( > SMA) al. (2009)
3 Pendapatan orang tua 1.< Rp. 500.000
(Rp/bulan) 2.Rp. 500.000-999.000
3.Rp. 1.000.000-1.499.000
4.Rp. 1.500.000-1.999.000
5.Rp. 2.000.000-2.499.000
6.Rp. 2.500.000-4.999.000
7.> Rp. 5.000.000
4 Besar keluarga 1.Keluarga kecil (≤ 4 orang) BKKBN
2.Keluarga besar (> 4 orang) (2007)
5 Suku Ayah dan Ibu 1.Sunda
2.Jawa
3.Batak -
4.Lainnya
c. Pengetahuan Gizi 1.Kurang (skor <60%)
Khomsan
2.Sedang (skor 60-80%)
(2000)
3.Baik (skor > 80%)

Tabel 4 menunjukkan pengkategorian variabel karakteristik individu dan


keluarga dan pengetahuan gizi. Data karakteristik individu meliputi usia, berat
badan, tinggi badan, dan uang saku. Data usia digunakan untuk menentukan
kecukupan gizi sehari berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) sehari untuk
seorang remaja siswi usia 14-18 tahun yang sesuai WNPG (2004). Selanjutnya,
digunakan untuk perhitungan kontribusi energi dan zat gizi sarapan remaja siswi
SMK. Data berat badan dan tinggi badan digunakan untuk menentukan status
gizi berdasarkan umur, yaitu (IMT/U) dan (TB/U) berdasarkan WHO 2007. Data
usia dikelompokkan menjadi dua, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Data uang
saku dirata-rata berdasarkan sebaran contoh dan dikategorikan menjadi dua,
yaitu sedikit dan banyak.
Data karakteristik keluarga terdiri dari pekerjaan dan pendidikan ibu,
pendapatan orang tua, besar keluarga, suku ayah dan ibu. Data pekerjaan ibu
dibagi menjadi dua, yaitu ibu bekerja dan tidak bekerja. Jenis pekerjaan dari ibu
bekerja meliputi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI/POLRI), pegawai swasta, petani, wiraswasta, karyawan (buruh),
26

dan lainnya. Data pendidikan terakhir ibu dikategorikan menjadi dua, yaitu
rendah dan tinggi. Ibu yang berpendidikan tinggi (apabila > SMA) dan ibu yang
berpendidikan rendah (apabila ≤ SMA). Jenis pendidikan terakhir ibu meliputi
tamat SD/Sederajat, tamat SMP/Sederajat, tamat SMA/Sederajat, dan tamat
Diploma/Akademi, serta tamat Sarjana/Pascasarjana (S1/S2/S3). Data
penghasilan orang tua per bulan meliputi kurang dari Rp. 500.000, Rp. 500.000-
999.000, Rp. 1.000.000-1.499.000, Rp. 1.500.000-1.999.000, Rp. 2.000.000-
2.499.000, Rp. 2.500.000-4.999.000, dan lebih dari Rp. 5.000.000.
Data pengetahuan gizi diukur dengan cara memberikan skor terhadap
setiap jawaban pertanyaan mengenai tingkat pengetahuan gizi. Data
pengetahuan gizi diperoleh dengan memberikan 15 buah pertanyaan pilihan
berganda dengan memilih jawaban yang paling benar, berkaitan dengan gizi
secara umum dan anemia dalam bentuk kuesioner. Skor jawaban contoh setiap
1 pertanyaan diberi nilai 1 jika memilih jawaban benar dan skor nol jika memilih
jawaban salah atau tidak memilih jawaban. Skor jawaban berkisar 0-15. Tingkat
pengetahuan gizi dihitung dengan cara menjumlahkan skor dan dikelompokkan
menjadi tiga kategori tingkat pengetahuan menurut Khomsan (2000).
Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan dan
status anemia serta status gizi dapat dilihat pada Tabel 5. Data konsep sarapan
meliputi definisi sarapan, makanan dan minuman saat sarapan, peranan dan
manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan, waktu sarapan, penyiapan
sarapan, dan aturan kewajiban sarapan. Definisi sarapan berisi tentang
pengertian sarapan menurut remaja siswi SMK. Makanan dan minuman yang
baik untuk dikonsumsi saat sarapan menurut remaja siswi SMK. Waktu sarapan
meliputi hari sekolah dan libur serta jam sarapan menurut remaja siswi SMK.
Alasan tidak sarapan antara lain bangun telat, tidak merasa lapar, tidak nafsu
makan, terlalu banyak menghabiskan waktu, tidak ada waktu untuk makan, tidak
ada yang menyediakan sarapan dan makanan tidak tersedia (Khan 2005).
Dampak yang dirasakan ketika tidak sarapan antara lain ngantuk, kelaparan,
lemas, kurang aktif, nyeri lambung, sakit kepala, sulit mengerti atau menerima
mata pelajaran, lupa dengan mata pelajaran, keringat dingin, pingsan, tidak
merasakan apapun (Khan 2005). Penyiapan sarapan yakni mencakup siapa
yang sebaiknya mempersiapkan sarapan untuk remaja siswi SMK (diri sendiri,
pembantu, dan ibu, serta anggota keluarga lainnya). Aturan kewajiban sarapan
meliputi sebaiknya ada atau tidak ada aturan didalam keluarga remaja siswi SMK
27

yang mengharuskan sarapan sebelum berangkat sekolah. Data konsep sarapan


ini diolah secara deskripsi, kemudian dibuat coding dan entry data. Coding
dilakukan untuk jawaban contoh berisi pilihan (ya atau tidak) dan kalimat
lengkap. Jawaban contoh yang berisi kalimat lengkap dikelompokkan menjadi
pilihan jawaban seperti pada Lampiran 1.
Data kebiasaan sarapan meliputi frekuensi sarapan, waktu dan lokasi
sarapan, ketersediaan sarapan, kebiasaan sarapan bersama, jenis menu
sarapan. Frekuensi sarapan digambarkan dengan frekuensi sarapan dalam
seminggu (6 hari sekolah dan 1 hari libur), yaitu jarang (1-3 kali/minggu), dan
kadang-kadang (4-6 kali/minggu), dan selalu (7 kali/minggu) (Khan 2005). Waktu
sarapan dikategorikan berdasarkan hasil wawancara dengan contoh. Umumnya
contoh bangun tidur sekitar pukul 05.00 WIB dan sarapan dilakukan dari mulai
bangun tidur hingga pukul 09.00 WIB. Oleh karena itu, waktu sarapan
dikategorikan menjadi lima, yaitu 05.00-05.59, 06.00-06.59, 07.00-07.59, 08.00-
09.00. Lokasi sarapan dikategorikan berdasarkan hasil wawancara dengan
contoh. Tidak semua contoh sedang dalam proses belajar di sekolah, melainkan
melakukan praktek kerja lapang (PKL) di Rumah Sakit Leuwiliang, khususnya
contoh dari jurusan keperawatan. Lokasi sarapan dikategorikan menjadi lima,
yaitu di rumah, di perjalanan, di sekolah, di kosan, dan di kantin Rumah Sakit
Leuwiliang.
Ketersediaan sarapan di Rumah dapat dilakukan oleh ibu, anggota
keluarga, dan pembantu. Ketersediaan sarapan di rumah digambarkan dengan
ketersediaan sarapan dalam seminggu, yaitu tidak tersedia sarapan, kadang-
kadang (1-3 kali/minggu), dan tersedia (4-7 kali/minggu). Kebiasaan sarapan
dilakukan bersama anggota keluarga (sebagian), anggota keluarga (seluruh),
teman sebaya, dan diri sendiri. Sebagian anggota keluarga yaitu kakak atau adik,
ibu dan kakak, ibu dan adik. Seluruh anggota keluarga yaitu semua anggota
keluarga yang tinggal bersama dengan contoh (Khan 2005).
Jenis menu sarapan dikategorikan berdasarkan kebiasaan menu sarapan
yang dikonsumsi contoh selama seminggu. Jenis menu sarapan dibedakan
menjadi hari sekolah dan hari libur. Jenis menu sarapan dikategorikan menjadi
empat, yaitu sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur/buah, dan minuman), nasi
dan lauk pauk, makanan sepinggan, jajanan (tradisional dan industri) dan
minuman.
28

Tabel 5 Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan


serta status anemia dan status gizi
No Variabel Kategori Sumber
a Konsep sarapan 1.DefinisI sarapan
2.Makanan dan minuman saat sarapan
3.Peranan dan manfaat sarapan
4.Alasan dan dampak tidak sarapan -
5.Waktu sarapan
6.Penyiapan sarapan
7.Aturan kewajiban sarapan
b Kebiasaan sarapan
1. Frekuensi sarapan 1.Jarang (1-3 kali/minggu)
2.Kadang-kadang (4-6 kali/minggu) Khan (2005)
3.Selalu (7 kali/minggu)
2. Waktu sarapan 1.05.00-05.59
2.06.00-06.59
-
3.07.00-07.59
4.08.00-09.00
3. Lokasi sarapan 1.Rumah
2.Perjalanan
3.Sekolah -
4.Kosan
5.Kantin RS. Leuwiliang
4. Ketersediaan sarapan 1.Tersedia ( 4-7 kali/ minggu)
di Rumah 2.Kadang-kadang (1-3 kali/minggu) -
3.Tidak tersedia
5. Kebiasaan sarapan 1.Diri sendiri
bersama 2.Anggota keluarga (sebagian)
Khan (2005)
3.Anggota keluarga (seluruh)
4.Teman sebaya
6. Jenis menu sarapan 1.Sarapan lengkap
2.Nasi dan lauk pauk
3.Makanan sepinggan -
4.Jajanan
5.Minuman
c Kualitas sarapan 1.Rendah (<15% AKE sehari)
2.Sedang (15%-25% AKE sehari) Preziosi et al.
3.Tinggi (>25% AKE sehari) (1999)

d Status anemia 1.Normal ( 12-15 g/dl)


2.Ringan (9-<12 g/dl)
3.Sedang (7- <9 g/dl) WHO (2001)
4.Berat (<7 g/dl)
e Status gizi (IMT/U) 1.Sangat kurus : z < -3
2.Kurus : -3 ≤ z < -2
3.Normal : -2 ≤ z ≤ +1 WHO (2007)
4.Kelebihan berat badan : +1 < z ≤ +2
5.Gemuk : z > +2
f Status gizi (TB/U) 1. Sangat pendek : z < -3
2. Pendek : -3 ≤ z < -2 WHO (2007)
3. Normal : z ≥ -2

Data konsumsi pangan sarapan terdiri dari menu sarapan, jenis pangan,
Ukuran Rumah Tangga (URT), berat (gram), kandungan energi dan zat gizi
masing-masing jenis pangan, dan total kandungan tersebut setiap satu kali
sarapan. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam
29

gram/URT diperoleh menggunakan aplikasi analisis konsumsi pangan. Jumlah


makanan dalam bentuk gram/URT dikonversi menggunakan Daftar Kandungan
Bahan Makanan (DKBM) ke dalam satuan penukar konsumsi. Kemudian
dilakukan perhitungan total kandungan energi dan zat gizi berdasarkan
kandungan gizi bahan makanan tersebut. Adapun rumus umum perhitungan
kandungan zat gizi tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994) adalah sebagai
berikut.
Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDij/100)}
Keterangan :
Kgij = kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j yang dikonsumsi (g)
Bj = berat bahan makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij = kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = persen bahan makanan j yang dapat dimakan (% BDD)
Berdasarkan hasil total kandungan energi dan zat gizi tersebut dapat
dihitung kontribusi energi dan zat gizi sarapan, yaitu dengan cara
membandingkan jumlah energi dan zat gizi sarapan dengan kecukupan gizi
aktual contoh yang dinyatakan dalam persen. Secara umum, rumus perhitungan
kontribusi energi dan zat gizi sarapan (Hardinsyah & Briawan 1994) adalah
sebagai berikut.
KoGi = Ki/AKci x 100%
Keterangan :
KoGi = kontribusi zat gizi iKi
Ki = Konsumsi zat gizi i ketika sarapan
AKci = angka kecukupan gizi i
Asupan energi dan zat gizi sarapan dikategorikan berdasarkan
berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) sehari untuk seorang remaja siswi
sesuai WKNPG 2004. Kualitas sarapan dilihat dari kontribusi energi dan zat gizi
sarapan. Kualitas sarapan dikategorikan menjadi tiga, yaitu kualitas sarapan
rendah (apabila kontribusi energi sarapan contoh <15% AKG sehari), kualitas
sarapan sedang (apabila kontribusi energi sarapan contoh 15%-25% AKG
sehari) dan kualitas sarapan tinggi (apabila kontribusi energi sarapan contoh >
25% AKG sehari). Indikator sarapan sehat meliputi energi cukup, serat makanan
cukup, rendah lemak dan karbohidrat kompleks cukup. Apabila dapat memenuhi
kriteria tersebut disebut sarapan sehat, memenuhi 3 kriteria disebut cukup sehat,
namun jika hanya 1-2 kriteria disebut sarapan kurang sehat.
30

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) analisis univariat


yang dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi
dari semua variabel yang diteliti; 2) analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui
hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK,
hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan
remaja siswi SMK, dan hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja
siswi SMK. Analisis ini menggunakan uji statistik korelasi Pearson dan Chi-
Square. Variabel yang dianalisis dengan uji statistik Chi-Square adalah
karakteristik keluarga dan kebiasaan sarapan. Variabel yang dianalisis dengan
uji statistik Pearson adalah pengetahuan gizi, status anemia, status gizi, dan
kualitas sarapan. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan pada
satu variabel akan diikuti oleh perubahan variabel lain, maupun dengan arah
yang sama atau dengan arah yang berlawanan. Selain itu, apabila nilai sig (p-
value) <0.05 dan koefisien r tidak sama dengan nol maka dua variabel dikatakan
berkorelasi. Besarnya hubungan antara varibel yang satu dengan yang variabel
yang lain dinyatakan dengan koefisien korelasi yang disimbolkan dengan huruf
“r” yang menunjukkan korelasinya, yaitu akan berkisar antara -1 (negatif satu)
sampai dengan +1 (positif satu).

Definisi Operasional
Contoh adalah remaja siswi SMK Pelita Ciampea berusia 14-18 tahun.
Remaja siswi SMK adalah siswa kelas XI dan XII SMK Pelita Ciampea Bogor
yang berjenis kelamin wanitadan termasuk kategori remaja.
Konsep sarapan adalah gambaran atau deskripsi contoh mengenai definisi
sarapan, makanan dan minuman saat sarapan, peranan dan manfaat
sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan, waktu sarapan, penyiapan
sarapan, dan aturan kewajiban sarapan.
Penyiapan sarapan adalah sarapan dirumah untuk remaja siswi SMK yang
dipersiapkan oleh diri sendiri, pembantu, dan ibu, serta anggota
keluarga lainnya.
Aturan kewajiban sarapan adalah aturan dalam keluarga contoh terkait
pelaksanaan kegiatan sarapan yang terdiri dari terdapat aturan atau
tidak terdapat aturan untuk melakukan sarapan sebelum beraktivitas.
Sarapan adalah kegiatan konsumsi pangan (makanan dan minuman) dilakukan
mulai bangun tidur sampai dengan pukul 09.00 WIB.
31

Kebiasaan sarapan adalah kegiatan konsumsi pangan yang dilakukan rutin


pada pagi hari hingga pukul 09.00 WIB yang digambarkan melalui
frekuensi sarapan, waktu dan lokasi sarapan, ketersediaan sarapan,
kebiasaan sarapan bersama, jenis menu sarapan.
Frekuensi sarapan adalah frekuensi contoh dalam melakukan sarapan di pagi
hari selama seminggu yang terdiri dari kategori selalu, kadang-kadang,
dan jarang.
Waktu sarapan adalah waktu pada saat contoh melakukan kegiatan sarapan
yang dikategorikan menjadi empat, yaitu 05.00-05.59, 06.00-06.59,
07.00-07.59, 08.00-09.00 WIB.
Lokasi sarapan adalah lokasi contoh biasa melakukan sarapan, yaitu rumah,
perjalanan, sekolah, kosan, kantin rumah sakit.
Ketersediaan sarapan adalah tersedia, kadang-kadang atau tidak tersedia
sarapan contoh di rumah selama seminggu.
Kebiasaan sarapan bersama adalah sarapan contoh selama seminggu
dilakukan bersama ibu, anggota keluarga sebagian, anggota keluarga
seluruhnya, dan diri sendiri.
Jenis menu sarapan adalah susunan komposisi pangan (makanan dan
minuman) yang dikonsumsi contoh pada waktu sarapan yang terdiri dari
lima jenis, yaitu sarapan lengkap (makanan karbohidrat yang dilengkapi
dengan lauk, buah atau sayuran, dan minuman); nasi dan lauk pauk,
makanan sepinggan, jajanan (jajanan tradisional dan industri), dan
minuman.
Karakteristik individu adalah gambaran kondisi internal contoh yang meliputi
usia dan uang saku. Usia digunakan untuk menentukan kecukupan gizi
sehari contoh.
Usia adalah umur contoh saat penelitian dilakukan berada pada umur 14-18
tahun.
Uang saku adalah jumlah uang dalam rupiah yang yang diterima contoh per hari
atau per minggu atau per bulan untuk kebutuhan transportasi, jajan, dll.
Karakteristik keluarga adalah kondisi keluarga contoh yang digambarkan
melalui beberapa komponen, yaitu pekerjaan ibu, pendidikan ibu,
pendapatan orang tua, besar keluarga, dan suku ayah dan ibu.
Pekerjaan Ibu adalah mata pencaharian ibu contoh, baik yang tidak memiliki
pekerjaan (sebagai Ibu Rumah Tangga atau IRT) maupun yang memiliki
32

pekerjaan sebagai PNS, ABRI/POLRI, pegawai swasta, petani,


wiraswasta, buruh dan lainnya.
Pendidikan Ibu adalah tingkat pendidikan terakhir ibu contoh, baik yang tamat
SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, tamat
Diploma/Akademi (D1/D2/D3), dan tamat Sarjana/Pascasarjana
(S1/S2/S3).
Pendapatan orang tua adalah jumlah pendapatan orang tua yang diperoleh
setiap bulan.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama
dalam satu rumah yang dikelompokkan menjadi keluarga besar (> 4
orang) dan keluarga kecil (≤ 4 orang).
Suku ayah dan ibu adalah asal daerah ayah dan ibu contoh.
Kontribusi energi dan zat gizi sarapan adalah perbandingan antara jumlah
konsumsi energi dan zat gizi sarapan dengan kecukupan gizi sehari
contoh, yang dinyatakan dalam bentuk persen.
Kualitas sarapan adalah konsumsi pangan sarapan contoh yang digambarkan
selama seminggu (6 hari sekolah dan 1 hari libur) melalui tingkat
kontribusi energi sarapan, diantaranya kualitas sarapan tinggi apabila
kontribusi energi > 25% AKG sehari, kualitas sarapan sedang apabila
kontribusi energi 15-25% AKG sehari, dan kualitas sarapan rendah
apabila kontribusi energi < 15% AKG sehari.
Sarapan sehat adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara
bangun pagi hingga 09.00 WIB yang mengandung energi cukup (15-
25% dari kecukupan per hari), serat makanan yang cukup (25 g/hari),
rendah lemak (< 25% dari kecukupan energi per hari), dan karbohidrat
kompleks cukup (> 50% dari kecukupan energi per hari).
Status anemia adalah keadaan kadar Hb yang menunjukkan kondisi contoh
anemia dan non-anemia. Jika kadar Hb <12 g/dl darah, maka contoh
dikatakan anemia.
Status gizi adalah keadaan kesehatan seseorang sebagai hasil dari asupan dan
metabolisme berbagai zat gizi didalam tubuh. Penilaian status gizi
contoh diukur dengan menggunakan indeks massa tubuh dan tinggi
badan menurut umur (IMT/U dan TB/U).
33

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pelita memiliki lokasi yang strategis
yang terletak di Jalan Warung Doyong Perumahan Ciampea Asri, Desa Benteng,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Sekolah tersebut didirikan pada tanggal
9 Juni 1998 yang berada dalam pengelolaan Drs. H.A Hanapi, M.Pd sebagai
pemimpin yayasan pendidikan Nurul Walidain T.H. Jumlah seluruh siswa pada
sekolah ini sebanyak 3106 siswa yang terdiri atas delapan kompetensi
keahlianantaralainakutansi, administrasi perkantoran, pemasaran, usaha
perjalanan wisata, akomodasi perhotelan, busana butik, keperawatan, dan
farmasi. Setiap jurusan terdiri atas tiga kelas yaitu kelas X, XI, dan kelas XII.
Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang telah terakreditasi A sejak
tanggal 3 November 2008 yang diakui melalui sertifikat manajemen mutu ISO
9001:2008. Kegiatan akademik dan administrasi di SMK Pelita Ciampea ini telah
ditunjang oleh fasilitas pendidikan yang cukup memadai. Fasilitas penunjang
kegaitan tersebut terdiri atas beberapa ruangan yang berdiri diatas bangunan
bertingkat. Kegiatan akademik siswa SMK Pelita dibagi kedalam dua waktu
belajar yaitu kegiatan akademik yang dimulai dari pagi hari hingga siang hari
serta kegiatan akademik yang dimulai dari siang hari hingga sore hari. Siswa
kelas XI dan XII mendapatkan waktu belajar pagi hari yang dimulai dari pukul
07.00-12.30 WIB, sedangkan kelas X mendapatkan waktu belajar siang hari
yang dimulai dari pukul 13.00-17.00 WIB.
Kegiatan non akademik di sekolah ini ditunjang melalui kegiatan
ekstrakulikuler yang teridiri atas pencak silat, taekwondo, pramuka, PEC (Pelita
English Club), Rohis, Gatra (Gabungan Teater Pelita), basket, futsal, PMC (Pelita
Modeling Club), dan Taruna Rimbawan. SMK Pelita juga aktif dalam kegiatan
lomba akademik, yakni Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK tingkat Provinsi
Jawa Barat Tahun 2010 memperoleh Juara 1 di bidang lomba penjualan dan
berhak mewakili Provinsi Jawa Barat ke tingkat Nasional.

Karakteristik Individu dan Keluarga


Karakteristik Individu
Karakteristik individu meliputi usia, berat badan, tinggi badan, dan uang
saku. Tahap perkembangan remaja di bagi menjadi dua tahap, yaitu remaja awal
dan remaja akhir. Tahap remaja awal berkisar usia 13-17 tahun dan remaja akhir
34

berkisar usia 18-21 tahun (Sarwono 1993). Jumlah uang saku diharapkan dapat
menggambarkan keadaan sosial ekonomi contoh. Selain itu, satu alasan remaja
mengkonsumsi makanan yang beragam adalah uang saku. Pemberian uang
saku pada remaja setiap hari merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan
keluarga kepada remaja untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non
makanan.
Siswi yang menjadi sampel penelitian adalah siswi SMK dengan keahlian
butik dan keperawatan. Siswi yang menjadi contoh dalam penelitian ini
merupakan siswi kelas XI dan XII yang memiliki rata-rata usianya adalah 16.6
tahun (16.6±0.74 tahun). Sebagian besar contoh (95.6%) berada dalam kategori
remaja awal dengan kisaran usia antara 14 sampai 17 tahun dan 4.4% contoh
berada dalam kategori remaja akhir dengan usia 18 tahun. Contoh yang termuda
berumur 14.7 tahun dan yang tertua berumur 18.5 tahun. Sebaran contoh
berdasarkan karakteristik contoh dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh


Jumlah
Karakteristik Kategori
n%
Remaja Awal 13-17 th 65 95.6
Usia
Remaja Akhir 18-21 th 3 4.4
Uang Saku Sedikit ≤ Rp 12.631 41 60.3
(Rp/hari) Banyak >Rp 12.631 27 39.7
Tidak sekolah 0 0.0
SD 44 64.7
Rendah
Pendidikan Ibu SMP 13 19.1
SMA 10 14.7
Tinggi Perguruan Tinggi 1 1.5
PNS 1 1.5
Bekerja Wiraswasta/Pedagang 6 8.8
Pekerjaan Ibu
Karyawan swasta 1 1.5
Tidak bekerja Ibu rumah tangga 58* 85.3
< Rp. 500.000 3 4.4
Rp. 500.000-999.000 11 16.2
Pendapatan Rp. 1.000.000-1.499.000 20 29.4
orang tua Rp. 1.500.000-1.999.000 8 11.8
(Rp/bulan) Rp. 2.000.000-2.499.000 11 16.2
Rp 2.500.000-4.999.000 8 11.8
> Rp. 5.000.0000 7 10.3
*2 contoh sudah tidak memiliki ibu karena meninggal dunia

Uang saku yang diberikan berbeda-beda, hal ini bergantung dari


besarnya pendapatan orangtua atau banyaknya pengeluaran yang dilakukan
oleh remaja. Berdasarkan Tabel 6, lebih dari separuh contoh (60.3%) diberikan
uang saku dengan kategori sedikit yaitu kurang dari Rp 12.631 setiap harinya.
35

Jumlah minimal uang saku yang diterima contoh sebesar Rp 3.000 setiap hari,
sedangkan jumlah maksimal uang saku yang diterima contoh sebesar Rp 25.000
setiap hari. Rata-rata uang saku yang diterima contoh setiap harinya sebesar Rp
12.631±4.922. Sebagian besar contoh tidak tinggal di kosan, namun masih
tinggal bersama dengan orangtua dengan lokasi tempat tinggal yang cukup jauh
dari sekolah. Kondisi ini menyebabkan contoh lebih banyak mengalokasikan
uang sakunya untuk biaya transportasi menuju dan pulang sekolah,
dibandingkan daya beli terhadap makanan dan minuman (jajanan). Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian, yaitu sebagian besar contoh hanya mampu untuk
membeli mie ayam, bakwan, tempe tepung goreng, bakso dan makanan ringan
lainnya dengan kandungan gizi rendah.
Karakteristik Keluarga
Karakteristik keluarga contoh terdiri dari pendidikan dan pekerjaan ibu,
pendapatan orangtua, jumlah anggota keluarga, dan suku orangtua. Pendidikan
ibu contoh dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu rendah (tidak sekolah, SD,
SMP, SMA) dan tinggi (Perguruan Tinggi). Berdasarkan sebaran pada Tabel 6,
hampir seluruh ibu contoh (98.5%) memiliki pendidikan terakhir yang rendah dan
hanya 1.5% ibu contoh yang memiliki pendidikan hingga perguruan tinggi.
Sebesar 64.7% ibu contoh mempunyai tingkat pendidikan SD, sedangkan
proporsi paling kecil adalah ibu contoh dengan tingkat pendidikan Perguruan
Tinggi (1.5%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu contoh masih
rendah yakni hanya mencapai tingkat pendidikan sekolah dasar dan akan
mempengaruhi keragaman konsumsi pangan.
Pekerjaan ibu dibedakan menjadi ibu yang bekerja dan tidak bekerja.
Berdasarkan Tabel 6, ibu contoh yang mempunyai pekerjaan diluar wilayah
domestik rumah tangga mempunyai proporsi yang sangat kecil hanya 11.8%
terdiri dari 8.8% yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang dan masing-
masing 1.5% yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan
swasta. Sedangkan sebagian besar ibu contoh lainnya (88.2%) tidak bekerja,
yaitu ibu contoh (85.3%) berperan sebagai ibu rumah tangga dan 2.9% ibu
contoh yang tidak bekerja dikarenakan telah meninggal dunia.
Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya
beli seseorang. Pendapatan orangtua dalam penelitian ini merupakan jumlah
antara pendapatan ayah dan ibu selama satu bulan. Tabel 6 menunjukkan
bahwa sebagian besar pendapatan orangtua contoh (29.4%) mempunyai
36

pendapatan pada kisaran Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan, sedangkan


pendapatan terendah < Rp. 500.000 per bulan hanya 4.4% dari seluruh orangtua
contoh dan terdapat 10.3% orangtua contoh mempunyai pendapatan tertinggi >
Rp. 5.000.000 per bulan. Kebiasaan makan suatu keluarga dipengaruhi oleh
pendapatan keluarga tersebut. Semakin meningkatnya pendapatan akan
menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Hal ini terkait dengan
kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan. Namun, peningkatan
pendapatan tersebut belum tentu membuat pangan yang dikonsumsi semakin
beragam karena kadang-kadang perubahan yang terjadi adalah pangan yang
dimakan lebih mahal. Pengurangan waktu makan dapat terjadi pada keluarga
dengan pendapatan rendah dengan jumlah anggota yang besar, sedangkan
keluarga dengan pendapatan tinggi memiliki keleluasaan dalam memilih dan
menentukan makanan yang akan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhannya
(Sukandar 2007).
Besar keluarga adalah sekelompok orang yang yang terdiri dari ayah, ibu,
anak, serta anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari pengeluaran
sumberdaya yang sama (World Bank 2006). Banyaknya jumlah anggota keluarga
yang hidup dalam satu rumah dijumpai hanya 5.9% contoh yang mempunyai
anggota keluarga kurang dari sama dengan 4 orang, artinya keluarga hanya
dengan 2 anak yang dianjurkan BKKBN tentang keluarga kecil bahagia dan
sejahtera masih sangat sedikit prosentasenya. Sebagian besar contoh (94.1%)
mempunyai keluarga besar yaitu lebih dari 4 orang. Rata-rata jumlah anggota
keluarga contoh adalah 6 orang (6.2 ± 1.8). Banyaknya jumlah anggota keluarga
mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status
gizi anggota keluarga (World Bank 2006). Jumlah anggota keluarga
mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang
dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas dan kuantias pangan secara langsung akan
menentukan status gizi keluarga dan individu (Sukandar 2007).
Menurut Riyadi (1996) salah satu faktor dasar yang mempengaruhi jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi adalah suku bangsa. Pola kebudayaan
mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Suku orang tua pada contoh
sangat bervariasi. Sebagian besar ayah dan ibu contoh berturut-turut sebesar
(79.4%) dan (88.2%) berasal dari suku sunda. Ada beberapa orang tua contoh
yang berasal dari suku aceh (1.5% ayah contoh), padang (masing-masing ayah
dan ibu contoh 1.5%), batak (1.5% ayah contoh), betawi (ayah contoh 4.4% dan
37

ibu contoh 1.5%), jawa (ayah contoh 11.8% dan ibu contoh 8.8%). Suku melalui
sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan
bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga
dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama
(Pearson et al. 2009).
Status Anemia
Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan
untuk pembentukan hemoglobin (Hb) tersebut. Hasil pemeriksaan Hb yang
dilakukan terhadap contoh menunjukkan kadar Hb yang relatif normal. Dengan
menggunakan batas Hb 12 g/dl, ditemukan diantara 68 orang terdapat 13 orang
yang menderita anemia sedang yang terdiri dari contoh kelas keperawatan 11
orang dan masing-masing kelas XI dan XII butik 1 orang. Adapun rata-rata kadar
Hb contoh adalah 13.8±1.7 g/dl. Gambar 3 menunjukkan bahwa hanya 80.9%
contoh yang tidak menderita anemia dan sisanya 19.1% contoh menderita
anemia. Prevalensi anemia pada penelitian ini (19.1%) lebih rendah dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Briawan (2008) pada remaja putri di Bogor, yaitu
terdapat 25.1% remaja putri menderita anemia. Anemia pada remaja terjadi
karena remaja masih dalam masa pertumbuhan sehingga kebutuhan zat besi
meningkat namun bioavabilitas rendah yang disebabkan rendahnya pangan
sumber heme dan gangguan inhibitor dalam penyerapan (Briawan 2008).
Menurut Permaesih & Herman (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap
kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras,
kebiasaan sarapan, sosial ekonomi dan demografi, pendidikan, wilayah, umur
dan jenis kelamin.

19.1%

Tidak anemia
Anemia

80.9%

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan status anemia


38

Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Salah satu penelitian status gizi secara langsung dengan menggunakan
antropometri (Supariasa et al. 2001). Proses pertumbuhan pada masa remaja
masih berlangsung sehingga IMT belum bisa diklasifikasikan menurut batasan
tertentu. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini
didasarkan jenis kelamin dan pengukuran antropometri berat badan (BB) dan
tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U)
dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Dengan menggunakan baku
antropometri usia 5-19 tahun WHO 2007 dihitung nilai z-score TB/U dan IMT/U
masing-masing remaja. Selanjutnya berdasarkan nilai z-score status gizi remaja
dikategorikan berdasarkan indikator TB/U dan IMT/U. Berdasarkan indikator
TB/U meliputi sangat pendek, pendek, dan normal. Berdasarkan indikator IMT/U
meliputi sangat kurus, kurus, normal, kelebihan berat badan dan gemuk. Sebaran
status gizi contoh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi


Status Gizi n %
TB/U:
- Sangat pendek (z < -3) 0 0.0
- Pendek (-3 ≤ z < -2) 16 23.5
- Normal (z ≥ -2) 52 76.5
IMT/U:
- Sangat kurus (z < -3) 1 1.5
- Kurus (-3 ≤ z < -2) 4 5.9
- Normal (-2 ≤ z ≤ +1) 56 82.4
- Kelebihan berat badan (+1 < z ≤ +2) 6 8.8
- Gemuk (z > +2) 1 1.5
Total 68 100.0

Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status gizi dengan


indikator TB/U dan IMT/U termasuk kategori normal. Berdasarkan indikator TB/U,
sebagian besar contoh (76.5%) berada dalam kategori normal dan 23.5% contoh
termasuk pendek. Berdasarkan indikator IMT/U, sebagian besar contoh (82.4%)
berada dalam kategori normal, prevalensi kekurusan 7.4% terdiri dari 1.5%
sangat kurus dan 5.9% kurus, prevalensi kegemukan 10.3% terdiri dari 8.8%
kelebihan berat badan dan 1.5% gemuk. Rata-rata status gizi contoh
berdasarkan indikator IMT/U adalah -0.1±1.3 dan rata-rata status gizi contoh
berdasarkan indikator TB/U adalah -1.8±0.8.
39

Hasil analisis data Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi kekurusan


pada remaja umur 16-18 tahun adalah 8.9% terdiri dari 1.8% sangat kurus dan
7.1% kurus. Prevalensi kegemukan pada remaja 16-18 tahun secara nasional
masih kecil yaitu 1.4%. Prevalensi kependekan remaja 16-18 tahun secara
nasional adalah 31.2% terdiri dari 7.2% sangat pendek dan 24.0% pendek.
Apabila dibandingkan dengan prevalensi kekurusan, kegemukan, dan
kependekan menurut Riskesdas 2010, prevalensi contoh dengan status gizi
kurus (7.4%) cenderung lebih kecil, sedangkan gemuk (1.5%) dan pendek
(23.5%) cenderung hampir sama. Hal ini menunjukkan masalah gizi pada
kelompok remaja adalah kegemukan dan kependekan (stunting), walaupun
masalah gizi kurang juga masih tinggi.

Gambar 4 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan dengan WHO

Gambar 4 menunjukkan sebaran status gizi berdasarkan indikator IMT/U


berada dalam kategori normal (-2 SD s/d +1 SD), namun kurva menunjukkan
cenderung condong ke kiri yang berarti ada kecendrungan memiliki status gizi
kurang. Indikator IMT/U digunakan untuk mengukur status gizi masa kini dan
memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari
peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Status gizi
dipengaruhi oleh faktor langsung seperti asupan makanan dan status kesehatan.
Faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga, perawatan ibu dan anak, dan pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan (UNICEF 1998 dalam Den Hartog 2006).
40

Gambar 5 Distribusi TB/U contoh dibandingkan dengan WHO


Gambar 5 terlihat median z-score TB/U pada contoh jauh bergeser ke kiri
dibandingkan standar WHO. Median z-score TB/U mendekati -2 standar deviasi
yang berarti kependekan (stunting). Hal ini menunjukkan prevalensi kependekan
pada remaja masih tergolong besar. Tinggi badan pada suatu waktu merupakan
hasil pertumbuhan secara kumulatif semenjak lahir. Oleh karena itu, dapat
dipakai sebagai gambaran riwayat status gizi masa lampau. Tinggi badan adalah
indeks paling sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan sosial ekonomi.
Tubuh pendek pada remaja menunjukkan pertumbuhan linear yang buruk yang
terakumulasi selama periode sebelum dan setelah kelahiran karena gizi buruk
dan kesehatan yang buruk, sehingga berdampak pada dengan kejadian
kemunduran mental pada tingkat intelegensi anak,perkembangan psikomotorik,
kemampuan motorik yang baik, dan integrasi saraf-saraf neuron (Moehji 2001).

