You are on page 1of 24

MAKALAH FARMAKOEPIDEMIOLOGI

Case Control

Dosen Pengampu :

Ns. Juli Widiyanto, S.Kep.,M.Kes.Epid

Disusun Oleh :

Dhio Ilhami 190205048


Melfi Madini 190205045
Nila Priharsanti Ulfa 190205054
Sundari Nur Sa’diah 190205026

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MIPA DAB KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
PEKANBARU
2022
DAFTAR ISI

BAB 1........................................................................................................................................3

PENDAHULUAN....................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................3

1.2 Tujuan..........................................................................................................................3

BAB 2........................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................................4
II.1 Definisi Studi Case Control........................................................................................4

II.2 Tujuan Dan Ciri- Ciri Studi Case Control................................................................4

II.3 Kelebihan dan Kekurangan Studi Case Control......................................................5

II.4 Tahapan Studi Case Control Dan Contohnya...........................................................6

II.5 Menetapkan besar sampel........................................................................................10

II.6 Melakukan Pengukuran...........................................................................................10

II.7 Menganalisis hasil penelitian...................................................................................11

II.8 Penentuan Ratio Odds..............................................................................................11

II.9 Bias Dalam Studi Case Control................................................................................14

II.10 Analisis Jurnal.......................................................................................................14

BAB 3......................................................................................................................................23

PENUTUP..............................................................................................................................23
III.1 Kesimpulan................................................................................................................23

III.2 Saran..........................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................24

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

kasus-kontrol (case-control study), disebut sebagai casecomparison study, case-compeer


study, case-referent study, atau retrospective study, merupakan penelitian epidemiologis
analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi
kesehatan) tertentu dengan faktor-faktor risiko tertentu. Desain penelitian kasus-kontrol
dapat digunakan untuk menilai berapa besar peran faktor risiko dalam kejadian penyakit
(cause-effect relationship), seperti hubungan antara kejadian kanker serviks dengan perilaku
seksual, hubungan antara tuberkulosis pada anak dengan vaksinasi BCG, atau hubungan
antara status gizi bayi berusia 1 tahun dengan pemakaian KB suntik pada ibu.
Dalam hal kekuatan hubungan sebab akibat, studi kasus-kontrol ada di bawah desain
eksperimental dan studi kohort, namun lebih kuat daripada studi cross-sectional, karena pada
studi kasus-kontrol terdapat dimensi waktu, sedangkan studi cross-sectional tidak. Desain
kasus-kontrol mempunyai berbagai kelemahan, namun juga memiliki beberapa keuntungan.
Dengan perencanaan yang baik, pelaksanaan yang cermat, serta analisis yang tepat, studi
kasus-kontrol dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam berbagai bidang
kedokteran klinik, terutama untuk penyakit-penyakit yang jarang ditemukan.
Penelitian case control berhubungan erat dengan penelitian prevalensi atau cross
sectional. Namun demikian, karena orang-orang yang dilibatkan umumnya lebih sedikit dan
lebih mudah dikumpulkan, maka penelitian case control lebih sering dilaksanakan. Di antara
penelitian-penelitian analitik, biasanya penelitian case control menjadi pendekatan pertama
untuk menentukan apakah suatu ciri perorangan atau faktor lingkungan tertentu mempunyai
kaitan dengan terjadinya penyakit.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui definisi studi case control


2. Mengetahui tujuan studi case control
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan studi case control
4. Mengetahui tahapan studi case control
5. Mengetahui Penentuan Rasio Odds
6. Mengetahui Bias dalam Studi case control

3
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Case Control

Case control merupakan penelitian jenis analitik observasional yang dilakukan dengan
cara membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status
paparannya. Hal tersebut bergerak dari akibat ( penyakit ) ke sebab ( paparan ). Ciri-ciri dari
penelitian case control adalah pemilihan subyek yang didasarkan pada penyakit yang
diderita, kemudian lakukan pengamatan yaitu subyek mempunyai riwayat terpapar faktor
penelitian atau tidak.
Penelitian kasus-kontrol adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana
faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan , dimulai dengan mengidentifikasi
pasien dengan efek atau penyakit tertentu (kelompok kasus) dan kelompok tanpa efek
(kelompok kontrol), kemudian diteliti faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa
kelompok kasus terkena efek, sedangkan kelompok kontrol tidak. Desain penelitian ini
bertujuan mengetahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar berpengaruh terhadap
terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan kekerapan pajanan faktor risiko tersebut
pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Jadi, hipotesis yang diajukan adalah :
Pasien penyakit X lebih sering mendapat pajanan faktor risiko Y dibandingkan dengan
mereka yang tidak berpenyakit X. Pertanyaan yang perlu dijawab dengan penelitian ini
adalah : apakah ada asosiasi antara variabel efek (penyakit, atau keadaan lain) dengan
variabel lain (yang diduga mempengaruhi terjadi penyakit tersebut) pada populasi yang
diteliti.
Studi kasus kontrol mengikuti paradigma yang menelusuri dari efek ke penyebab. Di
dalam studi kasus kontrol, individual dengan kondisi khusus atau berpenyakit (kasus) dipilih
untuk dibandingkan dengan sejumlah indivual yang tak memiliki penyakit (kontrol). Kasus
dan kontrol dibandingkan dalam hal sesuatu yang telah ada atau atribut masa lalu atau
pajanan menjadi sesuatu yang relevan dengan perkembangan atau kondisi penyakit yang
sedang dipelajari. Desain penelitian ini berfokus pada keadaan masa lalu yang mungkin
menyebabkan subjek menjadi kasus dan bukan kontrol. Karena bersifat retrospektif dan
kasus diidentifikasi pada awal penelitian, maka tidak ada periode tindak lanjut yang panjang.
Dalam pandangan masa lampau, subjek dipilih baik yang memiliki penyakit atau tidak. Yang
memiliki penyakit disebut kasus (case) dan yang tidak disebut kontrol (control). Pada desain
penelitian ini dilakukan studi analitik yang menganalisis hubungan kausal dengan
menggunakan logika terbalik, yaitu menentukan penyakit (outcome) terlebih dahulu
kemudian mengidentifikasi penyebab (faktor risiko). Riwayat paparan dalam penelitian ini
dapat diketahui dari register medis atau berdasarkan wawancara dari responden penelitian.

4
II.2 Tujuan Dan Ciri- Ciri Studi Case Control

Tujuan studi Case Control:


1. Mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit.
2. Mempelajari seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya efek.
3. Mempelajari kemungkinan ganda penyebab suatu penyakit, dapat dipelajari sejumlah
paparan yang merupakan faktor resiko potensial terhadap kelompok kasus dan kelompok
kontrol.
4. Rancangan ini juga berguna jika akan dilakukan studi terhadap penyakit ang jarang
dengan ukuran sampel yang lebih kecil dibanding studi kohort.

