You are on page 1of 4

PUASA DAN SOLIDARITAS SOSIAL

Oleh Kang Nanang Mubarok

Ramadhan merupakan bulan istimewa. Karena, pada bulan inilah setiap Muslim berusaha
menempa diri dengan puasa untuk menjadi great people, the ultimate quality of human being,
insan kamil, insan paripurna, insan yang terbaik, manusia yang memiliki kualitas mutu tertinggi.
Inilah apa yang disebut pribadi bertakwa sebagaimana tujuan utama berpuasa, la’allakum
tattaqun (QS al-Baqarah: 186).

Sikap ketakwaan tersebut tercermin dari 2 hal penting dalam kehidupan manusia. Pertama
adalah Kesalehan Individual; dan yang kedua Kesalehan Sosial. Kesalehan individual itu nampak
dari perilaku keseharian kita; integritas, jujur, amanah, bersikap rendah hati, syukur, sabar,
tawadhu, qona’ah, wara’, sederhana dan hal-hal baik lainnya.

Sedangkan kesalehan sosial tercermin dari sikap saling menghargai, saling menghormati,
toleransi, kedermawanan kita, tanggungjawab sosial kita, perhatian kita, atensi kita, simpati dan
empati kita kepada orang lain. Terutama kepada orang-orang yang berada dalam posisi sulit dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, ibadah puasa kita lakukan dengan penuh kesadaran dan penuh
keyakinan karena tujuannya adalah akan meningkatkan kualitas kemanusiaan kita yakni
ketakwaan, great people atau the ultimate quality of human being.

Puasa Ramadhan merupakan sebuah “dojo, kelas, padepokan, madrasah atau pesantren”
bagi kaum Muslimin untuk melatih diri, menginternalisasi, dan membumikan kesalehan sosial
sebagaimana menjadi spirit Islam. Puasa adalah latihan pengendalian diri dari segala bentuk hawa
nafsu dan degradasi prilaku yang meruntuhkan derajat kemanusiaan kita, sekaligus mengasah
kepekaan sosial kita terhadap sesama. Itulah sebabnya anjuran dan larangan-larangan selama kita
menjalani puasa memiliki dimensi sosial di baliknya, selalu terkait dengan interaksi kita dengan
orang/manusia-manusia lain.

Terkait dengan anjuran misalnya, sadaqah dan zakat, amalan yang dianjurkan dalam bulan
puasa Ramadhan mengajarkan kita prinsip-prinsip filantropi dan solidaritas, prinsip berbagi bahwa
harta yang dimiliki oleh setiap insan Muslim sesungguhnya memiliki fungsi sosial. Ia adalah sarana
untuk menciptakan dan memupuk ukhuwah, kepedulian, dan semangat kesetiakawanan, sekaligus
mencair-leburkan jurang ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

Begitu juga dengan larangan-larangan. Larangan berhubungan seks di siang hari pada
bulan Ramadhan tebusannya adalah dengan memberi makan 60 orang miskin. Orang yang tidak
berpuasa karena alasan sakit parah atas vonis dokter, hamil, atau menyusui, tebusannya adalah
fidyah (bersedekah memberi makan kepada fakir miskin).
Kemudian, agar puasa kita paripurna, kita melaksanakan zakat fitrah yang diberikan kepada
salah satu dari 8 asnaf atau mustahik. Begitu juga agar shalat ‘Id kita sempurna, kita disunnahkan
melakukan shalat dilapangan terbuka, untuk bertemu dan berkumpul dengan semua orang.

Dalam Al-Quran, ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang ibadah mahdhah yakni ibadah yang
bersifat ritual, personal dan vertikal atau ibadah hablum minallah, tidak lebih dari 20%. Sementara
lebih banyak dari ayat-ayat Al-Qur’an, justeru berbicara tentang ibadah ghairu mahdhah yakni
ibadah yang bersifat sosial, komunal dan harizontal atau hablum minnaas, yang membahas
tentang aturan manusia berinteraksi dengan manusia yang lain, dalam berbagai dimensi dan
profesinya.

