You are on page 1of 7

Nilai Budaya Dan Agama Pada Grebeg Suro Di Ponorogo Jawa Timur

Rizki Aliyatul Ridho1


Email : Riskialya17@gmail.com
Prodi S1 Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Institur Agama Islam Negeri Ponorogo

Abstract
Local wisdom is a truth that has been a tradition in an area which of course is obtained from a
combination of sacred values and various values that have been passed down from generation
to generation. The beginning of the formation of local wisdom, namely from the various
cultural advantages of the local community as well as geographical conditions that cover a
very wide area. Local wisdom itself is a culture obtained from past times which should be
continuously used as a basis for life. Local wisdom contains cultural local wisdom that is so
integrated with belief systems, norms and culture and is expressed in traditions and myths
that have been carried out for a long time. Like local wisdom that has become entrenched in
Ponorogo, one of them is Grebeg Suro. Grebeg Suro is one of the most popular annual events
held in the community which is carried out every 1 suro in the Javanese calendar. In terms of
local wisdom, the culture of Grebeg Suro is enlivened by a series of events such as the
National Festival of Reog, Larungan, and Kirab Pusaka which are carried out with the aim of
preserving Ponorogo culture from its ancestors. Grebeg suro activities such as the heirloom
Kirap ritual and also this prayer offering must continue to be preserved and developed
because it greatly influences the significance of developments in Ponorogo Regency itself.
Some residents in Ponorogo believe that some of the cultural ritual processes carried out
contain values or elements of blessing that can affect the lives of each individual to change
himself for the better.
Keywords: Local wisdom, Culture, Cultural values, Religious value.
Abstrak
Kearifan lokal merupakan kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah yang
tentunya didapat dari perpaduan antara nilia-nilai suci dan berbagai nilai yang sudah turun
menurun. Awal mula terbentuknya kearifan lokal yaitu dari berbagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis yang mencangkup sangat luas. Kearifan lokal
sendiri merupakan budaya yang diperoleh dari zaman masa lampau yang patut secara terus
menerus dijadikan pegangan hidup. Dalam kearifan lokal terkadung kearifan lokal budaya
yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta
dekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dijalankan dalam jangka waktu yang lama, Seperti
halnya kearifan lokal yang sudah membudaya di Ponorogo salah satunya yaitu Grebeg Suro.
Grebeg Suro merupakan salah satu acara tahunan yang pasti diadakan yang sangat popular di
masyarakat yang dilaksanakan setiap 1 suro dalam kalender jawa. Dalam kearifan lokal
budaya Grebeg Suro ini dimeriahkan dengan berbagai rangakaian acara seperti Festival
Nasional Reog, Larungan , Kirab Pusaka yang dilaksanakan dengan tujuan melestarikan
kebudayaan Ponorogo dari nenek moyang. Kegiatan grebeg suro seperti ritual kirap pusaka
dan juga larungan doa ini harus terus dilestarikan dan dikembangkan karena sangat
mempengaruhi terhadap signifikasi perkembangan yang terdapat di Kabupaten Ponorogo
sendiri. Sebagian penduduk di Ponorogo menyakini bahwa beberapa proses ritual budaya
yang dilakukan tersebut mengandung nilai atau unsur-unsur keberkahan yang dapat
1
mempengaruhi terhadap kehidupan masing-masing individu untuk merubah dirinya menjadi
lebih baik.
Kata Kunci : Kearifan lokal, Budaya, Nilai budaya, Nilai Keagamaan

