You are on page 1of 14

言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)

Volume 7 No.1, Juni 2019

STRUKTUR SEMANTIS VERBA ‘JATUH’ DALAM BAHASA JEPANG


SUBTIPE TERJADI-BERGERAK:
KAJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI

Irda Liza Putri1,Darni Enzimar Putri2, Rahtu Nila Sepni3


1, 2, 3
Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Abstract

Expressing all the meanings expressed in a language is something that can be


learned from Natural Semantic Metalanguage (NSM) theory. NSM is a theory put
forward by Anna Wierzbicka and Goddard which began to be developed in 1972.
The study of this research discussed about semantic structure of ‘fall’ verb in NSM
theory. The purpose of this study is to know and understand Japanese verbs that
are categorized into 'fall' verbs, explain how the semantic primitives of the 'fall'
verb in Japanese, and describes the semantic structure of the 'fall' verb in Japanese
that belongs to the HAPPEN-MOVE subtype. This research is a descriptive
qualitative research. There are three stages in this study. First, data collection
stage used observation method and note-taking technique. Second, data analysis
stage used identity method (dividing key factors technique) and distributional
method (using form changing technique and interruption technique). Third,
presenting the result of data analysis stage used formal and informal method. The
Japanese ‘fall’ verb is collected from books and website. The result of this research
shows that sevent ‘fall’ verb in Japanese. The Japanese 'fall' verb is classified
into semantic primitives element TERJADI (HAPPEN/OKORU) with a syntactic
pattern "something happens to X" and make a polysemy with semantic primitives
element BERGERAK forms recurrent polysemies, namely TERJADI
(HAPPEN/OKORU) /BERGERAK (MOVE/DOUSA).
Keywords: Japanese, verb of ‘fall’, Natural Semantic Metalanguage

I. PENDAHULUAN
Hubungan timbal balik antar manusia adalah berbicara dan memahami. Saat
seseorang berbicara, lawan bicaranya akan memahami apa yang dibicarakan. Hal
itu dikarenakan adanya makna dari apa yang disampaikan oleh seseorang tersebut.
Telaah empiris tentang makna terdapat dalam teori Natural Semantic Metalanguage
(Metabahasa Semantik Alami) yang selanjutnya disingkat menjadi MSA. MSA
adalah sebuah teori yang menggabungkan tradisi logis filosofis dalam studi makna
dengan pendekatan tipologis untuk mempelajari bahasa, dan dengan penyelidikan
lintas-Linguistik empiris berbasis luas (Wierzbicka, 1996b:23).
Teori MSA mengenalkan suatu istilah yang disebut struktur semantis. Struktur
semantis adalah konfigurasi makna asali. Pemahaman terhadap struktur semantis
akan dapat membantu mendeskripsikan makna alamiah sebuah bahasa (Chafe,
1970:73). Bahasa Jepang dikenal sebagai salah satu bahasa yang makna dalam
kalimatnya tidak bisa dipahami hanya dengan melihat setiap kata-kata yang
membentuknya, tetapi membutuhkan pemahaman yang lebih untuk dapat

28
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

mengetahui makna dan penggunaan bahasa tersebut. Ini bertujuan agar tidak salah
pengertian terhadap makna yang terdapat dalam bahasa tersebut (Putri, 2016:1).
Pada umumnya, objek yang dikaji menggunakan teori MSA ini adalah sebuah verba.
Hal ini dikarenakan verba dalam kalimat menunjukkan perbuatan dan tetap
memiliki makna meskipun berdiri sendiri.
Verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat, dalam
beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala, aspek,
persona atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur semantis perbuatan,
keadaan, atau proses (Kridalaksana, 2009:254).
Dalam bahasa Jepang, penggunaan verba didasarkan pada situasi, contoh:
verba ochiru (落ちる) dan taoreru (倒れる) sama sama memiliki makna jatuh
akan tetapi jika dilihat pada penggunaannya, verba ochiru ( 落 ち る ) hanya
menekankan bahwa objek tersebut jatuh tidak perduli bagaimana posisinya
sedangkan verba taoreru (倒れる) lebih menekankan bagaimana posisi objek
tersebut setelah jatuh. Jatuh adalah kondisi yang mana suatu benda terlepas dan
turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi; turun banyak;
merosot; sampai ke; tiba di; kena pada; tembus ke; bertepatan dengan; berbetulan
dengan; tepat pada; berhenti memegang kekuasaan; bangkrut; kalah atau dirampas
musuh; tidak lulus; gagal; sangat menderita; tidak tahan lagi; menjadi sakit, miskin,
cinta (Alwi, 2007:462). Verba ‘jatuh’ bahasa Jepang tidak hanya ochiru (落ちる)
saja jika ditinjau dari sudut makna asali TERJADI dan BERGERAK dengan pola
sintaksis “Sesuatu terjadi pada X, maka X bergerak”.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui dan memahami verba ‘jatuh’ bahasa Jepang yang termasuk ke dalam
subtipe TERJADI-BERGERAK serta menjelaskan bagaimana makna asali dan
struktur semantis dari masing-masing verba tersebut.

