You are on page 1of 21

JURNAL

PENGELOLAAN KECEMASAN DAN KETIDAKPASTIAN DALAM

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DI KALANGAN MAHASISWA BATAK

(Studi Kualitatif Komunikasi Antar Budaya pada Proses Pengelolaan Kecemasan


dan Ketidakpastian Mahasiswa Batak di Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Disusun oleh:
Lucia Daniella Siagian
D0218046

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2022
PENGELOLAAN KECEMASAN DAN KETIDAKPASTIAN DALAM
KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DI KALANGAN MAHASISWA BATAK

(Studi Kualitatif Komunikasi Antar Budaya pada Proses Pengelolaan Kecemasan


dan Ketidakpastian Mahasiswa Batak di Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Lucia Daniella Siagian

Firdastin Ruthnia Yudiningrum

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

Abstract
The Batak tribe is one of the largest tribes in Indonesia after the Javanese
and is a tribe known for its wandering habits, one of which is migrating to the island
of Java. This wandering habit is found in Batak students who choose java as their
main destination to continue their higher education, one of which is at Sebelas
Maret University of Surakarta (UNS). However, the Batak and Javanese tribes have
a habit of using regional languages to carry out daily communication, causing a
gap between the anxiety and uncertainty experienced by Batak students in carrying
out interpersonal communication and the outlook or basis of life that is the
benchmark for Batak students when deciding to wander. The purpose of this study
is to see how Batak students manage anxiety and uncertainty in themselves to create
interpersonal communication in effective intercultural communication with
Javanese students.
This research focuses on the theory of managing anxiety and uncertainty or
commonly known as the theory of Anxiety and Uncertainty Management (AUM)
which was pioneered by Gudykunst. This theory sees that a person in his daily life
has certainly experienced anxiety and uncertainty in communicating so that it takes
a way or process to manage it so that the communication that is established can
run well so that it does not affect a person's life. This is what researchers see
happening in Batak students at UNS and is very important to research. The anxiety
and uncertainty in communicating that they feel will certainly affect how they
behave where they wander. For this reason, a process is needed to manage it so
that the attitudes and behaviors of Batak students are well reflected in the place
where they study.
This research uses qualitative research methods with the research tradition
used is the phenomenological tradition. This is considered by the researcher to be
very illustrative of this study where researchers tried to see the life experiences of
Batak students in the process of conducting interpersonal communication with their

1
friends, in this case, Javanese students. With this method, researchers can easily
dig deeper into how Batak students interpret their personal and social worlds. In
addition, this research was conducted on two informants and these informants were
Batak students at UNS. Informants were determined based on purposive
sampling with data collection conducted as in-depth interviews. Data analysis
techniques are carried out by coding data where researchers analyze informant
answers through analysis using verbatim, then open coding, then axial coding, and
the last is selective coding to produce answers to more valid and accurate problem
formulations.
The results showed that Batak students experienced anxiety and uncertainty
when faced with a situation communicating for the first time with Javanese
students. However, from this anxiety and uncertainty, there are ways or processes
that Batak students carry out to manage their anxiety and uncertainty so that the
interpersonal communication they want to build can run effectively. The processes
carried out by Batak students to reduce their anxiety and uncertainty are in ways
that have been described in 10 axioms and 7 categories of superficial causes in
AUM theory. In addition to looking at how Batak students manage the anxiety and
uncertainty that exists within them, researchers also found
that mindfulness attitudes as moderation between anxiety and uncertainty have
been successfully applied by Batak students in their process of managing anxiety
and uncertainty. It is with this mindful attitude that researchers found that
interpersonal communication in intercultural communication that Batak students
want to build runs effectively because of the mindful attitude they have applied.
Keywords: Anxiety and Uncertainty, AUM Theory, Interpersonal Communication,
Intercultural Communication

2
3

Pendahuluan

Suku Batak adalah salah satu suku terbanyak di Indonesia dan sangat identik
dengan ciri khas budayanya. Suku Batak juga terkenal dengan aktivitas
merantaunya dan kebanyakan diataranya adalah mahasiswa. Salah satu Universitas
yang banyak menampung mahasiswa Batak adalah Universitas Sebelas Maret
Surakarta (UNS). Menurut Gluckman (Bruner, 1972, p. 222) orang Batak adalah
orang Batak, dan meskipun mereka merantau dari desa ke kota, hal ini tidak akan
mengubah jati diri atau ideologinya di tempat dia merantau, dan di tempat dia
memilih untuk merantau, dia akan menciptakan struktur sosial berdasarkan wadah
konseptual yang tersedia baginya. Kondisi ini tentunya akan menjadi tantangan
tersendiri bagi setiap individu mahasiswa yang kuliah di UNS karena selain mereka
harus mempertahankan komunikasi budaya yang sudah turun temurun di komunitas
Naposo HKBP Solo, mereka juga harus menciptakan komunikasi yang baik
terhadap sesama mereka mahasiswa Jawa yang kuliah di UNS dalam hal ini teman
akademik mereka. Untuk itulah peneliti tertarik ingin meneliti fenomena ini melihat
mahasiswa Batak yang begitu melekat terhadap budaya mereka sendiri sementara
mereka diharuskan menghadapi situasi dimana mereka harus berkomunikasi
dengan mahasiswa yang berbeda kebudayaan dalam mendukung prestasi akademik
mereka.

