You are on page 1of 14

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

HUTAN DAN EKOSISTEM (SDHAE) PADA MASYARAKAT


DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

Diah Puspaningrum
Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember
email : puspafauzan38@gmail.com

ABSTRACT
This research aims to dig the potentials of each areas based on their local wisdom (resources,
knowledge, culture and process) in the areas of villagers of buffer villages at Meru Betiri
National Park. The research uses qualitative approach and purposive random sampling is used
to determine research location. The locations chosen are buffer villages within the area of Meru
Betiri National Park. The activity is conducted in all section of Meru Betiri National Park: Area
Section I Sorongan (Rajegwesi), Area Section II Sorongan (Rajegwesi), Area Section II Ambulu
(Curahnongko) and Area Section III Kalibaru (Kebunrejo). Data collection is conducted
through rapid appraisal methods. The methods used in the researchs consisted of: indepth
interview, field observation, and FGD (focus discussion group) thus various data collection
technique are used (triangulation technique). Data analysis method collected through indepth
interview and observation is using interactive data analysis from Miles and Huberman (1992).
The conclusion of the research is that local wisdom owned by villagers of buffer villages in
terms of local culture is varied. It is especially indicated in their value system of local culture.
The local knowledge is relatively good in which there are technological use adjusted with the
management of natural result. Local process in terms of gotong royong (mutual cooperation)
and discussion still exists; however, it needs to be maintained for the sustainability of SDAHE
management at Meru Betiri National Park. The potential of local resources owned by each
buffer villages is different from each other.

Keywords: Local wisdom, Natural Resources of Forest and Ecosystem (SDHAE), Buffer
Village, Meru Betiri National Park

PENDAHULUAN suatu areal konservasi perlu dilindungi dari


Pengelolaan sumberdaya alam hutan gangguan manusia atau masyarakat dan
dan ekosistem (SDAHE) di Indonesia bencana alam agar tidak terjadi kerusakan
mengalami berbagai macam permasalahan flora, fauna, ekosistem dan komponen
yang semakin meningkat dari waktu ke lingkungan lainnya untuk kepentingan
waktu. Pada masa sekarang dan yang akan kehidupan manusia yang akan datang.
datang pengelolaan tersebut dihadapkan Konservasi SDHAE bertujuan untuk
pada berbagai kompleksitas persoalan sosial, mewujudkan kelestarian sumberdaya alam
ekonomi dan politik yang bersifat hayati serta keseimbangan ekosistemnya
kontradiktif sehingga memerlukan perhatian sehingga dapat lebih mendukung upaya
dan penanganan dari pemerintah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
seluruh potensi masyarakat di berbagai mutu kehidupan manusia. Adapun
daerah. konservasi sumberdaya alam hayati dan
Balai Taman Nasional Meru Betiri ekosistemnya di TNMB dilakukan melalui
(TNMB) merupakan institusi pemerintah kegiatan: a) perlindungan sistem penyangga
yang memiliki tugas melaksanakan kehidupan; b) pengawetan keanekaragaman
pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka jenis tumbuhan dan satwa beserta
konservasi SDAHE berdasarkan Peraturan ekosistemnya; c) pemanfaatan secara lestari
Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut- sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
V/2007 tanggal 1 Pebruari 2007. TNMB
mengemban falsafah konservasi bahwa

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 11


METODOLOGI PENELITIAN Data sekunder dapat digunakan untuk
Penentuan Lokasi atau Situs Penelitian mengetahui karakteristik masing-masing
Penentuan daerah penelitian adalah wilayah termasuk potensi yang dimiliki oleh
secara sengaja (purposive sampling). Daerah masing-masing wilayah.
penelitian yang dipilih adalah desa-desa Pemetaan Sosial adalah proses
penyangga yang terdapat dalam kawasan penggambaran masyarakat sistematik yang
Taman Nasional Meru Betiri. Kegiatan ini melibatkan pengumpulan data dan informasi
dilaksanakan di semua Seksi Pengelolaan mengenai masyarakat termasuk di dalamnya
Taman Nasional Meru Betiri yaitu di Seksi adalah profile masyarakat tersebut.
Wilayah I Sarongan (Rajegwesi), Seksi Pemetaan sosial dilakukan dengan
wilayah II Ambulu (Wonosari, Andongrejo, menggunakan metode Pemantauan Cepat
dan Curahnongko)) dan Seksi Wilayah III (Rapid Appraisal Methods) yang merupakan
Kalibaru (di Kebunrejo). cara mudah untuk mengumpulkan informasi
Pendekatan dan Jenis Penelitian mengenai pandangan dan masukan dari
Pendekatan penelitian yang digunakan masyarakat sasaran dan stakeholders lainnya
adalah pendekatan kualitatif. Yaitu ingin mengenai kondisi geografis dan sosial
memahami kearifan lokal masyarakat desa ekonomi lainnya.
penyangga di Taman Nasional Meru Betiri. Metode Pemantauan cepat yang
Latar belakang pemikiran partisipasi adalah digunakan dalam research ini adalah
program, proyek, atau kegiatan :Indepth interview,Observasi lapang, FGD
pembangunan masyarakat yang datang dari (Focus Discussion Group) sehingga
“Atas” atau “luar” komunitas sering gagal digunakan berbagai macam teknik
dan tidak sesuai dengan kebutuhan pengumpulan data (Triangulasi teknik).
masyarakat lokal. Reorientasi ulang terhadap FGD dibangun berdasarkan asumsi:
strategi pembangunan masyarakat muncul a) Keterbatasan individu selalu tersebunyi
dengan lebih mengedepankan partisipasi dan pada ketidaktahuan kelemahan pribadi
pemberdayaan masyarakat sebagai strategi tersebut;
dalam pembangunan masyarakat b) Masing-masing anggota kelompok
(Adimiharja dan Hikmat, 2003). saling memberi pengetahuan satu
Sumber Data Penelitian dengan lainnya dalam pergaulan
Masyarakat sebenarnya memiliki kelompok; c)Setiap individu dikontrol
banyak potensi baik dilihat dari sumberdaya oleh individu lain sehingga ia berupaya
alam, maupun dari sumberdaya sosial dan menjadi yang terbaik; d) Kelemahan
budaya. Masyarakat memiliki kekuatan yang subyektif terletak pada kelemahan
apabila digali dan disalurkan akan menjadi individu yang sulit dikontrol oleh
energi yang besar untuk pengentasan individu yang bersangkutan; e)
kemiskinan. Intersubyektif selalu mendekati
Sumber data dalam penelitian adalah kebenaran yang terbaik.
kata-kata dan tindakan dari key Data yang dikumpulkan dalam FGD adalah :
informance/stakeholder yang terlibat dalam  potensi-potensi maupun kekuatan-
pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-
ekosistem di kawasan Taman Nasional Meru masing wilayah maupun kearifan lokal
Betiri (data primer) yaitu berasal dari: yang dimiliki.
Lembaga yang terlibat langsung : Peserta FGD adalah key
Kelompok Tani Mitra Rehabilitasi, SPKP informan/stakeholder yang betul-betul
(Sentra Penyuluhan Kehutanan Desa), terlibat baik secara langsung maupun tidak
Pamswakarsa (Masyarakat Mitra Polhut) langsung dalam pengelolaan SDAHE dalam
TNMB, Kader Konservasi, Lembaga kawasan Taman Nasional Meru Betiri.
Pemerintah Desa. Adapun peserta FGD adalah: Kelompok
Sedangkan data sekunder didapat dari Tani Mitra Rehabilitasi, SPKP (Sentra
sumber tertulis, foto, dokumentasi yang Penyuluhan Kehutanan Desa), Pamswakarsa
diperoleh dari berbagai instansi dan lembaga (Masyarakat Mitra Polhut) TNMB, Kader
yang terkait dalam pengelolaan SDAHE. Konservasi, Lembaga Perguruan Tinggi,