Ciri rancangan kasus kontrol:


1. Subjek dipilih atas dasar apakah mereka menderita (kasus) atau tidak (kontrol) suatu
kasus yang ingin diamati kemudian proporsi pemajanan dari kedua kelompok tersebut
dibandingkan.
2. Diketahui variabel terikat (akibat), kemudian ingi diketahui variabel bebas (penyebab).
3. Observasi dan pengukuran tidak dilakukan pada saat yang sama.
4. Peneliti melakukan pengukuran variabel bergantung pada efek (subjek (kasus) yang
terkena penyakit) sedangkan variabel bebasnya dicari secara retrospektif.
5. Untuk kontrol, dipilih subjek yang berasal dari populasi dan karakteristik yang sama
dengan kasus.
6. Bedanya kelompok kontrol tidak menderita penyakit yang akan diteliti.
7. Tidak mengukur insidensi.

II.3 Kelebihan dan Kekurangan Studi Case Control

Kelebihan rancangan penelitian case control :


1. Terkadang menjadi satu-satunya cara untuk meneliti kasus yang jarang atau yg masa
latennya panjang.
2. Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
3. Biaya relatif lebih sedikit sehingga lebih efisien.
4. Memungkinkan mengidentifikasi berbagai faktor resiko sekaligus dalam satu penelitian.
5. Tidak mengalami kendala etik.
6. Biasanya dapat mengevaluasi confounding dan interaksi lebih teliti daripada studi kohort
untuk jumlah sampel yang sama, karena kasus dan kontrol lebih sebanding.

Kekurangan rancangan penelitian case control :


1. Data mengenai pajanan terhadap faktor resiko diperoleh dengan mengandalakan daya
ingat atau rekam medis. Daya ingat responden ini menyebabkan terjadinya recall bias,
karena responden yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan terhadap

5
faktor resiko dari pada responden yang tidak mengalami efek. Data sekunder, dalam hal
ini rekam medis yang seringkali dipakai sebagai sumber data juga tidak begitu akurat.
2. Validasi mengenai informasi kadang kadang sukar diperoleh.
3. Oleh karena kasus maupun kontrol dipilih oleh peneliti maka sukar untuk meyakinkan
bahwa kedua kelompok tersebut benar sebanding dalam pelbagai faktor eksternal dan
sumber bias lainnya.
4. Tidak dapat memberikan incidence rates.
5. Tidak dapat diapakai untuk menentukan lebih dari 1 variabel dependen, hanya berkaitan
dengan satu penyakit atau efek.
6. Memungkinkan kesulitan pada pengertian bahwa penyebab didahului oleh dampak,
karena informasi didapat setelah diagnosis.

II.4 Tahapan Studi Case Control Dan Contohnya

Tahap-tahap penelitian case control ini adalah sebagai berikut :


1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuai;
Setiap penelitian diawali dengan penetapan pertanyaan penelitian kemudian disususn
hipotesis yang akan diuji validitasnya. Misalnya pertanyaannya adalah : Apakah terdapat
hubungan antara konsumsi jamu peluntur pada kehamilan muda dengan kejadian
penyakit jantung bawaan pada bayi yang dilahirkan ? Hipotesis yang ingin diuji adalah:
Pajanan terhadap jamu peluntur lebih sering terjadi pada ibu yang anaknya menderita
penyakit jantung bawaan PJB disbanding pada ibu yang anaknya tidak menderita PJB.
2. Mendeskiripsikan variable penelitian: faktor risiko, efek
Intensitas pajanan faktor resiko dapat dinilai dengan cara mengukur dosis,frekuensi
atau lamanya pajanan. Ukuran pajanan terhadap faktor resiko yang berhubungan dengan
frekuensi dapat besifat :
 Dikotom, yaitu apabila hanya terdapat 2 kategori, misalnya pernah minum jamu
peluntur atau tidak.
 Polikotom, pajanan diukur pada lebih dari 2 tingkat, misalnya tidak pernah,
kadang-kadang,atau sering terpajan.
 Kontinyu, pajanan diukur dalam skala kontinu atau numerik, misalnya umur dalam
tahun, paritas, berat lahir.
Ukuran pajanan yang berhubungan dengan waktu dapat berupa :
 Lamanya pajanan (misalnya jumlah bulan pemakaian AKDR) dan apakah pajanan
itu berlangsung terus menerus.
 Saat mendapat pajanan pertama
 Bilakah terjadi pajanan terakhir
Diantara berbagai ukuran tersebut, yang paling sering digunakan adalah variable
independen (faktor resiko) berskala nominal dikotom (ya atau tidak) dan variable
dependen (efek, penyakit) berskala nominal dikotom (ya atau tidak ) pula.

