You are on page 1of 14

PENYEBAB TERJADINYA SUBSTANDARD PRACTICE BERDASARKAN TEORI LOSS

CAUSATION MODEL PADA PENGELAS DI PT BANGUN SARANA BAJA

Dimas Trianggoro Wicaksono, Tjipto Suwandi


Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Email: tw.samid@gmail.com

ABSTRACT
Welder had important role for steel fabrication industry, otherwise the job of welder had a variously dangerous
potential. The occurring of substandard practice could be prevent by identified the cause of substandard
practice. The aim of this research was to study the cause of the occurring of substandard practice on welder at
PT. Bangun Sarana Baja. This research was done by using cross sectional design and qualitative approach in
order to describe the cause of the occurring of substandard practice on welder at PT. Bangun Sarana Baja
Gresik. The respondent of this research was 20 peoples who was work as a welder at PT. Bangun Sarana Baja.
The result of this research represent that 80% of welder at PT. Bangun Sarana Baja had performed standard
practice. Management has given a lot of variously programs. Personal factor and job factor most of welder
supported the occurring of standard practice. The conclusion of this research was most of welder at PT. Bangun
Sarana Baja has performed standard practice. Substandard practice occurred because the lack of welder
participation in training and the lack of experience before they worked at PT. Bangun Sarana Baja as the
personal factor, the difficulty of PPE arrangement, the careless of used PPE, work not based on SOP as the job
factor, and lack of control of management on compliance to make standard for each program.

Keywords: substandard practice, personal factor, job factor, lack of control of management

ABSTRAK

Pengelas memiliki peran penting dalam industry fabrikasi baja, selain itu pengelas juga mempunyai potensi
bahaya yang beragam. Terjadinya Substandard Practice dapat dicegah dengan mengidentifikasi penyebabnya.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari penyebab terjadinya substandard practice pada pengelas di PT. Bangun
Sarana Baja. Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan cross sectional dengan menggunakan pendekatan
kualitatif agar dapat menggambarkan penyebab terjadinya substandard practice pada pengelas di PT. Bangun
Sarana Baja Gresik. Responden dalam penelitian ini sebanyak 20 orang yang merupakan pengelas di PT. Bangun
Sarana Baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% pengelas di PT. Bangun Sarana Baja telah melakukan
standard practice. Manajemen telah memberikan banyak program yang beragam. Faktor personal dan faktor
pekerjaan pada sebagian besar pengelas mendukung terciptanya standard practice. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa pengelas di PT. Bangun Sarana Baja sebagian besar telah melakukan standard practice.
Substandard practice terjadi karena kurangnya partisipasi pengelas dalam pelatihan dan kurangnya pengalaman
pada bidang pengelasan sebelum bekerja di PT. Bangun Sarana Baja sebagai faktor personal, penyediaan APD
yang rumit dan lama, kelalaian dalam memakai APD, bekerja tidak sesuai dengan SOP sebagai faktor personal,
dan kurangnya pengendalian dari perusahaan dalam pembuatan standar untuk setiap program.

Kata kunci: substandard practice, faktor personal, faktor pekerjaan, lack of control of management

PENDAHULUAN proses terdapat di industri baja, dari tahap


peleburan biji baja, pencetakan, hingga menjadi
Indonesia sebagai negara berkembang
bahan yang siap untuk dikirimkan ke industri
memiliki berbagai macam bidang usaha, salah
lain. Proses peleburan dan pencetakan biasanya
satunya adalah perindustrian. Berbagai jenis
dilakukan oleh tenaga mesin otomatis dengan
industri ada di Indonesia mulai dari industri
suhu tinggi, kemudian melalui proses
rumah tangga hingga industri besar yang
pendinginan yang cepat dan memperkuat
didalamnya juga terdapat tenaga kerja dengan
kualitas baja.
jumlah sesuai dengan jenis industri tersebut.
Kemajuan industri global mendorong
Industri baja tergolong sebagai industri vital
tingginya produktifvitas, oleh karena itu
karena menyediakan bahan yang dibutuhkan
penerapan keselamatan dan kesehatan kerja
oleh industri lainnya seperti industri otomotif,
(K3) sangat dibutuhkan untuk melindungi baik
infrastruktur dan konstruksi. Berbagai macam

1
2 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

tenaga kerja maupun orang lain atas hak Kecelakaan kerja mempunyai beberapa
keselamatannya yang berada pada suatu faktor penyebab diantaranya adalah kondisi
industri serta sumber produksi suatu industri tidak aman dan perilaku tidak aman atau yang
dapat terpelihara dan digunakan secara efisien sering dikenal dengan unsafe act dan unsafe
(Suma’mur, 2009). condition. Sebuah penelitian mengatakan
Industri baja dibidang konstruksi hanya bahwa lebih dari 90% kecelakaan kerja
melakukan pengolahan, perancangan, serta disebabkan oleh unsafe act. Dalam penelitian
fabrikasi baja sehingga siap digunakan untuk DuPont tercatat bahwa 76% kecelakaan kerja
mendirikan suatu konstruksi bangunan. disebabkan oleh unsafe act, 22% karena
Fabrikasi baja merupakan tahap dimana baja kombinasi dari unsafe act dan unsafe condition,
disusun dan disatukan sedemikian rupa 4% disebabkan karena unsafe condition.
sehingga memenuhi rancangan yang telah PT Bangun Sarana Baja merupakan
disusun. Penyatuan serta penyusunan baja industri yang bergerak dibidang fabrikasi baja
dilakukan oleh tenaga manusia yang dimana dalam pengerjaannya terdapat proses
diantaranya terdapat proses penyusunan, pengelasan baja. Pengelasan atau welding
penyatuan dengan pengelasan, dan pada tahap adalah penyambungan dua bahan atau lebih
akhir adalah pengecatan baja. Setiap tahap yang didasarkan pada prinsip-prinsip proses
dalam proses fabrikasi memiliki potensi bahaya difusi, sehingga terjadi penyatuan bagian bahan
yang berbeda terlebih lagi proses tersebut yang disambung (Riswan, 2008).
dilakukan oleh tenaga manusia sehingga dapat Seperti pada perusahaan besar yang
memicu terjadinya kecelakaan kerja. Suma’mur lainnya, PT. Bangun Sarana Baja mempunyai
(2009) menyatakan bahwa penyebab dari target zero accident dimana target tersebut
kecelakaan kerja adalah manusia dan kondisi menuntut perusahaan untuk menegakkan
lingkungan. keselamatan dan kesehatan setiap tenaga kerja
Pengelasan merupakan suatu kegiatan guna mencegah terjadinya kecelakaan. Menurut
penting pada proses fabrikasi baja untuk literatur Shappell dan Wiegman (2000)
menyatukan dua buah baja sesuai dengan menunjukkan bahwa antara 70 dan 80 persen
susunan dan rancangan yang telah ditetapkan. dari kecelakaan penerbangan dapat dikaitkan
Pengelasan atau welding adalah penyambungan dengan kesalahan manusia (tindakan tidak
dua bahan atau lebih yang didasarkan pada aman). Beberapa penelitian terdahulu juga
prinsip-prinsip proses difusi, sehingga terjadi menyebutkan bahwa terjadinya kecelakaan
penyatuan bagian bahan yang disambung lebih banyak didominasi oleh tindakan tidak
(Riswan, 2008). Las merupakan ikatan aman dari pada kondisi tidak aman. Teori Loss
metalurgi pada sambungan logam atau logam Causation Model dari Bird dan Germain
paduan yang dihasilkan oleh pemanasan pada merupakan salah satu cara mengidentifikasi
suhu tertentu atau temperatur yang sesuai serta mengurangi terjadinya kerugian akibat
dengan atau tanpa penggunaan tekanan, dan kecelakaan kerja. Teori tersebut menyebutkan
dengan atau tanpa pemakaian logam pengisi bahwa penyebab langsung dari terjadinya
(Siswanto,2009). kecelakaan adalah praktek dan kondisi
Penelitian Safrin (2007) menyebutkan substandar dimana istilah tersebut digunakan
bahwa kasus kecelakaan kerja yang terjadi pada sebagai pengganti istilah perilaku dan kondisi
bagian welder adalah luka bakar di bagian tidak aman.
tangan dan muka pada saat melakukan PT. Bangun Sarana Baja sebagai
pengelasan. Data kecelakaan kerja pada tahun industry fabrikasi baja dengan proses
2005–2006 menunjukkan jumlah kecelakaan pengelasan yang menggunakan tenaga manusia
yang disebabkan oleh terkena serpihan las di berpotensi terjadi substandard practice terutama
wajah dan tangan menduduki peringkat ke 1 dalam hal pemakaian APD. Penyebab
dari 16 jenis penyebab dalam 14 divisi di PT. terjadinya substandard practice dapat
PAL Indonesia. Para pekerja di perusahaan itu diidentifikasi melalui faktor personal dan faktor
seharusnya telah mendapatkan langkah kerja pekerjaan sebagai komponen dari basic cause
serta cara pemakaian APD yang benar, namun serta melalui lack of control yang merupakan
dalam implementasinya masih saja terjadi upaya pengendalian dari perusahaan. Tujuan
kecelakaan pada bagian tubuh yang seharusnya penelitian ini adalah untuk Mempelajari
terlindungi oleh APD. penyebab terjadinya substandard practice pada
pengelas di PT Bangun Sarana Baja.
Dimas Trianggoro. W dan Tjipto Suwandi, Penyebab Terjadinya Substandard… 3

