You are on page 1of 85

ANALISIS TIPOLOGI POHON TEMPAT BERSARANG

DAN KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN


(Pongo pygmaeus wurmbii , Groves 2001)
DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING
KALIMANTAN TENGAH

ABDUL MUIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Tipologi Pohon Tempat
Bersarang dan Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii,
Groves 2001) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007


Abdul Muin
NRP. E051054045
ABSTRACT

ABDUL MUIN .Analysis on Typology of Orangutan Nesting Tree and the


Nest Characteristic ( Pongo pygmaeus wurmbii, Groves 2001) in Tanjung
Puting National Park, Central Kalimantan. Under direction of YANTO
SANTOSA and A. MACHMUD THOHARI.

At present, the need of secondary habitat for the ex-captive orangutan re-
introduction is becoming priority to keep this species sustainable alive. In fact,
tree as one of the important habitat components is believed to be a site where
orangutan can build its nests. This research was carried out in Tanjung Puting
National Park from May to July 2007 about typology of Orangutan’s nesting trees
and nest characteristic. The objectives of this research are to find out determinant
variables that influence orangutan to nest and to describe typology of preference
trees and orangutan’s nest characteristic.
During the observations, 176 trees of Orangutan nest were observed that
consist of 73 different species and 206 nests within 3 sample sites namely
Wilderness, Experiment and Utility blocks. Ten variables of nesting trees as well
as environmental factors were assumed influencing the orangutan to build its nest.
The SPSS was tested using multiple linear regression model and resulted that
nesting tree diameter and numbers of trees as feed source influenced the presence
of each nest of particular trees species, with models: Y = - 0.518 + 0.236X1 +
0.133X10 (R2 = 63.3%) in Wilderness block; Y = - 0.858 – 0.257X1 + 0.119X10
(R2 = 74.8%) in Utility block and Y = - 0.487 + 0.178 X10 (R2 = 73.3%) in
Experiment block. Neu’s method was used to identify among 73 trees species
which were preferred by orangutan as its nesting site. There were 42 of 73 trees
species which the most preference by orangutan, i.e. Dryobalanops oocarpa
(katur merah) Pometia pinnata (idur beruang), Parastemon urophyllus (bentan) ,
Eusideroxylon zwagerii (ulin), Palaquium borneensis (getah merah) and Quercus
bennettii (pempaning).

Keywords: orangutan, prefference index, nesting tree typology, tanjung puting


RINGKASAN

ABDUL MUIN. Analisis Tipologi Pohon Tempat Bersarang dan Karakteristik


Sarang Orangutan (Pongo Pygmaeus Wurmbii, Groves 2001) di Taman Nasional
Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan
A. MACHMUD THOHARI.

Saat ini kebutuhan habitat sekunder bagi orangutan rehabilitasi yang akan
di lepasliarkan menjadi prioritas dalam penyelamatan jenis ini sehingga
diharapkan akan dapat bertahan hidup di alam secara lestari. Untuk itu perlu
penyiapan habitat baru yang sesuai dengan kebutuhan Orangutan baik kondisi
fisik lingkungan habitat maupun keadaan biotis habitat tersebut (standar habitat).
Salah satu komponen habitat yang penting bagi Orangutan adalah pohon yang
digunakan antara lain untuk membangun sarangnya sebagai tempat tidur,
beristirahat, mengasuh anak, dan bermain. Diduga bahwa ada faktor-faktor atau
peubah lingkungan yang mempengaruhi Orangutan dalam menentukan pemilihan
pohon sarang, dan oleh karenanya penelitian ini yang dilakukan di Taman
Nasional Tanjung Puting pada bulan Mei-Juli 2007 bertujuan untuk (1)
mengidentifikasi faktor determinan yang mempengaruhi orangutan dalam
menentukan pohon sarang untuk membangun sarangnya, (2) merumuskan tipologi
pohon preferensial (yang disukai) dan (3) mendiskripsikan karakteristik sarang
Orangutan.
Dalam penelitian ini telah diidentifikasi lebih dari 200 jenis vegetasi, 176
pohon sarang yang termasuk dalam 73 spesies, 206 buah sarang dan 79 spesies
tumbuhan pakan Orangutan di tiga lokasi (blok) pengamatan yaitu blok Rimba,
Riset dan Pemanfaatan. Untuk mendapatkan peubah determinan pemilihan pohon
sarang, maka ditetapkan 10 (sepuluh) peubah yaitu: suhu dan kelembaban, jumlah
jenis tumbuhan pakan, tinggi total pohon sarang, diameter pohon, tinggi bebas
cabang pohon sarang, diameter tajuk, jarak antar pohon sarang, jarak pohon
sarang dari jalur/trek dan jarak pohon sarang dengan pohon sumber pakan
terdekat. Selain itu juga dikumpulkan data berupa struktur dan komposisi vegetasi
di lokasi pengamatan, data karakteristik sarang yang meliputi tinggi tempat
sarang, posisi sarang, kualitas sarang, bahan pembuat sarang dan sumber
pengambilan bahan sarang. Data-data tersebut kemudian dianalisis secara
kuantitatif yakni: (1) Analisis vegetasi untuk mengetahui struktur tumbuhan,
kerapatan dan kekayaan jenis tumbuhan pakan, (2) Analisis regresi linear multi
peubah untuk menentukan faktor determinan pemilihan pohon sarang yang
dengan bantuan software SPSS 14.0 melalui metode stepwise dan (3) Analisis
menggunakan Metode Noe’s untuk menentukan preferensial pohon sarang (yang
disukai). Analisis deskriptif kualitatif ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik,
diagram dan persentase.
Secara umum di ketiga blok pengamatan suhu dan kelembaban harian
terdapat perbedaan namun tidak signifikan. Ketersediaan air di lokasi pengamatan
mencukupi mengingat banyak terdapat sungai, anak sungai dan air rawa. Satwa
yang umum dijumpai adalah primata jenis bekantan, owa, kera ekor panjang dan
kelasi , mamalia seperti babi hutan, kancil dan jejak beruang berupa bekas cakar
di pohon sarang juga dijumpai di lokasi pengamatan. Di blok Rimba baik jumlah
jenis, kerapatan dan kekayaan jenis vegetasi dan tumbuhan pakan lebih tinggi di
banding di kedua blok lainnya. Pohon pakan dapat pula digunakan sebagai pohon
sarang. Berdasarkan analisis regresi diperoleh bahwa di blok Rimba dan
Pemanfaatan faktor determinan pemilihan pohon sarang adalah diameter pohon
sarang (X1) dan jumlah jenis tumbuhan pakan (X10) dengan persamaan Y = -
0.518 + 0.236X1 + 0.133X10 (R2 = 63.3%) di blok Rimba dan Y = - 0.858 –
0.257X1 + 0.119X10 (R2 = 74.8%) di blok Pemanfaatan, sementara di blok Riset
sebagai faktor determinan adalah jumlah jenis tumbuhan pakan (X10) dengan
persamaan Y = - 0.487 + 0.178 X10 ; R2 = 73.3%. Berdasarkan sebaran diameter
pohon sarang, penggunaan pohon sarang berdiameter kecil menunjukkan
persentase tertinggi di ketiga blok pengamatan, dimana lebih dari 80% pohon
sarang adalah berdiameter kecil. Namun bila dilihat dari sebaran diameter dari
vegetasi yang ada (tingkat tiang dan pohon) di blok pengamatan, terlihat bahwa
penggunaan pohon sebagai pohon sarang lebih menyebar dari diameter kecil
hingga diameter besar. Ini berarti diameter pohon tidak signifikan berperan dalam
mempengaruhi pemilihan pohon sarang oleh Orangutan. Hal tersebut lebih lanjut
dapat dijelaskan dengan melihat keeratan hubungan ( r : korelasi Pearson ) hasil
regresi antara diameter pohon sarang (X1) dengan keberadaan sarang (Y) sangat
kecil yaitu 18.3% di blok Rimba dan 10% di blok Pemanfaatan, sementara jumlah
jenis pakan (X10) korelasinya dengan Y cukup signifikan yaitu besarnya r = 62.1%
dan 74.8%. Artinya peranan diameter pohon sarang adalah sebagai penguat faktor
determinan jumlah jenis tumbuhan pakan (X10) dalam pemilihan pohon sarang.
Untuk preferensial pohon sarang berdasarkan perolehan nilai indeks preferensinya
dengan metode Noe’s, dari 73 jenis pohon sarang, 42 jenis diantaranya merupakan
jenis yang disukai dengan karakteristik sebagai berikut: bahwa pohon sarang
dapat juga berfungsi sebagai pohon pakan, tinggi pohon bervariasi dari 7-30
meter; diameter bervariasi 0.23-2.32 meter; bentuk tajuk umumnya tidak
beraturan dan bentuk kosong di salah satu sisi. Sarang Orangutan dideskripsikan
umumnya terletak pada ketinggian 12-14 meter (2.5-3.6 dari puncak pohon-
kanopi), lebih dari 39% posisi sarang berada diantara dua cabang pohon yang
sama (tipe B); sedang sumber bahan sarang dapat berasal dari 1 pohon sarang
yang digunakan sampai dengan 3 jenis pohon berbeda dengan material sarang
umumnya terdiri atas daun, ranting dan dahan pohon.
Sebagai kesimpulan bahwa Orangutan memiliki preferensi dalam memilih
pohon sarang dimana faktor determinannya adalah ketersediaan jenis tumbuhan
pakan dengan diameter pohon sarang sebagai faktor pendukung.

Kata kunci: orangutan, indeks preferensi, tipologi pohon sarang, tanjung puting.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
ANALISIS TIPOLOGI POHON TEMPAT BERSARANG
DAN KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN
(Pongo pygmaeus wurmbii, Groves 2001)
DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING
KALIMANTAN TENGAH

ABDUL MUIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi
pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. TONNY SOEHARTONO
M.Sc.
Judul Tesis : Analisis Tipologi Pohon Tempat Bersarang dan
Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus
wurmbii, Groves 2001) di Taman Nasional Tanjung
Puting, Kalimantan Tengah.

Nama : Abdul Muin


NRP : E. 051054045
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sub Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA
Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian :17 Desember 2007 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas ridho dan
anugerah Nya sehingga penelitian ingá penulisan tesis yang berjudul “Analisis
Tipologi Pohon Tempat Bersarang dan Karakteristik Sarang Orangutan
(Pongo pygmaeus wurmbii, Groves 2001) di Taman Nasional Tanjung Puting,
Kalimantan Tengah “ dapat diselesaikan dengan lancar.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang Orangutan yang
menitikberatkan pada aspek perilaku Orangutan, namun penelitian kali ini lebih
memfokuskan pada aspek habitat. Topik penelitian ini dipilih berdasarkan adanya
suatu kebutuhan akan habitat baru bagi Orangutan, termasuk penyiapan area bagi
Orangutan rehabilitasi yang akan dilepasliarkan. Pohon sarang merupakan salah
satu bagian penting dari komponen habitat bagi Orangutan, yang menjadi tempat
Orangutan membangun sarang yang berfungsi sebagai tempat tidur, beristirahat,
bermain, mengasuh anak dan lain sebagainya. Dugaan adanya faktor atau peubah
lingkungan yang mempengaruhi Orangutan dalam menentukan pemilihan pohon
sarang, menjadi hal menarik untuk diidentifikasi dan dianalisis. Oleh karena itu
dalam tesis ini akan diuraikan faktor biofisik yang diduga berpengaruh dalam
pemilihan pohon sarang antara lain iklim mikro, ketersediaan air, kehadiran
satwa/jejak satwa, struktur vegetasi dan jenis tumbuhan pakan orangutan. Selain
itu akan diuraikan dan dianalisis pula faktor determinan komponen pohon sarang
berupa tinggi total dan diameter pohon, tinggi bebas cabang, bentuk dan diameter
tajuk, jarak antar pohon sarang, jarak pohon sarang dengan pohon pakan terdekat
dan jaraknya dengan jalur trek. Karakteristik tipe pohon sarang seperti apa yang
disukai orangutan juga akan diuraikan dalam tesis ini.
Menyadari akan kekurangan, kekeliruan dan kelemahan dalam penulisan
tesis ini, maka diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan dan penyempurnaannya. Pada akhirnya, harapan penulis semoga tesis
ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Desember 2007


Abdul Muin
UCAPAN TERIMA KASIH

Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang paling tulus penulis sampaikan
kepada: (1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin dan kesempatan
melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor; (2) Kepala BKSDA
Kalteng dan Kepala Balai TNTP beserta staff yang mendukung penulis sehingga
dapat menyelesaikan pendidikan dengan lancar; (3) Dr. Ir. H. Yanto Santosa,
DEA (ketua komisi pembimbing) dan Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA
(anggota komisi) atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan
arahan, bimbingan hingga selesainya penulisan tesis ini; (4) Dr. Ir. Tonny R.
Soehartono M.Sc. (Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA),
selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis yang telah menyediakan
waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis
ini (5) Dr. Ir. Rinekso Soekmadi M.Sc.F, selaku Ketua Program Studi IPK (6)
Prof. DR. Birutte M.F.Galdikas (Presiden OFI) yang telah memberikan dukungan
dan fasilitas kepada penulis sehingga pelaksanaan penelitian di lapangan dapat
berjalan lancar (7) Almarhum Ayahanda dan almarhumah Ibunda, kakak dan adik-
adik atas segala doa dan pengorbanannya, secara khusus buat istri tercinta
Lusiana yang dengan sabar dan penuh pengertian mendampingi dan mendukung
penuh dalam penyelesaian studi ini, serta anak-anakku tersayang Natasya CM
Januatisa, Alyssa Junitia Zalfa Anditha dan almarhum Ananda Mohammad Priya
Pratama yang memberikan semangat dan inspirasi pada setiap kejenuhan yang
datang menghampiri. (8) Teman seangkatan: carik Mamat, ncing Agustinus, karet
Nico, brondong Sandi, timbel Tono, enceng Amin, ngkos Fifin, mbok Erna,
kangkung Vitri, kwek Utin, ndul Dyah, urat Elisa, singke Tri, dan panting Zeth
terima kasih atas, kebersamaan, kekompakan dan kerjasama dalam suka dan duka
selama studi dan semoga ini terus berlanjut kedepannya dan (9) Pak Sofwan yang
selalu siap membantu kelancaran tugas pembelajaran, Bibi Uum dan pak Ismail
yang selalu siap dengan senyum dan pelayanan terbaiknya .
Semoga Allah SWT memberi hidayah-Nya kepada pihak yang
berkontribusi. Bogor, Desember 2007
Abdul Muin
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 1


Juli 1967 sebagai putra kedua dari empat bersaudara dari ayah Mohammad Arief
(alm) dan ibu Siti Aminah (alm). Menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD
No. 72 Balikpapan tahun 1980, kemudian menyelesaikan pendidikan di SMP
Negeri 4 Balikpapan tahun 1983 dan lulus dari SMA Negeri 2 Balikpapan tahun
1986, hingga pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui undangan
PMDK dan akhirnya lulus sebagai dokter hewan pada tahun 1992.
Diawali tahun 1992 penulis bekerja di Sub Direktorat Konservasi Jenis
Direktorat Pelestarian Alam dibawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (PHPA) saat itu, baru pada tahun 1994 penulis diterima bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehutanan dan di tempatkan di Taman
Nasional Tanjung Puting. Setelah 6 tahun bekerja sebagai staf Pengidentifikasi
dan Penginventarisasi Flora Fauna, kemudian dipercaya menjabat sebagai Kepala
Seksi Konservasi pada Balai TN Tanjung Puting (tahun 2000-2002). Selanjutnya
penulis dipindahkan tugas ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Kalimantan Tengah di Palangka Raya sebagai Kepala Seksi Konservasi Wilayah
(tahun 2002-2004) dan terakhir memangku jabatan sebagai Kepala SuBag TU
(tahun 2004-2006) di tempat kerja yang sama, sebelum akhirnya bulan Juni tahun
2006 mendapat tugas belajar dari Departemen Kehutanan untuk studi jenjang S2
di Sekolah Pascasarjana.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi
Keanekaragaman Hayati (KKH) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor (IPB), penulis melakukan penelitian tentang “Analisis Tipologi Pohon
Tempat Bersarang dan Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii
Groves, 2001) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah“ dibawah
bimbingan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian ................................................................................. 3
1.4 Hipotesis ................................................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Bio-ekologi Orangutan............................................................................. 4
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Orangutan ........................................... 4
2.1.2 Ekologi Orangutan ......................................................... .............. 6
2.1.3 Perilaku Orangutan ....................................................................... 7
2.2 Populasi Orangutan .................................................................................. 9
2.2.1 Demografi Orangutan Borneo ....................................................... 9
2.2.2 Perkiraan Populasi Orangutan Borneo .......................................... 10
2.2.3 Distribusi Orangutan Borneo ................................................ ........ 12
2.3 Arsitektur Pohon ............................................................................... ...... 13

III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


3.1 Sejarah Kawasan .................................................................................. ... 15
3.2 Letak dan Luas .................................................................................... .... 15
3.3 Kondisi Fisik .. ......................................................................................... 17
3.3.1 Iklim ............................................................................................... 17
3.3.2 Topografi ....................................................................................... 17
3.3.3 Hidrologi ........................................................................................ 17
3.3.4 Geologi dan Tanah ........................................................................ 18
3.4 Kondisi Biologi ..................................................................................... 19
3.4.1 Ekosistem ....................................................................................... 19
3.4.2 Flora .............................................................................................. 20
3.4.3 Fauna ............................................................................................. 21

IV. METODE PENELITIAN


4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 23
4.1 Peralatan dan Bahan ................................................................................ 24
4.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................ .. 24
4.4 Jenis Data yang Dikumpulkan ............................................................... 26
4.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 26
4.5.1 Data Biofisik .................................................................................. 27
4.5.2 Data Pohon Sarang......................................................................... 28
4.5.3 Data Karakteristik Sarang............................................................... 29
4.6 Metode Analisis Data
4.6.1 Analisis Data Kuantitatif ................................................................ 30
4.6.1.1 Analisis Vegetasi ............ .................................................. 30
4.6.1.2 Faktor Determinan Pemilihan Pohon Sarang .................... 30
4.6.1.3 Preferensial Pohon Sarang .............................................. . 34
4.6.2 Analisis Data Diskriptif................................................................... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Unsur Bio-fisik Wilayah Studi .............................................................. 36
5.1.1 Suhu dan Kelembaban .............................................................. 36
5.1.2 Ketersediaan Air ........................................................................ 37
5.1.3 Keberadaan Jenis Satwa lainnya ………………..………….… 38
5.1.4 Struktur dan Komposisi Vegetasi .............................................. 41
5.1.5 Tumbuhan Pakan Orangutan ..................................................... 44
5.2 Pohon Sarang …………………………………………………………. 47
5.3 Sarang Orangutan……………………………………............................ 50
5.4 Faktor Determinan Pemilihan Pohon Sarang ....................................... 53
5.5 Preferensial Pohon Sarang ...................................................... .............. 58