12 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015


LSM yang terlibat dalam pengelolaan dilakukan mencakup tiga kegiatan yang
SDAHE, Lembaga Pemerintah Desa. bersamaan: (1) reduksi data; (2) penyajian
data; dan (3) penarikan kesimpulan
Metode Analisis Data (verifikasi).
Analisis data yang dikumpulkan a) Reduksi data
secara indept interview dan observasi Reduksi data merupakan proses
menggunakan analisis data interaktif dari pemilihan, pemusatan perhatian,
Miles and Huberman. Menurut Sugiyono pengabstraksian dan pentransformasian data
(2009:87) bahwa dalam penelitian kualitatif, kasar dari lapangan. Proses ini berlangsung
data diperoleh dari berbagai sumber, dengan selama penelitian dilakukan, dari awal
menggunakan teknik pengumpulan data sampai akhir penelitian.
yang bermacam-macam (triangulasi), dan b) Penyajian data
dilakukan secara terus-menerus sampai Bentuk penyajian data antara lain
datanya jenuh. Dengan pengamatan yang berupa teks naratif, matriks, grafik, jaringan,
terus-menerus tersebut mengakibatkan dan bagan. Tujuannya adalah untuk
variasi data tinggi sekali. Data yang memudahkan membaca dan menarik
diperoleh pada umumnya adalah data kesimpulan. Oleh karena itu, sajiannya harus
kualitatif (walaupun tidak menolak data tertata secara bagus. Penyajian data juga
kuantitatif) sehingga teknik analisis data merupakan bagian dari analisis, bahkan
yang digunakan belum ada polanya yang mencakup pula reduksi data.
jelas. Sehingga untuk mengatasi kesulitan c) Menarik Kesimpulan
dalam melakukan analisis maka Miles dan Penarikan kesimpulan hanyalah
Huberman (1992) menyarankan dalam sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi
melakukan anlisis data menggunakan model yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga
interaktif. diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Menurut Miles dan Huberman (1992) Berdasarkan uraian diatas, langkah analisis
pada prinsipnya analisis data kualitatif data dengan pendekatan ini dapat
dilakukan bersamaan dengan proses digambarkan sebagai berikut:
pengumpulan data. Teknik analisis yang

Pengumpulan data

Penyajian
Data

Reduksi
Data
Kesimpulan-kesimpulan
Penarikan/Verifikasi

Gambar 1. Analisis Data Model Interaktif dari Miles dan Huberman (1992)

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 13


HASIL DAN PEMBAHASAN “Hutan merupakan sumber
Budaya Lokal pada Masyarakat Desa kehidupan masyarakat. Hubungan
Peyangga Taman Nasional Meru Betiri antara masyarakat dengan hutan
Masyarakat kawasan desa penyangga harus berkesinambungan tetapi
Taman Nasional Meru Betiri memiliki mata sampai saat ini belum 100%
pencaharian yang berbeda-beda tergantung masyarakat menyadari akan
dengan tipologi daerahnya. Untuk kawasan pentingnya hutan. “anak cucu yang
Resort Kalibaru Desa Kebunrejo Kabupaten menuai” sehingga hutan harus tetap
Banyuwangi yang merupakan salah satu dijaga. Saat ini saya memberi
daerah peyangga, masyarakat sebagian besar percontohan dengan melakukan
membudidayakan kambing. tetapi untuk pembibitan di tanah pekarangan
memperoleh pakan ternak tidak boleh untuk ditanam di kawasan hutan
merusak tanaman naungan (tanaman pokok). untuk anak cucu. Penanaman saya
Sedangkan yang menarik untuk diungkap lakukan sesuai musim sehingga
adalah salah satu peryataan yang diutarakan dapat tumbuh dengan baik. Saya
oleh salah satu anggota SPKP yaitu bapak melakukan itu karena melihat
Hosnan. Beliau menjabat sebagai Humas di hikmah dari peristiwa tahun 1965
SPKP. Beliau memiliki prinsip terhadap telah ditanam durian lokal yang
pengelolaan lingkungan hutan yaitu: sampai saat ini pohonnya begitu
besar sehingga semua bisa
“Saya berusaha akan meninggalkan memanfaatkan. Sehingga apabila
sejarah yang baik dengan menanam sekarang bukan kita
melakukan nasehat-menasehati”. sendiri yang mengambil manfaat
Selalu melakukan proses yang dan buahnya tetapi anak cucu di
bagus tidak hanya berpikir tentang kemudian hari”(FGD, 2 September
keuangan dan bagaimana agar 2013)
masyarakat tidak merusak hutan.
Selalu memikirkan apa yang akan Tetapi tidak semua mesyarakat sadar
dilakukan nanti dan tidak cepat akan arti pentingnya hutan. Dengan upaya-
berputus asa. Tidak diam, tidak upaya konservasi yang dilakukan oleh pak
putus-putus melakukan sesuatu Wagimin tersebut ada pertanyaan dari
untuk kepentingan masyarakat”. beberapa anggota masyarakat yang lain
(FGD, 26 Agustus 2013) dengan pernyataan sebagai berikut

