Professional Documents
Culture Documents
Abstract
The research was conducted with the aim of revealing the difficulties faced by
schools in implementing the Merdeka Curriculum in the learning processes, as well
as discovering the actions taken to overcome those difficulties. The Merdeka
Curriculum is a new policy enacted by the Ministry of Education and Culture, which
should be implemented in all educational institutions, including the high school and
vocational school levels.
The research belonged to exploratory research with a qualitative approach. It
was conducted at SMKN 2 Depok, which is one of the schools in Yogyakarta which
has implemented the Merdeka Curriculum. The data collection was conducted by
holding interviews with nine respondents, among others were the vice principals,
teachers, and students. To ensure the validity of the data, the triangulation was
applied, whereas the data analysis technique employed the analysis model proposed
by Miles, Huberman, and Saldana (2014).
Based on the research, it was found that several difficulties or obstacles in
implementing the Merdeka Curriculum were experienced by the school, especiallyby
teachers. The findings indicated that teachers' competence in developing teaching
tools, mastering Information Technology (IT), and managing learning processes were
not compatible with the concept of the Merdeka Curriculum. In addition, the school
has made various efforts by providing trainings and evaluations for teachers to
maximize the implementation of the Merdeka Curriculum at SMKN 2 Depok,
Yogyakarta.
PENDAHULUAN
Dalam rangka pemulihan proses pembelajaran setelah meredanya pandemi COVID-19
pada tahun 2022 pemerintah kembali meresmikan kurikulum yaitu Kurikulum Merdeka.
Kurikulum merdeka ditujukan sebagai sumber pembelajaran yang menyenangkan dan berfokus
pada kebebasan berfikir kreatif. Kurikulum merdeka merupakan opsi tanpa paksaan,
pemerintah memberikan kesempatan bagi satuan pendidikan yang belum siap menerapkan
Kurikulum Merdeka boleh menggunakan kurikulum 2013 ataupun kurikulum darurat sebagai
landasan pelaksanaan pembelajaran (Arifa, 2022).
Pada tahap awal, tahap pengenalan Kurikulum Merdeka, persoalan besar sesungguhnya
telah muncul. Terdapat banyak perbedaan dalam pelaksanakan kurikulum merdeka dan
kurikulum 2013. Misalnya, pada saat Kurikulum 2013 diselenggarakan para guru difasilitasi
program pelatihan dan pendampingan berjenjang oleh pemerintah. Namun, pada kurikulum
merdeka tidak ada diklat/bimtek berjenjang yang diberikan oleh pemerintah. Ketentuan ini
tercantum dalam surat edaran dari kemendikbudristek nomor 2774/H/KR.00.01/2022
mengenai implementasi kurikulum merdeka secara mandiri tahun 2022/2023. Kesulitan yang
mungkin dirasakan oleh para guru yaitu melaksanakan pelatihan secara mendiri tentang
kurikulum merdeka, karena para guru tidak memiliki pengalaman dengan kemerdekaan belajar
dan hanya dibekali dokumen terkait Kurikulum Merdeka yang diakses melalui Platform
Merdeka Mengajar (PMM).
Guru di beberapa sekolah mengungkapkan bahwa belum memahami sungguh makna
dari merdeka belajar yang dipublikasikan oleh menteri pendidikan Nadiem Makarim. Guru
hanya dapat memperkirakan makna merdeka belajar yang diperoleh dari berbagai media
informasi. Dalam hal ini, guru menerapkan kurikulum merdeka dengan perkiraannya sendiri
tanpa mengetahui makna paradigmaya (Yuhastina et al, 2020).
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah mengetahui
apa saja problematika yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan Kurikulum Merdeka sebagai
dasar pelaksanaan pembelajaran. Dengan tujuan penelitian untuk mendeskripsikan berbagai
problematika yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Sehingga
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi untuk pihak sekolah maupun
pemerintah dalam mengatasi masalah atau hambatan yang dihadapi oleh guru dalam
mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
METODE
Penelitian mengenai problematika implementasi Kurikulum Merdeka ini merupakan
penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif (Creswell, 2014). Penelitian ini berusaha
untuk mendeskripsikan problematika implementasi Kurikulum Merdeka yang terjadi di SMK
Negeri 2 Depok, Yogyakarta. Narasumber yang menjadi subjek penelitian, antara lain empat
wakil kepala sekolah, tiga guru, dan dua peserta didik kelas X/XI yang telah ikut serta
menerapkan pembelajaran Kurikulum Merdeka.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan wawancara dan
dokumentasi. Penelitian ini menguji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan
triangulasi metode (Sugiyono, 2014). Informasi yang diperoleh dari informan akan diolah dan
disajikan ke dalam bentuk deskripsi dan dianalisis. Analisis data kualitatif menggunakan model
Miles, Hubermen, dan Saldana (2014) ; Pengumpulan data, kondensasi data, penyajian data,
kesimpulan dan verivikasi.