METODE PENELITIAN HASIL PENELITIAN


Penelitian yang dilakukan termasuk Program yang Dilakukan Oleh Manajemen
penelitian observasional karena peneliti Program yang dilakukan manajemen
melakukan observasi pada sampel penelitian diidentifikasi berdasarkan daftar periksa dari
dan tidak memberikan perlakuan pada subyek buku Practical Loss Control Leadership dari
penelitian. Penelitian ini juga tergolong dalam Bird dan Germain (1992). Daftar periksa
penelitian deskriptif karena hanya melihat dan tersebut diteliti melalui wawancara kepada
menggambarkan penyebab dari terjadinya pihak manajemen mengenai program K3 apa
substandard practice pada pengelas di PT saja yang dijalankan oleh manajemen beserta
Bangun Sarana Baja berdasarkan teori Loss penjelasan program yang kemudian akan
Causation Model dari Bird dan Germain disesuaikan dengan daftar periksa. Daftar
(1992). Menurut dimensi waktu, penelitian ini periksa disajikan dalam bentuk persentase
merupakan Cross sectional study, karena data program yang telah dipenuhi dan yang belum
yang dikumpulkan pada satu kurun waktu saja, dipenuhi. persentase didapatkan dari
yaitu pada saat melaksanakan praktek penghitungan program yang dilaksanakan
penelitian dilapangan berdasarkan total daftar periksa. Berikut
Penelitian dilaksanakan di PT Bangun merupakan tabel kesesuaian program
Sarana Baja yang terletak di Jl. Mayjend pengendalian dengan daftar periksa
Sungkono XII/8 Gresik, Jawa Timut. Penelitian berdasarkan Bird dan Germain (1992) yang
dilaksanakan pada bulan Desember – Januari. dilakukan PT. Bangun Sarana Baja
Populasi penelitian ini adalah seluruh Hasil penelitian menyatakan bahwa PT.
pekerja dibagian pengelasan pada PT Bangun Bangun Sarana Baja telah melaksanakan (85%)
Sarana Baja yang berjumlah 20 orang. Sampel program dari daftar periksa menurut Bird dan
penelitian ini diambil dari keseluruhan total Germain (1992). Program yang tidak dijalankan
populasi yakni 20 orang. Dalam penelitian ini oleh PT. Bangun Sarana Baja adalah program
juga melibatkan perwakilan pihak manajemen mengenai pengamatan tugas/pekerjaan
yang akan membantu melengkapi daftar terencana, pengulasan peraturan tahunan untuk
periksa. pekerja, menjadi tim proyek pengendalian
Teknik pengumpulan data primer diperoleh dari kerugian, menyelenggarakan pemeliharaan
daftar periksa mengenai program perusahaan, APD, menggunakan teknik pelatihan dan
pengisian kuesioner oleh pengelas dan juga pengajaran yang efektif.
hasil observasi peneliti selama penelitian Selain itu manajemen juga mengaku
berlangsung. Sedangkan data sekunder bahwa PT. Bangun Sarana Baja mempunyai 14
merupakan gambaran umum perusahaan, SOP buah program K3 yang telah berjalan antara
program, jadwal kegiatan program, dan studi lain Safety talk, HSE Meeting bulanan, HSE
kepustakaan mengenai kebijakan perusahaan Induction, HSE Sharing, HSE internal skill
tentang K3, peraturan perusahaan tentang K3, training, K3 Workshop, Inspeksi APAR,
serta data penunjang yang lain. Inspeksi APD, Mading K3, Inspeksi ID card
Teknik analisis data dilakukan dengan dan safety shoes, investigasi dan pelaporan
melakukan koding terlebih dahulu untuk kecelakaan, laporan harian, inspeksi crane,
mempermudah analisa. Hasil penelitian akan inspeksi forklift.
dideskripsikan dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi dan analisis persentase. Standar Program yang Dijalankan oleh PT.
Santoso dan Tjiptono (2004) Metode tabulasi Bangun Sarana Baja
silang digunakan untuk melihat hubungan Daftar standar program yang dibuat
antara dua variabel dalam satu tabel. Tabulasi oleh Bird and Germain (1992) menjelaskan
silang merupakan cara termudah melihat mengenai komponen program yang wajib
asosiasi dalam sejumlah data dengan dilaksanakan oleh perusahaan yang dapat
perhitungan persentase. Tabulasi silang dilihat dalam SOP. Daftar periksa berisi 10
merupakan salah satu alat yang paling berguna contoh standar program sederhana dari Bird
untuk mempelajari hubungan diantara variabel dan Germain (1992). Berikut ini merupakan
karena hasilnya mudah dikomunikasikan. tabel kesesuaian standar program pengendalian
dengan daftar periksa berdasarkan Bird dan
Germain (1992) yang telah dilaksanakan oleh
PT. Bangun Sarana Baja
4 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