Dalam teks-teks fiqih, bab ibadah personal atau ritual jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan bab-bab yang lainnya. Sebagai contoh kitab Fathu al-Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, yang
ditulis oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, sebuah kitab hadits paling populer, hanya mengupas
persoalan ibadah ritual dalam empat jilid dari dua puluh jilid kitab tersebut. Artinya, enam belas
jilid lainnya berisi bahasan hal-hal yang sosial atau nonritual. Ini jelas menunjukan bahwa perhatian
Islam terhadap persoalan-persoalan publik atau kemanusiaan jauh lebih besar dan lebih luas
daripada perhatian terhadap persoalan ibadah ritual personal. Bidang selain ibadah ritual
mencakup antara lain muamalah, hukum keluarga (al-ahwâl al-syakhshiyyah), perkawinan
(munakahat), ekonomi dan bisnis (iqtishodi, tijaroh atau al-buyu’), jinâyat (pidana), qadha
(peradilan Islam), imâmah/Sulthan (kepemimpinan & pemerintahan), siyasah (politik). Dalam
istilah berkehidupan berbangsa dan bernegara kita mengenalnya IPOLEKSOSBUD HANKAM.

Karena hal inilah Abu Ishaq Al-Syirazi dan Imam Al-Haramain mengatakan bahwa orang
yang melaksanakan kewajiban kolektif yang bersifat sosial (fardhu kifayah) memiliki nilai lebih
ketimbang orang yang melakukan kewajiban individual atau ritual personal (fardhu ‘ain), karena ia
dapat membebaskan kesulitan banyak orang. Pendapat para ulama di atas itu senapas dengan
kaidah fiqih, “al-’amal al-muta’addi afdhalu min al-qashir” (amal ibadah yang membawa efek lebih
luas lebih utama daripada amal ibadah yang membawa efek terbatas). Imam Al-Ghazali
mengatakan, “Al-Naf‘u al-muta’addi a’zham min al-naf’u al qashir (ibadah yang memberi manfaat
menyebar lebih agung daripada ibadah yang membawa manfaat kepada diri sendiri).

Mari kita belajar dari Rasulullah SAW tentang dahsyatnya Ibadah yang bersifat sosial dan
komunal. Hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ُ ‫اَّلل َت َع َاَل‬
ٌ‫ُسور‬ ‫َ ه‬ َ ْ َ ُّ َ َ َ َّ ْ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ ‫َ ه‬ َّ ُّ َ َ
ِ ‫ وأحب األعم ِال ِإَل‬, ‫اس‬ ِ ً ‫اَّلل َت َعاَل أنفعهم ُ ِللن‬
ِ ‫اس ِإَل‬ ِ ‫حب َالن‬ ‫أ‬
َ َ ْ َ َ
ً ‫ أ ْو ت ْط ُر ُد َع ْن ُه ُج‬, ‫ أ ْو تقض َع ْن ُه َد ْي ًنا‬, ‫ف َع ْن ُه ك ْر َبة‬ َ ُ
ُ ‫ أ ْو تكش‬, ‫ُت ْدخل ُه َعَل ُم ْسلم‬
, ‫وعا‬ ‫َْ َ ِ ي‬ ِ ٍ َِ َِ
َ ْ َ َْ ْ َ َ َ ْ
َ ‫ب إ ََّل من أن أعتك‬ ْ َ ُّ َ َ َ َ َ ْ
َ َ َ ‫َوألن أ ْم‬
‫ف ِ يف هذا ال َم ْس ِج ِد يع ِ ين مس ِجد‬ ِ ِ ‫ش مع أ ِخ ِ يف حاج ٍة أح ِ ي‬ ‫ِ ي‬
َ َ ْ
‫ال َم ِدين ِة ش ْه ًرا‬
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia.
Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, atau
mengangkat kesusahan dari orang lain, atau membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa
laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih
aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani
di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan


kesulitan mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.

Dalam kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َ َ ْ َ َ َ ِّ َ َّ ُ َّ َ
‫فاتقوا الن َار َول ْو ِب ِشق ت ْم َرٍة ف َم ْن ل ْم َي ِجد ف ِبك ِل َم ٍة ط ِّي َب ٍة‬
“Jagalah diri kalian dari neraka meskipun hanya dengan sedekah setengah biji kurma.
Barangsiapa yang tak mendapatkannya, maka ucapkanlah perkataan yang baik.” (HR. Bukhari
no. 1413, 3595 dan Muslim no. 1016)