II. KAJIAN PUSTAKA


Kajian pustaka merupakan uraian relevan dari penelitian sebelumnya yang
nantinya berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini,
digunakan tiga tinjauan pustaka yang dirasa terkait dengan penelitian. Penelitian-
penelitian tersebut adalah Debora (2010), Karimah (2017), dan Putri (2017).
Debora (2010) meneliti tentang pemakaian verba ochiru, korobu dan taoreru
dalam kalimat bahasa Jepang menggunakan teori semantik dalam hal makna.
Persamaan penelitian Debora dengan penelitian ini terdapat pada verbanya, yang
mana penelitian ini menggunakan verba ‘jatuh’ bahasa Jepang yang termasuk ke
dalam subtipe TERJADI-BERGERAK. Perbedaannya terletak pada objek
penelitian. Debora menganalisis verba tersebut dengan penggunaannya dalam
kalimat bahasa Jepang, sementara penelitian ini menganalisis verba tersebut dengan
menggunakan kajian MSA.
Karimah (2017) meneliti tentang kontrastif verba ochiru dan verba jatuh
menggunakan teori analisis kontrastif mikrolinguistik dalam bidang sintaksis dan
bidang semantik. Persamaan penelitian Karimah dengan penelitian ini terdapat pada
verba yang digunakan yaitu verba ochiru yaitu verba ‘jatuh’ bahasa Jepang.
Perbedaannya adalah pada objek penelitian. Karimah menggunakan kontrastif
untuk menganalisis verba tersebut sedangkan penelitian ini menggunakan kajian
MSA.
Putri (2017) meneliti tentang makna idiom bahasa Jepang menggunakan teori
Metabahasa Semantik Alami (MSA). Persamaan penelitian Putri dengan penelitian
29
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

ini adalah pada teori yang digunakan, yaitu teori Metabahasa Semantik Alami
(MSA). Selanjutnya pada analisis data menggunakan metode agih. Bedanya
peneliti juga menggunakan metode padan dengan teknik Pilah Unsur Penentu
(PUP). Perbedaan selanjutnya dari penelitian Putri dengan penelitian ini adalah
pada data yang digunakan. Putri membahas tentang idiom bahasa Jepang,
sedangkan penelitian ini membahas tentang verba ‘jatuh’ dalam bahasa Jepang.

III. LANDASAN TEORI


Semantik (semantics) merupakan teori makna atau teori arti, yakni cabang
sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti (Verhaar, 1980:9). Dalam
kamus linguistik, semantik diartikan sebagai (1) bagian struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu
wicara, (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa
pada umumnya (Kridalaksana, 1993:216). Meskipun agak terlambat dibandingkan
cabang linguistik yang lainnya, semantik memegang peranan penting karena bahasa
yang digunakan dalam komunikasi memiliki tujuan untuk menyampaikan sebuah
makna. Misalnya, seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara,
lalu lawan bicaranya bisa memahami dan membalas percakapan karena ia bisa
mengerti makna yang disampaikan seseorang tersebut.
Makna adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari semantik. Pengertian
dari makna sangat beragam. Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna
merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu
menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda,
2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan
pengertian. Dalam kamus lingustik (Kridalaksana, 1993:148), makna merupakan
(1) maksud pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau
perilaku manusia atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti kesepadanan
atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran
dan semua hal yang ditunjuknya, (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Telaah empiris mengenai makna terdapat dalam teori Natural Semantic
Metalanguage (Metabahasa Semantik Alami) yang selanjutnya disingkat menjadi
MSA. MSA adalah teori oleh Wierzbicka yang telah memulai penelitiannya pada
tahun 1972 dan kemudian dikembangkan bersama Cliff Goddard. Hal itu
dibuktikan dengan ungkapan Wierzbicka dalam kalimat berikut: (Wierzbicka,
1996b:32). The first tentative list of primitives identified in this search was
published in my book “Semantic Primitives” in 1972. (Daftar pertama yang
diidentifikasi dalam pencarian ini diterbitkan dalam buku Semantic Primitives saya
pada tahun 1972).
Teori MSA dapat mengekspresikan semua makna, seperti makna leksikal,
makna ilokusi, maupun makna gramatikal yang dinyatakan dalam sebuah bahasa.
Teori ini juga mempunyai dua keunggulan. Pertama, MSA dapat diterima oleh
semua penutur karena parafrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa
yang bersumber dari bahasa ilmiah. Kedua, MSA selalu terbuka untuk penyesuaian
dan modifikasi terhadap representasi maknanya (Mulyadi, 2006:69).
Teori MSA memiliki lima konsep penting, yaitu makna asali, aloleksi, polisemi
takkomposisi, sintaksis universal dan pilihan valensi. Namun dalam menentukan
parafrase struktur semantis dari verba, hanya menggunakan tiga di antaranya.
Ketiga konsep penting dari teori MSA tersebut adalah makna asali, polisemi
takkomposisi, dan sintaksis universal.

