You are on page 1of 19

KARYA TULIS ILMIAH

METAGONIMUS YOKOGAWAI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Parasitologi

Yang Diampu oleh Bapak dr. Widayat Samsul

Disusun Oleh :

Nama : Citra Dwi Lestari

NIM : 201510410311055

No. Absen : 30

Jurusan : Farmasi

Kelas : B

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT karena atas petunjuk dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan baik dan seksama.
Makalah yang berjudul “Metagonimus yokogawai” ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas Ujian Akhir Semester III Parasitologi, Program Studi Farmasi, Fakultas
Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bapak dr. Widayat Samsul sebagai dosen mata kuliah Parasitologi yang
telah banyak membimbing selama 1 semester ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kekurangan-kekurangan, baik dari segi materi maupun teknis penulisan.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan pembaca sangat
dibutuhkan untuk penyempurnaanya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
untuk rekan-rekan yang membaca.

Malang, 23 Desember 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... ii


BAB II PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 2
BAB II DASAR TEORI ................................................................................................................. 3
2.1 Distribusi Geografis dan Epidemiologi .................................................................................. 3
2.1.1 Lokasi .............................................................................................................................. 3
2.1.2 Penderita Laki-Laki atau Perempuan .............................................................................. 3
2.1.3 Usia Penderita ................................................................................................................. 4
2.1.4 Status Sosial Ekonomi Penderita..................................................................................... 4
2.2 Anatomi Tubuh ...................................................................................................................... 4
2.3 Bentuk Kehidupan .................................................................................................................. 6
2.4 Host ........................................................................................................................................ 8
2.5 Habitat .................................................................................................................................... 8
2.6 Gejala/Keluhan....................................................................................................................... 8
2.7 Transmisi/Penularan/Vektor................................................................................................... 9
2.8 Diagnosa............................................................................................................................... 10
2.9 Pengobatan ........................................................................................................................... 10
2.10 Komplikasi ......................................................................................................................... 14
2.11 Pencegahan......................................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................... 15
3.2 Saran..................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trematoda adalah cacing yang termasuk ke dalam filum Platyhelmintes dan


hidup sebagai parasit. Berbagai hewan yang dapat berperan sebagai hospes definitif
cacing trematoda antara lain; kucing, anjing, kambing, sapi, babi, tikus, burung,
luak, harimau dan manusia. Pada umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC,
Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, India dan Afrika. Berbagai
spesies ditemukan di Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan,
Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, serta Heterophyidae di Jakarta.
Salah satu penyakit akibat cacing metagonimus ini adalah metagonimiasis.
Penyakit ini endemis di 19 negara yaitu antara lain RRC, Korea, Filipina, Thailand,
Taiwan, Jepang, Indonesia, Spanyol, Siberia. Saat ini merupakan infeksi parasit
yang paling penting di Korea dan sekitar 240.000 warga Korea diyakini saat ini
terinfeksi. Dari 240.000 diperkirakan terinfeksi, 120.000 disebabkan oleh M.
yokogawai. Kejadian penyakit Jepang, dengan 10-15% tingkat prevalensi pada
populasi yang berbatasan sungai besar dan 150.000 diperkirakan terinfeksi.
Berdasarkan latar belakang diatas perlu adanya pembelajaran dan penjabaran
mengenai penyakit Metagonimiasis.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik


perumusan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana distribusi geografis dan epidemiologi Metagonimus yokogawai
baik dari segi lokasi, penderita, usia penderita dan status sosial ekonomi?
2) Bagaimana anatomi tubuh dari Metagonimus yokogawai?
3) Bagaimana bentuk kehidupan/Life Cycle dari Metagonimus yokogawai?
4) Apa saja host dari parasit Metagonimus yokogawai?
5) Dimana habitat parasit Metagonimus yokogawai?

