Professional Documents
Culture Documents
TATAP MUKA 6
IJTIHAD SEBAGAI METODOLOGI PERUMUSAN HUKUM ISLAM
MEDIA PEMBELAJARAN
Media pembelajaran yang digunakan pada pembelajaran daring ini adalah: MLS Sikuli, google
meet, slide, tutorial, conference, video pembelajaran, dan lain-lain.
JUDUL
IJTIHAD SEBAGAI METODOLOGI PERUMUSAN HUKUM ISLAM
a. Pengertian Ijtihad
b. Macam-Macam Ijtihad
c. Syarat-syarat Ijtihad
d. Kedudukan hasil Ijtihad
URAIAN MATERI
ljtihad adalah salah satu pijakan dalam menetapkan sebuah hukum, dimana ada
peristiwa-peristiwa yang kemudian tidak ditemukan dasarnya di dalam al-Qur'an dan Sunnah.
Hal ini juga ditandai dalam perkembangan dunia saat ini yang semakin maju disertai dengan
era teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dalam beberapa bidang
kehidupan masyarakat, seperti kedokteran, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa
pengaruh yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan
masyarakat islam.
Abu lshaq al-Shatibi, mengemukakan bahwa dalam menggali suatu hukum dari dalil
syara’, seorang yang melakukan ijtihad, di samping berijtihad langsung kepada al-Qur’an juga
berijtihad dalam menerapkan hukum yang telah dihasilkan itu pada kenyataan yang ada. Oleh
sebab itu menurutnya, seorang yang melakukan ijtihad da|am menghadapi suatu kasus yang
harus dicarikan hukumnya, harus melakukan dua kali ijtihad. Ijtihad pertama adalah ijtihad
istinbati, yaitu berijtihad dalam memperoleh hukum dari nash, dan yang kedua ijtihad tatbiqi,
yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan ketentuan hukum yang telah dihasilkan dari
nash tersebut (Nasrun Harun: 1996).
Ijtihad adalah sebagaimana didefinisikan para ahli Ushul Fikih, yakni usaha mujtahid
dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum
sesuatu masalah engan menggunakan metodologi yang benar dari kedua sumber hukum AI-
Quran dan AI-Sunah. Dari definisi ahli Ushul Fikih di atas, ijtihad bukanlah dilakukan oleh
sembarang orang, melainkan orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad yaitu
“mujtahid”. Sumber hukumnya adalah : pertama, ayat -ayat AI-Qur’an yang berjumlah lebih
dari enam ribu ayat; baik sebagai satu kesatuan yang utuh-bulat, satu kesatuan surat persurat
maupun secara parsial ayat perayat ; kedua, hadits-hadits Nabi yang juga bejumlah ribuan
dan melalui seleksi yang ketat tentang ke-shahihannya ; dan ketiga, ijma’ para sahabat- Nabi.
Pendekatan Ijtihad Hukum Islam kontemporer menggunakan pendekatan metodologi
melalui proses trilogy formasi epistemologi bayâniy, ‘irfâniy, dan burhâniy (Syahrullah: 2018).
Dengan pendekatan tersebut, di samping dikaji pemikiran yang ada, juga dikritisi sehingga
dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya. Hal ini kemudian pada gilirannya dapat menjadi
jalan dan pijakan bagi upaya pembaharuan dan tawaran metodologi baru bagi pembaharuan
hukum Islam. Diharapkan materi hukum yang didapat nantinya dapat berkonstribusi bagi
pembaharuan hukum materil yang berlaku di Indonesia.
