You are on page 1of 5

Fadhoil as-shaum (Keutamaan-keutamaan berpuasa di bukan Ramadhan)

Puasa Ramadhan menyimpan segudang faedah atau keutamaan. Berbagai


keutamaan puasa ramadhan dapat kita jumpai salah satunya melalui Maqashid al-
Shaum, karya Sulthan al-Ulama, Syekh Izzuddin Abdil Aziz bin Abdussalam (w. 660 H).

Di dalam kitabnya, persisnya pada bab kedua tentang keutamaan (fadhilah)


puasa Ramadhan, Syekh Izzuddin menyatakan paling tidak ada tujuh keutamaan
puasa ramadhan. Saya melihat ketujuh keutamaan itu sebagai bentuk penempaan jiwa
sekaligus penyucian diri (tazkiyatun nafs) bagi seorang hamba.

1. Meninggikan Derajat (Raf’u Darajat)

Nabi Muhammad saw bersabda,

‫ِط‬ ‫ِت‬ ‫ِة‬ ‫ِت‬


‫ِإَذا َج اَء َرَم َض اَن ُف َح ْت َأْبَو اُب اَجْلَّن َو ُغِّلَق ْت َأْبَو اُب الَّناِر َو ُصِّف َد الَّش َيا َنْي‬
“Tatkala Ramadhan telah tiba, dibukakanlah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu
neraka, dan setan pun dibelenggu”. (H.R. Muslim)

Dalam riwayat yang lain,

‫ َمْن َك اَن ِم َن الَّص اِئِم َنْي َدَخ َلُه َو َمْن َدَخ َلُه ْمَل َيْظَم ُأ‬، ‫ ُيْد َعى ِبِه الَّصاِئُمْو َن‬، ‫إَّن يِف اَجلَّنة َباًبا ُيْد َعى الَّر َّياُن‬
‫َأَبًد ا‬

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut al-Rayyan, di mana disediakan
untuk mereka yang berpuasa. Barang siapa yang termasuk orang yang berpuasa maka
ia akan masuk darinya (pintu al-rayyan), serta siapa yang memasukinya, ia tidak akan
haus selamanya” (H.R. Ahmad)

Dari dua hadits Nabi saw, dapat kita simpulkan bahwa kewajiban puasa
ramadhan beserta segala keutamaannya mengisyaratkan bagi umat Islam untuk
memperbanyak ketaatan (taktsir al-tha’at). Artinya, dengan dibukanya pintu surga
merupakan bentuk targhib (motivasi atau dorongan) untuk memperbanyak ibadah,
misalnya berdzikir, tadarusan, shalat tahajud, dan sebagainya.

Yang kedua, dengan ditutupnya pintu neraka (taghliq abwab al-nar) dan
terbelenggunya setan, maka Syekh Izzuddin mempersepsikannya sebagai bentuk
pengurangan maksiat (qillah al-ma’ashy). Sementara yang ketiga adalah terbelenggunya
setan (tashfid al-syayathin). Isyarat ini oleh Syekh Izzuddin, ditafsiri sebagai tanda
terputusnya kewaswasan (inqatha’a waswasathihim) bagi orang yang berpuasa.

Dalam artian, betapa tidak etisnya manusia jika sudah diberikan bulan mulia
Ramadhan masih berbuat buruk dan enggan mengerjakan kebaikan serta
memperbanyak ibadah. Na’udzubillah min dzalik.

2. Menghapus Kesalahan (Takfir al-Khathi’at)

Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad saw,

‫ِئ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬


‫ َذا اْج َتَنَبَت اْلَك َبا َر‬، ‫َرَم َض اُن ىَل َرَم َض اَن ُمَك َّف َر اٌت َم اَبْيَنُه َّن‬
“Ramadhan satu ke ramadhan yang lain sebagai bentuk kafarat (dosa) di antara
keduanya jika kamu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar”. (H.R. Ahmad 2/400 dan
H.R. Muslim No. 233 dalam Bab Thaharah).