6
Untuk masalah kesehatan, trutama kesehatan reproduksi, apakah pajanan terjadi
sebelum, selama, atau sesuadah keadaan tertentu sangatlah penting. Misalnya,
pemakaian kontrasepsi oral oleh perempuan yang belum pernah mengalami kehamilan
sampai cukup bulan dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Kita juga
tahu oajanan beberapa obat atau bahan aktif tertentu selama kehamilan muda mungkin
berkaitan dengan kejadian kelainan bawaan pada janin.
Dalam mencari informasi tentang pajanan suatu faktor risiko yang diteliti maka perlu
diupayakan sumber informasi yang akurat. Informasi tersebut dapat diperoleh antara
lain:
 Catatan medis rumash sakit, laboratorium patologi anatomi.
 Data dari catatan kantor wilayah kesehatan.
 Kontak dengan subyek penelitian, baik secara langsung, telepon, atau surat.
Cara apapun yang digunakan, prinsip utamanya adalah pada kelompok kasus dan
kontrol ditanyakan hal-hal yang sama dengan cara yang sama pula, dan pewawancara
sedapat mungkin tidak mengetahui apakah subyek termasuk dalam kelompok kasus atau
kelompok control. Pengambilan data dari catatan medis sebaiknya juga secara buta atau
tersamar, untu mencegah peneliti mencari data lebih teliti pada kasus maupun pada
control. Perlu pula diketahui bahwa informasi mengenai pemakaian kontrasepsi
hormonal lebih lengkap dicatat pada perempuan yang berobat untuk kanker payudara
bila dibandingkan dengan pada perempuan yang berobat untuk kanker payudara.
Apabila informasi rekam medis kurang lengkap maka data perlu dilengkapi dengan cara
menghubungi subyek (dengan tatap muka langsung, hubungan telepon, surat atau cara
berkomunikasi yang lain).
Efek atau Outcome
Karena efek/ outcome merupakan hal yang sentral, maka diagnosis atau penentuan
efek harus mendapat perhatian utama. Untuk penyakit atau kelainan dasar yang
diagnosisnya mudah, misalnya anensefali, penentuan subyek yang telah mengalami atau
tidak mengalami efek sukar. Namun pada banyak penyakir lain sering sulit diperoleh
criteria klinis yang obyektif untuk diagnosis yang tepat, sehingga diperlukan cara
diagnosis dengan pemeriksaan patologi-anatomik, dan lain-lain. Meskipun demikian
kadang diagnosis masih sulit terutama pada penyakit yang manifestasinyabergantung
pada stadiumnya. Misalnya artitis rheumatoid dapat mempunyai manifestasi klinis dan
hasil laboratorium yang bervariasi, sehingga perlu dijelaskan lebih dahulu criteria
diagnosis mana yang dipergunakan untuk memasukkan seseorang menjadi kasus. Untuk
beberapa penyakit tertentu telah tersedia criteria baku untuk diagnosis, namun tidak
jarang kriteria diagnosis yang telah baku pun perlu dimodifikasi agar sesuai dengan
pertanyaan penelitian
3. Menentukan populasi terjangkau dan sampel (kasus,kontrol), dan cara untuk
pemilihan subyek penelitian.
a. Kasus
7
Cara yang terbaik untuk memilih kasus adalah dengan mengambil secara acak
subyek dari populasi yang menderita efek. Namun dalam praktik hal ini hampir
tidak mungkin dilaksanakan, karena penelitian kasus-kontrol lebih sering dilakukan
pada kasus yang jarang, yang diagnosisnya biasanya ditegakkan dirumah sakit.
Mereka ini dengan sendirinya bukan subyek yang representatif karena tidak
menggambarkan kasus dalam masyarakat. Pasien yang tidak datang ke rumah sakit.
Beberapa hal berikut perlu dipertimbangkan dengan cermat dalam pemilihan kasus
untuk studi kasus-kontrol agar sampel yang dipergunakan mendekati keadaan dalam
populasi.
Kasus insidens (baru) atau kasus prevalens (baru+lama)
Dalam pemilihan kasus sebaiknya kita memilih kasus insidens (kasus baru). Kalau
kita mengambil kasus prevalens (kasus lama dan baru) maka untuk penyakit yang
masa sakitnya singkat atau mortalitasnya sangat tinggi, kelompok kasus tidak
menggambarkan kedaan dalam populasi (bias Neyman). Misalnya, pada penelitian
kasus-kontrol untuk mencari faktor-faktor risiko penyakit jantung bawaan, apabila
dipergunakan kasus prevalens, maka hal ini tidak menggambarkan keadaan
sebenarnya, mengingat sebagian pasien penyakit jantung bawaan mempunyai angka
kematian tertinggi pada periode neonates atau masa bayi. Dengan demikian pasien
yang telah meninggal tersebut tidak terwakili dalam penelitian.
Tempat pengumpulan kasus
Bila di suatu daerah terdapat registry kesehatan masyarakat yang baik dan lengkap,
maka pengambilan kasus sebaiknya dari sumber di masyarakat (population based),
karena kasus yang ingin diteliti tercatat dengan baik. Sayangnya di Indonesia belum
ada daerah yang benar benar mempunyai registrasi yang baik, sehingga terpaksa
diambil kasus dari pasien yang berobat ke rumah sakit ( hospital based). Hal ini
menyebabkan terjadinya bias yang cukup penting (bias Berkson), karena
karakteristik pasien yang berobat ke rumah sakit mungkin berbeda dengan
karakteristik pasien yang tidak berobat ke rumah sakit.
Saat diagnosis
Untuk penyakit yang perlu pertolongan segera (misalnya patah tulang) maka saat
ditegakkannya diagnosis boleh diakatakan sama dengan mula timbulnya penyakit
(onset). Tetapi banyak penyakit yang mula timbulnya perlahan dan sulit dipastikan
denga tepat (contohnya keganasan atau pelbagai jenis penyakit kronik). Dalam
keadaan ini maka pada saat mengidentifikasikan faktor resiko perlu diyakinkan
bahwa pajanan faktor yang diteliti terjadi sebelum terjadinya efek, dan bukan terjadi
setelah timbulnya efek atau penyakit yang dipelajari.
Contoh :
Ingin diketahui hubungan diet dengan kejadian kanker kolon. Pertanyaan harus
ditujukan terhadap diet sebelum timbul gejala, sebab mungkin saja subyek telah
mengubah dietnya oleh karena terdapatnya gejala penyakit. Penelitian terhadap

