You are on page 1of 14

MAKALAH SEJARAH

KABINET WILOPO

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3
1. YASMINE SHAFIYA ZAHIRA
2. CINDY MAYANG SARI
3. EZANEFA ADELIA PUTRI
4. GEVIN GETRA UTAMA

GURU PEMBIMBING
MIKEL OKTORIUS S.Pd,M.Pd

SMAN 2 KERINCI
TAHUN PELAJARAN 2022/2023
KELAS XII MIA 3
KATA PENGANTAR

Sembah sujud kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena anugerah dan rahmat-Nya jualah
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah
berusaha semaksimal mungkin, yang mana telah memakan waktu dan pengorbanan yang tak
ternilai dari semua pihak yang memberikan bantuannya, yang secara langsung merupakan
suatu dorongan yang positif bagi penulis ketika menghadapi hambatan-hambatan dalam
menghimpun bahan materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, baik dari
segi penyajian materinya maupun dari segi bahasanya. Karena itu saran dan kritik yang bersifat
konstruktif senantiasa penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah
ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .................................................................
A. Latar Belakang ...............................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................
C. Tujuan Penelitian ...........................................................
D. Manfaat Penelitian .........................................................
BAB II PEMBAHASAN .................................................................
A. Pengertian Kabinet Wilopo.............................................
B. Terbentuknya Kabinet Wilopo.........................................
C. Susunan Kabinet Wilopo................................................
D. Program Kerja Kabinet Wilopo.......................................
E. Penyebab Jatuhnya Kabinet Wilopo...............................
BAB III PENUTUP .........................................................................
A. Kesimpulan .................................................................
B. Saran ..........................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Awal tahun 1950 merupakan periode krusial bagi Indonesia ditandai dengan adanya
pertentangan serta konflik politik dalam menentukan bentuk negara Indonesia. Pada satu sisi,
secara resmi saat itu Indonesia merupakan negara federal, sebagaimana hasil perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, di sisi lain muncul gerakan menentang
dibentuknya negara federal. Gerakan tersebut tidak hanya berasal dari kalangan elit politik saja,
akan tetapi berkembang pula dari kalangan masyarakat bawah yang menghendaki diubahnya
bentuk negara federal menjadi negara kesatuan (Ricklefs, 2009, hlm. 503). Kemudian pada
tanggal 15 Agustus 1950, sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan dari Republik
Indonesia Serikat (RIS) dengan sistem negara federalnya menjadi negara kesatuan dengan
sistem parlementer multi partai. Dengan sistem tersebut maka kabinet akan bertanggung jawab
kepada parlemen atau majelis (Marbun, 2003, hlm. 116). Perubahan tersebut berdampak pada
dihapuskannya struktur konstitusional sistem federal yang sebelumnya digunakan yaitu
Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (RI), serta negara-negara bagian sebagai
unsur di dalamnya digantikan oleh Republik Indonesia yang baru yang memiliki konstitusi
kesatuan (namun bersifat sementara) dan Jakarta dipilih sebagai Ibu Kota (Ricklefs, 2009, hlm.
489-490). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan
dan persyaratan yang tegas dalam melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin
banyak partai yang bermunculan. Akan tetapi percobaan demokrasi pertama ini telah
mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan
sosial belum tercapai, masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan
yang ditimbulkan dari revolusi belum terwujud (Ricklefs, 2009, hlm. 493). Persaingan partai
politik di Indonesia pada saat itu sangat jelas terasa. Meraka berlomba untuk mencapai cita-cita
dengan tujuan politiknya yang memicu jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal
tersebut. Kemudian Subandi (2017) mengemukakan pendapatnya mengenai penerapan
Demokrasi Liberal yaitu bahwa Demokrasi dimasa ini dikenal dengan demokrasi parlementer.
Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Namun demikian model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia, dengan alasan
karena lemahnya budaya demokrasi masyarakat Indonesia untuk mempraktekkan demokrasi