VI. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 65

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jarak antar kelahiran antar spesies Orangutan Sumatera dan Borneo ......... 10
2. Perkiraan populasi orangutan yang terdapat pada masing-masing habitat .... 11
3. Subdivisi habitat Orangutan yg tersisa di Kalimantan berdasar kualitas
hutan .......................................................................................................... .... 11
4. Kriteria yang diukur pada metode Neu’s versi Manly et al. (1993)). ............. 35
5. Suhu udara dan kelembaban maksimum, minimum dan rataan harian pada
lokasi penelitian ............................................................................................. 36
6. Jumlah jenis, individu, kerapatan dan kekayaan jenis untuk masing masing
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di blok Rimba, Riset dan
Pemanfaatan ................................................................................................... 41
7. Jumlah jenis pakan dengan kerapatan di masing-masing blok pada setiap
tingkat tumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) ................................... 45
8. Persentase penggunaan pohon sarang berdasarkan sebaran diameter pohon
sarang... .......................................................................................................... 48
9. Bentuk tajuk pohon sarang............................................................................. 49
10. Ketinggian sarang di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan ............................ 51
11. Sumber bahan penyusun sarang yang berasal dari satu jenis pohon sarang
hingga tiga jenis pohon yang berbeda .......................................................... 51
12. Posisi dan Kelas Sarang yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria ............. 53
13. Perbandingan ukuran diameter tumbuhan (tiang dan pohon) dengan
diameter pohon sarang di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan ..................... 58
14. Daftar jenis pohon sarang disukai berdasarkan metode Noe’s (indeks
preferensi) dilihat dari keberadaan jumlah sarang........ ................................. 59
15. Contoh 10 pohon sarang dari 42 pohon sarang (tingkat pancang, tiang dan
pohon) yang disukai orangutan berdasarkan indeks preferensi..................... 61

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Morfologi tubuh Orangutan Borneo (Kalimantan) (a) Orangutan jantan


dewasa berumur lebih dari 20 tahun (b) Orangutan anak berumur kurang
dari 3 tahun ............................................................................................. 5
2. Satwa arboreal Orangutan menghabiskan waktu beraktivitasnya di kanopi
pohon (a) Orangutan betina dewasa dan anak sedang duduk istirahat (b)
Orangutan dengan aktivitas bergerak pindah dari satu pohon ke pohon
lainnya ........................................................................................................ ... 6
3. Tiga sub-jenis orangutan Borneo berikut penyebarannya ............................ 12
4. Perbandingan distribusi orangutan Borneo tahun 1990 dan 2002 ................. 12
5. Peta lokasi Taman Nasional Tanjung Puting ............................................... . 16
6. Tipe ekosistem yang ada di TN Tanjung Puting ......................................... .. 20
7. Satwa jenis primata Bekantan (a) dan Owa-owa (b) termasuk jenis satwa
dilindungi yang sering dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting. .......... 22
8. Letak lokasi pengamatan ............................................................................... 23
9. Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi dengan
metode garis berpetak ....... ............................................................................ 28
10. Sungai kecil yang terdapat di dalam kawasan ............................................... 38
11. Jenis primata dan mamalia yang dijumpai yaitu (a) babi hutan (Sus barba-
tus) dan (b) bekantan (Nasalis larvatus) ........................................................ 39
12. (a) Jejak berupa cakar beruang di pohon pempaning yang juga merupakan
pohon sarang dan (b) sisa makanan beruang berupa serangga lulut.... .......... 40
13. Indeks kekayaan jenis pada tiap tingkatan tumbuhan vegetasi di blok
Rimba, Riset dan Pemanfaatan......... ............................................................. 43
14. Kerapatan antara tumbuhan pakan dengan vegetasi pada tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan.. ............. 45
15. Indeks kekayaan jenis pakan pada tiap tingkatan tumbuhan di blok Rimba,
Riset dan Pemanfaatan..................................................... .............................. 46
16. Jumlah individu pohon sarang berikut jumlah jenis pohon sarang tersebut
di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan.................................. ........................ 47
17. Persentase bentuk tajuk dari 176 pohon sarang Orangutan yang diamati. ... 49
18. Jumlah sarang ditemukan di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan.. .............. 50
19. (a) dan (b) Hubungan antara keberadaan sarang dengan jumlah jenis pakan
yang teridentifikasi pada blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan...................... 56

xiv
20. Beberapa jenis dari 42 jenis pohon sarang yang disukai berdasarkan nilai
indeks prefernsi (w≥1) yang ditemukan dari 73 jenis pohon sarang
Orangutan ....................................................................................................... 60
21. Grafik kecenderungan kesukaan dari 42 pohon sarang orangutan
berdasarkan indeks preferensi dilihat dari ketersediaan jenis pohon yang
sama dalam blok pengamatan ........................................................................ 61

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Skema kerangka pemikiran penelitian .............................................. ....... 68


2. Daftar nama jenis tumbuhan pada plot penelitian ..................................... 69
3. Daftar jenis tumbuhan pakan ............................................................... .... 75
4. Daftar jenis pohon pakan yang digunakan juga sebagai pohon sarang .... 77
5. Daftar 10 jenis tumbuhan pakan dengan kerapatan tertinggi .................... 78
6. Daftar nama spesies dan famili pohon sarang .......................................... 79
7. Daftar jumlah jenis pohon sarang dan sarang......................................... .. 81
8. Data pohon sarang dan sarang orangutan .............................................. .. 82
9. Indeks Neu’s berdasarkan jumlah sarang.................................................. 90
10. Indeks Neu’s berdasarkan spesies pohon sarang.................................. .... 92
11. Tingkat kesukaan 42 jenis pohon sarang berdasar indeks preferensi.... ... 94
12. Hasil analisis regresi linier dengan metode stepwise di Blok Rimba .... .. 95
13. Hasil analisis regresi linier dengan metode stepwise di Blok Riset ......... 97
14. Hasil analisis regresi linier metode stepwise di Blok Pemanfaatan ....... .. 99

xvi
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orangutan (Pongo pygmaeus) adalah salah satu anggota suku Pongidae,


termasuk kelompok kera besar bersama dengan Bonobo (Pan panicus), Simpanse
(Pan troglodytes) dan Gorila (Pan gorilla). Orangutan merupakan satu-satunya
jenis kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kera besar kerabat lainnnya
hidup di Afrika. Saat ini status konservasi orangutan berdasarkan International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2004) masuk
dalam kategori endangered species atau jenis terancam punah, Appendix I CITES
(Convention on International Trande in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) dan dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia
yaitu dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa dan SK. Menhut No.301/Kpts-II/1991 tanggal 10 Juni 1991.

Pada awalnya penyebaran orangutan mulai dari daratan China sampai


dengan pulau Jawa, namun saat ini populasi orangutan yang tersisa hanya
terdapat di Sumatra bagian Utara dan tersebar di beberapa tempat di Kalimantan.
Populasi di alam secara keseluruhan diperkirakan lebih dari 65.000 individu
(PHVA 2004). Sementara populasi orangutan di Kalimantan menyebar dalam
kantong-kantong habitat hutan di bagian Tengah, Barat, Utara, dan Timur-laut dan
diperkirakan populasinya mencapai lebih dari 50.000 individu yang tersebar
dalam 49 habitat unit termasuk di Sabah dan Serawak. Salah satu kawasan yang
merupakan habitat orangutan tersebut diantaranya adalah Taman Nasional
Tanjung Puting (TNTP) di propinsi Kalimantan Tengah yang diyakini memiliki
jumlah populasi yang cukup signifikan yaitu sekitar 5300 individu (Borneo
Orangutan GRASP 2005). MacKinnon (1972, diacu dalam Rijksen 1978)
menyimpulkan bahwa orangutan dapat beradaptasi pada berbagai tipe hutan
primer dari hutan rawa, hutan dataran rendah/ dipterocarpace sampai ke hutan
pegunungan dengan batas ketinggian ± 1800 dpl. Dalam penelitiannya Galdikas
2

(1978) menyatakan orangutan umumnya mendiami hutan rawa gambut di


Tanjung Puting.

Orangutan dianggap sebagai suatu ‘flagship’ species yang menjadi simbol


untuk meningkatkan kesadaran konservasi. Dari sisi ilmu pengetahuan, orangutan
juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu cabang dari evolusi kera
besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar Afrika. Kelestarian orangutan
juga diyakini dapat menjamin kelestarian hutan dimana mereka tinggal dan juga
kelestarian organisme hidup lainnya. Walaupun keberadaannya telah dilindungi
undang-undang, populasinya di alam terus menurun antara lain sebagai akibat
penebangan pohon hutan dan perburuan. Konflik kepentingan yang tiada henti
antara kepentingan manusia dan orangutan, umumnya bersifat fatal bagi pihak
orangutan. Oleh karena itu pelestarian orangutan menjadi prioritas untuk
dilakukan, mengingat populasinya yang semakin menurun akibat berbagai tekanan
baik terhadap orangutan secara langsung maupun terhadap habitatnya.

Upaya dalam rangka melestarikan orangutan dilakukan antara lain dengan


menetapkan kawasan yang merupakan habitat orangutan sebagai kawasan yang
dilindungi (seperti Tanjung Puting, Kutai, Sebangau, Gunung Palung, Bukit Raya-
Bukit Baka sebagai taman nasional). Disamping itu juga dibangun pusat-pusat
rehabilitasi orangutan untuk menampung orangutan peliharaan manusia yang
berhasil disita dan orangutan hasil seludupan yang dikembalikan dari luar negeri,
dengan tujuan akhir yaitu untuk dilepasliarkan ke habitat alam. Untuk kepentingan
tersebut, perlu penyiapan habitat baru yang sesuai dengan kebutuhan orangutan
baik kondisi fisik lingkungan habitat maupun keadaan biotis habitat tersebut.
Untuk itu perlu diketahui standar habitat seperti apa yang akan mendukung
kelangsungan hidup orangutan, dimana salah satunya melalui penyediaan
informasi tentang pohon yang bagi orangutan sebagai tempat banyak melakukan
aktivitasnya termasuk aktivitas bersarang.

Pohon merupakan salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan.


Pohon digunakan orangutan antara lain untuk membangun sarangnya di kanopi
sebagai tempat beristirahat termasuk tidur dan bermain sepanjang hari (Rijksen
1978). Maple (1980) menyebutkan bahwa orangutan membangun paling tidak
3

satu sarang per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari. Oleh karena itu,
fokus dalam penelitian ini lebih diarahkan pada analisis habitat dalam hal ini
pohon tempat bersarang. Dengan asumsi bahwa terdapat faktor atau peubah-
peubah ekologi yang mempengaruhi orangutan dalam menentukan pemilihan
pohon sarang, maka penelitian ini diarahkan pada identifikasi faktor atau peubah
ekologi tersebut dan merumuskan karakteristik pohon yang disukai orangutan
dalam bersarang.

1.2 Tujuan :

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi faktor dominan


(determinan) yang mempengaruhi orangutan dalam menentukan pohon sarang
untuk membangun sarangnya (2) merumuskan tipologi pohon preferensial (yang
disukai) (3) mendiskripsikan karakteristik sarang orangutan

1.3 Manfaat :

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain:

1. Manfaat ilmiah berupa informasi tentang tipologi pohon yang dipilih oleh
orangutan untuk membangun sarangnya

2. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan suatu standar habitat yang


dapat menjamin kelangsungan hidup orangutan

3. Penyediaan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar (a)
pembinaan habitat dalam rangka konservasi insitu orangutan, (b) sebagai dasar
penentuan metode inventarisasi orangutan yang akurat antara lain untuk
menentukan kepadatan populasinya serta (c) sebagai dasar penentuan zonasi
Taman Nasional Tanjung Puting.

1.4 Hipotesis

Ho = Orangutan tidak punya preferensi dalam memilih pohon sarang


H1 = Orangutan punya preferensi dalam memilih pohon sarang.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Bio-ekologi Orangutan

Klasifikasi dan Morfologi

Orangutan adalah kera besar yang merupakan salah satu anggota suku
Pongidae yang hanya terdapat di Asia, tepatnya di Sumatera dan Kalimantan.
Kera besar lainnya ada di Afrika yaitu simpanse (Pan troglodytes) , gorila (Pan
gorilla) dan banobo (Pan paniscus) yang ketiganya hidup di Afrika. Berdasarkan
persamaan genetik dan biokimia, suku Pongidae ini berkembang dari leluhur yang
sama selama periode waktu kurang dari 10 juta tahun (Sarich & Wilson 1967,
diacu dalam Meijaard, Rijksen & Kartikasari, 1999). Linnaeus pada tahun 1760
memberi nama orangutan dengan nama Pongo pygmaeus. Van Bemmel (1968)
awalnya membagi orangutan (Pongo pygmaeus ) kedalam dua sub spesies yaitu
Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo
pygmaeus pygmaeus).

Dalam perkembangan terakhir, kedua orangutan tersebut dinyatakan


berbeda spesies (Chemnick & Ryder 1994). Menurut hasil penelitian genetika
oleh Zhang at al. (2001) dan taksonomi oleh Groves (2001) bahwa spesies
orangutan Sumatra (Pongo abelli) adalah spesies terpisah dengan spesies
orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), begitu pula secara ekologi dan life-history
(Delgado & van Schaik 2001). Secara ringkas orangutan menurut F.E. Poirier
(1964, diacu dalam Grooves 1972) dapat diklasifikasikan sebagai Kingdom
Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebarata, Kelas Mamalia, Ordo
Primata, Famili Pongidae, Genus Pongo , Spesies Pongo pygmaeus dan Pongo
abelii.

Lebih lanjut Orangutan Kalimantan/Borneo terbagi menjadi tiga (3) unit


taksonomi yang berbeda (Groves 2001; Warren et al. 2001), sesuai dengan
pendapat para ahli lapangan dan rehabilitasi orangutan, yaitu :

a. Utara Barat Borneo supspesies, mulai dari utara Kapuas sampai Sarawak
(Pongo pymaeus pygmaeus);
5

b. Tengah Borneo subspesies, mulai dari selatan Kapuas sampai barat Barito
(Pongo pygmaeus wurmbii);

c. Utara Timur Borneo subspesies, di Sabah dan Kalimantan Timur (Pongo


pygmaeus morio).

Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia


(orang) hutan. Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar,
lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak
mempunyai ekor. Orang utan berukuran 1-1,4 m untuk jantan, yaitu kira-kira 2/3
kali ukuran seekor gorila. Tubuh orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan.
Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi,
mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan,
penciuman, pengecap, dan peraba. Telapak tangan mereka mempunyai empat jari-
jari panjang ditambah satu ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan
jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia. Orangutan jantan memiliki pelipis
yang gemuk.

Perbedaan morfologis orangutan dapat dikenali dari perawakannya dan


warna rambut. Orangutan Kalimantan lebih tegap mempunyai kulit dan rambut
berwarna lebih gelap daripada Orangutan Sumatera (gambar 1.)

(a) (b)

Gambar 1. Morfologi tubuh Orangutan Borneo (Kalimantan) (a) Orangutan


jantan dewasa berumur lebih dari 20 tahun (b) Orangutan anak
berumur kurang dari 3 tahun
6

Ekologi Orangutan

Dari hasil berbagai penelitian, bahwa pakan utama orangutan adalah buah.
Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu
makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan, 11-20% waktu makannya
setiap hari untuk memakan dedaunan, termasuk tunas muda, selebihnya waktu
makan memanfaatkan jenis pakan lainnya seperti serangga, lapisan di bawah kulit
pohon (khususnya pohon Ficus sp) dan bunga-bungaan antara lain Bombax
valetonii (di Sumatera) dan Payena spp (di Kalimantan). Telur di dalam sarang
burung kadang ditemukan akan dimakan, demikian pula vertebrata kecil (tokek,
tupai, kukang) akan dimakan jika mudah ditangkap (Meijaard, E. 2001).
Demikian juga MacKinnon (1972) menyebutkan walaupun orangutan pada
dasarnya merupakan hewan frugivorous yakni pemakan buah-buahan, namun
dalam keadaan tertentu juga memakan daun-daunan, bunga-bunga tumbuhan
epifit, liana dan kulit pohon. Lebih lanjut Rodman (1971, diacu dalam Maple
1980) menyebutkan bahwa sebagian besar waktu makan orangutan dilakukan di
tajuk-tajuk pohon atau bagian-bagian pohon yang banyak terdapat buah-buahan
yakni pada ketinggian 20-30 meter.

(a) (b)

Gambar 2. Satwa arboreal Orangutan menghabiskan waktu beraktivitasnya di


kanopi pohon (a) Orangutan betina dewasa dan anak sedang duduk
istirahat (b) Orangutan dengan aktivitas bergerak pindah dari satu
pohon ke pohon lainnya.
7

Di hutan rawa aluvial Tanjung Puting, Kalimantan Tengah 54-60% dari


semua pohon (diameter > 10 cm) merupakan sumber makanan potensial bagi
orangutan (Galdikas 1978), walaupun hanya 8-17% pepohonan yang cukup tua
menyediakan buah dalam jumlah yang berarti. Galdikas (1978) dalam
penelitiannya mengidentifikasi kurang lebih 23 jenis pohon yang secara efektif
tersebar melalui tinja, dan 12 jenis lain yang terbawa dalam jarak pendek dan
sebagian biji yang utuh dibuang dari mulut.

(MacKinnon 1972, diacu dalam Rijksen 1978) menyimpulkan bahwa


orangutan dapat beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer dari hutan rawa,
hutan dataran rendah/ dipterocarpace sampai ke hutan pegunungan dengan batas
ketinggian ± 1800 dpl. Dalam penelitiannya, Galdikas (1984), mendapatkan
orangutan umumnya mendiami hutan rawa gambut di Tanjung Puting. Orangutan
tidak semata-mata tergantung hutan primer (Van Scheick & Azwar 1991, diacu
dalam EIA, 1998). Orangutan dapat bertahan hidup di areal hutan bekas
pembalakan, walaupun untuk jangka panjang kelangsungan hidupnya tidak
terjamin karena kepadatannya lebih rendah (IUCN, 1982).

Perilaku Orangutan

Galdikas (1978) menyebutkan bahwa pada dasarnya aktivitas orangutan


dibagi kedalam 7 kategori, yaitu aktivitas makan yang merupakan aktivitas
tertinggi yaitu sebanyak 60.1% dari keseluruhan aktivitas hariannya, diikuti
aktivitas istirahat sebanyak 18.2%, aktivitas bergerak pindah 18.7%, kopulasi
0.1%, mengeluarkan seruan panjang 0.1%, prilaku agresi 1.3 % dan aktivitas
bersarang 1.1 %. Peneliti lain ada juga yang menyebutkan 60% aktivitasnya
adalah makan dan 40% untuk tidur dan istirahat disarang. McKinnon (1972, diacu
dalam Djojosudharmo 1978) menyebutkan bahwa aktivitas harian orangutan
meliputi 3 aktivitas besar, yakni istirahat, makan dan bergerak, sementara menurut
Peters (1995) aktivitas orangutan dibedakan kedalam 5 aktivitas yaitu makan,
istirahat, jalan (bergerak), sosial (bermain) dan aksi (termasuk membuat sarang).