1
6) Bagaimana gejala/keluhan yang dialami apabila terinfeksi Metagonimus
yokogawai?
7) Bagaimana transmisi/penularan/vector penyakit yang disebabkan oleh parasit
Metagonimus yokogawai?
8) Bagaimana diagnosa yang dapat dilakukan terkait parasit Metagonimus
yokogawai?
9) Apa pengobatan yang sesuai apabila teinfeksi Metagonimus yokogawai?
10) Apa saja komplikasi yang terjadi apabila terinfeksi Metagonimus yokogawai?
11) Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan terkait dengan parasit
Metagonimus yokogawai?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk menjelaskan distribusi geografis dan epidemiologi Metagonimus
yokogawai baik dari segi lokasi, penderita, usia penderita dan status sosial
ekonomi
2) Untuk mengetahui anatomi tubuh dari Metagonimus yokogawai
3) Untuk menjelaskan kehidupan/Life Cycle dari Metagonimus yokogawai
4) Untuk mengetahui host dari parasit Metagonimus yokogawai
5) Untuk mengetahui habitat parasit Metagonimus yokogawai
6) Untuk memaparkan gejala/keluhan yang dialami apabila terinfeksi
Metagonimus yokogawai
7) Untuk memaparkan transmisi/penularan/vector penyakit yang disebabkan oleh
parasit Metagonimus yokogawai
8) Untuk menjelaskan diagnosa yang dapat dilakukan terkait parasit
Metagonimus yokogawai
9) Untuk mengetahui pengobatan yang sesuai apabila teinfeksi Metagonimus
yokogawai
10) Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi apabila terinfeksi Metagonimus
yokogawai
11) Untuk menjelaskan pencegahan yang dapat dilakukan terkait dengan parasit
Metagonimus yokogawai

2
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Distribusi Geografis dan Epidemiologi

2.1.1 Lokasi

Metagonimus yokogawai, trematoda usus ini tersebar di Timur Jauh RRC, Korea,
Filipina, Thailand, Taiwan, Jepang, Siberia. Parasit ini terdapat juga di Indonesia serta
ditemukan juga di semenanjung Balkan, Yunan dan Spanyol. Di Indonesia, Lie Kian Joe
pada tahun 1951 menemukan cacing Haplorchis yokogawai pada autopsi tiga orang
mayat. Infeksi manusia di luar daerah endemis dapat terjadi dari menelan ikan acar atau
sushi yang terbuat dari ikan yang diimpor dari daerah endemis. (Garcia, 1996).
Metagonimiasis saat ini merupakan infeksi parasit yang paling penting di Korea
dan sekitar 240.000 warga Korea diyakini saat ini terinfeksi. Dari 240.000 diperkirakan
terinfeksi, 120.000 disebabkan oleh M. yokogawai, 20.000 oleh M. takahashii dan
100.000 oleh M. miyatai. Tingkat nasional infeksi di antara orang-orang yang dipilih
secara acak adalah 1,2% pada tahun 1981, 1,0% pada tahun 1996 dan turun 0,5% pada
tahun 2004. Infeksi M. yokogawai kebanyakan ditemukan di sekitar sungai besar dan
kecil dimana Sweetfish hidup dan telah diidentifikasi sebagai endemic focus.
Metagonimiasis juga umum di Jepang, dengan 10-15% tingkat prevalensi pada populasi
yang berbatasan sungai besar dan 150.000 diperkirakan terinfeksi. Trematoda usus yang
paling umum di daerah pedesaan, dimana kebiasaan makanan tradisional lebih diawetkan
dan ikan mentah dimasukkan ke dalam daftar menu diet (Natadisastra, 2009).

2.1.2 Penderita Laki-Laki atau Perempuan

Metagonimus yokogawai, trematoda usus ini secara umum diperantarai oleh


beberapa jenis hewan laut seperti siput dan ikan. Penyakit yang disebabkan oleh
Metagonimus yokogawai ini biasa disebut dengan metagonimiasis. Metagonimiasis
menyerang perempuan dan laki-laki yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan air
tawar mentah (tidak melalui proses pemasakan terlebih dahulu) terlebih untuk penduduk
yang tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya mengkonsumsi ikan atau hewan laut
mentah.

3
2.1.3 Usia Penderita

Dikarenakan metagonimiasis ini menyerang perempuan dan laki-laki yang


memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan mentah, tidak menutup kemungkinan bahwa
penyakit yang disebabkan oleh Metagonimus yokogawai ini menyerang manusia dari
berbagai usia. Pada tahun 1971, dari pemeriksaan tinja terdapat infeksi M.yokogawai
sebanyak 53% dari 126 orang penduduk pada usia 7-70 tahun.