model barat (hlm. 124). Sejalan dengan pendapat Subandi, Purnaweni (2004) juga mengamati
bahwa penerapan Demokrasi Liberal tersebut bertentangan dengan budaya Indonesia, ia
mengatakan bahwa Kegagalan praktek pembumian Demokrasi Liberal dan parlementer lalu
direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala barat yang bertentangan dengan jati diri
dan budaya bangsa Indonesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan
penerapan demokrasi ala barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya
bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi
saat itu (hlm. 120). Kemudian Subandi (2017) mengemukakan dampak dari diterapkannya
Demokrasi Liberal yang dianggap tidak mewakili aspek budaya Indonesia. Seperti halnya yang
ia kemukakan bahwa Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem demokrasi
parlementer ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan
agama. Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masanya jarang dapat
bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Hal ini mengakibatkan
destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun.
Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan daerah terhadap
pemerintah pusat telah mengancam berjalanya demokrasi itu sendiri (hlm. 124). Pada masa
Demokrasi Liberal sampai berakhirnya UUDS 1950, terhitung sudah 7 kali pergantian kabinet
yang berkuasa di Indonesia. Kabinet tersebut yaitu Kabinet Natsir (September 1950-Maret
1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952- Juli 1953),
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-1955), Kabinet Burhanudin Harahap (1955-1956),
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-1957), dan Kabinet Juanda (1957-1959) (Zulkarnaen,
2012, hlm. 104). Ketujuh kabinet tersebut bergantian menduduki kursi pemerintahan hanya
dalam kurun waktu sekitar sembilan tahun. Jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi
Liberal tersebut membuat penulis tertarik untuk mengkajinya, Dalam hal ini, penulis akan
mengkaji mengenai Kabinet Wilopo. Tokoh Wilopo merupakan salah satu tokoh penting dalam
proses pembangunan nasional Indonesia, akan tetapi tidak begitu banyak orang yang
mengetahui tentang tokoh tersebut, baik secara pribadi maupun perananya dalam bernegara.
Terlebih banyak peristiwa penting yang terjadi pada masa Kabinet Wilopo yang membuat
penulis tertarik untuk mendalaminya yaitu seperti peristiwa 17 Oktober 1952, penyusunan UU
pemilu, kebijakan ekonomi benteng, serta kebijakan yang lainnya. Kondisi politik Indonesia
yang tidak stabil seperti jatuhnya bangunnya kabinet membuat Indonesia kembali mengalami
krisis pemerintahan. karena dengan tidak dapat bertahan lamanya usia kabinet, tentu akan sulit
untuk merealisasikan program kerja kabinet yang telah direncanakan. Adapun salah satu faktor
penyebab jatuhnya setiap kabinet yaitu karena terdapat banyak partai politik dengan memiliki
sikap yang berbeda sehingga seringkali memunculkan perdebatan, kemudian ditambah dengan
suara mayoritas di parlemen berasal dari partai Masyumi dan PNI. Sehingga dalam
pembentukan kabinet yang kuat perlu dukungan dari kedua partai tersebut di parlemen
(Marbun, 2003, hlm. 171). Seperti halnya dalam pembentukan kabinet baru setelah jatuhnya
Kabinet Sukiman, maka Presiden Soekarno menunjuk Sidik djojosukarto (PNI) dan Prawoto
Mangkusasmito (Masyumi) sebagai formatur untuk membentuk susunan kabinet. Namun
pembentukan kabinet tidak berjalan dengan baik karena kurang mendapat dukungan dari
parlemen. Sehingga pada tanggal 19 maret 1952, Wilopo ditunjuk sebagai formatur baru.
Dalam waktu yang relatif singkat, Wilopo dapat menyampaikan nama�nama anggota kabinet
baru pada tanggal 30 Maret 1952 kepada Presiden Soekarno. Susunan kabinet tersebut
mendapat dukungan besar dari parlemen dan kemudian disetujui oleh presiden. Secara resmi
Kabinet Wilopo disahkan pada tanggal 4 April 1952 (Soebagijo dkk. 1979, hlm. 113). Kabinet
Wilopo merupakan kabinet ketiga pada periode Demokrasi Liberal di Indonesia. Kabinet
tersebut dihadapkan pada persoalan di bidang ekonomi, politik, perburuhan serta pertahanan
dan keamanan yang harus segera diselesaikan. Di bidang ekonomi, persoalan muncul yang
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil, terutama setelah berakhirnya perang
Korea. Karena antara bulan Februari 1951 dan September 1952, harga karet ekspor nasional
turun 71%. Hal tersebut berdampak pada jumlah pendapatan negara. Karena pendapatan
