Professional Documents
Culture Documents
TUTI HERAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Tuti Herawati
NIM E061060151
ABSTRACT
TUTI HERAWATI. Community Forest Estate: Policy Process Analysis and
Design of Policy Conceptual Model Under direction of NURHENI WIJAYANTO,
SAHARUDDIN, and ERIYATNO.
Key words: sustainable development, model, Community forest estate, soft system
methodology
RINGKASAN
TUTI HERAWATI. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan
dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Dibimbing oleh
NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, dan ERIYATNO
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai dicanangkan tahun 2007
merupakan upaya Kementerian Kehutanan untuk membangun hutan tanaman di
areal hutan bekas tebangan (LOA=logged over area). Hingga tahun 2010 kegiatan
ini berjalan lambat. Berbagai permasalahan dalam implementasi program HTR
menyebabkan pencapaian hasil kegiatan jauh dari target yang ditetapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis proses perumusan kebijakan
HTR, analisis respon dan implementasi program HTR, serta melakukan rancang
bangun model konseptual kebijakan untuk mendukung keberhasilan program HTR.
Landasan teori yang digunakan adalah perbandingan antara model linier dan model
non linier dalam proses perumusan kebijakan. Analisis proses perumusan kebijakan
HTR dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang latar belakang
dirumuskannya kebijakan. Selanjutnya dilakukan kajian respon para pihak di daerah
dan implementasi HTR di 3 provinsi terpilih yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan,
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancang bangun Model Konseptual
Kebijakan dilakukan melalui identifikasi masalah kunci dengan teknik Interpretative
Structural Modelling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan HTR bukan
merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap) dengan
melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang sebelumnya
telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh tingginya potensi
lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa spot kecil yang
tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit pasokan bahan
baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi,
maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses kepada masyarakat
sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat dilakukan melalui pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).
Proses perumusan kebijakan HTR dilakukan pada lingkup internal
Kementerian Kehutanan dengan diskursus tunggal yaitu pemberian hak konsesi.
Proses penyusunan landasan hukum kebijakan dilaksanakan melalui revisi terhadap
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan Pemerintah No.6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan. Prinsip pembangunan kehutanan yang diterapkan dalam
kebijakan HTR adalah usaha hutan tanaman dengan pola serupa dengan HTI
(Hutan Tanaman Industri), tetapi dalam skala kecil. Pengalaman di masa
sebelumnya memberikan pelajaran kepada birokrat Kementerian Kehutanan bahwa
pembangunan HTI menghadapi banyak hambatan dan permasalahan. Oleh
karenanya HTR merupakan alternatif lain dalam rangka pembangunan hutan
tanaman.
Prinsip pemikiran para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan
dengan persepsi dan pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di
lapangan. Pola fikir pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan
birokrat pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung
kepada adanya dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan
disediakan oleh pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholder
di daerah sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan
yang lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan
sesuai harapan. Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan
pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan
impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani
sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman.
Berdasarkan analisis sistem terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi
dalam implementasi program HTR dapat diketahui bahwa faktor utama yang harus
ditangani dalam pelaksanaan program HTR adalah (1) sinkronisasi rencana
pembangunan antara pusat dan daerah serta antar sektor (2) hubungan antar
lembaga pengelola yang terlibat dalam HTR, serta (3) masalah ketersediaan modal
untuk membangun HTR. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tersebut,
maka disusun model konseptual kebijakan HTR yang terdiri dari 3 bagian, yaitu :
(1) model pengelolaan/manajemen HTR, (2) model hubungan antar lembaga, dan
(3) model pendanaan HTR.
Model manajemen HTR merupakan upaya integrasi perencanaan
pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja
pemerintah baik pusat maupun daerah yang dillandasi asas komplementer. Model
hubungan antar lembaga adalah perwujudan sistem kelembagaan yang ditujukan
untuk mendukung implementasi kebijakan HTR. Dalam rangka merealisasikan
model konsepsi kebijakan tersebut diperlukan adanya pembentukan Kelompok Kerja
(Pokja) HTR di tingkat kabupaten dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sementara itu model pendanaan HTR ditujukan untuk menyediakan alternatif
pendanaan bagi pembangunan HTR.
Kelompok Kerja HTR di tingkat Kabupaten yang direkomendasikan dari model
merupakan lembaga antar muka yang menghimpun perwakilan dari berbagai
komponen stakeholder yaitu Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga
Swadaya Masyarakat, masyarakat petani HTR, serta komponen petugas
pendamping HTR. Fungsi Kelompok Kerja adalah untuk membangun koordinasi
antar komponen lembaga yang terlibat dalam rangka pembangunan bisnis hutan
tanaman rakyat. Dinas Kehutanan bertindak sebagai leading sector dalam
pembangunan HTR, mengingat basis HTR adalah pembangunan kawasan hutan
dan proses perizinan pemanfaatan hutan IUPHHK-HTR dilakukan di lingkup Dinas
Kehutanan Kabupaten. Upaya lain yang dapat ditempuh untuk mendukung
keberhasilan pembangunan HTR adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa.
BUMDes dibentuk sebagai pendorong pembangunan ekonomi pedesaan yang untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa menuju ke arah
kemandirian. Pengembangan BUMDes diharapkan merupakan upaya sinkronisasi
antara program pemerintah daerah dengan sektor kehutanan.
TUTI HERAWATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Tachrir Fathoni, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, M.S.
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………. v
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………..... 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………... 9
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……………………… 9
1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 10
1.6 Kebaruan ………………………………………………………….. 10
ix
IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR ...................... 67
4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan ………………………. 67
4.2 Proses Perumusan Kebijakan HTR........................................... 86
4.3 Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan ................................. 91
4.4 Model Perumusan Kebijakan HTR............................................ 93
V. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................ 99
5.1 Implementasi Kebijakan HTR .................................................... 99
5.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................. 109
5.3 Respon Pemangku Kepentingan terhadap kebijakan HTR ....... 120
5.4 Respon Masyarakat terhadap kebijakan HTR ........................... 123
5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan .................... 131
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 - 2010..................................... 13
2 Mekanisme Pencadangan Areal HTR …………………………………… 16
3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR ………………………………….. 18
4 Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR ................ 20
5 Definisi kebijakan publik ………………………………………………….. 24
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Mekanisme penetapan peta pencadangan areal HTR ….……………... 16
2 Tata cara permohonan IUPHHK HTR berdasarkan Permenhut
P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P.5/Menhut-II/2008........................ 17
3 Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008) ......................................... 27
4 Model linier kebijakan dari Grindle&Thomas (1990) ............................. 28
5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan
(Richardson & Pugh 1983) ……………………………………………….. 34
6 Proses soft system methodology (Checkland 1999) …………………… 36
7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie &
Soussan (2001) .................................................................................... 51
8 Kerangka penelitian ............................................................................... 53
9 Lokasi penelitian .................................................................................... 54
10 Tahapan penelitian ................................................................................ 55
11 Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) ............................................. 64
12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia ............................................. 68
xii
25 Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul ............. 117
26 Peta Kecamatan Semanu ..................................................................... 117
27 Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ........ 119
28 Respon pemangku kepentingan terhadap kebijakan HTR .................... 121
29 Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme
perijinan HTR ......................................................................................... 122
30 Struktur sistem elemen lembaga yang berpengaruh dalam
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ................................................... 137
31 Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan HTR ............................................................ 141
32 Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR.................. 143
33 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen
kebutuhan terhadap HTR....................................................................... 144
34 Struktur hirarki elemen tujuan ............................................................... 146
35 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan .... 147
36 Struktur hirarki sistem elemen kendala utama ...................................... 149
37 Matriks driver power-dependence sub-elemen kendala utama ……….. 149
38 Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan ...................... 153
39 Matriks driver power-dependence sub-elemen pad elemen kegiatan
yang diperlukan ..................................................................................... 154
40 Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan ................. 157
41 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) .............. 158
42 Sistem pengelolan HTR berkelanjutan ........................................ 160
43 Model manajemen HTR ……………………………………………………. 161
44 Model lembaga pengelola HTR ............................................................. 164
45 Model pendanaan HTR ……………………………………………………. 167
46 Alokasi dana BLU Pusat P2H ................................................................ 169
47 Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR ……... 172
48 Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR ............. 172
49 Target dan realisasi kegiatan HTR ……………………………………….. 173
50 Proyeksi pencapaian pembangunan HTR setelah penerapan
kebijakan ............................................................................................... 174
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR ....................................... 197
2 Proses Pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman
Rakyat.................................................................................................... 198
3 Daftar Pertanyaan untuk Proses Perumusan Kebijakan HTR ............... 199
4 Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi ................... 201
5 Catatan Lapangan Hasil Wawancara .................................................... 204
6 Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat ..................................... 206
7 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan akan HTR berkelanjutan ............... 207
8 Hasil ISM untuk elemen tujuan ............................................................. 208
9 Hasil ISM untuk elemen tujuan ............................................................. 209
10 Hasil ISM untuk elemen kendala utama ............................................... 210
11 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam sistem pengelolaan HTR … 211
xiv
I. PENDAHULUAN
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Eriyatno & Sofyar
(2007) bahwa hasil riset atau studi kebijakan bukanlah sekedar rekomendasi dan
pernyataan tentang dampak dari kebijakan. Hasil riset kebijakan yang efektif
adalah upaya konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang sedang dikaji.
Oleh karena itu, hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif
menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan.
Permasalahan kehutanan saat ini berkembang semakin kompleks.
Tantangan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tidak lagi cukup didekati dengan solusi yang bersifat
teknis kehutanan. Hal demikian merupakan tuntutan dari pergeseran peta
permasalahan kehutanan dari yang semula berorientasi kepada masalah-
masalah teknis menuju masalah sosial serta kebijakan sektor kehutanan
(Puslitsosekhut 2005).
Peta permasalahan pembangunan kehutanan di Indonesia dapat dirunut
berdasarkan paradigma yang mendasari kebijakan pengelolaan hutan. Lyndayati
(2002) membagi periode kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia
menjadi dua bagian. Periode pertama, yaitu pada masa awal pembangunan-
pasca kemerdekaan hingga akhir tahun 1970-an, dengan paradigma State Based
Forest Management. Periode kedua dimulai sekitar tahun 1980-an hingga
sekarang dengan paradigma Community Based Forest Management (CBFM).
Pada periode State Based Forest Management hutan dilihat sebagai
sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu, serta pengelola hutan
adalah agen negara (BUMN & Perum) serta perusahaan HPH dan HPHHTI
sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Secara politik, hutan Indonesia
diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada
lembaga pemerintah dan lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan
kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh
masyarakat (Awang 2003).
Setelah berjalan selama lebih dari dua dasawarsa, hasil evaluasi terhadap
kinerja pengelolaan hutan dengan izin konsesi HPH menunjukkan kinerja yang
kurang baik (Kartodihardjo 1998). Degradasi hutan di Indonesia dengan laju
yang sangat tinggi merupakan bukti nyata dari pengelolaan hutan yang tidak
lestari. Data dari Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun
1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di
tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%.
3
*
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada periode 1985-
1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per
tahun. Periode 1997-2000 laju deforestrasi mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali
pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Sementara itu, data
yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The
UN Food & Agriculture Organization (FAO), menunjukkan angka deforestasi
Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun.
Selain dampak deforestrasi dan degradasi sumber daya hutan di Indonesia,
kebijakan dengan paradigma State Based Forest Management juga merupakan
sebuah tindakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat (Anshari et al. 2005;
Lyndayati 2002). Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dinikmati
oleh para pengusaha. Masyarakat sekitar hutan terpinggirkan, padahal bagi
mereka hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan, bahan
bangunan, kayu bakar, dan sumber penghasilan. World Research Institute
dalam Lynch & Talbot (1995) melaporkan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30%
dari total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidupnya tergantung
pada sumberdaya hutan.
Perubahan paradigma State Based Forest Management menjadi
Community Based Forest Management (CBFM) dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini terbukti
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan CBFM melalui
perhutanan sosial menjadi salah satu harapan penting dalam pengelolaan hutan
yang berorientasi bukan hanya kepentingan produksi dan pelestarian hutan tetapi
juga berpihak pada hak, martabat, dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan berbasis CBFM di Indonesia telah dilaksanakan selama lebih
dari 20 tahun (Lyndayati 2002). Sebuah rentang waktu yang cukup untuk dapat
menelaah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kondisi hutan
Indonesia dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbagai program kegiatan
telah dilakukan dengan beberapa nama atau istilah, misalnya tumpangsari,
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), hingga Hutan
*
Perubahan nama Departemen Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan
berdasarkan Peraturan Presiden No.47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara. Nama Departemen Kehutanan dalam disertasi ini tetap
digunakan jika berkaitan dengan penyebutan produk peraturan perundangan atau
sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Peraturan Presiden No.47/2009 ditetapkan.
4
*
Nama Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menggantikan nama Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 130/M
Tahun 2010 tanggal 16 September 2010. Penyebutan Dirjen BPK digunakan jika
berkaitan dengan produk perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum
Kepres ditetapkan.