Hasil penelitian menyatakan bahwa kecelakaan kerja dan 60% mengetahui arti
standar program yang dilakukan PT. Bangun perilaku tidak aman sehingga dapat diartikan
Sarana Baja sudah memenuhi (90%) daftar bahwa sebagian besar pengelas telah mengerti
periksa. PT. Bangun Sarana Baja hanya arti K3, kecelakaan kerja dan perilaku tidak
mempunyai 4 buah SOP untuk program P3K, aman.
Evakuasi, Investigasi kecelakaan, dan Inspeksi Tabel Hasil Kuesioner Pengetahuan
mobil forklift oleh karena itu diambil sumber pada Pengelas PT Bangun Sarana Baja juga
lain yakni dari form yang dibuat oleh PT. mengidentifikasikan bahwa sebanyak (90%)
Bangun Sarana Baja untuk mendukung pengelas menghadiri dan menerima seluruh
program yang telah dilaksanakan. Bentuk form penjelasan mengenai lingkungan kerja,
dapat dilihat pada halaman lampiran. peraturan yang terkait dengan pekerjaan namun
hanya (25%) pengelas yang berpartisipasi
Kesesuaian antara Pelaksanaan dengan dalam pelatihan K3 yang diadakan oleh
Program PT. Bangun Sarana Baja perusahaan. Berdasarkan hasil tersebut dapat
Kesesuaian standar program didapatkan digambarkan bahwa sebagian besar pengelas
melalui wawancara pada pihak manajemen tidak pernah mengikuti pelatihan namun
khususnya departemen HSE PT. Bangun hampir seluruh pengelas mengikuti program
Sarana Baja. Wawancara dilakukan dengan orientasi yang diadakan oleh perusahaan.
tujuan untuk mengetahui apa saja program yang Sebanyak (70%) pengelas juga
dijalankan oleh PT. Bangun Sarana Baja, mengaku tidak pernah bekerja pada bidang
penjelasan program, pelaksana program, yang sama sebelumnya juga dapat diartikan
partisipan serta jadwal program tersebut. PT. bahwa pekerja tidak mempunyai pengetahuan
Bangun Sarana Baja mempunyai jadwal dan pengalaman mengenai bidang pengelasan
tahunan program yang harus dilaksanakan. sebelum bekerja sebagai pengelas di PT.
Seluruh program yang telah direncanakan oleh Bangun Sarana Baja.
PT. Bangun Sarana Baja telah terlaksana sesuai Pengetahuan dikategorikan menjadi 3
dengan jadwal dan tanggung jawab masing yakni kategori baik, sedang, dan buruk.
masing anggota departemen HSE. Kategori didapatkan dengan menjumlah skor
dari kuesioner pengetahuan kemudian
Identifikasi Faktor Personal Pengelas di PT. disesuaikan dengan range dari setiap kategori.
Bangun Sarana Baja Berikut merupakan distribusi frekuensi kategori
Pengetahuan menjadi salah satu pengetahuan pengelas di PT. Bangun Sarana
komponen dalam penegakan keselamatan kerja. Baja
Dalam aspek pengetahuan, penilaian dilakukan Hasil penelitian menyatakan bahwa
khususnya pada pengetahuan mengenai sebanyak (20%) pengelas mempunyai
kesehatan dan keselamatan kerja yang telah pengetahuan yang baik, (75%) mempunyai
didapatkan oleh pengelas mulai dari awal pengetahuan sedang dan (5%) mempunyai
bekerja sampai dengan penelitian ini dimulai. pengetahuan yang buruk. Hal ini dapat terjadi
Kuesioner mengenai pengetahuan terdiri dari 3 akibat kurangnya partisipasi dalam pelatihan
pertanyaan mengenai pengertian K3, dan kurangnya pengalaman dalam bidang kerja
kecelakaan kerja, dan perilaku tidak aman pengelas. Kategori pengetahuan pengelas
dalam bekerja dan 3 pertanyaan mengenai sekaligus menggambarkan kategori faktor
keikutsertaan pengelas dalam program orientasi personal yang dimiliki oleh pengelas
perusahaan, pelatihan K3 dan pengalaman kerja
sebelumnya. Identifikasi Faktor Pekerjaan Pengelas di
Tabel Hasil Kuesioner Pengetahuan PT. Bangun Sarana Baja
pada Pengelas di PT. Bangun Sarana Baja Faktor lain yang berkaitan dengan
menjelaskan tentang skor yang didapatkan oleh faktor personal dalam membentuk penyebab
pengelas dari tiap pertanyaan kuesioner. Tabel dasar ialah faktor pekerjaan. Faktor pekerjaan
Hasil Kuesioner Pengetahuan pada Pengelas PT mempunyai berbagai macam aspek namun
Bangun Sarana Baja pada lampiran dalam penelitian ini hanya diambil dari 2 aspek
mengidentifikasikan bahwa (95%) pengelas yakni peralatan dan perlengkapan serta aspek
mengetahui arti K3 dalam perusahaan, kesalahan dan penyalahgunaan. Faktor
demikian pula (65%) mengetahui arti pekerjaan dikategorikan menjadi 3 yakni
kategori baik, sedang, dan buruk. Kategori
Dimas Trianggoro. W dan Tjipto Suwandi, Penyebab Terjadinya Substandard… 5

didapatkan dengan menjumlah skor dari Penyebab terjadinya substandard


kuesioner peralatan dan perlengkapan serta practice diidentifikasi dengan menggunakan
aspek kesalahan dan penyalahgunaan kemudian tabulasi silang antara faktor personal dan faktor
disesuaikan dengan range dari setiap kategori. pekerjaan dengan perilaku pemakaian APD.
Berikut ini adalah distribusi kategori faktor Selain itu tabulasi silang juga dilakukan pada
pekerjaan pengelas di PT. Bangun Sarana Baja. setiap permasalahan dalam faktor personal,
Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor pekerjaan dan pemakaian APD dengan
(65%) pengelas yang menganggap bahwa tujuan untuk mengetahui distribusi
faktor pekerjaan berada pada kategori baik. Hal permasalahan dalam faktor personal dan faktor
ini dapat diartikan bahwa faktor pekerjaan pekerjaan berdasarkan permasalahan dalam
sepenuhnya telah mendukung pengelas dalam pemakaian APD pada pengelas di PT. Bangun
melaksanakan pekerjaan. Sarana Baja
Identifikasi Pemakaian APD pada Pengelas
di PT. Bangun Sarana Baja 100%
Kesalahan dalam pemakaian APD
merupakan salah satu contoh dari immediate 80%
cause yang dapat menyebabkan kecelakaan 60%
kerja. Observasi dibuat berdasarkan pedoman
dari Siswanto (1994) mengenai alat pelindung 40% substandard
diri pada pengelas dan disesuaikan dengan standard
20%
APD yang disediakan oleh perusahaan yakni
apron, heat gloves, dan safety shoes. Perilaku 0%
dikategorikan menjadi 2 yaitu standard dan
substandard. Berikut merupakan distribusi
kategori perilaku pemakaian APD pada
pengelas di PT. Bangun Sarana Baja.
Gambar 1 Diagram Distribusi Kategori
Hasil penelitian menyatakan bahwa
Pengetahuan Berdasarkan Perilaku
hampir seluruh pengelas yakni (60%) telah
Pemakaian APD Pada Pengelas di
melakukan tindakan standar dengan memakai
PT. Bangun Sarana Baja
APD yang benar, sesuai dan dalam kondisi
yang baik dan (40%) melakukan tindakan
Berdasarkan Gambar 1 diketahui
substandard dengan memakai APD yang tidak
bahwa pengelas yang berada dalam kategori
sesuai dan atau dalam kondisi yang tidak layak.
substandard sebanyak (46,7%) berasal dari
Penilaian observasi diambil
pengelas dengan faktor personal yang berada
berdasarkan pemakaian serta kondisi 4 buah
pada kategori sedang dan (100%) berasal dari
APD yakni face shield, heat gloves, apron dan
pengelas dengan pengeahuan yang berada pada
safety shoes. Berikut merupakan distribusi skor
kategori buruk. Hal tersebut
berdasarkan pemakaian dan kondisi APD yang
mengidentifikasikan bahwa substandard
dipakai saat bekerja.
practice lebih banyak terjadi pada pengelas
dengan pengetahuan yang berada pada kategori
Penyebab Terjadinya Substandard Practice
sedang.
Berdasarkan Teori Loss Causatio Model
Hasil tabulasi silang partisipasi
pada Pengelas di PT. Bangun Sarana Baja
pengelas dalam pelatihan berdasarkan
Telah diketahui sebelumnya bahwa
pemakaian safety shoes yang terdapat pada
permasalahan pada pemakaian APD terletak
lampiran mengidentifikasikan bahwa sebanyak
pada kondisi safety shoes yang tidak layak dan
(65%) pengelas tidak mengikuti pelatihan dan
pemakaian face shield yang tidak benar
menggunakan safety shoes dalam kondisi yang
kemudian permasalahan pada faktor personal
tidak baik. Hasil tabulasi silang partisipasi
terletak pada kurangnya partisipasi dalam
pengelas dalam pelatihan berdasarkan
program pelatihan dan pengalaman pengelas
pemakaian face shield pada lampiran
sebelum bekerja di PT. Bangun Sarana Baja,
mengidentifikasikan bahwa sebanyak (40%)
selain itu permasalahan faktor pekerjaan
pengelas tidak mengikuti pelatihan dan
terletak pada proses penyediaan APD yang
menggunakan face shield dengan tidak benar.
lama, bekerja tidak sesuai SOP, dan kelalaian
dalam memakai APD.
6 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

