You are on page 1of 14

MAKALAH

ILMU TASAWUF

TASAWUF SUNNI (MA’RIFAH)

DOSEN PENGAMPU

Prof. Dr. SITTI JAMILAH, S.Ag, M.Ag

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

MULIYANI B. 2120203886208099
NURUL DUHA 2120203886208076

RINI ANGRIANI RADI 2120203886208086

MakalahDisusunUntukMemenuhiTugasIlmu Tasawuf

PROGRAMSTUDIPENDIDIKANAGAMAISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUTAGAMAISLAMNEGERI PAREPARE

2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
AssalamualaikumWarahmatullahiWabarakatu
Alhamdulillah Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berkat rahmat dan hidayahnyalah sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas makalah dengan
judul “Tasawuf Sunni (Ma’rifah)” Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada baginda Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam nabi yang telah membawa ummatnya dari zaman
kejahiliyaan menuju zaman berpendidikan seperti sekarang ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf, sesuai dengan
format yang telah ditentukan. Namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami
harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya.

Terima kasih kami ucapkan Ibu Prof. Dr. Sitti Jamilah, S.Ag, M.Ag selaku dosen
pengampu mata kuliah Ilmu Tasawuf, yang telah membimbing kami dalam penyusunan
makalah ini. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca maupun kepada
kami yang menyusun makalah ini.

Parepare, 01 Oktober 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
I. PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan...................................................................................................................1
II. PEMBAHASAN............................................................................................................................2
A. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN MA’RIFAH................................................2
B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MA’RIFAH..............................................................6
III. PENUTUP...............................................................................................................................11
A. Kesimpulan..............................................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................................11
DAFTAR PUSAKA..................................................................................................................................12

ii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf ialah salah satu bidang riset Islam yang memusatkan atensi pada
pembersihan aspek rohani manusia yang bisa memunculkan akhlak mulia. Pembersihan
aspek rohani ini diketahui selaku ukuran esoteric dari diri manusia. Perihal ini berbeda
dengan aspek fikih, spesialnya pada thaharah yang memusatkan atensi pada pembersihan
aspek jasmaniah ataupun lahiriah yang diucap dengan ukuran eksoterik. Berkembangnya
pemikiran tasawuf akhir- akhir ini tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan spiritualisme
yang ialah salah satu dari sekian banyak trend besar di masa global. Inti ketertarikan manusia
modern terhadap dunia spiritual, pada dasarnya digunakan buat mencari penyeimbang baru
dalam hidupnya. Paradigma modern tidak sanggup menguak kesemestaan kehidupan sebab
semenjak dini sudah menolak ataupun mendekonstruksi kenyataan yang terletak di luar
jangkauan indera serta rasio.

Berkenaan dengan itu, agama nampak dijadikan selaku alternatif paradigma, sangat
tidak dalam diskursus post modernisme belum lama ini. Agama ditatap selaku bagian yang
sangat berarti serta fungsional untuk sejarah ekspedisi hidup manusia di masa depan. Hendak
namun, di balik optimisme tentang masa depan agama, ada persoalan tentang model
keberagamaan yang gimana yang bisa menyangga kebutuhan spiritualitas tersebut. Dalam
konteks persoalan semacam ini, tasawuf diharapkan jadi salah satu alternative buat mengisi
kehampaan spiritual manusia. Dalam pembicaraan tentang ajaran tasawuf selaku ekspedisi
spiritual, kita tidak bisa megabaikan kalau ada 2 sebutan teknis yang sangat berarti
yaitumaqamat serta ahwal. Buat menggapai puncak maqamat yang paling tinggi, seseorang
sufi wajib menempuh setahap demi setahap. Seseorang sufi yang sudah menggapai puncak
maqam paling tinggi nampak termanifestasikan dalam pergantian perilaku ataupun sikap
kepada akhlak yang lebih baik. Akhlak terpuji selaku wujud representative dari seseorang
sufi yang sudah sanggup mengarah jenjang mahabbah ataupun ma’ rifah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian, Tujuan, dan Kedudukan Tasawuf sunni (Ma’rifah)?
2. Siapa Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah?
3. Bagaimana Ma’rifah dalam Pandangan Al-Qu’ran dan Hadits?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian, Tujuan, dan Kedudukan Tasawuf sunni (Ma’rifah)
2. Mengetahui Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah
3. Mengetahui Ma’rifah dalam Pandangan Al-Qu’ran dan Hadits

1
II. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN MA’RIFAH
1. Pengertian Ma’rifah

Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata arafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada
umumnya. Selanjutnya ma'rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan
dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya
merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.