Hal senada juga diungkapkan oleh “arep dadi opo to mbah, kok
salah satu tokoh SPKP Resort Rajegwesi nandur-nandur kuwi?” (mau
dari Desa Sarongan Kabupaten Banyuwangi. menjadi apa Kek, kenapa menanam-
Beliau adalah pak Wagimin Yusak. Beliau nanam?. (FGD, 2 September 2013)
adalah salah satu tokoh masyarakat yang
peduli terhadap kelestarian hutan. Selain Hal ini menunjukkan bahwa tidak
memiliki pemikiran yang positif dalam semua masyarakat memiliki persepsi yang
mengelola sumberdaya hutan, beliau juga sama terhadap arti pentingnya hutan. Sama
sampai pada taraf melakukan sesuatu juga halnya yang terdapat di Desa Sarongan,
tindakan sesuai dengan persepsinya terkait masyarakat Desa Kalibaru sebagian besar
dengan hutan dan pengelolaannya. Salah berpikir jangka pendek dalam melakukan
satu tindakan positif terkait dengan pengelolaan hutan. Respon Masyarakat
pengelolaan hutan diantaranya adalah dengan adanya Sentra Penyuluhan
dengan melakukan pembibitan di tanah Kehutanan Pedesaan (SPKP) acuh tak acuh
pekarangannya untuk selanjutnya ditanam di karena sibuk mengerjakan lahan milik
kawasan hutan. Pernyataan beliau tentang Perum Perhutani. Mereka menjadi “penegal”
hutan dan pengelolaannya adalah sebagai dengan menanam kopi dan pisang.
berikut: Masyarakat sudah terbiasa dengan
pemikiran “ kerja sekarang, duit sekarang”

14 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015


sedangkan dalam berinteraksi dengan alam Saat ini istilahnya “ kali ilang
mereka punya prinsip bahwa “ sing kuoso kedunge, pasar ilang kumadange”
sing nggaris” (Yang Maha Kuasa yang dimana sungai airnya sedikit dan
Menentukan). Mereka tidak memikirkan tidak terdengar lagi suara-suara
bahwa dengan menanam tanaman perdu burung karena populasinya sudah
(kopi dan pisang) dapat menyebabkan sedikit. Pada saat hutan masih lebat
banjir. untuk menggali sumur cukup 1-4 m
Persepsi dan pengetahuan tentang sudah keluar mata airnya, untuk
pentingnya hutan tidak saja diperoleh secara saat ini mata air semakin dalam. Air
turun-temurun tetapi juga dari sosialisasi juga semakin “butek”
atau pembelajaran di sekolah dan dari (keruh).(FGD, 2 September 2013)
pengalaman individu. Hal ini terungkap dari
pernyataan Bapak Sukani. Beliau adalah Berdasarkan pernyataan diatas dapat
anggota SPKP dari Desa Sarongan Resort diketahui masyarakat telah mengetahui telah
Rajegwesi. Beliau adalah anggota baru dari terjadi perubahan bahkan penurunan kualitas
SPKP. Pernyataan beliau sebagai berikut: lingkungan yang terjadi di masyarakatnya.
Penurunan kualitas lingkungan tersebut
Pengetahuan tentang manfaat hutan dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup
saya peroleh pada saat di bangku mereka. Tetapi kebanyakan anggota
sekolah dimana hutan jangan masyarakat tidak mempedulikan hal tersebut
sampai gundul sehingga tidak akan karena sangat terkait dengan pemenuhan
terjadi erosi. Pada waktu saya kebutuhan hidup mereka. Hanya sebagian
Sekolah Dasar apabila hujan lebat kecil masyarakat yang peduli terhadap
sungai banjir bisa hampir satu lingkungan dan turut menjaga kualitas
minggu baru sungai surut debit lingkungan hidupnya seperti sumberdaya
airnya. Tetapi untuk saat ini apabila hutan sehingga dapat diwariskan kepada
hujan lebat maka sungai akan banjir anak cucunya kelak.
dan langsung surut. Berdasarkan Selo Soemardjan dan Soelaeman
tanah sawah yang saya miliki, Soemardi (Soekanto, 2010: 151)
dahulu sebelum hutan rusak karena merumuskan kebudayaan sebagai semua
tanaman penyangga hutan belum karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
rusak “walet” / lumpur tidak masyarakat menghasilkan teknologi dan
sampai ke sawah tapi saat ini kebudayaan kebendaaan atau kebudayaan
apabila hujan “walet” sampai jasmaniah (material culture) yang
sawah. Beberapa waktu yang lalu diperlukan manusia untuk menguasai alam
saya melakukan persemaian sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya
“ngurit” bibit sampai 3x rusak dapat diabdikan untuk keperluan
karena terkena “walet”. Saya sudah masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa
pernah menyarankan kepada manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah
masyarakat agar mencari dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk
kayu/ranting yang kecil-kecil saja mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dan jangan sampai menebang. dalam arti luas. Sedangkan cipta merupakan
Tetapi kenyataannya kalau kemampuan mental, kemampuan berpikir
berurusan dengan “perut”sangat orang-orang yang hidup bermasyarakat yang
susah untuk mencegah masyarakat menghasilkan filsafat serta ilmu
berbuat kerusakan. Butuh waktu pengetahuan.
untuk memberikan kesadaran Sedangkan sistem nilai budaya atau
kepada masyarakat tentang cultural value system adalah suatu rangkaian
pentingnya hutan. dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup
Pekerjaan utama penduduk dalam alam pikiran sebagian besar dari
adalah petani, pencari bambu, warga suatu masyarakat, mengenai apa yang
penderes aren, peternak sapi, dianggap penting dan berharga tetapi juga
peternak kambing, ayam dan itik. apa yang dianggap remeh dan tak berharga.