Perbedaan budaya dan suku menjadi tantangan tersendiri bagi suku Batak
berkuliah di tempat dan budaya yang berbeda. Mereka tentu kesulitan untuk
berkomunikasi lantaran bahasa yang didengarkan sehari-hari merupakan bahasa
yang sulit dimengerti. Selain itu, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari pun tentu
berbeda jauh yang diakibatkan mahasiswa Batak sebelumnya tidak pernah
menginjakkan kaki di pulau Jawa. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Herman dan Schield tahun 1961, dimana menyebutkan bahwa akibat
psikologis yang akan terjadi ketika seseorang berada dalam situasi baru adalah
kurangnya rasa aman, ketidaktahuan tentang potensi yang melekat dalam situasi
tertentu, sarana untuk mencapai tujuan, dan kemungkinan yang akan terjadi atas
tindakan yang dilakukan (Herman & Schield, 1961, p. 165).
4

Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 75.45% penduduk di Indonesia menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari dan suku Batak mendapat posisi ketiga
menjadi suku paling banyak di Indonesia sebanyak 3.58% penduduk dengan 1.55%
diantaranya menggunakan bahasa daerah Batak untuk komunikasi sehari-hari
sementara suku Jawa menjadi suku paling banyak nomor 1 di Indonesia dengan
total 40.22% dan 31.79% diantaranya menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi sehari-hari (BPS, 2010). Hal ini menunjukkan hampir setengah dari
penduduk suku Batak di Indonesia terbiasa dengan bahasa Batak dalam komunikasi
sehari-hari begitupun masyarakat Jawa yang hampir keseluruhan menggunakan
bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Hal inilah yang mendorong peneliti
melihat bahwa komunikasi yang dijalin mahasiswa Batak yang ada di UNS dapat
menyebabkan kecemasan dan ketidakpastian.

Aspek utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi


antarbudaya dimana komunikasi dalam ranah ini tentu berbicara mengenai
komunikasi yang dilakukan pada dua atau lebih kebudayaan yang berbeda.
Sementara level atau tingkatan yang diteliti dalam penelitian ini adalah komunikasi
interpersonal atau komunikasi antar pribadi. Komunikasi interpersonal sendiri
adalah komunikasi yang melibatkan sejumlah kecil orang yang berinteraksi secara
eksklusif satu sama lain sehingga mereka memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan pesan mereka secara khusus untuk orang lain serta memperoleh
interpretasi langsung dari orang lain (Lustig & J, 2010, p. 19). Dalam hal ini,
peneliti akan fokus kepada level komunikasi interpersonal bukan pada aspek
komunikasi antarbudaya karena peneliti dalam penelitian ini ingin melihat
bagaimana mahasiswa Batak dapat menciptakan ikatan pribadi dengan mahasiswa
Jawa lewat pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian yang mereka lakukan.
Selain itu, dalam mengelola kecemasan dan ketidakpastian, seseorang perlu
melakukan komunikasi yang selektif dan berkelanjutan dimana komunikasi ini
berbicara pada level komunikasi interpersonal.
5

Penelitian ini akan fokus pada teori Anxiety and Uncertainty Management
(AUM) dimana teori ini akan digunakan dalam menjelaskan proses pengelolaan
kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa Batak dalam melakukan komunikasi
interpersonal yang efektif. Sementara aspek atau elemen komunikasi yang akan
diteliti dalam permasalahan ini adalah komunikator dan proses komunikasi
interpersonal yang berlangsung saat terjadinya interaksi. Realitas ini merupakan
sebuah masalah yang penting untuk diteliti karena yang ideal dan menjadi
harapannya adalah mahasiswa Batak di UNS dapat mengurangi kecemasan dan
ketidakpastian dalam berkomunikasi interpersonal dengan kerabat mereka yang
merupakan mahasiswa suku Jawa untuk mendukung mereka dalam mencapai
tujuan mereka untuk merantau.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan diangkat


pada penelitian ini adalah bagaimana pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian
dalam komunikasi interpersonal mahasiswa Batak di Universitas Sebelas Maret
Surakarta (UNS)?

Tinjauan Pustaka

1. Komunikasi Antar Budaya


Komunikasi antar budaya menurut (Ting-Toomey, 1999, pp. 16-17)
merupakan proses pertukaran simbolik dimana seseorang dari dua atau lebih
komunitas etnik yang berbeda menegosiasikan makna yang ditukarkan dalam
sebuah interaksi yang interaktif. Menurut Devito dalam bukunya yang berjudul
“The Interpersonal Communication Book”, komunikasi antar budaya
merupakan komunikasi yang secara budaya memiliki perbedaan kepercayaan,
nilai, dan cara bertindak (Devito, 2013, p. 53). Selain itu, budaya juga sangat
mempengaruhi setiap aspek pengalaman manusia dalam berkomunikasi dan
pesannya pun memiliki konteks yang unik dan spesifik dimana konteks ini akan
mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi yang dilakukan. Hal inilah yang
disebut Lustig dan Koester sebagai sebuah mindset yang secara tidak sadar
6

