You are on page 1of 230

HUTAN TANAMAN RAKYAT :

ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN


RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

TUTI HERAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Hutan


Tanaman Rakyat : Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang
Bangun Model Konseptual Kebijakan adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Tuti Herawati
NIM E061060151
ABSTRACT
TUTI HERAWATI. Community Forest Estate: Policy Process Analysis and
Design of Policy Conceptual Model Under direction of NURHENI WIJAYANTO,
SAHARUDDIN, and ERIYATNO.

Community Forest Estate is a Ministry of Forestry policy launched at 2007. The


program was intended to increase productivity of logged over area through
development of plantation forest by community. The program is still on going and
until 2010 has poor performance in implementation, even though it was supported by
financial policy and many other facilities. This study was intended to find out some
constrain factors of Community Forest Estate policy implementation. It used a policy
process analysis and critical system thinking as practical research framework. The
result of the study is conceptual policy models for Sustainable Community Forest
Estate. The study revealed that the policy of CFE is centralistic and top down
approach. Therefore some misinterpretation appeared between local stakeholder
and policy maker in the implementation of CFE. Using the technique of
Interpretative Structural Model critical constrains factors were identified such as
institutional constrain, financial constrain, and management constrain. Conceptual
policy model of sustainable CFE management was developed, that consist of
Management Model, Institutional Model and Funding Model. In order to overcome
coordination problem it is recommended to create a Working Group of CFE in District
Level. Meanwhile, to increase benefit for local people it is suggested that Village
Owned Enterprise might be established. In addition, the General Service Agency of
Plantation Forest Development should improve the revolving fund process.

Key words: sustainable development, model, Community forest estate, soft system
methodology
RINGKASAN
TUTI HERAWATI. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan
dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Dibimbing oleh
NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, dan ERIYATNO

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai dicanangkan tahun 2007
merupakan upaya Kementerian Kehutanan untuk membangun hutan tanaman di
areal hutan bekas tebangan (LOA=logged over area). Hingga tahun 2010 kegiatan
ini berjalan lambat. Berbagai permasalahan dalam implementasi program HTR
menyebabkan pencapaian hasil kegiatan jauh dari target yang ditetapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis proses perumusan kebijakan
HTR, analisis respon dan implementasi program HTR, serta melakukan rancang
bangun model konseptual kebijakan untuk mendukung keberhasilan program HTR.
Landasan teori yang digunakan adalah perbandingan antara model linier dan model
non linier dalam proses perumusan kebijakan. Analisis proses perumusan kebijakan
HTR dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang latar belakang
dirumuskannya kebijakan. Selanjutnya dilakukan kajian respon para pihak di daerah
dan implementasi HTR di 3 provinsi terpilih yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan,
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancang bangun Model Konseptual
Kebijakan dilakukan melalui identifikasi masalah kunci dengan teknik Interpretative
Structural Modelling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan HTR bukan
merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap) dengan
melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang sebelumnya
telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh tingginya potensi
lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa spot kecil yang
tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit pasokan bahan
baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi,
maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses kepada masyarakat
sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat dilakukan melalui pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).
Proses perumusan kebijakan HTR dilakukan pada lingkup internal
Kementerian Kehutanan dengan diskursus tunggal yaitu pemberian hak konsesi.
Proses penyusunan landasan hukum kebijakan dilaksanakan melalui revisi terhadap
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan Pemerintah No.6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan. Prinsip pembangunan kehutanan yang diterapkan dalam
kebijakan HTR adalah usaha hutan tanaman dengan pola serupa dengan HTI
(Hutan Tanaman Industri), tetapi dalam skala kecil. Pengalaman di masa
sebelumnya memberikan pelajaran kepada birokrat Kementerian Kehutanan bahwa
pembangunan HTI menghadapi banyak hambatan dan permasalahan. Oleh
karenanya HTR merupakan alternatif lain dalam rangka pembangunan hutan
tanaman.
Prinsip pemikiran para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan
dengan persepsi dan pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di
lapangan. Pola fikir pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan
birokrat pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung
kepada adanya dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan
disediakan oleh pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholder
di daerah sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan
yang lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan
sesuai harapan. Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan
pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan
impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani
sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman.
Berdasarkan analisis sistem terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi
dalam implementasi program HTR dapat diketahui bahwa faktor utama yang harus
ditangani dalam pelaksanaan program HTR adalah (1) sinkronisasi rencana
pembangunan antara pusat dan daerah serta antar sektor (2) hubungan antar
lembaga pengelola yang terlibat dalam HTR, serta (3) masalah ketersediaan modal
untuk membangun HTR. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tersebut,
maka disusun model konseptual kebijakan HTR yang terdiri dari 3 bagian, yaitu :
(1) model pengelolaan/manajemen HTR, (2) model hubungan antar lembaga, dan
(3) model pendanaan HTR.
Model manajemen HTR merupakan upaya integrasi perencanaan
pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja
pemerintah baik pusat maupun daerah yang dillandasi asas komplementer. Model
hubungan antar lembaga adalah perwujudan sistem kelembagaan yang ditujukan
untuk mendukung implementasi kebijakan HTR. Dalam rangka merealisasikan
model konsepsi kebijakan tersebut diperlukan adanya pembentukan Kelompok Kerja
(Pokja) HTR di tingkat kabupaten dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sementara itu model pendanaan HTR ditujukan untuk menyediakan alternatif
pendanaan bagi pembangunan HTR.
Kelompok Kerja HTR di tingkat Kabupaten yang direkomendasikan dari model
merupakan lembaga antar muka yang menghimpun perwakilan dari berbagai
komponen stakeholder yaitu Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga
Swadaya Masyarakat, masyarakat petani HTR, serta komponen petugas
pendamping HTR. Fungsi Kelompok Kerja adalah untuk membangun koordinasi
antar komponen lembaga yang terlibat dalam rangka pembangunan bisnis hutan
tanaman rakyat. Dinas Kehutanan bertindak sebagai leading sector dalam
pembangunan HTR, mengingat basis HTR adalah pembangunan kawasan hutan
dan proses perizinan pemanfaatan hutan IUPHHK-HTR dilakukan di lingkup Dinas
Kehutanan Kabupaten. Upaya lain yang dapat ditempuh untuk mendukung
keberhasilan pembangunan HTR adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa.
BUMDes dibentuk sebagai pendorong pembangunan ekonomi pedesaan yang untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa menuju ke arah
kemandirian. Pengembangan BUMDes diharapkan merupakan upaya sinkronisasi
antara program pemerintah daerah dengan sektor kehutanan.

Kata kunci : perumusan kebijakan, soft system methodology, Hutan Tanaman


Rakyat, implementasi, model konseptual
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
HUTAN TANAMAN RAKYAT :
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN
RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

TUTI HERAWATI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Tachrir Fathoni, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Harry Santoso


Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.
Judul Disertasi : Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan
Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual
Kebijakan
Nama : Tuti Herawati
NIM : E 061060151

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.


Ketua

Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E. Dr. Ir. Saharuddin, M.Si.


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 21 Januari 2011 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Alhamdulilahi robbil alamin, disertasi yang berjudul “Hutan Tanaman Rakyat:


Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual
Kebijakan” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan disertasi bertujuan untuk mengkaji aspek proses perumusan kebijakan
Hutan Tanaman Rakyat, implementasi kebijakan di 3 Propinsi yaitu Riau, Kalimantan
Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakerta, serta Rancang Bangun Model
Konseptual Kebijakan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
sebagai ketua komisi pembimbing serta kepada Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. dan
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E. sebagai anggota komisi, atas bimbingan dan
pengarahannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S selaku ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kementerian Kehutanan, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di
Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CIFOR
dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah melibatkan penulis dalam proyek kerjasama
CIFOR-IPB untuk melakukan kajian kebijakan HTR di Propinsi Kalimantan Selatan
dan Riau, Ucapan terimakasih juga diucapkan kepada instansi-instansi yang telah
memberikan dukungan data dan informasi bagi penyusunan disertasi ini, terutama
kepada Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kalsel, DIY, Dinas Kehutanan Kabupaten
Gunung Kidul, Kementerian Kehutanan, dan seluruh pakar yang telah berpartisipasi
dalam proses penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan
yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga
selesainya penulisan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2011


Tuti Herawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 15 Desember 1973,
merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Hadi Suwarno (alm) dan
Wartini (almh). Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997. Pada tahun yang sama
penulis mendapatkan beasiswa program unggulan DIKTI URGE Batch IV untuk
melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Kehutanan.
Mulai tahun 1998 penulis bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil di Kementerian
Kehutanan, ditempatkan sebagai staf pada Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial (RLPS) di Jakarta. Tahun 2004 penulis mendapat SK alih
tugas menjadi fungsional peneliti pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, dan
tahun 2006 mendapatkan Tugas Belajar untuk menempuh pendidikan S3 pada
program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB.
Selama mengikuti program S3, penulis aktif melakukan kegiatan penelitian di
bidang analisis kebijakan dan kelembagaan dengan obyek kajian perhutanan sosial
baik yang dilakukan pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Ditjen RLPS,
Balai Penelitian Kehutanan Ciamis, maupun dalam kegiatan kerjasama dengan
perusahaan HTI, dan penelitian bersama team CIFOR (Centre for International
Forestry Research).
Sejak tahun 2004 penulis telah menyusun beberapa publikasi ilmiah terkait
Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial, dan dimuat dalam jurnal
Litbang Kehutanan, prosiding seminar, dan beberapa publikasi semi populer lingkup
Kehutanan. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan menyajikan paper mengenai
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada acara Konferensi Internasional
Negara-negara Berhutan Tropis, yang diselenggarakan di Kandy, Sri Lanka. Karya
Ilmiah berjudul ”Species Determination of HTR using Expert System” telah
dipresentasikan dalam Seminar Internasional Hutan Tanaman yang diselenggarakan
di Bogor, pada bulan November 2009. Karya tulis ilmiah lain berjudul ”Persepsi
Stakeholder terhadap Kebijakan HTR” diterbitkan pada Jurnal Analisis Kebijakan
Puslit Perubahan Iklim dan Kebijakan Vol.7 No.1 Desember 2010. Karya tulis
berjudul ”Local People on the State Forest Land: Case Study in Gunung Kidul
District” dipresentasikan pada Kongres IUFRO (International Union of Forestry
Research Organization) yang diselenggarakan tanggal 19-26 Agustus 2010 di Seoul,
Korea Selatan. Karya-Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi yang
penulis susun.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………. v

I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………..... 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………... 9
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……………………… 9
1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 10
1.6 Kebaruan ………………………………………………………….. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………......... 11


2.1 Definisi Hutan Tanaman Rakyat …………………………………. 11
2.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ........................................... 12
2.3 Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat.......... 15
2.4 Pembangunan Berkelanjutan .................................................... 21
2.5 Kebijakan Publik ........................................................................ 25
2.6 Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan .................................... 26
2.7 Analisis Proses Kebijakan ......................................................... 28
2.8 Teori Sistem dalam Riset Kebijakan .......................................... 31
2.9 Permodelan Interpretasi Struktural ………………………………. 37
2.10 Validasi Model ........................................................................... 42
2.11 Disertasi yang Relevan …………………………………………. 44

III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 49


3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian ……………………………… 49
3.2 Lokasi Penelitian ………………..…………….…………………… 54
3.3 Tahapan Kegiatan dan Waktu Penelitian …..…………………… 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 56
3.5 Analisis Data ............................................................................. 60
3.6 Verifikasi dan Validasi............................................................... 65

ix
IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR ...................... 67
4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan ………………………. 67
4.2 Proses Perumusan Kebijakan HTR........................................... 86
4.3 Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan ................................. 91
4.4 Model Perumusan Kebijakan HTR............................................ 93

V. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................ 99
5.1 Implementasi Kebijakan HTR .................................................... 99
5.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................. 109
5.3 Respon Pemangku Kepentingan terhadap kebijakan HTR ....... 120
5.4 Respon Masyarakat terhadap kebijakan HTR ........................... 123
5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan .................... 131

VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN …………………………… 137


6.1 Strukturisasi Elemen……………………………………………….. 137
6.2 Pengembangan Kebijakan ........................................................ 156
6.3 Model Konseptual Kebijakan HTR Berkelanjutan....................... 159
6.4 Validasi Model dan Prospektif Dampak ………………………… 171
6.5 Implikasi Kebijakan ………………………………………………... 174

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 179

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 183


DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... 196

x
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 - 2010..................................... 13
2 Mekanisme Pencadangan Areal HTR …………………………………… 16
3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR ………………………………….. 18
4 Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR ................ 20
5 Definisi kebijakan publik ………………………………………………….. 24

6 Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi dan penelitian kebijakan ...... 27


7 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM .................. 41
8 Peubah dan sumber data penelitian ...................................................... 57
9 Jumlah informan penelitian .................................................................. 57
10 Proses konseptualisasi data wawancara .............................................. 61
11 Proses kategorisasi data wawancara ................................................... 61
12 Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009 ............... 74
13 Timeline kebijakan yang mempengaruhi perumusan kebijakan HTR ... 84
14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR ..................................... 90
15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru pembangunan dan
perbandingannya dengan pembangunan berbasis inisiatif masyarakat
lokal ....................................................................................................... 96
16 Data kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah
Istimewa Yogyakarta ............................................................................ 100
17 Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau,
Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta ........................ 101
18 Bentuk izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan .......... 105
19 Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan .................... 106
20 Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan
Masyarakat ………………………………………………………………….. 122
21 Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR ... 128
22 Analisis kondisi implementasi dan respon daerah .............................. 130
23 Elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR.............. 137
24 Elemen kebutuhan terhadap program Pengelolaan HTR berkelanjutan 143
25 Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR ...................... 144
26 Elemen tujuan pengelolaan HTR ...................... .................................... 146
27 Elemen kendala utama pengelolaan HTR ............................................. 148
28 Elemen kegiatan yang diperlukan ......................................................... 152
29 Peubah kunci sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat .................. 158

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Mekanisme penetapan peta pencadangan areal HTR ….……………... 16
2 Tata cara permohonan IUPHHK HTR berdasarkan Permenhut
P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P.5/Menhut-II/2008........................ 17
3 Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008) ......................................... 27
4 Model linier kebijakan dari Grindle&Thomas (1990) ............................. 28
5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan
(Richardson & Pugh 1983) ……………………………………………….. 34
6 Proses soft system methodology (Checkland 1999) …………………… 36
7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie &
Soussan (2001) .................................................................................... 51
8 Kerangka penelitian ............................................................................... 53
9 Lokasi penelitian .................................................................................... 54
10 Tahapan penelitian ................................................................................ 55
11 Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) ............................................. 64
12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia ............................................. 68

13 Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia................................ 73

14 Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998


dengan tahun 2009 (sumber data: Santosa 2010) ............................... 74
15 Komposisi modal perusahaan HTI ...................................................... 76
16 Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan
pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia................................ 79
17 Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR ......................... 82
18 Persentase kawasan hutan di Propinsi Riau berdasarkan fungsinya ... 102
19 Persentase luas kawasan hutan di Propinsi Kalimantan Selatan
berdasarkan fungsinya .......................................................................... 105
20 Persentase kawasan hutan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan fungsinya .......................................................................... 107
21 Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau ................................................ 110
22 Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau ................................................. 111
23 Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau ………. 111
24 Hutan tanaman mahoni di lahan milik petani di Provinsi Kalsel ............ 115

xii
25 Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul ............. 117
26 Peta Kecamatan Semanu ..................................................................... 117
27 Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ........ 119
28 Respon pemangku kepentingan terhadap kebijakan HTR .................... 121
29 Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme
perijinan HTR ......................................................................................... 122
30 Struktur sistem elemen lembaga yang berpengaruh dalam
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ................................................... 137
31 Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan HTR ............................................................ 141
32 Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR.................. 143
33 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen
kebutuhan terhadap HTR....................................................................... 144
34 Struktur hirarki elemen tujuan ............................................................... 146
35 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan .... 147
36 Struktur hirarki sistem elemen kendala utama ...................................... 149
37 Matriks driver power-dependence sub-elemen kendala utama ……….. 149
38 Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan ...................... 153
39 Matriks driver power-dependence sub-elemen pad elemen kegiatan
yang diperlukan ..................................................................................... 154
40 Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan ................. 157
41 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) .............. 158
42 Sistem pengelolan HTR berkelanjutan ........................................ 160
43 Model manajemen HTR ……………………………………………………. 161
44 Model lembaga pengelola HTR ............................................................. 164
45 Model pendanaan HTR ……………………………………………………. 167
46 Alokasi dana BLU Pusat P2H ................................................................ 169
47 Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR ……... 172
48 Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR ............. 172
49 Target dan realisasi kegiatan HTR ……………………………………….. 173
50 Proyeksi pencapaian pembangunan HTR setelah penerapan
kebijakan ............................................................................................... 174

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR ....................................... 197
2 Proses Pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman
Rakyat.................................................................................................... 198
3 Daftar Pertanyaan untuk Proses Perumusan Kebijakan HTR ............... 199
4 Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi ................... 201
5 Catatan Lapangan Hasil Wawancara .................................................... 204
6 Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat ..................................... 206
7 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan akan HTR berkelanjutan ............... 207
8 Hasil ISM untuk elemen tujuan ............................................................. 208
9 Hasil ISM untuk elemen tujuan ............................................................. 209
10 Hasil ISM untuk elemen kendala utama ............................................... 210
11 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam sistem pengelolaan HTR … 211

xiv
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analisis kebijakan sering disamakan pengertiannya dengan penelitian
kebijakan atau kajian tentang suatu kebijakan. Beberapa ahli kebijakan tidak
membedakan antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan, misalnya
Mayer & Greenwood (1980) dan Damin (1997). Menurut para ahli tersebut
analisis kebijakan dan penelitian kebijakan dapat dipertukarkan untuk merujuk
pada hal yang sama. Sementara itu, Weimer dan Vining (1999) memisahkan
dengan jelas antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan.
Definisi tentang analisis kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli
diantaranya Quade (1982), Dye (1995), dan Dunn (2004). Pengertian umum dari
analisis kebijakan adalah studi antar disiplin dengan penggunaan beragam teknik
untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan agar
ditemukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan yang
dihadapi. Tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pengambil
keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik (Quade 1976).
Nugroho (2008) dengan mengembangkan pemikiran Michael Hill dalam
The Policy Process (2005), menyatakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu
analisis tentang kebijakan (studies of policies) dan analisis untuk merumuskan
suatu atau beberapa kebijakan (studies for policies). Dengan demikian
pemahaman tentang analisis kebijakan tidak serta merta berkenaan dengan
analisis untuk merumuskan kebijakan saja namun juga analisis tentang
kebijakan.
Berdasarkan konsep tersebut, Nugroho (2008) selanjutnya menjelaskan
bahwa analisis kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum perumusan
kebijakan, atau merupakan proses inisiasi perumusan kebijakan. Kegiatan ini
dapat menggunakan satu atau beberapa pendekatan metodologis, dan dapat
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dengan produk berupa rekomendasi
kebijakan (policy recommendation). Sementara itu penelitian kebijakan dapat
dilakukan pada semua tahap proses kebijakan baik pada fase perumusan,
implementasi maupun tahap evaluasi kebijakan. Tujuan utama dari penelitian
kebijakan tidak untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan semata, melainkan
untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) terhadap suatu
kebijakan.
2

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Eriyatno & Sofyar
(2007) bahwa hasil riset atau studi kebijakan bukanlah sekedar rekomendasi dan
pernyataan tentang dampak dari kebijakan. Hasil riset kebijakan yang efektif
adalah upaya konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang sedang dikaji.
Oleh karena itu, hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif
menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan.
Permasalahan kehutanan saat ini berkembang semakin kompleks.
Tantangan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tidak lagi cukup didekati dengan solusi yang bersifat
teknis kehutanan. Hal demikian merupakan tuntutan dari pergeseran peta
permasalahan kehutanan dari yang semula berorientasi kepada masalah-
masalah teknis menuju masalah sosial serta kebijakan sektor kehutanan
(Puslitsosekhut 2005).
Peta permasalahan pembangunan kehutanan di Indonesia dapat dirunut
berdasarkan paradigma yang mendasari kebijakan pengelolaan hutan. Lyndayati
(2002) membagi periode kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia
menjadi dua bagian. Periode pertama, yaitu pada masa awal pembangunan-
pasca kemerdekaan hingga akhir tahun 1970-an, dengan paradigma State Based
Forest Management. Periode kedua dimulai sekitar tahun 1980-an hingga
sekarang dengan paradigma Community Based Forest Management (CBFM).
Pada periode State Based Forest Management hutan dilihat sebagai
sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu, serta pengelola hutan
adalah agen negara (BUMN & Perum) serta perusahaan HPH dan HPHHTI
sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Secara politik, hutan Indonesia
diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada
lembaga pemerintah dan lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan
kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh
masyarakat (Awang 2003).
Setelah berjalan selama lebih dari dua dasawarsa, hasil evaluasi terhadap
kinerja pengelolaan hutan dengan izin konsesi HPH menunjukkan kinerja yang
kurang baik (Kartodihardjo 1998). Degradasi hutan di Indonesia dengan laju
yang sangat tinggi merupakan bukti nyata dari pengelolaan hutan yang tidak
lestari. Data dari Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun
1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di
tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%.
3

*
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada periode 1985-
1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per
tahun. Periode 1997-2000 laju deforestrasi mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali
pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Sementara itu, data
yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The
UN Food & Agriculture Organization (FAO), menunjukkan angka deforestasi
Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun.
Selain dampak deforestrasi dan degradasi sumber daya hutan di Indonesia,
kebijakan dengan paradigma State Based Forest Management juga merupakan
sebuah tindakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat (Anshari et al. 2005;
Lyndayati 2002). Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dinikmati
oleh para pengusaha. Masyarakat sekitar hutan terpinggirkan, padahal bagi
mereka hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan, bahan
bangunan, kayu bakar, dan sumber penghasilan. World Research Institute
dalam Lynch & Talbot (1995) melaporkan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30%
dari total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidupnya tergantung
pada sumberdaya hutan.
Perubahan paradigma State Based Forest Management menjadi
Community Based Forest Management (CBFM) dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini terbukti
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan CBFM melalui
perhutanan sosial menjadi salah satu harapan penting dalam pengelolaan hutan
yang berorientasi bukan hanya kepentingan produksi dan pelestarian hutan tetapi
juga berpihak pada hak, martabat, dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan berbasis CBFM di Indonesia telah dilaksanakan selama lebih
dari 20 tahun (Lyndayati 2002). Sebuah rentang waktu yang cukup untuk dapat
menelaah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kondisi hutan
Indonesia dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbagai program kegiatan
telah dilakukan dengan beberapa nama atau istilah, misalnya tumpangsari,
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), hingga Hutan

*
Perubahan nama Departemen Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan
berdasarkan Peraturan Presiden No.47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara. Nama Departemen Kehutanan dalam disertasi ini tetap
digunakan jika berkaitan dengan penyebutan produk peraturan perundangan atau
sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Peraturan Presiden No.47/2009 ditetapkan.
4

Kemasyarakatan (HKM). Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya bertujuan


untuk memberikan hak akses bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan
negara.
Bentuk kebijakan terbaru dari Kementerian yang mengatur hak akses
masyarakat untuk mengelola hutan negara adalah HTR (Hutan Tanaman
Rakyat). Kebijakan ini mulai digulirkan pada tahun 2007. HTR merupakan salah
satu program strategis Kementerian Kehutanan dalam upaya peningkatan
produksi kayu nasional yang saat ini mengalami kekurangan pasokan. Data dari
kegiatan sintesa kebutuhan kayu nasional menunjukkan bahwa permintaan kayu
saat ini sebesar 50-60 juta m3/tahun. Pemenuhan kayu secara lestari dari hutan
alam dan hutan tanaman yang saat ini ada baru mencapai 25-30 juta m3/tahun.
Hal ini menunjukkan adanya praktek pemanenan kayu yang dilakukan secara
tidak lestari sebesar 50% dari kebutuhan kayu nasional (CSREF 2005). Jika
kondisi ini terus dibiarkan maka kelestarian sumberdaya hutan semakin
terancam. Oleh karenanya perlu upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu sumber alternatif
upaya untuk menjawab masalah kekurangan pasokan kayu tersebut.
Meskipun program HTR telah dilengkapi dengan kebijakan mengenai akses
lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang
meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007). Dalam Is HTR a
new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al.
(2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program
HTI-plasma dan program HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang belum
menunjukkan hasil memuaskan. Permasalahan utama yang harus menjadi
perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah: masalah tingginya alokasi
anggaran pembangunan HTR, masalah akuntabilitas, dan tingginya potensi
konflik lahan.
Terkait masalah konflik lahan hasil kajian Contreras-Hermosilla et al. (2006)
menunjukkan bahwa 52% kawasan hutan, yang secara konstitusi dinyatakan
sebagai milik negara, pada kenyataannya merupakan hutan yang telah dikelola
oleh masyarakat secara turun temurun dan telah mereka anggap sebagai hutan
hak milik masyarakat atau hak milik adat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa baru
10% kawasan hutan negara yang telah selesai ditentukan tata batasnya. Oleh
karenanya program HTR diperkirakan akan mendapatkan banyak hambatan
dalam pelaksanaannya.
5

Setelah digulirkan selama hampir tiga tahun, pencapaian program


pembangunan Hutan Tanaman Rakyat masih rendah. Pada awal pencanangan
program, Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Usaha
Kehutanan* menetapkan target pembangunan 5.400.000 ha Hutan Tanaman
Rakyat (Dephut 2007; Emila & Suwito 2007). Akan tetapi data Direktorat
Jenderal Bina Usaha Kehutanan pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Ijin
Usaha HTR baru diterbitkan di 21 kabupaten, dengan total luas 87.299,89 ha
atau 1,62% dari target yang ditetapkan. Beberapa kabupaten yang telah
menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTR antara
lain : Aceh Utara I, Mandailing Natal-Sumatera Utara, Sarolangun-Jambi, Ogan
Komering Ilir-Sumatera Selatan, Kaur-Bengkulu, Tebo-Jambi, Kotawaringin
Barat-Kalimantan Tengah, Gunungkidul-Daerah Istimewa Yogyakarta, Konawe
Selatan dan Kolaka-Sulawesi Utara, Halmahera Selatan-Maluku Utara, dan
Nabire-Papua.
Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil
penelitian HTR masih sangat terbatas. Beberapa hasil kajian yang terkait
dengan kebijakan HTR adalah aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR
(Emila & Suwito 2007), efektifitas dan strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009),
paradigma kebijakan HTR (Noordwijk et al. 2007), kajian penetapan harga dasar
kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawati et al. 2008) dan strategi
pengelolaan HTR di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009).
Oleh karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data
dan informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

1.2 Perumusan Masalah


Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mendapat dukungan kuat dari para
pengambil kebijakan di tingkat pusat. Menteri Kehutanan dalam beberapa

kesempatan menegaskan bahwa program HTR harus berhasil, sehingga segala
faktor yang bisa menghambat keberhasilannya harus dapat diatasi. Salah satu
masalah yang diprediksikan dapat menghambat program HTR adalah aspek

*
Nama Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menggantikan nama Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 130/M
Tahun 2010 tanggal 16 September 2010. Penyebutan Dirjen BPK digunakan jika
berkaitan dengan produk perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum
Kepres ditetapkan.

Dua diantaranya dinyatakan dalam Sambutan Menteri Kehutanan pada dialog Dephut
dan CIFOR 7 April 2009 dan Sambutan Menteri Kehutanan pada Dialog dan Lokakarya
Pembangunan HTR, Bogor, 26-27 Mei 2009.
6

ketersediaan modal. Untuk itu, Kementerian Kehutanan telah membentuk Badan


Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) yang
bertugas antara lain untuk menyalurkan pinjaman modal bagi para petani
pemegang izin usaha HTR.
Di satu sisi kebijakan HTR mendapat dukungan kuat di tingkat nasional,
namun dalam implementasi di lapangan berjalan lambat. Kondisi kontradiksi ini
menarik untuk diteliti. Pertanyaan umum yang muncul dari kondisi seperti ini
adalah mengapa sebuah program yang mendapat dukungan kuat di tingkat
nasional, namun pada tahap implementasi berjalan lambat.
Patton dan Savicky (1993) sebagimana dikutip dalam Nugroho (2008)
menyatakan kesalahan yang sering terjadi dalam memandang implementasi
kebijakan adalah bahwa proses implementasi merupakan masalah manajemen
semata. Oleh karena itu Patton dan Savicky sangat menekankan bahwa
implementasi merupakan bagian dari proses kebijakan. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa sebuah kebijakan yang didukung oleh otoritas tertinggi sekalipun belum
tentu efektif karena bisa jadi birokrasi pelaksana di tingkat bawah (street level
bereucrats) tidak mampu ataupun tidak mau melaksanakannya karena kendala di
tingkat mereka.
Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Sutton (1999) yang
menyatakan adanya dikotomi antara proses perumusan kebijakan dengan
implementasinya. Sutton mengungkapkan bahwa implementasi sebuah
kebijakan tidak bisa dilihat secara parsial pada aspek pelaksanaan saja,
melainkan harus dikaji secara menyeluruh mulai dari tahap awal perumusan
kebijakan.
Sutton (1999) dalam “The Policy Process: An Overview” dan IDS (2006)
dalam “Understanding Policy Processes” mengajukan bantahan terhadap model
linier kebijakan. Model linier kebijakan merupakan model yang selama ini
menjadi arus utama atau banyak dianut dalam analisis kebijakan. Model linier
menekankan bahwa penyusunan kebijakan merupakan sebuah upaya
pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan analitik.
Model linier menunjukkan bahwa keputusan diambil sebagai hasil sebuah
rangkaian tindakan yang berurutan, dimulai dengan identifikasi masalah,
pemilihan alternatif solusi terbaik, dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk
menyelesaikan permasalahan.
7

Model linier menggunakan asumsi bahwa pembuat keputusan telah


menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan.
Oleh karena itu model linier disebut juga sebagai model rasional, artinya
pengambil keputusan menetapkan permasalahan secara rasional dan mengambil
pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan demikian
pilihan kebijakan yang ditetapkan merupakan solusi terbaik dari berbagai
alternatif solusi pemecahan masalah yang tersedia.
Inti dari kritik yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) adalah
bahwa asumsi-asumsi yang diperlukan untuk terpenuhinya model linier sulit
untuk dipenuhi. Model rasional atau model linier dipandang oleh Sutton (1999)
dan IDS (2006) sebagai: (1) sebuah proses murni dari kegiatan administrasi dan
birokrasi; (2) fase implementasi sepenuhnya merupakan masalah prosedur
teknik; (3) peran para ahli merupakan faktor penting dalam proses pemilihan
keputusan yang rasional; dan (4) kepakaran para ilmuwan dinilai bersifat objektif
dan independent (bebas nilai). Model linier juga mengasumsikan adanya
pemisahan yang jelas antara fakta dengan nilai-nilai yang berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan. Pendapat Sutton dan IDS tersebut memperkuat
pernyataan Juma & Clark (1995) yang menyatakan bahwa jika kebijakan tidak
mencapai apa yang diharapkan maka kesalahan senantiasa dialamatkan pada
fase implementasi. Faktor penyebabnya bisa karena keterbatasan sumberdaya
atau karena kurangnya “political will” atau keengganan untuk melaksanakan
kebijakan.
Berdasarkan perdebatan tersebut Sutton (1999) dan IDS (2006)
menyajikan pandangan lain tentang proses perumusan kebijakan. Sebuah
kebijakan dirumuskan melalui mekanisme yang kompleks dan tidak beraturan
dengan karakteristik sebagai berikut : (1) proses pembuatan kebijakan perlu
difahami sebagai sebuah proses politik; (2) proses pembuatan kebijakan bersifat
incremental (bertahap), iterative (berulang), dan experimental (uji coba), serta
belajar dari kesalahan.
Berdasarkan landasan teori tersebut maka pertanyaan pertama yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “apakah proses perumusan kebijakan HTR
dilakukan dengan mengikuti model linier?” “ataukah sebagai model acak?”
sebagaimana argumentasi Sutton (1999) dan IDS (2006). Jika sebuah kebijakan
dirumuskan melalui model linier maka kebijakan tersebut telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan segala faktor kendala dan keterbatasan yang akan dihadapi
8

pada fase pelaksanaanya. Selain itu model linier dipenuhi ketika pengambil
kebijakan telah mengumpulkan informasi yang memadai untuk menetapkan
alternatif pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Beberapa indikasi
mengarah pada dugaan sementara bahwa proses dan asumsi tersebut tidak
dipenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi untuk
mendapatkan jawaban atas hipotesis tersebut.
Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang kinerja kebijakan HTR
maka perlu pula dikaji bagaimana kebijakan HTR diimplementasikan di tingkat
lapangan. Winter (1990) menyatakan selain proses formulasi kebijakan faktor
lain yang perlu dipertimbangkan dari sebuah kebijakan adalah respon pihak
pelaksana kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan
oleh respon dari kelompok target kebijakan . Kelompok sasaran dari kebijakan
HTR adalah masyarakat sekitar hutan dan para pemangku kepentingan di
daerah. Untuk itu pertanyaan penelitian kedua yang diajukan adalah bagaimana
para pihak di daerah merespon kebijakan HTR serta bagaimana hubungan
respon tersebut dengan keberhasilan implementasi HTR. Pertanyaan penelitian
kedua ini menghasilkan rumusan hipotesis penelitian adanya hubungan antara
respon para pemangku kepentingan di daerah dengan tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan HTR.
Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah
membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Oleh
karena itu, setelah mengkaji tahap proses perumusan kebijakan dan tahap
evaluasi terhadap implementasi kebijakan HTR, penelitian ini selanjutnya
mempertanyakan upaya apa yang harus dilakukan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Jawaban atas pertanyaan penelitian
tersebut dilakukan melalui kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis terhadap
kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu:
1. melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR
2. melakukan analisis respon pemangku kepentingan dan analisis implementasi
kebijakan HTR di daerah
3. melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan Hutan Tanaman
Rakyat.
9

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


Hutan Tanaman Rakyat yang dimaksud dalam kajian ini merujuk pada
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No.23 Tahun 2008
dan seluruh aturan di bawahnya yang menjadi landasan dalam pelaksanaan
kegiatan HTR di lapangan. Definisi HTR menurut peraturan perundangan adalah
hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat
untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Lingkup kajian meliputi penelitian kebijakan berupa analisa proses
perumusan kebijakan, analisis respon para pihak di daerah terhadap kebijakan
HTR, evaluasi dari implementasi program HTR di lapangan dan perumusan
model konseptual kebijakan HTR.
Penelitian proses perumusan kebijakan dibatasi pada analisis terhadap
latar belakang ide dan gagasan digulirkannya kebijakan HTR, aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan HTR dan kondisi yang mendukung untuk
diwujudkannya HTR sebagai kebijakan nasional. Sementara itu kegiatan respon
dan implementasi kebijakan HTR dibatasi dengan mengambil sampel lokasi
penelitian di tiga provinsi, yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perumusan strategi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan
HTR dibatasi pada kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan. Model
ini merupakan rekomendasi bagi para pelaksana kegiatan HTR.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan
bagi para pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam
pelaksanaan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam
melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam aspek proses perumusan
kebijakan dan respon para pihak yang terkait dengan implementasi sebuah
kebijakan.
10

Model konseptual kebijakan dapat menjadi justifikasi dalam penggunaan


konsep pembangunan hutan tanaman oleh masyarakat sebagai salah satu
inovasi dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan hutan yang terdegradasi
dan dalam rangka meningkatkan produksi kayu. Di samping itu kegiatan
penelitian ini juga dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang sedang atau
akan meneliti topik yang berkaitan dengan analisa proses kebijakan, pengelolaan
hutan berbasis masyarakat, dan pengembangan ilmu permodelan.

1.6 Kebaruan
Kebaruan dari penelitian mengenai kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ini
adalah :
1) Penerapan metodologi penelitian proses perumusan kebijakan. .
2) Pengembangan kebijakan pengelolaan HTR didasarkan pada pemodelan
pengelolaan melalui pendekatan soft system methodology yang
mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi, yang dilakukan melalui
pendekatan sistem
3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan model
pengelolaan HTR dalam hal: a) Model Manajemen yang mengintegrasikan
rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan; b) Model
Lembaga HTR; dan c) Model Pendanaan HTR.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hutan Tanaman Rakyat


Hutan Tanaman Rakyat merupakan salah satu bentuk kebijakan
Kementerian Kehutanan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat dalam
mengelola hutan negara. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 6/2007 jo PP No.3/2008. Pasal 37
pada PP 6/2007 berbunyi ”Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman
pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d
dapat dilakukan pada : a. HTI (Hutan Tanaman Industri); b. HTR (Hutan
Tanaman Rakyat); atau c. HTHR (Hutan Tanaman Hasil Reboisasi)”.
Definisi Hutan Tanaman Rakyat menurut Peraturan Pemerintah No.6
Tahun 2007 adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya
hutan (Bab 1 pasal 1 ayat 19).
Hutan tanaman secara umum didefinisikan sebagai tegakan hutan yang
dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau
penghutanan kembali (FAO 2001; Carley & Holmgren 2003; Farrelly 2007;
Schirmer 2007).
Evans (1992) mendefinisikan hutan tanaman sebagai hutan yang dibangun
dan dikelola melalui kegiatan permudaan buatan atau penaburan/penanaman
bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau man-made forest). Hutan
tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang
ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku
untuk industri pengolahan kayu, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi,
konservasi tanah dan sebagainya. Hutan tanaman merupakan sumber daya
yang tumbuh (growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa
memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat
mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang
diinginkan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Karenanya pertimbangan
dalam pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan memiliki
karakteristik khas, seperti cepat tumbuh, persyaratan pengelolaan yang tidak
rumit dan produktivitas yang tinggi.
12

Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bulat


sekaligus mengurangi deforestrasi. FAO (2001) menyatakan bahwa 48%
pembangunan hutan tanaman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
bagi industri pengolahan kayu (industri pulp & paper dan industri penggergajian),
26% untuk keperluan non industri (bangunan rumah tangga, kayu bakar,
konservasi air dan tanah, dan lainnya).
Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan
bagian kegiatan penghijauan dan rehabilitasi dengan tujuan utama memperbaiki
keadaan areal kritis dalam daerah-daerah sumber air, serta menggunakan jenis
cepat tumbuh seperti kalianda (Caliandra spp.), sengon (Paraserianthes
falcataria), Eukaliptus (Eucalyptus deglupta; E.uropylla), akasia (Acacia spp), dan
lainnya. Seiring dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk
memasok kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, maka
pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang, khususnya
guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo & Supriono 2000; FAO
2001, Ngadiono 2004).

2.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat


Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai digulirkan tahun 2007
merupakan produk kebijakan Kementerian Kehutanan untuk memberikan akses
kepada masyarakat dalam mengelola hutan produksi (milik negara). Pemerintah
memberikan pengakuan kepada masyarakat yang menjadi peserta program HTR
dengan aspek legal berupa Surat Keterangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR).
Dalam tataran pembangunan nasional, kebijakan ini terkait dengan tiga
agenda strategi ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) yaitu agenda
pertumbuhan ekonomi (pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), dan
pengentasan kemiskinan (pro-poor). Hutan Tanaman Rakyat merupakan bentuk
kebijakan operasional dari revitalisasi industri kehutanan. HTR dimaksudkan
untuk menambah sumber pemasok bahan baku kayu bagi industri kehutanan.
Selain itu HTR juga ditujukan sebagai upaya pembangunan kehutanan yang
berpihak pada masyarakat, dengan memberikan peluang usaha dan bekerja
sebagai pengelola sumber daya hutan (Emila & Suwito 2007)
Kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi HTR adalah hutan
produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak lain, dan letaknya
13

diutamakan dekat dengan industri hasil hutan serta telah ditetapkan


pencadangannya sebagai lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan. Luas lahan hutan
produksi yang dicadangkan untuk HTR adalah 5,4 juta ha dengan kategori lahan
hutan bekas tebangan (LOA=logged over area) dan lahan hutan terdegradasi
(degraded forest land). Lokasi HTR ditetapkan oleh KementerianKehutanan
dengan proses konsultasi bersama pemerintah daerah. Tabel 1 menyajikan data
rencana pembangunan HTR melalui pencadangan alokasi lahan hutan untuk
kegiatan HTR periode 2007 – 2010 yang bersumber dari Direktorat Jenderal Bina
Usaha Kehutanan. Target penanaman HTR ditetapkan oleh Direktorat Jenderal
Bina Usaha Kehutanan mulai tahun 2007 seluas 200.000 ha setiap tahun dan
diharapkan pada tahun 2016 seluruh areal pencadangan HTR dapat tertanami
Tabel 1 Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 – 2010
No Tahun Luas Lahan Jumlah Kepala Keluarga
(Ha) (KK)
1. 2007 1.400.000 93.333
2. 2008 1.400.000 93.333
3. 2009 1.400.000 93.333
4. 2010 1.200.000 80.000
Total 5.400.000 360.000
(sumber : Emila & Suwito 2007)
Untuk mengantisipasi masalah permodalan dalam pembangunan HTR,
masyarakat diberi kesempatan untuk memperoleh pinjaman modal kepada
Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. Bantuan
modal yang diberikan kepada masyarakat sebesar Rp 8 juta per ha. Jumlah
kepala Keluarga yang akan terlibat dalam program ini diperkirakan sebanyak
360.000 KK (Dephut 2007).
Ada 3 pola yang dikembangkan dalam pelaksanaan program HTR, yaitu;
pola kemitraan, pola mandiri, dan pola developer (Permenhut P.23/2007 pasal 5).
1. HTR Pola Mandiri dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat setempat
dengan membentuk kelompok kemudian mengajukan izin. Pemerintah
kemudian mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu
dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab
atas pelaksanaan HTR, pengajuan kredit, pasar, dan pendampingan dari
pemerintah/Pemda.
14

Proses penyelenggaraan kegiatan HTR dengan pola mandiri, melalui 6


ketentuan sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri
Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi,
perorangan diutamakan membentuk kelompok untuk memudahkan
pelayanan dalam proses permohonan izin dan pinjaman biaya pembangunan
HTR; 3) Ketua kelompok mengkoordinir pelaksanaan HTR, pengajuan dan
pengembalian pinjaman, pemasaran hasil hutan tanaman rakyat serta
kegiatan lain termasuk pendampingan anggota kelompok dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat; 4) Pembangunan
HTR dilaksanakan sendiri oleh pemegang Izin (perorangan atau koperasi)
dengan biaya sendiri baik yang berasal dari modal sendiri atau dana
pinjaman; 5) Akad kredit untuk modal yang berasal dari pinjaman dilakukan
atas nama perorangan atau koperasi; 6) Petani mengangsur pokok dan
bunga sampai dengan lunas setelah panen.
2. HTR Pola Kemitraan: Masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan
oleh Bupati kepada Menteri Kehutanan. Pemerintah kemudian menerbitkan
SK-IUPHHK-HTR dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas
pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar.
Beberapa tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan HTR pola kemitraan
adalah sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri
Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi;
3) Penentuan mitra (BUMN, BUMS, BUMD, atau industri) dengan difasilitasi
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; 4) Pembuatan perjanjian kerja
antara pemegang IUPHHK-HTR dengan mitra difasilitasi oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah; 5) Pembangunan HTR dilaksanakan oleh
pemegang izin dengan biaya dari mitra; 6) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah memfasilitasi kegiatan kemitraan HTR agar terselenggara kemitraan
yang menguntungkan kedua belah pihak; 7) Perusahaan mitra bertanggung
jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan pemasaran; 8) Perjanjian
kerjasama kemitraan harus fleksibel agar bisa mengakomodir perubahan.
3. HTR pola developer; BUMN atau BUMS sebagai developer membangun
hutan tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada
masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya
pembangunnannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-
HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.
15

Beberapa ketentuan dalam pembangunan HTR pola developer adalah :


1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-
HTR kepada perorangan atau koperasi; 3) Penunjukkan developer oleh
pemegang izin dengan difasilitasi oleh Pemerintah; 4) Permohonan kredit
kepada BLU Pusat P2H (kesepakatan dengan pemegang izin dan diketahui
oleh Bupati); 5) Akad kredit dengan developer; 6) Pembangunan HTR oleh
developer (sampai dengan akhir masa pembangunan sesuai daur atau hanya
sampai tahun ketiga); 7) Penilaian tanaman dalam rangka konversi oleh tim
penilai independen satu tahun sebelum pengalihan akad kredit; 8)
Pengalihan akad kredit dari developer kepada petani pemegang izin
difasilitasi oleh Pemerintah; 9) Petani mengangsur pokok dan bunga sampai
dengan lunas setelah panen; 10) Petani melanjutkan sendiri pembangunan
HTR pada rotasi II dan seterusnya.

2.3 Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat


Nugroho (2009) menyatakan bahwa paling tidak terdapat 6 peraturan dan
perundang-undangan yang secara langsung terkait dengan pembangunan HTR,
yaitu: 1) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 2) Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan jo. Nomor 3 Tahun 2008; 3)
Permenhut No P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK
pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman diubah dengan Permenhut
No. P.5/Menhut-II/2008; 4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.62/Menhut-
II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat (perubahan terakhir dari
Permenhut P.9/Menhut-II/2007 dan P.41/Menhut-II/2007); 5) Permenhut No.
P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan
Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan HTR; dan 6) Permenhut No.
P.16/Menhut-II/2008 tentang Kriteria Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Koperasi yang dapat memperoleh fasilitas kredit/pembiayaan dengan
penjaminan
Peraturan perundangan tersebut pada umumnya menekankan kepada
pengaturan mekanisme pencadangan areal, permohonan IUPHHK-HTR, hak dan
kewajiban, dan sanksi-sanksi seperti diuraikan dalam bagian selanjutnya dari sub
bab berikut ini.
16

2.3.1. Mekanisme pencadangan areal HTR


Program HTR ditempuh melalui proses awal berupa pencadangan lokasi
kegiatan. Mekanisme pencadangan lokasi diatur dalam Permenhut P.05/2008
yang merupakan perubahan atas Permenhut Nomor P.23/2007. Mekanisme
pencadangan areal HTR dilakukan dengan tahapan sebagaimana disajikan pada
Gambar 1 dan diuraikan pada Tabel 2.

Gambar 1 Mekanisme pencadangan areal HTR (P.05/2008)


Tabel 2. Uraian mekanisme pencadangan areal HTR
No. Uraian
1 dan Kepala Badan Planologi atas nama Menteri kehutanan menyiapkan dan
1A menyampaikan peta arahan indikatif lokasi HTR kepada Bupati dengan
tembusan kepada Dirjen BPK, Sekjen, Gubernur, Kadishut Provinsi, Kadishut
Kabupaten/Kota, dan kepala BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan)
2 Kepala BPKH memberikan asistensi teknis perpetaan kepada Dinas Kehutanan
Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh
Kepala Badan Planologi
3 Kadishut Kabupaten/Kota menyampaikan pertimbangan teknis kawasan areal
tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi, dan program
pembangunan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota, dilampiri peta
alokasi HTR skala 1 : 50.000
4 dan Berdasarkan pertimbangan teknis Kadishut, Bupati/Walikota menyampaikan
4A rencana pembangunan HTR kepada Menhut dilampiri peta usulan lokasi HTR
skala 1 : 50.000 dtembuskan kepada Dirjen BPK dan Kepala Badan Planologi
5 Kepala Badan Planologi melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR yang
disampaikan oleh Bupati/Walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan
areal HTR , hasilnya disampaikan kepada Dirjen BPK
6 Dirjen BPK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang disampaikan
oleh Bupati/Walikota dari aspek teknis dan menyiapkan konsep Keputusan
Menhut tentang alokasi areal HTR dilampiri konsep peta pencadangan areal
7 dan Menhut menerbitkan SK pencadangan areal, disampaikan kepada
7A Bupati/Walikota ditembuskan kepada Gubernur. Selanjutnya Bupati/walikota
melakukan sosialisasi ke desa-desa
17

Proses pencadangan areal HTR melibatkan 9 lembaga/organisasi


(Nugroho 2009). Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa tahapan yang
dilakukan terdiri dari 7 langkah. Sementara itu, terhadap mekanisme yang sama
Nugroho (2009) melakukan pendekatan berbeda sehingga menyatakan bahwa
langkah yang harus ditempuh dalam proses pencadangan areal HTR ini terdiri
dari 29 tahapan, sebagaimana digambarkan secara rinci dalam Lampiran 1.
Analisis Nugroho (2009) terhadap proses mekanisme pencadangan areal HTR
merinci secara detail tahapan kegiatan dan memperhitungkan proses tembusan
surat sebagai aktivitas yang perlu dipertimbangkan. Kegiatan tersebut pada
kenyataannya menjadi panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Proses ini
menjadi salah satu titik simpul penyebab keterlambatan proses pelaksanaan
kegiatan HTR di lapangan (Gumilar 2010)

2.3.2 Permohonan IUPHHK HTR


Tata cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.23/Menhut-II/2007 yang
kemudian diperbaharui dengan Permenhut No. P.5 Menhut-II/2008. Mekanisme
perizinan HTR melalui tahapan administrasi seperti disajikan pada Gambar 2,
dan Tabel 3 menyajikan keterangan proses permohonan IUPHHK-HTR

Gambar 2 Tata cara permohonan IUPHHK-HTR berdasarkan Permenhut


P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P 5/Menhut-II/2008
18

Tabel 3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR


Kegiatan Uraian
1 Pemohon (perorangan atau kelompok atau koperasi) mengajukan
permohonan IUPHHK HTR kepada Bupati melalui kepala Desa,
pada areal yang telah dialokasikan dan ditetapkan oleh Menhut
untuk pembangunan HTR

2 Berdasarkan permohonan IUPHHK-HTR Kepala Desa melakukan


verifikasi keabsahan persyaratan permohonan dan membuat
rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
camat dan kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
(BP2HP)

3 Kepala BP2HP berdasarkan tembusan dari kepala Desa


melakukan verifikasi administratif dan sketsa/peta areal yang
dimohon dengan berkoordinasi dengan BPKH (Balai Pemantapan
Kawasan Hutan) dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai
pertimbangan teknis

4 Berdasarakan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis


dari Kepala BP2HP Bupati/Walikota atas nama Menteri Kehutanan
menerbitkan Keputusan IUPHHK HTR dilampiri peta areal kerja
skala 1:50.000 kepada pemohon dengan tembusan kepada
Menhut, Dirjen BPK, Kepala Baplan dan Gubernur

Analisis yang dilakukan oleh Nugroho (2009) terhadap proses tersebut


memperlihatkan bahwa untuk permohonan IUPHHK-HTR melibatkan 10
lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan
yang harus ditempuh. Gambaran detail tentang hasil analisis tersebut disajikan
pada Lampiran 2. Serupa dengan kegiatan pencadangan lahan HTR, proses
pengajuan IUPHHK-HTR pun dinilai rumit. Oleh karenanya aspek tersebut dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kehutanan untuk melakukan
penyederhanaan birokrasi perizinan (Gumilar 2010)

2.3.3 Hak, kewajiban dan sanksi peserta HTR


Hak pemegang IUPHHK-HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut
P.23/Menhut-II/2007 jo. P.5/Menhut-II/2008 pasal 19 terdiri dari 4 hal, yaitu : 1)
dapat melakukan kegiatan penanaman hutan di areal hutan produksi sesuai izin,
2) mendapatkan kemudahan fasilitas pendanaan untuk pembiayaan
pembangunan HTR, 3) mendapatkan bimbingan dan penyuluhan teknis, serta 4)
mendapatkan peluang ke pemasaran hasil hutan.
Sementara itu kewajiban pemegang IUPHHK-HTR diuraikan dalam
Permenhut tersebut pada pasal 20. Pada dasarnya terdapat 2 kewajiban
19

pemegang yang dicantumkan dalam pasal tersebut, yaitu : 1) pemegang


IUPHHK-HTR wajib menyusun RKU IUPHHK-HTR dan RKT yang dapat
dilaksanakan oleh UPT, konsultan, atau LSM dengan biaya yang dibebankan
kepada pemerintah; 2) dalam hal pemegang IUPHHK HTR-meminjam dana
pembangunan HTR kepada BLU maka berkewajiban untuk melunasi pinjaman
tersebut.
Selain kewajiban yang tercantum dalam Permenhut P.23/2007, pemegang
IUPHHK-HTR juga dikenai kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP 23/2008 pasal 75 (Nugroho
2009). Terdapat 9 kewajiban yang harus dipatuhi pemegang IUPHHK-HTR, yaitu
: 1) melaksanakan penatausahaan hasil hutan; 2) melakukan pengukuran atau
pengujian hasil hutan; 3) melaksanakan sistem silvikultur sesuai lokasi dan jenis
tanaman yang dikembangkan; 4) menyediakan dan memasok bahan baku kayu
kepada industri hasil hutan; 5) melakukan penanaman paling rendah 50% (lima
puluh perseratus) dari luas areal tanaman, bagi pemegang IUPHHK pada HTI
dalam hutan tanaman berdasarkan daur dalam waktu paling lambat 5 (lima)
tahun sejak diberikannya izin; 6) menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling
lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau
pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan; 7) menyusun rencana
kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun
berjalan, 8) melaksanakan RKT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya bila telah memenuhi kriteria
dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri, tanpa memerlukan pengesahan dari
pejabat yang berwenang (self approval; 9) menyampaikan laporan kinerja secara
periodik kepada Menteri.
Jika pemegang IUPHHK-HTR tidak dapat melaksanakan kewajiban yang
telah ditetapkan diatas, maka terdapat sanksi yang dapat diterapkan. Ketentuan
mengenai sanksi - sanksi yang dapat diberlakukan kepada pemegang IUPHHK-
HTR dan jenis sanksinya disajikan pada Tabel 4.
20

Tabel 4. Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR


Jenis sanksi Kewajiban yang dilanggar Keterangan
Penghentian Menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja PP 6/2007
sementara sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan Pasal 71 (a)
pelayanan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH
administrasi Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya Pasal 71 (d)
Menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil Pasal 75 (a)
hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk
seluruh areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun
setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati
atau pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan
persetujuan

Penghentian Menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan PP 6/2007


sementara yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku Ps 71 (h)
kegiatan

Denda sebesar Menebang kayu untuk pembuatan koridor sebelum PP 6/2007


15x PSDH ada izin atau tidak sesuai dengan izin pembuatan Ps 75 (5 h)
koridor

Pengurangan Menyusun rencana kerja tahunan (RKT) diajukan PP 6/2007


jatah produksi paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun Ps 75 (3 b)
berjalan

Pencabutan Izin pemanfaatan hutan dipindahtangankan tanpa PP 6/2007


izin mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin Ps 20 (1)

Areal izin pemanfaatan hutan dijadikan jaminan, Ps 20 (2)


agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain

Tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan Ps 71


untuk paling lambat 1 (satu) tahun untuk IUPHHK (b angka 3)
dalam hutan alam, IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam maupun hutan tanaman

Tidak membayar iuran atau dana sesuai ketentuan Ps 71 (i))


peraturan perundang-undangan

Meninggalkan areal kerja Ps 75 (5b)

Melanggar ketentuan pidana sebagaimana UU 41 1999


dimaksud dalam Pasal 78

Dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri


Sumber : Nugroho (2009)
Berdasarkan uraian pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sanksi yang
dikenakan bagi pemegang IUPHHK HTR merujuk pada aturan setingkat
Peraturan Pemerintah, yaitu PP 6/2007 jo PP 23/2008. Peraturan Menteri
Kehutanan yang khusus mengatur HTR yaitu Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo
P.05/2008 tidak secara implisit menyatakan ketentuan mengenai sanksi. Pasal
21

23 dan 24 pada Permenhut tentang HTR mengatur mengenai hapusnya Izin


Usaha HTR. Izin usaha HTR hapus karena beberapa sebab, yaitu :
1) dikembalikan oleh pemegang izin; b) dicabut oleh pemberi izin; c) berakhirnya
masa berlaku izin, dan d) meninggalnya pemegang izin HTR perorangan.