Istilah ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuat. Dan apabila di hubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah
ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat ulama Tasawuf yang
mengatakan

Artinya : "Ma'rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth


Thayyib A-Samiriy yang mengatakan

Artinya : "Ma'rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) ... dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi”

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin


Abdillah yang mengatakan

2
Artinya : "Ma'rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma'rifahnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma'rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma'rifah, memiliki tanda-tanda tertentu,
sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan: ada beberapa tanda yang
dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifah, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya,
Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak mem butuhkan kehidupan
yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan
bahwa Ma'rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya,
karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.

2. Tujuan Ma’rifah dalam Islam

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga
sasaran "antara" dari tasawuf, yaitu; pertama, tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek
moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan
dan pengendalian hawa. sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran
moral. Tasawuf yang bertujuan morali tas ini, pada umumnya bersifat praktis. Kedua, tasawuf
yang bertujuan untuk ma'rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-
hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khu sus yang
diformulasikan secara sistematis analitis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas
bagaimana sis tem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis,
pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia
dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. Dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan
itu, terdapat tiga simbolisme, yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan
dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia

3
dengan Tuhan dan makna dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan
sehingga yang terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dalam iradat
Tuhan.

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa
ma‟rifah pada lazimnya dimaksudkan untuk menyatakan usaha manusia untuk mengenal
hakekat atau Pencipta segala sesuatu.Maka tujuan ma‟rifah apabila didasarkan pada
pengertian tersebut akan berbeda menurut ahlinya masing-masing.

Ditinjau dari segi pengakuan, maka ma‟rifah dalam pandangan Filsafat Theisme, jelas
adanya persamaan dengan ma‟rifah dalam pandangan Islam, yakni masing-masing bertujuan
mengenal yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur.Tetapi dari segi lain, terdapat perbedaan
yang prinsipal, terutama ditinjau dari segi kelanjutan ma‟rifah.Tujuan akhir dari ma‟rifah
menurut Filsafat Theisme ialah mengenal Tuhan yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur,
sedangkan tujuan akhir dari ma‟rifah menurut Islam bukan dititikberatkan pada pengenalan
itu sendiri, tetapi pengenalan itu merupakan titik awal dari tujuan akhir.

Adapun aliran kedua, yakni Pantheisme, adalah aliran yang berpendapat bahwa alam ini pada
hakekatnya adalah Tuhan sendiri yang berarti bahwa kekuasaan atau kekuatan yang mengatur
alam semesta bukanlah bukan berada di luar alam, tetapi sebaliknya, alam semesta berada
dalam Tuhan. Namun demikian, alam dan Tuhan bukanlah satu wujud atau berhakikat
sesuatu. Paham Pantheisme nampaknya dianut oleh Plotinus yang berpendapat bahwa Tuhan
dan alam merupakan satu kesatuan walaupun derajatnya berbeda. Segala sesuatu merupakan
limpahan daripada-Nya.

Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan ma‟rifah dalam pandangan
filsafat ialah mengenal awal dari segala yang ada. Atau yang Maha Pencipta dan Maha
Pengatur.Pengenalan mereka tidak lebih dari itu. Kalaupun ada, paling jauh mereka rumuskan
hanya dalam bidang menyangkut etika, dan itupun mereka hanya sampai melahirkan
pandangan yang bersifat spekulatif. Diantara pemikir yang satu dengan yang lainnya saling
berbeda, tidak ada yang sampai menggariskan semacam apa yang dikenal dalam islam
dengan istilah syari‟at. Disinilah letak perbedaan yang prinsipal antara tujuan ma‟rifah dalam
filsafat dan tujuan ma‟rifah dalam Islam.

Dalam Islam, pembahasan mengenai tujuan ma‟rifah tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup
manusia itu sendiri, karena ma‟rifah dalam pandangan Islam tidak lain daripada usaha
manusia mengenal hidup dan tujuan hidup manusia.