100% substandard sebanyak (88,89%) berasal dari


pengelas dengan peralatan dan perlengkapan
80% yang berada pada kategori sedang. Hal tersebut
60% mengidentifikasikan bahwa substandard

40% substandard dan perlengkapan dalam kategori sedang.


20% standard Hasil tabulasi silang mengenai proses

0% shoes yang terdapat pada lampiran


mengidentifikasikan bahwa (50%) pengelas
beranggapan bahwa proses penyediaan APD
yang lama dan rumit. menggunakan safety
shoes dengan kondisi tidak layak. Hasil tabulasi
Gambar 2 Diagram Distribusi Kategori Faktor silang mengenai proses penyediaan APD
Pekerjaan Berdasarkan Perilaku berdasarkan pemakaian face shield yang
Pemakaian APD Pada Pengelas di terdapat pada lampiran mengidentifikasikan
PT. Bangun Sarana Baja hanya (30%) pengelas beranggapan bahwa
proses penyediaan APD yang lama dan rumit,
Berdasarkan Gambar 2 diketahui menggunakan face shield dengan tidak benar.
bahwa pengelas yang berada dalam kategori
substandard sebanyak (100%) berasal dari 100%
80%
pada kategori sedang. Hal tersebut
mengidentifikasikan bahwa substandard 60%
practice terjadi pada pengelas dengan faktor
40% substandard
pekerjaan dalam kategori sedang.
Faktor personal dapat dilihat secara 20% standard
rinci melalui 2 komponen yakni komponen 0%
peralatan dan perlengkapan serta komponen
pengwasan Perhatian pada Penyalahgunaan dan
Kesalahan pada pengelas di PT. Bangun Sarana
Baja

100%
Penyalahgunaan dan Kesalahan
80% Berdasarkan Perilaku Pemakaian
60% APD Pada Pengelas di PT. Bangun
40% Sarana Baja
20% substandard
Berdasarkan Gambar 4 diketahui
0% standard bahwa pengelas yang berada dalam kategori
substandard sebanyak (60%) berasal dari
pengelas dengan pengawasan penyalahgunaan
dan kesalahan yang berada pada kategori
sedang dan (100%) berasal dari pengelas
dengan pengawasan Perhatian pada
Penyalahgunaan dan Kesalahan yang berada
Gambar 3 Distribusi Kategori Peralatan dan pada kategori buruk. Hal tersebut
Perlengkapan Berdasarkan mengidentifikasikan bahwa substandard
Perilaku Pemakaian APD Pada practice terjadi pada pengelas dengan peralatan
Pengelas di PT. Bangun Sarana dan perlengkapan dalam kategori sedang dan
Baja buruk.
Hasil tabulasi silang mengenai
Berdasarakan Gambar 3 diketahui kesesuaian terhadap SOP berdasarkan
bahwa pengelas yang berada dalam kategori pemakaian safety shoes yang terdapat pada
Dimas Trianggoro. W dan Tjipto Suwandi, Penyebab Terjadinya Substandard… 7

lampiran mengidentifikasikan bahwa (45%) mendokumentasikan standar, norma, dan


pengelas bekerja tidak sesuai dengan SOP dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan.
menggunakan safety shoes dengan kondisi Ungkapan Geller tersebut dapat
tidak layak. Sedangkan pada hasil tabulasi dimaknai bahwa SOP juga berisi perilaku yang
silang mengenai kesesuaian terhadap SOP harus dilakukan untuk menjalankan suatu
berdasarkan pemakaian face shield yang pekerjaan atau program. Selain itu dapat juga
terdapat pada lampiran mengidentifikasikan dimaknai bahwa SOP dapat mempermudah
hanya (35%) pengelas bekerja tidak sesuai dalam memberikan penilaian terhadap program
dengan SOP dan menggunakan face shield ataupun terhadap kinerja. Bird and Germain
dengan tidak benar. (1992) mengungkapkan bahwa standar dibuat
untuk mempermudah pengukuran terhadap
PEMBAHASAN program yang telah berjalan. Standar program
merupakan sebuah tolak ukur keberhasilan
Pengendalian yang Dilakukan Manajemen sebuah program. Hal ini terkait dengan fungsi
Domino Bird dan Germain (1992) manajemen yang terakhir yakni controlling,
menggambarkan proses terjadinya kecelakaan dimana manajemen mengukur berjalannya
kerja yang berujung pada kerugian bagi suatu program atau kinerja melalui standar
perusahaan. Domino tersebut diawali dengan yang telah dibuat.
lemahnya pengendalian dari manajemen. Berdasarkan uraian diatas dapat
Pengendalian manajemen menyangkut 3 hal ditarik kesimpulan bahwa program
yang ada didalamnya yakni program, standar pengendalian PT. Bangun Sarana Baja masih
program, dan pemenuhan terhadap standar kurang baik dan hendaknya dapat menyusun
program apabila ketiga hal tersebut telah standar dari setiap program K3 yang dijalankan
terpenuhi maka perusahaan akan terhindar dari agar program tersebut dapat mencapai tujuan
kerugian akibat kecelakaan kerja (Bird dan yang diharapkan.
Germain, 1992).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor Personal
PT. Bangun Sarana Baja telah membuat serta Basic cause adalah penyebab nyata
melaksanakan program yang jumlahnya banyak dari suatu gejala, alasan mengapa substandard
dan bervariasi. Hal ini sesuai dengan act dan substandard conditions muncul (Bird
pernyataan Bird dan Germain (1992) bahwa dan Germain, 1992). Basic cause atau
program pengendalian akan menjadi tidak penyebab dasar mempunyai dua komponen
memadai apabila jumlah dan variasi program yakni faktor personal dan faktor pekerjaan.
terlalu sedikit. Sementara itu, didapati Faktor personal dijabarkan melalui segala
permasalahan mengenai kurang lengkapnya bentuk kendala yang berasal dari dalam diri
standar program Kesehatan dan Keselamtan seseorang seperti kemampuan fisiologi,
Kerja, dari 14 program K3, hanya terdapat 4 psikologi, tekanan fisik, tekanan mental,
standar program sehingga menjadi tidak sesuai pengetahuan, keahlian dan motivasi (Bird dan
dengan ungkapan Bird dan Germain (1992) Germain. 1992). Penelitian ini hanya menguji
mengenai standar program yang disusun harus komponen pengetahuan pengelas mengenai K3
sangat efektif, jelas dan kuat. Hal ini juga dan berdasarkan hasil penelitian didapatkan
terkait dengan pemenuhan standar program bahwa pengetahuan pengelas mengenai K3
sebab PT. Bangun Sarana Baja tidak berada dalam kategori sedang yang disebabkan
mempunyai standar tentang program K3 yang oleh kurangnya partisipasi pengelas dalam
telah direncanakan. pelatihan dan pengalaman dalam bidang
Penyusunan standar program pengelasan sebelum bekerja di PT. Bangun
merupakan pemenuhan dari salah satu fungsi Sarana Baja.
manajemen yakni planning. Standar program Salah satu faktor yang menjadi
yang dimaksud adalah Standar Operasional penyebab pengetahuan pengelas mengenai K3
Prosedur yang didalamnya trerdapat penjelasan adalah partisipasi pengelas dalam pelatihan.
secara rinci mengenai program K3 yang akan Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan
dilaksanakan. SOP merupakan suatu bentuk dalam suatu kegiatan. Pelatihan merupakan
peraturan, seperti ungkapan Geller (2001) suatu proses dimana sesorang mendapatkan
peraturan merupakan dokumen tertulis yang pengetahuan atau informasi atau maklumat
mengenai sesuatu yang baru. Pelatihan
8 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