2.4 Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan yang
berusaha mengintegrasikan tiga aspek yakni pertumbuhan ekonomi, kelestarian
lingkungan dan kesejahteraan sosial. Model pembangunan ini menjadi acuan
untuk penyusunan model konseptual kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Adham (2010) menyatakan bahwa kegagalan program pembangunan
berkelanjutan di Indonesia disebabkan karena kurangnya integrasi dari ketiga
aspek tersebut. Aspek ekonomi seringkali lebih mendominasi sementara aspek
lingkungan dan sosial kemasyarakatan tidak jarang terabaikan. Pembangunan
HTR diarahkan untuk dapat menyeimbangkan baik aspek ekonomi melalui
pertumbuhan produktivitas lahan hutan, aspek ekologi lingkungan melalui
terpeliharanya kondisi lahan hutan, maupun aspek sosial kemasyarakatan
melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan.
Konsepsi tentang pembangunan berkelanjutan muncul sebagai perwujudan
dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak
pada lingkungan. Keprihatinan tersebut berkembang menjadi kesepakatan politik
internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang
berkelanjutan. Definisi pembangunan berkelanjutan untuk pertama kalinya
didiskusikan dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980). Pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mempertimbangkan
faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik,
keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih
luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
kemampuan manusia yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan
masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Barbier (1987) menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara
22

langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih


diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin
di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan,
peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan,
sanitasi dan suplai air bersih.
Goodland & Ledoc (1987) mendefinisikan konsep pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan
pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi
sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan
datang. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat
dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang.
Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global,
seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozon, kerusakan sumber daya
terbarukan dan kerusakan komponen lingkungan lainnya menyebabkan
masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global
menuju ke arah pembangunan berkelanjutan. Isu lingkungan hidup dan
pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992
(UNCED 1992).
Kesepakatan internasional untuk mempromosikan pembangunan
berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan
program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif
dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan
salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan. Evaluasi terhadap
pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan
berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) yang
diselenggarakan di Johannesberg pada tahun 2002. Pertemuan ini
menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu:
1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat
tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen
dunia internasional untuk menghadapinya.
2) Rencana implementasi (Plan of Implementation), yang memuat upaya-upaya
yang harus dilakukan oleh masing-masing negara berdasarkan prinsip bahwa
23

setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang
berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan
untuk rencana implementasi.
3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan
berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju
dan lembaga internasional.
Prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1997) terdiri
dari 3 dimensi, yaitu:
1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai
integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi
lingkungan), b) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi
pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan
pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).
2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender
(kesetaraan antar manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara
(kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang
akan datang.
3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas,
kemitraan dan partisipasi.
Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang
menekankan upaya implementasi keberlanjutan pembangunan dengan
memperhatikan tujuh tema, yaitu:
1) Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan
sumber daya
2) Keadilan antar generasi
3) Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati
4) Keadilan antar negara dan daerah
5) Keadilan sosial
6) Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya
7) Pengambilan keputusan yang baik
Konsepsi pembangunan berkelanjutan Comhar pada dasarnya melengkapi
model pembangunan berkelanjutan yang telah ada sebelumnya, yaitu
mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Prinsip penting yang
dikembangkan Comhar adalah adanya aspek pengambilan keputusan yang baik.
Konsep tersebut sangat relevan dengan model pembangunan HTR, karena
24

model HTR terkait dengan pengambilan keputusan di tingkat pemerintah sebagai


aktor utama dalam penentuan kebijakan publik.

2.5 Kebijakan publik


Kebijakan publik yang dalam kepustakaan internasional disebut public
policy adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan bersama dalam
suatu wilayah negara dan bersifat mengikat. Sebuah kehidupan bersama harus
diatur dengan tujuan supaya satu dengan lainnya tidak saling merugikan
(Nugroho 2008).
Nugroho (2008) telah menginventarisir definisi kebijakan publik, dan
mendapatkan 12 definisi tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Definisi kebijakan publik
No Sumber Definisi

1. James Anderson Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku


(2004) kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu
permasalahan atau kepentingan
2. Steven AP Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah
(2003)
3. James Lester & Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau
Robert Steward keputusan yang dirancang untuk memperbaiki
(2000,18) permasalahan publik
4. Austin Ranney Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan
(2000)
5. www.cdc.gov Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan
yang dihasilkan dari pemerintah
6. Lib.ucr.edu Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan
7. Thomas R Dye Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah
(1995,2)
8. Willian Jenkins Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah
(1978) cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan tertentu
9. Harold Laswell & Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan
Abraham Kaplan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan
(1970) praktik-praktik tertentu
10. David Easton akibat dari aktivitas pemerintah
(1965)
11. Carl I Friederick Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok
(1963) atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan
ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk
memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan
yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu
12. Michael Howlett Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan
& M Rammesh yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi
(1957)
Sumber : Nugroho (2008)
25

Definisi tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli
yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Keseluruhan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat melengkapi satu
sama lain. Namun demikian, pengertian kebijakan publik yang sesuai dengan
kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia dapat dilihat dari definisi yang
disampaikan oleh Nugroho (2008). Kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat oleh pemerintah sebagai strategi untuk merelaisasikan tujuan.
Dengan demikian kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta
politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah
terangkum preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan,
khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik
tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu
bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang
bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi
win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero
sum game, yaitu menerima alternatif yang satu dan menolak alternatif yang
lainnya (Nugroho, 2008). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa proses perumusan kebijakan publik terkait
dengan pertarungan argumentasi diantara para aktor yang memiliki kepentingan
tertentu.

2.6 Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan


Analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam teknik untuk
meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan. Quade (1982)
menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat
keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Untuk melakukan hal ini
analisis harus melalui tiga tahap; pertama penemuan, yakni usaha untuk
menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif
yang tersedia; kedua, penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima
dan dimasukan ke dalam kebijakan atau keputusan: ketiga, implementasi, yakni
menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa
membuat alternative itu menjadi tidak memuaskan (Parson 2005).
Dunn (2004) mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan
informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan; apa hakekat
permasalahan? Kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk
26

mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam
memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab,
dan hasil apa yang dapat diharapkan.
Sering terjadi kerancuan antara analisis kebijakan dan riset atau penelitian
kebijakan. Riset atau penelitian kebijakan menjadi salah satu bidang kajian
penting dalam ilmu sosial. Namun demikian, ternyata sangat langka
kepustakaan tentang penelitian kebijakan (Nugroho 2008).
Pada umumnya antara penelitian kebijakan dan analisis kebijakan tidak
dibedakan dengan jelas, bahkan penggunaan kedua istilah ini sering
dipertukarkan karena menunjuk pada makna yang sama. Damin 2005
menyatakan bahwa penelitian kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan
penelitian yang dilakukan untuk mendukung kebijakan. Selanjutnya Damin
menyatakan bahwaciri khas penelitian kebijakan terletak pada fokusnya, yaitu
berorientasi pada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik.
Muhadjir (2004) seperti dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa
penelitian kebijakan sama dengan kegiatan analisis kebijakan. Desain penelitian
kebijakan merentang dari policy research dan action research; evaluation
research mencakup policy evaluation; dan research of program planning. Teknik
analisis kebijakan meliputi beragam teknis pengamanan sampai ragam analisis
kepentingan publik.
Konsep yang cukup relevan untuk memasuki pemahaman tentang
penelitian kebijakan, dan membedakan dengan yang lain, adalah konsep Hill
dalam The Policy Process (2005). Menggunakan pemikiran Gordon, Lewis, dan
Young dalam Perspective on Policy Analysis (1977) dan Hogwood dan Gunn
dalam The Policy Orientation (1981), Hill mengemukakan ada dua jenis analisis
kebijakan, yaitu analisis tentang suatu (atau beberapa) kebijakan (studies of
policies), dan analisis untuk (merumuskan suatu atau beberapa) kebijakan
(studies for policies). Hill menyatakan bahwa analisis tentang suatu kebijakan
(analysis of policy) meliputi studies of policy contents, studies of policy outputs,
dan studies of policy process, sedangkan analisis kebijakan (analysis for policy)
meliputi policy evaluation, information for policy making, process advocacy dan
policy advocacy.
Dari uraian di atas, tampak ada perbedaan antara analisis untuk kebijakan
dalam konteks ini adalah analisis kebijakan dengan analisis tentang kebijakan.
Analisis tentang kebijakan sejajar atau bahkan dapat dipahami sebagai sinonim
27

dari penelitian atau studi kebijakan-penelitian tentang suatu kebijakan yang


sudah ada (Nugroho 2008).
Demikian pula, analisis kebijakan berlainan dengan monitoring dan evaluasi
kebijakan. Bahkan, penelitian kebijakan pun berlainan dengan evaluasi
kebijakan. Perbedaan keempatnya disajikan dalam Tabel 6 dan ilustrasi
mengenai lokus dan ruang kebijakan disajikan pada Gambar 3.
Tabel 6 Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi, dan penelitian kebijakan
Analisis Monitoring Evaluasi Penelitian
kebijakan kebijakan Kebijakan kebijakan
Produk Nasihat, advice, Laporan Penilaian Pemahaman
(output) dan/atau perkembangan terhadap yang mendalam
rekomendasi (progress report) sebagian atau akan suatu
kebijakan seluruh dimensi kebijakan
proses kebijakan
Pendekatan Ilmu kebijakan Pragmatis/praktis strategis Metodologis

Waktu Pra-kebijakan Pada saat Pasca Pra,


pelaksanaan kebijakan (implementasi) implementasi,
(timing) diimplementasikan kebijakan atau pasca
implementasi

Pelaksana Analis kebijakan Pengawas program Tim evaluasi Lembaga


kebijakan keilmuan

Lama Sangat pendek Sepanjang Menengah Pendek hingga


(durasi) hingga pendek implementasi panjang

Sumber : Nugroho (2008)

Monitoring
Kebijakan

ImImplementasi
Analisis Perumusan Kebijakan Kinerja Dampak
Kebijakan Kebijakan Kebijakan Kebijakan

Lingkungan
Kebijakan

Evaluasi
Kebijakan

Penelitian
Kebijakan

Gambar 3 Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008)


28

2.7 Analisis Proses Kebijakan


Terdapat arus utama dalam analisis proses kebijakan yaitu model linear
(Sutton 1999). Model linier adalah model yang selama ini menjadi arus utama
atau banyak dianut dalam melakukan analisis proses perumusan kebijakan.
Model linier menekankan bahwa penyusunan kebijakan merupakan sebuah
upaya pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan
analitik. Model Linear berasumsi bahwa pengambilan keputusan diambil sebagai
sebuah rangkaian tindakan yang beraturan, dimulai dengan identifikasi masalah,
dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan.
Tahapan dalam model linear, meliputi:
- pengenalan dan pendefinisian sifat/karakter masalah yang harus ditangani
- mengidentifikasi tindakan yang memungkinkan untuk mengatasi masalah
- mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif
- memilih alternatif yang merupakan pilihan terbaik
- mengimplementasikan kebijakan
- melakukan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan

Gambar 4 Model linier kebijakan dari Grindle & Thomas (1990)


Asumsi yang digunakan dalam model linear adalah bahwa pembuat
kebijakan : melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui
setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan
hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa
yang dimaksudkan untuk dicapai, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan
29

pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau
pengelolaan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut (Juma & Clark
1995). Kegagalan dapat ditimpakan pada kurangnya ”political will”, kelemahan
management atau keterbatasan sumberdaya.
Terdapat banyak bukti yang mendukung bahwa model liner sangat jauh
dari realitas. Berikut ini merupakan model-model alternatif sebagai bantahan
terhadap model linear dalam perumusan kebijakan (Sutton 1999) :
1) Model Incrementalis. Pengambil kebijakan mempertimbangkan sejumlah kecil
alternatif untuk menyelesaikan masalah dan cenderung untuk memilih
alternatif kebijakan yang sedikit berbeda dari kebijakan sebelumnya. Untuk
setiap alternatif, hanya konsekuensi yang penting yang dipertimbangkan.
2) Model mixed-scanning. Model ini merupakan pertengahan antara model
rasional (linear) dengan incrementalis (Walt 1994). Pada dasarnya model ini
membagi kebijakan menjadi makro (fundamental) dan mikro (kecil). Hal ini
melibatkan pengambil kebijakan untuk melihat secara lebih luas arena
kebijakan. Model rasional/linear berimplikasi pada pertimbangan berbagai
kemungkinan secara detail, dan pendekatan incerementalis menyarankan
untuk melihat hanya pada pilihan dimana pengalaman sebelumnya telah
lebih dulu diketahui.
3) Kebijakan sebagai argumen. Juma dan Clark (1995) menjelaskan pada
pendekatan ini kebijakan dihasilkan dari proses perdebatan antara
pemerintah dengan organisasi sosial. Satu pihak mengemukakan gagasan,
pihak lain mengkritisi.
4) Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaruan kebijakan memperhatikan
perubahan sosial sebagai proses uji coba. Proses ini melibatkan hipotesis
yang diuji dengan realitas. Hal ini didasarkan pada pendekatan
eksperimental seperti dalam ilmu pasti (natural sciences)
5) Kebijakan sebagai sebuah proses belajar interaktif. Pendekatan ini berakar
dari kritik terhadap kebijakan pembangunan top down yang tidak dihasilkan
dari komunitas. Ide ini digulirkan oleh Chambers (1983; 1994) dengan
metode participatory rural appraisal.
IDS (2006) menyatakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu
proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1) bertahap,
pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan
pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; 2) selalu diwarnai dengan
30

kepentingan yang overlap dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga
yang diabaikan; 3) tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta
sangat berperan penting; 4) para ahi teknis dan pembuat kebijakan secara
bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan
Berdasarkan karakteristik tersebut, IDS (2006) membangun sebuah
kerangka sederhana yang menghubungkan tiga bagian penting dalam proses
pembuatan kebijakan, yaitu :
1. Pengetahuan dan diskursus, menjelaskan apa yang menjadi policy naratif
(perjalanan perubahan kebijakan secara keseluruhan dari awal hingga akhir)
2. Aktor dan jejaring kerja, menjelaskan siapa yang terlibat dan bagaimana
mereka terhubung.
3. Politik dan interest, menjelaskan apa yang menjadi dinamika kekuatan dalam
pengambilan keputusan
Sutton (1999) mendefinisikan narasi sebagai ”cerita” yang menjelaskan
sebuah kejadian tertentu sehingga memiliki kaitan dengan pengetahuan dan
kearifan yang telah dianut dalam pembangunan. Sebuah narasi yang terkenal
adalah ”tragedy of the common” (Hardin 1968) yang menceritakan serangkaian
kejadian over-eksploitasi pada sebuah padang rumput milik bersama. Pola
penggunaan padang rumput secara bersama digambarkan akan berakibat pada
penurunan kualitas padang rumput sehingga pada akhirnya berubah menjadi
gurun tandus. Berdasarkan keyakinan atas narasi tersebut, maka sistem
pengelolaan terhadap sumberdaya alam milik bersama ditetapkan dengan
ketentuan sistem property right (hak kepemilikan) yang jelas. Hal tersebut
dengan maksud untuk menghindari terjadinya fenomena tragedy of the common.
Narasi kebijakan ditujukan untuk mengurutkan suatu interaksi dan proses
kompleks yang dicirikan dalam situasi pembangunan. Narasi berfungsi untuk
menyederhanakan situasi, memperjelas masalah dan menghindarkan
kemenduaan (Roe 1991; 1994). Namun demikian penggunaan narasi kebijakan
berdampak pada berkurangnya ruang untuk bermanuver atau ruang kebijakan
dari para pembuat kebijakan, yaitu dibatasinya peluang untuk memikirkan
alternatif-alternatif kebijakan yang pendekatannya berbeda.
Narasi sering dikritisi karena diyakini dapat menyebabkan cetak biru
pembangunan, yaitu sebuah resep dari solusi permasalahan yang digunakan
pada waktu dan tempat dimana hal tersebut kurang dapat diaplikasikan. Narasi
melayani kepentingan suatu kelompok tertentu, biasanya komunitas epistemik
31

atau jaringan kebijakan yang mengusungnya, dan membantu proses pemilikan


dari proses pembangunan kepada anggota dari kelompok epistemic community
tersebut. Mereka seringkali mengurangi peran dan kepakaran dari kelompok
lokal (Leach & Mearn 1996; Clay & Schaffer 1984; Roe 1991,1995).
Meskipun perdebatan mengenai narasi masih terus berkembang, namun
pada kenyataannya narasi masih sangat sering digunakan dalam proses
penyusunan kebijakan pembangunan. Leach & Mearns (1996) menjelaskan hal
tersebut terjadi karena narasi dianggap sebagai resep atau ”wisdom” yang
bersifat melekat kuat pada struktur kelembagaan tertentu dari kelompok jaringan
aktor, dan memiliki akar budaya dan sejarah yang kuat.
Dalam kaitannya dengan narasi yang digunakan, Sutton juga menyatakan
terminologi diskursus (discourse) sebagai alat analisis terhadap kajian latar
belakang dirumuskannya sebuah kebijakan. Sutton (1999) mendefinisikan
diskursus (discource) sebagai ide dasar, konsep atau kategorisasi yang
dihasilkan atau dihasilkan kembali, dan ditransformasikan kedalam segenap
praktek-praktek dengan cara melalui pemaknaan yang diwujudkan dalam
hubungan sosial. Melalui pemaknaan baru dan tindakan, diskurus memegang
peran penting dalam perubahan kebijakan.
Dengan demikian, pada analisis proses proses perumusan kebijakan
dilakukan kajian guna mengetahui apa yang menjadi diskursus dalam
pembentukan kebijakan HTR. Informasi tersebut digali dari latar belakang ide
atau landasan pemikiran dirumuskannya kebijakan HTR serta latar belakang
situasi dan perjalanan sejarah yang mempengaruhinya.

2.8 Teori Sistem dalam Riset Kebijakan


Eriyatno & Sofyar (2007) menyatakan bahwa hasil riset kebijakan yang
efektif harus mampu mewujudkan harapan normatif menjadi strategi tindakan
yang diperlukan. Guna mendapatkan strategi yang komprehensif diperlukan
analisis sistemik terhadap permasalahan kebijakan. Untuk itu diperlukan
pemahaman tentang teori sistem dalam proses penelitian kebijakan.
Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy (1968) yang memperkenalkan suatu
kerangka konsep dan teori yang dapat ditetapkan pada berbagai bidang ilmu.
Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh
pemikiran perlunya generalisasi dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami
dunia nyata secara efisien.
32

Kompleksitas suatu permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang


begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode
spesifik saja. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan melalui keterpaduan antar
bagian melalui pemahaman yang utuh, yang memerlukan suatu kerangka fikir
baru yang dikenal dengan pendekatan sistem. Sistem merupakan suatu
agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi
dan saling tergantung. Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang
selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar
2007; Drack 2009).
Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsur-
unsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja
untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Pengertian komponen atau
unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem.
Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan.
Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi
antar unsur dalam batas lingkungan sistem. Gangguan salah satu unsur akan
mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara
keseluruhan. Interaksi antar komponen atau unsur merupakan ikatan atau
hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem
sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi
perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat
utama yang berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku. Struktur sistem
berkaitan dengan susunan dan rangkaian diantara elemen-elemen penyusunnya
dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno
2003; Muhammadi et al. 2001).
Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem pada
umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain:
1) berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi
perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis,
2) satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi
dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendiri-
sendiri atau bersifat sinergis,
3) terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan
sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem,
33

4) adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi


output yang dilakukan oleh sistem,
5) interaksi antara bagian maupun subsistem, dan
6) adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik
yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem
mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau
pemecahan masalah yang dihadapi.
Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan cara penyelesaian
persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional. Pendekatan
konvensional menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial
atau tereduksi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis
interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik.
Pendekatan sistem dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-
kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi
dari suatu sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem memiliki dua hal
utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk
mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu
model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara
rasional (Eriyatno 2003).
Menurut Richardson & Pugh (1983) pendekatan sistem untuk formulasi
kebijakan dan penyelesaian persoalan yang kompleks terfokus pada
pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem. Hal ini dilandasi oleh
filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan
dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik
merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung
untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan
atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat
dari agen atau komponen di luar sistem. Sedangkan tahapan pendekatan sistem
dalam penyelesaian persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi
masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku
model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau
penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi
kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 5.
34

Implementasi kebijakan

Pemahaman sistem

Analisis kebijakan Definisi masalah

Konseptualisasi sistem
Simulasi

Formulasi model

Gambar 5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan


(Richardson & Pugh 1983)

Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking


untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan
sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern.
Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan. Sedangkan
Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking
dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan
soft system. Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat
tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya
telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma
pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang
tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan
sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology
(SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat
kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005).
Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan
pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan
oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem
aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang
diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam
rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan
munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat
35

dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu
dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam
pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh
konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi
dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak
yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan
dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan
situasi problematik tersebut. Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan
proses (Gambar 6) dimana dapat dibedakan antara aktifitas di dunia nyata yang
melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking
yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses
tersebut meliputi:
1) Situasi permasalahan tidak terstruktur.
2) Situasi permasalahan terekspresikan.
3) Definisi mendasar sistem yang relevan.
4) Model konseptual.
5) Perbandingan model dengan dunia nyata.
6) Perubahan yang diharapkan dan layak.
7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik.
Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan
sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi
elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses
dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang
relevan untuk memperbaiki situasi masalah. Formulasi ini dapat dimodifikasi
kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi
sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model
konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas
minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi
untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem
formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan
model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini
sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang
berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua
36

pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi


masalah.

Gambar 6 Proses soft system methodology (Checkland 1999)

Eriyatno (2003) menyatakan bahwa kesalahan terbesar dalam proses


perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis adalah menerapkan secara
langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi deskriptif. Hal ini
umumnya disebabkan kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka
pendek yang konservatif atas keahlian yang dipunyai. Kebiasaan tersebut
menjebak proses perencanaan strategis menjadi rencana operasional jangka
pendek tanpa arahan (direktif yang terprogram).
Menurut Eriyatno (2003) pendekatan sistem merupakan metodologi yang
bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna
mencapai tujuan tertentu. Pendekatan sistem digunakan ketika permasalahan
yang dihadapi memiliki karakteristik: 1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen
cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu
dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistic, yaitu diperlukannya
fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
37

Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis


permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu (1) cybernetic artinya
berorientasi pada tujuan (2) holistic yaitu cara pandang yang utuh terhadap
keutuhan sistem, dan (3) efektif yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna
yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk
mencapai efisiensi keputusan. Telaahan permasalahan dengan pendekatan
sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam
mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) adanya
model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 2003)
Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis
dimana informasi kualitatif mendominasi input kebijakan. Salah satu dari teori
tersebut adalah Interpretative Structural Modelling (ISM). Teknik ISM adalah
proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model
struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,

2.9 Permodelan Interpretasi Struktural


Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural
(Interpretative Structural Modelling – ISM). Menurut Eriyatno (2003) ISM
merupakan proses pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan
gambaran perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang
dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan
menghasilkan model-model struktural. Teknik ISM meskipun utamanya
ditujukan untuk pengkajian oleh sebuah kelompok, tetapi bisa juga digunakan
oleh seorang peneliti dengan melibatkan pakar multi disiplin. Teknik ISM
merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan
yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara
langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
Menurut Saxena et al. (1992), analisis sistematis dari suatu program atau
objek secara holistik sangat bermanfaat agar tujuan program dapat
diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat
karena memenuhi kebutuhannya saat ini maupun masa mendatang. ISM
merupakan interpretasi dari suatu program atau objek yang utuh dan
mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya
38

menjadi model sistem yang terdefinisikan secara jelas hingga dapat


dimanfaatkan untuk perencanaan strategik dan formulasi kebijakan.
ISM merupakan salah satu metode permodelan berbasis komputer yang
dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan
struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk
mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur
prioritas, ataupun kategori ide. ISM merupakan sebuah metode yang interaktif
dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok sehingga metode ini
memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan
memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM
menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis
dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat
merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian.
Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin
2005).
Menurut Kanungo & Bhatnagar (2002), Eriyatno (2003) dan Marimin
(2005), langkah-langkah permodelan dengan menggunakan ISM mencakup:
1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi
elemen dapat diperoleh melalui penelitian atau diskusi curah pendapat.
2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar elemen
dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan.
3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix –
SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap hubungan
elemen yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe
hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang dikaji adalah:
• V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
• A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
• X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
• O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM): Sebuah RM yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah
matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan
berikut,
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan
Eji = 0 dalam RM.
39

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan


Eji = 1 dalam RM.
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan
Eji = 1 dalam RM.
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan
Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.
5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam
level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat
diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah
sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan
Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen
Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai
adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-
elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi
sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level
berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh
elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda.
6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama
mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari
elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks
ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph.
7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah
grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan
level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua
komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
8) Interpretative Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM
memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan
alur hubungannya.
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi
menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen.
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang
40

memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan
untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang
berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal
yang dikaji. Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan
antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat
yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana
tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat
daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang lebih tinggi
mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana
tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi
peubah cepat tingkat dibawahnya. Teknik ISM dapat memberikan basis
analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam
formulasi kebijakan dan perencanaan strategis. Selanjutnya, Saxena et al.
(1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis, program dapat
dibagi menjadi sembilan elemen utama:
1) Sektor masyarakat yang terpengaruh
2) Kebutuhan dari program
3) Kendala utama program
4) Perubahan yang diinginkan
5) Tujuan dari program
6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas
9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan
menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual
antara sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada
perbandingan berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu
dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan
berpasangan antar sub-elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan
tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif
atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis
hubungan seperti disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hubungan kontekstual
41

tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix dengan menggunakan


simbol:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
V jika eij = 1 dan eji = 1
V jika eij = 0 dan eji = 0
Tabel 7 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM

No Jenis Hubungan Interpretasi

1 Pembandingan A lebih penting/besar/indah dari B


(comparative) A 20% lebih berat dari B

2 Pernyataan A adalah atribut B


(definitive) A termasuk di dalam B
A mengartikan B

3 Pengaruh A menyebabkan B
(influence) A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakkan B
A meningkatkan B

4 Keruangan A adalah selatan/utara B


(spatial) A diatas B
A sebelah kiri B

5 Kewaktuan A mendahului B
(temporal/time scale) A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003)

Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan
elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara
elemen ke-i dan elemen ke-j. Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam
Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM)
dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM
selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah
transitivitas.
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah
untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk
menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
42

mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke


dalam 4 sektor:
Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,
mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan
tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas
atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang
berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan
antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen
tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan
balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas
yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen
lain dalam sistem.

2.10 Validasi Model


Penggunaan model merupakan elemen penting dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan. Model ini dapat berwujud mental model
yang berada di pikiran pengambil keputusan sampai model kompleks yang
eksplisit untuk mengeksplorasi dampak suatu keputusan. Tingkat manfaat
penggunaan model sangat ditentukan oleh ketepatan hasil simulasi model.
Untuk menjamin ketepatan hasil simulasi diperlukan proses verifikasi dan validasi
model terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk pengambilan keputusan.
Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk menyimpulkan
bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang sah dari
realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan dan
valid. Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang iteratif untuk
penyempurnaan model yang dibangun.Validasi dapat mulai dilakukan dengan
pengujian sederhana, seperti pengamatan respon model terhadap beberapa hal,
yaitu: 1) tanda aljabar (sign), 2) tingkat kepangkatan dari besaran (order of
magnitude), 3) format respon (linier, eksponensial, logaritmik dan lainnya), 4)
43

arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti, dan 5) nilai
batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem.
Checkland (1995) membedakan verifikasi dan validasi dalam soft system
(SST) dengan hard system thinking (HST). Dalam SST model merupakan
representasi sistem kegiatan manusia yang terkait secara logis dan dimaksudkan
sebagai sarana untuk mendebatkan kesesuaian antara model dengan dunia
nyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalam situasi problematik. Perdebatan ini
akan menghasilkan akomodasi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan-
tindakan yang diharapkan dan layak untuk memperbaiki situasi problematik.
Dengan demikian validasi model dilakukan sebelum model digunakan untuk
debat. Keabsahan model dinilai dari relevansinya dengan situasi permasalahan
dan kecukupan model ditinjau dari karakteristik sistem formal atau tingkat
kesesuaian antara root definition dengan model konseptual.
Sedangkan pada HST, model digunakan sebagai abstraksi dunia nyata
untuk melakukan eksperimentasi yang hasilnya digunakan sebagai dasar
pemecahan masalah. Menurut Muhammadi et al. (2001), validitas model
merupakan suatu hasil penilaian secara objektif terhadap model yang ditunjukkan
sejauhmana hasil simulasi model dapat menirukan fakta. Dalam dunia nyata,
fakta adalah kejadian yang teramati. Pengamatan tersebut dapat bersifat terukur
secara kuantitatif maupun kuailitatif atau informasi aktual. Sedangkan hasil
simulasi merupakan perilaku variabel yang diinteraksikan menggunakan bantuan
komputer. Proses melihat keserupaan ini disebut validasi output atau kinerja
model. Validasi kinerja model bersifat pelengkap karena yang utama adalah
validasi struktur model. Validasi struktur model merupakan penilaian
sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur dunia nyata. Struktur
model yang dibangun secara holistik, lintas disiplin dan perspektif diharapkan
mampu menirukan interaksi kejadian nyata. Dengan demikian, verifikasi dan
validasi model ditujukan untuk menguji keabsahan representasi tersebut agar
hasil simulasinya akurat.
Keabsahan suatu hasil simulasi, menurut Sargent (1998) dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan. Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan
model yang melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses
pengembangan model. Pendekatan pertama dan paling umum digunakan
adalah pendekatan subjektif. Dalam pendekatan ini, tim pengembangan model
memutuskan keabsahan model berdasarkan pada hasil berbagai pengujian dan
44

evaluasi dalam proses pengembangan model. Pendekatan kedua adalah melalui


penggunaan pihak ketiga yang independen untuk memutuskan keabsahan suatu
model. Pihak ketiga tidak memiliki ketergantungan dengan tim pengembangan
model dan pengguna. Setelah model dikembangkan, pihak ketiga melakukan
evaluasi untuk menentukan keabsahannya. Penggunaan pendekatan ini
biasanya dilakukan untuk menjaga kredibilitas model. Pendekatan ketiga untuk
menentukan keabsahan model dilakukan dengan penggunaan model penilaian.
Nilai atau bobot ditentukan secara subjektif pada saat melakukan proses validasi
dari berbagai aspek dan kemudian dikombinasikan untuk menentukan kategori
nilai dan total nilai simulasi model. Suatu model dianggap valid jika kategori dan
total nilai lebih besar dari suatu nilai yang telah ditetapkan.
Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent
(1998), secara umum terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model,
yaitu: 1) animation, 2) comparison to other models, 3) degenerate test, 4)
event validity, 5) extreme condition test, 6) face validity, 7) fixed values, 8)
historical data validation, 9) historical methods. 10) internal validity, 11)
multistage validity, 12) operational graphic, 13) parameter variability-sensitivity
analysis, 14) predictive validation, 15) traces, dan 16) turing test. Validasi
model konseptual yang merupakan representasi dari ide, situasi, fenomena atau
kebijakan yang dimodelkan dalam bentuk persamaan matematika, hubungan
logika maupun verbal dilakukan dengan face validation. Validitas model
konseptual dinilai berdasarkan kebenaran teori dan asumsi yang mendasari dan
tingkat representasinya.

2.11 Disertasi yang Relevan


Beberapa disertasi relevan digunakan sebagai rujukan dalam penulisan
disertasi ini, meliputi: penelitian dengan menggunakan metode pengembangan
sistem (Didu 2001; Mulyadi 2001; Baka 2001); penelitian yang terkait dengan
pengembangan hutan dan masyarakat (Wijayanto 2001; Yusran 2005); penelitian
tentang kelembagaan menggunakan pendekatan analisis sistem (Karyana 2007);
dan penelitian mengenai penerapan soft system methodology untuk perumusan
model kebijakan (Wibisono 2008; Kurniawan 2009; Adiprasetyo 2010)
Didu (2001) menggunakan analisa sistem untuk mengkaji pengembangan
agroindustri kelapa sawit. Mulyadi (2001) mengaplikasikan pendekatan sistem
untuk menganalisis pengembangan kelembagaan agroindustri rotan secara
45

terpadu. Baka (2001) menggunakan pendekatan ISM dalam mebangun


kelembagaan perkebunan rakyat melalui rekayasa sistem di Sulawesi Tenggara.
Ketiga hasil penelitian terkait pengembangan soft system methodology tersebut
memberikan informasi dasar tentang metode analisis sistem untuk
pengembangan kegiatan agroindustri. Melalui teknik ISM dibangun
kelembagaan agroindustri yang didasarkan atas elemen lembaga yang terkait,
elemen kebutuhan program, elemen kendala program dan tujuan program serta
kebijakan pemerintah yang dibutuhkan. Elemen-elemen yang dikaji untuk
pengembangan kelembagaan perkebunan dengan pendekatan wilayah antara
lain lembaga pelaku program dan kebutuhan program.
Disertasi yang secara substansi relevan karena mengkaji hubungan antara
hutan dan masyarakat dirujuk dari hasil penelitian Wijayanto (2001). Penelitian
tersebut menganalisis sistem pengelolaan Hutan Kemasyarkatan di kawasan
Repong Damar Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan
pengelolaan repong damar dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor ekologi; yaitu
kesesuaian tempat tumbuh, kemampuan peran dan fungsi ekosistem,
keberadaan komposisi yang beranekaragam (2) faktor ekonomi-bisnis; yaitu
kemampuan memberi jaminan bagi ekonomi ruamah tangga,
kemapanan/berkembangnya sistem tata niaga dari produk yang dihasilkan,
penggunaan input modal relatif rendah (3) faktor sosial budaya; yaitu
kemampuan masyarakat memelihara institusi sistem pewarisan yang mendukung
keberlanjutan, kemampuan masyarakat mendayagunakan pengetahuan asli,
kemampuan kepemilikan untuk dijadikan simbol status sosial. Selanjutnya
strategi pengembangan sistem repong damar sangat ditentukan oleh faktor
organisasi yang kuat dan mandiri, ketersediaan infrastruktur jalan, dan kepastian
jaminan hukum bagi masyarakat petani atas kawasan. Pengembangan sistem
repong sebaiknya bertujuan kepada terbentuknya industri, terwujudnya
peningkatan produktivitas lahan, dan fungsi ekosistem, dan terbentuknya
kemandirian dan kerjasama petani. Pengembangan sistem repong damar
menuntut keterlibatan dan dukungan penuh dari lembaga yang bersifat lintas
sektoral dan multi disiplin. Aktivitas penting yang dibutuhkan guna perencanaan
tindakan adalah pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan
perkreditan.
Kegiatan penelitian Yusran (2005) dalam analisis performasi dan
pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaraung
46

Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa status penguasaan lahan mempengaruhi


performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola
menunjukkan semakin intensif sistem pengelolaannya, semakin besar nilai
ekonominya dan menjamin kelestarian nilai-nilai sosial budaya. Namun
sebaliknya semakin kuat status lahan cenderung menurunkan nilai ekologinya.
Pengakuan hak kelola masyarakat merupakan bentuk penguatan status lahan
yang dapat menjamin keseimbangan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan
menghindari terjadinya fragmentasi lahan hutan. Hasil analisis dengan
menggunakan SWOT, AHP dan skala Likert membuktikan bahwa ketidakpastian
status penguasaan lahan merupakan kelemahan sekaligus menjadi ancaman
utama dalam pengelolaan hutan kemiri di kawasan pegunungan Bulusaraung.
Posisi usahtani kemiri rakyat yang berada pada sel 2 (support a diversification
strategy) menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan kemiri mempunyai
kekuatan tetapi menghadapi ancaman yang tidak menguntungkan. Oleh karena
itu strategi yang harus diterapkan adalah strategi ST (strength-threats) dengan
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi ST yang harus
diterapkan adalah (1) menjamin kepastian penguasaan lahan dengan mengakui
hak kelola masyarakat (2) mengembangkan pola agroforestri untuk
meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk, dan (3) memperkuat
kelembagaan dan kapasitas petani dalam sistem pemasaran.
Kedua penelitian tersebut secara substansi memiliki relevansi yang kuat
dengan kegiatan penelitian analisis kebijakan dan rancang bangun model
konseptual HTR. Beberapa faktor sosial budaya masyarakat dalam
hubungannya dengan kegiatan pengelolaan hutan dapat menjadi rujukan.
Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup nyata jika membandingkan
kedua penelitian tersebut dengan disertasi ini, karena sifat dari kebijakan HTR
merupakan program dari pemerintah, sedangkan kegiatan repong damar di
Lampung dan hutan kemiri rakyat di Sulawesi Selatan merupakan kegiatan yang
tumbuh dari aspirasi masyarakat lokal.
Karyana (2007) menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling
dalam penelitian analisis posisi dan peran lembaga di Daerah Aliran Sungai
Ciliwung. Analisis ISM dalam penelitian ini menghasilkan strukturisasi posisi
lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung.
Analisis terhadap tiga aspek kelembagaan menunjukkan bahwa (1) masalah
kelembagaan tidak terletak pada lembaganya sebagai organisasi tetapi pada
47

masalah yang menyangkut hubungan antar lembaga; (2) lembaga pemerintah


yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung belum memiliki program dan
kegiatan yang berorientasi pada pemecahan masalah kelembagaan DAS; (3)
kebijakan dan peran pemerintah pusat belum efektif untuk mengatasi masalah
yang terjadi di DAS Ciliwung. Disertasi ini memberikan informasi tentang aspek
hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Terdapat
berberapa faktor yang dapat dipersamakan antara pengelolaan DAS dan HTR,
diantaranya karena melibatkan berbagai lembaga lintas sektoral. Untuk itu teori
koordinasi yang dikembangkan dalam disertasi ini menjadi rujukan bagi
pengembangan koordinasi pengelolaan HTR.
Wibisono (2008) menggunakan teknik permodelan system dengan teknik
Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST) serta teknik ISM untuk
menyusun model kebijakan strategis pengelolaan pertambangan mineral yang
berkelanjutan. Model konseptual pengelolaan lingkungan terdiri atas model
pengendalian endapan pasir sisa tambang pada aliran sungai dan model
Rehabilitasi lahan wilayah Mod-ADA. Model konseptual pengelolaan tambang
merupakan model yang integratif menangani sektor hulu hingga hilir. Hal ini
dapat menjadi teladan bagi perumusan model konseptual HTR agar terintegrasi
mulai dari proses awal hingga akhir kegiatan bisnis hutan tanaman oleh rakyat.
Kurniawan (2010) melakukan analisis sistem pengelolaan kawasan karst di
Maros-Pangkep Sulawesi Selatan. Model konseptual yang dirumuskan pada
penelitian ini, secara prinsip harus memenuhi aspek kepastian batas penentuan
lembaga pengelola hasil kesepakatan, penentuan sistem pengelolaan dan
pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan karst. Kebijakan yang disusun
meliputi status kawasan, konservasi lingkungan, stabilisasi sosial-budaya, dan
peningkatan nilai ekonomis. Seluruh model konseptual ini menerapkan prinsip-
prinsip keberlanjutan COMHAR. Model yang dikembangkan serupa dengan
model kebijakan strategi pengelolaan pertambanan mineral. Disertasi ini
dilengkapi dengan analisis spasial tentang perubahan serial dari kawasan karst
di Maros-Pangkep.
Adiprasetyo (2010) menggunakan metode soft system management untuk
melakukan rancang bangun kebijakan pengelolaan Taman Nasional secara
berkelanjutan di era otonomi daerah. Sistem dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu
model manajemen, kelembagaan dan pendanaan. Ketiga model yang disusun
Adiprasetyo menjadi referensi utama dalam melakukan kegiatan rancang bangun
48

model konseptual kebijakan HTR. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak
kesamaan elemen sistem yang mendukung.
Pengelolaan tanaman nasional merupakan kebijakan nasional dalam hal ini
program Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya berada di level daerah.
Selain itu, pengelolaan taman nasional juga mengandung aspek sosial
kemasyarakatan. Pengelolaan taman nasional harus mempertimbangkan
keberadaan masyarakat sekitar guna menjalin hubungan yang harmonis antara
sumberdaya hutan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Perbedaan
mendasar antara pengelolaan taman nasional dengan kebijakan pembangunan
HTR adalah posisi masyarakat pada program HTR merupakan pelaku utama
kegiatan. Sementara itu pengelolaan taman nasional masih berada dalam
kewenangan pemerintah dan posisi masyarakat sekitar sebagai aktor yang
berpartisipasi dalam pembangunan.
Dengan demikian model konseptual pengelolaan HTR lebih menekankan
pada peran masyarakat sebagai pelaku bisnis hutan tanaman. Strategi yang
ditempuh adalah penguatan kapasitas masyarakat agar memiliki kemandirian
dalam menjalankan bisnis hutan tanaman.
III. METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan kerangka pendekatan berdasarkan teori Sutton
(1999) untuk mengkaji kebijakan HTR mulai dari tahap proses perumusan
kebijakan hingga implementasi. Sutton (1999) dalam The Policy Process: An
Overview, mengajukan kritik terhadap model linier kebijakan. Model linier
dinyatakan sebagai suatu model yang jauh dari realita, karena terdapat sejumlah
asumsi yang sulit untuk dipenuhi.
Menurut Sutton (1999) proses perumusan kebijakan adalah proses acak
tanpa harus mengikuti tahapan seperti yang dirunut dalam model linier. Model
linier berimplikasi bahwa jika kebijakan tidak mencapai tujuan yang diharapkan,
maka kesalahan dirahkan pada proses implementasi kebijakan semata dan
bukan melihat faktor formulasi kebijakan. Kegagalan implementasi ditimpakan
pada kurangnya “political will”, kelemahan pengelolaan atau keterbatasan
sumberdaya. Oleh karena itu sering disebut dengan ungkapan bahwa “Kebijakan
sudah baik, hanya pelaksanaannya yang buruk”. Hal seperti ini merupakan
tindakan pemisahan antara kebijakan dan implementasinya.
Lebih lanjut Sutton (1999) menyatakan bahwa untuk mengkaji faktor
keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan harus mempertimbangkan berbagai
faktor, diantaranya dogma di masa lalu, isu-isu yang berkembang, adanya hasil
studi, adanya kesepakatan internasional, kepentingan kelompok tertentu yang
ikut menentukan ide pembaruan kebijakan dan proses pembuatannya. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, Winter (1990) menyatakan bahwa variable kunci
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah : proses
formulasi kebijakan dan respon kelompok target kebijakan serta perilaku
organisasi pelaku implementasi.
Analisis terhadap proses perumusan kebijakan dicontohkan oleh Springate-
Baginski & Soussan (2002) dalam : A Methodology for Policy Process Analysis.
Metode untuk analisis proses perumusan kebijakan juga dikembangkan oleh
Institute Development Study (IDS). Menurut IDS (2006) perumusan kebijakan
merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1)
Bertahap, pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan
pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; dan 2) Diwarnai oleh
berbagai kepentingan; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan.
50

Lebih detail Blaikie & Soussan (2001) merinci metode analisis proses
perumusan kebijakan menjadi 6 tahap, yaitu :
1) Tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Pada umumnya suatu kebijakan
dibangun dari kebijakan yang telah ada, dikombinasikan dengan keilmuan
dan perspektif yang baru berkembang, serta prioritas-prioritas yang dihadapi.
Sangat jarang ditemukan kebijakan yang benar-benar baru. Oleh karenanya
penting mengkaji dan memahami perjalanan sejarah kebijakan. Peristiwa di
masa lalu perlu diidentifikasi guna memahami kebijakan saat ini.
2) Konteks politik dan pemerintahan. Proses kebijakan dipengaruhi oleh bentuk
birokrasi dan kapasitas agen pemerintah, juga oleh kerangka sosial politik
yang lebih luas dan trend perubahan yang terjadi. Contoh yang
dikemukakan oleh Blaikie & Soussan (2001) adalah kebijakan zona pesisir di
Banglades yang sangat terkait erat dengan issu mengenai desentralisasi dan
demokrasi pada level lokal.
3) Permasalahan kunci kebijakan. Peneliti harus mengidentifikasi permasalahan
kunci kebijakan yang terkait dalam perumusan kebijakan. Oleh karenanya
menjadi sebuah tantangan untuk memahami situasi sebelum sebuah
kebijakan diperdebatkan.
4) Proses pengembangan kebijakan. Pusat kajian dari analisis proses kebijakan
adalah proses pengembangan kebijakan. Untuk memahami proses ini,
peneliti harus mengidentifikasi dan memahami apa yang sesungguhnya
terjadi meliputi interaksi dan respon para aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan. Beberapa aspek yang perlu dikaji adalah :
- pemahaman tentang struktur organisasi formal terkait dengan kebijakan
yang disusun dan proses implementasinya
- identifikasi dari aktor kunci dalam proses perumusan kebijakan
- strategi yang digunakan oleh para aktor untuk mengajukan kasus
masalah yang dihadapinya agar dapat diakomodir dalam kebijakan yang
disusun
5) Hasil dan dampak dari kebijakan. Setelah mempertimbangkan proses
pembuatan kebijakan, perhatian selanjutnya dialihkan pada proses
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses implementasi
memungkinkan peneliti untuk menguji apakah kebijakan benar-benar
memenuhi tujuan kebijakan secara keseluruhan. Analisis hasil dan dampak
kebijakan perlu dibuktikan dari hasil lapangan.
51

6) Prospek di masa yang akan datang. Mengingat kebijakan merupakan suatu


yang dinamis maka penting untuk dikaji bagaimana prospek kebijakan di
masa depan dan bagaimana kebijakan tersebut dikembangkan.
Berpedoman pada metode yang dikembangkan oleh Blaikie & Soussan
(2001) dan dipadukan dengan argumentasi dari Winter (1990) maka dalam
penelitian ini dilakukan 3 tahap kegiatan penelitian yaitu : 1) proses perumusan
kebijakan HTR; 2) respon dan implementasi HTR; dan 3) rancang bangun model
konseptual kebijakan HTR. Modifikasi dari model analisis Blaikie & Soussan
(2001) dan tahap analisis kebijakan HTR disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie &
Soussan (2001)
Tahapan analisis seperti disajikan dalam Gambar 7 menjadi bagian dari
kerangka pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan kegiatan penelitian secara
keseluruhan (Gambar 8). Adapun penjelasan dari kerangka pemikiran pada
Gambar 8 diuraikan dalam paragraf berikut ini.
Penetapan kebijakan HTR dilandasi oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya
hutan telah terdegradasi. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan pada umumnya
memerlukan pengakuan secara legal atas hak akses untuk mengelola
sumberdaya hutan. Kebutuhan akan akses terhadap sumberdaya hutan
diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena
52

itu kebijakan HTR dimaksudkan sebagai solusi untuk menyelesaikan


permasalahan tersebut.
Kinerja kebijakan HTR sejak digulirkan pada tahun 2007 hingga akhir tahun
2010 menunjukkan tingkat implementasi yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat
dari tingkat pencapaian kegiatan baik berupa pencadangan lahan HTR yang baru
mencapai 11,65%, maupun proses penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu HTR sebesar 1,62% dari target total seluas 5,4 juta ha. Berdasarkan
fakta tersebut, maka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggali data
tentang faktor kendala dan faktor pendukung bagi keberhasilan implementasi
HTR. Data-data tersebut dikumpulkan mulai dari tahap proses perumusan
kebijakan hingga tahap implementasi kebijakan di lapangan.
Proses kajian dilakukan melalui analisa proses perumusan kebijakan HTR
melalui kajian terhadap kondisi yang melatarbelakangi keluarnya kebijakan, aktor
yang berperan dalam proses perumusan kebijakan, situasi yang mempengaruhi,
serta konsep dasar yang dikandung dalam kebijakan HTR. Hasil dari kegiatan
analisis proses perumusan kebijakan ditujukan untuk menjawab hipotesis
penelitian pertama bahwa perumusan kebijakan HTR tidak memenuhi kaidah
proses perumusan model linier atau model rasional. Sementara itu, analisis
terhadap respon para pihak di lapangan serta evaluasi terhadap pelaksanaan
kegiatan di lapangan dimaksudkan untuk menjawab hipotesis penelitian kedua
yaitu. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi selanjutnya dilakukan analisis
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, sehingga dapat
dirumuskan model konseptual kebijakan HTR. Model tersebut dimaksudkan
sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana strategi implementasi HTR agar
berhasil mencapai tujuan yang diharapkan.
Pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan berupa IUPHHK
HTR dimaksudkan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan secara
berkelanjutan. Keberlanjutan pengelolaan hutan dicirikan dengan 3 kriteria, yaitu
pemenuhan aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kegiatan HTR
memenuhi kriteria ekologi dari terwujudnya kegiatan penanaman hutan di lahan-
lahan logged over area. Kriteria ekonomi dicapai melalui terbukanya
kesempatan usaha dan bekerja bagi masyarakat sekitar hutan. Sementara itu
kriteria sosial tercapai dari terbangunnya kegiatan bersama diantara masyarakat
pemegang IUPHHK-HTR. Kemandirian masyarakat dalam pengelolaan HTR
53

merupakan kondisi yang diperlukan untuk terwujudnya kegiatan bisnis hutan


tanaman.
Prinsip pembangunan berkelanjutan menurut Comhar (2007) mensyaratkan
adanya pilar pendukung berupa pengambilan keputusan yang tepat, pemenuhan
kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya, dan
pemerataan pembangunan. Proses verifikasi dan validasi dimaksudkan untuk
mendapatkan keputusan model konseptual kebijakan HTR yang tepat. Model
yang disusun mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait secara
komprehensif, baik aspek ekologi, ekonomi, maupun sosial sehingga tercapai
pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya
lahan hutan.

