You are on page 1of 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN COS DI RUANG ICU RSD DR.SOEBANDI KABUPATEN


JEMBER

Disusun guna untuk memenuhi tugas akhir stase Keperawatan Gadar pada
program pendidikan Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh :
Erika Nurul Hasanah

2201031050

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2022
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1 Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan organ vital yang sangat penting dan sangat rumit, terdiri
dari beberapa bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak
memiliki berat ±2% dari total berat badan, membutuhkan sekitar 20% sirkulasi
darah dari jantung, dan energi 400 Kkal setiap harinya (Faculty of Medicine
Hasanuddin University, 2016). Otak juga membutuhkan oksigen dan glukosa,
apabila kadarnya berkurang maka akan mengganggu proses metabolisme tubuh
dan menyebabkan kematian jaringan saraf (Faculty of Medicine Hasanuddin
University, 2016). Otak bekerja secara terus-menerus tanpa periode istirahat,
sehingga total kebutuhannya relatif konstan.

Gambar 1. Anatomi otak manusia (National Center for Biotechnology


Information, 2016)
Bagian-bagian otak antara lain ada serebrum, serebelum, dan batang otak
yang dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata (Yueniwati,
2017). Otak besar atau yang biasa disebut serebrum terbagi menjadi dua belahan
otak. Di bawah kedua belahan otak tersebut terdapat otak kecil atau serebelum
yang terhubung dengan batang otak dan tersambung dengan saraf tulang belakang
(Yueniwati, 2017). Berikut penjelasan mengenai bagian otak dan fungsinya:
1. Otak besar
Cerebrum atau otak besar meliputi 85% bagian otak. Saat manusia berpikir,
memori jangka pendek dan panjang yang tersimpan merupakan peran dari otak
besar tersebut (Yueniwati, 2017). Otak besar ini juga mengatur pergerakan otot
yang dikendalikan secara sadar (Yueniwati, 2017). Otak besar terdiri dari belahan
kanan dan kiri. Belahan otak kanan mengendalikan bagian tubuh kiri. Sebaliknya,
bagian otak kiri mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan.

Gambar 2. Susunan lobus pada otak besar (Sridianti, 2016)