30
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

Konsep pertama yaitu, makna asali yang merupakan seperangkat makna yang
tidak dapat berubah dan telah diwarisi sejak lahir. Dengan kata lain, makna asali
adalah makna kata pertama dari sebuah kata yang tidak mudah berubah walaupun
terdapat perubahan kebudayaan atau zaman. Makna asali merupakan refleksi dan
pembentukan pikiran yang dapat dieksplikasi dari bahasa ilmiah (ordinary
language) yang merupakan satu-satunya cara mempresentasikan makna
(Wierzbicka, 1996b:31). Pemahaman makna asali diharapkan dapat menjelaskan
makna yang rumit menjadi lebih sederhana tanpa harus berputar-putar, seperti yang
dijelaskan dalam kalimat berikut: (Wierzbicka, 1996b:12).
It is impossible to define all words. In defining we comply a definition
to express the idea which we want to join to define word; if we then
wanted to define ‘the definition’ still other words would be needed, and
so on to infinity. Hence, it is necessary to stop at some primitive words
which are not defined.
‘Merupakan hal yang tidak mungkin untuk mendefinisikan semua kata.
Dalam mendefinisikan kata kita harus mengacu pada satu definisi untuk
menyatakan gagasan yang diperlukan dalam mendefinisikan kata; jika
kemudian kita ingin mendefinisikan ‘definisi’ suatu kata, kata lain
masih pula diperlukan, dan seterusnya. Karena itu diperlukan kata-kata
asali yang tak bisa lagi didefinisikan.’
Wierzbicka dan teman-temannya secara intensif mengeksplorasi makna asali
dari berbagai bahasa. Pada tahun 1972 baru empat belas makna asali yang berhasil
ditemukannya dan sebelas di antaranya terbukti efektif dalam analisis makna
(Goddard, 1996:24). Pada tahun 1980 jumlahnya menjadi lima belas. Dalam
lokakarya semantik di Adelaide tahun 1986 Cliff Goddard mengusulkan beberapa
makna asali yang baru. Proses perluasan ini terbukti memudahkan analisis makna
yang lebih menarik dan dapat dimengerti. Pada tahun 1996 jumlahnya 55 elemen
(Goddard, 1996:24-37). Pada tahun 2004 menjadi 60 elemen, karena adanya
tambahan elemen BODY, TRUE, HAVE, NOW, BELLOW. Terakhir pada tahum
2014 elemen makna asali menjadi 65 elemen, karena penambahan LITTLE/FEW,
DON’T WANT, TOUCH, MOMENT, dan AS. Perangkat makna asali tersebut dapat
kita lihat dalam tabel berikut:

No Komponen Elemen Makna Asali


1 Substantives ‘substantif’ I ‘saya’, YOU ‘kamu’, SOMEONE ‘seseorang’,
SOMETHING/THING ‘sesuatu/hal’, PEOPLE
‘orang’, BODY‘tubuh’
2 Relational Substantives KIND ‘jenis’, PARTS ‘bagian’
‘substantif relasional’
3 Determiners ‘penentu’ THIS ‘ini’, THE SAME ‘sama’, OTHER/ELSE
‘yang lain’
4 Quantifiers ‘kuantitas’ ONE ‘satu’, TWO ‘dua’, SOME ‘beberapa’, ALL
‘semua’, MANY/MUCH ‘banyak’, LITTLE/FEW
‘sedikit’
5 Evaluators ‘penilai’ GOOD ‘baik’, BAD ‘buruk’
6 Descriptors ‘deskriptor’ BIG ‘besar’, SMALL ‘kecil’
7 Mental Predicates ‘predikat KNOW ‘tahu’, THINK ‘pikir’, WANT ‘ingin’,
mental’ DON’T WANT ‘tidak ingin’, FEEL ‘rasa’, SEE
‘lihat’, HEAR ‘dengar’
31
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

8 Speech ‘ujaran’ SAY ‘mengatakan’, WORDS ‘kata-kata’, TRUE


‘benar’
9 Actions, Events, Movement DO ‘melakukan’, HAPPEN ‘terjadi’, MOVE
and Contact ‘aksi, ‘bergerak’, TOUCH ‘sentuh’
peristiwa, pergerakan dan
hubungan’
10 Location, Existence, BE (SOMEWHERE) ‘suatu tempat’, THERE IS
Possession and ‘ada’, BE (SOMEONE)’S ‘seseorang’, BE
Specification ‘lokasi, (SOMEONE/SOMETHING) ‘seseorang/sesuatu’
keadaan, kepemilikan dan
spesifikasi’
11 Life and Death‘ hidup dan LIVE ‘hidup’, DIE ‘mati’
mati’
12 Time ‘waktu’ WHEN/TIME ‘bila’, NOW ‘sekarang’, BEFORE
‘sebelum’, AFTER‘sesudah’, A LONG
TIME‘lama’, A SHORT TIME‘sebentar’, FOR
SOME TIME‘beberapa waktu’, MOMENT‘saat’
13 Space ‘ruang’ WHERE/PLACE ‘dimana/tempat’, HERE‘di sini’,
ABOVE ‘di atas’, BELOW ‘di bawah’, FAR ‘jauh’,
NEAR ‘dekat’, SIDE ‘sisi’, INSIDE ‘di dalam’
14 Logical Concepts ‘konsep NOT ‘tidak’, MAYBE ‘mungkin’, CAN ‘dapat’,
logis’ BECAUSE‘ karena’, IF ‘jika’
15 Intensifier, Augmentor VERY ‘sangat’, MORE ‘lebih’
‘penguat, penambah’
16 Similarity ‘kesamaan’ LIKE/WAY/AS ‘seperti’
Tabel 1. Perangkat Makna Asali