Menurut Galdikas (1978), aktivitas bersarang meliputi pematahan dan


perlakuan cabang-cabang dan/atau tanaman untuk menyusun sarang untuk tidur,
bangunan alas untuk tempat makan atau pelindung tubuh di atas kepala untuk
8

menahan hujan di Tanjung Puting. MacKinnon (1974) menyebutkan bahwa


kegiatan pembuatan sarang membutuhkan waktu sekitar 2-3 menit. Lebih lanjut
tahapan pembuatan sarang diterangkan sebagai berikut: (1) Rimming: cabang
dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan
dengan cara melekukkan cabang lain. (2) Hanging: cabang dilekukkan masuk
kedalam sarang untuk membentuk mangkuk sarang. (3) Pillaring: cabang
dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan
kekuatan ekstra dan (4) Loose: beberapa cabang diputuskan dari pohon dan
diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap.

Djojosudharmo (1978) menyebutkan sarang dibangun dari ranting-ranting


yang daunnya masih segar, kebanyakan ranting-ranting tersebut mempunyai daun
yang berukuran sedang. Pembuatan sarang relatif cepat, hanya memakan waktu
beberapa menit saja.. Dikatakan lebih lanjut dalam Rijksen (1978) bahwa sarang
orangutan umumnya terbuat dari sekumpulan dedaunan yang dianyam kuat. Pada
beberapa sampel sarang, orangutan juga menggunakan liana dan tumbuhan
pemanjat lainnya sebagai material sarang. Terkadang material tersebut harus
diambil/dipetik dari pohon lain. Daun-daun diperoleh dari vegetasi yang ada
disekitarnya, bahkan sampai 15 meter jaraknya dari tempat bersarang. Dalam
kasus lain, dijumpai kerangka utama sarang dibuat dengan menggabungkan
cabang kecil dari 2 jenis pohon berbeda.

Orangutan termasuk bangsa primata yang membangun sarangnya di


kanopi pohon dan menggunakannya untuk beristirahat termasuk tidur dan bermain
sepanjang hari (Rijksen, 1978). Disamping fungsinya sebagai tempat beristirahat,
sarang juga berfungsi sebagai tempat untuk kawin, melahirkan anak, dan
mengasuh anak sampai siap disapih (Galdikas, 1988). Maple (1980) menyebutkan
bahwa orangutan membangun paling tidak satu sarang per hari untuk beristirahat
dan tidur di malam hari, dan sarang tersebut merupakan ciri terpenting, yang
membedakan orangutan dari jenis primata lainnya.. Ketinggian sarang untuk
orangutan borneo umumnya lebih disukai di 13-15 meter, namun itu tergantung
struktur hutan. Orangutan Sumatera dalam membuat sarangnya, faktor lokasi
memainkan peran utama, biasanya penempatan sarang sedemikian rupa
9

memungkinkan orangutan mendapatkan arah pandang yang baik dan jelas dan
tidak terhalangi pandangannya ke sekitar hutan.

Rijksen (1978) mengatakan bahwa lama bertahan sarang (relative


permanence) bervariasi tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran
orangutan, suasana hati (mood), lokasi dan karakteristik pohon, cuaca,
kemungkinan dihancurkan oleh orangutan atau monyet lain saat bermain atau
mencari serangga.

Populasi Orangutan

Demografi Orangutan Borneo

Beberapa informasi tentang demografi orangutan borneo antara lain bahwa


umur reproduksi pertama pada orangutan jantan 18 tahun (PHVA 2004),
sementara menurut Galdikas (1978) kira-kira pada umur 10 tahun sudah terlihat
sifat seks sekunder dan jantan muda telah mulai melakukan kopulasi
(perkawinan). Lebih lanjut Galdikas menyebutkan orangutan dalam peliharaan
(rehabilitasi) telah diketahui hamil saat berumur 7-8 tahun, namun untuk
orangutan liar jauh lebih tua dari itu (14-15 tahun), dan umur maksimal orangutan
dapat berproduksi adalah 45 tahun (PHVA 2004).

Laju kematian pada orangutan umur 0-1 tahun baik jantan maupun betina
sama sebesar 1.5%, perbedaan akan terlihat saat orangutan berumur diatas 15
tahun pada betina menurun menjadi 1%, sementara jantan tetap 1.5 %. Kematian
karena bencana alam biasanya terjadi disebabkan oleh banjir, kekeringan,
persediaan makanan yang ekstrim, kebakaran dan dampak El-nino akan dapat
mengurangi populasi hingga sekitar 1 – 3,5 % (PHVA 2004).

Sex-ratio orangutan pada saat lahir adalah 55% jantan, dengan jarak kelahiran
(interbirth interval) minimal mencapai 5 tahun (dalam kondisi baik) dan maksimal
(kondisi buruk) lebih dari 7 tahun, sedang Galdikas (1978) menyebutkan bahwa
jarak kelahiran lebih dari 5 tahun.
10

Tabel 1. Jarak antar kelahiran antara spesies Orangutan Sumatera dan Orangutan
Borneo

Spesies Lokasi IBI *) Sumber


(tahun)
Pongo abelii Suaq Balimbing > 8,25 Noordwijk & Schaick 2000
Ketambe 9,2 Wich et al, 2004
Pongo pygmaeus wurmbii Tj. Puting 7,7 Galdikas & Wood, 1990
Gn. Palung 7 Knot, 2002
Pongo pygmaeus morio Kinabatangan 5 Ancrenaz
Kutai 5 Suzuki, 1991
Sungai Wain 2-5 Smiths, 1993
*) Inter Birth Interval
sumber: PHVA Workshop , 2004

Perkiraan populasi orangutan

Pada International Workshop PHVA (Population Habitat and Vaibility


Analysis) Orangutan bulan Januari 2004 di Jakarta, yang diikuti lebih dari 80 ahli
dan pemerhati orangutan seluruh dunia telah dibahas dan dianalisa beberapa hal
sebagai berikut: (1) potensi populasi yang ada pada kondisi terakhir, (2) faktor
(problem) yang mempengaruhi keberadaan spesies dan (3) faktor apa saja yang
dapat merubah/mendorong untuk memperbaiki efek besar dalam memperbaiki
kondisi keselamatan spesies.

Dari hasil diskusi tersebut dihasilkan informasi yang berkaitan dengan


perkiraan jumlah orangutan yang dihasilkan dari penelitian dan survey dari pakar
di bidang orangutan, maka diperkiraan population orangutan borneo diurut
berdasarkan tahun adalah sekitar 1000 (Reynolds 1967); antara 3500-4000
(Basjarudin 1971); sekitar 37000 (International Primate Conference, San Diego
1985), K. MacKinnon (1986) menyebutkan angka 156.000; antara 10000-116000
(J. MacKinnon 1990); 61000 (K. MacKinnon 1991); 40,000 (J. MacKinnon
1991); antara 19,000 – 30,000 (Sugarjito & van Schaik 1993); 23,000 (Rijksen &
Meijaard 1999) dan data terakhir diperkirakan lebih dari 50,000 (Singleton et al.
2004, diacu dalam PHVA 2004)
11

Tabel 2. Perkiraan populasi orangutan yang terdapat pada masing-masing habitat


(dalam unit)

No. Lokasi Jumlah

1. Sumatra (13 unit habitat) 7501


2. Sabah (17 unit habitat) 13614
3. Kalimantan Timur (P.p. morio : 9 unit habitat) 4335
4. Kalimantan Tengah (P.p wurmbii :16 unit habitat) 32306
5. Kalimantan Barat & Sarawak (P.p.pygmaeus : 7 unit habitat) 7542
Total populasi orangutan Borneo 57797
Total populasi di alam 65298
sumber: PHVA Workshop , 2004

Pada tabel di atas terlihat bahwa dari segi jumlah diperoleh jumlah
orangutan yang lebih besar dari perkiraan 10 tahun yang lalu, perbedaan tersebut
dikarenakan pelaksanaan sensus yang lebih baik (metode survey yang lebih
tepat), kurang konservatif dalam ekstrapolasi, lebih banyak area yang dijangkau.
Namun hal tersebut tidak secara pasti dapat membuktikan kalau memang ada
lebih banyak orangutan dibandingkan satu atau dua dekade yang lalu.

Subdivisi habitat Orangutan yang tersisa di Kalimantan ditunjukkan pada


Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3: Subdivisi habitat Orangutan yg tersisa di Kalimantan berdasarkan
kualitas hutan
Kalimantan Barat Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kelas Hutan (total Orangutan (total Orangutan
(total Orangutan habitat
(MoF, 2002) habitat = 15,670 habitat = 8,319
= 33,517 km2)
km2) km2)
Hutan Tanah Kering
42 % 5% 20 %
Primer

Hutan Rawa Primer 1% 6% 2%


Hutan Tanah Kering
yang sudah 31 % 38 % 78 %
terganggu
Hutan Rawa yang
26 % 50 % 0%
sudah terganggu
sumber: PHVA Workshop , 2004
12

Distribusi Orangutan Borneo

Gambar 3 dan 4 dibawah memperlihatkan bagaimana orangutan ter


distribusi di wilayah Borneo ( Kalimantan, Sabah dan Serawak ), dan dapat pula
dilihat bahwa orangutan borneo (Pongo pygmaeus) berdasarkan region di Borneo
terbagi lagi menjadi 3 sub spesies :

Sebaran sub-jenis orangutan Borneo


Pongo
pygmaeus
pygmaeus
Pongo
pygmaeus
morio

Pongo
pygmaeus
wurmbii

Gambar 3. Tiga sub-jenis orangutan Borneo berikut penyebarannya

Distribusi Orangutan Borneo


Orangutan Distribution
Awal
Early1990-an
1990s

2002

Gambar 4. Perbandingan distribusi orangutan Borneo pada tahun 1990-an dengan


tahun 2002.
13

Arsitektur pohon

Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi


sumberdaya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ( Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat 2) .

Di dalam Flora Pohon Indonesia oleh Tantra (1981) disebutkan bahwa


tipe-tipe hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan (tropical rain forest)
dimana tegakan, hutan musim (seasonal forest), hutan gambut (peat forest), hutan
rawa (swamp forest), hutan payau (mangrove forest) dan hutan pantai (litteral
forest). Klasifikasi atas tipe-tipe tersebut antara lain didasarkan pada faktor iklim
dan komposisi tegakkannya. Dan faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan
vegetasi adalah temperatur, kelembaban, angin dan intensitas cahaya.

Menurut Desman (1964), Wiersum (1973), Alikodra (1983) dan Bailey


(1984) bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan
perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek
kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas
satwaliar. Salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan adalah pohon,
sebab orangutan sebagai mamalia arboreal terbesar dengan berat betina 40 kg dan
jantan 80 kg (Rodman 1984) sebagian besar hidup dan aktivitasnya dilakukan di
atas pohon.

Orangutan terutama hidup dan tersebar pada hutan-hutan primer dataran


rendah namun juga dijumpai pada hutan dataran tinggi atau pegunungan yang
banyak ditumbuhi tanaman dari famili Dipterocarpaceae (MacKinnon 1971,
diacu dalam Rijksen 1978). Dari hasil penelitiannya, Rijksen (1978) menyatakan
struktur hutan yang dihuni orangutan terdiri atas pohon-pohon tinggi berkisar 35-
50 meter dengan tidak adanya dominasi jenis vegetasidan lantai hutan ditumbuhi
oleh herba.

Secara umum pepohonan memiliki bagian-bagian yaitu batang, tajuk, dahan


dan ranting, kuncup, bunga dan buah. Penampilan pepohonan dilihat dari
morfologi batangnya dibedakan kedalam: batang silindris, berlekuk, berongga dan
berbanir (sumber: Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia). Sementara tajuk
14

suatu pepohonan dewasa mempunyai bentuk tajuk yang umum dijumpai di dalam
hutan yaitu berupa: tajuk berbentuk kerucut, tajuk bertingkat/ tajuk kosong disalah
satu sisi, tajuk bentuk silinder, tajuk berbentuk bulat, tidak beraturan, tajuk
bentuk payung (Sutisna et al. 1998).

Beberapa jenis pohon yang digunakan oleh orangutan untuk membangun


sarangnya di Taman Nasional Tanjung Puting antara lain Blangeran (Shorea
belangeran), Medang (Alseodaphne insignis) , Putat (Baringtonia recemosa),
Ketiau (Ganua montleyana), Ubar (Syzygium grande), Lowari (Schima wallichii),
Meranti (Shorea leprosula), Pempaning (Quercus bennettii) (Suwandi, 2000).
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kawasan

Pada awalnya tanjung puting berstatus suaka margasatwa yang ditetapkan oleh
Pemerintah Belanda pada tahun 1936 dengan luas 305.000 ha. untuk tujuan
perlindungan orangutan dan bekantan. Kemudian dalam perkembangannya ditetapkan
sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.
096/Kpts-II/84 tanggal 12 Mei 1984, dan ditindaklanjuti oleh SK Dirjen PHPA No.
46/Kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984 yang menetapkan wilayah kerja
Taman Nasional Tanjung Puting meliputi areal Suaka Margasatwa Tanjung Puting
dengan luas 300.040 ha. Terakhir berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-
II/96 tanggal 25 Oktober 1996, luas kawasan Taman Nasional Tanjung puting
bertambah luas menjadi 415.040 ha, yang terdiri dari Suaka Margasatwa Tanjung
Puting (300.040 ha), Hutan Produksi 90.000 ha (eks HPH PT Hesubazah) dan
Kawasan Perairan sekitar 25.000 ha.

Letak dan Luas

Taman Nasional Tanjung Putting mempunyai luas 415.040 ha, yang secara
administrasi pemerintahan masuk dalam Kabupaten Kotawaringin Barat (61 % dari
luas kawasan) dan Kabupaten Seruyan (39%) di Provinsi Kalimantan Tengah. Secara
geografis Tanjung Puting terletak diantara 2°35’ LS - 2°20’ LS dan 111°50’ BT -
112°15’BT.

Kondisi Fisik

Iklim

Secara garis besar kawasan Taman Nasional Tanjung Puting mempunyai curah
hujan rata-rata mencapai 2.180 mm/tahun. Menurut Schmidt & Fergusson hal seperti
ini termasuk dalam iklim tipe A dengan nilai Q=10.5%. Suhu minimum antara 18-
21°C dan suhu maksimum 31-33°C dengan kelebaban nisbi rata-rata 75-80%. Musim
hujan bulan Oktober sampai dengan bulan April
16

PETA AREAL
BERHUTAN
DI TAMAN NASIONAL
TANJUNG PUTING
Skala 1 : 450.000

Gambar 5. Peta lokasi Taman Nasional Tanjung Puting

.
17

Topografi

Secara umum, topografi Taman Nasional Tanjung Puting adalah datar sampai
bergelombang dengan ketinggian 0 sampai 11 meter dari permukaan laut. Di bagian
utara, terdapat beberapa punggung pegunungan yang rendah dan bergelombang serta
umumnya mengarah ke selatan, akan tetapi di sebelah selatan dari Sungai Sekonyer
tidak terdapat pegunungan atau bukit. Di tanjung sendiri (Tanjung Puting) terjadi
pendangkalan pasir dan lumpur setiap tahun dan bergerak ke arah selatan dan barat.
Beberapa daerah pantai dengan gundukan-gundukan pasir terdapat di sekitar muara
Sungai Perlu.

Hidrologi

Di dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terdapat 7 Daerah Aliran


Sungai (DAS) dan sub DAS yaitu Sekonyer, Buluh Kecil, Buluh Besar, Cabang,
Perlu, Segintung dan Pembuang. Dimana DAS dan sub Das tersebut mempunyai air
yang berwarna hitam kecoklat-coklatan, serta mengalir dari bagian utara dan tengah
kawasan taman nasional. Aliran sungai-sungai ini pelan dan di beberapa tempat
terpengaruh oleh adanya pasang surut. Banjir sering terjadi dan beberapa danau
sering terbentuk di daerah hulu sebagian besar terjadi pada musim hujan mulai bulan
Oktober sampai dengan April. Air tanah menjadi bagian penting dari semua habitat di
Tanjung Puting dan lebih dari 60 % kawasan taman nasional tergenang air paling
tidak selama 4 bulan setiap tahunnya. Selama musim kemarau yang panjang, air
payau dapat masuk ke daerah hulu sejauh ± 10 km, sepanjang Sungai Sekonyer.
Fluktuasi harian dari permukaan air Sungai Sekonyer yang terkait dengan adanya
pasang surut dapat diukur sampai ± 15 km dari muara. Fluktuasi musiman permukaan
air di daerah rawa-rawa memiliki variasi rata-rata antara 1,5 sampai 2 meter dan di
beberapa tempat bisa mencapai 3 meter.

Geologi dan Tanah

Tanjung Puting, seperti halnya kebanyakan daerah berawa dataran pantai


Kalimantan, secara relatif berumur geologi muda dan daerah berawa datar yang
18

meluas ke pedalaman sekitar 5-20 km dari pantai mungkin hanya berumur beberapa
ratus sampai beberapa ribu tahun saja. Sebagian besar sedimen tanah/lumpur adalah
alluvial muda. Molengraaf menyatakan bahwa dataran pantai merupakan bagian dari
dataran/dangkalan sunda yang muncul ke permukaan setelah jaman es Pleistocene
dan kemudian secara bertahap dipenuhi oleh sedimen dari formasi pra-tertiari dan
tertiari dari Kalimantan Tengah. Bagian utara kawasan taman nasional yang mencuat
beberapa meter di atas permukaan laut mungkin merupakan bagian dari deposisi
“sandstone” tertiari.

Pada umumnya tanah di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting adalah


“miskin” (kurang subur), “tercuci” berat serta kurang berkembang. Semua tanah
bersifat sangat asam dengan kisaran pH antara 3,8-5,0. Tanah-tanah sekitar anak-anak
sungai dicirikan oleh suatu lapisan “top soil” yang berwarna abu-abu kecoklatan serta
suatu lapisan “sub soil” yang lengket yang juga berwarna abu-abu kecoklatan. Di
rawa-rawa daerah pedalaman (daerah hulu), tanah memiliki kandungan unsur organik
yang lebih tinggi dan formasi gambut tersebar luas di banyak tempat dengan
ketebalan sampai dengan 2 meter. Jalur-jalur tanah tinggi yang mendukung
tumbuhnya hutan tanah kering (dry land forest), meskipun banyak diantaranya telah
digarap/ditanami, memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi, bahkan kadang-
kadang pasir kwarsa putih. Semua tanah di Taman Nasional Tanjung Puting, seperti
halnya sebagian besar tanah di Kalimantan adalah sangat tidak subur, miskin unsur
hara.