utama negara waktu itu berasal dari hasil ekspor dan impor (Ricklefs, 2009, hlm. 509).
Permasalahan di bidang politik ditandai dengan keinginan dari berbagai lapisan masyarakat
untuk menyelenggarakan pemilihan umum, hal tersebut dapat dipahami bahwa meraka yang
berada di parlemen bukan hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat. Program kerja pada
kabinet sebelumnya mencantumkan pemilihan umum sebagai program utama kabinet, akan
tetapi belum ada yang dapat merealisasikannya. Maka dari itu, Kabinet Wilopo menempatkan
persiapan penyelenggaraan pemilu sebagai program utama yang harus direalisasikan. Pada
tanggal 1 April 1953 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu akhirnya berhasil diselesaikan
dengan menghasilkan UU No. 7 tahun 1953 dan disahkan pada tanggal 4 April 1953 (Wilopo,
1976, hlm. 32). Selain kebijakan politik dalam negeri, kebijakan politik luar negeri juga menjadi
perhatian khusus Kabinet Wilopo yaitu untuk memperbaiki citra Indonesia dimata dunia
terutama setelah disepakatinya kerjasama bantuan militer dengan Amerika Serikat yaitu Mutual
Security Act (MSA). Kerjasama tersebut dianggap sebagai salah satu sikap memihaknya
Indonesia terhadap salah satu blok yang sedang berselisih pada waktu itu. Adapun Soebagijo
dkk (1979, hlm. 124) mengemukakan bahwa salah satu program politik luar negeri yang tertera
dalam Program Kabinet Wilopo yaitu “mengisi politik luar negeri yang bebas dengan aktifitas
yang sesuai dengan kewajiban kita dalam kekeluargaan bangsa�bangsa dan dengan
kepentingan nasional menuju perdamaian dunia. ”Persoalan di bidang pertahanan dan
keamanan, ditandai dengan tidak harmonisnya hubungan sipil dan militer, puncaknya terjadi
pada perisiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut merupakan konflik elit politik dalam
perebutan yurisdiksional antara parlemen dengan Kementrian Pertahanan, yang secara garis
besar memuat mengenai sikap anti-Parlemen (Compton, 1992, hlm. 4). Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh adanya mosi tidak percaya dari Kol. Bambang Supeno terhadap kebijakan
menteri pertahanan dan pimpinan Angkatan Darat tentang pengurangan personil tentara.
Kemudian mosi tersebut dibahas dan diperdebatkan di dalam parlemen (Ricklefs, 2009, hlm.
509-510). Perdebatan tersebut memunculkan reaksi dari pimpinan Angkatan Darat yang
dianggap sebagai bentuk intervensi pihak sipil terhadap permasalahan internal militer
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2010, hlm. 312). Permasalahan-permasalahan yang sedang
dihadapi Indonesia seperti yang telah dipaparkan diatas, membuat penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut mengenai Kabinet Wilopo dengan mengambil judul penelitian
“Kebijakan-kebijakan pada Masa Pemerintahan Kabinet Wilopo di Indonesia Tahun 1952-1953”.
Penulis merasa ingin mengetahui bagaimana Kabinet Wilopo menyelesaikan permasalahan
tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya dalam bidang ekonomi, politik,
perburuhan serta pertahanan dan keamanan pada tahun 1952-1953.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka penulis telah merumuskan
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian penelitian mengenai bagaimana
Kebijakan-kebijakan pada Masa Pemerintahan Kabinet Wilopo di Indonesia Tahun 1952-1953?
Beberapa rumusan masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Wilopo yang mempengaruhi
perjalanan politiknya hingga menjadi Perdana Menteri?
2. Bagaimana proses terbentuknya Kabinet Wilopo?
3. Apa program kerja Kabinet Wilopo?
4. Bagaimana kondisi Indonesia dalam bidang ekonomi, politik,
perburuhan, serta bidang pertahanan dan keamanan pada masa
Kabinet Wilopo tahun 1952-1953?
5. Bagaimana akhir pemerintahan Kabinet Wilopo?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan latar belakang kehidupan Wilopo yang mempengaruhi perjalanan politiknya
hingga menjadi Perdana Menteri.
2. Menjelaskan proses terbentuknya Kabinet Wilopo.
3. Menganalisis program kerja Kabinet Wilopo.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Menambah khasanah penulisan sejarah nasional khususnya sejarah Indonesia pada masa
Demokrasi Liberal.
2. Memberikan sumbangsih pemikiran dalam rangka pengembangan keilmuan, umumnya
dalam materi Sejarah Indonesia pada masa Demokrasi Liberal, khususnya pada masa
pemerintahan Kabinet Wilopo tahun 1952-1953.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kabinet Wilopo