akan menuntun seseorang ketika menilai suatu situasi ataupun mempersepsi


suatu keadaan (Lustig & Koester, 2003, p. 84).
Budaya setidaknya memiliki tiga macam pola yang berusaha menjelaskan
mindset atau persepsi seseorang dalam menghadapi situasi atau keadaan
tertentu. Ketiga pola tersebut adalah kepercayaan, nilai, dan norma.
Kepercayaan diasumsikan sebagai sebuah kebenaran oleh manusia, nilai
menjelaskan cara manusia berkomunikasi, dan norma yang merupakan
manifestasi dari kepercayaan dan nilai (Lustig & Koester, 2003, p. 84). Ketiga
pola ini sering sekali digunakan oleh semua kebudayaan dalam kehidupan
sehari-hari dimana persepsi mereka akan mempengaruhi informasi dan
pengetahuan yang diperoleh. Hal inilah yang menyebabkan budaya
memberikan pengaruh yang sangat besar pada perilaku individu, termasuk di
dalamnya perilaku berkomunikasi karena persepsi merupakan hal pokok dalam
konteks komunikasi antar budaya (Rogers & Steinfatt, 1999, p. 79).
Pentingnya sebuah budaya sebagai latar belakang seseorang saat melakukan
komunikasi menjadikan budaya sangat berpengaruh terhadap kelancaran atau
keberhasilan seseorang dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yang menurut Lustig dan Koester sebagai kompetensi budaya
dimana kompetensi sebuah budaya sangat tergantung pada pengetahuan,
tindakan, dan motivasi yang terjadi dalam sebuah konteks dengan pesan yang
sesuai (Lustig & Koester, 2003, p. 105). Ketiga faktor ini sangat berpengaruh
terhadap keputusan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Misalnya ketika seseorang merasa cemas, takut, atau kehilangan kepercayaan
diri, maka motivasi, pengetahuan, serta kecakapan dalam berkomunikasinya
akan negatif dan menghindari interaksi dengan orang lain, begitupun
sebaliknya. Untuk itu, ketika motivasi, pengetahuan, dan keterampilan
komunikasi seseorang meningkat maka kompotensi budaya seseorang tersebut
pun akan meningkat.
2. Komunikasi Interpersonal dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antar budaya sangat erat kaitannya dengan komunikasi
interpersonal atau antar pribadi dimana komunikasi interpersonal menjelaskan
7

bagaimana seseorang dalam suatu hubungan berkomunikasi satu dengan yang


lain, mengapa mereka memilih pesan yang mereka pilih, dan pengaruh dari
pesan tersebut terhadap hubungan dan individu tersebut (Littlejohn & Foss,
2009, p. 546). Sama halnya dengan komunikasi antar budaya, dimana
komunikasi dalam konteks ini juga menjelaskan hubungan komunikasi satu
dengan yang lainnya namun dengan para pelaku-pelaku komunikasi yang
berbeda kebudayaan.
Menurut (DeVito, 1997), efektifitas suatu komunikasi antar budaya dapat
dilihat dari pendekatan komunikasi antar pribadi dengan perspektif humanistik.
Perspektif atau sudut pandang ini menekankan pada keterbukaan, empati, sikap
mendukung, dan kualitas lainnya dalam menciptakan interaksi yang bermakna,
jujur, dan memuaskan (DeVito, 1997, p. 185). Kelima kualitas yang dimaksud
meliputi keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung
(supportiveness), sikap positif, dan kesetaraan (equality). Jika seluruh kualitas
dalam perspektif humanistik mampu dicapai dan diterapkan oleh individu yang
melakukan komunikasi antar budaya, maka individu tersebut dipandang
sebagai individu itu sendiri tanpa ada atribut yang melatarbelakanginya. Maka
dari itu, komunikasi yang berlangsung dapat dikatakan sebagai komunikasi
antar pribadi atau interpersonal dan bukan komunikasi antar budaya lagi.
3. Teori Pengelolaan Kecemasan dan Ketidakpastian atau Anxiety &
Uncertainty Management Theory (AUM) oleh William B. Gudykunst
Sebagai Model Proses Pengelolaan Kecemasan dan Ketidakpastian
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Pengelolaan
Kecemasan dan Ketidakpastian atau Anxiety & Uncertainty Management
Theory (AUM) yang dipelopori oleh William B. Gudykunst. Teori ini
merupakan teori yang dikembangkan Gudykunst dari Teori Pengurangan
Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory / URT) dari Berger &
Calabrese. Melalui teori AUM, Gudykunst ingin melihat bagaimana URT
diaplikasikan dalam kalangan anggota kelompok terhadap adaptasi budaya
baru. Pada tahun 1995, Gudykunst bersama rekan-rekannya menggunakan
beberapa tahapan dalam mengembangkan teori URT menjadi teori AUM
8