Gambar 8 Kerangka penelitian


54

3.2 Lokasi Penelitian


Analisis proses kebijakan dilakukan di tingkat pusat yaitu dengan menggali
data dari para pengambil kebijakan di kantor Kementerian Kehutanan.
Sedangkan analisis respon para pihak dan implementasi kebijakan di daerah
dikaji dari hasil kegiatan observasi lapangan di 3 provinsi, yaitu Provinsi Riau,
Kalimantan Selatan dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 9).
Lokasi penelitian merupakan sampel provinsi yang dipilih dengan
pendekatan purposive (sengaja). Dasar pertimbangannya adalah lokasi yang
menjadi sasaran utama pelaksanaan program HTR. Program HTR diprioritaskan
di wilayah yang telah ada ijin HTI dan industri kayu, hal ini dimaksudkan untuk
mendorong keberhasilan program HTR melalui terbukanya peluang kerjasama
antara HTI-industri dan rakyat (Dirjen BPK 2006). Provinsi Riau dan Kalimantan
Selatan merupakan lokasi yang memenuhi kriteria tersebut dan dapat mewakili 2
pulau yang menjadi prioritas utama pelaksanaan kebijakan HTR. Sementara itu,
Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai sampel lokasi dimana pelaksanaan
program HTR telah mencapai tahap implementasi.

Provinsi Kalsel

Provinsi Riau

Provinsi DIY

Gambar 9 Lokasi penelitian

3.3 Tahapan Kegiatan dan Waktu Penelitian


Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu :
1. Kajian proses perumusan kebijakan HTR
2. Kajian respon para pihak di daerah dan implementasi kebijakan HTR di
lapangan
3. Melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan HTR.
55

Keseluruhan proses pelaksanaan penelitian mulai dari studi pustaka


hingga penarikan kesimpulan dan saran ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Tahapan penelitian

Kegiatan penelitian di lapangan dimulai sejak bulan Agustus 2008 hingga


Agustus 2010. Kegiatan penelitian di lapangan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu
pra-survey yang dilakukan bulan September 2008 dan tahap pengumpulan data
primer di Provinsi Kalsel dan Riau pada bulan Maret – April 2009. Pengumpulan
data untuk analisis proses perumusan kebijakan di Kantor Kementerian
Kehutanan dilaksanakan bulan Mei hingga November 2009. Sementara itu
pengumpulan data primer di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan
pada bulan Desember 2009. Tahap terakhir yaitu proses rancang bangun model
konseptual kebijakan dilaksanakan bulan Februari hingga Agustus 2010.
56

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer bersumber dari informan kunci yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan HTR, data respon para pemangku kepentingan di daerah
terhadap kebijakan HTR, serta pendapat pakar mengenai strukturisasi sistem
pengelolaan HTR. Data sekunder terdiri atas adalah data-data yang terkait
dengan kebijakan HTR meliputi peraturan perundangan HTR, laporan
pelaksanaan kegiatan HTR, dan berbagai dokumen lain yang relevan.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan
kunci. Empat kelompok informan penelitian adalah birokrat pemerintah pusat,
pemangku kepentingan di daerah, petani hutan, dan pakar permodelan.
Wawancara dengan pengambil kebijakan di tingkat pusat merupakan kegiatan
pengumpulan data untuk tahap analisis proses perumusan kebijakan.
Sementara itu, wawancara di tingkat pemerintah daerah dan petani hutan
dilakukan untuk menggali respon mereka terhadap kebijakan HTR. Evaluasi
terhadap implementasi kebijakan HTR digali dari hasil wawancara, observasi di
lapangan, serta pengumpulan data-data sekunder di instansi kehutanan.
Proses wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara yang berisi hal-hal pokok yang harus ditanyakan kepada informan.
Catatan lapangan disusun berdasarkan transkrip wawancara atau catatan
pengamatan.
Peubah dan sumber data yang digunakan dalam penelitian disajikan pada
Tabel 8. Informan dari para pihak pengambil kebijakan adalah pihak yang terlibat
dalam perumusan kebijakan, dan atau yang mengetahui proses lahirnya
kebijakan HTR. Para pemangku kepentingan di daerah adalah pengambil
kebijakan terkait pengelolaan kehutanan di lingkup pemerintah daerah tingkat
provinsi dan kabupaten. Responden pakar adalah para pihak dari kalangan
akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lain yang memiliki
pengetahuan memadai terhadap aspek-aspek yang terkait dengan kebijakan
Hutan Tanaman Rakyat.
57

Tabel 8 Peubah dan sumber data penelitian


No Aspek Peubah Sumber data

1. Proses Tonggak sejarah kebijakan Dokumen


informasi dari key
perumusan Konteks politik dan pemerintahan informan
kebijakan
Isue kunci kebijakan
Proses pembangunan kebijakan:
latar belakang ide, filosofi program,
aktor yang terlibat,
Kondisi yang mendukung

2. Implementasi Respon pemerintah daerah Pemerintah


daerah
dan respon
di daerah Respon petani sekitar hutan Petani
Luas areal pencadangan HTR dokumen
Luas areal IUPHHK HTR

3 Strukturisasi Elemen lembaga yang terlibat Dokumen


Responden pakar
sistem Elemen kebutuhan akan
pengelolaan HTR berkelanjutan
Elemen tujuan
Elemen kendala utama
Elemen kegiatan yang diperlukan
Tabel 9 menyajikan jumlah informan yang menjadi sumber data dalam
penelitian ini. Total informan sebanyak 182 orang, terdiri dari informan di tingkat
pusat hingga masyarakat sekitar hutan.
Tabel 9 Jumlah informan penelitian
Informan Jumlah Keterangan
Birokrat Kemhut 1 Direktur BPHT
(12 orang) 1 Kapus BLU P2HT
7 Staf Subdit HTR
3 Staf BLU

Provinsi Kalsel 18 FGD Provinsi +Wawancara


(54 orang) 5 Pemda Kabupaten
31 Petani
Provinsi Riau 17 FGD Provinsi + wawancara
(51 orang) 3 Pemda Kabupaten
31 Petani
Provinsi DIY 5 Dishut Prop + Pokja
(55 orang) 10 Pemda Kabupaten GK
40 Petani HTR

Pakar 10 Akademisi dan LSM

Jumlah total 182


58

3.4.1 Survey Responden Birokrat Pengambil Kebijakan


Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara mendalam
dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi hal-hal pokok yang
ditanyakan kepada informan (Lampiran 3).
Informan kunci yang diwawancara adalah para pihak yang terlibat dalam
proses perumusan kebijakan. Metode penentuan informan dilakukan dengan
teknik bola salju. Pada awal kegiatan penelitian, peneliti langsung menuju ke
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan yaitu eselon satu di Kementerian
Kehutanan yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengelola program
HTR. Sejak tahun 2010 Direktorat Jenderal ini berganti nama menjadi Bina
Usaha Kehutanan. Pada Direktorat Jenderal ini terdapat struktur organisasi
setingkat eselon tiga yaitu Sub-Direktorat Hutan Tanaman Rakyat yang
mengelola kegiatan HTR.
Informasi awal dikumpulkan dari seluruh elemen yang ada pada Subdit
HTR, mulai dari Kepala Sub Direktorat, Kepala Seksi hingga staf. Pertanyaan
yang diajukan pada intinya mengenai sejarah dirumuskannya kebijakan HTR dan
pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusannya. Dari responden di Subdit
HTR kemudian ditelusuri pihak-pihak lain yang ikut terlibat dalam proses
perumusan kebijakan HTR. Setiap pihak yang diwawancarai diminta untuk
menyebutkan pihak lain yang terlibat untuk dijadikan informan berikutnya.
Penelusuran informan kunci berhenti ketika tidak ada lagi informan lain yang
direkomendasikan sebagai sumber data baru.
Informan utama dalam penelitian proses perumusan kebijakan HTR terdiri
dari 12 orang. Seluruh informan merupakan pihak yang terlibat dan mengetahui
dengan baik proses perumusan kebijakan HTR. Mereka adalah para pihak yang
sejak awal bertugas di Subdit HTR - Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman
Ditjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan dan sebagian informan
yang bertugas di Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan
Hutan.

3.4.2 Survey Responden Parapihak di Daerah


Pada tahap ini dilaksanakan diskusi kelompok terarah (Focus Group
Discussion) yang diselenggarakan di tingkat Provinsi Kalimantan Selatan,
Provinsi Riau, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kegiatan diskusi
terarah melibatkan berbagai stakeholder di daerah yang terkait dengan
59

pelaksanaan kegiatan HTR. Kegiatan diskusi juga dilakukan di tingkat desa


dengan melibatkan wakil dari pihak pemerintah daerah kabupaten, aparat
kecamatan, aparat desa, dan petani.
Survey di tingkat masyarakat: dilakukan dengan melakukan survey untuk
mengetahui respon masyarakat dan wawancara mendalam untuk mengetahui
persepsi dan respon mereka terhadap program HTR dan kondisi aktual
masyarakat terkait kegiatan hutan tanaman. Analisis respon pemangku
kepentingan selain pihak masyarakat dilakukan melalui pengumpulan data
kuesioner.
Untuk mengetahui respon stakeholder daerah terkait kebijakan HTR peneliti
juga mengikuti kegiatan lokakarya yang diselenggarakan di tingkat nasional.
Kegiatan lokakarya diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan pada tanggal 26-27 Mei 2008 bertempat di Bogor. Lokakarya dihadiri
oleh Bupati, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten, pendamping dan pemegang izin IUPHHK-HTR. Agenda utama dari
penyelenggaraan lokakarya adalah identifikasi permasalahan pembangunan
HTR dari berbagai wilayah dan munculnya inisiatif pengembangan HTR.

3.4.3 Survey Pakar


Survai pakar dilakukan dengan tujuan untuk akuisisi pengetahuan yang
dimiliki oleh pakar terhadap aspek-aspek pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan.
Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan atau responden didasarkan
atas pertimbangan dan kriteria: 1). keberadaan, kemudahan dan kesediaan
untuk diwawancarai, 2). reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai
pakar, c). pengalaman pakar yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan
saran yang benar dan dapat membantu pemecahan masalah. Karakteristik
pakar dalam memecahkan masalah adalah efektif, efisien dan sadar terhadap
keterbatasanya. Akuisisi pengetahuan dari pakar dapat digunakan metode
wawancara secara mendalam. Alternatif sumber pengetahuan dapat ditemukan
melalui pengamatan kinerja seorang ahli maupun publikasi ilmiah (Eriyatno &
Sofyar 2007). Pakar yang dilibatkan dalam penelitian ini berasal dari akademisi,
tokoh masyarakat dan pemerintah. Jumlah total responden pakar sebanyak 10
orang untuk identifikasi dan strukturisasi elemen pengelolaan HTR berkelanjutan.
60

3.5 Analisis data


3.5.1 Analisis Proses Perumusan Kebijakan
Teknik analisis data dalam penelitian ini mengikuti langkah analisis proses
perumusan kebijakan seperti yang dicontohkan oleh Blaikie & Soussan (2002).
Aspek yang menjadi fokus analisis meliputi :
1) Tonggak kunci kebijakan, berupa perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan
hutan. Data diperoleh dari kajian dokumen dan literatur serta wawancara
mendalan kemudian dianalisis dengan metode pathway dependency
2) Konteks politik dan pemerintahan, berupa kondisi pemerintahan yang
mendukung pada saat kebijakan HTR dirumuskan. Data diperoleh dari hasil
wawancara dianalisis dengan teknik analisis data wawancara dan disajikan
secara deskriptif qualitatif.
3) Issu kunci kebijakan, berupa permasalahan yang menjadi latar belakang
dirumuskannya kebijakan HTR, serta trend kebijakan yang saat ini menjadi
fokus perhatian. Data dianalisis dari hasil wawancara dan disajikan secara
deskriptif qualitatif.
4) Proses pembentukan kebijakan, berupa identifikasi aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan, pemahaman terhadap struktur organisasi formal yang
terkait dengan dirumuskannya kebijakan HTR, ide dasar (diskursus) yang
diyakini para aktor, dan strategi aktor untuk menggulirkan kebijakan. Data
disajikan dengan teknik deskriptif qualitatif melalui suatu prosedur analisis
data wawancara.
Adapun teknik analisis data hasil wawancara dilakukan dengan
berpedoman pada langkah-langkah analisis menurut Strauss dan Cobin (1990)
dalam grounded theory yang disebut juga sebagai proses coding. Proses coding
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1. Open coding. Open coding adalah salah satu bagian dari proses analisis
yakni secara khusus melakukan penamaan dan membuat kategori atas
fenomena dengan jalan mempelajari data secara teliti. Data dalam hal ini
dipecah-pecah menjadi beberapa bagian, diamati dengan cermat, kemudian
diperbandingkan sehingga ditemukan persamaan, perbedaan dan
mempertanyakan sebagai fenomena apa berdasarkan data yang didapatkan.
Dalam penelitian ini dilakukan open coding melalui analisis terhadap kalimat
atau paragraf hasil wawancara, catatan lapang, atau dokumen.
61

Analisis juga dilakukan terhadap hasil observasi, interview atau dokumen


secara utuh. Prosedur open coding yang dilakukan melalui konseptualisasi data
dan penentuan kategori. Konseptualisasi data dilakukan dengan memisahkan
hasil observasi, sebuah kalimat, sebuah paragraf dan memberi nama suatu
kejadian, pemikiran, atau kejadian dengan suatu nama yang kira-kira dapat
menerangkan (mewakili fenomena) tersebut. Contoh analisis hasil wawancara
untuk menentukan fenomena disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Proses konseptualisasi data wawancara
Kalimat hasil wawancara Fenomena
HTR pada intinya sama saja dengan HTI. Gagasannya Inti kebijakan HTI sama
begini: HTR aturannya harus tanah kosong, padang alang, dengan HTR
semak belukar.

Pada kenyatannya sulit untuk mencari hamparan luas yang lahan kosong di hutan alam
namanya lahan kosong di hutan, tetapi kalau spot-spot banyak dalam bentuk spot-
banyak spot kecil

Pada saat lahir HTR, karet dilarang karena ego sektorat.. Karet tidak dipilih sebagai
Pertimbangan saya waktu itu karena untuk membangun tanaman HTR karena perlu
karet modalnya besar. modal besar

Penentuan kategori dilakukan dengan cara mengelompokkan konsep-


konsep yang telah dihasilkan (dinamai). Konsep-konsep yang berhubungan
dengan fenomena yang sama dimasukkan dalam kelompok yang sama.
Fenomena yang diwakili oleh sebuah kategori kemudian diberi nama konseptual,
nama tersebut bersifat lebih abstrak dibandingkan dengan nama-nama pada
konsep yang ada dalam kelompoknya (Tabel 11).
Tabel 11 Proses kategorisasi data wawancara
Fenomena Konsep Kategori

Inti HTR sama dengan HTI Inti kebijakan HTR Konsep dasar kebijakan
HTR
lahan kosong di hutan banyak dalam Potensi lahan Faktor pendorong
bentuk spot-spot kecil kosong tinggi dirumuskan kebijakan HTR

Karet tidak dipilih sebagai tanaman Penentuan jenis Sifat pembangunan HTR
HTR karena perlu modal besar tanaman HTR

2. Axial coding. Setelah data dipecah-pecah dalam rangka menemukan


kategori, maka dalam axial coding data tersebut disatukan kembali dengan
62

cara yang berbeda yakni dengan mencari hubungan antara sebuah kategori
dan sub kategorinya. Namun hubungan ini bukan hubungan antar kategori
utama untuk membuat rumusan teoritik namun hanya dalam rangka
menemukan beberapa kategori utama.
3. Selective coding. Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
terhadap kategori inti (core categori). Tahap yang dilakukan dalam analisis
proses perumusan kebijakan HTR ini sedikit berbeda dengan teknik dasar
grounded theory. Teknik grounded theory melakukan pemilihan kategori inti
berdasarkan data yang muncul dari hasil pengamatan lapanan tanpa
didahului adanya kerangka analisis. Sementara itu, pada analisis ini kategori
inti telah lebih dulu ditetapkan, yaitu variabel-variabel latar belakang
perumusan kebijakan, aktor yang terlibat, peran dan kepentingan aktor, serta
ide dasar (diskursus) yang diusung oleh para aktor.

3.5.2 Respon para pemangku kepentingan di daerah dan Implementasi


Kebijakan HTR
Evaluasi terhadap implementasi kegiatan HTR dilakukan melalui observasi
dan kajian dokumen antara lain berupa laporan kegiatan. Analisis ini dilakukan
untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan kegiatan HTR di lokasi penelitian.
Analisis ini disebut juga sebagai analisis situasional di 3 provinsi yang menjadi
lokasi kegiatan penelitian.
Data yang diperoleh dianalisis dengan melihat tingkat pencapaian tahap
pelaksanaan kegiatan HTR, dimulai dari kegiatan pencadangan areal, penerbitan
IUPHHK-HTR hingga kegiatan penanaman. Selanjutnya dianalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat pencapaian tersebut. Tujuannya untuk menggali
faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat terhadap pelaksanaan
kegiatan.
Analisis data hasil observasi terkait implementasi kegiatan HTR disajikan
dengan teknik analisis deskriptif. Analisis untuk aspek respon para pemangku
kepentingan di daerah dilakukan dengan teknik kuantifikasi data qualitatif
menggunakan prosentase terhadap skala sikap setuju, tidak setuju, dan ragu-
ragu.
63

3.5.3 Permodelan sistem


Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural
(Interpretative Structural Modelling – ISM). ISM merupakan salah satu metode
permodelan soft system berbasis komputer yang dapat membantu kelompok
untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang
kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur,
termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, dan kategori ide. ISM
menganalisis elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari
hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat
merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian.
Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin
2005).
Dalam penelitian ini, prosedur teknik pemodelan dilakukan seperti yang
diuraikan Saxena et al. (1992) dan Kanungo and Bhatnagar (2002) dengan
langkah (Gambar 11):
1) Identifikasi elemen, yaitu setiap elemen sistem diidentifikasi dan didaftar.
Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat
maupun cara yang lainnya.
2) Hubungan kontekstual, yaitu menetapkan hubungan kontekstual antar
elemen yang dikembangkan berdasarkan pada tujuan dari permodelan.
3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix – SSIM)
dibangun berdasarkan persepsi responden terhadap hubungan elemen yang
dinilai. Empat simbol digunakan untuk mewakili tipe hubungan antar dua
elemen yang dikaji. Simbol tersebut adalah: 1) V menunjukkan hubungan
dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya; 2) A menunjukkan
hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya; 3) X jika ada
hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya; 4) O
merepresentasikan bahwa elemen Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM) dibangun dengan mengubah
simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi
RM menggunakan aturan-aturan berikut,
• Jika relasi Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0
• Jika relasi Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1
• Jika relasi Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1
64

• Jika relasi Ei terhadap Ej =O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.
5) Tingkat partisi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-
level yang berbeda dari struktur ISM.

Gambar 11 Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992)

6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama


mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari
elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks
ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph.
7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah
grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan
level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
65

Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua


komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
8) Interpretative Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM
memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan
alur hubungannya.

3.6 Verifikasi dan Validasi


Setiap penelitian memerlukan adanya standar untuk melihat derajat
kepercayaan dan kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Menurut Lincoln
& Guba (1985) ada empat kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan
data, yaitu : derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),
ketergantungan (dependenability) dan kepastian (confirmability).
Upaya memenuhi syarat keabsahan data penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut : (1) memperpanjang
masa observasi, (2) pengamatan yang terus menerus, (3) triangulasi (data dan
sumber, (4) mendiskusikan dengan teman sejawat, (5) menggunakan bahan
referensi, dan (6) mengadakan pemeriksaan kembali.
Keteralihan hasil penelitian biasanya berkaitan dengan pertanyaan, sejauh
mana penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi lain. Cara
yang digunakan untuk membangun keteralihan temuan penelitian adalah dengan
cara memberikan uraian rinci. Dalam penelitian ini dikumpulkan data yang dapat
memberikan gambaran dan latar belakang keadaan para partisipan kebijakan,
teruama kondisi yang dapat mempengaruhi mengapa suatu fenomena dapat
muncul. Dengan teknik ini hasil penelitian disajikan secermat mungkin yang
menggambarkan pula konteks dimana penelitian diselenggarakan dengan
mengacu pada masalah penelitian.
Penelitian ini juga dilaksanakan secermat mungkin untuk memenuhi kriteria
ketergantungan dan kepastian. Ketergantungan adalah kriteria untuk menilai
apakah proses penelitian bermutu atau tidak. Kepastian adalah kriteria untuk
menilai kualitas hasil penelitian dengan perekaman pada pelacakan data dan
informasi serta interpretasi yang didukung oleh materi yang ada pada
penelusuran atau pelacakan.
Selain proses pengujian terhadap keabsahan data, pada penelitian ini juga
dilakukan proses verifikasi dan validasi terhadap model yang disusun. Menurut
Eriyatno dan Sofyar (2007), proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan
66

tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta
mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan
penerapan kebijakan yang dirumuskan. Verifikasi kebijakan dilakukan terhadap
metode yang digunakan dalam pengambilan data. Sedangkan validasi model
kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan
membandingkan model kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang
sedang berjalan atau sudah dijalankan.
Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent
(1998) adalah face validity. Proses validasi dilakukan dengan menggunakan
pendapat pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta
kebenaran logika dan teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan
input-output model secara masuk akal.
IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR

Analisis proses perumusan kebijakan HTR diuraikan dengan berpedoman


pada metode yang disampaikan oleh Blaikie & Soussan (2001). Analisis
perumusan kebijakan HTR terdiri dari empat bagian. Bagian awal dimulai
dengan pemaparan mengenai tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Hal ini
dilakukan karena sebuah kebijakan yang baru memiliki kaitan dan dipengaruhi
oleh kebijakan yang telah ada sebelumnya.
Bagian selanjutnya adalah uraian mengenai proses perumusan kebijakan
HTR. Bagian ini memaparkan proses membangun kebijakan HTR dengan
mengkaji aspek-aspek konteks politik dan pemerintahan, permasalahan kunci
kebijakan, dan proses membangun kebijakan HTR meliputi aktor yang berperan,
situasi politik dan pemerintahan yang berpengaruh, serta strategi aktor penentu
kebijakan dalam mewujudkan kebijakan.
Bagian ketiga merupakan analisis narasi dan diskursus kebijakan dengan
memaparkan ide dasar atau keyakinan yang digunakan oleh para aktor
pengambil keputusan. Bagian terakhir dari bab ini menganalisis proses
perumusan kebijakan HTR berdasarkan teori model linier.

4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan


Tonggak peristiwa penetapan kebijakan digali dari perjalanan sejarah
pemanfaatan hutan di Indonesia, perkembangan kebijakan pengelolaan hutan
produksi, dan perkembangan kebijakan perhutanan sosial.
Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan produksi di Indonesia menjadi
penting untuk dikaji, mengingat kebijakan HTR menyangkut pemanfaatan hutan
produksi. Di samping itu, kebijakan HTR juga merupakan salah satu bentuk
pengelolaan hutan melibatkan masyarakat, karenanya perlu juga untuk merujuk
proses perjalanan kebijakan perhutanan sosial.

4.1.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan di Indonesia


Secara umum pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3
periode, yaitu : 1) periode pra-kolonialisasi; 2) periode kolonialisasi; dan
3) periode kemerdekaan. Ilustrasi pembagian periode pemanfaatan disajikan
pada Gambar 12. Uraian detail mengenai perjalanan sejarah pemanfaatan hutan
di Indonesia disajikan pada paragraf berikutnya dari sub-bab ini.
68

Gambar 12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia

Nusantara pada periode pra sejarah mencakup suatu periode yang


panjang kira-kira 1,7 juta tahun yang lalu. Hal ini disarkan pada pengetahuan
yang didukung oleh temuan fosil hewan dan manusia serta sisa-sisa peralatan
dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perungu) serta gerabah.
Encyclopaedia Britanica membahas tentang sejarah manusia Jawa dalam The
Java Man. Berdasarkan temuan yang disebut homo erectus dan dikaji
menggunakan pengukuran radiometri, para ahli palaentologi berpendapat bahwa
fosil tersebut berasal dari era sekitar 1,7-1,5 juta tahun yang lalu
Perjalanan sejarah berikutnya mencatat masa kejayaan Kerajaan
Majapahit. Kerajaan ini mempunyai wilayah kekuasaan paling luas, mempunyai
pengaruh sampai di luar negeri, dan memiliki angkatan perang yang disegani
oleh negara lain. Kerajaan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan
Singasari*. Kerajaan Majapahit sudah mampu mengembangkan sayap
kekuasaannya ke wilayah di seberang lautan. Sudah dapat dipastikan bahwa
kerajaan tersebut telah dapat membuat kapal-kapal, bangunan keraton, rumah-
rumah penduduk maupun peralatan lainnya dari kayu. Kayu yang digunakan
tentu saja diperoleh dari hasil menebang pohon di hutan.

*
http://arie55history.blogspot.com/2010/02/ perang-paregreg-dalam-sejarah-indonesia.
html diakses 20 Oktober 2010
69

Muljana (2008) dalam bukunya Tafsir Sejarah : Negara Kertagama


menceritakan mengenai asal mula nama Majapahit terdapat dalam Pararaton
dan Panji Wijayakrama IV/86-87. Cerita tentang asal mula Majapahit
menunjukkan adanya hubungan hutan dengan sejarah kerajaan Majapahit.
Konon nama Majaphit berasal dari buah Maja yang banyak tumbuh di hutan di
sekitar Sungai Brantas. Adapun disebut kerajaan Majapahit disebabkan karena
orang-orang yang datang ke wilayah ini berusaha membabat hutan, dan ketika
lapar mereka memakan buah maja yang rasanya sangat pahit. Periode sejarah
berikutnya dengan masa pemerintahan Kerajaan Mataram (tahun 1500an).
Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar di kawasan Jawa Tengah dan
Jawa Timur, dimana sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan lebat.
Menurut catatan sejarah, wilayah hutan tersebut ditumbuhi dengan pohon jati
yang tumbuh dalam larikan-larikan yang teratur.
Pada tahun 1600-1900an atau selama abad 16 hingga abad 20, terjadi
eksploitasi hutan jati di pulau Jawa oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie
(VOC). Praktik pemanfaatan hutan alam jati di Jawa inilah yang dapat dianggap
sebagai salah satu tonggak sejarah dimulainya pengelolaan hutan di Indonesia.
Vereenigde Oost Indische Compagnie telah menjadikan eksploitasi hutan alam
jati di Jawa sebagai salah satu tambang bagi pemasukan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Rasionalitas VOC sebagai satu-satunya perusahaan dagang
milik pemerintah Belanda telah menempatkannya sebagai sebuah institusi yang
semata-mata mengejar keuntungan ekonomi dan tidak memperhitungkan daya
dukung hutan yang ada. Dampaknya, kerusakan hutan alam di Jawa secara
perlahan-lahan mulai terjadi (Iskandar et al. 2003; Simon 2006).
Cordes (1992) mencatat bahwa pada saat VOC dihapuskan di Indonesia,
semua yang dimiliki VOC dijadikan milik negara. Hutan-hutan jati yang tidak
termasuk dalam milik pribadi atau desa menjadi milik pemerintah penjajah
Belanda, kecuali hutan jati yang berada di wilayah Kesultanan Surakarta dan
Yogyakarta.
Iskandar et al. (2003) menguraikan bahwa ketika Herman Williem
Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1807, hutan-hutan
yang rusak akibat eksploitasi berlebihan oleh VOC mulai diperhatikan. Selama
masa kekuasaan VOC, hutan-hutan di Jawa telah dieksploitasi berlebihan untuk
kepentingan kolonial. Kayu jati yang diperoleh dari tebangan hutan alam di Jawa
70

menjadi favorit untuk diperdagangkan, terutama untuk diekspor. Kayu-kayu


tersebut digunakan untuk membangun gudang, gedung, galangan kapal,
bahtera, dan perabot rumah. Eksploitasi yang belebihan tidak diiringi tindakan
pemeliharaan maupun penanaman kembali. Lahan-lahan bekas tebangan
akhirnya menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana.
Daendels menyadari bahwa hutan jati di Jawa akan berkurang jika tidak
diiringi dengan kegiatan penanaman kembali,. Setahun setelah
pengangkatannya, Daendels mengangkat seorang Inspektur Jenderal Kehutanan
dan membuat rumusan pengelolaan hutan. Targetnya, hutan-hutan alam yang
telah ditebang segera ditanam kembali. Saat itulah pertama kalinya pengelolaan
hutan memiliki personil yang khusus dan terdapat ketentuan yang harus diikuti
dalam pengelolaan hutan. Meskipun tujuan itu lebih kepada pengaturan produksi
kayu untuk kepentingan pelaku bisnis, setidaknya aspek kelestarian produksi
mulai diterapkan. Di era tersebut tepatnya tahun 1808 dibentuk Organisasi
Pengurusan Hutan Jati dimana titik beratnya pada pasokan jati bagi kepentingan
ekonomi Belanda. Sistem silvikultur yang diperkenankan adalah hutan tanaman
dan tumpangsari lamtorogung sebagai tanaman sela (Iskandar et al.2003; Simon
2006).
Upaya tersebut menghadapi kendala karena adanya kegiatan cultuurstelsel
(tanam paksa) yang dikembangkan oleh Van den Bosch (Simon 1993). Kegiatan
ini berupaya untuk memperoleh hasil tanaman pertanian dan perkebunan yang
dianggap cepat menghasilkan. Semua lahan yang ada harus dimanfaatkan,
termasuk kawasan hutan jati. Cultuurstelsel menyebabkan terjadinya konversi
besar-besaran kawasan hutan produksi menjadi lahan perkebunan, seperti
perkebunan tebu, karet, kopi, atau tanaman palawija. Akibat konversi hutan
menjadi lahan perkebunan dan pertanian, maka luas kawasan hutan menyusut
drastis bahkan banyak yang berubah menjadi lahan kritis (Iskandar et al. 2003)
Untuk mendukung pelaksanaan reforestasi dan pengelolaan hutan dengan
menggunakan pengetahuan dan teknologi modern, maka pada tahun 1873
Jawatan Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan. Berdasarkan
Staatsblad No. 215 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13 daerah
hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000-80.000 ha untuk kawasan
jati dan lebih dari 80.000 ha untuk daerah hutan di luar kawasan hutan jati.
Selanjutnya Pemerintah Belanda mendirikan Perusahaan Hutan Jati (Djatibedrijf)
untuk mengintensifkan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura, sedangkan
71

pengelolaan kawasan hutan rimba non jati diserahkan wewenangnya kepada


Dinas Hutan Rimba (Dienst de Wildhoutbossen). Pengelolaan hutan di bawah
pemerintah Hindia Belanda terus berjalan dengan penyempurnaan undang-
undang dan berbagai peraturan yang telah dihasilkannya. Untuk meningkatkan
pengelolaan hutan, kemudian dibangun Lembaga Penelitian Hutan pada tahun
1913 (Bosbouw Proefstation) (Departemen Kehutanan 1986)
Di masa pendudukan Jepang kondisi sumber daya hutan semakin rusak
dengan kondisi kawasan yang semakin parah. Pada masa ini hampir tidak ada
kegiatan penanaman. Kebijakan yang ada hanyalah pemanfaatan segala
potensi sumberdaya alam untuk tujuan perang. Hutan-hutan yang ada
dieksploitasi untuk memasok kebutuhan armada perang Jepang. Untuk lebih
memperlancar berbagai kepentingan, maka Jawatan Kehutanan dilebur ke dalam
Departemen Urusan Perkapalan. Selanjutnya, Jawatan Kehutanan dimasukkan
dan menjadi bagian dari Kantor Pemenuhan Kebutuhan Perang pada akhir tahun
1945 (Iskandar et al. 2003).
Eksploitasi hutan semakin merajalela. Dengan dalih melipatgandakan
hasil bumi, rakyat diperbolehkan membuka hutan seluas 4.428 ha untuk ditanami
palawija. Lahan yang dibuka menjadi lahan kritis. Selain itu, terbit kewajiban
menanami jenis kapas dan jarak yang ditanam diantara tanaman jati. Kegiatan
itu justru makin merusak tanaman pokok jati. Dengan demikian, kebijakan
pemanfaatan lahan yang dilandasi untuk kepentingan perang pada akhirnya kian
menyusutkan kawasan hutan. Jepang meninggalkan 500.000 ha kawasan hutan
yang rusak akibat kebijakan tersebut (Iskandar et al. 2003; Nurjaya 2006). .
Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 memberikan kewenangan dan
kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk membangun hutan dan
merehabilitasi kawasan hutan yang rusak. Selain itu terbuka kesempatan
memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pembangunan nasional terutama hutan
di luar Pulau Jawa. Aspek penting yang harus disoroti dalam pengelolaan hutan
pasca kemerdekaan adalah eksploitasi sumber daya hutan. Hutan diposisikan
sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state-revenue) yang paling
diandalkan setelah minyak dan gas bumi (Repetto 1988; Zerner 1990; Peluso
1992; Nurjaya 2005). Dengan demikian dari sudut pandang pembangunan
ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah
memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pemerintah mampu
mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui kebijakan pemberian
72

konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH),
atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), (Nurjaya 2005; Iskandar et al.
2003). Statistik tahun 1992-1997 menunjukkan bahwa tidak kurang dari tujuh
hingga delapan milyar dolar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan
(Iskandar et al. 2003).

4.1.2 Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi


Hutan produksi adalah salah satu jenis pembagian hutan yang didasarkan
pada fungsinya. Sesuai dengan amanah Undang-undang Kehutanan,
pengelolaan hutan diarahkan berdasarkan fungsi pokok hutan, yaitu hutan
konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (Santoso 2010). Definisi hutan
produksi menurut Undang-undang Kehutanan 41/1999 adalah adalah kawasan
hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia, khususnya di luar Pulau
Jawa, dilakukan dengan sistem konsesi Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan
Tanaman Industri. Eksploitasi hutan produksi di Indonesia dengan pola konsesi
HPH dan HTI, sebenarnya bukan merupakan kebijakan yang baru diterapkan di
era pasca kemerdekaan Indonesia. Kebijakan seperti ini merupakan warisan dari
penjajah Belanda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1865
Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan No. 6 tanggal
10 September 1865 berupa instrumen hukum yang dikenal dengan nama
Reglemen Kehutanan 1865. Prinsip pokok yang diatur dalam Reglemen ini
adalah eksploitasi hutan jati dilakukan semata-mata untuk kepentingan pihak
partikelir, yang dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, pihak swasta
yang diberikan konsesi penebangan hutan jati diwajibkan membayar pachtschat
(uang sewa) setiap tahun kepada pemerintah Hindia Belanda, yang dihitung
dengan taksiran nilai harga kayu dalam setiap persil menurut lamanya konsesi
yang diberikan. Kedua, kayu-kayu yang ditebang pihak penerima konsesi
diserahkan kepada pemerintah dan pihak swasta penerima konsesi menerima
uang pembayaran upah tebang, sarad, dan angkut dalam hitungan per elo kubik
(1 elo = 68,8 cm) melalui tender terbuka dan penawaran yang diajukan dalam
sampul tertutup (Nurjaya 2005).
Selanjutnya Nurjaya (2005) menyatakan bahwa dalam perkembangannya,
Reglemen Hutan 1865 dipandang banyak mengandung kelemahan dalam
mengantisipasi perkembangan pengelolaan hutan, sehingga dipandang perlu
73

untuk segera diganti. Pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen


Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874. Pokok penting
dari Reglemen 1874 adalah pemisahan pengelolaan hutan jati dari hutan rimba
non jati dan penyerahan hak eksploitasi hutan jati kepada swasta. Perjalanan
perkembangan pengelolaan hutan produksi di Indonesia sejak dikeluarkannya
Reglemen Hutan 1865 hingga saat ini disajikan dalam Lampiran 4.
Dari uraian tersebut dapat ditarik beberapa tonggak penting dalam sistem
pengelolaan hutan produksi di Indonesia adalah sebagai berikut (Gambar 13) :
1. Era Penjajahan Belanda: Pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem
konsesi baik terhadap hutan jati di Jawa dan Madura, maupun hutan alam
di luar Pulau Jawa. Pengelolaan hutan di Jawa selanjutnya dilakukan oleh
Perusahaan Jati “Jati Bedrijft” yang merupakan cikal bakal Perum
Perhutani.
2. Era awal kemerdekaan (1945 – 1967): Pegelolaan hutan di luar pulau Jawa
tetap dilakukan oleh perusahaan swasta asing
3. Era HPH (1967 – sekarang). Dimulai dengan terbitnya landasan hukum
berupa Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,
Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967, dan Peraturan Pemerintah
No.22 Tahun 1967 tentang Iuran HPH dan Iuran Hasil Hutan
4. Era HTI (1980 – sekarang). Pembangunan HTI dilandasi dengan Peraturan
Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI)

Gambar 13 Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia


74

Perkembangan kegiatan HPH mengalami peningkatan pada periode tahun


1970 hingga 1997. Tabel 12 menunjukkan pertambahan jumlah HPH dari tahun
1991 hingga tahun 2009.

Tabel 12 Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009
Tahun Jumlah HPH Luas areal konsesi HPH Produksi
(perusahaan) (ha) kayu
(juta m3)
1989/90 557 58.900.00 -
1990/91 564 59.620.000 -
1991/92 567 60.500.000 23,9
1992/93 580 61.400.000 28,3
1993/94 575 61.700.000 26,8
1994/95 540 61.030.000 24,0
1995/96 487 56.200.000 24,9
1996/97 447 54.100.000 26,1
1997/98 427 52.300.000 29,5
1998/99 420 51.600.000 19,0
1999/2000 387 41.840.000 20,6
2001 351 36.400.000 -
2003 262 - -
2009 301 31.100.000
Sumber : dikumpulkan dari berbagai sumber; Ditjen BPK (2009); Ditjen BPK (2005)
seperti dikutip dalam Nawir et al. (2008), tanda (-) menunjukkan belum
ditemukan data.

Berdasarkan data produksi kayu yang dihasilkan dari hutan, maka dapat
dilihat bahwa produksi hutan alam (HPH) semakin menurun. Sementara itu
produksi kayu dari hutan tanaman mengalami peningkatan yang signifikan
(Gambar 14)

21
21 m3
HTI
1 1m3
1997/98
2000
55m3
HPH 16
16 m3

0 5 10 15 20 25 m3

Gambar 14 Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998
dengan tahun 2009 (Sumber data: Santoso 2010)
75

Dengan demikian, maka pembangunan hutan tanaman semakin mendapat


perhatian serius dari Kementerian Kehutanan, bahkan posisi hutan tanaman
diprediksikan dapat menjamin kebutuhan kayu di masa depan (Santoso 2010).

4.1.3 Perkembangan Kebijakan HTI dan Dana Reboisasi


Pada tahun 1990 pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) mulai
dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) (Iskandar et al. 2003). Dalam
PP tersebut HTI diartikan sebagai hutan tanaman yang dibangun dalam rangka
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur
intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Kegiatan
yang dilaksanakan di HTI adalah penanaman, pemeliharaan, pemungutan,
pengolahan dan pemasaran.
Pembangunan HTI menjadi program penting untuk menjaga kelestarian
hutan, khususnya pada lahan-lahan yang tidak produktif. Areal yang menjadi
lokasi kegiatan HTI adalah tanah kosong, semak belukar dan hutan rawang yang
bertumbuhan kurang dari 20 m3/ha. Dari ketentuan itu terdapat target penting
yang ingin dicapai, yakni meningkatkan produktivitas kawasan hutan,
mengurangi tekanan terhadap hutan alam, meningkatkan kualitas lingkungan
hidup dan terjaminnya ketersediaan bahan baku industri hasil hutan (Iskandar et
al. 2003). Harapan lain juga unuk mendukung tercapainya Sustainable Forest
Management (SFM) atau pengelolaan hutan lestari sebagaimana dituntut dalam
perdagangan internasional (Mayer 1996).
Pemerintah tidak melaksanakan sendiri pembangunan HTI mengingat
keterbatasan sumberdaya manusia, kelembagaan dan pengalaman. Olah
karena itu kalangan swasta didorong untuk berperan aktif didalamnya dalam
bentuk unit-unit HPHTI (Iskandar et al. 2003). Setiap unit HPHTI maksimal
300.000 ha untuk unit yang mendukung industri pulp, dan maksimal 60.000 ha
untuk unit pendukung industri kayu pertukangan atau industri lainnya.
Selanjutnya Iskandar et al. (2003) menguraikan tiga alasan mengapa
pembangunan HTI melibatkan swasta. Pertama, perusahaan swasta diharapkan
dapat menyediakan sendiri sebagian dari penyertaan modal, terutama untuk
modal pembangunan industri pengolah kayu; kedua, pembangunan HTI dalam
pelaksanaannya harus tepat waktu, sehingga swasta dinilai lebih lincah
dibandingkan birokrat BUMN yang kaku, dan ketiga untuk membagi resiko usaha
76

antara pemerintah dan swasta. Dengan pertimbangan tersebut maka pemerintah


menyediakan insentif finansial bagi perusahaan HTI berupa pinjaman tanpa
bunga yang bersumber dari Dana Reboisasi. Dana Reboisasi merupakan dana
yang dipungut secara wajib sebagai pengganti nilai tegakan (stumpage value)
sekaligus dana subsidi silang bagi berbagai kegiatan penghutanan kembali
kawasan-kawasan hutan non produktif.
Dana Reboisasi merupakan salah satu instrumen terpenting dari kebijakan
pembangunan Hutan Tanaman Industri karena fungsinya sebagai insentif
pendanaan. Untuk mewadahi kucuran dana pemerintah tersebut dibentuk
perusahaan patungan. Institusi yang mewakili pemerintah adalah Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) lingkup Kementerian Kehutanan, yakni PT Inhutani.
Melalui perusahan patungan inilah kucuran dana ditampung untuk mendapatkan
pinjaman DR dengan bunga 0% dan pinjaman pola komersial dengan awal
pengembalian di tahun kedelapan setelah HTI mulai melakukan penanaman.
Penyaluran dana dilaksanakan melalui bank-bank pemerintah, setelah dibuat
Perjanjian Kredit (PK) antara bank penyalur atas nama Menteri Kehutanan
dengan badan Usaha Patungan. Dengan kebijakan itu para investor harus
menyediakan dana sebesar 21% dari keseluruhan modal yang diperlukan.
Sebesar 14% akan dipenuhi pemerintah sebagai Penyertaan Modal Pemerintah
(PMP), sisanya 32,5% berbentuk pinjaman pemerintah tanpa bunga dan 32,5%
dipenuhi dari pinjaman komersial (Gambar 15) (Palengkahu et al. 2006).

Pinjaman Dana investor,


Komersial, 32.50% 21%

PMP, 14%

Pinjaman tanpa
bunga, 32.50%

Gambar 15 Komposisi modal perusahaan HTI


77

Meskipun pemerintah telah menyediakan insentif pendanaan sedemikian


rupa, namun program HTI kurang diminati para investor baik lokal maupun asing.
Hal ini disebabkan karena pembangunan HTI memerlukan modal besar, beresiko
tinggi dan berjangka panjang. Selain itu perhitungan kelayakan suku bunga
untuk pembangunan HTI dari jenis tanaman cepat tumbuh dengan daur 8 – 10
tahun hanya sekitar 12 persen (berada di bawah tingkat suku bunga pinjaman
bank yang berkisar 20 – 24%) (Iskandar et al. 2003)
Kendala utama dalam proses pembangunan HTI terjadi ketika Dana
Reboisasi harus dimasukkan sebagai penerimaan negara. Ini terjadi sebagai
hasil penandatanganan Letter of Intent Pemerintah Indonesia dengan
International Monetary Funds (IMF) pada 15 Januari 1998. Kebijakan tersebut
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi, yang mengatur bahwa DR hanya digunakan untuk kegiatan reboisasi
dan penghijauan. Sejak terbitnya PP tersebut, maka pembangunan HTI
sepenuhnya menjadi usaha swasta dan Dana Reboisasi tidak lagi dapat
disalurkan untuk pembangunan HTI (Iskandar et al. 2003).
Akibat dari kebijakan ini, maka perusahaan HTI patungan mengalami
pukulan berat, sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya stagnasi kegiatan
pembangunan HTI (Iskandar et al. 2003). Pelengkahu et al. (2006) menyajikan
data bahwa hingga tahun 2005 realisasi pembangunan dari 214 unit HTI
mencapai 2.310.608 ha atau mencapai 24,49% dari target yang ditetapkan
seluas 9.436,129 hektar. Dari luasan tersebut produksi kayu yang dihasilkan
mencapai 2 juta m3 dengan jumlah tenaga kerja yang terserap langsung
mencapai 180.000 orang. Kecilnya realisasi penanaman HTI maupun realisasi
produksi kayu yang berasal dari HTI disebabkan karena 3 faktor yaitu (1) konflik
lahan (2) pendanaan dan dukungan perbankan, serta (3) kebijakan, regulasi dan
birokrasi. Kebijakan, regulasi dan birokrasi yang kondusif bagi pembangunan
HTI yang memiliki resiko tinggi dan bersifat jangka panjang sangat dibutuhkan
bagi terwujudnya aspek kepastian hukum, keamanan berusaha, dan iklim
investasi yang kondusif. Hal itu antara lain diwujudkan melalui kebijakan,
regulasi dan birokrasi yang konsisten beriorientasi hasil dan efisien.
Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Iskandar et al. (2003)
bahwa berkaitan dengan faktor jangka waktu pengusahaan yang relatif lama,
program HTI tidak memiliki insentif yang cukup memadai karena ketidakpastian
status kawasan hutan. Terlebih faktor konflik sosial juga menjadi penghambat
78

utama akibat ketidakpastian status kawasan hutan. Faktor-faktor tersebut


seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi penetapan kebijakan pemerintah
sehingga memungkinkan adanya insentif sekaligus terciptanya iklim usaha yang
kondusif. Kenyatannya hal tersebut belum sepenuhnya terwujud, baik dalam
bentuk kebijakan maupun implementasi di lapangan (Iskandar et al. 2003).
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan
produksi dengan mekanisme pemberian konsesi HPH dan HTI tetap berjalan
hingga saat ini. Namun telah terjadi perubahan nama dari konsesi HPH dan
HPHTI menjadi Ijin Usaha. Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.34
Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka ijin konsesi HPH berubah
menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA).
Sementara itu HPHTI berubah menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).
Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2002 selanjutnya mengalami
perubahan menjadi Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. Dalam PP yang
baru inilah program Hutan Tanaman Rakyat mulai dimunculkan sebagai salah
satu bentuk kebijakan pengelolaan hutan produksi. Ijin usaha HTR pada
dasarnya serupa dengan HTI hanya saja sasaran pelaku usaha yang dituju
adalah rakyat secara perorangan dan bukan dalam bentuk perusahaan.
Kebijakan ini sangat berkaitan dengan paradigma pembangunan hutan berbasis
masyarakat yang mendasari Kebijakan Perhutanan Sosial (social forestry)

4.1.4 Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial


Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest
Management = CBFM) telah banyak dilakukan di negara-negara Asia Selatan
dan Tenggara. Tujuan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah untuk
mencapai pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management). Kondisi
SFM tercapai jika hutan secara ekologis terpelihara dan kepentingan masyarakat
sekitar hutan terjamin. Kajian yang dilakukan oleh East-West Centre
menunjukkan bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat masih belum
mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan (Fox 1993; Lynch & Talbot 1995;
Poffenberger 2006).
Khusus di Indonesia kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat
dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan lokasi dan karakteristik
79

pengelolaan hutannya, yaitu di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa (Lyndayati
2002). Di Pulau Jawa kegiatan perhutanan sosial dilakukan oleh Perhutani
dengan berbagai program kegiatan seperti tumpangsari, PMDH, dan PHBM.
Sedangkan program perhutanan sosial yang lebih relevan dikaji dalam desertasi
ini adalah kegiatan yang dilakukan di luar areal Perhutani. Dalam sub-bab ini
kebijakan perhutanan sosial dapat dipertukarkan dengan istilah Social Forestry
(SF).
Perkembangan kebijakan Perhutanan Sosial di Luar wilayah Perhutani
dapat dibedakan menjadi 3 fase perkembangan (Lyndayati 2002), yaitu :
1) periode pra-SF sejak kegiatan pengelolaan hutan hingga pertengahan tahun
80-an, 2) Periode adopsi SF (pertengahan tahun 80-an hingga 1997, 3) periode
SF (tahun 1998 hingga sekarang). Ilustrasi perkembangan kebijakan SF seperti
disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan


pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia

Uraian rinci mengenai perkembangan kebijakan perhutanan sosial dideskripsikan


sebagai berikut :

1. Periode Pra- SF (Akhir tahun 60-an sampai pertengahan tahun 80-an)


Sebelum masa pemerintahan orde baru, hutan di luar jawa dikelola oleh
masyarakat adat. Terdapat sekitar 250 kelompok etnis yang hidup di dalam atau
sekitar hutan dan menyandarkan hidupnya kepada sumberdaya hutan (Moniaga
2000). Setiap kelompok adat memiliki aturan sendiri dalam memanfaatkan dan
memelihara hutan. Mereka hidup bergantung pada sumberdaya hutan dan
mereka juga menjaga kelestarian hutan.
80

Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini dianggap tidak sejalan dengan
rencana Pembangunan Orde Baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi
dan modernisasi atau industrialisasi. Masyarakat lokal dipandang sebagai
”terbelakang” dan sistem perladangan berpindah yang mereka lakukan secara
ekonomi dinilai tidak produktif dan secara ekologi merusak lingkungan.
Pada periode ini terjadi adopsi intrumen kebijakan yang menggambarkan
penolakan pemerintah secara mutlak atas akses masyarakat terhadap hutan.
Program yang dilluncurkan adalah pemukiman peladang berpindah dan sistem
pertanian menetap. Peraturan perundangan yang dikeluarkan diantaranya PP
21/1970 tentang HPH dan HPHH serta PP 28/1985 tentang Perlindungan
Lingkungan. Kedua PP ini mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat lokal
terhadap hutan negara yang telah dikelola HPH dan kawasan konservasi.