Kabinet Wilopo adalah kabinet ketiga setelah pembubaran negara Republik Indonesia
Serikat yang bertugas pada masa bakti 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953. Kabinet Wilopo
didemisionerkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 99 Tahun 1953 tertanggal 3 Juni
1953.

B. Terbentuknya Kabinet Wilopo


Presiden Soekarno menunjuk Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sidik Djojosukarto
(PNI) sebagai formatur pada tanggal 1 Maret 1952. Formatur ialah suatu tim yang dibentuk
melalui pertemuan/rapat untuk diberikan mandat agar dapat membentuk kepengurusan
organisasi. Pemilihan formatur didasarkan pada kekuatan kabinet yang dapat mendukung
parlemen. Namun kedua formatur tersebut gagal menciptakan kabinet yang kuat. Hal ini
dikarenakan tidak memiliki kesepakatan antar calon yang dapat menduduki kabinet tersebut.
Kedua fromatur tersebut mengembalikan jabatannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal
19 Maret 1952. Pada saat itu juga Mr. Wilopo (PNI) ditunjuk sebagai formatur baru. Hal inilah
yang menjadi faktor terbentuknya kabinet wilopo. Mr Wilopo berhasil mendirikan kabinetnya
selama 2 minggu. Kemudian Mr. Wilopo mengajukan susunan kabinetnya pada tanggal 30
Maret 1952 yang terdiri dari :
1. PSI sebanyak 2 orang
2. Parkindo atau Partai Kristen Indonesia
3. Masyumi sebanyak 4 orang dan PNI sebanyak 4 orang
4. PKRI atau Partai Katholik Republik Indonesia
5. Golongan tidak memiliki partai sebanyak 3 orang
6. Partai Buruh
7. Parindra atau Partai Indonesia Raya
8. PSII sebanyak satu orang
Terbentuknya Kabinet Wilopo secara resmi didasari oleh Keputusan Presiden No. 85
Tahun 1952 pada tanggal 1 April 1952. Di bawah ini terdapat susunan Kabinet Wilopo yang
meliputi :
2. Mr. Wilopo (PNI) sebagai Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri.
2. Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) sebagai Wakil Perdana Menteri.
3. Mr. Moh. Roem (Masyumi) sebagai Menteri Dalam Negeri.
4. Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan.
5. Mr. Lukman Wiriadinata (PSI) sebagai Menteri Kehakiman.
6. Mr. Arnold Mononutu (PNI) sebagai Menteri Penerangan.
7. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (PSI) sebagai Menteri Keuangan.
8. Moh. Sardjan (Masyumi) sebagai Menteri Pertanian.
9. Mr. Sumanang (PNI) sebagai Menteri Perekonomian.
10. Ir. Djuanda sebagai Menteri Perhubungan.
11. Ir. Suwarta (partai Katolik) sebagai Menteri Pekerjaan Umum.
12. Ir. Iskandar Tedjasukmana (partai Buruh) sebagai Menteri Perburuhan.
13. Anwar Tjokroaminoto (PSII) sebagai Menteri Sosial.
14. Prof. Dr. Bader Djohan sebagai Menteri P & K.
15. K.H Faqih Usman (Masyumi) sebagai Menteri Agama.
16. Dr. Johanes Leimena (Parkindo) sebagai Menteri Kesehatan.
17. R.P. Suroso (Parindra) sebagai Menteri Urusan Pegawai Negeri.
18. M.A. Pallaupessy (Demokrat) sebagai Menteri Urusan Umum.