Tiap belahan otak memiliki empat bagian utama, yaitu:
a) Lobus frontal yang terletak di bagian depan berfungsi mengendalikan cara
berpikir, membuat rencana, mengatur, memecahkan masalah, pergerakan
fisik, dan memori jangka pendek.
b) Lobus parietal yang letaknya di bagian tengah bertugas menafsirkan
informasi sensorik, seperti: cita rasa, suhu, dan sensasi sentuhan.
c) Lobus oksipital terletak di bagian belakang merupakan bagian yang akan
memroses gambaran dari mata dan mengaitkan informasi tersebut pada
memori yang ada dalam otak.
d) Lobus temporal di bagian samping akan memroses informasi dari indera
penciuman, pengecap, dan pendengaran. Bagian otak ini juga memiliki
peran penting dalam penyimpanan memori.
2. Otak kecil
Berat otak kecil sekitar 8% dari berat batang otak (Faculty of Medicine
Hasanuddin University, 2016). Terletak di sebelah bawah belakang kepala (di
belakang batak otak dan tepat di bawah lobus oksipital) dekat ujung leher atas,
otak kecil merupakan komponen otak terbesar kedua (Yueniwati, 2017). Otak
kecil atau cerebellum ini juga merupakan pusat kendali koordinasi anggota tubuh,
yaitu dengan cara menerima informasi dari otak besar dan panca indera melalui
saraf tulang belakang. Selain mempengaruhi gerakan anggota tubuh, otak kecil
juga mengontrol fungsi otomatis tubuh, seperti menjaga keseimbangan pada
kemampuan berjalan, koordinasi otot dan gerakan tubuh, serta mengatur posisi
tubuh (Yueniwati, 2017).
3. Batang otak
Batang otak atau brainsteam terdiri atas mesensefalon, pons, dan medula
oblongata. Letaknya berada di bawah otak besar dan di depan otak kecil. Area
dalam batang otak berfungsi untuk mengontrol beberapa hal penting utamanya
fungsi vital dalam tubuh, seperti: kesadaran, detak jantung, gerakan refleks,
pergerakan usus, pernapasan, dan tekanan darah (Faculty of Medicine Hasanuddin
University, 2016). Batang otak memiliki sekumpulan saraf yang berfungsi
mengendalikan berbagai bagian kepala dan leher khususnya gerakan mata,
sensasi, dan pergerakan wajah, gerakan menelan serta batuk (Yueniwati, 2017).
1.2 Definisi
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat
degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar yang
menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial (Valadka, 1996
dalam Rizal, 2018). Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Valadka, 1996 dalam Rizal,
2018). Menurut Brain Injury Association of America (BIAA) mengemukakan
bahwa cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury/TBI) didefinisikan sebagai
pukulan atau sentakan ke kepala atau cedera kepala yang mengganggu fungsi
otak. Tidak semua pukulan atau goncangan di kepala menghasilkan cedera otak,
tergantung dari tingkat keparahan cedera.
Cedera otak sedang (COS) adalah istilah yang digunakan ketika seseorang
mengalami perubahan fungsi otak lebih dari beberapa menit setelah trauma (UAB,
2020). COS apabila dilakukan pemeriksaan neurologis akan didapatkan hasil GCS
9- 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Menururt American Association of Neurological Surgeons
(2020), pasien dengan cedera kepala sedang kemungkinan 60% akan sembuh
secara positif dan diperkirakan 25% tersisa mengalami tingkat kecacatan sedang,
dan lainnya akan memiliki tingkat kecacatan yang parah. Pasien dengan cedera
otak traumatis sedang memiliki variabilitas yang besar dalam keparahan cedera
dan perjalanan fase akut (Lund dkk., 2016). Mereka mungkin mengalami cedera
intra dan ekstrakranial yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder selama fase
akut tersebut.
1.3 Epidemiologi
Cedera otak traumatis/TBI adalah masalah kesehatan masyarakat global,
World Health Organization memaparkan bahwa TBI akan menjadi penyebab
utama ketiga kematian dan kecacatan di seluruh dunia pada tahun 2020
(Watanitanon dkk., 2019). Di India dan negara berkembang lainnya, cedera kepala
juga masih menjadi penyebab utama mortalitas dan disabilitas, yaitu diperkirakan
sebanyak 1,5-2 juta orang terkena cedera kepala setiap tahunnya (Gururaj dkk.,
2005 dalam Callosum, 2014). Sedangkan di Indonesia sendiri, data epidemiologi
cedera kepala belum tersedia secara nasional, data epidemiologi didapatkan antara
lain dari bagian saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto
Mangunkusumo bahwa pada tahun 2004, yaitu sebanyak 367 kasus cedera kepala
ringan, 105 kasus cedera kepala sedang, dan 25 kasus cedera kepala berat.
