You are on page 1of 80

PENGUJIAN PEMILIHAN KEPALA DESA TERHADAP SISTEM SOSIAL

MASYARAKAT DESA
(Studi Kepustakaan Kompatibelitas Demokrasi Elektoral di Level Desa dengan
Model Demokrasi Deliberatif)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1


Program Studi Ilmu Pemerintahan

Disusun oleh:

Rizki Prasetia
18520172

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2023

i
(11l11111〕
11ll口 1口 llllllllll:lll:11:l口 ,:lll..
==Oτ
V、 LuVXVA30A
G孤ldV''VSI(IttVIXVIVASV動 』IVNl■
“ ONValヽ ■dlDONI∴ IIV■ OXttS
NVHVttII薩 聾
電電IIC■ iSItYuDo種 ご
=II=d壺
τ410=SsI
誓::OS奪 』ご :竃 零
I
:琴 。
[0覆 嬢SttSI(I
‐ '難
Ψ麟
:雛摯零電 :鶯 1援 機‐

1鐵
鎌鸞 :蠣1階
護撃 ご翼 ≡ 。琶 護

電 :』 遷 達 [薫 憂 三]奢 』
:P褒 ‡St=ぜ ξ
[ St聴 夕言s朦 I● 。 ]ぼ撃o曹阜亜 藍磁 理 :。
ラ 〕舞 預 sI可穫碑 憂 畢 韓 桑 理意季 舞 :∈
ISdIDS
奪 :撃JOqil● ⊂ Ise到 o薇 Oc IЭ p。
uゼ 8110p VSOc 10A3竃 .
IP:銀 01耳 31Ξ ISIIIOmOc SttI:Э q:13dШ oN u381じ lSndO】
:pnls)
VS富 ∈ 二vxvuvAs、 ■、
πVISOS Iヽ :3■ SIS dV⊂ ViHII冨 二
VS■ ∈ V7Vd[IHヽ ヽ‐
HI■ IIて ]Jヽ VIf■ DNIJ
60■ I(I
vIA正 0:Ч セ:[LI』 工 OunD・

uuqelulJaluad nITIII Ipnls urur8o.l4 unlox
'tnqe1e8ue141
g Eurdrueg r[n8ue4
ffi.€
TO両
1 Eurdumg lfn8ue6
▽・I罐 OTЧ じl工 I』
止Oun3・ I(I ・τ
―″つつ
z″へヽ
furqturqruo4 7t ln8ue.l €n]3)
.I
)
ue8uu; upuef υttIじ N
Iム
If■ ON■ J〕 こ
叩υ
ttX8o人 ⊂Aご v"⊂ 囚dls lsdi羽 s l181h 8配 nu 戦dltlo■


8:IAヽ Oε シl-00・ εT nl平 M
εζOτ :Jυ
nUη f 60 Iじ
88uじ :上
uluoS I:IBH
: epud epe>1e,(3o1,,6 htrd V,, BSeg lelele Asul,l ueun8ueq rue6 r S8utl tleio)es
rp ueqeturreluad null Ipnls ruer8o;4 (1g) uuefteg .rela8 qelo.tedueur uelure,(sred
rqnuoueu {nlun r ln8us6 rurl uedep Ip ueluul"l€uedip uep r [n rp qe1a1 tut tsdtllS
NVHVS冨 ON=d NV]hIV■ VH
││││││
rffir"{mx
τん10τ S81:ル (Iさ ヽ [
セ110S7■ (I IIZ11日 [
■1こ WIエ
IvuIェ ヨW


■だグ■

η

tO
tz\z uenuel 60 'euele,(8o^
'ulBlsnd re$ep IU€lBp uBltunluerlp
usp slol tuelep u€Ilnqesrp q€lel
,lul rsdu{s urBlsp efes efrel ue{nq Suud 1eq-1ei1
'ure1 8ue,( qelo uelllqrotlp u€p slpllp quured 8ue,( ludepuad nele e(re1 1udepre11ept1
e.{us uunqe}e8ued Eueluedos uup 't.ttpues u,&s e,&e>J 1ruoq-1nloq qelepu ,.(;puraq11o6
rsur{oruo( Iapohl uu8uep €so( Io^a-I Ip lerot{olf, lsur{otuoq stllloqrludtuoy
uuu>1u1sndox lpnrs) Bso(I lB{uru-tsul41 IEIsos uolsrs depuq;e1 usoq uludey
uBrMrruod uur[nEue4,, lnpnlreq Bue,( rdrols BAu{Eq e.(uqnSSunses ueEuap ue1e1u,(uey1
ueq€lLlueliled nrull : Ipn15 ruer8ol6
τι10τ S81: Iへ こ
IN
η:10S21d IIZ1lJ: セu,I聡 (
rur rie^\eqrp ue8uq ?pwueq 8ue,{ u,(e5
Nvvェ vANu■ d NvIAIv■ vH
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan

kuasanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul

“Pengujian Pemilihan Kepala Desa Terhadap Sistem Sosial Masyarakat Desa

(Studi Kepustakaan Kompatibelitas Demokrasi Elektoral di Level Dessa dengan

Model Demokrasi Deliberatif)”

Penulisan skripsi ini tentu tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-

besarnya kepada:

1. Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyakarat Desa “APMD” Yogyakarta.

2. Dr. Guno Tri Tjahjoko, M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta

sekaligus menjadi dosen penguji yang telah memberikan masukan guna

menyempurnakan skripsi ini.

3. Fatih Gama Abisono Nasution, S.IP., MA selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan motivasi dan juga arahan untuk skripsi ini.

4. Drs. Suharyanto, M.M. selaku dosen penguji telah banyak memberikan

masukan guna menyempurnakan skripsi ini.

iv
5. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi

Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta yang telah memberikan

ilmu dan berbagi pengalamannya selama penulis mengenyam pendidikan.

6. Seluruh keluarga besar Civitas Akademika STPMD “APMD” Yogyakarta.

7. Seluruh penulis dalam karya ilmiahnya yang dikutip dan menjadi rujukan dalam

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

sehingga skripsi ini dapat menjadi bahan pergulatan pembentukan pengetahuan dan

memberikan asas kebermanfaat bagi warga. Akhir kata penulis mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat membantu.

Yogyakarta, 09 Januari 2023

Penulis

Rizki Prasetia

NIM: 18520172

v
MOTTO

“Allah Akan Meninggikan Orang-Orang Yang Beriman Di Antaramu Dan Orang-


Orang Yang Diberi Ilmu Pengetahuan”
(Surat Al-Mujadallah ayat 11)

“Pemuda Kalau Sudah Berumur 21-22 Tahun Sama Sekali Tidak Berjuang, Tak
Bercita-Cita, Tak Bergiat Untuk Tanah Air Dan Bangsa, Pemuda Ini Sebaiknya
Digunduli Saja Kepalanya”
(Bung Karno)

“Meyakinkan Sebuah Rasa Atau Cinta Bukan Hanya Dengar Sekedar Kata Kata,
Tapi Dengan Tindakan Nyata”
(Destya Rahma. K)

Renjana Pejuang Asmaraloka


(Rizki Prasetia)

vi
HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-nya, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam keadaan

sadar, sehat, dan bahagia. Penulis persembahkan skripsi ini kepada orang-orang yang

berarti dalam kehidupan penulis:

1. Keluarga (Ayahanda Kuswono Wibowo, Ibunda Sumiyati, Adikku Dewi Kuswati,

dan Kakaku Ropita Dewi Sartika)

2. Fatih Gama Abisono Nasution, S.IP., MA yang telah memberikan motivasi dan

juga arahan untuk skripsi ini.

3. Saudara tak sekandung (Fais Hakim, Ahmad Fauzi Shabirin, Budi Tarra, Miftahul

Noor Syahbana, Muhammad Khoiruroziqin, Aminah, Qurnia Fatimah,

Muhammad Faisal Lemes, Cici Sriyanti) yang telah menemani dan terus bersedia

saling bertukar ide maupun membantu secara materi.

4. Kawan-Kawan Futsal Rainbow Yang Selalu Menyempatkan Waktu Untuk

Olahraga.

5. Kawan-Kawan Terdekat (Jonet, Dony, Yoga, Rio, Mas Bayu, Mas Rudi, Intan,

Dimas, Ateng, Dan Yang Lainnya).

6. Kawan-kawan Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) STPMD “APMD”

Yogyakarta yang memberikan ruang rohani dilingkungan kampus.

7. Seluruh kawan-kawan angkatan 18 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”

Yogyakarta.

vii
8. Kawan-kawan Komunitas Literasi Desa (KLD) Yogyakarta yang telah

memberikan ruang untuk terus melakukan “kegiatan berfikir” dalam memandang

desa sebagaimana mestinya.

9. Seluruh warga dan masyarakat Pengok Blok K, RT 33, RW 09, Kel Demangan,

Kec Gondokusuman, Kota Yogyakarta.

10. Kawan-kawan Keluarga Pemuda-Pemudi Blok K (KPBK) yang tetap terus

melakukan gerakan-gerakan sosial dan mengisi dinamika di kampung.

11. Destya Rahma Kamiyastutik yang selalu memberikan dukungan, dorongan, cinta

kasih, dan semangat untuk penulis, serta selalu sabar menghadapi keluhan penulis.

Terimakasih telah menjadi support system terbaik!.

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
INTISARI......................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 4
D. Manfaat dan Kontribusi Penelitian ....................................................... 5
E. Literatur Review ................................................................................... 5
F. Kerangka Konseptual ........................................................................... 11
1 Demokrasi Deliberatif................................................................. 11
2 Demokrasi Elektoral ................................................................... 14
G. Kerangka Pikir...................................................................................... 16
H. Metode Penelitian ................................................................................. 18
1 Jenis Penelitian ......................................................................... 18
2 Sumber Data ............................................................................. 19
3 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 19

ix
4 Teknik Analisis Data ................................................................ 19
BAB II DEMOKRASI DELIBERATIF & ELEKTORAL DI RANAH DESA 21
A. Demokrasi Deliberatif di Ranah Desa .................................................. 23
B. Elektoralisme di Ranah Desa ............................................................... 26
C. Karakteristik Masyarakat Pedesaan ..................................................... 28
BAB III POTRET PEMILIHAN KEPALA DESA ........................................ 38
BAB IV DINAMIKA PEMILIHAN KEPALA DESA DAN RUANG
PUBLIK PADA RANAH DESA ..................................................................... 53
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................... 70
A. Elektoralisme Menciderai Nilai Adilihulung Masyarakat Desa .......... 70
B. Sirkulasi Kepemimpinan Dilakukan Atas Prakarsa Desa .................... 73
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 75
LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pasangan Suami Istri Dalam Pilkades Jawa Timur .......................... 40
Tabel 1.2 Mekanisme Pilkades di Berbagai Daerah ....................................... 51
Tabel 1.3 Dinamika Pemilihan Kepala Desa ................................................... 63

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Fikir Kajian .................................................................. 17

v
INTISARI
Skripsi ini membahas praktik pemilihan kepala desa (Pilkades) sebagai dampak
demokrasi elektoral yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi (lokal) yang mengakar
kuat di desa. Pilkades sebetulnya diharapkan dapat melahirkan kepala desa yang
berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, untuk memerintah desa yang mana nantinya
akan melayani masyakarat. Namun, efek dari pilkades ternyata mempunyai dampak
yang berkonotasi negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat desa.
Skripsi ini bertujuan untuk menguji kompatibel dalam praktik pemilihan kepala desa
secara elektoral. Peneliti menggunakan metode studi kepustakaan. Pengumpulan data
dilakukan dengan mencari, membaca, dan menganalisis berbagai jurnal dan buku
terkait dengan pilkades dan budaya masyarakat desa. Menggunakan perspektif
Govermentality, hasil penelitian ini membuktikan bahwa ternyata elektoralisme
menciderai nilai adiluhung masyarakat desa.
Demokrasi desa dibingkai oleh tiga tatanan hasil ‘kontrak sosial’ masyarakat lokal:
Adat istiadat, moral dan aturan main atau aturan hukum. Masyarakat desa ternyata
memiliki karakter yang khas dalam menghidupi, merawat, dan memelihara desanya.
Desa bagi masyarakatnya adalah sumber penghidupan. Dari berbagai daerah yang ada
di dalam skripsi ini (Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Papua), ternyata sistem
sosial yang terbangun atas relasi antar masyarakat yakni sangat menjunjung tinggi nilai
adat. Mayoritas nilai ini yang menjadi tolak ukur dalam menjalani aktivitas sehari-hari
maupun cara berpemerintahan. Peribahasa Jawa yang berbunyi, ‘Desa Mawa Cara,
Negara Mawa Tata’ menunjukan realitas yang terjadi di pedesaan.
Pemilihan kepala desa yang terjadi secara elektoral ternyata diadopsi oleh banyak desa.
Hal ini menyebabkan terjadinya konflik yang tak sesuai dengan kebiasaan masyarakat
desa. Kesadaran politik yang terbangun adalah kesadaran uang, dualisme, dan lobby-
lobby kurang sehat. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip musyawarah mufakat
yang menjadi kharakteristik masyarakat desa.
Pilkades juga ditekankan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Sehinnga, mau tidak
mau dan suka tidak suka maka harus dijalankan. Maka dari itu, Sirkulasi atau
pergantian kepemimpinan di Desa alangkah baiknya dilakukan atas prakarsa desa
sendiri. Desa tidak perlu diatur sedemikian rupa dengan segala aturan yang detail dan
justru ambigu terhadap peraturan lainnya. Kembali pada roh rekognisi dan subsidiaritas
adalah sebuah jalan untuk merawat dan menjaga desa.

Kata kunci: Pilkades, Elektoralisme, Demokrasi Desa dan Govermentality.

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Studi ini hendak melucuti praktik pemilihan kepala desa (Pilkades)

sebagai dampak demokrasi elektoral yang tidak sesuai dengan prinsip

demokrasi (lokal) yang mengakar kuat di desa. Pilkades sebetulnya

diharapkan dapat melahirkan kepala desa yang berasal dari rakyat, dipilih

oleh rakyat, untuk memerintah desa yang mana nantinya akan melayani

masyakarat. Namun, efek dari pilkades ternyata mempunyai dampak yang

berkonotasi negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat desa. Budaya

politik masyarakat desa yang mengutamakan musyarawarah dan gotong

royong digantikan dengan budaya pemilihan langsung (Renaldi et al.,

2021).

Berbagai penelitian terkait dengan pilkades yang menimbulkan efek

negatif kini banyak ditemui. Hal ini menjadikan problema serius dalam

pemilihan kepala desa (Pilkades). Dalam Studi Ani Noor Septiani dan

Fitriyah menemukan kehadiran calon boneka dalam pilkades serentak

Kabupaten Kudus tahun 2019 di Desa Tenggeles, Kecamatan Mejobo.

Kontestasi pilkades diikuti oleh bapak dengan anak hanya untuk prosedural

memenuhi aturan Pasal 47C ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

65 Tahun 2017 tentang Pemilihan Kepala Desa yang menyebutkan bahwa

1
penyaringan bakal calon kepala desa menjadi calon kepala desa ditetapkan

paling sedikit 2 dan paling banyak 3 orang.