C. Susunan Kabinet Wilopo


Masa bakti : 3 April 1952-30 Juli 1953 (didemisionerkan pada tanggal 3 Juni 1953)
NO JABATAN NAMA MENTERI PARTAI
POLITIK

Wakil Menteri Wilopo PNI


1
Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusasmito Masyumi

Wilopo
(Sampai dengan 29 April 1952)
2 Menteri Luar Negeri PNI
Mukarto
(Sejak 29 April 1952)

3 Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem Masyumi

Hamengkubuwono IX
(Sampai dengan 2 Juni 1953)
4 Menteri Pertahanan Independen
Wilopo
(Sejak 2 Juni 1953)

5 Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata PSI

6 Menteri Penerangan Arnold Mononutu PNI

7 Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo PSI

8 Menteri Pertanian Mohammad Sardjan Masyumi

9 Menteri Perdagangan Sumanang PNI

10 Menteri Perhubungan Djuanda Independen

11 Menteri Pekerjaan Umum Dan Suwarto PKRI


Tenaga
12 Menteri Perburuhan Iskandar Tedjasukmana Partai Buruh

Anwar Tjokroaminoto PSII


(Sampai dengan 11 Mei 1953)
13 Menteri Sosial
Pandji Suroso Parindra
(Sejak 19 Mei 1953)

14 Menteri Pendidikan dan Bahder Djohan Independen


Kebudayaan

15 Menteri Agama Fakih Usman Masyumi

16 Menteri Kesehatan J.Leimena Parkindo

17 Menteri Negara Urusan Pandji Suroso Parindra


Pegawai (Sampai dengan 11 Mei 1953)

D. Program Kerja Kabinet Wilopo


1. Organisasi Negara
a. Melaksanakan pemilihan umum untuk dewan konstituante dan dewan-dewan daerah
b. Menyelesaikan penyelenggaraan dan mengisi otonomi daerah
c. Menyederhanakan organisasi pemerintah pusat
2. Kemakmuran
a. Memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan meningkatkan produksi nasional,
termasuk bahan makanan rakyat
b. Melanjutkan usaha perubahan agraria
3. Keamanan
Menjalankan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah keamanan dengan
kebijaksanaan sebagai negara hukum dan menyempurnakan organisasi alat-alat
kekuasaan negara serta mengembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin
keamanan dan ketentraman
4. Perburuhan
Memperlengkapkan perundang-undangan perburuhan untuk meninggikan derajat kaum
buruh guna menjamin proses perekonomian nasional
5. Pendidikan
Mempercepat usaha-usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran
6. Luar Negeri
a. Mengisi politik luar negeri yang bebas dan aktif dengan aktivitas yang sesuai dengan
kewajiban bangsa Indonesia dalam kekeluargaan bangsa-bangsa dan sesuai dengan
kepentingan nasional menuju perdamaian dunia
b. Menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya
berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional
biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar,
serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan
negara
c. Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu
sesingkat-singkatnya

