You are on page 1of 8

PENGESAHAN PERPPU CIPTA KERJA: BENTUK NYATA PENGKHIANATAN

KONSTITUSI DAN MANDAT RAKYAT

Latar Belakang

Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR RI melalui rapat paripurna anggota DPR
mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker)
sebagai strategi dalam upaya membangun perekonomian Indonesia dengan beberapa skema
guna meningkatkan lapangan pekerjaan, memperkuat lingkungan investasi dan kemudahan
berusaha, mempercepat proyek strategis nasional, mengatasi masalah regulasi negatif,
mempercepat transisi ekonomi daerah, dan menyelaraskan kebijakan (Hanifah, 2021). Dalam
penetapannya, pemerintah memilih metode Omnibus Law atau sapu jagat guna memangkas
beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu peraturan. Tujuan utama dari Omnibus
Law yaitu pemangkasan beberapa peraturan menjadi peraturan yang lebih sederhana dengan
melakukan pencabutan atau perubahan beberapa regulasi sekaligus demi mengurangi sebanyak
mungkin ketidakefektifan pada pasal bermasalah dan pasal yang membingungkan (Fitri &
Hidayah, 2021).

Tidak sejalan dengan tujuan awal, penetapan UU Ciptaker ini secara praktis justru
menjadi polemik di tengah masyarakat khususnya golongan pekerja, buruh, dan pengusaha
kecil. Mulai dari tahapan perencanaan rancangan undang-undangnya yang tertutup dan kurang
melibatkan masyarakat terutama golongan terdampak, sehingga produk hukum ini menjadi
cacat formil karena penetapannya kurang transparan dan tidak adanya pemberian akses kepada
publik terhadap naskah akademik rancangan undang-undang sehingga menyebabkan banyak
substansi pasal yang merugikan dan bermasalah.

Beberapa pasal yang ditetapkan dinilai merugikan dan memperburuk kondisi ekonomi
kaum pekerja dan hanya berpihak pada golongan pengusaha dan oligarki. Contohnya pada
klaster ketenagakerjaan yaitu pasal yang merubah regulasi penentuan upah minimum yang
menyebabkan Indonesia kembali ke sistem upah rendah. Ketidakseimbangan antara upah kecil
yang diterima pekerja atau buruh dengan tuntutan biaya hidup menempatkan mereka pada
kondisi yang sulit bahkan hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya terkait pasal yang
mengatur tenaga kerja alih daya (outsourcing), ada risiko bahwa pekerja tidak lagi memiliki
jaminan atas gaji, asuransi, kesehatan, jaminan kerja, dan tunjangan lainnya karena tidak
adanya batasan yang jelas pada undang-undang yang mengatur tentang jenis pekerjaan yang
dapat dilakukan menggunakan tenaga kerja alih daya, hal ini juga berpengaruh pada pembagian
beban kerja yang dapat diberikan kepada tenaga kerja alih daya yang awalnya hanya pada jenis
pekerjaan penunjang, karena tidak adanya regulasi yang membatasi, jenis pekerjaan primer
pada akhirnya juga dapat dibebankan kepada tenaga kerja alih daya.

Di sisi lain, kaum pengusaha dan oligarki dengan kondisi ekonomi mereka yang mapan
justru diuntungkan karena mereka dapat menjalankan usaha mereka dengan biaya yang
dikeluarkan untuk upah dan tunjangan pekerja yang lebih kecil dengan beban kerja yang
fleksibel dan dinamis. Permasalah seperti ini yang menjadi dasar ketidaksetujuan dan
penolakan masyarakat terhadap pengesahan UU Ciptaker ini. Belum lagi masalah yang timbul
dari segi kontrak kerja, jadwal cuti, pekerja alih daya, dan dampak lingkungan, menjadi alasan
yang lebih kuat untuk mempertanyakan apakah pengesahan UU Ciptaker ini benar-benar untuk
masyarakat dan pembangunan Indonesia atau hanya untuk kepentingan dan keuntungan
beberapa golongan saja.