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 15


Sistem nilai budaya juga berfungsi sebagai sebagai berikut (Sajogyo dan Pudjiwati
suatu pedoman tetapi juga sebagai suatu Sajogyo, 1995:10).
pendorong kelakuan manusia dalam hidup, Konsepsi nilai budaya menurut ahli
sehingga berfungsi juga sebagai tata antropologi F.R Kluckhon dan ahli sosiologi
kelakuan, malahan sebagai salah satu sistem F.L Strodtbeck dalam buku Variation in
tata kelakuan yang tertinggi diantara yang Value Orientation (1961) dalam Sajogyo
lain, seperti hukum adat, aturan sopan dan Pudjiwati Sajogyo (1995:11) yang
santun dan sebagainya. Suatu sistem nilai berpangkal pada lima masalah pokok dalam
budaya seolah-olah berada di luar individu kehidupan manusia yang bersifat universal
dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada dan yang berada dalam semua kebudayaan
individu sejak kecil telah diresapi dengan di manapun saja di dunia. Kelima masalah
nilai-nilai budaya dari masyarakatnya, pokok itu adalah:
sehingga konsepsi-konsepsi itu telah berakar 1. Masalah mengenai hakikat dan sifat
dalam mentalitet mereka dan sukar untuk hidup manusia
diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain 2. Masalah dan hakikat dan sifat karya
dalam waktu yang singkat. Suatu nilai manusia
budaya walaupun merupakan konsepsi yang 3. Masalah mengenai hakikat dari
abstrak, juga bisa mempengaruhi tindakan kedudukan manusia dalam ruang dan
individu secara langsung, juga menyebabkan waktu
timbulnya cara-cara berpikir yang tertentu 4. Masalah mengenai hakikat dari
pada individu tersebut. Selain itu suatu sikap hubungan manusia dengan alam
juga merupakan kecondongan untuk sekitarnya
bereaksi bisa juga secara langsung 5. Masalah mengenai hakikat dari
mempengaruhi tindakan. Untuk lebih hubungan manusia dengan sesamanya.
jelasnya konsep nilai budaya yang
mempengaruhi pola-pola tindakan adalah

Sistem Nilai Budaya

Norma-norma

Sikap
Pola-pola cara berpikir

Pola-pola tindakan

Gambar 2. Sistem Nilai Budaya (berdasarkan Sajogjo dan Pudjiwati


Sajogjo 1995)

16 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015


Tabel 1. Orientasi Nilai Budaya menurut Kerangka Kluckhon
Masalah Hidup Orientasi Nilai Budaya
Hakikat dan sifat Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk
hidup tetapi harus
diperbaiki
Hakikat Karya Karya itu untuk Karya itu untuk Karya itu untuk
hidup kedudukan menambah karya
Hakikat Kedudukan Masa lalu Masa kini Masa depan
manusia dalam
ruang

Hakikat hubungan Tunduk terhadap Mencari keselarasan Menguasai alam


manusia dengan alam dengan alam
alam
Hakikat hubungan Memandang tokoh- Mementingkan rasa Mementingkan rasa
manusia dengan tokoh atasan ketergantungan tak tergantung
manusia kepada sesamanya kepada sesamanya
(berjiwa gotong (berjiwa individualis)
royong)
Sumber: Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1995

Berdasarkan ungkapan-ungkapan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tampak


yang disampaikan oleh masyarakat desa dalam ungkapan masyarakat lokal “sing
penyangga di Kawasan Taman Nasional kuoso sing nggaris” (Yang Maha Kuasa
Meru Betiri terkait dengan pengelolaan yang menentukan).
hutan bahwa sistem nilai budaya yang Nilai budaya yang dipahami
dimiliki masyarakat masih sangat beragam. masyarakat desa penyangga kawasan Taman
Orang-orang yang memiliki pemikiran Nasional Meru Betiri tentang hutan dan
bahwa mengelola hutan adalah tanggung pengelolaannya diperoleh secara turun-
jawab generasi sekarang untuk dimanfaatkan temurun dari leluhur atau nenek moyang
anak cucunya akan tampak pada perilakunya mereka. Tetapi juga diperoleh dari
dalam berinteraksi dengan hutan. Mereka pengetahuan yang mereka peroleh dari
akan senantiasa melakukan tindakan- bangku sekolah. Mereka mendapat
tindakan yang melindungi alam khususnya pembelajaran bahwa dengan adanya hutan
hutan. Hal ini tampak pada tindakan pak yang rusak atau gundul maka akan dapat
Wagimin Yusak dan pak Hosnan. menyebabkan banjir, erosi dan tanah
Sedangkan masyarakat yang memiliki nilai longsor. Disamping itu, mereka mengetahui
budaya yang hanya memikirkan kepentingan menfaat dan pentingnya hutan dari hasil
sesaat “kerja sekarang, duit sekarang” akan pengamatan terhadap lingkungan sekitar dan
tampak pada perilakunya dalam berinteraksi pengalaman pribadi. Mereka mengamati
dengan hutan. Mereka akan melakukan bahwa terdapat perbedaan gejala alam antara
tindakan-tindakan yang cenderung merusak sebelum hutan rusak dan sesudah hutan
hutan. Mereka mengambil ranting-ranting di rusak. Sehingga timbul perubahan nilai
hutan untuk kayu bakar. Tetapi setelah budaya yang mereka miliki untuk ikut
ranting habis mereka akan mulai menjaga kelestarian hutan. Bagi individu-
“menggorok” batang tanaman pokok hutan individu tertentu juga ada upaya untuk
sehingga apabila tanaman sudah mati memberikan penyadaran kepada anggota
mereka akan dengan leluasa untuk masyarakat yang lain agar menjaga hutan
mengambilnya sebagai kayu bakar. Tidak dan kelestarian hutan demi kepentingan
ada upaya-upaya yang dilakukan untuk bersama.
melakukan pelestarian hutan karena mereka Apabila dianalisis dengan konsepsi
punya nilai budaya bahwa segala sesuatu nilai budaya yang dirumuskan oleh F.R
yang menentukan kejadian di alam adalah Kluckhon dan ahli sosiologi F.L Strodtbeck,