Pada tahun 1994, Masayuki dalam Goddard dan Wierzbicka (1994:361)


mengaplikasikan beberapa perangkat makna asali tersebut ke dalam bahasa Jepang
yang dapat dilihat pada tabel berikut:

No Komponen Elemen Makna Asali


1 Substantives ‘substantif’ ORE (俺) ‘saya’, OMAE (お前) ‘kamu’,
2 Relational Substantives SYURUI (種類) ‘jenis’, BUBUN (部分) ‘bagian’
‘substantif relasional’
3 Determiners ‘penentu’ KORE (これ) ‘ini’, ONAJI (同じ) ‘sama’, HOKA
(他) ‘yang lain’
4 Quantifiers ‘kuantitas’ HITO/ICHI ( 一 ) ‘satu’, HUTA/NI ( 二 ) ‘dua’,
MINNA (皆) ‘semua’, TAKUSAN (沢山) ‘banyak’
5 Evaluators ‘penilai’ II (良い) ‘baik’, WARUI (悪い) ‘buruk’
6 Descriptors ‘deskriptor’ OOKII (大きい) ‘besar’, CHIISAI (小さい) ‘kecil’
7 Mental Predicates ‘predikat SHITTE IRU (知っている) ‘mengetahui’, OMOU
mental’ (思う) ‘memikirkan’, HOSHII/-TAI (ほしい/-た
い ) ‘menginginkan’, KANJIRU ( 感 じ る )
‘merasakan’, MIRU (看る) ‘melihat’, KIKU (聞く)
‘mendengar’
8 Speech ‘ujaran’ IU (言う) ‘mengatakan’, TANGO (単語) ‘kata-
kata’, TADASHI (正し) ‘benar’
9 Actions, Events, Movement SURU ( す る ) ‘melakukan’, OKORU ( 起 る )
and Contact ‘aksi, ‘terjadi’, DOUSA (動作) ‘bergerak’, SAWARU (触
る) ‘menyentuh’
32
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

peristiwa, pergerakan dan


hubungan’
10 Location, Existence, ARU (ある)‘ada’
Possession and
Specification ‘lokasi,
keadaan, kepemilikan dan
spesifikasi’
11 Time ‘waktu’ ITSU (何時) ‘bila’, MAE (前) ‘sebelum’
12 Space ‘ruang’ UE (上) ‘di atas’, SHITA (下)‘di bawah’
13 Logical Concepts ‘konsep -NAI (-ない) ‘tidak’, KAMOSHIRENAI (かも知
logis’ れない) ‘dapat’, KARA (から)‘ karena’, -BA (ー
ば) ‘jika’
14 Intensifier, Augmentor TOTEMO (とても)‘sangat’
‘penguat, penambah’
Tabel 2. Perangkat Makna Asali Bahasa Jepang

Konsep kedua yaitu, polisemi takkomposisi, merupakan bentuk leksikon


tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda dan tidak
memiliki hubungan dalam hal eksponen karena memiliki kerangka gramatikal yang
berbeda (Wierzbicka, 1996a:27-29). Goddard (1996:29) menyatakan bahwa ada
dua jenis hubungan takkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian
(entailment-like relationship), seperti “melakukan/terjadi” dan hubungan implikasi
(implicational relationship), seperti “merasakan/terjadi”. Hubungan pengartian
MELAKUKAN/TERJADI dijelaskan dengan “jika X melakukan sesuatu pada Y,
sesuatu terjadi kepada Y”, sedangkan hubungan implikasi
MERASAKAN/TERJADI dapat dijelaskan dengan “jika X merasakan sesuatu,
sesuatu terjadi kepada X”. Perhatikan contoh berikut:
(1) X melakukan sesuatu pada Y
Sesuatu terjadi pada Y
(2) Jika X merasakan sesuatu
Maka sesuatu terjadi pada X
Perbedaan sintaksis dari verba pada contoh (1) ialah bahwa “melakukan”
memerlukan dua argumen, sedangkan “terjadi” hanya membutuhkan satu argumen.
Hubungan implikasi “merasakan/terjadi” terlihat pada contoh (2).
Konsep ketiga, yaitu Sintaksis universal yang dikembangkan oleh Wierzbicka
pada akhir tahun 1980-an merupakan sistem perluasan dari sistem makna asali
(Goddard, 1996:24). Wierzbicka (1996b:171) menyatakan bahwa makna memiliki
struktur yang sangat kompleks, dan tidak hanya dibentuk dari elemen sederhana,
seperti seseorang; ingin; tahu; tetapi dari komponen berstruktur kompleks.
Sintaksis universal terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali universal yang
membentuk proporsi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis bahasa
yang bersangkutan. Kombinasi elemen-elemen ini akan membentuk sintaksis
universal yang menurut teori MSA disebut “kalimat kanonis (canonical sentence)”,
yaitu konteks tempat leksikon asali diperkirakan muncul secara universal
(Wierzbicka, 1996b:30-44).