2. Pertengahan tahun 80-an sampai 1997 (Periode Adopsi SF)


Sebagai imbas dari retorika ”forest for people”, pengelolaan hutan pada era
ini mulai menganut distribusi keuntungan, keadilan, partisipasi masyarakat, dan
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Orientasi pembangunan
diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan.
Namun demikian tidak berarti telah terjadi perubahan cara pandang terhadap
penguasaan hutan oleh negara dan pandangan terbelakang dan desktruktif bagi
masyarakat lokal (Lyndayati 2002)
Program pemukiman dan pengendalian perladangan berpindah dinilai
masih sejalan dengan jiwa SF, karena berupaya untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat. Pada perayaan pekan penghijauan tahun 1987, Presiden Soeharto
menyatakan dukungan serius terhadap pembenahan praktik pengelolaan hutan
oleh masyarakat lokal mengingat degradasi lahan makin meluas dan praktik
perladangan berpindah masih berlanjut.
Awal tahun 1980, Pemerintah bersama Ford Foundation mulai
mendiskusikan untuk melakukan berbagai program SF. Program akhirnya
dilaksanakan tahun 1985 berupa kajian tentang hak akses dan hak tenurial
masyarakat lokal dilakukan di beberapa pilot projet misalnya Kalimantan Timur,
Irian Jaya, dan Sulawesi. Hasil kajian mempengaruhi pemahaman berbagai
pihak mengenai SF.
Tahun 1991, pemerintah menggulirkan program PMDH (Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan). Kebijakan ini memberikan kewajiban bagi para
81

pemegang HPH untuk membantu pembangunan ekonomi masyarakat desa


hutan. Kewajiban ini diinterpretasikan pengusaha sebagai pemberian bantuan
berupa pembangunan infrastruktur (membangun mesjid, plot pertanian
permanen, klinik kesehatan, dan sekolah), dan tidak sebagai pendekatan
hubungan ”partnership”. Hak akses masyarakat terhadap hutan masih
dipandang sebagai ”previlege” dibanding sebagai ”right”.
Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan secara formal
dimulai ketika Kementerian Kehutanan meluncurkan program Hkm (Hutan
Kemasyarakatan) dengan SK No. 622/1996. Program ini bertujuan memberi
peluang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dengan
luasan tertentu per-kepala keluarga. Implementasinya baru sampai pada
pengembangan model atau percontohan. Program ini akhirnya berhenti begitu
saja karena kurangnya peminat.
SK No. 622/1996 kemudian diperbaharui dengan SK No. 677/1998, yang
memberi peluang kepada masyarakat setempat melalui koperasi untuk
mengelola konsesi hutan. Dalam praktiknya, pendekatan ini pun tidak mampu
memberi manfaat kepada masyarakat setempat karena tidak memperhitungkan
betapa lemahnya posisi mereka di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem
usaha konsesi hutan. Kebijakan ini lebih memberi manfaat bagi pihak yang
mampu mengakses birokrasi perizinan dengan mengatasnamakan rayat. Lebih
dari itu masyarakat menganggap bahwa dengan terlibat HKm, justru
menegaskan pengakuan status hutan sebagai milik negara (Suryamihardja 2006)

3. Tahun 1998 hingga sekarang


Periode ini ditandai dengan terbitnya SK Menhut tentang tentang Krui
Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTi) tahun 1998. Pada tahun 2004
diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/2004 tentang Pemberdayaan
Masyarakat di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan dalam rangka Social
Forestry. Permenhut ini menegaskan aturan bahwa pelaksanaan SF harus
mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain tidak merubah status
dan fungsi kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan,
kecuali hak pemanfaatan sumberdaya hutan (pasal 8 ayat 1 dan 2).

4.1.5 Sintesis Tonggak Kebijakan


Sintesis tonggak kebijakan merupakan hasil rangkuman dari uraian
perjalanan pengelolaan hutan di Indonesia (Gambar 17).
82

Gambar 17 Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR


83

Tonggak kebijakan ini difokuskan mulai periode pra-kemerdekaan Republik


Indonesia, karena pada periode sebelum kemerdekaan titik berat pengelolaan
hutan produksi masih di areal hutan jati Pulau Jawa. Sementara itu, kebijakan
HTR erat kaitannya dengan pengelolaan kawasan hutan produksi di Luar Pulau
Jawa.
Kegiatan pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa mulai dicatat dalam sejarah
kehutanan sejak tahun 1950. Pada tahun ini di Kalimantan terdapat beberapa
sawmill dan di Pekanbaru-Riau dibangun sawmill besar untuk memenuhi
kebutuhan kayu dalam rangka pembangunan perusahaan minyak Caltex.
Tonggak sejarah yang menjadi awal mula pengelolaan hutan terjadi pada
tahun 1952 yaitu ketika FAO mengirimkan pakar industri kertas. Kedatangan
mereka bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kemungkinan
pembangunan pabrik kertas di Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian
menindak lanjuti kegiatan tersebut dengan membentuk Panitia Kertas. Tugas
Panitia Kertas adalah mempelajari kemungkinan pembangunan industri kertas di
Indonesia. Setahun kemudian Panitia Kertas diperluas menjadi Panitia
Persiapan Hutan Industri (PPHI) yang bertugas mempelajari kemungkinan
pembangunan berbagai industri kayu di Indonesia. Sejak saat itu terjadi
perkembangan industri kehutanan meliputi pabrik fibre board, pabrik pensil,
pabrik korek api, unit pengawetan kayu, pabrik peti, industri gondorukem &
terpentin, industri minyak kayu putih, dan industri lak. Jumlah penggergajian
mesin di Indonesia mencapai 284 unit.
Tonggak sejarah berikutnya adalah penerapan sistem konsesi HPH dan
yang dimulai sejak tahun 1967 dengan dibukanya kesempatan Penanaman
Modal Asing dan Modal Dalam negeri. Kegiatan HPHTI juga mulai dilaksanakan
secara resmi pada tahun 1982. Kedua sistem koonsesi tersebut (HPH dan HTI)
masih berlangsung hingga sekarang dengan berbagai dinamikanya. Kejadian
penting yang berpengaruh besar terhadap sistem konsesi HTI adalah peristiwa
penandatanganan Letter of Intent dari International Monetary Funds (IMF) tahun
1998. Dampak dari peristiwa adalah dicabutnya 15 perusahaan HTI patungan
karena dinilai tidak layak akibat dihentikannya kucuran Dana Reboisasi (Iskandar
et al. 2003). Kebijakan pencabutan SK HPHTI 15 perusahaan dilakukan oleh
Menteri Kehutanan pada tanggal 24 Oktober 2002. Empat belas perusahaan
ditutup karena alasan tidak layak finansial dan tidak layak teknis, sedangkan satu
perusahaan ditutup karena mengalihkan saham tanpa persetujuan Menteri
84

Kehutanan. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya hutan mulai menurun


produktivitasnya.
Selain peristiwa-peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam
penetapan kebijakan pengelolaan hutan, kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi
oleh kebijakan yang sebelumnya telah ada. Sebuah kebijakan pada umumnya
terbentuk karena warisan kebijakan di masa lalu (Blaikie & Soussan 2001).
Kebijakan-kebijakan yang telah ada dan memiliki keterkaitan dengan proses
perumusan kebijakan HTR disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Timeline kebijakan yang mempengaruhi kebijakan HTR
Tahun Bentuk Kebijakan Inti Kebijakan Terkait Pengelolaan
Hutan Produksi
1957 Peraturan Pemerintah No.64 Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk
mengeluarkan izin kap-persil, yaitu semacam izin
hak pengusahaan hutan secara terbatas dengan
luas maksimal 10.000 hektar. Hasil produksi kayu
ada yang diekspor
1967 Undang Undang No 5 tentang Hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat
Pokok-pokok Kehutanan digunakan untuk modal pembangunan nasional
1967 Peraturan Pemerintah No.22 Peraturan pelaksana dari diterapkannya kebijakan
Tentang Iuran HPH dan Iuran HPH dengan landasan hukum UU No 1/1967
Hasil Hutan tentang Penanaman Modal Asing
1970 Peraturan Pemerintah No.21 Mengatur tentang pelaksanaan pengusahaan hutan
Tentang HPH dan HPHH yang didasarkan pada kegiatan perencanaan yang
tepat
1990 Peraturan Pemerintah No 7 Peningkatan produktivitas lahan hutan rawang
Tentang Hak Pengusahaan dengan potensi rendah, semak belukar, dan tanah
Hutan Tanaman Industri kosong
1996 Surat Keputusan Menhut No.622 Membuka peluang kepada masyarakt untuk
Tentang Hutan Kemasyarakatan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan negara
1998 Surat Keputusan Menhutbun Memberi peluang kepada masyarakat setempat
No.677 tentang HKM melalui koperasi untuk mengelola konsesi hutan
1999 Undang-Undang No.41 Tentang Merubah istilah HPH-HTI menjadi Izin Usaha
Kehutanan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan
Hutan Tanaman
2002 Peraturan Pemerintah No.34 Aturan pelaksana dari UU No.41/1999, mengatur
Tentang Tata Hutan dan tentang tata hutan dan pengelolaan hutan melalui
Rencana Pengelolaan Hutan mekanisme pemberian izin usaha
dan Penggunaan Kawasan
Hutan
2004 Peraturan menteri Kehutanan Social Forestry menjadi payung bagi setiap
No. P.01 tentang pemberdayaan kegiatan pengelolaan hutan dalam rangka
masyarakat dalam rangka Social mewujudkan hutan lestari masyarakat sejahtera.
Forestry SF tidak merubah status dan fungsi kawasan,
hanya hak pemanfaatan
2007 Peraturan Pemerintah No.6 HTR ditempatkan sebagai salah satu bentuk
Tentang Tata Hutan dan kegiatan pengelolaan hutan produksi melalui
mekanisme pemberian IUPHHK-HTR
85

Kebijakan yang pertama kali disusun di era pra-kemerdekaan menyangkut


pengelolaan hutan produksi dikeluarkan pada tahun 1957. Kebijakan ini
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin
kap-persil. Izin ini serupa dengan izin hak pengusahaan hutan meskipun
terhadap lahan terbatas dengan luas maksimal 10.000 ha. Kebijakan ini cukup
efektif karena di beberapa provinsi telah dapat dilaksanakan dan hasil produksi
kayu dapat diekspor.
Produk kebijakan yang berpengaruh besar terhadap pengelolaan hutan
selanjutnya adalah Undang-undang Kehutanan No.5 Tahun 1967. Undang-
undang ini diterbitkan setelah diterbitkannya Undang-undang No.1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing, yang membuka luas peluang perusahaan
swasta asing menanamkan investasi di Indonesia, antara lain dalam bentuk
perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Produk kebijakan lainnya terkait
pengelolaan hutan produksi adalah PP No.7 Tahun 1990 tentang Hutan
Tanaman Industri. Kebijakan ini membuka bentuk konsesi lain selain HPH di
hutan produksi.
Dari sisi Social Forestry, kebijakan yang menentukan diakuinya
keberadaan masyarakat sekitar hutan dimulai dengan penetapan kebijakan
tentang HKM (Hutan Kemasyarakatan). Kebijakan terkait SF mengalami
beberapa kali perubahan peraturan, hingga ditetapkannya Permenhut P.01/2004
tentang pemberdayaan masyarakat dalam rangka SF. Inti dari kebijakan ini
adalah dibukanya kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam
pengelolaan hutan negara, tetapi tidak merubah status kawasan hutan dan tidak
merubah hak kepemilikan atas sumberdaya hutan.
Undang-undang Kehutanan No.41 merubah istilah HPH dan HTI menjadi
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Dalam UU 41 belum termuat
kebijakan HTR, karena UU 41 ditetapkan tahun 1999, sementara kebijakan HTR
mulai dirumuskan di akhir tahun 2006. Demikian pula Peraturan Pemerintah No.
34/2002 sebagai aturan turunan dari UU 41 juga belum memasukkan HTR
sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan. Oleh karenanya dilakukan revisi
terhadap PP 34/2002 menjadi PP 6/2007.
Rangkaian perjalanan sejarah tersebut memperlihatkan bahwa diskursus
yang berkembang dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia tidak
mengalami perubahan. Diskursus yang digunakan adalah pola pengelolaan
hutan produksi melalui pemberian izin konsesi. Sejak awal masa kemerdekaan
86

sistem pengelolaan hutan selalu dilakukan dengan pola HPH/HTI. Bahkan


merunut sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia, sistem konsesi telah
diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah Indonesia mewarisi
sistem tersebut dan diterapkan di era kemerdekaan. Pada perumusan kebijakan
HTR, diskursus ini pula lah yang mendasari proses perumusan kebijakan.

4. 2 Proses Perumusan Kebijakan HTR


4.2.1 Konteks Politik dan Pemerintahan
Peristiwa penandatanganan LoI Indonesia dengan IMF berdampak sangat
besar terhadap pembangunan kehutanan di Indonesia. Dana Reboisasi yang
selama ini dikelola di Kementerian Kehutanan harus masuk sebagai penerimaan
negara bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak
saat itu pasokan DR untuk PMP (penyertaan modal pemerintah), pinjaman 0%,
dan pinjaman komersial bagi pembangunan HTI dihentikan. Akibatnya 15
perusahaan HTI patungan ditutup karena tidak layak finansial. Akibat lanjutan
dari penutupan HTI tersebut adalah peningkatan angka pengangguran (Iskandar
et al. (2003)
Di tengah kemelut pengelolaan hutan produksi, kondisi politik pemerintahan
mengalami perubahan era kepemimpinan dan arah kebijakan pembangunan.
Situasi nasional pada saat itu mengarah pada pembangunan berorientasi
kerakyatan. Tuntutan arah pembangunan nasional pada era Kabinet Indonesia
Bersatu (2004-2009 dan 2009-2014) berlandaskan pada 3 pilar yaitu; pro growth
(pro pertumbuhan), pro poor (pro kemiskinan), and pro job (pro penciptaan
lapangan kerja). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(RPPK) oleh Presiden RI sebagai salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet
Indonesia Bersatu dicanangkan pada tanggal 11 Juni 2005 di Waduk Jatiluhur,
Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (Deptan 2005; Pelengkahu et al.
2006)
Kementerian Kehutanan kemudian menindaklanjuti di tingkat sektoral
dengan mengaktualisasikan program besar Pemerintah tersebut dengan
menetapkan Program Revitalisasi Kehutanan yang terdiri dari tiga pilar utama,
yaitu : (1) percepatan pembangunan Hutan Tanaman Industri, (2) peningkatan
pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK), dan (3) peningkatan pemanfaatan
jasa lingkungan (Dephut tanpa tahun; Palengkahu et al. 2006).
87

Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dirancang oleh Kementerian


Kehutanan juga kemudian diselaraskan dengan 3 agenda tersebut, yaitu
(1) agenda pertumbuhan sektor kehutanan dengan tujuan meningkatkan ekspor
hasil hutan kayu dan non kayu serta masuknya investasi baru yang proporsional
antara pengusaha besar dan usaha kecil dan menengah berbasis pengelolaan
hutan lestari, (2) agenda bergeraknya sektor riil kehutanan dan usaha kecil
menengah, melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan
pemberian akses kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi, dan
(3) agenda pemberdayaan ekonomi rakyat (pro poor) dengan tujuan mengurangi
kemiskinan masyarakat sekitar hutan melalui penciptaan kesempatan kerja dan
berusaha dan menurunkan angka kriminalitas penjarahan hutan (Dephut tanpa
tahun).
Berdasarkan strategi tersebut, kemudian disusun kerangka kebijakan dan
langkah operasional. Salah satunya dengan pembinaan dan pengembangan
sumber bahan baku pada hutan tanaman melalui intensifikasi kawasan hutan
produksi yang tidak dibebani ijin atau hak melalui pemberian IUPHHK HTR.
Adapun langkah operasional tersebut dilandasi dengan penguatan aspek legal
(yuridis formal) melalui revisi terhadap PP 34/2004 menjadi PP 6/2007 agar
dapat selaras dengan arah kebijakan yang akan dilaksanakan (Dephut tanpa
tahun).
Selanjutnya untuk mendukung strategi operasional intensifikasi
pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan produksi, Kementerian
Kehutanan menggariskan kebijakan penunjang yang terkait dengan fasilitas
pembiayaan. Maka disusunlah lembaga keuangan berupa Badan Layanan
Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU – Pusat P2H) untuk
mendukung fasilitasi pembiayaan pembangunan HTI dan HTR.

4.2.2 Permasalahan Kunci Kebijakan


Permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR
adalah tingginya potensi lahan tidak produktif di kawasan hutan produksi.
Kondisi ini disebabkan antara lain karena peristiwa penutupan 15 perusahaan
HTI juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan. Lahan hutan bekas HTI
yang ditutup menjadi berstatus open access karena tidak ada lagi kejelasan
pemegang hak pengelolaannya.
88

Total kawasan hutan produksi Indonesia menurut data yang diungkapkan


dalam Iskandar et al. (2003) seluas 66,6 juta hektar. Dua puluh satu koma
empat persen (21,4%) diantaranya dalam kondisi rusak. Sementara itu industri
kehutanan di Indonesia memiliki kapasitas terpasang sekitar 69.470.000
m3/tahun. Pasokan bahan baku kayu hanya dapat memenuhi 33.025.000
m3/tahun. Oleh karenanya terdapat kesenjangan bahan baku industri kayu hasil
hutan sekitar 36 juta m3/tahun.
Kemampuan hutan alam di Indonesia tidak lagi dapat diharapkan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut mengingat kondisinya yang semakin terdegradasi.
Untuk mengatasi permasalahan kesenjangan pasokan bahan baku kayu, maka
hutan tanaman menjadi andalan. Oleh karenanya kebijakan pembangunan
hutan tanaman merupakan alternatif terbaik. Melalui pembangunan hutan
tanaman maka dapat merehabilitasi kondisi hutan yang rusak sehingga
produktivitasnya dapat ditingkatkan. Hasil produksi kayu dari kegiatan
penanaman hutan tersebut menjadi tambahan suplai bahan baku untuk industri
kehutanan. Bentuk kebijakan pembangunan hutan tanaman melalui program HTI
(Hutan Tanaman Industri) terus dilanjutkan sebagai salah satu alternatif
pemecahan masalah.
Akan tetapi aspek sosial masyarakat juga menjadi permasalahan tersendiri
yang harus dicarikan alternatif pemecahannya. Prediksi Malthus pada tahun
1798 mengenai ketimpangan tingkat pertambahan penduduk dan pertumbuhan
daya dukung lingkungan mendekati kebenaran. Pertumbuhan penduduk yang
mengikuti deret ukur tidak sejalan dengan pertumbuhan daya dukung alam yang
mengikuti deret hitung. Jumlah penduduk bertambah dengan pesat, para ahli
demografi dunia memperkirakan bahwa jumlah penduduk bumi pada tahun 2020
akan mencapai 10 milyar jiwa (Iskandar et al. 2003).
Oleh karena itu aspek sosial kemasyarakatan juga menjadi masalah yang
ikut dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan HTR. Hal tersebut
terungkap dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh pengambil kebijakan
HTR di Kementerian Kehutanan. Petikan hasil wawancara disajikan dalam
kutipan berikut.
89

“HTR pada intinya sama saja dengan HTI. Hanya sasarannya saja rakyat.
Gagasannya begini, HTR aturannya harus tanah kosong, padang alang-
alang, semak belukar. Pada kenyataannya sulit untuk mencari hamparan
luas yang namanya lahan kosong di hutan seperti yang dimaksud dalam
aturan tersebut. Tetapi dalam bentuk spot-spot kecil banyak”
(Wawancara 20 April 2009).
Dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka Kementerian Kehutanan
mulai merumuskan kebijakan HTR sebagai solusi terhadap permasalahan yang
sedang dihadapi.

4.2.3 Proses Membangun Kebijakan


Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mulai didiskusikan di lingkup birokrat
kehutanan pada pertengahan tahun 2006. Ide membangun Hutan Tanaman
Rakyat dilatarbelakangi oleh kondisi hutan LOA (logged over area) yang perlu
untuk segera ditangani. Pada awalnya pengambil kebijakan mempertimbangkan
untuk memberikan hak pengelolaan lahan hutan terdegradasi kepada pemegang
ijin HTI terdekat.
“Luasan lahan tersebut terbatas tetapi menyebar dalam jumlah yang relatif
banyak dan biasanya berdekatan dengan areal HTI “ (Wawancara 20 April
2009).
Namun, mengingat prosedur untuk penambahan areal HTI cukup panjang dan
tidak efisien bagi perusahaan maka alternatif tersebut tidak dipilih sebagai solusi
kebijakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa lahan kosong di hutan produksi
tersebut dapat diserahkan pengelolaannya kepada rakyat sekitar.
“Oleh karena itu munculah gagasan, bagaimana jika lahan kosong berupa
splot-spot kecil itu diberikan haknya kepada rakyat. Kalau rakyat yang diberi
hak lebih mudah dan tidak perlu ada Amdal (Analisis Dampak Lingkungan)
karena skala luasannya kecil sehingga tidak merubah bentang alam.
(Wawancara, 20 April 2009)

Perumusan kebijakan HTR sendiri dilakukan dalam internal Direktorat


Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Dukungan pihak luar terbatas pada
rekomendasi aspek-aspek yang bersifat teknis. Rekomendasi tersebut dijadikan
sebagai landasan ilmiah untuk pelaksanaan program yang bersifat teknis.
Rekomendasi yan berasal dari pihak akademisi yan digunakan terkait luas lahan
optimal untuk setiap kepala keluarga pemegang izin HTR seluas 15 ha.
Rekomendasi dari institusi penelitian di lingkup Kementerian Kehutanan juga
90

berupa saran-saran teknis terkait kesesuaian jenis tanaman HTR untuk lokasi-
lokasi HTR di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara, dapat
teridentifikasi pula bahwa selama proses perumusan kebijakan HTR, tidak terjadi
perdebatan mengenai alternatif-alternatif pemecahan masalah kebijakan.
Nomenklatur untuk program ini didiskusikan di tingkat Ditjen BUK bersama
Menteri Kehutanan pada tahun 2006. Pada awalnya ada keinginan untuk
memberikan nama Hutan Rakyat terhadap bentuk kebijakan ini. Akan tetapi
Istilah hutan rakyat (HR) menurut UU Kehutanan No. 41/1999 identik dengan
hutan hak, sehingga program ini tidak dapat menggunakan nama hutan rakyat.
Namun, untuk mengedepankan misi kerakyatan maka istilah Hutan Tanaman
Rakyat dipilih sebagai nama dari program HTI-skala mikro ini (Direktur BLU P2H,
20 April 2009, komunikasi pribadi).
Metode analisis proses kebijakan dari Blaikie & Soussan (2001)
menyatakan bahwa faktor-faktor penting yang harus digali dalam analisis proses
kebijakan meliputi; latar belakang ide atau gagasan kebijakan, situasi politik
yang mendukung, tonggak peristiwa penetapan kebijakan, konteks politik
pemerintahan, serta issu kunci kebijakan. Faktor-faktor penting tersebut
disajikan pada Tabel 14 yang merupakan intisari dari hasil penelitian mengenai
proses perumusan kebijakan HTR.
Tabel 14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR
No Kategori Uraian
1. Latar Belakang - Tingginya potensi kawasan LOA dengan luasan kecil
Ide/ gagasan HTR - Ijin konsesi bisa diserahkan kepada masyarakat

2. Situasi Kebijakan pembangunan : pro growth, pro poor & pro job
politik Nasional
3 Kebijakan Menhut Revitalisasi industri : Peningkatan suplai bahan baku kayu
melalui peningkatan produksi hutan tanaman Menhut gencar
melakukan program penanama
4. Dukungan kebijakan permodalan bagi petani difasilitasi dengan pendirian BLU

5. Event /momentun Proses perumusan PP 6 sebagai pengganti PP 34 yang dinilai


tidak lagi relevan dengan situasi/kondisi yang berkembang

6. Filosofi program Masyarakat diberikan peluang usaha di bidang hutan tanaman.


Usaha skala kecil tidak akan merubah bentang alam tidak
memerlukan Amdal sehingga kebutuhan modal kecil.

7. Pihak yang terlibat dalam - Sebagian besar merupakan hasil kristalisasi gagasan
proses perumusan internal di Kementrian Kehutanan
kebijakan - Dukungan pihak akademisi berupa rekomendasi teknis
91

4. 3 Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan HTR


Narasi Kebijakan atau Policy Narative adalah ”cerita” yang yang
menjelaskan bagaimana suatu kejadian tertentu menjadi sebuah keyakinan, yang
di dalamnya terdapat ideologi, pengetahuan dan pengertian yang sudah
tertanam (Sutton 1999: Kartodiharjo 2006). Analisis narasi kebijakan merupakan
tahap analisis teori dari proses perumusan kebijakan. Sedangkan diskursus
merupakan cara pikir dan cara memberikan argumen yang dilakukan dari
penamaan dan pengistilahan terhadap sesuatu yang dapat merupakan cerminan
dari kepentingan tertentu (politik) (Kartodihardjo 2006)
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 merupakan tonggak awal
ditetapkannya kebijakan HTR. Peraturan Pemerintah No.6/2007 merupakan
hasil revisi dari PP 34/2002. Ismanto (2010) menyatakan bahwa PP 34/2002
pada intinya merupakan upaya melanjutkan konsep HPH/HTI dengan mengganti
nama menjadi IUPHHK, sebagaimana diamanatkan dalam UU Kehutanan
41/1999. Perubahan dari PP 34/2002 menjadi PP6/2007 tidak mengganti sistem
konsesi hutan produksi. Adapun perubahan yang terjadi dari PP 34/2002
menjadi PP 6/2007 adalah pemisahan antara IUPHHK di hutan alam dengan
IUPHHK di hutan tanaman. Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan dengan
cara menempatkan tegakan pada hutan tanaman sebagai asset bagi pemegang
izin. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa untuk
membangun tegakan pada hutan tanaman diperlukan modal yang harus
diinvestasikan oleh para pemegang IUPHHK-HT. Dengan perbedaan tersebut
maka implikasi yang muncul kemudian adalah terbukanya kesempatan bagi
pemegang IUPHHK di hutan tanaman untuk menjadikan aset tanamannya
sebagai agunan untuk memperoleh kredit modal dari BLU Pusat P2H.
Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap peraturan perundangan
tersebut pada dasarnya tidak mencerminkan perubahan mendasar, karena
diskursus yang melekat pada setiap peraturan perundangan yang diterbitkan
tidak berubah. Diskursus tersebut adalah pengelolaan hutan produksi melalui
pemberian izin konsesi. Diskursus tunggal ini pula yang mendasari terbitnya
kebijakan HTR. Pada prinsipnya kebijakan HTR merupakan modifikasi
kebijakan konsesi HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri).
Perubahan yang terjadi hanya sasaran pemegang izin tidak lagi ditujukan bagi
perusahaan besar melainkan rakyat secara perorangan/kelompok atau melalui
koperasi.
92

Dalam konteks perhutanan sosial (social forestry), kebijakan HTR


merupakan salah satu bentuk pembagian peran pemerintah dengan masyarakat.
Pemerintah menyerahkan sebagian urusan pengelolaan hutan di kawasan hutan
produksi kepada masyarakat sekitar hutan. Secara praktik kebijakan HTR mirip
dengan kebijakan perhutanan sosial sebelumnya yaitu Hutan Kemasyarakatan
(HKM).
Perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat terjadi dalam suasana
psikologis yang dilandasi oleh paradigma pengelolaan hutan berbasis
masyarakat (Community Based Forest Management). Terlebih 3 pilar
pembangunan nasional secara jelas menunjukkan keberpihakan pada rakyat
yaitu strategi pro-poor, pro-job dan pro-growth. Paradigma CBFM sendiri
merupakan perubahan dari paradigma pembangunan kehutanan yang
sebelumnya lebih berorientasi pada Timber Extraction dan State Based Forest
Management. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa
pembangunan kehutanan yang selama ini dilakukan telah mengakibakan
masyarakat sekitar hutan terpinggirkan (Poffenberger 2006; Engel & Palmer,
2006). Berbagai bukti menunjukkan bahwa pembangunan tanpa melibatkan
masyarakat sekitar hutan menimbulkan banyak kerugian baik dari sisi degradasi
sumberdaya hutan (FWI/GWF 2002; Yadav et al. 2003) maupun marginalisasi
masyarakat sekitar hutan (Bromley & Cernea 1989; Lynch & Talbot 1995, Malla
2000; Lyndayati 2002).
”Keberpihakan pada masyarakat” inilah yang mempengatuhi diterapkannya
kebijakan HTR oleh Kementerian Kehutanan, khususnya oleh Direktorat Jenderal
Bina Usaha Kehutanan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan
diyakini sebagai suatu keharusan mengingat pengelolaan hutan oleh negara
yang selama ini dilakukan telah terbukti tidak mampu menjamin kelestarian
sumberdaya hutan dan tidak pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan.
Tujuan dari Program Perhutanan Sosial sebagaimana menjadi visi
pembangunan kehutanan di Indonesia adalah terwujudnya kelestarian hutan dan
terciptanya masyarakat yang sejahtera. Kebijakan perhutanan sosial yang telah
banyak diupayakan juga belum mencapai hasil seperti yang diharapkan (Peluso
1992; Moniaga 2000; Lyndayati 2002; Sardjono 2006; Raharjo et al. 2006;
Suryamihardja 2006).
93

Kebijakan yang kurang sesuai dan tidak mampu mengatasi permasalahan


yang dihadapi oleh masyarakat sekitar hutan justru dapat membuat keadaan
semakin memburuk. Dapat pula dikatakan bahwa krisis yang terjadi pada
sumber daya hutan pada dasarnya bersumber dari ketidaksesuaian institusi yang
digunakan negara dalam kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan,
kurangnya sistem pengaturan penguasaan dan manajemen pemanfaatan
sumber daya hutan (Peluso 1992; Simon 2006).
Keberpihakan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan mulai
muncul pada Konges Kehutanan Dunia kedelapan di Jakarta tahun 1978. Pada
kongres tersebut diperkenalkan konsep perhutanan sosial (social forestry) dan
retorika “forest for people”. Istilah social forestry menurut Kartasubrata (2003)
untuk pertama kali digunakan pada tahun 1968.
Konsep perhutanan sosial memang telah diterima dan diakui sebagai salah
satu pendekatan yang baik dalam rangka mencapai kelestarian hutan. Kegiatan
ini difokuskan kepada upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat guna mempertahankan kelestarian sumberdaya
hutan. Pemikiran tersebut tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa
masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran diantara mereka,
memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan,
serta tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan
(Borrini-Feyerabend et al. 2003).
Noronha & Spears (1998) menyatakan bahwa arti perhutanan sosial tidak
dapat dikumpulkan dari suatu gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan di
bawah program-program. Inti baru dari program-program ini terletak pada kata
“sosial” yaitu program-program melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan
aktif pemanfaat dalam rancangan dan pelaksanaan upaya penghutanan kembali
dan bersama-sama memanfaatkan hasil hutan.

4.4 Model Perumusan Kebijakan HTR


Teori model linier menyatakan bahwa sebuah kebijakan disusun
berdasarkan sejumlah langkah serial, dimulai dengan merumuskan isu dan
masalah serta diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut.
94

Urutan dalam model linier dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai


berikut :
1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. Dalam
tahap ini biasa juga dilakukan dengan menentukan kesenjangan atau gap
antara kondisi saat ini dengan kondisi harapan yang diinginkan.
2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau gap
3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan
hambatan yang terjadi
4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat
5. Pelaksanaan kebijakan
6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan
Dalam model linier pembuat kebijakan diasumsikan bertindak rasional dalam
mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kebijakan dan dapat
menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan
(Sutton 1999)
Jawaban atas pertanyaan ”Apakah perumusan kebijakan HTR merupakan
sebuah model linier?”. Dapat diduga sejak awal sebagaimana hipotesis dalam
penelitian ini, bahwa perumusan kebijakan HTR bukan merupakan sebuah model
linear. Proses perumusan kebijakan HTR tidak mempertimbangkan semua
resiko dan hambatan yang akan terjadi. Faktor-faktor yang menjadi penyebab
kegagalan dalam implementasi kebijakan sebelumnya masih digunakan dalam
pelaksanaan kebijakan HTR.
Kebijakan HTR bukan merupakan program baru dalam dalam hal pelibatan
masyarakat sekitar untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan. Berbagai
bentuk program pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah banyak dilakukan
seperti program Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Desa (HD). Hasil
evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai program tersebut memang
menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
(Poffenberger 2006) namun tidak sedikit yang gagal (Raharjo et al. 2006;
Suryamihardja 2006; Lyndayati 2002).
Pagdee et al. (2006) melakukan sebuah meta-study untuk mengkaji faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan Community Forest Management (CFM)
Subjek kajian adalah 31 artikel yang membahas 69 kasus pengelolaan hutan
masyarakat di seluruh dunia. Dari kajian tersebut teridentifikasi 43 variabel yang
95

berpengaruh yang meliputi faktor internal dari pihak masyarakat sendiri hingga
faktor-faktor luar yang mempengaruhi. Hasil kajian menunjukkan bahwa variabel
yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan CFM adalah kepastian lahan,
hak kepemilikan yang jelas, penegakan aturan yang tegas, adanya monitoring,
sanksi, dan kepemimpinan yang kuat, minat masyarakat yang tinggi didukung
oleh adanya manfaat yang jelas dari kegiatan CFM dan adanya kewenangan di
tingkat masyarakat lokal.
Contoh keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah
dilaksanakan selama ini antara lain :
1. Kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dilakukan
oleh Perum perhutanai di Jawa. Kegiatan PHBM pada awalnya merupakan
kegiatan tumpangsari yaitu menanam tanaman palawija di bawah tegakan
pokok. Kesempatan ini digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk
memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Mereka memperoleh hasil berupa
tanaman semusim untuk menunjang kebutuhan subsisten. Di beberapa
daerah kegiatan PHBM telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
petani hutan dalam membantu meningkatkan perekonomian rumah tangga
(World Agroforestry Centre 2009).
2. Kegiatan Hutan Rakyat, yaitu pembangunan hutan di lahan milik. Hutan
rakyat dilakukan oleh masyarakat secara perorangan dengan menanami
lahan miliknya dengan tanaman kayu-kayuan. Kegiatan ini pada awalnya
dilakukan dalam rangka rehabilitasi lahan dengan bantuan bibit dari
pemerintah. Ketika kayu dari hutan rakyat mulai memiliki nilai ekonomis
tinggi, maka kegiatan penanaman hutan di lahan milik menjadi lebih luas.
Beberapa daerah yang berhasil mengembangkan hutan rakyat adalah di
kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Ciamis, Sukabumi, dan Sulawesi
Tenggara.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan program perhutanan
sosial atau program pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah pelaksanaan
program yang tidak sesuai dengan konteks lokal. Hal ini biasa terjadi karena
program bercorak sentralistik, top-down, dan cetak biru (Korten & Klauss 1984).
Karakteristik ini melekat pula pada kebijakan HTR. Program HTR mengulang
pola kebijakan bersifat cetak biru dan sentralistik. Ide dan perangkat peraturan
pelaksanaan program secara detail dirumuskan oleh pemerintah pusat. Bentuk
peraturan perundangan tersebut dituangkan mulai dari Peraturan Pemerintah
96

hingga Keputusan Direktur Jenderal yang mengatur mengenai petunjuk teknis di


lapangan.
Berbagai karakteristik kebijakan HTR sebagai program cetak biru
sebagaimana pemikiran Korten & Klauss (1984) adalah: 1) Gagasan kebijakan
berasal dari pemerintah pusat dan tidak merupakan inisiatif masyarakat lokal;
2) Langkah awal kegiatan dilakukan melalui pengumpulan data dan perencanaan
calon lokasi kegiatan dan bukan merupakan kegiatan yang diawali dari
kesadaran dan tindakan nyata masyarakat; 3) Pelaksanaan kegiatan dilakukan
oleh organisasi yang telah ada atau organisasi baru bentukan pemerintah;
4) Sumber daya bergantung pada pembiayaan pemerintah pusat; dan 5)
Managemen berfokus pada penyerapan anggaran dan target pencapaian
kegiatan sesuai rencana tata waktu. Tabel 15 menyajikan hasil analisis proses
perumusan kebijakan HTR berdasarkan kerangka perbandingan pembangunan
cetak biru dan inisiatif masyarakat lokal

Tabel 15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru dan perbandingannya dengan
pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal
Aspek Cetak Biru Inisiatif Masyarakat Kebijakan HTR

Gagasan Pemerintah pusat Masyarakat lokal Pemerintah Pusat c.q


Kementerian Kehutanan
Langkah awal Pengumpulan data dan Kesadaran dan Perencanaan calon lokasi
perencanaan tindakan nyata HTR oleh Baplan
Organisasi Organisasi yang sudah Dibangun oleh Dilaksanakan oleh Ditjen
pelaksana ada atau bentukan baru kebutuhan lokal BPK, Baplan dan UPT di
dari Pemerintah Pusat daerah, dan membentuk
BLU P2HP untuk
penyaluran dana pinjaman
Sumber daya Pembiayaan dan Aset lokal Sumber biaya dari
fasilitasi pemerintah Anggaran Pemerintah
pusat

Fokus Penyerapan anggaran, Pengembangan Target luas HTR setiap


Management target pencapaian berkelanjutan untuk Tahun ditetapkan 1,4 juta
proyek sesuai rencana menuju performa ha. Anggaran yang
tata waktu yang lebih baik disediakan diserap.
Bantuan kredit tersalurkan.
Sumber : Analisis data menggunakan kerangka analisis Korten & Klauss (1984)

Meskipun kebijakan HTR mengedepankan paradigma CBFM namun dalam


praktiknya kebijakan yang disusun sama sekali tidak mempertimbangkan proses
inisiatif lokal. Hasil kajian telah menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan
berbasis masyarakat seringkali mengalami kegagalan karena tidak melalui
97

proses belajar yang tumbuh berkembang dalam lingkungan masyarakat lokal


(Chambers 1993; Agrawal & Gibson 1999; Twyman 2000; Agrawal 2001).
Berdasarkan teori-narasi-kebijakan Roe (1994), maka kebijakan HTR dapat
disebut sebagai proses perumusan kebijakan yang tidak berdasar pada
pengamatan yang cermat. Hal ini karena penetapan kebijakan HTR tidak
merujuk pada hasil evaluasi program sebelumnya yang pada umumnya
mengalami kegagalan. Pengalaman pelaksanaan program Hutan
Kemasyarakatan menunjukkan bukti bahwa masyarakat lokal berada pada posisi
yang lemah di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem usaha konsesi
hutan (Suryamihardja 2006).
Beberapa faktor yang membuat kebijakan HTR serupa dengan kebijakan
sebelumnya adalah : 1) Ide program tidak muncul dari masyarakat sekitar hutan
yang akan menjadi sasaran kegiatan HTR, melainkan melalui pendekatan proyek
yang bersifat top-down; 2) Lemahnya partisipasi para pihak dalam proses
perumusan kebijakan HTR. Terbukti dengan tidak adanya keterlibatan pihak luar
dalam proses penyusunan program HTR. Aktor yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan HTR adalah pihak birokrat Kementerian Kehutanan dan
tidak melibatkan kalangan di luar Kementerian Kehutanan.
Hasil ini mendukung teori Sutton (1999) bahwa model linier jauh dari
realitas, karena menggunakan asumsi yang sulit untuk dipenuhi. Fakta empiris
tentang proses perumusan kebijakan HTR sebagai model yang tidak memenuhi
kaidah linier adalah tidak dipertimbangkannya informasi tentang faktor-faktor
yang menjadi penyebab ketidakberhasilan program sebelumnya. Faktor-faktor
tersebut adalah : a) Proses perizinan HTR serupa dengan perizinan HKM,
pengalaman dari program HKM menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
kemampuan terbatas untuk menempuh prosedur perizinan yang relatif panjang
b) Kebijakan HTR digulirkan dengan filosofi membangun bisnis hutan tanaman
oleh masyarakat, sementara dari pengalaman program sebelumnya dapat
teridentifikasi bahwa masyarakat memiliki keterbatasan kapasitas untuk
menjalankan bisnis hutan tanaman; c) Kebijakan tentang kegiatan pendampingan
belum ditangani dengan baik, sementara proses pendampingan merupakan
faktor penting untuk membangun kapasitas masyarakat.
Berlandaskan pada pemikiran Korten & Klauss (1984) maka dapat
dikatakan bahwa perumusan kebijakan HTR merupakan proses pengulangan
dari kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Kebijakan seperti ini bersifat
98

incremental atau hanya melakukan perubahan secara bertahap, sedikit demi


sedikit dalam sistem pelaksanaannya saja. Sementara paradigma yang
melandasinya tidak mengalami perubahan mendasar. Hal ini sejalan dengan
yang diungkapkan Noorwidjk et al. (2007) bahwa pada prinsipnya paradigma
yang digunakan dalam perumusan kebijakan HTR sama dengan kebijakan yang
sebelumnya telah ada seperti HKM (Hutan Kemasyarakatan).
Dari analisis proses perumusan kebijakan HTR, dapat diambil pelajaran
bagi para pengambil kebijakan. Faktor yang harus diperhatikan oleh para
perumus kebijakan adalah menggunakan data dan fakta yang komprehensif
untuk dapat merumuskan kebijakan yang baik. Peran para ahli, peneliti, dan
akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan yang
memadai.
V. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Salah satu variabel kunci dalam menilai keberhasilan implementasi sebuah


kebijakan menurut Winter (1990) adalah respon kelompok target kebijakan.
Variabel lain yang juga penting untuk dikaji adalah formulasi atau proses
penyusunan kebijakan. Variabel tersebut telah diuraikan pada Bab IV. Dari hasil
analisis proses perumusan kebijakan dapat diketahui bahwa proses perumusan
kebijakan HTR tidak memenuhi asumsi model linier, karena penentuan kebijakan
tidak didasarkan pada informasi yang memadai untuk menentukan alternatif
pilihan terbaik. Berbagai kendala di lapangan tidak diperhitungkan sebagai faktor
yang harus ditangani dalam kebijakan yang disusun.
Pada bab kelima ini, akan diuraikan kondisi di lapangan dan respon para
pemangku kepentingan terkait pelaksanaan kebijakan HTR. Kajian ini dilakukan
dengan studi kasus di tiga provinsi yang dipilih secara sengaja (purposive). Tiga
provinsi yang menjadi lokasi penelitian adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tujuan yang ingin dicapai dari kajian implementasi kebijakan HTR adalah
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian kedua yaitu bagaimana
para pemangku kepentingan di daerah merespon kebijakan HTR dan bagaimana
hubungan antara respon tersebut dengan keberhasilan implementasi kebijakan.

5.1 Implementasi Kebijakan HTR


Data realisasi kegiatan HTR menunjukkan bahwa kabupaten yang telah
menetapkan areal lokasi HTR sebanyak 97 kabupaten/kota. Tindak lanjut dari
kegiatan penetapan lokasi adalah penerbitan izin usaha HTR (IUHPPK-HTR)
yang dilakukan oleh Bupati kepada petani pemohon. Hingga tahun 2010,
IUPHHK HTR telah diterbitkan di 21 kabupaten, meliputi luas areal 87.299,89 ha.
Sementara itu target yang dicanangkan pemerintah adalah 5,4 juta ha areal HTR.
Kajian implementasi kebijakan HTR di tiga provinsi penelitian menunjukkan
tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Provinsi Riau merupakan contoh
provinsi dimana kegiatan HTR belum berjalan hingga tingkat implementasi di
lapangan. Kegiatan HTR di Provinsi Riau baru sebatas pencadangan areal yang
berlokasi di 2 Kabupaten yaitu Kampar dan Rokan Hulu. Demikian pula dengan
perkembangan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Program HTR baru
dilaksanakan pada tahap pencadangan lokasi di 6 kabupaten yaitu: Hulu Sungai
100

Selatan, Tabalong, Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, dan Tanah Bumbu.


Sementara itu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, telah mencapai tahap
penerbitan surat izin usah Pengusahaan Hasil Hutan Kayu HTR, yang diterbitkan
oleh Bupati Gunungkidul pada tahun 2009 (Tabel 16).
Tabel 16 Data Kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah
Istimewa Yogyakarta
SK Pencadangan Areal oleh Menhut Luas
Provinsi/Kabupaten
Nomor Tanggal (Ha)
Riau
Kampar SK 97/Menhut-II/2009 6 Maret 2009 12,280
Rokan Hulu SK 421/Menhut-II/2010 20 Juli 2010 13,300
Jumlah 25,580
Kalimantan Selatan
Hulu Sungai Selatan SK 101/Menhut-II/2008 8 April 2008 818
Tabalong SK 395/Menhut-II/2008 10 Nov 2008 7,490
Banjar SK 393/Menhut-II/2008 10 Nov 2008 3,160
Tanah Laut SK 706/Menhut-II/2009 9 Oktober 2009 5,355
Kotabaru SK 44/Menhut-II/2010 15 Januari 2010 3,900
Tanah Bumbu SK 50/Menhut-II/2010 15 Januari 2010 9,035
Jumlah 29,758
Daerah Istimewa Yogyakarta
Gunungkidul SK 118/Menhut-II/2009 20 Maret 2009 327.73
IUPHHK-HTR di DIY
Pemegang Izin SK IUPHHK oleh Bupati Luas (Ha)
KUD Bima Semanu 118/Kpts/2009 19 Juni 2009 84.40
Jumlah 327.73
Sumber : Ditjen BPK (2010)
Tabel 17 menyajikan data luas hutan produksi yang ada di tiga provinsi
penelitian dan perbandingan proporsinya terhadap luas hutan total, luas areal
yang dicadangkan untuk lokasi HTR, dan luas hutan yang telah mendapatkan
IUPHHK-HTR. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kawasan hutan produksi
yang paling luas terdapat di Provinsi Riau. Sementara luas hutan di Provinsi
DIY paling sempit diantara ketiganya. Demikian halnya dengan persentase
perbandingan antara luas hutan produksi terhadap luas wilayah Provinsi. Luas
hutan produksi di DIY hanya sebesar 4,4% terhadap total wilayah Provinsi DIY,
sedangkan untuk Kalimantan Selatan sebesar 18%, dan di Provinsi Riau sebesar
23,82%.
101

Tabel 17 Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau,
Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta

Aspek Luas hutan di Provinsi (Ha)


Riau Kalsel DIY

Luas HP (ha) 3.837.685 627.672 13.851

Persentase HP terhadap Luas 23,82% 18% 4,4%


Provinsi

Luas Areal pencadangan HTR 25.580 29.758 322,73


(ha)

Persentase pencadangan HTR 0,97% 4,74% 2,3%


terhadap luas HP

IUPHHK-HTR (ha) - - 84,40

Persentase IUPHHK-HTR - - 26,15 %


terhadap areal pencadangan
Sumber : Direktorat Jenderal BPK (2010) diolah

Luas areal hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR paling
tinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 4,74%. Di Provinsi Riau,
luas hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR tidak lebih dari 1%.
Sedangkan di Provinsi DIY proporsi luas hutan yang dicadangkan untuk kegiatan
HTR adalah 2,3%.
Di Provinsi Riau hampir seluruh kawasan hutan produksi telah dibebani Izin
usaha baik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA)
maupun Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-
HT). Oleh karena itu areal hutan produksi yang ada di Provinsi Riau telah habis
terbagi menjadi areal konsesi, sehingga kawasan hutan produksi yang dapat
dicadangkan untuk HTR relatif sangat sedikit.
Hutan produksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah dibebani
hak kelola di bawah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi. Hutan Produksi di
DIY seluas 13.851 ha dikelola Dinas Kehutanan. Oleh karenanya tidak tersedia
lahan berstatus hutan produksi yang dapat dicadangkan untuk kegiatan HTR.
Namun demikian, Pemda DIY memanfaatkan lahan lain yang potensial untuk
dikelola dengan skema HTR, yaitu lahan berstatus AB Sistem pengeleloaan
lahan hutan di Provinsi DIY memang unik, berbeda dengan di provinsi lain di
Pulau Jawa. Pada umumnya hutan produksi di Pulau Jawa berada di bawah
pengelolaan Perum Perhutani, namun di Provinsi DIY hutan produksi menjadi
102

wewenang pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena sejak zaman Belanda hutan
di DIY berada dalam kekuasaan Sultan Yogya. Gambaran rinci tentang kegiatan
HTR di masing-masing provinsi diuraikan pada bagian berikut.

5.1.1 HTR di Provinsi Riau


Kawasan hutan di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau meliputi luas
9.456.160 ha. Hutan produksi tetap dan HP terbatas masing-masing seluas
1.866.132 ha dan 1.971.553 ha* atau 20% dan 21% dari total luas kawasan
hutan yang ada di Provinsi Riau. Sementara itu kawasan hutan produksi yang
paling luas adalah hutan produksi yang dapat dikonversi dengan proporsi 50%.
Luas kawasan konservasi yang meliputi hutan lindung dan suaka alam memiliki
proporsi luas tidak lebih dari 10% dari total luas kawasan hutan (Gambar 18).

0%
5% 4% KSA/KPA
HL
20% Taman Buru
50%
Ht Produks i Tetap
HP Terbatas
HP Konvers i

21%

Gambar 18 Persentase kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan fungsinya


(Sumber : Ditjen BPK 2010, diolah)

Lahan HTR dapat dialokasikan pada areal hutan dengan status kawasan
hutan produksi. Hutan produksi di Provinsi Riau sebagian besar telah dibebani
hak terutama Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Usulan lokasi untuk
digunakan sebagai areal HTR telah diajukan oleh 2 kabupaten di Provinsi Riau,
yaitu Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Kabupaten Kampar telah mengajukan
usulan penetapan lokasi untuk kegiatan HTR. Berdasarkan arahan indikatif
tersebut, maka pemerintah daerah Kabupaten Kampar kemudian mengusulkan
lahan untuk HTR. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK 9/Menhut-II/2009 tentang
pencadangan areal untuk lokasi HTR seluas 12.280 ha.