Hal serupa juga terjadi dalam studi Rukoyah dan Wance dalam

pilkades menemukan calon tunggal yang terjadi di empat (4) Desa di

Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo. Munculnya calon tunggal dalam

pemilihan kepala desa terkait dengan beberapa hal sebagai berikut; Pertama,

Pemilihan kepala desa di desa hanya diikuti satu calon kepala desa karena

calon lain tidak berani melawan incambent disebabkan kuatnya pengaruh

petahana yang bertarung pada pilkades serentak. Kedua, Pemilihan kepala

desa hanya diikuti satu orang calon kepala desa karena calon tersebut

merupakan saudara dari mantan kepala desa yang sudah dua kali menjabat

sehingga menurut kalkulasi politik calon lain pasti kalah. Ketiga, Faktor

rendahnya pendidikan masyarakat, rendahnya perekonomian masyarakat,

dan faktor ketokohan mempengaruhi terjadinya calon tunggal dalam

pilkades, sehingga tidak ada warga yang berani mencalonkan diri,

disamping faktor ketokohan calon yang turut mempengaruhi terjadinya

calon tunggal dalam pemilihan kepala Desa

Dalam studi Puji Astuti, Sulistyowati, dan Lusia Astrika yang

menemukan pencalonan sepasang suami istri. Pada Pilkades serentak tahap

pertama tahun 2016 di Kabupaten Demak muncul 17 pasangan suami istri

yang maju bersama dalam Pilkades. lasan yang melatarbelakangi mengapa

seorang suami memutuskan sebagai kompetitor dalam pencalonan dirinya

dalam Pilkades. Minimalisasi biaya pencalonan kepala desa menjadi alasan

2
utama yang melatar-belakangi fenomena pasangan suami istri dalam

kontestasi Pilkades.

Hal lain juga terdapat dalam studi Siti Faiqotul Mu’awanah yang

menemukan adanya praktik politik uang (money politik) di Desa Rowotamtu

Kec.Rambipuji Kab. Jember. Praktik politik yang digunakan oleh kedua

kandidat calon adalah menggunakan money politik sebagai alat

mempengaruhi khalayak. Kandidat calon yang pertama adalah

mengerahkan semua tim sukses untuk mencari masyarakat yang mau

memilih dirinya dengan membagikan sejumlah uang sebagai imbalannya.

Sedangkan kandidat calon yang kedua lebih memperkenalkan dirinya

dengan cara bersilaturahmi kerumah-rumah warga serta mengikuti acara

keagamaan yang didalamnya terjadi proses pemberian uang juga agar

mereka mau memilih dirinya.

Fenomena Pilkades tersebut merupakan hasil dari penerapan sistem

pemilihan kepala desa dengan menggunakan pemilihan umum.

Sebagaimana diketahui, bahwa di desa dalam menentukan kepala desa lebih

cocok menggunakan sistem demokrasi (lokal) karena dalam menentukan

pemilihan calon pemimpin desa karena mengacu pada prosedur formasi dan

aspirasi secara demokratis itu sendiri. Menurut (Sutoro, 2008), model

demokrasi deliberatif merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural

yang dijiwai oleh tradisi komunitarian. Demokrasi deliberatif berbeda sama

sekali dengan demokrasi perwakilan (representative democrarcy) dan

demokrasi langsung (direct democracy) hal penentuan pemimpin dan

3
mekanisme pembuatan keputusan. Penganjur demokrasi deliberative

menekankan, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan

dilakukan dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui

voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog, musyawarah dan

pengambilan kesepakatan.

Dalam melucuti praktik pilkades digunakan perspektif

Govermentality, yakni melihat pemilihan kepala desa secara elektoral yang

mempengaruhi kebiasaan masyarakat desa. Peneliti memberikan kritik

terhadap pemilihan kepala desa (elektoral) dari sisi pra-pilkades, masa

pilkades, dan pasca pilkades. Dari ketiga sisi itulah peneliti mengkaji dan

mendalami lebih jauh melalui berbagai studi dan literatur untuk

membongkar sisi gelap pemilihan kepala desa (Pilkades).

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari paparan diatas, maka pertanyaan dalam studi ini

adalah: “Apakah Pemilihan Kepala Desa Secara Elektoral Sesuai Dengan

Penerapan Demokrasi Deliberatif di Ranah Desa?”

C. Tujuan penelitian

Berangkat dari rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan

untuk menguji praktik pemilihan kepala desa secara elektoral yang

dibandingkan dengan penerapan demokrasi deliberatif di ranah desa.

4
D. Kontribusi/Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini terdapat dua, yaitu

manfaat teoritik dan manfaat praktik. Secara teoritis, studi ini diharapkan

dapat memberikan sumbangasih pemikiran dalam mengisi diskusi Ilmu

Pemerintahan dan Desa.

Secara praktik, hasil dari penelitian ini dapat memberikan wawasan

bagi peneliti sendiri dalam memahami kesesuaian atau tidaknya praktik

elektoral dalam pemilihan kepala desa, sedangkan bagi masyarakat dapat

memberikan pengetahuan tentang demokrasi deliberatif dan praktik

elektoral dalam pemilihan kepala desa.

E. Literatur Review

Bedasarkan penelitian (Adnan, 2019) sebelumnya tentang

pemilihan kepala desa sebagaimana diperintahkan dalam Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa pemilihan kepala desa serentak

diadakan untuk menghindari hal-hal negatif dalam pelaksanaan pemilihan

kepala desa sebelum pemilihan kepala desa serentak. Oleh karena itu untuk

mewujudkan tata kelola penyelenggaraan Pemerintahan Desa diperlukan

mekanisme dan tata pemilihan, pemberhentian dan pengangkatan kepala

desa. Menurut (Soetrisno, 2021) sebagaimana diatur dalam Pasal 45b ayat

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa

5
pelaksanaan pemilihan calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan melalui

mekanisme musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara yang telah

disepakati oleh musyawarah Desa. Penyelenggaraan pemilihan kepala desa

tidak lepas dari proses demokrasi yang melibatkan rakyat. Secara yuridis

peraturan yang ada telah memberikan pilihan strategis kepada masyarakat

untuk menentukan cara mereka menyalurkan aspirasi. Sejatinya proses

demokrasi tidak hanya membutuhkan akuntabilitas negara dalam derajat

yang tinggi dan suatu pemesanan kembali kepada masyarakat sipil,

melainkan juga memerlukan partisipasi substansial secara langsung pada

lembaga komunitas lokal.

Studi (Tokan, 2020) mengatakan bahwa dalam hal pergantian

pemimpin dipertegas kembali dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,

memberi ruang demokrasi dan kebebasan lebih luas bagi warga negara

Indonesia yang memenuhi syarat memilih dan dipilih menjadi Kepala desa.

Penegasan aturan ini sekaligus mendistorsi dominasi politik elit tradisional

yang sebelumnya selalu menduduki jabatan kepala desa dan jabatan sosial

lain. Hasil dalam penelitian ini menemukan adanya pengaruh elit tradisional

desa dalam konteks pemilihan kepala desa yang yang selalu memanfaatkan

pengaruhnya mendukung dan memenangkan calon kepala desa tertentu.

Selain itu, studi (Jamal, 2021) Perangkat desa merupakan unsur

penyelenggara pemerintahan desa yang bertugas membantu kepala desa,

sebagai pembantu tugas kepala Desa. namun sering terjadi Pada saat

penyelenggaraan pemilihan kepala desa, posisi perangkat desa menjadi

6
dilematis Pertama, netral maka posisinya akan terancam jika calon yang

tepilih menjadi kepala desa bukan relasinya, dan yang kedua, mendukung

secara terangsalah calon independen dengan segala konsekuensinya. Dari

kedua opsi dilema tersebut, faktanya perangkat desa banyak yang lebih

memilih tidak netral dan mendukung salah satu calon kepala desa untuk

mengamankan posisinya. Studi (Miskan, 2018) di Desa Sitimerto,

Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri mengatakan bahwa perangkat desa

justru kerap digunakan sebagai sumber daya politik oleh calon incumbent

yang maju dalam Pilkades. Di desa Sitimerto Kabupaten Kediri,

penyelenggaraan pemilihan kepala desa telah membawa pengaruh bagi

birokrasi desa (eksekutif dan BPD) untuk terlibat dalam politik praktis

berupa dukungan politik terhadap calon incumbent yang maju dalam

pilkades. Dukungan birokrasi desa terbukti cukup efektif memenangkan

pemilihan kepala desa berdasarkan jumlah suara yang diperoleh oleh pihak

incumbent. Hal ini terjadi karena maraknya penggunaan politik uang

sebagai daya tarik keuntungan materi bagi perangkat desa dan kepastian

keberlangsungan jabatan sebagai perangkat desa yang dijamin oleh pihak

incumbent jika terpilih kembali menjadi kepala desa.

Dalam pemilihan kepala desa serentak justru mengalami banyak

dampak negatif dalam pelaksanaan nya. Seperti dalam studi (Rukoyah &

Wance, 2021) menyatakan pada pemilihan kepala desa di Kecamatan

Kemiri, Kabupaten Purworejo terdapat empat desa dengan kasus yang sama

yakni calon tunggal. Pada Desa Girimulyo periode 2012-2018 hanya diikuti

7
satu calon kepala desa karena calon lain tidak berani melawan incambent

disebabkan kuatnya pengaruh petahana yang bertarung pada pilkades

serentak. Pada Desa Sokogelap periode 2013-2019 hanya diikuti satu orang

calon kepala desa karena calon tersebut merupakan saudara dari mantan

kepala desa yang sudah dua kali menjabat sehingga menurut kalkulasi

politik calon lain pasti kalah. Pada Desa Kroyo Lor periode 2011-2017

hanya ada satu calon kepala desa yakni incambent yang masih kuat

pengaruhnya pada masyarakat sehingga tidak ada warga yang berani

mencalonkan diri. Pada Desa Kaliurip periode 20112017 hanya ada satu

calon kepala desa karena warga lain tidak ada yang memiliki kemampuan

dalam membiayai untuk pemilihan kepala desa. Studi (Septiani & Fitriyah,

2019) menemukan adanya dinasti politik dalam pemilihan kepala desa di

Desa Tenggeles. Hasil penelitian ini menunjukan kontestasi pemilihan

kepala desa yang menemukan antara bapak dan anak. Bapak sebagai

Cakades petahana menujuk sang anak untuk mencalonkan diri menjadi

kepala desa dengan alasan majunya sang anak sebagai wujud keberanian

generasi muda perempuan dan untuk memperkaya pengalaman. Padahal

sang anak maju sebagai cakades dikarenakan pasal 47C ayat 2. Sang anak

diajak maju sebagai cakades untuk menjadi calon boneka agar Pilkades

tidak dibatalkan.

Dalam studi (Mu’awanah, 2021) menemukan adanya praktik politik

uang (money politic) di Desa Rowotamtu Kec.Rambipuji Kab. Jember.

Dalam penelitian nya kedua kadidat calon kepala desa menggunakan praktik

8
yang sama namun dengan cara yang berbeda. Kadidat pertama

mengerahkan semua tim sukses untuk mencari masyarakat yang mau

memilih dirinya dengan membagikan sejumlah uang sebagai imbalannya.

Sedangkan kandidat calon yang kedua lebih memperkenalkan dirinya

dengan cara bersilaturahmi kerumah-rumah warga serta mengikuti acara

keagamaan yang didalamnya terjadi proses pemberian uang juga agar

mereka mau memilih dirinya. Studi (Pratiwi et al., 2020) mengungkapkan

bawasanya strategi pemasaran politik kepala desa petahana di Desa

Sidomukti yang mampu mempertahankan kekuasaannya selama tiga

periode. Faktor penting dalam pemenangan petahana yakni dengan

melibatkan birokrasi pemerintahan desa untuk melakukan kampanye dan

jaringan keluarganya yang cukup luas di Desa Sidomukti. Promosi yang

dilakukan calon adalah dengan melakukan kampanye secara terus menerus

yang tidak hanya terbatas pada periode kampanye saja, tetapi harga jual

yang ditetapkan calon adalah hasil kerja nyatanya atau keberhasilannya

dalam menerapkan program kerja pada saat menjabat dua periode

sebelumnya hal itu menjadi nilai tambah dirinya dimata masyarakat, karena

baiknya reputasi dan trade record calon mempengaruhi suara masyarakat

terhadap dirinya. Pada hasilnya calon dapat menjaga eksistensinya dengan

terpilih kembali menjadi kepala desa Sidomukti untuk kali ketiga

dipengaruhi oleh dirinya yang melibatkan birokrasi pemerintahan desa,

dengan menjadikan tiga kepala dusun yang ada di desa Sidomukti tim

sukses pemenangannya.

9
Banyaknya hal-hal negatif tersebut membuat pemilihan kepala desa

hanya sebagai ajang pertunjukan harga diri seseorang. Semua calon

menghalalkan berbagai cara untuk memenangkan kontestasi Pilkades. hal

ini justru sangat jauh dari prinsip demokrasi yang diharapkan. Dalam studi

(J & Saputra, 2021) mengemukakan dampak pasca pilkades di Desa Air

Liki Baru Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin. Dampak yang

ditumbulkan berupa bentuk-bentuk konflik yang muncul pasca pilkades

tahun 2016 yaitu konfilik pertentangan pribadi tidak mau menerima

program-program pembagunan desa tidak mau ikut gotong royong, tidak

mau ikut muslembangdes dan pertentangan politik, pelanggaran perdes,

politik uang dan nepotisme ada pun dampak yang terjadi terhadap

pembaunan desa yaitu terhambatnya pembangunan desa di bidang

insprastrukktur jalan desa. Sedangkan upaya penyelesaiaanya melalui

concialiation yaitu mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak

yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama dan

compromise dimana pihak-pihak yang terlibat mengurangi tuntutanya agar

tercapainya suatu penyelesaiaan konflik yang terjadi.

Maka penelitian ini hendak mencari tau lebih jauh tentang

kesesuaian pemilihan kepala desa secara elektoral. Pada penelitian sebelum

nya hanya sekedar menjelaskan imbas dari pemilihan umum secara elektoral

saja, belum jauh pada alasan mengapa pemilihan umum secara elektoral

menghasilkan legitimasi kekuasaan yang menghalalkan segala cara.

Penelitian ini hendak mencoba menguji melalui pintu masuk fenomena

10
pilkades dalam konteks pemilihan kepala desa secara elektoral yang di uji

oleh govermentality (membongkar) elektoral yang kompatibel dengan

sistem sosial dan karakteristik masyarakat desa.

F. Kerangka Konseptual

1. Demokrasi Deliberatif

Istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang

lalu dalam bahasa inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti

“konsultasi”,”menimbang-nimbang” atau biasa nya disebut pula

“musyawarah”. Teori demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri

pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukan apa

yang harus dilakukan oleh warganegara, melainkan pada prosedur

untuk menghasilkan aturan-aturan itu (Hardiman, 2009). Maka dari

itu, deliberatif merupakan sebuah ruang diskursus dengan metode

musyawarah yang mana hasil dari sebuah keputusan ditentukan

bersama.

Menurut (Hardiman, 2009) dalam bukunya Demokrasi

Deliberatif, Teori Demokrasi deliberatif adalah suatu pandangan

bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga

negara untuk berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada

level warga itu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada

level sistem politik. Dalam demokrasi deliberatif, keputusan

mayoritas suara dapat dikontrol oleh kedulatan rakyat. Masyarakat

11
yang sekiranya mengkritisi keputusan-keputusan maka akan disebut

masyarakat yang rasional.