IV. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif. Bogdan dan
Taylor (dalam Moleong, 2007:3), mengemukakan bahwa metode kualitatif adalah
33
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis


maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Data berupa verba ‘jatuh’
dalam bahasa Jepang yang termasuk ke dalam subtipe TERJADI-BERGERAK
yang diperoleh dari buku “Shinsouban Kimono Saijiki” karya Yamashita Etsuko,
“Gobi Boku to 125-Kiro o Hashita, Kiseki no Inu” karya Leonard dan Natsumedai,
dan korpus bahasa Jepang yang dapat diakses melalui situs
http://www.kotonoha.gr.jp/shonagon/.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, tahap
analisis data dan tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap pengumpulan data
digunakan metode simak dengan teknik catat. Setelah mendapatkan data dengan
metode simak, selanjutnya data dicatat dengan menerapkan teknik catat
(Sudaryanto, 2015:205).
Pada tahap analisis data metode yang digunakan adalah metode padan dan
metode agih. Teknik dari metode padan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
teknik pilah unsur penentu (selanjutnya disebut PUP). PUP diterapkan untuk
menentukan makna asali dari masing-masing data yang ditemukan. Metode agih
diterapkan dengan teknik ubah wujud dan teknik sisip.
Kemudian pada tahap penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan
adalah metode formal dan metode informal. Dalam penelitian ini, lambang yang
digunakan misalnya X yang melambangkan pelaku, Y yang melambangkan
penderita dan Z yang melambangkan alat yang digunakan pelaku. Metode
penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto,
2015:241). Sebagian besar hasil analisis data disajikan secara informal.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari sumber data, diperoleh tujuh verba ‘jatuh’ dalam bahasa Jepang yang
termasuk ke dalam subtipe TERJADI-BERGERAK, yaitu 1) ochiru (落ちる); 2)
furu (降る); 3) tenrakusuru (転落する); 4) kakousuru (下降する); 5) taoreru (倒
れる); 6) shikkyakusuru (失脚する); 7) chuugaerisuru (宙返りする).
Verba ‘jatuh’ bahasa Jepang dapat digolongkan ke dalam elemen makna asali
TERJADI (OKORU/HAPPEN) yang termasuk ke dalam komponen Actions, Events,
Movement and Contact. Pola sintaksis dari makna asali ini adalah “Sesuatu terjadi
pada X”. Makna asali tipe TERJADI ini menggambarkan suatu hal yang terjadi
pada manusia, hewan maupun benda. Makna asali verba ‘jatuh’ bahasa Jepang
berpolisemi dengan elemen makna asali BERGERAK membentuk polisemi
takkomposisi TERJADI (HAPPEN/OKORU)/BERGERAK (MOVE/DOUSA).
Untuk penyebutan istilah makna asali pada bagian analisis ini hanya digunakan
istilah makna asali bahasa Indonesia saja.
Polisemi TERJADI/BERGERAK memiliki pola sintaksis “Sesuatu terjadi pada X,
maka X bergerak”. Berikut diuraikan analisis struktur semantis verba ‘jatuh’ bahasa
Jepang yang menggunakan polisemi TERJADI/BERGERAK.

(1) Verba ochiru (落ちる) ‘jatuh’


Verba ochiru (落ちる) memiliki makna jatuh dalam bahasa Indonesia. Nomoto
(1988:865) menyatakan bahwa verba ochiru adalah jatuh, yang didefenisikan
pindah ke tempat yang lebih rendah karena gaya berat, atau disebabkan tidak ada
lagi penopangnya. Sutedi (2003:133) juga menambahkan bahwa verba ochiru
adalah ‘jatuh’ yang bisa menggunakan semua jenis benda sebagai subjeknya, baik

34
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

benda hidup maupun tidak. Kemudian Izuru (1998:380) memperjelas definisi verba
ochiru sebagai berikut.
支えるものもなく、ものが加速度的に下に移動する意。上から下へ
急に位置が変わる....
Sasaeru mono mo naku, mono ga kasokudoteki ni shita ni idou suru i. Ue
kara shita e kyuu ni ichi ga kawaru ....
‘Tanpa topangan, perpindahan benda ke bawah dipercepat. Posisi benda
berubah dari atas ke bawah secara tiba-tiba ....’

Berikut contoh penggunaan verba ochiru dalam kalimat.


着始めは目に立つ節も、毛羽立ちや糊などの夾雑物が着馴じんでい
るうちにすっかり落ちるように、しっくりと糸と糸との交わりにお
さまる。
Ki hajime wamenitatsu setsu mo, kebadachi ya nori nado no kyouzatsubutsu
ga kinarasu jin deiruuchi ni sukkari ochiru you ni, shikkuri to ito to ito to no
majiwari ni osamaru.
‘Terlihat saat awal pemakaian, campuran bulu-bulu halus, serat pakaian dan
lainnya seperti jatuh membuang, pastinya menekan kaitan antara benang dan
benang lain saatt dipakai.’
(Yamashita, 2017:187)
Verba ochiru dalam kalimat di atas menggambarkan pakaian yang seperti jatuh saat
dipakai. Dalam kalimat di atas, X menggambarkan sebuah baju. Struktur semantis
dari verba ochiru ‘jatuh’ dapat diparafrasekan sebagai berikut.
Ochiru (落ちる)‘jatuh’
Sesuatu terjadi pada X
Sebelumnya, X berada di suatu tempat
X berada di atas
Setelahnya X dalam kedaan tidak baik (tidak seimbang)
Karena itu X bergerak dari atas ke bawah
X bergerak dengan cepat
X tidak menginginkan hal ini terjadi
Sesuatu seperti ini tejadi pada X