Kondisi Biologi

Sebagai salah satu kawasan pelestarian alam, Taman Nasional Tanjung Puting
(TNTP) mempunyai ekosistem yang asli dan cukup lengkap. Keseluruhan ekosistem
di kawasan TNTP membentuk bentang alam yang unik melalui transformasi yang
halus dari hutan pantai di sebelah selatan ke hutan gambut di tengah dan terakhir
dengan hutan kering dataran rendah di sebelah utara kawasan. Jenis-jenis flora utama
di daerah utara kawasan adalah hutan kerangas dan tumbuhan pemakan serangga
19

seperti Kantong Semar (Nepenthes sp.). Hutan rawa gambut sejati, memiliki jenis
tumbuhan yang memiliki akar lutut, dan akar udara. Di daerah utara menuju selatan
kawasan terdapat padang dengan jenis tumbuhan belukar yang luas, hasil dari
kerusakan hutan kerangas akibat penebangan dan pembakaran yang umumnya
terdapat dalam kantong-kantong di sepanjang Sungai Sekonyer dan anak-anak
sungainya. Di sepanjang tepi semua sungai di kawasan ini terdapat hutan rawa air
tawar (aluvial) sejati, memiliki jenis tumbuhan yang kompleks dengan jenis
tumbuhan merambat berkayu yang besar dan kecil, epifit dan paku-pakuan menjalar
dalam jumlah yang besar. Tumbuhan di daerah hulu sungai utama terdiri atas rawa
rumput yang didominasi oleh Pandanus sp dan bentangan makrofita (bakung) yang
mengapung seperti Crinum sp. Pada pesisir pantai tumbuh hutan bakau (mangrove)
sedangkan lebih jauh ke daratan yaitu di kawasan payau pada muara-muara sepanjang
sungai utama, terdapat tumbuhan nipah. Daerah pesisir pada pantai-pantai berpasir
banyak ditumbuhi tumbuhan marga Casuarina, Pandanus, Podocarpus, Scaevola,
dan Barringtonia. Berbagai macam ekosistem itu membentuk habitat berbagai jenis
satwa liar, termasuk satwa langka dan terancam punah

Ekosistem

Taman Nasional Tanjung Puting memilk beberapa Tipe Ekosistem, yaitu:


ekosistem hutan tropika dataran rendah, ekosistem hutan tanah kering (hutan
kerangas), hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, hutan pantai dan
ekosistem hutan sekunder.

Flora

Jenis-jenis tumbuhan yang dapat ditemui di Taman Nasional Tanjung Puting


antara lain adalah jenis meranti (Shorea sp), resak (Vattica rassak), ramin
(Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), gaharu, kayu lanan, keruing
(Diphterocarpus sp), ulin (Eusideroxylon zwageri), tengkawang (Dracontomelas sp.),
kayu batu (Dacryodes costata), kayu amang (Hopea sp), puspa (Schima sp), kayu
harang (Diospyros sp), kayu damar (Vatica sp), getah merah (Palaquium sp), ketiau
(Genoa montleyana), pulai (Alstonia sp), durian hutan (Durio sp), jambu-jambuan
20

(Eugenia sp), pandan-pandanan (Pandanus sp), Sonneratia sp, Rhizopora sp,


Barringtonia sp, nipah (Nypa fruticans), rotan (Calamus sp.) dan alang-alang
(Imperata cyllindrica).

Gambar 6. Tipe ekosistem yang ada di Taman Nasional Tanjung Puting

Fauna

Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dihuni oleh sekitar 38 jenis


mamalia. Jenis-jenis tersebut antara lain jenis tupai (Tupaia spp), tikus (Rattus spp)
krabuku ingkat (Tarsius bancanus), kukang (Nyctycebus coucang), monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kelasi (Presbytis
rubicunda), lutung (Presbytis cristata), bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa
21

(Hylobates agilis), orangutan (Pongo pygmaeus), trenggiling (Manis javanica),


jelarang (Ratuva affinis), landak (Hystrix brachyura), beruang madu (Helarctos
malayanus), berang-berang (Lutra sp), musang leher kuning (Martes flavigula),
kucing batu (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), babi hutan (Sus
barbatus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), dan mamalia air
tawar ikan duyung (Dugong dugong).

Berapa jenis burung dapat dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting,


antara lain: pecuk ular (Anhinga melanogaster), cangak besar (Ardea sumatrana),
kuntul putih besar (Ergetta alba), kuntul kecil (Ergetta garzetta), bletok rawa
(Buloridos striatus), kowak malam (Nycticorax nycticorax), tamtoma kedondong
hitam (Dupeter flapicolis), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), belibis pohon
(Dendrocygna arcuata), alap-alap kelelawar (Machaerthampus alcinus), alap-alap
Asia (Pernis ptylorhynchus), elang bodol (Haliastur indus), elang ikan kecil
(Icthyophaga nana), elang belalang (Microhierax fringillarius), kuau/sempidan
kalimantan (Lophura bulweri), kuau melayu (Polypiectron malacenses), kuau besar
(Argusianus argus), trulek pasifik (Pluvialis dominica), trinil batis merah (Tringa
tetanus), camar hitam sayap putih (Chlidonias leocopterus), rangkong kode
(Anorrhinus galeritus), rangkong jambul hitam (Aceros corrugatus), dan rangkong
badak (Buceros rhinoceros), rangkong papan (Buceros bicornis)

Sementara jenis reptilia merupakan hewan yang termasuk kategori kurang


populer di Taman Nasional Tanjung Puting, sehingga catatan mengenai keberadaan
hewan ini pun masih sangat terbatas. Akan tetapi, paling tidak terdapat beberapa jenis
reptil yang berhasil teridentifikasi, yaitu buaya senyulong supit (Tomistoma
schlegelii), buaya muara (Crocodylus porosus), bidawang (Trionyx cartilaganeus),
ular sawa (Python reticulatus), ular sendok (Naja sputatrix), kura-kura (Testudo
emys) dan biawak (Varanus salvator). Beberapa jenis amphibi, sebetulnya terdapat di
kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, tetapi observasi dan identifikasi terhadap
amphibi belum pernah dilakukan.
22

Beberapa jenis ikan juga telah teridentifikasi, mulai dari ikan yang biasa
dikonsumsi masyarakat seperti jenis lais, toman, seluang, bakut dan sebagainya,
sampai jenis ikan hias, seperti ikan arowana (Schlerofagus formosus).

(a) (b)

Gambar 7. Satwa jenis primata Bekantan (a) dan Owa-owa (b) termasuk jenis satwa
dilindungi yang sering dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting
IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Taman Nasional Tanjung Puting provinsi


Kalimantan Tengah dan dilaksanakan selama 3 bulan di lapangan pada bulan Mei-
Juli 2007.

BLOK RISET

BLOK RIMBA

BLOK
PEMANFAATAN

sumber: Balai TNTP


Gambar 8. Letak lokasi pengamatan

Lokasi pengamatan dibagi kedalam 3 blok yaitu blok Rimba, blok Riset
dan blok Pemanfaatan (gambar 8) yang di dalamnya dibuat jalur/unit contoh
pengamatan yang seluruhnya berjumlah 6 jalur yang masing-masing jalur luasnya
2 hektar (20 m x 1000 m). Pembagian blok ini berdasarkan peruntukannya dalam
pengelolaan kawasan dan letaknya yang dipisahkan oleh sungai.
Blok Rimba peruntukan awalnya adalah untuk kegiatan rehabilitasi
orangutan (hingga tahun 2001), mempunyai topografi datar dengan mayoritas tipe
24

hutan dipterocarpus dataran rendah dan hutan rawa bergambut. Di blok Riset
yang merupakan lokasi tempat penelitian primata jenis bekantan dan owa-owa,
umumnya berhutan rawa dan hutan tanah kering (kerangas) dengan topografi
datar tidak jauh berbeda dengan Blok Rimba hanya lokasinya dipisahkan oleh
sebuah sungai yaitu Sungai Sekonyer Simpang Kanan. Topografi di blok
Pemanfaatan juga tidak jauh berbeda namun letaknya lebih tinggi dibanding ke
dua blok lainnya dengan tipe hutan yang umumnya adalah hutan sekunder
bercampur hutan rawa. Lokasi ini ditunjuk sebagai tempat percontohan
dilakukannya rehabilitasi kawasan dengan melakukan penanaman pohon berbagai
jenis sejak beberapa tahun yang lalu

4.2 Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: peta
kerja skala 1:10.000, pita spotlight, spidol permanen, , label untuk penandaan
pohon sarang, paku, rain-coat, teropong binokuler, GPS, kamera foto digital, jam
tangan, alat tulis, tambang plastik, mistar ukur dan pita meter (25 meter), tally
sheet/check list, termohygro-meter dan hagahypso-meter. Alat transportasi terdiri
atas sampan, alkon (kapal kecil bermesi) dan speedboat.

4.3 Kerangka Pemikiran

Populasi orangutan di alam menurun secara drastis, bahkan diperkirakan


dalam satu dekade ke depan orangutan akan punah dan ini pasti terjadi jika tidak
ada upaya serius dalam mengatasi kepunahan tersebut (IUCN 2000). Keberadaan
dan kelangsungan populasi orangutan di Kalimantan saat ini menghadapi banyak
ancaman berupa rusaknya habitat tempat tinggalnya akibat (1) pembalakan/
penebangan pohon baik legal ataupun illegal, (2) konversi hutan menjadi lahan
pertanian, perkebunan dan pertambangan, (3) kebakaran hutan yang hampir terjadi
sepanjang tahun dan belum ada pengendalian yang efektif, (4) perburuan untuk
ditangkap, kemudian diperdagangkan/diseludupkan serta untuk sekedar dipelihara
di rumah sebagai hobby atau kebanggaan. Dari data yang yang dilaporkan oleh
BKSDA Kalteng tahun 2004, menunjukkan jumlah orangutan yang disita atau
diserahkan oleh masyarakat di propinsi Kalimantan Tengah sekitar 20 - 30 ekor
setiap tahunnya. Orangutan peliharaan tersebut selanjutnya akan ditampung di
25

pusat-pusat rehabilitasi untuk menjalani rangkaian proses adaptasi kembali


menuju perilaku liar (proses aklimatisasi) agar dapat bertahan hidup sewaktu
diliarkan kembali ke habitatnya aslinya. Proses pelepasliaran kembali ke habitat
alamiah atau habitat baru yang sesuai adalah bagian penting dalam
menyelamatkan jenis tersebut. Permasalahannya hingga saat ini adalah
bagaimana menemukan atau menciptakan habitat-habitat baru yang sesuai dan
mendukung untuk kelangsungan hidup orangutan pasca peliaran tersebut.

Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan


perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek
kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas
satwaliar. Salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan adalah pohon
yang salah satu peranannya sebagai tempat membangun sarang untuk keperluan
istirahat dan tidur. Peran tersebut merujuk pada penelitian Rijksen (1978) yang
menyebutkan bahwa orangutan termasuk bangsa primata yang membangun
sarangnya di kanopi pohon dan menggunakannya untuk beristirahat termasuk
tidur dan bermain sepanjang hari. Bahwa Orangutan membangun paling tidak satu
sarang per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari, dan sarang tersebut
merupakan ciri terpenting, yang membedakan orangutan dari jenis primata
lainnya. Disamping fungsinya sebagai tempat beristirahat, sarang juga berfungsi
sebagai tempat untuk kawin, melahirkan anak, dan mengasuh anak sampai siap
disapih. Sarang dibuat melalui beberapa tahapan yaitu: Rimming (pelekukan
dahan secara horisontal membentuk lingkaran), Hanging (pelekukan dahan ke
dalam sarang membentuk mangkuk), Pillaring (pelekukan dahan untuk menopang
lingkaran sarang) dan Loose (pemutusan dahan dari pohon untuk diletakkan
kedalam sarang sebagai alas atau ke atas sebagai atap (cover).
Banyak penelitian tentang orangutan yang difokuskan pada aspek perilaku
di alam termasuk perilaku membuat sarang, namun faktor atau peubah ekologi apa
saja yang mempengaruhi orangutan dalam memilih pohon serta bagaimana
karakteristik pohon yang disukai orangutan dalam membangun sarangnya, belum
banyak dilakukan atau bahkan tidak ada penelitian tentang itu. Oleh karenanya,
diperlukan suatu penelitian untuk mengidentifikasi dan menentukan peubah-
peubah ekologi yang meliputi komponen fisik dan biotik yang dianggap
26

mempengaruhi Orangutan dalam pemilihan pohon sarang untuk selanjutnya


dianalisis sehingga akan diperoleh peubah-peubah yang paling determinan
berpengaruh dalam penentuan pemilihan pohon sarang. Dari aspek pohon sarang
yang dipilih kemudian akan dianalisis lebih lanjut untuk menentukan apakah
pohon tersebut termasuk jenis yang disukai, dan selanjutnya akan didiskripsikan
bagaimana karakteristik dari jenis pohon sarang yang disukai (skema kerangka
pemikiran pada lampiran 2)
Pada akhirnya dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
aspek acuan dalam menyiapkan suatu standar habitat yang sesuai dan diharapkan
akan menjamin kelangsungan hidup bagi populasi orangutan secara lestari di
habitat alamiahnya.

4.4 Jenis Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Data bio-fisik habitat berupa (a) suhu dan kelembaban udara, (b) ketersediaan
air (c) keberadaan jenis jenis satwa lain (d) struktur vegetasi dan (e) tumbuhan
pakan orangutan

2. Data pohon sarang mencakup: (a) jenis pohon, (b) diameter pohon, (c) tinggi
total pohon, (d) tinggi bebas cabang (e) diameter tajuk, (f) jarak antar pohon
sarang, (g) jarak pohon sarang dari jalur/trek (h) jarak pohon sarang dengan
pohon sumber pakan, (i) profil pohon

3. Data karakteristik sarang meliputi: (a) tinggi tempat sarang, (b) posisi sarang,
(c) kelas sarang (d) bahan pembuat sarang dan (e) sumber pengambilan bahan
sarang

4.5 Teknik Pengumpulan Data

Data-data mengenai bio-fisik lokasi penelitian, pohon sarang dan sarang


orangutan diamati didalam setiap unit contoh/jalur yang berukuran 20 meter x
1000 meter (2 hektar). Teknik pengambilan datanya sebagai berikut:
27

4.5.1 Data Bio-fisik Habitat.

- Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan alat thermo-hygrometer


yang dilakukan pagi hari jam 08.00 dan sore hari jam 17.00 di setiap jalur
dalam blok pengamatan

- Ketersediaan air. Disetiap jalur pengamatan dilakukan pencatatan pada setiap


sumber air yang ditemukan yang dapat berupa sungai dan anak sungai, danau
maupun genangan air yang terbentuk akibat luapan sungai atau guyuran hujan
dan kemudian di dokumentasi

- Keberadaan jenis satwa lainnya. Pencatatan dan dokumentasi dilakukan pada


setiap perjumpaan satwa baik secara langsung maupun tidak langsung
misalnya dengan mendengarkan dan mengenali suaranya, menemukan jejak
berupa kotoran tinja, bekas makanan atau bekas cakaran di pohon.

- Struktur dan komposisi jenis vegetasi. Pada setiap jalur pengamatan dilakukan
inventarisasi vegetasi dengan menggunakan metode garis berpetak yang
berukuran panjang 100 meter dan lebar 20 meter dan ditempatkan pada saat
pertama kali menemukan pohon sarang. Inventarisasi ini dilakukan dengan
maksud untuk mengetahui kerapatan tumbuhan dan vegetasi sumber pakan
orangutan yang berkaitan dengan pemilihan pohon untuk bersarang. Hal ini
bermanfaat untuk menentukan jenis pohon yang disukai orangutan untuk
membangun sarang.

- Tumbuhan pakan orangutan. Melakukan identifikasi jenis tumbuhan pakan


orangutan dalam petak contoh yang ada untuk tumbuhan tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon, dan selanjutnya dihitung jumlah jenisnya.

Ukuran petak contoh untuk keperluan analisis vegetasi di areal


berhutan dibedakan menurut tingkatan kelompok tumbuhan, yaitu
(Soerianegara dan Indrawan, 1988):

1) Petak berukuran 2x2 m2 , digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat


semai atau tumbuhan bawah, yaitu tumbuhan mulai berkecambah sampai
dengan ketinggian 1,5 m.
28

2) Petak berukuran 5x5 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat


sapihan (pancang), yaitu tumbuhan dengan tinggi 1,5 m sampai 10 m

3) Petak berukuran 10x10 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat


pole atau tiang, yaitu tumbuhan dengan diameter batang 10 cm sampai
dengan diameter 20 cm.

4) Petak berukuran 20x20 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat


pohon, yaitu tumbuhan dengan diameter batang lebih besar dari 20 cm.

Bentuk jalur analisis vegetasi seperti disajikan pada Gambar 10.

C D
B

A Arah
Rintisan
2 m 10 m
B
5m C D
20 m
100 m
Gambar 9. Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi
dengan metode garis berpetak

Keterangan: A = 2x2 m untuk inventarisasi tingkat semai


B = 5x5 m untuk inventarisasi tingkat pancang
C = 10x10 m untuk inventarisasi tingkat tiang
D = 20x20 m untuk inventarisasi tingkat pohon

4.5.2 Data Pohon Sarang

Pada pohon yang dipilih menjadi tempat bersarang orangutan dilakukan


pengukuran beberapa parameter yang meliputi:

- Jenis pohon sarang. Dilakukan pencatatan nama lokal dan nama ilmiahnya.
- Diameter pohon. Mengukur diameter pohon tempat bersarang orangutan
dilakukan setinggi dada (dbh)/ 1,30 meter dari permukaan tanah atau 20 cm di
atas banir pohon dengan menggunakan pita ukur/ phi-band.
29

- Tinggi total pohon sarang. Jarak tegak lurus dari permukaan tanah hingga
puncak tajuk pohon dengan menggunakan haga-hypso meter atau dilakukan
dengan mengukur tinggi tempat bersarang ditambah tinggi dari sarang ke
puncak tajuk pohon
- Diameter tajuk pohon. Pengukuran dilakukan dengan cara memproyeksikan
tajuk pohon ke permukaan tanah, kemudian mengukur panjang garis
terpanjang (dt1) dan terpendek (dt2) antara dua titik terluar lingkaran yang
melewati titik tengah (batang pohon). Kemudian dinyatakan diameter tajuk
pohon dengan rumus X3 = (dt1+dt2)/2. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan pita ukur.
- Tinggi tempat bersarang. Jarak dari dasar sarang ke permukaan tanah secara
tegak lurus. Pengukuran dengan menggunakan haga
- Tinggi bebas cabang pohon (TBC) diukur dengan menggunakan hagahypso-
meter
- Jarak pohon sarang dari jalur trek. Pengukuran tegak lurus dari pohon sarang
dengan trek terdekat
- Jarak pohon sarang dengan pohon pakan. Jarak garis lurus antara batang
pohon pakan terdekat ke batang pohon sarang. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan pita ukur biasa.
- Jarak antar pohon sarang. Jarak ini diukur dari satu pohon sarang ke pohon
sarang berikutnya dengan menggunakan bantuan alat GPS
- Profil pohon sarang. Profil pohon sarang tersebut dapat digambarkan dengan
mencatat jenis pohon, tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter, lebar tajuk
dan pola tajuk (tajuk berbentuk kerucut, silinder, bola, tidak beraturan, payung
dan tajuk kosong disalah satu sisinya).