Sedangkan pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus cedera kepala ringan, 130
kasus cedera kepala sedang, dan 20 kasus cedera kepala berat (Akbar, 2008 dalam
(Callosum, 2014).
1.4 Etiologi
Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera
traumatis lainnya pada kepala. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa
faktor, termasuk sifat cedera dan kekuatan benturan. Peristiwa umum yang
menyebabkan cedera otak traumatis (MayoClinic Staff, 2021), meliputi:
1. Jatuh. Jatuh dari tempat tidur atau tangga, menuruni tangga, saat mandi, dan
jatuh lainnya adalah penyebab paling umum dari cedera otak traumatis
secara keseluruhan, terutama pada orang dewasa yang lebih tua dan anak
kecil.
2. Kecelakaan. Tabrakan yang melibatkan mobil, sepeda motor, atau sepeda -
dan pejalan kaki yang terlibat dalam kecelakaan tersebut - adalah penyebab
umum cedera otak traumatis.
3. Kekerasan. Luka tembak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak
dan serangan lainnya adalah penyebab umum. Sindrom bayi terguncang
adalah cedera otak traumatis pada bayi yang disebabkan oleh guncangan
hebat.
4. Cedera olahraga. Cedera otak traumatis dapat disebabkan akibat sejumlah
olahraga, termasuk sepak bola, tinju, baseball, lacrosse, skateboard, hoki,
dan olahraga berdampak tinggi atau ekstrem lainnya. Ini sangat umum di
kalangan remaja.
5. Ledakan dan cedera pertempuran lainnya. Ledakan eksplosif adalah
penyebab umum cedera otak traumatis pada personel militer aktif. Meski
bagaimana kerusakan terjadi belum dipahami dengan baik, banyak peneliti
percaya bahwa gelombang tekanan yang melewati otak secara signifikan
dapat mengganggu fungsi otak.
6. Cedera otak traumatis juga terjadi akibat luka tembus, pukulan hebat di
kepala dengan pecahan peluru atau puing, dan jatuh atau benturan tubuh
dengan benda setelah ledakan.
1.5 Komplikasi
Menurut Ginsberg (2008) dalam Permatasari (2015) menyebutkan bahwa
komplikasi dari cedera kepala antara lain:
1. Kebocoran cairan serebrospinal.
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Komplikasi ini dapat ditangani
dengan terapi infeksi, namun juga dibutuhkan reparasi bedah untuk robekan
dura. Eksplorasi bedah juga diperlukan jika terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
2. Epilepsy pascatrauma.
Terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu pertama
setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur
depresi cranium, atau hematoma cranial.
3. Kejang
4. Herniasi otak
5. Infeksi sistemik
1.6 Patofisiologi
Ainsworth (2020) menjelaskan terkait patofisiologi dari cedera kepala. TBI
dapat dibagi menjadi 2 kategori, cedera otak primer dan cedera otak sekunder.
Cedera otak primer diartikan sebagai cedera awal pada otak sebagai akibat
langsung dari trauma. Ini adalah cedera struktural awal yang disebabkan oleh
benturan pada otak. Sedangkan, cedera otak sekunder didefinisikan sebagai cedera
berikutnya pada otak setelah serangan awal. Cedera otak sekunder dapat terjadi
akibat hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan TIK, atau sebagai akibat biokimia
dari serangkaian perubahan fisiologis yang dipicu oleh trauma awal. Perawatan
cedera kepala diarahkan untuk mencegah atau meminimalkan cedera otak
sekunder.
Trauma kepala yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan di ekstra kranial atau kulit kepala, tulang kranial, dan juga intra
kranial atau di jaringan otak dapat mengakibatkan perdarahan, sehingga akan
mengalami perubahan sirkulasi CSF (cairan serebrospinal) dan terjadi
peningkatan TIK. Perlu diperhatikan bahwa otak berada di dalam tengkorak,
wadah yang kaku dan tidak elastis. Karena otak ditempatkan di dalam wadah yang
tidak elastis ini, hanya sedikit peningkatan volume di dalam kompartemen
intrakranial yang dapat ditoleransi. Peningkatan ICP (tekanan intrakranial) adalah
kondisi yang perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan penurunan CPP
(tekanan perfusi otak) dan penurunan CBF (aliran darah otak), yang jika cukup
parah dapat menyebabkan iskemia serebral. Peningkatan ICP yang parah sangat
berbahaya karena selain menimbulkan risiko iskemia yang signifikan, ICP yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan pembengkakakn otak/herniasi. Herniasi
melibatkan pergerakan otak melintasi struktur dural, mengakibatkan cedera otak
yang irreversibel dan seringkali fatal.
Cinical Pathway
Faktor Risiko Penyebab COS
(KLL, benturan langsung pada kepala, jatuh, cedera kekerasan, cedera olahraga, dll)