Merujukkan pada deliberatif itu dengan apa yang sebenarnya

sudah hidup di masyarakat kita jauh sebelum Republik Indonesia

berdiri dan jauh sebelum negara-negara modern di Eropa berdiri.

Sebenarnya kan deliberatif demokrasi itu kan istilah tetapi bahwa

sesungguhnya substansinya adalah musyawarah dan itu merupakan

bagian dari ruhnya. Pada zaman Orde Baru tradisi musyawarah atau

semangat bermusyawarah atau semangat bergotong royong itu

dimanipulasi secara hegemonik menjadi semangat penyerahan total

atau mengafirmasi secara total terhadap apa yang dilakukan oleh

pihak penguasa. Karena apa, karena represi yang sangat kuat, represi

yang sangat luar biasa, dan manajemen ketakutan yang demikian

sempurna, kemudian mempengaruhi masyarakat menjadi tercerabut

antara kesadaran musyawarah sebagai bagian dari tindakan yang

dilakukan dengan sadar oleh kesadaran sebagai warga negara

menjadi bagaimana orang dimobilisir itu untuk memusyawarahkan

kesepakatan.

Demokrasi deliberatif memberikan sorotan tajam mengenai

bagaimana prosedur hukum itu dibentuk. Undang-undang, yang

diresmikan dalam demokrasi deliberatif, merupakan suatu dialog

antara mekanisme legislatif dan diskursus-diskursus, baik formal

maupun informal, dalam dinamika masyarakat sipil. Demokrasi

12
deliberatif memberikan ruang di luar kekuasaan administratif

negara. Ruang itu merupakan jaringan-jaringan komunikasi publik

dalam masyarakat sipil (Haliim, 2016). Demokrasi deliberatif

menempatkan masyarakat pada pada posisi yang emansipatoris

untuk melakukan kegiatan legislasi melalui ruang-ruang publik.

Dalam pengambiilan keputusan melibatkan seluruh elemen

masyarakat yang mana membentuk ruang diskursus yang menjadi

jembatan dalam menentukan sebuah keputusan. Ruang diskursus ini

menciptakan terjadinya timbal balik argumen secara rasional dan

emansipatoris oleh elemen masyarakat.

Kepala Desa adalah pejabat pemerintah desa yang

mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk

menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas

dari pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam memilih seorang

pemimpin dalam prinsip demokrasi deliberatif lebih menggunakan

pedekatan secara musyawarah oleh masyarakat desa. Dengan

membuat ruang musyawarah diharapakan masyarakat mampu

menentukan pemimpin yang sesuai dengan hati nurani masyarakat

desa. Pemimpin yang dipilih melalui ruang musyawarah menjadikan

seorang pemimpin yang memiliki integritas sesuai dengan hasrat

masyarakat karena jauh dari pengaruh politik dan dorongan elit.

Menurut (Sutoro, 2008), model demokrasi deliberatif merupakan

bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang dijiwai oleh tradisi

13
komunitarian. Demokrasi deliberatif berbeda sama sekali dengan

demokrasi perwakilan (representative democrarcy) dan demokrasi

langsung (direct democracy) hal penentuan pemimpin dan

mekanisme pembuatan keputusan. Penganjur demokrasi

deliberative menekankan, mekanisme penentuan pemimpin dan

pembuatan keputusan dilakukan dengan cara partisipasi warga

secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan

melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan.

2. Demokrasi Elektoral

Demokrasi elektoral adalah arena kompetisi dalam rangka

memilih untuk mendapatkan seseorang yang mampu menjadi

pemimpin dalam usaha mencapai ataupun mewujudkan cita-cita

bersama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bukan hanya

proses pelaksanaan demokrasinya yang penting melainkan juga

kualitas orang yang akan dipilih dan juga kiprahnya untuk

mewujudkan cita-cita bersama. Pemimpin yang bersaing maupun

yang terpilih harus mampu menyeimbangkan antara dinamika

keragaman demokrasi dengan keutuhan bangsa. Identitas demokrasi

yang ideal bertumpu pada “kesatuan dalam keanekaragaman” dan

pergaulan mengisyaratkan adanya konsensus dan konflik

(Wiratmaja, 2018)

14
Dalam era keterbukaan dan demokratisasi, bahkan negara-

negara yang tadinya totaliter, termasuk Indonesia pada masa orde

baru, pun harus belajar menerapkan demokrasi sesungguhnya.

Memang pemerintahan orde baru menggunakan demokrasi sebagai

landasan pemerintahannya. Tapi, dalam pelaksanaannya masih

terbatas pada demokrasi prosedural (prosedural democracy) dan

bukan berdemokrasi dalam arti sesungguhnya (substantive

democracy). Demokrasi prosedural atau biasa disebut elektoral

adalah demokrasi pemerintah yang menekankan pada prosedur

pelaksanaan demokrasi seperti bagaimana cara memilih pemerintah

dengan mengedapankan prinsip one man, one vote.

Pemilihan Kepala Desa yang sering disingkat dengan

Pilkades mungkin bukan istilah yang asing lagi untuk saat ini.

Sebagai wadah untuk menampung aspirasi politik masyarakat

sekaligus sarana pergantian atau kelanjutan pemerintahan Desa.

Pilkades diharapkan mampu memenuhi keinginan dan harapan

masyarakat desa, untuk mengangkat calon yang layak sebagai

Kepala Desa. Pilkades merupakan sebuah instrumen dalam

pembentukan pemerintahan modern dan demokratis. Pesta

demokrasi yang dilakukan ditingkat wilayah terkecil ini pada

dasarnya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan

pemerintah tentang tata cara penyelenggaraan pilkades. Electoral

process dalam Pilkades merupakan seluruh kegiatan yang terkait

15
secara langsung dengan Pilkades yang merujuk pada seleksi di

tingkat desa, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemilihan dan

pelantikan calon yang memperoleh suara terbanyak (Yuningsih &

Subekti, 2016).

G. Kerangka Berfikir

Secara konseptual, pemilihan kepala desa adalah salah satu bentuk

pesta demokrasi tingkat desa yang merupakan ajang kompetisi politik yang

begitu mengena kalau dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran politik bagi

masyarakat. Dalam menentukan calon kepala desa terdapat dua sistem

demokrasi yang pernah diterapkan desa dalam menentukan seorang

pemimpin. Pertama, demokrasi deliberatif merupakan sebuah sistem

demokrasi desa yang diterapkan sebelum orde baru, dalam menentukan

seorang pemimpin model ini menggunakan pendekatan musyawarah

mufakat yang mana musyawarah adalah tradisi yang sangat kental dengan

masyarakat desa. Kedua, demokrasi elektoral merupakan sebuah bentuk

demokrasi yang masih diterapkan hingga kini. Model ini lebih

mengedepankan pemilihan kepala desa dengan menggunakan pemumutan

suara. Penelitian ini hendak menguji pemilihan kepala desa secara elektoral

yang diuji dengan kompatibel (kesesuaian) dengan sistem dan karakteristik

masyarakat desa melalui pintu masuk fenomena pilkades. penelitian ini

tidak hanya sebatas mengetahui dampak dari pilkades secara elektoral, tidak

seperti penelitian sebelum-sebelum nya yang hanya sebatas menyajikan

16
kontestasi pilkades secara elektoral. Namun, penelitian ini lebih jauh pada

menguji demokrasi elektoral dalam pemilihan kepala desa apakah

kompatibel dengan sistem dan karakteristik masyarakat desa.

Gambar 1.1
Kerangka Pikir Kajian

Pemilihan Kepala Desa

Demokrasi Elektoral Fenomena


Pemilihan
(Pemilihan Umum)
Kepala Desa

Kompatibels

Sistem
Masyarakat Desa

Sumber: Olahan dari kerangka konseptual peneliti (2022)

17
H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang

menerapkan studi kepustakaan. Jenis penelitian Kualitatif yaitu

metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi

objek yang alamiah. Penelitian kualitatif adalah suatu proses

penelitian untuk memahami fenomena-fenomena manusia atau

sosial dengan menciptakan gambaran yang menyeluruh dan

kompleks yang dapat disajikan dengan kata-kata, melaporkan

pandangan terinci yang diperoleh dari sumber informan, serta

dilakukan dalam latar setting yang alamiah (Walidin et al., 2015)

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library

research), yaitu serangkaian penelitian yang berkenaan dengan

metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang obyek

penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan (buku,

ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen). Studi

kepustakaan yang dikemukaan oleh (Danandjaja, 2014) penelitian

kepustakaan adalah cara penelitian bibliogafi secara sistematik

ilmiah, yang meliputi pengumpulan bahan-bahan bibliografi, yang

berkaitan dengan sasaran penelitian; teknik pengumpulan dengan

metode kepustakaan; dan mengorganisa-sikan serta menyajikan

data-data.

18
2. Sumber Data

Merujuk pada jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti

adalah library research, maka sumber data yang digunakan adalah

sumber data sekunder yaitu publikasi pemerintah, catatan internal

organisasi, laporan, buku, artikel, jurnal, situs web dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

library research ini adalah berupa data-data kepustakaan yang telah

dipilih, dicari dan dianalisis. Mengingat data yang digunakan oleh

peneliti dari hasil karya tulis berupa jurnal maupun prosiding

nasional, maka dalam pengumpulan data ini peneliti menelusuri,

kemudian membaca dan mencatat hasil-hasil yang diperlukan untuk

memperoleh informasi yang berkaitan dengan pemilihan kepala

desa secara elektoral yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang

sudah dilakukan dan diterbitkan dalam jurnal online.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisa data peneliti menggunakan metode content

analysis (analisis isi) yaitu metode untuk mengumpulkan dan

menganalisis muatan dari sebuah teks. Teks dapat berupa kata-kata,

makna gambar, simbol, gagasan, tema, dan segala bentuk pesan

yang dapat dikomunikasikan. Menurut (Hamzah, 2019), analisis isi

dapat digunakan jika memenuhi syarat, yaitu:

19
a) Data yang tersedia sebagian besar terdiri dari bahan-bahan

yang terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, dan

naskah).

b) Ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu

sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut.

c) Peneliti memiliki kemampuan teknis mengolah data karena

mungkin sebagian dokumentasi bersifat sangat spesifik.

Dengan demikian peneliti dalam metode ini menganalisa

berdasarkan kajian tekstual yang ada dalam literatur tentang model

pembelajaran inquiry learning berbantuan media. Setelah

mendapatkan hasil analisis langkah terakhir adalah penarikan

kesimpulan.

20
BAB II

DEMOKRASI DELIBERATIF DAN ELEKTORAL DI RANAH DESA

Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah

berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan masyarakat

setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014). Kesatuan masyarakat hukum

merupakan organisasi pemerintahan. Ketika warga bersepakat menjadi kesatuan

masyarakat hukum (desa), maka akan melahirkan kekuasaan lokal (pemerintah

desa), desa harus tunduk dan patuh pada kedaulatan hukum negara.

Desa merupakan organisasi pemerintahan paling kecil, bawah, depan, dan

dekat dengan masyarakat (Eko, S;Khasanah, TI; Widuri, D; Handayani, S;

Handayani, N;Qomariyah, P;Aksa, S, 2014). Dijelaskan oleh Sutoro Eko dkk,

‘kecil’ karena cakupan wilayah dan tugas-tugas pemerintahan lebih kecil dibanding

kabupaten/ kota. ‘bawah’, desa merupakan organisasi pemerintahan yang langsung

menyatu dengan kehidupan sosial, budaya, ekonomi masyarakat sehari-hari. ‘dekat’

berarti secara administratif dan geografis, pemerintah desa dan warga mudah

dijangkau dan saling berhubungan.

Sutoro Eko dalam salah satu bukunya yang diberi judul ‘Regulasi Baru,

Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa’ menyebutkan bahwa desa sebagai

basis penghidupan dan kehidupan. Desa telah banyak memberikan manfaat seperti

21
halnya keamanan, sekolah, peradilan, dan lain sebagainya. Ditambahkan lagi

ditunjukan olehnya beberapa contoh studi untuk membuktikan memang desa

sebagai basis penghidupan dan kehidupan. Pada dasarnya yang terbangun dan

mejadi kekuatan adalah sebuah kearifan lokal.

Kearifan lokal mengandung pranata lokal atau sistem norma yang

mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, dan religi

yang tumbuh, berkembang, dan dianut masyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai

instrument untuk menjaga keteraturan interaksi antar warga masyarakat, dan

menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungan (Rachmad

Syafa’at, Saafroedin Bahar, I Nyoman Nurjaya, 2008 dalam Eko, 2015).

Nilai-nilai lokalitas dan adiluhung ini yang menjadi pegangan warga

sebagai pemilik absah desa maupun rakyat desa sebagai konsep politik dan

masyarakat yang secara sosiologis berada dalam pedesaan. Oleh karena itu, dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa diberlakukan asas utama

rekognisi (negara mengakui dan menghormati) dan subsidiaritas (memberikan

kewengan otonom) terhadap desa-desa di Indonesia.

Berangkat dari paparan diatas, guna merangkai benang merah untuk

menjawab ‘apakah pemilihan kepala desa secara elektoral kompatibel dengan

sistem sosial masyarakat desa?” Bab ini akan mendeskripsikan sistem deliberasi

dan sistem elektoral di ranah desa. Dijabarkan bagaimana masyarakat desa hidup

dan menghidupi desa, bagaimana persoalan demi persoalan diselesaikan dengan

cara masyarakat desa, dan gambaran elektoral yang masuk ke desa.

22
A. Demokrasi Deliberatif di Ranah Desa

F Budi Hardiman dalam salah satu bukunya yang diberi judul ‘Demokrasi

Deliberatif; Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori

Diskursus Jurgen Habermas’ memberikan gambaran mengenai makna

demokrasi deliberatif dan sebuah legitimasi. Dijelaskan olehnya, bahwasanya

istilah ‘deliberasi’ yang dalam bahasa Latin ‘deliberatio’, kemudian dalam

bahasa Inggris menjadi ‘deliberation’, memiliki arti ‘konsultasi’, ‘menimbang-

nimbang’, atau lebih akrab dikenal sebagai ‘musyawarah’. Dalam hal ini,

ditempatkan sebagai urusan publik atau kebersamaan secara politis.

Teori demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar

aturan-aturan tertentu yang menunjukan apa yang harus dilakukan oleh warga

negara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu

(Hardiman, 2009). Penulis disini memahami intisari dalam deliberatif ialah

sebuah diskursus di ranah publik. Opini, aspirasi, buah bibir, hajat hidup orang

banyak artinya tidak patut hanya dihitung, melainkan didengarkan dan

dirumuskan menjadi sebuah formula untuk menyelesaikannya. Formula

demokratis bercorak deliberatif berarti mempertimbangkan untuk kepentingan

umum atau hajat hidup orang banyak.

