Professional Documents
Culture Documents
Makalah Tanjung Priok 1984
Makalah Tanjung Priok 1984
Assalamu’alaikum wr. wb
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat
dan karunian-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Kasus Tanjung
Priok 1984 dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Makalah Kasus Tanjung Priok 1984 ini dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), yang
berfungsi sebagai kegiatan untuk meningkatkan dan mengembangkan kreativitas
kerja mahasiswa.
Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu selama pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah yang
saya buat ini memiliki kekurangan, maka dari itu saya mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Purwakarta, 5 September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... 2
1[1] http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/latar-belakang-peristiwa-tanjung-priok.html
diakses 18 November jam 07.47
2[2] ibid
harus memiliki kesatuan dan hanya satu asas, yaitu Pancasila. Maksud dari
diterapkannya kebijakan ini adalah untuk mencabut ormas dan parpol Islam dari
akar ideologinya, Islam. Hal ini tentu saja mendapat tanggapan dan tantangan dari
ormas dan partai Islam. Kondisi ini semakin memperuncing konflik antara
pemerintah dan ormas serta parpol Islam3[3].
Sebab Khusus:
Di sekitar Masjid As-Sa’adah terpasang pamflet dan poster yang bersifat
SARA’. Karena himbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu
dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, akhirnya seorang petugas Babinsa Kodim
yaitu Sersan Hermanu pada hari jumat tanggal 7 September 1984, mencabut
pamflet-pamflet tersebut dengan memasuki Masjid tanpa membuka sepatu dan
melakukan pengotoran mushola dengan menggunakan air got. Apa yang
dilakukan Sersan Hermanu tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di
sekitar Masjid. Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk
meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap
bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian
masyarakat yang sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu akhirnya membakar
motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu. Hermanu berhasil diamankan
oleh pengurus Masjid dari kemarahan warga4[4]. Namun justru pihak kodim
malah menangkap empat orang warga yang dianggapnya bertanggungjawab atas
pembakaran motor petugas tersebut. Dan penangkapan keempat tersangka tersebut
kemudian menjadi pemicu terjadinya peristiwa yang lebih
2.2 Peristiwa Berdarah Tanjung Priok 1984
Pada tahun 1984 Terjadi pengkritisan terhadap penerapan pancasila
sebagai satu-satunya asas, pengkritisan terhadap pelarangan pemakaian jilbab
terhadap remaja putri disekolah-sekolah, dan program berencana. Tepatnya pada
tanggal 7 September 1984 Sersan Satu Hermanu, Bintara Pembina Desa (Babinsa)
3[3]http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/latar-belakang-peristiwa-tanjung-priok.html diakses
18 November jam 07.47
4[4]http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/latar-belakang-peristiwa-tanjung-priok.html diakses
18 November jam 07.47
Kodim 0502 yang beragama Khatolik datang ke musholla As-Sa’adah. Dia
meminta jamaah mencabut pamflet-pamflet yang menempel di Masjid yang
bersifat SARA, yaitu mengkritisi penerapan pancasila sebagai satu-satunya asas,
pelarangan pemakaian jilbab terhadap pelajar putri dan Keluarga Berencana.
Karena himbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu
dicabut tidak dihiraukan, pada tanggal 8 September 1984 Sersan Satu Hermanu
kembali mendatangi Masjid As-Sa’adah, karena Hermanu masih melihat poster-
poster yang menghujat pemerintah ditempel di Masjid, kemudian ia masuk tanpa
membuka sepatu dan memerintahkan rekanya melepas famplet. Karena susah
membuka famplet, akhirnya Hermanu menyiram dengan air got, bahkan ia sampai
menginjak Al-Quran dan menodongkan pistol kepada jamaah yang di musolla
yang berusaha melarang perbuatanya5[5].
Akibat dari perbuatan Hermanu, berita tersebut akhirnya menyebar
keseluruh daerah priok dan menyulut kemarahan dari umat Islam. Dari provokasi
ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada
saat yang sama sebagian masyarakat sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu,
motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu dibakar. Hermanu berhasil
diamankan oleh pengurus Masjid dari kemarahan warga6[6].
Namun pihak aparat justru menangkap empat orang warga yang
dianggapnya sebagai yang bertanggungjawab atas pembakaran motor petugas
tersebut. Adapun empat orang itu adalah M. Noor sebagai orang yang memang
bertanggung jawab atas pembakaran motor, kemudian Syarifudin Rambe dan
Sofwan Sulaiman sebagai orang yang dituduh bertanggung jawab terhadap
pembakaran motor, dan Ah. Sahi sebagai ketua Mushola As-Sa’adah.