Ekstra kranial/kulit kepala Tulang kranium intrakranial

Suplai darah ke otak Terputusnya jaringan otot, kulit, Terputusnya Fraktur tulang Ruptur pembuluh
Laserasi/perdarahan jaringan otak
dan vaskuler kontinuitas tulang darah vena

Perdarahan, hematom, kerusakan Perobekan arteri


Iskemia Nyeri Akut Subdural hematoma Cerebral hematoma
jaringan meningea media

Tekanan hidrostatik Defisit Disfungsi


hipoksia Perubahan sirkulasi CSF Risiko Syok Hematoma epidural
meningkat neurologi batang otak

Gangguan
Perfusi perifer tidak Penekanan batang Kerusakan
Peningkatan ICP Kapiler bocor persepsi
efektif otak saraf motorik
sensori

Penurunan kesadaran pH arteri Gangguan


Peningkatan
Herniasi meningkat Edema paru mobilitas
Defisit perawatan diri asam lambung
fisik

Harga Diri
Gangguan Penurunan
Distres Spiritual Dilatasi arteri Risiko infeksi Mual muntah Rendah
menelan reflek batuk
Situasional

Defisit Penumpukan Aliran darah ke


Mual muntah Nausea Risiko Jatuh
Nutrisi sekret otak meningkat

Bersihan Edema serebri Risiko perfusi


Risiko
jalan napas serebral tidak
hipovolemia
tidak efektif efektif
1.7 Manifestasi Klinis
Menurut National Institute of Neurogical and Stroke, seseorang dengan TBI
sedang atau berat cenderung menunjukkan gejala yang sama dengan TBI ringan,
tetapi mayoritas akan mengalami sakit kepala yang semakin parah atau tidak
kunjung sembuh, muntah atau mual berulang kali, kejang atau kejang absans,
ketidakmampuan untuk bangun dari tidur, pelebaran salah satu atau kedua pupil
mata, bicara cadel, kelemahan atau mati rasa pada ekstremitas, kehilangan
koordinasi, dan peningkatan kebingungan, kegelisahan, atau agitasi (National
Academies of Science - Engineering - Medicine, 2019).
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan Bajamal dkk. (2014) adalah
sebagai berikut:
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
1.9 Penatalaksanaan
Menurut Bajamal dkk. (2014) pada Pedoman Tatalaksana Cedera Otak,
penatalaksanaan pasien dengan cedera otak sedang adalah sebagai berikut :
1. Stabilitasi airway, breathing, dan sirkulasi
2. Pemasangan kateter untuk mengevaluasi produksi urin
3. Melakukan anamneses, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan neurologis
4. Terapi medikamentosa:
a) Obat anti kejang
Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca
trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam.
Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan
setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan resiko kejang fase
lanjut pasca trauma. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk
mencegah kejang fase dini pasca trauma. Penggunaan obat anti kejang
tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca trauma tipe
lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan
untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap
terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca
trauma (early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk
terjadi kejang pasca trauma.
b) Obat analgesic
Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma
kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari.
c) Obat simtomatik melalui IV
Obat-obatan NSAID atau antidepresan lainnya
5. Pembedahan dilakukan bila terjadi pada tulang tengkorak dan laserasi
6. Pengunaan terapi komplementer seperti : teknik distraksi napas dalam,