PENDAHULUAN
Pelaksanaan Grebeg Suro menjadi salah satu acara tahunan yang sudah pasti
dilaksanakan di Ponorogo sesaat memasuki 1 suro menurut kalender jawa. Grebeg Suro yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo yang tentunya menarik
perhatian warga yang tinggal di Kota Ponorogo dan kota-kota lainnya. Perayaan Grebeg Suro
mengadakan berbagai acara seperti Malam Pembukaan Grebeg Suro, Festival Reyog
Nasional, Karnaval Pusaka, Malam Penutupan Grebeg Suro, Larung Risalah Doa, dll yang
dapat menarik minat penonton dan pengunjung yang sangat besar di Alon-Alon Ponorogo ini
tidak pernah sepi pengunjung sebelum pembukaan, hingga akhir perayaan Grebeg Suro
bahkan beberapa hari setelah upacara penutupan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memperjelas inisiatif pemerintah daerah dalam mewujudkan masyarakat Grebeg suro di
Ponorogo. Metode analisis data penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dengan
peraturan yang dilembagakan oleh pemerintah daerah. Hal ini tidak menimbulkan konflik
dengan masyarakat, karena mereka lebih mudah menerima agenda yang diprogramkan
pemerintah. Grebeg Suro membuktikan dapat saling menguntungkan bagi perusahaan besar
(seperti restoran dan hotel), usaha kecil, dan usaha kecil di Gunung Ponorogo dan sekitarnya.
Selain itu, penyelenggaraan Perayaan Grebeg Suro dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mempromosikan produk dan hasil alam yang berkualitas serta sektor pariwisata di Ponorogo.
Dengan disadari atau tidak dengan terus melestarikannya nilai-nilai kebudayaannya yang
telah mendorong terjadinya beberapa konflik internal pada masyarakat Ponorogo yang
tentunya hal tersebut sudah tidak perlu dilkukan dan dikembangkan. Karena kedua hal
tersebut berangkat dari sudut panang budaya dan ekonimi memenag kegiatan grebeg suro
seperti ritual kirap pusaka dan juga larungan doa ini harus terus dilestarikan dan
dikembangkan karena sangat mempengaruhi terhadap signifikasi perkembangan yang
terdapat di Kabupaten Ponorogo sendiri. Sebagian penduduk di Ponorogo menyakini bahwa
beberapa proses ritual budaya yang dilakukan tersebut mengandung nilai atau unsur-unsur
keberkahan yang dapat mempengaruhi terhadap kehidupan masing-masing individu untuk
merubah dirinya menjadi lebih baik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan
dengan mencari data data dari sumber-sumber yang ada di jurnal.Teknik pengumpulan data
tersebut dengan cara mewawancarai masyarakat dari Ponorogo. Kegiatan penelitian ini
didokumentasikan dalam bentuk gambar yang diambil dari berita masyarakat Ponorogo.
Informasi pendukung pebelitian ini di dapatkan dari masyarakat daerah ponorogo asli yang
mengetahui sejarah tentang adanya kebudayaan grebeg suro yang ada di ponorogo dan juga
rangkaian acara yang dilakukan seperti kebudayaan reog yang memiliki filosofi tersendiri.

PEMBAHASAN
Sejarah Budaya Grebeg Suro
Grebeg Suro merupakan acara tradisi budaya tahunan masyarakat Ponorogo dalam
wujud pesta rakyat. Grebeg Suro merupakan salah satu tradisi di Ponorogo yang menjadi
gagasan-gagasan yang bersifat lokal yang dimana dapat di terima oleh masyarakat di
Ponorogo. Sejarah diselengarakannya Grebeg suro di Ponorogo yang pada awlanya
merupakan kebiasan masyarakat terutama pada kalangan warok pada malam 1 Suro dengan
diadakannya tirakat atau doa selama 1 malam sengan cara mengelilingi kota dan berhenti di
pusat kota tepatnya di Alun-Alun Ponorogo. Hal tersebut mulai dilaksanakan pada tahun
1987 oleh bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo . Pada tahun ini pelaksanaan Grebeg suro
terlaksana dengan sangat meriah dengan diadakan pembukaan Grebeg suro Rangkaian
Grebeg Suro di antaranya, prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo
kemudian disusul dengan kegiatan pendukung lainnya seperti Festival Reog Mini, Festoval
Nasional Reog Ponorogo, Festival Kirab pusaka, Festoval Kirab Pembangunan, dan
Larungan doa yang dilaksanakan di Telaga Ngebel Ponorogo.
Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata
Jawa Timur setiap tahun. Pada tahun ini merupakan perayaan Grebek suro yang ke XXVII
yang juga bersamaan dengan hari jadi Ponorogo yang ke 526. Dengan adanya kegiatan
tersebut dapat melahirkan gagasan kreatif untuk memunculkan kegiatan-kegiatan yang dapat
melestarikan budaya yang ada di Ponorogo. Kegiatan pada grebeg suro ini terdiri dari
beberapa rangkai pertunjukan dimulai dari pertunjukan seni Reog dengan di ikuti oleh
berbagai masyarakat Ponorogo mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Selain festifal budaya, dalam rangka memperingati Grebeg Suro juga dilaksanakannya
berbagai acara para pengunjung juga dapat menikmati berbagai sajian kuliner yang menjadi
ciri khas Ponorogo seperti sate ayam, es dawet jabung, gethuk Golan, dan jajanan khas
Ponorogo lainnya yang pastinya menarik untuk dicoba. Selain adanya wisata kuliner juga
diadakan pameran bonsai dan batu akik yang bertempat di pendopo Kabupaten Ponorogo.