2.1.4 Status Sosial Ekonomi Penderita

Manusia, terutama pedagang ikan dan hewan lain seperti kucing, anjing, dapat
merupakan sumber infeksi bila menderita penyakit cacing tersebut, melalui tinjanya.
Telur cacing dalam tinja dapat mencemari air serta ikan yang hidup didalamnya. Hospes
definitif mendapatkan infeksi karena memakan daging ikan mentah yang mengandung
metaserkaria hidup. Ikan yang diproses kurang sempurna untuk konsumsi, seperti fessikh,
dapat juga menyebabkan infeksi. Metagonimus yang merupakan penyebab
metagonimiasis telah menjadi infeksi bagi masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi di
berbagai negara seperti Hongkong dan Jepang, karena kebiasaan mereka mengkonsumsi
mereka ikan mentah.

2.2 Anatomi Tubuh

(Metacercariae of Metagonimus spp)

4
(Metagonimus sp dewasa)

Metagonimus yokogawai merupakan salah satu cacing dari keluarga heterophydae.


Cacing dari keluarga heterophydae adalah Heterophyes heterophyes, Metagonimus
yokogawai dan Haplorchis yokogawai. Berikut taksonomi dari Metagonimus yokogawai :
 Kingdom : animalia
 Phylum : platyhelminthes
 Class : trematoda
 Family : heterophyidae
 Ordo : protostomata
 Genus : Metagonimus
 Species : Metagonimus yokogawai
Cacing dari keluarga Heterophyidae berukuran panjang antara 1-1,7 mm dan lebar
antara 0,3-0,75 mm, kecuali genus Haplorcis yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41-

5
0,51 mm dan lebar 0,24-0,3 mm di samping batil isap kelamin yang terdapat di sebelah
kiri belakang. Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang lonjong, ovarium kecil yang agak
bulat dan 14 buah folikel vitelin yang letaknya lateral. Bentuk uterus sangat berkelok-
kelok, letaknya diantara kedua sekum. Telur berwarna agak coklat muda, mempunyai
operkulum, berukuran 26,5-30 x 15-17 mikron, berisi mirasidium. Mirasidium yang
keluar dari telur, menghinggapi keong air tawar/payau, seperti genus pirenella,
Cerithidia, Semisulcospira, sebagai hospes perantara I dan ikan dari genus Mugil,
Tilapia, Aphanius, Achantogobius, Clarias dan lain-lain sebagai hospes perantara II.
Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi redia induk,
berlanjut menjadi banyak serkaria. Serkaria ini menghinggapi ikan-ikan tersebut menjadi
metaserkaria. Untuk cacing dewasa, berukuran ± 1 mm, mempunyai dua buah batil isap.
serta ventral sucker terletak agak lateral. Selain itu, organ reproduksi betina terdiri dari
ovarium dan uterus berisi telur, organ reproduksi jantan terdiri dari dua buah testis yang
letaknya serong di bagian posterior tubuh dan glandula vitellaria berbentuk folikel,
terletak di sisi lateral kiri dan kanan di sepertiga bagian posterior tubuh

2.3 Bentuk Kehidupan

6
Di sini, siklus hidup M.yokagawai, M.takahashii dan M.miyatai memiliki pola
siklus hidup yang sama. Ketiga spesies ini hermafrodit dan mampu melakukan
pembuahan. Telur berembrio yang masuk ke lingkungan perairan (air tawar atau payau)
masing-masing berisi sepenuhnya dikembangkan menjadi larva, yang disebut mirasidium.
Perkembangan tidak dapat dilanjutkan melewati tahap ini kecuali telur yang tertelan oleh
perantara pertama yaitu siput. Setelah siput memakan telur tersebut, mirasidia muncul
dan menembus usus siput. Dalam jaringan siput, miracidia berkembang menjadi
sporokista, kemudian redia, dan akhirnya muncul dari siput sebagai serkaria. Serkaria
kemudian menembus kulit atau menempel di bawah skala ikan air tawar atau payau
sebagai metaserkaria dalam jaringan. Jenis ikan yang berfungsi sebagai perantara kedua
bervariasi berdasarkan lokasi. Ikan yang memakan serkaria tersebut kemudian menjadi
terinfeksi dan manusia pun ikut terinfeksi setelah mengkonsumsi ikan tersebut baik
matang, mentah, atau acar ikan yang mengandung metaserkaria menular itu. Metaserkaria
kemudian berkembang di usus kecil dari host (manusia, mamalia atau burung), dan
berkembang menjadi dewasa. Dalam usus kecil, cacing dewasa menempel pada dinding
dan mengembangkan telur baru.