Permasalahan ini diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa UU Ciptaker
secara prosedural terdapat cacat formil karena tidak dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada
pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak berpegang pada asas
pembentukan peraturan UU, kurangnya partisipasi masyarakat, serta tidak mengikuti standar
yang telah ditetapkan bersama DPR dan Pemerintah. Mahkamah Konstitusi menetapkan
bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berstatus
inkonstitusional bersyarat dan perlu dikaji kembali dan direvisi dalam jangka waktu
maksimal dua tahun. Namun, setelah masa tenggat untuk pengkajian dan revisi UU Ciptaker
habis, pada 30 Desember 2022 kemarin justru pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang
secara substansial memiliki isi yang kurang lebih sama dengan UU Ciptaker, sehingga
memvalidasi opini publik terkait autokrasi dan pemanfaatan kekuasaan untuk membuat produk
hukum yang tidak demokratis.

Perppu Ciptaker sebagai Bentuk Autocratic Legalism dan Pengkhianatan Konstitusi

Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022


tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) pada tanggal 30 Desember 2022 lalu menjadi fenomena
lanjutan dari bentuk autokrasi dan pemanfaatan jabatan sebagai alat kekuasaan yang sewenang-
wenang dalam memproduksi kebijakan yang tidak demokratis. Ditinjau dari substansinya
bahwa pengesahan Perppu Ciptaker tidak memenuhi syarat diterbitkannya sebuah
Perppu yakni harus berdasar hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Hari ini, tidak ada satupun ihwal kegentingan yang
memaksa untuk dikeluarkannya Perppu. Justru sebaliknya, alih-alih Perppu menjadi penerang
di tengah gelapnya kegentingan malah kehadirannya mendapat penolakan yang masif di
berbagai daerah di Indonesia. Ukuran objektivitas penerbitan Perppu dapat dilihat dalam
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat
sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan
Perppu, yaitu:

● Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum


secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

● Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan


hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
● Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-
Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Penerbitan Perppu ini tidak memenuhi parameter “kegentingan yang memaksa” karena
dalam amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK Menyatakan UU Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
pembentukan sesuai dengan tenggat waktu 2 tahun sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.
Sangat jelas bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak layak untuk
diterbitkan.

Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara


tegas telah mengatur bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan baik dalam bentuk lisan dan/atau tulisan merupakan hak yang telah diatur dalam
konstitusi. Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
kembali menegaskan bahwa partisipasi masyarakat harus sarat akan makna (meaningful
participation) dengan aturan: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat
untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau
jawaban atas pendapat yang diberikan. Alih-alih dilakukan, Presiden malah mengambil ceruk
partisipasi masyarakat dengan mengeluarkan aturan dengan landasan subjektivitas melalui
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pengesahan Perppu yang secara
tiba-tiba dan dilandasi kegentingan yang mengada-ada meneguhkan tendensi otoritarianisme
pemerintah terhadap kedaulatan rakyat dan peran serta masyarakat dalam proses pembuatan
peraturan perundang-undangan. Model kerja semacam ini kian menambah daftar panjang
keburukan praktik legislasi dewasa ini. Sejak pembentukan UU Ciptaker yang telah ditetapkan
inkonstitusional bersyarat oleh MK, dapat kita lihat kepentingan siapa yang ingin diakomodasi.
Para pebisnis, oligarki, serta kalangan elit merupakan penerima manfaat utama dari ditekannya
UU Ciptaker yang kala itu metodenya bahkan tidak diakui oleh hukum positif. Bergelimang
akan konflik kepentingan di kalangan eksekutif maupun legislatif yang mayoritas berlatar
belakang pebisnis, justru kepentingan masyarakat terdampak seperti kelompok adat, serikat
buruh, serta publik secara umum yang menjadi korbannya. Menilik sejumlah rumusan pasal
yang juga diteguhkan dalam Perppu Ciptaker, dapat dibaca ke mana arah pemerintah dalam
menyusun politik kebijakan.

Jika ditinjau dari substansinya, antara UU Ciptaker dan Perppu Ciptaker relatif tidak
memiliki banyak perbedaan. Mengingat status UU Ciptaker yang sebelumnya ditetapkan
inkonstitusional bersyarat oleh MK dengan berbagai permasalahan yang dikandung di
dalamnya, pengesahan Perrpu Ciptaker ini menunjukkan bagaimana ambisi pemerintah dalam
memperjuangkan kebijakan yang justru tidak pro terhadap rakyat serta sikap pengkhianatan
terhadap konstitusi yang menjadikan Perppu sebagai alat kekuasaan Presiden. Dari sini dapat
kita lihat bahwa politik hukum Indonesia dibawah kepemimpinan rezim saat ini semakin jauh
melenceng.
Substansi Materiil Pasal-Pasal Bermasalah dan Tidak Pro Masyarakat