Nilai - Nilai Budaya


Budaya Grebeg Suro yang sudah membudaya di Ponorogo memiliki nilai luhur
karena masih dipertahankan oleh seluruh masyarakat Ponorogo itu sendiri sampai detik ini.
Namun didaerah lain tradisi yang dilakukan juga berbeda-beda, oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa nilai luhur didapat dari daerah itu sendiri dengan memamerkan seni atau
tradisi yang sudah turun menurun yang berasal dari daerah itu sendiri yang memberikan
aneka ragam budaya atau nilai luhur yang dihasilkan sangat beragam. Nilai-nilai lubur atau
nilai-nilai kebudayaan juga dikenal sebagai niali-nilai kearifan lokal, yang dimaksud dengan
nilai-nilai tersebut yang memang benar dan yang dijadikan sebagai panduan untuk sikap atau
perilaku masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu tidak sedikit
orang yang ingin mengetahui nilai-nilai budaya yang dipamerkan selama puluhan tahun ini
dengan tujuan untuk memperjelas sejarah gerebeg suro dengan mengetahui nilai-nilai
kearifan lokal yeng terkandung didalamnya.
Grebeg suro merupakan tradisi yang sudah membudaya bagi masyarakat di Ponorogo.
Tradisi grebeg suro ini berlangsung setiap 1 tahun sekali, khsusunya untuk masyarakat
ponorogo sepakat bahwa pemeriahan acara grebeg suro dilakukan setiap satu tahun sekali dan
di laksanakan di pusat kota Ponorogo tepatnya di Alun-Alun Ponorogo. Bahkan, pemerintah
juga membantu memberi dukungan untuk memriahkan acara tersebut. Masyarakat, baik dari
kalangan anak-anak sampai kalangan dewasa maupun orang tua terlihat sangat antusias
dalam menyambut acara kebudayaan grebeg suro dengan sangat antusias, momen ini
merupakan salah satu momen yang sangat istimewa bagi masyarakat ponorogo dan
sekitarnya. Semua daerah berpastisipasi dalam pelaksanaan grebeg suro yang didalamnya
terbagai berbagai rangkaian acara hal ini terbukti dari terdapat beberapa daerah yang ikut
serta dalam pelasanaan pawai dengan menggunakan mobil yang dihias sesuai tema yang
diinginkan.
Sebagai penghormatan masyarakt Ponorogo kepada leluhur mereka yang telah
meninggal tidak hanya untuk leluhur namun juga sebagi bentuk memohon perlindungan agar
dijauhkan dari kejadian yang bisa membahayakan keselamatan masyarakatt Ponorogo di
setiap tahunyya dengan pelaksaan kirap doa yang dialukan dengan cara berjalan kaki
mengelilingi kota Ponorogo pada saat malam hari bertepatan pada malam 1 Suro. Tidak
hanya itu juga dilakukan denga larungan yang dilakukan di Telaga Ngebel Ponorogo. Semua
masyarakat sangat berpartisipasi dengan kegiatan tersebut seperti sedekah bumi, hasil panen
seperti buah,sayur, yang dihias bentuk tumpeng yang besar kemudian dilarungkan di Telaga
Ngebel tersebut. Dalam acara tersebut dipimpin oleh salah satu orng untuk mempimpin
berdoa bersama untuk leluhur yang telah meninggal dunia, memohon keselamtan, dan juga
mengucap rasa syukur atas pemberian-Nya.
Dalam kegiatan tersebut terdapat banyak sekali jenis makanan yang diletakkan di
besek-besek yang terbuat dari anyaman bambu. Solidaritas masyarakat sanagt terjalin, karena
seluruh masyarakat tampak rukun satu sama lain. Makanan yang disajikan dianggap oleh
masyarakat setempat sebagai makanan yang banyak mengandung berkah dari Allah SWT.
Pelaksanaan larungan di Telaga Ngebel Ponorogo ini juga diiringi dengan pertunjukan seni
budaya seperti pertunjukan pagelaran Reog Ponorogo yang merupakan kebudayaan lokal
yang ditampilkan langsung oleh masyarakat Ponorogo. Diketahui mengenai tradisi ritual
Grebeg Suro memiliki lima nilai seperti menumbuhkan nilai religi, nilai luhur seperti gotong
royong, nilai menumbuhkan karakter yang mencintai budaya lokal, terciptanya toleransi antar
lapisan masyarakat, dan yang pasti menumbuhkan jiwa-jiwa pelestarian budaya.