(2) Verba furu (降る) ‘jatuh/turun’


Verba furu memiliki makna ‘jatuh/turun’. Ciri-ciri dari verba furu yaitu
subjeknya berupa benda alam yang berbentuk cair atau serbuk seperti hujan, salju,
debu dari angkasa (langit) turun ke permukaan bumi (Sutedi, 2004:41). Izuru
(1998:2370) menyatakan bahwa:
空から雨、雪などが落ちる ....
Sora kara ame, yuki nado ga ochiru ....
‘Hujan, salju dan lain-lain yang jatuh dari langit ....’
Berikut contoh penggunaan verba furu dalam kalimat.

35
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

雪が降る、音もなくひらひらと雪が降る。
Yuki ga furu, otomo nakuhirahira toyuki ga furu.
‘Salju turun dengan tanpa suara.’
(Kotonoha.gr.jp, 22 Oktober 2018)
Pada contoh kalimat di atas, verba yang digunakan adalah furu, menggambarkan
subjek (salju) yang turun dari angkasa. Dalam kalimat di atas, X menggambarkan
salju yang turun dari langit. Struktur semantis verba furu dapat diparafrasekan
sebagai berikut.
furu (降る) ‘turun’
Sesuatu terjadi pada X
Sebelumnya, X berada di suatu tempat (angkasa)
X berjumlah sangat banyak
Lalu, terjadi sesuatu pada X
Sesuatu terjadi pada X seperti:
X bergerak dari atas (angkasa) ke bawah (daratan)
X bergerak dengan cepat
X bergerak dengan jumlah yang banyak
Sesuatu seperti ini terjadi pada X

(3) Verba tenrakusuru (転落する) ‘jatuh’


Verba tenrakusuru memiliki makna jatuh. ‘jatuh’ dari verba tenrakusuru
adalah ketika subjek jatuh dan berguling ke suatu tempat. Izuru (1998:1863)
menyatakan bahwa:
ころげおちること ....
Koroge ochiru koto ....
‘Jatuh dengan cara berguling ....’

Berikut contoh penggunaan verba tenrakusuru dalam kalimat.


十兵衛の大刀で右腰から左肩へと斬りあげられた刺客が目黒川へ転
落、左肩から右腰へと斬りさげられたほうも流されてゆく。
Juubee no tachi demigikoshi kara hidari kata e to kiri agerareta shikaku
ga Megurogawa e tenraku, hidari kata kara migi koshi e to kiri sagerareta
hou mo nagasarete yuku.
‘Pembunuh yang disayat dari pinggang kanan ke bahu kiri dengan pedang
Jubei jatuh ke sungai Meguro, dan mereka yang disayat turun dari bahu kiri
ke pinggang kanan juga hanyut.’
(Kotonoha.gr.jp, 22 Oktober 2018)

Pada contoh kalimat di atas X menggambarkan seseorang yang jatuh ke sungai.


Struktur semantis verba tenrakusuru dapat diparafrasekan sebagai berikut.
Tenrakusuru (転落する) ‘jatuh’
Sesuatu terjadi pada X
Sebelumnya, X berada di suatu tempat
X berada di tempat yang tinggi
Setelahnya, sesuatu terjadi pada X
X bergerak dari suatu tempat (atas) ke tempat lain (rendah)
36
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

X bergerak dengan suatu cara (berguling)


X bergerak dengan cepat
Sesuatu seperti ini terjadi pada X

(4)Verba kakousuru (下降する) ‘jatuh’


Verba kakousuru memiliki makna turun, dimana keadaan suatu benda
berpindah posisi dari atas ke bawah atau dari tempat yang tinggi ke tempat yang
lebih rendah. Izuru (1998:486) menyatakan bahwa:
下の方におりること。低くなること ....
Shita no kata ni oriru koto. Hikuku naru koto ....
‘Turun ke arah bawah. Menjadi rendah ....’

Berikut contoh penggunaan verba kakousuru dalam kalimat.


長い山並が遠ざかるころから、飛行機は下降をはじめた。
Nagai yamanami ga toozakarkoro kara, hikouki wa kakou o hajimeta.
‘Pesawat itu mulai turun semenjak menjauh dari jarak antar gunung yang
panjang.’
(Kotonoha.gr.jp, 22 Oktober 2018)

Pada contoh kalimat di atas, X menggambarkan sebuah pesawat turun dari tempat
yang tinggi. Struktur semantis verba kakousuru dapat diparafrasekan sebagai
berikut.
Kakousuru (下降する) ‘turun’
Sesuatu terjadi pada X
Sebelumnya, X berada di suatu tempat
X berada di tempat yang tinggi
Setelahnya, X bergerak ke bawah
X bergerak dengan perlahan
Sesuatu seperti ini terjadi pada X

(5)Verba taoreru (倒れる) ‘tumbang’