dimana teori ini tidak hanya berfokus pada komunikasi yang efektif saja namun
juga mencakup penyesuaian antarbudaya (Gudykunst, 2005, pp. 282-283). Jika
Berger menyebut ketidakpastian (uncertainty) sebagai variabel dalam kunci
komunikasi yang efektif, Gudykunst mengangkat kecemasan (anxiety)
kedalam kedudukan yang sama. Gudykunst meyakini bahwa ketidakpastian
dan kecemasan adalah ancaman kembar yang harus dikelola dalam mencapai
komunikasi yang efektif.
Ketidakpastian (uncertainty) dalam teori ini diartikan sebagai
ketidakmampuan seseorang dalam memprediksi atau menjelaskan perilaku diri
sendiri atau orang lain. Menurut Berger, ketidakpastian yang dialami seseorang
terjadi ketika berinteraksi (Morissan & Wardhany, 2009, p. 131). Seseorang
memiliki ketidakpastian yang lebih besar ketika berinteraksi dengan orang
asing dibandingkan saat berinteraksi dengan anggota kelompok (Gudykunst &
Kim, 2003, p. 30). Berger menyoroti adanya dua perbedaan tipe ketidakpastian
yang terlihat dalam interaksi seseorang dengan orang asing (Gudykunst & Kim,
2003, p. 30), yaitu:
a. Ketidakpastian terhadap sikap, perasaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
perilaku orang asing.
b. Ketidakpastian yang melibatkan penjelasan dari perilaku orang asing.
Berbeda dengan ketidakpastian, kecemasan (anxiety) diartikan sebagai
perasaan tidak nyaman, khawatir, tegang, ataupun gelisah terhadap sesuatu
yang mungkin terjadi. Hal ini disebut Gudykunst pasti pernah dan akan dialami
oleh semua orang namun salah satu alasan meningkatnya kecemasan seseorang
terjadi ketika seseorang harus dihadapkan dengan komunikasi antarbudaya
atau berinteraksi dengan orang asing (Gudykunst & Kim, 2003, p. 34).
3.1 Aksioma dalam Anxiety and Uncertainty Management Theory (AUM)
yang Menjelaskan Proses Pengelolaan Kecemasan dan
Ketidakpastian
Di dalam teori AUM, terdapat 39 dari 47 aksioma yang menyajikan
hubungan sebab akibat dengan kecemasan dan ketidakpastian yang
biasanya terjadi dalam komunikasi antarbudaya. Seluruh aksioma ini tidak
9

berlaku di segala situasi dan aksioma juga dapat dikombinasikan untuk


menurunkan teori AUM. Untuk itu peneliti hanya akan menggunakan 10
aksioma yang peneliti anggap sangat berhubungan dengan proses
pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa Batak dalam
berkomunikasi. 10 aksioma tersebut secara garis besar telah disajikan oleh
Griffin dalam bukunya kedalam tujuh kategori penyebab yang nampak
(superficial causes), diantaranya (Griffin E. , 2006, pp. 433-436):
a. Self Concept (Konsep Diri)
Dalam kategori ini, Gudykunst mengusulkan lima aksioma dalam
konsep diri yang menurutnya dapat mempengaruhi ketidakpastian dan
kecemasan seseorang ketika berinteraksi dengan orang asing. Namun
peneliti hanya akan menggunakan aksioma 3 dimana;
Aksioma 3: Peningkatan harga diri seseorang ketika berinteraksi
dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan
peningkatan kemampuan dalam memprediksi perilaku orang asing
tersebut secara akurat (Griffin E. , 2006, p. 433).
b. Motivation to Interact with Stranger (Motivasi untuk Berinteraksi
dengan Orang Asing)
Gudykunst menyajikan 4 aksioma dalam kategori ini yang
berhubungan dengan kebutuhan untuk memprediksi, kebutuhan akan
rasa inklusi, dan kebutuhan untuk mempertahankan konsep diri.
Namun peneliti hanya akan menggunakan aksioma 9, dimana;
Aksioma 9: Peningkatan kepercayaan diri seseorang pada
kemampuan untuk memprediksi perilaku orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan dan akan menghasilkan
peningkatan kepercayaan diri dalam memprediksi perilaku orang
asing (Griffin E. , 2006, p. 433).
c. Reaction to Strangers (Reaksi kepada Orang Asing)
Kategori ini menyajikan 6 aksioma yang menurut Gudykunst
melibatkan sejauh mana seseorang dengan gaya pemrosesan informasi
yang berbeda dapat mengalami kecemasan dan ketidakpastian dalam
10

pertemuan dengan orang asing. Selain itu, kategori ini juga melihat
bagaimana seseorang dapat memprediksi perilaku mereka ketika
berinteraksi dengan orang asing. Peneliti hanya akan berfokus pada
aksioma 10 dan 13, dimana;
Aksioma 10: Peningkatan kemampuan seseorang untuk memproses
informasi secara kompleks tentang orang asing akan menghasilkan
penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuannya dalam
memprediksi perilaku orang asing tersebut secara akurat.
Aksioma 13: Peningkatan toleransi seseorang terhadap ambiguitas
akan menghasilkan penurunan kecemasan (Griffin E. , 2006, p. 434).
d. Social Categorization of Strangers (Kategori Sosial atas Orang
Asing)
Terdapat 7 aksioma yang diusulkan Gudykunst dalam kategori ini
namun peneliti hanya akan menggunakan dua aksioma yang menurut
peneliti paling sesuai dengan penelitian ini, yaitu;
Aksioma 17: Peningkatan kesamaan pribadi yang dirasakan antara
diri sendiri dengan orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan peningkatan kemampuan diri sendiri untuk
memprediksi perilaku orang asing tersebut secara akurat.
Aksioma 20: Peningkatan persepsi bahwa diri sendiri berbagi
identitas menjadi ingroup superordinate atau menerima diri sendiri
sebagai satu kesatuan dengan kelompok orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan
dalam memprediksi perilaku orang asing tersebut secara akurat
(Griffin E. , 2006, pp. 434-435).
e. Situational Processes (Proses-Proses Situasional)
Proses-proses situasional terdiri dari kekuatan ingroup, tugas
kooperatif, dan kehadiran anggota kelompok ingroup. Dari ketiga
cakupan ini, seseorang perlu melihat adakah kekuatan ingrup yang
terstruktur, dukungan institusi yang normatif, dan kehadiran anggota-
anggota grup lainnya yang berpotensi meningkatkan kepercayaan diri
11