Penangkapan keempat tersangka tersebut kemudian menjadi pemicu terjadinya
peristiwa yang lebih besar7[7].
5[5] ibid
7[7] Ibid
Pada tanggal 11 September 1984 Amir Biki salah seorang pimpinan Posko
66, dia adalah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk
menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat.
Amir Biki menyampaikan tuntutannya kepada pihak-pihak yang berwajib untuk
meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang
diyakininya tidak bersalah, selambat-lambatnya pukul 23.00 malam hari itu juga.
Namun usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia 8[8].
Walaupun dalam suasana tantangan yang demikian, pada tanggal 12
September 1984 acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah
direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala As-Sa’adah tetap dilaksanakan.
Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan
memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang
rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk
naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki
berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman
kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-
oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran
meskipun kita menanggung resiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita
harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak
apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan
golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).” Pada saat berangkat
jamaah pengajian dibagi dua, sebagian menuju Polres dan sebagian menuju
Kodim9[9].
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah
dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan
senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu,
terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu
8[8] http://nasional.kompas.com/read/2012/09/12/0931234/Penyelesaian.Pelanggaran.HAM.Berat
diakses pada 22 November 22.00
9[9] http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/kasus-pelanggaran-ham-tanjung-priok-1984.htm
10[10] ibid
11[11] http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/kasus-pelanggaran-ham-tanjung-priok-1984.htm
diakses pada 19 November 2013 jam 13.35
12[12] ibid
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim
dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim,
jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan
yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu,
di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3
orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu
jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian
yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau
melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang
jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara
Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang
beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, lalu dibawa menuju
Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD). Sesampainya di rumah sakit,
mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara
Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar
mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang
dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain13[13].
Namun di sisi lain ada juga yang menyatakan bahwa peristiwa berdarah
Tanjung Priok 1984 adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya
dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan
merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari operasi
militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman
sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.
Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa
survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung
priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah
basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.
Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari
13[13] http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/kasus-pelanggaran-ham-tanjung-priok-1984.htm
16[16]Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,(
Jakarta:Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi Dan Supremasi Hukum, 2001),hal 66
tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia17[17].
Dalam menangani kasus Tanjung Priok 1984 tidak semudah seperti
menangani kasus pelanggaran biasanya, karena kasus Tanjung Priok ini termasuk
ke dalam kasus pelanggaran HAM berat. Seperti yang tertera dalam Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
pasal 10418[18], yakni:
(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan
Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-
undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang
Selain itu, kasus Tanjung Priok 1984 ini merupakan kasus yang terjadi
sebelum adanya undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sehingga
kasus Tanjung Priok ini harus diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, hal ini
tertera juga dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 bahwa
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc19[19].
Hingga saat ini kasus Tanjung Priok masih belum dapat diselesaikan.
Binsar Gultom seorang Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta, menyatakan
bahwa kasus Tanjung Priok ini telah selesai, yang ditandai oleh pembebasan
Sriyanto pada tahun 2005, serta Purnowo dan Sutrisno Mascung pada tahun 2006.
Namun bagi para korban Tanjung Priok hal ini sangat tidak adil dan sangat
mengecewakan, karena banyak aturan hukum yang mengatur tentang HAM, yang
salah satunya yaitu terdapat dalam UUD 1945 BAB XA Tentang Hak Asasi
17[17] Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal
1
18[18] Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bab IX pasal 104
19[19] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43
Manusia, khususnya pasal 28I20[20], hingga akhirnya para korban memutuskan
untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudia pada bulan Maret 2006 Kontras
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi
Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan
dari kasus Tanjung Priok 1984.
Adapun penanganan terhadap kasus Tanjung Priok ini, secara rinci dapat
kami sampaikan melalui tabel di bawah ini 21[21]:
Tanggal Kegiatan
27 Agustus 1999 Press release KPKP (Koalisi Pembela Kasus Priok:
Kontras, YLBHI, API, LBH Jakarta dan ALPERUDI)
mendesak pemerintah untuk:
Mendesak PUSPOM untuk memanggil Soeharto dan
LB Moerdani, Try Sutrisno dan pentinggi-petinggi mliter
yang terlibat secara langsung kasus Tanjung Priok 12
September 1984 sebagai langkah awal
pertanggungjawabannya
Memperlihatkan secara serius dan mengadili seluruh
pihak yang terlibat dalam rangkaian pelanggaran hukum
dan HAM atas kasus Priok mulai dari penembakan masal,
pembantaian, penangkapan sewenang-wenang,
pneyiksaan, intimidasi dan penghilangan orang baik sipil
dan militer
3 Mei 2000 KPP HAM memeriksa Try Soetrisno dan LB Moerdani
Juni 2000 Komnas HAM menyerahkan hasil KPP HAM Priok
kepada Kejaksaan Agung
11 Juli 2000 Berkas Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran
HAM Tanjung Priok (KP3T) dipulangkan Kejaksaan
21[21]www.google.co.id/www.kontras.org/tpriok/data/Komnas/HAM/tentang/Kasus/T
anjung/Priok.doc diakses pada 19 November 2013 jam 07.55
Agung ke Komnas HAM untuk dilengkapi kekurangannya
14 Oktober 2000 Hasil penyelidikan diserahkan ke kejaksaan Agung untuk
kedua kalinya
24 Januari-19 Pemeriksaan beberapa saksi korban dan keluarga di
Februari 2001 Kejaksaan Agung
Juli 2002 MA Rahman dalam sebuah pertemuan dengan DPR RI
menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung telah menetapkan
12 tersangka
14 September Pembacaan dakwaan terhadap Sutrisno Mascung CS di
2003 Pengadilan HAM Jakarta Pusat. Komandan regu III daroi
Yon Arhanudse beserta 11 anak buahnya tersebut didakwa
melakukan pelanggaran HAM yang berat meliputi
pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penganiayaan
23 September Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pranowo didakwa
2003 oleh jaksa telah melakukan pelanggaran HAM berat
berupa perampasan kemerdekaan dan penyiksaan
30 September Dakwaan RA butar Butar dibacakan oleh Jaksa di
2003 pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Komandan Kodim
tersebut didakwa melakukan pelanggaran HAM berat
berupa pembunuhan, penganiayaan dan perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang terhadap penduduk
sipil
23 Oktober 2003 Sriyanto (Pasiop Kodim 0502) diajukan ke persidangan
dengan dakwaan telah melakukan pelanggaran HAM berat
meliputi: pembunuhan, percobaan pembunuhan dan
penganiayaan
31 Maret 2004 RA Butar Butar di tuntutan 10 tahun penjara
30 April 2004 RA Butar Butar divonis 10 tahun penjara dan wajib
memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
terhadap korban
3 Juli 2004 Pranowo dituntut 5 tahun penjara
8 Juli 2004 Sriyanto dituntut 10 tahun penjara
9 Juli 2004 Sutrisno Mascung CS dituntut 10 tahun penjara
10 Agustus 2004 Pranowo diputus bebas oleh Pengadilan Negeri
12 Agustus 2004 Sriyanto diputus bebas oleh Pengadilan Negeri
29 September Sriyanto dibebaskan oleh hakim Agung ditingkat
2005 Kasasi22[22]
13 Januari 2006 Mahkamah Agung membebaskan Pranowo ditingkat
kasasi.
28 Februari 2006 Sutrisno Mascung CS dibebaskan pada tingkat kasasi
6 Maret 2006 Kontras mengadu ke Komisi Yudisial23[23]
23[23] ibid
25[25] Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 1
26[26] http://kuchingbaeg.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
29[29]http://www.elsam.or.id/downloads/1268368470_01._Progr_Report_1_Pengadilan_HAM_Tan
jung_Priok_1.pdf diakses pada tgl 18 November 2013 jam 11.34
perintah. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur
dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis.
3. Penyiksaan (torture)
Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan
Rumah Tahanan Militer Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror
dari aparat.
4. Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance)
Fakta-fakta tindakan ini terjadi dalam tiga tahap, antara lain: pertama,
menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan
keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-
diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi
penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua,
menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat
kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat.
Ketiga, adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta
identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut
sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara
pasti.
BAB III
PENUTUP
3.1 Ringkasan/Simpulan
1. Latar Belakang peristiwa disebakan oleh sebab umum, yaitu ekonomi dan
politik serta sebab khusus.
2. Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12
September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan
sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar.
Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan
akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Peristiwa ini
dilatarbelakangi oleh munculnya ketetapan MPR No II/1983 tentang garis-garis
besar haluan Negara bab IV D Pasal 3.Kemudian terjadi peristiwa perampasan
brosur dan pamflet yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan
Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
3. Kasus Tanjung Priok 1984 mengalami penanganan oleh pengadilan
HAM dari tahun 26 Agustus - 6 Maret 2006. Hingga akhirnya para korban
memutuskan untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudian pada bulan Maret
2006 Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
mengadu ke Komisi Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada
perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung Priok 1984
Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yang
bersifat berat. Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut berupa Pembunuhan
kilat (summary killing), Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful
arrest and detention), Penyiksaan (torture), dan Penghilangan orang secara paksa
(enforced or involuntary disappearance).
DAFTAR PUSTAKA