guided imagery, hipnosis 5 jari, terapi musik, terapi benson, akupuntur, dan
akupresur untuk mengurangi nyeri dan manajemen stres
B. PROSES KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pedidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal untuk rumah
sakit dan diagnosa medis
b) Keluhan Utama
Berisi data subjektif yang dirasakan pasien ketika masuk rumah sakit
c) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami penurunan kesadaran, mual muntah, nyeri kepala,
kelemahan, perdarahan, fraktur tengkorak, amnesia sesaat, gangguan
pendengaran, gangguan penciuman.
d) Riwayat penyakit terdahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system syaraf. Riwayat trauma
terdahulu, riwayat penyakit darah, dan riwayat penyakit sistemik.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat penyakit menular
f) Pemeriksaan Fisik
 Vital Sign
Tekanan darah :menunjukan normal hingga abnormal
Suhu : berada pada rentang hipertermi > 380C
Nadi : takikardi
RR : normal hingga abnormal
 Kesadaran : somnolen hingga koma
GCS : 9-12
 Keadaan umum
1. Status gizi : pasien megalami kegemukan, normal, atau kurus
2. Sikap : pasien menunjukkan menahan nyeri pada area kepala jika
terjadi peningkatan TIK atau fraktur tengkorak
 Pemeriksaan fisik
1. B1 ( Breating )
Inspeksi : pasien terlihat menggunakan otot bantu nafas. Pernafasan
terlihat chyne stokes. Terlihat peningkatan frekuensi nafas.
Auskultasi: Terdapat bunyi stridor yang diakibatkan lidah jatuh
kebelakang ketika penurunan kesadaran ataupun kejang. Terdengar
suara ronchi akibat penumpukan sputum pada jalan nafas
Perkusi : Terdapat bunyi redup jika terdapat odeme paru
Palpasi : Tidak terdapat benjolan atau masa pada thorak
2. B2 ( Blood )
Inspeksi : pasien telihat pucat, sianosis jika terjadi gangguan perfusi.
Terdapat perdarahan pada area kepala dengan fraktur dan tanpa fraktur
akibat kerusakan jaringan. Auskultasi : terdengar bunyi jantung s1 s2
tunggal.
Perkusi : Tidak terdapat bunyi redup
Palpasi: terjadi peningkatan frekuensi nadi, nadi teraba lemah,
disritmia. Tidak terdapat pembesaran vena juularis.
3. B3 ( Brain )
Inspeksi : terjadi penurunan kesadaran, bingung. Respon pupil
menunjukan mengecil menandakan disfungsi enchepalo dan gangguan
metabolisme. Terlihat sulit menggerakan bagian tubuh sebagian
tergantung bagian otak mana yang mengalami cidera.
Palpasi : terdapat benjolan berupa hematoma karena adanya internal
bledding. Terdapat nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka
4. B4 ( Blader )
Inspeksi : tidak terdapat luka pada area blader. Pasien mengalami
oliguria pada pasien dengan gangguan perfusi hingga ke ginjal akibat
adanya gangguan metabolisme. Terjadi inkontinensia urin akibat
gangguan sistem syaraf
Palpasi : teraba keras apabila terjadi retensi urin atau pun bendungan
urin
Perkusi : terdengar bunyi redup jika terdapat bendungan urin.
5. B5 ( Bowel )
Inspeksi : pasien terlihat mual dan muntah akibat peningkatan TIK.
Auskultasi : penurunan jumlah bising usus dan akan terdengar lemah
Palpasi : tidak terdapat gangguan berupa benjolan atau asites
Perkusi : terdengar bunyi timpani
6. B6 ( Bone )
Inspeksi : pasien terlihat parese atau paraplegi akibat bagian otak yang
rusak.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada tulang tengkorak yang mengalami
kontraktur atau fraktur. Terdapat ganguan reflek patela sesuai letak otak
yang mengalami kerusakan serta penurunan tonus otot.