Epistemology bayâniy diaplikasikan dengan cara pemahaman terhadap dalil-dalil Al-
Qur’an dan Hadis pada Hukum Islam dan berusaha untuk memahami dalil tersebut dengan
pendekatan ilmu tafsir dan penalaran yang mendalam. Metodology ‘irfâniy diaplikasikan
dengan cara memahami tujuan atau maqashid dari setiap hukum yang dibahas. Dalam
metodologi ini, peneliti berusaha menganalogikan maqashid ditetapkannya oleh syari’at
tersebut kepada makna zhâhir yang ada dalam teks. Metodologi burhâniy diaplikasikan
dengan cara menganalisis implikasi-implikasi Hukum Islam, sehingga terjadinya proses
pembentukan konsep berdasarkan penelitian empiris dan terjadinya proses pembuktian
terhadap kebenaran konsep akad tersebut.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa, ijtihad اجتهادberasal dari akar kata jahada. Bentuk kata masdharnya
terdiri dari dua bentuk yang berbeda artinya antara lain :
a. Jahdun dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Seperti dalam Al-Qur’an
surat An- An’am ayat 109.
س ُموا ِباللَّ ِه َج ْه َد أ َ ْي َمانِ ِه ْم
َ وأ َ ْق...
َ
Artinya :Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan
b. Jahdun dengan arti kesungguhan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit,
berat dan susah. Seperti dalam Al-Qur’an surat An- Taubah ayat 79
َوالَّذِينَ ََل يَ ِجدُونَ ِإ ََّل ُج ْه َد ُه ْم فَيَ ْسخ َُرونَ ِم ْن ُه ْم....
Artinya : dan mereka (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka..
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978), ijtihad ialah :
إستفرغ الوسع في طلب الظن بشيء من األحكام الشرعية بحيث يحسي من نفس العجز عن المزيد فيه
Artinya: Mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari
hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usaha itu.
Menurut al-Imam al-Syaukani Ijtihad adalah :
بذل الوسع في نيل الحكم شرعي عملي بطريق اإلستنباط
Artinya: Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali
melalui cara istinbath.
Sedangkan al-Gazali mendepenisikan ijtihad adalah :
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشرعية
Artinya: pengarahan segala kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum-hukum
syar’i.
Muhammad Abu Zahrah, mengartikan bahwa ijtihad ialah pencurahan segenap
kemampuan untuk sampai kepada suatu tujuan atau perbuatan.
Dari uraian tersebut dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis besar seperti
berikut : Ijtihad adalah kegiatan Pengarahan daya pikir sekuat-kuatnya. Pelakunya Ahli fiqih
yang memenuhi persyaratan. Lapangannya, Suatu masalah yang tidak terdapat nash dalam
Al-Qur’an. Tujuannya adalah mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah. Sifat
Hukumnya Zanny, bukan qhat’i (dugaan kuat, bukan kepastian). Sistem/kaedah menurut jalan
pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqh, dibantu dengan
qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya).
B. Macam-Macam Ijtihad
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai
dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot (Amir Syarifudin: 1997), yaitu :
A. Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung
dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi
penunjukannya.
Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik).
Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks:
kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz
musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan
suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan kapan
pula makruh dan seterusnya.
Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut.
Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai
dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Alalh surat al-
Baqarah ayat 228
َ َو ْال ُم....
طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ث َ ََلثَةَ قُ ُروء
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dalam ayat ini memang dijelaskanbatas waktu iddah adalah tiga kali quru’ namun tiga
kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’ dengan
memahami petunjuk/Qarinah yang ada disebut ijtihad bayani
B. Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan
metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidaktersurat tetapi tersirat
dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh
hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”
فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو ََل تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو اَل ك َِري اما.
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
“akh” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul
orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila
dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
C. Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan
kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan
pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin
digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus
atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan
metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya
merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan
dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-
kaidah syara’.
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip
umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-
prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan esensial),
hajiyat (kebutuhan primer), tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini
ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh,
bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.
C. Syarat-syarat Ijtihad
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara
istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum).
Di samping akan menyebutkan syarat bagi seorang mujtahid terlebih dahulu kita harus
mengetahui tentang rukun ijtihad tersebut, adapun rukun ijtihad sebagai berikut: 1) al-Waqi’
yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh nash, 2)
mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad
dengan syarat-syarat tertentu, 3) mujtahid fiih ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali
(taklifi), dan 4) dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fiih.