Alih Daya (Outsourcing)

Pasal 64 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun


2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pada peraturan
ini pemerintah menegaskan jenis dan jumlah pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan yang
tidak, serta UU Ciptaker mengubah istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi alih daya, dalam UU Ciptaker tidak ada lagi batasan
terhadap jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing, maka hal ini akan menyebabkan
ketidakpastian kepada pekerja dan pengusaha baik dari segi jenis pekerjaan dan beban kerja
yang mereka tanggung hingga jaminan atas gaji, asuransi, kesehatan, jaminan kerja, dan
tunjangan lainnya karena tidak adanya aturan dan batasan yang jelas pada undang-undang yang
mengatur tentang jenis pekerjaan yang dapat dilakukan menggunakan tenaga kerja alih daya.

Sistem Upah

Penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK): Pasal 88C memberikan


kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) sebagai
pengganti UMK. UMS dinilai lebih fleksibel dan dinamis dibandingkan UMK, tetapi tidak
menjamin upah minimum yang layak bagi buruh. UMS juga dapat ditetapkan lebih rendah
daripada UMK, sehingga dapat mengurangi perlindungan upah minimum bagi buruh.

Pemberian Upah Murah: Pasal 88 D ayat 2 mengatur tentang pemberian upah yang
ditetapkan mempertimbangkan variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks
tertentu sehingga dalam situasi krisis ekonomi atau bencana alam mengancam pemberian upah
murah yang merugikan pekerja, tanpa memperhatikan kebutuhan hidup layak bagi para
pekerja. Dalam pasal ini juga memunculkan klausul “indeks tertentu” yang dinilai semakin
memuluskan pemberian upah murah.

Ketidakjelasan Upah Minimum: Pasal 88 F memberikan kesempatan bagi oknum


Pemerintah yang menggandeng pelaku usaha tertentu untuk menetapkan upah minimum
melalui formula tersendiri demi keuntungan satu golongan dan mengancam kesejahteraan
kaum pekerja melalui perhitungan upah minimum dengan formula yang tidak berlandasan.
Dalam kondisi darurat, Pemerintah juga dapat mengubah formula penghitungan upah minimum
yang memberikan tekanan dan ketidakpastian bagi buruh dalam mempertahankan
kesejahteraan hidup mereka sehari-hari.

Ketiga pasal ini menjadi perhatian khusus dari buruh dan serikat pekerja karena dinilai
dapat mengurangi hak-hak buruh dalam hubungan kerja. Sebagai contoh, penghapusan UMK
dapat memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk menetapkan upah yang lebih rendah,
sehingga dapat mengurangi upah buruh dan memberikan beban hidup yang lebih berat bagi
mereka.

Waktu Kerja
Pasal 79 menyebabkan berkurangnya hak waktu istirahat buruh, karena pengusaha tidak
wajib memberikan waktu istirahat dua hari per minggu untuk lima hari kerja per minggu.
Selanjutnya, Perppu ini juga menghapus hak istirahat panjang selama 2 bulan bagi buruh yang
telah bekerja minimal 6 tahun. Perppu ini juga tidak mewajibkan pengusaha memberi istirahat
dua hari setiap minggu meski batas waktu 40 jam kerja/minggu dilaksanakan dalam waktu lima
hari atau 8 jam kerja/hari. Dalam pasal ini, buruh bisa dikenakan wajib lembur pada hari yang
seharusnya menjadi waktu istirahat. Selain itu, berdasarkan kecenderungan “jam molor” di
banyak perusahaan, ketentuan ini akan dimanfaatkan pengusaha dengan cara menerapkan 6
hari kerja/minggu namun waktu kerja per/hari yang semestinya hanya 7 jam kerja dinaikkan
menjadi 8 jam kerja (1 jam molor). Dengan cara ini, hari keenam bekerja pada setiap
minggunya tidak dihitung sebagai lembur.