†
Dua diantaranya dinyatakan dalam Sambutan Menteri Kehutanan pada dialog Dephut
dan CIFOR 7 April 2009 dan Sambutan Menteri Kehutanan pada Dialog dan Lokakarya
Pembangunan HTR, Bogor, 26-27 Mei 2009.
6
pada fase pelaksanaanya. Selain itu model linier dipenuhi ketika pengambil
kebijakan telah mengumpulkan informasi yang memadai untuk menetapkan
alternatif pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Beberapa indikasi
mengarah pada dugaan sementara bahwa proses dan asumsi tersebut tidak
dipenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi untuk
mendapatkan jawaban atas hipotesis tersebut.
Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang kinerja kebijakan HTR
maka perlu pula dikaji bagaimana kebijakan HTR diimplementasikan di tingkat
lapangan. Winter (1990) menyatakan selain proses formulasi kebijakan faktor
lain yang perlu dipertimbangkan dari sebuah kebijakan adalah respon pihak
pelaksana kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan
oleh respon dari kelompok target kebijakan . Kelompok sasaran dari kebijakan
HTR adalah masyarakat sekitar hutan dan para pemangku kepentingan di
daerah. Untuk itu pertanyaan penelitian kedua yang diajukan adalah bagaimana
para pihak di daerah merespon kebijakan HTR serta bagaimana hubungan
respon tersebut dengan keberhasilan implementasi HTR. Pertanyaan penelitian
kedua ini menghasilkan rumusan hipotesis penelitian adanya hubungan antara
respon para pemangku kepentingan di daerah dengan tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan HTR.
Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah
membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Oleh
karena itu, setelah mengkaji tahap proses perumusan kebijakan dan tahap
evaluasi terhadap implementasi kebijakan HTR, penelitian ini selanjutnya
mempertanyakan upaya apa yang harus dilakukan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Jawaban atas pertanyaan penelitian
tersebut dilakukan melalui kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan.
1.6 Kebaruan
Kebaruan dari penelitian mengenai kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ini
adalah :
1) Penerapan metodologi penelitian proses perumusan kebijakan. .
2) Pengembangan kebijakan pengelolaan HTR didasarkan pada pemodelan
pengelolaan melalui pendekatan soft system methodology yang
mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi, yang dilakukan melalui
pendekatan sistem
3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan model
pengelolaan HTR dalam hal: a) Model Manajemen yang mengintegrasikan
rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan; b) Model
Lembaga HTR; dan c) Model Pendanaan HTR.
II. TINJAUAN PUSTAKA
setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang
berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan
untuk rencana implementasi.
3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan
berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju
dan lembaga internasional.
Prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1997) terdiri
dari 3 dimensi, yaitu:
1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai
integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi
lingkungan), b) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi
pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan
pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).
2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender
(kesetaraan antar manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara
(kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang
akan datang.
3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas,
kemitraan dan partisipasi.
Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang
menekankan upaya implementasi keberlanjutan pembangunan dengan
memperhatikan tujuh tema, yaitu:
1) Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan
sumber daya
2) Keadilan antar generasi
3) Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati
4) Keadilan antar negara dan daerah
5) Keadilan sosial
6) Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya
7) Pengambilan keputusan yang baik
Konsepsi pembangunan berkelanjutan Comhar pada dasarnya melengkapi
model pembangunan berkelanjutan yang telah ada sebelumnya, yaitu
mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Prinsip penting yang
dikembangkan Comhar adalah adanya aspek pengambilan keputusan yang baik.
Konsep tersebut sangat relevan dengan model pembangunan HTR, karena
24
Definisi tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli
yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Keseluruhan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat melengkapi satu
sama lain. Namun demikian, pengertian kebijakan publik yang sesuai dengan
kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia dapat dilihat dari definisi yang
disampaikan oleh Nugroho (2008). Kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat oleh pemerintah sebagai strategi untuk merelaisasikan tujuan.
Dengan demikian kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta
politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah
terangkum preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan,
khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik
tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu
bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang
bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi
win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero
sum game, yaitu menerima alternatif yang satu dan menolak alternatif yang
lainnya (Nugroho, 2008). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa proses perumusan kebijakan publik terkait
dengan pertarungan argumentasi diantara para aktor yang memiliki kepentingan
tertentu.
mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam
memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab,
dan hasil apa yang dapat diharapkan.
Sering terjadi kerancuan antara analisis kebijakan dan riset atau penelitian
kebijakan. Riset atau penelitian kebijakan menjadi salah satu bidang kajian
penting dalam ilmu sosial. Namun demikian, ternyata sangat langka
kepustakaan tentang penelitian kebijakan (Nugroho 2008).
Pada umumnya antara penelitian kebijakan dan analisis kebijakan tidak
dibedakan dengan jelas, bahkan penggunaan kedua istilah ini sering
dipertukarkan karena menunjuk pada makna yang sama. Damin 2005
menyatakan bahwa penelitian kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan
penelitian yang dilakukan untuk mendukung kebijakan. Selanjutnya Damin
menyatakan bahwaciri khas penelitian kebijakan terletak pada fokusnya, yaitu
berorientasi pada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik.
Muhadjir (2004) seperti dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa
penelitian kebijakan sama dengan kegiatan analisis kebijakan. Desain penelitian
kebijakan merentang dari policy research dan action research; evaluation
research mencakup policy evaluation; dan research of program planning. Teknik
analisis kebijakan meliputi beragam teknis pengamanan sampai ragam analisis
kepentingan publik.
Konsep yang cukup relevan untuk memasuki pemahaman tentang
penelitian kebijakan, dan membedakan dengan yang lain, adalah konsep Hill
dalam The Policy Process (2005). Menggunakan pemikiran Gordon, Lewis, dan
Young dalam Perspective on Policy Analysis (1977) dan Hogwood dan Gunn
dalam The Policy Orientation (1981), Hill mengemukakan ada dua jenis analisis
kebijakan, yaitu analisis tentang suatu (atau beberapa) kebijakan (studies of
policies), dan analisis untuk (merumuskan suatu atau beberapa) kebijakan
(studies for policies). Hill menyatakan bahwa analisis tentang suatu kebijakan
(analysis of policy) meliputi studies of policy contents, studies of policy outputs,
dan studies of policy process, sedangkan analisis kebijakan (analysis for policy)
meliputi policy evaluation, information for policy making, process advocacy dan
policy advocacy.
Dari uraian di atas, tampak ada perbedaan antara analisis untuk kebijakan
dalam konteks ini adalah analisis kebijakan dengan analisis tentang kebijakan.
Analisis tentang kebijakan sejajar atau bahkan dapat dipahami sebagai sinonim
27
Monitoring
Kebijakan
ImImplementasi
Analisis Perumusan Kebijakan Kinerja Dampak
Kebijakan Kebijakan Kebijakan Kebijakan
Lingkungan
Kebijakan
Evaluasi
Kebijakan
Penelitian
Kebijakan
pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau
pengelolaan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut (Juma & Clark
1995). Kegagalan dapat ditimpakan pada kurangnya ”political will”, kelemahan
management atau keterbatasan sumberdaya.
Terdapat banyak bukti yang mendukung bahwa model liner sangat jauh
dari realitas. Berikut ini merupakan model-model alternatif sebagai bantahan
terhadap model linear dalam perumusan kebijakan (Sutton 1999) :
1) Model Incrementalis. Pengambil kebijakan mempertimbangkan sejumlah kecil
alternatif untuk menyelesaikan masalah dan cenderung untuk memilih
alternatif kebijakan yang sedikit berbeda dari kebijakan sebelumnya. Untuk
setiap alternatif, hanya konsekuensi yang penting yang dipertimbangkan.
2) Model mixed-scanning. Model ini merupakan pertengahan antara model
rasional (linear) dengan incrementalis (Walt 1994). Pada dasarnya model ini
membagi kebijakan menjadi makro (fundamental) dan mikro (kecil). Hal ini
melibatkan pengambil kebijakan untuk melihat secara lebih luas arena
kebijakan. Model rasional/linear berimplikasi pada pertimbangan berbagai
kemungkinan secara detail, dan pendekatan incerementalis menyarankan
untuk melihat hanya pada pilihan dimana pengalaman sebelumnya telah
lebih dulu diketahui.
3) Kebijakan sebagai argumen. Juma dan Clark (1995) menjelaskan pada
pendekatan ini kebijakan dihasilkan dari proses perdebatan antara
pemerintah dengan organisasi sosial. Satu pihak mengemukakan gagasan,
pihak lain mengkritisi.
4) Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaruan kebijakan memperhatikan
perubahan sosial sebagai proses uji coba. Proses ini melibatkan hipotesis
yang diuji dengan realitas. Hal ini didasarkan pada pendekatan
eksperimental seperti dalam ilmu pasti (natural sciences)
5) Kebijakan sebagai sebuah proses belajar interaktif. Pendekatan ini berakar
dari kritik terhadap kebijakan pembangunan top down yang tidak dihasilkan
dari komunitas. Ide ini digulirkan oleh Chambers (1983; 1994) dengan
metode participatory rural appraisal.
IDS (2006) menyatakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu
proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1) bertahap,
pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan
pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; 2) selalu diwarnai dengan
30
kepentingan yang overlap dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga
yang diabaikan; 3) tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta
sangat berperan penting; 4) para ahi teknis dan pembuat kebijakan secara
bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan
Berdasarkan karakteristik tersebut, IDS (2006) membangun sebuah
kerangka sederhana yang menghubungkan tiga bagian penting dalam proses
pembuatan kebijakan, yaitu :
1. Pengetahuan dan diskursus, menjelaskan apa yang menjadi policy naratif
(perjalanan perubahan kebijakan secara keseluruhan dari awal hingga akhir)
2. Aktor dan jejaring kerja, menjelaskan siapa yang terlibat dan bagaimana
mereka terhubung.
3. Politik dan interest, menjelaskan apa yang menjadi dinamika kekuatan dalam
pengambilan keputusan
Sutton (1999) mendefinisikan narasi sebagai ”cerita” yang menjelaskan
sebuah kejadian tertentu sehingga memiliki kaitan dengan pengetahuan dan
kearifan yang telah dianut dalam pembangunan. Sebuah narasi yang terkenal
adalah ”tragedy of the common” (Hardin 1968) yang menceritakan serangkaian
kejadian over-eksploitasi pada sebuah padang rumput milik bersama. Pola
penggunaan padang rumput secara bersama digambarkan akan berakibat pada
penurunan kualitas padang rumput sehingga pada akhirnya berubah menjadi
gurun tandus. Berdasarkan keyakinan atas narasi tersebut, maka sistem
pengelolaan terhadap sumberdaya alam milik bersama ditetapkan dengan
ketentuan sistem property right (hak kepemilikan) yang jelas. Hal tersebut
dengan maksud untuk menghindari terjadinya fenomena tragedy of the common.
Narasi kebijakan ditujukan untuk mengurutkan suatu interaksi dan proses
kompleks yang dicirikan dalam situasi pembangunan. Narasi berfungsi untuk
menyederhanakan situasi, memperjelas masalah dan menghindarkan
kemenduaan (Roe 1991; 1994). Namun demikian penggunaan narasi kebijakan
berdampak pada berkurangnya ruang untuk bermanuver atau ruang kebijakan
dari para pembuat kebijakan, yaitu dibatasinya peluang untuk memikirkan
alternatif-alternatif kebijakan yang pendekatannya berbeda.
Narasi sering dikritisi karena diyakini dapat menyebabkan cetak biru
pembangunan, yaitu sebuah resep dari solusi permasalahan yang digunakan
pada waktu dan tempat dimana hal tersebut kurang dapat diaplikasikan. Narasi
melayani kepentingan suatu kelompok tertentu, biasanya komunitas epistemik
31
Implementasi kebijakan
Pemahaman sistem
Konseptualisasi sistem
Simulasi
Formulasi model
dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu
dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam
pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh
konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi
dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak
yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan
dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan
situasi problematik tersebut. Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan
proses (Gambar 6) dimana dapat dibedakan antara aktifitas di dunia nyata yang
melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking
yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses
tersebut meliputi:
1) Situasi permasalahan tidak terstruktur.
2) Situasi permasalahan terekspresikan.
3) Definisi mendasar sistem yang relevan.
4) Model konseptual.
5) Perbandingan model dengan dunia nyata.
6) Perubahan yang diharapkan dan layak.
7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik.
Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan
sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi
elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses
dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang
relevan untuk memperbaiki situasi masalah. Formulasi ini dapat dimodifikasi
kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi
sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model
konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas
minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi
untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem
formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan
model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini
sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang
berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua
36
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan
untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang
berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal
yang dikaji. Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan
antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat
yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana
tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat
daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang lebih tinggi
mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana
tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi
peubah cepat tingkat dibawahnya. Teknik ISM dapat memberikan basis
analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam
formulasi kebijakan dan perencanaan strategis. Selanjutnya, Saxena et al.