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 17


maka ada 2 masalah pokok kehidupan Beliau dalah salah satu contoh dari
manusia yang bisa dijelaskan dari sebagian masyarakat yang menghendaki
masyarakat desa kawasan desa penyangga untuk mencari keselarasan dengan alam.
yaitu: Dimana terdapat keseimbangan antara
1. Masalah mengenai hakikat dari ekonomis dan ekologis. Untuk mencapai
kedudukan manusia dalam ruang dan keseimbangan tersebut dibutuhkan peran
waktu. Masyarakat desa penyangga di dari lembaga pengelola Sumberdaya Alam
kawasan TNMB hanya memikirkan dan Ekosistem yaitu Sentra Penyuluhan
masa kini, hanya sedikit dari Kehutanan Pedesaan (SPKP). Dimana
masyarakat yang memikirkan masa lembaga ini memiliki peran sentral dalam
depan dalam mengelola hutan. pengelolaan hutan.
Masyarakat desa peyangga yang Sedangkan di Desa Curahnongko
menyadari akan pentingnya lingkungan orientasi nilai budaya masyarakat sudah
hidup akan berpikir untuk masa depan, mengalami perubahan dari “menguasai
tidak hanya berpikir tentang masa kini. alam”(merusak alam) dan berusaha untuk
Ungkapan “kerja sekarang, dapat duit “selaras dengan alam”. Hal ini terungkap
(uang) sekarang” akan sangat dari pernyataan bapak Sukowo. Beliau
mengancam kelestarian hutan. Mereka adalah anggota SPKP dari Desa
hanya berpikir “sesaat” tanpa Curahnongko. Pernyataan beliau adalah
memikirkan akibat dan dampaknya. sebagai berikut:
Tetapi hal ini sangat sulit dirubah Dahulu pekerjaannya mencari batang
karena berurusan dengan “perut”. sagu, ubi, dan diuangkan (dijual)
Sehingga salah satu cara yang terbaik untuk membeli gaplek bukan beras.
untuk merubah nilai budaya masyarakat Keseluruhan masyarakat berusaha
adalah dengan meningkatkan memanfaatkan hutan yang dituju
“ekonominya” atau “kesejahteraannya”. hanya bekas hutan jati bukan hutan
Karena apabila mereka sudah sejahtera, rimba. Karena hutan bekas jati sudah
tidak akan “masuk” kawasan hutan dan habis maka merambah rimba. Pak
merusak hutan. Sari juga pernah dimasukkan ke jeruji
2. Masalah mengenai hakikat dari besi karena masuk kawasan rimba.
hubungan manusia dengan alam Setelah masyarakat diberi wawasan,
sekitarnya. maka masyarakat bersatu untuk
Orientasi nilai budaya terkait hubungan mengelola hutan dengan LSM LATIN
manusia dengan alam sekitarnya yang yaitu LSM yang berasal dari Bogor
dipahami oleh masyarakat desa Jawa Barat. Karena LATIN jauh
peyangga adalah mencari keselarasan maka dibentuk KAIL (Konservasi
dengan alam dan menguasai alam. Ada Alam Indonesia Lestari). Latin
sebagian masyarakat yang berusaha memberdayakan 18 orang untuk
mencari keselarasan dengan alam. Hal membentuk kelompok dengan jumlah
ini terungkap dari pernyataan Bapak anggota paling sedikit 21 anggota
Ponadi. Beliau adalah Wakil SPKP dari dan paling banyak 59 orang anggota.
Desa Sarongan. Petani menanam petai, kacang,
Perjalanan organisasi belum seperti jagung sehingga masyarakat tidak
yang diharapkan, dimana SPKP masuk ke rimba. Tetapi lama
belum tertata dengan baik. Perlu kelamaan tingkat kesuburan tanah
adanya penguatan kelembagaan, semakin berkurang sehingga
penataan secara administrasi. pengeluaran sudah tidak berimbang
Masih terjadi tambal sulam dengan pendapatan yang diperoleh.
kepengurusan SPKP. Dibutuhkan Selanjutnya 18 orang tersebut dan
persamaan visi sehingga bisa Ketua Jaketresi memiliki pemikiran
melangkah dalam kebersamaan dan dan bermusyawarah dengan Taman
mencari keseimbangan ekonomi dan Nasional Meru Betiri untuk dapat
ekologis.(FGD, 2 September 2013) menanam Purirea Javanica (atau

18 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015


yang biasa dikenal petani dengan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan
PJ). Tetapi petani perlu bekerja keras mata pencaharian mereka sebagai petani,
karena PJ hanya panen sekali dalam peternak, ataupun nelayan, termasuk
setahun (petani mendapatkan pengetahuan local dalam memanfaatkan
pemikiran untuk menanam PJ dengan hutan. Nilai pengetahuan lokal adalah
melihat di perkebunan). Oleh Taman komponen utama yang sangat bermanfaat
Nasional Meru Betiri boleh menanam untuk melakukan upaya esensial pada
PJ tetapi dengan syarat tidak boleh berbagai kerja pengembangan komunitas
merambat ke tanaman keras untuk (Community Development). Hal ini
mengganti pendapatan tanaman berangkat dari asumsi bahwa “Komunitas
polowijo. Sekarang istilahnya tahu yag terbaik”. Anggota-anggota dari
kesengsaraan masyarakat tinggal komunitas yang memiliki pengalaman pada
35% yang dahulunya kesengsaraan komunitasnya, dari kebutuhan dan
masyarakat 100%. (FGD, 27 Agustus masalahnya, dari kekuatan dan positifnya
2013) dan karakteristiknya yang unik. Jika kita
Dari pernyataan tersebut terdapat akan memasukinya dalam proses
perubahan orientasi nilai budaya masyarakat pengembangan komunitas, kita harus
di Desa Curahnongko yang sebelumnya bekerja pada basis pengetahuan lokal (Ife,
masyarakat berusaha untuk “menguasai 1995).
alam” tetapi dalam perilaku yang negatif. Pengetahuan lokal yang dimiliki Pak
Dimana mereka masuk ke hutan rimba Parman sebagai penduduk asli desa
dengan melakukan tindakan pengrusakan Curahnongko yaitu hutan dapat
hutan. Sedangkan dengan adanya sosialisasi dimanfaatkan untuk mengambil sesuatu
dari pihak Taman Nasional Meru Betiri dan yang dapat mendatangkan kemanfaatan
dengan adanya LSM LATIN yang berasal ekonomi. Karena sebelum ada lahan
dari Bogor dan LSM KAIL (Konservasi rehabilitasi hidupnya sengsara. Untuk
Alam Indonesia Lestari) maka sebagian meningkatkan pendapatannya beliau
besar orientasi nilai budaya masyarakat mencari gadung, penjalin, burung, sagu dari
mengalami perubahan. Mereka sudah hutan. Hasil dari hutan tersebut selanjutnya
berusaha hidup selaras dengan alam. sebagian dijual dan sebagian lagi untuk
Apabila alam mengalami kerusakan mereka dikonsumsi sendiri.
sudah mencari cara untuk memperbaikinya. Masyarakat pada umumnya mengerti
Diantaranya adalah dengan menanam bahwa lahan rehabilitasi yang digarap adalah
tanaman Purirea javanica yang dapat milik Taman Nasional dengan status hutan
memperbaiki kesuburan tanah. Disamping konservasi. Arti hutan konservasi yang
itu tanaman tersebut juga memiliki nilai dipahami oleh masyarakat yaitu hutan yang
ekonomis yang tinggi karena harga per tidak boleh dimanfaatkan untuk produksi.
kilogramnya sebesar 45000 rupiah. Dengan Fungsi dari hutan lindung ini sendiri sebagai
hasil tanaman tersebut masyarakat dapat kawasan yang harus tetap lestari dan terjaga
memperbaiki tingkat kesejahteraannya selain ekosistemnya, hal ini dikarenakan fungsi
itu juga didukung oleh hasil tanaman dan manfaat dari hutan yang lestari sangat
tumpang sari yang lain. banyak dan sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
Pengetahuan dan Proses Lokal pada Salah fungsi yang penting adalah
Masyarakat Desa Penyangga Taman fungsi hidrologis. Fungsi hidrologis ini
Nasional Meru Betiri adalah menjaga kondisi stabilitas air, artinya
Setiap masyarakat pasti memiliki hutan yang lestari akan menjaga
pengetahuan yang dapat berasal dari ketersediaan air sepanjang tahun. namun
masyarakat lokal sendiri ataupun dari pada kenyataannya, banyak daerah
masyarakat lain melalui interaksi sosial. pegunungan di Indonesia yang mengalami
Begitu juga dengan masyarakat Desa musibah banjir pada musim hujan dan
Penyangga di sekitar Taman Nasional Meru kekeringan pada musim kemarau.
Betiri. Mereka juga memiliki pengetahuan-