seseorang dalam berinteraksi dengan orang asing. Kategori ini


mencakup 4 aksioma namun peneliti hanya akan fokus kepada satu
aksioma, yaitu;
Aksioma 26: Peningkatan kekuatan yang seseorang rasakan yang
dimiliki atas orang asing atau kondisi yang melihat bahwa seseorang
memiliki kelebihan dari orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan penurunan akurasi prediksi mereka tentang perilaku
mereka
f. Connections with Strangers (Koneksi dengan Orang Asing)
Kategori ini secara khusus menilai bahwa ketika seseorang memiliki
daya tarik terhadap orang asing yang memiliki budaya yang berbeda
dengannya maka akan menurunkan kecemasannya manakala
kecemasannya tiba-tiba mengalami peningkatan. Terdapat 5 aksioma
yang diusulkan dalam kategori ini namun peneliti hanya akan fokus
pada 2 aksioma, yaitu:
Aksioma 27: Peningkatan ketertarikan seseorang pada orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan
kepercayaan dirinya dalam memprediksi perilaku orang asing.
Aksioma 31: Peningkatan jaringan yang dibagi atau dimiliki
seseorang dengan orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan meningkatkan kemampuan mereka dalam
memprediksi perilaku mereka secara akurat.
g. Ethical Interaction (Interaksi Etis)
Sikap etis yang meliputi saling menghormati, menghargai, dan
memperlakukan sesama manusia sesuai harkat dan martabatnya
merupakan salah satu kategori yang dapat meningkatkan dan
menurunkan kecemasan seseorang. Kategori ini mencakup tiga poin
penting diantaranya menjaga martabat, keterlibatan moral, dan
menghormati orang asing menjadi dasar yang penting untuk
diterapkan seseorang dalam berada di kebudayaan baru.
12

Aksioma 34: Peningkatan inklusivitas moral seseorang atau


menghormati dan mengakui keberagaman budaya orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan mereka dalam melakukan
interaksi.
4. Mindfulness: Dasar Terbentuknya Komunikasi Antar Pribadi dalam
Komunikasi Antar Budaya yang Efektif
Mindfulness adalah proses dimana seseorang secara sadar mengelola
kecemasan dan ketidakpastian dalam dirinya terhadap orang lain dalam situasi
komunikasi (Griffin E. , 2006, p. 431). Menurut Gudykunst, komunikasi efektif
salah satunya sangat ditentukan oleh apakah seseorang tersebut mindfull atau
mindless dalam mengelola kecemasan dan ketidakpastian karena dalam
mengelolanya seseorang harus memiliki perhatian penuh terhadap komunikasi
yang dilakukan. Ketika seseorang terlalu fokus pada kebiasaan atau perilaku
umum, maka seseorang tersebut tidak akan memiliki perhatian yang baik
mengenai apa yang dilakukan atau dikatakannya. Langer menyatakan bahwa
ketika seseorang menghadapi situasi yang relatif baru, dirinya akan dengan
sadar mencari isyarat-isyarat untuk menuntunnya dalam berperilaku.
Sebaliknya, jika seseorang berulang kali menghadapi situasi komunikasi yang
relatif samalah yang akan menyebabkan kesadarannya dalam berperilaku akan
berkurang (mindless) (Gudykunst & Kim, 1997, p. 40).
Langer mengklasifikasikan tiga karakteristik yang menggambarkan
mindfulness pada seseorang, yaitu: creating new categories (membuat
kategori-kategori baru), being open to new information (terbuka terhadap
informasi baru), dan being aware of more than one perspective (mengenali
beragam perspektif orang asing). Dalam perspektif komunikasi, mindful
membutuhkan empat kecakapan sehingga menghasilkan komunikasi yang
efektif dan termasuk di dalamnya kekuatan kepribadian, kecakapan
komunikasi, penyesuaian psikologis, dan kesadaran budaya (Jandt, 1998, pp.
41-44).

Metodologi Penelitian
13

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode


fenomenologis terhadap 2 dari 5 informan mahasiswa Batak. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder dimana data
didapatkan melalui buku, penelitian terdahulu, serta jawaban dari informan. Selain
itu, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam
dengan uji validitas data menggunakan metode triangulasi sumber agar penulis
dengan mudah membandingkan data temuan di lapangan. Selanjutnya, peneliti
menggunakan metode kualitatif yang meliputi pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, penarikan, dan kesimpulan sebagai teknik analisis data.

Sajian dan Analisis Data

Sajian dan analisis data penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
untuk mengetahui gambaran seperti apa kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa
Batak di UNS yang berlanjut pada bagaimana mereka mengelola kecemasan dan
ketidakpastian yang mereka rasakan ketika dihadapkan berkomunikasi dengan
mahasiswa Jawa. Hasil menunjukkan bahwa mahasiswa Batak mengalami
kecemasan dan ketidakpastian saat mereka dihadapkan berkomunikasi untuk
pertama kalinya. Adapun kecemasan yang dirasakan mahasiswa Batak adalah
terkait bagaimana bahasa, aksen, serta merasa minoritas menjadikan mereka takut,
ragu, dan malu untuk melakukan komunikasi. Berikut salah satu pernyataannya.