(1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis, program dapat
dibagi menjadi sembilan elemen utama:
1) Sektor masyarakat yang terpengaruh
2) Kebutuhan dari program
3) Kendala utama program
4) Perubahan yang diinginkan
5) Tujuan dari program
6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas
9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan
menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual
antara sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada
perbandingan berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu
dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan
berpasangan antar sub-elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan
tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif
atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis
hubungan seperti disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hubungan kontekstual
41
3 Pengaruh A menyebabkan B
(influence) A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakkan B
A meningkatkan B
5 Kewaktuan A mendahului B
(temporal/time scale) A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003)
Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan
elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara
elemen ke-i dan elemen ke-j. Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam
Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM)
dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM
selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah
transitivitas.
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah
untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk
menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
42
arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti, dan 5) nilai
batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem.
Checkland (1995) membedakan verifikasi dan validasi dalam soft system
(SST) dengan hard system thinking (HST). Dalam SST model merupakan
representasi sistem kegiatan manusia yang terkait secara logis dan dimaksudkan
sebagai sarana untuk mendebatkan kesesuaian antara model dengan dunia
nyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalam situasi problematik. Perdebatan ini
akan menghasilkan akomodasi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan-
tindakan yang diharapkan dan layak untuk memperbaiki situasi problematik.
Dengan demikian validasi model dilakukan sebelum model digunakan untuk
debat. Keabsahan model dinilai dari relevansinya dengan situasi permasalahan
dan kecukupan model ditinjau dari karakteristik sistem formal atau tingkat
kesesuaian antara root definition dengan model konseptual.
Sedangkan pada HST, model digunakan sebagai abstraksi dunia nyata
untuk melakukan eksperimentasi yang hasilnya digunakan sebagai dasar
pemecahan masalah. Menurut Muhammadi et al. (2001), validitas model
merupakan suatu hasil penilaian secara objektif terhadap model yang ditunjukkan
sejauhmana hasil simulasi model dapat menirukan fakta. Dalam dunia nyata,
fakta adalah kejadian yang teramati. Pengamatan tersebut dapat bersifat terukur
secara kuantitatif maupun kuailitatif atau informasi aktual. Sedangkan hasil
simulasi merupakan perilaku variabel yang diinteraksikan menggunakan bantuan
komputer. Proses melihat keserupaan ini disebut validasi output atau kinerja
model. Validasi kinerja model bersifat pelengkap karena yang utama adalah
validasi struktur model. Validasi struktur model merupakan penilaian
sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur dunia nyata. Struktur
model yang dibangun secara holistik, lintas disiplin dan perspektif diharapkan
mampu menirukan interaksi kejadian nyata. Dengan demikian, verifikasi dan
validasi model ditujukan untuk menguji keabsahan representasi tersebut agar
hasil simulasinya akurat.
Keabsahan suatu hasil simulasi, menurut Sargent (1998) dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan. Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan
model yang melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses
pengembangan model. Pendekatan pertama dan paling umum digunakan
adalah pendekatan subjektif. Dalam pendekatan ini, tim pengembangan model
memutuskan keabsahan model berdasarkan pada hasil berbagai pengujian dan
44
model konseptual kebijakan HTR. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak
kesamaan elemen sistem yang mendukung.
Pengelolaan tanaman nasional merupakan kebijakan nasional dalam hal ini
program Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya berada di level daerah.
Selain itu, pengelolaan taman nasional juga mengandung aspek sosial
kemasyarakatan. Pengelolaan taman nasional harus mempertimbangkan
keberadaan masyarakat sekitar guna menjalin hubungan yang harmonis antara
sumberdaya hutan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Perbedaan
mendasar antara pengelolaan taman nasional dengan kebijakan pembangunan
HTR adalah posisi masyarakat pada program HTR merupakan pelaku utama
kegiatan. Sementara itu pengelolaan taman nasional masih berada dalam
kewenangan pemerintah dan posisi masyarakat sekitar sebagai aktor yang
berpartisipasi dalam pembangunan.
Dengan demikian model konseptual pengelolaan HTR lebih menekankan
pada peran masyarakat sebagai pelaku bisnis hutan tanaman. Strategi yang
ditempuh adalah penguatan kapasitas masyarakat agar memiliki kemandirian
dalam menjalankan bisnis hutan tanaman.
III. METODE PENELITIAN
Lebih detail Blaikie & Soussan (2001) merinci metode analisis proses
perumusan kebijakan menjadi 6 tahap, yaitu :
1) Tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Pada umumnya suatu kebijakan
dibangun dari kebijakan yang telah ada, dikombinasikan dengan keilmuan
dan perspektif yang baru berkembang, serta prioritas-prioritas yang dihadapi.
Sangat jarang ditemukan kebijakan yang benar-benar baru. Oleh karenanya
penting mengkaji dan memahami perjalanan sejarah kebijakan. Peristiwa di
masa lalu perlu diidentifikasi guna memahami kebijakan saat ini.
2) Konteks politik dan pemerintahan. Proses kebijakan dipengaruhi oleh bentuk
birokrasi dan kapasitas agen pemerintah, juga oleh kerangka sosial politik
yang lebih luas dan trend perubahan yang terjadi. Contoh yang
dikemukakan oleh Blaikie & Soussan (2001) adalah kebijakan zona pesisir di
Banglades yang sangat terkait erat dengan issu mengenai desentralisasi dan
demokrasi pada level lokal.
3) Permasalahan kunci kebijakan. Peneliti harus mengidentifikasi permasalahan
kunci kebijakan yang terkait dalam perumusan kebijakan. Oleh karenanya
menjadi sebuah tantangan untuk memahami situasi sebelum sebuah
kebijakan diperdebatkan.
4) Proses pengembangan kebijakan. Pusat kajian dari analisis proses kebijakan
adalah proses pengembangan kebijakan. Untuk memahami proses ini,
peneliti harus mengidentifikasi dan memahami apa yang sesungguhnya
terjadi meliputi interaksi dan respon para aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan. Beberapa aspek yang perlu dikaji adalah :
- pemahaman tentang struktur organisasi formal terkait dengan kebijakan
yang disusun dan proses implementasinya
- identifikasi dari aktor kunci dalam proses perumusan kebijakan
- strategi yang digunakan oleh para aktor untuk mengajukan kasus
masalah yang dihadapinya agar dapat diakomodir dalam kebijakan yang
disusun
5) Hasil dan dampak dari kebijakan. Setelah mempertimbangkan proses
pembuatan kebijakan, perhatian selanjutnya dialihkan pada proses
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses implementasi
memungkinkan peneliti untuk menguji apakah kebijakan benar-benar
memenuhi tujuan kebijakan secara keseluruhan. Analisis hasil dan dampak
kebijakan perlu dibuktikan dari hasil lapangan.
51
Gambar 7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie &
Soussan (2001)
Tahapan analisis seperti disajikan dalam Gambar 7 menjadi bagian dari
kerangka pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan kegiatan penelitian secara
keseluruhan (Gambar 8). Adapun penjelasan dari kerangka pemikiran pada
Gambar 8 diuraikan dalam paragraf berikut ini.
Penetapan kebijakan HTR dilandasi oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya
hutan telah terdegradasi. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan pada umumnya
memerlukan pengakuan secara legal atas hak akses untuk mengelola
sumberdaya hutan. Kebutuhan akan akses terhadap sumberdaya hutan
diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena
52
Provinsi Kalsel
Provinsi Riau
Provinsi DIY
Pada kenyatannya sulit untuk mencari hamparan luas yang lahan kosong di hutan alam
namanya lahan kosong di hutan, tetapi kalau spot-spot banyak dalam bentuk spot-
banyak spot kecil
Pada saat lahir HTR, karet dilarang karena ego sektorat.. Karet tidak dipilih sebagai
Pertimbangan saya waktu itu karena untuk membangun tanaman HTR karena perlu
karet modalnya besar. modal besar
Inti HTR sama dengan HTI Inti kebijakan HTR Konsep dasar kebijakan
HTR
lahan kosong di hutan banyak dalam Potensi lahan Faktor pendorong
bentuk spot-spot kecil kosong tinggi dirumuskan kebijakan HTR
Karet tidak dipilih sebagai tanaman Penentuan jenis Sifat pembangunan HTR
HTR karena perlu modal besar tanaman HTR
cara yang berbeda yakni dengan mencari hubungan antara sebuah kategori
dan sub kategorinya. Namun hubungan ini bukan hubungan antar kategori
utama untuk membuat rumusan teoritik namun hanya dalam rangka
menemukan beberapa kategori utama.
3. Selective coding. Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
terhadap kategori inti (core categori). Tahap yang dilakukan dalam analisis
proses perumusan kebijakan HTR ini sedikit berbeda dengan teknik dasar
grounded theory. Teknik grounded theory melakukan pemilihan kategori inti
berdasarkan data yang muncul dari hasil pengamatan lapanan tanpa
didahului adanya kerangka analisis. Sementara itu, pada analisis ini kategori
inti telah lebih dulu ditetapkan, yaitu variabel-variabel latar belakang
perumusan kebijakan, aktor yang terlibat, peran dan kepentingan aktor, serta
ide dasar (diskursus) yang diusung oleh para aktor.
• Jika relasi Ei terhadap Ej =O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.
5) Tingkat partisi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-
level yang berbeda dari struktur ISM.
tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta
mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan
penerapan kebijakan yang dirumuskan. Verifikasi kebijakan dilakukan terhadap
metode yang digunakan dalam pengambilan data. Sedangkan validasi model
kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan
membandingkan model kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang
sedang berjalan atau sudah dijalankan.
Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent
(1998) adalah face validity. Proses validasi dilakukan dengan menggunakan
pendapat pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta
kebenaran logika dan teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan
input-output model secara masuk akal.
IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR
*
http://arie55history.blogspot.com/2010/02/ perang-paregreg-dalam-sejarah-indonesia.
html diakses 20 Oktober 2010
69
konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH),
atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), (Nurjaya 2005; Iskandar et al.
2003). Statistik tahun 1992-1997 menunjukkan bahwa tidak kurang dari tujuh
hingga delapan milyar dolar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan
(Iskandar et al. 2003).
Tabel 12 Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009
Tahun Jumlah HPH Luas areal konsesi HPH Produksi
(perusahaan) (ha) kayu
(juta m3)
1989/90 557 58.900.00 -
1990/91 564 59.620.000 -
1991/92 567 60.500.000 23,9
1992/93 580 61.400.000 28,3
1993/94 575 61.700.000 26,8
1994/95 540 61.030.000 24,0
1995/96 487 56.200.000 24,9
1996/97 447 54.100.000 26,1
1997/98 427 52.300.000 29,5
1998/99 420 51.600.000 19,0
1999/2000 387 41.840.000 20,6
2001 351 36.400.000 -
2003 262 - -
2009 301 31.100.000
Sumber : dikumpulkan dari berbagai sumber; Ditjen BPK (2009); Ditjen BPK (2005)
seperti dikutip dalam Nawir et al. (2008), tanda (-) menunjukkan belum
ditemukan data.
Berdasarkan data produksi kayu yang dihasilkan dari hutan, maka dapat
dilihat bahwa produksi hutan alam (HPH) semakin menurun. Sementara itu
produksi kayu dari hutan tanaman mengalami peningkatan yang signifikan
(Gambar 14)
21
21 m3
HTI
1 1m3
1997/98
2000
55m3
HPH 16
16 m3
0 5 10 15 20 25 m3
Gambar 14 Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998
dengan tahun 2009 (Sumber data: Santoso 2010)
75
PMP, 14%
Pinjaman tanpa
bunga, 32.50%
pengelolaan hutannya, yaitu di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa (Lyndayati
2002). Di Pulau Jawa kegiatan perhutanan sosial dilakukan oleh Perhutani
dengan berbagai program kegiatan seperti tumpangsari, PMDH, dan PHBM.
Sedangkan program perhutanan sosial yang lebih relevan dikaji dalam desertasi
ini adalah kegiatan yang dilakukan di luar areal Perhutani. Dalam sub-bab ini
kebijakan perhutanan sosial dapat dipertukarkan dengan istilah Social Forestry
(SF).
Perkembangan kebijakan Perhutanan Sosial di Luar wilayah Perhutani
dapat dibedakan menjadi 3 fase perkembangan (Lyndayati 2002), yaitu :
1) periode pra-SF sejak kegiatan pengelolaan hutan hingga pertengahan tahun
80-an, 2) Periode adopsi SF (pertengahan tahun 80-an hingga 1997, 3) periode
SF (tahun 1998 hingga sekarang). Ilustrasi perkembangan kebijakan SF seperti
disajikan pada Gambar 16.
Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini dianggap tidak sejalan dengan
rencana Pembangunan Orde Baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi
dan modernisasi atau industrialisasi. Masyarakat lokal dipandang sebagai
”terbelakang” dan sistem perladangan berpindah yang mereka lakukan secara
ekonomi dinilai tidak produktif dan secara ekologi merusak lingkungan.
Pada periode ini terjadi adopsi intrumen kebijakan yang menggambarkan
penolakan pemerintah secara mutlak atas akses masyarakat terhadap hutan.
Program yang dilluncurkan adalah pemukiman peladang berpindah dan sistem
pertanian menetap. Peraturan perundangan yang dikeluarkan diantaranya PP
21/1970 tentang HPH dan HPHH serta PP 28/1985 tentang Perlindungan
Lingkungan. Kedua PP ini mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat lokal
terhadap hutan negara yang telah dikelola HPH dan kawasan konservasi.
“HTR pada intinya sama saja dengan HTI. Hanya sasarannya saja rakyat.
Gagasannya begini, HTR aturannya harus tanah kosong, padang alang-
alang, semak belukar. Pada kenyataannya sulit untuk mencari hamparan
luas yang namanya lahan kosong di hutan seperti yang dimaksud dalam
aturan tersebut. Tetapi dalam bentuk spot-spot kecil banyak”
(Wawancara 20 April 2009).
Dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka Kementerian Kehutanan
mulai merumuskan kebijakan HTR sebagai solusi terhadap permasalahan yang
sedang dihadapi.
berupa saran-saran teknis terkait kesesuaian jenis tanaman HTR untuk lokasi-
lokasi HTR di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara, dapat
teridentifikasi pula bahwa selama proses perumusan kebijakan HTR, tidak terjadi
perdebatan mengenai alternatif-alternatif pemecahan masalah kebijakan.
Nomenklatur untuk program ini didiskusikan di tingkat Ditjen BUK bersama
Menteri Kehutanan pada tahun 2006. Pada awalnya ada keinginan untuk
memberikan nama Hutan Rakyat terhadap bentuk kebijakan ini. Akan tetapi
Istilah hutan rakyat (HR) menurut UU Kehutanan No. 41/1999 identik dengan
hutan hak, sehingga program ini tidak dapat menggunakan nama hutan rakyat.
Namun, untuk mengedepankan misi kerakyatan maka istilah Hutan Tanaman
Rakyat dipilih sebagai nama dari program HTI-skala mikro ini (Direktur BLU P2H,
20 April 2009, komunikasi pribadi).
Metode analisis proses kebijakan dari Blaikie & Soussan (2001)
menyatakan bahwa faktor-faktor penting yang harus digali dalam analisis proses
kebijakan meliputi; latar belakang ide atau gagasan kebijakan, situasi politik
yang mendukung, tonggak peristiwa penetapan kebijakan, konteks politik
pemerintahan, serta issu kunci kebijakan. Faktor-faktor penting tersebut
disajikan pada Tabel 14 yang merupakan intisari dari hasil penelitian mengenai
proses perumusan kebijakan HTR.
Tabel 14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR
No Kategori Uraian
1. Latar Belakang - Tingginya potensi kawasan LOA dengan luasan kecil
Ide/ gagasan HTR - Ijin konsesi bisa diserahkan kepada masyarakat
2. Situasi Kebijakan pembangunan : pro growth, pro poor & pro job
politik Nasional
3 Kebijakan Menhut Revitalisasi industri : Peningkatan suplai bahan baku kayu
melalui peningkatan produksi hutan tanaman Menhut gencar
melakukan program penanama
4. Dukungan kebijakan permodalan bagi petani difasilitasi dengan pendirian BLU
7. Pihak yang terlibat dalam - Sebagian besar merupakan hasil kristalisasi gagasan
proses perumusan internal di Kementrian Kehutanan
kebijakan - Dukungan pihak akademisi berupa rekomendasi teknis
91
berpengaruh yang meliputi faktor internal dari pihak masyarakat sendiri hingga
faktor-faktor luar yang mempengaruhi. Hasil kajian menunjukkan bahwa variabel
yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan CFM adalah kepastian lahan,
hak kepemilikan yang jelas, penegakan aturan yang tegas, adanya monitoring,
sanksi, dan kepemimpinan yang kuat, minat masyarakat yang tinggi didukung
oleh adanya manfaat yang jelas dari kegiatan CFM dan adanya kewenangan di
tingkat masyarakat lokal.
Contoh keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah
dilaksanakan selama ini antara lain :
1. Kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dilakukan
oleh Perum perhutanai di Jawa. Kegiatan PHBM pada awalnya merupakan
kegiatan tumpangsari yaitu menanam tanaman palawija di bawah tegakan
pokok. Kesempatan ini digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk
memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Mereka memperoleh hasil berupa
tanaman semusim untuk menunjang kebutuhan subsisten. Di beberapa
daerah kegiatan PHBM telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
petani hutan dalam membantu meningkatkan perekonomian rumah tangga
(World Agroforestry Centre 2009).
2. Kegiatan Hutan Rakyat, yaitu pembangunan hutan di lahan milik. Hutan
rakyat dilakukan oleh masyarakat secara perorangan dengan menanami
lahan miliknya dengan tanaman kayu-kayuan. Kegiatan ini pada awalnya
dilakukan dalam rangka rehabilitasi lahan dengan bantuan bibit dari
pemerintah. Ketika kayu dari hutan rakyat mulai memiliki nilai ekonomis
tinggi, maka kegiatan penanaman hutan di lahan milik menjadi lebih luas.
Beberapa daerah yang berhasil mengembangkan hutan rakyat adalah di
kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Ciamis, Sukabumi, dan Sulawesi
Tenggara.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan program perhutanan
sosial atau program pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah pelaksanaan
program yang tidak sesuai dengan konteks lokal. Hal ini biasa terjadi karena
program bercorak sentralistik, top-down, dan cetak biru (Korten & Klauss 1984).
Karakteristik ini melekat pula pada kebijakan HTR. Program HTR mengulang
pola kebijakan bersifat cetak biru dan sentralistik. Ide dan perangkat peraturan
pelaksanaan program secara detail dirumuskan oleh pemerintah pusat. Bentuk
peraturan perundangan tersebut dituangkan mulai dari Peraturan Pemerintah
96
Tabel 15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru dan perbandingannya dengan
pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal
Aspek Cetak Biru Inisiatif Masyarakat Kebijakan HTR
Tabel 17 Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau,
Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta
Luas areal hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR paling
tinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 4,74%. Di Provinsi Riau,
luas hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR tidak lebih dari 1%.
Sedangkan di Provinsi DIY proporsi luas hutan yang dicadangkan untuk kegiatan
HTR adalah 2,3%.
Di Provinsi Riau hampir seluruh kawasan hutan produksi telah dibebani Izin
usaha baik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA)
maupun Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-
HT). Oleh karena itu areal hutan produksi yang ada di Provinsi Riau telah habis
terbagi menjadi areal konsesi, sehingga kawasan hutan produksi yang dapat
dicadangkan untuk HTR relatif sangat sedikit.
Hutan produksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah dibebani
hak kelola di bawah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi. Hutan Produksi di
DIY seluas 13.851 ha dikelola Dinas Kehutanan. Oleh karenanya tidak tersedia
lahan berstatus hutan produksi yang dapat dicadangkan untuk kegiatan HTR.
Namun demikian, Pemda DIY memanfaatkan lahan lain yang potensial untuk
dikelola dengan skema HTR, yaitu lahan berstatus AB Sistem pengeleloaan
lahan hutan di Provinsi DIY memang unik, berbeda dengan di provinsi lain di
Pulau Jawa. Pada umumnya hutan produksi di Pulau Jawa berada di bawah
pengelolaan Perum Perhutani, namun di Provinsi DIY hutan produksi menjadi
102
wewenang pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena sejak zaman Belanda hutan
di DIY berada dalam kekuasaan Sultan Yogya. Gambaran rinci tentang kegiatan
HTR di masing-masing provinsi diuraikan pada bagian berikut.
0%
5% 4% KSA/KPA
HL
20% Taman Buru
50%
Ht Produks i Tetap
HP Terbatas
HP Konvers i
21%
Lahan HTR dapat dialokasikan pada areal hutan dengan status kawasan
hutan produksi. Hutan produksi di Provinsi Riau sebagian besar telah dibebani
hak terutama Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Usulan lokasi untuk
digunakan sebagai areal HTR telah diajukan oleh 2 kabupaten di Provinsi Riau,
yaitu Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Kabupaten Kampar telah mengajukan
usulan penetapan lokasi untuk kegiatan HTR. Berdasarkan arahan indikatif
tersebut, maka pemerintah daerah Kabupaten Kampar kemudian mengusulkan
lahan untuk HTR. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK 9/Menhut-II/2009 tentang
pencadangan areal untuk lokasi HTR seluas 12.280 ha.
*
Harian Umum Haluan Riau. Sabtu, 10 Oktober 2010. Dishut Riau Sosialisasi HTR Rohul.
http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=14943 [1 Nov 2010]
104
9% 12% KSA/KPA
7%
HL
Taman Buru
30% Ht Produksi Tetap
42%
HP Terbatas
HP Konversi
0%
Tabel 18 menunjukkan data bahwa luas areal yang dicadangkan untuk lokasi
HTR terdapat di 6 unit, dengan proporsi 3,54% dari luas hutan produksi yang
telah dibebani izin. Sementara itu jika dibandingkan dengan luas total hutan
produksi, proporsi pencadangan HTR hanya 2,86%. Lahan hutan produksi yang
masih belum ditetapkan pemanfaatannya terdapat seluas 199.514 ha sehingga
masih dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR.
106
Enam unit lokasi yang telah dicadangkan untuk kegiatan HTR tersebar di
enam kabupaten, yaitu : Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tabalong,
Tanah Laut, Kota Baru, dan Tanah Bumbu (Tabel 19).
Tabel 19 Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan
0%
5%
12%
KSA/KPA
HL
83% Taman Buru
Ht Produksi Tetap
HP Terbatas
HP Konversi
Pertumbuhan penduduk Riau relatif tinggi yaitu 3,79% per tahun selama
periode 1998-2002. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk
nasional sebesar 1,4% per tahun untuk periode yang sama. Penyebab
pertumbuhan tersebut adalah tingginya migrasi dari daerah lain sebagai akibat
perputaran roda perekonomian dan peluang lapangan kerja di Provinsi Riau*
Provinsi Riau merupakan salah satu dari lima provinsi kaya di Indonesia.
Seperti halnya wilayah lain di Pulau Sumatera Riau juga merupakan daerah yang
kaya dengan hasil bumi. Hasil utama dari Provinsi Riau minyak bumi yang
dikelola PT Caltex dan kelapa sawit baik yang dikelola oleh perkebunan negara
maupun oleh rakyat. Perkebunan sawit di provinsi Riau saat ini mencapai luas
1,34 juta hektar. Kegiatan pengolahan kelapa sawit didukung dengan adanya
116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi
CPO (crude palm oil) sebanyak 3.386.800 ton per tahun
(id.wikipedia.org/wiki/Riau)
Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau menunjukkan bahwa selain
kelapa sawit, di Provinsi Riau juga terdapat perkebunan karet seluas 516.474 ha,
terdiri dari perkebunan karet rakyat seluas 496.181 ha; Perkebunan Besar
Negara 10.901 ha; dan Perkebunan besar Swasta 9.392 ha. Gambar 21
menunjukkan salah satu contoh kondisi tanaman karet rakyat. Gambar 22
merupakan contoh tanaman sawit rakyat.
*
(http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Publik/Ekonomi_Regional/Profil/Riau/
Demografi.htm)[14 Nov 2010]
111
aneka
kelapa,
tanaman,
197,218,
97,572,
16%
(8%)
kelapa
sawit,
karet, 688,000,
216,554, 58%
18%
Dalam skala rumah tangga kebanyakan masyarakat petani yang dituju oleh
program HTR adalah petani yang selama ini mengelola tanaman karet atau
tanaman sawit. Petani di Provinsi Riau memiliki minat yang tinggi untuk
berusaha di bidang budidaya sawit, karena jenis ini merupakan komoditas
andalan bagi masyarakat di Provinsi Riau (Sachiho 2008). Sementara itu usaha
di sektor perkebunan karet masih juga tetap menjadi andalan bagi petani,
meskipun posisinya mulai digeser oleh tanaman sawit. Nagata dan Arai (2006)
sebagaimana dikutip dalam Sachiho (2008) menjelaskan proses peralihan
112
perkebunan di Riau dari yang semula didominasi tanaman karet (tahun 70-an)
berubah menjadi perkebunan sawit. Program PIR-Trans yang dimulai di akhir
tahun 70-an telah berhasil membangun perkebunan sawit di Provinsi Riau
dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa sejumlah lebih dari 132.000
Kepala Keluarga. Program ini telah menambah luas lahan perkebunan sawit.
Hingga tahun 2000 tercatat data rata-rata penambahan luas lahan sawit sebesar
42,28%.
