Professional Documents
Culture Documents
NAMA KELOMPOK 7B :
SITI SARAH ELVIA G1A115083
WULAN SUDARYANI G1A115084
GENDIS WIDYAS P G1A115085
FAJRI WARDIANNUR G1A115088
SINGGIH PARWANTO G1A115089
MARWIYAH KHAIRANI G1A115091
HARTATI ANISA G1A115092
ELSA AULIA G1A115094
AYU AFSARI G1A115095
SITI HEDIATI G1A115096
Dapus
1. T. Daniel. Mengenal Toksikologi: Pekerjaan & Lingkungan Dalam Buku
Farmakologi Dasar dan Klinik vol.2 edisi 12. Jakarta: EGC. 2014 hal 1135-
1137
2. Wirasuta, I Made Agus dan Niruri, Ramasya. Toksikologi Umum. Jurusan
Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana: Malang.
http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Buku-Ajar-Toksikologi-
Umum.pdf diakses pada tanggal 8 agustus 2018
Zat toksik adalah merupakan zat yang dapat menimbulkan kerja yang merusak
dan berbahaya bagi kesehatan. Zat toksik ini lebih dikenal dengan sebutan racun.
Dalam prakteknya, senyawa dikatakan sebagai racun bila resiko yang ditimbulkan
relatif besar. Ada beberapa faktor yang menentukan. Faktor – faktor tersebut akan
dibahas dalam hubungannya dengan tiga fase toksik yaitu: fase eksposisi, fase
toksokinetika, dan fase toksodinamika.
Hal yang penting antara lain adalah penyimpanan zat yang berbahaya seperti
zat kimia, termasuk yang digunakan dalam rumah tangga, contohnya deterjen,
kosmetika, dan obat. Zat –zat tersebut sebaiknya disimpan ditempat yang aman dan
jauh dari jangkauan anak. Karena keteledoran dalam penyimpanan sering
menimbulkan keracunan pada anak – anak. Hal yang penting adalah pakaian yang
tercemar dibersihkan secara teratur dan ditangani secara terpisah dari pakaian atau
benda yang lain. Higiene kerja seseorang penting artinya terutama dalam hal
pembatasan pembentukan debu atau pemaparan zat kimia, meminimalkan kontak
antara bahan berbahaya dengan kulit, ataupun anggota tubuh yang lain. Untuk
perlunya pengetahuan dan peraturan tentang penggunaan alat-alat kerja, sarung
tangan, dan lain secara benar. Hal yag penting adalah, pengetahuan dan peraturan
tersebut harus dilaksanakan dan ditaati. Keadaan tempat kerja juga mempengaruhi
terjadinya ekposisi racun antara lain: ada atau tidaknya ventilasi ruangan; filter pada
alat yang menghasilkan debu. Apabila ruangan tertutup rapat dan tidak terdapat
ventilasi, maka tidak ada pergantian udara dalam ruangat tersebut. Bila dalam
ruangan terpapar oleh zat beracun misalnya gas H2 S, maka konsentrasi H2S akan
semakin tinggi dengan bertambahnya waktu, karena gas H2S terkepung dalam
ruangan dan tidak ada jalan untuk keluar, misalnya ventilasi. Apabila terdapat
makhluk hidup pada ruangan tersebut misalnya manusia maka dapat berakibat fatal
(kelumpuhan atau bahkan kematian). Sedangkan apabila manusia menghirup debu
yang terus menerus maka dapat menyebabkan berbagai hal antara lain alergi, atau
Infeksi Saluran Pernapasan. Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan suatu
tindakan untuk meminimalkan debu, antara lain dengan pemasangan fliter pada alat
yang menghasilkan debu atau penggunaan masker penutup hidung.