E. Penyebab Jatuhnya Kabinet Wilopo


Ada beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo:
Yang pertama yaitu keadaan ekonomi yang kian memburuk dengan berakhirnya perang
korea. Antara bulan februari 1951- dan september 1952, harga karet, ekspor yang terpenting
turun 71%. Penghasilan pemerintah tentu saja merosot. Dalam upaya untuk memperbaiki
neraca perdagangan yang tidak menguntungkan serta keluarnya cadangan emas dan devisa
maka pemerintah mengenakan bea tambahan sebesar 100 sampai 200 persen terhadap impor
barang mewah dan mengurangi pengeluaran. Selain itu kabinet juga berencana memperkecil
jumlah birokrasi dan militer. Pengurangan yang direncanakan di kalangan militer inilah yang
pada akhirnya menimbulkan konflik yang gawat di dalam tubuh tentara dan merupakan cikal
bakal terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan peristiwa
yang cukup mengguncang kabinet Wilopo ialah yang menyangkut persoalan angkatan darat,
peristiwa ini mempunyai sangkut paut dengan perkembangan ekonomi, reorganisasi atau
profesionalisasi tentara dan campur tangan parlemen atas persoalan militer. Perkembangan
ekonomi dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil eksport hingga penerimaan devisa
menurut sekali dibandingkan kabinet sebelumnya. Dengan maksud melakukan penghematan
tetapi juga pembentukan tentara yang memenuhi persyaratan Internasional anggota militer
yang semata-mata memasuki dinas ketentaraan karena panggilan revolusi perlu dikembalikan
ke masyarakat. Tentara bukanlah suatu amatirisme tetapi fesionalisme.Ini menyebabkan protes
di kalangan perwira yang pendidikanya rendah, atau pro penganjur persatuan, seperti yang
tercermin dalam surat Bambang Supeno kepada Presiden yang kemudian menimbulkan
kericuhan (perpecahan) di kalangan tentara[8]. Banyak Politisi yang menyalahkan menteri
pertahanan, Sultan HamengkuBuwono, sebagai yang tercermin dalam mosi tak percaya dari
Zainal Baharudin dan manai Sophian yang mendesak ke organisasian AP. Menyadari akan
tanggung jawabnya,KSAD Nasution beserta pimpinan AD baik dari pusat maupun
didaerah-daerah pada tanggal 17 Oktober 1952 menghadap Presiden Soekarno dan
mengusulkan agar Parlemen dibubarkan, karena terlalu berbau kolonial, Presiden langsung
memimpin pemerintah sampai diselenggarakan pemilihan umum. Presiden Soekarno menolak
karena tidak mau jadi diktator . Usul tersebut didahului oleh suatu demonstrasi dimuka istana
Presiden dengan usul yang sama. Golongan Anti peristiwa 17 Oktober meluas juga dikalangan
AD sendiri menteri pertahanan , sekretaris jenderal Ali Budiardjo dan sejumlah perwira yang
merasa bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa 17 oktober mengundurkan diri dari
jabatanya. Kedudukan Nasution digantikan oleh BambangSugeng. Meskipun peristiwa 17
Oktober tidak menyebabkan kabinet Wilopo jatuh tetapi prestasinya menurun.
Yang kedua yaitu terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang
banyak terlebih setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar
untuk mengimpor beras.
Yang ketiga Munculnya Gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhanbangsa yang harus segera diselesaikan. Di beberapa tempat, terutama di Sumatera
dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Semua itu disebabkan
karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dan dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Daerah merasa bahwa sumbanganyang mereka berikan kepada pusat hasil ekspor lebih besar
dari pada yang dikembalikan di daerah.
Yang keempat yaitu Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap
pemerintahan. Mereka juga menuntut diperlukan hak otonomi daerah. Timbul pula perkumpulan
perkumpulan yang berlandaskan semangat kedaerahan seperti, paguyuban Daya Sunda di
Bandung dan Gerakan Pemuda federal Republik Indonesia di Makassar.Keadaan ini sudah
tentu membahayakan bagi kehidupan negara kesatuan.