merupakan sebuah media dimana pengelas pelatihan sebagai pengembang keterampilan


mendapatkan pengetahuan dengan jelas melalui kerja dan pengalaman sebagai proses belajar
panca indera terutama pengelihatan dan untuk bekerja dengan baik dan tidak
pendengaran, hal ini sejalan dengan pernyataan menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun
Notoadmodjo (2007) bahwa sebagian besar lingkungan sekitar.
pengetahuan diperoleh melalui mata dan
telinga. Faktor Pekerjaan
Pelatihan erat hubungannya dengan Bird dan Germain (1992) dalam
pendidikan, dimana kita mendidik juga melatih bukunya Practical Loss Control Leadership
untuk mengembangkan ketrampilan kerja para menyatakan bahwa faktor pekerjaan merupakan
karyawan. Pendidikan dan pelatihan ini faktor yang berasal dari luar yang dapat
merupakan suatu bentuk investasi dan setiap menjelaskan penyebab terjadinya substandard
instansi yang ingin berkembang maka harus practice dan substandard condition. Faktor
memberikan perhatian yang besar terutama pekerjaan dijabarkan melalui komponen yang
pada pendidikan dan pelatihan bagi berasal dari sisi pekerjaan seperti
karyawannya (Notoadmodjo, 2003). PT. kepemimpinan dan atau pengawasan, teknisi,
Bangun Sarana Baja sebagai perusahaan yang pengadaan barang, perawatan, peralatan dan
ingin terus berkembang hendaknya dapat perlengkapan, standar kerja, pemakaian dan
menghimbau pengelas untuk lebih kerusakan, kesalahan atau penyalahgunaan.
berpartisipasi dalam program pelatihan yang Hasil penelitian mengungkapkan bahwa faktor
diadakan oleh perusahaan. pekerjaan pengelas di PT Bangun Sarana Baja
Hasil penelitian juga mengungkapkan masuk dalam kategori sedang. Penelitian
faktor lain yang menjadi penyebab kurangnya mengenai faktor pekerjaan mencakup
pengetahuan adalah karena sebagian besar komponen peralatan dan perlengkapan serta
pengelas tidak mempunyai pengalaman dalam kesalahan dan penyalahgunaan yang dilakukan
bidang pengelasan sebelum bekerja di PT. oleh pengelas.
Bangun Sarana Baja sehingga dapat diartikan Permasalahan yang ditemui dalam
bahwa pengelas tidak memiliki latar belakang komponen peralatan dan perlengkapan adalah
yang mendukung dalam bidang pekerjaannya penyediaan APD melalui proses yang rumit dan
sesuai dengan ungkapan Handoko (2001) latar lama sedangkan dalam komponen perhatian
belakang pribadi merupakan faktor yang pada kesalahan atau penyalahgunaan ditemukan
mempengaruhi pengalaman, latar belakang bahwa pengelas masih sering melalaikan
tersebut mencakup pendidikan, kursus, latihan, kewajiban untuk memakai APD di area kerja.
dan bekerja. Berdasarkan hasil penelitian, pengelas
Pengalaman juga membantu pengelas mengungkapkan bahwa proses penyediaan
untuk mempermudah pekerjaan, sebagaimana APD masih rumit dan melalui proses yang
diungkapkan oleh John (2007) bahwa panjang. Hal tersebut tidak sejalan dengan
pengalaman dapat memunculkan potensi penuh Dalam UU No.1 Tahun 1970 tentang
seiring berjalannya waktu. Ungkapan tersebut Keselamatan Kerja pasal 14 butir c menyatakan
juga didukung oleh Mustaqim (2004) bahwa bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan untuk
dalam law of exercise hubungan antara stimulus mengadakan secara cuma-cuma, semua alat
dan respon akan bertambah kuat atau erat bila perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga
sering digunakan. Selain itu, Foster (2001) juga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan
mengungkapkan bahwa salah satu cirri menyediakan bagi setiap orang lain yang
seseorang yang berpengalaman adalah mampu memasuki tempat kerja tersebut, disertai
menguasai pekerjaan maupun peralatan yang dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan
digunakannya. Uraian tersebut mengungkapkan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
bahwa dengan adanya pengalaman maka keselamatan kerja, sehingga seharusnya tidak
seseorang akan dapat bekerja dengan baik tanpa ada alasan bagi perusahaan untuk menunda atau
ada kekurangan dan tidak akan membahayakan mempersulit penyediaan APD bagi pekerjanya.
dirinya maupun pihak yang ada disekitarnya. APD termasuk dalam fasilitas
Berdasarkan uraian diatas maka dapat penunjang terciptanya keselamatan kerja
ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan sebagai (Suma’mur, 1996). Pernyataan tersebut juga
faktor personal diperoleh melalui berbagai cara didukung oleh Sahab (1997) yang menyatakan
yakni pelatihan dan pengalaman dimana bahwa fasilitas merupakan salah satu hal
Dimas Trianggoro. W dan Tjipto Suwandi, Penyebab Terjadinya Substandard… 9