8
penyakit yang timbulnya manifestasi memerlukan waktu lama, misalnya sklerosis
multiple, perlu perhatian ekstra untuk menentukan saat gejala pertama timbul. Bila
gejala sudah lama terjadi, sebaiknya kasus jangan dipakai, sebab sulit dihindarkan
kemungkinan terjadinya pajanan setelah timbul penyakit.
b. Kontrol
Pemilihan kontrol masalah lebih besar daripada pemilihan kasus, oleh karena
kontrol semata mata ditentukan oleh peneliti, sehingga sangat terancam bias. Perlu
ditekankan bahwa kontrol harus berasal dari populasi yang sama dengan kasus, agar
risiko yang diteliti. Bila peneliti ingin mengetahui apakah kanker payudara
berhubungan dengan penggunaal pil KB, maka kriteria inklusi untuk kontrol adalah
subyek yang memiliki peluang untuk minum pil KB yaitu wanita yang menikah,
dalam usia subur (wanita yang tidak menikah atau belum mempunyai anak tidak
minum pil kontrasepsi).
Ada beberapa cara untuk memilih control yang baik :
 Memilih kasus dan kontrol dari populasi yang sama :
Misalnya kasus adalah semua pasien dalam populasi tertentu sedangkan kontrol
diambil secara acak dari populasi sisanya. Dapat juga kasus dan kontrol
diperoleh dari populasi yang telah ditentukan sebelumnya yang biasanya lebih
kecil (misalnya dari studi kohort).
 Matching
Cara kedua untuk mendapatkan kontrol yang baik ialah dengan cara melakukan
matching , yaitu memilih kontrol dengan karakteristik yang sama dengan kasus
dalam semua variable yang mungkin berperan sebagai faktor risiko kecuali
variable yang diteliti. Bila matching dilakukan dengan baik, maka pelbagai
variable yang mungkin berperan terhadap kejadian penyakit (keculai yang
sedang diteliti) dapt dismakan, sehingga dapat diperoleh asosiasi yang lebih
kuat antara variable yang sedang diteliti dengan penyakit. Teknik ini
mempunyai keuntungan kain, yakni jumlah subyek yang diperlukan lebih
sedikit. Namun jangan terjadi overmatching, yaitu matching pada variable
yang nilai resiko relative terlalu rendah. Apabila terlalu dalam mencari subyek
kelompok control. Di lain sisi harus pula dihindarkan undermatching yakni
tidak dilakukan penyertaan terhadap varibel-variabel yang potensial menjadi
peransu (confounder) penting.
 Cara lainnya adalah dengan memilih lebih dari satu kelompok kontrol
Karena sukar mencari kelompok control yang benar-benar sebanding maka
dapat dipilih lebih dari satu kelompok control. Milanya bila kelompok kasus
diambil dari rumah sakit, maka satu control diambil dari pasien lain di rumah
sakit yang sama, dan control lainnya berasal dari daerah tempat tinggal kasus.
Apabila ratio odds yang didapatkan dengan menggunakan 2 kelompok control
tersebut tidak banyak berbeda, hal tersebut akan memperkuat asosiasi yang
9
ditemukan. Apabila ratio odds antara kasus dengan masing-masing control
sangat berbeda, berarti salah satu atau kedua hasil tersebut tidak sahih, dengan
kata lain terdapat bias, dan perlu diteliti letak bias tersebut.
Contoh :
Suatu penelitian kasus-kontrol ingin mencari hubungan antara penyakit AIDS
pada pria dengan homoseksualitas. Sebagai kasus diambil semua pasien dengan
diagnosis AIDS dirumah sakit A. untuk kelompok control pertama dipilih
secara acak dari pasien dengan penyakit lain yang dirawat di rumah sakit
tersebut dan tidak menderita AIDS (diperoleh rasio odds sebesar 6,3),
sedangkan kelompok control kedua dipilih secara acak dari pria sehat yang
tinggal berdekatan dengan tiap pasien dalam kelompok kasus (diperoleh rasio
odds 9,0). Walaupun pada kelompok control pertama lebih banyak penyakit
lain dibandingkan pada control kedua, ternyata pada kedua kelompok control
praktik homoseksualitas jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok
kasus, sehingga rasio odds pada kedua kelompok control hampir sama. Hal ini
jelas memperkuat simpulan terdapatnya hubungan antara homoseksualitas
dengan terjadinya AIDS.

II.5 Menetapkan besar sampel

Jumlah subyek yang perlu diteliti untuk memperlihatkan adanya hubungan antara faktor
risiko dengan penyakit perlu ditentukan sebelum penelitian dimulai. Pada dasarnya untuk
penelitian kasus control jumlah subyek yang diteliti bergantung pada :
1) Beberapa frekuensi pajanan faktor risiko pada suatu populasi; ini penting terutama
apabila control diambil dari populasi. Apabila densitas pajanan risiko terlalu kecil atau
terlalu besar, mungkin pajanan resiko pada kasus dan kontrol hampir sama sehingga
diperlukan sampel yang besar untuk mengetahui perbedaannya.
2) Rasio odds terkecil yang dianggap bermakna (R).
3) Derajat kemaknaan (α ) dan kekuatan (power= 1- β) yang dipilih. Biasa dipilih α = 5%,
β = 10% atau 20% (power = 90% atau 80%)
4) Rasio antara jumlah kasus control. Bila dipilih control lebih banyak, maka jumlah kasus
dapt dikurangi. Bila jumlah control diambil c kali jumlah kasus, maka jumlah kasus dapt
dikurangi dari n menjadi (c+1)n/2c.
5) Apakah pemilihan control dilakukan dengan matching atau tidak. Diatas telah disebut
bahwa dengan melakukan matching maka jumlah subyek yang diperlukan untuk diteliti
menjadi lebih sedikit.

II.6 Melakukan Pengukuran

10
Pengukuran variable efek dan faktor risiko merupakan hal yang dentral pada studi kasus-
kontrol. Penentuan efek harus sudah didefenisikan denganjelas dalam usulan penelitian.
Pengukuran faktor risiko atau pajanan yang terjadi pada waktu lampau juga sering
menimbulkan kesulitan. Kadang tersedia data objektif, missal rekam medis kumpulan
preparat hasil pemeriksaan patologi-anatomik, hasil laboratorium, atau pelbagai henis hasil
pencitraan. Namun lebih sering penentuan pajanan pada masa lalu dilakukan semata-mata
dengan anamnesis atau wawancara dengan responden, jadi hanya dengan mengandalkan
daya ingat responden yang mungkin dipengaruhi oleh statusnya (mengalami outcome atau
tidak).

II.7 Menganalisis hasil penelitian

Analisis hasil studi kasus-kontrol dapat hanya bersifat sederhana yaitu penentuan ratio
odds, sampai pada yang kompleks yakni dengan analisis multivariate pada studi kasus
control dengan lebih dari satu faktor resiko. Ini ditentukan oleh apa yang ingin diteliti
bagaimana cara memilih control (matched atau tidak), dan terdapatnya variable yang
menggangu ataupun yang tidak.

Bagan Desain Studi Case Control

II.8 Penentuan Ratio Odds

Desain kasus kontrol dimulai dengan identifikasi sekelompok kasus (individu dengan
hasil kesehatan tertentu) dalam populasi tertentu dan sekelompok kontrol (individu tanpa
hasil kesehatan) untuk dimasukkan dalam hasil penelitian. Analisis desain kasus kontrol
dihitung dengan menggunakan Odds Ratio (OR) untuk memperkirakan kekuatan hubungan
antara paparan dan hasil. Studi ini berbasis populasi sehingga perkiraan insidens penyakit
dapat diperoleh.