4.5.3 Data Karakteristik Sarang

Pada jalur pengamatan terhadap pohon pohon yang dipilih menjadi tempat
bersarang orangutan dilakukan pengambilan dan pengukuran data-data sarang
yang meliputi:

- Tinggi sarang. Jarak dari lantai hutan ke tempat sarang secara tegak lurus.
30

- Posisi sarang. Pendataan posisi sarang dikategorikan dalam 5 posisi yaitu


posisi A, B,C,D dan E berdasarkan letak / posisi sarang di pohon sarang.
- Kelas sarang. Kualitas sarang dikelompokkan sebagai kelas 1 s/d kelas 5
berdasarkan warna bahan sarang dan keutuhan sarang.
- Konstruksi sarang. Bahan pembuat sarang akan diidentifikasi terdiri dari jenis
apa saja dan bersumber dari mana dengan melakukan pengamatan terhadap
jenis tumbuhan di sekitar pohon sarang.

4.6 Metode Analisis Data

4.6.1 Analisis Data Kuantitatif

4.6.1.1 Analisis Vegetasi

Komposisi jenis dinilai berdasarkan nilai-nilai parameter kuantitatif


tumbuhan yang mencerminkan tingkat penyebaran dan kelimpahannya dalam
suatu komunitas hutan. Dalam penelitian ini yang akan dihitung adalah
kerapatannya saja. Nilai-nilai ini dapat dinyatakan dalam nilai mutlak maupun
nilai relatif, yang dirumuskan sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988):

Jumlah individu suatu jenis


K =
Total plot pengamatan (ha)

Untuk mengetahui kekayaan jenis tumbuhan vegetasi dan tumbuhan pakan


orangutan akan digunakan pendekatan Indeks kekayaan Margalef (Krebs 1978,
Santosa 1995) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

S −1
Dmg = ;
ln N

Keterangan : Dmg = indeks kekayaan Margalef


S = jumlah jenis yang teramati
N = jumlah total individu yang teramati

4.6.1.2 Faktor Determinan Pemilihan Pohon Sarang

Penentuan faktor determinan penggunaan pohon terpilih oleh orangutan


dalam membangun sarang-nya dilakukan dengan menggunakan pendekatan
regresi linier berganda yang diolah dengan bantuan software SPSS 14.0. Dalam
31

hal ini telah dianalisis hubungan antara peubah tidak bebas (Y) dengan peubah
bebas (X). Peubah tidak bebas (Y) adalah frekuensi keberadaan sarang pada suatu
pohon terpilih sedangkan peubah bebas (X) adalah peubah-peubah yang berasal
dari komponen fisik dan biotik habitat yang diduga mempengaruhi keberadaan
sarang orangutan pada tempat tersebut. Persamaan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Y = bo + b1x1 + b2x2 + ….. + b10x10

Keterangan:
Y = frekuensi kehadiran sarang di pohon terpilih
b0 = nilai intersep
bi = nilai koefisien regresi ke-i
X1 = diameter pohon sarang (m)
X2 = tinggi total pohon sarang (m)
X3 = diameter tajuk pohon sarang (m)
X4 = tinggi bebas cabang pohon sarang (m)
X5 = jarak antar pohon sarang (m)
X6 = jarak pohon sarang dari jalur trek (m)
X7 = jarak pohon sarang dengan pohon pakan (m)
X8 = suhu udara (oC)
X9 = kelembaban udara (%)
X10 = jumlah jenis tumbuhan pakan orangutan

Alasan mengapa faktor faktor tersebut diatas (X1 sampai dengan X10)
yang dijadikan peubah yang mempengaruhi frekuensi keberadaan pohon sarang
orangutan adalah sebagai berikut:

1. Menurut Rijksen (1978), orangutan termasuk bangsa primata yang


membangun sarangnya di kanopi pohon dan menggunakannya untuk
beristirahat termasuk tidur dan bermain sepanjang hari.

Informasi ini menjadi penting sebagai acuan untuk mengidentifikasi faktor-


faktor yang dipilih orangutan terhadap pohon tertentu untuk bersarang. Untuk
itu data-data tentang pohon sarang perlu diamati antara lain jenis pohon,
diameter dan tinggi pohon sarang, diameter tajuk dan bentuk tajuk.

2. Orangutan pada dasarnya frugivora (pemakan buah), meliputi 61% dari


seluruh waktu makan (Galdikas, 1978). Rodman (1977, diacu dalam Maple
1980) menyebutkan bahwa sebagian besar waktu makan orangutan dilakukan
32

di tajuk-tajuk pohon atau bagian-bagian pohon yang banyak terdapat buah-


buahan yakni pada ketinggian 20-30 meter.

Informasi tersebut memberikan pengertian bahwa kegiatan makan menempati


porsi terbesar dari aktivitas harian orangutan, dan umumnya dilakukan pada
kanopi pohon yang banyak berbuah diketinggian tertentu. Sehingga perlu di
lakukan pendataan tentang ketinggian sarang dan posisi sarang di pohon
tertentu

3. MacKinnon (1974) menyebutkan hampir selalu sarang dibangun tepat atau


dekat dengan pohon pakan terakhir menjelang malam.

Informasi ini menunjukkan apakah keberadaan pohon pakan mempengaruhi


orangutan membangun sarangnya di pohon tertentu. Untuk itu perlu di
lakukan pendataan tentang komposisi vegetasi disekitar pohon sarang dan
mengidentifikasi berapa banyak jenis pakan yang terdapat di sekitar pohon
sarang?, bagaimana jarak antara pohon sarang dengan pohon pakan terdekat?
Apakah faktor yang ini akan mempengaruhi frekuensi keberadaan sarang pada
pohon terpilih.

4. Sebaliknya dari penelitian di Ketambe (Rijksen, 1978) disebutkan sangat


jarang sarang dibangun di atau dekat pohon pakan, alasan yang bisa diberikan
adalah akan adanya ancaman gangguan dari spesies lain termasuk manusia
yang juga memanfaatkan buah yang disukai oleh orangutan.

Informasi ini mempunyai makna bahwa orangutan dalam membangun


sarangnya di pohon tertentu yang relatif “aman” dari gangguan satwa
pemakan buah termasuk manusia. Untuk itu perlu diketahui berapa jauh
posisi pohon sarang dari jalur trek yang biasa dilewati oleh manusia atau
satwa pemangsa.

5. Maple (1980) menyebutkan bahwa orangutan membangun paling tidak satu


sarang per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari. Disebutkan oleh
Rijksen (1974) bahwa orangutan “menggunakan” sarang lama, dan ini
(biasanya setelah periode 2-8 bulan) karena adanya pohon berbuah yang
disukai. Hingga saat ini perhitungan kepadatan populasi orangutan
33

berdasarkan metode hitung sarang sepanjang jalur tertentu (Harrison 1961;


Schaller 1961; Milton 1964; Kurt 1970, diacu dalam Rijksen 1978).

Informasi ini menunjukkan bahwa orangutan bisa membangun sarang baru


atau menggunakan sarang lama bahkan bisa di pohon yang sama karena faktor
kesukaan. Untuk itu perlu dilakukan pendataan tentang jarak antar pohon
sarang.

6. Temperatur dan kelembaban merupakan salah satu komponen fisik habitat


yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk bangsa primata
seperti orangutan. Hal ini sesuai dengan Alikodra (2002) yang menyatakan
bahwa pada umumnya temperatur berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran
tubuh satwaliar.

Implikasi dari informasi tersebut di atas adalah apakah temperatur dan


kelembaban di lokasi penelitian akan mempengaruhi prilaku orangutan dalam
menentukan pemilihan pohon sarang.

Hipotesis yang diuji dalam menentukan faktor determinan penggunaan


pohon terpilih oleh orangutan dalam membangun sarang-nya adalah:
Ho = tidak ada peubah ekologi yang mempengaruhi pemilihan pohon
sarang
(semua variabel bebas x tidak ada yang mempengaruhi variabel
tidak bebas Y)
H1 = paling tidak ada satu peubah ekologi yang mempengaruhi
pemilihan pohon sarang
(paling sedikit ada satu variabel bebas x yang mempengaruhi Y)

Untuk menyatakan menerima atau menolak Ho, dengan menggunakan nilai


koefisien signifikasi atau p-value. Apabila p ≤ 0.05, maka Ho ditolak (terima H1)
dan apabila p > 0.05, maka Ho diterima (H1 ditolak).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah sebagai
berikut:
a. Analisis faktor. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah ke-10
peubah tersebut layak untuk diproses lebih lanjut atau tidak. Kelayakan
tersebut dilihat dari nilai K-M-O MSA (Kaiser-Meyer-Olkin Measure of
34

Sampling Adequacy). Apabila besarnya nilai K-M-O MSA lebih besar dari
0.5, maka kumpulan peubah tersebut dapat diproses lebih lanjut.
b. Analisis regresi stepwise. Variabel-variabel hasil analisis faktor yang layak
diuji selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier
dengan metode stepwise. Regresi stepwise merupakan salah satu solusi
menyelesaikan masalah regresi yang variabel bebasnya saling berkorelasi
(multikolineritas). Dalam analisis ini, tidak semua variabel bebas (X) yang
diduga memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas (Y) dimasukkan
dalam model regresi. Salah satu variabel bebas kadang berkorelasi atau
berhubungan dengan variabel bebas lainnya. Oleh karena itu prosedur
regresi stepwise dibuat agar menghasilkan model regresi terbaik. Selain itu,
karena kemungkinan terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka
tidak semua variabel bebas hasil analisis regresi stepwise masuk dalam
model. Hal ini disebabkan variabel bebas lain yang memiliki korelasi lebih
besar dengan variabel tidak bebas sudah diwakilinya (Iriawan dan Astuti
2006).

4.6.1.3 Preferensial Pohon Sarang

Analisis jenis pohon sarang yang disukai oleh orangutan untuk bersarang
menggunakan asumsi bahwa semakin tinggi frekuensi kehadiran sarang pada
suatu jenis pohon tertentu , maka semakin disukai jenis pohon tersebut. Untuk
mengetahui hubungan antara frekuensi keberadaan sarang dengan jenis pohon
tertentu dilakukan pengujian menggunakan pendekatan Metode Neu’s (indeks
preferensi).
Metode Neu’s merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menentukan indeks preferensi habitat oleh satwa (Manly et al, 1993). Bibby et al.
(1998, diacu dalam Gunawan 2004) menyatakan bahwa jika nilai wi ≥ 1, maka
habitat (pohon) tersebut disukai..
Proses pengolahan data untuk menentukan indeks preferensi versi Manly et
al. (1993) disajikan pada Tabel 4.
35

Tabel 4. Kriteria yang diukur pada metode Neu’s versi Manly et al. (1993)

Jenis Pohon
p n u e w b
Sarang
1 p1 n1 u1 e1 w1 b1
2 p2 n2 u2 e2 w2 b2
...... ...... ...... ...... ...... ...... ......
k pk nk uk ek wk bk
Total 1.000 Σ ni 1.000 Σ ei Σ wi 1.000

Keterangan:
P = proporsi total jumlah individu jenis pohon sarang tertentu dalam petak
contoh
n = jumlah individu jenis pohon sarang yang digunakan
u = proporsi jumlah jenis pohon sarang yang digunakan (ni / Σ ni )
e = nilai harapan (pi x Σ ni)
w = indeks seleksi pohon sarang (ui / pi )
b = indeks seleksi yang distandarkan (wi / Σ wi)

4.6.2 Analisis Data Diskriptif

Data-data biofisik lokasi penelitian seperti suhu dan kelembaban,


ketersediaan air dan keberadaan jenis-jenis satwa lainnya dianalisis secara
diskriptif kualitatif. Demikian juga data karakteristik sarang yang terkumpul
berupa tinggi tempat sarang, posisi sarang, kelas sarang, material pembuat sarang
dan sumber pengambilan bahan sarang serta profil pohon berupa bentuk tajuk
pohon sarang juga diuraikan dalam bentuk analisis diskriptif kualitatif. Analisis
deskriptif ini merupakan penggambaran langsung dari hasil identifikasi,
pengamatan dan pengukuran serta kondisi sebenarnya di lapangan mengenai
parameter tersebut diatas berkaitan dengan sarang orangutan. Hasil analisisnya
ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, diagram dan persentase.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Unsur Bio-fisik Wilayah Studi

Suhu dan Kelembaban

Pengamatan terhadap iklim mikro meliputi pengukuran suhu dan


kelembaban udara minimum, maksimum dan rataan harian. Pengukuran suhu di
ketiga blok dilakukan pada pagi hari jam 08.00 dan sore hari jam 17.00 WIB.
Adapun hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara ini disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Suhu udara dan kelembaban maksimum, minimum dan rataan harian
pada lokasi penelitian
Suhu udara (oC) Kelembaban (%)
Blok
Maks Min Rataan Maks Min Rataan
Rimba
1. Camp Leakey 30 27 28.5 80 67 74
2. Pondok Tanggui 30 28 29 80 68 75
3. Beguruh 30 27 28.5 80 68 74
Rata-rata 30 27 28.5 80 68 74.5

Riset
1. Pondok Ambung 30 27 29 80 66 73
2. Natai Lengkuas 30 28 29 80 68 74
Rata-rata 30 28 29 80 67 73.5

Pemanfaatan
1. Pesalat 31 28 29.5 80 66 73
2. Tanjung Harapan 31 28 29.5 80 67 73
Rata-rata 31 28 29.5 80 66.5 73

Berdasarkan Tabel 5 di atas, terlihat bahwa suhu udara maksimum,


minimum dan rataan harian dari beberapa lokasi terdapat perbedaan namun tidak
signifikan. Blok Pemanfaatan memiliki suhu udara rataan harian lebih tinggi,
kondisi tersebut disebabkan oleh penutupan vegetasi pada jalur pengamatan
tersebut lebih jarang sehingga radiasi surya yang sampai dilantai hutan lebih
besar. Fenomena tersebut diperkuat dengan apa yang dinyatakan dalam Rushayati
dan Arief (1997) bahwa tingginya penerimaan radiasi surya ini menyebabkan
pemanasan udara di atasnya sangat efektif, sehingga meningkatkan suhu udara
rataan harian dan suhu udara maksimumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa
kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan uap air
aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air. Bahwa kandungan uap
37

air aktual ditentukan oleh ketersediaan air serta energi (radiasi surya) untuk
menguapkannya. Pada keadaan dimana kondisi uap air aktual relatif konstan,
peningkatan suhu udara yang disebabkan peningkatan penerimaan radiasi surya
akan menyebabkan peningkatan kemampuan udara untuk menampung uap air,
sehingga mengakibatkan penurunan kelembaban udara (kelembaban nisbi).

Ketersediaan Air

Di dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terdapat 7 (tujuh)


Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS yaitu DAS Sekonyer, Buluh Kecil,
Buluh Besar, Cabang, Perlu, Segintung dan DAS Pembuang. Anak-anak sungai
terbentuk karena terjadinya luapan air sungai pada waktu musim hujan dan
mengalir dari bagian utara dan tengah kawasan taman nasional. Selama musim
kemarau yang panjang, air payau dapat masuk ke daerah hulu sejauh ± 10 km,
sepanjang Sungai Sekonyer
Didalam pengamatan terhadap ketersediaan air di lokasi penelitian tercatat
bahwa di blok Rimba terdapat beberapa anak sungai yaitu sungai sekonyer
simpang kanan, sungai bulin, sungai simpang kancil dan sungai buluh yang rata-
rata memiliki kedalaman 1.5 - 5 meter dengan lebar 2-4 meter. Sementara di blok
Riset terdapat anak sungai yang mengalir masuk ke lokasi tersebut, hanya tidak
sebanyak di blok Rimba. Anak sungai tersebut adalah sungai buaya. Namun
lokasinya terletak ditepi sungai utama yaitu sungai sekonyer simpang kiri dan
sekonyer simpang kanan. Kedalaman sungai rata-rata tidak jauh berbeda dengan
di blok Rimba. Sementara di blok Pemanfaatan dengan letaknya yang relatif lebih
tinggi, anak sungai dapat dijumpai namun letaknya jauh ke dalam hutan. Anak
sungai yang mengalir ke blok tersebut adalah sungai bulin dan sungai simpang
kancil, dengan kedalaman 1-3 meter dan lebar 1-1.5 meter. Disamping anak
sungai tersebut di atas, banyak pula genangan air hingga membentuk kolam-
kolam kecil akibat luapan sungai, air rawa akibat hujan. Ketersediaan air di lokasi
pengamatan tersebut dapat terlihat seperti ditunjukkan pada Gambar 10 dibawah
ini.
38

(a) (b)

Gambar 10. Beberapa contoh sumber ketersediaan air di blok Rimba berupa
kolam (a) dan sungai kecil (b) di blok Riset

Air merupakan kebutuhan hidup. Menurut Alikodra (1990) air bisa


diperoleh dari (1) perairan bebas berupa danau, kolam, sungai dan parit irigasi, (2)
vegetasi sumber pakan, (3) embun dan (4) proses metabolisme lemak atau
karbohidrat di dalam tubuh. Lebih lanjut dikatakan bahwa satwaliar memerlukan
air untuk berbagai proses, yaitu pencernaan makanan dan metabolisme,
mengangkut bahan-bahan sisa, dan untuk pendinginan dalam proses evaporasi.
Sementara Galdikas (1978) menyebutkan bahwa orangutan minum air selain dari
sungai, genangan rawa juga dari lubang-lubang dalam pohon. Sumber air bagi
orangutan yang pada dasarnya adalah mahluk frugivora (pemakan buah) banyak
diperoleh dari buah-buahan yang meliputi hampir 61% dari seluruh waktu
makannya

Keberadaan Jenis Satwa Lainnya

Taman Nasional Tanjung Puting dihuni oleh sekitar 38 jenis mamalia,


diantaranya 9 jenis primata termasuk orangutan. Selama melakukan penelitian di
lokasi secara umum jenis primata yang diidentifikasi adalah jenis owa-owa
(Hylobates agilis), bekantan (Nasalis larvatus), kelasi (Presbytis rubicunda) dan
kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Satwa tersebut ada yang langsung
dijumpai sedang makan daun (bekantan), istirahat atau lari menjauh (owa), sedang
bermain (kera ekor panjang) dan ada juga berdasarkan teriakan suara yang dapat
dikenali (kelasi). Beberapa jenis burung juga terlihat secara langsung dan yang
39

paling jelas dikenali adalah jenis rangkong. Beberapa jejak satwa ditemukan
seperti jejak beruang (Helarctos malayanus) berupa bekas cakaran di pohon yang
merupakan pohon sarang atau pohon pakan orangutan, sisa-sisa rumah serangga
sejenis penghasil madu (lulut) yang merupakan makanan beruang madu yang
sudah hancur dan banyak berserakan di lantai hutan. Babi hutan juga terlihat
secara langsung di daerah penelitian termasuk jejak yang ditinggalkan berupa
kotoran babi hutan, bekas tanah yang diacak-acak babi saat mencari makan.
(a) (b)

Gambar 11. Jenis primata dan mamalia yang dijumpai yaitu (a) babi hutan (Sus
barbatus) (a) dan (b) bekantan (Nasalis larvatus)

Di blok Rimba, satwa yang terlihat atau terdengar suaranya adalah jenis
burung-burung rangkong (Buceros sp), satwa babi (Sus barbatus), suara kelasi
(Presbytis rubicundus) dan kancil ( Tragulus javanicus ) Di banding dengan blok
Rimba, blok Riset lebih banyak satwa primata yang dapat terlihat atau dikenali
dari suaranya. Hal ini memungkinkan terjadi mengingat di blok Riset memang
merupakan tempat penelitian bekantan (Nasalis larvatus) dan owa-owa
(Hylobates agilis), sehingga akan lebih mudah terlihat satwa tersebut sedang
makan ataupun bermain. Sementara di blok Pemanfaatan, jejak satwa babi dan
beruang lebih banyak ditemukan. Disamping jejak satwa tersebut juga dijumpai
beberapa kelompok kera ekor panjang ( Macaca fascicularis ) sedang makan dan
bermain.
Selama pengamatan, khususnya di blok Pemanfaatan ditemukan jejak
satwa beruang di pohon pempaning dan medang merawas yang juga merupakan
pohon tempat orangutan bersarang atau sisa rumah serangga (lulut) di bawah
40

pohon tersebut (gambar 12). Ini bisa menjadi indikasi bahwa orangutan masih
menggunakan pohon tertentu untuk bersarang walaupun di pohon tersebut pernah
digunakan oleh satwa beruang. Hal tersebut juga pernah disampaikan oleh
Galdikas (1978) yang menyebutkan suatu hari beruang madu malaya (Helarctos
malayanus) terlihat sedang makan di pohon yang juga ditempati orangutan betina
dengan bayinya yang sedang diteliti.
(a) (b)

Gambar 12. (a) Jejak berupa cakar beruang di pohon pempaning yang juga
merupakan pohon sarang dan (b) sisa makanan beruang berupa
serangga lulut

Namun disisi lain pernah dilaporkan oleh petugas rehabilitasi (...pers.


com., 2007) adanya serangan beruang terhadap orangutan di lokasi rehabilitasi
orangutan yang mengakibatkan kematian orangutan muda. Sementara Rijksen
(1978) mengamati orangutan rehabilitasi menunjukkan rasa tidak senang akan
kehadiran babi hutan dengan cara mematahkan dan menjatuhkan cabang/ranting
pohon. MacKinnon (1972) lebih lanjut menyebutkan di Borneo orangutan
memperlihatkan reaksi yang berlebihan atas kehadiran babi. Hal ini dapat terjadi,
dengan kontak/pertemuan secara langsung orangutan akan menunjukkan
perlawanan atau rasa tidak suka terhadap tidak saja satwa beruang tetapi juga
manusia.