K.M.R Abdullah mengatakan bahwa: “Tujuan hidup manusia ialah mencapai ridha Allah
semata-mata”, kemudian jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan
hidup tersebut ialah dengan melaksanakan tugas hidup sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hal
tersebut telah ditegaskan oleh Allah dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56

4
Artinya :

Aku tidak meciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

Para mufassirin sepakat bahwa makna ayat tersebut ialah agar jin dan manusia tunduk,
taat kepada Allah dan menyadari kerendahan diri mereka masing-masing. Jadi seluruh
makhluk, baik jin maupun manusia harus tunduk pada qadha Allah dan pasrah pada
kehendak-Nya, tunduk kepada apa yang ditakdirkan atasnya karena ia diciptakan sesuai apa
yang dikehendaki-Nya.

Keterangan tersebut diatas menunjukkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia sengan
sendirinya mencakup cara dan usaha yang seharusnya ditempuh untuk terwujudnya maksud
penciptaan tersebut. Dengan demikian tujuan penciptaan ialah agar manusia sadar akan
dirinya sebagai makhluk yang terbatas kemampuannya dan sadar pula bahwa ia menanggung
tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan, yakni beribadah kepada Allah SWT.

Muhammad Ghallab mengemukakan bahwa: “Tujuan ma‟rifah adalah untuk mencapai


puncak tertinggi dan paling mendalam tentang pertalian antara makhluk dengan Khaliknya,
baik dalam bidang tersembunyi (metafisika) maupun di balik tirai atau hijab. Dengan
demikian iman dengan dukungan akal tidak berhenti pada suatu batas, demikian pula
keteguhan yang akhirnya meningkat dan menanjak ke puncak ketuhanan. Dengan kata lain
untuk mencapai puncak pengenalan tentang hakikat ketuhanan.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang principal antara
filsafat dan Islam dari segi tujuan ma‟rifah. Menurut filsafat, tujuan ma‟rifah adalah
pengenalan terhadap hakikat yang ada, yang berarti kebenaran yang dicapainya adalah
semata-mata untuk kebenaran itu sendiri. Lain halnya dengan ma‟rifah yang di kehendaki
Islam, dimana ma‟rifah bertujuan bukan untuk pengenalan semata-mata, tetapi tujuannya
yang lebih tinggi ialah agar pelaksanaan tujuan hidup manusia sebagai makhluk benar-benar
terarah sesuai dengan tujuan penciptaannya.

3. Kedudukan Ma’rifah

Sebagaimana halnya dengan mahabbah, ma'rifah ini terkadang dipandang sebagai maqam dan
terkadang dianggap sebagai hal. Dalam gnosis. D literatur Barat, ma'rifah dikenal dengan
istilah, Dalam pandangan al-Junaid (w.381 H), ma'rifah dianggap sebagai hal, sedangkan
dalam Risalah al-Qusyairiyah, ma'rifah dianggap sebagai maqam. Sementara itu, al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din memandang ma'rifah datang sebelum mahabbah.
Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma'rifah datang sesudah mahabbah. Selanjutnya
ada pula yang mengatakan bahwa ma'rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu
disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi

5
dengan Tuhan. Dengan kata lain, mahabbah dan ma'rifah menggambarkan dua aspek dari
hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.

Dengan demikian, kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa ma'rifah datang sesudah
mahabbah sebagaimana dikemukakan al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena maʼrifah lebih
mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.

B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MA’RIFAH


Dalam literatur tasawuf dijumapi dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat ini,
yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Selain itu ada juga ada Harits Al-Muhasibi yang
juga memiliki konsep tentang ma’rifat ini.

1. Al Gazali

Al Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat "pegangan" yang


sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu
ialah "Paham Sufi" yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan
Madinah.

Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah


bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap
beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya ialah jalan
mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khalayak ramai.

Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka'bah maka terbukalah
pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang
berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang
normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.

Terhadap hal ini, Al Gazali mengatakan: "Kemudian panggilan anak-anak dan cinta
keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan
pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup berkhalwat
dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup,
kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku,
mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak
membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan
segala aral yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali".

Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia
pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah
panggilan yang ditunggu tunggunya itu Perdana Menteri Fakhrul Mulk, putera dari Nizam
ul Mulk almarhum, telah meminatnya supaya segera pulang ke Niesabur untuk memimpin
Universitas Nizamiyah yang di tinggalkannya.