7
Cacing dewasa melekat pada dinding mukosa usus kecil, telurnya mengandung
embrio dan dikeluarkan bersama tinja. Telurnya kecil, berwarna kuning-kecoklatan,
mempunyai operkulum dengan bahu operkulum yang jelas. Telur besarnya 26-28ԉm x
15-17ԉm. Cacing dewasa Metagonimus sedikit lebih besar daripada Heterophyes dan
mempunyai batil isap perut yang letaknya lebih ke kanan dari aksis garis tengahnya.
Lubang genitalianya melekat pada tepi luar batil isap perutnya. Manusia, terutama
pedagang ikan dan hewan lain seperti kucing, anjing, dapat merupakan sumber infeksi
bila menderita penyakit cacing tersebut, melalui tinjanya. Telur cacing dalam tinja dapat
mencemari air serta ikan yang hidup didalamnya. Hospes definitif mendapatkan infeksi
karena memakan daging ikan mentah yang mengandung metaserkaria hidup. Ikan yang
diproses kurang sempurna untuk konsumsi dapat juga menyebabkan infeksi. Sebagai
usaha untuk mencegah meluasnya infeksi cacing heterophyidae, kebiasaan memakan
daging ikan harus diubah (Natadisastra, 2009).

2.4 Host

Umumnya hospes definitif dari cacing ini merupakan mahkluk pemakan ikan ini
seperti manusia, kucing, anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu. Hospes
perantara : HP1- keong air, HP2-ikan salem. Nama penyakitnya adalah Heterofiliasis.
Yang bertindak sebagai hospes perantara I adalah siput air tawar Semisulcospira
libertine atau spesies lain dari Semisulcospira dan Thiana granifera, sedangkan hospes
perantara II dari jenis ikan Plecoglossus altivelis, Odontobutis obscures, Salmo perryi
dan Tribolodon hakonensis.

2.5 Habitat

Metagonimus ini habitatnya terutama di Jejunum bagian atas dan tengah.


Biasanya terdapat pada lumen usus tetapi mungkin juga menembus di antara vili ataupun
melekat pada mukosa usus.

2.6 Gejala/Keluhan

Parasit ini menimbulkan penyakit yang disebut metagonimiasis pada mukosa usus
terdapat melekatnya cacing dan terjadi peradangan sedang. Sering kali diikuti nekrosis sel

8
mukosa. Batil isap dapat mengiritasi mukosa usus dan menimbulkan keluarnya lendir
dalam jumlah banyak disertai erosi sel mukosa. Sering kali terjadi infiltrasi kapiler dan
limfatik. Telur dapat terbawa ke miokardium, otak, medulla spinalis dan jaringan lainnya
dan dibentuk jaringan granulomatus.

Seringkali timbul gejala diare ringan, tetapi gejala ini ditentukan oleh jumlah
cacing dalamnya luka dan reaksi individual dari penderita. Selain itu juga gejala yang
timbul antara lain nyeri perut, payah jantung, perdarahan serebri dan spinal. Dalam
metagonimiasis akut, manifestasi klinis yang dikembangkan hanya 5-7 hari setelah
terinfeksi. Infeksi berat juga telah dikaitkan dengan epigastrik distremalaise. Masa
inkubasi sekitar 14 hari dan cacing dapat bertahan selama lebih dari 1 tahun. Gejala-
gejala dan kelainan patologinya sama seperti H. heterophyes, dan terutama tergantung
dari jumlah cacing dalam hospes. Telur atau cacing dewasa dapat bersarang di jaringan
otak dan menybabkan kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang ditimbulkan
oleh infeksi berat cacing tersebut adalah mulas-mulas atau kolik dan diare dengan lendir,
serta nyeri tekan pada perut.