Studi kasus-kontrol tanpa ‘matching’

11
Ratio odds (RO) pada studi kasus-kontrol dapat diartikan sama dengan resiko relative
(RR) pada studi kohort. Pada penelitian kohort dimulai dengan pol=pulasi yang terpajan
(a+b) dan populasi yang tidak terpajan (c+d) . Dengan perjalanan waktu maka dengan
sendirinya akan timbul efek pada populasi yang terpajan (a) dan pada populasi yang tidak
terpajan (d). kemudian dapat dihitung kejadian efek pada populasi terpajan (a/[a+b]) dan efek
pada populasi yang tidak terpajan (c/{c=d]) sehingga dapat dihitung resiko relative yaitu :

(insiden pada kelompok dengan faktor risiko ) a /(a−b)


RR= =
(insiden pada kelompok tanpa faktor risiko) c /(c +d )

Pada penelitian kasus-kontrol dimulai dengan mengambil kelompok kasus (a+c) dan
kelompok control (b+d). oleh karena kasus adalah subyek yang sudah sakit dan control
adalah mereka yang tidak sakit maka tidak dapat dihitung insidens penyakit baik pada kasus
maupun control. Yang dapat dinilai adalah berapa sering terdapat pajanan pada kasus
dibandingkan pada control. Hal inilah yang menjadi alat analisis pada studi kasus-kontrol,
yang disebut ratio odds (RO).

odds pada kelompok kasus


RO=
odds pada kelompok kontrol
( proporsi kasus dengan risiko) ( proporsi kontrol dengan risiko)
RO= :
( proporsi kasus dengan risiko ) ( proporsi kontrol dengan risiko)
a
:c /(a−c)
( a−c ) a/c
¿ = =ad /bc
b b/d
:d /(b +d)
b+ d

CONTOH STUDI KASUS-KONTROL TANPA ‘MATCHING’

Masalah. Apakah abortus berhubungan dengan risiko kejadian plasenta previa pada
kehamilan berikutnya ?
Hipotesis. Studi kasus-kontrol, hospital based.
Kasus. Wanita melahirkan di RSCM dari 1 Januari 1996 sampai dengan 31 Desember 1999
secara bedah ceasar atas indikasi plasenta previa totalis yang dibuktikan dengan USG dan
klinis pendarahan antepartum.
Kontrol. Wanita yang melahirkan dalam kurun waktu yang sama tanpa plasenta previa dan
dipilih secara acak.
Faktor risiko yang ingin diteliti. Riwayat terdapatnya abortus sebelum persalinan sekarang.
Pengumpulan data. Dengan wawancara dan pengisian kuesioner diperoleh data dari 68
kasus dan 68 kontrol.
Analisis data. Meskipun RO lebih dari 1, namun karena interval kepercayaannya mencakup
angka 1, maka simpulannya adalah abortus tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya

12
plasenta previa pada kehamilan kemudian, atau diperlukan lebih banyak kasus untuk
membuktikannya.

Plasenta Previa
Ya Tidak Jumlah
Riwayat Ya 12 9 21
Abortus Tidak 56 59 115
Jumlah 68 68 136

Ratio adds = (12x59) / (9x56)=1,4


Internal kepercayaan 95%=0,5 ; 3,6

Studi kasus-kontrol dengan ‘matching’

Pada studi kasus control dengan matching individual, harus dilakukan analisis dengan
menjadikan kasus dan control sebagai pasangan-pasangan. Jadi, bila misalnya terdapat 50
kasus yang masing masing berpasangan dengan tiap subyek dari 50 kontrol, maka kita
lakukan pengelompokan menjadi 50 pasangan sebagai berikut. Hasil pengamatan studi
kasus-kontrol biasanya disusun dalam table 2 x 2 dengan keterangan sebagai berikut :
Sel a : kasus dan control mengalami pajanan
Sel b : kasus mengalami pajanan, control tidak
Sel c : kasus tidak mengalami pajanan, control mengalami
Sel d : kasus dan control tidak mengalami pajanan

Kontrol
Risiko + Risiko -
Kasus Kasus + A b
Kasus - C d

Rasio odds pada studi kasus control dengan matching ini dihitung dengan mengabaikan
sel a karena baik kasusmaupun control terpajan, dan sel d, karena baik kasus maupun control
tidak terpajan.
Rasio odds dihitung dengan rumus :

RO, walaupun tidak sama dengan risiko relative akan tetapi dapat dipakai sebagai
indicator adanya kemungkinan hubungan sebab akibat antara faktor risiko dan efek. Nilai RO
dianggap mendekati risiko relative apabila :

13
1) Insiden penyakit yang diteliti kecil, biasanya dianggap tidak lebih dari 20% populasi
terpajan.
2) Kelompok control merupakan kelompok representative dari populasi dalam hal
peluangnya untuk terpajan faktor risiko
3) Kelompok kasus harus representative
Interprestasi nilai RO dengan interval kepercayaannya sama dengan interperestasi pada
penelitian cross-sectional, yakni RO yang > 1 menunjukkan bahwa faktor risiko, bila RO = 1
atau mencakup angka 1 berarti bukan faktor risiko, dan bila kurang dari 1 berarti merupakan
faktor yang melindungi atau protektif.
Sebagai contoh adalah penelitian merokok dan kanker pankreas di antara 100 kasus dan
400 kontrol, seperti tabel dibawah ini:

OR = (60 x 300) / (100 x 40)


OR = 4,5
Dari hasil nilai OR diatas memperkirakan bahwa perokok 4,5 kali lebih mungkin untuk
menjadi kanker pankreas daripada non-perokok.

II.9 Bias Dalam Studi Case Control

Bias merupakan kesalahan sistematis yang menyebabkan hasil penelitian tidak sesuai
dengan kenyataan. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat tiga kelompok bias yang dapat
mempengaruhi hasil, yaitu :
1. Bias seleksi;
2. Bias informasi;
3. Bias perancu (confounding bias).
Sackett, mencatat beberapa hal yang dapat menyebabkan bias, di antaranya adalah :
1. Informasi tentang faktor risiko atau faktor perancu (confounding factors) mungkin
terlupa oleh subyek penelitian atau tidak tercatat dalam catatan medik kasus (recall bias).
2. Subyek yang terkena efek (kasus), karena ingin mengetahui penyebab penyakitnya lebih
sering melaporkan faktor risiko dibandingkan dengan subyek yang tidak terkena efek
(kontrol).
3. Peneliti kadang sukar menentukan dengan tepat apakah pajanan suatu agen menyebabkan
penyakit ataukah terdapatnya penyakit menyebabkan subyek lebih terpajan oleh agen.
4. Identifikasi subyek sebagai kasus maupun kontrol yang representatif seringkali sangat
sukar.