Lalu yang terakhir adalah masalah tanah di Tanjung Morawa, satu kecamatan di Sumatera
Timur. Di kecamatan itu terdapat perkebunan asing, antara lain perkebunan kelapa sawit, teh,
dan tembakau. Atas dasar persetujuan KMB, para pengusaha asing itu menuntut pengembalian
lahan perkebunan mereka, padahal perkebunan itu telah digarap oleh rakyat sejak zaman
pendudukan Jepang. Ternyata pemerintah menyetujui tuntutan dari para pengusaha asing itu
dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya masuk ke
Indonesia. Di sisi lain, rakyat tidak mau meninggalkan tanah-tanah yang telah digarapnya itu.
Maka pada tanggal 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran tanah tersebut. Hal Ini menimbulkan
protes dari rakyat. Namun protes rakyat itu disambut tembakan oleh polisi, sehingga jatuh
korban di kalangan rakyat.Peristiwa itu dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan
pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Kemudian mosi tidak percaya muncul di
parlemen. Akibatnya Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal
2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI)dan
Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, yang diminta oleh Presiden Soekarno
kepada formatur ialah sebuah kabinet yang kuat dan mendapat dukungan cukup dari parlemen.
Usaha kedua formatur untuk membentuk kabinet yang kuat menemui kegagalan. Pada tanggal
19 kedua formatur itu mengembalikan mandatnya dan Presiden Soekarno menunjuk Mr. Wilopo
(PNI) sebagai formatur baru.
2. Program kerja kabinet Wilopo : Mempersiapkan pemilihan umum, Berusaha Mengembalikan
Irian Barat ke dalam pangkuan RI, Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan, Memperbarui
bidang pendidikan dan pengajaran, Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif.
3. Kabinet Wilopo mendapat dukungan koalisi dari PNI, Masyumi dan PSI. Partai Sosialis
Indonesia (PSI) didukung oleh kaum intelektual Jakarta. PSI berpengaruh di kalangan pejabat
tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung di kalangan tentara pusat. Sedangkan
Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam. Basis politik Masyumi terdiri atas
kaum muslim yang taat, termasuk sebagian besar kaum borjuis pribumi, para kyai dan ulama.
Basis utama Partai Nasional Indonesia (PNI) ialah dalam birokrasi dan kalangan para pegawai
kantor. Di daerah pedesaan Jawa partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi
masyarakat muslim nominal (abangan).
4. Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia
terhadap kabinet Wilopo. Peristiwa ini dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan
pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Akibatnya Kabinet Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh
parlemen.

B. Saran
Berdasarkan dari penelitian, peneliti mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi Pendidik dan Kalangan Umum
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan terhadap kabinet
Wilopo.
2. Bagi Peneliti
Diharapkan hasil penelitian ini menjadi tambahan bahan untuk melakukan penelitian
selanjutnya yang lebih rinci terhadap kabinet Wilopo.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Poesponegoro, MD. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.
Ricklefs, MC. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : Serambi.
Moedjanto.1988. Sejarah Indonesia abad ke-20 jilid II. Yogyakarta : Kanisius.
Wardaya, BT. 2008. Indonesia Melawan Amerika konflik PD 1953-1963.
Yogyakarta:Galangpress. Pustaka, RK. 2008. UUD 45 & Perubahannya susunan kabinet RI
lengkap(1945-2009). Jakarta: PT kawan Pustaka.
Pendidikan sejarah Unnes 2013. 2016. Dinamika pergantian tujuh kabinet masa demokrasi
parlementer 1950-1959. Semarang: Savista Press.
Jurnal
Saiman, Marwono, dan Syofyan. 2013 . Sistem Pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal
tahun 1949-1959. Pekanbaru: Universitas Riau.

You might also like