2.2 Diagnosa Keperawatan


a) Risiko perfusi cerebral tidak efektif b.d cedera kepala
b) Perfusi jaringan perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hb
c) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma kepala)
d) Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular
e) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskular
f) Gangguan persepsi sensori b.d hipoksia serebral
g) Nausea b.d peningkatan tekanan intrakranial
h) Defisit perawatan diri b.d gangguan neuromuskular
i) Distres spiritual b.d kejadian hidup yang tidak diharapkan
j) Gangguan menelan b.d gangguan serebrovaskuler
k) Risiko syok b.d kekurangan volume cairan, hipoksia
l) Risiko infeksi b.d efek luka terbuka
m) Risiko hipovolemia b.d kehilangan cairan secara aktif
2.3 Intervesi Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan (Tim Pokja SLKI DPP Rencana Keperawatan (Tim Pokja SIKI Rasional Nama
Keperawatan PPNI, 2018) DPP PPNI, 2018) & Paraf
(Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016)
1. Risiko perfusi Setelah dilakukan tindakan SIKI (I.06198) Pemantauan TIK
serebral tidak keperawatan selama 3 x 24 jam 1) Identifikasi penyebab peningkatan 1. Menemukan penyebab dan
efektif perfusi serebral meningkat TIK mengantisipasi gejala
dengan kriteria: 2) Monitor peningkatan TD 2. Mengobservasi tekanan darah
3) Monitor penurunan frekuensi jantung 3. Mengobservasi nadi
SLKI (L.02014) Perfusi Serebral 4) Monitor ireguleritas irama napas 4. Mengobservasi usaha Firda R.
Skala 5) Monitor penurunan tingkat bernapas
Indikator
Awal Akhir kesadaran 5. Mendeteksi dini perubahan
Tingkat 5 yang terjadi sehingga dapat
kesadaran mengantisipasinya.
TIK 1 6) Monitor jumlah, kecepatan, dan 6. Mengetehui volume cairan
Gelisah 1 karakteristik drainase cairan
TD sistolik 5 7) Pertahankan posisi kepala dan leher 7. Mencegah terjadinya
TD diastolik 5 netral peningkatan TIK
Keterangan : 8) Atur interval pemantauan sesuai 8. Mengetahui kondisi pasien
1 : menurun kondisi klien terkini
2 : cukup menurun
3 : sedang
4 : cukup meningkat
5 : meningkat
2. Perfusi perifer Setelah dilakukan intervensi selama SIKI (I.02079) Perawatan sirkulasi
tidak efektif 3 x 24 jam sirkulasi perifer adekuat
1) Periksa sirkulasi perifer (nadi, 1. Mengobservasi tanda
dengan kriteria
pengisian kapiler, warna, akral) penurunan sirkulasi perifer
2) Lakukan hidrasi 2. Mengoptimalkan turgor kulit
SLKI (L.02011) Perfusi perifer
Skala 3) Anjurkan program rehabilitasi
Indikator
Awal Akhir vaskuler misalnya dengan relaksasi
Parastesia 3 2 otot 3. Mengoptimalkan sirkulasi
Akral 2 4 4) Informasikan tanda dan gejala
Turgor 2 4 darurat yang harus dilaporkan (rasa Firda R.
Keterangan : sakit yang tidak hilang saat istirahat, 4. Mengantisipasi kondisi
1 : menurun hilangnya rasa) kegawatan yang terlambat
2 : cukup menurun diketahui perawat
3 : sedang SIKI (I.03121) Pemantauan cairan
4 : meningkat
5 : cukup meningkat 5) Monitor elastisitas atau turgor kulit