“Ada kak kayak di prodiku itu eee satu aku minoritas karna Batak trus kedua
aku non muslim jadi agak kurang percaya diri gitu kak” (LUB, Wawancara 2
April 2022)

Selain itu, mahasiswa Batak juga terbukti mengalami ketidakpastian saat


melakukan komunikasi untuk pertama kalinya dengan mahasiswa Jawa.
Ketidakpastian yang mereka rasakan berbeda-beda tergantung situasi yang sedang
mereka hadapi. Ketidakpastian yang mahasiswa Batak rasakan terkait dengan
ketidakmampuan mereka memprediksi perilaku teman-teman mereka mahasiswa
Jawa sehingga apa yang mereka persepsikan terhadap mahasiswa Jawa menjadi
tidak akurat dan tidak pasti. Berikut salah satu pernyataanya.
14

“Ada kak satu orang aku nanya gini. Eee halo aku Rut dari Medan, Sumatera
Utara gitu kan kak trus aku nanya kamu orang mana. Orang Karanganyar
Cuma dijawab gitu dan gak ada nanya balik gitu kan kak trus eee aku jadi
merasa berarti dia gak mau dekat gitu mungkin karna ngeliat latar belakangku
gitu kak. Sampe sekarang sih kak kami gak terlalu dekat juga dan nanya-
nanya tugas juga gak pernah ke dia karna aku tahu dia bakalan gak open juga
gitu kak” (RST, 20 April 2022)

Pengelolaan Kecemasan dan Ketidakpastian

Berdasarkan yang sudah peneliti paparkan di atas bahwa mahasiswa Batak


mengalami kecemasan dan ketidakpastian saat melakukan komunikasi
interpersonal untuk pertama kalinya dengan mahasiswa Jawa, namun mereka
berhasil mengelolanya dengan baik berdasarkan 7 kategori yang sudah disediakan
oleh Gudykunst. Bentuk pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian yang
dilakukan mahasiswa Batak akan peneliti sajikan di bawah ini.

1. Self Concept (Konsep Diri)


Pada kategori ini mahasiswa Batak menunjukkan bagaimana mereka
menghargai budaya dan suku mereka sendiri di depan teman-temannya
mahasiswa Jawa sehingga mendorong mereka untuk tidak merasa cemas dalam
melakukan komunikasi interpersonal dengan teman-teman mereka. Berikut
salah satu pernyataannya.
“Makin hari makin kesini eee apalagi mereka kayak tahu aku orang
batak mereka merasa unik gitu kan kak jadinya mereka pengen belajar
bahasa Batak gitu dari aku kak (ketawa)” (RST, wawancara 20 April
2022)
2. Motivation to Interact with Stranger (Motivasi untuk Berinteraksi dengan
Orang Asing)
Dalam kategori ini pun, mahasiswa Batak menunjukkan bahwa mereka
mampu memprediksi perilaku komunikasi mahasiswa Jawa yang menjadi
teman-teman mereka dengan baik. Hal ini tentu mendorong mereka dalam
15

melakukan komunikasi dan interaksi terus-menerus dengan mahasiswa Jawa.


Berikut salah satu pernyataannya.
“Eee biasanya kalo ada yang baru gitu kak aku tanya ke temanku yang
udah kenal misalnya si A itu orangnya gimana ya trus ada yang bilang
dia asik kok Bel tanya aja atau ada temanku bilang dia orangnya gak
suka bertele-tele jadi langsung aja gitu trus ada juga yang bilang jangan
spam bel mending kamu langsung chatnya panjang-panjang jadi kalo
dibaca bisa langsung tau intinya. Karna kan kak aku sering juga chat
singkat-singkat jadikan banyak yang bilang jangan Bel gitu. Jadi aku
bisa menempatkan posisiku kalo lagi ngomong atau berinteraksi sama
dia gitu kak” (SBS, 4 April 2022)
3. Reaction to Strangers (Reaksi kepada Orang Asing)
Pada kategori ini, mahasiswa Batak berhasil menunjukkan bahwa mereka
mampu memproses informasi yang mereka dapatkan secara kompleks dalam
proses mereka mengurangi kecemasan dan ketidakpastian yang mereka
rasakan. Berikut salah satu pernyataannya.
“Dulu kan aku ikut HMDK kak ikut organisasi kan, jadi waktu
pembagian jobdesk gitu nah aku sering kali kayak setelah rapat aku
nanya lagi ke ketuanya untuk mastiin apakah pemahamanku tentang eee
misalnya tentang jobdesk itu benar-benar ya seperti yang kupahami atau
gak dan ternyata itu eee aku sering miss komunikasi. Maksudnya eee
salah mengartikan apa yang mereka bilang kekgitu” (SBS, 4 April
2022)
Selain itu, mahasiswa Batak juga telah memiliki toleransi terhadap
ambiguitas dimana mereka tidak ingin informasi yang mereka dapatkan
membuat teman-teman mereka mahasiswa Jawa salah mempersepsikan
mereka. Berikut pernyataannya.
“Ehm jujur aku sering banget salah dipersepsikan temanku kak tapi aku
juga gak tau gitu mungkin karna logatku terlihat aneh atau nada
bicaraku aneh (ketawa) tapi sampe saat ini aku mencoba buat
menyesuaikan logatku sih biar terlihat baik-baik aja di depan mereka
16