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 19


Adanya rehabilitasi menjadikan dengan menggunakan alat autoclave. Tetapi
kondisi hidrologis hutan membaik. Hal ini ada beberapa petani yang belum bisa
dikarenakan adanya tanaman PJ dan CC membuat bibit sendiri.
yang merupakan sebangsa tanaman yang Beberapa warga masyarakat di sekitar
merambat dipermukaan tanah dan rapat. desa penyangga Taman Nasional Meru
Adanya tanaman ini menghambat aliran air Betiri telah mengusakan pembuatan/industry
pada saat hujan, sehingga air terserap oleh kripik pisang. Dengan teknologi lokal yang
tanah dan erosi berkurang. Ketersediaan air mereka miliki, mereka memanfaatkan
di Desa Curahnongko membaik dari komoditas pisang yang memang melimpah
sebelum karena adanya program rehabilitasi di Desa Kebunrejo Kecamatan Kalibaru
ini. Kabupaten Banyuwangi. Beberapa warga
Tetapi dengan adanya lahan masyarakat di Desa Kalibaru mengusahakan
rehabilitasi sekarang sudah mengalami kripik pisang karena potensi Kalibaru akan
perubahan walaupun tidak kaya tetapi tidak komoditas pisang sangat besar. Pisang
sengsara seperti dahulu. Lahan yang ditanam di lahan pekarangan atau lahan
ditanami tidak banyak tetapi bisa menanam, hutan milik perum perhutani sebagai
tidak seperti dulu tidak memiliki lahan untuk tanaman tumpangsari dan kawasan hutan
digarap. Setelah ada program rehabiaalitasi konservasi Taman Nasional Meru Betiri.
lahan di Taman Nasional Meru Betiri maka Untuk pembuatan keripik pisang yang bagus
dibentuk kelompok kerjasama dengan memerlukan pisang yang masak pohon
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu bukan pisang yang dieram. Karena saat ini
Pak Hamim, Pak Indra dengan Konservasi banyak pisang yang “disemprot” sehingga
Alam Indonesia Lestari (KAIL) yang bukan masak pohon, perolehan bahan baku
mengelola 7 Ha percontohan sampai dengan kadang agak sulit karena bersaing dengan
tahun 2001 dengan menanami hutan yang tengkulak. Mereka membeli dari para petani
sudah gundul dengan tanaman kedawung dengan kondisi masih “mengkal” dan
dan lainnya (tanaman keras). dikirim ke daerah lain diantaranya adalah
Pengetahuan budidaya masyarakat Bali.
sekitar hutan apabila dikaitkan dengan Proses lokal yang dimiliki oleh
sejarah pertanian yaitu mula-mula masyarakat desa penyangga dalam
masyarakat hanya mengambil bahan-bahan membiayai operasional lembaganya adalah
makanan dan kayu yang dapat dimanfaatkan adanya iuran anggota. Jaringan Kelompok
dari hutan (masa berburu dan meramu). Tani Mitra Rehabilitasi (Jaketresi) dahulu
Setelah itu berkembang lebih lanjut dengan punya dana sekitar 10 juta rupiah. Berasal
adanya upaya budidaya masyarakat. Mareka dari iuran anggota dan dipergunakan untuk
menanam segala sesuatu yang bibit atau simpan pinjam. Disamping itu masing-
benihnya berasal dari hutan untuk masing kelompok juga memiliki kas sendiri-
dibudidayakan (Masa Pertanian). Hasil yang sendiri. Saat ini simpan pinjam tidak
mereka tanam dapat digunakan untuk dilanjutkan karena dana yang ada sebagian
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak kembali (ada yang berkarakter buruk
apabila ada kelebihan, dapat dijual untuk dengan membawa uang pinjaman tetapi
menambah pendapatan keluarga. tidak dikembalikan). Sebenarnya keberadaan
Dengan adanya upaya pemberdayaan kas tersebut sangat membantu petani lahan
yang dilakukan oleh Taman Nasional Meru rehabilitasi karena dapat digunakan untuk
Betiri melalui Jaketresi (Jaringan Kelompok membeli pupuk dan bibit.
Tani Mitra Rehabilitasi) melakukan Dalam mengelola lahan rehabilitasi
pemberdayaan masyarakat dengan proses lokal yang masih tetap bertahan yaitu
melaksanakan pelatihan-pelatihan. Yang adanya “selametan” untuk mengungkapkan
paling bisa dirasakan saat ini adalah rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
budidaya jamur. Mengapa jamur? Karena karena diberi rezeki yang melimpah.
jamur adalah salah satu tanaman yang asli “Selamet” berasal dari kata selamat, dimana
dari hutan Saat ini bisa membuat sendiri hutan tidak longsor. Dengan
bibit jamur, diantaranya adalah Pak Hanafi menyelenggrakan pengajian, dana berasal

