You are on page 1of 9

1

TATAP MUKA 6
IJTIHAD SEBAGAI METODOLOGI PERUMUSAN HUKUM ISLAM

MEDIA PEMBELAJARAN
Media pembelajaran yang digunakan pada pembelajaran daring ini adalah: MLS Sikuli, google
meet, slide, tutorial, conference, video pembelajaran, dan lain-lain.

JUDUL
IJTIHAD SEBAGAI METODOLOGI PERUMUSAN HUKUM ISLAM
a. Pengertian Ijtihad
b. Macam-Macam Ijtihad
c. Syarat-syarat Ijtihad
d. Kedudukan hasil Ijtihad

TUJUAN KEGIATAN PEMBELAJARAN


Mahasiswa mampu menguraikan pengertian, macam-macam dan syarat-syarat ijtihad, dan
mampu memposisikan kedudukan hasil ijtihad dalam kehidupan.

URAIAN MATERI
ljtihad adalah salah satu pijakan dalam menetapkan sebuah hukum, dimana ada
peristiwa-peristiwa yang kemudian tidak ditemukan dasarnya di dalam al-Qur'an dan Sunnah.
Hal ini juga ditandai dalam perkembangan dunia saat ini yang semakin maju disertai dengan
era teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dalam beberapa bidang
kehidupan masyarakat, seperti kedokteran, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa
pengaruh yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan
masyarakat islam.
Abu lshaq al-Shatibi, mengemukakan bahwa dalam menggali suatu hukum dari dalil
syara’, seorang yang melakukan ijtihad, di samping berijtihad langsung kepada al-Qur’an juga
berijtihad dalam menerapkan hukum yang telah dihasilkan itu pada kenyataan yang ada. Oleh
sebab itu menurutnya, seorang yang melakukan ijtihad da|am menghadapi suatu kasus yang
harus dicarikan hukumnya, harus melakukan dua kali ijtihad. Ijtihad pertama adalah ijtihad
istinbati, yaitu berijtihad dalam memperoleh hukum dari nash, dan yang kedua ijtihad tatbiqi,
yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan ketentuan hukum yang telah dihasilkan dari
nash tersebut (Nasrun Harun: 1996).
Ijtihad adalah sebagaimana didefinisikan para ahli Ushul Fikih, yakni usaha mujtahid
dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum
sesuatu masalah engan menggunakan metodologi yang benar dari kedua sumber hukum AI-
Quran dan AI-Sunah. Dari definisi ahli Ushul Fikih di atas, ijtihad bukanlah dilakukan oleh
sembarang orang, melainkan orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad yaitu
“mujtahid”. Sumber hukumnya adalah : pertama, ayat -ayat AI-Qur’an yang berjumlah lebih
dari enam ribu ayat; baik sebagai satu kesatuan yang utuh-bulat, satu kesatuan surat persurat
maupun secara parsial ayat perayat ; kedua, hadits-hadits Nabi yang juga bejumlah ribuan
dan melalui seleksi yang ketat tentang ke-shahihannya ; dan ketiga, ijma’ para sahabat- Nabi.
Pendekatan Ijtihad Hukum Islam kontemporer menggunakan pendekatan metodologi
melalui proses trilogy formasi epistemologi bayâniy, ‘irfâniy, dan burhâniy (Syahrullah: 2018).
Dengan pendekatan tersebut, di samping dikaji pemikiran yang ada, juga dikritisi sehingga

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
2

dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya. Hal ini kemudian pada gilirannya dapat menjadi
jalan dan pijakan bagi upaya pembaharuan dan tawaran metodologi baru bagi pembaharuan
hukum Islam. Diharapkan materi hukum yang didapat nantinya dapat berkonstribusi bagi
pembaharuan hukum materil yang berlaku di Indonesia.
Epistemology bayâniy diaplikasikan dengan cara pemahaman terhadap dalil-dalil Al-
Qur’an dan Hadis pada Hukum Islam dan berusaha untuk memahami dalil tersebut dengan
pendekatan ilmu tafsir dan penalaran yang mendalam. Metodology ‘irfâniy diaplikasikan
dengan cara memahami tujuan atau maqashid dari setiap hukum yang dibahas. Dalam
metodologi ini, peneliti berusaha menganalogikan maqashid ditetapkannya oleh syari’at
tersebut kepada makna zhâhir yang ada dalam teks. Metodologi burhâniy diaplikasikan
dengan cara menganalisis implikasi-implikasi Hukum Islam, sehingga terjadinya proses
pembentukan konsep berdasarkan penelitian empiris dan terjadinya proses pembuktian
terhadap kebenaran konsep akad tersebut.