14
II.10 Analisis Jurnal

Berikut adalah beberapa analisa jurnal kesehatan yang desain penelitiannya


menggunakan study case control:

Contoh Jurnal 1

1. Judul Penelitian: Hubungan Antara Faktor Penjamu (Host) Dan Faktor Lingkungan
(Environment) Dengan Kejadian Tuberculosis Paru Kambuh (Relapse) Di Puskesmas Se-
Kota Semarang.
2. Peneliti: Nurwanti. Bambang Wahyono. Public Health Perspective Journal. Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. 2016.
3. Tujuan Penelitian: Mengetahui faktor penjamu (host) dan faktor lingkungan
(environment) yang berhubungan dengan kejadian tuberculosis paru relaps di puskesmas
se-kota Semarang.
4. Metode Penelitian: Merupakan penelitian melalui pendekatan case control, dilakukan
analisis dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji chi square.
5. Syarat Metode Case Control: Penelitian ini dilakukan dengan cara mengidentifikasikan
kelompok kasus dan kelompok kontrol kemudian secara retrospektif (penelusuran ke
belakang) diteliti faktor risiko yang mungkin dapat menerangkan apakah kelompok kasus
dan kelompok kontrol terkena efek atau tidak.
6. Populasi Studi Penelitian: Populasi kasus yaitu seluruh pasien TB paru yang sudah
dinyatakan sembuh pada tahun 2012, tetapi mengalami kekambuhan pada tahun 2013
yang berobat di puskesmas wilayah Kota Semarang. Populasi control yaitu seluruh
pasien yang sudah dinyatakan sembuh pada tahun 2012 yang berobat di puskesmas
wilayah Kota Semarang dan tidak mengalami kekambuhan pada tahun 2013.
7. Sampel Penelitian: Responden dalam penelitian ini adalah 16 orang penderita tb paru
kambuh dan 16 orang penderita tb paru yang telah sembuh yang diperoleh dengan
menggunakan teknik purposivesampling.
8. Kasus dan Kontrol Penelitian:
Kasus : kelompok yang menderita penyakit yang sedang diteliti yaitu seluruh pasien
TB paru yang sudah dinyatakan sembuh pada tahun 2012, tetapi mengalami
kekambuhan pada tahun 2013.
Kontrol : kelompok yang tidak menderita penyakit yang sedang diteliti yaitu seluruh
pasien yang sudah dinyatakan sembuh pada tahun 2012 dan tidak mengalami
kekambuhan pada tahun 2013.
9. Hasil Penelitian:
 Pada status gizi kekambuhan tb paru sama banyaknya ditemukan pada responden
kategori kurus (50%) maupun normal, sementara responden kategori gemuk tidak
ditemukan (0%). Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian

15
tuberkulosis paru kambuh (relaps) di puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013
dengan nilai p= 0,722 (> 0,05).
 Pada jenis kelamin persentase responden kasus yang berjenis kelamin laki-laki
sama dengan persentase responden control yang berjenis kelamin laki-laki (62,5%),
begitu juga presentase responden kasus berjenis kelamin perempuan sama dengan
presentase responden kontrol berjenis kelamin perempuan (37,5%). Tidak ada
hubungan antara jenis kelamin dengan dengan kejadian tuberkulosis paru kambuh
(relaps) di puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013 dengan nilai p=1,000 (>0,05).
 Pada kebiasaan merokok jumlah responden berisiko lebih banyak pada kelompok
kasus (56,2%) daripada kelompok kontrol (43,8%), namun hasil ini belum bisa
dikatakan adanya hubungan berdasarkan perhitungan nilai p==0,724 (> 0,05)
artinya tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis
paru kambuh (relaps) di puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013.
 Pada tingkat Pendidikan diperoleh data bahwa sebagian besar tingkat pendidikan
responden kasus dan kontrol masuk dalam kategori tingkat pendidikan tinggi
(68,8%). Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian
tuberculosis paru kambuh (relaps) di puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013
dengan nilai p=0,25 (> 0,05).
 Pada riwayat Diabetes Mellituss ebagian besar baik responden kasus maupun
kontrol tidak memiliki penyakit diabetes mellitus setelah dinyatakan sembuh
(59,4%). Tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian
tuberkulosis paru kambuh (relaps) di Puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013
dengan nilai p=1,000 (> 0,05).
 Pada faktor ketaatan pengobatan sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan
antara ketaatan pengobatan sebelumya dengan kejadian tuberkulosis paru kambuh
(relaps) di puskesmas Se-Kota Semarang tahun 2013 dengan nilai p=0,005 (< 0,05)
dan OR=13,000 (95% CI = 2,398-70,461), menunjukkan bahwa responden yang
tidak taat mempunyai risiko untuk terkena Tb paru relaps 13,000 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang taat. Diperoleh perbedaan data yang
signifikan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Sebagian besar
kelompok kasus tidak taat dalam menjalani pengobatan sebelumnya (75%),
sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besa taat dalam menjalani pengobatan
sebelumnya (81,25%).
 Pada Riwayat kontak dengan penderita lain adanya kontak dengan penderita lain
memang lebih banyak terjadi pada responden kelompok kasus (62,5%) daripada
kelompok kontrol (25%), namun hasil ini belum bisa dikatakan adanya hubungan
karena berdasarkan hasil penelitian ditemukan nilai p=0,075 (>0,05) artinya tidak
ada hubungan antara kontak dengan penderita lain dengan kejadian tuberkulosis
paru kambuh (relaps) di puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013.

16
 Pada faktor tingkat kepadatan hunian kamar rata-rata tingkat kepadatan hunian
kamar ≥ 4 m2 per orang, hal ini memenuhi syarat rumah sehat menurut Kepmenkes
RI No. 829/MENKES/SK/VII/ 1999. Tidak ada hubungan antara tingkat kepadatan
hunian kamar dengan dengan kejadian tuberkulosis paru kambuh (relaps) di
puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013 dengan nilai p=1,000 (>0,05).
 Pada faktor luas ventilasi (penghawaan) tidak ada hubungan antara luas ventilasi
(penghawaan) dengan kejadian tuberculosis paru kambuh (relaps), karena baik dari
responden kasus maupun kontrol sebagian besar luas ventilasinya sama-sama tidak
memenuhi syarat rumah sehat menurut Permenkes RI No.1077/Menkes/Per/V/2011
dengan nilai p=1,000 (>0,05).
 Pada jenis lantai ada hubungan antara jenis lantai dengan dengan kejadian
tuberculosis paru kambuh (relaps) di puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013
dengan nilai p=0,011 (< 0,05) dan OR=11,667 (95% CI= 1,940-70,178)
menunjukkan bahwa responden dengan jenis lantai rumah tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko untuk terkena tb paru relaps 11,667 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang jenis lantai rumahnya memenuhi syarat. Dari
hasil observasi diperoleh data bahwa hampir seluruh responden control memilik
jenis lantai rumah memenuhi syarat rumah sehat, yaitu permanen dan tidak kedap
air. Sedangkan pada responden kasus hanya ditemui 4 responden yang memiliki
lantai rumah memenuhi syarat rumah sehat.
 Pada tingkat kelembaban udara tidak ada hubungan antara tingkat kelembaban
udara dengan kejadian tb paru kambuh (relaps) karena dari hasil observasi
diperoleh data bahwa hanya sebagian kecil dari responden kasus yang tingkat
kelembaban udara rumahnya tidak memenuhi syarat dengan nilai p=1,000 (>0,05).
 Pada tingkat pencahayaan diperoleh data bahwa sebagian besar baik responden
kasus maupun control pencahayaan rumahnya tidak memenuhi syarat (78,1%),
walaupun yang tidak memenuhi syarat lebih banyak diperoleh dari responden
kasus, namun perbandingannya belum cukup untuk menunjukkan adanya
hubungan antara pencahayaan dengan kejadian tuberkulosis paru kambuh (relaps)
di Puskesmas Se-Kota Semarang Tahun 2013 dengan nilai p=0,083 (>0,05).
 Pada jenis dinding ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian tb paru
kambuh (relaps) karena dinding rumah responden kasus banyak yang tidak
memenuhi syarat (81,2%). Dinding rumah mereka banyak yang belum diplester
dan sebagian terbuat dari kayu yang tidak kedap air, sedangkan dinding rumah
responden kontrol hanya sebagian kecil yang belum memenuhi syarat (25%)
dengan nilai p=0,005 (< 0,05) dan OR= 13,000 (95% CI= 2,398-70,461),
menunjukkan bahwa responden dengan jenis dinding rumah tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko untuk terkena tb paru relaps 13,000 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang dindingrumahnya memenuhi syarat.