Keaadaan fungsi organ yang kontak dengan zat toksik akan mempengaruhi
eksposisi zat tersebut. Contohnya pada:
a .Sifat keasaman dari suatu za (pH) dapat mempengaruhi absorbsi dari suatu zat
Zat kimia yang dapat mempengaruhi kornea mata antara lain: asam dan basa,
asap, detergen. Asam dan basa dengan mudah menembus kornea dan dapat
menyebabkan kerusakan baik kecil maupun besar (yaitu: kerusakan dangkal jaringan
yang dapat sembuh dengan mudah sampai keburaman kornea dan perforasi) . Zat
asam dapat membakar jaringan kornea karena rendahnya pH disamping karena
afinitas anionnya terhadap jaringan kornea. Awal kerja efek basa biasanya lebih
lambat daripada yang disebabkan oleh asam., meskipun ada ion basa seperti ion
amonium (banyak terdapat pada produk rumah tangga seperti detergen) yang dengan
mudah menembus iris.
Apabila telah terjadi eksposisi terhadap zat tertentu (misal: timbal atau
insektisida) dan terjadi akumulasi zat tersebut dalam tubuh, maka resiko terjadi
toksisitas pada kontak berikutnya akan lebih besar. Makin besar zat yang tersimpan
dalam tubuh makin besar bahaya toksisitas yang diperoleh.
c. Eksposisi Sebelumnya
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa seseorang yang
mengalami eksposisi berulang dan menyebabkan akumulasi semakin
bertambah dalam tubuh akan menyebabkan resiko bahaya yang lebih
besar. Seperti nikotin pada orang yang merokok. Untuk itu perlu
dilakukan pemeriksaan kesehatan yang teratur dapat mencegah atau
meminimalkan toksisitas. Hal ini sangat penting terutama orang yang
bekerja yang bersentuhan dengan bahan kimia.
Absorpsi dapat terjadi lewat saluran cerna, paru-paru, kulit dan beberapa jalur
lain. Jalur utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
Namun dalam penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus seperti injeksi
intraperitoneal, intramuskuler dan subkutan.
Saluran Cerna
Banyak toksikan dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air
minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik
atau amat merangsang mukosa, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek
toksik kecuali kalau mereka diserap. Absorpsi dapat terjadi di seluruh saluran cerna.
Namun pada umumnya, mulut dan rektum tidak begitu penting bagi absorpsi zat-zat
kimia dari lingkungan.
Di dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion dan
karenanya tidak mudah diserap. Namun sesampai di darah, mereka mengion sehingga
tidak mudah berdifusi kembali. Sebaliknya, basa lemah terutama akan berada dalam
bentuk non-ion sehingga mudah diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi dengan
lebih lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus.
Saluran Napas
Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru. Hal ini
terutama berlaku untuk gas, misalnya CO, NO dan SO2; hal ini juga berlaku untuk
uap cairan misalnya benzen dan CCl4. Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan
luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah dan dekatnya darah dengan udara
alveoli.
Laju absoprsi bergantung pada daya larut gas dalam darah; semakin mudah
larut, semakin cepat absorpsi. Namun keseimbangan antara udara dan darah ini lebih
lambat tercapai untuk zat kimia yang mudah larut, misalnya etilen. Hal ini terjadi
karena suatu zat kimia yang lebih mudah larut akan lebih mudah larut dalam darah.
Karena udara alveolar hanya dapat membawa zat kimia dalam jumlah terbatas, maka
diperlukan lebih banyak pernapasan dan waktu lebih lama untuk mencapai
keseimbangan. Bahkan diperlukan waktu lebih lama lagi kalau zat kimia itu juga
diendapkan dalam jaringan lemak.