A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa, ijtihad ‫ اجتهاد‬berasal dari akar kata jahada. Bentuk kata masdharnya
terdiri dari dua bentuk yang berbeda artinya antara lain :
a. Jahdun dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Seperti dalam Al-Qur’an
surat An- An’am ayat 109.
‫س ُموا ِباللَّ ِه َج ْه َد أ َ ْي َمانِ ِه ْم‬
َ ‫وأ َ ْق‬...
َ
Artinya :Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan
b. Jahdun dengan arti kesungguhan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit,
berat dan susah. Seperti dalam Al-Qur’an surat An- Taubah ayat 79
‫ َوالَّذِينَ ََل يَ ِجدُونَ ِإ ََّل ُج ْه َد ُه ْم فَيَ ْسخ َُرونَ ِم ْن ُه ْم‬....
Artinya : dan mereka (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka..
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978), ijtihad ialah :
‫إستفرغ الوسع في طلب الظن بشيء من األحكام الشرعية بحيث يحسي من نفس العجز عن المزيد فيه‬
Artinya: Mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari
hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usaha itu.
Menurut al-Imam al-Syaukani Ijtihad adalah :
‫بذل الوسع في نيل الحكم شرعي عملي بطريق اإلستنباط‬
Artinya: Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali
melalui cara istinbath.
Sedangkan al-Gazali mendepenisikan ijtihad adalah :
‫بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشرعية‬
Artinya: pengarahan segala kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum-hukum
syar’i.
Muhammad Abu Zahrah, mengartikan bahwa ijtihad ialah pencurahan segenap
kemampuan untuk sampai kepada suatu tujuan atau perbuatan.
Dari uraian tersebut dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis besar seperti
berikut : Ijtihad adalah kegiatan Pengarahan daya pikir sekuat-kuatnya. Pelakunya Ahli fiqih
yang memenuhi persyaratan. Lapangannya, Suatu masalah yang tidak terdapat nash dalam
Al-Qur’an. Tujuannya adalah mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah. Sifat
Hukumnya Zanny, bukan qhat’i (dugaan kuat, bukan kepastian). Sistem/kaedah menurut jalan

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
3

pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqh, dibantu dengan
qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya).

B. Macam-Macam Ijtihad
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai
dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot (Amir Syarifudin: 1997), yaitu :
A. Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung
dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi
penunjukannya.
Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik).
Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks:
kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz
musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan
suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan kapan
pula makruh dan seterusnya.
Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut.
Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai
dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Alalh surat al-
Baqarah ayat 228

َ ‫ َو ْال ُم‬....
‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ث َ ََلثَةَ قُ ُروء‬

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dalam ayat ini memang dijelaskanbatas waktu iddah adalah tiga kali quru’ namun tiga
kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’ dengan
memahami petunjuk/Qarinah yang ada disebut ijtihad bayani

B. Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan
metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidaktersurat tetapi tersirat
dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh
hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”
‫فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو ََل تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو اَل ك َِري اما‬.
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
“akh” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul
orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila
dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.

C. Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan
kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan
pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin
digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus
atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan
metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya
merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
4

dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-
kaidah syara’.
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip
umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-
prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan esensial),
hajiyat (kebutuhan primer), tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini
ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh,
bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.