Pendapatan petani perkebunan sawit terbukti lebih tinggi dibanding sektor
perkebunan lain. Data Statistik Provinsi Riau (BPS Riau 2009) mencatat
terjadinya peningkatan pendapatan petani sejak tahun 1998 hingga 2005. Pada
tahun 2005 pendapatan petani sawit sebesar Rp.18.000.000 per tahun,
sedangkan petani karet Rp.11.856.000 per tahun.
Mempertimbangkan tingkat pendapatan yang tinggi dari usaha perkebunan
rakyat, maka petani di Provinsi Riau lebih tertarik berusaha di sektor perkebunan
dibanding di sektor tanaman kehutanan. Oleh karenanya kegiatan penanaman
hutan oleh masyarakat di Provinsi Riau sangat terbatas. Pengalaman petani di
Provinsi Riau dalam kegiatan penanaman tanaman kehutanan terdapat di
beberapa lokasi, diantaranya di Desa Lubuk Kebun Kecamatan Logas Tanah
Darat Kabupaten Kuansing yang menjadi salah satu desa yang diobservasi
dalam penelitian. Petani memiliki program hutan rakyat atau hutan milik berupa
penanaman 80% karet dan 20% mahoni, dimana bibit dan pupuk disediakan oleh
pemerintah. Jenis tanaman yang dibudidayakan selain karet dan mahoni
terdapat juga jenis akasia, dan sungkai (Peronema canescens Jack.) yang
ditanam sebagai tanaman batas.
Di desa lain yaitu Desa Rambahan, yang juga diobservasi dalam kegiatan
penelitian teridentifikasi adanya kegiatan penanaman tanaman akasia melalui
kegiatan kemitraan dengan perusahaan HTI PT RAPP. Berdasarkan informasi
dari tokoh masyarakat di Desa Rambahan, luas tanaman akasia yang dikelola
dengan pola kemitraan adalah 350 ha. Pelaksanaan kegiatan kemitraan
dilakukan melalui kelompok tani dan perusahaan untuk jangka waktu 30 tahun,
dimulai sejak tahun 1996. Kewajiban perusahaan adalah memberikan bagi hasil
panen di akhir daur tanaman akasia dengan proporsi 40% untuk petani dan 60%
untuk perusahaan. Sedangkan kewajiban masyarakat adalah menyediakan
lahan bagi kegiatan penanaman akasia, selain kewajiban tersebut masyarakat
tidak memiliki tugas apapun dalam hal penanaman hingga kegiatan panen.
113
Dengan demikian, kegiatan ini lebih merupakan sewa lahan milik masyarakat
oleh perusahaan HTI dalam rangka memperluas areal tanaman akasia.
Masyarakat menganggap bahwa kontrak dengan PT RAPP merupakan
tambahan bagi penghasilan keluarga dan bukan merupakan sumber mata
pencaharian utama.
Keadaan tanaman mahoni yang telah ditanam sejak tahun 2003 cukup
baik. Para petani cukup antusias merawat tanaman mahoninya karena ada
jaminan pasar dari PT Emida. Pada tahun 2007 PT Emida yang berkedudukan
di Desa Jorong menjalin kemitraan dengan petani di Desa Ranggang untuk
menanam mahoni (Gambar 24). Perusahaan menyediakan bibit dan pupuk.
Petani melakukan kegiatan penanaman mahoni di lahan milik. Seluas 30 ha
tanaman mahoni kemitraan telah terbangun di Desa Ranggang. PT Emida
berjanji akan menampung pasar kayu hasil panen petani. Perusahaan ini
memiliki pabrik furniture di Mojokerto, yaitu PT Kurnia Anggun, yang
menghasilkan produk furniture untuk diekspor ke USA.
Hasil dari kayu jati tanaman rakyat diperlakukan sebagai tabungan jangka
panjang. Pola pemasaran dilakukan dengan mekanisme “tebang butuh”, ketika
petani memerlukan biaya yang relatif cukup besar, maka pohon jati menjadi
andalan untuk mendapatkan uang tunai dengan mudah. Pasar kayu jati di
Kabupaten Gunungkidul tidaklah sulit, karena kegiatan jual beli kayu telah
berjalan cukup lama dan terdapat banyak pengepul kayu yang mendatangi pihak
petani pemilik pohon yang akan menjual pohonnya. Kegiatan jual beli pohon jati
di Gunungkidul telah berjalan cukup lama, sehingga faktor pemasaran kayu tidak
menjadi hambatan berarti dalam kegiatan hutan tanaman jati di lahan milik yang
selama ini telah lebih dulu berkembang.
Demikian pula halnya dengan program HTR yang baru diresmikan tahun
2008. Pada dasarnya kegiatan HTR di kabupaten ini merupakan lanjutan dari
kegiatan hutan tanaman jati yang telah lebih dulu dilakukan di lahan-lahan AB.
Hanya saja sejak digulirkannya program HTR maka terjadi pergantian status
lahan dari AB menjadi lahan HTR. Sementara seluruh kegiatan produksi mulai
120
dari budidaya tanaman hingga pemasaran hasil panen jati, telah berjalan lebih
dulu seperti halnya yang terjadi pada lahan hutan milik.
Adapun respon dari para petani terhadap perubahan status mereka yang
semula sebagai penggarap lahan AB menjadi petani HTR diuraikan pada bagian
selanjutnya. Demikian pula dengan respon pemangku kepentingan di tingkat
pemerintah daerah kabupaten dan provinsi, secara rinci diuraikan pada bagian
berikut.
Tidak
Ragu- setuju
ragu 14%
3%
Setuju
83%
Tidak
Ragu-ragu setuju
14% 7%
Setuju
79%
sonokeling, mahoni, sungkai) serta kayu serat (eucaliptus, akasia, tusam dan
gmelina). Tanaman budidaya tahunan berkayu meliputi tanaman karet dan
tanaman buah-buahan.
Persentase jenis tanaman untuk pembangunan HTR ditetapkan sebagai
berikut : a) tanaman hutan berkayu dengan proporsi 70%, b) tanaman budidaya
tahunan berkayu dengan proporsi 30%. Dengan demikian maka tanaman karet
yang menjadi andalan masyarakat di Provinsi Riau dan Kalsel hanya boleh
ditanam sebanyak 30% dari jumlah total tanaman di HTR.
Peraturan tersebut membuat minat masyarakat rendah untuk mengikuti
program HTR. Masyarakat di Riau dan Kalsel lebih memilih jenis tanaman
kelapa sawit atau karet karena alasan ekonomi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan key informan pengambil kebijakan,
keputusan pembatasan tanaman karet ditetapkan dengan pertimbangan bahwa
modal untuk menanam karet relatif lebih besar dibanding tanaman kehutanan.
Sementara itu, program HTR dimaksudkan untuk melaksanakan kegiatan
tanaman hutan dengan tidak menuntut ketersediaan modal yang tinggi.
Melihat respon masyarakat yang rendah, akibat tidak diperkenankannya
komoditas karet sebagai tanaman HTR, maka pengambil kebijakan di tingkat
pusat akhirnya melakukan revisi terhadap peraturan tersebut. Peraturan Dirjen
Bina Produksi Kehutanan P.06/2007 diperbaharui dengan Perdirjan P.06/2008
yang antara lain merubah ketentuan jenis tanaman. Jenis tanaman yang dapat
dikembangkan untuk HTR menurut Perdirjen P.06/2008 terdiri dari tanaman
pokok dan tanaman tumpangsari. Tanaman pokok adalah tanaman berkayu
(pohon) yang dapat ditanam sejenis atau berbagai jenis, antara lain dari
kelompok jenis meranti, keruing, non dipterocarpa, dan kelompok Multi Purpose
Tree Species (MPTS). Peraturan tersebut menempatkan karet sebagai salah
satu jenis tanaman MPTS. Dengan demikian, karet dapat ditanam dalam
persentase 100% di lahan HTR bersamaan dengan tanaman tumpangsari.
Dari uraian mengenai respon masyarakat terhadap peraturan menyangkut
jenis tanaman HTR diperoleh bukti yang memperkuat bahwa proses perumusan
kebijakan HTR tidak mengikuti model linier (Sutton 1999). Peraturan mengenai
jenis tanaman HTR terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi
Kehutanan No.P.6/VI-BPHT/2007 yang kemudian diubah dengan Perdirjen
No.P/06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman.
Peraturan Direktur Jenderal No. 6 tahun 2007 menetapkan bahwa tanaman
127
dicount rate khusus, yaitu discount rate yang membuat NPV sama dengan nol,
Dalam konteks tersebut tidak ada hubungan dengan discount rate yang dihitung
berdasarkan data di luar proyek sebagai social oppurtunity cost faktor produksi
modal yang berlaku dalam masyarakat. Mengingat perhitungan IRR tidak
tergantung pada discount rate sosial, maka kriteria IRR dapat dipergunakan
sebagai indeks pengurutan dua atau lebih proyek (Gittinger 1986).
Hasil analisis finansial dari jenis-jenis tanaman HTR kemudian
dibandingkan dengan analisis finansial dari komoditas sawit. Perbandingan ini
dilakukan untuk melihat tingkat kelayakan antara jenis tanaman HTR dengan
kelapa sawit (Tabel 21)
Tabel 21 Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR
No Jenis Tanaman BCR IRR (%)
Tanaman HTR
1 Akasia (Acacaia mangium) 1,38 14,5
2 Jati (Tectona grandis) 1,50 23,0
3 Karet (Hevea braziliensis) 1,05 27,4
Tanaman Non HTR
4 Kelapa Sawit (Euleis guinensis Jacq) 1,18 18,92
Ket :
Analisis finansial akasia dilakukan oleh FAO terhadap usaha HTI akasia. Analisis kelapa
sawit dengan pola kemitraan dengan harga TBS Rp 900 pada lahan gambut. Analisis
finansial karet dengan skenario harga turun 18% pada tingkat suku bunga 18% (Anwar C 2006).,
Analisis finansial jati rakyat dengan tingkat suku bunga 18%
yang paling rendah dihasilkan dari tanaman akasia yaitu sebesar 14,5%.
Sementara itu analisis IRR terhadap jenis tanaman jati dan sawit masing-masing
sebesar 23% dan 18,92%.
Parameter IRR menunjukkan tingkat suku bunga yang dapat menyebabkan
pendapatan bersih sekarang atau NPV (Net Present Value) sebesar nol. Pada
usaha tanaman karet dengan nilai IRR 27,4% berarti bahwa bisnis tanaman karet
akan memberikan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan jika tingkat
suku bunga yang berlaku sebesar 27,4%. Sementara ini, kebijakan pemerintah
Indonesia saat ini menetapkan suku bunga bank yang ditanggung oleh Lembaga
Penjamin Simpanan adalah sebesar maksimal 10,5% untuk Bank Perkreditan
Rakyat dan 7% untuk Bank Umum (http://www.lps.go.id/v2/ home.php? link= tingkat-
bunga). Nilai IRR tanaman karet berada di atas suku bunga pinjaman yang
berlaku maka usaha tanaman karet layak dilakukan, karena berada jauh di atas
nilai suku bunga yang berlaku. Sebuah kegiatan usaha menjadi tidak layak
dilakukan ketika nilai IRR yang dihasilkan dari hasil analisis finansialnya berada
di bawah level suku bunga yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian,
mengacu pada suku bunga LPS maksimal 10,5% berarti bahwa seluruh kegiatan
usaha baik sawit, jati, karet, maupun akasia berada pada tingkat layak
dijalankan.
Berdasarkan perhitungan analisis finansial ditunjukkan bahwa usaha hutan
tanaman jenis akasia, jati maupun karet merupakan kegiatan yang layak dan
menguntungkan, namun minat masyarakat masih rendah untuk berusaha di
bidang ini. Masyarakat pada umumnya masih memiliki minat yang tinggi
terhadap usaha tanaman sawit. Faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah
karena faktor dukungan pasar yang memadai untuk usaha sawit. Sedangkan
untuk jenis tanaman kehutanan, masyarakat masih menghadapi kendala dalam
hal pemasaran produk hasil kayunya.
Faktor lain yang dipertimbangkan oleh masyarakat adalah masalah cash
flow atau aliran uang kas yang diterima oleh keluarga. Jenis tanaman kehutanan
merupakan sumber pendapatan jangka panjang. Hasil panen hanya diterima
sekali ketika panen di akhir daur. Sedangkan jenis tanaman karet dan sawit
memberikan hasil pendapatan rutin setiap dua mingguan bagi keluarga. Faktor
inilah yang menjadi alasan utama petani memilik komoditas sawit dan karet
dibandingkan jenis tanaman kehutanan.
131
masyarakat adalah manfaat ekonomi berupa pendapatan. Hal ini juga didukung
dengan kondisi yang ada di masyarakat petani HTR di kabupaten Gunungkidul.
Masyarakat berpartisipasi dalam program HTR karena ada dorongan kebutuhan
pemanfaatan lahan. Kesempatan memanfaatkan lahan HTR memberikan
peluang untuk memperoleh pendapatan.