Proses deliberatif menekankan pada dua hal, yakni ‘ruang publik’ dan

‘ekspresi warga’. Ketika, diawal dipahami secara sederhana ialah

‘musyawarah’, maka dapat diartikan sebagai ruang publik. Dalam ruang publik

terjadi interaksi dialogis untuk hajat hidup orang banyak, artinya sebagai

ekspresi warga. Dalam konteks ‘ruang publik’ dan ‘ekspresi warga’ dapat

23
ditarik benang merah yang berujung pada sebuah legitimasi. Yang dimaksud

legitimasi ialah keabsahan atas keputusan dialogis yang dihasilkan di dalam

ruang publik. Untuk mencapai legitimasi ruang publik (musyawarah)

dihasilkan dalam berbagai bentuk.

Ruang publik (musyawarah) tidak dapat semata-mata disederhanakan

sebatas musyawarah desa, melainkan sebagai bentuk dialogis antar warga desa

sebagai pemilik absah desa untuk berbicara apa yang akan dikehendaki

bersama. Musyawarah desa sebagaimana termasuk salah satu kewenangan desa

dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa, namun tidak melulu dipahami

secara administratif birokratis yang berlangsung didasari, dipertimbangkan,

dijalankan, dan menghasilkan turunan ataupun modifikasi aturan-aturan.

Ruang publik di ranah desa yang dimaksud sebagai musyawarah ini

memiliki bentuk yang terbentuk atas kondisi sosial untuk mewujudkan

‘ekspresi warga’. Ada berbagai bentuk yang lazim terjadi di desa, seperti

halnya model penyelesaian konflik secara kekeluargaan. Upaya penyelesaian

konflik merupakan sebuah ruang publik di desa yang disadari dan sarat akan

dialog menciptakan legitimasi kuat atas apa yang terjadi. Hal semacam ini,

seringkali hadir sebagai sebuah bentuk ekspresi warga desa berdasarkan nilai

nilai lokalitas yang ditumbuh di lingkungannya.

Penelitian Danas Aswim dkk, yang mencoba mengambil lanskap di Desa

Ribang, Kecamatan Roting, Kabupaten Sikka menunjukan betapa pentingnya

sebuah proses mediasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa dalam

menyelesaikan sengketa kepemilikan tanah. Padahal, kasus semacam ini dapat

24
berbuntut panjang bila dibawa ke lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa

tanah salah satu metode yang biasa digunakan oleh pihak desa adalah dengan

proses mediasi (Aswim, D., Kasim, AM, Florita, M, 2022).

Selain contoh diatas, terdapat ruang publik yang telah lama terbangun di

daerah jawa ada yang namanya ‘rembuk desa’, kemudian ‘Kerapatan Adat’ di

Nagari Sumatera Barat, ‘Saniri’ di Maluku, ‘Gawe Rapah’ di Lombok,

‘Kombongan’ di Toraja, ‘Paruman’ di Bali (Eko, 2015). Ruang semacam ini

merupakan ruang akan bagaimana hajat hidup orang banyak di bicarakan sejak

turun temurun. Dengan berbagai sebutan khas daerah masing-masing, hal

semacam ini merupakan tradisi lokal masyarakat Indonesia.

Ruang-ruang seperti halnya rembuk desa, saniri, gawe rapah, kerapatan

adat, tentunya tidak melulu berjalan dengan mulus, namun dalam praktiknya

terdapat beberapa tokoh dalam ruang tersebut yang mendominasi. Hal ini dapat

terjadi dimanapun dan dapat diukur dengan tingkat kesepahaman orang yang

terlibat terhadap materi yang di bicarakan. Tetapi, hal semacam ini masih dapat

dikatakan sebagai suatu proses deliberasi, meskipun kesannya menjadi

formalistik.

Penelitian yang dilakukan di desa Guwosari dan Sendangsari Kabupaten

Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Tri Purnomo Raharjo dkk,

menunjukan hal seperti demikian. Penelitiannya berfokus mengkaji proses

musyawarah perencanaan pembangunan desa. Musrenbangdes yang dilakukan

diawali dari dusun dan kelompok masyarakat yang ada di desa, namun banyak

25
peserta musrenbangdes yang tidak memahami intisari dari musrenbangdes.

Dalam bahasa Tri Purnomo dkk, dikatakan ‘Formalitistik’.

Apapun yang terjadi didalam forum merupakan sebuah dialektika untuk

membicarakan ekspresi warga. Masih di penelitian Tri Purnomo dkk,

disebutkan pula, terutama di desa Guwosari. Ruang publik juga dikembangkan

dengan memberi kesempatan kepada kelompok-kelompok yang ada di desa

untuk menyelenggarakan musyawarah di tingkat desa dan difasilitiasi oleh

Pemerintah Desa. Forum-forum digunakan untuk menyampaikan program

kerja dan menampung aspirasi masyarakat (Raharjo, TP; Suminar, S; Winarti,

SE; Saptaningtyas, H, 2021).

Dapat kita ketahui dan pelajari, ternyata ruang publik yang terbangun tidak

melulu secara formal dan terikat dengan aturan administratif-birokratis,

melainkan dapat muncul dan dimunculkan atas prakarsa pemerintah desa

maupun masyarakat sendiri. Ekspresi warga tidak hanya menjadi angin lalu,

namun bak gayung bersambut dengan pemerintah desa yang menjadikan

ekspresi warga mempunyai keabsahan (legitimasi).

B. Elektoralisme di Ranah Desa

Dalam arena pemerintahan, rakyat diletakan sebagai konsep politik yang

membentuk pemerintah untuk memerintah negara supaya melayani warga.

Mengapa sudah bukan lagi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat? Karena

warga adalah pemilik absah negara. Jadi, dalam demokrasi sudah berlaku dari

rakyat, oleh rakyat, untuk warga. Salah satu ciri utama dari demokrasi adalah

26
prinsip tentang kesetaraan politik, yaitu pengertian bahwa kekuasaan politik

harus seluas dan serata mungkin (Heywood, 2014).

Demokrasi sudah tidak asing lagi bagi rakyat, kesadaran dan pemahaman

yang terjadi hanyalah sebatas pemilihan presiden, anggota dewan, kepala

daerah, dan kepala desa. Bahkan, dalam menentukan apapun bila dilaksanakan

dengan pemilihan merupakan sebuah demokrasi. Secara sederhana itulah fakta

yang seringkali kita jumpai di lapangan. Dalam pemahaman penulis, inilah

realitas kongkrit yang dipahami oleh rakyat. Maka dari itu, sering disebut

dengan pesta demokrasi adalah pesta rakyat untuk memilih. Suara rakyat

adalah suara hitungan dan bukan suara untuk didengar.

Tidaklah salah pemaknaan pemilihan umum (elektoral) adalah bentuk

demokrasi. Demokrasi elektoral adalah arena kompetisi dalam rangka memilih

untuk mendapatkan seseorang yang mampu menjadi pemimpin dalam usaha

mencapai atau mewujudkan cita-cita bersama (Wiratmaja, 2018). Dengan

demikian, kualitas orang yang akan dipilih dan kiprahnya untuk mewujudkan

cita-cita bersama menjadi penting. Figur dalam demokrasi tidak kalah penting

dari proses jalannya demokrasi.

Elektoralisme di ranah desa, sering dijumpai pada pemilihan kepala desa

(Pilkades). Suka tidak suka, mau tidak mau, pilkades dengan proses votting

merupakan sebuah elektoralisme. Suara rakyat di desa amat jelas dihitung dan

bukan didengar. Padahal, desa adalah jangkauan kecil di republik. Pemerintah

desa adalah pemerintah paling kecil yang diakui oleh negara. Politik yang

27
dikedepankan dapat beralih hanya sebatas mencari dan mempertahankan

kekuasaan, bukan lagi kekuatan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Pilkades sendiri mempunyai aturan turunan dari undang-undang desa yang

telah mengaturnya. Meskipun, isi pilkades dalam Undang-Undang Desa

Nomor 6 Tahun 2014 dapat digolongkan dan terarah pada elektoralisme

tersendiri. Diatur didalamnya persyarataan, aturan pemilihan, hingga

pelantikannya, itupun belum ditambah dengan aturan turunannya yang begitu

rigid dan mengikat. Inilah yang memang terjadi di beberapa desa Indonesia,

grand design pilkades yang telah menjadi proses elektoralisme.

C. Karakteristik Masyarakat Pedesaan

Sistem sosial di pedesaan tentunya dilihat dari ciri khas yang tumbuh dan

muncul di desa. Penulis meyakini bahwa satu desa mempunyai seribu satu cerita.

Maka dari itu, penulis teringat dengan petuah jawa, ‘Desa Mawa Cara, Negara

Mawa Tata’. Desa Mawa Cara itu berarti desa mempunyai cara, sedangkan

negara mawa tata berarti negara memiliki tatanan. Ruang-ruang publik yang

terbangun atas ekspresi warga ini adalah sebuah bentuk dari yang dinamakan

desa mawa cara. Legitimasi berangkat dari aturan dari negara hingga desa.

Cara desa bagi penulis adalah realitas yang terjadi di pedesaan. Bagaimana

cara hidup masyarakat desa dan bagaimana cara masyarakat menghidupi

desanya. Tata negara merupakan aturan dari negara yang seyogyanya menjadi

legitimasi atas apa yang terjadi di desa. Dalam pandangan penulis, kedua hal ini

yang membentuk sistem sosial yang terjadi di pedesaan. Tidak heran jikalau para

28
pendiri bangsa menjatuhkan pilihan terhadap negara kesatuan sebagai bentuk

dari negara Indonesia. Sudah sejak dahulu disadari bahwanya desa memiliki

keberagaman dan karakteristik yang berbeda-beda.

Murdiyanto dalam bukunya ‘Sosiologi perdesaan pengantar untuk

memahami masyarakat desa’ menyebutkan karakteristik masyarakat desa di

perdesaan dapat dilihat dari sisi demografi, ekonomi, sosial budaya, dan

psikologi masyarakat. Setidaknya masyarakat desa memiliki karakteristik: (1)

Hidup adalah persoalan kelansungan hidup; (2) Tanah adalah dasar utama

kehidupan; (3) keluarga adalah fokus utama kehidupan sosial; (4) kehidupan

desa adalah mengatur masyarakat sekitar.

1. Karakteristik Masyarakat Desa di Pedesaan Jawa;

Franz Magnis Suseno dalam salah satu bukunya yang berjudul‘ Etika

Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa’

menerangkan dengan gamblang bagaimana perilaku masyarakat jawa.

Orang jawa dapat dibedakan menjadi dua golongan sosial: (1) wong cilik

(orang kecil) yang terdiri dari mayoritas petani dan berpendapatan rendah

di kota, dan (2) Kaum priyayi yang tidak bekerja secara kasar, diantaranya

Pegawai dari pelbagai tingkat dan cabang, mulai dari guru, pegawai kantor

pos, kereta api di kota-kota kecil, termasuk juga kaum intelektual.

Desa adalah basis agraris masyarakat jawa, bahkan menjadi tatanan

sosial tradisional terpenting diatas keluarga. Dalam pengertian lain, desa di

jawa dianggap juga termasuk sawah, tegalan, dan tanah untuk mendirikan

rumah diatasnya. Karena anggapan demikian, desa menjadi tanah tumpah

29
darah, mempunyai nilai lebih tersendiri dengan keberadaan tanah bagi

masyarakat jawa. Ditambah lagi, kepercayaan bagi orang-orang desa di

jawa turut menuntun pola kehidupannya. Penghormatan terhadap nenek

moyang menjadi nilai tersendiri dalam kehidupan di pedesaan jawa.

Hubungan sosial di desa didasari sistem gotong-royong yang

mengenal pelbagai bentuk tradisional. Gotong royong dipahami sebagai

perluasan hubungan kekerabatan yang memiliki pengaruh kuat atas

kompleksitas hubungan interpersonal di seluruh desa. Berbagai bentuk kerja

yang diorganisasikan di tingkat desa, tidak terdapat kelompok yang

terorganisir demi tujuan ekonomis, ritual, atau lain-lain. Masyarakat di

pedesaan jawa justru menganggap agama sebagai urusan pribadi. Mereka

memegang filosofi yang sama yang bersumber dari ajaran nenek moyang.

Ada dua kaidah dasar masyarakat di pedesaan jawa, yakni prinsip

rukun dan prinsip hormat. Rukun menunjuk pada cara bertindak yang berarti

menghilangkan tanda-tanda ketengangan dalam masyarakat. Dalam

kerukunan, diciptakan masyarakat jawa bukan karena membuat atau

menciptakan sesuatu yang baru, melainkan menjaga ketenangan yang sudah

ada. Prinsip hormat menunjuk pada cara bicara dan membawa diri terhadap

orang lain. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing meresapi

seluruh kehidupan masyasrakat jawa.

2. Karakteristik Masyarakat Pedesaan Bali;

Pedesaan Bali memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan

pedesaan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, maupun berbagai daerah

30
lainnya. Di Bali, kita mengenal dua sebutan desa, yakni desa dinas dan desa

adat. Keduanya ini memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat sipil,

kepemimpinan lokal, dan proses demokratisasi. Dalam membahas

karakteristik di pedesaan Bali, penulis hanya merujuk pada satu buku yang

berjudul ‘Kepemimpinan Lokal di Bali: Potret Dualisme Menuju Digital’

yang ditulis oleh I Nyoman Subanda dan Eddy Supriyadinata Gorda.

Bagi penulis, buku ini telah menggali secara dalam bagaimana

kepemimpinan lokal (desa) di Bali. Mulai dari filosofi kehidupan di bali,

desa adat dan dinas di bali, penyelenggaran pemerintahan desa, masyarakat

sipil di dua desa, dan potensi konfliknya. Hubungan antara dua institusi

(desa adat) dan (desa dinas) merupakan sebuah hubungan kerja sama dalam

kehidupan sosial di Bali. Dalam buku ini desa, salah saatunya difokuskan

sebagai kajian kepemimpinan lokal.

Variasi kepemimpinan di Bali dijelaskan dalam buku ini ada empat

(4); Pertama, satu wilayah desa dinas terdapat satu desa adat; Kedua, satu

wilayah desa dinas terdapat beberapa desa adat; Ketiga, beberapa wilayah

di desa dinas terdapat satu wilayah desa adat; Empat, satu wilayah desa

dinas meliputi beberapa desa adat dan sebagian desa adat lain. Desa adat di

Bali memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Satu desa adat dibali

memiliki ciri khasnya masing-masing. Hal ini menjadi konsekuensi logis

bagi dualisme desa yang ada di Bali.

Desa adat di Bali juga digolongan menjadi tiga (3); Pertama, Desa

Adat Bali Mule (Bali Age), desa ini terdapat di pegunungan bali, tradisinya

31
pra Majapahit, status kedudukan didasarkan pada senioritas; Kedua, Desa

Apanega/ Desa Adat Majapahit, sistem kepemimpinannya tunggal, dipilih

dengan musyarawah mufakat berdasarkan keturunan, hukum desa

mengikuti hukum Hindhu, berada di wilayah daratan Bali; Ketiga, Desa

Adat Anyar, sistem kepemimpinan tunggal dan terletak di Buleleng maupun

Jembrana, terjadi akibat perpindahan penduduk dari wilayah Bali sendiri.

Desa dinas, bagi masyarakat bali merupakan desa administrasi yang

tugas dan wewenangnya terkait dengan pemerintahan. Dimensi masyarakat

sipil di desa dinas dilihat dari beberapa ragam yang ada. Seperti surveillance

atau pengawasan, tingkat partsisipasi, komitmen menjaga heterogenitas,

tingkat toleransi, dan solusi-solusi dalam mengatasi konflik. Pengawasan

yang ada di desa dinas bertumpu pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam

segenap aktivitas administarasi, management, maupun pemerintahan diBali.