penting untuk mendukung terciptanya bahwa substandard practice meliputi


keselamatan di tempat kerja. Berdasarkan pengoprasian atau bekerja dengan kecepatan
pentingnya APD dalam uraian tersebut maka yang tidak aman, menggunakan peralatan yang
diharapkan perusahaan mampu untuk tidak aman, memuta, menempatkan,
melakukan evaluasi mengenai manajemen APD mencampurkan menggabungkan dengan tidak
yang sudah berjalan di perusahaan. aman, dan segala bentuk gangguan dan
Selain proses penyediaan APD, pekerja penyalahgunaan yang dilakukan oleh pekerja.
juga mengaku bahwa sesekali mereka lupa Substandard practice merupakan komponen
memakai APD saat bekerja, hal ini penyebab langsung terjadinya kecelakaan kerja
bertentangan dengan Peraturan Menteri Tenaga yang seharusnya dihindari.
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.
PER. 08/MEN/VII/2010 tentang Alat Perilaku Pemakaian APD
Pelindung Diri pada pasal 6 yang menyebutkan Pemakaian APD dengan benar
bahwa setiap pekerja ataupun orang lain yang merupakan salah satu tindakan aman atau dapat
memasuki area kerja wajib memakai APD dikatakan standar practice. Bird dan Germain
sesuai dengan potensi bahaya dan resiko yang (1992) mengatakan bahwa dalam substandard
ada di tempat kerja. practice terdapat komponen kegagalan dalam
Kelalaian seperti ini merupakan salah satu menggunakan APD dengan tepat, sehingga
bentuk kesalahan manusia yang dapat dalam penelitian ini dilakukan penelitian
mengakibatkan timbulnya kecelakaan kerja terhadap pemakaian APD pada pengelas di PT.
(Reason, 2008). Bangun Sarana Baja. Penilaian perilaku
Uraian tersebut menunjukkan kelalaian pemakaian APD dilihat dari sisi ketepatan
pengelas dalam menggunakan APD. Kelalaian penggunaan dan kondisi APD yang digunakan.
tersebut merupakan suatu bentuk kurangnya Berdasarkan hasil penelitian, perilaku
perhatian pengelas mengenai pentingnya APD pemakaian APD sebagian besar pengelas
dalam menciptakan keselamatan kerja yang masuk dalam kategori standar practice, dimana
menyebabkan kelalaian dalam memakai APD hal ini diartikan bahwa pengelas telah memakai
walaupun pihak perusahaan telah APD yang tepat, sesuai dengan resiko dan
mengumumkan mengenai kewajiban bahaya yang ditimbulkan. Hal tersebut sesuai
pemakaian APD, maka diharapkan perusahaan dengan ketentuan Permenakertrans No.
dapat meningkatkan kesadaran pekerjanya PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung
dengan mengadakan pelatihan mengenai Diri pasal 6 yang menyatakan bahwa seluruh
penggunaan APD yang mencakup fungsi dan pekerja dan orang lain yang berada di area kerja
tatalaksananya. diwajibkan untuk memakai Alat Pelindung Diri
Pengelas di PT. Bangun Sarana Baja yang sesuai dengan potensi bahaya dan risiko.
mengaku bahwa mereka sesekali bekerja tidak Hasil pengamatan secara rinci
sesuai dengan prosedur tetap atau SOP. SOP menunjukkan bahwa sebagian besar safety
merupakan suatu sarana yang dapat membantu shoes yang digunakan oleh pengelas dalam
memudahkan pekerjaan. SOP merupakan suatu kondisi yang tidak layak dan masih terdapat
bentuk peraturan yang harus dipatuhi oleh pengelas yang menggunakan face shield
setiap pekerja seperti yang diungkapkan oleh dengan tidak benar.
Geller (2001) bahwa peraturan merupakan Kondisi safety shoes yang tidak layak
dokumen tertulis yang berisi tentang standar, tercatat karena sebagian besar pengelas
norma, dan kebijakan untuk perilaku yang menggunakan safety shoes dengan keadaan sol
diharapkan. Pernyataan Geller tersebut dapat sepatu hampir terlepas. APD merupakan alat
disimpulkan bahwa apabila pengelas tidak yang berfungsi untuk melindungi diri dari
bekerja sesuai dengan SOP yang telah segala bentuk bahaya dan resiko yang ada di
ditetapkan maka hal tersebut merupakan suatu tempat kerja. APD seperti halnya peralatan
bentuk pelanggaran, sejalan dengan pernyataan yang lain, juga memerlukan perawatan yang
dari Reason (2008) bahwa kesalahan dalam khusus dan yang disarankan oleh vendor atau
mematuhi SOP merupakan kesalahan dan suatu produsen APD.
pelanggaran. Kondisi APD yang demikian
Pelanggaran terhadap SOP merupakan hendaknya ditindaklanjuti oleh perusahaan
salah satu bentuk substandard practice seperti seperti yang telah ada dalam ketetapan
yang disebutkan oleh Bird dan Germain (1992) Permenakertrans No. PER.08/MEN/VII/2010
10 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

tentang Alat Pelindung Diri pasal 8 ayat 1 pelindung diri. Seperti yang telah teridentifikasi
disampaikan bahwa APD yang rusak, retak atau bahwa hasil penelitian menyatakan bahwa
tidak dapat berfungsi dengan baik harus sebagian besar pengelas berada dalam kategori
dibuang dan atau dimusnahkan, ketetapan ini standard practice yang berarti pengelas telah
terkait dengan kegiatan inspeksi APD yang memakai APD dengan tepat. Pengelas yang
wajib dilakukan oleh perusahaan dan telah tidak masuk dalam kategori standard
tertulis pada pasal 7 mengenai manajemen APD disebabkan karena kondisi APD yang tidak
di tempat kerja. Dalam pasal tersebut baik dan kesalahan dalam pemakaian APD.
diungkapkan secara rinci mengenai program Substandard practice merupakan
atau kegiatan yang wajib dilakukan oleh penyebab langsung terjadinya kecelakaan atau
perusahaan dalam mengelola APD di tempat insiden. Kecelakaan atau insiden diartikan
kerja seperti identifikasi kebutuhan ADP, sebagai kontak dengan barang, substansi,
penyediaan APD, pelatihan, penggunaan, ataupun manusia hingga akhirnya akan dapat
perawatan dan penyimpanan, penatalaksanaan memungkinkan terjadi kerugian yang menimpa
pembuangan atau pemusnahan, pembinaan, manusia, peralatan, bahan, dan lingkungan
inspeksi, evaluasi dan pelaporan. (Bird dan Germain, 1992). Oleh sebab itu
PT. Bangun Sarana Baja telah diperlukan adanya upaya pencegahan yang
menjalankan program inspeksi APD pada wajib dilakukan oleh manajemen. Langkah
pekerja namun inspeksi hanya sebatas untuk awal yang sangat penting dalam upaya
mengetahui apakah pekerja memakai APD pencegahan adalah mengetahui penyebab
atau tidak, tanpa melihat kelayakan dari APD terjadinya substandard practice.
yang dipakai. APD yang tidak layak atau rusak Substandar practice dapat dilihat
sudah tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai perilaku yang ditampilkan oleh
sebagai pelindung bagian tubuh dari bahaya seseorang. Perilaku terbentuk oleh berbagai
dan resiko yang ada di area kerja dan bahkan macam faktor demikian pula substandard
dapat memungkinkan timbulnya resiko yang practice yang terjadi karena adanya faktor yang
lain. melatarbelakanginya. Basic cause merupakan
Substandard practice lain yang penyebab yang melatarbelakangi terjadinya
dilakukan oleh pengelas adalah kesalahan substandard practice sebagai komponen dari
dalam pemakaian face shield. Pemakaian face immediate cause. Basic cause atau penyebab
shield yang tidak benar adalah ketika pengelas dasar merupakan penyebab terjadinya
menggunakan face shield yang tidak menutup kecelakaan yang dapat diketahui berdasarkan
wajah. Face shield merupakan APD yang faktor personal dan faktor pekerjaan. Sehingga
dirancang untuk melindungi wajah dari basic cause dapat membantu menjelaskan
percikan material dan melindungi mata dari mengapa seseorang melakukan substandard
sinar non-ionisasi (Siswanto, 1994). Selain itu practice dan menjelaskan alasan munculnya
Siswanto (1994) juga mengungkapkan bahwa substandard condition (Bird dan Germain,
perlunya pelindung kepala bagi pengelas untuk 1992).
melindungi rambut dari percikan logam dan Faktor personal merupakan faktor
bunga api yang panas serta kepala dari dalam diri seseorang yang dapat menimbulkan
kejatuhan benda-benda, namun dari pihak terjadinya substandard practice. Hasil
perusahaan hanya menyediakan face shield penelitian mengidentifikasi substandard
sebagai pelindung bagian kepala untuk practice terjadi pada pengelas dengan factor
pengelas. personal yang masuk dalam kategori sedang
dan buruk. Maka dapat disimpulkan bahwa
Penyebab Substandard practice Berdasarkan faktor personal menjadi salah satu penyebab
Loss Causation Model timbulnya substandard practice pada pengelas
Substandard practice merupakan istilah di PT. Bangun Sarana Baja sejalan dengan
yang digunakan untuk menggantikan unsafe act pernyataan dari Suma’mur (2009) bahwa salah
dengan tujuan bahwa setiap praktek akan satu penyebab kecelakaan adalah faktor
dihubungkan dengan standar sebagai dasar manusia itu sendiri sebagai pelaksana
untuk pengukuran, evaluasi dan koreksi (Bird pekerjaan. Hal ini juga diungkapkan oleh Bird
dan Germain, 1992). Substandard practice dan Germain (1992) bahwa berdasarkan
mempunyai berbagai macam bentuk salah pengalaman, keterlibatan faktor manusia
satunya adalah kegagalan untuk memakai alat
Dimas Trianggoro. W dan Tjipto Suwandi, Penyebab Terjadinya Substandard… 11

mempunyai porsi besar sebagai penyebab Faktor pekerjaan merupakan setiap


kecelakaan. fasilitas yang disediakan oleh perusahaan baik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat maupun bahan serta alat pelindung diri.
pengelas yang menggunakan safety shoes Berdasarkan penelitian dapat dilihat bahwa
dengan kondisi tidak baik adalah pengelas yang substandard practice dilakukan oleh pengelas
tidak berpartisipasi dalam pelatihan. Kondisi yang mempunyai faktor pekerjaan dalam
APD yang tidak baik juga disebabkan oleh kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
kurangnya partisipasi dalam pelatihan terutama faktor pekerjaan pada pengelas di PT. Bangun
pelatihan mengenai pemakaian, perawatan dan Sarana Baja telah mendukung terciptanya
pemeliharaan APD yang diadakan oleh standard practice meskipun masih terdapat
perusahaan. Partisipasi pengelas dalam beberapa pengelas yang masih melakukan
pelatihan perlu mendapatkan perhatian khusus substandard practice. PT. Bangun Sarana Baja
dari perusahaan. Hal ini terkait dengan tujuan telah melakukan salah satu bentuk tindakan
pelatihan yang disebutkan oleh Mangkunegara pencegahan dengan menyediakan seluruh
(2003) bahwa pelatihan dapat meningkatkan peralatan dengan kondisi baik dan sesuai
produktivitas kerja, kualitas kerja, kesehatan dengan pekerjaan sebab seluruh peralatan yang
dan keselamatan kerja. Oleh karena itu digunakan dalam pekerjaan adalah sumber
perusahaan hendaknya mampu menghimbau potensi kematian dan kecelakaan yang sangat
pekerja untuk berpartisipasi dalam pelatihan. luar biasa (Bird dan Germain, 1992).
PT. Bangun Sarana Baja telah Hasil penelitian menunjukkan bahwa
menjalankan program pelatihan mengenai pengelas yang menggunakan safety shoes
pemakaian APD namun program tersebut dengan kondisi tidak layak adalah pengelas
hanya terfokus pada cara pemakaian APD. yang beranggapan bahwa proses penyediaan
Dalam pelatihan hendaknya juga memberikan APD masih rumit dan memakan waktu lama.
materi mengenai perawatan dan pemeliharaan Kondisi APD yang demikian hendaknya
APD yang digunakan oleh pekerja sehingga ditindaklanjuti oleh perusahaan seperti yang
sesuai dengan undang undang Permenakertrans telah ada dalam ketetapan Permenakertrans No.
No.08/MEN/VII/2010 yang menyebutkan PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung
bahwa perusahaan wajib menjalankan program Diri pasal 8 ayat 1 disampaikan bahwa APD
manajemen APD yang meliputi pelatihan dan yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi
perawatan APD. dengan baik harus dibuang dan atau
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimusnahkan.
pengelas yang menggunakan face shield Pemusnahan dan pembuangan APD
dengan tidak benar adalah pengelas yang tidak yang tidak layak erat kaitannya dengan
berpartisipasi dalam pelatihan. Dalam pelatihan penyediaan atau pengadaan APD yang baru
tersebut hendaknya terdapat ulasan mengenai untuk mengganti APD yang dimusnahkan atau
bahaya dalam pengelasan, APD yang dibuang. Proses penyediaan APD dinilai masih
diperlukan dalam pengelasan beserta fungsinya, rumit dan memakan waktu lama, hal ini
serta cara pemakaian APD yang benar dengan menjadi suatu kendala baru bagi pengelas
tujuan untuk meningkatkan pengetahuan maupun PT. Bangun Sarana Baja dalam
pengelas terhadap seberapa besar bahaya memenuhi peraturan perundangan mengenai
pengelasan bagi kesehatan serta cara APD. Sesuai dengan pengakuan manajemen
pencegahan terjadinya penyakit akibat kerja. bahwa APD yang disediakan oleh perusahaan
PT. Bangun Sarana Baja memiliki bagi pengelas adalah face shield, apron, heat
program pelatihan yang terjadwal, namun tidak gloves, dan safety shoes namun dalam hal
memiliki standar operasional prosedur yang penggantian APD yang rusak atau tidak layak,
jelas dan tertulis mengenai program tersebut perusahaan hanya menyediakan face shield,
sehingga program pelatihan dapat menjadi apron, dan heat gloves.
tidak efektif. Perancangan pelatihan yang Penggantian safety shoes dilakukan 1
efektif menurut Donaldson dan Scannel (1987) tahun sekali dan melalui proses pendataan
antara lain dengan menganalisis kebutuhan pekerja yang tidak mempunyai safety shoes, hal
pelatihan, menentukan standar, menyediakan tersebut dilakukan karena pihak manajemen
materi, menggunakan media yang tepat, harus melakukan pemesanan terlebih dahulu
menyusun tes atau ujian setelah pelatihan. selain itu pekerja PT. Bangun Sarana Baja juga
harus mengeluarkan biaya jika ingin
12 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