17
18
10. Kesimpulan: Ada hubungan antara ketaatan pengobatan sebelumnya, jenis lantai, dan
jenis dinding dengan kejadian tuberkulosis paru kambuh (relaps) di puskesmas se-Kota
Semarang tahun 2013. Tidak ada hubungan antara status gizi, jenis kelamin, kebiasaan
merokok, tingkat pendidikan, riwayat diabetes mellitus, kontak dengan penderita lain,
tingkat kepadatan hunian kamar, luas ventilasi (penghawaan), tingkat kelembaban udara,
dan tingkat pencahayaan dengan kejadian tuberkulosis paru kambuh (relaps) di
puskesmas se-Kota Semarang tahun 2013.

Contoh Jurnal 2

1. Judul Penelitian: “Occupational Risk Factors for COPD: A Case-Control Study”


Dari judul jurnal tersebut, dapat diperkirakan bahwa desain penelitian yang digunakan
oleh peneliti dalam menulis jurnal tersebut adalah desain observasional dengan
rancangan studi analitik karena judul jurnal tersebut menjelaskan mengapa dan
bagaimana faktor risiko pekerjaan dapat berpengaruh terhadap kejadian PPOK tanpa
adanya intervensi. Selain itu, seperti tertulis pada judul bahwa kasus tersebut termasuk
dalam jurnal kasus kontrol atau case control yang merupakan salah satu jenis studi
analitik. Kasus kontrol adalah studi analitik yang menganalisis hubungan kausal dengan
menggunakan logika terbalik yaitu menemukan outcome/penyakit terlebih dahulu,
kemudian mengindetifikasi faktor risiko atau penyebab.
2. Peneliti:
3. Tujuan Penelitian: “The aim of this research was to examine the occupational risk
factors for Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) in a range of
occupations.”
“Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji faktor resiko pekerjaan pada
Penyakit Paru Obstruksi Kronis dalam lingkupan berbagai pekerjaan”
Dari tujuan penelitian di atas dapat diketahui bahwa jurnal tersebut disusun untuk
menguji faktor resiko pekerjaan pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis yang telah diteliti
dengan metode penelitian kasus kontrol karena jurnal tersebut menunjukkan hubungan
kausal terbalik yaitu dari akibat ke sebab dimulai dan menemukan dulu outcome atau
penyakitnya, lalu kemudian mengidentifikasi exposure atau penyebab
4. Metode Penelitian: “Eleven occupations involving different types of exposure were
observed in this multicenter case-control study. Controls and cases were matched for
sex, age and smoking. Multiple logistic regression analyses were used to estimate odds
ratios (ORs).” Metode yang digunakan pada penelitian tersebut adalah metode case
control, karena menemukan kasus PPOK terlebih dahulu, lalu dicari faktor risiko
penyebabnya/exposure. Pada penelitian ini, faktor risiko/exposure yang diteliti adalah
pekerjaan yang dimana diuji pada 11 pekerjaan yang mempunyai tipe dari beberapa
materi exposure yang berbeda. Pada kasus ini, peneliti berusaha untuk mengurangi
tingkat bias yaitu dilakukan dengan cara menyamakan umur, jenis kelamin dan kebiasaan

19
merokok pada subjek penelitian.Uji penelitian untuk mencari odds ratio yang digunakan
oleh peneliti yaitu dengan Uji Analitik Regresi Logistik Multivariat.
5. Syarat Metode Case Control: Case control merupakan studi kasus yang tergolong
kedalam desain epidemiologi analitik, dimana studi ini berguna untuk mencari hubungan
seberapa jauh faktor resiko mempengaruhi terjadinya suatu penyakit. Case control adalah
suatu rancangan penelitian jenis analitik observasional yang dilakukan dengan cara
membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status
paparannya. Pada journal ini, terdapat kasus yaitu penderita PPOK dan juga kontrol yaitu
bukan penderita PPOK.
6. Populasi Studi Penelitian: Populasi studi pada jurnal ini adalah para pekerja pabrik
pertanian, woodworking, tekstil, karet dan plastik, tar / aspal, perkakas / mesin,
pengelasan / mematri, kaca, pengecoran, pemadam kebakaran dan tembikar yang
berjumlah 1.519 orang.
7. Sampel Penelitian: Variabel yang dibutuhkan untuk seleksi sample dikumpulkan
melalui kerja dokter-diberikan daftar pertanyaan. Merokok diperkirakan dalam paket-
tahun, dan perokok dibagi menjadi tiga kategori: <11 pack-tahun, 11-20 pack-tahun dan>
20 pack-tahun. Untuk keperluan seleksi sample, peserta dibagi menjadi dua kelompok:
perokok (dan mantan) dan bukan perokok. Kuesioner utama juga berisi riwayat pekerjaan
yang dilaporkan sendiri, memungkinkan peneliti untuk menjelajahi paparan kerja
sepanjang hidup bekerja peserta. Peserta juga ditanya tentang kemungkinan pajanan
mereka di rumah (misalnya, pertukangan, berkebun, Model bangunan, dan kegiatan
rekreasi lainnya). Praktek olahraga selama lebih dari satu jam seminggu dan tempat
tinggal (Kota atau desa) juga dicatat. Dari hasil seleksi tersebut, diperoleh 547 pasang
untuk dijadikan sampel.
8. Kasus dan Kontrol Penelitian: Peneliti memeriksa pengukuran fungsi paru para peserta
dengan spirometri. Pengukuran fungsi paru dilakukan oleh tenaga terlatih di tujuh pusat.
Spirometer dikalibrasi setiap hari sesuai dengan instruksi produsen, dan semua peralatan
memenuhi standar Komisi Eropa. COPD didefinisikan sebagai rasio pasca-bronkodilator
FEV1 ke FVC <70% (COPD GOLD Tahap 1 atau di atas). Yang terbaik dari tiga hasil
FEV1 / FVC dipilih.
Kriteria untuk menjadi kasus adalah standar emas : rasio FEV1 dibagi dengan FVC di
bawah 0,7, tidak reversibel setelah salbutamol inhalasi.
 Kasus: Peserta dengan COPD
Berdasarkan pilihan kasus atas inisiatif Global untuk kronis Penyakit Paru
Obstruktif (GOLD) 's definisi Tahap 1 COPD (rasio pasca-bronkodilator Paksa
Volume ekspirasi dalam satu detik [FEV1] Paksa Kapasitas Vital [FVC] <70%).
Individu dikeluarkan jika dilaporkan pernah memiliki diagnosis asma, cystic
fibrosis, silia dyskinesia primer, bronkiektasis, fibrosis paru primer atau sekunder,
atau emfisema dengan defisiensi alfa-1-antitrypsin. Mereka dengan telinga kronis