Dalam menentukan syarat-syarat seorang mujtahid terdapat banyak perbedaan atau
pendapat dari beberapa pemikir Islam di antaranya, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad
al-Ghazali. Menurutnya, syarat-syarat bagi seorang mujtahid harus mempunyai kriteria:
pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kedua, adil dan tidak
melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
Menurut Fakhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Rozi, syarat-syaratnya
sebagai berikut: 1) mukallaf, 2) mengetahui makna-makna lafaz dan rahasia, 3) mengetahui
keadaan mukhattab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan, 4)
mengetahui keadaan lafaz, apakah memiliki qarinah atau tidak.
Sedangkan menurut Abu Ishak Bin Musa al-Syatibi, syarat-syarat mujtahid ada tiga:
pertama, memahami tujuan-tujuan syara, yaitu hifd al-din (dloruriyat), hifd al-nafs, hifd al-`aql,
hifd al-nasl, hifd al-mal hajiayt, dan tahsiniyat; kedua mampu melakukan penetapan hukum;
ketiga memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Seseorang yang menggeluti bidang fikih tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan
memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati dan sebagian
yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh
karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa
yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh.
Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana
al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al- Ghazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.
memberi analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Qur’an
tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa mengetahui sebab
turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an.
Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan.
Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan
dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga
sering menimbulkan perselisihan.
Mengetahui As-Sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan
as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi Saw
hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang
berseberangan dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa
bertentangan dengan ijma para ulama selama hasil ijtihad-nya membawa maslahat bagi umat.
jelas berbeda. Bagi Imam Hanafi, jika seorang istri yang telah bercerai mau menikah lagi
dengan laki-laki lain, ia cukup menunggu tiga kali haidh, sedangkan menurut Imam Syafi’i, ia
harus menunggu tiga kali suci.
Hikmah guru diartikan dengan haidh (dalam pandangan Hanafiyah) adalah agar
wanita yang telah bercerai dari suaminya bisa segera menikah lagi dengan laki-laki lain
pilihannya ; sementara hikmah diartikan dengan suci (dalam pandangan Syafi’iyah) adalah
memberi kesempatan yang luas kepada suami-istri yang telah bercerai itu untuk merenung
baik-buruknya perceraian yang telah dijatuhkannya, sehingga keputusan apa pun yang
mereka ambil (apa tetap bercerai atau rujuk kembali) memang telah dipertimbangkannya
matang-matang dan dalam waktu yang lama.
Ada lagi satu lafal yang mempunyai makna hakiki dan majazi (kiasan) sekaligus.
Contohnya lafal “yunfau” dalam Q.S. AI-Maidah/5: 33. Ulama umumnya mengartikan ‘yunfau’
dengan “diusir dari kampung halaman”. Dan ini memang makna hakikinya. Tapi ulama
Hanafiyah mengartikannya dengan “penjara”. Implikasi hukumnya jelas berbeda. Ulama
pertama menetapkan hukuman bagi orang orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, atau
membuat kerusakan di bumi, dengan hukuman “diusir dari kampung halamannya”.
Sedangkan ulama Hanafiyah menetapkan “penjara” sebagai hukumannya.
Dua kasus di atas merupakan contoh yang sangat sederhana proses dan hasil ijtihad
dengan maksud agar mudah dicerna. Jelas, bahwa lafal AI-Quran dan hadits itu demikian
adanya, sehingga terkadang menimbulkan perbedaan paham.
Contoh lainnya lagi adalah dalam menetapkan mana lafal yang qath’i (benar secara mutlak)
dan mana pula lafal yang zhanni (penafsiran yang masih diperdebatkan). Menurut Quraish
Shihab, dilihat dari segi maknanya, ayat yang qath’i mempunyai arti yang pasti (maknanya),
sedangkan ayat yang zhanni adalah tidak pasti. Pada ayat yang yang zhanni inilah ada
peluang untuk berbeda pandangan. Untuk menentukan manakah ayat yang qath’i biasanya
memerlukan kesepakatan ulama. Tapi kesepakatan itu pun tidak secara resmi diumumkan,
misalnya bahwa ayat itu adalah qath’i
Metode berijtihad dalam Muhammadiyah disebut Manhaj Tarjih. Secara harfiah
manhaj tarjih berarti cara melakukan tarjih. Istilah tarjih berasal dari disiplin ilmu ushul fikih
yang berarti melakukan penilaian terhadap dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling
bertentangan atau evaluasi terhadap pendapat-pendapat (qoul) fikih untuk menentukan mana
yag lebih kuat.