‫اَن ِإَمْياًنا ا ِت ا ا ُغِف َل ا َق َّد ِم َذْنِبِه‬


‫َو ْح َس ًب َر ُه َم َت َم ْن‬ ‫مْن َص اَم َرَم َض‬
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Makna kata “imanan” adalah biwujubihi (meyakini adanya kewajiban puasa dan
berkewajiban menjalankannya). Sedangkan maksud ihtisaban, kata Izzuddin, bermaka
merendahkan diri sembari berharap pahala dari Tuhannya (li ajrihi ‘inda rabbihi).

3. Mengendalikan Syahwat (Kasru al-Syahawat)

Keutamaan ketiga adalah umat Islam hendaknya mampu mengendalikan atau


menaklukkan syahwat. Ia berdikari atas syahwatnya, bukan justru ditunggangi oleh
syahwatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw,

‫ِط‬ ‫ِل‬ ‫ِل‬


‫ َو َمْن ْمَل َيْس َت ْع‬, ‫ َو َأْحَص ُن ْلَف ْر ِج‬, ‫ َفِإَّن ُه َأَغُّض ْلَبَص ِر‬, ‫يا َم ْع َش َر الَّش َباِب َم ِن اْس َتَطاَع اْلَب اَءَة َفْلَيَتَز َّو ْج‬
‫ِه ِب ِم ِإ‬
‫ َف َّنُه َلُه ِو َج اٌء‬, ‫َفَعَلْي الَّصْو‬
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah.
Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga
kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah,
sesungguhnya puasa itu adalah benteng syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam
Bukhari)

Jadi, dengan berpuasa ramadhan, tidak makan dan minum itu dapat menjadi sarana
untuk mampu mengalahkan syahwat. Beliau menuturkan,

‫َفِإَّن اُجْلْو َع َو الَّظَم َأ ُيَك ِّس َر اِن َش ْه َو َة اْلَم َعاِص ي‬

“Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat”

Dalam konteks ini, yang dimaksudkan dengan “lapar dan haus” adalah yang disertai
niat karena ibadah kepada Allah swt. Dengan niat tersebut, maka lapar dan haus
menjadi madrasah untuk menempa diri manusia, mengendalikan nafsu libidinal dan
mampu kapan ia untuk mengegas dan mengerem.

4. Memperbanyak Sedekah (Taktsir al-Shadaqat)

Sedekah, bagi Syekh Izzuddin, berimplikasi pada pembentukan karakter diri manusia.
Beliau menuturkan,

‫ِإ ِم ِئ‬ ‫ِل‬ ‫ِع ِم‬ ‫ِئ ِإ‬


‫َأِلَّن الَّص ا َم َذا َج اَع تَذ ّك َر َم ا ْنَد ُه َن اُجْلْو ِع َفَح َّثُه َذ َك َعَلي ْطَعا ْاَجلا َع‬
“Sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, lalu ia mengingat rasa
lapar itu, maka hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi
makan pada orang yang lapar”.

Dengan demikin, puasa melatih rasa empati dan simpati manusia untuk peduli
terhadap sesama dan makhluk Allah swt. Outcome-nya adalah manusia itu akan
memanusiakan manusia, mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan meminimalisir
keegoisan pribadi. Puasa menjadi ajang penempaan diri baginya.

5. Penyempurnaan Ketaatan (Taufir al-Tha’at)

Syekh Izzuddin menyampaikan,


‫َأِلَّنُه َتَذ َّك ُجْو ِع َأْه الَّناِر الَّظ َأُه ْم َفَح َّثُه َذِلَك َعَلي َتْك ِثِرْي الَّطاَعاِت ِلَيْنُج َهِبا ِم الَّناِر‬
‫َو َن‬ ‫َو َم‬ ‫ُل‬ ‫َر‬
“Sebab puasa mengingatkan akan rasa lapar dan hausnya ahli neraka. Karena itulah
yang mendorong orang berpuasa untuk memperbanyak ketaatan kepada Allah swt
agar selamat dari api neraka”.

Dari penyampaian Syekh Izzuddin, kita dapat memetik hikmah untuk lebih
memperdalam ilmu. Analoginya, untuk mampu mengendarai sepeda dan mobil,
seorang supir harus paham betul teori dan fungsi masing-masing bagiannya.
Bagaimana mungkin ia menjalakan suatu kendaraan, sedangkan ia tidak paham akan
teori dan praktiknya. Begitu pula, bagaimana mungkin puasa ramadhan beserta
kemuliaannya dapat dijalankan dengan baik tanpa mengetahui ilmu tentang puasa.
Dalam konteks ini, mencari ilmu adalah suatu keniscayaan bagi manusia.

6. Mensyukuri Kenikmatan yang Tidak Disadari (Syukr ‘Alim al-Khafiyyat)

Acapkali manusia lalai terhadap nikmat Allah swt. Sampai-sampai Nabi saw pernah
menyinggungnya bahwa ada dua kenikmatan yang seringkali dilupakan manusia,
yaitu nikmat kesehatan (shihhah) dan kesempatan (al-faragh).

Senada dengan Baginda saw, Syekh Izzuddin juga menyampaikan,

‫ َفِإَّن الِّنَعَم اَل ُيْع َر ُف ِم ْق َد اُر َه ا إاّل ِبَف ْق ِدَه ا‬, ‫إَذا َص اَم َعَر َف ِنْع َم َة اُهلل َعَلْيِه يِف الِّش َبِع َو الِّرِّي َفُش ْك ِر َه ا ِلَذ ِلَك‬

“Jika seseorang berpuasa maka ia menjadi tahu akan nikmat Allah swt yang
diberikannya berupa rasa kenyang dan rasa segar, maka bersyukurlah atas nikmat itu.
Karena nikmat tersebut baru mempunyai arti penting tatkala nikmat itu telah hilang”.

Untaian kata Syekh Izzuddin menjadi warning bagi kita semua untuk sedini mungkin
sadar akan nikmat Allah swt dan mensyukurinya. Salah satu tanda syukur ialah kita
mempergunakannya untuk mengerjakan ketaatan dengan high quality (kualitas
tertinggi), bukan low quality (kualitas gadungan alias KW).
7. Mencegah Keinginan Untuk Bermaksiat dan Meminimalisir Perselisihan (Al-
Inzijar ‘an Khawathir wa al-Mukhalafat)

Syekh Izzuddin berargumen bahwa orang yang kenyang – kenyang di sini dapat
dikontekstualisasikan dengan comfort zone (kondisi nyaman) – mempunyai probabilitas
tinggi untuk bermaksiat (thamahat ila al-ma’ashy). Hal ini jauh berbeda ketika manusia
terasa lapar dan haus, maka ia akan mencari sesuatu yang mampu memenuhi
keduanya sehingga berdampak pada pengurangan keinginan untuk berbuat buruk atau
maksiat.

Sederhananya, puasa menjadi ajang preventif untuk menahan diri dari segala hawa
nafsu, baik syahwat seks maupun hasrat materialisme sehingga diharapkan ia meraih
derajat yang tinggi, yakni muttaqin (orang-orang yang bertakwa di sisi-Nya). Ini adalah
tingkatan tertinggi dalam prestasi manusia. Memang tidak mudah, namun bukan
berarti tidak mungkin. Selama manusia berupaya semaksimal mungkin, maka Allah
swt telah menyediakan pahala yang setimpal. Kata Allah swt dalam hadits qudsi-Nya,
“Aku sendiri yang memberikan pahala baginya”.

Demikian, tujuh faedah atau keutamaan puasa ramadhan menurut Syekh Izzuddin.
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tak ada gading yang tak retak, mohon maaf atas kesalahan di dalam bertutur kata

Wassalamualikum Wr. Wb.

You might also like