Disamping gas dan uap, aerosol cair dan partikel-partikel di udara dapat juga
diserap. Pada umumnya, partikel besar (> 10 mm) tidak memasuki saluran napas;
kalaupun masuk, mereka diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap,
dihembuskan dan berbangkis. Partikel yang sangat kecil (< 0,01 mm) lebih mungkin
terbuang ketika kita menghembuskan napas. Partikel berukuran 0,01-10 mm
diendapkan dalam berbagai bagian saluran napas. Partikel yang lebih besar mungkin
diendapkan di nasofaring dan diserap lewat epitel di daerah ini atau lewat epitel
saluran cerna setelah mereka tertelan bersama lendir. Partikel-partikel yang lebih
kecil diendapkan dalam trakea, bronki, dan bronkioli, lalu ditangkap oleh silia di
mukosa atau ditelan oleh fagosit. Partikel-partikel yang dilempar ke atas oleh silia
akan dibatukkan atau ditelan. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke
dalam sistem limfatik. Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfe.
Partikel-partikel yang dapat larut mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah.
Secara kasar dapat dikatakan bahwa 25 % partikel yang terhirup akan dikeluarkan
bersama udara napas, 50 % diendapkan dalam saluran napas bagian atas, dan 25 %
diendapkan dalam saluran napas bagian bawah.
Kulit
Pada umumnya kulit relatif impermeabel, dan karenanya merupakan sawar
(barrier) yang baik untuk memisahkan organisme dari lingkungannya. Namun
beberapa zat kimia dapat diserap lewat kulit dalam jumlah cukup banyak sehingga
menimbulkan efek sistemik.
Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau lewat sel-sel kelenjar
keringat atau sel kelenjar sebasea. Tetapi penyerapan lewat jalur ini kecil sekali sebab
struktur ini hanya merupakan bagian kecil dari permukaan kulit. Maka absorpsi zat
kimia di kulit sebagian besar adalah menembus lapisan kulit yang terdiri atas
epidermis dan dermis.
Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat epidermis yang
merupakan sawar terpenting, terutama stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas
beberapa lapis sel mati yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein filamen) yang
resisten secara kimia. Sejumlah kecil zat-zat polar tampaknya dapat berdifusi lewat
permukaan luar filamen protein stratum korneum yang terhidrasi; zat-zat non-polar
melarut dan berdifusi lewat matriks lipid di antara filamen protein. Stratum korneum
manusia berbeda struktur dan sifat kimianya dari satu bagian tubuh ke bagian lainnya,
hal ini tercermin dari perbedaan permeabilitasnya terhadap zat-zat kimia.
Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat dermis yang
mengandung medium difusi yang berpori, non-selektif, dan cair. Oleh karena itu,
sebagai sawar, dermis jauh kurang efektif dibandingkan stratum korneum. Akibatnya,
abrasi atau hilangnya stratum korneum menyebabkan sangat meningkatnya absorpsi
perkutan. Zat-zat asam, basa, dan gas mustard juga akan menambah aborpsi dengan
merusak sawar ini. Beberapa pelarut terutama dimetil sulfoksid, juga meningkatkan
permeabilitas kulit.
E. DISTRIBUSI TOKSIKAN
Sawar
Sawar lain juga terdapat dalam alat-alat tubuh seperti mata dan testis. Selain
itu, eritrosit ternyata mempunyai peran khusus dalam distribusi toksikan tertentu.
Misalnya, membrannya bertindak sebagai sawar terhadap penetrasi senyawa merkuri
anorganik tetapi tidak terhadap alkilmerkuri. Sitoplasma eritrosit mempunyai afinitas
terhadap senyawa alkilmerkuri. Karena faktor-faktor ini, kadar senyawa merkuri
anorganik dalam eritrosit hanya sekitar setengah dari kadarnya dalam plasma,
sementara kadar metilmerkuri dalam eritrosit sekitar sepuluh kali kadarnya dalam
plasma.
Pengikatan dan Penyimpanan
Pengikatan suatu zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan lebih tingginya
kadar dalam jaringan itu. Ada dua jenis ikatan yang utama yaitu, ikatan kovalen dan
nonkovalen. Ikatan kovalen bersifat tidak reversibel dan pada umumnya berhubungan
dengan efek toksik yang penting. Ikatan nonkovalen biasanya merupakan yang
terbanyak dan bersifat ireversibel. Oleh karena itu, proses ini berperan penting dalam
distribusi toksikan ke berbagai alat tubuh dan jaringan.
Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat-zat
kimia. Ciri ini mungkin berhubungan dengan fungsi metabolik dan ekskretorik
mereka. Dalam alat-alat tubuh ini telah dikenal berbagai protein yang memiliki sifat
pengikatan khusus. Pengikatan suatu zat dapat dengan cepat menaikkan kadarnya
dalam organ tubuh.
Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan yang penting bagi zat yang
larut dalam lipid, misalnya DDT, dieldrin, dan PCB. Zat-zat ini disimpan dalam
jaringan lemak dengan pelarutan sederhana dalam lemak netral. Ada kemungkinan
bahwa kadar plasma zat yang disimpan dalam lemak naik tajam akibat mobilisasi
lemak dengan cepat pada kelaparan. Konjugasi asam lemak dengan toksikan (mis:
DDT) dapat juga merupakan suatu mekanisme penimbunan zat kimia dalam jaringan
yang mengandung lipid dan dalam sel-sel badan.
Sumber :
F. EKSKRESI TOKSIKAN
Ekskresi toksikan dapat di eliminasi dari tubuh melalui beberapa rute. Ginjal
merupakan organ penting untuk mengeluarkan racun. Beberapa xenobiotik di ubah
terlebih dahulu menjadi bahan yang larut dalam air sebelum dikeluarkan dalam tubuh.
Rute lain yang menjadi lintasan utama untuk beberapa senyawa tertentu
diantaranya : hati dan sistem empedu, penting dalam ekskresi seperti DTT dan Pb
; paru dalam ekskresi gas seperti CO. toksikan yang dikeluarkan dari tubuh dapat
ditemukan pada keringat, air mata dan air susu ibu (ASI).
a) Ekskresi Urine
Ginjal merupakan organ yang sangat efisien dalam mengeliminasi
toksikan dari tubuh. Senyawa toksisk dikeluarkan melalui urine oleh
mekanisme yang sama seperti pada saat ginjal membuang hasil metabolit
dari tubuh.
b) Ekskresi Empedu
Hati berperan penting dalam menghilangkan bahan toksik dari
darah setelah di absorbsi pada saluran pencernaan, sehingga akan dapat
dicegah distribusi bahan toksik tersebut ke bagian lain dari tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. I Made Agus GW, Rasmaya Niruri. Toksikologi Umum. Bali: Universitas
Udayana, 2006. h. 28-36.
Perjalanan zat kimia pada tubuh diawali dari masuknya zat kimia kedalam
tubuh melalui intravaskuler ( Injeksi IV, intrakardial, intraarteri) atau ekstravaskuler (
oral, inhalasi, injeksi IM, reaksi). Selanjutnya zat kimia masuk sirkulasi sistemik dan
di distribusikan ke seluruh tubuh. Proses distribusi memungkinkan zat atau
metabolitnya sampai pada reseptornya. Zat kimia pada reseptor tersebut berinteraksi
dan dampaknya menimbulkan efek. Interaksi zat kimia yang berlebihan dapat
menghasilkan efek toksik. Jadi, penentu ke toksikan suatu zat kimia adalah
sampainya zat kimia utuh atau metabolit aktifnya di sel sasaran dalam jumlah yang
berlebihan. Pada sisi lain, zat kimia dapat mengalami metabolisme menjadi senyawa
non aktif dan dieksresikan (eliminasi) yang dapat mengurangi sampainya atau jumlah
zat kimia dalam sel sasarannya. Dengan demikian, timbulnya efek toksik dipengaruhi
juga oleh selisih antara absorbsi dan distribusi dengan eliminasinya. Jadi toksisitas
suatu zat sangat ditentukan oleh absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi.
Dapus : Priyanto. 2009. Toksilogi, mekanisme, terapi antidotum dan penilaian resiko.
Jakarta ; LENSKONFI Press.