Ketua MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar (2018) mengatakan
bahwa dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami perkembangan
makna. Dari makna yang dipahami sebagaimana menurut pengertian aslinya dalam ilmu
ushul fikih bergeser kepada makna yang lebih luas karena perkembangan kegiatan ketarjihan
di Muhammadiyah. Kegiatan ketarjihan adalah aktifitas intelektual untuk merespons berbagai
masalah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam.
Berdasarkan definisi manhaj tarjih tersebut memuat unsur-unsur: 1. Wawasan
(semangat/perspektif), 2. Sumber ajaran, 3. Pendekatan, 4. Metode (prosedur teknis.) Manhaj
tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang
agama Islam tidak sekedar bertumpu pada prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh
wawasan atau perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam
Muhammadiyah.
Wawasan/perspektif tarjih tersebut meliputi: 1. Wawasan paham agama, 2. Wawasan
tidak berafiliasi mazhab tertentu, 3. Wawasan tajdid, 4. Wawasan toleransi, 5. Wawasan
keterbukaan.
RANGKUMAN
Dari uraian yang telah dikemukakan ini, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa
Ijthad adalah : pengarahan daya pikir yang sekuat-kuatnya, yang dilakukan oleh ahli fiqih,
yang mempunyai kemampuan mengggali hukum-hukum syara’ yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an hadis. Hukum melaksanakan ijtihad ada 5 yaitu wajib ain’, Fardu kifayah, sunat, mubah
dan haram. Hukum ini tergantung kepada pelaku ijtihad tersebut dan hukum yang diijtihadkan.
Macam-macam ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi[ta’lili] dan ijtihad isthilahi.
Sedangkan langkah-langkah berijtihad adalah pertama mereka merujuk kepada al-Qur’an,
jika ditemukan dalam al-Qur’an mujtahid merujuk kepada sunnah, jika tidak ditemukan dalam
sunnah mujtahid merujuk kepada sahabat, bila tidak ada kesepakatan dari para sahabat maka
seorang mujtahid harus menggunakan daya dan ilmunya untuk melakukan ijtihad untuk
merumuskan sebuah hukum.
Seorang Mujtahid harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: mengetahui Al-Qur’an,
Asbabun Nuzul, Nasikh dan Mansukh, As-Sunnah, Ilmu Dirayah Hadis, Hadis yang Nasikh
dan Mansukh, Asbab Wurud Hadis, Bahasa Arab, tempat-tempat Ijma’, Ushul Fiqh, Maqashid
Syariah, Manusia dan kehidupan disekitarnya, serta bersifat adil dan takwa.
Metode berijtihad dalam Muhammadiyah disebut Manhaj Tarjih. Manhaj tarjih sebagai
kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam
tidak sekedar bertumpu pada prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh wawasan atau
perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah.
LATIHAN/TUGAS/LUARAN
1. Jelaskan Defenisi dari Ijtihad serta berikan contoh!!
2. Bagaimana pendekatan Ijtihad Hukum Islam Kontemporer?
3. Jelaskan Macam-macam Ijtihad!!
4. Jelaskan Syarat-syarat Mujtahid!!
5. Jelaskan Mahaj Tarjih Muhammadiyah!!
REFERENSI
Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
M. Syahrullah, dkk. 2018. Ekonomi Syariah: Konsep dan Aplikasinya. Pekanbaru: Asa Riau
Hakim, Atang Abd., 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nasrun Haroen. 1996. Ushul Fikih. Jakarta: Logos.
Syamsul Anwar. 2018. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Jurnal Tajdida Vol. 16, No.1
Wahbah al-Zuhaili. 2008. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr