You are on page 1of 9

MENAPAKTILASI PENGORBANAN KELUARGA IBRAHIM

DALAM RANGKA MEMBANGUN PERADABAN ISLAM

: .
( : ) ( .

.



)

.

Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

.


.

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...
Alhamdulillah atas restu dan izin Allah kita dipertemukan kembali dengan hari raya
idul Qurban. Hari raya haji pada tahun ini.
Setiap berhari raya kita memperoleh kemenangan. Pada saat menang, seluruh
keletihan dalam berjuang terobati. Seolah-olah olah kita menemukan oase di tengah padang
sahara, sehingga ada cadangan ruhani dan stamina baru untuk menghalau kesulitan,
menikmati penderitaan, melawan sikap ketergesa- gesaan, menunda kenikmatan sesaat
menuju nikmat ruhiyah. Kenikmatan yang bersifat permanen.
Sebagaimana pengalaman ruhani putra mahkota dalam sujudnya :



Sesungguhnya kami dalam kelezatan spiritual, sekiranya raja-raja itu mengetahui bahwa
sumber kebahagiaan itu ada disini, mereka akan menguliti kami karena iri.

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...
Sebagai hamba dan marbotnya Allah, kita menyadari bahwa diri kita ini bukan siapasiapa siapa dan bukan apa-apa apa. Maka ketika meraih kemenangan kita kumandangkan
Tasbih, bukankah kita seringkali tidak kuasa menjaga panca Indra dan hati dari kontaminasi
dosa.
Lafaz Tahmid. Betapa karunia lahir dan batin dari Allah yg tidak mampu kita syukuri,
dan Tahlil, memperbanyak kalimat tauhid, agar kita memperbanyak karya, dan Takbir, agar
kita menyadari alangkah kecil ilmu, harta, kekuasaan, dan pengaruh kita.
Dan hauqalah, tidak daya dan kekuatan kecuali atas izin Allah SWT. Keempat
kalimat itulah yang dicintai oleh Allah, baik diurutkan dari depan atau dari belakang.
Dan sungguh, apapun kenikmatan di dunia ini tidak sebanding dengan kelezatan
ruhani.

Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

Tidak seorang pun mengetahui rahasia pahala yang menyejukkan mata yang Allah sediakan
bagi orang-orang beriman. Pahala itu sebagai balasan atas amal shalih yang mereka
lakukan di dunia (QS. As Sajdah (32) : 17).

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...

Dalam berhari raya idul Qurban, idul Adha, idul akbar, memori kita disegarkan ulang
oleh profil manusia kekasih Allah kholilullah- Ibrahim Alaihissalam. Sosok individu, tetapi
dijuluki ummat karena spirit perjuangannya dan komitmennya dalam menegakkan kebenaran
dan keadilan.
Dalam dirinya terkumpul berbagai kebaikan manusia biasa. Sebanyak 42 generasinya
menjadi para Nabi Allah SWT. Yang terakhir, Bani Ismail. Yaitu, Rasulullah SAW.
Dalam kitab Suci al-Qur'an, Nabi Ibrahim pernah berdo'a :
"Ya Tuhan,pun anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang akan termasuk orang-orang
yang shaleh."

Maka Allah menyampaikan kabar gembira dengan seorang anak yang santun yang diberi
nama Ismail. Dan ketika Ismail telah mencapai usia untuk bekerja bersamanya, Ibrahim
meminta pendapat kepada puteranya :
"Wahai anakku, sesungguhnya aku telah melihat dalam tidurku bahwa aku mengorbankan
engkau. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu ?"
Ismail menjawab :
"Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu itu, dan engkau
akan mendapati diriku, insya Allah termasuk mereka yang tabah."





) ( ) (
Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

(

) (

)

) ( ) (
) (

) (
) (
) (

Maka, ketika mereka berdua, Ibrahim dan Ismail, itu telah pasrah, dan tatkala Ibrahim
merebahkan Ismail pada wajahnya (untuk dikorbankan), Allah berseru kepada
Ibrahim: Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benarbenar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hambahamba Kami yang beriman.
Begitulah rekaman peristiwa pengorbanan manusia pilihan, dalam Kitab Allah Al
Quran Surah As-Shaffa ayat 102 sampai 111 tentang kisah dua insan, ayah anak yang amat
mengaharukan; tentang dua hamba-Nya yang saleh, dua orang Rasul yang kelak menjadi
contoh bagi umat manusia sejak 6000 tahun yang silam tentang bagaimana mentaati serta
tunduk terhadap perintah Allah.
Dalam Firman Allah Taala itu Ibrahim dan Ismail menemukan Tuhan dalam
perintahnya untuk berkurban. Menemukan kehadiran Allah saat berkurban. Mereka mencari
ridha dalam semangat berkurban. Dan dalam ayat itu pula tercatat dengan jelas bahwa
Ibrahim telah melaksanakan korban, dan Ismail, sang anak yang menjadi korban. Ini telah
memperlihatkan dengan sebaik-baiknya bahwa mereka memiliki semangat berkorban yang
tinggi. Sekalipun hanya memiliki nyawa satu- satunya.

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...

Marilah kita renungi lebih mendalam, apakah makna korban itu? Mengapa kita
dituntut untuk memiliki semangat berkorban yang setinggi-tingginya? Mengapa kita
diperintahkan untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan puteranya, Ismail, dan mempelajari
semangat pengorbanan mereka?
"Qarraba, yuqarribu, Qurban" adalah kata-kata Arab, yang artinya ialah "pendekatan,"
yaitu pendekatan kepada Tuhan. Maka, melakukan qurban adalah melakukan sesuatu yang
mendekatkan diri kita kepada Tuhan, yakni mendekatkan diri kita kepada tujuan puncak
kehidupan kita -ghoyatul hayah. Sebab, kita memang "berasal dari Allah, dan kembali
kepada-Nya."
Oleh karena itu, dalam praktik, dalam bentuknya yang nyata, tindakan berkorban
Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan (visioner), yang menunjukkan bahwa
kita tidak mudah tertipu dan terpedaya oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara,
kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.
Maka Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai seorang anak
kesayangan, yaitu Ismail, dan dia tidak ingin lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki, yaitu
karena Allah Taala semata.
Maka Ibrahim pun bersedia secara lahir dan batin untuk mengorbankan anaknya,
lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yaitu kesenangan duniawi.
Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridha dan
perkenan Allah Taala. Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di
dunia ini, tapi kemudian melupakan hidup yang lebih abadi di Akhirat kelak. Maka ia pun
bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada
Allah, dikorbankan oleh ayahnya.


)(


) (


Wahai Muhammad, akhirat itu lebih baik bagimu dari dunia. Tuhanmu akan
memberikan nikmat kepadamu sehingga kamu menjadi senang ( QS. Adh Dhuha (93) : 4-5).

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...

Oleh karena itu, makna berkorban ialah bahwa dalam kehidupan ini, kita melihat jauh
ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami. Bahwa kita
tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab,
kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha
perjuangan, dan jerih payah kita.

) ( ) ( ) (
Siapa saja yang memberi dan bertakwa. Serta meyakini janji- janji Allah. Kami
mudahkan dia untuk beramal shalih (QS. Al Lail (92) : 5-7).
Menurut para mufassir makna al Husna pada surat al Lail tersebut adalah, pertama
Laa ilaaha illallah. Kedua, ganjaran Allah. Dan, ketiga, surga Allah
Makna berkorban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat,
demi mencapai kebahagiaan lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah payah, karena
hanya dengan susah payah dan kesungguhan itu, suatu tujuan tercapai, dan cita-cita besar,
dengan izin Allah, insya Allah akan terlaksana.
.

) (
) ( )

Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

)(
Allah berfirman, "Sesunggunya beserta setiap kesulitan - tertentu - itu akan ada
kemudahan - yg banyak - (sekali lagi), sesunggunya beserta setiap kesulitan itu akan ada
kemudahan. Maka, bila engkau telah bebas (dari suatu beban), tetaplah engkau bekerja
keras, dan berusahalah mendekat terus kepada Tuhanmu" (QS. Al-Insyirah/94: 5-8 .)

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...

Semangat berkorban adalah cermin ketakwaan kepada Allah. Sebab takwa itu jika
dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan -ikhlas dan mujahadah, akan membuat kita
mampu melihat jauh ke depan. Mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di
kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan.
Marilah kita renungkan firman Allah dalam kitab suci al-Quran mengenai hal ini:

Wahai sekalian orang yang beriman ! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan
hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok ! Bertakwalah
kamu sekalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu
kerjakan. (QS. al-Hasyr/ 59:18).
Firman itu mengandung perintah Ilahi untuk bertakwa. Dan dalam perintah takwa itu
sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan masa depan. Maka kuranglah
mutu takwa seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia
hidup hanya untuk di sini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini. Atau, dalam ukurannya
yang besar, di dunia ini dan dalam hidup ini saja!

.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah...
Jika menatap realitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita, justru inilah yang sulit
kita sadari. Sebab manusia pada umumnya mempunyai kelemahan berpandangan pendek,
tidak jauh ke depan. Mereka memandang bahwa berkurban itu kerugian. Sehingga bermental
mengambil, bukan memberi. Sikap mental mengambil inilah yang menjadi pemicu timbulnya
kerusakan moral yang demikian menggurita di negeri ini. Karena salah kaprah dalam
mempersepsikan kebahagiaan.
Mereka mengira bahwa bahagia itu berbentuk benda yang dicari di tempat-tempat
tertentu. Mereka terjangkiti virus ruhani. Mental permisif, hedonis, dan materialis. Ia
memandang bahwa harta kekayaan itu segala-galanya. Ia melihat harta itu mengekalkan
kehidupannya. Dan mempersepsikan bahwa harta itu bukan hak guna, tetapi hak milik. Pada
Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

akhirnya harta dijadikan tandingan Allah SWT. Wal ' iyadzu billah.
Rasulullah SAW bersabda diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir yang artinya:
Akan datang sesudahmu kaum yang makan kemewahan dunia dengan segala
ragamnya, yang mengendarai kendaraan yang bagus dengan segala macam ragamnya dan
menikahi wanita- wanita yang cantik dengan segala macam ragamnya. Mereka mempunyai
perut yang tidak kenyang dengan yang sedikit dan nafsu yang tidak puas dengan yang
banyak. Mereka menundukkan diri dengan dunia, pagi dan sore harinya mengejar dunia.
Mereka menjadikan dunia sebagai tuhan dan pengatur mereka. Mereka mengikuti
perintahnya dan menjauhi larangannya. Mereka adalah seburuk- buruk makhluk.
Mereka yang serakah dan enggan berkorban bagaikan minum air laut, semakin
banyak yang diteguk bertambah dahaga. Dan memandang kebenaran itu kecil, dan yang jelas
menjadi tidak kelihatan. Mereka tidak buta mata, tetapi buta hati.
Perhatikan, orang yang melakukan korupsi, bukan orang yang miskin. Mereka punya
mobil mewah, rumah mewah, dan harta berlimpah. Tetapi, karena mereka thoma', mereka
tega merampas hak orang lain. Mereka terserang penyakit at Takatsur ( menumpuk- numpuk
harta, memperbanyak massa dan pengaruh).
Di tengah jutaan rakyat miskin masih banyak para pejabat yang gemar memamerkan
kekayaan hasil korupsi. Hilang pada diri mereka rasa malu.
Akan tiba bagi manusia suatu masa pada saat orang tidak lagi peduli apakah harta yang
diperolehnya halal apa haram ( HR. Bukhari).

"Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di
belakang mereka masa yang berat. ( Q.S Al-Insan/ 76 : 27)
Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tabah memikul
beban. Dan, selanjutnya, tidak tahan melakukan jerih payah sementara, karena mengira
bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan!.
Padahal, justru di balik jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya
keberhasilan dan sukses. Justru di balik pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup
karunia Tuhan yang amat berharga ini.
Apa sebenarnya yang membuat orang enggan berkorban dan berjerih payah, serta
tidak bersedia menempuh kesulitan sementara, menunda kesenangan sesaat? Memang,
biasanya orang ingin hidup egois, hidup untuk diri sendiri dan kesenangan sendiri.
Akibatnya, ketika ia menerima kesulitan, kesusahan, percobaan dan persoalan, ia mengira
bahwa hanya ia sendirilah yang sedang dirundung kemalangan itu.
Lalu ia pun mengeluh dalam hati, memprotes dalam batin, mengapa ia dibuat
sengsara, ditimpa berbagai persoalan? Mengapa ia dirundung kesulitan? Mengapa? Dan
mengapa? Padahal tidaklah demikian keadaan dan hakikat hidup yang sebenarnya. Kesulitan
adalah bagian dari hidup. Justru jika diterima dengan sabar dan tabah, kesulitan akan menjadi
'bumbu' hidup.
Dan di kala kita sedang menderita atau kurang mujur, kita harus tahu serta sadar,
Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

bahwa sebenarnya tidak hanya kita saja yang mengalami kesulitan, menerima kesusahan, dan
ditimpa penderitaan. Tentang ini, Allah memperingatkan kita:

"..Jika kamu merasakan penderitaan, maka sesungguhnya mereka (orang-orang lain)


pun menderita seperti kamu; namun kamu mengharap dari Allah sesuatu yang mereka
(orang-orang lain itu) tidak mengaharap .." (Q.S al-Nisa/4: 104)
Jadi memang, kita dan mereka --kita orang-orang yang percaya kepada Allah, yang
beriman, dan mereka yang tidak percaya, yang kafir -- adalah sama-sama menderita. Tetapi,
justru dalam penderitaan itu kita berbeda dengan mereka. Sebab dalam penderitaan itu, kita
tetap berpengharapan dan optimis kepada Tuhan.
Maka sungguh pantang bagi orang yang beriman kepada Allah, jika sedang
menderita, lalu "ngenes," ngersula, meratapi nasib dan menyesali perjalan hidup itu,
kemudian kehilangan gairah kepada hidup itu sendiri. Sebab tidak seorang pun di antara
manusia ini yang pernah benar-benar lepas dari pengalaman yang pahit.
Justru kita harus menerima penderitaan itu dan sabar menanggungnya. Kemudian
jadikan cambuk, malah modal, untuk berjuang, berusaha sungguh-sungguh dan bermujahadah dengan menanamkan semangat berkorban.
Semangat berkorban itulah yang akan melepaskan diri kita dari kungkungan
penderitaan. Dan Allah tidak menyia-nyiakan atau membiarkan kita sendirian. Sebab di balik
setiap penderitaan itu, seperti janji Allah sendiri, terdapat kenikmatan dan kebahagiaan. Tidak
ada seruas dari perjalanan hidup kita yang berlalu dengan percuma. Kita hendaknya selalu
mengingat gugatan Allah dalam Kitab Suci :

"Apakah kamu menyangka kamu bakal masuk surga, padahal belum disaksikan oleh
Allah siapa di antara kamu yang berjuang, bersusah payah, menempuh kesulitan, dan (belum
disaksikan pula) siapa yang sabar, tabah, dan tahan menderita?" (Q. S. Ali-Imran/ 3:142 ).
Berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras adalah hakikat hidup yang
bermakna. Sementara itu pengorbanan adalah tuntutan perjuangan yang tak terelakkan.
Keduanya harus diiringi dengan sikap lapang dada, sabar, dan tahan menderita. Hanya
pandangan serupa itulah yang akan memberi kenikmatan hakiki dan kebahagaiaan sejati.
Itulah semangat pengorbanan Ibrahim yang pasrah hendak mengorbankan anaknya,
Ismail. Dan itulah pula semangat Ismail, yang pasrah menyerahkan dirinya untuk
dikorbankan. Hijrah bersama istrinya dari Syam ke lembah Bakkah (2000 km), membangun
Ka'bah, berkhitan pada usia 80 tahun.
Ketiga profil insan, ayah dan anak serta istrinya itu menjadi uswah bagi kita semua,
umat manusia, tentang bagaimana ketulusan dan kemurnian niat berkorban, serta melawan
godaan hidup senang sesaat, karena hendak mencapai hidup bahagia abadi. Itulah ruh yang
terkandung dalam ajaran berkorban. Dengan semangat pengorbanan yang tinggi kita
Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

mendekatkan diri kepada Allah, dan dengan ridha Allah kita akan mendapatkan kebahagiaan
abadi dan sejati. Amin ya Robbal alamin.
Mari kita tutup khutbah ini dengan sama-sama bermunajat kepada Allah Subhanahu
Wataala:







.



.

Khutbah Idul Adha 1437 H PP Hidayatullah

You might also like