* http://www.bsphh3.go.id/data/1.luas kawasan hutan.pdf [1 Nov 2010]


103

Pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hulu juga telah mengusulkan


kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan persetujuan pencadangan
pembangunan HTR seluas 47.810 hektar, dari luas hutan produksi yang saat ini
seluas 175.000 hektar (Haluan Riau, Sabtu, 10 Oktober 2010)*. Usulan areal
lokasi HTR di Kabupaten Rokan Hulu telah ditetapkan dengan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 421/Menhut-II/2010 pada tanggal 20 Juli 2010 seluas
13.300 ha.
Setelah mendapat Surat Keputusan Menteri Kehutanan atas pencadangan
lokasi HTR di kedua kabupaten tersebut, langkah selanjutnya dalam
implementasi program HTR adalah penerbitan izin usaha HTR yang dikeluarkan
oleh bupati untuk kelompok tani yang mengajukan. Namun hingga tahun 2010
kegiatan tersebut belum dapat direalisasikan baik di Kabupaten Kampar maupun
di Kabupaten Rokan Hulu. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan belum
dapat direalisasikannya kegiatan HTR di kedua kabupaten tersebut. Menurut
penuturan petugas Dinas Kehutanan Provinsi Riau, kendala yang dihadapi
adalah faktor kesiapan pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat calon petani
untuk melaksanakan kegiatan HTR.
Dinas Kehutanan Provinsi Riau telah melakukan kegiatan sosialisasi
program HTR kepada masyarakat di sekitar Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu.
Pada umumnya masyarakat tertarik untuk menjadi peserta HTR, karena mereka
akan mendapatkan lahan hutan yang dapat dikelola untuk usaha hutan tanaman.
Akan tetapi minat tersebut belum sepenuhnya dapat mendorong terlaksananya
kegiatan. Pengalaman di masa lalu membuat masyarakat trauma untuk
berusaha di bidang tanaman kehutanan. Masyarakat di Riau pada tahun 80-an
dengan antusias mengikuti program pemerintah untuk menanam tanaman
sengon. Akan tetapi ketika tanaman siap dipanen, aspek pemasaran tidak
tersedia. Masyarakat sangat kesulitan untuk menjual kayu sengon yang mereka
miliki. Oleh karenanya minat mereka terhadap tanaman kehutanan sangat
rendah. Sementara itu pilihan komoditas perkebunan sangat menarik. Mereka
lebih menyukai kegiatan budidaya tanaman sawit dan karet sebagai mata
pencaharian utama.
Faktor lain selain minat masyarakat adalah kesiapan dari pihak pemerintah
daerah sendiri untuk mendorong terwujudnya kegiatan HTR. Setelah terbit

*
Harian Umum Haluan Riau. Sabtu, 10 Oktober 2010. Dishut Riau Sosialisasi HTR Rohul.
http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=14943 [1 Nov 2010]
104

Keputusan Menteri kehutanan mengenai alokasi lahan HTR, pihak pemerintah


daerah harus melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat sasaran dan
menyiapkan tenaga pendamping untuk calon peserta. Kegiatan sosialisasi telah
terselenggara dengan sumber dana dari pemerintah pusat (Kepala Seksi HTR
Dinas Kehutanan Riau 1 November 2010, komunikasi pribadi). Akan tetapi
untuk melaksanakan kegiatan pendampingan pihak pemerintah daerah baik
provinsi maupun kabupten belum memiliki kesiapan sumberdaya.
Kegiatan pendampingan mutlak diperlukan bagi masyarakat calon peserta
HTR, mengingat HTR mempersyaratkan beberapa kegiatan birorkrasi dalam hal
pengajuan izin hingga pelaksanaan kegiatan penanaman di lapangan.
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi petani pemohon IUPHHK-HTR
sebagaimana diatur dalam Permenhut P.5/Menhut-II/2008 adalah sebagai
berikut:
- Bagi pemohon perorangan yang tergabung dalam kelompok, persyaratan
yang harus dipenuhi adalah fotocopy KTP, Keterangan domisili dari Kepala
Desa Setempat, Sketsa areal yang dimohon, dan susunan anggota
kelompok
- Bagi pemohon Koperasi, persyaratan yang harus dipenuhi adalah : fotocopy
akte pendirian, keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa
koperasi dibentuk oleh Masyarakat setempat, sketsa areal yang dimohon
untuk luasan diatas 15 ha dengan skala 1:5.000 atau 1: 10.000.
Setelah pemohon mendapatkan SK IUPHHK HTR kewajiban yang harus
dipenuhi adalah penyusunan Rencana Kerja Umum dan Rencana Kerja
Tahunan. Keseluruhan proses administratif tersebut sulit terlaksana jika petani
HTR tidak mendapatkan pendampingan. Sementara itu pihak pemerintah daerah
kebupaten maupun provinsi belum dapat menyediakan fasilitas pendampingan
tersebut. Oleh karenanya kegiatan HTR di Provinsi Riau belum dapat terealisasi
hingga tahap kegiatan nyata di lapangan.

5.1.2 HTR di Provinsi Kalimantan Selatan


Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No.435/Menhut-II/2009 (Ditjen BPK 2010) seluas 1.779.982
ha. Luas hutan produksi secara keseluruhan sejumlah 1.040.272 ha yang terdiri
dari Hutan Produksi Tetap seluas 762.188 ha (42% dari luas kawasan hutan),
Hutan Produksi Terbatas 126.660 ha (7%), dan Hutan Produksi yang dapat
105

dikonversi seluas 151.424 ha (9%). Kawasan konservasi di Provinsi Kalimantan


Selatan terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas
213.285 ha (12%) dan Hutan Lindung seluas 526.425 ha (30%). Gambar 19
menunjukkan proporsi kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi
Kalimantan Selatan.

9% 12% KSA/KPA
7%
HL
Taman Buru
30% Ht Produksi Tetap
42%
HP Terbatas
HP Konversi

0%

Gambar 19 Persentase luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan


berdasarkan fungsinya (sumber: Ditjen BPK 2010)

Direktorat Jenderal BPK (2010) menyampaikan data bahwa hutan produksi


di Provinsi Kalimantan Selatan seluas 854.039 ha telah dimanfaatkan; yaitu
seluas 279.361 ha untuk IUPHHK-HA (5 unit), 544.920 ha untuk IUPHHK-HTI
(15 unit), dan pencadangan areal IUPHHK-HTR seluas 29.758 ha (Tabel 18)

Tabel 18 Izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan


No IUPHHK Jumlah Luas Persentase Luas
(Unit) (ha) (%)
1. IUPHHK-HA 5 279.361 33,23
2. IUPHHK-HTI 15 531.560 63,23
3. Pencadangan HTR 6 29.758 3,54
Jumlah 26 840.679
Sumber : Ditjen BPK (2010), diolah

Tabel 18 menunjukkan data bahwa luas areal yang dicadangkan untuk lokasi
HTR terdapat di 6 unit, dengan proporsi 3,54% dari luas hutan produksi yang
telah dibebani izin. Sementara itu jika dibandingkan dengan luas total hutan
produksi, proporsi pencadangan HTR hanya 2,86%. Lahan hutan produksi yang
masih belum ditetapkan pemanfaatannya terdapat seluas 199.514 ha sehingga
masih dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR.
106

Enam unit lokasi yang telah dicadangkan untuk kegiatan HTR tersebar di
enam kabupaten, yaitu : Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tabalong,
Tanah Laut, Kota Baru, dan Tanah Bumbu (Tabel 19).
Tabel 19 Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan

No Kabupaten SK Pencadangan Lahan Luas (Ha)

1 Banjar SK.393/Menhut-II/2008 3.160,00


10-Nop-08
2 Hulu Sungai Selatan SK.101/Menhut-II/2008 818,00
08-Apr-08
3 Tabalong SK.395/Menhut-II/2008 7.490,00
10-Nop-08
4 Tanah Laut SK.706/Menhut-II/2009 5.355,00
19-Okt-09
5 Kota Baru SK. 44/Menhut-II/2010 3.900,00
15-Jan-10
6 Tanah Bumbu SK. 50/Menhut-II/2010 9.035,00
15-Jan-10
Jumlah 29.758,00
Sumber : Direktorat Jenderal BPK (2010)
Data Ditjen BPK hingga Agustus 2010 menunjukkan meskipun telah terbit
SK Menhut untuk pencadangan lokasi HTR di 6 kabupaten, akan tetapi belum
ada satupun kabupaten yang menindaklanjuti dengan penerbitan Izin Usaha
HTR. Berdasarkan hasil kegiatan FGD dengan para stakeholder di tingkat
Provinsi Kalimantan Selatan diketahui bahwa pihak pemerintah daerah masih
menunggu tindak lanjut kebijakan HTR dari pemerintah pusat khususnya dalam
hal pengucuran dana bergulir dari BLU Pusat P2H. Mereka menyatakan bahwa
kebijakan dari pusat belum jelas dan lengkap, sementara itu pihak pemerintah
pusat yang diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis menyatakan bahwa segala
peraturan pelaksanaan HTR telah selesai disusun dan telah cukup lengkap untuk
dijadikan pedoman pelaksanaan kegiatan di lapangan. Dari kondisi tersebut
terlihat adanya ketidakserasian pemahaman antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat.

5.1.3 HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Luas kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi
16.819,52 ha. Berdasarkan fungsi kawasan hutan tersebut terbagi menjadi
Hutan Lindung seluas 2.057,9 ha (12)%, kawasan suaka alam dan pelestarian
alam 910,34 ha (5%), Hutan Produksi Tetap 13.851 ha (83%)(Gambar 20)
107

0%
5%
12%
KSA/KPA
HL
83% Taman Buru
Ht Produksi Tetap
HP Terbatas
HP Konversi

Gambar 20 Persentase kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


berdasarkan fungsinya (Sumber : Ditjen BPK 2010)

Berdasarkan data pembagian fungsi kawasan hutan, dapat dilihat bahwa


hutan produksi di Provinsi DIY berstatus Hutan Produksi Tetap. Pengelolaan
kawasan hutan tersebut berada pada kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi,
dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi. Pemerintah Provinsi DIY telah
memanfaatkan seluruh kawasan hutan produksinya dengan mengembangkan
tanaman kayu putih. Oleh karenanya peluang untuk mengembangkan skema
HTR di kawasan hutan produksi di Yogyakarta tidak lagi dapat dilakukan di lahan
tersebut.
Di sisi lain, pemerintah daerah Provinsi DIY menyambut antusias skema
program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Paradigma Community Based
Forest Management (CBFM) benar-benar dikembangkan di Provinsi DIY. Hal
tersebut dilakukan demi terwujudnya visi Dinas Kehutanan Provinsi DIY untuk
menjadikan DIY sebagai daerah model pengembangan pola CBFM di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah daerah provinsi mencari alokasi lahan lain yang
memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan HTR.
Lahan AB (Afkhiring Bosh) merupakan salah satu jenis status lahan yang
keberadaanya hanya terdapat di Provinsi DIY. Akar budaya Provinsi DIY yang
dipimpin oleh Kesultanan Yogyakarta, memungkinkan pembagian status lahan
berada pada kewenangan penuh Sultan Yogya. Sebagai daerah kerajaan,
Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ) mempunyai peraturan sendiri dalam bidang
pertanahan (sebelum UUPA berlaku secara resmi di DIY) yaitu Rijksblaad No. 16
Tahun 1918 dan No. 18 Tahun 1919, tentang tanah-tanah yang tidak dapat
dibuktikan dengan hak eigendom dan hak domain Kasultanan) (Kusumoharyono
2006). Tanah yang tidak dibebani hak milik perorangan menjadi hak Sultan untuk
mengelolanya, termasuk di dalamnya lahan AB.
108

Berdasarkan sejarahnya tanah AB merupakan tanah yang berstatus


kawasan hutan negara yang pada pengelolaan kawasan hutan secara definitif
kawasan ini dikeluarkan dari unit kawasan manajemen hutan. Salah satu faktor
penyebabnya karena luas yang kecil dan sebaran yang sporadis, karenanya
menimbulkan kesulitan untuk dibentuk menjadi satu kesatuan sistem dan
manajemen kelestarian hutan (Dishutbun DIY 2009).
Hasil kegiatan observasi di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya
lahan AB merupakan lahan-lahan sempit di tepi hutan, tepi pemukiman
penduduk, dan tepi sungai. Lahan AB pada era tahun 1960-an merupakan lahan-
lahan tidak produktif atau lahan tidur. Berawal dari kondisi lahan yang terlantar
tersebut, masyarakat yang berada di sekitar lahan AB mamanfaatkan untuk
budidaya tanaman semusim dan tanaman kehutanan di bawah pengawasan
pemerintah desa setempat. Hak pengelolaan lahan AB merupakan hadiah Sultan
kepada warga yang tidak memiliki lahan atau yang masih membutuhkan lahan
garapan. Hak pengelolaan lahan AB tidak merupakan hak kepemilikan atas
lahan, melainkan hanya berupa hak pengelolaan. Terdapat perjanjian tidak
tertulis diantara Sultan (sebagai wakil pemerintahan) dengan masyarakat Yogya,
bahwa jika sewaktu-waktu lahan AB tersebut diperlukan maka masyarakat wajib
mengembalikannya kepada Sultan. Kondisi ini berlangsung sejak tahun 1967
hingga awal tahun 2008.
Perubahan status lahan AB dimulai ketika pemerintah Provinsi DIY
menetapkan lahan AB akan digunakan untuk alokasi lahan HTR. Upaya
pemanfaatan lahan AB (Afkhiren Bosch) telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan
melakukan penataan kawasan tersebut. Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta
melakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi hutan eks AB dan diperoleh
data bahwa lahan AB meliputi luas 1.773 hektar. Kegiatan penataan batas telah
dilakukan untuk lahan seluas 1.100 hektar. Upaya penataan tersebut terus
dilakukan melalui penyusunan grand design penyelesaian penataan lahan AB
(Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta, 8 Agustus 2009 komunikasi pribadi).
Optimalisasi kawasan AB menjadi prioritas kegiatan tahun 2009 dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Kegiatan optimalisasi dilakukan
dengan menetapkan lahan AB seluas 327,73 hektar untuk alokasi lahan HTR.
Kawasan hutan AB Blok Pacarejo-Candirejo dan Blok Jepitu-Balong-Purwodadi,
Kabupaten Gunungkidul merupakan blok yang ditetapkan sebagai calon lahan
109

HTR berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 118/Menhut-


II/2009 tanggal 20 Maret 2009 (Dishutbun DIY 2009).

5.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat


Kegiatan HTR sangat tergantung pada minat masyarakat petani yang
menjadi sasaran kegiatan. Kegiatan HTR yang merupakan salah satu bentuk
peluang mata pencaharian petani akan menarik minat masyarakat jika secara
nyata memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan keluarga. Oleh karena
itu kajian profil sosial ekonomi masyarakat petani yang akan menjadi sasaran
program HTR menjadi penting dilakukan untuk mengetahui kondisi kegiatan
petani dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya. Gambaran profil
sosial ekonomi masyarakat di masing-masing kabupaten terpilih diuraikan pada
bagian berikutnya.

5.2.1 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani di Provinsi Riau


Jumlah penduduk total di Provinsi Riau sebanyak 5.543.031 jiwa, terdiri
dari penduduk asli dan para pendatang dengan bermacam-macam suku bangsa.
Mereka bermukim di wilayah perkotaan dan di pedesaan di seluruh pelosok
Provinsi Riau. Adapun suku-suku yang terdapat di Provinsi Riau adalah Melayu,
Jawa, Minang, Tionghoa, Batak, dan Bugis.
Suku Melayu merupakan penduduk asli Provinsi Riau dan merupakan suku
mayoritas di provinsi ini yang keberadaannya tersebar di seluruh daerah Riau.
Suku Jawa merupakan pendatang yang paling banyak terdapat di provinsi Riau,
terutama daerah transmigran dan daerah perkotaan. Penduduk Suku Jawa ada
yang bekerja sebagai petani, pegawai negeri, anggota TNI, buruh dan
sebagainya. Penduduk Suku Minangkabau pada umumnya tinggal di
Pekanbaru, Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan wilayah lainnya. Pada
umumnya mereka hidup sebagai pedagang, namun banyak juga yang menjadi
pegawai negeri, anggota TNI, dan lain-lain. Penduduk etnis Tionghoa pada
umumnya tinggal di daerah pesisir Provinsi Riau seperti di Bagansiapiapi,
Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Namun sekarang ini banyak juga yang
tinggal di daerah perkotaan seperti Pekanbaru dan Dumai. Masyarakat dari
Suku Batak kebanyakan tinggal di daerah perkotaan. Banyak diantara mereka
yang bekerja sebagai PNS, TNI, pedagang, dan lain-lain.
110

Pertumbuhan penduduk Riau relatif tinggi yaitu 3,79% per tahun selama
periode 1998-2002. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk
nasional sebesar 1,4% per tahun untuk periode yang sama. Penyebab
pertumbuhan tersebut adalah tingginya migrasi dari daerah lain sebagai akibat
perputaran roda perekonomian dan peluang lapangan kerja di Provinsi Riau*
Provinsi Riau merupakan salah satu dari lima provinsi kaya di Indonesia.
Seperti halnya wilayah lain di Pulau Sumatera Riau juga merupakan daerah yang
kaya dengan hasil bumi. Hasil utama dari Provinsi Riau minyak bumi yang
dikelola PT Caltex dan kelapa sawit baik yang dikelola oleh perkebunan negara
maupun oleh rakyat. Perkebunan sawit di provinsi Riau saat ini mencapai luas
1,34 juta hektar. Kegiatan pengolahan kelapa sawit didukung dengan adanya
116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi
CPO (crude palm oil) sebanyak 3.386.800 ton per tahun
(id.wikipedia.org/wiki/Riau)
Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau menunjukkan bahwa selain
kelapa sawit, di Provinsi Riau juga terdapat perkebunan karet seluas 516.474 ha,
terdiri dari perkebunan karet rakyat seluas 496.181 ha; Perkebunan Besar
Negara 10.901 ha; dan Perkebunan besar Swasta 9.392 ha. Gambar 21
menunjukkan salah satu contoh kondisi tanaman karet rakyat. Gambar 22
merupakan contoh tanaman sawit rakyat.

Gambar 21 Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau

*
(http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Publik/Ekonomi_Regional/Profil/Riau/
Demografi.htm)[14 Nov 2010]
111

Gambar 22 Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau

Serapan tenaga kerja khusus di sub sektor perkebunan sebagian besar


berada di perkebunan kelapa sawit sebanyak 688.000 orang, karet 216.554
orang, kelapa 197.218 orang dan aneka tanaman 97.572 orang (Gambar 23)

aneka
kelapa,
tanaman,
197,218,
97,572,
16%
(8%)

kelapa
sawit,
karet, 688,000,
216,554, 58%
18%

Gambar 23 Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau


(Sumber : BPS Riau 2009)

Dalam skala rumah tangga kebanyakan masyarakat petani yang dituju oleh
program HTR adalah petani yang selama ini mengelola tanaman karet atau
tanaman sawit. Petani di Provinsi Riau memiliki minat yang tinggi untuk
berusaha di bidang budidaya sawit, karena jenis ini merupakan komoditas
andalan bagi masyarakat di Provinsi Riau (Sachiho 2008). Sementara itu usaha
di sektor perkebunan karet masih juga tetap menjadi andalan bagi petani,
meskipun posisinya mulai digeser oleh tanaman sawit. Nagata dan Arai (2006)
sebagaimana dikutip dalam Sachiho (2008) menjelaskan proses peralihan
112

perkebunan di Riau dari yang semula didominasi tanaman karet (tahun 70-an)
berubah menjadi perkebunan sawit. Program PIR-Trans yang dimulai di akhir
tahun 70-an telah berhasil membangun perkebunan sawit di Provinsi Riau
dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa sejumlah lebih dari 132.000
Kepala Keluarga. Program ini telah menambah luas lahan perkebunan sawit.
Hingga tahun 2000 tercatat data rata-rata penambahan luas lahan sawit sebesar
42,28%.
Pendapatan petani perkebunan sawit terbukti lebih tinggi dibanding sektor
perkebunan lain. Data Statistik Provinsi Riau (BPS Riau 2009) mencatat
terjadinya peningkatan pendapatan petani sejak tahun 1998 hingga 2005. Pada
tahun 2005 pendapatan petani sawit sebesar Rp.18.000.000 per tahun,
sedangkan petani karet Rp.11.856.000 per tahun.
Mempertimbangkan tingkat pendapatan yang tinggi dari usaha perkebunan
rakyat, maka petani di Provinsi Riau lebih tertarik berusaha di sektor perkebunan
dibanding di sektor tanaman kehutanan. Oleh karenanya kegiatan penanaman
hutan oleh masyarakat di Provinsi Riau sangat terbatas. Pengalaman petani di
Provinsi Riau dalam kegiatan penanaman tanaman kehutanan terdapat di
beberapa lokasi, diantaranya di Desa Lubuk Kebun Kecamatan Logas Tanah
Darat Kabupaten Kuansing yang menjadi salah satu desa yang diobservasi
dalam penelitian. Petani memiliki program hutan rakyat atau hutan milik berupa
penanaman 80% karet dan 20% mahoni, dimana bibit dan pupuk disediakan oleh
pemerintah. Jenis tanaman yang dibudidayakan selain karet dan mahoni
terdapat juga jenis akasia, dan sungkai (Peronema canescens Jack.) yang
ditanam sebagai tanaman batas.
Di desa lain yaitu Desa Rambahan, yang juga diobservasi dalam kegiatan
penelitian teridentifikasi adanya kegiatan penanaman tanaman akasia melalui
kegiatan kemitraan dengan perusahaan HTI PT RAPP. Berdasarkan informasi
dari tokoh masyarakat di Desa Rambahan, luas tanaman akasia yang dikelola
dengan pola kemitraan adalah 350 ha. Pelaksanaan kegiatan kemitraan
dilakukan melalui kelompok tani dan perusahaan untuk jangka waktu 30 tahun,
dimulai sejak tahun 1996. Kewajiban perusahaan adalah memberikan bagi hasil
panen di akhir daur tanaman akasia dengan proporsi 40% untuk petani dan 60%
untuk perusahaan. Sedangkan kewajiban masyarakat adalah menyediakan
lahan bagi kegiatan penanaman akasia, selain kewajiban tersebut masyarakat
tidak memiliki tugas apapun dalam hal penanaman hingga kegiatan panen.
113

Dengan demikian, kegiatan ini lebih merupakan sewa lahan milik masyarakat
oleh perusahaan HTI dalam rangka memperluas areal tanaman akasia.
Masyarakat menganggap bahwa kontrak dengan PT RAPP merupakan
tambahan bagi penghasilan keluarga dan bukan merupakan sumber mata
pencaharian utama.

5.2.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Hutan di Provinsi Kalsel


Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 37.530 km2 memiliki
jumlah penduduk 3.142 ribu jiwa. Kalimantan Selatan mendapat julukan Seribu
Sungai karena daerah ini pada umumnya dialiri oleh sungai dan masih banyak
penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sungai. Sungai yang mengalir di
provinsi ini sebanyak 62. Pada umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal di
pegunungan Meratus dan bermuara di laut Jawa (Dishut Kalsel 2007).
Budaya atau tradisi penduduk asli Kalimantan Selatan dikenal dengan
tradisi “Urang Banjar”. Ahli sejarah menyimpulkan bahwa budaya Urang Banjar
merupakan perpaduan antara suku Dayak, suku Melayu dan suku Jawa. Selain
itu, ajaran Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia telah banyak
mempengaruhi perkembangan kebudayaan Urang Banjar yang tercermin dari
tarian, musik, permainan, pakaian, dan upacara adat. Penduduk asli Kalimantan
Selatan umumnya suku bangsa Banjar yang intinya terdiri dari sub suku, yaitu
Maayan, Lawangan dan Bukiat yang mengalami percampuran dengan suku
bangsa Melayu, Jawa dan Bugis. Identitas utama yang terlihat adalah bahasa
Banjar sebagai media umum. Penduduk pendatang seperti Jawa, Melayu,
Madura, dan Bugis sudah lama datang ke Kalimantan Selatan. Suku bangsa
Melayu datang sejak zaman Sriwijaya atau sebagai pedagang yang menetap,
suku bangsa Jawa datang pada periode Majapahit bahkan sebelumnya, dan
orang Bugis datang mendirikan kerajaan Pegatan di masa lalu
(http:www.indonesia.go.id)
Pertanian merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB
Provinsi Kalimantan Selatan. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan
komoditi utama yang dikembangkan adalah padi sawah dan padi sebagian lagi
adalah palawija. Lahan yang digunakan dalam rangka memproduksi tanaman
pangan pada umumnya menggunakan lahan sawah yang terdiri dari lahan basah
dan perairan pasang surut. Selain mengembangkan sektor pertanian, Provinsi
Kalimantan Selatan juga mempunyai sektor perkebunan baik yang dikelola
perusahaan besar swasta dan pemerintah perkebunan yang dikelola rakyat pada
114

bersifat campuran dan hanya seluruh komoditi utama, sedangkan perkebunan


yang dikelola oleh pemerintah adalah komoditi perusahaan besar swasta adalah
kelapa sawit. Pada sub sektor kehutanan telah dikembangkan HTI dan HPH.
Produksi sektor kehutanan terdiri dari dua jenis yaitu kayu dan non kayu. Hasil
hutan non HPH berupa kayu bulat pada tahun 2004 adalah sebesar 719.980,01
m³ dan kayu olahan sebesar 1.568.715,38 m³ (Dishut Provinsi KalSel 2007).
Masyarakat petani yang menjadi target program HTR pada umumnya juga
merupakan masyarakat yang memiliki minat tinggi untuk berusaha di sektor
perkebunan karet. Statistik perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2008
menunjukkan bahwa karet merupakan komoditas unggulan Kalsel dengan luas
lahan yang telah dikelola sebanyak 133.900 ha dengan produksi sebanyak
108.990 ton pada tahun 2008 (BPS Kalsel 2009).
Sementara itu minat masyarakat untuk berusaha di sektor kehutanan
masih sangat tergantung pada kegiatan kemitraan yang ditawarkan oleh
perusahaan-perusahaan kayu. Beberapa pengalaman masyarakat dalam
mengembangkan hutan tanaman ditemukan di lokasi sampel penelitian yaitu di
Desa Ranggang, Kecamatan Takisung dan Desa Asam Jaya, Kecamatan
Jorong, Kabupaten Tanah Laut.
Jenis tanaman yang dikembangkan di Desa Ranggang adalah mahoni
(Swietennia macrophylla). Bibit tanaman mahoni diperoleh dari pemerintah
dengan adanya program GN-RHL/Gerhan tahun 2003. Setiap petani memiliki 1
sampai 2 blok tanaman mahoni, dimana masing-masing blok seluas 0,75 – 1 ha.
Selain bibit, para petani juga memperoleh bantuan pupuk dari pemerintah. Saat
ini umur tanaman mahoni yang tertua sekitar 5-6 tahun. Hutan tanaman mahoni
yang telah terbangun hingga saat ini tercatat seluas 400 ha, dimana 370 ha
merupakan hasil tanaman di lahan milik petani.
Dari 10 RT yang ada di Desa Ranggang, hanya 2 RT saja yang bertindak
aktif sebagai petani hutan tanaman, yaitu RT 6 dan 7. Warga di kedua RT ini
merupakan pendatang/transmigran dari suku Jawa. Sementara di 8 RT lainnya
yang merupakan penduduk asli suku Banjar, tidak melakukan kegiatan
pembangunan hutan tanaman. Faktor yang mempengaruhi para
pendatang/transmigran untuk aktif membangun hutan tanaman adalah karena
ketersediaan lahan yang cukup. Jumlah Kepala Keluarga yang terlibat sebagai
petani hutan tanaman mahoni sebanyak 30 KK.
115

Keadaan tanaman mahoni yang telah ditanam sejak tahun 2003 cukup
baik. Para petani cukup antusias merawat tanaman mahoninya karena ada
jaminan pasar dari PT Emida. Pada tahun 2007 PT Emida yang berkedudukan
di Desa Jorong menjalin kemitraan dengan petani di Desa Ranggang untuk
menanam mahoni (Gambar 24). Perusahaan menyediakan bibit dan pupuk.
Petani melakukan kegiatan penanaman mahoni di lahan milik. Seluas 30 ha
tanaman mahoni kemitraan telah terbangun di Desa Ranggang. PT Emida
berjanji akan menampung pasar kayu hasil panen petani. Perusahaan ini
memiliki pabrik furniture di Mojokerto, yaitu PT Kurnia Anggun, yang
menghasilkan produk furniture untuk diekspor ke USA.

Gambar 24 Hutan tanaman mahoni di lahan milik petani di Provinsi Kalsel

Perjanjian kerjasama antara petani dan PT Emida telah dilakukan dalam


bentuk penandatangangan perjanjian kontrak. Dari hasil wawancara dengan
pihak perusahaan, diperoleh informasi bahwa isi perjanjian kontrak meliputi :

1. Perjanjian kesepakatan antara petani dan perusahaan untuk bekerja sama


dalam pemeliharaan dan perawatan tanaman sampai dengan panen dan
pemasaran
2. Pihak perusahaan wajib memberikan pupuk yang dirasa perlu dan sesuai
dengan kebutuhan pohon mahoni tersebut dan wajib menjamin akan membeli
pohon mahoni, serta pembeliannya mengikuti harga yang berlaku saat panen.
3. Petani berkewajiban untuk :
116

- menjamin keabsahan kepemilikan lokasi beserta tanaman mahoni yang


ada di dalam lahan tersebut
- tenaga untuk pemupukan mahoni menjadi tanggung jawab petani
- mencegah dan mengendalikan api/bahaya kebakaran
- tidak memindah tangankan/menjaminkan/menyewakan lahan tersebut
kepada pihak manapun dan dalam bentuk apapun
- tidak berhak memanen/menebang pohon sebelum waktunya sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat
- petani setuju hanya akan menjual pohon mahoni tersebut kepada PT
Emida
Di Desa Asam Jaya Kecamatan Jorong, telah terjalin kegiatan kemitraan
dengan PT Hendratna pada tahun 2003. Jenis tanaman yang dikembangkan
adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Sebanyak 32 petani yang sebagian
besar berada di RT 5 melakukan penanaman di lahan mereka, baik di lahan I
maupun lahan II. Selain memperoleh bantuan bibit, petani juga mendapatkan
bantuan dana berupa biaya angkut bibit. PT Hendratna aktif melakukan
kegiatan penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat akan peluang usaha
di bidang penanaman jabon. Para petani merespon tawaran tersebut dengan
antusias. Mereka dengan semangat melakukan kegiatan penanaman dan
merawat tanaman tersebut agar tumbuh dengan baik. Bahkan ada salah satu
petani yang berani melakukan investasi dengan menjual ternak sapinya untuk
menambah modal di kegiatan tanaman jabon. Para petani lain yang tidak
mendapat bantuan bibit dari PT Hendratna pun ikut menanam jabon di lahan-
lahan tanaman karetnya. Terdapat sekitar 20% dari 224 petani penanam karet
yang juga menanam jabon.
Setelah berjalan selama kurang lebih 3 tahun, ternyata PT Hendratna tidak
lagi menjalin hubungan dengan petani. Bahkan untuk selanjutnya petani
kehilangan kontak dengan pihak perusahaan, karena ternyata PT Hendratna
sedang mengalami masalah dan terancam bangkrut. Hal ini membuat situasi
ketidakpastian di kalangan petani. Harapan yang telah ditumbuhkan oleh PT
Hendratna, berubah menjadi perasaan kecewa yang sangat mendalam.
Akibatnya banyak petani yang membiarkan tanaman jabon. Bahkan banyak
tanaman jabon yang ditebang dan digantikan dengan tanaman karet. Pada saat
ini sebagian petani yang masih memiliki tanaman jabon berharap, agar suatu
saat akan ada pihak yang mau membeli kayu hasil panen tanaman jabonnya.
117

5.2.3 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani HTR di di Provinsi DIY


Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
telah dilaksanakan di Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Desa Candirejo dan
Pacarejo Kecamatan Semanu. Kecamatan Semanu terdiri dari 5 desa, yaitu
Pacarejo, Candirejo, Dadapayu, Ngeposari, dan Desa Semanu. Data luas setiap
desa di Kecamatan Semanu disajikan pada Gambar 25. Gambar 26
menunjukkan posisi Kecamatan Semanu dalam peta Kabupaten Gunungkidul.

Gambar 25 Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul


(Sumber: Dishutbun DIY 2009)

Gambar 26 Peta Kecamatan Semanu (Sumber: Dishutbun DIY 2009)


Desa Candirejo merupakan salah satu dari 5 (lima) desa yang ada di
Kecamatan Semanu, dengan luas wilayah 2.203,65 hektar (20,31% dari
Kecamatan Semanu). Sedangkan Desa Pacarejo memiliki luas wilayah
3.024,312 hektar (28,34% dari Kecamatan Semanu). Jumlah penduduk Desa
Candirejo sebanyak 4.037 jiwa yang terdiri dari Laki-laki sebanyak 4.800 jiwa
118

dan Perempuan sebanyak 8.837 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar


penduduk adakah pertanian dalam bentuk pekarangan dan tegalan. Jumlah
petani yang menggarap tanah AB sebanyak 200 KK (BPS Kabupaten
Gunungkidul 2008).
Dalam kegiatan penanaman hutan, secara umum masyarakat
Gunungkidul adalah petani hutan jati. Mereka mengembangkan hutan tanaman
jati di lahan-lahan milik (hutan rakyat) maupun di lahan hutan negara melalui
skema pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola budidaya tanaman
jati telah menjadi tradisi di masyarakat Gunungkidul. Daerah yang gersang dan
rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola
penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain (wikipedia.org/wiki/Jati). Dalam
selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi
lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam
jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang
mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman
jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany),
akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Kegiatan pengembangan hutan rakyat jati di Kabupaten Gunungkidul
berkontribusi dalam pemenuhan suplai kayu jati untuk kebutuhan industri di
Jawa. Data produksi kayu jati di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa
dari bulan Januari-November 2008 terdapat sebanyak 33.151 m3 kayu jati yang
dipanen, data ini didasarkan pada jumlah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul
(Kurniawan et al. 2008). Kayu jati tersebut digunakan untuk memasok ribuan
industri pengolahan kayu yang menghasilkan produk-produk seperti kayu lapis
indah, mebel, ukiran kayu dan beragam olahan kayu lainnya.
Model penanaman hutan jati di Kabupaten Gunungkidul dilakukan dengan
pola tumpangsari dengan tanaman semusim. Hal ini disebabkan karena luas
kepemilikan lahan oleh setiap petani relatif sempit sekitar 0,2-1 ha (Jariyah et al.
2003), sehingga banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam hal
penggunaan lahan. Pola tumpangsari merupakan alternatif penggunaan lahan
yang dapat menampung berbagai kepentingan, baik untuk tujuan budidaya
tanaman semusim guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk
budidaya tanaman tahunan. Dengan pola tumpangsari, petani dapat
memperoleh pendapatan secara berkesinambungan sepanjang tahun. Hal ini
119

merupakan strategi petani untuk menghindari masa paceklik (Jariyah et al.


2003). Gambar 27 mengilustrasikan kondisi hutan jati di Kabupaten
Gunungkidul.

Gambar 27 Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Hasil dari kayu jati tanaman rakyat diperlakukan sebagai tabungan jangka
panjang. Pola pemasaran dilakukan dengan mekanisme “tebang butuh”, ketika
petani memerlukan biaya yang relatif cukup besar, maka pohon jati menjadi
andalan untuk mendapatkan uang tunai dengan mudah. Pasar kayu jati di
Kabupaten Gunungkidul tidaklah sulit, karena kegiatan jual beli kayu telah
berjalan cukup lama dan terdapat banyak pengepul kayu yang mendatangi pihak
petani pemilik pohon yang akan menjual pohonnya. Kegiatan jual beli pohon jati
di Gunungkidul telah berjalan cukup lama, sehingga faktor pemasaran kayu tidak
menjadi hambatan berarti dalam kegiatan hutan tanaman jati di lahan milik yang
selama ini telah lebih dulu berkembang.
Demikian pula halnya dengan program HTR yang baru diresmikan tahun
2008. Pada dasarnya kegiatan HTR di kabupaten ini merupakan lanjutan dari
kegiatan hutan tanaman jati yang telah lebih dulu dilakukan di lahan-lahan AB.
Hanya saja sejak digulirkannya program HTR maka terjadi pergantian status
lahan dari AB menjadi lahan HTR. Sementara seluruh kegiatan produksi mulai
120

dari budidaya tanaman hingga pemasaran hasil panen jati, telah berjalan lebih
dulu seperti halnya yang terjadi pada lahan hutan milik.
Adapun respon dari para petani terhadap perubahan status mereka yang
semula sebagai penggarap lahan AB menjadi petani HTR diuraikan pada bagian
selanjutnya. Demikian pula dengan respon pemangku kepentingan di tingkat
pemerintah daerah kabupaten dan provinsi, secara rinci diuraikan pada bagian
berikut.

5.3 Respon Pemangku Kepentingan di Daerah terhadap Kebijakan HTR


Keberhasilan suatu program pemerintah yang digulirkan dari tingkat pusat,
sangat tergantung pada respon pemangku kepentingan di daerah terhadap
program tersebut. Jika pemerintah daerah sebagai pelaksana kegiatan di
lapangan memberikan respon yang cukup baik maka terdapat peluang untuk
tercapainya tujuan program. Akan tetapi jika pemerintah daerah dan pemangku
kepentingan lain yang terkait tidak memberikan respon positif, maka pelaksanaan
program akan terancam gagal.
Responden dalam analisis ini merupakan pemangku kepentingan di tingkat
pemerintah baik provinsi maupun kabupaten. Mereka adalah wakil instansi dari
Dishut Provinsi dan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Bappeda
Provinsi dan Kabupaten, Dinas Perkebunan, Badan Pertanahan Nasional tingkat
Provinsi, Perusahaan HTI, dan wakil Akademisi. Umur berkisar antara 24 – 63
tahun, dengan pengalaman kerja 0 – 37 tahun dan tingkat pendidikan responden
meliputi D3 hingga S2 dari berbagai disiplin ilmu. Meskipun karakteristik
responden sangat beragam, namun setiap responden merupakan pemangku
kepentingan yang terkait dan berkepentingan dengan program HTR.

5.3.1 Respon Pemangku Kepentingan terhadap program HTR


Pemangku kepentingan di daerah, dalam hal ini pihak pemerintah daerah
dan elemen lain di luar kelompok petani, terhadap program HTR pada umumnya
setuju dengan persentase kelompok yang menyatakan sikap setuju sebanyak
83%, ragu-ragu (3.45%), tidak setuju (13,79%) (Gambar 28).
121

Tidak
Ragu- setuju
ragu 14%
3%

Setuju
83%

Gambar 28 Respon pemangku kepentingan terhadap kebojakan HTR


Hasil dari pendalaman terhadap pernyataan respon, diperoleh informasi
mengenai berbagai alasan dari pernyataan sikap tersebut. Responden yang
menyatakan setuju menjelaskan bahwa alasan atas sikap mereka adalah bahwa
masyarakat memang sangat membutuhkan dibukanya kesempatan atau akses
untuk berperan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan milik negara.
Kondisi masyarakat sekitar hutan tergolong miskin sehingga mereka perlu diberi
kesempatan berusaha supaya dapat mendorong peningkatan taraf kesejahteraan
hidup. Dengan keterlibatan mereka sebagai pemilik ijin pengelolaan hutan
diharapkan akan memunculkan rasa tanggung jawab mengelola sumberdaya
hutan secara lestari, dlam rangka mendukung upaya pemberantasan illegal
logging dan perambahan.
Sikap ragu yang dikemukakan oleh 1 orang responden lebih dilandasi
oleh keraguan terhadap prospek keberhasilan program. Pengalaman
sebelumnya memperlihatkan bahwa sebaik apapun konsep program yang
ditawarkan pemerintah, namun hasil yang dirasakan masyarakat tidak optimal.
Pendapat ini memang cukup beralasan karena berbagai hasil penelitian (Peluso
1992; Lyndayati 2002, Suryamiharja, 2006) menyatakan bahwa kebijakan
perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah selama ini belum mencapai hasil
seperti yang diharapkan. Sedangkan responden yang menyatakan sikap tidak
setuju terhadap program HTR dilandasi alasan bahwa minat masyarakat rendah
untuk menanam tanaman kehutanan, karena secara ekonomis sangat rendah
daya saingnya dengan usaha tanaman kelapa sawit, di samping itu program ini
diduga akan menjadi program pemerintah yang menyedot anggaran yang sangat
tinggi.
Pemangku kepentingan di tingkat kabupaten juga menilai tingkat
kemampuan masyarakat untuk melaksanakan program HTR. Terdapat beberapa
122

aspek yang ditanyakan untuk memperdalam persepsi pemangku kepentingan di


tingkat kabupaten terhadap kondisi masyarakat calon peserta HTR (Tabel 20).

Tabel 20 Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan


masyarakat
No Aspek Setuju Ragu Tidak
(%) (%) Setuju
(%)
1. Masyarakat sangat berminat terhadap 47 39 14
program HTR
2. Masyarakat mampu memenuhi kewajiban 32 43 25
sebagai peserta HTR
3. Kewajiban peserta HTR sama dengan 14 25 61
kewajiban HTI
4. Masyarakat perlu pendampingan untuk 96 4 0
melaksanakan HTR
5. Masyarakat memiliki potensi untuk bekerja 44 38 17
sama
6. Masyarakat sekitar hutan tidak terbiasa 56 24 21
dengan koperasi

Pemangku kepentingan di tingkat kabupaten menilai minat masyarakat


untuk mengikuti program HTR masih belum tinggi. Sikap ragu dari responden
(39%) menunjukkan belum adanya keyakinan bahwa masyarakat akan antusias
mengikuti program HTR. Faktor yang dinilai menjadi hambatan adalah aturan-
aturan yang sangat ketat, dan memperlakukan masyarakat seperti perusahaan
HTI. Hal ini dinilai sangat memberatkan mengingat keterbatasan kemampuan
masyarakat.

5.3.2 Respon pemangku kepentingan terhadap mekanisme perijinan HTR


Proses mekanisme perijinan memberikan mandat kepada Bupati untuk
mengeluarkan ijin usaha HTR. Respon para pemangku kepentingan terhadap
kebijakan penyerahan kewenangan kepada bupati cukup baik, dimana 79%
responden menyatakan setuju, 14% ragu-ragu dan 7% tidak setuju (Gambar 29).

Tidak
Ragu-ragu setuju
14% 7%

Setuju
79%

Gambar 29 Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme


perijinan HTR
123

Mekanisme penyerahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang


lebih rendah merupakan sebuah upaya menuju terwujudnya devolusi
pengelolaan hutan. Pertimbangan yang diambil dari keputusan penyerahan
wewenang kepada bupati adalah bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui
kondisi riel yang terjadi di wilayahnya, sehingga keputusan yang diambil
diharapkan akan lebih tepat sasaran.

5.4 Respon Masyarakat Petani terhadap kebijakan HTR


5.4.1 Pengetahuan tentang program HTR
Pada saat dilakukan penelitian seluruh masyarakat di lokasi penelitian
menyatakan belum pernah mendengar informasi mengenai program HTR,
karena sosialisasi tentang program HTR memang belum sampai ke masyarakat.
Hal ini terjadi baik di Provinsi Riau maupun di Provinsi Kalimantan Selatan. Di
Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, pelaksanaan program HTR masih
pada tahap persiapan yaitu pengajuan areal calon lokasi. Sementara itu di
Kabupaten Kuansing Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten belum secara
aktif mengajukan proses pencadangan lokasi HTR. Hal ini disebabkan karena
masalah tata ruang wilayah yang belum tuntas. Banyaknya permasalahan
konflik atas lahan juga menjadi penyebab Dinas Kehutanan Kabupaten belum
mengajukan usulan untuk mengimplementasikan program HTR.
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, petani HTR telah mendapatkan
sosialisasi tentang program tersebut dari pihak Dinas Kehutanan Kabupaten
Gunungkidul. Pendekatan persuasive dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan
untuk menjelaskan kepada masyarakat penggarap lahan AB bahwa status lahan
mereka diubah menjadi lahan hutan negara. Seluruh masyarakat petani AB
dapat menerima program tersebut, karena mereka menyadari bahwa lahan yang
digarapnya adalah bukan hak milik melainkan semacam pinjaman yang sewaktu-
waktu dapat diambil kembali oleh Sultan. Akan tetapi masyarakat tetap memiliki
harapan jika suatu saat lahan AB tersebut akan menjadi hak milik mereka melalui
pemberian hadiah dari Sultan kepada rakyatnya.
Dengan berubahnya status lahan AB menjadi lahan hutan negara, maka
kewenangan Sultan terhadap lahan tersebut juga berubah. Sultan tidak lagi
memiliki otonomi terhadap lahan AB. Oleh karenanya harapan rakyat untuk
menjadikan lahan AB sebagai lahan milik tidak lagi dapat diwujudkan. Namun
demikian, masyarakat dapat menerima program HTR karena masih
124

diperbolehkan menggarap lahan tersebut, sekalipun programnya berubah


menjadi skema Hutan Tanaman Rakyat.
Dalam program HTR, petani disarankan untuk membentuk kelompok tani
dan koperasi. Pada masyarakat Gunungkidul, upaya pembentukan kelompok
tani dan koperasi dapat terwujud karena adanya dukungan intensif dari pihak
Lembaga Swadaya Masyarakat yang berperan secara voluntary mendampingi
masyarakat.
Keterlibatan peserta HTR dalam pembentukan kelompok maupun kegiatan-
kegiatan pendampingan tidaklah sepenuhnya dilakukan oleh seluruh peserta.
Melainkan hanya terbatas pada pengurus-pengurus di masing-masing desa.
Terdapat sebanyak 30 orang pengurus dari kedua desa baik Candirejo maupun
Pacarejo yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan HTR. Sementara
sebagian besar warga yang tercatat sebagai peserta HTR cenderung pasif dan
bersikap “manut” terhadap apapun yang menjadi program kelompok. Sikap
demikian muncul karena adanya kepatuhan yang tinggi terhadap pemerintah.
Pemerintah dalam pandangan masyarakat Yogyakarta adalah perwakilan dari
Sultan yang semua perintahnya harus ditaati. Faktor lain yang mendorong
masyarakat untuk mengikuti program HTR adalah kekhawatiran yang tinggi jika
peluang mereka menggarap lahan dihentikan. Selama mereka masih diberi
kesempatan mengelola lahan HTR, maka mereka akan patuh terhadap aturan
yang ditetapkan.

5.4.2 Minat masyarakat terhadap program HTR


Minat masyarakat di Provinsi Riau berbeda dengan di Provinsi
Kalimantan Selatan. Meskipun masyarakat belum mendapatkan informasi resmi
dari pihak Dinas Kehutanan Kabupaten setempat mengenai program HTR,
namun seluruh responden di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan
menyatakan ketertarikan untuk menjadi peserta program HTR. Mereka
mengemukakan bahwa kebutuhan akan lahan sangat tinggi, sehingga jika
pemerintah memberikan kesempatan untuk memanfaatkan kawasan hutan
negara, masyarakat akan sangat terbantu dalam hal memperluas kesempatan
mengembangkan usaha tanaman kehutanan.
Sementara itu di Provinsi Riau, minat masyarakat cenderung kurang untuk
berusaha di bidang tanaman kehutanan. Hal ini terjadi karena persepsi
masyarakat terhadap kegiatan hutan tanaman kurang baik. Pengalaman
125

mereka di masa sebelumnya yang mengalami kegagalan pemasaran kayu


sengon membuat mereka tidak tertarik lagi berusaha di bidang tanaman
kehutanan. Masyarakat lebih memilih komoditas sawit atau karet yang jauh lebih
menguntungkan.

5.4.3 Respon terhadap aturan-aturan dalam program HTR


Dari sejumlah aturan pada program HTR, tidak semua dapat dianalisis
respon dan penerimaannnya dari masyarakat. Aturan yang dapat dikaji terbatas
pada hal-hal yang umum dan penting untuk tahap awal pelaksanaan program.
Masyarakat responden diminta untuk menyampaikan responnya pada 2 aturan
program HTR yaitu mekanisme perijinan dan jenis tanaman.
(1) Mekanisme perijinan.
Mekanisme permohonan ijin yang diatur dalam Permenhut P.23/2007
melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29
langkah/kegiatan yang harus dilakukan (Nugroho 2009). Terhadap mekanisme
perijinan tersebut, petani yang telah tergabung dalam kelompok tani (kasus di
Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut) menyatakan belum mempunyai
pengalaman mengurus perizinan sampai ke tingkat Kabupaten. Namun demikian,
mereka merasa sudah terbiasa mengelola kegiatan dan membuat laporan.
Sementara di Provinsi Riau, masyarakat merasa kesulitan dengan berbagai
aturan perijinan yang cukup rumit. Di Kabupaten Gunungkidul, ketua kelompok
tani HTR menyatakan sanggup menempuh prosedur perizinan HTR, sedangkan
para anggota pada umumnya bersifat pasif dan menunggu tindakan dari
pemimpin atau tokoh masyarakat. Faktor yang menyebabkan para ketua
kelompok tani merasa mampu mengurus administrasi HTR karena adanya
kegiatan yang intensif dari pihak LSM dan adanya dukungan kuat dari para
tokoh warga.
(2) Jenis tanaman HTR
Peraturan mengenai jenis tanaman HTR ditetapkan dengan Peraturan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P. 06/VI-BPHT/2007 tanggal
7 Nopember 2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman
rakyat. Peraturan tersebut menetapkan jenis tanaman pokok untuk
pembangunan HTR terdiri dari tanaman hutan berkayu dan tanaman budidaya
tahunan berkayu. Tanaman hutan berkayu terdiri dari kayu pertukangan baik
dari jenis meranti, keruing, dan jenis-jenis non dipterocapaceae (jati, sengon,
126

sonokeling, mahoni, sungkai) serta kayu serat (eucaliptus, akasia, tusam dan
gmelina). Tanaman budidaya tahunan berkayu meliputi tanaman karet dan
tanaman buah-buahan.
Persentase jenis tanaman untuk pembangunan HTR ditetapkan sebagai
berikut : a) tanaman hutan berkayu dengan proporsi 70%, b) tanaman budidaya
tahunan berkayu dengan proporsi 30%. Dengan demikian maka tanaman karet
yang menjadi andalan masyarakat di Provinsi Riau dan Kalsel hanya boleh
ditanam sebanyak 30% dari jumlah total tanaman di HTR.
Peraturan tersebut membuat minat masyarakat rendah untuk mengikuti
program HTR. Masyarakat di Riau dan Kalsel lebih memilih jenis tanaman
kelapa sawit atau karet karena alasan ekonomi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan key informan pengambil kebijakan,
keputusan pembatasan tanaman karet ditetapkan dengan pertimbangan bahwa
modal untuk menanam karet relatif lebih besar dibanding tanaman kehutanan.
Sementara itu, program HTR dimaksudkan untuk melaksanakan kegiatan
tanaman hutan dengan tidak menuntut ketersediaan modal yang tinggi.
Melihat respon masyarakat yang rendah, akibat tidak diperkenankannya
komoditas karet sebagai tanaman HTR, maka pengambil kebijakan di tingkat
pusat akhirnya melakukan revisi terhadap peraturan tersebut. Peraturan Dirjen
Bina Produksi Kehutanan P.06/2007 diperbaharui dengan Perdirjan P.06/2008
yang antara lain merubah ketentuan jenis tanaman. Jenis tanaman yang dapat
dikembangkan untuk HTR menurut Perdirjen P.06/2008 terdiri dari tanaman
pokok dan tanaman tumpangsari. Tanaman pokok adalah tanaman berkayu
(pohon) yang dapat ditanam sejenis atau berbagai jenis, antara lain dari
kelompok jenis meranti, keruing, non dipterocarpa, dan kelompok Multi Purpose
Tree Species (MPTS). Peraturan tersebut menempatkan karet sebagai salah
satu jenis tanaman MPTS. Dengan demikian, karet dapat ditanam dalam
persentase 100% di lahan HTR bersamaan dengan tanaman tumpangsari.
Dari uraian mengenai respon masyarakat terhadap peraturan menyangkut
jenis tanaman HTR diperoleh bukti yang memperkuat bahwa proses perumusan
kebijakan HTR tidak mengikuti model linier (Sutton 1999). Peraturan mengenai
jenis tanaman HTR terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi
Kehutanan No.P.6/VI-BPHT/2007 yang kemudian diubah dengan Perdirjen
No.P/06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman.
Peraturan Direktur Jenderal No. 6 tahun 2007 menetapkan bahwa tanaman
127

karet hanya diperbolehkan ditanam sebanyak 30%. sedangkan pada Perdirjen


2008 karet bisa ditanam sebagai tanaman pokok hingga 100%.
Perubahan aturan jenis tanaman menunjukkan bahwa para pengambil
kebijakan di pusat memperhatikan minat dan aspirasi masyarakat sasaran yang
pada umumnya lebih menyukai berusaha di bidang tanaman karet. Pihak
pengambil kebijakan cukup memahami bahwa jika aturan mengenai jenis
tanaman hutan rakyat terlalu ketat, maka respon masyarakat untuk mengikuti
program HTR akan rendah.
Fenomena ini tidak sejalan dengan pendapat Bromley & Cernea (1989)
yang menyatakan bahwa proses assesment atau evaluasi kebijakan melalui
tahapan hirarkis mulai dari level pengambilan keputusan hingga operasionalisasi
di lapangan. Pada kasus ini, evaluasi telah terjadi sebelum tahap
operasionaliasasi sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini lebih sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa kebijakan bukanlah
sebuah proses linier yang secara teratur melalui tahapan demi tahapan awal
hingga akhir proses. Sutton, menyatakan bahwa antara proses perumusan
kebijakan dengan implementasi tidak dapat dipisahkan. Telah banyak bukti
yang mendukung bahwa proses ini terjadi secara acak (chaotic prosedur) yang
didominasi oleh banyak aspek baik politik maupun tekanan praktek sosial
budaya.
Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa perumusan kebijakan Hutan
Tanaman Rakyat dilakukan dengan menerapkan model Incrementalis.
Perubahan kebijakan dilakukan tahap demi tahap. Pengambil kebijakan
mempertimbangkan sejumlah kecil alternatif untuk menyelesaikan masalah dan
cenderung untuk memilih alternatif yang sedikit berbeda dari kebijakan
sebelumnya (Sutton 1999).

5.4.4 Analisis Finansial Jenis Tanaman


Analisis finansial jenis-jenis tanaman kehutanan yang direkomendasikan
untuk dikembangkan sebagai tanaman HTR perlu dilakukan untuk mengkaji
aspek kelayakan usaha Jenis tanaman yang direkomendasikan pada kegiatan
HTR adalah jenis fast growing species. Dalam analisis ini kelompok fast growing
species diwakili oleh jenis tanaman akasia (Acacia mangium). Jenis tanaman
yang tidak termasuk fast growing species diwakili oleh tanaman jati dimana daur
tanaman lebih dari 20 tahun. Jenis tanaman jati perlu dikaji analisis
128

kelayakannya, mengingat petani HTR di Gunungkidul menempatkan jati sebagai


tanaman andalan pada lahan HTR Tanaman karet pada awalnya tidak termasuk
dalam jenis yang direkomendasikan. Akan tetapi terjadi perubahan aturan
dengan mempertimbangkan minat masyarakat yang tinggi, maka karet menjadi
salah satu jenis tanaman yang dapat dikembangkan dalam kegiatan HTR.
Perbandingan analisis finansial dilakukan dengan parameter Benefit Cost
Ratio (BCR) dan Interest Rate of Raturn (IRR) (Gittinger 1986). Kedua
parameter tersebut merupakan standar yang dapat dirujuk untuk
membandingkan tingkat kelayakan usaha. Pada umumnya nilai NPV juga
digunakan sebagai standar analisis kelayakan sebuah usaha. Akan tetapi dalam
hal ini nilai NPV tidak dapat digunakan sebagai parameter yang baik.
Pertimbangannya karena nilai NPV sangat tergantung pada dimensi waktu dan
besaran tingkat suku bunga yang digunakan. Jika terdapat perbedaan waktu
analisis, maka akan terjadi perbedaan komponen harga dan biaya, serta tingkat
suku bunga. Hal ini menyebabkan nilai NPV yang dihasilkan dari setiap analisis
menjadi tidak tepat untuk diperbandingkan satu dengan lainnya. Sementara itu
nilai BCR dan IRR merupakan nilai indeks atau proporsi, sehingga nilai yang
diperoleh menunjukkan parameter yang universal tanpa dipengaruhi oleh adanya
perbedaan tingkat suku bunga yang digunakan.
Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara pendapatan
yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan selama masa daur tanaman.
Nilai BCR lebih dari 1 menunjukkan bahwa usaha tanaman merupakan kegiatan
yang layak dilakukan, sebaliknya jika nilai BCR kurang dari 1 berarti kegiatan
usaha tidak layak dilakukan. BCR berarti setiap penambahan biaya 1 satuan
akan memberikan keuntungan sebesar proporsi yang ditunjukkan oleh nilai BCR
tersebut. Rasio Benefit terhadap Cost tidak terpengaruh oleh skala proyek,
misalnya proyek yang biaya serta benefitnya dua kali lebih besar daripada proyek
lain, menghasilkan NPV dua kali lebih besar juga, sedangkan nilai Net B/C tidak
akan berubah.
Sementara itu nilai Interest Rate of Return merupakan ukuran dimana
kegiatan usaha layak dilakukan jika suku bunga yang berlaku dalam ekonomi
global berada pada tingkat yang tidak lebih dari angka yang ditunjukkan oleh nilai
IRR. Keuntungan utama dari digunakannya IRR ialah perhitungannya tidak
tergantung pada tingkat discount rate sosial yang berlaku atau dengan kata lain
discount rate sosial tidak masuk dalam rumus IRR. Nilai IRR merupakan suatu
129

dicount rate khusus, yaitu discount rate yang membuat NPV sama dengan nol,
Dalam konteks tersebut tidak ada hubungan dengan discount rate yang dihitung
berdasarkan data di luar proyek sebagai social oppurtunity cost faktor produksi
modal yang berlaku dalam masyarakat. Mengingat perhitungan IRR tidak
tergantung pada discount rate sosial, maka kriteria IRR dapat dipergunakan
sebagai indeks pengurutan dua atau lebih proyek (Gittinger 1986).
Hasil analisis finansial dari jenis-jenis tanaman HTR kemudian
dibandingkan dengan analisis finansial dari komoditas sawit. Perbandingan ini
dilakukan untuk melihat tingkat kelayakan antara jenis tanaman HTR dengan
kelapa sawit (Tabel 21)
Tabel 21 Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR
No Jenis Tanaman BCR IRR (%)
Tanaman HTR
1 Akasia (Acacaia mangium) 1,38 14,5
2 Jati (Tectona grandis) 1,50 23,0
3 Karet (Hevea braziliensis) 1,05 27,4
Tanaman Non HTR
4 Kelapa Sawit (Euleis guinensis Jacq) 1,18 18,92
Ket :
Analisis finansial akasia dilakukan oleh FAO terhadap usaha HTI akasia. Analisis kelapa
sawit dengan pola kemitraan dengan harga TBS Rp 900 pada lahan gambut. Analisis
finansial karet dengan skenario harga turun 18% pada tingkat suku bunga 18% (Anwar C 2006).,
Analisis finansial jati rakyat dengan tingkat suku bunga 18%

Hasil analisis di Tabel 21 menunjukkan bahwa secara keseluruhan


kegiatan usaha tanaman baik akasia, jati, karet, maupun kelapa sawit merupakan
usaha yang layak untuk dijalankan. Hal ini terlihat dari nilai BCR lebih dari satu.
Nilai BCR tertinggi ditunjukkan oleh analisis finansial pada jenis jati dengan nilai
1,50. Ini berarti bahwa pada usaha tanaman jati rakyat, setiap penambahan
biaya satu satuan rupiah akan menghasilkan keuntungan (benefit) sebesar 1,50
terhadap setiap satuan biaya yang ditambahkan. Sementara itu nilai BCR yang
peling kecil ditunjukkan oleh jenis tanaman karet yaitu sebesar 1,05. Analisis
finansial pada tanaman sawit menghasilkan nilai BCR 1,18 lebih kecil
dibandingkan dengan nilai BCR tanaman akasia sebesar 1,38. Ini berarti bahwa
kegiatan usaha hutan tanaman lebih menguntungkan dibanding dengan usaha
tanaman sawit.
Berdasarkan parameter nilai IRR dapat diketahui bahwa nilai IRR yang
paling besar ditunjukkan pada usaha tanaman karet sebesar 27,4%, sedangkan
130

yang paling rendah dihasilkan dari tanaman akasia yaitu sebesar 14,5%.
Sementara itu analisis IRR terhadap jenis tanaman jati dan sawit masing-masing
sebesar 23% dan 18,92%.
Parameter IRR menunjukkan tingkat suku bunga yang dapat menyebabkan
pendapatan bersih sekarang atau NPV (Net Present Value) sebesar nol. Pada
usaha tanaman karet dengan nilai IRR 27,4% berarti bahwa bisnis tanaman karet
akan memberikan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan jika tingkat
suku bunga yang berlaku sebesar 27,4%. Sementara ini, kebijakan pemerintah
Indonesia saat ini menetapkan suku bunga bank yang ditanggung oleh Lembaga
Penjamin Simpanan adalah sebesar maksimal 10,5% untuk Bank Perkreditan
Rakyat dan 7% untuk Bank Umum (http://www.lps.go.id/v2/ home.php? link= tingkat-
bunga). Nilai IRR tanaman karet berada di atas suku bunga pinjaman yang
berlaku maka usaha tanaman karet layak dilakukan, karena berada jauh di atas
nilai suku bunga yang berlaku. Sebuah kegiatan usaha menjadi tidak layak
dilakukan ketika nilai IRR yang dihasilkan dari hasil analisis finansialnya berada
di bawah level suku bunga yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian,
mengacu pada suku bunga LPS maksimal 10,5% berarti bahwa seluruh kegiatan
usaha baik sawit, jati, karet, maupun akasia berada pada tingkat layak
dijalankan.
Berdasarkan perhitungan analisis finansial ditunjukkan bahwa usaha hutan
tanaman jenis akasia, jati maupun karet merupakan kegiatan yang layak dan
menguntungkan, namun minat masyarakat masih rendah untuk berusaha di
bidang ini. Masyarakat pada umumnya masih memiliki minat yang tinggi
terhadap usaha tanaman sawit. Faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah
karena faktor dukungan pasar yang memadai untuk usaha sawit. Sedangkan
untuk jenis tanaman kehutanan, masyarakat masih menghadapi kendala dalam
hal pemasaran produk hasil kayunya.
Faktor lain yang dipertimbangkan oleh masyarakat adalah masalah cash
flow atau aliran uang kas yang diterima oleh keluarga. Jenis tanaman kehutanan
merupakan sumber pendapatan jangka panjang. Hasil panen hanya diterima
sekali ketika panen di akhir daur. Sedangkan jenis tanaman karet dan sawit
memberikan hasil pendapatan rutin setiap dua mingguan bagi keluarga. Faktor
inilah yang menjadi alasan utama petani memilik komoditas sawit dan karet
dibandingkan jenis tanaman kehutanan.
131

Noor (2010) menunjukkan hasil perhitungan pendapatan petani pada


perkebunan sawit rakyat di Sumatera Utara. Hasil analisis tersebut menyatakan
bahwa setiap keluarga petani menerima penerimaan kotor dari usaha sawit
sebesar Rp.20.733.469/ha/tahun. Biaya yang diperlukan sebesar
Rp.5.656.531/ha/tahun. Dengan demikian pendapatan setiap keluarga dari 1 ha
kebun sawit sebesar Rp.15.076.938. Pendapatan ini rutin diterima setiap tahun
dan menjadi sumber utama pendapatan keluarga untuk menjalankan kehidupan
mereka sehari-hari.

5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan


Berdasarkan deskripsi di atas dapat diidentifikasi kondisi implementasi
kebijakan HTR dan respon para pemangku kepentingan di 3 lokasi penelitian
(Tabel 22).
Tabel 22 Analisis kondisi implementasi dan respon daerah
Aspek Riau Kalsel DIY
Sumberdaya Hutan
%HP terhadap luas wilayah 23,82% 18% 4,4%
Lokasi pencadangan 25.580 ha 29.758 ha 322,73 ha
IUPHHK HTR - - 84,40 ha
Masyarakat
Kegiatan budidaya budidaya sawit budidaya sawit Budidaya jati
tanaman oleh masyarakat budidaya karet budidaya karet
Respon Masyarakat Kurang berminat Berminat Berminat
Faktor pendorong - Kebutuhan lahan Kebutuhan lahan
Di masyarakat Sudah ada pengalaman Budidaya jati telah
menanam kayu-kayuan menjadi budaya,
Ada potensi pasar kayu tanaman jati sebagai
melalui kemitraan sumber tabungan
Faktor kendala -pengalaman buruk Jenis tanaman karet Ketergantungan pada
Di masyarakat menanam sengon lebih disukai dibanding fasilitasi pendampingan
-Budaidaya karet dan tanaman kehutanan
sawit lebih menarik
Pemerintah Daerah
Respon Pemda Kurang antusias Berminat Sangat Antusias
Faktor pendorong dalam - Visi pembangunan hutan Visi sebagai daerah
melaksanakan HTR untuk kesejahteraan model implementasi
masyarakat CBFM
Faktor penghambat untuk Keterbatasan lahan Tindak lanjut kegiatan Keterbatasan luas hutan
tindak lanjut kegiatan HTR hutan produksi yang menunggu kepastian produksi, diselesaikan
dapat dialokasikan fasilitas pendanaan dari dengan memanfaatkan
untuk HTR pemerintah pusat lahan AB untuk HTR

Winter (1990) menyatakan bahwa salah satu variabel kunci yang


menentukan keberhasilan implementasi kebijakan adalah respon para pemangku
kepentingan di daerah. Dari teori ini dikembangkan sebuah hipotesis yang
132

menyatakan bahwa implementasi kebijakan akan berhasil jika didukung dengan


adanya respon positif dari pelaku kebijakan di lapangan.
Data empiris dari lokasi penelitian menunjukkan bahwa hipotesis tersebut
dapat diterima. Pengalaman dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
membuktikan bahwa adanya respon yang antusias dari pihak Pemda
menyebabkan dapat terselenggaranya program HTR di DIY dengan baik.
Kendala keterbatasan lahan dapat diatasi dengan memanfaatkan potensi lahan
lainnya yang masih dapat dijadikan sebagai sasaran kegiatan HTR.
Pengalaman dari implementasi HTR di Provinsi Riau membuktikan antitesis
dari teori tersebut. Respon pemerintah daerah di Provinsi Riau dikategorikan
kurang berminat. Kondisi tersebut disebabkan karena adanya kendala
keterbatasan lahan hutan produksi yang dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR.
Selain itu di Provinsi Riau juga terjadi kesepakatan mengenai Rencana Tata
Ruang Wilayah (Riau Terkini 7 Jan 2010)*. Respon yang kurang positif dari
pemerintah daerah berdampak pada tersendatnya kegiatan implementasi HTR di
lapangan.
Kasus dari Provinsi Kalimantan Selatan merupakan hal yang unik. Pada
awalnya respon pemerintah daerah positif. Kegiatan HTR telah berjalan hingga
tahap penetapan areal lokasi pencadangan HTR. Akan tetapi proses
implementasi selanjutnya belum berjalan. Dari hasil kegiatan FGD di Provinsi
Kalsel dapat digali informasi bahwa pihak Pemda khususnya Dinas Kehutanan
Kabupaten Banjar, masih menunggu kejelasan program bantuan pinjaman kredit
modal bagi petani HTR. Mengingat program pinjaman kredit belum terealisasi,
maka kegiatan HTR di daerah tersebut juga belum dilaksanakan lebih lanjut.
Keberhasilan program HTR juga ditentukan oleh respon atau minat
masyarakat pelaku kebijakan. Minat masyarakat ditentukan oleh faktor ekonomi.
Dari perbandingan kondisi di wilayah penelitian, dapat dilihat bahwa minat
masyarakat terhadap suatu program sangat tergantung pada ada tidaknya
manfaat ekonomi yang dapat diperoleh. Hal ini sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Ekeh (1974) mengenai pertukaran sosial bahwa sebuah
hubungan sosial merupakan “pasar” interaksi antara self interest dengan upaya
pemaksimalan keuntungan. Dengan demikian masyarakat akan berpartisipasi
dalam suatu program, jika mereka merasa ada manfaat yang bisa diperoleh dari
keikutsertaan tersebut. Dalam hal ini manfaat yang paling dipertimbangkan oleh

* http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=27480 [30 Nov 2010]


133

masyarakat adalah manfaat ekonomi berupa pendapatan. Hal ini juga didukung
dengan kondisi yang ada di masyarakat petani HTR di kabupaten Gunungkidul.
Masyarakat berpartisipasi dalam program HTR karena ada dorongan kebutuhan
pemanfaatan lahan. Kesempatan memanfaatkan lahan HTR memberikan
peluang untuk memperoleh pendapatan.
Selain faktor ekonomi terdapat pula faktor sosial budaya masyarakat yang
ikut mempengaruhi terhadap berjalannya program hutan Tanaman Rakyat.
Program HTR pada awalnya diprioritaskan untuk pembangunan kawasan hutan
Log Over Area di luar Pulau Jawa. Akan tetapi pada pelaksanaannya di Pulau
Jawa terdapat juga areal HTR yaitu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
khususnya di Kabupaten Gunungkidul. Implementasi program HTR di kabupaten
Gunungkidul dapat dianggap lebih maju dibandingkan dengan lokasi lain yang
menjadi sampel penelitian di Provinsi Kalsel dan Provinsi Riau.
Faktor pendukung untuk terwujudnya implementasi program HTR di
kabupaten Gunungkidul, yaitu:
1. Kegiatan menanam pohon telah menjadi budaya masyarakat Gunungkidul,
sehingga setiap jengkal lahan dimanfaatkan untuk menanam pohon,
khususnya jati.
2. Adanya budaya patuh terhadap pimpinan yang sangat melekat erat dalam
nilai-nilai kehidupan sosial di masyarakat Yogyakarta, sehingga program-
program yang dibawa oleh pihak pamong praja relatif lebih mudah
dilaksanakan.
3. Adanya lembaga POKJA (Kelompok Kerja) Hutan Rakyat Lestari. Pokja
merupakan lembaga koordinasi di tingkat Kabupaten Gunungkidul yang
beranggotakan perwakilan dari dinas-dinas pemerintah, perwakilan dari
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan perwakilan dari tokoh atau elemen
masyarakat. Pokja memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dalam rangka
mendukung keberhasilan program pembangunan hutan rakyat di Kabupaten
Gunungkidul. Keberadaan Pokja ini menjadi faktor penggerak yang efektif
untuk terwujudnya pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan.
Keberadaan Pokja ini pula yang menjadi salah satu faktor pendukung
keberhasilan terselenggaranya kegiatan HTR di Kabupaten Gunungkidul.
Namun demikian, tidak berarti bahwa pelaksanaan kebijakan HTR di
Kabupaten Gunungkidul telah berhasil. HTR di Kabupaten Gunungkidul tidak
sesuai dengan filosofi awal kebijakan HTR. Pemerintah pusat merumuskan
134

kebijakan HTR sebagai bisnis usaha hutan tanaman yang dilakukan oleh
masyarakat di lahan hutan negara yang terdegradasi. Sementara itu kegiatan
HTR di Gunungkidul merupakan kegiatan hutan rakyat yang telah lebih dulu
berkembang di masyarakat. Aspek bisnis usaha hutan tanaman tidak
sepenuhnya tercapai karena kondisi masyarakat peserta HTR tidak sepenuhnya
mengelola hutan tanaman jati sebagai bisnis utama, melainkan sebagai
tabungan keluarga.
VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
Analisis kebijakan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan (Quade 1982). Guna mencapai tujuannya, maka analisis
kebijakan harus mampu menggambarkan dan mengevaluasi masalah di masa
lalu, sekaligus memperkirakan kondisi di masa datang. Oleh karena itu analisis
kebijakan harus bersifat deskriptif dan evaluatif (berhubungan dengan masa lalu),
sekaligus prediktif dan preskriptif (berhubungan dengan masa depan).
Sebagai sesuatu yang kompleks, maka kebijakan memiliki sistem yang di
dalamnya terdapat elemen yang saling terkait satu sama lain. Hal ini
mengharuskan dibangunnya sebuah analisis kebijakan yang terintegrasi (Dunn
2004). Berlandaskan pada pemikiran tersebut, maka pada bab keenam ini
disusun Model Konseptual Kebijakan HTR sebagai upaya memberikan preskripsi
bagi para penentu kebijakan. Model disusun dengan menggunakan pendekatan
soft system methodology guna memecahkan kompleksitas permasalahan.
Bab keenam terdiri dari 5 sub bab, yaitu : 1) Strukturisasi elemen untuk
mendapatkan sub elemen kunci dari setiap elemen yang dikaji; 2)
Pengembangan kebijakan; 3) Model konseptual kebijakan HTR; 4) Validasi
model dan prospektif dampak; serta 5) Implikasi Kebijakan.

Strukturisasi Elemen
Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat merupakan suatu sistem yang
kompleks. Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk
menganalisis keterkaitan antar elemen yang membentuk struktur model
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat. Metode ISM ditujukan untuk
mengidentifikasi peubah kunci serta faktor kekuatan penggerak (driver power)
masing-masing elemen serta struktur/hirarki elemen dalam model.
Hasil wawancara dengan pakar dan pengisian kuesioner yang dilakukan
berdasarkan teknik ISM menghasilkan adanya 5 elemen yang dianalisis, yaitu:
1) Lembaga yang berpengaruh
2) Kebutuhan akan pengelolaan HTR yang berkelanjutan
3) Tujuan
4) Kendala utama
5) Kegiatan yang diperlukan
136

Masing-masing elemen kemudian diuraikan menjadi beberapa sub elemen.


Dalam penelitian ini teridentifikasi 20 sub elemen lembaga yang terlibat, 10 sub
elemen kebutuhan akan pengelolaan HTR yang berkelanjutan, 9 sub elemen
tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan pengelolaan HTR berkelanjutan, 11 sub
elemen kendala utama, dan 9 sub elemen kegiatan yang diperlukan. Secara
total dalam sistem teridentifikasi 59 sub elemen.
Berdasarkan pengolahan matriks yang telah memenuhi kaidah transivitas
maka keluaran model struktural dari masing-masing elemen akan memberikan
gambaran hirarki dari masing-masing sub elemen. Informasi elemen kunci
diperoleh dari reachability matrix final. Keluaran model struktural dari masing-
masing elemen ditampilkan secara rinci pada uraian selanjutnya.

Elemen Lembaga yang Berpengaruh


Elemen lembaga yang terlibat dijabarkan menjadi 20 sub elemen seperti
ditampilkan pada Tabel 23. Analisis mengenai hubungan struktural antara
lembaga yang terlibat dalam HTR perlu dilakukan dengan ISM mengingat
implementasi HTR melibatkan berbagai lembaga dari lintas sektor, lintas
Kementerian, dan lintas level yaitu mulai dari pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten, hingga level desa. Kompleksitas lembaga pengelolaan Hutan
Tanaman Rakyat disebabkan karena pengelolaan HTR menyangkut pengelolaan
aspek tata ruang, ekologi sumberdaya lahan hutan, sosial masyarakat, ekonomi,
politik, maupun teknologi pendukung Oleh karena itu diperlukan analisis
hubungan diantara lembaga yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan
Hutan Tanaman Rakyat.
Hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan
antar peubah adalah hubungan peran dan keterlibatan. Struktur hirarki yang
dihasilkan dari analisis ISM disajikan pada Gambar 30. Untuk hasil analisis data
ISM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
137

Tabel 23 Elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR


No. Sub elemen
1. Ditjen Bina Produksi Kehutanan-Kementerian Kehutanan
2. Ditjen Bina Planologi- Kementerian Kehutanan
3. Kementerian Dalam Negeri
4. Kementerian Keuangan
5. Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
6. Pemerintah Provinsi (Gubernur dan jajaran Muspida Provinsi)
7. Pemerintah Kabupaten (Bupati dan jajaran Muspida Kabupaten)
8. Balai Pemantapan Kawasan Hutan-UPT Badan Planologi-Kementerian
Kehutanan
9. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
10. Dinas Kehutanan Provinsi
11. Dinas Kehutanan Kabupaten
12. Kelompok Tani/Koperasi
13. Aparat Pemerintahan Desa
14 Lembaga Keuangan Bank
15. Lembaga Keuangan Non Bank
16. Lembaga Swadaya Masyarakat
17. Lembaga Penelitian
18. Perguruan Tinggi
19. Perusahaan Hutan Tanaman (pemegang izin IUPHHK)
20. Industri Kayu

Gambar 30 Struktur sistem elemen lembaga yang berpengaruh dalam


pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
138

Struktur hirarki tersebut menunjukkan bahwa kelompok tani atau koperasi


di tingkat petani merupakan peubah kunci dalam pengelolaan Hutan Tanaman
Rakyat. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Chen et al. (2005) bahwa petani
merupakan kelompok yang paling penting dalam kegiatan pengelolaan hutan,
karena persepsi dan perilaku petani mempunyai pengaruh yang besar terhadap
keberhasilan program. Posisi pada elemen kunci memberikan arti bahwa sedikit
perubahan dari kelompok ini akan mengakibatkan perubahan yang besar pada
kelompok yang lainnya.
Pada level kedua, lembaga yang sangat berpengaruh adalah Badan
Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. BLU sebagai
penyedia modal melalui kredit HTR dinilai oleh para pakar sebagai lembaga yang
memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan program HTR. Hal ini karena
ketersediaan modal merupakan faktor penting untuk dapat terselenggaranya
kegiatan penanaman HTR. Kondisi ini berbeda dengan kegiatan pembangunan
hutan rakyat di lahan milik khususnya pengalaman dari Pulau Jawa.
Ketersediaan modal tidak menjadi faktor kunci untuk berlangsungnya kegiatan
hutan rakyat. Faktor kunci bagi pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa
adalah tersedianya pasar kayu yang dapat menampung hasil panen dari hutan
rakyat. Potensi pasar yang baik mendorong masyarakat menanamkan modalnya
secara mandiri untuk membangun hutan rakyat.
Kondisi di hutan rakyat milik seperti demikian, tidak dapat diterapkan pada
situasi yang dihadapi dari implementasi kebijakan HTR. Hal ini terjadi karena
prinsip dasar dari kebijakan HTR adalah pembangunan bisnis hutan tanaman
dengan dukungan modal dari pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara dengan
para pengambil kebijakan di tingkat pusat diketahui bahwa kebijakan bantuan
kredit modal, bukan merupakan satu-satunya sumber permodalan bagi
pembangunan HTR. Masyarakat diharapkan secara mandiri membangun HTR
melalui sumber modal yang lain, sementara kredit dana bergulir HTR dari BLU
hanya merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil. Namun demikian,
para pihak di lapangan memiliki persepsi bahwa bantuan kredit modal HTR
melekat dengan program HTRnya itu sendiri.
Dengan demikian dapat difahami adanya suatu hubungan sebab akibat
bahwa keterlambatan implementasi kegiatan HTR di lapangan disebabkan
karena faktor keterlambatan penyaluran bantuan kredit modal dari BLU. Proses
penyaluran kredit dari BLU Pusat P2H hingga tahun 2010 belum dapat
139

direalisasikan. Dana yang tersedia sebesar 2,6 Trilyun Rupiah masih berada di
BLU dan belum sampai kepada masyarakat petani HTR. Pemanfaatan dana
BLU Kehutanan dimulai pada tahun 2007 dengan terbitnya Surat Keputusan
Menteri Keuangan No. 137/KMK.05/2007 tanggal 1 Maret 2007 tentang
Penetapan Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (Santoso 2010).
Pada Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan dana BLU
akan dibatalkan jika dalam tiga tahun tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan sesuai perundang-undangan. Dengan demikian, pada bulan Maret
2010 pemerintah akan menarik kembali dana BLU senilai Rp 2,6 Trilyun untuk
dimasukan ke dalam rekening Kementerian Keuangan. Akan tetapi mengingat
pentingnya peran ketersediaan dana bagi pembangunan hutan tanaman maka
pemerintah menetapkan bahwa pelaksanaan program dana bergulir akan
diperpanjang sampai tiga tahun ke depan (http://klasik.kontan.co.id).
Alasan belum terealisasinya penyaluran kredit HTR menurut Menteri
Kehutanan karena hambatan administrasi. Kebijakan awal tahun anggaran 2009
tentang penundaan pagu sebesar 15% dan pemotongan pagu departemen
sebesar 10% berpengaruh pada persiapan pelaksanaan beberapa kegiatan
termasuk kegiatan BLU P2H untuk pembangunan HTR dan percepatan Hutan
Tanaman Industri. Selain itu proses pemindahbukuan dana BLU juga terhambat
karena menunggu peraturan Menteri Keuangan tentang pengelolaan dana
bergulir.
Alasan lain yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal BPK adalah
beberapa hal berikut :
1. Penyaluran dana kredit HTR terbentur persoalan administratif berupa
perubahan aturan penyaluran dana perbankan yang sebelumnya ditunjuk
sebagai agen channeling diubah menjadi executing. Perubahan ini
dimaksudkan untuk menutup jalan broker yang akan memanfaatkan dana
tersebut.
2. Keterbatasan kapasitas sumber daya pada BLU P2H yang baru didirikan
tahun 2008. BLU P2H belum memiliki petugas lapangan dan sumberdaya
yang dimiliki sangat terbatas. Berbeda dengan bank yang telah memiliki
kantor hingga ke pelosok. Oleh karenanya dana yang berada di BLU akan
diserahkan kepada bank yang bertindak sebagai executing agent. Bank
tersebut memiliki kewajiban untuk menyalurkan dana BLU untuk kelompok
140

masyarakat dan bertanggungjawab atas pengembalian dana tersebut ke kas


negara.
3. Jumlah Izin Usaha HTR yang dikeluarkan juga masih sangat terbatas. Izin
usaha ini menjadi kewenangan Bupati untuk mengeluarkannya.
Kendala yang dihadapi dalam realisasi penyaluran dana kredit HTR
adalah persyaratan formal yakni rekomendasi dari pemerintah daerah setempat.
Proposal pengajuan pinjaman kredit telah banyak diajukan kepada BLU Pusat
P2H, akan tetapi sebagian besar tidak memenuhi persyaratan seperti yang telah
ditetapkan dalam peraturan. Adapun peraturan mengenai syarat-syarat
pengajuan pinjaman/kredit ke BLU tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.9/Menhut-II/2008 tanggal 24 Maret 2008 tentang Persyaratan Keompok
Tani Hutan untuk mendapatkan Pinjaman dana bergulir pembangunan Hutan
Tanaman Rakyat. Permenhut ini dijabarkan lebih rinci dalam Peraturan Kepala
Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan No. P.01/Pusat P2H-1/2009 tanggal 10
Juni 2009 tentang Petunjuk teknik pemberian pinjaman dana bergulir untuk
pembiayaan pembangunan hutan tanaman oleh Pusat P2H selaku pelaksana
pengguliran dana.
Faktor kredit ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya
implementasi kegiatan HTR di lapangan. Masyarakat belum dapat
melaksanakan penanaman karena belum adanya dukungan modal untuk
menanam hutan. Adapun beberapa lokasi dimana kegiatan HTR telah berjalan,
adalah masyarakat yang membangun HTR dengan sumber dana dari pihak lain.
Di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, kegiatan HTR telah berjalan karena
lokasi yang dijadikan areal HTR sebelumnya telah berupa areal hutan rakyat,
sehingga di lahan tersebut telah ditumbuhi tegakan hutan dengan jenis tanaman
jati yang ditanam oleh masyarakat secara swadaya.
Lembaga lain yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
pada umumnya berada pada level ketiga. Pada posisi ini terdapat 13 lembaga,
yaitu : 1) Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2) Badan Planologi 3)
Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Bupati dan jajaran Muspida 4) BPKH 5)
BP2HP 6) Dinas Kehutanan Provinsi 7) Dinas Kehutanan Kabupaten 8)
pemerintah desa 9) lembaga swadaya masyarakat 10) lembaga penelitian 11)
perguruan tinggi 12) perusahaan HTI, dan 13) Industri kayu. Peran dan
keterlibatan masing-masing lembaga tersebut dapat dianggap setara, meskipun
masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berlainan.
141

Adapun pada level yang terakhir terdapat 5 lembaga, yaitu :


1) Kementerian Dalam Negeri 2) Kementerian Keuangan 3) Pemerintah Provinsi
4) Lembaga Keuangan Bank, dan 5) Lembaga Keungan Non Bank. Kondisi ini
menunjukkan bahwa pakar menganalisis berdasarakan situasi nyata di lapangan
bahwa kelima lembaga tersebut memiliki peran yang kurang nyata terhadap
pengelolaan HTR. Meskipun sesungguhnya kelima lembaga tersebut memiliki
arti penting bagi pelaksanaan kebijakan HTR di lapangan. Peran Kementerian
Dalam Negeri sangat penting untuk mengkoordinasikan pemerintah daerah
dalam pelaksanaan kebijakan HTR. Kementerian Keuangan sangat
berhubungan dengan proses penyediaan dana di BLU P2H, demikian juga
lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Sementara itu Pemerintah
Provinsi meskipun dalam struktur pelaksanaan kegiatan HTR tidak terlalu
dominan, akan tetapi peran Pemerintah Provinsi masih sangat relevan dalam hal
koordinasi dengan Pemerintah daerah di tingkat kabupaten.
Gambar 31 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen
berdasarkan driver power dan dependence.

Gambar 31 Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang
berpengaruh dalam pengelolaan HTR

Berdasarkan nilai driver power dan dependence maka dua puluh lembaga
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 sektor. Sub elemen yang termasuk
dalam kuadran independent adalah kelompok tani. Adapun sub elemen
lembaga yang terdapat dalam kuadran dependent adalah : 1) Kementerian
142

Dalam Negeri, 2) Kementerian Keuangan, 3) Pemerintah daerah Provinsi dalam


hal ini jajaran Muspida Provinsi, tetapi tidak termasuk Dinas Kehutanan Provinsi
4) Lembaga Keuangan Bank, 5) Lembaga Keuangan Non Bank. Sedangkan
kelompok sub elemen yang berada dalam kuadran linkage meliputi semua
lembaga yang berada pada level ketiga dalam struktur hirarki lembaga.
Berdasarkan matriks tersebut, tidak ada sub elemen yang termasuk dalam
kuadran autonomous.
Sub elemen kelompok tani berada pada kuadran IV yang berarti bahwa
sub elemen tersebut merupakan peubah bebas (independent). Kelompok tani
memiliki faktor penggerak yang kuat untuk berjalannya kegiatan HTR dan
posisinya merupakan sub elemen yang tidak dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Artinya bahwa intervensi kebijakan pemerintah harus difokuskan pada kelompok
independent tersebut. Tindakan intervensi kebijakan pada kelompok ini akan
memberikan dampak bagi perbaikan sub elemen lain yang bersifat dependent.
Hal ini berarti bahwa kelompok tani yang menjadi sasaran program HTR harus
mendapat perhatian penuh dari pihak pengambil kebijakan. Pemerintah harus
memberikan fokus perhatian pada motivasi petani untuk berpartisipasi dalam
program HTR, karena tingkat partisipasi kelompok dalam kegiatan HTR sangat
menentukan keberhasilan program. Hubungan antara partisipasi petani atau
kelompok tani terhadap keberhasilan program pembangunan telah banyak
dibuktikan oleh para peneliti (Pertev tanpa tahun; Mulyana 2001; Muray-Rust et
al. 2001). Kelompok tani tidak akan berminat mengikuti program HTR jika
mereka menganggap bahwa kegiatan ini dinilai tidak menarik. Petani akan lebih
memilih kegiatan atau program pemerintah yang memberikan hasil nyata dan
menguntungkan. Implikasinya kebijakan pemerintah harus dapat merangsang
minat petani untuk berpartisipasi menjadi peserta HTR dengan insentif finansial
yang cukup menguntungkan.

6.1.2 Elemen Kebutuhan


Elemen kebutuhan menunjukkan faktor-faktor yang menjadikan program
HTR dipandang perlu untuk dilaksanakan. Elemen kebutuhan terhadap
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat diuraikan menjadi 10 sub elemen seperti
yang ditampilkan pada Tabel 24. Struktur hirarki dari masing-masing sub elemen
disajikan pada Gambar 32 Sedangkan Gambar 33 menunjukkan klasifikasi
masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Hasil
143

pengolahan analisis data menggunakan metode ISM pada dilihat pada


Lampiran 7.

Tabel 24 Elemen kebutuhan terhadap program pengelolaan HTR


No Sub elemen
1. Peningkatan suplai bahan baku kayu untuk industri
2. Peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi
3. Pemantapan kawasan hutan negara
4. Perluasan kesempatan kerja
5. Keberlanjutan industri hasil hutan
6. Keseimbangan ekosistem
7. Perekonomian nasional yang tangguh
8. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
9. Peran serta masyarakat dalam mengelola hutan produksi
10. Kontribusi ekonomi HTR bagi pembangunan daerah

Gambar 32 Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR


144

Gambar 33 Matriks driver power-dependence sub elemen pada elemen


kebutuhan terhadap HTR

Struktur hirarki elemen terdiri dari 4 tingkat. Peubah kunci terdiri dari 2 sub
elemen, yaitu : 1) produktivitas lahan terdegradasi dan 2) keseimbangan
ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk terselenggaranya
program HTR disebabkan karena adanya tuntutan peningkatan produktivitas
lahan hutan yang telah terdegradasi dan dalam rangka untuk menjaga
keseimbangan ekosistem.
Gambar 34 menunjukkan posisi setiap sub elemen dalam matriks driver
power dan dependency. Hasil pemetaan sub elemen dalam matriks
menunjukkan sebaran posisi pada 3 kuadran yaitu independent, linkage, dan
dependent. Rincian sub-elemen yang termasuk dalam setiap kuadran disajikan
pada Tabel 25.
Tabel 25 Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR
Kategori Sub elemen
No Uraian
Independent 2 Peningkatan produktivitas lahan terdegradasi
6 Keseimbangan ekosistem
8 Peningkatan kesejahteraan masyarakat
9 Peran serta masyarakat
Linkage 1 Peningkatan suplai bahan baku industri
4 Perluasan lapangan kerja
5 Keberlanjutan industri kayu
Dependent 3 Pemantapan kawasan hutan negara
7 Perekonomian nasional yang mantap
10 Kontribusi HTR untuk perekonomian daerah
145

Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap program


HTR diawali oleh kebutuhan akan adanya pemanfaatan lahan hutan terdegradasi
dan kebutuhan akan keseimbangan ekosistem lingkungan. Hasil ini sejalan
dengan pendapat Bromley (2007) yang menyatakan bahwa dalam rangka
mewujudkan pembangunan berkelanjutan harus ada perhatian terhadap aspek
ekologi sehingga dapat diupayakan terciptanya keseimbangan lingkungan hidup.
Salim (1993) menyatakan bahwa hutan dengan berbagai komponen di
dalamnya merupakan sumber alam yang berperan dalam pembangunan. Hutan
mempunyai berbagai fungsi, diantaranya sebagai suber penyimpan dan pengatur
air, sumber plasma nutfah tumbuhan dan hewan, pengatur iklim, pemelihara
kesuburan anah, sumber energi dan lainnya. Fungsi-fungsi ini sangat diperlukan
untuk mendukung pembangunan sektoar lain, seperti sektor pertanian,
peternakan maupun perikanan, sehingga perubahan fungsi hutan akan
mempengaruhi sektor tersebut. Oleh karenanya kebutuhan akan aspek ekonomi
nasional dari kontribusi HTR merupakan kebutuhan berikutnya yang dapat
terpenuhi jika kebutuhan pada level elemen kunci telah tercapai.
Pada saat lahan hutan yang terdegradasi dapat dimanfaatkan hingga
produktivitasnya meningkat maka akan mendukung terciptanya keseimbangan
ekosistem. Hal ini berkaitan erat dengan peran serta masyarakat dalam
memanfaatkan lahan hutan melalui dibukanya kesempatan mengelola lahan
melalui perizinan usaha hutan tanaman. Kegiatan ini berarti membuka
kesempatan berusaha dan bekerja di sektor hutan tanaman, yang pada
gilirannya akan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

6.1.3 Elemen tujuan


Tujuan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat seperti yang dimandatkan
dalam peraturan perundangan adalah untuk meningkatkan produktivitas kawasan
hutan terdegradasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Selain aspek legal, penetapan tujuan pengelolan HTR memerlukan legitimasi dari
pihak-pihak yang berkepentingan agar tercipta dukungan untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan
konsultasi pakar, elemen tujuan pengelolaan HTR dijabarkan menjadi sembilan
sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 26.
146

Tabel 26 Elemen tujuan pengelolaan HTR


No. Sub elemen
1. Meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi
2. Meningkatnya peluang bekerja dan berusaha
3. Meningkatkan produksi kayu dari hutan tanaman
4. Terjaminnya kepastian kawasan hutan
5. Meningkatnya kapasitas kelompok tani/koperasi
6. Terjaminnya pasokan bahan baku kayu untuk industri
7. Peningkatan pendapatan daerah
8. Terpeliharanya fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah
dan kestabilan iklim
9. Meningkatkan pendapatan petani HTR
Hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan
antar peubah tujuan adalah hubungan pengaruh, yaitu suatu tujuan akan
membantu tercapainya tujuan yang lain. Struktur hirarki dari dalam elemen yang
menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan pada Gambar 34,
sedangkan Hasil analisis data ISM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Gambar 34 Struktur hirarki elemen tujuan


147

Struktur hirarki elemen tujuan terdiri dari empat tingkat. Terpeliharanya


fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah, dan kestabilan iklim
serta meningkatkan kapasitas kelompok tani hutan tanaman rakyat merupakan
peubah kunci dari elemen tujuan. Peubah kunci ini menjadi penggerak utama
dan mempengaruhi peubah pada tingkat berikutnya.
Pengklasifikasian sub elemen tujuan pengelolaan didasarkan pada driver
power dan dependence (Gambar 35) menunjukkan bahwa yang termasuk ke
dalam peubah independent adalah peningkatan produktivitas lahan hutan,
peningkatan peluang berusaha, peningkatan kapasitas petani, meningkatkan
fungsi hidrologi dan meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Peubah-
peubah tersebut memiliki faktor pendorong yang kuat. Sedangkan peubah
lainnya dikategorikan sebagai peubah dependent dengan tingkat penggerak
yang lemah dan ketergantungan yang tinggi terhadap tujuan yang lain.

Gambar 35 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan

Berdasarkan hasil analisis ISM tersebut, peubah kunci dalam model


pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat, yang meliputi : 1) meningkatkan fungsi
hidro-ekologis dari lahan hutan terdegradasi dan 2) meningkatan kapasitas
kelompok tani merupakan landasan untuk mencapai tujuan lainnya.
Terpeliharanya fungsi hidro-ekologi akan mendukung produktivitas lahan hutan
yang telah terdegradasi. Sementara itu, kapasitas kelompok yang kuat akan
mendukung terselenggaranya usaha HTR yang berkelanjutan. Pengelolaan HTR
akan mencapai hasil yang baik jika didukung dengan lembaga kelompok yang
kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Bebbington et al. (2005) yang
menyatakan bahwa kapasitas kelompok merupakan salah satu syarat dalam
pengembangan ekonomi lokal.
148

6.1.4 Elemen Kendala Utama


Elemen kendala utama pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat yang
dijabarkan menjadi 11 sub elemen seperti ditampilan pada Tabel 27. Hubungan
kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah
kendala utama adalah hubungan pengaruh, yaitu eliminasi suatu kendala utama
akan membantu mengurangi kendala yang lainnya. Struktur hirarki dari elemen
yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan dalam
Gambar 36. Gambar 37 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen
berdasarkan driver power dan dependence. Sedangkan hasil analisis data ISM
dapat dilihat pada Lampiran 9.

Tabel 27 Sub elemen kendala utama pengelolaan HTR

No. Sub elemen


1 Kurangnya koordinasi antar sektor dalam pengelolaan HTR
2. Lemahnya dukungan kebijakan dari sektor lain
3. Interest pemerintah daerah yang rendah terhadap program HTR
4. Penyaluran kredit modal yang rendah dari BLU P2H
5. Rendahnya minat petani terhadap usaha tanaman hutan
6. Kurangnya kegiatan pendampingan
7. Rendahnya kapasitas organisasi/kelompok tani
8 Rendahnya kapasitas petani
9. Kurangnya pemahaman pemerintah daerah terhadap kebijakan HTR
10. Terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam implementasi HTR
11. Rendahnya dukungan LSM
149

Gambar 36 Struktur hirarki sistem elemen kendala utama

Gambar 37 Matriks driver power-dependence sub elemen kendala utama


150

Hasil pengelompokan 11 elemen kendala utama menunjukkan adanya 4


elemen yang berada dalam posisi linkage, 4 elemen pada posisi independent
dan 3 elemen pada posisi dependent. Pada analisis ini tidak terdapat sub
elemen yang berada pada kuadran autonomous. Artinya semua elemen yang
teridentifikasi sebagai kendala tujuan merupakan benar-benar permasalahan
yang terkait dalam sistem.
Keempat elemen yang berada pada posisi independent adalah elemen
yang menjadi kunci pada struktur hirarki kendala utama. Keempat elemen
tersebut adalah : 1) kurangnya koordinasi antar sektor 2) Terlambatnya
penyaluran kredit dari BLU P2H untuk permodalan pembangunan HTR 3)
Kurangnya kegiatan pendampingan, dan 4) Rendahnya kapasitas Kelompok
Tani. Keempat elemen tersebut memiliki faktor penggerak yang tinggi untuk
berlangsungnya kegiatan HTR. Oleh karenanya perlu diperhatikan dengan serius
oleh para pengambil kebijakan untuk segera ditangani dengan alternatif
kebijakan yang sesuai. Upaya untuk mengeliminasi kendala yang terdapat pada
posisi ini akan menjadi langkah penting untuk dapat mengatasi kendala-kendala
lainnya.
Elemen yang terletak pada kuadran dependent adalah :1) minat
masyarakat yang rendah terhadap kegiatan HTR, 2) rendahnya kapasitas petani
dan 3) kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terkait terhadap
kebijakan HTR. Sub elemen yang terdapat pada kuadran dependent memiliki
tingkat dependency atau ketergantungan yang tinggi terhadap elemen lainnya
akan tetapi driver-factor atau tingkat penggeraknya rendah. Oleh karena
dependency yang tinggi maka ketiga elemen ini bukan merupakan prioritas
utama untuk ditangani, karena jika elemen kendala lain lebih dulu dipecahkan,
maka akan berdampak pada elemen di kuadran dependence ini.
Sementara itu, kendala utama yang terdapat pada kuadran linkage
adalah : 1) lemahnya dukungan kebijakan dari sektor lain 2) perhatian
pemerintah daerah yang rendah terhadap pelaksanaan kebijakan HTR
3) kapasitas pemerintah derah yang belum memadai untuk melaksankan
kebijakan HTR, dan 4) kurangnya dukungan LSM di daerah untuk mendorong
implementasi kegiatan HTR. Kuadran linkage adalah posisi dimana sub elemen
yang berada di dalamnya memiliki kekuatan penggerak tinggi dan memiliki
ketergantungan yang sangat erat dengan sub-sub elemen lain. Oleh karena itu
151

sub elemen pada kuadran ini menjadi faktor yang harus mendapat penanganan
serius.
Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti bahwa
kendala utama dalam mewujudkan pengelolaan HTR adalah 1) kurangnya
koordinasi antar sektor 2) aspek permodalan untuk pembangunan HTR 3)
lemahnya kapasitas kelompok dalam mewujudkan kegiatan HTR yang berkaitan
dengan kurangnya kegiatan pendampingan oleh pihak lain.
Koordinasi antar sektor di level pemerintah pusat hingga pemerintah
daerah merupakan peubah kunci yang penting. Peubah ini menjadi penggerak
utama bagi perbaikan implementasi kebijakan HTR. Koordinasi perlu dilakukan
di level pemerintah pusat, yaitu antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Dalam Negeri. Hal ini karena kegiatan sektor HTR dilimpahkan kewenangan
pengaturannya kepada Pemerintah Kabupaten. Sehingga dukungan dari level
pemerintah pusat di Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan, agar
kebijakan HTR mendapat perhatian dan ditempatkan sebagai salah satu program
penting dalam pembangunan daerah.
Permasalahan koordinasi juga menjadi kendala utama dalam
pembangunan berbagai bidang, diantaranya pengelolaan DAS (Karyana (2007)
dan pengelolaan Taman Nasional (Prasetyo 2010). Sebagai sebuah konsep,
pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah
proses nyata, koordinasi cenderung menjadi slogan yang mudah diucapkan
namun sulit diimplementasikan dan menjadi penyebab bagi kegagalan berbagai
institusi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Karyana 2007).
Koontz et al. (984) mendefinisikan koordinasi sebagai metoda pencapaian
keselarasan dari usaha individu dan kelompok/organisasi ke arah pencapaian
maksud atau tujuan kelompok/organisasi. Malone dan Crowton (1993)
mendefinisikan koordinasi sebagai proses mengelola saling ketergantungan
(managing dependencies) antar berbagai aktivitas. Koordinasi bisa terjadi pada
setiap sistem, seperti sistem manusia, sistem organisasi, sistem biologi dan
lainnya. Definisi di atas tampaknya sederhana, namun mengandung implikasi
yang sangat dalam. Kegagalan dalam koordinasi disebabkan karena kegagalan
di dalam membangun konstruksi tujuan organisasi. Koordinasi membutuhkan
perukaran informasi yang intensif antar semua pihak untuk mengkonfirmasikan
sejumlah data mengenai detail sumberdaya untuk mencapai tujuan (Moekayar
1994).
152

Kendala kedua adalah aspek permodalan berupa keterlambatan


penyaluran kredit modal HTR dari BLU Pusat P2H. Uraian mengenai
perkembangan penyaluran kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi telah
dijelaskan pada sub bab yang membahas mengenai lembaga BLU.
Sedangkan kendala ketiga adalah lemahnya kapasitas kelompok akibat
tidak adanya kegiatan pendampingan. Program HTR merupakan bentuk
kelembagaan baru dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat sekitar.
Kelembagaan baru tersebut dicirikan oleh pengakuan hak akses masyarakat
dalam bentuk IUPHHK-HTR. Kendala muncul ketika masyarakat sekitar hutan
harus mengajukan IUPHHK yang prosedurnya panjang. Nugroho (2009)
mengidentifikasi adanya 29 langkah/kegiatan yang harus dilakukan untuk
mendapatkan izin HTR dengan melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan
maupun non kehutanan.
Kemampuan masyarakat untuk memenuhi persyaratan administrasi
IUPHHK-HTR menjadi kendala tersendiri untuk tercapainya kegiatan HTR di
lapangan. Prosedur yang panjang tidak dapat ditempuh oleh petani sekitar hutan
tanpa adanya pendampingan. Faktor-faktor ini telah teridentifikasi pula dari
pengalaman melaksanakan kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKM) (Lyndayati
2002; Suryamihardja 2006) bahwa masyarakat belum siap menjalankan prosedur
perizinan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemberian hak akses kepada
masyarakat tanpa disertai penguatan kelembagaan dan pendambingan akan
cenderung mengalami kegagalan.

6.1.5. Kegiatan yang diperlukan


Elemen kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan Hutan Tanaman
Rakyat diuraikan menjadi sembilan sub elemen (Tabel 28).
Tabel 28 Elemen kegiatan yang diperlukan
No Sub Elemen
1. Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan HTR
2. Peningkatan kegiatan pendampingan masyarakat
3. Penyediaan anggaran pemda untuk kegiatan HTR
4. Peningkatan kapasitas petani dalam membangun HTR
5. Penyediaan permodalan bagi petani HTR
6. Meningkatkan aktifitas LSM untuk mendorong kegiatan HTR
7. Peningkatan kegiatan kemitraan dengan Industri Hasil Hutan
8. Penyediaan tenaga pendamping non LSM
9. Peningkatan kapasitas Pemda dalam menyelenggarakan HTR
153

Struktur hirarki dari elemen yang menggambarkan posisi masing-masing


sub elemen disajikan dalam Gambar 38. Sementara itu Gambar 39
menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver-power
dan dependence. Hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 10.

Gambar 38 Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan

Struktur hirarki elemen kegiatan yang diperlukan terdiri dari empat tingkat.
Sub elemen yang menjadi kegiatan kunci adalah koordinasi antar sektor dalam
pengelolaan kegiatan HTR berkelanjutan. Peubah kunci ini menjadi penggerak
utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat berikutya. Pada level kedua
terdapat 2 sub elemen, yaitu : penyediaan permodalan bagi petani dalam rangka
membangun HTR dan peningkatan kegiatan pendampingan masyarakat.
Klasifikasi sub elemen kegiatan yang diperlukan berdasarkan pada driver power
dan dependence menunjukkan.bahwa koordinasi antar sektor dalam pengelolaan
HTR berada pada kuadran independent, artinya sub elemen tersebut memiiliki
kekuatan penggerak yang tinggi untuk berjalannya sistem pengelolaan hutan
rakyat berkelanjutan. Sub elemen penyediaan permodalan dan peningkatan
kegiatan pendampingan bagi petani HTR berada pada batas antara kuadran
independent dan autonomous. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan penggerak
154

dari kedua sub elemen tersebut berada pada level menengah. Akan tetapi
berdasarkan struktur hirarki yang dihasilkan, kedua elemen tersebut berada pada
level kedua setelah peubah kunci. Ini berarti bahwa kedua elemen ini menjadi
faktor yang penting untuk dikendalikan.

• 3,8

Gambar 39 Matriks driver power-dependence sub elemen pad elemen kegiatan


yang diperlukan

Peubah yang termasuk dalam kuadran linkage adalah penyediaan tenaga


pendamping masyarakat non LSM dan penyediaan anggaran pemda untuk
kegiatan HTR. Peubah yang berada pada kuadran ini memiliki kekuatan
penggerak yang tinggi, dan intervensi kebijakan untuk menyelenggarakan
kegiatan tersebut memiliki keterkaitan yang erat terhadap peubah-peubah lain.
Dengan demikian, strategi yang dilakukan untuk menyelenggarakan kegiatan
HTR perlu memperhitungkan faktor tersebut. Penyediaan tenaga pendamping
merupakan hal penting yang perlu segera ditangani agar kegiatan HTR berjalan
dengan baik. Kegiatan pendampingan dapat dilakukan oleh pihak LSM
bekerjasama dengan pemerintah daerah. Kegiatan LSM untuk mendukung HTR
menurut hasil analisis pakar berada pada kuadran dependent. Hal ini berarti
bahwa kegiatan ini memiliki tingkat dependency yang tinggi. Kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa keberadaan LSM tidak dapat ditemui secara merata di
setiap kabupaten. Sekalipun di kabupaten tertentu telah ada LSM, akan tetapi
155

motivasi mereka untuk mendukung keberhasilan HTR perlu didorong oleh pihak
pemerintah daerah, misalnya melalui penyediaan insentif pendanaan. Dengan
demikian, pendampingan oleh LSM memerlukan intervensi kegiatan di sektor
pemerintah daerah melalui koordinasi antar pihak.
Alternatif lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kegiatan
pendampingan adalah melalui kegiatan lain selain LSM. Ada beberapa alternatif
kegiatan yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan kegiatan pendampingan
petani HTR, yaitu :
1. Pemberdayaan penyuluh. Setiap kabupaten memiliki tenaga penyuluh baik
penyuluh pertanian, peternakan, maupun kehutanan. Tenaga penyuluh
merupakan SDM potensial untuk menjadi pendamping petani HTR.
Peraturan terbaru merubah lembaga penyuluh di kabupaten yang semula
berada di setiap dinas teknis, saat ini digabung dalam Badan Penyuluh
Kabupaten. Oleh karenanya kegiatan koordinasi antar dinas di pemerintah
daerah sangat menentukan keterlibatan penyuluh untuk menjadi pendamping
masyarakat peserta HTR.
2. Pemberdayaan lulusan baru sarjana kehutanan (fresh graduate). Program
ini dapat dilakukan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman program
BUTSI pada tahun 1980-an. Sarjana kehutanan yang baru lulus direkrut oleh
Kementerian Kehutanan untuk ditempatkan sebagai tenaga pendamping
masyarakat di desa-desa yang memiliki IUPHHK HTR. Tenaga pendamping
tersebut difasilitasi dengan insentif yang memadai, sehingga dapat menarik
minat para sarjana lulusan baru untuk mendampingi masyarakat.
Pengalaman dari program BUTSI menunjukkan bahwa strategi ini cukup
efektif dalam melakukan program pemberdayaan masyarakat.

Analisis strukturisasi sub elemen pada elemen kegiatan yang diperlukan


memperlihatkan adanya sub elemen yang termasuk dalam kuadran autonomus
yaitu peningkatan kegiatan kemitraan antara petani dan industri hasil hutan.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa peubah autonomous yang
teridentifikasi dari hasil ISM, adalah peubah yang dapat diabaikan dalam kajian
karena dapat diinterpretasikan sebagai peubah di luar sistem (Adiprasetyo,
2010). Akan tetapi dalam hal ini interpretasi terhadap peubah autonomous
adalah peubah yang masih harus diidentifikasi sebagai bagian dari sistem,
namun kekuatan penggeraknya lemah dan sangat tergantung pada sub elemen
156

lain. Oleh karena itu dalam konteks pengelolaan program HTR interpretasi
terhadap peubah yang termasuk dalam kuadran autonomous adalah peubah
yang tidak terkait dengan kegiatan lainnya, akan tetapi merupakan kegiatan yang
juga penting untuk dilakukan. Intervensi kebijakan tidak terlalu menjadi prioritas
dilakukan terhadap peubah autonomous, melainkan lebih dulu ditujukan
terhadap peubah kunci dan peubah-peubah lain yang terletak pada level yang
lebih penting.

Pengembangan Kebijakan
Pengembangan kebijakan didasari oleh tujuan untuk mencapai
pembangunan HTR yang berkelanjutan. HTR yang berkelanjutan merupakan
upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
dan ekonomi. Strategi pembangunan tersebut diperlukan untuk dapat menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Keterpaduan aspek
lingkungan hidup, ekonomi, sosial kelembagaan dalam pendekatan sistem
dikembangkan menjadi suatu Sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
Berkelanjutan. Kerangka sistem tersebut diilustrasikan dalam Gambar 40 .
Sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Berkelanjutan memadukan 3
aspek. Aspek yang pertama adalah aspek ekologi yang menitikberatkan pada
peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi. Hutan yang terdegradasi
dimanfaatkan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat sehingga dihasilkan
produksi kayu dalam rangka menambah supplai bahan baku kayu ke industri.
Aspek yang kedua adalah aspek ekonomi yang menitikberatkan pada
peningkatan pendapatan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan yang
mendapatkan izin usaha HTR (IUPHHK-HTR) mendapat peluang berusaha di
bidang hutan tanaman yang berarti meningkatkan peluang pendapatan keluarga
dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan. Aspek yang ketiga
adalah aspek sosial kelembagaan yang menitikberatkan pada pemberdayaan
kelompok tani. Kapasitas kelompok tani dinilai sebagai faktor penting untuk
berjalannya sistem HTR, sehingga pemberdayaan kelompok memegang peran
utama dalam aspek sosial kelembagaan HTR.
157

Aspek Ekologi: Aspek sosial


Produktivitas Kelembagaan:
Sistem Pemberdayaan
lahan hutan
Pengelolaan Kelompok tani
HTR
berkelanjutan

Aspek ekonomi:
Mata pencaharian
petani

Gambar 40 Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan


Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual
kebijakan yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Permasalahan yang teridentifikasi dari hasil strukturisasi sitem menggunakan
metode ISM adalah : 1) belum adanya koordinasi antar sektor baik di pusat
maupun di daerah dalam pengelolaan HTR 2) keterbatasan modal petani untuk
membangun HTR yang merupakan akibat dari belum terealisasinya penyaluran
kredit modal dari BLU 3) kapasitas petani dan kelompok tani yang rendah
sehingga diperlukan adanya kegiatan pendampingan.
Perumusan kebijakan strategis pengelolaan HTR yang berkelanjutan
mengacu pada lima tema pembangunan berkelanjutan COMHAR (2007) seperti
disajikan pada Gambar 41. Lima tema ini meliputi pengambilan keputusan yang
baik (good decision making), berkeadilan sosial (social equity), berkeadilan antar
generasi (equity between generations), pemenuhan kebutuhan manusia melalui
pemanfaatan sumber daya secara efisien (satisfaction of human needs by the
efficient use of resources), dan penghargaan terhadap integritas ekosistem dan
keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity).
158

HTR

Gambar 41 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007)

Pengembangan kebijakan HTR dilandasi oleh good decision making.


Untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang tepat dalam perumusan
kebijakan maka diperlukan partisipasi pemangku kepentingan dalam proses
perumusan. Di samping itu perumusan kebijakan juga mempertimbangkan
aspek keadilan sosial sehingga kebijakan pengelolaan bersifat inklusif yang
memberikan manfaat secara adil bagi semua pihak. Kebijakan yang dibangun
juga memungkinkan untuk berlangsungnya partisipasi pemangku kepentingan
dan pendelegasian pengambilan keputusan. Kebijakan yang dirumuskan
dirancang bangun untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan
sumber daya hutan secara efisien tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memperoleh manfaat yang sama.
Pengembangan kebijakannya didasarkan atas hasil ISM elemen tujuan,
kendala utama, dan kegiatan yang diperlukan. Pada elemen tujuan diperoleh 3
tujuan utama yaitu: 1) meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi; 2)
meningkatkan kapasitas kelompok tani; dan 3) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat petani HTR. Pada elemen kendala utama, terdapat 3 faktor yang
menjadi kendala, yaitu : 1) kurangnya koordinasi antar sektor; 2) keterbatasan
modal; 3) terbatasnya kualitas SDM petani HTR. Pada elemen kegiatan yang
diperlukan terdapat 3) kunci kegiatan yang harus dilakukan, yaitu: 1)
meningkatkan koordinasi antar sektor; 2) penyediaan fasilitas pendanaan; 3)
159

pengembangan program pendampingan. Kebijakan tersebut dijabarkan dalam


Model Konseptual Pengelolaan HTR berkelanjutan.

Model Konseptual Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Berkelanjutan


Model Pengelolaan HTR dibangun dengan strukturisasi sistem
permasalahan, kendala, dan tujuan program. Alat analisis yang digunakan untuk
melakukan strukturisasi system yang kompleks adalah metode Interpretative
Structural Modeling (ISM). Proses ISM menghasilkan perubah kunci pada lima
elemen yang dikaji (Tabel 29).
Tabel 29 Peubah kunci sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
No Elemen Peubah Kunci
1 Lembaga yang 1. Kelompok tani HTR
berpengaruh
2 Kebutuhan 1. Peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi
2. Keseimbangan lingkungan hidup
3 Tujuan 1. Meningkatkan produktivitas lahan hutan
2. Meningkatkan kapasitas petani/kelompok tani
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4 Kendala utama 1. Kurangnya koordinasi
2. Keterbatasan modal
3. Terbatasnya kualitas SDM petani
5 Kegiatan yang 1. Koordinasi antar sektor
diperlukan 2. Penyediaan fasilitas pendanaan
3. Pengembangan program pendampingan

Menurut hasil strukturisasi pendapat pakar, program HTR mempunyai tiga


tujuan utama, yaitu; peningkatan produktivitas lahan hutan, peningkatan
kapasitas kelompok/koperasi petani HTR, dan peningkatan pendapatan petani
HTR. Ketiga tujuan tersebut merupakan representasi dari sistem ekologi, sistem
sosial budaya, dan sistem ekonomi. Integrasi dari ketiga sistem tersebut
digambarkan dalam model Pengelolaan HTR Berkelanjutan (Gambar 42 ).
Sistem Pengelolaan HTR Berkelanjutan terdiri dari tiga model, yaitu :
1. Model Manajemen HTR
2. Model Hubungan Lembaga Pengelola HTR
3. Model Pendanaan HTR
160

Gambar 42 Sistem pengelolan HTR berkelanjutan

6.2.1 Model Manajemen HTR


Model manajemen pada dasarnya mengintegrasikan kebijakan Pemerintah
Pusat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),
rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana pengelolaan lingkungan
(Gambar 43). Model Manajemen merupakan manajemen perencanaan yang
memiliki tujuan untuk peningkatan produktivitas hutan, peningkatan kapasitas
kelompok tani, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Pada level pemerintah Pusat terdapat Kementerian Kehutanan yang
merupakan leading sector dalam kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Pada
tingkat ini perlu dibangun hubungan koordinasi antara Kementerian Kehutanan
dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mensinkronkan rencana pembangunan
kehutanan terhadap rencana pembangunan nasional jangka panjang maupun
jangka menengah. Kebijakan HTR yang berbasis penggunaan kawasan hutan
produksi harus terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di tingkat
pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten.
161

Kementerian Pemerintah Pusat


Kehutanan RTRW
RPJMN

Pemerintah Propinsi
Ditjen BPK, Baplan
RPJMD dan RTRW

RPJMD
BLU Pusat P2H Pencadangan Lahan

Litbang/ Pemerintah Kabupaten


Perguruan Tinggi Hak akses terhadap
Fasilitas pendanaan

Lahan Hutan
Dinas Teknis
LSM
IUPHHK-HTR

dan fasilitasi
Pembinaan
Penyuluhan &
pembinaan
Petani
Lembaga Keuangan
Pendampingan Pemegang Izin
Bank dan Non Bank
IUPHHK HTR

Fasilitasi

Pembinaan
Teknologi silvikultur Koperasi HTR/
pendanaan
Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes)

Penanaman Hutan Mata pencaharian


Pemberdayaan alternatif
petani

Peningkatan Peningkatan
Peningkatan
Produktivitas Kapasitas Kelompok
Pendapatan
Hutan Tani

Sistem Ekologi Sistem Sosial Budaya Sistem Ekonomi

Gambar 43 Model manajemen HTR

Tujuan peningkatan produktivitas hutan yang merupakan representasi dari


sistem ekologi dilakukan melalui kegiatan penanaman hutan, dan penerapan
teknologi silvikultur. Hal ini berarti diperlukan adanya dukungan lembaga
penelitian dalam hal penerapan inovasi teknologi silvikultur yang sesuai untuk
HTR. Difusi inovasi teknologi tersebut dapat melibatkan kegiatan penyuluhan
dan pendampingan.
Kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan kawasan
hutan produksi milik negara dibuka melalui kebijakan HTR karena memberikan
162

hak akses bagi masyarakat untuk memiliki izin usaha HTR. Ini berarti telah
memasuki wilayah kelembagaan pengelolaan hutan yang berkaitan dengan
sistem sosial masyarakat. Sistem ini membutuhkan adanya penanganan berupa
pendampingan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapasitas petani dan
kelompok tani dalam menjalankan kegiatan pengelolaan HTR.
Upaya pemberian hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan pada
akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan
pendapatan masyarakat lokal diperoleh melalui peningkatan akses terhadap
sumber daya lahan. Di samping akses terhadap sumber daya finansial menjadi
faktor penting untuk mendukung keberhasilan program HTR. Untuk mendukung
keberhasilan tersebut harus dibentuk sistem ekonomi dalam rangka memfasilitasi
masyarakat petani HTR dalam menjalankan roda usaha di bidang hutan
tanaman.
Izin usaha HTR pada prinsipnya dapat diberikan kepada perorangan atau
kelompok tani. Sebagai kebijakan yang dilaksanakan di level desa, maka tata
kelola pemerintahan desa memiliki peluang untuk mendorong dan mengarahkan
warganya dengan baik untuk ikut serta dalam skema pembangunan HTR
(Capable 2007). Desa memiliki kewenangan untuk mendirikan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dan desa. Kewenangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No 72 tahun 2005 tentang desa yang menyatakan bahwa pendirian BUMDes
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Landasan hukum dari
BUMDes adalah pasal 213 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP 72 tahun 2005 tentang Desa, khususnya pasal 78,
79, 80, dan 81.
Upaya pembentukan BUMDes dalam rangka mendukung kebijakan HTR
merupakan salah satu upaya yang potensial untuk mendukung keberhasilan
pengelolaan HTR yang berkelanjutan. Sumarsono (2007) menyatakan bahwa
pada tataran filosofis BUMDesa diperlukan sebagai suatu bentuk dalam
penyediaan pelayanan publik. BUMDes dibentuk sebagai pendorong
pembangunan ekonomi perdesaan dan BUMDes diposisikan sebagai peningkat
kapasitas pemerintah desa ke arah kemandirian.
Selanjutnya Sumarsono (2007) menyatakan bahwa BUMDes merupakan
bentuk kegiatan produktif bagi masyarakat desa, dan ditujukan untuk rebitalisasi
kegiatan usaha mikro/kecil di perdesaan. Selain itu BUMDes juga ditujukan
163

untuk reaktualisasi pembangunan perdesaan sejalan dengan pembangunan


ekonomi. Terdapat dua peran penting BUMDes yaitu sebagai instrumen
penguatan otonomi desa dan sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat.
Sebagai instrumen penguatan otonomi desa BUMDes dapat mendorong
prakarsa masyarakat desa untuk mengembangkan potensi desanya sesuai
dengan kemampuan dan kewenangan desa. Sementara itu sebagai Instrumen
Kesejahteraan Masyarakat, BUMDes dapat mendorong kesempatan berusaha di
desa dan peningkatan pendapatan untuk kesejehteraan Masyarakat Desa.
Konsekuensi dari model managemen HTR adalah dilaksanakannya
koordinasi antar pemangku kepentingan dalam perencanaan pebangunan
wilayah. Hal ini berarti perlu ada mekanisme hubungan kerja antar instansi mulai
dari level pemerintah pusat hingga pemerintah desa. Konsekuensi lainnya
adalah dibentuknya lembaga baru di tingkat desa berupa BUMDes. Tata
hubungan antar lembaga dirumuskan dalam model berikutnya yaitu Model
Lembaga Pengelola HTR.

6.2.2 Model Lembaga Pengelola HTR


Untuk meningkatkan efektifitas model manajemen HTR diperlukan
pengaturan hubungan antar lembaga yang terlibat. Berdasarkan strukturisasi
pada elemen pihak yang terkait dan lembaga yang terlibat mengidentifikasikan
bahwa faktor kunci pada program adalah petani HTR. Lembaga yang terlibat
terdiri atas: Level pusat yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan,
dan Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten,
Perguruan Tinggi, LSM, kelompok tani, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank.
Hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan HTR digambarkan
pada model lembaga pengelola HTR (Gambar 44).
164

Kementerian Kehutanan Kementerian


Kementerian Dalam Negeri
Keuangan
Pembinaan, pengendalian
dan pengawasan

Pelaporan
BLU Pusat P2H keuangan Pemerintah Propinsi

Sinkronisasi Program Pemerintah Kabupaten

Kelompok Kerja
Sinkronisasi Program

Pembinaan dan pengawasan


Pengelolaan HTR
Umpan balik

Lembaga Swadaya
Masyarakat

Pembinaan dan pengawasan


Tim Ahli Perguruan Tinggi
Dukungan pembiayaan

Representasi Stakeholder
Aspirasi

Pembinaan
Badan Usaha
Miilik Desa
(BUMDes)

Masukan Kebijakan Pembentukan


Perencanaan
Pembinaan

dan Evaluasi Kelompok Tani/


Koperasi HTR

Petani pemegang
IUPHHK HTR
Pembinaan

Implementasi Kemitraan
Dinas Teknis

Dukungan pembiayaan
Usaha Menengah
dan Besar

Dukungan pembiayaan

Lembaga Keuangan
Keterangan: usulan perubahan Bank dan Non Bank
- - - - - - - koordinasi

Gambar 44 Model lembaga pengelola HTR

Model lembaga pengelola HTR dibangun untuk meningkatkan koordinasi.


Model ini bertujuan untuk sinkoronisasi dan integrasi program antara pihak
Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan yang terkait dengan
pendanaan BLU, serta Kementerian Dalam Negeri dalam hal program
pembangunan di pemerintah daerah, serta berbagai pihak yang terkait dalam
pelaksanaan program HTR,
165

Model lembaga pengelola HTR merekomendasikan dibentuknya Kelompok


Kerja HTR di tingkat kabupaten yang merupakan lembaga koordinasi antar
pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam pengelolaan HTR. Pokja
berperan untuk menjembatani dan mewadahi partisipasi para pihak. Anggota
Pokja adalah pemerintah daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, dan representasi dari masyarakat pemegang izin HTR.
Pokja bertugas untuk menampung aspirasi dan menghasilkan konsensus dalam
pengelolaan HTR.
Rekomendasi pembentukan Kelompok Kerja merupakan hasil
pembelajaran dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Kabupaten
Gunungkidul. Provinsi DIY telah memiliki Pokja Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Hutan yang didirikan pada tangga 29 September 2005
melalui Surat Keputusan Gubernur DIY no. 84/KEP/2005. Pokja ini
beranggotakan Dinas Kehutanan Provinsi, LSM, Dinas kehutanan Kabupaten,
Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi, Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan, dan Universitas Gajah Mada sebagai wakil dari
akademisi (Shorea 2010).
Pembentukan Kelompok Kerja di tingkat provinsi kemudian ditindaklanjuti
dengan pembentukan kelompok kerja di tingkat kabupaten oleh Dinas Kehutanan
Kabupaten Gunungkidul. Kelompok kerja yang didirikan bernama Pokja HRL
(Kelompok kerja Hutan Rakyat Lestari). Landasan hukum pembentukan Pokja
adalah Surat Keputusan Bupati No 95/Kpts/2005. Anggota pokja HRL terdiri dari
unsur dinas teknis, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Tujuan
dibentuknya Pokja adalah untuk mendorong pengelolaan hutan rakyat lestari di
Kabupaten Gunungkidul.
Keberadaan pokja di Provinsi DIY dan di Kabupaten Gunungkidul
merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan program
pembangunan kehutanan di daerah tersebut. Hal ini terbukti dengan banyaknya
program-program pemerintah yang dapat terselenggara dengan baik di wilayah
tersebut. Pengalaman dari pelaksanaan program Hutan kemasyarakatan
menunjukkan bahwa di Provinsi DIY terdapat 42 kelompok tani hutan yang telah
memiliki izin HKM. Dari 42 kelompok tani tersebut 35 KTH berada di wilayah
kabupaten Gunungkidul dan 7 KTH di kabupaten Kulon Progo. Luas areal HKM
yang dikelola sekitar 1.117, 55 ha dengan melibatkan 3.282 Kepala Keluarga
(Dephut 2009).
166

Bukti keberhasilan lain dalam pengelolaan hutan di Provinsi DIY dan


Kabupaten Gunungkidul adalah pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat
terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga
petani. Dampak lainnya dari pembangunan hutan rakyat di Gunungkidul adalah
meningkatkan perekonomian daerah dengan bergeraknya industri di sektor hasil
hutan. Kabupaten Gunungkidul berkontribusi dalam pemenuhan suplai kayu jati
untuk kebutuhan industri di Jawa. Data produksi kayu jati di Kabupaten
Gunungkidul menunjukkan bahwa dari bulan Januari-November 2008 terdapat
sebanyak 33.151 m3 kayu jati yang dipanen, data ini didasarkan pada jumlah
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Gunungkidul (Kurniawan et al. 2008). Kayu jati tersebut
digunakan untuk memasok industri pengolahan kayu yang menghasilkan produk-
produk seperti kayu lapis indah, mebel, ukiran kayu dan beragam olahan kayu
lainnya.
Pencapaian tersebut cukup menunjukkan bahwa Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Gunungkidul cukup berhasil dalam
melaksanakan pembangunan di sektor kehutanan. Kelompok Kerja yang
dibentuk efektif mendorong pelaksanaan program-program pembangunan yang
dirancang oleh Kementerian Kehutanan. Visi pemerintah daerah Provinsi DIY
adalah menjadikan DIY sebagai model dalam pengelolaan hutan berbasis
masyarakat. Visi ini merupakan hasil kristalisasi dari kegiatan koordinasi dan
konsultasi antar pihak.
Belajar dari keberhasilan tersebut maka peran Pokja menjadi penting
untuk mendukung keberhasilan program HTR. Oleh karenanya daerah-daerah
lain dapat mencontoh pengalaman Provinsi DIY dalam pembentukan pokja untuk
mendukung kegiatan HTR. Kelompok kerja yang direkomendasikan untuk
dibentuk adalah di tingkat kabupaten, karena kegiatan HTR merupakan kegiatan
yang pelimpahan wewenangnya diserahkan kepada bupati. Sementara tingkat
desa berada pada pemegang peran langsung dalam pelaksanaan kegiatan HTR.
Dengan demikian, dari dua model tersebut terdapat dua lembaga yang
direkomendasikan untuk dapat mendukung keberhasilan program HTR, yaitu di
tingkat desa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Kelompok Kerja
(Pokja) di tingkat kabupaten. Konsekuensi dari penerapan model managemen
dan model kelembagaan lebih lanjut memerlukan dukungan mekanisme
167

pendanaan. Kebijakan mekanisme pendanaan untuk implementasi pengelolaan


HTR berkelanjutan disusun dalam model pendanaan.

6.2.3 Model Pendanaan


Pelaksanaan program HTR sangat tergantung pada faktor kunci berupa
pendanaan. Berdasarkan analisis situasional, dapat dilihat bahwa banyaknya
kabupaten yang belum menjalankan program HTR disebabkan karena kendala
pendanaan. Sementara itu BLU P2H yang telah didirikan sejak tahun 2008
belum dapat menyalurkan pinjaman kepada petani HTR. Model Pendanaan HTR
(Gambar 45) dimaksudkan untuk mengaktivasi dana bergulir yang saat ini ada di
BLU P2H Kementerian Kehutanan dan mencari sumber pendanaan lain diluar
BLU P2H.

Gambar 45 Model pendanaan HTR


168

Melalui lembaga-lembaga seperti yang diusulkan dalam model lembaga


pengelolaan HTR, maka mekanisme pendanaan dapat ditempuh melalui 5
alternatif, yaitu : 1) penyaluran kredit modal atau Dana Bergulir dari BLU Pusat
P2H; 2) APBD untuk penguatan BUMDes; 3) Kegiatan kemitraan dengan
perusahaan swasta; 4) pinjaman modal dari lembaga keuangan; 4)
memanfaatkan dana CSR (Coorporate Social Responsibility) dari perusahaan.
Salah satu faktor keterlambatan implementasi HTR di lapangan adalah
karena masalah pendanaan. Para pihak di daerah memahami bahwa program
HTR merupakan satu paket dengan penyaluran kredit modal. Sehingga kegiatan
HTR di lapangan tidak dapat berjalan karena kredit modal dari BLU belum dapat
disalurkan. Permasalahan utama dalam keterlambatan penyaluran kredit modal
HTR dari BLU P2H adalah faktor administratif (Santosa 2010).
Gor (2010) melaporkan bahwa dana yang tersedia di BLU Kehutanan
hingga September 2010 sebesar Rp. 2,014 Trilyun. Kebijakan Kementerian
Kehutanan terbaru terkait penggunaan dana BLU adalah bahwa selain untuk
kegiatan HTR dana tersebut juga akan disalurkan bagi pembangunan hutan
rakyat dan industri pengolahan skala rakyat. Dana untuk kegiatan hutan rakyat
dan industri pengolahan kayu skala rakyat akan mendapatkan alokasi sebesar
40% atau sekitar Rp. 805 Milyar (Gambar 46).

805 M
(40%)

1,208,T
(60%)

HTR
HR dan industri

Gambar 47 Alokasi dana BLU Pusat P2H (sumber: Gor 2010)


169

Sistem penyaluran pinjaman kepada rakyat akan menggunakan jasa Bank


Perkreditan Rakyat atau Koperasi Simpan Pinjam di tengah masyarakat sebagai
kepanjangan tangan (extended arm). Adapun mekanisme detailnya mengenai
penyaluran pinjaman tersebut saat ini masih dalam tahap kajian. Hal tersebut
dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal Kehutanan seperti dilaporkan Gor (2010).
Hingga Agustus 2010, dana sejumlah Rp. 2, 014 Trilyun yang berada pada
BLU P2H belum pernah tersalur untuk pembiayaan HTR. Faktor penyebabnya
adalah karena tersendatnya penerbitan izin HTR oleh pemerintah daerah. Pada
saat ini pemegang izin HTR mencapai 1.495 unit dengan rincian 17 unit
dipegang oleh koperasi dan 1.478 unit dipegang oleh perorangan (Gor 2010)
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan No.2/Menhut-
II/2007 dan Menteri Keuangan No.06.I/PMK/2007, BLU Kehutanan hanya boleh
membiayai pembangunan HTR dan HTI di kawasan hutan. Namun karena
penyaluran kredit ke HTI dan HTR masih belum terealisasi, maka dana yang
tersedia di BLU P2H dialokasikan untuk penggunaan lain yang sejenis dengan
suku bunga yang ditetapkan sesuai dengan tingkat suku bunga Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) yang berkisar antara 8% tanpa grace period. Adapun
plafond pinjaman untuk HTR maksimal Rp.11,7 juta per ha dan plafon terendah
Rp. 8,5 juta per hektar dengan jangka waktu pinjaman maksimal 8 tahun.
Menurut ketentuan perundangan yaitu Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 137/KMK.05/2007 tentang penetapan Badan Pembiayaan
Pembangunan Hutan bahwa pemanfaatan dana akan dibatalkan jika dalam tiga
tahun tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai perundang-undangan.
Namun ketentuan ini tidak dapat diterapkan kepada BLU P2H karena dana BLU
tahap pertama sebesar Rp. 1,2 triliun baru diterima pada tahun 2008. Surat
Keputusan Menteri Keuangan telah diterbitkan tahun 2007, sehingga peraturan
tersebut tidak tepat diterapkan pada BLU P2H. Oleh karena itu pelaksanaan
program dana bergulir akan diperpanjang hingga 3 tahun ke depan (Utomo,
2010).

6.3.4 Peran dan Keterlibatan Pemangku kepentingan


Pengembangan model pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat secara
berkelanjutan telah memperhatikan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah.
Penentuan kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut Sofyar (2004)
bahwa peran pemerintah pusat dan daerah dalam model memiliki karakteristik
170

sistem pemerintahan yang harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak yang terkait dalam Model
Managemen, Lembaga, dan Pendanaan HTR secara garis besar, yaitu :
1) Pemerintah Kabupaten secara langsung berinteraksi dengan masyarakat
sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan sumberdaya
manusia dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan dan
pembinaan lembaga masyarakat dan pendayagunaan potensi kawasan
dalam kabupaten
2) Pemerintah Provinsi yang membawahi lintas kabupaten lebih berorientasi
pada fungsi koordinasi, serta intensif terutama informasi yang terpadu dalam
penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan, serta pasar
regional
3) Pemerintah pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada
penciptaan dukungan kebijakan melalui penyusunan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan yang bersifat induk. Di samping itu
pemerintah pusat memberikan fasilitas dan pembinaan.
Uraian rinci mengenai peran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam
pengelolaan HTR berkelanjutan disajikan pada Lampiran 11.
Alternatif kebijakan pengelolaan HTR yang dikembangkan berdasarkan
model manajemen, lembaga dan pendanaan secara keseluruhan akan
menghasilkan kebijakan dan program pengelolaan HTR jangka menengah yang
merupakan kebijakan strategis dan kebijakan operasional yang berupa
perencanaan dan evaluasi program kegiatan tahunan. Kebijakan strategis dan
operasional yang disusun merupakan kebijakan sinergi yang mengacu pada
kebijakan pembangunan nasional, sektoral, dan daerah. Keluaran dari kebijakan
tersebut secara keseluruhan adalah peningkatan produktivitas lahan hutan dan
tercapainya pendapatan masyarakat petani HTR.
171

6.4 Validasi Model dan Prospektif Dampak


6.5.1 Validasi Model
Validasi model dan perumusan alternatif kebijakan dilakukan berdasarkan
tinjauan teoritis terhadap model dan studi komparatif terhadap asumsi-asumsi
kebijakan yang setara dengan model pengelolaan HTR. Secara teoritis, model
tersebut sesuai dengan proses pengembangan kebijakan dengan
mengaplikasikan soft system methodology dan pendekatan intervensi sistem
(Luckett & Grossenbacher 2003) serta pelibatan para pemangku kepentingan
(stakeholder inclusion) (Achterkamp & Vos 2007). Proses pengembangan
kebijakan ini menghasilkan pemahaman lintas disiplin dengan lebih baik dan
mengikutsertakan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat membangun
kebijakan yang holistik.
Validasi Model manajemen HTR, model lembaga HTR dan model
pendanaan HTR dilakukan melalui pengumpulan pendapat pakar dengan cara
wawancara mendalam. Hasil validasi melalui pendapat pakar menunjukkan
bahwa:
1) Model yang dikembangkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan
HTR.
2) Bentuk lembaga antar muka antara pengelola HTR dan para pihak dapat
berbentuk lain selain working group, tergantung dari kesepahaman antara
pengelola dan para pihak.
3) Secara keseluruhan, sistem pengelolaan HTR dapat merepresentasikan
kondisi yang diharapkan para pihak. Model managemen, model lembaga,
dan model pendanaan dibangun untuk meningkatkan koordinasi
perencanaan dan evaluasi, sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah

6.4.2 Prospektif Dampak


Untuk menguji prospektif dampak dari model kebijakan yang disusun, maka
digunakan model persamaan untuk menunjukkan kuantifikasi proyeksi
pencapaian program antara sebelum intervensi kebijakan dengan setelah
diterapkannya intervensi kebijakan.
Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan pada tahun 2007 target
pelaksanaan kegiatan HTR adalah 5,4 juta hektar hingga tahun 2010. Target
tersebut ditetapkan untuk kegiatan pencadangan lahan hutan produksi yang
akan digunakan untuk lokasi HTR. Pada kenyataannya target tersebut tidak
172

dapat dicapai. Hasil realisasi kegiatan sangat rendah. Gambar 47 menunjukkan


bahwa pencapaian kegiatan pencadangan lokasi HTR hanya tercapai sebanyak
8% dari target tahunan seluas 1,4 juta ha. Sementara Gambar 48 menunjukkan
proporsi pencapaian target diterbitkannya IUPHHK HTR hanya sebesar 5% dari
target total 5,4 juta ha.

Pencadangan
Lahan
629.158 ha
(10%)

Target
5,4 juta ha

Gambar 47 Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR

IUPHHK,
87.299.89 ha
(2%)

Target,
5.4 juta ha

Gambar 48 Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR
173

Perbandingan antara target dan realisasi pencapaian kegiatan HTR sejak tahun
2007 hingga tahun 2010 disajikan pada Gambar 49.

1,400,000

1,200,000

1,000,000
Target luas (Ha)

800,000 Pencadangan
(Ha)
600,000 IUPHHK-HTR
(Ha)
400,000

200,000

-
2007 2008 2009 2010

Gambar 49 Target dan realisasi kegiatan HTR

Berdasarkan data seperti disajikan pada Gambar 49 dapat dikalkulasi rata-


rata pencapaian kegiatan pencadangan lahan HTR masih dibawah 200.000
ha/tahun. Dengan target luas lahan yang dicadangkan sebesar 5,4 juta ha maka
paling cepat kegiatan pencadangan lahan HTR akan tercapai selama 26 tahun
atau akan tercapai pada tahun 2033.
Intervensi kebijakan berupa penerapan model pembangunan HTR
berkelanjutan, merupakan upaya mempercepat tercapainya target pembangunan
HTR. Model HTR yang dibangun ditujukan untuk mengatasi kendala-kendala
yang selama ini dihadapi dalam implementasi program HTR. Target pemerintah
untuk membangun lahan HTR seluas 500.000 ha per tahun (Dirjen BPK 2010)
dapat tercapai dengan baik, karena telah terjalin suatu koordinasi menyeluruh
diantara para pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan HTR. Target
seluas 500.000 ha per tahun merupakan target revisi dari Kementerian
Kehutanan, mengingat target sebelumnya yang seluas 1,4 juta ha per tahun tidak
dapat dicapai. Target tersebut sebenarnya target total pembangunan hutan
tanaman, tidak saja dari lokasi Hutan Tanaman Rakyat akan tetapi dari Hutan
Tanaman Industri. Dengan penerapan model konseptual kebijakan yang
174

komprehensif mendukung pembangunan HTR, dapat diprediksi bahwa target


pembangunan HTR seluas 5,4 juta dapat dicapai pada tahun 2020.

7000000
Sesudah kebijakan
6000000 Sebelum kebijakan

5000000

4000000

3000000

2000000

1000000

0
2007 2011 2020 2033

Gambar 50 Proyeksi pencapaian pembangunan HTR setelah penerapan


kebijakan

6.5 Implikasi Kebijakan

Implementasi Model manajemen, model lembaga pengelola HTR dan


model pendanaan HTR dapat dilaksanakan secara efektif jika didukung oleh
peraturan dan kebijakan yang tepat. Pada tingkat nasional, peraturan dan
kebijakan yang terkait dengan pengelolaan HTR telah ditetapkan melalui
berbagai peraturan antara lain: Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan; Permenhut P.5/Menhut-2/2008 sebagai pengganti Permenhut
P. 23/Menhut-II/2007 tentang tata Cara Permohonan IUPHHK HTR; Permenhut
P.48/Menhut-II/2008 tentang Standar Biaya Pembangunan HTI dan HTR;
Permenhut No P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan
untuk mendapatkan pinjaman dana bergulir pembangunan HTR; Berbagai
Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan yang mengatur tentang petunjuk
teknis pembangunan HTR dan Pedoman Pembangunan HTR pola kemitraan dan
Pola Developer; dan Peraturan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
No. P.01/Pusat P2H-1/2009 tentang petunjuk teknis pemberian pinjaman dana
bergulir untuk pembiayaan pembangunan hutan tanaman.
175

Pada lingkup peraturan pemerintah daerah, peraturan dan kebijakan yang


terkait dengan pemerintahan sudah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38
tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan
demikian implikasi kebijakannya di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan
kondisi yang memungkinkan bagi pemberdayaan masyarakat dan terpeliharanya
kawasan hutan produksi melalui inisiatif terhadap pengembangan dan
penyempurnaan peraturan perundangan serta penyediaan fasilitas.
Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja di
tingkat Pemerintah Daerah yang beranggotakan berbagai dinas di pemerintah
daerah kabupaten, perguruan tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki fungsi
koordinatif yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui
konsensus.
Penetapan Kelompok Kerja HTR dilaksanakan melalui Keputusan Bupati.
Pokja ini merupakan wadah koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah,
pemerintah provinsi dan kabupaten, wakil akademisi, LSM dan wakil masyarakat
umum. Pokja ini merupakan organisasi non struktural yang melaporkan
kegiatannya kepada Bupati untuk membantu tugas-tugas dalam
mengkoordinasikan pengembangan HTR bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Mandat yang diberikan kepada pokja sebaiknya diarahkan pada
tugas dan fungsi:
1) memberikan masukan kebijakan untuk pembangunan HTR yang
berkelanjutan secara ekologis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
2) merumuskan masukan rencana yang sinergis pengembangan ekonomi
masyarakat pemegang IUPHHK HTR
3) merekomendasikan prioritas alokasi dana sektoral untuk mendukung
terpeliharanya sumber daya hutan
4) memberikan masukan perumusan rencana tahunan dan lima tahunan
pengelolaan HTR, dan
5) memberikan masukan untuk aspek pendanaan dan pemasaran hasil produksi
HTR
6) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati.
Pemerintah Daerah Kabupaten sebagai pemegang mandat pelaksanaan
kegiatan HTR di daerah juga memiliki tugas untuk mendukung keberhasilan
176

kebijakan HTR. Tugas Pemda Kabupaten dapat dilakukan di dalam wilayah


kabupaten dan antar wilayah kabupaten di Provinsi. Di tingkat Provinsi, Pemda
Kabupaten bertugas untuk melakukan koordinasi lintas kabupaten dalam upaya
peningkatan pemberdayaan masyarakat; melakukan fasilitasi agar terjalin
kemitraan antara petani HTR dan industri pengolah kayu serta perusahaan HTI.
Sementara itu untuk tingkat kabupaten, Pemda bertugas menetapkan kawasan-
kawasan prioritas pengembangan HTR, mengembangkan pelatihan-pelatihan
pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat
dalam melakukan usaha di bidang HTR, pengembangan fasilitasi sarana dan
prasarana untuk mendukung terselenggaranya bisnis usaha HTR.
Pemerintah Kabupaten juga memprakarsai pembentukan BUMDes melalui
penetapan Peraturan Daerah Kabupaten. BUMDes dipilih sebagai alternatif
lembaga pendorong kegiatan HTR di desa. Badan usaha ini sesungguhnya telah
diamanatkan di dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(bahkan oleh undang-undang sebelumnya, UU 22/1999) dan Peraturan
Pemerintah (PP) no. 71 Tahun 2005 Tentang Desa. Dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa
“Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan
potensi desa”. Disebutkan pula bahwa tujuan pendirian BUMDes antara lain
dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADesa).
Saragi (2004) menyebutkan 5 tujuan pembentukan BUMDes yaitu
(a) Peningkatan kemampuan keuangan desa, (b) Pengembangan usaha
masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan, (c) Mendorong tumbuhnya
usaha masyarakat (d) Penyedia jaminan sosial (e) Penyedia pelayanan bagi
masyarakat desa. BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang
berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial
institution). BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan
masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial.
Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui
penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan
usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. BUMDes
sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang
berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa.
Dengan demikian, bentuk BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya
177

yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan lebih lanjut tentang BUMDes


diatur melalui Peraturan Daerah (Perda).
BUMDes didirikan atas prakarsa masyarakat didasarkan pada potensi yang
dapat dikembangkan dengan menggunakan sumberdaya lokal dan terdapat
permintaan pasar. Tugas dan peran Pemerintah adalah melakukan sosialisasi
dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten tentang arti penting BUMDes bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintah desa masyarakat dimotivasi,
disadarkan dan dipersiapkan untuk membangun kehidupannya sendiri.
Pemerintah memfasilitasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dan
pemenuhan lainnya yang dapat memperlancar pendirian BUMDes. Selanjutnya,
mekanisme operasionalisasi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat desa.
Maruyani (2008) dalam Nor (2008) menguraikan tentang prinsip-prinsip
pembentukan BUMDes, sebagai berikut :
a. Logika pembentukan BUMDesa didasarkan pada kebutuhan, potensi, dan
kapasitas desa
b. Perencanaan dan pembentukan BUMDesa atas prakarsa masyarakat desa,
serta mendasarkan pada prinsip-prinsip ko-operatif, partisipatif & emansipatif
dengan mekanisme member-base dan self-help.
c. Pengelolaan BUMDesa dilakukan secara profesional, ko-operatif, dan mandiri.
d. Bangun BUMDesa dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
Diharapkan pembentukan BUMDes berangkat dari partisipatif dan inisiatif
masyarakat desa, karena yang mengetahui secara pasti dan detil tentang
semua potensi desa dan sumber daya desa adalah masyarakat itu sendiri.
Dalam pengelolaan BUMDes harus diperhatikan beberapa acuan, yaitu :
1. Sebagai pengelola adalah semua masyarakat desa yang memiliki orientasi
melakukan usaha bersama dibantu aparat pemerintah desa sebagai
fasilitator dan penyambung komunikasi dengan pemerintah daerah.
2. Bentuk kegiatan harus bersifat kemitraan dan memiliki kontrak.
3. Pembinaan bisa langsung dari pemerintah daerah atau dari lembaga-
lembaga non profit, seperti LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat,
dan lain-lain
4. Wilayah cakupan tidak harus satu desa. Jika beberapa desa memiliki
orientasi yang sama maka dapat melakukan usaha secara bersama-sama
dalam satu wadah BUMDes (kluster)..
178

5. Bentuk badan usaha harus bersifat kebersamaan dan mandiri.


6. Bentuk usaha bisa berbentuk pembiyaan seperti usaha simpan pinjam,
ataupun berbentuk riil seperti usaha kerajinan, pertanian, peternakan, pasar,
wisata dan lain-lain.
7. Keanggotaan adalah semua masyarakat desa yang memiliki kepentingan
yang sama dalam berusaha, selain itu aparat pemerintah desa juga akan
memfasilitasi, dan bisa juga pihak ketiga (investor) yang menanamkan
modalnya untuk dikembangkan dan menjadi usaha bersama.
Mengingat bentuk BUMDes merupakan lembaga potensial untuk
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, maka organisasi ini
direkomendasikan untuk digunakan dalam pelaksanaan program HTR.
Pengembangan BUMDes merupakan program Kementerian Dalam Negeri,.
Integrasi kegiatan HTR dalam program BUMDes dapat meningkatkan koordinasi
antara sektor kehutanan dengan pemerintahanan daerah. Untuk mewujudkan
gagasan tersebut perlu dibangun kesepakatan tingkat Menteri Kehutanan dan
Menteri Dalam Negeri untuk memadukan kegiatan HTR dengan pengembangan
BUMDes.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Proses perumusan kebijakan HTR bukan merupakan model linier. Hal ini
terbukti dari fakta proses perumusan kebijakan, sebagai berikut :

a. Proses perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dilakukan di lingkup


internal Kementerian Kehutanan. Aktor yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan HTR adalah pihak birokrat Kementerian Kehutanan
dan tidak adanya keterlibatan para ahli atau praktisi lapangan.

b. Tidak dipertimbangkannya informasi tentang faktor-faktor yang menjadi


penyebab ketidakberhasilan program sebelumnya. Faktor-faktor tersebut
adalah : 1) Proses perizinan HTR serupa dengan perizinan HKM,
pengalaman dari program HKM menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
kemampuan terbatas untuk menempuh prosedur perizinan yang relatif
panjang; 2) Kebijakan tentang kegiatan pendampingan belum ditangani
dengan baik, sementara kemampuan masyarakat untuk melakukan bisnis
hutan tanaman masih sangat lemah sehingga proses pendampingan
merupakan faktor penting untuk membangun kapasitas masyarakat.

c. Prinsip dasar kebijakan HTR adalah membangun bisnis hutan tanaman oleh
masyarakat. Bentuk kebijakan ini merupakan modifikasi dari kebijakan HTI.
Diskursus yang dianut adalah pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK).

2. Peraturan pelaksanaan HTR mengalami beberapa kali perubahan terkait


mekanisme pencadangan lahan, permohonan izin, aturan mengenai jangka
waktu izin dan aturan mengenai jenis tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan HTR dikembangkan dengan pola iteratif (berulang) dan experimental
(uji coba) dengan cara memperbaiki kebijakan yang telah ditetapkan
sebelumnya berdasarkan respon dan tanggapan dari kelompok sasaran
kebijakan.
180

3. Kecenderungan pembangunan kehutanan pada saat HTR digulirkan adalah


pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara.
Kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kondisi politik nasional, dimana
pemerintahan yang berkuasa saat itu menggariskan strategi pembangunan
kerakyatan (pro-growth, pro-poor, pro-job).
4. Penggunaan narasi kebijakan pro kerakyatan dalam pembangunan hutan
dilakukan secara top-down, cetak biru, dan sentralistik. Oleh karena itu
kebijakan HTR menjadi sebuah bentuk baru kelembagaan pengelolaan hutan
oleh masyarakat, sehingga pada pelaksanaannya harus mengalami
penyesuaian dengan kondisi lokal masyarakat di masing-masing lokasi.

5. Respon para pemangku kepentingan sangat menentukan terhadap


keberhasilan implementasi program HTR. Implementasi HTR berjalan dengan
baik ketika ada respon positif dari pelaksana kebijakan di lapangan, baik dari
pihak pemerintah daerah maupun masyarakat sasaran program.

6. Pelaksana kebijakan di lapangan memiliki persepsi berbeda dengan pengambil


kebijakan di Pusat dalam hal memahami program. Para pihak di lapangan
menerima HTR sebagai program pemberdayaan masyarakat, yang berarti
identik dengan adanya dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana dari
pemerintah pusat. Sementara itu, penyusun kebijakan merancang HTR
sebagai kegiatan bisnis yang siap untuk dijalankan secara mandiri oleh
masyarakat sekitar hutan. Fasilitas dari pemerintah tidak bersifat mutlak,
karena diasumsikan masyarakat sasaran telah memiliki kapasitas untuk
menjalankan bisnis tersebut.

7. Program HTR terkendala oleh faktor keterbatasan lahan yang dapat


dialokasikan untuk HTR, rendahnya minat masyarakat, dan ketidaksiapan
pemerintah daerah untuk mengimplementasikan program. Adapun faktor yang
mendukung terselenggaranya HTR di lokasi yang telah berhasil
mengimplementasikan HTR adalah faktor antusiasme yang tinggi dari pihak
pemerintah daerah, adanya dukungan dari pihak LSM sebagai pendamping
masyarakat, dan minat masyarakat yang tinggi untuk berusaha di bidang hutan
tanaman.
181

8. Model konseptual kebijakan HTR dibangun dari analisis terhadap kompleksitas


permasalahan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan keberhasilan program
yang berkelanjutan. Permasalahan utama dalam program HTR terdiri dari tiga
bagian, yaitu :

a. Permasalahan sinkronisasi perencanaan pembangunan antara pusat dan


daerah dan antar sektor yang terkait. Oleh karena itu dirumuskan Model
Manajemen HTR yang merupakan upaya integrasi rencana pembangunan
guna mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan produktivitas lahan
hutan terdegradasi, peningkatan kapasitas kelompok tani dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

b. Permasalahan koordinasi antar lembaga dipecahkan melalui Model Lembaga


Pengelola HTR. Model ini menjelaskan tata hubungan kerja antar lembaga
yang terkait dalam pengelolaan HTR.

c. Permasalahan pendanaan dikembangkan melalui Model Pendanaan HTR


yang menunjukkan empat alternatif pendanaan yaitu : pinjaman dana bergulir
dari BLU Pusat P2H, pengembangan kemitraan dengan industri
besar/menengah, dan memanfaatakan dana CSR (Coorporate Social
Responsibility), serta alokasi anggaran pembangunan dari pemerintah
daerah.

9. Implikasi Model Kebijakan HTR adalah dibentuknya lembaga koordinasi di


tingkat kabupaten berupa Kelompok Kerja yang merupakan representasi
berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan program HTR. Pokja
memberikan arahan strategi kebijakan yang menjadi program kerja masing-
masing pihak. Visi Pokja adalah sebagai lembaga koordinasi untuk
mewujudkan keberlanjutan bisnis hutan tanaman yang dijalankan oleh
masyarakat. Pokja juga menjadi pusat kegiatan pendampingan yang dijalankan
oleh para Sarjana Kehutanan.
182

7.2 Saran

1. Hasil penelitian ini mendukung teori Sutton tentang kritik terhadap proses
perumusan kebijakan model linier atau model rasional. Model linier tidak
mungkin dipenuhi karena pengambil kebijakan memiliki keterbatasan
sumberdaya untuk mengumpulkan informasi yang komprehensif dalam rangka
memilih alternatif solusi terbaik. Namun demikian, argumentasi Sutton tentang
model linier tidak dapat sepenuhnya berlaku untuk kondisi pemerintahan di
Indonesia, karena kebijakan publik di Indonesia menjadi wewenang penuh
pemerintah. Oleh karena itu pihak pengambil kebijakan dapat melakukan
proses pendekatan yang lebih intensif kepada para pihak yang terkait agar
kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan aspirasi sasaran kebijakan.

3. Inisiatif para pihak masyarakat perlu lebih dikedepankan agar program


pengelolaan hutan bersama masyarakat lebih sesuai dengan konteks lokal

3. Sosialisasi mengenai kebijakan dan arahan program HTR perlu ditingkatkan agar
terjadi persamaan persepsi antara para pemangku kepentingan baik di pusat
maupun di daerah.

4. Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan perlu segera


menyalurkan kredit dana bergulir kepada pemegang IUPHHK-HTR. Percepatan
proses penyaluran kredit modal sangat diperlukan agar kegiatan HTR segera
terealisasi. Penelitian ini tidak khusus mengkaji aspek penyaluran kredit HTR,
sehingga disarankan agar topik tersebut menjadi bahan penelitian lanjutan.

5. Badan Usaha Milik desa (BUMDes) merupakan lembaga potensial untuk


mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, maka organisasi ini
direkomendasikan untuk diwujudkan sebagai wadah bagi petani HTR. Untuk itu
perlu dibangun kesepakatan tingkat Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam
Negeri untuk memadukan kegiatan HTR dan pengembangan BUMDes.

6. Model konseptual kebijakan menggunakan asumsi tidak adanya masalah pada


aspek tenurial. Asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi jika di lokasi tertentu aspek
tenurial masih perlu penanganan. Oleh karenanya model konseptual kebijakan
HTR masih dapat dilengkapi dengan mengkaji lebih lanjut aspek kepastian
lahan.
DAFTAR PUSTAKA

Achterkamp M, Vos JFJ. 2007. Critically identifying stakeholders: evaluating


boundary critique as a vehicle for stakeholder identification. Syst Res
Behav Sci 24:3-14

Adham AS. 12 Mei 2010. Kegagalan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.