Dampak Lingkungan

Perppu ini memberikan kemudahan bagi para pengusaha tambang yang sebelumnya
telah melanggar peraturan dalam izin usahanya. Pasal 110 A dan 110 B memberikan
kelonggaran bagi para pengusaha tambang untuk menghindari sanksi administratif atau pidana
yang seharusnya diterima atas pelanggaran yang dilakukan. Pasal ini memberlakukan
pemutihan pelanggaran izin berusaha di kawasan hutan. Ini jalan bagi pelaku usaha untuk
menyelesaikan persyaratan administrasi paling lambat 2 November 2023. Selain itu, terdapat
Pasal 128 A yang memberikan subsidi untuk oligarki dan royalti 0% bagi perusahaan yang
melakukan nilai tambah terhadap tambang batu bara. Pasal-pasal ini tentu dapat mengakibatkan
pengabaian terhadap aspek keselamatan dan lingkungan, yang pada akhirnya akan berdampak
buruk bagi masyarakat sekitar tambang. Pasal ini tidak memadai untuk melindungi hak-hak
masyarakat dan kepentingan lingkungan, serta tidak mempromosikan prinsip-prinsip tata
kelola pertambangan yang baik.
REFERENSI

A. Tresna N., & Lulu A. (2021). MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus
Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua Tahun. URL:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816 Diakses pada
tanggal 16 Maret 2022.

BBC.com. (2023). Diwarnai 'interupsi' dan aksi 'walk out', DPR sahkan Perppu
Ciptaker menjadi UU. URL:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce533g2pd1no Diakses pada tanggal
18 Maret 2022.

Fitri, W., & Hidayah, L. (2021). Problematika terkait Undang-Undang Cipta Kerja di
Indonesia: Suatu Kajian Perspektif Pembentukan Perundang-Undangan. Jurnal
Komunitas Yustisia, 4(2), 725-735.

Hanifah, I. (2021). Peluang tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia berdasarkan
rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum,
6(1), 168-173. https://doi.org/10.30596/delegalata.v6i1.5536Bekerja Di
Indonesia ’, Jurnal Ilmu Hukm, 6(1), pp. 158–173. Available at:
https://doi.org/10.30596/delegalata.v6i1.5536.

Indonesia Corruption Watch. (2023). Siaran Pers-PerPPU Cipta Kerja: Menegaskan


Pembangkangan Konstitusi Oleh Presiden Joko Widodo Dan Penunjukkan
Sikap Koruptif Pemerintah.

Maulidiyanti F. (2022). Terbitnya Perppu Cipta Kerja: Bentuk Pembajakan Demokrasi


dan Tegaskan Pemerintahan Otoritarian.
URL:https://kontras.org/2022/12/31/terbitnya-perppu-cipta-kerja-bentuk-
pembajakan-demokrasi-dan-tegaskan-pemerintahan-otoritarian/ Diakses pada
tanggal 16 Maret 2022.

Nasrudin, N. (2015). TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETENTUAN PASAL 22


AYAT (1) UUD 1945 TENTANG HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG
MEMAKSA SEBAGAI SYARAT PENERBITAN PERPPU. ADLIYA: Jurnal
Hukum dan Kemanusiaan, 9(2), 203-222.

Pandu P. (2023). UU Cipta Kerja Dapat Mengancam Sekaligus Memperbaiki Tata


Kelola Hutan. URL: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/09/uu-
cipta-kerja-dapat-mengancam-sekaligus-memperbaiki-tata-kelola-hutan.
Diakses pada tanggal 15 Maret 2022.
Pujianti S. (2023).Perpu Cipta Kerja Dinilai Tak Memenuhi Syarat Kegentingan
Memaksa. URL: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18845
Diakses pada tanggal 16 Maret 2022.

Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK). (2022). Perppu Ciptaker: Praktik
Ugal-Ugalan dan Pengabaian Pemerintah terhadap Partisipasi Publik yang
Bermakna URL: https://pshk.or.id/publikasi/perppu-ciptaker-praktik-ugal-
ugalan-dan-pengabaian-pemerintah-terhadap-partisipasi-publik-yang-
bermakna/ Diakses pada tanggal 19 Maret 2022.

Sujatnika G. (2023). Perppu Cipta Kerja: Kado Akhir Tahun yang Tak Diinginkan Oleh
Ghunarsa Sujatnika URL: https://law.ui.ac.id/perppu-cipta-kerja-kado-akhir-
tahun-yang-tak-diinginkan-oleh-ghunarsa-sujatnika/ Diakses pada tanggal 14
Maret 2022.

You might also like