Burung-burung pemakan buah seperti rangkong (orang setempat menyebut


juga sebagai enggang) juga menjadi kompetitor makanan bagi orangutan (Rijksen
1978).
41

Struktur dan Komposisi Vegetasi

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di tiga blok penelitian


tersebut ditemukan 249 spesies tumbuhan dengan jumlah keseluruhan individu
4051 mulai dari tingkat tumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon (lampiran 2).
Hasil analisis vegetasi di 3 blok tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6. Jumlah jenis, individu, kerapatan dan kekayaan jenis untuk masing
masing tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di blok Rimba, Riset
dan Pemanfaatan.
NO BLOK SEMAI PANCANG TIANG POHON TOTAL
1 RIMBA Jenis 81 110 63 83 147
Individu 533 659 129 238 1559
Kerapatan 88833 17573 860 397
Kekayaan jenis (indeks Margalef) 12.74 16.79 12.76 14.98 19.86

2 RISET Jenis 68 78 49 61 125


Individu 263 267 128 170 828
Kerapatan 65750 10680 1280 425
Kekayaan jenis (indeks Margalef) 12.02 13.78 9.89 11.68 18.46
3 PEMANFAATAN Jenis 72 92 98 59 135
Individu 404 398 541 121 1343
Kerapatan 101000 15920 5410 303
Kekayaan jenis (indeks Margalef) 11.83 15.20 15.41 12.09 18.60

a. Tumbuhan tingkat semai


Di blok Rimba lebih banyak ditemukan jenis tumbuhan (81 jenis) di tingkat
semai dibandingkan di blok Pemanfaatan (72 jenis) dan blok Riset yang
ditemukan hanya 68 jenis. Hasil analisis vegetasi secara keseluruhan dari 3 blok
pengamatan (30 petak contoh) tersebut pada tingkat semai ditemukan sebanyak
132 jenis, dengan jenis Bentangur/Pantis (Calophyllum pulcherrimum) memiliki
kerapatan tertinggi yaitu 6834 individu/ha . Selanjutnya jenis Kempas
(Koompassia malaccensis) dengan 5667 individu/ha, Ubar merah (Syzygium
leucoxylon) memiliki kerapat 5083 individu/ha dan Medang perawas (
Alseodaphne insignis) dengan kerapatan 3917 individu/ha.

b. Tumbuhan tingkat pancang

Ditingkat pancang, lebih banyak jenis tumbuhan ditemukan di Blok Rimba


(110 jenis) dibanding blok Pemanfaatan (92 jenis) maupun blok Riset yang hanya
78 jenis. Hasil analisis vegetasi dari seluruh lokasi penelitian di tingkat pancang
42

ditemukan sebanyak 153 jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tetugal


(Popowia bancana) merupakan jenis determinan dengan kerapatan 813
individu/ha. Selanjutnya jenis Tembaras (Memecylon sp) dengan kerapatan 760
individu/ha, Rengas (Gluta rengas): 707 individu/ha, Pelawan (Tristania
maingayi): 493 individu/ha dan Ubar salim (Syzygium sp) 467 individu/ha.

c. Tumbuhan tingkat tiang


Hasil analisis vegetasi dari seluruh blok pengamatan pada tingkat tiang
ditemukan sebanyak 128 jenis, dengan 98 jenis lebih banyak di Blok Pemanfaatan
dibanding blok Rimba (63 jenis) atau blok Riset (49 jenis).
Jenis Pisulan dan Ubar salim (Syzygium sp) merupakan spesies yang
memiliki kerapat tertinggi yang sama yaitu 117 individu/ha. Selanjutnya jenis
Tetugal (Popowia bancana) 97 individu/ha, Ubar putih (Syzygium tawaense) 93
individu/ha dan Bulu-bulu (Ficus fasculosa) 90 individu/ha. Tinggi pohon antara
7 – 16 meter dengan rata-rata tinggi 12.5 meter. Bila dilihat dati tinggi pohon, di
blok Rimba berkisar antara 6-16 meter (rata-rata 11 meter) lebih tinggi dari blok
Riset yang berkisar antara 4-15 meter (rata-rata 9.5 meter) dan di blok
Pemanfaatan yang bervariasi antara 4-11 meter (rata-rata 7.5 meter).

d. Tumbuhan tingkat pohon


Analisis vegetasi seluruh blok pada tingkat pohon ditemukan sebanyak 123
jenis, dimana pada blok Rimba lebih banyak ditemukan jenis (83 jenis) dibanding
blok Riset (61 jenis) atau blok Pemanfaatan yang hanya 59 jenis.
Jenis Rengas (Gluta rengas) merupakan jenis dengan kerapatan tertinggi
sebesar 26 individu/ha. Selanjutnya jenis Pempaning (Quercus bennettii): 22
individu/ha, Nyatoh (Palaquium rostratum): 16 individu/ha, Getah merah
(Palaquium boornensis): 15 ind/ha dan Lanan 14 individu/ha. Tinggi pohon di
blok Rimba antara 7-32 meter (rata-rata 17.7 meter) lebih tinggi dari blok Riset
yang berkisar antara 8-29 meter (rata-rata 16.8 meter) dan di blok Pemanfaatan
yang bervariasi antara 8-25 meter (15.5 meter)

Bila dilihat masing-masing blok pada tabel 7 di atas, maka blok Rimba
memiliki total jenis tumbuhan lebih banyak yaitu 147 jenis (1559 individu)
dibanding blok Pemanfaatan dengan 135 jenis (1343 individu) dan blok Riset
43

dengan 125 jenis (828 individu). Bila dilihat per jenis tumbuhan, hampir semua
jenis yang ada di Blok Riset dan Blok Pemanfaatan terdapat di Blok Rimba, tetapi
sebaliknya jenis seperti aru, damar batu, duku hutan dan lowari (puspa) yang
terdapat di blok Rimba tidak ditemukan dalam petak contoh di blok Pemanfaatan
maupun blok Riset (lampiran 3).

Salah satu ukuran keanekaragaman hayati adalah kekayaan jenis (species


richness) yaitu jumlah jenis (spesies) dalam suatu komunitas (Magurran 1988,
diacu dalam Santosa 1995). Dengan menghitung kekayaan jenis semua tingkatan
tumbuhan berdasarkan indeks margalef , maka blok Rimba memperoleh nilai
19.86 lebih kaya dibanding blok Pemanfaatan (18.60) dan blok Riset (18.46)
(gambar 13). Dan secara parsial pada tingkat semai, pancang dan pohon blok
Rimba kekayaan jenisnya lebih tinggi dibanding blok lainnya dilihat dari besarnya
nilai indeks margalef, tetapi untuk tingkat pancang blok Pemanfaatan yang paling
tinggi kekayaan jenisnya. Berdasarkan penelitian ini sarang dibangun mulai di
tumbuhan tingkat pancang, tiang dan pohon, maka apabila hal tersebut dikaitkan
dengan pemilihan pohon sarang maka dengan ketersediaan jenis tumbuhan yang
ada besar kemungkinan di blok Rimba akan lebih banyak peluang memilih di
tingkat pancang dan pohon dibanding blok lainnya, sebaliknya di blok
Pemanfaatan peluang lebih besar di tingkat tiang.

Indeks Kekayaan Jenis di masing-masing blok


pada setiap tingkat tumbuhan

18.00
16.00
Indeks margalef

14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
RIMBA RISET PEMANFAATAN
Blok

Semai Pancang Tiang Pohon

Gambar 13. Indeks kekayaan jenis pada tiap tingkatan tumbuhan vegetasi di
blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan.
44

Tumbuhan Pakan Orangutan

Dari hasil penelitian di 30 petak contoh yang tersebar di 3 blok penelitian


telah diidentifikasi 79 spesies tumbuhan berbeda dari berbagai tingkatan yang
merupakan sumber pakan bagi orangutan (lampiran 3). Itu berarti hanya
merupakan 32% dari 249 spesies tumbuhan yang ditemukan di seluruh petak
contoh penelitian. Jumlah ini akan jauh meningkat bila identifikasi pakan
dilakukan juga pada tanaman merambat yang kecil, anggrek, epifit, pakis dan
palma kecil. Dari 79 jenis tumbuhan (pohon) pakan orangutan yang teridentifikasi
dan sekaligus juga digunakan sebagai pohon sarang ada 31 jenis atau sekitar
39.24% (lampiran 4).
Jenis pakan di blok Rimba di tingkat semai lebih beragam, hal ini dapat
dilihat dari jumlah jenisnya ada 39 bila dibanding pada blok Riset yang ditemukan
31 jenis dan di blok Pemanfaatan 29 jenis. Sebaliknya ditingkat pancang dan
tiang, blok Pemanfaatan lebih tinggi jumlah jenis tumbuhan pakannya dengan
masing-masing jumlah 46 jenis pancang dan 40 jenis tiang, sementara di blok
Rimba masing-masing terdapat 45 jenis pakan tingkat pancang dan 33 jenis pakan
tingkat tiang. Namun di tingkat pohon blok Rimba memiliki keragaman jenis
lebih banyak yakni berjumlah 49 jenis, sementara di Blok Riset ada 34 jenis pakan
dan Blok Pemanfaatan hanya 31 jenis . Bila dilihat dari kekayaan jenis
berdasarkan indeks margalef, secara keseluruhan blok Rimba paling kaya jenis
dengan indeks 9.52 dibanding blok Pemanfaatan (8.96) dan blok Riset (8.75).
Secara parsial tumbuhan pakan pada tingkat semai, tiang dan pohon blok Rimba
memiliki indek kekayaan jenis lebih tinggi dibanding dua blok lainnya, tetapi
untuk tingkat pancang blok Pemanfaatan (indeks 8.91) kekayaan jenisnya lebih
tinggi dibanding blok Rimba (7.72) maupun blok Riset (7.10).
Untuk lebih ringkasnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 14
dibawah ini. Artinya secara keseluruhan bahwa ketersediaan pakan akan lebih
memadai jumlah jenisnya atau lebih banyak pilihannya di blok Rimba dibanding
dua blok lainnya.
45

Tabel 7 Jumlah jenis pakan dengan kerapatan di masing-masing blok pada setiap
tingkat tumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon)

No Blok Parameter Semai Pancang Tiang Pohon Total


1 RIMBA Jenis 39 45 33 49 65
Individu 291 298 71 169 829
Kerapatan 48500 7947 473 282
Kekayaan jenis (indeks Margalef) 6.70 7.72 7.51 9.36 9.52

2 RISET Jenis 31 35 28 34 54
Individu 116 120 75 115 426
Kerapatan 29000 4800 750 288
Kekayaan jenis (indeks Margalef) 6.31 7.10 6.25 6.95 8.75

3 PEMANFAATAN Jenis 29 46 35 31 59
Individu 207 156 216 69 648
Kerapatan 51750 6248 2160 173
Kekayaan jenis (indeks Margalef) 5.25 8.91 6.33 7.09 8.96

Kerapatan Tumbuhan Pakan & Vegetasi Kerapatan Tumbuhan Pakan & Vegetasi
pada Tumbuhan Tingkat Semai Pada Tumbuhan Tingkat Pancang

120000 20000
100000
15000
80000
60000
10000
40000
20000 5000

0
0
RIMBA RISET PEMANFAATAN
RIMBA RISET PEMANFAATAN

PAKAN VEGETASI PAKAN VEGETASI

Kerapatan Tumbuhan Pakan & Vegetasi Kerapatan Tumbuhan Pakan & Vegetasi
pada Tumbuhan Tingkat Tiang pada Tumbuhan Tingkat Pohon

6000 500
5000 400
4000
300
3000
200
2000
100
1000
0 0
RIMBA RISET PEMANFAATAN RIMBA RISET PEMANFAATAN

PAKAN VEGETASI PAKAN VEGETASI

Gambar 14. Kerapatan antara tumbuhan pakan dengan vegetasi pada tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan
46

Indeks kekayaan jenis tumbuhan pakan

Semai Pancang Tiang Pohon

10.00

indkes margalef
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
RIMBA RISET PEMANFAATAN
Blok

Gambar 15. Indeks kekayaan jenis pakan pada tiap tingkatan tumbuhan di blok
Rimba, Riset dan Pemanfaatan

Kerapatan tertinggi untuk 10 jenis tumbuhan pakan pada masing-masing


tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dapat dilihat pada lampiran 5.
Buah yang paling disukai orangutan berasal dari pohon jenis getah merah
(Palaquium borneensis), nyatuh (Palaquium rostratum), luwing (Dipterocarpus
grandiflorus, kemanjing (Garcinia dioica)dan kerantungan (Durio oxleyanus)
Tumbuhan pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat
orangutan yang sangat penting bagi menunjang hidup dan kehidupan sebagaimana
bagi herbivora lainnya. Hal ini dikarenakan pakan bisa merupakan faktor
pembatas bagi pertumbuhan populasi satwaliar termasuk orangutan. Orangutan
pada dasarnya frugivora (pemakan buah), meliputi 61% dari seluruh waktu makan
(Galdikas 1978). Orangutan makan berbagai jenis makanan, memanfaatkan buah,
bunga, daun, kuncup dan kulit kayu serta cairan dari berbagai spesies pohon. Dan
juga berbagai tanaman merambat yang kecil, anggrek, akar, rayap, ulat, semut,
jamur, madu, batang tunas rotan muda, tanaman menjalar, epifit, pakis dan palma
kecil. Berdasarkan penelitian panjang tentang perilaku orangutan di Taman
Nasional Tanjung Puting (1971-1978), disebutkan bahwa Orangutan makan lebih
dari 400 jenis makanan 1, diantaranya 74% atau sekitar 235 terdiri atas spesies
pepohonan yang berbeda (Galdikas 1978). MacKinnon (1974) dari hasil penelitian
orangutan di Ula Segama berhasil mengidentifikasi ± 110 jenis makanan termasuk

1
Dari satu pohon yang sama bisa dihitung beberapa jenis makanan yang berbeda seperti buah, daun,
bunga, kuncup, kulit kayu.
47

dari 68 jenis tanaman yang 10 diantaranya (15%) sama dengan spesies yang
dimakan di Tanjung Puting.

Pohon Sarang

Pohon sarang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pohon dimana
ditemukan sarang orangutan di atasnya. Pohon sarang yang diperoleh dapat
memiliki 1 sampai 2 buah sarang, baik itu sarang lama, sarang baru atau sarang
lama yang digunakan kembali dan masih dapat terlihat re-konstruksinya. .
Dalam penelitian ini telah di identifikasi 176 pohon sarang dari 73 jenis
pohon berbeda yang menyangga 206 buah sarang. Di blok Rimba ditemukan 102
pohon sarang (52 jenis), blok Riset ada 33 pohon sarang (23 jenis) dan blok
Pemanfaatan ditemukan 41 pohon sarang (32 jenis) (gambar 16)
Di blok Rimba dari 52 jenis pohon sarang, jenis getah merah (Palaquium
borneensis) paling banyak dipilih(9 individu), kemudian pempaning (Quercus
bennettii) 8 individu, ulin (Eusideroxylon zwagerii ) 7 individu, lurangan dan
katur merah (Dryobalanops oocarpa ) masing-masing 5 individu.

Gambaran Jumlah Pohon Sarang dan Jumlah


Jenis Disetiap Blok

120
102
100
80
60
33 41
40
20 52
23 32
0
RIMBA RISET PEMANFAATAN

Jenis Jumlah Pohon

Gambar 16. Jumlah individu pohon sarang berikut jumlah jenis pohon sarang
tersebut di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan.

Sedang pada blok Riset dari 23 jenis pohon sarang, jenis bati-bati dan ulin
dipilih sebagai pohon sarang masing-masing 3 individu, jenis pempaning
(Quercus bennettii) , medang perawas (Alsseodaphne insignis) dan jejantik
(Baccaurea sumatrana) masing-masing 2 individu.
48

Sementara di blok Pemanfaatan dari 32 jenis, dipilih jenis ubar salim


(Syzygium sp), ulin (Eusideroxylon zwagerii ), renghas (Gluta renghas), jangkang
(Xylopia malayana) bati-bati dan poga beruang (Santiria laevigata) masing-
masing 2 individu
Secara keseluruhan dari 73 jenis pohon sarang yang di identifikasi (lampiran
6), jenis Pempaning (Quercus bennettii) paling banyak dipakai bersarang (12
pohon) dengan jumlah sarang 20. Artinya ada pohon yang mempunyai sarang
lebih dari satu. Selanjutnya pohon Ulin (Eusideroxylon zwagerii ) 10 pohon, Ubar
salim 8 pohon, Getah merah (Palaquium borneensis) 9 individu dan Lurangan 6
pohon. Jenis dan jumlah pohon sarang berikut jumlah sarang ditemukan dapat
dilihat pada Lampiran 7
Pohon sarang yang ditemukan di Blok Rimba bervariasi ketinggiannya,
yaitu antara 9 -30 meter dengan rata rata tinggi pohon sarang 17.5 meter. Pada
Blok Riset ketinggian pohon sarang berkisar 10 - 25 meter dengan rata-rata
ketinggian 15.70 meter, sedang di blok Pemanfaatan ketinggian sarang antara 7 –
25 meter dan rata-ratanya 14.44 meter. Berdasarkan sebaran diameter pohon
sarang di ketiga blok pengamatan, maka persentase terbesar penggunaan pohon
sarang ada pada pohon dengan kategori diameter kecil (lihat tabel 8).