Partisipasi masyarakat di desa dinas menunjukan kemunduran dari

yang semula aktif menjadi pasif. Hal ini disebabkan oleh kesalahan model

kebijakan yang diterapkan, yakni kerap menerapkan bantuan-bantuan sosial

yang menidurkan masyarakat. Model program pembangunan yang terjadi

lebih banyak mendorong infrastruktur pada pembangunan desa. Untuk,

pemberdayaan masyarakat sering terhambat oleg regulasi supra lokal (supra

desa). Dalam pengelolaan anggaran berpakem yang diformat negara sebagai

legitimasi atau keabsahan.

32
Toleransi yang dijunjung dibali cukup baik, karena Bali yang

mengedepankan pariwisata dan warga desa yang sudah multikultural, baik

dari segi ras, agama, suku, bahkan kewarganegaraan. Ditemui dalam

aparatur perangkat desa, sudah tidak lagi didominasi oleh masyarakat Bali

yang Hindu. Namun, ada beberapa perangkat di dusun yang beragama non

Hindu atau warga yang bukan suku Bali. Dalam hal ini, Bali sudah

dikatakan cukup baik dan stabil dalam membangun habitat interaksi sosial

antar masyarakat.

3. Karakteristik Masyarakat Pedesaan Kalimantan;

Suku Dayak adalah nama yang diberi oleh penjajah kepada penghuni

pedalaman pulau borneo yang mendiami pulau Kalimantan (Brunei,

Malaysia), yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri

dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan

Utara, dan Kalimantan Selatan (Bella, R; Gujali, AI; Dewi, RS; Lion, E;

Maryam, 2021). Perkembangan suku di Kalimantan memiliki karakteristik

tersendiri dibandingkan pulau lainya (Pitoyo dan Tri Wahyudi, 2017).

Masri Sigarimbun membagi beberapa kelompok suku dayak

berdasarkan kewilayahannya. Pertama, Kelompok Barito yang tersebar di

belahan selatan Kalimantan. Yang termasuk di kelompok ini adalah orang

Ngaju, Siang, Murung, Luang, Ma’anyan, Benua, Bentian, dan Tunjung.

Kedua, Kelompok Barat yang dinamakan Dayak Daratan atau Bidayuh.

Kelompok ini meliputi beberapa suku di Serawak Barat dan Kalimantan

33
Barat. Mereka punya rumah besar sebagai balai musyarawarah yang

didalamnya terpajang tengkorak.

Masih dalam pengolongan suku Dayak, untuk yang ketiga, adalah

Kelompok-Kelompok Timur Laut. Kelompok ini terdapat di Sabah yang

meliputi orang dusun atau Kadazan, Murut Dataran, dan beberapa kelompok

di sekitar Brunei dan pantai Kalimantan Timur. Kelompok Kadazan lebih

banyak bersawah dan beternak, namun ada yang berladang menanam padi.

Keempat, Kelompok-Kelompok Utara Tengah yang mendiami bagian utara

Kalimantan. Terdiri dari orang Kalabit, Lun Dayeh, Lunn Bawang, Kajang,

dan Melanau sebelah barat.

Kelima, Suku Pean yang merupakan pengembara di daerah

Kalimantan. Ini terdapat dimana-mana, kecuali di Sabah. Mobilitas

masyarakat Pean tinggi, namun sekarang lebih memilih menetap dan

menanam padi dan ubi kayu. Keenam, Kelompok Kayan Kenyah yang

tinggal di Kalimantan Timur dan Pedalaman Serawak. Masyarakat disini

berasal dari dataran tinggi Apo Kayan dan menyebar ke daerah Mahakam.

Masyarakat disini mempunyai stratifikasi yang terdiri dari bangsawan,orang

biasa, dan budak.

4. Karakteristik Masyarakat Desa Pedesaan Sumatera;

Desa-desa di sumatera sebetulnya memiliki nama-nama yang unik

dalam mengistilahkan desa. Seperti halnya di Jawa ada dua hal, yakni desa

dan kalurahan. Desa di Sumatera ada yang dikenal dengan sebutan Dusun

atau Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Gapong di Aceh,

34
dan lain sebagainya. Pergeseran budaya di Sumatera juga memiliki

beberapa etnis dan suku yang mendiami desa-desa disini. Sama halnya di

Kalimantan, Bali, maupun daerah lainnya.

Sumatera Barat memiliki masyarakat yang beragaim baik dari suku

maupun agama. Penduduk asli adalah etnik Minangkabau dan memeluk

Agama Islam (Nafriandi, 2016). Masyarakat Minang dikenal dengan

ketaatannya pada agama islam, kesetiaan pada sistem keluarga bercorak

keibuan, dan kecenderungan untuk merantau (Tsuyoshi Kato, 2005 dalam

Nafriadi, 2016). Budaya Minang didapati dari stratifikasi Nagari seperti

halnya stratifikasi berdasarkan keturunan dalam suatu Nagari.

Sumatera Selatan lebih banyak menerima transmigran dari Jawa

sekitar tahun 1980-an, terutama wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari

sini mata pencaharian umumnya masyarakat Sumatera Selatan adalah

bertani dan berladang. Kepemimpinan di Sumatera Selatan terbentuk atas

bentuk kesatuan hidup sosial yang telah lama hidup. Seperti halnya kategori

‘Marga’ di Batak atau ‘Suku’ di Minangkabau. (Radiawan dan Hidayah,

1993).

Sumatera Utara terdapat beberapa etnik yaitu Melayu, Simalungun,

Toba, Mandailing, Angkola, Pakpak, Karo, dan Nias sebagai etnik tuan

rumah (Damanik, 2018). Kehidupan mayoritas di Sumatera Utara mengenal

yang namanya konsep kekerabatan. Tidak asing lagi bagi kita, kekerabatan

yang dimaksud adalah sebuah keturunan ‘marga’. Dengan berkembangnya

35
konsep ini dapat dikatakan menjelma sebagai elit-elit lokal untuk

menguasasi sistem sosial yang terjadi.

5. Karakteristik Masyarakat di Pedesaan Papua;

Papua merupakan daerah di kawasan timur Indonesia, yang terdiri

juga oleh beberapa suku. Terdapat beberapa suku di Papua, seperti halnya

Suku Doreri, Kuri, Simuri, Irarutu, Sebyar, Moscona, Mairasi, Kambouw,

Onim, Sekar, Maibrat, Tehit, Imeko, Moi, Tipin, Maya, Bintuni, Demta,

Genyem, Guai, Hattam, Jakui, Kapauku, Kiman, Mairasi, Mimika, Moni,

dan masih banyak lainya (Solehun dkk, 2019).

Secara umum sistem kepemimpinan yang ada di wilayah Papua

Barat secara tradisional dapat di bagi menjadi dua bentuk kepemimpinan

tradisional yaitu sistem kerajaan dan sistem campuran. Ciri utama dari

sistem kerajaan bahwa kedudukan pemimpin menurut tradisi adalah

pewarisan kepada anak lelaki sulung dari pemimpin yang sedang berkuasa.

Jika tidak ada anak lelaki atau dianggap tidak memenuhi syarat karena cacat

fisik atau mental terganggu maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh

seorang adik atau saudara saudara laki –laki ayah (Deda dan Mofu, 2014).

Masyarakat Papua memiliki kearifan lokal, baik yang berupa budaya

ide, maupun yang berupa perilku social, dan produk budaya (Wayan I,

2021). Menurut Don. A.L. Flashy, ke tujuh wilayah adat/budaya ini

didasarkan atas sembilan kreteria, yaitu: 1. Sistem kekerabatan; 2. Mata

pencaharian hidup : berkebun, berladang, nelayan; 3. Kepercayaan: memuja

36
gunung, laut, bumi sebagai ibu pertiwi; 4. Bahasa, termasuk rumpun bahasa

Papua dan Austronesia; 5. Teknologi dan ilmu pengetahuan;

Lebih lanjut, 6. Kesenian dan waktu luang karena banyak punya

waktu luang, orang Asmat banyak bisa mengukir; 7. pacaraTata letak secara

geografis, di rawa-rawa, di gunung, lembah; 8. Interelasi dengan orang luar,

kapan berinteraksi dengan dunia luar misalnya orang pantai seperti

Bomberai lebih awal berinteraksi dengan orang luar karena letaknya

dipantai; 9. Sistem pemerintahan, ada aliansi, ondofolo, Ondoafi (Sentani),

Raja (Fakfak, Domberai, Bomberai, meskipun tak ada istana), Mambri

(orang kuat, panglima perang di Biak). (wawancra dengan Don A.L. Flashy,

7 Mei 2018, di ISBI Tanah Papua; lihat juga Koentjaraningrat, 2009 Dalam

Wayan I, 2021).

37
BAB IV

DINAMIKA PEMILIHAN KEPALA DESA DAN RUANG PUBLIK PADA

RANAH DESA

Kajian bab II meletakan proses deliberatif dalam kerangka ‘ruang publik’ dan

‘ekspresi warga’. Ruang publik yang dimaksud merupakan musyawarah atau yang

terbentuk dengan nama lain di berbagai daerah. Kemudian ekspresi warga merupakan

aspirasi ataupun hajat hidup orang banyak. Pemilihan kepala desa (Pilkades), suka

tidak suka dan mau tidak mau, merupakan sebuah proses yang tergolong dalam

elektoralisme di ranah desa. Gambaran besar pilkades dalam Undang-Undang Desa

beserta turunanya telah mengikat dan rinci mengarahkan pada prosesi elektoralisme

yang menjalar menjadi fakta di desa-desa di Indonesia.

Kajian pada bab III yang berbicara potret pemilihan kepala desa di berbagai

daerah ternyata menunjukan sebuah siasat-siasat yang menunjukan kearifan lokal di

Desa dalam menjalani proses elektoralisme. Terdapat di berbagai daerah, proses

elektoralisme dengan segala aturanya dijalankan hanyalah prosedural belaka, namun

posisi pemegang kekuasaan telah dirumuskan berdasarkan musyawarah yang

sebelumnya. Meskipun juga ada yang menjalankan prosesi elektoralisme pemilihan

kepala desa dengan aturan yang berlaku maupun bertambah sesuai dengan kebutuhan

dan kehendak masyarakat desa sendiri.

53
Berangkat dari hal diatas, maka menghantarkan kita pada pembahasan di bab

ini, yakni dinamika pemilihan kepala desa. Pada dasarnya, dinamika pilkdes ini juga

merupakan salah satu serangkaian penguatan untuk menjawab sebuah persoalan

diawal. Yakni, guna untuk melihat sesuai dan tidaknya dengan kehidupan sosial

masyarakat desa. Ada beberapa hal yang akan dijabarkan pada serangkaian penulisan

bab ini. Pembahasan akan dimulai dari dinamika sebelum bergulirnya pilkades,

kemudian pada saat pilkdes berlangsung, dan setelah pilkades.

A. Dinamika Sebelum Pemilihan Kepala Desa (Pra-Pilkades)

Pemilihan Kepala Desa atau yang disingkat pilkades menjadi agenda wajib enam

tahunan di desa. Tentunya hal ini menjadi salah satu topik kajian yang menarik bagi

peneliti politik, demokrasi, desa, dan lain sebagainya. Pilkades adalah satu rangkaian

proses demokratisasi secara politik yang metodenya berbentuk elektoralisme. Desa

sebagai wadah, arena, organisiasi paling kecil yang memiliki pemerintahan sendiri

serta diakui oleh negara, namun diatur sedemikian rupa, terumata dalam pemilihan

kepala desa. Pra pilkades merupakan satu tahapan awal menuju praktik pencoblosan

kepala desa.

Dinamika rangkaian pemilihan kepala desa, minimal tidak dapat kita petakan awal

dari dinamika atau gonjang-ganjing sebelum pilkades. Dinamika sebelum pilkades ini

sebetulnya bentuk awal kehidupan sosial masyarakat desa. Pra pilkades juga

merupakan penentu apakah sebuah pemilihan kepala desa adalah bentuk murni

kontestasi atau hanya sebatas formalitas saja. Karena ada beberapa bentuk yang peneliti

54
temukan dalam studi kepustakaan. Bentuk-bentuk itu adalah kebiasaan masyarakat

desa dalam mensirkulasi kepemimpinan.

Pertama, pemilihan kepala desa diartikan hanyalah sebagai simbolik belaka.

penulis mengartikan hal ini semacam setting forum. Hal seperti ini lazim terjadi di

desa-desa adat, di pulau Bali misalnya. Khusus desa adat di Bali, sistem pemilihannya

tetap mengunakan votting, namun pemenangnya sudah diarahkan ke keturunan yang

dikehendaki, seperti rekayasa pemilihan. Rekayasa-rekayasa seperti ini biasanya

terjadi di desa-desa adat. Pengaruh adat yang sangat kuat, membentuk segala hal yang

ideal berdasarkan keyakinan adat. Hal ini dapat dikatakan sebagai kategori kontestasi

semu.

Kedua, munculnya beberapa calon kepala desa yang hanya bagian dari keluarga.

Maksudnya, para kadidat kepala desa satu lingkungan keluarga. Ini tidak bisa diartikan

misalnya ‘loh, di desa kan kebanyakan memang semuanya saudara sekeluarga’. Yang

dimaksud adalah para kandidat itu calon pertama adalah suami, calon kedua istri. Hal

tersebut banyak ditemukan, terutama kontestasi di desa-desa jawa. Banyak ditemukan

pada potret pemilihan kepala desa di pulau jawa dan sudah dijelaskan secara gamblang

di bab tiga.

Ketiga, pemilihan kepala desa yang dilakukan secara murni. Yang dimaksud

dalam hal ini adalah pilkades murni elektoralisme. Banyak ditemukan bahwasanya

masyarakat desa begitu antusias dalam pergantian pemimpinnya. Sampai, masyarakat

desa turut memberikan persyaratan khusus. Adapun persyaratannya misalnya, harus

55
menetap di desa yang bersangkutan. Ini lazim terjadi di jawa, kemudian di sumatera,

dan kalimantan. Dinamika seperti ini ialah hal umum dan sering terjadi.

Keempat, sistem penunjukan langsung. Penunjukan seperti ini juga erat dengan

keadatan. Tapi, berbeda dengan yang ditemukan atau terjadi di pulau Bali, Sumatera,

dan Kalimantan. Hal seperti ini, sering kali terjadi di Papua. Sama halnya yang

dijelaskan pada bab tiga, kalau di Papua terdapat elit-elit lokal yang bermain. Jadi,

pilkades hanyalah formalitas saja, klaimnya suara elit adalah suara masyarakat. Yang

paling parah terjadi adalah penujukan langsung dan seumur hidup. Jadi, tidak ada yang

namanya sirkulasi kepemimpinan.

Keempat point yang dikemukakan diatas adalah temuan penulis melalui studi

kepustakaan yang menujukan dinamika sebelum terjadi pemilihan kepala desa. Penulis

dapat mengkategorikan ternyata ada dua bentuk terdahulu dalam pemilihan kepala

desa. Yakni kontestasi murni dan kontestasi rekayasa. Dalam kontestasi murni,

dinamika sebelum terjadinya pilkades ditemukan sebelum menentukan calon kepala

desa, ditetapkan syarat-syarat dan berjalan seperti ketentuan atau peraturan yang

berlaku.