Harian online kabar Indonesia. http://www.kabarindonesia.com/berita.php
[28 Desember 2010]

Adhikari B. William F, Lovvet JC. 2009. Local benefits from community forests in
the middle hills of Nepal. Forest Policy and Economics 9 (2007):464– 478

Adiprasetyo T. 2010. Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional


secara berkelanjutan di era otonomi daerah [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Agrawal A., Gibson CC. 1999. Enchantment and disenchantment: The role of
community in natural resource conservation. World Development 27 (4):
629–649.

Agrawal A. 2001. Common property institution and sustainable governance of


resources. World Development Economiics 10:1- 25

Anshari GZ, et al. 2005. Marginalisasi masyarakat miskin di sekitar hutan: studi
kasus HPHH 100 ha di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.
Decentralization Brief No.9 April 2005. Bogor: Centre for International
Forestry Research.

Anwar C. 2006. Perkembangan pasar dan prospek agrobisnis karet di


Indonesia. Lokakarya Budidaya Tanaman Karet, Medan 4-6 September
2006. Balai Penelitian Sungai Putih. Pusat Penelitian Karet.

Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Centre for Critical
Social Studies dan Kreasi Wacana.

Aziz ASR. 2007. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus. Di dalam:
Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. hlm 18- 34.

Baka. 2001. Rekayasa sistem pengembangan agroindustri perkebunan rakyat


dengan pendekatan wilayah [desertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Barbier E. 1997. The concept of sustainable economic development. Environ


Conserv 14 (2):114-129

Bebbington A, Dharmawan L, Fahmi E, Guggenheim S. 2005. Local capacity,


village governance, and the political economy of rural development in
Indonesia. World Development 34:1958-1976.
184

Bertalanffy L. 1968. General System Theory: Foundations, development,


application. New York: George Braziller.

Binswanger HP, Ruttan VW. 1978. Induced Innovation; Technology, Institutions


and Development. Baltimore and London: The Johns Hopkins University
Press, p. 329.

Blaikie P, Soussan JG. 2001. Understanding Policy Processes. Leeds:


University of Leeds.

Borrini-Feyerabend G, et al. 2003. Governance of protected areas innovation in


the air. Policy Matter Issue 12. Community Empowerment for Conservation
Sep, 2003.

[BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2008. Gunungkidul dalam


Angka. Wonosari: BPS Kabupaten Gunungkidul.

[BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Riau. 2009. Riau Dalam Angka. Pekanbaru :
BPS Provinsi Riau. riau.bps.go.id/attachments/RDA2009 [1 November
2010]

[BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2009. Kalimantan


Selatan Dalam Angka. Banjarmasin : Biro Pusat Statistik.

Bromley, Cernea MM. 1989. The management of common property natural


resources. World Bank Discussion Paper No. 57. Washington DC: , The
World Bank.

Bromley DW. 2007. Environmental regulations and the problem of sustainability:


moving beyond “market failure’. Ecology Economy 63:676-683

[CAPABLE] Centre of Capacity Building for Local Governance. 2007. Semiloka


pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dalam perspektif pemerintahan
desa. Jakarta : Kerjasama Ditjen BPK dengan Capable.

Carley J, Holmgren. 2003. Definitions related to planted forest. FAO Working


paper 79. Forest Resources Assessment Program, Forest Resource
Development Service. Forestry Department. Roma: Food Agricultural
Organization of the United Nations.

Chambers R. 1983. Putting The Last First. London: Longman.

Chambers R. 1993. Challenging the Profession; Frontiers for Rural


Development. London: Intermediate Technologie Publications.

Chambers R. 1994. Participatory Rural Apraisal (PRA): analysis of experience.


World Development 22 (9):1253-1268.

Checkland P. 1999. System Thinking, System Practice: Includes a 30-year


retrospective. New York: J Wiley.

Checkland P. 1995. Model validation in soft system practice. Syst Res Behac
Sci 12(1): 47-54
185

Checkland P. 2000. Soft system methodology: a thirty year retrospective. Syst


Res Behav Sci 17:S11-S58

Chen Z, Yang Z, Xie Z . 2005. Economic development of local communities and


biodiversity conservation: a case study from Shennongjia national nature
reserve, China. Biodiv Conservation 14:2095-2108

Clay EJ, Schaffer BB, editor. 1986. Room for Maneuver, An Explanation of Public
Policy in Agriculture and Rural Development. London: Heinemann.

Contreras-Hermosilia AC. Fay, Effendi E. 2006. Memperkokoh Pengelolaan


Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. Bogor: World
Agroforestry Centre (ICRAF-SEA).

Comhar. 2007. Principles for Sustainable Development. Dublin : The National


Sustainable Development Partnership, Sustainable Development Council.

Cordes JWH. 1992. Hutan Jati di Jawa dengan Alam, Penyebaran Sejarah dan
Eksploitasinya. Rahmad et al., penerjemah. Malang: Yayasan Manggala
Sylva Lestari. Terjemahan dari: De Djati-Bosshen Op Java.

Crhristis J. 2005. Theory and practice of soft systems methodology: a


performative contradiction?. Syst Res Behav Sci 22:11-26.

[CSERF] Centre for Social and Economic Research on Forestry. 2005. Strategy
for the development and sustainable wood-based industries in Indonesia:
integrated strategies & actions Indonesia. Report on ITTO Project PD
85/01 Rev.2 (1). Bogor: Forestry Research and Development Agency.

Dalal-Clayton B et al. 1994. National sustainable development strategies:


experience and dilemmas. Environmental Planning Issues No. 6. London:
Environment Plan Group, IIED.

Damin S. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bina Aksara.

[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang-undang


Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta:
Dephutbun

[Dephut] Departemen Kehutanan. tanpa tahun. Kebijakan Revitalisasi Sektor


Kehutanan Khususnya Industri Kehutanan dan Hasil yang dicapai.
http://www.dephut.go.id/files/kebijakan revitalisasi dan hasil.pdf [23 Okt
2010].

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah Kehutanan I (Periode


Prasejarah Tahun 1942). Jakarta: Departemen Kehutanan

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah Kehutanan II-III (Periode


Tahun 1942-1983. Jakarta: Departemen Kehutanan.
186

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Dephut alokasikan lahan hutan 5,4 juta
ha untuk usaha HTR dengan dukungan dana reboisasi. Siaran pers Nomor
S.51/II/PIK-1/2007. http://www.dephut.go.id/index.php [11 Desember 2009]

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Keputusan Menteri Kehutanan


Republik Indonesia No. P 05/Menhut-II/2008 tentang Perubahan permenhut
Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan
Tanaman. Jakarta: Dephut; 2008.

[Dephut] Departemen kehutanan. 2009. Pengelolaan hutan kemasyarakatan di


Daerah Istimewa Yogyakarta. http://www. dephut.go.id/ INFORMASI/ RR/
RLPS/ HK-DIY.htm [30 Okt 2010].

[Deptan] Departemen Pertanian. 11 Juni 2005. Presiden canangkan revitalisasi


pertanian, perikanan dan kehutanan. http://www.litbang.deptan.go.id/
berita/one/216 [22 Okt 2010]

[Dishutbun DIY] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta. 2009. Laporan identifikasi hutan tanaman rakyat (HTR) Blok
Wunung – Kecamatan wonosari Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta:
Dishutbun.

[Dishut Kalsel] Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. 2007. Data dan
Fakta Pembangunan Kehutanan di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Dishut
Kalsel.

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2008. Progres Telaah
Usulan Pencadangan Lokasi HTR sd. 10 April 2008. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan.

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release
2009 Triwulan II Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Jakarta:
Ditjen BPK Kementerian Kehutanan. http://www.dephut.go.id/ files/
Data_Release_DitjenBPK_Triwulan_II_2009. pdf. [22 Okt 2010]

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. Evaluasi


Pelaksanaan Kegiatan Tahun 2010 dan Kebijakan Pelaksanaan Program
dan kegiatan Prioritas tahun 2011. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi
Teknis Pembangunan Kehutanan Bidang Bina Produksi Kehutanan tahun
2010. Jakarta: Ditjen BPK kementerian Kehutanan.

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina produksi Kehutanan. 2010. Laporan


Perkembangan Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan Produksi, Triwulan II
(April-Juni 2010). Jakarta: Ditjen BPK kementerian Kehutanan.

Drack M. 2009. Ludwig von Bertalanffy’s early system approach. Syst Res
Behav Sci 26:563-571.

Dubrowsky V. 2004. Toward system principles: general system theory and the
alternative approach. System Research Behav Sci 21: 109-122.
187

Dunn WN. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua. Wibawa S,
Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA, penerjemah: Darwin M, editor.
Yogyakarta: Gajahmada University Press. Terjemahan dari Public Policy
Analysis: An Introduction.

Dye TR. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.

Eisenhardt KM. 1989. Building theories from case study research. Academy of
Management Review, Vol 14 No.4:532-550

Ekeh 1974. Social Exchange Theory: The Two Traditions. Cambridge, Mass:
Harvard University Press.

Ellsworth L. 2004. A Place in The World: Tenure Security and Community


Livelihood. Forest Trend and Ford Foundation

Emila, Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR): agenda baru untuk
pengentasan kemiskinan? Warta Tenure No.4. Working Group on Forest
Land Tenure.[terhubung berkala] http://www.wg-tenure.org/file/
warta_tenure/edisi_04e.pdf [21 Okt 2010]

Engel S, Palmer. 2006. Who own the right: the determinants of community
benefits from logging in Indonesia? Forest Policy and Economy 8 (2006):
434–446.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.


Bogor: IPB Press.

Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk -


Pascasarjana. Bogor: IPB Press.

Evans J. 1992. Plantation Forestry in Tropics, 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.

[FAO] Food Agriculture Organization. 2001. Global Forest Resource


Assessment 2000. Rome: Food Agriculture Organization of the United
Nations.

Farrelly N. 2007. The farm forest resource in Ireland; opportunities and


challenges for rural development in Ireland. Small-scale Forestry, Vol. 6
No.1:49-64.

Fox JM. 1993. Forest resource in a Nepal Village: the positive influence of
population growth. Mountain Research and Development 13 (1):89-90

Fox J. 1990. Diagnostic tools for social forestry. Di dalam: Poffenberger M,


editor. Management Alternatives in Southeast Asia. Manila: Ateneo de
Manila University Press. hlm 119-133

[FWI/GFW] Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2002. The State of


the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia and Washington DC.
Global Forest Watch.
188

Garrity DP et.al. 1997. The imperata grasslands of tropical Asia; area


distribution and typology. Agroforestry System 36:263-274.

Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi


Kedua. UI-Press dan John Hopkins, Jakarta.

Goodland R, Ledoc G. 1987. Neoclassical economics and principles of


sustainable development. Ecol Modelling 38(1-2):19-46

Gor. 28 September 2010. Badan Layanan Umum kehutanan segera bantu


industri pengolahan skala rakyat. Vetonews.com http://vetonews.com [30
Okt 2010].

Grindle M, Thomas J. 1990. After the decision: implementing policy reforms in


developing countries. World Development Vol. 18 (8).

Gumilar T. 20 Mei 2010. Izin Berbelit-belit, Target 500 Ribu Ha HTR Bisa Tak
Tercapai. Kontan Online. Kamis 20 Mei 2010. http://klasik.kontan.co.id/
nasional/news [27 Desember 2010]

Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science Vol 162 No. 3859.
December 13, 1968:1243 – 1248.

Hill M. 2005. The Public Policy Process, 4th edition. London: Perason-Longman

[IDS] Institute Development Study. 2006. Understanding Policy Process: A


Review of IDS Research on the Environment. Bringhton: United Kingdom.

Irawati SR, Maryani R, Effendi R, Hakim I, Dwiprabowo H. 2008. Kebijakan


penetapan harga dasar penjualan kayu hutan tanaman rakyat dalam
rangka pengembangan Hutan Tanaman Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan. Vol 5 No 2. Agustus 2008.:89-100.

Iskandar U, Ngadiono, Nugraha A. 2003. Hutan Tanaman Industri: Di


Persimpangan Jalan. Jakarta: Arvico Press.

Ismanto AD. 2010. Permasalahan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan


alam produksi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Jackson MC. 2000. System Approaches to Management. New York: Kluwer


Academic, Plenum

Jariyah NA, Cahyono, Nugroho, Yuliantoro. 2003. Kajian manfaat finansial


berbagai sistem usahatani. Laporan penelitian. Surakarta : Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah
Indonesia Bagian Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Juma C, Clark N. 1995. Policy research in Sub-Saharan Africa: an exploration.


Public Administration and Development, Vol 15.121–137.
189

Justianto A. 2005. Dampak kebijakan pembangunan kehutanan terhadap


pendapatan masyarakat miskin di Kalimantan Timur: suatu pendekatan
sistem neraca sosial ekonomi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,
Insitut Pertanian Bogor.

Kanungo S, Bhatnagar VK. 2002. Beyond generic models and subdued


participation: interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve
in South China. Environ Management 30 (3): 327-341

Kant SS. 2004. Economics of sustainable forest management. Forest Policy


and Economics, 6;197-203.

Kartasubrata J. 2003 Social Forestry dan Agroforestry di Asia. Bogor : Lab


Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan-Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.

Kartodihardjo H. 1998. Peningkatan kinerja pengusahaan hutan alam produksi


melalui kebijaksanaan pemetaan institusi [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor.

Kartodihardjo H. 2006. Masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakan


kehutanan: Studi tiga kasus. Jurnal Management Hutan Tropika Vol XII No.
3:14-25.

Kartodihardjo H, Supriono. 2000. The impact of sectoral development on


natural forest conversion and degradation; the case of timber and tree crop
plantation in Indonesia. Occasional Paper No. 26. Bogor: Centre for
International Forestry Research.

Karyana A. 2007. Analisis posisi dan peran lembaga serta pengembangan


kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Koontz HC, Donnel O, Weihrich H. 1984. Management eight edition.


Singapore: McGraw Hill International Company.

Korten DC, Klauss, R. 1984. People-Centered Development: Contributions


Toward Theory and Planning Framework. West Hartford, Connecticut:
Kumarian Press.

Kusumoharyono U. 2006. Eksistensi tanah kasultanan (Sultan ground)


Yogyakarta setelah berlakunya UU No.5/1960. Yustisia Nomor 68 Mei-
Agustus 2006.

Kurniawan I, Roshetko J, Anggakusuma D. 2008. Community Teak Wood


Marketing in Gunungkidul District Yogyakarta: Current Practice, Problems
and Opportunities. ACIAR Project Report. Bogor: Centre for International
Forestry Research.

Kurniawan R. 2010. Sistem pengelolaan kawasan karst Maros-Pangkep


Provinsi Sulawesi Selatan secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
190

Leach M, Mearns R, editor. 1996. The Lie of the Land:Challenging Received


Wisdom on the African Environment. Oxford: James Currey.

Lincoln Y, Guba EG. 1985. Naturalistic Inquiry. Newburry Park, California: Sage
Publication.

Luckett S, Grossenbacher K. 2003. A critical systems intervention to improve


the implementation of a District Health System in KwaZulu-Natal. Syst Res
Behav Sci 20:147-162

Lynch OJ, Talbott K. 1995. Balancing Acts: Community-Based Forest


Management and National Law in Asia and the Pasific. Washington DC:
World Resources Institute

Lyndayati R. 2002. Ideas and Insitutions in social forestry policy. Di dalam:


Coffer and Ida Ayu, editor. Which Way Forward? People, Forest, and
Policymaking in Indonesia. Bogor: Centre for International Forestry
Research.

Malone T, Crowton K. 1993. The interdisciplinary study of coordination. ACM


Computing Survey March 26 (1): 87-199.

Malla YB. 2000. Impact of community forestry policy on rural livelihoods and food
security in Nepal. Unasylva 51 (3):37–45.

Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


Jakarta: Grasindo.

Masyitah. 2009. Strategi pengelolaan hutan tanaman rakyat di Kabupaten


Sarolangun Provinsi Jambi [tesis]. Bogor: Managemen dan Bisnis, Institut
Pertanian Bogor.

Mayer RR, Greenwood E. 1980. Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial.


Jakarta: Rajawali

[MFP] Multistakeholder Forestr Programme. 2008. Cerita seputar Hkm. Edisi


Khusus Buletin Komunikasi Program MFP II Agustus 2008.
http://www.mfp.or.id/dev/wp-content/uploads/2009/03/imam-kadir-pejuang-
hkm2.pdf[24 Okt 2010]

Moekayar. 1994. Koordinasi. Suatu Tinjauan Teoriis. Bandung: CV Mandar


Maju.

Moniaga S. 2000. Advocating for Community-Based Forest Management. Di


dalam: Indonesia’s Outer Island; Political and Legal Constraints and
Opportunities IGES International Workshop [terhubung berkala]
http://enviroscope.iges.or.jpg/envirolib/upload/1508/attach/1ws-13-
sandra.pdf [22 Okt 2010]

Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis:


Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMPJ Pr.
191

Muljana S. 2008. Tafsir Sejarah, Negara Kertagama. Yogyakarta: LKIS


Publisher

Mulyadi. 2001. Rancang bangun strategi agroindustri rotan [tesis]. Bogor:


Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Mulyana Y. 2001. Mendayagunakan Kelompok Tani Hutan untuk


Mengusahakan Hutan Tanaman. Jakarta: Departemen Kehutanan.

Muray-Rust H, Memon Y, Talpur M. 2001. Empowerment of farmer organizations


case study of farmer managed irrigated agriculture project, Sind. Working
Paper 19. Pakistan Country Series Number 6. Pakistan: International
Water Management Institute.

Mustopadidjaja et al. 2003. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik


Indonesia (SANKRI). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia.

Nawir AA, Murniati, Rumboko, editor. 2008. Rehabilitasi hutan di Indonesia:


akan kemanakan arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa? Bogor:
Centre for International Forestry Research.

Noor M. 2010. Peningkatan produktivitas lahan gambut dan perluasan lapangan


kerja. Makalah disampaikan pada Seminar Lokakarya Nasional
Pemanfaatan lahan gambut Berkelanjutan untuk pengurangan kemiskinan
dan Percepatan pembangunan Daerah, Bogor 28 Oktober 2010. Institut
Pertanian Bogor.

Noordwijk MV et.al. 2007. Is Hutan Tanaman a New Paradigm in Community


Based Tree Planting in Indonesia. ICRAF Working Paper Number 45.
ICRAF South East Asia. Bogor.

Nor IA. 2008. Profil BUMDes. http://wwwsimpangmahar .blogspot.com/2009/


02/profil bumdes.htm[3 Des 2010]

Noronha R, Spears JS. 1988. Variabel-variabel Sosiologi dalam Rancangan


Proyek Kehutanan: Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan. Teuku
BB penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nugroho R. 2005. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok


Gramedia.

Ngadiono. 2004. Tiga Puluh Lima Tahun Pengelolaan Hutan di Indonesia;


Refleksi dan Prospek. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro.

Nugroho B. 2009. Review kebijakan dan strategi pengembangan HTR. Di


dalam Workshop Strategi Percepatan Perluasan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) pada acara Pekan Raya Hutan & Masyarakat 2009 “Gerakan Rakyat
Untuk Mengantisipasi Isu Global Pengelolaan Sumber Daya Hutan”. Graha
Sabha Pramana Kampus UGM Yogyakarta, 14 Januari 2009.

Nurjaya IN. 2005. Sejarah hukum pengelolaan hutan di Indonesia.


Jurisprudence, Vol 2 No.1 Maret 2005: 35 – 55.
192

Nurjaya IN. 2005. Magersari: dinamika komunitas petani-pekerja hutan dalam


perspektif antropologi hukum. Laporan kerjasama Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Brawijaya-Arena Hukum. Malang: Universitas Negeri
Malang.

Padge A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What makes community forest


management successful: a meta-study from community forest throughout
the World. Society and Natural Resources Volume 19, Issue 1 January
2006:3-52.

Pelengkahu J, Kondradus D, Nugraha A. 2006. Kontroversi Dana Reboisasi


dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri: Sebuah Tinjauan Hukum.
Banten: Wana Aksara.

Pertev R. The Role of Farmer and Farmer Organization. Tanpa tahun. Cashiers
Option Mediterranean’s, vol 2 no.4. http://ressources.ciheam.org/om/pdf/
c02-4/94400041.pdf[24 Okt 2010]

Peluso NL. 1992. Rich forest, Poor People: Resource Control and Resistance in
Java. Berkeley: University of California Press

Poffenberger M. 2006. People in the forest: community forestry experiences from


Southeast Asia. Environment and Sustainable Development, Vol. 5, No.
1:57–69.

Potter L, and Lee J. 1998. Tree planting in Indonesia: trend, impacts and
directions. Occasional Paper No. 18. Bogor: Centre for International
Forestry Research.

Quade ES. 1982. Analysis for Public Decission. New York: Elsevier Science
Publishing.

Rahardjo D, Suryadi, Rosdiana E, editor. 2006. Pengelolaan Hutan Berbasis


Masyarakat Perjalanan Menuju Kepastian. Jakarta: Departemen
Kehutanan dan The Ford Foundation.

Raharjo D. 2007. Kemandirian pengelolaan keuangan desa; sebuah perspektif


untuk pengembangan HTR. Makalah disampaikan pada Semiloka
pembangunan HTR dalam perspektif pemerintah desa 21-22 Februari
2007. Jakarta.

Repetto R. 1988. Overview. Di dalam Repetto R, Gillis M, editor. Public Policies


and the Misuse of Forest Resource. New York: Cambridge University
Press. Hlm. 1- 42.

Richardson GP, Pugh A. 1983. Introduction to System Dynamics Modeling with


Dynamo. Cambridge: MIT Press.

Roe E. 1991. Development narratives or making the best of blueprint


development. World Development. Vol. 19 No. 4.
193

Roe E. 1994. Narrative Policy Analysis: Theory and Practice. United State of
America: Duke University Press.

Roe E. 1995. Except-Africa: postscript to a special section on development


narratives. World Development Vol 23 No.6.

Roshetko et al. 2007. Agroforestry for livelihood enhancement and enterprise


development. Di dalam : Proceeding of the International Workshop for
Integrated Rural Development in East Nusa Tenggara. Kupang, 5-7 April
2006.

Rusli Y. 2003. The policy of the Ministry of Forestry on social forestry. Paper
presented on International Conference on Rural Livelihoods, Forest and
Biodiversity, May 19-23, 2003. Bonn.

Sachiho AW. 2008. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau:


sebuah tafsiran seputar pemberdayaan petani kebun. Komaba Studies in
Human Geography Vol 19 hal 1-16.

Salim E. 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta:LP3ES

Santoso B. 12 Oktober 2010. Hutan tanaman jaminan masa depan. Media


Indonesia:21(kolom opini, 1-6)

Santosa UA. 25 Februari 2010. Dana BLU kehutanan belum terserap secara
maksimal. Kontan Online. http://klasik.kontan.co.id/nasional/news/21012/
Okt 2010]

Saragi T. 2004. Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa: Alternatif


Pemberdayaan Desa. Jakarta: Yayasan IKAPI dan Ford Foundation.

Sargent RG. 1998. Vaidation and verification of simulations models. Di dalam :


Medeiros DJ, Watson EF, Carson JF, Manivannan MS editor. Proceedings
of the 1998 Winter Simulation Conference; Washington, 13-16 Dec 1998.
San Diego: IEEE, ACM, Soc Comp Sim Int. hlm 121-130.

Sardjono MA. 2006. PHBM dan masa depan kehutanan masyarakat di


Indonesia. Makalah disampaikan pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat
19-22 September 2006.

Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and classification of program plant
elements using Interpretive Structural Modeling: a case study of energy
conservation in the Indian Cement Industry. Syst Practice 5 (6): 651-670.

Schleicher-Tappeser R, Lukesch R, Strati F, Thiertein A, Sweeney G. 1997.


Sustainable regional development; an integrative concept. Conference of
Science for a Sustainable Society. Roskilde.

Schirmer J. 2007. Plantation and social conflict; exploring the differences


between small-scale and large-scale plantation forestry. Small scale
forestry (6)1:19-33
194

[SHOREA] Perhimpunan Shorea. 2010. Kelompok kerja pemberdayaan


masyarakat dalam pengelolaan hutan. http://perhimpunanshorea.org/
kelompok-kerja.html [30 Okt 2010].

Simon H. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran, Problema dan Strategi


Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simon H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada
Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sofyar F. 2004. Pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi


bersih [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Spek M. 2006. Financing Pulp Mills; An Appraisal of Risk Assesment and


Safeguard Procedures. Bogor: Centre for International Forestry Research..

Springate-Baginski O, Soussan, J. 2002. A Methodology for Policy Process


Analysis. York: Stokholm Environment Institute

Sumarsono S. 2007. Kebijakan pengembangan BUMDes sebagai bagian dari


pemerintahan desa. Di dalam Sosialisasi dan Semiloka Pembangunan
Hutan tanaman Rakyat dalam Perspektif Pemerintahan Desa, Jakarta 21-
22 Februari 2007. Jakarta: Kerjasama Ditjen BPK dan Centre of Capacity
Building for Local Governance.

Sutton R. 1999. The Policy Process: An Overview. London : Overseas


Development Institute. Porland House Stag Place, Chameleon Press Ltd.

Suryamidhardja S. 2006. Kebijakan dan kelembagaan CBFM di tingkat nasional


dan pengalaman mengelola kerja-jerja multipihak. Makalah disampaikan
pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 2006; Fahutan UGM-JAVLEC,
Yogyakarta, 19-22 September 2006.

Twyman C. 2000. Participatory conservation? community based natural resource


management in Botswana. The Geographical Journal 166 (4):323– 335.

[UNCED] United Nations Commission on Environment and Development. 1992.


Agenda 21. New York:United Nation..

Utomo HW. 2 Maret 2010. Penempatan dana BLU diperpanjang 3 tahun.


Tropisnew http://www.tropisnews.com/detail.php?view=berita&id=60 [30
Okt 2010].

Walt G. 1994. How far does research influence policy. European Journal of
Public Health Vol 4, Issue 4:233-235

[WAC]. World Agroforestry Centre. Pengelolaan hutan bersama masyarakat


(PHBM) pembelajaran keberhasilan dan kegagalan program. Brief
November 2009. Bogor: WAC.

[WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our


Common Future. New York: Oxford University Press.
195

Weimer DL, Vinning AR. 1999. Policy Analysis: Concepts and Practice. New
Jersey: Prentice Hall.

Wibisono B. 2008. Model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan


mineral yang berkelanjutan: studi kasus pengelolaan lingkungan Mod-ADA
di Kabupaten Mimika, Papua [disertasi]. Bogor: Sekolah pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Wijayanto N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan


kemasyarakatan: studi kasus di repong damar, Pesisir Krui, Lampung
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Winter S. 1990. Integrating Implementation Research. Di dalam Palumbo,


Calista, editor. Implementation and the Policy Process, Opening Up the
Black Box. Westport, CT: Greenwood Press. hlm 19-38.

Yadav NP, Dev OP, Springate-Baginski O, Soussan J. 2003. Forest management


and utilization under community forestry. Journal of Forest and Livelihood 3
(1): 37–50.

Yusran. 2005. Analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di


kawasan pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zerner C. 1990. Legal option for the Indonesian forestry sector. Field Document
No VI-4. Roma: Food Agricultural Organization of the United Nation.
LAMPIRAN
197

Lampiran 1 Proses mekanisme pencadangan areal HTR (Nugroho 2008)


198

Lampiran 2 Proses pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat (Nugroho 2008)
Lampiran 3 Daftar pertanyaan untuk proses perumusan kebijakan HTR

Daftar pertanyaan pada bagian ini disusun untuk menggali informasi mengenai
latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses perumusan.

Faktor-faktor yang dimaksud meliputi :

a. sumber pengetahuan atau inovasi


b. konteks sosial, politik, dan ekonomi
c. kerangka hukum ;
d. kebijakan yang sebelumnya ada
e. kejadian penting yang berpengaruh
f. pengaruh kelembagaan
g. pengaruh donor atau lembaga eksternal lainnya

1. Bagaimana peran bapak/ibu dalam merumuskan kebijakan HTR?


2. Apa yang mendorong dirumuskannya kebijakan hutan tanaman rakyat?
3. Kondisi sosial ekonomi dan politik apa yang berpengaruh terhadap
dirumuskannya kebijakan HTR?
4. Apakah ada kejadian penting yang berpengaruh terhadap dirumuskannya
kebijakan HTR, misalnya tuntutan dari lembaga internasional/donor?
5. Apa tujuan yang ingin dicapai dari Hutan Tanaman Rakyat?
6. Untuk mencapai tujuan tersebut, apakah ada alternative kebijakan lain selain
HTR? Jika ada, mengapa kebijakan alternative tersebut tidak dipilih?
7. Apakah kebijakan HTR dianggap sebagai sebuah inovasi baru dalam
pengelolaan hutan di Indonesia? Ataukah HTR merupakan pengembangan
dari kebijakan yang sebelumnya ada? Misalnya merupakan modifikasi dari
program HKM atau HTI
8. Siapa yang pertama kali mencetuskan gagasan kebijakan Hutan Tanaman
Rakyat?
9. Apakah ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan ditetapkannya kebijakan
HTR?
10. Siapakah pihak-pihak yang paling mendukung ditetapkannya kebijakan HTR?
11. Bagaimana sikap dan peran para akademisi/peneliti terhadap proses
perumusan kebijakan HTR?
12. Bagaimana sikap dan peran para Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap
kebijakan HTR?
13. Bagaimana sikap dan peran lembaga donor asing terhadap kebijakan HTR?
200

14. Bagaimana sikap dan peran para pengusaha industri kayu terhadap
kebijakan HTR?
15. Dalam kerangka kebijakan social forestry, apakah HTR merupakan pilihan
terbaik untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat agar berperan
serta dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi?
16. Bagaimana jika masyarakat menolak kebijakan tersebut, karena alasan hak
kepemilikan atas hutan memperkokoh status negara sebagai pemiliknya?
Apakah akan ada kebijakan lain untuk mengatasinya?
17. Apa yang menjadi landasan ditetapkannya jangka waktu ijin selama 65 tahun
dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun
18. Mengapa ada aturan bahwa hak kepemilikan tidak dapat diwariskan.
Bagaimana rasionalisasinya dengan jangka waktu ijin yang 65 tahun?
19. Apa yang menjadi landasan ditetapkannya luasan lahan 15 ha per kepala
keluarga
20. Mengapa proses perijinan menjadi wewenang penuh bupati/walikota?
21. Bagimana pandangan bapak/ibu secara umum mengenai hubungan hutan
dan masyarkat?
22. Setujukan bapak/ibu terhadap konsep ”penguasaan hutan oleh negara”?
23. Apakah menurut pandangan bapak/ibu, masyarakat sekitar hutan memiliki
kapasitas yang cukup untuk mengelola hutan?
24. Apakah proses perijinan merupakan hal yang mutlak untuk menjamin
terselenggaranya pengelolaan hutan yang baik?
25. Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap program HKM yang telah berjalan
sejak tahun 1995
26. Bapaimana pandangan bapak/ibu terhadap kebijakan pembangunan HTI?
(HTI telah dibangun sejak 1990, namun hingga tahun 2004 luas hutan
tanaman yang berhasil dibangun baru 3,12 ha atau 58% dari ijin areal yang
telah dikeluarkan sebesar 5,4 juta). Apa permasalahan yang terjadi dalam
pembangunan HTI dan bagaimana HTR bisa belajar dari pengalaman
tersebut?
201

Lampiran 4 Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi

Tahun Uraian

1865 Reglemen Hutan 1865 (Boswet 1865), menetapkan pembentukan


”de Dienst v/h Boswezen (Jawatan Kehutanan)

1874 Reglemen Pemangkuan dn Eksploitasi Hutan Jawa dan Madura

1876 Penebangan kayu sistem Panglong di Riau oleh penebang


Tionghoa yang sangat berpengalaman. Sementara peraturannya
baru ditetapkan pada tahun 1923

1904 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan ” Hout


Aankap Concesies” atau peraturan penebangan konsesi kayu.
Atas dasar peraturan tersebut, beberapa Kesultanan dan
Kerajaan mengeluarkan ijin konsesi hutan diantaranya di
Kalimantan Timur. Sehingga pada tahun 1914 di Kalimantan
Timur tercatat ada beberapa perusahaan yang melakukan usaha
perkayuan sebagai pemegang konsesi hutan, diantaranya :

1) Nederlands Indische Exploitastie Mij Nunukan, dengan luas


konsesi 100.000 ha di Bulungan
2) J. Macdonald Cameron, dengan konsesi seluas 200.000 ha di
Bulungan
3) NV.Java and Borneo Olie en Rubber Syndicaat seluas 4.900
ha di kawasan Sambaliung, Gunung Tabor
4) NV.Seliman Hout en Landbouw Mij, seluas 22.000 ha di
Sembaliung/Gunung Tabor, sebuah perusahaan Amerika yang
juga telah membangun sawmill dengan kapasitas 150 m3 per
hari
5) VA.Cools, seluas 6.300 ha juga di Sambaliung dan Gunung
Tambor.
Handels Vereeneging Java Borneo (JABOR) yang melaksanakan
penebangan di Teluk Seliman mulai tahun 1918. Dengan
pengalaman yang cukup dan investasi yang besar, maka JABOR
diharapkan akan dapat bekerja lebih baik, tetapi perusahaan ini
menghentikan kegiatannya pada tahun 1926.

1915 Pemerintah membentuk ”Panitia Pembangunan Industri


perkayuan di Indonesia” yang bertujuan mempelajari kemungkinan
pembangunan industri pengolah kayu

1934 Peraturan Penebangan Hutan di kalimantan Barat mengatur hak


pemerintah dalam memberikan ijin, mengatur retribusi hasil hutan
dan lain-lain
202

Lanjutan Lampiran 4

Tahun Uraian

1937 Pemerintah Hindia Belanda mengijinkan 9 perusahaan swasta


dan asing untuk melaksanakan eksploitasi hutan di Sumut,
Lampung, Kaltim, dan Sulteng
1938 Peraturan Pemerintah Daerah (Zelf Bestuur) untuk
melaksanakan pengurusan hutan di kawasan swaprajanya
masing-masing
1939 Hak swapraja mulai dibatasi daam hal pemberian Hak konsesi
hutan, karena harus mendapat persetujuan Pemerintah Hindia
Belanda
1942-1949 Pengelolaan hutan swapraja tidak berjalan
1950 Kewajiban pengurusan hutan di bekas kawasan swapraja
menjadi tanggung jawab Jawatan Kehutanan
1952 FAO mengirimkan ahli industri kerjas untuk mempelajari
peluang pembangunan industri kertas di Indonesia. Jawatan
Kehutanan membentuk Pantia Kertas, setahun kemudian
dibentuk Panitia Persiapan Hutan Industri (PPHI)
1955 Dilaporkan jumlah penggergajian mesin di Indonesia sudah
mencapai 284 unit dengan kapasitas 491.000me kayu bulat.
Industri kehutanan yang sudah berjalan (tahun 1956),
diantaranya:
1. Pabrik fibre board di Banyuwangi kapasitas 1.500 ton per
tahun
2. pabrik pensil di Jakarta, kapasitas 39.000 gross per tahun
3. 6 pabrik korek api, dapat menghasilkan 187 juta kotak per
tahun
4. 9 unit pengawetan kayu untuk bantalan kereta api
5. 20 pabrik peti, kapasitas 50.000 m3 per tahun
1957 Diterbitkan PP No 64/1957, Pemda berwenang mengeluarkan
ijin kap-persil yaitu semacam ijin HPH terbatas maksima 10.000
ha. Di beberapa provinsi ijin kap persil tidak dapat dilaksanakan
1960 Tap MPR No II/1960 tentang GBHN dimana Sektor kehutanan
ditargetkan menyumbang devisa negara sebanyak US$52,2 juta

1967 Diterbitkan UU Pokok Kehutanan No 5. Undang-undang


Penanaman Modal Asing No 1 dan PP No 22 tentang Iuran
HPH dan Iuran Hasil Hutan
1970 HPH mulai beroperasi sebanyak 45 unit
203

Lanjutan Lampiran 4
Tahun Uraian
1978 Pembangunan Hutan tanaman Industri (HTI) direncanakan dengan
skema HPHTI, digagas oleh Dr.Soedjarwo (Dirjen Kehutanan)
1980 Pembangunan HTI dimulai, jumlah HPH menjadi 454 unit
1986 Penyempurnaan ijin HPHTI dengan SK Menhut No417/II/1986
tentang pembangunan HTI. Lokasi HTI adalah tanah kosong atau
tidak produktif. Perusahaan yang akan membangun HTI dapat
berpatungan dengan BUMN Kehutanan
1990 Perusahaan yang akan membangun HTI, bisa meminta dana
reboisasi kembali. Ketentuan tentang Dana Jaminan Reboisasi
diganti menjadi Dana Reboisasi
1994 Pola HTI Trans mulai diberlakukan
1999 Era Menteri Muslimin Nasution-Presiden BJ Habiebie: mengeluarkan
PP No.6/1999, bahwa semua ijin HPH yang berakhir pada tahun
1999/2000 tidak diperpanjang, kecuali jika memberikan 20% saham
kepada koperasi setempat. Luas tiap HPH dibatasi 100.000 ha, dan
setiap perusahaan hanya boleh memiliki maksimum 400.000 ha di
seluruh Indonesia. Setiap tahun saham koperasi harus ditingkatkan
sebanyak 1%. Jadi jika hak konsesi berlangsung 35 tahun, maka
koperasi akhirnya akan memiliki 55% saham perusahaan tersebut.
1999 Era Menteri Nur Mahmudi Ismail – presiden Abdurrahman Wahid,
mengeluarkan KepMenHutbun 310/1999; Bupati berwenang
mengluarkan HPH 100 ha. Dasar pemikirannya adalah untuk
meningkatkan pendapatan daerah dengan memberi masyarakat
kesempatan mengeksploitasi hutan. Desa dapat membentuk
koperasi atau perusahaan kemudian melakukan penebangan di areal
hutan konversi selama 1 tahun
2000 KepMenhut No.05.1/Kpps/II/2000 tentang pemberian wewenang
kepada pemerintah daerah untuk mengelola IPK (Izin Pemanfaatan
Kayu) 100 ha dan HPH skala kecil 10.000 ha
2002 Era Menhut M.Prakosa – Presiden Megawati, mengeluarkan
Kepmenhut No 541/Kpps/II/2002 untuk menghentikan kegiatan
pembukaan hutan oleh daerah dan mencabut Kepmenhut No.
05.1/Kpps/II/2000 tentang pemberian wewenang kepada daerah
dalam mengelola IPK 100 ha dan HPH skala kecil 10.000 ha
2005 Menteri Kehutanan MS.Kaban Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Jumlah perusahaan HPH 272, HTI 117 total perusahaan 389. Mulai
digulirkan ide-ide pembangunan HTR, yaitu sistem konsesi hutan
produksi yang akan diberikan kepada masyarakat sekitar hutan dalam
skala kecil
2007 Perubahan PP 34/2002 menjadi PP 6/2007 menjadi landasan hukum
bagi dilaksanakannya kegiatan HTR sebagai salah satu program
pembangunan Hutan Tanaman di Kawasan Hutan Produksi yang
terdegradasi (Looged over area=LOA)
Sumber : Data dikumpulkan dari berbagai sumber terutama Sumarjani (tanpa tahun),
Isakndar et al. (2003), Simon (1993), Cordes (1992), Nurjaya (2005).
204

Lampiran 5 Catatan lapangan hasil wawancara

- Catatan hasil wawancara ini disusun berdasarkan rekaman hasil wawancara


yang kemudian oleh peneliti ditranskripsi, untuk kemudian dianalisis dengan
cara cara mengambil point-point penting hasil pemaparan.

- Deskripsi disusun berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang


merupakan salah satu aktor kunci dalam perumusan kebijakan HTR.

- Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan daftar


pertanyaan untuk menggali informasi penting tentang proses perumusan
kebijakan.

DESKRIPSI HASIL WAWANCARA

Filosofi hutan alam dan hutan tanaman

- Dasar hukum HTR adalah PP 6 2007. Dalam PP tersebut mulai ada


pembedaan yang jelas antara hutan alam dengan hutan tanaman. Sehingga
segala peraturan mengenai hutan tanaman dibedakan secara tegas dengan
hutan alam. Selama ini aturan pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman
selalu disamakan (perlu klarifikasi).

- Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan berdasarkan filosofi bahwa hutan
alam adalah sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia
tidak memiliki kemampuan untuk membangun hutan yang kondisinya mirip
dengan ekosistem hutan alam. Manusia hanya bisa membangun hutan
tanaman yang kondisi ekosistem berbeda dengan hutan alam.

Ide membangun Hutan Tanaman Rakyat

- Kondisi hutan alam di Indonesia yang sudah terdegradasi menunjukkan bahwa


di hutan banyak kawasan kosong berupa padang alang-alang atau semak
belukar. Tetapi lahan kosong tersebut tidak dalam satuan hamparan yang
luas, melainkan spot-spot kecil.

Lanjutan Lampiran 5
- Perlu ada upaya rehabilitasi terhadap areal-areal kosong tersebut. Maka
terpikirlah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman
di spot-spot lahan kosong. Rakyat diberi hak seperti perusahaan HTI untuk
menanam hutan, dalam skala luasan yang lebih kecil daripada HTI. Pada
awalnya gagasan Pak Deni adalah membangun HTI skala mikro.
- Jika rakyat yang melakukan kegiatan penanaman, maka lahan yang bisa
ditanam tidak akan terlalu luas. Dan tidak diperlukan dokumen Amdal, karena
luasan yang kecil tidak merubah bentang alam.
- Istilah HTI skala mikro, oleh Pak Menteri ingin disebut dengan ”Hutan Rakyat”.
Namun karena istilah Hutan Rakyat sudah identik dengan hutan milik (UU 41
tentang Kehutanan), Maka dicarilah nomenklatur untuk kebijakan ini dengan
nama HUTAN TANAMAN RAKYAT.
- Pembangunan hutan tanaman berdasarkan aspek kelestarian (ekonomi,
ekologi, sosial) bisa menjamin tercapainya pengelolaan hutan lestari. Secara
205

ekonomi tergolong produktif karena menghasilkan kayu; secara


ekologikegiatan menanam jelas akan menjamin adanya perbaikan ekologis,
secara sosial juga diyakini memberi dampak positif karena melibatkan
masyarakat)

Konsep aturan awal mengenai HTR


- Pada awalnya di pengaturan HTR tidak ditetapkan luas maksimal 15 ha.
Melainkan berapapun yang rakyat mampu. Tetapi kemudian muncul
rekomendasi dari kalangan akademisi, mengenai perhitungan ekonomi skala
rumah tangga dalam pengelolaan hutan, sehingga ditemukan angka 15 ha
sebagai luas maksimal yang mampu dikelola oleh satu rumah tangga.
- Jenis tanaman yang ditetapkan untuk HTR pada awalnya tidak termasuk karet.
Hal ini terjadi karena ada kepentingan sektoral. Karet dianggap identik dengan
tanaman perkebunan. Pertimbangan lainnya adalah untuk menanam
perkebunan karet (sekalipun perkebunan karet rakyat), biaya yang diperlukan
sangat besar yaitu sekitar Rp 40 juta per hektar.
- Namun kenyataan di lapangan, masyarakat justru lebih berminat jika tanaman
yang boleh ditanam adaah karet. Oleh karena itu ada perubahan aturan
sehingga karet diperbolehkan untuk ditanam. Dengan syarat karet yang
ditanam harus yang bergetah banyak dan kayunya besar (arahan Menteri
Kehutanan). Permasalahan lain yang kemudian muncul, adalah ketersediaan
bibit karet yang berkualitas bagus tersebut membutuhkan biaya tinggi untuk
pembelian bibitnya. Dan ini akan berpengaruh terhadap standar biaya
penanaman yang telah ditetapkan oleh Dephut. Akhirnya diputuskan bahwa yang
dibangun adalah karet dalam kondisi seperti hutan karet dan bukan kondisi
perkebunan karet.

FENOMENA YANG TERIDENTIFIKASI


- Filosofi hutan alam dan hutan tanaman
- Ide awal pembangunan hutan tanaman
- Konsep aturan awal mengenai HTR dan perkembangan selanjutnya mengenai
HTR

KOMENTAR PENELITI
- Dari hasil wawancara diperoleh infomasi mengenai ide awal munculnya
gagasan pembangunan HTR
- Belum ada penjelasan mengenai proses perumusan peraturan, dan para pihak
yang terlibat dalam proses tersebut, dan respon para pengambil keputusan
lainnya pada waktu ide ini digagas

TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN


- Pencermatan terhadap PP 6
- Menggali informasi lebih dalam mengenai proses kristalisasi ide-ide
pembangunan HTR menjadi peraturan-peraturan HTR dan para pihak yang
terlibat dalam perumusan aturan tersebut.
- Mencari buku ”HTI di Persimpangan Jalan” dan Bahan presentasi mengenai
skala ekonomis HTR

SUMBER
Rekaman suara
206

Lampiran 6 Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat

a. SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas

b. Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya


207

Lampiran 7 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan terhadap HTR

a. SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas

b. Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya


208

Lampiran 8 Hasil ISM untuk elemen tujuan

a. SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas

b. Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya

Drv : Driver Power


Dep : Dependence
R : Ranking
L : Level
209

Lampiran 9 Hasil ISM untuk elemen kendala utama

a. SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas

b. Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya


210

Lampiran 10 Hasil ISM untuk kegiatan yang diperlukan

a. SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 V V V V X V V V
2 V 0 A A V V V
3 0 A A V V V
4 0 A V X V
5 A V V V
6 V V V
7 A A
8 A
9
10

b. Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya

Drv : Driver Power


Dep : Dependence
R : Ranking
L : Level
211

Lampiran 11 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam sistem pengelolaan HTR

Stakeholder Aspek Peran dan Keterlibatan


Pemerintah Manajemen Menetapkan norma, pedoman, prosedur dan kriteria, serta
Pusat pelaksanaan 1) penataan kawasan, 2) penyusunan dan
pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang,
menengah dan pendek, 3) pemberdayaan masyarakat,
4)penyediaan fasilitas pendanaan, dan 5) pemeliharaan
jaminan harga dan pasar kayu rakyat

Organisasi/ Rekruitmen SDM pendamping yang akan ditempatkan di


Lembaga lokasi HTR guna memberdayakan masyarkat petani HTR

Pendanaan Mempercepat mekanisme penyaluran kredit modal HTR

Pemerintah Manajemen Memberikan pertimbangan teknis pengesahan rencana


Daerah alokasi lahan HTR; Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi
Provinsi pemberdayaan masyarakat petani HTR; memfasilitasi
kegiatan kemitraan antara petani HTR dengan industri/HTI

Lembaga/ Mendukung pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan


Organisasi HTR di tingkat

Pendanaan Mendukung pendanaan kepada Kelompok Kerja. Sumber


pendanaan Pemerintah Daerah berasal dari APBD dan
APBN

Pemerintah Manajemen Menerbitkaan izin usaha HTR; Memberikan pertimbangan


Daerah teknis alokasi calon lahan HTR; Bimbingan masyarakat,
Kabupaten pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan
masyarakat di sekitar kawasan hutan

Kelembagaan Mengusahakan pembentukan Kelompok Kerja HTR;


Memfasilitasi pembentukan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) melalui Peraturan Daerah
Pendanaan Mendukung pendanaan kepada Pokja HTR; memberikan
pendanaan kepada Dinas Terkait dan memberikan jaminan
berupa pemisahan kekayaan negara kepada Badan Usaha
Milik Desa.
Dinas Terkait Manajemen Melaksanakan kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang
pemberdayaan masyarakat, pembinaan koperasi, usaha
kecil, memberikan.
Lembaga/ Menjadi anggota kelompok Kerja; Melaksanakan kebijakan
Organisasi Pemerintah Daerah dalam koordinasi dan fasilitasi
penguatan BUMDes; penyelenggaraan penguatan dan
evaluasi penguatan BUMDes
Pendanaan Memperoleh APBD dari pemerintah daerah dan dialokasikan
untuk mendukung operasionalisasi Pokja dan pembentukan
Badan Usaha Milik Desa
212

Lanjutan Lampiran 11
Stakeholder Aspek Peran dan Keterlibatan
Badan Layanan Manajemen Melaksanakan penyaluran kredit modal bagi petani HTR,
Umum HTI, Hr, dan industri kayu skala rakyat
Organisasi Melakukan kerjasama pengelolaan dengan berbagai pihak
terkait
Pendanaan Mendapatkan alokasi dana untuk pembiayaan
pembangunan hutan dan menyalurkan kepada petani HTR

Kelompok Manajemen Menetapkan peraturan dasar Kelompok Kerja yang


Kerja mencakup nama, kedudukan dan sifat; azas, maksud,
HTR tujuan dan ruang lingkup; tugas dan fungsi; kepengurusan,
keanggotaan, hak dan kewajiban pengurus/anggota;
mekanisme koordinasi dan tata cara pengambilan
keputusan; pembiayaan.

Lembaga/ Koordinasi dengan stakeholder untuk mendapatkan


Organisasi konsensus prioritas pengembangan HTR dan memberikan
umpan balik kepada dinas terkait.
Pendanaan Dukungan pendanaan dari Pemerintah Daerah Propinsi
dan Kabupaten
Badan Usaha Manajemen Mendorong perkembangan kegiatan perekonomian
Milik Desa masyarakat desa; meningkatkan peluang usaha produktif;
(BUMDes) mendukung perkembangan usaha mikro untuk penyerapan
tenaga kerja masyarakat desa; Mengembangkan sistem
pengawasan dan administrasi pembukuan, kekayaan
Badan terpisah dengan kekayaan desa dan menetapkan
struktur manajemen yang fungsional walaupun sederhana;
menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga

BUMDes Lembaga/ Merupakan lembaga perekonomian masyarakat desa dan


Organisasi instrumen peningkatan pendapatan desa dan masyarakat;
Pemerintah desa bertindak sebagai penasehat dan
masyarakat sebagai pelaku operasional serta keanggotaan
pengurus ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa,
sedangkan kebijakan pengembangan usaha ditetapkan
melalui Rapat Umum dalam musyawarah desa yang
dilaksanakan oleh pengurus. Menetapkan peraturan dasar
BUMDes yang mencakup nama, kedudukan dan sifat;
azas, maksud, tujuan dan ruang lingkup; tugas dan fungsi;
kepengurusan, keanggotaan, hak dan kewajiban
pengurus/anggota; mekanisme koordinasi dan tata cara
pengambilan keputusan; tata cara pengelolaan keuangan
dan keuntungan.

Pendanaan Modal dasar dari kekayaan desa atau Anggaran


Pendapatan dan Belanja Desa yang dipisahkan, tabungan
masyarakat sebagai penyertaan modal, bantuan modal
dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta kredit dari
Lembaga Keuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Desa
213

Lanjutan Lampiran 11
Stakeholder Aspek Peran dan Keterlibatan
Usaha Mikro, Berpartisipasi dalam usaha pembangunan HTR
Kecil
&Koperasi

Badan Usaha Bekerjasama dengan usaha mikro, kecil dan koperasi


Menengah dan untuk membangun HTR, berupa bantuan permodalan,
Besar CSR, kemitraan, dan jaminan pasar kayu bagi industri
kehutanan.

Lembaga Memberikan dukungan pendanaan melalui kredit kepada


Keuangan BUMDes dan usaha mikro, kecil dan koperasi

Perguruan Melaksanakan kerjasama penelitian jangka panjang dan


Tinggi berkontribusi dukungan dana penelitian, serta
berpartisipasi sebagai tim ahli dalam Pokja

Lembaga Mendorong masyarakat petani HTR untuk melaksanakan


Swadaya pembangunan HTR, pendampingan dan pemberdayaan
Masyarakat masyarakat petani HTR; dan menjadi anggota Pokja HTR

Masyarakat Menjadi petani pemegang izin usaha HTR; melakukan


kegiatan usaha HTR; berinisiatif membentuk BUMDes
sebagai upaya untuk peningkatan kesejahteraan;

You might also like