20
lainnya, hidung dan tenggorokan (THT) penyakit, termasuk rhinitis alergi, juga
dikecualikan.
 Kontrol: Peserta tanpa COPD
Individu dengan pre-bronkodilator FEV1 / FVC >70% dipilih sebagai kontrol.
mereka dengan setiap pernafasan atau THT signifikan penyakit (lihat Kasus:
peserta dengan PPOK) dikecualikan.
9. Hasil Penelitian

Sebanyak 1.519 peserta awalnya direkrut antara September 2004 dan September 2012.
Setelah diseleksi, 547 orang diperoleh. Usia rata-rata adalah 56,3 ±10,4 tahun. Pekerja
pabrik adalah satu-satunya dengan peningkatan risiko PPOK dalam penelitian ini (OR =
7,6, p <0,0001, 95% CI [4,5, 12,9]). Aktivitas fisik adalah pelindung (OR = 0,7),
sedangkan yang tinggal di kota risiko (OR = 1,6). Logam bekas utama yang besi cor,
aluminium dan paduan. Cetakan dan inti terutama terbuat dari pasir dan resin sintetis.
perawatan mesin (65,2%), cetakan (49,6%), finishing (41,1%) dan casting (41,0%)
adalah kegiatan pekerjaan yang paling umum. Hampir semua pekerja (95,1%)
membersihkan lantai dan mesin dengan sikat atau udara terkompresi.
Faktor Pekerjaan yang mempunyai resiko PPOK paling besar adalah Pengecoran
(13,3%), pekerja bagian Mesin/perkakas (10,8%), pertanian (8,7%), dan woodworking
(7,3%) dari 100% pasien PPOK. Dan setiap pekerjaan tersebut semuanya tergantung
dengan seberapa sering kegiatan pekerjaan itu bersentuhan dengan zat-zat yang
dianggap dapat memperberat resiko terpapar PPOK.
Faktor Proteksi pada PPOK paling berpengaruh adalah aktifitas Olahraga, dan faktor
rekreasi/waktu luang per hari (1,33%).
10. Kesimpulan

Contoh Jurnal 3

21
1. Judul Penelitian: Male condom use, multiple sexual partners and HIV : a prospective
case-control study in Kinshasa (DRC)
2. Peneliti: Silvia Carlos, Cristina Lopez-del Burgo, Eduardo Burgueno, Miguel Angel
Martinez-Gozalez, Alfonso Osorio, Adolphe Ndarabu, Clement Passabosc and Jokin de
Irala
3. Tujuan Penelitian: menganalisis populasi yang menerima VCT dari RS Kinshasa
tergantung pada sosiodemografik terhadap perilaku penggunaan kondom, perilaku
berganti pasangan,dan hubungan perilaku dengan infeksi HIV
4. Metode Penelitian: cross sectional (case control) dengan analisis bivariat
5. Syarat Metode Case Control: kasus dilihat dari hasil tes HIV (+) selama desember 2010
sampai Juni 2012 dengan melihat insiden HIV(+) dikontrol dengan hasil HIV(-) untuk
mengevaluasi pengetahuan, sikap dan perilaku seksual terkait HIV
6. Populasi Studi Penelitian: usia 15-49 tahun yang datang ke RS Monkole untuk VCT
dan yang ingin mendonorkan darah
7. Sampel Penelitian: 1000 orang pada awal penelitian kemudian setelah 18 bulan ada
1350 respondendengan 200 responden HIV(+)
8. Kasus dan Kontrol Penelitian:
 Kasus
 Kontrol
9. Hasil Penelitian:
10. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara sosiodemografi dan penggunaan kondom
dengan kejadian HIV (+). Faktor sosiodemografi akan mempengaruhi penggunaan
kondom dimana pengguna kondom akan mempengaruhi kejadian HIV (+)

22
BAB 3

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Studi Case Control merupakan salah satu studi analitik observasional yang bertujuan
mencari faktor penyebab penyakit yaitu mempelajari hubungan antara penyebab suatu
penyakit dan penyakit yang diteliti dengan membandingkan kelompok kasus dan kelompok
kontrol berdasarkan status penyebab penyakitnya dengan pendekatan retrospektif.
Pada studi case control hasilnya dihitung dan ditentukan odd rasio. Interprestasi nilai
RO dengan interval kepercayaannya sama dengan interperestasi pada penelitian cross-
sectional, yakni RO yang > 1 menunjukkan bahwa faktor risiko, bila RO = 1 atau mencakup
angka 1 berarti bukan faktor risiko, dan bila kurang dari 1 berarti merupakan faktor yang
melindungi atau protektif.

III.2 Saran

23
DAFTAR PUSTAKA

Gordis, Leon. 2004. Epidemiology. Philadelphia : Elsevier Saunders.


Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta : Penerbit EGC.
Sastroasmoro, Sudigdo dkk. 1995. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta :
Binarupa Aksara.
Noor, Nur Nasry. 2000. Pengantar Epidemiologi. Makasar : Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin.
Wibowo A. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. 2018. Rajawali Press. Depok.
Epidemiology for Practitioners. Introduction to Study Desain - Case Control Studies. 2020.
Health Knowledge.
https://www.healthknowledge.org.uk/e-learning/epidemiology/practitioners/
introduction-study-design-ccs

24

You might also like