Kemudian, kontestasi rekayasa ternyata banyak ditemukan. Jadi, kontestasi

dilaksanakan hanyalah sebuah simbolik saja. Namun, sebelum pilkades telah diketahui

siapa nanti yang jadi kepala desa, ada setting forum, kemudian banyak terjadi calon

yang sedarah atau sekeluarga. Lebih lagi ada yang bermodel penunjukan saja.

Penujukan dilakukan oleh elit-elit lokal di pedesaan, khususnya di Indonesia bagian

56
timur, biasanya ditentukan oleh kepala suku, adat, atau yang paling dihormati, ditakuti,

disegani, dan lain sebagainya.

B. Pada Saat Pelaksanaan Pilkades

Jika sebelumnya kita membicarakan pra atau sebelum pilkades yang secara garis

besar membentuk kontestasi murni dan kontestasi rekayasa maka ini akan memberikan

dampak pada saat jalannya pemilihan kepala desa. Pelaksanaan pilkades memberikan

warna tersendiri bagi demokrasi politik yang ada di pedesaan. Melalui studi

kepustakaan, penulis memetakan sedari awal tekait pelaksanaan pilkades. Minimal

tidak, ada beberapa hal yang sering kali dijumpai pada saat pilkades, dan itu adalah hal

sangat lazim di berbagai daerah. Tentunya tak lepas dari pembahasan-pembahasan

sebelumnya dalam skripsi ini.

Pertama, praktik politik uang (money politik) yang marak terjadi. Praktik politik

uang seolah-olah memang sudah teranggarkan menjadi biaya politik masing-masing

calon kepala desa. Praktek politik uang merupakan fenomena yang sangat mudah kita

jumpai dalam setiap pemilihan di Indonesia, termasuk pilkades. Membagikan uang dari

calon kepada pemilih bukan lagi bersifat cuma-cuma atau sukarela maupun bentuk

silaturahmi, namun sebagai sebuah bentuk transaksional. Memberikan uang sebagai

hubungan timbal-balik permintaan dukungan suara dari uang yang telah diberikan.

Kedua, terbentuknya tim sukses atau dengan nama lain di setiap daerah. Tim

sukses biasanya terdiri dari lobby-lobby elit pedesaan atau melalui satu marga bila di

pulau Sumatera. Ditemukan juga para calon kepala desa itu menang dalam kontestasi

57
karena dukungan keluarga, pendekatan hati nurani, sosialiasi intensif pada masyarakat

(Guno, 2019). Terbentuknya tim sukses atau dengan nama lain merupakan hal yang

lazim dan salah satu strategi politik para calon untuk memenangkan dirinya dalam

suatu kontestasi.

Ketiga, Voting yang diarahkan ke kades yang dikehendaki. Pemilihan kepala desa

semacam ini terjadi di Bali. Suara adat adalah suara desa. jadi, ini lebih mengarah pada

sebelum pemilihan kepala desa, forum itu sudah disetting. Pilkades hanyalah dianggap

sebagai prosedur. Namun, ini bukanlah seperti politik uang atau politik patron-klien.

Ibarat pertandingan sepakbola, pemilih hanyalah melihat seni sepakbolanya. Tapi, skor

atau hasil akhir pertandingan sudah diketahui siapa pemenangnya.

Keempat, sistem kampanye dan pencoblosan. Pilkades seperti ini banyak

ditemukan di berbagai desa di Indonesia. Kebanyakan pilkades bentuk ini merupakan

kontestasi murni bukan calon kepala desa sedarah maupun sekeluarga. Kampanye ini

merupakan tindak lanjut dari terbentuknya tim sukses kepala desa. Terkadang, ada

beberapa desa yang bagus penyelenggaraanya sampai menyelenggarakan debat calon

kepala desa. Selain itu, pencoblosan dilakukan secara profesional. Panitia

penyelenggara melakukan sesuatu dengan perimbangan-perimbangan peraturan yang

telah disepakati bersama.

Kelima, pilkades dilaksanakan dengan kebiasaan desa. Salah satunya di Papua,

yakni menggunakan ‘Noken’ sebagai alat pemilihan kepala desa. Noken yang diartikan

sebagai tas atau kantung ini digunakan sebagai kotak suara. Ada bentuk noken yang

diwakilkan kepada kepala suku. Ada juga noken gantung yang diserahkan langsung

58
oleh masyarakat dan dapat melihat langsung, plus telah disepakati. Pilkades ini adalah

bentuk khas atau kearifan lokal yang terjadi di desa-desa yang ada di Indonesia.

Keenam, penunjukan langsung. Pilkades yang dilakukan secara penunjukan

langsung berkorelasi dalam rekayasa kontestasi. Kontestasi yang dilakukan melalui

penunjukan oleh orang yang berpengaruh. Misalnya, kepala suku, adat, yang dituakan,

atau yang paling disegani dan dihormati. Dalam bentuk ini, pilkades dilakukan supaya

desa dapat diakui oleh pemerintah supra desa. Kebanyakan juga terjadi di desa-desa di

Papua. Ini bukan sudah lagi setting forum yang dianalogikan seperti permainan

sepakbola, melainkan murni kepentingan diatas kepentingan aktor terkuat di desa.

Dinamika pelaksaan pilkades diatas dijabarkan oleh penulis tentunya berkaitan

dengan apa yang terjadi pada pra-pilkades. Keenam point diatas dijabarkan oleh

penulis juga berkaca pada pembahasan-pembahasan sebelumya. Pembahasan yang ada

pada kajian bab dua dan tiga. Melalui bentuk kontestasi murni dan kontestasi rekayasa

yang menhadirkan fenomena pada sub bab pra pilkades, ternyata memunculkan enam

bentuk pada fenomena terjadi pilkades. Hal tersebut tidak berhenti pada saat pilkades

berlangsung. Namun, memiliki dampak atas kejadian setelah berlangsungnya pilkades

yang akan di bahas pada sub bab dibawah ini.

C. Dinamika Pasca Pemilihan Kepala Desa

Pemilihan kepala desa yang hadir dalam berbagai bentuk dan strategi yang telah

di beberkan dalam sub bab diatas menghantarkan kita pada pembahasan pasca dari

keenam bentuk tersebut. Penulis disini akan mencoba menguraikan apa yang terjadi

59
dan bentuknya juga seperti apa, akibat dari sebelum pemilihan kepala desa hingga

sudah terjadinya pemilihan kepala desa. Tentunya juga telah banyak para peneliti,

aktivis desa, penggiat desa, ataupun para pemerhati desa mengkaji rangkaian pilkades

termasuk dampaknya. Penulis melalui studi kepustakaan juga menemukan beberapa

hal terkait dengan dinamika pasca pilkades.

Pertama, terjadinya polarisasi yang akhirnya pada konflik sosial yang terbentuk.

Konflik ini terbentuk dari pilkades secara murni dan teroganisir. Dapat kita telaah

bahwasanya ketika gong kontestasi murni dimulai, para kandidat membentuk team

untuk perebut suara dan kepentingan atas kekuasaan yang akan didapat. Konflik

semacam ini memungkinkan terjadinya banyak hal. Seperti halnya, mengikisnya

kerukunan, patologi birokrasi desa, dan nantinya sentimen yang akan dipakai dalam

cara membangun desa. Konflik semacam ini biasanya terjadi atas kontestasi murni.

Kedua, hadirnya konflik sesaat. Disini, gejolak atas apa yang terjadi dalam

pemilihan kepala desa biasanya diselesaikan dengan cara masyarakat desa yang

memiliki adab dan adat yang beradab. Artinya, kearifan lokal khas desa masih

berjalan dengan baik. Hal semacam ini banyak di temukan di pedesaan jawa. Memang

pada saat pilkades terjadi gejolak ataupun kecurangan, namun diselesaikan dalam

musyawarah yang ditengahi oleh sesepuh atau yang tokoh yang dituakan. Desa

dianggap sebagai tanah kelahiran dan biasanya secara tidak langsung warga desa

dimaknai sebagai ikatan keluarga.

Ketiga, kuatnya kontrol sosial. Yang dimaksud disini adalah bertambah kuat

kontrol sosial yang terjadi bagi masyarakat desa. Lazim terjadi pada pemilihan kepala

60
desa banyak ditentukan oleh adat ataupun setting forum, yakni memilih kepala desa

namun diarahkan. Kontrol ini merupakan pengendalian masyarakat untuk terus

mematuhi aturan ataupun norma-norma yang berlaku di desa. Pada penulisan disini

bukanlah diartikan sebagai sebuah hegemoni. Namun, dalam konotasi positif untuk

masyarakat lebih untuk memaknai nilai-nilai yang dibangun merupakan tradisi yang

perlu untuk terus ditanamkan.

Keempat, hegemoni tokoh. Hegemoni disini biasanya terjadi pada pemilihan

kepala desa yang ditunjuk atau kebanyakan elite-elite desa yang bermain. Motif

terjadinya biasanya hanya untuk mempertahankan dan menambah kekuasaan.

Masyarakat desa menjadi pasif, yang artinya suka tidak suka, mau tidak mau,

menerima penunjukan langsung kepala desa sebagai kebiasaan. Nasib masyarakat

desa biasanya ditentukan oleh elite-elite di desa. Elite ini dapat berupa kepala suku,

adat, atau yang dituakan.

Kelima, sirkulasi elite pedesaan. Pergeseran elite dimaksudkan dengan munculya

orang-orang baru yang menjadi kepala desa. Hal ini biasa terjadi pada kontestasi

murni dalam pilkades. Hadirnya orang baru yang menjadi kades membawa narasi

perubahan bagi desa. Banyak kisah sukses yang terjadi, khususnya desa-desa jawa.

Gaya kepemimpinan yang dibawa lebih modern dengan mengedepankan

pengetahuan, skill, dan jejaring yang dimiliki. Gaya ini pengaruhnya begitu kuat

untuk kemajuan desa. Sehingga, dinamika pedesaan menjadi lebih hidup dan

melawan kultur lama yang hidup di desa.

61
D. Analisis Temuan Pilkades Dalam Studi Kepustakaan

Beberapa point diatas merupakan perubahan-perubahan ataupun dinamika yang

terjadi pasca pemilihan kepala desa. Sebagaimana diawal disampaikan, bahwasanya

pilkades merupakan sebuah rangkaian yang dapat diamati dari pra pilkades, saat

pilkades, dan pasca pilkades. Pasca pilkades merupakan dampak terakhir dari

rangkaian sebuah fenomena yang disebut pilkades. Pra pilkades membentuk apa yang

terjadi di pilkades, kemudian apa yang terjadi di pilkades membentuk apa yang terjadi

pasca pilkades.

Dalam dinamikanya kita dapat memetakan bahwasanya pemilihan kepala desa

memiliki dua bentuk, yakni kontestasi murni dan kontestasi semu. Sebelum terjadi

pemilihan kepala desa, dalam kontestasi murni mekanismenya terjadi secara

elektoralisme dan bersumber pada aturan-aturan yang berlaku. Kemudian, saat pilkades

terjadi politik uang, muncul tim sukses dan lobby-lobby politik, dan kampanye serta

coblosan. Dampaknya dapat berupa polarisasi dan konflik sosial, konflik sesaat, dan

sirkulasi elite pedesaan.

Kemudian bentuk kontestasi rekayasa, biasanya terjadi setting agenda, munculnya

calon kades sekeluarga, dan penunjukan langsung. Artinya pilkades hanyalah sebuah

simbol atau formalitas belaka. Hal ini memunculkan pemilihan dengan kebiasaan lokal,

votting yang diarahkan, dan penunjukan. Pasca pilkades terjadi kuatnya kontrol sosial

dari elite pedesaan dan hegemoni tokoh. Selengkapnya dapat disimak dalam tabel

dibawah ini.

62
Tabel 1.3 Dinamika Pemilihan Kepala Desa

Bentuk Pra Pilkades Saat Pilkades Pasca Pilkades

Praktik Politik Uang Polarisasi dan konflik

Murni Pemilihan Hadir Tim Sukses & sosial

Kontestasi Kepala Desa Lobby Politik Sirluasi Elite Pedesaan

Murni secara Elektoral Kampanye dan

Coblosan (votting) Konflik Sesaat

Seting Forum Pemilihan dengan adat

(Agenda) kebiasan lokal

Kontestasi Kuatnya Kontrol sosial

Semu

Calon Kepala Coblosan atau votting

Desa adalah yang diarahkan

Sedarah/

Sekeluarga Hegemoni Tokoh

Penunjukan Penunjukan langsung

Langsung

Sumber : Olahan Data Studi Kepustakaan 2022

E. Ruang Publik Dalam Demokrasi Deliberatif Pada Ranah Desa

Berawal dari buku yang berjudul ‘Demokrasi Kita’ karya Mohammad Hatta atau

yang lebih akrab dengan panggilan Bung Hatta. Beliau adalah salah satu proklamator

63
kemerdekaan republik Indonesia sekaligus wakil presiden pertama. Tentu, kita tidak

asing lagi ketika membahas desa, lalu ingat dengan beliau. Ia terkenal dengan

pernyataanya yang sering kali kita dengar bahwa Indonesia akan bercahaya dengan

‘lilin-lilin kecil di desa, bukan obor besar di Jakarta’. Kata-kata ini tentunya banyak

dimaknai bahwa desa yang menopang hidupnya negara.

Lebih dalam lagi, ia sampaikan bahwa rakyat sebagian besar masih tetap hidup

dalam perikatan desanya dan soal yang hidup dalam kalbunya ialah soal kepentingan

hidupnya bersama di dalam desanya (Hatta, 2014). Penulis melihat ada makna yang

sangat dalam dan menyentuh ketika Hatta bicara desa. Penulis beranggapan bahwa

Hatta melihat desa dan masyarakatnya itu memiliki ikatan emosional yang teramat

dalam. Ia memperlihatkan bahwa ada satu bentuk atau cara masyarakat merawat,

mencintai, dan menata desa nya.

Sendi politik Indonesia ternyata terbentuk atas dasar-dasar demokrasi yang

tentunya merupakan pergaulan hidup asli masyarakat Indonesia. Bicara pergaulan

hidup pasti tidak akan pernah berhenti atau monoton begitu dan begini saja, melainkan

selalu berubah-ubah seiring dinamisnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Jikalau

berkaca pada jaman sebelum Indonesia merdeka, demokrasi hanya ada dalam

pemerintahn desa yang bersendi pada rakyat (Hatta, 2014). Dari sini Hatta

menyebutnya adalah Desa-Demokrasi bukan Indonesia-Demokrasi.

Pergaulan hidup Indonesia adalah sebuah demokrasi yang hanya terdapat dibawah

(rakyat desa). Jadi, ketika Indonesia menerapkan demokrasi maka tidak perlu jauh

sekali berkaca di belakang. Namun, melanjutkan demokrasi asli yang menjadi

64
kedaulatan rakyat dan ada di desa. Kedaulatan rakyat terdapat pada peraturan

pemerintah rakyat Indonesia. Meskipun rakyat semuanya terlalu banyak dan tidak

dapat menjalankan pemerintahan, maka pemerintahan Indonesia diatur dengan cara

perwakilan melalui perantaraan rapat-rapat dan sekecil-kecilnya di desa (Hatta, 2014).