eee kayak ngeliat mereka ngomongnya gimana ke sesama mereka dan


aku belajar menyesuaikan gitu biar omonganku gak salah diartikan”
(LUB, 2 April 2022)
4. Social Categorization of Strangers (Kategori Sosial atas Orang Asing)
Kategori ini menunjukkan bagaimana mahasiswa Batak dalam proses
mereka mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang dirasakan, mereka
melihat kesamaan yang mereka miliki dengan teman-teman mereka mahasiswa
Jawa mampu mendorong mereka untuk percaya diri dalam melakukan
komunikasi. Berikut salah satu pernyataannya.
“Aku menemukan kesamaan yang berbeda sih kak tiap kali ketemu
temenku. Eee kayak misalnya nongkrong kemarin di Burjo pas salah
satu temenku ngomong aku tiba-tiba mikir ih aku juga pernah ngerasain
itu dan aku spontan gitu ketawa trus pas eee kerja kelompok dengan
orang yang sama dia tiba-tiba lagi bahas apa dan aku juga relate dengan
pembahasannya. Tapi aku kadangnya merespon biasa aja sih kak tapi
dari sana aku jadi termotivasi buat gak takut ngobrol sama si temenku
itu” (LUB, 2 April 2022)
Selain itu, mahasiswa Batak juga mulai menerima diri mereka menjadi
bagian dari teman-teman mereka mahasiswa Jawa. Hal ini mereka lakukan agar
persepsi yang salah di awal terhadap teman-teman mereka dapat mereka
hilangkan dan mulai bersahabat dengan lingkungan mereka. Berikut salah satu
pernyataannya.
“Nah dari situ aku kayak oh iya ya benar juga kalo aku kekgini terus
eee kapan bisanya kekgitu jadi mulailah aku awal-awalnya di kelasku
ya memang agak lucu sih kak sok asiklah awalnya. Ada yang ngechat
kubalasin kekgitu eee tapi ya walaupun aku kekgitu gak langsung eee
banyak temanku” (SBS, 4 April 2022)
5. Situational Processes (Proses-Proses Situasional)
Kategori ini menunjukkan bagaimana mahasiswa Batak menjadikan
kelebihan mereka menjadi salah satu proses mereka mengelola kecemasan dan
17

ketidakpastian yang mereka rasakan ketika melakukan komunikasi


interpersonal dengan mahasiswa Jawa. Berikut salah satu pernyataannya.
“Eee pernah sih kak kayak kami kan kak ekonomi dan matematika juga belajar
tapi teman-temanku kebanyakan IPS kan kak padahal aku waktu SMA IPA.
Jadi waktu belajar matematika di kuliah hal-hal dasar gitu temanku kadang lupa
kan kak mungkin karna gak terlalu mendalami juga pas SMA dan aku bisa
mendalami dalam hal matematika itu jadi mereka lebih sering nanya gitu kan
kak. Jadi aku juga jadi lebih percaya diri gitu menjelaskannya gitu kak” (RST,
20 April 2022)
6. Connections with Strangers (Koneksi dengan Orang Asing)
Kategori ini menunjukkan bagaimana daya tarik yang diciptakan sendiri
oleh mahasiswa Batak dapat menarik mereka untuk tidak cemas dalam
melakukan komunikasi. Daya tarik akan terlihat dari pola komunikasi yang
mereka lakukan apakah hanya sekedar komunikasi formal atau terdapat
komunikasi informal pula. Daya tarik tersebut tentu dapat menghasilkan
kedekatan yang lebih intim dan mampu menghasilkan komunikasi yang baik
pula. Berikut salah satu pernyataannya.
“Aku kayak ngeliat sih kak kayak misalnya di organisasi ada satu orang
yang menonjol banget dan itu kayak eee menarik diriku untuk pengen
kayak dia tapi bukan dalam artian niru ya cuman jadi ada dorongan aja
mencoba lebih percaya diri kayak dia. Misalnya nih ya temanku itu suka
mengutarakan pendapat di depan umum nah aku jadi termotivasi dan
pas ada kuliah gitu aku mencoba memberanikan diri juga buat nanya
dosen gitu” (LUB, 26 April 2022)
Selain itu, dalam membangun koneksi dengan mahasiswa Jawa pun,
mahasiswa Batak berhasil meningkatkan jaringan mereka sebagai bentuk
mereka mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang dirasakan. Berikut salah
satu pernyataannya.
“Aku tuh awalnya udah memotivasi diri sih kak buat eee ikut organisasi
kayak selain nambah pengalaman aku juga berharapnya punya teman
dari sana makanya sekarang aku juga lagi aktif di himpunan dan
18