6) Monitor jumlah dan warna urin 5. Mengobservasi elastisitas


7) Monitor intake dan output cairan kulit
8) Informasikan hasil pemantauan 6. Mengobservasi urin output
7. Mengobservasi balance
cairan
8. Memberikan informasi yang
tepat
3. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi selama 3 SIKI (I.08238) Manajemen Nyeri
x 24 jam tingkat nyeri menurun 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Mengetahui tanda-tanda nyeri
dengan kriteria durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan karakteristiknya
SLKI (L.08066) Tingkat Nyeri nyeri
Skala 2) Identifiksi skala nyeri 2. Mempermudah penanganan
Indikator Firda R.
Awal Akhir nyeri
Meringis 1 3) Identifikasi respon nyeri non verbal 3. Mengetahui respon klien
Gelisah 1 terhadap nyeri
Tekanan darah 5 4) Berikan teknik non farmakologi untuk 4. Mengurangi nyeri
Frekuensi nadi 5 mengurangi rasa nyeri (terspi non
Pola napas 5 farmaologi)
5. Mengenalkan kondisi nyeri
Keterangan : 5) Jelaskan penyebab, periode, dan yang sedang dialami
1 : menurun pemicu nyeri 6. Mempermudah klien untuk
2 : cukup menurun 6) Anjurkan memonitr nyeri secara mengatasi secara mandiri atau
3 : sedang mandiri perlu bantuan
4 : cukup meningkat 7. Mengurangi nyeri yang tidak
5 : meningkat 7) Kolaborasi pemberian analgetik, jika dapat diatasi dengan terapi
perlu nonfarmakologi
4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan SIKI (I.05173) Dukungan mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 3 x 24 jam 1) Identifikasi toleransi fisik melakukan 1. Mengobservasi keterbatasan
mobilitas fisik meningkat dengan pergerakan fisik klien
kriteria: 2) Monitor kondisi umum selama 2. Meminimalisir risiko cedera
SLKI (L.05042) Mobilitas Fisik melakukan mobilisasi Firda R.
Skala 3) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika 3. Meningkatkan mobilisasi agar
Indikator
Awal Akhir perlu tidak terjadi atrofi otot
Pergerakan 5 4. Mempertahankan kekuatan
4) Ajarkan mobilisasi sederhana yang
ekstremitas otot
harus dilakukan (mis, duduk ditempat
Kekuatan otot 5 tidur, duduk di sisi tempat
ROM 5 tidur,pindah daru tempat tidur ke
Keterangan : kursi)
1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun
5. Nausea Setelah dilakukan tindakan SIKI (I.031170 Manajemen mual
keperawatan selama 3 x 24 jam 1) Monitor mual 1. Mengobservasi rasa mual
tingkat kenyamanan meningkat yang dialami
dengan kriteria: 2) Identifikasi dampak mual terhadap 2. Mengobservasi pegaruh mual
kualitas hidup yang dirasakan
SLKI (L.05064) Status 3) Kurangi atau hilangkan keadaan 3. Menghindari penyebab
kenyamanan penyebab mual ketidknyamanan
Skala 4) Ajarkan penggunaan teknik non 4. Memberikan terapi
Indikator
Awal Akhir farmakologis untuk mengatasi mual keperawatan
Gelisah 5 5) Kolaborasi pemberian antiemetic 5. Memenuhi kebutuhan
Mual 5 medikasi Firda R.
Keterangan :
1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun
DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth, C. R. 2020. Head Trauma.


https://emedicine.medscape.com/article/433855-overview#a7 [Diakses pada
March 1, 2021].
American Association of Neurological Suegeons. 2020. Traumatic Brain Injury.
https://www.aans.org/Patients/Neurosurgical-Conditions-and-Treatments/
Traumatic-Brain-Injury [Diakses pada February 28, 2021].
Bajamal dkk. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak (Guideline In
Management of Traumatic Brain Injury).
http://spesialis1.neurologi.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/
Neurotrauma-Guideline-2014.pdf [Diakses pada February 28, 2021].
Callosum, T. 2014. Trombositopenia Sebagai Prediktor Kematian Cedera Kepala
Berat. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Faculty of Medicine Hasanuddin University. 2016. Bahan Ajar: Ensefalopati.
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-
_-Ensepalopati.pdf [Diakses pada February 28, 2021].
Lund, S. B., K. H. Gjeilo, K. G. Moen, K. Schirmer-Mikalsen, T. Skandsen, dan
A. Vik. 2016. Moderate traumatic brain injury, acute phase course and
deviations in physiological variables: an observational study. Scandinavian
Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 24(77):1–8.
MayoClinic Staff. 2021. Traumatic Brain Injury.
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/traumatic-brain-injury/
symptoms-causes/syc-20378557 [Diakses pada February 28, 2021].
National Academies of Science - Engineering - Medicine. 2019. Evaluation of the
Disability Determination Process for Traumatic Brain Injury in Veterans.
Washington (DC): National Academies Press (US).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Edisi 1. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

You might also like