20 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015


dari anggota (kesadaran dan keiklasan). Program yang dipilih akan
Selametan merupakan perwujudan sikap disesuaikan dengan potensi yang dimiliki
hidup gotong royong. Dimana masyarakat. Jadi proses sosial semangat dan
penyelenggaraan “selametan” tersebut jiwa musyawarah tetap ada di masyarakat
merupakan hasil dari gotong-royong dari desa penyangga Taman Nasional Meru
semua masyarakat yang merasa mendapat Betiri. Untuk keberlanjutan pengelolaan
manfaat dengan mengelola lahan sumberdaya alam hutan dan ekosistem di
rehabilitasi. Gotong royong adalah aktivitas kawasan Taman Nasional Meru Betiri
bekerjasama antara sejumlah besar warga semangat gotong royong dan jiwa
masyarakat untuk menyelesaikan suatu musyawarah harus tetap dipertahankan
kegiatan tertentu yang dianggap berguna bahkan ditingkatkan diantara anggota
bagi kepentingan umum (Sajogjo dan masyarakat desa penyangga.
Pudjiwati Sajogjo, 1995: 28). Gotong
royong merupakan gajala sosial dalam Sumberdaya Lokal Masyarakat Desa
masyarakat desa dimana merupakan teknik Penyangga di Kawasan Taman Nasional
pengerahan tenaga terhadap suatu pekerjaan Meru Betiri
yang tidak membutuhkan diferensiasi tenaga
dan semua orang dapat mengerjakan semua Potensi Sumberdaya Alam
tahap dalam penyelesaiannya. Mereka secara Sumberdaya alam yang dimiliki
bersama-sama mengadakan suatu kegiatan masyarakat Desa Penyangga di Kawasan
yang bersifat umum dan pendanaan/biaya Taman Nasional bervariasi tergantung
dari kegiatan tersebut dari seluruh warga topografi, iklim dan kondisi tanahnya.
masyarakat berdasarkan keikhlasan dan Potensi Kalibaru khususnya di Desa
kesadaran. Tetapi semangat gotong-royong Kebunrejo sangat kaya akan komoditas
ini mulai luntur karena kegiatan “selametan” pisang. Pisang ditanam di lahan pekarangan
setelah panen tidak ada lagi. atau lahan hutan milik perum perhutani
Disamping itu untuk memutuskan sebagai tanaman tumpangsari. Disamping itu
segala sesuatu terkait dengan kelompok potensi ternak kecil (ayam dan itik) dan
selalu dimusyawarahkan dengan anggota ternak besar (sapi dan kambing) karena
kelompok. Musyawarah adalah satu gejala banyak masyarakat yang beternak di tanah
sosial yang ada dalam masyarakat pedesaan pekarangan maupun di hutan.
umumnya khususnya di Indonesia (Sajogjo Potensi sumberdaya alam yang ada
dan Pudjiwati Sajogjo, 1995). Musyawarah Resort Rajegwesi di Kawasan Taman
adalah keputusan-keputusan yang diambil Nasional Meru Betiri di sektor perikanan
dalam rapat tidak didasarkan pada suatu dan kelautan belum digali secara maksimal.
mayoritas, yang menganut suatu pendirian Terutama pemanfaatannya sebagai
tertentu, melainkan seluruh rapat, seolah- ecowisata (Sukamade dan Teluk Hijau).
olah sebagai suatu badan. Hal ini berarti Untuk saat ini di daerah Banyuwangi,
bahwa pihak mayoritas maupun pihak potensi wisata alamnya menjadi incaran
minoritas mengurangi pendirian mereka wisatawan asing. Keanekaragaman hayati di
masing-masing, sehingga bisa saling kawasan Taman Nasional banyak yang
mendekati. Musyawarah merupakan suatu berkhasiat obat dimana pH tanah masih
unsur yang sudah ada di masyarakat bagus sehingga kesuburannya tinggi.
pedesaan sejak berabad-abd lamanya. Dalam pemanfaatan dan pelestarian sudah ada serta
hal ini musyawarah dibedakan menjadi dua ada langkah budidaya.
yaitu musyawarah sebagai cara berapat dan Di Resort Rajegwesi yang meliputi
musyawarah sebagai suatu semangat untuk Desa Sarongan dan Desa Kandangan produk
menjiwai seluruh kebudayaan dan kelapa melimpah, produksi kelapa di
masyarakat. Jiwa dan semangat musyawarah Sarongan sangat besar dimana 28 pohon bisa
masih tetap melekat di masyarakat desa menghasilkan 8 Kg gula merah. Kelapa juga
penyangga. Hal ini harus tetap bisa menghasilkan berupa degan (kelapa
dipertahankan untuk keberlanjutan hijau), daun kelapa yang sudah kering/gugur
pengelolaan hutan. diikat untuk digunakan sebagai sapu. Bisa

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 21


juga dijual sebagai kelapa untuk santan. serta terwujudnya keadilan antargenerasi,
Karena potensinya yang seperti itu untuk antardunia usaha dan masyarakat, dan
pemanfaatan limbah masyarakat diberi antarnegara maju dengan negara
pelatihan untuk membuat ketrampilan atau berkembang dalam pemanfaatan sumber
kerajinan tangan dari batok kelapa. Tetapi daya alam dan lingkungan hidup yang
saat ini bentuk-bentuk yang dihasilkan optimal.
masyarakat kurang menarik dan terbatas
variasinya. Sehingga dibutuhkan kre’atifitas Potensi Sumberdaya Manusia
dan inovasi yang tinggi sehingga hasil Keberadaan Sumberdaya manusia
kerajinan yang ada dapat laku sebagai sangat diperlukan dalam mengelola
cindera mata di kawasan teluk hijau atau Sumberdaya Alam dan Ekosistem. Potensi
sukamade. sumberdaya masnusia yang terdapat di
Potensi sumberdaya alam yang sekitar Taman Nasional Meru Betiri rata-rata
dimiliki oleh Desa Curahnongko adalah rendah. Penduduk yang terdapat di Desa
pengembangan tanaman obat. Masyarakat Penyangga rata-rata lulus Sekolah Dasar.
Desa Curahnongko diberdayakan untuk Sedangkan untuk lulusan SMP dan SMA
mengembangkan tanaman obat dengan prosentasenya kecil. Di bawah ini kondisi
diberi bantuan bibit. Tapi saat ini obat yang Sumberdaya manusia yang dimiliki oleh dua
dikembangkan masih sebatas pada empon- desa penyangga Taman Nasional Meru
empon untuk dibuat simplisia, bubuk dan Beitiri yaitu Desa Kebunrejo dan Desa
jamu. Sedangkan hambatan utama dalam Curahnongko. Keberadaan sumberdaya
pengembangannya adalah kurangnya manusia selengkapnya dapat dilihat di Tabel
pemasaran produk obat yang dihasilkan. 2.
Peranan pemerintah dalam hal ini Dari Tabel 2 tersebut diatas dapat
adalah Taman Nasional dalam pengelolaan diketahui bahwa potensi sumberdaya
hutan konservasi harus dioptimalkan karena manusia di kawasan desa penyangga Taman
sumber daya alam sangat penting Nasional Meru Metiri sangat rendah dimana
peranannya terutama dalam rangka prosentase terbesar dengan tingkat
meningkatkan peranan masyarakat lokal dan pendidikan tamat SD sederajad yaitu di Desa
tetap terjaganya fungsi lingkungan. Kontrol Kebunrejo sebesar 26,16% dan di Desa
masyarakat dan penegakan supremasi Curahnongko sebesar 38,59%. Sehingga
hukum dalam pengelolaan sumber daya untuk meningkatkan potensi sumberdaya
alam dan pelestarian fungsi lingkungan manusia yang ada di desa penyangga
hidup merupakan hal yang penting, yang kawasan Taman Nasional Meru Betiri perlu
menyebabkan hak-hak masyarakat untuk dilakukan upaya-upaya pemberdayaan yang
menggunakan dan menikmatinya menjadi sesuai dengan potensi budaya lokal
terbuka dan mengurangi konflik, baik yang masyarakat.
bersifat vertikal maupun horizontal. Selain
itu, peran serta aktif masyarakat dalam
memanfaatkan akses dan mengendalikan
kontrol terhadap penggunaan sumber daya
alam harus lebih optimal karena dapat
melindungi hak-hak publik dan hak-hak
masyarakat setempat terutama masyarakat
desa yang berbatasan langsung dengan
hutan.
Sasaran yang ingin dicapai adalah
terwujudnya pengelolaan sumber daya alam
yang berkelanjutan dan berwawasan
keadilan seiring dengan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat lokal serta
meningkatnya kualitas lingkungan hidup
sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan,