persekutuan dan eee puji Tuhannya juga bisa dapat teman dari sana
meskipun ya lebih deketnya ke naposo sih kak (ketawa)” (LUB, 26
April 2022)
7. Ethical Interaction (Interaksi Etis)
Kategori yang terakhir menunjukkan bahwa mahasiswa Batak dalam proses
mereka mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang dirasakan, mereka
sudah mampu menghormati dan menghargai budaya mahasiswa Jawa sehingga
mendorong mereka melakukan interaksi terus-menerus dengan mahasiswa
Jawa. Berikut salah satu pernyataannya.
“Akhir-akhir ini sih aku jadi lebih paham aku posisinya dimana
sekarang kayak dulu kan eee aku masih mikir apasih kayak gini dan gak
nyaman dengan lingkunganku tapi sekarang aku jadi bisa menerima oh
sekarang aku lagi jauh dari orangtua dan aku lagi di tempat yang bukan
tempatku gitu jadi lebih menerima aja gitu” (LUB, 26 April 2022)
Mindfulness sebagai Dasar Komunikasi Interpersonal dalam Konteks
Komunikasi Antar Budaya yang Efektif
Terbuka dan mengenali perspektif teman-teman informan yang merupakan
mahasiswa Jawa diartikan sebagai mindfulness dalam teori Anxiety and Uncertainty
Management (AUM). Ketika mahasiswa Batak dapat terbuka dan mengenali
perspektif teman-temannya mahasiswa Jawa, maka komunikasi interpersonal akan
terbentuk secara efektif. Komunikasi interpersonal yang efektif dapat dikondisikan
sebagai mahasiswa Batak yang sudah dapat mengatasi kecemasan dan
ketidakpastian dalam dirinya ketika dihadapkan dalam berkomunikasi dengan
teman-temannya mahasiswa Jawa. Maka dari itulah peneliti menyimpulkan bahwa
mahasiswa Batak sudah mampu terbuka dan mengenali perbedaan perspektif
diantara teman-temannya sehingga hal tersebut yang mendorong mereka untuk
tidak merasa cemas dan tidak pasti dalam melakukan komunikasi dengan teman-
teman mereka mahasiswa Jawa. Berikut salah satu pernyataannya.
“Caraku mengatasinya eee aku jadi lebih terbuka kak kayak oh ternyata
selama ini yang kupikirkan soal mereka gak benar trus aku mulai gak takut
lagi dan mulai mau speak up kekgitu kak” (SBS, 4 April 2022).
19

Kesimpulan

Penelitian ini menekankan pada pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian


yang dilakukan mahasiswa Batak untuk mengurangi kecemasan dan ketidakpastian
yang mereka rasakan ketika diharuskan untuk melakukan komunikasi interpersonal
dengan mahasiswa Jawa. Penelitian ini merujuk pada teori pengelolaan kecemasan
dan ketidakpastian milik Gudykunst atau yang biasa dikenal dengan teori Anxiety
and Uncertainty Management (AUM). Dari penelitian yang dilakukan dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kecemasan dan ketidakpastian yang
dirasakan mahasiswa Batak tergantung dengan situasi atau kondisi komunikasi
yang sedang mereka hadapi. Namun meskipun kecemasan dan ketidakpastian yang
mereka rasakan berbeda-beda, mereka sudah mampu mengelolanya dengan baik
terlihat dari kemampuan yang sudah mereka miliki, ciptakan, serta bentuk dalam
setiap proses komunikasi yang terjadi. Selain itu, mereka juga terus-menerus
membangun motivasi dari dalam diri mereka sendiri sehingga proses pengelolaan
kecemasan dan ketidakpastian yang mereka lakukan terus bergerak ke arah yang
positif. Hal ini didorong dengan keinginan mereka untuk bersikap terbuka dan
mengenali perspektif teman-teman mereka mahasiswa Jawa dalam melakukan
setiap prosesnya sehingga tercipta komunikasi interpersonal yang efektif antara
mereka dengan teman-teman mereka mahasiswa Jawa.
20

Daftar Pustaka

BPS. (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari


Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bruner, E. M. (1972). Batak Ethnic Associations in Three Indonesian Cities.
Southwestern Journal Of Anthropology, Vol. 28, No. 3, 222.
DeVito, J. A. (1997). Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Proffesional Books.
Devito, J. A. (2013). The Interpersonal Communication Book (13th Edition ed.).
Singapura: Pearson.
Griffin, E. (2006). A First Look at Communication Theory (6th ed.). Boston:
McGraw-Hill.
Gudykunst, W. B. (2005). Theorizing About Intercultural Communication.
Thousand Oaks, CA: SAGE Publication, Inc.
Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. (1997). Communicating with Strangers: An
Approach to International Communication (3rd ed.). New York: McGraw-
Hill.
Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. (2003). Communication with Strangers (4th ed.).
New York: McGraw-Hill.
Herman, S., & Schield, E. (1961). The Stranger Group in Cross-Cultural
Interaction. Sociometry(24), 165-176. Retrieved March 12, 2022
Jandt, F. (1998). Intercultural Communication, an Introduction (2nd Edition ed.).
CA: SAGE Publication, Inc.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory.
Mexico: University of New Mexico.
Lustig, M. W., & J, K. (2010). Intercultural Competence: Interpersonal
Communication Across Cultures. Boston: Pearson Education, Inc.
Lustig, M. W., & Koester, J. (2003). Intercultural Competence: Interpersonal
Communication Across Cultures. USA: Allyn & Bacon Publication.
Morissan, & Wardhany, A. C. (2009). Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indah.
Rogers, E. M., & Steinfatt, T. M. (1999). Intercultural Communication. Illinois:
Waveland Press.
Ting-Toomey, S. (1999). Communication Across Cultures. New York: Guilford.

You might also like