Kedaulatan rakyat artinya rakyat berdaulat, berkuasa, untuk menentukan

bagaimana cara memerintah dan menghadirkan negara. Kekuasaan yang dijalankan

oleh rakyat atau atas nama rakyat diatas dasar permusyawaratan. Musyawarah mufakat

sebagai salah satu dasar atau hasil dari rapat-rapat kecil di Desa. Musyawarah mufakat

juga merupakan salah satu point penting dari dasar negara (Pancasila). Hal semacam

ini Jurgen Habermas menyebutnya dengan istilah deliberatif yang telah dibahas dalam

bab II.

Penulis meyakini bahwa demokrasi desa adalah sebuah proses deliberatif yakni

berangkat dari musyawarah. Segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak

ataupun denyut nadi kehidupan rakyat adalah sebuah mufakat dalam ruang publik

(musyawarah/ deliberatif). Forum rembug desa dan dengan penyebutan nama lain di

Indonesia adalah ruang yang mewadahi ekspresi warga. Ada pembicaraan tentang ide,

cara kerja, cara hidup, dan lain sebagainya. Dasar yang dilakukan adalah musyawarah

mufakat.

Fahrul Muzaqqi dalam bukunya ‘Diskursus Demokrasi Deliberatif Di Indonesia’

menyebutkan beberapa gagasan demokrasi, tetapi lebih tajam mengulas mengenai

demokrasi deliberatif Habermasian. Bagi Fahrul Muzaqqi, apa yang digagas oleh Hatta

yang kemudian secara tidak langsung di dukung oleh Tan Malaka adalah sebuah

65
demokrasi sosialis. Karena, pada dasarnya ide besarnya berbicara demokrasi politik

dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi bersumber dan berangkat dari

cara masyarakat hidup dan menghidupi desanya.

Gagasan deliberatif di Indonesia mengemuka pada era reformasi dan mengunakan

perspektif Habermasian. Berangkat dari Habermas, legitimasi politik yang ditentukan

oleh praktik diskursus di ruang publik, validitasnya dapat terus dipertanyakan, diuji,

dan dirumuskan kembali dengan argumentasi yang rasional (Muzaqqi, 2019). Secara

sederhana dapat dipahami bahwasanya demokrasi deliberatif ada dialog rasional antar

rakyat, warga, pemerintahan, lembaga, yang kemudian ada partisipasi warga.

Skripsi Frederikus Judin yang diberi judul ‘Menyibak Praksis Lonto Leok Di

Manggarai Sebagai Perwujudan Demokrasi Lokal (Suatu Tinjauan Filosofis Dari

Perspektif Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas) menjelaskan bahwa ada sebuah

budaya lokal yang berada di Manggarai merupakan sebuah penerapan demokrasi

deliberatif ala Habermas. Budaya Lonto Leok adalah Forum publik-diskursif di

Manggarai. Realitas budaya lonto leok dalam kebudayaan orang Manggarai

mengandung nilai-nilai yang menjadi arah dan pedomaan bagi kehidupan bersama

dalam sebuah masyarakat.

Ruang semacam ini tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan oleh

Sutoro Eko, yang mana ruang publik yang telah lama terbangun di daerah jawa ada

yang namanya ‘rembuk desa’, kemudian ‘Kerapatan Adat’ diNagari Sumatera Barat,

‘Saniri’ di Maluku, ‘Gawe Rapah’ di Lombok, ‘Kombongan’ di Toraja, ‘Paruman’ di

Bali (Eko, 2015). Ruang semacam ini merupakan ruang akan bagaimana hajat hidup

66
orang banyak di bicarakan sejakturun temurun. Dengan berbagai sebutan khas daerah

masing-masing, hal semacam ini merupakan tradisi lokal masyarakat Indonesia.

Aresyama Hein Temmar meneliti tentang kebijakan deliberatif yang diterapkan

pada pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Namtabung, Kabupaten

Kepualuan Tanimbar. Dalam penelitiannya, meskipun tetap berujung pada kontestasi

elektoral (sistem voting) ia menemukan bahwasanya terpilihnya para anggota BPD

didasarkan pada musyawarah mufakat. Ada sebuah proses dimana sosialiasi dilakukan

dan penjaringan bakal calon BPD. Penjaringan dilakukan di tiap daerah pemilihan dan

mekanismennya adalah musyawarah.

Ketua RW atau disebut kepala SOA di Desa Namtabug bertindak sebagai

fasilitator untuk membuka ruang dialog dan konsultasi masyarakat. Dalam forum itu

masyarakat berdiskusi menentukan bakal calon BPD. Respon dari beberapa kelompok

dapat diterima dan diperbedatkan sesuai dengan kriteria dan nilai-nilai yang dijunjung

oleh masyarakat desa setempat. Sehingga, konflik yang berbasis ego keluarga

terminimalisir. Bahkan, representasi perempuan juga di dicanangkan dan dibahas serta

disepakati dalam forum tersebut. Panitia pemilihan mengikuti hasil dari forum

musyawarah tersebut.

Disisi lain dinamika yang lazim terjadi pada penerapan demokrasi deliberatif pada

ranah desa ada dalam proses perencanaan pembangunan. Seperti halnya penelitian

yang dilakukan oleh Lingga Elisa. Penelitian yang berjudul ‘Deliberasi dalam

Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Nagari Kunangan Parit Rantang, Kecamatan

67
Kamang Baru Pada Massa Covid-19’ mengulas proses deliberatif untuk membuat hasil

berupa kesepakatan yang dijadikan dasar rencana pengelolaan pemerintahan.

Pelibatan kelompok masyarakat yang terdiri dari tokoh adat, agama, masyarakat,

pendidikan, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok pengrajin, kelompok

perempuan, kelompok pemerhati anak, dan perwakilan kelompok masyarakat miskin

dijadikan dalam satu forum membahas arah kebijakan desa. Ini merupakan prosesi

dialogis untuk kebaikan bersama (deliberatif). Para kelompok ini datang tidak secara

kosong, melainkan membawa pokok pikiran yang telah dimusyawarahkan dalam

kelompoknya. Sehingga, pada musrenbangdesa terjadi dialogis dan adu gagasan

dengan basis argumentasi yang kuat.

Ruang Publik yang tidak hanya diartikan sebagai musyawarah desa secara formal

sebagaimana diatur dalam aturan-aturan turunan dari undang-undang desa menjadi titik

point dalam prosesi demokrasi deliberatif di desa. Konsep ruang publik tentunya tidak

lari dari alur pikir Jurgen Habermas. Salah satunya yang dalam teks ‘Between Facts

and Norms (BFN)’ . Salah satu pengulasnya adalah Antonius Galih Prasetyo dalam

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik volume 16 nomor 2 tahun 2012 yang diberi judul

‘Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang Ruang

Publik’.

Ruang publik tidak dapat dipahami sebagai institusi dan tentu saja bukan sebagai

organisasi. Ruang publik dapat menjadi yang terbaik digambarkan sebagai jaringan

untuk berkomunikasi informasi dan sudut pandang aliran dari komunikasi, dalam

prosesnya, disaring dan disintesis sedemikian rupa sehingga menyatu menjadi

68
kumpulan opini publik yang ditentukan secara topikal (Habermas, 1996 dalam Prasetyo

A. G, 2012). Ruang publik dipahami secara plural, alhasil masing-masing kelompok,

komunitas, asosiasi masyarakat, dapat membentuk ruang publiknya sendiri.

Melalui analisa dan contoh diatas ternyata memang sejak dari dahulu budaya yang

ada di desa adalah budaya musyawarah mufakat. Kedaulatan rakyat adalah daulat hasil

musyawarah atau mufakat tersebut. Ada dialog partisipatif, berbicara untuk kebaikan

bersama, seperti halnya nilai-nilai yang dikategorikan oleh Jurgen Habermas. Ruang

Publik yang terbentuklah menjadi intisari dari praktik demokrasi deliberatif pada ranah

desa. Tak heran jikalau Hatta menulis demokrasi kita dengan menggali apa yang telah

ada di bumi Indonesia.

Demokrasi deliberatif di ranah desa memiliki peranan yang amat penting karena

akan berdampak pada proses pembelajaran demokrasi. Proses yang terjadi seperti

halnya di rembug desa atau nama lain terdapat unsur dialogis, iniilah yang paling

utama. Mulai dari dialog dan didukung oleh data empiris lapangan maka akan dapat

mempertimbangan kehendak untuk bersama. Tak heran juga mengapai intisari

deliberatif juga termaktub pada nilai-nilai pancasila, khususnya pada sila ke-4.

Dalam musyawarah yang melibatkan partisipasi aktif dari bawah yang artinya atas

prakarsa masyarakat menunjukan betul sebuah ide tidak hanya sebagai cerminan yang

turun dari langit yang jatuh pada idealisme semata. Melainkan berangkat dari materi

atau realitas kongkrit dari bawah. Penulis menganggapnya adalah sebuah basis struktur

atau material masyarakat yang akan dialog dalam sebuah hubungan produksi yang

nantinya akan menghasilkan norma, aturan, dsb untuk kebaikan bersama.

69
BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Setelah kita melihat kajian pada bab II, lanjut bab III, yang kemudian

menghantarkan pada analisis bab IV, tibalah kita pada bab V yang berisi kesimpulan

dan saran. Menuliskan kesimpulan pada bab ini artinya menuliskan saripati mengenai

rangkaian panjang yang ditulis mulai bab I hingga bab IV. Maka dari itu, patut kita

tinjau kembali apa yang menjadi masalah dalam penulisan skripsi ini. ‘Apakah

Pemilihan Kepala Desa Secara Elektoral Sesuai Dengan Penerapan Demokrasi

Deliberatif di Ranah Desa?’.

Masalah ini mulai penulis jawab dengan menunjukan proses deliberatif dan

elektoral pada bab II, kemudian potret pemilihan kepala desa (pilkades) dan sistem

sosial pada bab III, kemudian memetakan dinamika pemilihan kepala desa mulai dari

sebelum pilkades, saat pilkades, dan pasca pilkades, serta dinamika dalam proses

deliberasi di Desa pada bab IV. Kesimpulan pada bab ini merupakan jawaban atas

masalah yang diangkat pada penulisan ini. Lebih lanjut, saran nanti akan lebih pada

apa yang sebaiknya atau seharusnya dilakukan atas yang telah terjadi berdasarkan teori.

A. Elektoralisme Menciderai Nilai Adiluhung Masyarakat Desa (Kesimpulan)

Pada dasarnya susunan pemerintahan desa bersifat demokratis dan memiliki

otonomi (Eko, 2015). Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan

70
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, atau hak

tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014). Ketika warga bersepakat

menjadi kesatuan masyarakat hukum (desa), maka akan melahirkan kekuasaan lokal

(pemerintah desa), desa harus tunduk dan patuh pada kedaulatan hukum negara.

Demokrasi desa dibingkai oleh tiga tatanan hasil ‘kontrak sosial’ masyarakat

lokal: Adat istiadat, moral dan aturan main atau aturan hukum. Tata krama merupakan

salah satu bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan toleransi, menghargai orang

lain, santun, kebersamaan, dan lain-lain. Aturan main yang mengatur administrasi,

warisan, perkawinan, pertanian, irigasi, pembagian tanah, dll. Dalam konteks ber-

pemerintahan desa telah memiliki nilai yang dijunjung untuk kebersahajaan

masyarakat desa sendiri. Banyak dikenal dengan istilah Republik Desa.

Masyarakat desa ternyata memiliki karakter yang khas dalam menghidupi,

merawat, dan memelihara desanya. Desa bagi masyarakatnya adalah sumber

penghidupan. Dari berbagai daerah yang ada di dalam skripsi ini (Jawa, Bali, Sumatera,

Kalimantan, dan Papua), ternyata sistem sosial yang terbangun atas relasi antar

masyarakat yakni sangat menjunjung tinggi nilai adat. Mayoritas nilai ini yang menjadi

tolak ukur dalam menjalani aktivitas sehari-hari maupun cara berpemerintahan.

Peribahasa Jawa yang berbunyi, ‘Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata’ menunjukan

realitas yang terjadi di pedesaan.

71
Budaya seperti halnya rembug desa, saniri, kombongan, gawe rapah, kerapatan

adat, dan lain sebagainya adalah ruang publik yang terbangun atas prakarsa lokal

masyarakat desa. Dalam bahasa umumnya kita mengenal dengan musyawarah. Jika

meminjam istilah Jurgen Habermas adalah deliberatif. Dalam ruangan inilah warga

dapat mengungkapkan ekspresinya. Hajat hidup orang banyak, denyut nadi kehidupan

rakyat diperbicangkan. Pembicaraanya dengan khas yang terbangun dan terbentuk oleh

masyarakat sendiri.

Pemilihan kepala desa yang terjadi secara elektoral ternyata diadopsi oleh

banyak desa. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik yang tak sesuai dengan kebiasaan

masyarakat desa. Kesadaran politik yang terbangun adalah kesadaran uang, dualisme,

dan lobby-lobby kurang sehat. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip musyawarah

mufakat yang menjadi karakteristik masyarakat desa. Pilkades juga ditekankan

berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Sehingga, mau tidak mau dan suka tidak suka

maka harus dijalankan.

Demokrasi elektoral adalah bentuk demokrasi yang di import dari nilai barat

untuk dipaksakan masuk dan merusak tatanan nilai dari masyarakat desa, khususnya di

Indonesia. Hal ini sangat tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat desa. Salah kaprah

demokrasi yang tidak berangkat dari basis struktur masyarakat malah justru berangkat

dari suprastruktur dari atas. Masyarakat yang menjadi basis struktur malah memperoleh

dampak yang memburukan keadaanya.

72
Desa yang memiliki ikatan sosial kuat tetap dapat mensiasati pemilihan kepala

desa secara elektoral. Pilkades elektoral tetaplah diadakan hanya sebatas formalitas

belaka. Namun, hal ini sebetulnya membuang-buang waktu dan anggaran. Ada yang

melakukan pemilihan kepala desa namun pilihan telah diarahkan dengan hasil

musyawarah. Ada yang dibiarkan begitu saja dan lain sebagainya. Pilkades yang

dilakukan adalah sebuah agenda seting yang hasil akhirnya dimusyawarahkan

sebelumnya.

B. Sirkulasi Kepemimpinan Dilakukan Atas Prakarsa Desa

Bagian ini menyuguhkan saran atas yang telah peneliti temukan melalui studi

pustaka. Sirkulasi atau pergantian kepemimpinan di Desa alangkah baiknya

dilakukan atas prakarsa desa sendiri. Desa tidak perlu diatur sedemikian rupa

dengan segala aturan yang detail dan justru ambigu terhadap peraturan lainnya.

Kembali pada roh rekognisi dan subsidiaritas adalah sebuah jalan untuk merawat

dan menjaga desa.

Rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat-

istiadat, serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan untuk keadilan

kultural (Yunanto, 2015). Meskipun negara mengalami ambiguisitas dalam

memperlakukan individu maupun wilayah. Ditengah tuntuntan negara bangsa yang

harus terus melakukan modernisasi dan integrasi, namun sejatinya konstitusi

mengharuskan negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat

hukum adat serta hak tradisionalnya (desa, kalurahan, gampong, nagari, dsb).