Pengetahuan Gizi
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo
2003). Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap
terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun
keluarga. Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi kedalam
pemilihan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan
jenis makanan yang dikonsumsi (Nasoetion & Riyadi 1995).
41

Tabel 8 Persentase contoh yang menjawab benar tentang pengetahuan gizi


Benar
No Pertanyaan
n %
1 Jenis makanan yang lebih sehat pada suatu restoran fast food 67 98.5
menawarkan paket makan siang yang murah
2 Akibat remaja putri yang terlalu kurus 64 94.1
3 Dampak mengurangi frekuensi makan 60 88.2
4 Kekurangan zat besi dapat menyebabkan penyakit 60 88.2
5 Kelompok yang berisiko tinggi terkena anemia 65 95.6
6 Tanda-tanda remaja yang mengalami anemia 66 97.1
7 Sumber pangan hewani yang tinggi zat besi 24 35.3
8 Sayuran yang tinggi zat besi 59 86.8
9 Dampak yang ditimbulkan akibat remaja mengalami anemia 60 88.2
10 Jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh 35 51.5
11 Jenis minuman yang menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh 37 54.4
12 Penyebab terjadinya kekurangan zat besi 52 76.5
13 Salah satu upaya menanggulangi masalah anemia gizi besi 16 23.5
14 Fungsi zat besi didalam tubuh 3 4.4
15 Salah satu efek yang sering timbul pada saat mengonsumsi tablet/pil 31 45.6
zat besi

Tabel 8 menunjukkan bahwa secara keseluruhan persentase jawaban


contoh yang menjawab benar lebih banyak dibandingkan contoh yang menjawab
salah, namun masih terdapat sebagian besar contoh (95.6%) yang menjawab
salah pada pertanyaan fungsi zat besi didalam tubuh. Selain itu, terdapat 76.5%
dan 64.7% dari contoh yang masih belum mengetahui baik tentang salah satu
upaya menanggulangi masalah anemia gizi besi dan sumber pangan hewani
yang tinggi zat besi. Terdapat sebanyak 54.4% dari contoh yang belum
mengetahui salah satu efek yang sering timbul pada saat mengonsumsi tablet
atau pil zat besi. Separuh contoh (51.5% dan 54.4%) mengetahui baik jenis
vitamin yang dapat membantu penyerapan besi dan jenis minuman yang
menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Alternatif pilihan jawaban yang
terlalu sulit dimengerti atau relatif kurang sering dipilih akan mempengaruhi
kecendrungan memilih kemungkinan jawaban yang paling tepat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (98.5%)
mengetahui dengan baik jenis makanan yang lebih sehat pada restoran fast
food. Sebagian besar contoh (97.1%) mengetahui dengan baik tanda-tanda
remaja yang mengalami anemia. Selain itu, terdapat 95.6% dan 94.1% dari
contoh juga mengetahui dengan baik kelompok yang beresiko tinggi terkena
anemia dan akibat dari remaja putri yang terlalu kurus. Terdapat lebih dari 75%
contoh yang mengetahui baik akibat pengurangan frekuensi makan seperti tidak
sarapan atau tidak makan malam, dampak dari kekurangan zat besi, dan
42

dampak yang ditimbulkan akibat remaja yang mengalami anemia, sayuran yang
mengandung tinggi zat besi, dan penyebab terjadinya kekurangan zat besi.
(%)
80
72.1
70

60

50

40

30

20
17.6
10.3
10

0
Rendah (<60) Sedang Baik (>80)
(60-80)
Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi

Gambar 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (72.1%)


memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang, sedangkan hanya 17.6% dari
contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong baik. Namun, masih
terdapat 10.3% dari contoh yang termasuk dalam tingkat pengetahuan gizi
kurang. Nilai pengetahuan gizi contoh berkisar antara 40 sampai 86.7 dengan
rata-rata 68.5±10.3. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan
gizi dan anemia contoh termasuk dalam kategori sedang. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan
nilai gizi lebih tinggi dan sesuai dengan jenis pangan yang tersedia serta
kebiasaan makan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi
(Sukandar 2007). Studi yang dilakukan pada anak sekolah di Taiwan
menunjukkan anak-anak yang memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik juga
menyatakan sikap gizi yang lebih positif, peduli tentang perilaku gizi lebih sering,
dan memiliki kualitas makanan yang baik (Wei Lin et al. 2007).

Konsep Sarapan Remaja


Sarapan merupakan kegiatan makan dan minum yang dilakukan mulai
bangun tidur sampai dengan pukul 09.00 WIB. Konsep sarapan adalah
gambaran atau deskripsi contoh mengenai definisi sarapan, makanan dan
minuman saat sarapan, peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak
sarapan, waktu sarapan, penyiapan sarapan, dan aturan kewajiban sarapan.
43

Definisi sarapan. Pengertian sarapan menurut contoh cukup beragam


(Lampiran 1 No. 7). Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi
hari. Separuh contoh (55.9%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari
yang memberikan peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan
zat gizi untuk melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan
memenuhi kebutuhan tubuh dan sisanya (44.1%) mengartikan sarapan adalah
makan di pagi hari yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi
sedang. Sarapan merupakan makan di awal hari biasanya dilakukan di pagi hari
berupa makanan dan minuman (Hardinsyah 2012). Menurut Depkes (2001),
konsep sarapan yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan
pemberian makanan terdiri dari sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
Keragaan pengertian mengenai sarapan selengkapnya menurut contoh dapat
dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Definisi sarapan menurut contoh


No Definisi Sarapan n %
1 Sebagai sumber energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan
12 17.6
stamina lebih baik
2 Sebagai cadangan energi awal untuk melakukan aktivitas 11 16.2
3 Untuk mencegah sakit, tetap sehat dan hidup 7 10.3
4 Untuk menghilangkan lapar/supaya kenyang/mengisi perut 7 10.3
5 Makan diawal hari biasanya di pagi hari berupa makanan dan
3 4.4
minuman
6 Makan dengan makanan padat (nasi, bubur, roti) 3 4.4
7 Makan dengan porsi sedang 2 2.9
8 Menjaga pola makan 1 1.5
9 Untuk memenuhi kebutuhan tubuh/jasmani 1 1.5

Pengertian minuman seperti jus, susu, dan teh manis menurut contoh
cukup beragam (Lampiran 2 No. 8-9). Sebesar 75% contoh mengatakan jus,
susu, dan teh manis bisa disebut sarapan dengan alasan yaitu sebagai sumber
energi dan zat gizi, memenuhi kebutuhan cairan dan zat gizi, mencegah
sakit/tetap sehat, memperlancar proses pencernaan, dan sebagai pelengkap
sarapan (minuman), serta membantu pertumbuhan badan. Hanya 25.0% contoh
mengatakan jus, susu, dan teh manis tidak bisa disebut sarapan dengan alasan
sarapan adalah makanan padat (bubur dan nasi) mengandung karbohidrat, tidak
menyehatkan dan tidak mengenyangkan, dan tidak cukup memenuhi kebutuhan
gizi di pagi hari. Padahal minum jus dianjurkan sebelum memulai makan disaat
perut masih kosong sehingga zat yang berguna akan segera cepat terserap oleh
tubuh dan susu mengandung protein cenderung lebih memberikan rasa kenyang
44

dibandingkan minuman teh manis karena hanya mengandung karbohidrat


sederhana (Bonnie 1998).
Pengertian jajanan menurut contoh cukup beragam (Lampiran 1 No.10-
11). Sebesar 66.2% contoh mengatakan bahwa jajan di pagi hari bisa disebut
sarapan jika jajan seperti makan nasi uduk, bubur, roti; menyediakan energi dan
zat gizi; menghilangkan rasa lapar, mengisi perut, atau memberikan rasa
kenyang. Sebanyak 33.8% contoh mengatakan bahwa jajan di pagi hari tidak
bisa disebut sarapan dengan alasan jajan adalah snack di siang hari, tidak cukup
memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari, tidak menyehatkan/tidak hygiens.
Umumnya responden menyebutkan contoh jajanan yang bisa disebut sarapan
adalah roti, bubur ayam, nasi uduk, lontong dan susu.
Makanan dan minuman saat sarapan. Makanan dan minuman saat
sarapan yang baik menurut contoh adalah roti dan susu (26.5%); makanan
sepinggan seperti bubur ayam, nasi uduk, nasi goreng (20.6%); sarapan lengkap
terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman (16.2%); makanan sepinggan
dan minuman (16.2%); nasi dan lauk pauk/sayur (11.8%); jajanan seperti roti dan
lontong (2.9%); minuman seperti susu/teh manis (1.5%); sereal dan susu (1.5%);
susu dan telur (1.5%); dan energen (1.5%) (Lampiran 1 No.13). Menu sarapan
akan lebih baik apabila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, zat pembangun,
dan zat pengatur (Depkes 2005). Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan
aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat
memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral.
Sarapan yang sehat menunjang konsentrasi belajar. Hanya separuh
contoh (51.5%) yang menilai selama ini sarapan contoh sudah menyehatkan
dengan alasan makanan yang dimakan mengandung energi dan zat gizi dan
sarapannya sudah lengkap sesuai dengan 4 sehat 5 sempurna (29.4%), hygiene
dan banyak mengandung karbohidrat (17.6%), dan bervariasi (4.4%) (Lampiran 1
No.14-15). Hal ini menunjukkan bahwa contoh masih belum mengetahui tentang
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), penilaian sarapan contoh berdasarkan
kemanan pangan, sarapan menurut contoh hanya berupa makanan padat.
Sebagian contoh lainnya (48.5%) menilai sarapan contoh selama ini belum
menyehatkan dengan alasan jarang atau tidak pernah sarapan. Sarapan sehat
mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat
makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan
karbohidrat sederhana, dan minuman (Hardinsyah 2012).
45

Peranan dan manfaat sarapan. Seluruh contoh (100%) menyatakan


bahwa sarapan itu penting karena menjaga kesehatan, mencegah sakit, menjaga
kesehatan, agar tidak lemas, menyediakan energi dan zat gizi, dan
meningkatkan konsentrasi, serta mencegah kegemukan (Lampiran 1 No.16-17).
Khomsan (2002) berpendapat sarapan penting karena dibutuhkan untuk mengisi
lambung yang telah kosong selama 8-10 jam, sehingga kadar glukosa yang
semula turun akan kembali meningkat. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon,
yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah.
Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali
melalui sarapan (Michaud et al. 2001). Menurut Hardinsyah (2012), seseorang
membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar glukosa darah agar
stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari
yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari gizi seimbang sehari-hari agar
perasaan yang lebih baik dan berpikir dan bekerja optimal; mencegah
hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat badan; dan untuk membentuk
perilaku sarapan sehat.
Efek yang dirasakan ketika contoh telah melakukan sarapan (Lampiran 1
No.21) terdapat 97% contoh menyatakan lebih aktif, tidak merasa lapar/kenyang,
tidak lemas/semangat, segar/fit, tidak merasa nyeri lambung/maag, mudah
mengerti/menerima pelajaran, dan tidak lemas/semangat, serta tidak mudah
mengantuk, berstamina lebih baik, dan tidak pusing. Hanya 3.0% contoh yang
menjawab justru merasakan pusing, mual, sakit perut ingin buang air besar, dan
mudah mengantuk. Pada dasarnya usus besar bekerja pada jam 05.00-07.00
WIB untuk membuang air besar (BAB), namun apabila sarapan yang dikonsumsi
banyak mengandung karbohidrat seperti nasi, roti putih, mie, roti akan
menyebabkan kenaikan kadar gula darah yang mendadak dan menyebabkan
tubuh melepaskan insulin cukup besar, sehingga penurunan kadar gula darah
terjadi sekitar 3 jam setelah sarapan karena habis terpakai dan keinginan untuk
makan lebih banyak lagi karbohidrat. Kemudian, ketika makan siang gula darah
akan naik drastis kembali dikarenakan untuk mencerna nasi akan memaksa
pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak. Tubuh mulai lelah, kadar gula
darah menurun dan merasa lapar, serta ingin ngemil sesuatu yang berlemak
tinggi ketika sore hari. Apabila kegiatan seperti hal tersebut dilakukan secara
terus menerus maka akhirnya akan menurunkan tingkat metabolisme tubuh
46

sehingga bangun tidur terasa pegal-pegal dan buang air besar menjadi tidak
teratur (Hardinsyah 2012).
Alasan dan dampak tidak sarapan. Makan pagi atau sarapan sangat
bermanfaat bagi setiap orang. Namun, seluruh contoh (100%) menyatakan
pernah tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat, tidak sempat atau
tidak ada waktu sarapan, malas, dan tidak merasa lapar dan nafsu makan, serta
tidak ada yang menyediakan sarapan, terlalu banyak menghabiskan waktu
sehingga takut terlambat, dan tidak terbiasa sarapan. Namun terdapat contoh
yang menjawab alasan tidak sarapan karena justru menyebabkan kondisi
tertentu seperti ingin buang air besar, mual-mual, dan sakit perut (Lampiran 1
No.18-19). 97.1% contoh menyatakan dampak yang terjadi apabila contoh tidak
sarapan adalah nyeri lambung atau maag, mudah mengantuk, lemas, pusing,
sulit mengerti atau menerima pelajaran, pingsan, mudah lupa, dan keringat
dingin. Hanya 2.9% contoh menyatakan tidak merasakan apapun ketika tidak
melakukan sarapan (Lampiran 1 No.20-21). Pernyataan ini sesuai dengan
Depkes (2005) menyatakan seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko
menderita gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan
tanda-tanda antara lain lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun
bahkan pingsan. Bagi anak sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya
konsentrasi belajar yang mengakibatkan menurunnya prestasi belajar.
Hasil uji Anova menunjukkan adanya interaksi nyata antara kebiasaan
sarapan dengan anemia terhadap konsentrasi belajar anak sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa anak yang tidak biasa makan pagi dan menderita anemia
sangat merugikan karena kelompok ini ternyata mempunyai daya konsentrasi
belajar yang rendah (Saidin et al. 1991). Smith et al. (2010) mengungkapkan
bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa
dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak
secara langsung dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol
di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase.
Waktu sarapan. Semua contoh (100%) mengungkapkan setiap hari
sekolah sebaiknya melakukan sarapan, namun terdapat contoh (2.9%) yang
menjawab tidak setuju apabila setiap hari libur sebaiknya melakukan sarapan
(Lampiran 1 No.1-2). Hal ini menunjukkan masih ada sedikit contoh (2.9%) yang
belum sesuai dengan salah satu pola hidup sehat bergizi seimbang untuk anak
47

sekolah, termasuk remaja adalah dengan membiasakan sarapan setiap hari baik
pada hari libur maupun pada hari sekolah. Menurut Kral et al. (2010) pola
sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan
lipidemia.
Waktu sarapan dimulai dari pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 10.00
pagi (Khomsan 2002). Namun, organ lambung bekerja pada pukul 07.00-09.00
WIB maka dianjurkan untuk melakukan sarapan sebagai proses pembentukan
energi tubuh. Waktu sarapan contoh meliputi 55.9% contoh yang menyatakan
sebaiknya sarapan pada pukul 07.00-10.00 WIB, 42.6% contoh mengungkapkan
sebaiknya melakukan sarapan pada pukul 06.00-06.59 WIB, dan hanya 1.5%
contoh yang menjelaskan sebaiknya sarapan pada pukul 05.00-05.59 WIB, hal
ini diduga karena tempat tinggal contoh yang sangat jauh dari sekolah sehingga
contoh tersebut menilai sebaiknya melakukan sarapan sebelum pukul 06.00 WIB
agar tidak terlambat ke sekolah.
Penyiapan sarapan. Hampir seluruh contoh (91.2%) menyatakan ibu
yang sebaiknya menyiapkan sarapan untuk mereka sebelum berangkat sekolah,
namun ada sebagian kecil contoh (8.8%) menganggap diri mereka sendiri yang
sebaiknya menyiapkan sarapan sebelum berangkat sekolah dengan alasan
sudah cukup dewasa dan sudah mampu melakukannya (Lampiran 1 No. 4).
Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat
menentukan karena ibu terlibat langsung dalam mempersiapkan makanan,
mengatur menu, menyiapkan hidangan, dan mendistribusikan makanan, serta
mengajarkan tata cara makan kepada anak (Khomsan 2002).
Aturan kewajiban sarapan. Norma dan nilai di dalam keluarga berlaku
sebagai tata tertib hubungan antar keluarga. Sebagian besar contoh (80.9%)
menilai sebaiknya didalam keluarga contoh mempunyai aturan untuk sarapan
sebelum berangkat sekolah, namun 19.1% contoh menilai sebaiknya tidak ada
aturan untuk sarapan sebelum berangkat beraktivitas dengan alasan tidak
terbiasa sarapan (11.8%), tidak diharuskan atau diwajibkan sarapan (4.4%), dan
tidak setiap hari tersedia sarapan di rumah (2.9%). Aturan sarapan sebelum
berangkat sekolah sebaiknya dilakukan karena contoh menganggap sarapan
penting untuk mencegah sakit atau menjaga kesehatan (35.5%) dan terdapat
10.3% contoh menyatakan agar terbentuknya kebiasaan sarapan (Lampiran 1
No.5-6). Hal ini sesuai dengan penelitian Pearson et al. (2009) mengungkapkan
aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan menyebabkan kebiasaan
48

sarapan yang baik. Selain itu, kualitas kebiasaan sarapan baik pada anak
dengan ibu bekerja maupun tidak bekerja berhubungan signikan positif (p<0.01)
dengan aturan sarapan keluarga (Svenskarin 2012).

Kebiasaan Sarapan Remaja


Frekuensi Sarapan
Saat tidur pada malam hari, tubuh mengalami seperti dalam keadaan
puasa. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon, yaitu hormon yang dapat
meningkatkan kadar gula di dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam
lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali melalui sarapan (Michaud et al.
2001). Ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari sarapan. Pertama, sarapan
dapat meyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar
gula darah. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik
sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan
akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh
tubuh. Ketersediaan zat gizi ini berfungsi untuk berbagai proses fisiologis dalam
tubuh (Khomsan 2002).
Affenito et al. (2005) juga menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa
kebiasaan sarapan pada usia remaja cenderung menurun dengan bertambahnya
usia. Persentase remaja perempuan yang memiliki kebiasaan sarapan menurun
dari 77% pada usia 9 tahun menjadi kurang dari 32% pada usia 19 tahun. Hasil
studi di Indonesia yang dilakukan di enam kota besar (Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpansar) menunjukkan hasil yang
lebih kurang sama, yaitu sekitar 14-25% remaja yang tidak sarapan. Apabila
tidak sarapan akan mempengaruhi fungsi kognitif, emosi, dan perilaku anak.
Kemampuan pemecahan masalah, memori jangka pendek, daya konsentrasi,
dan memori episodik anak akan menurun. Sarapan dapat menjauhkan masalah
emosional, perilaku, dan akademis pada anak dan remaja serta menghilangkan
rasa lapar (Michaud et al. 2001).
Tabel 10 menunjukkan distribusi penyebaran status anemia contoh
menurut kebiasaan sarapan. Kebiasaan sarapan dikategorikan berdasarkan
frekuensi sarapan, yaitu jarang (1-3 kali/minggu), dan kadang-kadang (4-6
kali/minggu), dan selalu (7 kali/minggu) (Khan 2005). Hampir separuh contoh
(45.6% dan 48.5%) selalu dan kadang-kadang melakukan sarapan setiap hari
dan hanya 5.9% contoh yang jarang melakukan sarapan setiap hari. Contoh
adalah kelompok remaja putri yang termasuk dalam golongan umur sensitif
49

terhadap perilaku makan, termasuk perilaku sarapan. Golongan ini mulai mencari
identitas dan sangat menjaga penampilan tubuh (Soetardjo 2011). Contoh yang
berstatus tidak anemia selalu melakukan sarapan setiap hari (47.3%), sedangkan
contoh yang berstatus anemia kadang-kadang melakukan sarapan setiap hari
(53.8%). Contoh gemuk selalu melakukan sarapan setiap hari (57.1%),
sedangkan contoh tidak gemuk kadang-kadang melakukan sarapan setiap hari
(49.2%). Menurut Adimuntja et al. (2008), berdasarkan data Riskesdas 2007
adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik perilaku konsumsi remaja,
maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia, yang berarti rendahnya kadar
Hb maupun sel darah merah.

Tabel 10 Distribusi frekuensi sarapan contoh menurut status anemia dan


status gizi
Frekuensi Sarapan (kali/minggu)
Kategori Jarang Kadang-kadang Selalu
n % n % n %
Anemia (n=13) 1 7.7 7 53.8 5 38.5
Tidak anemia (n=55) 3 5.5 26 47.3 26 47.3
Gemuk (n=7) 0 0.0 3 42.9 4 57.1
Tidak Gemuk (n=61) 4 6.5 30 49.2 27 44.3
Total 4 5.9 33 48.5 31 45.6

Hasil uji Chi-Square menunjukkan menunjukkan bahwa ada hubungan


yang bermakna (p<0.05) antara kebiasaan sarapan dengan contoh berstatus
anemia dan tidak anemia serta contoh gemuk dan tidak gemuk. Kondisi ini
sejalan dengan penelitian Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan
kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6,
Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng. Permaesih & Herman (2005)
juga menunjukkan remaja 10-19 tahun yang memiliki kebiasan sarapan (OR=0.6;
95% CI: 0.4-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anemia. Hasil
penelitian ini dengan menggunakan uji statistik regresi menunjukkan bahwa
salah satu variabel yang terkait dengan anemia adalah kebiasaan sarapan.
Menurut Fiore et al. (2006), remaja yang sarapan cenderung memiliki IMT lebih
rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan. IMT yang lebih tinggi
dapat menunjukkan kegemukan dan obesitas. Affenito (2007) juga menekankan
dalam penelitiannya di Afrika dan Amerika bahwa perempuan yang tidak sarapan
cenderung memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat
dan Kalsium yang rendah.
50

Waktu dan Lokasi Sarapan


Waktu pada saat contoh melakukan kegiatan sarapan yang dikategorikan
menjadi empat, yaitu 05.00-05.59, 06.00-06.59, 07.00-07.59, dan 08.00-09.00.
Berdasarkan Tabel 11, hampir separuh contoh (69.1%) melakukan sarapan saat
hari sekolah pada pukul 06.00-06.59 WIB dan 5.9% contoh lainnya melakukan
sarapan saat hari sekolah pada pukul 05.00-05.59 WIB. Waktu sarapan contoh
berhubungan dengan waktu belajar di sekolah atau waktu praktek kerja lapang
(PKL) di rumah sakit dan jarak antara rumah dan lokasi sekolah. Contoh kelas XI
butik mempunyai waktu belajar siang hari (13.00-17.00 WIB) sehingga
mempunyai pilihan waktu yang cukup banyak untuk melakukan sarapan,
sedangkan contoh kelas XI keperawatan dan XII butik mempunyai waktu belajar
pagi hari (07.00-12.30 WIB) sehingga contoh yang mempunyai jarak rumah dan
sekolah/rumah sakit yang terlalu jauh memungkinkan contoh untuk sarapan lebih
awal. Saat hari libur contoh lebih banyak (38.2%) melakukan sarapan pada pukul
08.00-09.00 WIB. Contoh yang tidak sarapan pada hari libur (16.2%) lebih tinggi
dibandingkan dengan hari sekolah. Hal ini dikarenakan saat hari libur contoh
lebih banyak bangun siang karena contoh mengganggap hari libur adalah waktu
untuk bersantai seperti tidur, menonton TV, olahraga pagi, dan jalan-jalan. Selain
itu, umumnya di hari minggu digunakan untuk membantu ibu di rumah melakukan
pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh
adik.
Tidak semua contoh sedang dalam proses belajar di sekolah, melainkan
melakukan praktek kerja lapang (PKL) di rumah sakit, khususnya contoh dari
jurusan keperawatan. Lokasi contoh biasa melakukan sarapan dikategorikan
menjadi lima, yaitu di rumah, di perjalanan, di sekolah, di kosan, dan di kantin
Rumah Sakit Leuwiliang. Tabel 11 menunjukkan hampir seluruh contoh
melakukan sarapan di rumah baik ketika hari sekolah (85.3%) dan libur (83.8%).
Contoh lainnya melakukan sarapan saat hari sekolah di rumah kontrakan (kosan)
(4.4%), kantin rumah sakit (2.9%), dan sekolah (1.5%). Hasil studi di Australia
mengungkapkan bahwa beberapa anak sekolah yang memiliki kebiasaan
sarapan diperjalanan atau di sekolah umumnya mengkonsumsi pangan sarapan
dengan jumlah kandungan gizi yang rendah dibandingkan anak sarapan di
rumah (Khan 2005).
51

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan waktu dan lokasi sarapan


Hari Sekolah Hari Libur
Kebiasaan Sarapan
n % n %
Jam Sarapan :
- 05.00-05.59 4 5.9 0 0.0
- 06.00-06.59 47 69.1 11 16.2
- 07.00-07.59 10 14.7 20 29.4
- 08.00-08.59 3 4.4 26 38.2
- Tidak sarapan 4 5.9 11 16.2
Tempat Sarapan :
- Rumah 58 85.3 57 83.8
- Sekolah (kantin dan kelas) 1 1.5 0 0.0
- Kantin rumah sakit 2 2.9 0 0.0
- Kosan 3 4.4 0 0.0
- Tidak sarapan 4 5.9 11 16.2

Ketersediaan Sarapan di Rumah


Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat
menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan di rumah
tangga. Pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu terlibat
langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan
keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk
keluarga (Rohayati 2001). Tabel 12 menunjukkan penyebaran tersedianya
sarapan di rumah contoh setiap hari menurut pekerjaan ibu. Ibu rumah tangga
contoh umumnya (55.9%) tersedia sarapan setiap hari, kadang-kadang tersedia
22.1%, dan hanya 7.4% yang tidak tersedia. Persentase ibu sebagai wiraswasta
atau pedagang, tersedia sarapan setiap hari dan kadang-kadang tersedia
sarapan adalah sama (4.4%). Pada ibu sebagai PNS kadang-kadang
menyediakan sarapan, namun pada ibu sebagai karyawan swasta dapat
menyediakan sarapan setiap harinya (1.5%). Akan tetapi, pada ibu yang tidak
bekerja (2.9%) tidak tersedia sarapan, namun contoh memperoleh sarapan
dengan memasaknya sendiri atau meminta saudara untuk menyediakan
sarapan. Dari data tersebut terlihat ada kecendrungan bahwa proporsi
tersedianya sarapan pada ibu yang berperan ganda (selain ibu rumah tangga)
lebih rendah daripada ibu-ibu sebagai ibu rumah tangga. Walaupun demikian, ibu
contoh sebagai ibu rumah tangga masih tidak menyediakan sarapan setiap
harinya (7.4%) dikarenakan malas, telat bangun, dan melakukan kegiatan rumah
tangga lainnya seperti mencuci baju dan membersihkan rumah.
52

Tabel 12 Distribusi frekuensi tersedianya sarapan di rumah berdasarkan


pekerjaan ibu
Kadang- Tidak Jumlah
Pekerjaan Ibu Tersedia
kadang Tersedia n (%)
n % n % n %
Bekerja:
- PNS 0 0.0 1 1.5 0 0.0 1 (1.5)
- Wiraswasta/Pedagang 3 4.4 3 4.4 0 0.0 6 (8.8)
- Karyawan Swasta 1 1.5 0 0.0 0 0.0 1 (1.5)

Tidak bekerja:
- Ibu Rumah Tangga 38 55.9 15 22.1 5 7.4 58 (85.3)*
Total 42 61.8 19 27.9 7 10.3 68 (100)
*2 contoh sudah tidak memiliki ibu karena meninggal dunia

Umumnya ibu contoh sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai PNS,
karyawati atau pedagang masih melaksanakan fungsi pokoknya sebagai ibu
rumah tangga dalam hal penyelenggaraan sarapan, walaupun masih ditemukan
pula proporsi tersedianya sarapan kadang-kadang (22.1%) dan tidak pernah
(7.4%) pada ibu rumah tangga. Keadaan ini menunjukkan bahwa ibu mempunyai
peran ganda (sebagai ibu rumah tangga dan bekerja) pada umumnya sebelum
pergi bekerja terlebih dahulu mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Hasil uji
Chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0.05) antara
jenis pekerjaan ibu dengan tersedianya sarapan setiap hari di rumah contoh.
Menurut Hermina et al. (2009) adanya hubungan antara ketersediaan sarapan
dengan kebiasaan sarapan remaja siswi (p<0.05). Adanya kecenderungan
bahwa remaja siswi yang terbiasa sarapan sebagian besar karena sarapan
tersedia di rumah (62.2%). Apabila tidak tersedia, remaja putri (40.5%) yang
sarapan lebih sedikit.
Kebiasaan Sarapan Bersama
Faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku dalam wujud sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman sebaya
(Hermina et al. 2009). Namun, ini juga bisa menjadi faktor untuk melewatkan
sarapan di pagi hari. Sarapan dengan seluruh keluarga mendorong remaja untuk
secara teratur sarapan (Khan 2005). Tabel 13 menjelaskan sebaran contoh
berdasarkan kebiasaan sarapan bersama. Separuh contoh (66.2%) terbiasa
melakukan sarapan sendiri, sebanyak 30.9% contoh melakukan sarapan terbiasa
bersama anggota keluarga sebagian (kakak atau adik, ibu dan adik, ibu dan
kakak), dan hanya 2.9% contoh melakukan sarapan terbiasa bersama dengan
53

teman. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama keluarga berkolerasi
besar hubungannya dalam konsumsi sarapan pada remaja. Orang tua menjadi
contoh teladan yang positif terhadap anak-anak mereka dengan mendukung
kebiasaan makan dan struktur keluarga harus dipertimbangkan dalam
merancang program untuk mengenalkan kebiasaan sarapan sehat.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan bersama


Kategori n %
Teman 2 2.9
Anggota keluarga (sebagian) 21 30.9
Anggota keluarga (seluruh) 0 0.0
Sendiri 45 66.2
Total 68 100.0

Jenis menu sarapan


Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai
dengan keadaan. Namun, jenis menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari
makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005).
Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari
nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan
mineral. Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi
remaja.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan jenis menu sarapan


Hari Sekolah Hari Libur Jumlah
Jenis menu sarapan
n % n % n %
Sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur,
0 0.0 1 1.5 1 1.5
dan minuman)
Nasi + lauk pauk 12 17.6 9 13.2 21 30.9
Nasi + lauk pauk + sayur 1 1.5 3 4.4 4 5.9
Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan 0 0.0 1 1.5 1 1.5
Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan + 0 0.0 2 2.9 2 2.9
minuman
Nasi + lauk pauk + jajanan 1 1.5 2 2.9 3 4.4
Makanan sepinggan 18 26.5 13 19.1 31 45.6
Makanan sepinggan + minuman 2 2.9 4 5.9 6 8.8
Makanan sepinggan + nasi 0 0.0 1 1.5 1 1.5
Makanan sepinggan + lauk pauk 4 5.9 1 1.5 5 7.4
Makanan sepinggan + jajanan 16 23.5 6 8.8 22 32.4
Makanan sepinggan + jajanan tradisional 1 1.5 1 1.5 2 2.9
+ minuman
Minuman 2 2.9 3 4.4 5 7.4
Minuman + jajanan (tradisional/industri) 3 4.4 5 7.4 8 11.8
Jajanan (tradisional/industri) 4 5.9 5 7.4 9 13.2
Tidak sarapan 4 5.9 11 16.2 15 22.1

Tabel 14 menunjukkan jenis menu sarapan contoh yang dilakukan dari


mulai bangun tidur hingga pukul 09.00 WIB. Hampir separuh contoh lebih banyak
54

sarapan dengan makanan sepinggan (45.6%), makanan sepinggan dan jajanan


(32.4%), dan nasi dan lauk pauk (30.9%). Hanya sedikit contoh (1.5%) yang
sarapan dengan sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman), Jenis
menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih sering dengan
makanan sepinggan, jajanan, dan minuman. Jenis menu sarapan contoh pada
hari libur lebih banyak sarapan dengan nasi dan lauk pauk; nasi, lauk pauk, dan
sayur; atau bahkan sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman)
(Lampiran 2).
Makanan sepinggan, jajanan, dan minuman lebih banyak dikonsumsi
pada hari sekolah dikarenakan harga yang terjangkau dengan uang saku contoh
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi di pagi hari. Selain itu, makanan
sepinggan tersebut sudah hampir memenuhi energi dari 15%-25% kecukupan
energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan bagi remaja. Rata-rata harga
makanan sepinggan, jajanan dan minuman adalah Rp 2.950, Rp 800, Rp 2.200.
Rata-rata kandungan energi dan zat gizi makanan sepinggan adalah energi 247
kkal, protein 6.9 g, lemak 10.9 g, dan karbohidrat 30.7 g. Rata-rata kandungan
energi dan zat gizi jajanan adalah energi 99 kkal, protein 2.0 g, lemak 4.1 g, dan
karbohidrat 12.9 g. Rata-rata kandungan energi dan zat gizi minuman adalah
energi 106 kkal, protein 3.5 g, lemak 3.0 g, dan karbohidrat 16.3 g (Lampiran 6).
Jenis menu sarapan contoh tersebut tidak berbeda dengan hasil
penelitian Mudjianto et al. (1994), jenis sarapan yang banyak dikonsumsi oleh
remaja di enam kota besar di Indonesia pada waktu sarapan adalah nasi dan
lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie instan. Selain makanan-makanan
tersebut ada jenis makanan lain yang banyak dikonsumsi di kota-kota tertentu.
Jenis makanan tersebut adalah bubur ayam (Jakarta, Bandung, dan Semarang);
nasi gudeg (Yogyakarta), nasi rawon, nasi soto, dan nasi pecel (Surabaya).
Lauk pauk yang dikonsumsi contoh saat sarapan terdiri dari lauk hewani
dan lauk nabati. Lauk hewani yang paling sering dikonsumsi adalah ayam
goreng, telur ceplok, telur dadar, semur daging, telur rebus, dan ikan tongkol
goreng. Beberapa lauk hewani dari hasil olahan ikan dan daging juga dikonsumsi
saat sarapan seperti nugget ayam, rendang, rollade daging, dan ikan mas pepes.
Lauk nabati yang dikonsumsi meliputi tempe goreng, tahu goreng, tempe orek,
dan kentang balado.
Sayur dan buah yang dikonsumsi contoh sangat sedikit frekuensinya.
Padahal, sayur dan buah banyak mengandung vitamin dan mineral (Almatsier
55

2006). Sayur yang dikonsumsi contoh saat sarapan adalah tumis caysim,
capcay, sayur bayam, sayur sop, sop jagung, tumis kacang panjang, dan tumis
buncis. Buah yang dikonsumsi contoh berupa mangga, pisang, dan semangka.
Makanan sepinggan yang dikonsumsi contoh saat sarapan meliputi nasi
uduk, nasi goreng, bubur ayam, mie instan, roti sandwich isi cokelat, bihun
goreng, lontong sayur, roti bakar isi cokelat, bakso, mie ayam, dan bubur kacang
ijo, serta sereal (energen). Sarapan khas sereal yang kaya akan karbohidrat
kompleks dapat membantu mempertahankan kinerja selama pagi hari (Wesnes
et al. 2003). Cho et al. (2003) menyatakan seseorang yang sarapan dengan
mengkonsumsi sereal siap saji, sereal dimasak, atau roti memiliki IMT yang lebih
rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak sarapan dan pemakan
daging dan telur.
Jajanan dan minuman yang dikonsumsi contoh beragam. Jajanan yang
dikonsumsi contoh saat sarapan terdiri dari jajanan tradisional dan industri.
Jajanan tradisional yang dikonsumsi contoh saat sarapan meliputi bakwan,
tempe tepung goreng, lontong isi kentang, lontong isi oncom, nasi ketan abon,
pisang goreng, kue bolu, pisang cokelat, martabak, singkong goreng, tahu isi
tauge, ubi goreng, pisang molen, risoles, cimol, gemblong, keripik singkong,
pastel, dan tahu gehu. Jajanan industri yang dikonsumsi contoh saat sarapan
adalah roti manis, biskuit, wafer, roti tawar, permen, dan chiki. Minuman yang
sering dikonsumsi contoh saat sarapan seperti susu, teh manis, kopi susu, dan
frutang.

Kualitas Sarapan Remaja


Jumlah dan Jenis Pangan Sarapan
Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah
pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah
tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan
dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah
& Martianto 1992). Penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah
maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dapat
dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Secara kuantitatif dihitung dengan
jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi dan secara kualitatif dengan
melihat frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan.
56

Tabel 15 Rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi sarapan
Asupan
Jenis Pangan E P L KH Serat Fe Vit A Vit C
Berat (g)
(kkal) (g) (g) (g) (g) (g) (RE) (mg)
Nasi 14.1±18.4 25 0.4 0.0 5.6 0.0 0.1 0.0 0.0
Lauk Pauk :
- L. Hewani 18.7±25.0 46 4.5 2.8 0.6 0.0 0.8 19.9 0.1
- L. Nabati 3.5±1.3 12 0.4 0.6 1.1 0.1 0.1 0.4 0.1
Sayur 1.1± 0.8 1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.0 3.5 0.4
Buah 1.0±0.3 1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.0 0.9 0.1
Minuman 8.8± 6.0 15 0.3 0.3 2.7 0.0 0.0 8.5 0.4
M.Sepinggan 68.3±61.1 159 3.7 9.5 14.6 0.4 0.8 16.4 0.3
Jajanan :
- J. Tradisional 24.5±28.5 74 1.7 3.0 9.5 0.5 1.0 2.7 0.3
- J. Industri 3.2±1.7 9 0.2 0.2 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0
Rata-Rata 342 11.4 16.6 36.4 1.1 2.9 52.7 0.6

Tabel 15 menunjukkan rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan


zat gizi sarapan contoh. Rata-rata konsumsi pangan adalah nasi 14.1±18.4 g,
lauk hewani 18.7±25.0 g, lauk nabati 3.5±1.3 g, sayur 1.1±0.8 g, buah 1.0±0.3 g,
minuman 8.8±6.0 g, makanan sepinggan 68.3±61.1 g, jajanan tradisional
24.5±28.5 g, dan jajanan industri 3.2±1.7 g. Rata-rata konsumsi makanan
sepinggan dan jajanan tradisional contoh lebih banyak dikonsumsi waktu
sarapan dibandingkan nasi dan lauk pauk (lauk hewani atau lauk nabati) atau
sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur/buah, dan minuman).
Hasil analisis data Riskesdas 2010 menunjukkan asupan energi dan
protein dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% angka kecukupan gizi
remaja usia 16-18 tahun) yaitu 1667 kkal dan 58.1 g. Apabila diestimasikan maka
asupan energi dan protein sarapan remaja usia 16-18 tahun berkisar 250-417
kkal dan 8.7-13.7 g. Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil analisis
data Riskesdas 2010 menunjukkan hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa
asupan energi dan protein sarapan contoh masih dibawah kebutuhan minimal.
Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air
dan serat (Bonnie 1998). Namun, kebanyakan contoh tidak makan sarapan
bergizi seimbang. Jenis hidangan yang seringkali dikonsumsi pada waktu
sarapan hanya terbatas pada makanan pokok yang kaya karbohidrat, misalnya
nasi uduk, bakwan, dan kerupuk atau mie instan dan nasi. Walaupun demikian,
contoh dengan konsumsi makanan sepinggan sudah dapat hampir memenuhi
kriteria sarapan yaitu bukan hanya mengandung energi dan zat gizi saja tetapi
juga mengandung serat.
Lauk hewani lebih banyak dikonsumsi contoh dibandingkan lauk nabati.
Konsumsi lauk hewani seperti telur (telur ceplok, telur dadar, telur rebus) sering
57

dijadikan menu sarapan. Protein membantu memproduksi energi lebih besar


sebagai bahan bakar untuk beraktivitas sepanjang hari. Menurut Riyadi (2006),
mutu protein hewani merupakan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan
manusia karena polanya menyerupai pola kebutuhan asam amino manusia.
Apabila pangan hewani digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah
memenuhi kebutuhan manusia maka memberikan semua asam-asam amino
esensial dalam jumlah cukup.
Konsumsi sayur dan buah contoh masih sangat sedikit. Frekuensi
sayuran dan buah hanya 1-2 kali per minggu. Minuman yang dikonsumsi contoh
saat sarapan masih sedikit. Namun, minuman yang dikonsumsi lebih banyak
susu dibandingkan dengan minuman bergula. Susu mengandung protein
cenderung lebih memberikan rasa kenyang dibandingkan dengan minuman teh
manis yang hanya mengandung karbohidrat sederhana. Konsistensi susu juga
lebih kental dibandingkan dengan minuman bergula sehingga proses
penyerapan susu akan lebih lama dibandingkan dengan minuman yang manis.
Jajanan tradisional lebih banyak dikonsumsi contoh dibandingkan jajanan
industri. Walaupun demikian, jajanan tradisional lebih banyak menyumbangkan
energi dan zat gizi dibandingkan jajanan industri yang terbatas pada energi,
protein, lemak, dan karbohidrat saja tanpa vitamin, mineral dan serat. Berbagai
penelitian telah dikaitkan kejadian anemia defisiensi besi pada perubahan
kebiasaan makan. Anderson (1991) menyatakan bahwa kebiasaan sarapan
remaja yang mengkonsumsi susu, nasi, roti cokelat, sayuran segar dan ikan telah
berubah menjadi hidangan junk food dan kurang sayuran berwarna hijau, serta
buah-buahan.
Asupan dan Tingkat Kontribusi Energi dan Zat Gizi
Sarapan seharusnya menyediakan karbohidrat yang cukup agar kadar
gula darah tetap normal, sehingga gairah dan aktivitas setiap hari dapat
dilakukan secara maksimal. Sarapan juga harus mengandung zat gizi lainnya
yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, air, dan serat agar semua
proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik. Sarapan
sebaiknya menyediakan 15-25% kebutuhan gizi sehari, tergantung zat gizinya.
Angka kecukupan energi remaja siswi (13-15 tahun) sekitar 2.350 kkal dan 57 g
protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 353-588 kkal dan 8.5-
14.3 g protein. Angka kecukupan energi remaja siswi (16-18 tahun) sekitar 2.200
kkal dan 55 g protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 330-
58

550 kkal dan 8.3-13.8 g protein (Hardinsyah 2012). Sarapan akan memberikan
kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Khomsan
2002).

Tabel 16 Rata-rata asupan dan kontribusi energi dan zat gizi sarapan (%AKG)
Asupan dan Kontribusi
Zat Gizi Hari sekolah Hari libur Rata-rata
Rata±SD % Rata±SD % Rata±SD %
Energi (kkal) 340±162 15.2 359±319 16.2 342±153 15.4
Protein (g) 11.0±6.7 19.8 13.9±18.4 25.1 11.4±6.6 20.6
Lemak (g) 17.2±12.3 27.8 7.8±13.3 21.7 16.6±1.4 26.9
Karbohidrat (g) 35.1±13.2 10.1 22.7±25.1 12.7 36.4±13.6 10.4
Serat (g) 1.1±0.8 4.4 0.9±2.0 3.5 1.1±0.8 4.3
Kalsium (mg) 106.3±127.8 10.6 77.6±133.4 7.8 102.2±110.4 10.2
Fosfor (mg) 134.6±145.7 29.9 102.0±112.8 22.7 129.9±128.1 28.9
Zat besi (mg) 2.9±1.6 11.1 3.0±3.4 11.6 2.9±1.4 11.2
Vit. A (RE) 52.2±69.2 8.7 55.4±85.3 9.2 52.7±60.2 8.8
Vit. C (mg) 1.5±3.5 2.2 2.1±6.9 3.0 1.6±3.2 2.3

Tabel 16 menunjukkan rata-rata asupan dan kontribusi energi dan zat gizi
sarapan terhadap kecukupan gizi contoh. Rata-rata asupan energi dan protein
sarapan contoh adalah 342±153 kkal dan 11.4±6.6 g. Rata-rata asupan energi
dan protein sarapan contoh sudah memenuhi 15%-25% dari kecukupan sehari.
Rata-rata asupan energi dan protein sarapan contoh pada hari sekolah adalah
340 kkal dan 11.0 g. Rata-rata asupan energi dan protein sarapan contoh pada
hari libur adalah 359 kkal dan 13.9 g. Hasil uji beda t-test menunjukkan terdapat
perbedaan antara asupan energi dan protein pada hari sekolah dan hari libur
(p<0.05).
Asupan energi dan protein sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi
dibandingkan sarapan contoh pada hari sekolah dikarenakan jumlah dan
komposisi sarapan contoh pada hari libur lebih banyak porsinya dan lengkap
komposisinya (nasi, lauk pauk, sayur/buah, dan minuman). Sedangkan menu
sarapan ketika hari sekolah komposisinya tidak lengkap (makanan sepinggan,
jajanan, dan minuman atau bahkan tidak sarapan) dan besar porsinya sesuai
keinginan contoh.
Kontribusi energi dan protein contoh adalah 15.4% dan 20.6% dari
kecukupan sehari, yang berarti kontribusi energi dan protein contoh termasuk
kategori sedang. Namun demikian, makanan sarapan pada hari libur dapat
memberikan kontribusi energi dan protein lebih tinggi sehingga kontribusi energi
dan protein sarapan contoh hari libur lebih besar daripada hari sekolah.
59

Kontribusi energi dan protein pada hari sekolah adalah 15.2% dan 19.8%.
Kontribusi energi dan protein pada hari libur adalah 16.2 % dan 25.1%.
Asupan energi dan protein sarapan contoh hari sekolah paling sedikit
adalah 45 kkal dan 1.1 g. Hal ini dikarenakan contoh mempunyai frekuensi
sarapan yang jarang (1-3 kali per minggu) dan hanya mengkonsumsi makanan
sepinggan (mie instan) atau minuman bergula (teh manis). Studi yang dilakukan
di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak
yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya
konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun
secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003).
Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi
dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah. Menurut
Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang tidak sarapan
lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola sarapan yang
teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan lipidemia. Smith et
al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama
masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total
kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan.
Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana kadar insulin serum turun
sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-
glutaryl-KoA reduktase.
Vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh
dalam jumlah yang sedikit dan berfungsi sebagai zat pengatur tubuh (Almatsier
2004). Vitamin dan mineral memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak usia sekolah. Rata-rata asupan mineral sarapan contoh
masih belum mencukupi 15-25% dari kecukupan sehari (Kalsium 250 mg, Fosfor
163 mg, dan Besi 6.5 mg). Rata-rata asupan Kalsium, Fosfor, dan Besi hanya
102.2±110.4 mg, 129.9±28.1 mg, dan 2.9±1.4mg. Tidak jauh berbeda dengan
mineral, rata-rata asupan vitamin sarapan contoh meliputi Vitamin A dan Vitamin
C juga belum mencukupi 15%-25% dari kecukupan sehari (Vitamin A 150 RE
dan Vitamin C 16.3 atau 18.8 mg). Rata-rata asupan Vitamin A adalah 52.7±60.2
RE dan rata-rata asupan Vitamin C adalah 1.6±3.2 mg. Hal ini menunjukkan
bahwa contoh sedikit mengkonsumsi pangan sarapan yang banyak mengandung
vitamin dan mineral terlihat dari dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi
contoh yaitu kurang konsumsi sayur, buah, dan susu (Tabel 15). Kontribusi
60

vitamin dan mineral contoh termasuk dalam kategori tinggi (kontribusi Fosfor
28.9%) dan rendah (kontribusi Kalsium 10.2%, Besi 11.2%, Vitamin A 8.8% dan
Vitamin C 2.3%). Hal ini menunjukkan bahwa saat sarapan konsumsi sayur dan
buah yang merupakan sumber vitamin dan mineral sebagian besar contoh relatif
masih rendah.
Rata-rata asupan mineral sarapan contoh pada hari sekolah lebih tinggi
dibandingkan dengan hari libur. Rata-rata asupan Kalsium, Fosfor, dan Besi
pada hari sekolah adalah 106.3±127.8 mg, 134.6±145.7 mg, dan 2.9±1.6 mg.
Rata-rata konsumsi Kalsium, Fosfor, dan Besi contoh pada hari libur adalah
77.6±133.4 mg, 102.0±112.8 mg, dan 3.0±3.4 mg. Hal ini menunjukkan contoh
pada hari sekolah lebih banyak mengonsumsi pangan sarapan sumber Kalsium,
Fosfor, dan Besi seperti susu dan telur ayam. Namun berbeda dengan rata-rata
asupan vitamin sarapan contoh saat hari libur dan sekolah. Rata-rata asupan
vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi dibandingkan dengan hari
sekolah. Rata-rata asupan Vitamin A dan Vitamin C pada hari libur adalah
55.4±85.3 RE dan 2.1±6.9 mg. Rata-rata asupan Vitamin A dan Vitamin C pada
hari sekolah adalah 52.2±69.2 RE dan 1.5±3.5 mg. Hal ini dikarenakan pada hari
libur contoh lebih banyak tersedia sarapan yang lebih lengkap (nasi, lauk pauk,
sayur, buah dan minuman serta jajanan) dan selalu menyediakan menu
berbahan dasar pangan sumber Vitamin A yaitu wortel, bayam, caysim, dan ubi
jalar. Asupan Vitamin A sarapan contoh hari libur yang tinggi masih dapat
dinyatakan aman karena masih dibawah UL (Tolerable Upper Level Intake)
Vitamin A yaitu 40.000-55.000 µg RE (Almatsier 2004). Kontribusi mineral
sarapan contoh pada hari sekolah lebih besar daripada hari libur, sedangkan
kontribusi vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih besar daripada hari
sekolah. Kontribusi Kalsium, Fosfor, dan Besi sarapan contoh pada hari sekolah
adalah 10.6%, 29.9%, dan 11.1% dan kontribusi Kalsium, Fosfor, dan Besi
sarapan contoh pada hari libur adalah 7.8%, 22.7%, dan 11.6%. Sedangkan
kontribusi Vitamin A dan Vitamin C pada hari sekolah adalah 8.7% dan 2.2% dan
kontribusi Vitamin A dan Vitamin C pada hari libur adalah 9.2% dan 3.0%.
Kualitas Sarapan
Kualitas sarapan dilihat dari mutu pangan yang dikonsumsi. Menurut
Hardinsyah (2012), sarapan sehat mengandung energi cukup (15-25% dari
kebutuhan energi per hari), serat makanan cukup, rendah lemak, rendah glukosa
dan karbohidrat sederhana, serta minuman. Kontribusi energi sarapan contoh
61

dijadikan variabel untuk menggambarkan kualitas sarapan contoh. Kualitas


sarapan tinggi bermakna contoh mengkonsumsi sarapan dengan kontribusi
sudah lebih dari 25% dari AKG sehari. Kualitas sarapan sedang ditandai dengan
contoh mengkonsumsi sarapan dengan kontribusi sarapan 15%-25% dari AKG
sehari. Kualitas sarapan rendah ditandai dengan contoh mengkonsumsi sarapan
dengan kontribusi kurang dari 15% dari AKG sehari (Preziosi et al.1999).
Tabel 20 menunjukkan bahwa separuh contoh (54.4%) termasuk dalam
kategori kualitas sarapan rendah, sedangkan lebih dari seperempat contoh
lainnya (36.8%) termasuk dalam kategori kualitas sarapan sedang dan hanya
sedikit (8.8%) contoh yang memiliki kualitas sarapan tinggi. Contoh dengan
kualitas sarapan tinggi cenderung mempunyai menu sarapan dengan komposisi
lebih lengkap (nasi, lauk pauk, sayur atau susu) atau makanan sepinggan dan
lauk pauk (nasi goreng dan telur ceplok) sehingga menyumbangkan asupan
energi lebih tinggi. Umumnya contoh dengan kualitas sarapan tinggi selalu
sarapan dengan nasi, roti, buah, sayur, dan susu. Contoh dengan kualitas
sarapan yang rendah sangat sering sarapan dengan jajanan (nasi ketan abon,
gorengan, dan lontong isi oncom/kentang) dan minuman (teh manis). Hal ini
dikarenakan contoh dengan kualitas sarapan rendah sering tidak sarapan
sehingga cenderung mengonsumsi jajanan. Studi di Eropa pada 195 anak usia
sekolah memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20%
kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan
kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang
mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997).
Kebutuhan lemak bagi remaja sebesar 25-30% dari kebutuhan energi,
karbohidrat sekitar 55-70% dari kebutuhan sehari dan dianjurkan kebutuhan
serat 25 g/hari (Almatsier 2004). Apabila dilakukan estimasi jumlah asupan yang
dianjurkan untuk waktu sarapan, maka contoh harus memenuhi karbohidrat 51.6-
85.9 g, lemak 9.2-15.3 g, dan serat 3.8-6.3 g. Rata-rata asupan karbohidrat
kompleks, lemak, dan serat contoh ketika sarapan adalah 36.4±13.6 g, 16.6±11.4
g, dan 1.1±0.8 g (Tabel 16). Rata-rata asupan lemak contoh pada saat sarapan
lebih dari jumlah yang dianjurkan bagi remaja, akan tetapi rata-rata asupan
karbohidrat kompleks dan serat contoh saat sarapan masih termasuk rendah.
Seluruh contoh (100%) termasuk rendah asupan serat, 85.3% contoh
termasuk rendah asupan karbohidrat kompleks, dan hampir separuh contoh
(55.9%) termasuk tinggi asupan lemak. Jenis menu sarapan contoh lebih banyak
62

diolah dengan teknik deep frying seperti ayam goreng, tempe goreng, tahu
goreng, ikan tongkol goreng, bakwan dan tempe tepung goreng, selain itu sedikit
konsumsi sayur dan buah sehingga menyebabkan asupan lemak lebih dari yang
dianjurkan dan asupan serat sangat rendah.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan sarapan sehat


Kategori sarapan n %
Tidak sehat (0 kriteria) 2 2.9
Kurang sehat (1-2 kriteria) 65 95.6
Cukup sehat (3 kriteria) 1 1.5
Sehat (4 kriteria) 0 0.0
Total 68 100.0
Keterangan:
Tidak sehat : sarapan yang tidak mengandung energi cukup, karbohidrat cukup, serat
cukup, dan rendah lemak.
Kurang sehat : hanya memenuhi 1-2 kriteria sarapan sehat (energi cukup,rendah lemak/
karbohidrat cukup).
Cukup sehat : memenuhi 3 kriteria sarapan sehat (energi cukup, karbohidrat cukup, dan
rendah lemak.)
Sehat : sarapan mengandung energi cukup, karbohidrat cukup, serat cukup, dan
rendah lemak.

Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (95.6%) termasuk


dalam kategori kurang sarapan. Diantara contoh dengan kualitas sarapan
sedang dan tinggi (45.6%), tidak ada contoh yang melakukan sarapan sehat,
melainkan 44.1% contoh yang termasuk kategori sarapan kurang sehat dan
hanya 1.5% contoh yang termasuk kategori sarapan cukup sehat. Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh contoh belum melakukan sarapan sehat
dikarenakan sulit bagi contoh untuk memenuhi sarapan sehat. Padahal sarapan
akan menyumbangkan karbohidrat kompleks yang mempengaruhi pelepasan
hormon gastric inhibitory peptide, glucagon-like peptide-1, dan cholecystokinin
yang mempengaruhi gula darah dan memberikan rasa kenyang. Sarapan juga
akan menyumbangkan protein dan lemak yang cukup sehingga mempengaruhi
sekresi grelin dan nafsu makan, selain itu sarapan akan menyumbangkan serat
yang dapat memberikan efek kenyang (Gail 2005 dan Marangoni 2009 dalam
Briawan et al. 2012).

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kebiasaan Sarapan


Karakteristik contoh meliputi karakteristik individu dan keluarga
(pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan orangtua dan besar keluarga).
Kebiasaan contoh dibedakan menjadi tiga, yaitu selalu, kadang-kadang dan
jarang sarapan. Hubungan karakteristik contoh dengan kebiasaan sarapan dapat
dilihat pada Tabel 18.
63

Tabel 18 Hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan


Kebiasaan Sarapan
Jarang Kadang- Selalu Jumlah
Karaketeristik keluarga
kadang
n % n % n % n %
Pendidikan Ibu:
- Rendah 3 4.4 33 48.5 31 45.6 67 98.5
- Tinggi 1 1.5 0 0.0 0 0.0 1 1.5
Pekerjaan Ibu:
- Tidak bekerja 3 4.4 29 42.6 26 38.2 58* 85.3
- Bekerja 1 1.5 4 5.9 3 4.4 8 11.8
Pendapatan orang tua (Rp/bulan):
- < Rp. 500.000 1 1.5 1 1.5 1 1.5 3 4.4
- Rp. 500.000-999.000 0 0.0 2 2.9 9 13.2 11 16.2
- Rp. 1.000.000-1.499.000 2 2.9 9 13.2 9 13.2 20 29.4
- Rp. 1.500.000-1.999.000 0 0.0 5 7.4 3 4.4 8 11.8
- Rp. 2.000.000-2.499.000 0 0.0 9 13.2 2 2.9 11 16.2
- Rp. 2.500.000-4.999.000 0 0.0 4 5.9 4 5.9 8 11.8
- > Rp. 5.000.000 1 1.5 3 4.4 3 4.4 7 10.3
Besar keluarga :
- Kecil 0 0.0 1 1.5 3 4.4 4 5.9
- Besar 4 5.9 32 47.1 28 41.2 64 94.1
*2 contoh sudah tidak memiliki ibu karena meninggal dunia

Berdasarkan Tabel 18, pendidikan ibu yang memiliki anak dengan


kadang-kadang sarapan (48.5%) adalah ibu yang memiliki pendidikan rendah (≤
SMA). Hasil uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara
pendidikan ibu dengan kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Seseorang
yang memiliki tingkat pendidikan formal tinggi diharapkan memiliki pengetahuan
gizi yang tinggi pula. Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi
pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka skor keragaman konsumsi
pangan juga semakin tinggi (Hardinsyah 2007). Penelitian Madanijah (2003)
menunjukkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan
pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki
pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan
pengasuhan anak yang baik. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan
kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan anak yang sehat dan
bergizi. Siega et al. (1998) juga memaparkan kebiasaan sarapan anak yang baik
berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi. Penelitian Hermina
et al. (2009) juga membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara
64

pendidikan ibu dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri (p<0.05). Selain
itu, siswi yang memiliki ibu berpendidikan tinggi 2 kali lebih sering (terbiasa)
sarapan dibandingkan dengan siswi yang memiliki ibu berpendidikan rendah.
Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu diasumsikan bahwa ibu akan mempunyai
kemampuan yang lebih besar dalam mengakses dan menyediakan informasi
serta pangan yang baik bagi anggota keluarganya.
Berdasarkan Tabel 18, proporsi terbesar (5.9%) contoh yang mempunyai
ibu bekerja kadang-kadang melakukan sarapan. Hasil uji Chi-Square
menunjukkan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kebiasaan
sarapan contoh (p<0.05). Siega et al. (1998) memaparkan anak yang diasuh oleh
ibu yang bekerja diluar rumah memiliki kebiasaan sarapan yang lebih rendah.
Faktor kesibukan ibu seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat
sarapan. Rohayati (2001) juga menyatakan bahwa frekuensi sarapan anak dapat
dipengaruhi oleh pekerjaan ibu. Pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan
anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya
penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan
penyusunan menu untuk keluarga.
Tabel 18 menunjukkan bahwa 1.5% contoh yang mempunyai pendapatan
orangtua per bulan kurang dari Rp. 500.000 jarang melakukan sarapan,
sedangkan 13.2% contoh yang mempunyai pendapatan orangtua per bulan Rp.
1.000.000-1.499.000 selalu melakukan sarapan setiap hari. Hasil uji Chi-Square
menunjukkan hubungan yang bermakna antara pendapatan orangtua dengan
kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Hubungan ini terlihat dari contoh yang
berpendapatan sedang dan tinggi memiliki kebiasaan sarapan yang lebih baik.
Hasil ini bermakna semakin baik keadaan ekonomi suatu keluarga maka
kebiasaan sarapan semakin baik pula. Hal ini terkait dengan kemampuan
keluarga dalam menyediakan sarapan. Keluarga dengan pendapatan terbatas
kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya,
sehingga pendapatan diduga berkaitan dengan kebiasaan sarapan seseorang
(Sukandar 2007). Hasil studi Siega et al. (1998) juga menunjukkan adanya kaitan
antara pendapatan dengan kebiasaan sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat
pendapatan keluarga makan kebiasaan konsumsi sarapan juga akan semakin
tinggi.
Tabel 18 menunjukkan bahwa proporsi terbesar (5.9%) contoh yang
mempunyai keluarga dengan kategori besar (>4 orang) jarang sarapan. Hasil uji
65

Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara besar keluarga


dengan kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Banyaknya jumlah anggota
keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi
status gizi anggota keluarga (World Bank 2006). Menurut Sukandar (2007),
terdapat hubungan antara besar keluarga, pendapatan, dan konsumsi pangan
yang berarti keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit
untuk memenuhi kebutuhan pangannya apabila dibandingkan dengan keluarga
yang jumlah anak sedikit. Besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian
makanan dalam keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan individu. Semakin besar
keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu terkait
dengan kemampuan keluarga.

Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kebiasaan Sarapan dengan


Kualitas Sarapan
Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu
menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak,
serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C (Abalkhail & Shawky
2002). Kebiasaan sarapan membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan
gizinya sehari-hari. Konsumsi sarapan dapat meningkatkan fungsi kognitif yang
berhubungan dengan memori, nilai ujian, dan kehadiran di sekolah. Sarapan
sebagai bagian dari diet sehat dan gaya hidup positif dapat mempengaruhi
kesehatan anak dan kesejahteraan (Depkes 2005).
Berdasarkan Tabel 19, hampir separuh contoh (41.2%) yang memiliki
pengetahuan gizi sedang memiliki kualitas sarapan rendah. Hasil uji Pearson
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata negatif antara pengetahuan gizi
dan kualitas sarapan (p>0.05) dan nilai koefisien korelasi p=0.275 dan r=-0.134.
Hubungan ini terlihat dari kategori pengetahuan gizi sedang hanya 41.2%
memiliki kualitas konsumsi sarapan rendah. Hal ini berarti terdapat kecendrungan
dimana tingkat pengetahuan gizi yang semakin tinggi belum tentu diikuti dengan
semakin baiknya kualitas konsumsi sarapan contoh. Oleh karena itu, belum tentu
contoh dengan tingkat pengetahuan gizi tinggi dapat memahami dan
mengaplikasikan dengan baik pengetahuannya tersebut untuk konsumsi sarapan
yang baik setiap harinya. Remaja putri merupakan golongan umur yang sensitif
terhadap perilaku makan. Golongan ini mulai menjaga penampilan tubuh
(Soetardjo 2011).
66

Tabel 19 Hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan


kualitas sarapan contoh
Kualitas sarapan
Variabel Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Pengetahuan gizi:
- Rendah 4 57.1 2 28.6 1 14.3 7 100.0
- Sedang 28 57.1 17 34.7 4 8.2 49 100.0
- Tinggi 5 41.6 6 50.0 1 8.4 12 100.0
Kebiasaan sarapan:
- Jarang 4 100.0 0 0.0 0 0.0 4 100.0
- Kadang-kadang 25 75.8 5 15.1 3 9.1 33 100.0
- Selalu 8 25.8 20 64.5 3 9.7 31 100.0

Tabel 19 juga menunjukkan contoh yang jarang dan kadang-kadang


sarapan mempunyai kualitas sarapan rendah (42.6%) dan contoh yang selalu
sarapan mempunyai kualitas sarapan sedang (29.4%). Hasil uji korelasi Pearson
menunjukkan ada hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan
kualitas sarapan (p<0.01) dan nilai koefisien korelasi p=0.000 dan r=0.539. Hasil
ini bermakna semakin tinggi kualitas sarapan maka semakin baik juga kebiasaan
sarapannya. Hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan sarapan contoh yang memiliki
kualitas sarapan tinggi lebih banyak mengkonsumsi nasi, lauk pauk, sayur dan
susu atau makanan sepinggan dan lauk pauk (nasi goreng dan telur ceplok).
Sedangkan contoh yang tidak selalu sarapan cenderung lebih banyak
mengkonsumsi sarapan dengan makanan sepinggan (mie rebus, bubur ayam,
mie ayam) atau minuman (teh gelas, teh manis, dan teh sisri) dan jajanan
tradisional (batagor, bakwan, dan tempe tepung goreng), sehingga contoh yang
selalu sarapan menyumbang energi lebih tinggi dibandingkan dengan contoh
yang tidak biasa sarapan.
Hasil studi ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sjoberg et al. (2003)
dalam Matthys et al. (2006), remaja putri (15-16 tahun) yang sarapan secara
teratur memiliki asupan energi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja yang tidak teratur sarapan. Remaja yang mengonsumsi sarapan secara
rutin memiliki asupan karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan asupan
lemak yang lebih rendah daripada mereka yang tidak sarapan (Rampersaud et
al. 2005). Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan
dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi,
Magnesium dan Seng.
Menurut Matthys et al. (2006), perempuan dengan kualitas sarapan baik
memiliki asupan yang relatif lebih tinggi pada total protein dan polisakarida, dan
67

asupan yang relatif lebih rendah pada total asam lemak tak jenuh tunggal dan
asam lemak tak jenuh ganda. Remaja yang mempunyai kualitas sarapan yang
baik secara signifikan memiliki asupan yang lebih tinggi yang berasal dari roti,
buah, sayuran, buah, susu dan hasil olahan susu. Sedangkan remaja yang
mempunyai kualitas sarapan rendah secara signifikan asupannya lebih rendah
karena cenderung lebih banyak minuman mengandung gula.
Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang
tidak sarapan lebih rendah 362 Kalori dibandingkan seseorang yang sarapan.
Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan
lipidemia. Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah memberi gambaran ketika
anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20% kebutuhan total energi per hari,
maka hasil performa ketahanan fisik dan kreatifitas anak secara signifikan lebih
baik dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi energi hanya 10% dari
kebutuhan (Wyon et al. 1997).
Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan
kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain
lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak
sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang
mengakibatkan menurunnya pretasi belajar (Depkes 2005). Studi yang dilakukan
di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak
yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya
konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun
secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003).
Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi
dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah.

Hubungan Kualitas Sarapan dengan Status Anemia


Menurut Rampersaud et al. (2005), remaja yang mengkonsumsi sarapan
secara rutin memiliki asupan karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan
asupan lemak yang lebih rendah daripada mereka yang tidak sarapan.
Perempuan dengan kualitas sarapan baik memiliki asupan yang relatif lebih
tinggi (Matthys et al. 2006), Sedangkan yang tidak sarapan dapat menyebabkan
defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng
(Ruxton & Kirk 1997).
68

Tabel 20 Hubungan kualitas sarapan dengan status anemia


Status anemia
Jumlah
Kualitas Sarapan Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
Rendah 9 13.2 28 41.2 37 54.4
Sedang 3 4.4 22 32.4 25 36.8
Tinggi 1 1.5 5 7.4 6 8.8

Tabel 20 menunjukkan kualitas sarapan tinggi lebih banyak pada contoh


yang tidak anemia (7.4%) dibandingkan contoh anemia (1.5%). Hampir separuh
contoh tidak anemia (41.2%) mempunyai kualitas sarapan rendah. Berdasarkan
penelitian Permaesih & Herman (2005) menunjukkan remaja 10-19 tahun yang
memiliki kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.4-0.9) dan konsumsi energi yang
cukup (OR=0.7; 95% CI: 0.6-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
anemia. Namun, menujukkan hasil yang berbeda yaitu hasil uji Pearson
menunjukkan tidak terdapat hubungan nyata negatif antara kualitas sarapan
contoh dengan status anemia contoh (p>0.05) dan nilai koefisien korelasi
p=0.844 dan r=-0.024. Diduga dalam penelitian ini, sebaran contoh tidak anemia
tidak merata karena remaja yang memiliki kualitas sarapan rendah (41.2%)
banyak berstatus tidak anemia. Selain itu, diduga terdapat faktor lain yang dapat
mempengaruhi kejadian anemia seperti pola konsumsi pangan yang kurang
beragam, menstruasi, dan penyakit infeksi (Ernawati dan Saidin 2008).
Hasil uji statistik tersebut bermakna terdapat kecendrungan semakin
rendah kualitas sarapan belum tentu diikuti dengan status anemia yang tidak
normal. Walaupun contoh anemia ditandai dengan kebiasaan sarapan seperti
jajanan tradisional dan minuman (lontong isi kentang, bakwan, tahu isi tauge,
tempe tepung goreng, dan teh manis, serta kopi susu) dan makanan sepinggan
(bakso dan bubur ayam). Selain itu, asupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor,
Besi, Vitamin A, dan Vitamin C pada contoh anemia adalah 294±125 kkal,
9.1±4.2 g, 130.7±209.0 mg, 150.8±249.4 mg, 2.5±1.1 mg, 39.7±48.7 RE, 2.3±5.5
mg, namun menunjukkan hasil yang tidak berhubungan nyata. Hal ini sejalan
dengan penelitian Abalkhail & Shawky (2002) menyatakan meskipun anemia
lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak makan sayuran
dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak
signifikan.
Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di
dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorpsi besi, yaitu faktor yang
mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Pangan hewani ataupun
69

nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Zat besi
yang berasal dari pangan nabati jumlah yang dapat diserap hanya berkisar 1%-
6%, dan zat besi yang dapat diabsorpsi berasal dari pangan hewani 7%-22%.
Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya
zat besi sehingga apabila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan
pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi
dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi
dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat
besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat
membantu penyerapan zat besi, yaitu vitamin C, makanan hasil fermentasi dan
pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat
penyerapan zat besi antara lain makanan yang mengandung tanin, fitat, dan
Kalsium (Almatsier 2004). Kopi dan teh merupakan minuman yang dapat
menghambat penyerapan besi karena kopi banyak mengandung polifenol (tanin).
Konsumsi kopi dan teh setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga
39% sehingga apabila sering mengkonsumsi setelah makan makan akan
menyebabkan anemia (Morck et al. 1983). Dampak anemia terhadap daya pikir
akan mempengaruhi remaja didalam prestasi di sekolah. Anemia dapat
menurunkan IQ sekitar 5-10%. Anemia juga berdampak pada imunitas sehingga
mempengaruhi menurunnya produktivitas secara tidak langsung melalui
seringnya tidak masuk sekolah karena sakit (Ernawati & Saidin 2008).
70