mendapatkan safety shoes. Dalam program yang direncanakan yag dapat


permasalahan tersebut maka upaya yang dapat mempersulit pengukuran keberhasilan program
dilakukan adalah dengan melakukan perawatan (Bird dan Germain, 1992). Dengan demikian
dan pemeliharaan terhadap safety shoes agar dapat dikatakan bahwa Manajemen PT. Bangun
tetap berfungsi dengan baik. Sarana Baja hanya menjalankan beberapa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsinya sebagai manajemen seperi yang
pengelas yang menggunakan face shield diungkapkan oleh Bird dan Germain (1992)
dengan tidak benar adalah pengelas yang bahwa manajemen yang mengatur secara
bekerja tidak sesuai dengan SOP. PT. Bangun professional mengetahui program pengendalian
Sarana Baja mempunyai program safety kerugian atau keselamatan, mengetahui
induction dimana dalam program tersebut standard, mengetahui rencana dan mengatur
terdapat pengulasan mengenai prosedur kerja pekerjaan untuk mencapai standard, memimpin
aman selain itu dalam program tersebut juga semua orang untuk mencapai standard,
terdapat evaluasi terhadap materi yang telah mengukur kemampuan kerja diri sendiri dan
diulas sepanjang safety induction yang orang lain, meng-evaluasi hasil dan kebutuhan,
bertujuan untuk memastikan bahwa pekerja menghargai dan membangun tindakan yang
yang baru atau pekerja pindahan telah benar.
memahami seluruh materi yang diulas dalam
safety induction termasuk prosedur kerja aman. SIMPULAN
Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh PT. Bangun Sarana Baja untuk Permasalahan pokok pada program
mencegah terjadinya kecelakaan kerja, sejalan pengendalian manajemen adalah tidak
dengan pernyataan dari Bird dan Germain tersedianya standar operasional prosedur atau
(1992) bahwa salah satu program yang dapat SOP sehingga sulit dilakukan pengukuran
dilakukan manajemen sebagai upaya terhadap keberhasilan sebuah program.
pencegahan kecelakaan kerja adalah Hasil penelitian menyatakan bahwa
menjelaskan setiap peraturan yang ada di sebanyak (20%) pengelas mempunyai
perusahaan dan menjelaskan instruksi kerja pengetahuan yang baik, (75%) mempunyai
yang benar pada setiap pegawai baru maupun pengetahuan sedang dan (5%) mempunyai
pegawai pindahan. pengetahuan yang buruk. Pengetahuan sebagai
Program teguran terhadap perilaku faktor personal diperoleh melalui berbagai cara
tidak aman juga dilaksanakan oleh PT. Bangun yakni pelatihan dan pengalaman dimana
Sarana Baja namun program tersebut hanya pelatihan sebagai pengembang keterampilan
terfokus pada pekerja yang tidak memakai kerja dan pengalaman sebagai proses belajar
salah satu APD, ada baiknya jika program untuk bekerja dengan baik dan tidak
teguran ini juga menyangkut tata cara menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun
penggunaan APD yang tidak sesuai dengan lingkungan sekitar.
fungsi APD tersebut, termasuk kesalahan dalam Hasil penelitian menyatakan (65%)
pemakaian APD. Teguran yang diberikan pengelas yang menganggap bahwa faktor
termasuk salah satu fungsi atau peranan pekerjaan berada pada kategori baik. Faktor
pengawas dimana pengawas atau supervisor pekerjaan secara keseluruhan telah mendukung
atau mandor maupun safety officer melakukan terciptanya standard practice dilihat dalam
kontak langsung secara personal. Hal ini sesuai komponen peralatan dan perlengkapan serta
dengan ungkapan Bird dan Germain (1992) perhatian terhadap kesalahan dan
bahwa Kontak secara personal harus dilakukan penyalahgunaan.
sesering mungkin untuk mempengaruhi sikap Komponen peralatan dan
pekerja, pengetahuan, dan keterampilan. perlengkapan (55%) pengelas telah
Pengendalian yang dilakukan oleh mendukung terciptanya standard practice
manajemen adalah segala bentuk program yang namun penyediaan APD masih melalui proses
dibuat dan dilakukan oleh manajemen. Secara yang rumit dan memakan waktu lama.
keseluruhan, PT. Bangun Sarana Baja telah Komponen perhatian pada kesalahan
melakukan pengendalian dengan baik. Seluruh dan penyalahgunaan (45%) pengelas telah
program yang dibuat dan direncanakan sudah mendukung dengan adanya teguran yang
berjalan dengan baik, namun terdapat kendala diberikan oleh pengawas terhadap pengelas
mengenai tidak adanya SOP pada setiap yang tidak memakai APD dengan baik, namun
Dimas Trianggoro. W dan Tjipto Suwandi, Penyebab Terjadinya Substandard… 13

masih banyak pengelas yang bekerja tidak Donaldson, Les dan Scannel, Edward E. 1987.
sesuai SOP. Pengembangan Sumber Daya
Pemakaian APD pada pengelas di PT. Manusia: Panduan Bagi Pelatih Muda.
Bangun Sarana Baja (60%) pengelas telah Edisi terjemahan oleh Suyuti, ya’kub,.
masuk pada kategori standard practice, namun Moh dan Syafruddin, Eko. Jakarta:
(65%) safety shoes yang digunakan memiliki Gaya Media Pratama
kondisi yang tidak layak, selain itu (60%) Foster, B. 2001. Pembinaan Untuk Peningkatan
pengelas masih menggunakan face shield Karyawan. Jakarta: PPM
dalam keadaan tidak menutup wajah. Geller, E. S. 2001. The Psychology of Safety
Penyebab terjadinya substandard Handbook, United State of America:
practice pada pengelas di PT. Bangun Sarana CRC Press LLC Lewis Publishers is an
Baja adalah kurangnya partisipasi pengelas imprint of CRC Press LLC
dalam pelatihan dan kurangnya pengalaman Geller, E. S. 2005. Behavior-Based Safety and
pada bidang pengelasan sebelum bekerja di Occupational Risk Management,
PT. Bangun Sarana Baja sebagai faktor Virginia Polytechnic Institute and State
personal, penyediaan APD yang rumit dan University: Sage Publication
lama, kelalaian dalam memakai APD, bekerja John, E. B. 2007. Contextual Teaching and
tidak sesuai dengan SOP sebagai faktor Learning. Terjemahan Ibnu Setiawan.
personal, dan kurangnya pengendalian dari Bandung: MLC
perusahaan dalam pembuatan standar untuk Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. 2003.
setiap program. Perencanaan dan Pengembangan
Penyebab terjadinya substandard Sumber Daya Manusia. Bandung: PT.
practice pada pengelas di PT. Bangun Sarana Refika Aditama.
Baja adalah kurangnya partisipasi pengelas Mustaqim. 2004. Psikologi Pendidikan.
dalam pelatihan dan kurangnya pengalaman Yogyakarta: Pustaka Pelajar
pada bidang pengelasan sebelum bekerja di Notoadmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan
PT. Bangun Sarana Baja sebagai faktor Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka
personal, penyediaan APD yang rumit dan Cipta
lama, kelalaian dalam memakai APD, bekerja Notoadmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat
tidak sesuai dengan SOP sebagai faktor Ilmu dan Seni, Jakarta: PT Rineka
personal, dan kurangnya pengendalian dari Cipta
perusahaan dalam pembuatan standar untuk Reason, J. 2008. The Human Contribution:
setiap program Unsafe Act, Accident and Heroic
Recoveries.USA: Ashgate
Riswan, D. J. 2008. Diktat Teori Fabrikasi 2.
DAFTAR PUSTAKA Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Bird and Germain. 1992. Practical Loss Safrin,Afrizal. 2007. Evaluasi Dan Perbaikan
Control Leadership, United States of Rancangan Topeng Las Berbasis Studi
America: International Loss Control Ergonomi Dan K3. Surabaya: Tugas
Institute Akhir Jurusan Teknik Industri ITS
Ditjen R.I., 2011. Himpunan Peraturan Santoso dan Tjiptono. 2004. Riset Pemasaran
Perundang-undangan Keselamatan Konsep dan Aplikasi dengan SPSS.
dan Kesehatan Kerja. Jakarta; Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Kementrian Tenaga Kerja dan Shappell dan Wiegman. 2000. The Human
Factors Analysis and Classification
Transmigrasi R.I: 811-812
System-HFACS. Oklahoma : Institute of
Aviation.
14 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 1–14

Siswanto A, 1994. Toksikologi Industri. Suma’mur, 1996. Higiene Perusahaan dan


Surabaya : Balai Hiperkes dan Kesehatan Kerja. Jakarta : Gunung
Keselamatan Kerja Jawa Timur Agung
Departemen Tenaga Kerja Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan
Siswanto, A. 2009. Bahaya Bahan Kimia. Keselamatan Kerja (HIPERKES).
Surabaya : Balai Hiperkes dan Jakarta : Sagung Seto
Keselamtan Kerja

You might also like