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah adalah seorang yang paling pemurah,
lebih-lebih pada Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim). Sikap pemurah atau dermawan itu
menumbuhkan empati dan rasa mau berbagi dengan orang lain.
Setiap Muslim dilatih melalui puasa agar menjadi insan yang mampu merasakan derita
sesamanya dan melahirkan sikap ta’awun, yakni semangat saling menolong dan bekerja sama
dengan orang lain secara tulus dan baik.
Jika dia kaya, harus berbagi dengan saudaranya yang miskin. Kalau dia berilmu, harus mau
mencerdaskan orang lain dengan ilmunya. Manakala dia memiliki kekuasaan, dapat
dimanfaatkannya untuk menyejahterakan orang banyak. Apabila dia berkecukupan dalam apa saja
terpanggil untuk menolong siapa saja yang kekurangan.

Jadi, puncak dari semua Ibadah ritual sesungguhnya agar mampu menjadi manusia
bertakwa yang terekspresikan dengan perbuatan sosial atau akhlak terpuji kepada sesama. Karena
pada hakekatnya, keseluruhan ibadah ritual dalam agama Islam memiliki konsekwensi sosial, baik
langsung maupun tidak langsung. Bahkan lebih tegas, seolah-olah ibadah ritual yang tidak
menghasilkan buah "kepedulian sosial" ibaratnya pohon yang tidak berbuah (lihat misalnya S. Al-
Ma'uun).

Maka, jelaslah bagi kita bahwa setiap anjuran dan larangan ini senantiasa memiliki konteks
sosial dalam penerapannya, membimbing dan mengajarkan umat Islam untuk selalu peduli
terhadap sesamanya, untuk selalu menjaga dan memelihara derajat kemanusiannya hingga
bertransformasi menjadi insan kamil, great people, the ultimate quality of human being, manusia
paripurna yang memiliki mutu kualitas tertinggi nan mulia yang membawa kemaslahatan di muka
bumi. Inilah nilai-nilai humanisme yang menegaskan kemuliaan dan keagungan Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin.

Selain bermakna bagi kehidupan pribadi. Ramadhan juga sangat bermakna bagi kehidupan
sosial. Dengan berpuasa para aghniya (orang kaya) dan lapisan masyarakat elit bisa merasakan
pedihnya kehidupan orang-orang yang setiap hari dilanda kelaparan karena miskin. Sebab secara
fisik orang yang berpuasa mengalami sendiri, payahnya menahan lapar dan dahaga di siang hari.
Kondisi ini, akan meluluhkan hati kita untuk mau respon dengan lingkungan sosial, khususnya
menyangkut partisipasi kita terhadap kaum miskin. Hal ini menunjukkan, bahwa puasa Ramadhan
memiliki aspek yang sangat dominan dalam menciptakan rasa ukhuwah atau solidaritas sosial.
Ramadhan merupakan kesempatan bagi orang kaya untuk mendidik hati nurani agar menjadi
manusia yang berhati lembut, memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dan bersedia
mengutamakan kepentingan orang lain demi kebersamaan dan kemaslahatan.

Dengan demikian, sejatinya seorang Muslim tidak sekedar menjadikan puasa sebagai
kewajiban tahunan, menahan lapar dan berbuka, kemudian setelah itu hampir tidak berbekas
dalam jiwa ataupun perilaku bersosial di masyarakat. Lebih dari itu, puasa adalah kewajiban yang
mampu menggugah moral, akhlak, dan kepedulian kepada hal sosial kemasyarakatan.

Puasa diharapkan menumbuhkan semangat solidaritas sosial yang merupakan hasil dari
proses transendensi (hablum minallaah) yang membuahkan sifat kemanusiaan yang luhur (hablu
minan-naas) yang bersifat serba utama dan serba manfaat.

Dalam Islam, hablu min Allah itu harus tercopy-paste, harus terkonfirmasi dalam hablu
min al-nas begitu pula sebaliknya (QS Ali Imron: 112). Artinya, setiap Muslim yang melakukannya
memang lahir dari panggilan iman dan ketauhidan yang kuat sehingga membentuk solidaritas
sosial yang kuat, jernih, dan serba baik.
Melalui puasa yang menumbuhkan semangat solidaritas sosial, akan tercipta kehidupan
sosial yang religius, bermoral, demokratis, harmoni, kebersamaan, toleransi, dan saling
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan tanpa diskriminasi, persekusi dan kriminalisasi.

You might also like