Tabel 8. Persentase penggunaan pohon sarang berdasarkan sebaran diameter pohon


sarang.

UKURAN LOKASI ( BLOK )


DIAMETER
KATEGORI TOTAL
POHON SARANG
RIMBA RISET PEMANFAATAN
(cm)
90 27 36 153
KECIL 23 – 92.67
(88%) (82%) (82%) (86.9%)

9 6 5 20
SEDANG 92.68 – 162.35
(9%) (8%) (18%) (11.4%)

BESAR 162.36 – 232.03 3 0 0 3


(3%) (1.7%)

Pada blok Rimba dari 102 pohon sarang, 90 pohon diantaranya (88%)
masuk dalam kategori diameter kecil. Demikian pula di blok Riset dari 33 pohon
49

sarang, 27 pohon (82%) berdiameter kecil dan di blok Pemanfaatan dari 41 pohon
sarang, 36 diantaranya (82%) berdiameter kecil.
Tajuk pohon merupakan bagian pohon yang dibentuk oleh pola
percabangan atau dahan-dahan serta rantingnya. Faktor lingkungan sangat
berpengaruh terhadap bentuk tajuk, sehingga sifat morfologi tajuk kurang
berperan sebagai ciri pengenal pohon (Sutisna dkk. 1998). Bentuk tajuk pohon
sarang yang dapat di identifikasi dari penelitian ini umumnya berbentuk tidak
beraturan (type E). Diameter tajuk bervariasi antara 3 - 9 meter dengan rata rata
diameter 6.1 meter. Tabel 9 dan Gambar 17 menunjukkan jumlah dan persentase
bentuk tajuk dari 176 pohon sarang yang teridentifikasi.
Tabel 9. Bentuk tajuk pohon sarang

NO BENTUK TAJUK TYPE JUMLAH


1 KERUCUT A 9
2 KOSONG SALAH SATU SISI B 44
3 SILINDER C 18
4 BOLA D 29
5 TIDAK BERATURAN E 66
6 PAYUNG F 10

Bentuk Tajuk Pohon Sarang

6% 5%
Kerucut

25% Kosong salah satu sisi


Silinder
38% Bola

Tidak beraturan
Payung
10%

16%

Gambar 17. Persentase bentuk tajuk dari 176 pohon sarang Orangutan yang
diamati

Sarang orangutan, biasa disebut sarang harian untuk bermain dan istirahat
serta berlindung dari sengatan matahari ( dikenali dengan konstruksi yang lebih
rapuh, tipis, ramping), dibangun tepat di pohon pakan dalam hal ini dilakukan
50

untuk memudahkan proses pengambilan buah sambil bermain. MacKinnon (1974)


menyebutkan hampir selalu sarang dibangun tepat atau dekat dengan pohon pakan
terakhir menjelang malam, sementara Rijksen (1978) di Ketambe mengatakan
sangat jarang sarang dibangun tepat di atau dekat pohon pakan, alasan yang bisa
diberikan adalah akan adanya ancaman gangguan dari spesies lain termasuk
manusia yang juga memanfaatkan buah yang disukai oleh orangutan. Namun pada
penelitian ini dari 73 jenis pohon sarang, 31 jenis diantaranya ( 43 %) juga
merupakan jenis pohon pakan (lampiran 4)

Sarang Orangutan

Bersarang meliputi pematahan dan perlakuan pada cabang-cabang dan/atau


tanaman untuk menyusun sarang untuk tidur, bangunan alas untuk tempat makan
atau pelindung tubuh di atas kepala untuk menahan hujan (Galdikas 1978).
Jumlah sarang yang ditemukan dalam penelitian ini 206 buah sarang yang
tersebar di 3 blok yaitu di Blok Rimba 123 sarang, Blok Riset 38 pohon dan Blok
Pemanfaatan 45 sarang (gambar 18). Data-data sarang berupa tinggi pohon dan
sarang, diameter dan bentuk tajuk, tinggi bebas cabang, posisi dan kelas sarang
serta bahan sarang dan sumbernya akan ditunjukkan pada Lampiran 8.

Jumlah Sarang Orangutan

45

38 123

BLOK RIMBA BLOK RISET BLOK PEMANFAATAN

Gambar 18. Jumlah sarang ditemukan di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan

Tinggi sarang di Blok Rimba antara 6–27 meter dengan rata rata 14.2 meter.
Di blok research antara 4-25 meter dengan rata-rata 12.1 meter dan Blok
Pemanfaatan berkisar 6-18 meter dengan rata-rata 11.9 meter (tabel 10)
51

Tabel 10. Ketinggian sarang di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan

TINGGI SARANG (m)


BLOK
Min Maks Rata-rata

RIMBA 6 27 14.2

RISET 4 25 12.1

PEMANFAATAN 6 18 11.9

Rata-rata tinggi sarang pada Blok Rimba masuk dalam kisaran yang
disebutkan dalam Rijksen (1978), bahwa tinggi sarang untuk orangutan borneo
umumnya lebih disukai di 13-15 meter, namun itu tergantung struktur hutan.
Untuk Blok Riset dan Blok Pemanfaatan lebih rendah dibanding ketinggian
sarang di Blok Rimba terutama dikarenakan rata-rata ketinggian pohon sarang
yang berbeda (lihat tabel 17). Dari data ketinggian pohon dan sarang dapat
dijelaskan bahwa rata-rata letak sarang yang diketemukan berjarak antara 2.5 –
3.6 meter dari puncak pohon (kanopi).
Dalam penelitian ini teramati ada 7 buah sarang yang material sarangnya
berasal dari pohon yang berbeda, 5 buah dari 2 pohon berbeda dan 2 buah sarang
dari 3 pohon berbeda (tabel 11)

Tabel 11. Sumber bahan penyusun sarang yang berasal dari satu jenis pohon
sarang hingga tiga jenis pohon yang berbeda

No Jenis Pohon Nama ilmiah ∑ Sumber Asal Jenis Pohon


Sarang Bahan Bahan Sarang
1 Bengkel 3 Bengkel, Bati-bati dan Rengas

2 Ubar Merah Syzygium leucoxylon 2 Ubar merah dan Lanan


3 Ubar Salim Syzygium sp 2 Ubar Salim dan Semono
4 Semono Elaeocarpus valetonii 2 Semono dan Ubar salim
Habu-habu, Bati-bati dan
3
5 Kemanjing Garcinia dioica Kemanjing
6 Bedaru Cantleya corniculata 2 Bedaru dan Habu-habu
7 Pempaning Quercus bennettii 2 Pempaning dan Semongah

Umumnya sarang yang ditemukan sudah tidak baru lagi, ada beberapa
sarang baru yang masih memperlihatkan daun-daun yang masih baru dan hijau,
52

namun ada pula sarang yang pondasi dan daunnya sudah lama, berwarna coklat
kering dan bercampur diatasnya dengan daun-daun yang masih baru dan hijau.
Kualitas sarang dikelompokkan dalam kelas berdasarkan kriteria seperti
ditunjukkan dalam Tabel 13. Bahan penyusun sarang terdiri atas daun yang
berukuran kecil sampai besar, ranting dan dahan-dahan kecil.

MacKinnon (1974) menyebutkan pembuatan sarang melalui beberapa


tahapan yaitu: Rimming (pelekukan dahan secara horisontal membentuk
lingkaran), Hanging (pelekukan dahan ke dalam sarang membentuk mangkuk),
Pillaring (pelekukan dahan untuk menopang lingkaran sarang) dan Loose
(pemutusan dahan dari pohon untuk diletakkan kedalam sarang sebagai alas atau
ke atas sebagai atap (cover).
Orangutan liar membangun sarang tidur baru setiap hari, disamping sarang
lain untuk istirahat atau bermain ( khusus anak dan remaja). Namun kadang
ditemukan juga orangutan liar menggunakan sarang lamanya dengan cara
merekonstruksi bagian sarang sebelah dalam dengan cabang/ranting yang bahkan
diambil dari jarak 15-30 meter. Fakta ini juga dikuatkan dengan apa yang
disebutkan oleh Rijksen (1974) bahwa orangutan “menggunakan” sarang lama,
dan ini (biasanya setelah periode 2-8 bulan) karena adanya pohon berbuah yang
disukai.
Di samping sarang yang dibangun, biasanya orangutan menggunakan
‘cover’ untuk melindungi tubuh dari hujan, agar tetap kering atau terlindung dari
sengatan cahaya matahari dimana cover tersebut diambil dengan mematahkan
cabang setelah membangun sarang atau diperoleh dari pohon lain yang berjarak
hingga 15 meter dari sarang (Rijksen 1978). Lebih lanjut dikatakan bahwa sarang
orangutan yang masih bisa terlihat bentuknya kira-kira hingga hingga berumur
2.5 bulan. Ketahanan sarang tergantung dari teknik bagaimana orangutan
membuatnya, ukuran dan beban orangutan dan gangguan-gangguan penghancur
sarang lainnya (monyet, orangutan lain). Rijksen (1978) menyebutkan orangutan
rata-rata membuat 1.8 sarang perhari (interval 0-6 sarang) untuk istirahat,
bermain dan tidur.
Posisi sarang di pohon sarang tersebut juga diamati posisinya dan
umumnya terletak di antara dua cabang. Rijksen (1978) dalam penelitiannya
53

menyebutkan bahwa pada Orangutan Sumatera, lokasi memainkan peran utama


dalam membangun sarang , letak sarang dibuat agar memungkinkan orangutan
mendapatkan arah pandang yang baik dan jelas, tidak terhalangi pandangannya ke
sekitar hutan. Sarang-sarang tersebut sering dibangun pada pertemuan cabang, dan
biasanya di bagian paling tepi/ujung ( Harrison 1969; MacKinnon 1974 dalam
Rijksen 1978). Untuk melihat lebih jelas kualitas/ kelas dan posisi dari 206 sarang
dapat dilihat dalam Tabel 12.
Tabel 12. Posisi dan Kelas Sarang yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria.

Posisi Sarang Jumlah % Kelas Sarang Jumlah %


A 63 30.58 1 16 7.77
B 81 39.32 2 78 37.86
C 28 13.59 3 111 53.88
D 34 16.50 4 1 0.49
E 0 0.00
Total 206 100.00 Total 206 100.00
Keterangan: Posisi A (dengan cabang utama), B (antara dua cabang pohon yang sama), C
(antar dua cabang dengan batang utama, D (pertemuan cabang/tajuk dari pohon yang
berbeda) dan E (di lantai hutan). Kelas 1 (segar/baru dan hijau), 2 (masih utuh, warna
berubah kecoklatan), 3 (daun kecoklatan dan sarang berlubang), 4 (sarang/daun hampir
habis dan berantakan dan 5 (sarang tinggal kerangkanya).

Faktor Determinan Pemilihan Pohon Sarang

Faktor yang diidentifikasi akan menjadi peubah ekologi yang diduga


mempengaruhi frekuensi keberadaan sarang pada habitat (pohon sarang) yang
dipilih dan dimasukkan kedalam persamaan regresi adalah meliputi data tinggi
total pohon, diameter pohon sarang, tinggi bebas cabang, diameter tajuk pohon
sarang, jarak antar pohon sarang, jarak pohon sarang dari jalur trek, jarak pohon
sarang dengan tumbuhan pakan, jumlah jenis tumbuhan pakan, suhu dan
kelebaban.
Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan
software SPSS 14.0., diperoleh model persamaan sebagai berikut:
- Blok Rimba : Y = - 0.518 + 0.236 X1 + 0.133 X10 ( R2 = 63.3% )
- Blok Riset : Y = - 0.487 + 0.178 X10 ( R2 = 73.3% )
- Blok Pemanfaatan : Y = - 0.858 – 0.257 X1 + 0.119 X10 ( R2 = 74.8% ).
54

Perolehan persamaan untuk tiap blok tersebut berikut analisisnya dapat


dibahas sebagai berikut: Setelah dilakukan analisis faktor faktor (ada 10 faktor
dari X1 sampai dengan X10) yang digunakan dalam penentuan pemilihan pohon,
maka akan dibuang faktor X yang dianggap sejenis atau tidak mempunyai
hubungan kuat dengan Y. Hanya X yang bernilai diatas 0.55 yang digunakan.
Faktor-faktor yang terpilih tersebut (langkah stepwise) dimasukkan kedalam
persamaan regresi linear, sehingga diperoleh faktor yang paling mempengaruhi
keberadaan sarang (orangutan) pada suatu pohon terpilih (yang memiliki p<0.05),
yaitu sebagai berikut:

1. Blok Rimba. Dari persamaan regresi diperoleh Y = - 0.518 + 0.236 X1 +


0.133 X10 ( R2 = 63.3%), walupun hanya terdapat dua peubah determinan
yang mempengaruhi frekuensi keberadaan sarang orangutan pada suatu
pohon terpilih yaitu diameter pohon (X1) dan jumlah jenis pakan (X10), tetapi
secara keseluruhan peubah-peubah tersebut saling mempengaruhi dan
mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat
dari besarnya sidik ragam (Analysis of Variance) persamaan regresi tersebut
mempunyai yang memiliki nilai p = 0.000 dan R2 = 0.633, artinya secara
keseluruhan semua peubah bebas (X) berpengaruh secara nyata terhadap
peubah tak bebas (Y) dan lebih dari 63% frekuensi keberadaan sarang pada
pohon terpilih dapat diterangkan oleh peubah peubah yang ada

2. Blok Riset. Persamaan regresinya adalah Y = - 0.487 + 0.178 X10 ( R2 =


73.3%). Meskipun hanya satu peubah yang determinan mempengaruhi
frekuensi keberadaan sarang orangutan pada suatu pohon terpilih yaitu
jumlah jenis tumbuhan pakan (X10), tetapi secara keseluruhan peubah-peubah
tersebut saling mempengaruhi dan mempunyai hubungan yang erat satu
dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari besarnya sidik ragam (Analysis of
Variance) persamaan regresi tersebut dimana nilai p = 0.000 dan R2 = 0.733,
artinya secara keseluruhan semua peubah bebas (X) berpengaruh secara nyata
terhadap peubah tak bebas (Y) dan lebih dari 73% frekuensi keberadaan
sarang pada pohon terpilih diterangkan oleh peubah peubah yang ada.
55

3. Blok Pemanfaatan. Faktor diameter pohon (X1) dan jumlah jenis tumbuhan
pakan (X10) yang menjadi faktor determinan di blok ini. Persamaan Y = -
0.858 – 0.257X1 + 0.119X10 (R=74.8%) yang dihasilkan menunjukkan bahwa
peubah diameter pohon (X1) dan jumlah jenis pakan (X10) merupakan dua
faktor yang paling determinan mempengaruhi frekuensi keberadaan sarang
pada pohon terpilih dilihat dari nilai signifikansinya, p-value kedua peubah
(p<0.05). Meskipun hanya dua peubah tersebut yang determinan, peubah-
peubah lainnya secara keseluruhan saling mempengaruhi dan mempunyai
hubungan yang erat, bila dilihat dari besarnya nilai sidik ragam (Analysis of
Variance) yang menunjukkan nilai p = 0.000 artinya semua peubah
berpengaruh nyata dan lebih dari 63% (R2 = 0.633) frekuensi keberadaan
sarang pada pohon terpilih diterangkan oleh peubah-peubah yang ada.

Dari ke tiga blok tersebut menunjukkan bahwa faktor diameter pohon dan
jumlah jenis tumbuhan pakan orangutan yang menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap keberadaan sarang pada pohon tertentu. Pengaruh tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:

a). Faktor jumlah jenis tumbuhan pakan ( X10 ).

Dari persamaan regresi yang diperoleh di ketiga blok terlihat bahwa


jumlah jenis tumbuhan pakan menjadi faktor yang sama menentukan frekuensi
keberadaan sarang di pohon terpilih. Hasil identifikasi jenis tumbuhan pakan
orangutan di masing-masing blok ditunjukkan pada Gambar 19 dibawah ini.