Nilai –Nilai Keagamaan


Sudah sepantasnya seluruh masyarakat Ponorogo harus berbangga dengan seluruh
nilai seni dan kebudayaan yang dimiliki. Seni dan budaya yang terdapat di Ponorogo yang
merupakan warisan budaya dari leluhur yang terdahulu yang penuh dengan nilai-nilai sejarah
yang teramat panjang sehingga mendapatkan identitas atau cirikhas bagi masyarakat
Ponorogo. Sepeti Kirap Pusaka, Festival Reog, dan Larungan Doa yang diadakan di Telaga
Ngebel Ponorogo, kegiatan tersebut merupakan beberapa agenda yang dilaksanakan dalam
rangka memperingati ulang tahun Kabupaten Ponorogo dan juga menyambut datangnya
tahun baru Hijriyah yang bertepatan pada Muharram atau 1 Suro biasa disebut oleh
mayarakat Ponorogo. Untuk Masyarakat Ponorogo sendiri yang terbentuk dari berbagai
lapisan dan latar belakang yang berbeda menjadi salah satu keragaman budaya, dari adanya
beberapa lapisan dan latar belakang yang berbeda itu ada juga beragam dalam menyikapi
agenda tahunan yang biasa disebut dengan Grebeg suro.
Sebagian masyarakat nya menilai dengan adanya acara tersebut harus dilestarikan dan
dijaga, karena kegiatan tersebut kaya akan serat dengan nilai-nilai kebudayaannya dan juga
nilai-nilai kesakralannya karena adanya keyakinan yang terdapat dalam beberapa ritual,
sehingga kegiatan tersebut harus bahkan wajib untuk dilestarikan dan dikenalkan terhadap
masyarakat luas bahkan di tinggat Nasional. Namun juga tidak sedikit yang menganggap
bahwa kegiatan Grebeg suro itu terdapat penyimpangan akidah dalam beragama. Terdapat
beberapa pendapat dari masyarakat terhadap agenda kegiatan seperti kirap pusaka dan
larungan doa yang menurutnya haru dihetikan dan dihilangkan dari masyarakat karena sudah
tidak waktunya lagi masyarakat melakukan ritual-ritual yang berpengaruh bahkan merusak
akidah. Karena di kalangan masyarakat modern yang sudh mampu menilai dan
memperimbangkan terhadap pengaruh keyakinan dalam beragama. Hal tersebut menjadikan
sisitem akulturasi budaya atau biasa disebut dengan dakwah pada zaman dauhu dengan
zaman sekarang sudah sangat jauh berdeda.
Dengan disadari atau tidak dengan terus melestarikannya nilai-nilai kebudayaannya
yang telah mendorong terjadinya beberapa konflik internal pada masyarakat Ponorogo yang
tentunya hal tersebut sudah tidak perlu dilkukan dan dikembangkan. Karena kedua hal
tersebut berangkat dari sudut panang budaya dan ekonimi memenag kegiatan grebeg suro
seperti ritual kirap pusaka dan juga larungan doa ini harus terus dilestarikan dan
dikembangkan karena sangat mempengaruhi terhadap signifikasi perkembangan yang
terdapat di Kabupaten Ponorogo sendiri. Sebagian penduduk di Ponorogo menyakini bahwa
beberapa proses ritual budaya yang dialkukakn tersebut mengandung nilai atau unsur-unsur
keberkahan yang dapat mempengaruhi terhadap kehidupan masing-masing individu untuk