22 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015


Tabel 2. Rekapitulasi Kondisi Sumberdaya Manusia Desa Penyangga Taman
Nasional Meru Betiri
Tingkatan
No. Ds. Kebunrejo Total % Ds.Curahnongko Total %
Pendidikan
Pa Pi Jiwa Pa Pi Jiwa
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa)
1. Usia 3-6 tahun 164 139 303 3.25 88 81 169 2.72
yang belum
masuk Tk
2. Usia 3-6 tahun 117 90 207 2.22 151 155 306 4.93
yang sudah
masuk TK
3. Usia 7-18 tahun 516 486 1002 10.76 2 - 2 0.03
yang tidak
pernah sekolah
4. Usia 7-18 tahun 210 194 404 4.34 212 192 404 6.51
yang sedang
sekolah
5. Usia 18-56 261 428 689 7.40 25 29 54 0.87
tahun yang
tidak pernah
sekolah
6. Usia 18-56 774 842 1616 17.35 48 47 95 1.53
tahun pernah
SD tetapi tidak
tamat
7. Tamat 1231 1206 2437 26.16 1190 1206 2396 38.59
SD/sederajat
8. Usia 18-56 214 178 392 4.21 403 409 812 23.08
tahun yang
tidak tamat
SLTP
9. Usia 18-56 154 133 287 3.08 112 110 222 3.58
tahun yang
tidak tamat
SLTA
10. Tamat 362 300 662 7.11 213 142 355 5.72
SMP/sederajat
11. Tamat 334 228 562 6.03 225 311 536 8.63
SMA/sederajat
12. Tamat D-1 22 24 46 0.49 4 6 10 0.16
13. Tamat D-2 10 6 16 0.17 42 21 63 1.01
14. Tamat D-3 6 5 11 0.12 7 4 11 0.18
15. Tamat S-1 23 20 43 0.46 67 51 118 1.90
16. Tamat S-2 1 - 1 0.01 4 - 4 0.06
17. Tamat S-3 - - 0 0.00 - - 0 0.00
Jumlah 4632 4684 9316 3081 3128 6209
Sumber: Data Primer Diolah, 2013

JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015 23


KESIMPULAN Ife, Jim. 1995. Community Development;
Kearifan lokal yang dimiliki oleh Creating Community Alternative,
masyarakat desa penyangga berupa budaya Vision, Analysis and Practises,
lokal masih sangat beragam. Terutama Australia: Longman
tampak dalam sistem nilai budaya lokal Miles, Matthew B. dan A. Michael
yang dimiliki masyarakat desa penyangga. Huberman. 1992. Analisa Data
Hanya ada sebagian kecil masyarakat yang Kualitatif: Buku Sumber Tentang
memiliki orientasi nilai budaya yang Metode-Metode Baru. Universitas
berorientasi masa depan dalam mengelola Indonesia. Jakarta
Sumberdaya Alam Hutan dan Ekosistem
(SDAHE) sedangkan sebagian besar masih Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. 1995.
berorientasi hanya pada masa kini. Hal ini Sosiologi Pedesaan Kumpulan
karena semuanya masih berurusan dengan Bacaan. Gadjah Mada University
“perut” dimana belum terjadi keseimbangan Press. Yogyakarta
antara ekonomis dan ekologis. Pengetahuan
lokal cukup bagus dimana terjadi Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu
penggunaan teknologi yang disesuaikan Pengantar. Raja Grafindo Persada.
dalam mengelola hasil alam terutama dalam Jakarta
pembuatan kripik pisang. Disamping itu
proses lokal berupa semangat gotong-royong Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian
dan jiwa musyarah masih ada hanya saja Kualitatif. Alfabeta. Bandung
harus tetap dipertahankan untuk
keberlanjutan pengelolaan SDAHE di Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal
Taman Nasional Meru Betiri. Masyarakat dalam Pengelolaan
Potensi sumberdaya lokal yang Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
dimiliki oleh masing-masing desa Prosiding Seminar Nasional
penyangga berbeda antara desa yang satu Penelitian, Pendidikan dan penerapan
dengan desa yang lain. Dimana untuk MIPA, 16 Mei 2009. Yogyakarta.
kegiatan pemberdayaan harus
memperhatikan potensi yang dimiliki oleh
masing-masing daerah tersebut. Sedangkan
dalam mengelola SDAHE diperlukan juga
potensi sumberdaya manusia yang bagus,
sedangkan kondisi sumberdaya manusia di
sekitar kawasan Taman Nasional rata-rata
masih rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry.


2003. Participatory Research
Appraisal dalam Pelaksanaan
Pengabdian Kepada Masyarakat.
Humaniora. Bandung

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami


Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta.
Jakarta

24 JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015

You might also like