C. Syarat-syarat Ijtihad
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara
istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum).
Di samping akan menyebutkan syarat bagi seorang mujtahid terlebih dahulu kita harus
mengetahui tentang rukun ijtihad tersebut, adapun rukun ijtihad sebagai berikut: 1) al-Waqi’
yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh nash, 2)
mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad
dengan syarat-syarat tertentu, 3) mujtahid fiih ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali
(taklifi), dan 4) dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fiih.
Dalam menentukan syarat-syarat seorang mujtahid terdapat banyak perbedaan atau
pendapat dari beberapa pemikir Islam di antaranya, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad
al-Ghazali. Menurutnya, syarat-syarat bagi seorang mujtahid harus mempunyai kriteria:
pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kedua, adil dan tidak
melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
Menurut Fakhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Rozi, syarat-syaratnya
sebagai berikut: 1) mukallaf, 2) mengetahui makna-makna lafaz dan rahasia, 3) mengetahui
keadaan mukhattab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan, 4)
mengetahui keadaan lafaz, apakah memiliki qarinah atau tidak.
Sedangkan menurut Abu Ishak Bin Musa al-Syatibi, syarat-syarat mujtahid ada tiga:
pertama, memahami tujuan-tujuan syara, yaitu hifd al-din (dloruriyat), hifd al-nafs, hifd al-`aql,
hifd al-nasl, hifd al-mal hajiayt, dan tahsiniyat; kedua mampu melakukan penetapan hukum;
ketiga memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Seseorang yang menggeluti bidang fikih tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan
memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati dan sebagian
yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh
karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa
yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh.
Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana
al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al- Ghazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

Mengetahui Asbab al-Nuzul


Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui al-
Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui
secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
5

memberi analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Qur’an
tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa mengetahui sebab
turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an.
Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan.
Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan
dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga
sering menimbulkan perselisihan.

Mengetahui Nasikh dan Mansukh


Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-kan dan tidak bisa
dipergunakan untuk dalil.

Mengetahui As-Sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan
as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi Saw

Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis


Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis
yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang
mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para
perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata
dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam
ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai
dasar hukum.

Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh


Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid
jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak
boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut
sudah di-nasikh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis


Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul,
yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.

Mengetahui Bahasa Arab


Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya
pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab.

Mengetahui Tempat-Tempat Ijma


Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh
para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang bertentangan dengan

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
6

hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang
berseberangan dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa
bertentangan dengan ijma para ulama selama hasil ijtihad-nya membawa maslahat bagi umat.

Mengetahui Ushul Fiqh


Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu
yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak
ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai
modal pengambilan ketetapan hukum.

Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah


Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan
manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat
(apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal dan keturunan), hajiyyat
(kelapangan hidup, misal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang
terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya


Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat, problem,
aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana interaksi saling
memengaruhi antara masyarakat tersebut.

Bersifat Adil dan Takwa


Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar
proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinbat hukumnya.
Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu
ushuluddin, ilmu mantiq dan mengetahui cabang-cabang fikih. Dari syarat-syarat yang dimiliki,
Mujtahid dibagi menjadi dua tingkatan: tingkatan mujtahid mutlak dan tingkatan mujtahid
mazhab. Mujtahid mutlak ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dan
sumbernya serta mampu menerapkan dasar pokok sebagai landasan dari ijtihad-nya.
Mujtahid mutlak dibagi menjadi dua: pertama, mujtahid mutlak mustaqil, yakni mujtahid yang
dalam ijtihad-nya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Kedua,
mujtahid mutlak muntsib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat mutlak mustaqil tetapi ia
tidak menyususn metode tersendiri mengenai hukum-hukum agama.
Sedangkan mujtahid mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluakan hukum yang tidak
atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah
disusun oleh mazhabnya. Mujtahid ini terbagi menjadi dua, yaitu mujtahid takhrij atau biasa
disebut mujtahid ashabul wujud dan mujtahid tarjih atau mujtahid fatwa.

D. Kedudukan Hasil Ijtihad


Mengapa hasil ijtihad para mujtahid bisa berbeda? Dan bagaimanakah sikap kita
terhadap perbedaan hasil ijtihad tersebut ? Ada beberapa sebab : Pertama, dilihat dari sifat
lafal yang ada (baik dalam AI-Quran maupun hadits), terkadang dalam satu lafal mengundang
makna ganda. Bahkan terkadang kedua-duanya bersifat hakiki. Contoh klasik adalah istilah
quru dalam Q.S. AI-Baqarah/2: 228. Ulama Hanafiyah memaknai quru sebagai haidh
(menstruasi), sedangkan Ulama Syafi’iyah memaknainya thuhr (suci). Implikasi hukumnya