merubah dirinya menjadi lebih baik. Misalnya pada proses pelaksanaan larungn doa yng
dilaksanakn di telaga ngebel Ponorogo yang dihadiri oleh ribuan masyarakat daerah maupun
luar daerah. Pada larungan doa tersebut terdapat mitos apabila barang siapa yang dapat atau
mampu mengambil dan mendapatkan bagian dari tumpeng yang dibuat maka akan mendapat
keberkahan dan hidupnya akan menjadi lebih baik dan sejahtera. Tumpeng tersebut yang
dibuat menggunakan hasil bumi seperti buah-abuahan dan sayuran yang dirangkai berbentuk
krucut yang besar.
Namun ada bagunya pada saat dilaksanakannya larungan doa tersebut pembawa acara
memberikan beberapa penjelasan kepada masyarakat yang menghadiri acara tersebut bahwa
hal demikian merupakan bagian dari mitos yang selama ini berkembangan di kalangan
masyarakat. Sebagian masyarakat masih banyak yang mempercayainya yang dibuktikan
dengan saling berebut antar masyarakat untuk mendapatkan buah-buah ataupub sayuran yang
ad di tumpeng tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang berebut
mengharapkan adanya keberkahan dan perubahan dalam hidupnya dengan mendpatkan salah
satu bagian dari tumprng tersebut. Namun ada pendapat dari tokoh di Ponorogo menanggapi
tentang pelaksanaan kegiatan tersebut hal tersebut tidak perlu untuk dipermasalahkan lagi.
Karena ritual budaya tersebut merupakan warisan budaya yang suda berproses secara turun
menurun yang sudah seharunya dijaga dan dilestarikan . Maka dengan itu kita harus terus
memberikan pemahaman terhadap masyarakat bahwa kegiatan ini dilaksanakan hanya untuk
kegiatan budaya sebatas pada pelestarian dan pengenlan budaya dengn nilai-nilai agung yang
tercipta dari proses alkulturasi budaya yang dimulai dari ratusan tahun lalu. Dengan itu
diharapkan semua masyarakat Ponorogo yang terdiri dari beberapa lapis agar dapat atau bisa
memahai dan mengerti makna dan esensi budaya Ponorogo secara garis besar sehingga
semua pendapat dapat bersanding dengan pengertian dan pemahaman masing-masing.
Diketahui mengenai tradisi ritual Grebeg Suro memiliki lima nilai seperti
menumbuhkan nilai religi, nilai luhur seperti gotong royong, nilai menumbuhkan karakter
yang mencintai budaya lokal, terciptanya toleransi antar lapisan masyarakat, dan yang pasti
menumbuhkan jiwa-jiwa pelestarian budaya. Hal-hal tersebut dapat tercerminkan dalam
berperilaku dalam kehidupan masyarakatnya seprti mensakralkan Telaga Ngebel yang
mengakibatkan keaslian Telaga Ngebel masih terjaga dengan baik sampai saat ini . Selain itu
juga dapat dilihat cerminan sikap masyarakat setempat yang sangat mencintai budayanya, hal
tersebut dibuktikan dengan antusias masyarakat Ponorogo dari berbagai kalangan usia dalam
mengikuti serangkaian acara Grebeg suro ini, dengan demikianlah yang membedakan
karakter antara masyarakat Ponorgo dengan masyarakat lainnya.