Selain faktor ekonomi terdapat pula faktor sosial budaya masyarakat yang
ikut mempengaruhi terhadap berjalannya program hutan Tanaman Rakyat.
Program HTR pada awalnya diprioritaskan untuk pembangunan kawasan hutan
Log Over Area di luar Pulau Jawa. Akan tetapi pada pelaksanaannya di Pulau
Jawa terdapat juga areal HTR yaitu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
khususnya di Kabupaten Gunungkidul. Implementasi program HTR di kabupaten
Gunungkidul dapat dianggap lebih maju dibandingkan dengan lokasi lain yang
menjadi sampel penelitian di Provinsi Kalsel dan Provinsi Riau.
Faktor pendukung untuk terwujudnya implementasi program HTR di
kabupaten Gunungkidul, yaitu:
1. Kegiatan menanam pohon telah menjadi budaya masyarakat Gunungkidul,
sehingga setiap jengkal lahan dimanfaatkan untuk menanam pohon,
khususnya jati.
2. Adanya budaya patuh terhadap pimpinan yang sangat melekat erat dalam
nilai-nilai kehidupan sosial di masyarakat Yogyakarta, sehingga program-
program yang dibawa oleh pihak pamong praja relatif lebih mudah
dilaksanakan.
3. Adanya lembaga POKJA (Kelompok Kerja) Hutan Rakyat Lestari. Pokja
merupakan lembaga koordinasi di tingkat Kabupaten Gunungkidul yang
beranggotakan perwakilan dari dinas-dinas pemerintah, perwakilan dari
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan perwakilan dari tokoh atau elemen
masyarakat. Pokja memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dalam rangka
mendukung keberhasilan program pembangunan hutan rakyat di Kabupaten
Gunungkidul. Keberadaan Pokja ini menjadi faktor penggerak yang efektif
untuk terwujudnya pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan.
Keberadaan Pokja ini pula yang menjadi salah satu faktor pendukung
keberhasilan terselenggaranya kegiatan HTR di Kabupaten Gunungkidul.
Namun demikian, tidak berarti bahwa pelaksanaan kebijakan HTR di
Kabupaten Gunungkidul telah berhasil. HTR di Kabupaten Gunungkidul tidak
sesuai dengan filosofi awal kebijakan HTR. Pemerintah pusat merumuskan
134
kebijakan HTR sebagai bisnis usaha hutan tanaman yang dilakukan oleh
masyarakat di lahan hutan negara yang terdegradasi. Sementara itu kegiatan
HTR di Gunungkidul merupakan kegiatan hutan rakyat yang telah lebih dulu
berkembang di masyarakat. Aspek bisnis usaha hutan tanaman tidak
sepenuhnya tercapai karena kondisi masyarakat peserta HTR tidak sepenuhnya
mengelola hutan tanaman jati sebagai bisnis utama, melainkan sebagai
tabungan keluarga.
VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
Analisis kebijakan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan (Quade 1982). Guna mencapai tujuannya, maka analisis
kebijakan harus mampu menggambarkan dan mengevaluasi masalah di masa
lalu, sekaligus memperkirakan kondisi di masa datang. Oleh karena itu analisis
kebijakan harus bersifat deskriptif dan evaluatif (berhubungan dengan masa lalu),
sekaligus prediktif dan preskriptif (berhubungan dengan masa depan).
Sebagai sesuatu yang kompleks, maka kebijakan memiliki sistem yang di
dalamnya terdapat elemen yang saling terkait satu sama lain. Hal ini
mengharuskan dibangunnya sebuah analisis kebijakan yang terintegrasi (Dunn
2004). Berlandaskan pada pemikiran tersebut, maka pada bab keenam ini
disusun Model Konseptual Kebijakan HTR sebagai upaya memberikan preskripsi
bagi para penentu kebijakan. Model disusun dengan menggunakan pendekatan
soft system methodology guna memecahkan kompleksitas permasalahan.
Bab keenam terdiri dari 5 sub bab, yaitu : 1) Strukturisasi elemen untuk
mendapatkan sub elemen kunci dari setiap elemen yang dikaji; 2)
Pengembangan kebijakan; 3) Model konseptual kebijakan HTR; 4) Validasi
model dan prospektif dampak; serta 5) Implikasi Kebijakan.
Strukturisasi Elemen
Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat merupakan suatu sistem yang
kompleks. Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk
menganalisis keterkaitan antar elemen yang membentuk struktur model
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat. Metode ISM ditujukan untuk
mengidentifikasi peubah kunci serta faktor kekuatan penggerak (driver power)
masing-masing elemen serta struktur/hirarki elemen dalam model.
Hasil wawancara dengan pakar dan pengisian kuesioner yang dilakukan
berdasarkan teknik ISM menghasilkan adanya 5 elemen yang dianalisis, yaitu:
1) Lembaga yang berpengaruh
2) Kebutuhan akan pengelolaan HTR yang berkelanjutan
3) Tujuan
4) Kendala utama
5) Kegiatan yang diperlukan
136
direalisasikan. Dana yang tersedia sebesar 2,6 Trilyun Rupiah masih berada di
BLU dan belum sampai kepada masyarakat petani HTR. Pemanfaatan dana
BLU Kehutanan dimulai pada tahun 2007 dengan terbitnya Surat Keputusan
Menteri Keuangan No. 137/KMK.05/2007 tanggal 1 Maret 2007 tentang
Penetapan Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (Santoso 2010).
Pada Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan dana BLU
akan dibatalkan jika dalam tiga tahun tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan sesuai perundang-undangan. Dengan demikian, pada bulan Maret
2010 pemerintah akan menarik kembali dana BLU senilai Rp 2,6 Trilyun untuk
dimasukan ke dalam rekening Kementerian Keuangan. Akan tetapi mengingat
pentingnya peran ketersediaan dana bagi pembangunan hutan tanaman maka
pemerintah menetapkan bahwa pelaksanaan program dana bergulir akan
diperpanjang sampai tiga tahun ke depan (http://klasik.kontan.co.id).
Alasan belum terealisasinya penyaluran kredit HTR menurut Menteri
Kehutanan karena hambatan administrasi. Kebijakan awal tahun anggaran 2009
tentang penundaan pagu sebesar 15% dan pemotongan pagu departemen
sebesar 10% berpengaruh pada persiapan pelaksanaan beberapa kegiatan
termasuk kegiatan BLU P2H untuk pembangunan HTR dan percepatan Hutan
Tanaman Industri. Selain itu proses pemindahbukuan dana BLU juga terhambat
karena menunggu peraturan Menteri Keuangan tentang pengelolaan dana
bergulir.
Alasan lain yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal BPK adalah
beberapa hal berikut :
1. Penyaluran dana kredit HTR terbentur persoalan administratif berupa
perubahan aturan penyaluran dana perbankan yang sebelumnya ditunjuk
sebagai agen channeling diubah menjadi executing. Perubahan ini
dimaksudkan untuk menutup jalan broker yang akan memanfaatkan dana
tersebut.
2. Keterbatasan kapasitas sumber daya pada BLU P2H yang baru didirikan
tahun 2008. BLU P2H belum memiliki petugas lapangan dan sumberdaya
yang dimiliki sangat terbatas. Berbeda dengan bank yang telah memiliki
kantor hingga ke pelosok. Oleh karenanya dana yang berada di BLU akan
diserahkan kepada bank yang bertindak sebagai executing agent. Bank
tersebut memiliki kewajiban untuk menyalurkan dana BLU untuk kelompok
140
Gambar 31 Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang
berpengaruh dalam pengelolaan HTR
Berdasarkan nilai driver power dan dependence maka dua puluh lembaga
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 sektor. Sub elemen yang termasuk
dalam kuadran independent adalah kelompok tani. Adapun sub elemen
lembaga yang terdapat dalam kuadran dependent adalah : 1) Kementerian
142
Struktur hirarki elemen terdiri dari 4 tingkat. Peubah kunci terdiri dari 2 sub
elemen, yaitu : 1) produktivitas lahan terdegradasi dan 2) keseimbangan
ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk terselenggaranya
program HTR disebabkan karena adanya tuntutan peningkatan produktivitas
lahan hutan yang telah terdegradasi dan dalam rangka untuk menjaga
keseimbangan ekosistem.
Gambar 34 menunjukkan posisi setiap sub elemen dalam matriks driver
power dan dependency. Hasil pemetaan sub elemen dalam matriks
menunjukkan sebaran posisi pada 3 kuadran yaitu independent, linkage, dan
dependent. Rincian sub-elemen yang termasuk dalam setiap kuadran disajikan
pada Tabel 25.
Tabel 25 Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR
Kategori Sub elemen
No Uraian
Independent 2 Peningkatan produktivitas lahan terdegradasi
6 Keseimbangan ekosistem
8 Peningkatan kesejahteraan masyarakat
9 Peran serta masyarakat
Linkage 1 Peningkatan suplai bahan baku industri
4 Perluasan lapangan kerja
5 Keberlanjutan industri kayu
Dependent 3 Pemantapan kawasan hutan negara
7 Perekonomian nasional yang mantap
10 Kontribusi HTR untuk perekonomian daerah
145
sub elemen pada kuadran ini menjadi faktor yang harus mendapat penanganan
serius.
Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti bahwa
kendala utama dalam mewujudkan pengelolaan HTR adalah 1) kurangnya
koordinasi antar sektor 2) aspek permodalan untuk pembangunan HTR 3)
lemahnya kapasitas kelompok dalam mewujudkan kegiatan HTR yang berkaitan
dengan kurangnya kegiatan pendampingan oleh pihak lain.
Koordinasi antar sektor di level pemerintah pusat hingga pemerintah
daerah merupakan peubah kunci yang penting. Peubah ini menjadi penggerak
utama bagi perbaikan implementasi kebijakan HTR. Koordinasi perlu dilakukan
di level pemerintah pusat, yaitu antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Dalam Negeri. Hal ini karena kegiatan sektor HTR dilimpahkan kewenangan
pengaturannya kepada Pemerintah Kabupaten. Sehingga dukungan dari level
pemerintah pusat di Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan, agar
kebijakan HTR mendapat perhatian dan ditempatkan sebagai salah satu program
penting dalam pembangunan daerah.
Permasalahan koordinasi juga menjadi kendala utama dalam
pembangunan berbagai bidang, diantaranya pengelolaan DAS (Karyana (2007)
dan pengelolaan Taman Nasional (Prasetyo 2010). Sebagai sebuah konsep,
pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah
proses nyata, koordinasi cenderung menjadi slogan yang mudah diucapkan
namun sulit diimplementasikan dan menjadi penyebab bagi kegagalan berbagai
institusi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Karyana 2007).
Koontz et al. (984) mendefinisikan koordinasi sebagai metoda pencapaian
keselarasan dari usaha individu dan kelompok/organisasi ke arah pencapaian
maksud atau tujuan kelompok/organisasi. Malone dan Crowton (1993)
mendefinisikan koordinasi sebagai proses mengelola saling ketergantungan
(managing dependencies) antar berbagai aktivitas. Koordinasi bisa terjadi pada
setiap sistem, seperti sistem manusia, sistem organisasi, sistem biologi dan
lainnya. Definisi di atas tampaknya sederhana, namun mengandung implikasi
yang sangat dalam. Kegagalan dalam koordinasi disebabkan karena kegagalan
di dalam membangun konstruksi tujuan organisasi. Koordinasi membutuhkan
perukaran informasi yang intensif antar semua pihak untuk mengkonfirmasikan
sejumlah data mengenai detail sumberdaya untuk mencapai tujuan (Moekayar
1994).
152
Struktur hirarki elemen kegiatan yang diperlukan terdiri dari empat tingkat.
Sub elemen yang menjadi kegiatan kunci adalah koordinasi antar sektor dalam
pengelolaan kegiatan HTR berkelanjutan. Peubah kunci ini menjadi penggerak
utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat berikutya. Pada level kedua
terdapat 2 sub elemen, yaitu : penyediaan permodalan bagi petani dalam rangka
membangun HTR dan peningkatan kegiatan pendampingan masyarakat.
Klasifikasi sub elemen kegiatan yang diperlukan berdasarkan pada driver power
dan dependence menunjukkan.bahwa koordinasi antar sektor dalam pengelolaan
HTR berada pada kuadran independent, artinya sub elemen tersebut memiiliki
kekuatan penggerak yang tinggi untuk berjalannya sistem pengelolaan hutan
rakyat berkelanjutan. Sub elemen penyediaan permodalan dan peningkatan
kegiatan pendampingan bagi petani HTR berada pada batas antara kuadran
independent dan autonomous. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan penggerak
154
dari kedua sub elemen tersebut berada pada level menengah. Akan tetapi
berdasarkan struktur hirarki yang dihasilkan, kedua elemen tersebut berada pada
level kedua setelah peubah kunci. Ini berarti bahwa kedua elemen ini menjadi
faktor yang penting untuk dikendalikan.