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
7

jelas berbeda. Bagi Imam Hanafi, jika seorang istri yang telah bercerai mau menikah lagi
dengan laki-laki lain, ia cukup menunggu tiga kali haidh, sedangkan menurut Imam Syafi’i, ia
harus menunggu tiga kali suci.
Hikmah guru diartikan dengan haidh (dalam pandangan Hanafiyah) adalah agar
wanita yang telah bercerai dari suaminya bisa segera menikah lagi dengan laki-laki lain
pilihannya ; sementara hikmah diartikan dengan suci (dalam pandangan Syafi’iyah) adalah
memberi kesempatan yang luas kepada suami-istri yang telah bercerai itu untuk merenung
baik-buruknya perceraian yang telah dijatuhkannya, sehingga keputusan apa pun yang
mereka ambil (apa tetap bercerai atau rujuk kembali) memang telah dipertimbangkannya
matang-matang dan dalam waktu yang lama.
Ada lagi satu lafal yang mempunyai makna hakiki dan majazi (kiasan) sekaligus.
Contohnya lafal “yunfau” dalam Q.S. AI-Maidah/5: 33. Ulama umumnya mengartikan ‘yunfau’
dengan “diusir dari kampung halaman”. Dan ini memang makna hakikinya. Tapi ulama
Hanafiyah mengartikannya dengan “penjara”. Implikasi hukumnya jelas berbeda. Ulama
pertama menetapkan hukuman bagi orang orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, atau
membuat kerusakan di bumi, dengan hukuman “diusir dari kampung halamannya”.
Sedangkan ulama Hanafiyah menetapkan “penjara” sebagai hukumannya.
Dua kasus di atas merupakan contoh yang sangat sederhana proses dan hasil ijtihad
dengan maksud agar mudah dicerna. Jelas, bahwa lafal AI-Quran dan hadits itu demikian
adanya, sehingga terkadang menimbulkan perbedaan paham.
Contoh lainnya lagi adalah dalam menetapkan mana lafal yang qath’i (benar secara mutlak)
dan mana pula lafal yang zhanni (penafsiran yang masih diperdebatkan). Menurut Quraish
Shihab, dilihat dari segi maknanya, ayat yang qath’i mempunyai arti yang pasti (maknanya),
sedangkan ayat yang zhanni adalah tidak pasti. Pada ayat yang yang zhanni inilah ada
peluang untuk berbeda pandangan. Untuk menentukan manakah ayat yang qath’i biasanya
memerlukan kesepakatan ulama. Tapi kesepakatan itu pun tidak secara resmi diumumkan,
misalnya bahwa ayat itu adalah qath’i
Metode berijtihad dalam Muhammadiyah disebut Manhaj Tarjih. Secara harfiah
manhaj tarjih berarti cara melakukan tarjih. Istilah tarjih berasal dari disiplin ilmu ushul fikih
yang berarti melakukan penilaian terhadap dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling
bertentangan atau evaluasi terhadap pendapat-pendapat (qoul) fikih untuk menentukan mana
yag lebih kuat.
Ketua MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar (2018) mengatakan
bahwa dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami perkembangan
makna. Dari makna yang dipahami sebagaimana menurut pengertian aslinya dalam ilmu
ushul fikih bergeser kepada makna yang lebih luas karena perkembangan kegiatan ketarjihan
di Muhammadiyah. Kegiatan ketarjihan adalah aktifitas intelektual untuk merespons berbagai
masalah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam.
Berdasarkan definisi manhaj tarjih tersebut memuat unsur-unsur: 1. Wawasan
(semangat/perspektif), 2. Sumber ajaran, 3. Pendekatan, 4. Metode (prosedur teknis.) Manhaj
tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang
agama Islam tidak sekedar bertumpu pada prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh
wawasan atau perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam
Muhammadiyah.
Wawasan/perspektif tarjih tersebut meliputi: 1. Wawasan paham agama, 2. Wawasan
tidak berafiliasi mazhab tertentu, 3. Wawasan tajdid, 4. Wawasan toleransi, 5. Wawasan
keterbukaan.