6
Al Gazali memangku jabatan presiden Universitas, dan memberikan kuliah dengan
gembira sekali. Kesadaran baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang
sejati dan paling baik. Disebarkannya kepada segenap mahasiswanya.

Menurut Al Gazali, ma'rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang
mempunyai ma'rifah tentang Tuhan yaitu (A'rif) tidak akan mengatakan "Ya Allah" atau
"Ya Rabbi". karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu menyatakan, bahwa
Tuhan ada di belakang tabir, Ma'rifah menurut Al Gazali juga memandang kepada wajah
Allah SWT.

Ma’rifat al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat
ualam/mutakallimin, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzuq rohani dan kasyf
Illahi. Al-Ghazali memberikan pandangannya tentang ma’rifat yaitu tampak jelas rahasia-
rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup
segala yang ada. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa ma’rifat adalah memandang
kepada wajah (rahasia) Allah.

Sedangkan ma'rifah dan mahabbah menurut Al Gazali adalah tingkatan tinggi bagi
seorang sufi. Dan pengetahuan ma'rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal.

2. Dzu al-nun al-misri

Nama lengkapnya ialah Abu al-Faidl Tsauban bin Ibra menci him Dzu al-Nun al
Mishri al-Akhmini Qibthy. Ia dilahirkan intai-N di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang
dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih belum
banyak orang yang mengungkapkan mengenai masalah ini. Namun demikian ia telah disebut
sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang tersohor dan terkemuka antara sufi-sufi
lainnya pada abad ketiga hijriah.

Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits
dan Fiqh memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik kedu niaan
di samping sebagai obor bagi agama: Pandangan hidupnya yang cukup sensitif barangkali
menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan menantangnya dan seka ligus menuduhnya
sebagai seorang zindiq. Tidak hanya sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya
kepa da Ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam
penganut Mazhab Maliki Dzu al-Nun dipanggil dan ditanyai oleh pimpinan Ulama itu. Dari
berbagai jawaban dan uraian yang diberikan oleh Dzu al-Nun dipanggil dan ditanyai oleh
pimpinan Ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikan oleh Dzu al-Nun maka
pimpinan Ulama ini pun menuduhnya sebagai seorang zindig. Setelah itu Dzu al-Nun merasa,
bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Karenanya ia memutuskan untuk
sementara waktu pergi berkelana ke berbagai negeri lain. Setelah merantau beberapa waktu
lamanya, ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi Laits (berpaham
mazhab Hanafi) sebagai pengganti dari pada Muhammad bin Abdul Hakam yang sudah
meninggal. Di Mesir, ia dituduh orang sebagai seorang zindiq dan demikian pula sikap

7
penguasa (qadli) pada masa itu, bahkan menyuruhnya pergi ke Baghdad menemui Khalifah
untuk menerima hukuman penjara.

Akan tetapi di Baghdad banyak sufi yang berasal dari Mesir dan di antara mereka ada
yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan istana. Para sufi itu berusaha agar khalifah al-
Mutawakkil berkenan mendengar dan menerima ajaran Dzu al-Nun al-Mishri. Ternyata
kemudian al Mutawakkil bersedia menerima kedatangan al-Mishri serta menerima ajaran-
ajaran yang dikembangkan oleh al Mishri. Pada waktu al-Mishri akan kembali ke Mesir,
khalifah melepaskannya dengan penghormatan. Sekembalinya di Mesir, ia kembali menyebar
luaskan ajaran tasawufnya dan sejak itu pula tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan
Mesir. Namun tidak lama kemudian ia wafat di Jizah dan dimakamkan di Qurafah Shughra
pada tahun 245 Hijriah.

Jasa Dzu al-Nun al-Mishri yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf
adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-
maqomat. Dia banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah
sesuai dengan pandangan sufi. Karenanya ia juga sering disebut pemun caknya kaum sufi
pada abad tiga hijriah. Adapun pendapat pendapatnya di sekitar metode mendekatkan diri
kepada Allah atau al-maqomat dan al-ahwal, akan di bahas pada pasal empat bab ini. Di
samping itu, al-Mishri juga adalah salah seorang pelopor doktrin al-ma'rifah Dalam hal ini ia
membedakan antara pengetahuan dan keyakinan Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil
dari pengamatan inderawi, yakni apa yang dapat di terima melalui panca indera. Sedangkan
keyakinan adalah hasil Sadari apa yang dipikirkan dan atau diperoleh melalui intuisi. Dalam
hubungan ini, ia menjelaskan, bahwa pengetahuan itu ada tiga kualitas, yaitu:

1. Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan
yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.

2. Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti pendemostrasian ilmiah dan


hal ini merupakan milik orang-orang yang bijak, pintar dan terpelajar, para mutakallim
dan filosof.

3. Pengetahuan tentang sifat-sifat yang maha esa, dan ini merupakan milik orang- orang
yang saleh (Wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya, sehingga
Allah menampakkan diri kepada mereka dengan cara yang ia tidak berikan kepada
siapapun di dunia kecuali kepada aulia.

Sementara itu, M. Zahri menjelaskan bahwa ma’rifat yang dimunculkan oleh Zun al-
Nur al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifat hanya terdapat
pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan
serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifat dimasukkan Tuhan ke dalam
hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Zun al-Nur al-Misri ditanya
bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab: aku mengetahui Tuhan
dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.

8
C. MA’RIFAH DALAM PANDANGAN AL-QU’RAN DAN HADITS

Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma'rifah adalah pengetahuan tentang


rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya
yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian ma'rifah berhubungan
dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur'an, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur
diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.19 Misalnya ayat yang berbunyi,

Artinya : Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun. (QS Al-Nur [24]: 40).

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu
ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? (QS Al-
Zumar [39]: 22).

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat
diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya
akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak
mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma'rifah kepada Allah, yang
didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma'rifah sangat dimungkinkan
terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.

Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai Sabda Rasulullah yang berbunyi:

"Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan
siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku
kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku." (Hadis Qudsi).

Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya
dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma'rifah dapat terjadi,
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

9
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuat. Dan apabila di hubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah
ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Dalam arti sufistik ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan
yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Menurut filsafat, tujuan ma‟rifah adalah pengenalan
terhadap hakikat yang ada, yang berarti kebenaran yang dicapainya adalah semata-mata untuk
kebenaran itu sendiri. Lain halnya dengan ma‟rifah yang di kehendaki Islam, dimana
ma‟rifah bertujuan bukan untuk pengenalan semata-mata, tetapi tujuannya yang lebih tinggi
ialah agar pelaksanaan tujuan hidup manusia sebagai makhluk benar-benar terarah sesuai
dengan tujuan penciptaannya. Mahabbah dan ma'rifah menggambarkan dua aspek dari
hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan. Dengan demikian, kelihatannya
yang lebih dapat dipahami bahwa ma'rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana
dikemukakan al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena maʼrifah lebih mengacu kepada
pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.

Dalam literatur tasawuf dijumapi dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat
ini, yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Menurut Al Gazali, ma'rifah ialah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang
ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan
yaitu (A'rif) tidak akan mengatakan "Ya Allah" atau "Ya Rabbi". karena memanggil Tuhan
dengan kata-kata seperti itu menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir, Ma'rifah
menurut Al Gazali juga memandang kepada wajah Allah SWT. Abu al-Faidl Tsauban bin
Ibra menci him Dzu al-Nun al Mishri al-Akhmini Qibthy. Ia dilahirkan intai-N di Akhmin
daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat
pendidikannya karena masih belum banyak orang yang mengungkapkan mengenai masalah
ini. Namun demikian ia telah disebut sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang
tersohor dan terkemuka antara sufi-sufi lainnya pada abad ketiga hijriah.

Dalam ma'rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian,
ajaran ma'rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-
Qur'an. Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.
Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma'rifah dapat
terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

B. Saran
Pada penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya, baik berupa bahasa maupun cara
penyusunannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan
penyusunan makalah yang lebih baik lagi.

10
DAFTAR PUSAKA

Mustofa. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nata, Abuddin. 2017. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers.

Siregar, A.Rivay. 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Hanifiyah, F. (2019). KONSEP TASAWUF SUNNI: Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat


dan Ahwal, Al. https://core.ac.uk/download/pdf/276639227.pdf

Hasnawati, H. (2015). Faham Mahabbah dan Ma’rifah dalam Tasauf Islam. Al-Qalb: Jurnal Psikologi
Islam, 6(2), 100-108.

11

You might also like