PENUTUP
Grebeg Suro merupakan acara tradisi budaya tahunan masyarakat Ponorogo dalam
wujud pesta rakyat. Grebeg Suro merupakan salah satu tradisi di Ponorogo yang menjadi
gagasan-gagasan yang bersifat lokal yang dimana dapat di terima oleh masyarakat di
Ponorogo. Sejarah diselengarakannya Grebeg suro di Ponorogo yang pada awlanya
merupakan kebiasan masyarakat terutama pada kalangan warok pada malam 1 Suro dengan
diadakannya tirakat atau doa selama 1 malam sengan cara mengelilingi kota dan berhenti di
pusat kota tepatnya di Alun-Alun Ponorogo. Hal tersebut mulai dilaksanakan pada tahun
1987 oleh bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo.
Namun didaerah lain tradisi yang dilakukan juga berbeda-beda, oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa nilai luhur didapat dari daerah itu sendiri dengan memamerkan seni atau
tradisi yang sudah turun menurun yang berasal dari daerah itu sendiri yang memberikan
aneka ragam budaya atau nilai luhur yang dihasilkan sangat beragam. Nilai-nilai lubur atau
nilai-nilai kebudayaan juga dikenal sebagai niali-nilai kearifan lokal, yang dimaksud dengan
nilai-nilai tersebut yang memang benar dan yang dijadikan sebagai panduan untuk sikap atau
perilaku masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan tersebut terdapat
banyak sekali jenis makanan yang diletakkan di besek-besek yang terbuat dari anyaman
bambu. Solidaritas masyarakat sanagt terjalin, karena seluruh masyarakat tampak rukun satu
sama lain.
Dengan disadari atau tidak dengan terus melestarikannya nilai-nilai kebudayaannya
yang telah mendorong terjadinya beberapa konflik internal pada masyarakat Ponorogo yang
tentunya hal tersebut sudah tidak perlu dilkukan dan dikembangkan. Karena kedua hal
tersebut berangkat dari sudut panang budaya dan ekonimi memenag kegiatan grebeg suro
seperti ritual kirap pusaka dan juga larungan doa ini harus terus dilestarikan dan
dikembangkan karena sangat mempengaruhi terhadap signifikasi perkembangan yang
terdapat di Kabupaten Ponorogo sendiri. Sebagian penduduk di Ponorogo menyakini bahwa
beberapa proses ritual budaya yang dialkukakn tersebut mengandung nilai atau unsur-unsur
keberkahan yang dapat mempengaruhi terhadap kehidupan masing-masing individu untuk
merubah dirinya menjadi lebih baik. Misalnya pada proses pelaksanaan larungan doa yang
dilaksanakan di telaga ngebel Ponorogo yang dihadiri oleh ribuan masyarakat daerah maupun
luar daerah.

REFERENSI
Lestari, Endang Sri (2011). "Nilai-nilai kearifan lokal dalam grebeg suro di Kabupaten
Ponorogo". library.um.ac.id. Digital Library Universitas Negeri Malang. Diakses
tanggal 26 Februari 2020.
Kholil, Ahmad. 2011.Agama Budaya (Masyarakat Pinggiran). Malang: UIN-Maliki press el
Harakah Vol.16 No.1 Tahun 2014.
Robert H. 1992.Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: RaJawali Pers.Ujan, Andre, dkk.
2009.Multikulturalisme. Jakarta: PT. Indeks.
Sulaiman, Munandar. 1998.Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT.RefikaAditama.
Suratman, Munir, dkk. 2010.Ilmu Sosial Budaya Dasar. Malang: IntermediaMalang.

You might also like