Hasil
Pembahasan
pemahaman dan kemampuan tenaga pendidik dalam mengembangkan perangkat ajar. Materi
pada KI-KD Kurikulum 2013 menjadi solusi bagi pendidik untuk membatasi lingkup materi
dan menentukan alokasi waktu pada Alur Tujuan Pembelajaran (ATP). Hal tersebut dipicu
karena tenaga pendidik di SMKN 2 Depok pada akhirnya memiliki perspektif bahwa perangkat
ajar Kurikulum Merdeka sama dengan perangkat ajar Kurikulum 2013. Temuan Arifa (2022)
menyatakan bahwa pedoman harus diharmonisasikan hingga ke sekolah, karena cukup banyak
guru yang masih kebingungan mengenai paradigma hingga hal-hal teknis terkait dengan
menggunakan metode ceramah dalam proses belajar mengajar. Dalam konsep Kurikulum
Merdeka, pendidik bukanlah menjadi pengajar, namun pendidik merupakan seseorang yang
mampu membentuk peserta didik untuk menjadi pelajar yang mandiri (Arifa, 2022).
Kemampuan berkreativitas dan mindset yang dimiliki oleh pendidik terkait Implementasi
Kurikulum Merdeka merupakan hambatan utama. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Yudistina (2020) yang menyatakan bahwa merdeka belajar merupakan pengalaman dan
pebelajaran yang baru bagi sebagian besar tenaga pendidik, sehingga pemikiran lama masih
mengoperasikan komputer membuat tenaga pendidik enggan untuk belajar dan memilih tetap
menggunakan media pembelajaran tradisional seperti papan tulis. Hambatan yang tampak
terkait kecakapan teknologi informasi (TI) adalah proses adaptasi dari tenaga pendidik senior
atau hampir purna tugas. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yuhastina (2020) yang
mengatakan guru junior cenderung lebih mampu mengembangkan program Merdeka Belajar
dengan berbagai teknologi, sedangkan guru senior atau hampir purna tugas membutuhkan
waktu terlebih lama untuk beradaptasi dan belajar mengoperasikan perangkat komputer.
dicanangkan kurang dari satu minggu. Pendidik tidak memiliki persiapan yang matang dalam
perencanaan hingga pengaplikasian perangkat ajar, karena intruksi yang mendadak tanpa
adanya sosialisasi. Hasil penelitian Arifa (2022) menyatakan bahwa pendidik diberikan
kemerdekaan dalam mengelola pembelajaran, namun masih banyak pendidik yang belum
oleh SMK Negeri 2 Depok, Yogyakarta. Guru merasa bingung untuk mengambil keputusan
terhadap hasil asesmen diagnostik. Hal tersebut didasari dengan kurangnya pemahaman daan
kemampuan tenaga pendidik untuk menganalisis hasil asesmen diagnostik, sehingga dirasa
sulit jika ingin memfokuskan strategi pembelajaran pada masing-masing kondisi peserta didik.
Penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Maut (2022) terkait asesmen diaknostik. Hasil
penelitian Maut (2022) menunjukan; 63,64% guru sudah mengetahui asesmen diagnostik;
45,45% guru pernah melakukan asesmen diagnostik; 40,91% guru belum memahami dengan
baik dan merasa belum pernah melakukan asesmen diagnostik; dan 77,27% guru tidak pernah
Temuan keenam adalah upaya pihak sekolah SMK Negeri 2 Depok untuk menyikapi
sosialisasi berupa pendidikan dan pelatihan (diklat) terkait perangkat ajar serta pemanfaatan
teknologi untuk pendidik yang mengampu di kelas X dan XI. Selain sosialisasi, sekolah juga
memiliki program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dengan tujuan membarikan
wadah bagi setiap tenaga pendidik di SMK Negeri 2 Depok yang memiliki hambatan atau
kesulitan dalam mempelajari aspek Kurikulum Merdeka. Tenaga pendidik juga memiliki upaya
secara mandiri untuk melakukan swadidik terhadap aspek-aspek Kurikulum Merdeka, dengan
belajar melalui platform merdeka mengajar yang difasilitasi oleh Kemendikbud. Selanjutnya,
pihak sekolah memiliki program evaluasi kinerja setiap satu bulan sekali untuk memantau
proses Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) oleh tenaga pendidik dalam Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rahayu et al (2022) yang
arahan kepada setiaap pendidik, supaya dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar. Guru
yang purna bakti hingga penjaga sekolah dibimbing untuk meningkatkan kinerjanya dengan
DAFTAR RUJUKAN
Creswell, J. (2014). Penelitian kualitatif dan desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putri, Rindayati, & Damariswara. (2022). Kesulitan Calon Pendidik Dalam Mengembangkan
Perangkat Pembelajaran pada Kurikulum Merdeka. 18-27.
Rahayu, R., Rosita, R., Rahayu, Y. S., Hernawan, A. H., & Prihatini. (2022). Implementasi
Kurikulum Merdeka Melajar di sekolah penggerak. Jurnal Basicedu.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta .
Yuhastina, Parahita, B. N., Astutik, D., Ghufronudin, & Purwanto, D. (2020, Desember 30).
Peluang dan Tantangan Guru Sosiologi dalam Menghadapi Kurikulum "Merdeka
Belajar" di Era Revolusi Industri 4.0. Society, 772-793.