73
Perspektif subsidiaritas memandang dan meletakan desa dengan lokalisasi

kewenganan dan pengambilan keputusan sesuai dengan cara desa. Sutoro Eko

dalam bukunya ‘Regulasi Baru-Desa Baru’ memaknai tiga hal terkait subsidiaritas

yang penulis pandang relevan dalam hal ini. Pertama, lokalisasi kewenangan dan

pengambilan keputusan kepentingan masyarakat setempat terhadap desa. Kedua,

negara menetapkan kewengan berskala lokal desa bukan desentralisasi. Ketiga,

pemerintah memfasilitasi dan mendukung desa, bukan melalukan intervensi

terhadap desa.

74
Daftar Pustaka
Buku :
Eko, S., Khasanah, Ti, Widuri, D., Handayani, S., Handayani, N., Qomariyah, P.,
& Aksa, S. (2014). Desa Membangun Indonesia. FPPD. Yogyakarta.
Eko, S. (2015). Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, Dan Semangat UU Desa.
Jakarta Pusat: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Hardiman, Budi F. (2009). Demokrasi Deliberatif Menimbang ‘Negara Hukum’
Dan ‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas.Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hatta, Mohammad. (2014). Demokrasi Kita. Cetakan keempat. Yogyakarta: SEGA
ARSY.
Magnis-Suseno, F. (1985). Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Penerbit Pt Gramedia.
Murdiyanto, E. (2020). Sosiologi Perdesaan Pengantar Untuk Memahami
Masyarakat Desa. Edisi Revisi. Yogyakarta: LP2M UPN Veteran.
Muzaqqi, F. (2019). Diskursus demokrasi deliberatif di Indonesia. Surabaya:
Airlangga University Press.
Subanda, N, & Gorda (2019). Kepemimpinan Lokal Di Bali: Potret Dualisme
Menuju Digital. Bali: Pustaka Ekspresi.

Jurnal/ Skripsi:
Abraham, K. (2017). Dinamika Politik Dalam Proses Pilkampung Di Kampung
Sumber Boga Dan Jowen (Studi Kasus Di Kampung Sumber Boga Dan
Jowen Distrik Masni Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat). Skripsi.
Ilmu Pemerinahan. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD.
Adnan, H. (2019). Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Sistem Pemilihan
Kepala Desa. Syiar Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, 17(1), 69–86.
https://doi.org/10.29313/sh.v17i1.5363
Aminurosyah, J., Jauchar, B., & Alaydrus, A. (2021). Demokrasi Di Desa (Studi
Kasus Pemilihan Kepala Desa Batu Timbau Kabupaten Kutai Timur):
Demokrasi Di Desa [Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa Batu Timbau
Kabupaten Kutai Timur]. Jurnal Ilmu Pemerintahan , 2 (2), 92-109.
As, Za, & Kurnia, D. (2022). Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi Dalam
Pemilihan Kepala Desa Di Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Academia
Praja, 5 (1), 1-12.

75
Aswim, D., Kasim, Am, & Florita, M. (2022). Peran Pemerintah Desa Dalam
Menyelesaikan Sengketa Kepemilikan Tanah Di Desa Ribang Kecamatan
Koting Kabupaten Sikka. Civicus: Pendidikan-Penelitian-Pengabdian
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan , 10 (1), 9-13.
Bella, R., Gujali, Ai, Dewi, Rs, Lion, E., & Maryam, M. (2021). Sistem Masyarakat
Dan Organisasi Suku Dayak Ngaju (Studi Kasus Di Desa Mandomai
Kalimantan Tengah). Jurnal Kewarganegaraan , 5 (2), 364-375.
Danandjaja. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. Antropologi, 52, 82–92.
Eko, S. (2008). Revitalisasi Demokrasi Komunitarian. Ire Yogya.
http://www.ireyogya.org/ire.php?about=komunitarian.htm
Estepanus, Pwtd (2022). Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala
Desa Melalui Sistem Noken Di Distrik Mulia Kabupaten Puncak Jaya
Provinsi Papua (Studi Kasus Pada Kampung Muligambut) (Skripsi, IPDN).
Fendo, I. (2022). Kontestasi Miskin Kompetisi (Studi tentang minimnya Kandidasi
Dalam Pilur di Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Pada Tahun 2020). Skripsi. Ilmu
Pemerinahan. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD.
Hadi, K. (2021). Pemikiran Dan Praktek Pemerintahan Adat Suku Dayak Ma'anyan
Di Kalimantan Tengah. Governabilitas (Jurnal Ilmu Pemerintahan
Semesta) , 2 (1), 33-57.
Haliim, W. (2016). Demokrasi Deliberatif Indonesia : Konsep Partisipasi
Masyarakat Dalam Membentuk Demokrasi dan Hukum yang Responsif.
Jurnal Masyarakat Indonesia, 42(1), 19–30.
Jamal, F. (2021). Netralitas Perangkat Desa dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Desa (Pilkades). Rechtaregel: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 108–118.
J, S. M., & Saputra, R. (2021). Legitimasi Kepala Desa Terpilih Tahun 2016 di
Desa Air Liki Baru Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin. Jurnal
Politik Dan Pemerintahan Daerah, 3, 126–136.
JUDIN, F. (2021). Menyibak Praksis Lonto Leok Di Manggarai Sebagai
Perwujudan Demokrasi Lokal (Suatu Tinjauan Filosofis Dari Prespektif
Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas). Skripsi. IFTK Ledalero.
Lengka, V. (2022). Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Kampung Di
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Skripsi. Institut Pemerintahan Dalam
Negeri.
Lopo, Yhl (2022). Transformasi Elit Pedesaan. Jurnal Politiconesia , 11 (1), 77-85.
Miskan, E. H. (2018). Birokrasi Dan Politik: Netralitas Perangkat Desa Dalam
Pemilihan Kepala Desa Sitimerto Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri Tahun
2016. Aplikasi Administrasi: Media Analisa Masalah Administrasi, 21(2),
150–162. https://doi.org/10.30649/aamama.v21i2.106

76
Mu’awanah, S. F. (2021). Money Politik Sebagai Strategi Komunikasi Cakades
dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Desa. The Journal of Islamic
Communication and Broadcasting, 1(1), 28–44.
Pitoyo, Aj, & Triwahyudi, H. (2017). Dinamika Perkembangan Etnis Di Indonesia
Dalam Konteks Persatuan Negara. Populasi, 25 (1), 64-81.
Pratiwi, C. S., Bafadhal, F., & Giovani, A. S. (2020). Strategi Marketing Politik
Kepala Desa Pertahana Pada Pilkades Di Desa Sidomukti Kecamatan Dendang
Kabupaten Tanjung Jabung Timur. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan
Pendidikan), 4(4). https://doi.org/10.36312/jisip.v4i4.1502
Prasetyo, A. G. (2012). Menuju demokrasi rasional: Melacak pemikiran jürgen
habermas tentang ruang publik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 16(2),
169-185.
Purwira, D. (2021). Perebutan Pengaruh Kheji Dan Centeng Dalam Pencalonan
Kades Terusan Muba Sumsel. Ampera: Jurnal Penelitian Politik Dan
Peradaban Islam, 2 (1), 81-94.
Raharjo, Tp, Suminar, S., Winarti, Se, & Saptaningtyas, H. (2021). Musyawarah
Rencana Pembangunan Desa Formalistik Di Desa Guwosari Dan Sendangsari
Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul. Jurnal Masyarakat Dan Desa, 1 (1),
51-67.
Renaldi, L., Srumbung, K., Magelang, K., & Strongman, L. (2021). Dibalik
Kekalahan Petahana : Governabilitas. 2, 81–98.
Rukoyah, & Wance, M. (2021). Calon Tunggal Pada Pemilihan Kepala Desa di
Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo. Jurnal Inovasi Penelitian, 1(1),
1921–1952.
Septiani, An (2021). Bapak Melawan Anak Kandung Dalam Pilkades Serentak
Kabupaten Kudus Tahun 2019 Di Desa Tenggeles Kecamatan Mejobo (Studi
Dramaturgi “Calon Boneka” Dalam Pilkades). Jurnal Kajian Politik Dan
Pemerintahan, 10 (4), 161-180.
Soetrisno, Y. (2021). Aspek Hukum Pelaksanaan Pilkades Serentak Di Kabupaten
Sidoarjo Oleh Badan Permusyawaratan Desa Pada Masa Pandemi Covid-19.
Jurnal Indonesia Sosial Sains, 2, 668–660.
Siregar, Mt, Nasution, Ma, & Sihombing, M. (2021). Politik Dalam Kepemimpinan
Desa Mangaledang Lama Kecamatan Portibi Kabupaten Padang Lawas
Utara. Perspektif , 10 (2), 678-691.
Tokan, F. B. (2020). Dinamika Politik Desa (Studi Tentang Relasi Kuasa Elit Desa
dan PolitiK Pilkades di Kecamatan Witihama Kabupaten Flores Timur). Warta
Governare : Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1), 1–14.
Temmar, A. H. (2022). Kebijakan Deliberatif Dalam Pemilihan Badan
Permusyawaratan Desa Namtabung Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Journal

77
AdBisPower, 1(2), 12-25.
Ukhwaluddin, Af, & Subekti, Vs (2022). Politik Pencalonan Pasangan Suami-Istri
Pada Pemilihan Kepala Desa Di Desa Sekaran Kabupaten Bojonegoro Dan
Desa Lembor Kabupaten Lamongan. Jurnal Pemerintahan Dan Politik Lokal
(JGLP), 4 (1), 22-32.
Walidin, W., Saifullah, & Tabrani. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif &
Grounded Theory. In FTK Ar-Ranity Press (Vol. 7, Issue 1).
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/li
nk/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~re
ynal/Civil wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-
asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625
Widyastuti, Tr (2022). Rasionalitas Dalam Pilkades Sedarah (Studi Di Desa Pliken
Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas).
Wiratmaja, In (2018). Dilema Demokrasi Elektoral. Jurnal Bali Membangun
Bali, 1 (2), 73-94.
Yuningsih, N. Y., & Subekti, V. S. (2016). Demokrasi dalam Pemilihan Kepala
Desa ? Studi Kasus Desa Dengan Tipologi Tradisional , Transisional , dan
Modern di. Jurnal Politik, 1(2).
Zulfikar, Z., & Rozailli, R. (2022). Perilaku Politik Masyarakat Dalam Pemilihan
Keuchik di Gampong Pangge Pilok Kecamatan Grong Grong Kabupaten
Pidie Periode 2022-2027. Jurnal Sains Riset , 12 (1), 169-178.

Artikel/ Berita dari Internet:


Pilkades di bantul ada Bapak lawan Anak dan Istri Lawan Suami
https://daerah.sindonews.com/read/161426/707/pilkades-di-bantul-ada-
bapak-lawan-anak-dan-istri-lawan-suami-1599811760 diakses pada Januari
2022
Pilkades Bantul ada Ayah lawan Anak dan Suami Lawan Istri
https://yogya.inews.id/berita/pilkades-di-bantul-ada-ayah-lawan-anak-dan-
suami-lawan-istri diakses pada Januari 2022
Suami Istri Di Bantul Kompak Daftar Jadi Lurah
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/07/20/511/1106695/suami-
istri-di-bantul-ini-kompak-daftar-jadi-lurah-di-lokasi-pura-pura-tak-kenal
diakses pada Januari 2022

Peraturan Perundang-Undangan :

78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Desa. 15 Januari 2014.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7. Jakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2017.
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Kepala Desa. 2 Agustus 2017. Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 122. Jakarta

79
YAYASAN PENGEゝ IBANGAN PENDIDiKAN Tl Jl H BELAS YOGYA:KARTA
ヽり′F

SEIKOLAII TINGGI PEMIBANGUNAN卜 lASYARAKAT DIi]SA“ APR4『 D''


Y(〕 GYAKARTA
Akreditasi lnstitusi B

Tirnoho No.317 Yo9yakarta 55226 Telp 10274) 561971,550775,Fax.(0274)515989 ,■ 30Si【 e l菫ifttL22■ 10 aCld i e‐ 資
lall

SURAT TUGAS
Nomor:290だ /T/2022

:tua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogy'akarta memberikan tugas
pada:

lma Rizki Prasetia


>mor Mahasiswa 18520172
ogram Studi llmu Pemerintahan.
njang Sarjana (S-1).
lperluan Melaksanakan Penelitian.
a. Tempat : Grhatama Pustaka Yogyakarta
b. Sasaran : Pengujian Pemilihan Kepala Desa Terhadap Sistem
Sosial Masyarakat Desa (Studi Kepustakaan
Kompatibelitas Demoktasi Elektroral dilevel Desa
dengan Model Demokrasi Deliberatif)
c. Waktu : 10 Agustus2022

ohon yang bersangkutan diberikan bantuan seperlunya.

Y 10 Agustus 2022

0230190

]RHATIAN: MENGETAHUI:
:telah selesai melaksanakan penelitian, Kcpala Desが Kepala Kclurttan″ 晰あ at
'a lnahasiswa
ohon surat tugas ini diserahkan kepada lnstansi tenlpat pcnclitiall bah、 、
:kolah Tinggi Pembangunan Masyarakat tersebut telah inclaksanakan penelitian.
esa
.'APMD" Yogyakarta.
YAYASAN PENGE卜 IBANGAN PENDIDIKAN TUJUH BELAS YOGYAK:ARTA
SE:KOLAH TINGGI PETVl〔 BANGUNAN lyIASYARAKAT DESA“ AFMID"
YOGYAKARTA
AkFeditaSi lttStifuSi B


Jl FI:η oho:ヽ o 317 Yo9yakaFta 55225 Teio_(02741561971,550775,Fax.(()274 )515989,Mvebsite e*nail : infg@eBmd ac.id

Nomor 507Д /U/2022


Hal Pern10hOnanむ in pCnClitian

Kepada Yth:
Pimpinan Grhatama Pustaka Yogyakarta
Jalan Raya Janti, Wonocatur, Bnaguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul,
D.I.Yogyakarta
Di Tempat

Dengan hormat,
Bersama ini kami beritahukan dengan hormat bahwa Mahasiswa Program Sarjana ( Sl ) Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta yang namanya tersebut dibawah ini
akan mengadakan penelitian lapangan pada tanggal 10 Agustus 2022. Penelitian tersebut oleh
Mahasiswa yang bersangkutan digunakan dalam rangka penyusunan Skripsi yang hasilnya akan
diperhitungkan untuk penelitian dalam kemampuan Studi di Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa "APMD".

Adapun nama Mahasiswa dan judul Penelitian adalah :


Nama Rizki Prasetia
No Mhs 18520t72
Program Srudi llmu Pemerintahan
Judul Skripsi Pengujian Pemilihan Kepala Desa Terhadap Sistem Sosial Masyarakat
Desa (Studi Kepustakaan Kompatibelitas Demoktasi Elektrorai dilevel
Desa dengan Model Demokrasi Deliberatif)
Tempat : Grhttama Pustaka Yogyakar機
Doscn Pcmbimbing : Fatih Gama Abisono Nぉ 頭ion,S.IP.,M.A.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kami mengharapkan kesediaannya untuk berkenan
memberikan izin serta bantuan fasilitas seperlunya guna memungkinkan dan memudahkan
pe I aksanaan penelitian tersebut.

Kemudian atas perhatian dan bartuarurya, kami ucapkan terima kasih.

10 Agustus 2022

230190

You might also like