Verba taoreru memiliki makna ‘jatuh, rubuh, tumbang’. Verba taoreru dapat
digunakan baik benda bernyawa maupun benda mati sebagai subjeknya ketika
terjatuh dalam kondisi diam maupun sedang bergerak. Selain itu, verba taoreru
dapat digunakan ketika subjek terjatuh hingga tergeletak atau terbaring (Sutedi,
2003:129-131). Izuru (1998:1625) menambahkan bahwa:
立っているものが横になる。ころぶ ....
Tatteiru mono ga yoko ni naru. Korobu ....
‘Benda yang berdiri menjadi horizontal (berbaring). Jatuh ....’
Berikut contoh penggunaan verba taoreru dalam kalimat.
チェンは半ば倒れるようにして横向きに寝ると、また小便をした。
Chen wa nakaba taoreruyounishite yokomuki ni neru to, mata shouben o
shita.
‘Chen yang jatuh di tengah jalan tidur ke arah samping dan juga buang air.’
(Leonard dan Natsumedai, 2018:171).
37
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

Dalam contoh kalimat diatas, X menggambarkan seekor anjing yang jatuh di tengah
jalan. Struktur semantis dari verba taoreru dapat diparafrasekan sebagai berikut.
Taoreru (倒れる) ‘jatuh’
Sesuatu terjadi pada X
Sebelumnya, X berada dalam keadaan baik (berdiri)
Setelahnya karena suatu hal, X bergerak
X bergerak dari atas (berdiri) ke bawah (terbaring)
X bergerak dengan cepat
Sesuatu seperti ini terjadi pada X

(6) Verba shikkyakusuru (失脚する) ‘jatuh’


Verba shikkyakusuru memiliki makna jatuh. Makna ‘jatuh’ pada verba
shikkyakusuru memiliki banyak identifikasi makna. Pertama, dapat bermakna
runtuh ketika subjek berupa bangunan, rumah, tembok. Kedua, bermakna rebah
atau tumbang ketika subjek berupa pohon dan tanaman. Ketiga, bemakna jatuh
ketika subjek berupa manusia dan hewan. Pada makna ketiga, ‘jatuh’ pada manusia
dan hewan disebabkan karena kehilangan keseimbangan atau kesadaran serta
tergelincir karena berada pada posisi yang salah. Izuru (1998:1190) menyatakan
bahwa:

足が滑って倒れること。足を踏みはずすこと。要路の地位を失う
こと。しくじり ....
Ashi ga subette taoreru koto. Ashi o fumihazusukoto. Youro no chii o
ushinau koto. Shikujiri ....
‘Kaki tergelincir lalu terjatuh. Kaki berada pada tempat yang salah.
Kehilangan kedudukan dengan posisi penting ....’
Berikut contoh penggunaan verba shikkyakusuru dalam kalimat.
それがなにを意味するのか、どこまでが真実なのかは判りません
が、ラーが失脚しつつあるのは間違いないようです。
Sore ga nani o imi suru no ka, doko made ga shinjitsuna no ka wa
wakarimasen ga, rā ga shikkyakushitsutsu aruno wa machigainaiyoudesu.
‘Saya tidak tahu apa artinya itu, dan seberapa jauh kebenarannya, tetapi
sepertinya Ra akan jatuh.’
(Kotonoha.gr.jp, 22 Oktober 2018)

Pada contoh kalimat di atas, X menggambarkan Ra (nama orang) yang akan jatuh.
Struktur semantis verba shikkyakusuru dapat diparafrasekan sebagai berikut.
Shikkyakusuru (失脚する) ‘jatuh’
Sesuatu terjadi pada X
Awalnya X sedang dalam keadaan baik (berdiri)
Setelahnya, X berada daalm keadaan tidak baik (tidak seimbang)
Karena itu, X bergerak:
X bergerak dari posisi berdiri ke posisi duduk
X bergerak dengan cepat
X tidak menginginkan hal ini terjadi padanya
Sesuatu seperti ini terjadi pada X
38
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

(7) Verba chuugaerisuru (宙返りする) ‘jungkir balik/terjungkir’


Verba chuugaerisuru memiliki makna jungkir balik atau terjungkir. ‘jungkir
balik’ adalah kondisi dimana seseorang terjatuh dengan posisi terbalik yaitu kepala
di bawah dan kaki di atas dan sebelumnya berputar terlebih dahulu di udara. Izuru
(1998:1726) menyatakan bahwa:
空中で身体を回転すること。とんぼがえり ....
Kuuchuu de karada o kaiten suru koto. Tonbogaeri ....
‘Melakukan putaran dengan badan di udara. Jungkir balik ....’

Berikut contoh penggunaan verba chuugaerisuru dalam kalimat.


確かにそういうこともあるだろう。頭の上に落ちてきてもよかっ
たのだ。宙返りして、シーツの上に着地しても。
Tashika ni sou iu koto mo arudarou. Atama no ue ni ochite kite mo yokatta
noda. Chuugaerishite, shitsu no ue ni chakuchi shite mo.
‘Kelihatannya pasti ada hal seperti itu. Bahkan walaupun berharap jatuh
dengan baik di atas kepala, kenyataannya malah jungkir balik dan
mendarat di atas seprai.’
(Kotonoha.gr.jp, 22 Oktober 2018)

Pada contoh kalimat di atas, X menggambarkan seseorang yang berharap akan jatuh
dengan baik, malah jungkir balik. Struktur semantis verba chuugaerisuru dapat
diparafrasekan sebagai berikut.
Chuugaerisuru (宙返りする) ‘jungkir balik/terjungkir’
Sesuatu terjadi pada X
Sebelumnya X dalam keadaan baik
Setelahnya X bergerak
X bergerak seperti:
Tubuh X bergerak di udara
Tubuh (kaki dan kepala) X berada dalam posisi terbalik
X bergerak dengan cepat
X bergerak ke bawah
X berada di posisi yang buruk
Wajah X menghadap ke atas
X tidak menginginkan hal ini terjadi padanya
Sesuatu seperti ini terjadi pada X

VI. KESIMPULAN
Terdapat 7 (tujuh) verba ‘jatuh’ bahasa Jepang yang ditemukan dalam buku
Shinsouban Kimono Saijiki oleh Yamashita, Gobi Boku to 125-Kiro o Hashita,
Kiseki no Inu oleh Leonard dan Natsumedai, dan korpus bahasa Jepang melalui
situs http://www.kotonoha.gr.jp/shonagon/. Ketujuh verba tersebut yaitu 1) ochiru
(落ちる); 2) furu (降る); 3) tenrakusuru (転落する); 4) kakousuru (下降する); 5)
taoreru (倒れる); 6) shikkyakusuru (失脚する); 7) chuugaerisuru (宙返りする).
Verba ‘jatuh’ bahasa Jepang dapat digolongkan ke dalam elemen makna asali
TERJADI (OKORU/HAPPEN) yang termasuk ke dalam komponen Actions, Events,
Movement and Contact. Makna asali verba ‘jatuh’ bahasa Jepang berpolisemi

39
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

dengan elemen makna asali BERGERAK membentuk polisemi TERJADI


(HAPPEN 起こる) /BERGERAK (MOVE/動作).

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Bogdan dan Taylor, dalam Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remadja Rosdakarya Offset.
Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The
University of Chicago Press.
Debora, Julianis Clara. 2010. “Analisis Pemakaian Verba Ochiru, Korobu, dan
Taoreru dalam Kalimat Bahasa Jepang”. Skripsi Sarjana Sastra pada program
studi Extension Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Goddard, Cliff. 1994. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM
Approach), 1-5. Australia: Australian National University.
Goddard, Cliff. 1996. Building a Universal Semantic Metalanguage: The Semantic
Theory of Anna Wierzbicka. Goddard (Convenor). 1996. Cross Linguistic
Syntax from Semantic Point of View (NSM Approach), 24-37. Australia: The
Australian National University.
Izuru, Shinmura. 1998. Koujien 5. Japan: Iwanami Shoten.
Karimah, Shofura. 2017. “Analisis Kontrastif Verba Ochiru dalam Bahasa Jepang
dan Verba Jatuh dalam Bahasa Indonesia”. Skripsi Sarjana Humaniora pada
program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Semarang.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta:Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Jakarta:Gramedia.
Leonard, Dion dan Natsumedai. 2018. Gobi Boku to 125-kiro o Hashita, Kiseki no
Inu. Jepang: Haapaakorinzu.
Mulyadi dan Siregar, R.K. 2006. Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami Dalam
Kajian Makna. Logat, Vol II No.2:69-75.
Nomoto, Kikou. 1988. Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar Edisi Bahasa
Indonesia. Tokyo: Kokuritsu Kokugo Kenkyusho.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Putri, Darni Enzimar. 2016. Struktur Semantis Idiom yang Bermakna Emosi dalam
Bahasa Jepang. Jurnal Kotoba, Vol 3
Putri, Darni Enzimar. 2017. “Makna Idiom Bahasa Jepang:Kajian Metabahasa
Semantik Alami”. Tesis Magister Linguistik pada program studi S2 Ilmu
Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Denpasar.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

40
言葉ジャーナル (Jurnal Kotoba)
Volume 7 No.1, Juni 2019

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar


Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Lingusitis. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sudjianto, dan Ahmad Dahidi. 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta:
Kesaint Blanc.
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora
Utama Press (HUP).
Sutedi, Dedi. 2004. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora
Utama Press (HUP).
Takahashi, Tarou. 2003. Doushikyuushou. Tokyo: Hitsuji Shobou.
Tyas, Retnoning. 2016. Kamus Genggam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Frasa
Lingua.
Verhaar S.J., J.W.M. 1980. Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia.
Yogyakarta:Kanisius.
Wierzbicka, Anna. 1996a. The Syntax of Universal Semantic Primitives. Dalam C.
Goddard. 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM
Approach), 6-23. Australia:Australian National University.
Wierzbicka, Anna. 1996b. Semantics:Prime and Universal. Oxford:Oxford
University.
Yamashita, Etsuko. 2017. Shinsouban Kimono Saijiki. Jepang:CCC Media House.
Sumber Internet
http://www.kotonoha.gr.jp/shonagon/ (diakses pada tanggal 22 Oktober 2018)

41

You might also like