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
8

Wawasan Paham Agama


Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-nabi-nya, berupa perintah-
perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan
akhirat. Ini merupakan pengertian agama secara umum.
Disamping itu putusan tarjih mendefinisikan pula agama (yaitu agama islam) yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw adalah apa yang diturunkan Allah di dalam Quran dan yang
tersebut dalam sunnah sahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunai dan akhirat.
Wawasan Tajdid
Tajdid mempunyai dua arti, yakni dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna
pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai
dengan sunnah Nabi saw. dalam bidang muammalat duniawiyah, tajdid berarti
mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovaif sesuai
tuntunan zaman.
Wawasan Toleransi
Toleransi artinya bahwa putusan tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara
yang lainnya tidak benar. Dalam “Penerangan tentang hal tarjih” yang dikeluarkan tahun 1936,
dinyatakan, “Keputusan tarjih mulai merundingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat
perlawanan, yakni menantang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh tarjih itu”.
Wawasan Keterbukaan
Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh tarjih dapat dikritik dalam rangka
melakukan perbaikan, ketika apabila ditemukan dalil dan argumen yang lebih kuat, maka
majelis tarjih akan membahasnya dengan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang
kuat.
Wawasan Tidak Berafiliasi Mazhab
Memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung dari sumber sumber pokok,
yakni al-Quran dan sunnah melalui proses ijtihad dengan metode ijtihad-ijtihad yang ada.
Namun tidak berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. pendapat-pendapat
mereka itu sangat penting dan dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum
norma/ajaran yang lebih sesuai degan semangat di mana kita hidup.
Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian sumber-sumber pengambilan diktum
ajaran agama, yakni al-Quran dan sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi
Muhammadiyah.
Dalam beberapa dokumen resmi Muhammadiyah disebutkan, Pasal 4 ayat (1)
“Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakawah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid,
bersumber kepada al-Quran dan sunnah.” Dalam putusan tarjih di Jakarta tahun 2000 BAB II
angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan sunnah al-Maqbulah.”

RANGKUMAN
Dari uraian yang telah dikemukakan ini, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa
Ijthad adalah : pengarahan daya pikir yang sekuat-kuatnya, yang dilakukan oleh ahli fiqih,
yang mempunyai kemampuan mengggali hukum-hukum syara’ yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an hadis. Hukum melaksanakan ijtihad ada 5 yaitu wajib ain’, Fardu kifayah, sunat, mubah
dan haram. Hukum ini tergantung kepada pelaku ijtihad tersebut dan hukum yang diijtihadkan.
Macam-macam ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi[ta’lili] dan ijtihad isthilahi.
Sedangkan langkah-langkah berijtihad adalah pertama mereka merujuk kepada al-Qur’an,
jika ditemukan dalam al-Qur’an mujtahid merujuk kepada sunnah, jika tidak ditemukan dalam

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu
9

sunnah mujtahid merujuk kepada sahabat, bila tidak ada kesepakatan dari para sahabat maka
seorang mujtahid harus menggunakan daya dan ilmunya untuk melakukan ijtihad untuk
merumuskan sebuah hukum.
Seorang Mujtahid harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: mengetahui Al-Qur’an,
Asbabun Nuzul, Nasikh dan Mansukh, As-Sunnah, Ilmu Dirayah Hadis, Hadis yang Nasikh
dan Mansukh, Asbab Wurud Hadis, Bahasa Arab, tempat-tempat Ijma’, Ushul Fiqh, Maqashid
Syariah, Manusia dan kehidupan disekitarnya, serta bersifat adil dan takwa.
Metode berijtihad dalam Muhammadiyah disebut Manhaj Tarjih. Manhaj tarjih sebagai
kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam
tidak sekedar bertumpu pada prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh wawasan atau
perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah.

LATIHAN/TUGAS/LUARAN
1. Jelaskan Defenisi dari Ijtihad serta berikan contoh!!
2. Bagaimana pendekatan Ijtihad Hukum Islam Kontemporer?
3. Jelaskan Macam-macam Ijtihad!!
4. Jelaskan Syarat-syarat Mujtahid!!
5. Jelaskan Mahaj Tarjih Muhammadiyah!!

REFERENSI

Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
M. Syahrullah, dkk. 2018. Ekonomi Syariah: Konsep dan Aplikasinya. Pekanbaru: Asa Riau
Hakim, Atang Abd., 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nasrun Haroen. 1996. Ushul Fikih. Jakarta: Logos.
Syamsul Anwar. 2018. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Jurnal Tajdida Vol. 16, No.1
Wahbah al-Zuhaili. 2008. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr

Universitas Muhammadiyah Riau


Lembaga Penjaminan dan Pengendalian Kualitas Mutu

You might also like