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Rata-rata usia contoh dalam penelitian adalah 16.6±0.74 tahun.
Prevalensi anemia dalam penelitian ini adalah 19.1%. Masalah gizi pada contoh
yaitu kegemukan dan stunted. Lebih dari separuh contoh diberikan uang saku
dengan kategori sedikit (Rp 12.361). Sebagian besar pendidikan dan pekerjaan
ibu contoh adalah SD dan ibu rumah tangga. Sebagian besar pendapatan
orangtua contoh (29.4%) adalah Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan. Persentase
contoh yang memiliki keluarga hanya dengan 2 anak masih sangat sedikit.
Sebagian besar ayah dan ibu contoh berasal dari suku sunda.
Hampir tiga per empat contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang
sedang. Nilai pengetahuan gizi contoh berkisar antara 40 sampai 86.7 dengan
rata-rata 68.5. Namun, masih terdapat contoh yang tidak dapat menjawab
dengan baik tentang fungsi zat besi bagi tubuh, sumber pangan hewani yang
tinggi zat besi, jenis minuman yang menghambat penyerapan, dan jenis vitamin
yang membantu penyerapan besi dalam tubuh.
Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari. Separuh
contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang memberikan
peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan zat gizi untuk
melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan memenuhi
kebutuhan tubuh dan sisanya mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari
yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi sedang. Makanan
dan minuman saat sarapan yang baik menurut contoh adalah roti dan susu.
Seluruh contoh menyatakan sarapan penting, namun seluruh contoh juga pernah
tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat. Hampir seluruh contoh
menyatakan sebaiknya ibu yang menyiapkan sarapan dan terdapat aturan
kewajiban sarapan di rumah sebelum memulai aktivitas.
Hampir separuh contoh biasa melakukan sarapan setiap hari yang
dilakukan pada pukul 06.00-06.59 WIB (hari sekolah) dan 08.00-08.59 WIB (hari
libur). Hampir separuh contoh tidak anemia dan tidak gemuk selalu melakukan
sarapan setiap hari. Sebagian besar menu sarapan contoh adalah makanan
sepinggan. Contoh tidak anemia lebih sering sarapan dengan nasi dan lauk pauk
dibandingkan contoh anemia. Jenis menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada
hari sekolah lebih banyak didominasi dengan makanan sepinggan, jajanan, dan
minuman.
71

Separuh contoh termasuk dalam kategori kualitas sarapan rendah


ditandai dengan konsumsi jajanan dan minuman (teh manis) yang lebih sering.
Seluruh contoh belum melakukan sarapan sehat. Rata-rata asupan energi,
protein, dan vitamin sarapan contoh pada hari libur juga lebih tinggi daripada hari
sekolah. Kontribusi energi masih termasuk kategori sedang dan kontribusi
mineral dan vitamin termasuk kategori rendah. Jenis menu sarapan contoh lebih
banyak tidak makan sarapan bergizi seimbang karena hanya terbatas pada
makanan sepinggan yang kaya karbohidrat; sedikit konsumsi sayur dan buah;
serta lebih sering konsumsi jajanan tradisional.
Terdapat hubungan karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
pendapatan orangtua, dan jumlah anggota keluarga) dengan kebiasaan sarapan
(p<0.05). Terdapat hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan
kualitas sarapan (p=0.000; r=0.539). Namun, tidak terdapat hubungan nyata
negatif antara pengetahuan gizi dan kualitas sarapan (p=0.275; r=-0.134). Tidak
terdapat hubungan nyata antara kualitas sarapan contoh dengan status anemia
contoh (p=0.844; r=-0.024). Namun, terdapat hubungan kebiasaan sarapan
dengan status anemia (p<0.05).

Saran
Hasil penelitian menunjukkan asupan dari sumber serat (sayur dan buah)
masih sangat rendah sehingga remaja harus dibiasakan pada saat sarapan
untuk menyukai berbagai macam sayur dan buah sejumlah 45 g (setara dengan
½ mangkuk sayur). Seorang ibu diharapkan dapat lebih memahami pentingnya
sarapan pada remaja serta mengatur alokasi waktu yang optimal dalam
penyediaan sarapan, sehingga sarapan pangan yang tersedia memadai tidak
hanya kuantitas melainkan kualitas gizinya juga. Pemberian penyuluhan kepada
remaja penting dilakukan terkait pentingnya sayur dan buah, serta pengetahuan
gizi terutama tentang fungsi zat besi bagi tubuh, sumber pangan hewani yang
tinggi zat besi, jenis minuman yang menghambat penyerapan, dan jenis vitamin
yang membantu penyerapan besi dalam tubuh. Pihak sekolah dan pemerintah
juga disarankan untuk ikut serta dalam memberikan himbauan kepada
masyarakat tentang pentingnya melakukan sarapan sejak dini baik melalui
berbagai media atau menyisipkan salah satu bahan pojok ajaran terkait sarapan
dalam kurikulum pendidikan sebagai upaya penerapan gizi seimbang.
72

DAFTAR PUSTAKA

Abalkhail B & Shawky S. 2002. Prevalence of daily breakfast intake, iron


deficiency anaemia, and awareness of being anaemic among Saudi
school students. International Journal of Food Sciences and Nutrition,
53, 519-528.

Adimuntja C, Nugroho YA, Widowati L. 2008. Hubungan perilaku konsumsi


aktifitas fisik dengan kejadian anemia pada anak remaja daerah urban di
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI.

Affenito SG. 2007. Breakfast: A missed opportunity. J Am Diet Assoc, 107, 565-
569.

__________, Thompson DR, Barton BA, Franko DL, Daniels SR. 2005. Breakfast
consumption by african-american and white adolescent girls correlates
positively with calcium and fiber intake and negatively with body mass
index. Journal of the American Dietetic Association, 105, 938-945.

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Anderson JJB. 1991. The status of adolescent nutrition. Nutrition Today, 26, 7-
10.

[Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset


Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Balitbangkes.

[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2007. BKKBN No


28/HK/-010/B5/2007 tentang Visi, Misi, dan Grand Strategi. Jakarta:
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Bonnie L. 1998. The great breakfast debate. American Journal of Clinical


Nutrition, 67, 779.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Data Sensus BPS. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.

Briawan D. 2008. Efikasi Suplementasi Besi Multivitamin terhadap Perbaikan


Status Besi Remaja Wanita [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Briawan D et al. 2012. Naskah Akademik Pekan Sarapan Nasional (PESAN).


Jakarta: PERGIZI PANGAN, PERSAGI, PDGMI, PDGKI.

Cho S, Dietrich M, Brown CJ, Clark CA, Block G. 2003. The effect of breakfast
type on total daily energy intake and body mass index: results from the
Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). J
Am Coll Nutr, 22 (4), 296-302.

Darmayanti C. 2010. Kebiasan Sarapan pada Remaja Siswa Sekolah Menengah


Pertama dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya [Skripsi]. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
73

Den Hartog AP, van Staveren WA, Brouwer. 2006. Food Habits and
Consumption in Developing Countries. The Netherlands: Wageningen
Academic Publishers.

[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman


Penyuluhan Gizi pada Anak Sekolah bagi Petugas Penyuluh. Jakarta
(ID): Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat.

___________________________________________. 2005. Pedoman Umum


Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI, Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat.

Eastwood M. 2003. Principle of Human Nutrition (Second Edition). Edinburgh:


Blackwell Publishing.

Ernawati F & Saidin M. 2008. Determinan status anemia siswa SLTA di DKI
Jakarta. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 31 (2), 82-87.

Fiore H, Travis S, Whalen A, Auinger P, Ryan S. 2006. Potentially protective


factors associated with healhful body mass index in adolescents with
obese and nonobese parents: a secondary data analysis of the third
national health and nutrition examination survey 1988-1994. Journal of
the American Dietetic Association, 106, 55-64.

Hardinsyah. 2007. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan.


Jurnal Gizi dan Pangan, 2(2), 55-74.

_________. 2012. Keynote speech for healthy breakfast symposium. Pergizi


Pangan Indonesia. http://pergizi.org/index.php/berita-dan-kegiatan/16-
hbs-simposium.html [diakses 24 September 2012].

_________ & Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.


Bogor: Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

_________ & Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi.

Hermina, Nofitasari A, Anggorodi R. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi


kebiasaan makan pagi pada remaja putri di Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 32 (2), 94-100.

Hurlock EB. 1999. Psikologi Pekembangan Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.

Khan A. 2005. The Relationship between Breakfast, Academic Performance, and


Vigilance in School Aged Children. Australia: School of Education,
Division of Arts, Murdoch University.

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi


Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, Institut
Pertanian Bogor.
74

__________. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, Institut
Pertanian Bogor.

Kral et al. 2010. Effect of eating breakfast compared with skipping breakfast on
ratings of appetite and intake at subsequent meals in 8 to 10 years old
children. Philadelphia: Department of Psychiatry, University of
Pennsylvania.

Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat
Gizi Seimbang. Jakarta: PT. Gramedia.

Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “Gi Psi Sehat” bagi Ibu serta Dampaknya
terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan,
dan Status Gizi Anak Usia Dini [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Matthys C, Henauw SD, Bellemans M, Maeyer MD, Backer GD. 2006. Breakfast
habits affect overall nutrient profiles in adolescent. Public Health
Nutrition, 10 (4), 413-421.

Michaud C, Musse N, Nicholas JP, Mejean L. 2001. Effect of breakfast size on


short term memory, concentration, mood, and blood glucose. J Adolesc
Health, 12, 53-57.

Moehji S. 2000. Ilmu Gizi 1 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: PT. Bhratara
Niaga Media.

Morck TA, Lynch SR, Cook JD. 1983. Inhibition on food iron absorption by coffee.
Am J Clin Nutr, 37, 416-420.

Mudjianto TT, Susanto D, Luciasari E, Hermina. 1994. Kebiasaan makan


golongan remaja di enam kota besar di Indonesia. Jurnal Penelitian Gizi
dan Makanan, 17, 98-107.

Nasoetion A & Riyadi H. 1995. Gizi Terapan. Jakarta: Depdikbud Dirjen


Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan.

Notoatmojo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pardede N. 2002. Masa Remaja dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak Edisi
ke-1. Jakarta: Sagung Seto.

Pearson N, Biddle SJ, Gorely T. 2009. Family correlates of breakfast


consumption among children and adolescents: A systematic review.
Appetite, 52,1-7.

Permaesih D & Herman S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada


remaja. Buletin Penelitian Kesehatan, 33 (4), 162.

Preziosi P et al. 1999. Breakfast type, daily nutrient intakes and vitamin and
mineral status of french children, adolescents, and adults. Journal of the
American College of Nutrition, 18 (2), 171-178.

Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, Metzl JD. 2005. Breakfast
habits, nutritional status, body weight, and academic performance in
75

children and adolescents. Journal of the American Dietetic


Association,105, 743-760.

Rahkonen AK, Kaprio J, Rissanen A, Virkkunen M, Rose RJ. 2003. Breakfast


skipping and health compromising behaviors in adolescents and adults.
European Journal of Clinical Nutrition, 57, 842-853.

Reddan J, Wahlstrom K, Reicks M. 2002. Children’s perceived benefits and


barriers in relation to eating breakfast in schools with or without
Universal School Breakfast. J Nutr Educ Behav, 34, 47-52.

Rohayati. 2001. Perilaku Makan Pagi dan Jajan Anak Sekolah Penerima PMT AS
di Daerah Pantai dan Pegunungan Provinsi NTT [Skripsi]. Bogor:
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ruxton CH & Kirk TR. 1997. Breakfast (A review of associations with measures
of dietary intake, physiology and biochemistry). Br J Nutr, 78, 199-213.

Saidin S, Krisdinamurtirin Y, Murdiana A, Moecherdiyantiningsih, Karyadi LD,


Murni S. 1991. Hubungan kebiasaan makan pagi dengan konsentrasi
belajar. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 14, 60-73.

Saraswati E & Sumarno I. 1997. Perbedaan tingkat pengetahuan anemia remaja


putri sekolah menengah umum anemia dan non anemia di enam Dati II
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 20, 16-27.

Sarwono S. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian
Rakyat.

Shaw ME. 1998. Adolescent breakfast skipping. Adolescence, 33, 851-861.

Siega RA, Popkin BM, Carson T. 1998. Trends in breakfast consumption for
children in the United States from 1965 to 1991. Am J Clin Nutr, 67,
748S-56S.

Smith KJ et al. 2010. Skipping breakfast: Longitudinal associations with


cardiometabolic risk factors in the childhood determinants of adult health
study. Am J Clin Nutr, 92(6),1316-25.

Soetardjo S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi.
Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Svenskarin N. 2012. Kebiasaan Sarapan Anak Sekolah Dasar pada Ibu Bekerja
dan Tidak Bekerja [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
76

Ulfa M & Latifah M. 2007. Hubungan pola asuh makan, pengetahuan gizi,
persepsi, dengan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di
perkotaan dan pedesaan Bogor. Media Gizi dan Keluarga, 31 (1), 30-41.

Warthington R. 2000. Nutrition Throughout The Life Cycle. Editors: William SR.
Boston: McGraw Hill.

Wesnes KA, Pincock C, Richardson D, Helm G, Hails S. 2003. Breakfast reduces


declines in attention and memory over the morning in schoolchildren.
Appetite, 41(3), 329-331.

Wei Lin, Yang HC, Hang CM, Pan WH. 2007. Nutrition knowledge, attitude, and
behaviour of Taiwanese elementary school children. Asia Pac J Clin
Nutr, 16(S2), 534-546.

[WHO] World Health Organization. 2001. Iron deficiency anaemia: assesment,


prevention, and control. A guide programme manager. Geneva: WHO.

____________________________. 2007. Growth reference 5-19 years.


http://www.who.int/growthref/who2007_bmi_for_age/en/index.html
[diakses 5 Desember 2012]

[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.

World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Centarl to Development, A Strategy


for large-scale action. USA: World Bank.
Wyon DP, Abrahamsson L, Jartelius M, Fletcher RJ. 1997. An experimental study
of the effects of energy intake at breakfast on test performance of 10
years old children in school. Int J Food Sci Nutr, 48, 5-12.

Zullig K, Ubbes VA, Pyle J, Valois RF. 2006. Self-reported weight perceptions,
dieting, behaviour, and behaviour eating among high school
adolescents. Journal of School Health, 76, 87-92.
77

LAMPIRAN
78

Lampiran 1 Konsep sarapan

No Indikator n %
1. Sebaiknya sarapan setiap hari sekolah
Ya 68 100
Tidak 0 0.0
2. Sebaiknya sarapan saat hari libur
Ya 66 97.1
Tidak 2 2.9
3. Jam sarapan
05.00-05.59 1 1.5
06.00-06.59 29 42.6
07.00-07.59 35 51.5
08.00-09.00 3 4.4
4. Sarapan sebaiknya disiapkan oleh
Ibu 62 91.2
Anggota keluarga 0 0.0
Pembantu 0 0.0
Sendiri 4 8.8
5. Sebaiknya didalam keluarga responden mempunyai
peraturan untuk sarapan sebelum berangkat sekolah
Ya 55 80.9
Tidak 13 19.1
6. Alasan sebaiknya didalam keluarga responden
mempunyai peraturan untuk sarapan sebelum berangkat
sekolah
Jika Ya
a. Agar lebih konsentrasi 7 10.3
b. Tidak lemas sehingga dapat melancarkan aktivitas 11 16.2
c. Sumber energi dan zat gizi 4 5.9
d. Sarapan penting untuk mencegah sakit/tetap sehat 24 35.3
e. Menjaga pola makan 2 2.9
f. Terbentuk kebiasaan sarapan 7 10.3
Jika Tidak
a. Tidak terbiasa sarapan 8 11.8
b. Tidak setiap hari tersedia sarapan di rumah 2 2.9
c. Tidak diwajibkan/diharuskan sarapan 3 4.4
7. Sarapan adalah
a. Makan di pagi hari sebagai sumber energi dan zat gizi agar 12 17.6
perasaan, berpikir, dan stamina lebih baik
b. Makan di pagi hari untuk mencegah sakit, tetap sehat dan 7 10.3
hidup
c. Makan di pagi hari untuk memenuhi kebutuhan 1 1.5
pokok/kebutuhan tubuh/jasmani
d. Makan di pagi hari untuk menghilangkan lapar/supaya 7 10.3
kenyang/mengisi perut
e. Makan di pagi hari sebagai cadangan energi awal untuk 11 16.2
melakukan aktivitas
f. Makan diawal hari biasanya di pagi hari berupa makanan 3 4.4
dan minuman
g. Makan di pagi hari dengan makanan padat (nasi, bubur, 3 4.4
roti)
h. Makan di pagi hari dengan porsi sedang 2 2.9
i. Makan pagi untuk menjaga pola makan 1 1.5
j. Makan di pagi hari 21 30.9
79

Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan)

No Indikator n %
8. Jus, susu, teh manis bisa disebut sarapan
Ya 51 75.0
Tidak 17 25.0
9. Alasan jus, susu, teh manis bisa disebut sarapan
Jika Ya
a. Memenuhi kebutuhan cairan dan zat gizi 4 5.9
b. Sumber energi dan zat gizi 26 38.2
c. Mencegah sakit / tetap sehat 7 10.3
d. Memperlancar proses pencernaan 4 5.9
e. Memberikan kehangatan/ mengisi perut 4 5.9
f. Pelengkap sarapan (minuman) 5 7.4
g. Membantu pertumbuhan badan 1 1.5
Jika Tidak
a. Tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi dipagi hari 1 1.5
b. Tidak mengandung serat 2 2.9
c. Sarapan adalah makanan padat (bubur dan nasi) 10 14.7
mengandung karbohidrat
d. Tidak termasuk 4 sehat 5 sempurna 1 1.5
e. Tidak menyehatkan dan tidak mengenyangkan 3 4.4
10. Jajan di pagi hari bisa disebut sarapan
Ya 45 66.2
Tidak 23 33.8
11. Alasan jajan di pagi hari bisa disebut sarapan
Jika Ya
a. Jika jajan seperti makan nasi uduk, bubur, roti 29 42.6
b. Menghilangkan rasa lapar/ mengisi perut / memberikan rasa 10 14.7
kenyang
c. Menyediakan energi dan zat gizi 3 4.4
d. Mempercepat sarapan agar tidak terlambat sekolah 3 4.4
Jika Tidak
a. Tidak menyehatkan/ tidak hygiens 7 10.3
b. Jajan adalah snack di siang hari 9 13.2
c. Tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari 7 10.3
12. Contoh jajanan yang bisa disebut sarapan
a. Bubur ayam 2 2.9
b. Bubur ayam dan nasi uduk 5 7.4
c. Bubur ayam, nasi uduk, dan lontong 7 10.3
d. Bubur ayam, nasi uduk, dan roti 6 8.8
e. Bubur ayam, lontong, dan gorengan 1 1.5
f. Bubur ayam, lontong, dan roti 5 7.4
g. Bubur ayam, roti dan susu 5 7.4
h. Lontong dan gorengan 1 1.5
i. Lontong dan gorengan, roti 1 1.5
j. Lontong, roti, dan biskuit 3 4.4
k. Nasi rames dan gorengan 1 1.5
l. Nasi rames dan roti 1 1.5
m. Nasi goreng dan lontong 1 1.5
n. Nasi uduk 2 2.9
o. Nasi uduk dan roti 3 4.4
p. Nasi uduk dan gorengan, roti 5 7.4
q. Nasi uduk, nasi goreng, dan roti 1 1.5
r. Nasi, lauk pauk, dan minuman 1 1.5
s. Roti 7 10.3
t. Roti dan kue 1 1.5
u. Roti dan gorengan 2 2.9
v. Roti dan susu 5 7.4
w. Roti dan mie instan 1 1.5
x. Kue 1 1.5
80

Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan)

No Indikator n %
13. Contoh sarapan yang baik
a. Bubur ayam 3 4.4
b. Bubur ayam, nasi uduk, roti 3 4.4
c. Bubur ayam, nasi uduk, nasi goreng 1 1.5
d. Bubur ayam, nasi uduk, lontong sayur 1 1.5
e. Bubur ayam, outmeal dan susu 1 1.5
f. Bubur ayam, roti dan susu 2 2.9
g. Energen 1 1.5
h. Lontong dan roti 1 1.5
i. Nasi dan lauk pauk / sayur 7 10.3
j. Nasi, lauk pauk/sayur, dan minuman 9 13.2
k. Nasi, lauk pauk, dan sayur 1 1.5
l. Nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman 2 2.9
m. Nasi goreng 1 1.5
n. Nasi goreng + lauk pauk 1 1.5
o. Nasi goreng + roti 1 1.5
p. Nasi goreng + roti + susu 9 13.2
q. Nasi uduk dan gorengan, roti 2 2.9
r. Roti 1 1.5
s. Roti dan susu 16 23.5
t. Roti, telur, dan susu 2 2.9
u. Susu dan telur 1 1.5
v. Sereal dan susu 1 1.5
w. Susu / teh manis 1 1.5
14. Apakah sarapan responden selama ini menyehatkan
Ya 35 51.5
Tidak 33 48.5
15. Alasan sarapan responden selama ini menyehatkan
Jika Sehat
a. Terjaga keamanan/ hygiene 6 8.8
b. Makanan mengandung energi dan zat gizi 10 14.7
c. Menu sarapan bervariasi setiap hari 3 4.4
d. Sarapan lengkap sesuai dengan 4 sehat 5 sempurna 10 14.7
e. Sarapan banyak mengandung karbohidrat seperti nasi 6 8.8
Jika tidak Sehat
a. Banyak mengandung minyak dan lemak seperti gorengan 6 8.8
b. Tidak memenuhi kebutuhan gizi 4 5.9
c. Jarang atau tidak pernah sarapan 7 10.3
d. Kurang hygiene 6 8.8
e. Makan makanan pedas 2 2.9
f. Menyebabkan gangguan kesehatan atau sakit 3 4.4
g. Sering sarapan dengan mie instan 5 7.4
16. Apakah sarapan penting
Benar 68 100
Salah 0 0.0
17. 3 alasan sarapan itu penting atau tidak penting
a. Menyediakan energi dan zat gizi, sebagai cadangan energi 4 5.9
awal dan mencegah sakit
b. Menyediakan energi dan zat gizi, menjaga kesehatan dan 4 5.9
mencegah sakit
c. Menyediakan energi dan zat gizi, tidak lemas, dan 8 11.8
meningkatkan konsentrasi
d. Menyediakan energi dan zat gizi, tidak lemas, dan tidak 4 5.9
mengantuk
e. Menyediakan energi dan zat gizi, meningkatkan konsentrasi, 2 2.9
dan memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari
f. Memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari, tidak lemas, dan tidak 2 2.9
mengantuk
81

Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan)

No Indikator n %
g. Menjaga kesehatan, daya tahan tubuh dan tidak lemas 10 14.7
h. Menjaga kesehatan, mencegah kegemukan dan tidak lemas 1 1.5
i. Menjaga kesehatan, terasa kenyang dan tidak lemas 3 4.4
j. Menjaga kesehatan, mencegah sakit dan tidak lemas 10 14.7
k. Menjaga kesehatan, tidak lemas, dan meningkatkan 6 8.8
konsentrasi belajar
l. Menjaga daya tahan tubuh, mencegah sakit, dan 5 7.4
meningkatkan konsentrasi belajar
m. Meningkatkan konsentrasi belajar, mengontrol jajan di pagi 2 2.9
hari, dan tidak lemas
n. Tidak kelaparan, tidak mengganggu aktivitas, dan lebih 5 7.4
berstamina/bersemangat
o. Tidak mengantuk, tidak lemas, dan mencegah sakit 2 2.9
18. Pada saat tertentu responden pernah tidak sarapan
Ya 68 100
Tidak 0 0.0
19. Alasan responden tidak sarapan
a. Terlalu banyak menghabiskan waktu sehingga takut terlambat 3 4.4
b. Kesiangan / bangun telat 23 33.8
c. Tidak sempat/ tidak ada waktu sarapan/ terburu-buru 23 33.8
d. Malas 8 11.8
e. Tidak ada yang menyediakan sarapan/ makanan tidak 3 4.4
tersedia
f. Tidak merasa lapar dan nafsu makan 5 7.4
g. Sarapan justru menyebabkan kondisi tertentu (Ingin buang air 1 1.5
besar, mual, sakit perut)
h. Tidak terbiasa sarapan 2 2.9
20. Tiga dampak yang ditimbulkan ketika responden tidak
sarapan
a. Nyeri lambung/maag, mudah mengantuk, dan lemas 3 4.4
b. Nyeri lambung/maag, pusing, dan lemas 13 19.1
c. Nyeri lambung/maag, sulit mengerti/menerima pelajaran, dan 14 20.6
lemas
d. Nyeri lambung/maag, aktivitas terganggu, dan lemas 2 2.9
e. Nyeri lambung/maag, kelaparan, dan lemas 6 8.8
f. Nyeri lambung/maag, pingsan, dan pusing 2 2.9
g. Kelaparan, lemas, dan sulit mengerti/menerima pelajaran 6 8.8
h. Kelaparan, lemas, dan keringat dingin 3 4.4
i. Kelaparan, lemas, dan pusing 3 4.4
j. Kelaparan/tidak nyaman, lemas, dan mudah mengantuk 5 7.4
k. Lemas, pusing, dan pingsan 2 2.9
l. Lemas, pusing, dan sulit mengerti/menerima pelajaran 5 7.4
m. Lemas, mudah lupa, dan sulit mengerti/menerima pelajaran 1 1.5
n. Pusing, pingsan, dan sulit mengerti/menerima pelajaran 1 1.5
o. Tidak merasakan apapun 2 2.9
82

Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan)

No Indikator n %
21. Tiga hal yang dirasakan setelah responden sarapan
a. Aktif, tidak merasa nyeri lambung/maag, dan tidak lemas 7 10.3
b. Aktif, tidak mudah mengantuk dan segar 4 5.9
c. Aktif, mudah mengerti / menerima pelajaran, dan aktivitas 6 8.8
lancar
d. Segar, semangat, dan berstamina lebih baik 4 5.9
e. Tidak merasa nyeri lambung/maag, mudah mengerti / 9 13.2
menerima pelajaran, dan tidak lemas/semangat
f. Tidak merasa nyeri lambung/maag, tidak mudah mengantuk, 5 7.4
dan tidak lemas/semangat
g. Tidak merasa nyeri lambung/maag, tidak merasa 2 2.9
lapar/kenyang, dan aktivitas lancar
h. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak pusing, dan aktivitas lancar 4 5.9
i. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan 6 8.8
mudah mengerti / menerima pelajaran
j. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan tidak 1 1.5
mudah mengantuk
k. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan tidak 2 2.9
merasa nyeri lambung/maag
l. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan 10 14.7
segar/fit
m. Tidak mudah mengantuk, mudah mengerti / menerima 6 8.8
pelajaran, dan tidak lemas/semangat
n. Pusing, mual, dan sakit perut/ingin buang air besar 1 1.5
o. Mudah mengantuk, mual, dan sakit perut/ingin buang air besar 1 1.5
83

Lampiran 2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari

Menu Hari Ke-


Kode 7 Menu sarapan Modus
Contoh 1 2 3 4 5 6 (Hari (Hari sekolah) (Hari ke 1-7)
LIbur)
111005 13 13 13 13 13 18 13 13 13
111006 13 0 0 0 0 13 13 0 0
111009 1 25 13 7 25 0 0 25 25
111010 18 18 18 18 3 20 0 18 18
111012 0 18 2 2 7 6 2 2 2
111013 6 13 13 13 13 15 14 13 13
111014 6 6 0 0 0 13 25 6 6
111015 20 14 13 18 18 18 22 18 18
111016 25 21 21 14 25 22 14 21 22
111017 14 23 14 13 23 26 0 14 14
111018 18 18 22 0 14 0 22 18 18
111020 18 18 14 14 24 13 26 14 13
111021 13 18 18 13 18 18 13 18 18
111022 16 14 0 0 0 6 0 0 0
111023 14 0 0 13 16 0 14 13 13
111024 25 14 8 0 0 13 13 13 13
111025 13 6 6 18 13 6 8 6 6
111026 26 13 26 13 13 18 11 13 13
111027 21 22 22 21 14 22 0 22 22
111028 16 22 13 16 18 18 25 13 18
111029 6 0 13 18 0 18 0 18 18
111030 13 0 13 25 0 13 14 13 13
111031 22 23 23 22 20 20 23 20 23
111032 25 25 25 25 18 13 13 25 25
111033 0 0 6 0 25 25 13 25 25
111034 13 18 6 18 22 18 22 18 18
111035 0 13 25 18 18 0 22 18 18
111036 0 18 21 19 6 6 21 6 6
111037 13 13 13 0 13 0 2 13 13
111040 15 6 13 0 13 13 6 13 13
111041 6 6 13 18 13 13 1 13 13
112001 16 18 16 18 23 13 13 16 13
112004 16 6 15 16 6 15 13 16 13
112005 17 13 16 18 16 0 13 16 13
112006 13 18 18 18 6 16 18 18 18
112007 8 16 7 7 13 18 16 16 16
112008 18 18 18 18 18 18 13 18 18
112009 13 13 13 6 13 18 0 13 13
112010 6 6 13 13 0 0 25 13 13
112011 6 6 12 12 12 3 9 12 12
112012 16 13 16 18 13 13 18 13 13
112014 0 0 6 0 6 13 6 6 6
112015 18 13 6 6 13 6 6 6 6
112016 16 16 6 25 6 6 6 6 6
112017 13 13 6 7 6 13 6 13 6
112018 3 6 23 6 6 0 13 6 6
112020 14 18 8 18 6 13 6 18 8
122001 25 21 16 21 25 21 21 21 21
122002 26 25 6 11 6 6 12 6 6
122003 13 13 18 18 25 23 19 18 18
122004 16 6 18 18 16 18 21 18 18
122005 0 3 13 25 18 18 18 18 18
122006 13 13 13 13 13 13 0 13 13
122008 6 6 6 15 15 15 0 6 15
122009 13 0 0 0 0 7 6 0 0
122010 0 21 23 13 0 0 13 23 13
122011 0 0 0 0 0 15 15 0 0
84

Lampiran 2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari (Lanjutan)

Menu Hari Ke-


Kode 7 Menu sarapan Modus
Contoh 1 2 3 4 5 6 (Hari (Hari sekolah) (Hari ke 1-7)
LIbur)
122012 3 6 0 13 22 6 6 6 6
122013 22 22 22 22 22 22 9 22 22
122014 6 18 18 18 25 6 2 18 18
122015 0 10 16 14 13 0 20 13 13
122016 0 6 7 0 6 6 6 6 6
122017 18 18 14 18 18 18 18 18 18
122018 25 26 6 13 18 0 25 13 18
122019 13 13 25 18 0 18 0 18 18
122020 6 8 6 18 6 25 0 6 6
122021 0 26 26 0 26 26 13 26 26
122022 15 13 13 15 0 13 18 13 13

Keterangan :
Kode Menu Menu Sarapan
0 Tidak sarapan
1 Makanan Lengkap ( Nasi, Lauk, Sayur/ Buah, dan minuman)
2 Nasi + lauk pauk + sayur
3 Nasi + lauk pauk + minuman
4 Nasi + sayur + jajanan industry
5 Nasi + sayur + jajanan tradisional
6 Nasi + lauk pauk
7 Nasi + sayur
8 Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan
9 Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan + minuman
10 Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan + jajanan tradisional
11 Nasi + lauk pauk + jajanan industri
12 Nasi + lauk pauk + jajanan tradisional
13 Makanan sepinggan
14 Makanan sepinggan + minuman
15 Makanan sepinggan + nasi
16 Makanan sepinggan + lauk pauk
17 Makanan sepinggan + buah
18 Makanan sepinggan + jajanan tradisional
19 Makanan sepinggan + jajanan industri
20 Makanan sepinggan + jajanan tradisional + minuman
21 Minuman (teh manis, teh gelas, teh kotak, frutang, kopi susu, susu)
22 Minuman + jajanan tradisional
23 Minuman + jajanan industri
24 Minuman + Jajanan tradisional + buah
25 Jajanan tradisional (kue- kue dan makanan ringan hasil olahan rumah tangga)
26 Jajanan industri (makanan ringan hasil industri)
85

Lampiran 3 Hasil uji korelasi karakteristik, ketersediaan, anemia dan gemuk


Variabel Hasil uji korelasi
2 b
Kebiasaan sarapan x 25.941
Anemia df 1
Asymp. Sig. 0.000*
2 b
Kebiasaan sarapan x 42.882
Gemuk df 1
Asymp. Sig. 0.000*
2 a
Pekerjaan Ibu x 39.765
Ketersediaan df 1
Asymp. Sig. 0.000*
*Signifikan pada p-values (p<0.05)

Lampiran 4 Hasil uji korelasi karakteristik dengan kebiasaan sarapan


Variabel Kebiasaan sarapan
Pendidikan Ibu x2 61.765 b
df 3
Asymp. Sig. 0.000*
Pekerjaan Ibu x2 1.824E24a
df 4
Asymp. Sig. 0.000*
Pendapatan x2 39.647b
Orangtua df 3
Asymp. Sig. 0.000*
Jumlah Anggota x2 91.642b
Keluarga df 9
Asymp. Sig. 0.000*
*Signifikan pada p-values (p<0.05)

Lampiran 5 Hasil Uji korelasi pengetahuan gizi, kebiasaan, kualitas sarapan, dan anemia
Variabel Hasil uji korelasi
Pengetahuan Gizi Pearson Correlation -0.134
Kualitas Sarapan p-value 0.275
N 68
Kebiasaan Sarapan Pearson Correlation 0.539
Kualitas Sarapan p-value 0.000**
N 68
Kualitas Sarapan Pearson Correlation -0.024
Status Anemia p-value 0.844
N 68
** Signifikan pada p-values (p<0.01) Sig. (2-tailed)
86

Lampiran 6 Harga dan kandungan energi dan zat gizi sarapan

Harga Berat Energi Protein Lemak Karbohidrat


Jenis Makanan
(Rp) (g) (kkal) (g) (g) (g)
Makanan Sepinggan
Bakso 4.000 236.0 216 7.2 3.8 38.6
Bubur ayam 3.000 231.0 196 7.6 3.0 32.8
Bubur kacang ijo 2.500 100.0 215 12.4 9.9 19.0
Sereal (Energen) 1.000 30.0 130 1.0 3.5 24.0
Lontong sayur 5.000 125.0 234 4.1 4.7 44.5
Mie ayam 5.000 180.0 184 11.2 7.0 18.9
Mie instan 1.500 80.5 324 7.5 12.7 44.0
Nasi uduk 3.000 230.0 583 10.0 48.3 26.8
Roti bakar isi cokelat 2.000 60.0 204 4.1 7.7 32.0
Roti sandwich isi cokelat 2.500 49.0 190 4.0 8.0 26.0
2.950 132.2 247 6.9 10.9 30.7
Jajanan
Bakwan 500 40.0 112 3.3 4.1 15.6
Gemblong 500 38.0 104 0.6 2.1 21.1
Keripik singkong 500 21.0 101 0.5 4.1 15.5
Kue bolu 1.500 47.0 97 2.1 0.9 20.2
Lontong isi kentang 1.000 46.0 85 1.5 1.3 16.9
Lontong isi oncom 1.000 46.0 97 1.5 1.8 18.7
Nasi ketan abon 1.500 77.0 159 5.2 3.9 26.3
Pastel 1.000 58.0 178 2.6 7.7 24.6
Pisang goreng 750 83.0 183 1.9 1.9 5.3
Pisang molen 750 29.0 61 0.5 4.5 5.3
Pisang coklat (piscok) 1.000 79.0 167 2.0 9.6 21.8
Risoles 500 35.0 117 1.8 1.2 24.7
Singkong goreng 500 70.0 200 0.7 12.6 19.6
Tahu isi tauge 500 35.0 77 2.4 5.6 4.9
Tempe tepung goreng 500 28.0 163 3.4 11.4 11.7
Ubi goreng 500 35.0 56 1.3 0.5 19.4
781 47.9 122 2.0 4.6 17.0
Biskuit 500 12.0 42 1.0 1.3 6.5
Kacang atom 500 14.0 68 1.2 3.7 8.1
Roti manis 2.000 54.0 147 4.5 3.8 24.4
Sosis so nize 750 20.0 90 2.9 8.5 0.5
Wafer 500 20.0 32 0.4 1.4 4.4
850 24.0 76 2.0 3.7 8.8
Minuman
Frutang 1.000 150.0 35 0.0 0.0 9.0
Susu UHT tetrapack 4.000 250.0 190 8.0 5.0 28.0
Susu kental manis (sachet) 2.000 30.0 103 2.5 3.0 16.5
Susu bubuk full cream (sachet) 3.000 27.0 130 7.0 7.0 11.0
Teh gelas 1.000 190.0 70 0.0 0.0 17.0
2.200 129.4 106 3.5 3.0 16.3

You might also like