(a)
Keberadaan Sarang & Ketersediaan Jenis Pakan

Sarang Jenis Pakan

140

120 123

100
Jumlah

80
65
60 59
54
40 45
38
20

0
RIMBA RISET PEMANFAATAN

Blok Penelitian
56

(b)
Hubungan jumlah jenis pakan dengan
ketersediaan jenis di tiap tingkat tumbuhan

200
Pohon
150 49 31
Tiang
34 55
100 33
54 Pancang
28
45
50 35 46 59 Semai
65
39 31 29
0 Pakan
RIMBA RISET PEMANFAATAN

Blok

Gambar 19. (a) dan (b) Hubungan antara keberadaan sarang dengan jumlah jenis
pakan yang teridentifikasi di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan

Dari Gambar 18 diatas, jelas terlihat semakin bertambah jumlah jenis


tumbuhan pakan di suatu lokasi akan meningkatkan frekuensi keberadaan sarang
ditempat tersebut. Blok Rimba jumlah jenis pakan keseluruhan ditemukan 65
jenis dengan indeks kekayaan jenis (indeks margalef) sebesar 9.52, menjadikan
blok ini paling tinggi kekayaannya dibanding ke dua blok lainnya. Data ini
berkorelasi positif (X10 positif) dengan keberadaan pohon sarang dan sarang yang
jauh lebih banyak (102 pohon sarang, 123 buah sarang). Pada blok Pemanfaatan
jumlah jenis tumbuhan pakan (59 jenis) lebih banyak dibanding blok Riset (54
jenis), seperti halnya di blok Rimba, di blok ini jumlah jenis pakannya berkorelasi
positif (X10 positif) dengan keberadaan pohon sarang dan jumlah sarangnya.. Di
blok Riset jumlah jenis pakan lebih sedikit dibanding blok lainnya, ini berkorelasi
terhadap keberadaan jumlah pohon sarang dan sarang orangutan yang juga lebih
sedikit ditemukan (33 pohon dengan 38 sarang dengan 54 jenis pakan). Ini
mungkin bisa terjadi karena di blok Riset terdapat primata lainnya dengan
kepadatan tinggi (khususnya bekantan) yang dietnya berbagi jenis pakan yang
sama dengan orangutan.
Dari informasi tersebut diatas secara keseluruhan dapat disimpulkan
sebagai berikut: Pertama, bahwa blok Rimba sejak lama menjadi tempat
rehabilitasi dan pelepasan orangutan rehabilitasi, sehingga dengan diasumsikan
lebih banyak individu orangutan di lokasi tersebut dengan ketersedian tumbuhan
57

pakan yang mencukupi (lebih tinggi dari segi jumlah, kerapatan dan kekayaan
jenis dibanding dua blok lainnya), serta kondisi hutan yang masih baik,
menyebabkan orangutan sudah merasa nyaman berada di blok tersebut. Hal
kelimpahan ketersediaan pakan di blok Rimba digambarkan pula oleh sebuah
penelitian tahun 1971-1978, bahwa Orangutan makan lebih dari 400 jenis
makanan, diantaranya 74% atau sekitar 235 terdiri atas spesies pepohonan yang
berbeda (Galdikas, 1978). Sebagai perbandingan, dari hasil penelitian orangutan
oleh MacKinnon (1974) di Ula Segama berhasil mengidentifikasi ± 110 jenis
makanan termasuk dari 68 jenis tanaman yang 10 diantaranya (15%) sama dengan
spesies yang dimakan di Tanjung Puting. Kedua, adalah faktor keamanan, dimana
di blok Rimba lebih termonitor dengan keberadaan petugas dan peneliti yang
tinggal di lokasi, sementara blok Pemanfaatan relatif tidak termonitor, sehingga
secara tidak langsung turut mempengaruhi frekuensi keberadaan orangutan untuk
beraktivitas (termasuk bersarang) di sekitar lokasi tersebut.

b). Faktor diameter pohon sarang (x1)

Dari data pohon sarang terlihat bahwa rata-rata pohon sarang berdiameter
kecil yang banyak dijadikan pohon sarang (tabel 8). Tetapi dari sebaran ukuran
diameter jenis vegetasi (pancang dan pohon) yang ada di ketiga blok tersebut,
terlihat bahwa hampir semua ukuran diameter pohon berpeluang untuk dijadikan
pohon sarang (tabel 13). Kemudian bila dilihat dari koefisien korelasi (r), keeratan
hubungan antara variable bebas diameter pohon (X1) dengan variabel tidak
bebasnya (Y) tidak cukup kuat yaitu 18.3% di blok Rimba dan 10% di blok
Pemanfaatan (lihat lampiran hasil regresi). Ini artinya faktor diameter pohon
mempunyai pengaruh yang kecil bagi orangutan dalam memilih pohon sarang,
peranan faktor diameter lebih bersifat dukungan kepada faktor jumlah jenis pakan
(X10) dalam mempengaruhi keberadaan sarang pada pohon tertentu.
58

Tabel 13. Perbandingan ukuran diameter tumbuhan (tiang dan pohon) dengan
diameter pohon sarang di blok Rimba, Riset dan Pemanfaatan

Blok Rimba Blok Riset Blok Pemanfaatan


Ukuran %
Hasil Pohon % Hasil Pohon % Hasil Pohon
Diameter
Anveg Sarang Anveg Sarang Anveg Sarang
10-30 0 3 *) 4 0 0 0 0 0
31-50 102 22 21.6 244 18 7 45 18 40
51-70 71 16 22.5 156 7 4.5 30 12 40

71-90 74 16 21.6 158 2 1.3 25 8 32

91-110 46 18 39.1 89 4 4.5 17 1 5.9

111-130 21 10 47.6 60 2 3.3 11 1 9.1

131-150 21 12 57.1 30 0 0 9 1 11.1

151-170 7 0 0 16 0 0 3 0 0

171-190 6 4 33.3 17 0 0 3 0 0

191-210 4 0 0 8 0 0 2 0 0

211-230 2 0 0 4 0 0 0 0 0

231-250 1 1 100 1 0 0 0 0 0

251-270 2 0 0 2 0 0 0 0 0

271-290 6 0 0 8 0 0 1 0 0

Jumlah Sarang 102 33 41


keterangan: *) jenis pohon sarang pada tingkat pancang

Preferensial Pohon Sarang

Untuk menganalisis tipe pohon yang disukai oleh orangutan untuk bersarang
digunakan asumsi bahwa bahwa semakin tinggi frekuensi kehadiran sarang pada
suatu tipe pohon tertentu , maka semakin disukai tipe pohon tersebut. Dan untuk
mengetahui hubungan antara frekuensi keberadaan sarang dengan tipe pohon
tertentu akan dilakukan pengujian menggunakan pendekatan Metode Neu’s
(indeks preferensi).
Metode Neu’s merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menentukan indeks preferensi habitat oleh satwa (Manly et al. 1993). Bibby et al
(1998, diacu dalam Gunawan 2004) menyatakan bahwa jika nilai wi ≥ 1, maka
habitat tersebut disukai, dan dalam hal ini juga dapat dipakai untuk menentukan
indeks preferensi pohon yang disukai oleh orangutan.
Berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan pada pohon tertentu, maka
dari 73 jenis pohon sarang terdapat 13 jenis yang memiliki nilai indek Noe’s
59

lebih dari 1 (wi ≥ 1), artinya pohon-pohon tersebut yang dianggap disukai
orangutan untuk bersarang. Perhitungan indeks preferensi untuk 73 jenis
selengkapnya terlihat pada Lampiran 9. Sementara pada Tabel 14 di bawah ini
memperlihatkan ke 13 pohon sarang yang disukai berdasarkan jumlah sarang per
pohonnya.
Tabel 14 Daftar jenis pohon sarang disukai berdasarkan metode Noe’s (indeks
preferensi) dilihat dari keberadaan jumlah sarang.

No Jenis ∑ individu Jumlah Rata-rata Indeks


Pohon Sarang Pohon Sarang Sarang Srng/Phn Preferensi

1 Kempas 1 2 2.00 1.71


2 Pempaning 12 20 1.67 1.42
3 Ubar Salim 8 12 1.50 1.28
4 Poga Beruang 2 3 1.50 1.28
5 Pempaning MB 4 6 1.50 1.28
6 Lowari 2 3 1.50 1.28
7 Lurangan 6 9 1.50 1.28
8 Kumpang Setombok 2 3 1.50 1.28
9 Bati - bati 5 7 1.40 1.20
10 Lanan 3 4 1.33 1.14
11 Ketikal 3 4 1.33 1.14
12 Kopi Layu 3 4 1.33 1.14
13 Idur Beruang 3 4 1.33 1.14

Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah pohon sarang


tersebut yang benar-benar disukai apabila dilihat dari ketersediaan jenis yang
sama di blok pengamatan ?. Oleh karena itu perlu pengujian lebih lanjut, dimana
nilai kesukaan (indeks preferensi) terhadap pohon sarang akan dilihat dari jumlah
ketersediaan jenis tersebut yang hasil perhitungannya terlihat pada lampiran 10.
Dari hasil penerapan metode Neu’s tersebut, maka diperoleh hasil yang
berbeda dari pengujian sebelumnya, dimana 42 jenis dari 73 jenis pohon sarang
yang teridentifikasi memiliki nilai indeks preferensi lebih dari 1 ( wi ≥ 1 ), jika
mengacu pada penentuan indeks preferensi (Bibby et al. 1998, diacu dalam
Gunawan 2004) berarti ada 42 jenis pohon sarang yang disukai orangutan untuk
membangun sarangnya (gambar 20). Dengan menyusun kriteria tertentu maka
dikelompokkan faktor kesukaan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok sangat
disukai ( nilai w: 6.10-8.59 ) kelompok cukup disukai ( nilai w: 3.60-6.09) dan
kelompok disukai (nilai w: 1.10-3.59), dan perolehan tingkat kecenderungan
60

kesukaan berdasarkan kriteria pengelompokan tersebut selengkapnya dapat dilihat


pada Lampiran 11 dan ilustrasinya melalui Gambar 21

42 jenis pohon sarang yang disukai berdasarkan


Metode Noe's

10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00

Pisang -
Katur Merah

Ulin

Kopi Layu

Kayu Bunga

Buku Nisan

Ribu - ribu

Mentabuan

Lanan
Getah

Blunjuan

Bengkel

Lowari

Belanti
Nilai indeks

Gambar 20. Beberapa jenis dari 42 jenis pohon sarang yang disukai berdasarkan
nilai indeks preferensi (w≥1) yang ditemukan dari 73 jenis pohon
sarang Orangutan

Kecenderungan tingkat kesukaan dari


42 pohon sarang
Pohon Sarang T otal Individu
Jumlah individu

50
40
30
20
10
0
Katur Merah

Kopi Layu

Kayu Bunga
Merinjahan

Arahan

Pakit

Mampai /
Jejantik
Meritam
Idur
Bentan

Beginci

Bengkel

Poga
Pempaning

Pempaning
Limau

Penseluang

Tentamu
Betimpus

42 pohon sarang

Gambar 21. Grafik kecenderungan kesukaan dari 42 pohon sarang orangutan


berdasarkan indeks preferensi dilihat dari ketersediaan jenis pohon
yang sama dalam blok pengamatan

Sebagai contoh pada Tabel 15 diperlihatkan 10 pohon sarang dengan


tingkat kesukaan berdasarkan pengelompokan di atas.
61

Tabel 15 Contoh 10 pohon sarang dari 42 pohon sarang (tingkat pancang, tiang dan po-
hon) yang disukai orangutan berdasarkan indeks preferensi
No Jenis Individu dlm Individu persentase Indeks Kriteria
petak contoh ada sarang (%) (w)
1 Katur Merah 5 5 100.00 8.57 Sangat disukai
2 Sundi 3 3 100.00 8.57 Sangat disukai
3 Idur Beruang 4 3 75.00 6.43 Sangat disukai
4 Ulin 16 10 62.50 5.36 Cukup disukai
5 Bentan 2 1 50.00 4.29 Cukup disukai
6 Ketikal 6 3 50.00 4.29 Cukup disukai
7 Kopi Layu 6 3 50.00 4.29 Cukup disukai
8 Pengkerubungan 2 1 50.00 4.29 Cukup disukai
9 Meritam 5 2 40.00 3.43 Disukai
10 Getah Merah 26 9 34.62 2.97 Disukai

Dari 42 jenis pohon sarang yang disukai, 15 jenis diantaranya (35 %) juga
merupakan pohon pakan. Pohon katur merah (Dryobalanops oocarpa), sundi dan
idur beruang (Pometia pinnata) merupakan pohon yang sangat disukai, ini dapat
dilihat bahwa dari jumlah pohon jenis tersebut (tingkat pancang, tiang dan pohon)
dalam petak contoh kesemuanya dijadikan pohon sarang oleh orangutan (100%).
Ini menunjukan kesukaan orangutan terhadap pohon tersebut sangatlah besar,
mengingat jumlahnya yang relatif sedikit namun dicari oleh orangutan untuk
bersarang.

Dalam penelitian ini tinggi rata-rata pohon sarang dan sarang orangutan
untuk pohon katur merah 16.60 meter dan 14 meter, untuk pohon sundi 13.5 meter
12.5 meter dan pohon idur beruang 22 meter dan 20.5 meter. Pada ke dua pohon
tinggi sarang berada di 12.5 - 14 meter, ini masuk dalam range tinggi sarang yang
disukai orangutan borneo menurut Rijksen (1978) umumnya di 13-15 meter.
Sementara untuk idur beruang lebih tinggi lagi selain karena pohonnya yang
relatif lebih tinggi, juga mungkin untuk keamanan orangutan meletakkan sarang
mengingat pohon idur beruang juga disukai oleh satwa beruang. Rata-rata
diameter tajuk ketiga pohon tersebut antara 5.75 – 6.75 meter dengan tinggi bebas
cabang rata-rata 10.6 meter.
Sementara bentuk tajuk pohon katur merah tidak secara spesifik
pemilihannya, mulai dari bentuk payung, tajuk kosong di salah satu sisi, silinder
dan tajuk tidak beraturan, sedangkan posisi sarang 40% berada pada pertemuan
cabang atau tajuk dari pohon berbeda dan 40% berada di antara dua canag dengan
62

batang utama dan 20% antara dua cabang. Ini ada kaitannya dengan diameter
pohon katur merah yang relatif lebih kecil yaitu antara 0.5-0.6 meter dengan
tinggi pohon rata-rata 16.60 meter, sehingga perlu penguatan dari cabang atau
tajuk pohon berbeda agar cukup kuat untuk menopang luas dan beban tubuh
orangutan tersebut. Demikian pula pohon sundi yang memilih pohon dengan
bentuk tajuk bola, sedang posisi sarang sama seperti katur merah, dimana 50%
berada diantara cabang dari dua pohon berbeda dan 50% diantara dua cabang
dengan batang utama, ini berkorelasi dengan diameter pohon yang relatif kecil
yaitu antara 0.4-0.45 meter. Sementara untuk pohon idur beruang, juga tidak ada
kekhususan dalam memilih bentuk tajuk, ada yang berbentuk silinder atau bola,
sementara posisi sarang berada pada dua cabang pohon yang sama, dengan
diameter pohon antara 0.4-1 meter.
VI. SIMPULAN & SARAN

A. SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Orangutan memiliki preferensi dalam membangun sarang dan sebagai faktor


dominan dalam pemilihan pohon sarang adalah diameter pohon (X1) dan
jumlah jenis tumbuhan pakan (X10) dengan model persamaan: Y = - 0.518 +
0.236 X1 + 0.133 X10 (R2 = 63.3%); Y = - 0.487 + 0.178 X10 (R2 = 73.3%) dan
Y = - 0.858 – 0.257X1 + 0.119X10 (R=74.8%)

2. Pohon sarang yang teridentifikasi yang merupakan jenis disukai memiliki


karakteristik pohon sebagai berikut: jenis pohon sarang dapat juga sekaligus
merupakan jenis tumbuhan pakan orangutan, tinggi pohon sarang bervariasi
antara 7-30 meter, diameter pohon sarang bervariasi antara 0.23-2.32 meter,
diameter tajuk pohon sarang antara 3-8.5 meter, bentuk tajuk umumnya pola
tajuk tidak beraturan (persentase tertinggi), bentuk tajuk kosong disalah satu
sisi, tajuk berbentuk bola, tajuk berbentuk payung, berbentuk silinder dan
tajuk berbentuk kerucut.

3. Sarang Orangutan umumnya terletak pada ketinggian 12-14 meter (2.5-3.6


dari puncak pohon-kanopi), lebih dari 39% posisi sarang berada diantara dua
cabang pohon yang sama (tipe B); sedang sumber bahan sarang dapat berasal
dari 1 pohon sarang yang diapaki s/d. 3 jenis pohon berbeda dengan material
sarang umumnya terdiri atas daun berukuran kecil dan besar, ranting dan
cabang pohon

B. SARAN

Beberapa saran perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Dalam rangka penyiapan habitat baru (standar habitat) bagi orangutan


rehabilitasi, maka perlu dipertimbangkan faktor determinan habitat (pohon
sarang) dan karakteristik preferensi pohon sarang
64

2. Lokasi atau jalur yang banyak ditemukan sarang orangutan, perlu menjadi
pertimbangan dalam penentuan zonasi taman nasional dengan tetap
melakukan monitoring dan pengamanan secara intensif.

3. Dengan mengetahui preferensi pohon sarang yang terdapat pada jalur tertentu,
bagi pihak pengelola kawasan menjadi informasi penting dalam rangka
perbaikan menejemen misalnya untuk pengelolaan wisata trekking dengan
peluang bertemu dengan orangutan liar atau pengenalan sarang

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka mengevaluasi tingkat


keberhasilan peliaran orangutan rehabilitasi di habitat yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit


Fakultas Kehutanan IPB. 366 hal.

Ansori I. 2000. Karakteristik Sarang Tidur Orangutan (Pongo pygmaeus


pygmaeus, Linne 1760) Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Umur Di
Stasiun Penelitian Cabang Panti Taman Nasional Gunung Palung
Kalimantan Barat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. tidak diterbitkan

Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: Wiley. 373 p.

Bibby C, Marsden S, Fielding A. 1998. Bird-Habitat Studies. The Expedition


Advisory Centre. Royal Geographical Society. London

Bismark M. 2003. Daya Dukung Habitat dan Adaptasi Bekantan (Nasalis


larvatus Wurmb). Bogor

Djojosudharmo S. 1978. Beberapa Aspek Tingkah Laku Orangutan di Suaka


Tanjung Puting. Universitas Nasional. Jakarta.

Galdikas BFM. 1978. Adaptasi Orangutan Suaka Tanjung Puting, Kalimantan


Tengah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Galdikas BFM. 1988. Orangutan Diet, Range and Activity at Tanjung Puting,
Central Borneo. International Journal of Primatology.

Gunawan H. 2004. Preferensi dan Konsumsi Pakan Anak Burung Maleo


(Macrocephalon maleo Sal Muller) Dalam Masa Penyapihan. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume: 1 Nomor:1. Balitbang
Kehutanan. Bogor

Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik Dengan Menggunakan


Minitab 14. C.V Andi offset. Yogyakarta.

Johnson RA, Bhattacharyya GK. 1992. Statistic, Principles and Methods. New
York: Wiley.

MacKinnon J. 1972. The Behavior and Ecology of Orangutan (Pongo pygmaeus)


with Relation to Other Apes. Ph.D thesis, University of Oxford.

Manly. 1993 dalam http://obelia.jde.aca.mmu.ac.uk/giscons/analysis/ utilize.htm


(12 April 2007)

Maple TL. 1980. Orangutan Behavior. Van Mostrand Reinhold Company. New
York
66

Moen, AN. 1973. Wildlife Ecology, WH. Freeman and Company, San Fransisco.

Muller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aim and Method of Vegetation Ecology.


Willey International Edition. John Willey and Sons, Chicester-New York-
Brisbane-Toronto-Singapore.

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of Primates. The MIT Press.
Massachusetts.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. W.H. Freeman and Co.
San Francisco. 574 p. Tropics With Special Emphasis on South East Asia.
School

Pramesti G. 2007. Aplikasi SPSS 15.0 dalam Model Linier Statistika. PT. Elex
Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Jakarta.

Primack, Richard B, Supriatna J, Indrawan M dan Kramadibrata P. 1998.


Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Rijksen HD. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutans (Pongo pygmaeus


abelli Lesson 1872). Ecology, Behaviour and Conservation, 78-2.
Wageningen, The Netherlands.

Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika.


Makalah pada Pelatihan Teknik Pengukuran dan Monitoring
Biodiversity di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.
Fahutan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Santoso dan Tjiptono. 2001. Riset Pemasaran konsep dan Aplikasi dengan SPSS.
PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Jakarta.

Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Jurusan Manajenen


Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 123 p.

Sujarno KR. 2000. Analisis Hubungan Antara Dimensi Sarang dan Karakteristik
Individu Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus Linneaus, 1760) di
Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Skripsi. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. tidak
diterbitkan.

Yeager CP. 1992. Conservation status of proboscis monkey (Nasalis larvatus) at


Tanjung Putting National Park, Kalimantan Tengah Indonesia. Forest
Biology and Conservation in Borneo. Center for Borneo Studies
Publication 2:133-137

------------, 1994. Proceedings of The International Conference on ”Orangutans:


The Neglected Ape”. California State University. Fullerton, California.
67

------------, 1993. Orangutan Population and Habitat Viability Analysis (PHVA)


Workshop. Medan, North Sumatera.

------------, 2004. Orangutan Population and Habitat Viability Analysis (PHVA)


Workshop. Jakarta.

You might also like