• 3,8
motivasi mereka untuk mendukung keberhasilan HTR perlu didorong oleh pihak
pemerintah daerah, misalnya melalui penyediaan insentif pendanaan. Dengan
demikian, pendampingan oleh LSM memerlukan intervensi kegiatan di sektor
pemerintah daerah melalui koordinasi antar pihak.
Alternatif lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kegiatan
pendampingan adalah melalui kegiatan lain selain LSM. Ada beberapa alternatif
kegiatan yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan kegiatan pendampingan
petani HTR, yaitu :
1. Pemberdayaan penyuluh. Setiap kabupaten memiliki tenaga penyuluh baik
penyuluh pertanian, peternakan, maupun kehutanan. Tenaga penyuluh
merupakan SDM potensial untuk menjadi pendamping petani HTR.
Peraturan terbaru merubah lembaga penyuluh di kabupaten yang semula
berada di setiap dinas teknis, saat ini digabung dalam Badan Penyuluh
Kabupaten. Oleh karenanya kegiatan koordinasi antar dinas di pemerintah
daerah sangat menentukan keterlibatan penyuluh untuk menjadi pendamping
masyarakat peserta HTR.
2. Pemberdayaan lulusan baru sarjana kehutanan (fresh graduate). Program
ini dapat dilakukan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman program
BUTSI pada tahun 1980-an. Sarjana kehutanan yang baru lulus direkrut oleh
Kementerian Kehutanan untuk ditempatkan sebagai tenaga pendamping
masyarakat di desa-desa yang memiliki IUPHHK HTR. Tenaga pendamping
tersebut difasilitasi dengan insentif yang memadai, sehingga dapat menarik
minat para sarjana lulusan baru untuk mendampingi masyarakat.
Pengalaman dari program BUTSI menunjukkan bahwa strategi ini cukup
efektif dalam melakukan program pemberdayaan masyarakat.
lain. Oleh karena itu dalam konteks pengelolaan program HTR interpretasi
terhadap peubah yang termasuk dalam kuadran autonomous adalah peubah
yang tidak terkait dengan kegiatan lainnya, akan tetapi merupakan kegiatan yang
juga penting untuk dilakukan. Intervensi kebijakan tidak terlalu menjadi prioritas
dilakukan terhadap peubah autonomous, melainkan lebih dulu ditujukan
terhadap peubah kunci dan peubah-peubah lain yang terletak pada level yang
lebih penting.
Pengembangan Kebijakan
Pengembangan kebijakan didasari oleh tujuan untuk mencapai
pembangunan HTR yang berkelanjutan. HTR yang berkelanjutan merupakan
upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
dan ekonomi. Strategi pembangunan tersebut diperlukan untuk dapat menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Keterpaduan aspek
lingkungan hidup, ekonomi, sosial kelembagaan dalam pendekatan sistem
dikembangkan menjadi suatu Sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
Berkelanjutan. Kerangka sistem tersebut diilustrasikan dalam Gambar 40 .
Sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Berkelanjutan memadukan 3
aspek. Aspek yang pertama adalah aspek ekologi yang menitikberatkan pada
peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi. Hutan yang terdegradasi
dimanfaatkan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat sehingga dihasilkan
produksi kayu dalam rangka menambah supplai bahan baku kayu ke industri.
Aspek yang kedua adalah aspek ekonomi yang menitikberatkan pada
peningkatan pendapatan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan yang
mendapatkan izin usaha HTR (IUPHHK-HTR) mendapat peluang berusaha di
bidang hutan tanaman yang berarti meningkatkan peluang pendapatan keluarga
dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan. Aspek yang ketiga
adalah aspek sosial kelembagaan yang menitikberatkan pada pemberdayaan
kelompok tani. Kapasitas kelompok tani dinilai sebagai faktor penting untuk
berjalannya sistem HTR, sehingga pemberdayaan kelompok memegang peran
utama dalam aspek sosial kelembagaan HTR.
157
Aspek ekonomi:
Mata pencaharian
petani
HTR
Pemerintah Propinsi
Ditjen BPK, Baplan
RPJMD dan RTRW
RPJMD
BLU Pusat P2H Pencadangan Lahan
Lahan Hutan
Dinas Teknis
LSM
IUPHHK-HTR
dan fasilitasi
Pembinaan
Penyuluhan &
pembinaan
Petani
Lembaga Keuangan
Pendampingan Pemegang Izin
Bank dan Non Bank
IUPHHK HTR
Fasilitasi
Pembinaan
Teknologi silvikultur Koperasi HTR/
pendanaan
Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes)
Peningkatan Peningkatan
Peningkatan
Produktivitas Kapasitas Kelompok
Pendapatan
Hutan Tani
hak akses bagi masyarakat untuk memiliki izin usaha HTR. Ini berarti telah
memasuki wilayah kelembagaan pengelolaan hutan yang berkaitan dengan
sistem sosial masyarakat. Sistem ini membutuhkan adanya penanganan berupa
pendampingan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapasitas petani dan
kelompok tani dalam menjalankan kegiatan pengelolaan HTR.
Upaya pemberian hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan pada
akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan
pendapatan masyarakat lokal diperoleh melalui peningkatan akses terhadap
sumber daya lahan. Di samping akses terhadap sumber daya finansial menjadi
faktor penting untuk mendukung keberhasilan program HTR. Untuk mendukung
keberhasilan tersebut harus dibentuk sistem ekonomi dalam rangka memfasilitasi
masyarakat petani HTR dalam menjalankan roda usaha di bidang hutan
tanaman.
Izin usaha HTR pada prinsipnya dapat diberikan kepada perorangan atau
kelompok tani. Sebagai kebijakan yang dilaksanakan di level desa, maka tata
kelola pemerintahan desa memiliki peluang untuk mendorong dan mengarahkan
warganya dengan baik untuk ikut serta dalam skema pembangunan HTR
(Capable 2007). Desa memiliki kewenangan untuk mendirikan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dan desa. Kewenangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No 72 tahun 2005 tentang desa yang menyatakan bahwa pendirian BUMDes
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Landasan hukum dari
BUMDes adalah pasal 213 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP 72 tahun 2005 tentang Desa, khususnya pasal 78,
79, 80, dan 81.
Upaya pembentukan BUMDes dalam rangka mendukung kebijakan HTR
merupakan salah satu upaya yang potensial untuk mendukung keberhasilan
pengelolaan HTR yang berkelanjutan. Sumarsono (2007) menyatakan bahwa
pada tataran filosofis BUMDesa diperlukan sebagai suatu bentuk dalam
penyediaan pelayanan publik. BUMDes dibentuk sebagai pendorong
pembangunan ekonomi perdesaan dan BUMDes diposisikan sebagai peningkat
kapasitas pemerintah desa ke arah kemandirian.
Selanjutnya Sumarsono (2007) menyatakan bahwa BUMDes merupakan
bentuk kegiatan produktif bagi masyarakat desa, dan ditujukan untuk rebitalisasi
kegiatan usaha mikro/kecil di perdesaan. Selain itu BUMDes juga ditujukan
163
Pelaporan
BLU Pusat P2H keuangan Pemerintah Propinsi
Kelompok Kerja
Sinkronisasi Program
Lembaga Swadaya
Masyarakat
Representasi Stakeholder
Aspirasi
Pembinaan
Badan Usaha
Miilik Desa
(BUMDes)
Petani pemegang
IUPHHK HTR
Pembinaan
Implementasi Kemitraan
Dinas Teknis
Dukungan pembiayaan
Usaha Menengah
dan Besar
Dukungan pembiayaan
Lembaga Keuangan
Keterangan: usulan perubahan Bank dan Non Bank
- - - - - - - koordinasi
805 M
(40%)
1,208,T
(60%)
HTR
HR dan industri
sistem pemerintahan yang harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak yang terkait dalam Model
Managemen, Lembaga, dan Pendanaan HTR secara garis besar, yaitu :
1) Pemerintah Kabupaten secara langsung berinteraksi dengan masyarakat
sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan sumberdaya
manusia dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan dan
pembinaan lembaga masyarakat dan pendayagunaan potensi kawasan
dalam kabupaten
2) Pemerintah Provinsi yang membawahi lintas kabupaten lebih berorientasi
pada fungsi koordinasi, serta intensif terutama informasi yang terpadu dalam
penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan, serta pasar
regional
3) Pemerintah pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada
penciptaan dukungan kebijakan melalui penyusunan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan yang bersifat induk. Di samping itu
pemerintah pusat memberikan fasilitas dan pembinaan.
Uraian rinci mengenai peran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam
pengelolaan HTR berkelanjutan disajikan pada Lampiran 11.
Alternatif kebijakan pengelolaan HTR yang dikembangkan berdasarkan
model manajemen, lembaga dan pendanaan secara keseluruhan akan
menghasilkan kebijakan dan program pengelolaan HTR jangka menengah yang
merupakan kebijakan strategis dan kebijakan operasional yang berupa
perencanaan dan evaluasi program kegiatan tahunan. Kebijakan strategis dan
operasional yang disusun merupakan kebijakan sinergi yang mengacu pada
kebijakan pembangunan nasional, sektoral, dan daerah. Keluaran dari kebijakan
tersebut secara keseluruhan adalah peningkatan produktivitas lahan hutan dan
tercapainya pendapatan masyarakat petani HTR.
171
Pencadangan
Lahan
629.158 ha
(10%)
Target
5,4 juta ha
IUPHHK,
87.299.89 ha
(2%)
Target,
5.4 juta ha
Gambar 48 Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR
173
Perbandingan antara target dan realisasi pencapaian kegiatan HTR sejak tahun
2007 hingga tahun 2010 disajikan pada Gambar 49.
1,400,000
1,200,000
1,000,000
Target luas (Ha)
800,000 Pencadangan
(Ha)
600,000 IUPHHK-HTR
(Ha)
400,000
200,000
-
2007 2008 2009 2010
7000000
Sesudah kebijakan
6000000 Sebelum kebijakan
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
2007 2011 2020 2033
7.1 Kesimpulan
1. Proses perumusan kebijakan HTR bukan merupakan model linier. Hal ini
terbukti dari fakta proses perumusan kebijakan, sebagai berikut :
c. Prinsip dasar kebijakan HTR adalah membangun bisnis hutan tanaman oleh
masyarakat. Bentuk kebijakan ini merupakan modifikasi dari kebijakan HTI.
Diskursus yang dianut adalah pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK).
7.2 Saran
1. Hasil penelitian ini mendukung teori Sutton tentang kritik terhadap proses
perumusan kebijakan model linier atau model rasional. Model linier tidak
mungkin dipenuhi karena pengambil kebijakan memiliki keterbatasan
sumberdaya untuk mengumpulkan informasi yang komprehensif dalam rangka
memilih alternatif solusi terbaik. Namun demikian, argumentasi Sutton tentang
model linier tidak dapat sepenuhnya berlaku untuk kondisi pemerintahan di
Indonesia, karena kebijakan publik di Indonesia menjadi wewenang penuh
pemerintah. Oleh karena itu pihak pengambil kebijakan dapat melakukan
proses pendekatan yang lebih intensif kepada para pihak yang terkait agar
kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan aspirasi sasaran kebijakan.
3. Sosialisasi mengenai kebijakan dan arahan program HTR perlu ditingkatkan agar
terjadi persamaan persepsi antara para pemangku kepentingan baik di pusat
maupun di daerah.
Adhikari B. William F, Lovvet JC. 2009. Local benefits from community forests in
the middle hills of Nepal. Forest Policy and Economics 9 (2007):464– 478
Agrawal A., Gibson CC. 1999. Enchantment and disenchantment: The role of
community in natural resource conservation. World Development 27 (4):
629–649.
Anshari GZ, et al. 2005. Marginalisasi masyarakat miskin di sekitar hutan: studi
kasus HPHH 100 ha di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.
Decentralization Brief No.9 April 2005. Bogor: Centre for International
Forestry Research.
Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Centre for Critical
Social Studies dan Kreasi Wacana.
Aziz ASR. 2007. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus. Di dalam:
Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. hlm 18- 34.
[BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Riau. 2009. Riau Dalam Angka. Pekanbaru :
BPS Provinsi Riau. riau.bps.go.id/attachments/RDA2009 [1 November
2010]
Checkland P. 1995. Model validation in soft system practice. Syst Res Behac
Sci 12(1): 47-54
185
Clay EJ, Schaffer BB, editor. 1986. Room for Maneuver, An Explanation of Public
Policy in Agriculture and Rural Development. London: Heinemann.
Cordes JWH. 1992. Hutan Jati di Jawa dengan Alam, Penyebaran Sejarah dan
Eksploitasinya. Rahmad et al., penerjemah. Malang: Yayasan Manggala
Sylva Lestari. Terjemahan dari: De Djati-Bosshen Op Java.
[CSERF] Centre for Social and Economic Research on Forestry. 2005. Strategy
for the development and sustainable wood-based industries in Indonesia:
integrated strategies & actions Indonesia. Report on ITTO Project PD
85/01 Rev.2 (1). Bogor: Forestry Research and Development Agency.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Dephut alokasikan lahan hutan 5,4 juta
ha untuk usaha HTR dengan dukungan dana reboisasi. Siaran pers Nomor
S.51/II/PIK-1/2007. http://www.dephut.go.id/index.php [11 Desember 2009]
[Dishut Kalsel] Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. 2007. Data dan
Fakta Pembangunan Kehutanan di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Dishut
Kalsel.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2008. Progres Telaah
Usulan Pencadangan Lokasi HTR sd. 10 April 2008. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release
2009 Triwulan II Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Jakarta:
Ditjen BPK Kementerian Kehutanan. http://www.dephut.go.id/ files/
Data_Release_DitjenBPK_Triwulan_II_2009. pdf. [22 Okt 2010]
Drack M. 2009. Ludwig von Bertalanffy’s early system approach. Syst Res
Behav Sci 26:563-571.
Dubrowsky V. 2004. Toward system principles: general system theory and the
alternative approach. System Research Behav Sci 21: 109-122.
187
Dunn WN. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua. Wibawa S,
Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA, penerjemah: Darwin M, editor.
Yogyakarta: Gajahmada University Press. Terjemahan dari Public Policy
Analysis: An Introduction.
Dye TR. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Eisenhardt KM. 1989. Building theories from case study research. Academy of
Management Review, Vol 14 No.4:532-550
Ekeh 1974. Social Exchange Theory: The Two Traditions. Cambridge, Mass:
Harvard University Press.
Emila, Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR): agenda baru untuk
pengentasan kemiskinan? Warta Tenure No.4. Working Group on Forest
Land Tenure.[terhubung berkala] http://www.wg-tenure.org/file/
warta_tenure/edisi_04e.pdf [21 Okt 2010]
Engel S, Palmer. 2006. Who own the right: the determinants of community
benefits from logging in Indonesia? Forest Policy and Economy 8 (2006):
434–446.
Evans J. 1992. Plantation Forestry in Tropics, 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.
Fox JM. 1993. Forest resource in a Nepal Village: the positive influence of
population growth. Mountain Research and Development 13 (1):89-90
Gumilar T. 20 Mei 2010. Izin Berbelit-belit, Target 500 Ribu Ha HTR Bisa Tak
Tercapai. Kontan Online. Kamis 20 Mei 2010. http://klasik.kontan.co.id/
nasional/news [27 Desember 2010]
Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science Vol 162 No. 3859.
December 13, 1968:1243 – 1248.
Hill M. 2005. The Public Policy Process, 4th edition. London: Perason-Longman
Lincoln Y, Guba EG. 1985. Naturalistic Inquiry. Newburry Park, California: Sage
Publication.
Malla YB. 2000. Impact of community forestry policy on rural livelihoods and food
security in Nepal. Unasylva 51 (3):37–45.
Pertev R. The Role of Farmer and Farmer Organization. Tanpa tahun. Cashiers
Option Mediterranean’s, vol 2 no.4. http://ressources.ciheam.org/om/pdf/
c02-4/94400041.pdf[24 Okt 2010]
Peluso NL. 1992. Rich forest, Poor People: Resource Control and Resistance in
Java. Berkeley: University of California Press
Potter L, and Lee J. 1998. Tree planting in Indonesia: trend, impacts and
directions. Occasional Paper No. 18. Bogor: Centre for International
Forestry Research.
Quade ES. 1982. Analysis for Public Decission. New York: Elsevier Science
Publishing.
Roe E. 1994. Narrative Policy Analysis: Theory and Practice. United State of
America: Duke University Press.
Rusli Y. 2003. The policy of the Ministry of Forestry on social forestry. Paper
presented on International Conference on Rural Livelihoods, Forest and
Biodiversity, May 19-23, 2003. Bonn.
Santosa UA. 25 Februari 2010. Dana BLU kehutanan belum terserap secara
maksimal. Kontan Online. http://klasik.kontan.co.id/nasional/news/21012/
Okt 2010]
Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and classification of program plant
elements using Interpretive Structural Modeling: a case study of energy
conservation in the Indian Cement Industry. Syst Practice 5 (6): 651-670.
Simon H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada
Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Walt G. 1994. How far does research influence policy. European Journal of
Public Health Vol 4, Issue 4:233-235
Weimer DL, Vinning AR. 1999. Policy Analysis: Concepts and Practice. New
Jersey: Prentice Hall.
Zerner C. 1990. Legal option for the Indonesian forestry sector. Field Document
No VI-4. Roma: Food Agricultural Organization of the United Nation.
LAMPIRAN
197
Lampiran 2 Proses pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat (Nugroho 2008)
Lampiran 3 Daftar pertanyaan untuk proses perumusan kebijakan HTR
Daftar pertanyaan pada bagian ini disusun untuk menggali informasi mengenai
latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses perumusan.
14. Bagaimana sikap dan peran para pengusaha industri kayu terhadap
kebijakan HTR?
15. Dalam kerangka kebijakan social forestry, apakah HTR merupakan pilihan
terbaik untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat agar berperan
serta dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi?
16. Bagaimana jika masyarakat menolak kebijakan tersebut, karena alasan hak
kepemilikan atas hutan memperkokoh status negara sebagai pemiliknya?
Apakah akan ada kebijakan lain untuk mengatasinya?
17. Apa yang menjadi landasan ditetapkannya jangka waktu ijin selama 65 tahun
dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun
18. Mengapa ada aturan bahwa hak kepemilikan tidak dapat diwariskan.
Bagaimana rasionalisasinya dengan jangka waktu ijin yang 65 tahun?
19. Apa yang menjadi landasan ditetapkannya luasan lahan 15 ha per kepala
keluarga
20. Mengapa proses perijinan menjadi wewenang penuh bupati/walikota?
21. Bagimana pandangan bapak/ibu secara umum mengenai hubungan hutan
dan masyarkat?
22. Setujukan bapak/ibu terhadap konsep ”penguasaan hutan oleh negara”?
23. Apakah menurut pandangan bapak/ibu, masyarakat sekitar hutan memiliki
kapasitas yang cukup untuk mengelola hutan?
24. Apakah proses perijinan merupakan hal yang mutlak untuk menjamin
terselenggaranya pengelolaan hutan yang baik?
25. Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap program HKM yang telah berjalan
sejak tahun 1995
26. Bapaimana pandangan bapak/ibu terhadap kebijakan pembangunan HTI?
(HTI telah dibangun sejak 1990, namun hingga tahun 2004 luas hutan
tanaman yang berhasil dibangun baru 3,12 ha atau 58% dari ijin areal yang
telah dikeluarkan sebesar 5,4 juta). Apa permasalahan yang terjadi dalam
pembangunan HTI dan bagaimana HTR bisa belajar dari pengalaman
tersebut?
201
Tahun Uraian
Lanjutan Lampiran 4
Tahun Uraian
Lanjutan Lampiran 4
Tahun Uraian
1978 Pembangunan Hutan tanaman Industri (HTI) direncanakan dengan
skema HPHTI, digagas oleh Dr.Soedjarwo (Dirjen Kehutanan)
1980 Pembangunan HTI dimulai, jumlah HPH menjadi 454 unit
1986 Penyempurnaan ijin HPHTI dengan SK Menhut No417/II/1986
tentang pembangunan HTI. Lokasi HTI adalah tanah kosong atau
tidak produktif. Perusahaan yang akan membangun HTI dapat
berpatungan dengan BUMN Kehutanan
1990 Perusahaan yang akan membangun HTI, bisa meminta dana
reboisasi kembali. Ketentuan tentang Dana Jaminan Reboisasi
diganti menjadi Dana Reboisasi
1994 Pola HTI Trans mulai diberlakukan
1999 Era Menteri Muslimin Nasution-Presiden BJ Habiebie: mengeluarkan
PP No.6/1999, bahwa semua ijin HPH yang berakhir pada tahun
1999/2000 tidak diperpanjang, kecuali jika memberikan 20% saham
kepada koperasi setempat. Luas tiap HPH dibatasi 100.000 ha, dan
setiap perusahaan hanya boleh memiliki maksimum 400.000 ha di
seluruh Indonesia. Setiap tahun saham koperasi harus ditingkatkan
sebanyak 1%. Jadi jika hak konsesi berlangsung 35 tahun, maka
koperasi akhirnya akan memiliki 55% saham perusahaan tersebut.
1999 Era Menteri Nur Mahmudi Ismail – presiden Abdurrahman Wahid,
mengeluarkan KepMenHutbun 310/1999; Bupati berwenang
mengluarkan HPH 100 ha. Dasar pemikirannya adalah untuk
meningkatkan pendapatan daerah dengan memberi masyarakat
kesempatan mengeksploitasi hutan. Desa dapat membentuk
koperasi atau perusahaan kemudian melakukan penebangan di areal
hutan konversi selama 1 tahun
2000 KepMenhut No.05.1/Kpps/II/2000 tentang pemberian wewenang
kepada pemerintah daerah untuk mengelola IPK (Izin Pemanfaatan
Kayu) 100 ha dan HPH skala kecil 10.000 ha
2002 Era Menhut M.Prakosa – Presiden Megawati, mengeluarkan
Kepmenhut No 541/Kpps/II/2002 untuk menghentikan kegiatan
pembukaan hutan oleh daerah dan mencabut Kepmenhut No.
05.1/Kpps/II/2000 tentang pemberian wewenang kepada daerah
dalam mengelola IPK 100 ha dan HPH skala kecil 10.000 ha
2005 Menteri Kehutanan MS.Kaban Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Jumlah perusahaan HPH 272, HTI 117 total perusahaan 389. Mulai
digulirkan ide-ide pembangunan HTR, yaitu sistem konsesi hutan
produksi yang akan diberikan kepada masyarakat sekitar hutan dalam
skala kecil
2007 Perubahan PP 34/2002 menjadi PP 6/2007 menjadi landasan hukum
bagi dilaksanakannya kegiatan HTR sebagai salah satu program
pembangunan Hutan Tanaman di Kawasan Hutan Produksi yang
terdegradasi (Looged over area=LOA)
Sumber : Data dikumpulkan dari berbagai sumber terutama Sumarjani (tanpa tahun),
Isakndar et al. (2003), Simon (1993), Cordes (1992), Nurjaya (2005).
204
- Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan berdasarkan filosofi bahwa hutan
alam adalah sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia
tidak memiliki kemampuan untuk membangun hutan yang kondisinya mirip
dengan ekosistem hutan alam. Manusia hanya bisa membangun hutan
tanaman yang kondisi ekosistem berbeda dengan hutan alam.
Lanjutan Lampiran 5
- Perlu ada upaya rehabilitasi terhadap areal-areal kosong tersebut. Maka
terpikirlah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman
di spot-spot lahan kosong. Rakyat diberi hak seperti perusahaan HTI untuk
menanam hutan, dalam skala luasan yang lebih kecil daripada HTI. Pada
awalnya gagasan Pak Deni adalah membangun HTI skala mikro.
- Jika rakyat yang melakukan kegiatan penanaman, maka lahan yang bisa
ditanam tidak akan terlalu luas. Dan tidak diperlukan dokumen Amdal, karena
luasan yang kecil tidak merubah bentang alam.
- Istilah HTI skala mikro, oleh Pak Menteri ingin disebut dengan ”Hutan Rakyat”.
Namun karena istilah Hutan Rakyat sudah identik dengan hutan milik (UU 41
tentang Kehutanan), Maka dicarilah nomenklatur untuk kebijakan ini dengan
nama HUTAN TANAMAN RAKYAT.
- Pembangunan hutan tanaman berdasarkan aspek kelestarian (ekonomi,
ekologi, sosial) bisa menjamin tercapainya pengelolaan hutan lestari. Secara
205
KOMENTAR PENELITI
- Dari hasil wawancara diperoleh infomasi mengenai ide awal munculnya
gagasan pembangunan HTR
- Belum ada penjelasan mengenai proses perumusan peraturan, dan para pihak
yang terlibat dalam proses tersebut, dan respon para pengambil keputusan
lainnya pada waktu ide ini digagas
SUMBER
Rekaman suara
206
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 V V V V X V V V
2 V 0 A A V V V
3 0 A A V V V
4 0 A V X V
5 A V V V
6 V V V
7 A A
8 A
9
10
Lanjutan Lampiran 11
Stakeholder Aspek Peran dan Keterlibatan
Badan Layanan Manajemen Melaksanakan penyaluran kredit modal bagi petani HTR,
Umum HTI, Hr, dan industri kayu skala rakyat
Organisasi Melakukan kerjasama pengelolaan dengan berbagai pihak
terkait
Pendanaan Mendapatkan alokasi dana untuk pembiayaan
pembangunan hutan dan menyalurkan kepada petani HTR
Lanjutan Lampiran 11
Stakeholder Aspek Peran dan Keterlibatan
Usaha Mikro, Berpartisipasi dalam usaha pembangunan HTR
Kecil
&Koperasi