2.7 Transmisi/Penularan/Vektor

Cacing dewasa melepaskan sepenuhnya berembrio telur masing-masing dengan


mirasidium yang dikembangkan semua dan telur yang keluar dalam kotoran inang.
Setelah konsumsi oleh siput yang cocok (hospes perantara pertama), telur menetas dan
melepaskan mirasidia yang menembus usus siput. Siput dari genus semisulcospira adalah
hospes perantara yang paling sering untuk Metagonimus yokogawai. Mirasidia
mengalami beberapa tahapan perkembangan pada siput yaitu sporokista, rediae dan
serkaria. Banyak serkaria yang dihasilkan dari setia redia. Serkaria dilepaskan dari siput
dan encyst sebagai metaserkaria dalam jaringan ikan air cocok segar/payau (hospes
perantara kedua). Host definitive terinfeksi oleh ikan tawar yang mengandung
metaserkaria. Setelah konsumsi, ikan yang telah terinfeksi metaserkaria, menempati pada
mukosa dan usus kecil dan tumbuh menjadi cacing dewasa (berukuran 1,0mm sampai 2,5
mm; 0,4 mmsampai 0,75 mm). Selain manusia, ikan, mamalia (misalnya kucing dan
anjing) dan burung juga dapat terinfeksi oleh M. yokogawai.

9
(Semisulcospira sp)

2.8 Diagnosa

Diagnosis didasarkan atas ditemukannya telur dalam tinja. Karena telur dari M.
yokogawai ukuran dan bentuknya sama dengan H. heterophyes dan C. sinensis, diagnosis
pasti harus ditegakkan atas dasar gejala klinik, riwayat klinik, atau ditemukannya cacing
dewasa.

Diagnosis spesifik biasanya dengan menemukan cacing setelah suatu pengobatan.


Pada tahun 1993 dilakukan tes elisa untuk mendiagnosa metagonimiasis dengan hasil
bahwa skrining simultan spesifik antibodi untuk beberapa agen parasit penting dalam
diagnosis serologi penyakit parasit-parasit akut dan penelitian lebih lanjut harus
dilakukan tentang kelebihan metode-metode diagnosis. Diagnosis mungkin sulit karena
kapasitas telur terbatas dan prosedur konsentrasi sedimentasi mungkin diperlukan untuk
menunjukkan telur pada infeksi ringan, identifikasi spesies yang akurat juga sulit karena
telur yang serupa dalam ukuran dan morfologi, terutama yang dari Heterophydes
heterophyes, Clonorchis dan Opishorchis. Hal ini penting untuk dipertanyakan dimana
orang tersebut mungkin telah tertular penyakit itu, cari tahu apakah mereka telah ke
daerah endemis dan memeriksa tanda-tanda dan gejala yang mengakibatkan
metagonimiasis.

2.9 Pengobatan

Seringkali berhasil dengan pemberian obat antelmentika. Tetrachloroethylen


dengan pemberian seperti pada pengobatan farciolopsiasis merupakan obat yang
dianjurkan. Dosis Tetrachloroethylene 0,1 mg/kg namun kurang efektif. Niclosamid
10
merupakan obat yang efektif, lebih baik dari Tetrachloroethylen, dengan sedikit efek
samping. Niclosamide 150 mg/kg/hari dosis tunggal selama 1-2 hari.. Namun
Praziquantel seperti pada pengobatan heterophyiasis merupakan obat pilihan (Tjay, 2015)
 Niclosamid
Niclosamide digunakan untuk mengobati infeksi cacing pita ikan, cacing pita
kerdil, dan cacing pita daging sapi. Niclosamide bekerja dengan membunuh cacing pita.
Cacing yang mati dan terkadang hancur dalam usus ini kemudian dibuang bersamaan
dengan tinja. Beberapa efek samping niclosamide mungkin tidak memerlukan perhatian
medis. Tapi jangan ragu untuk menghubungi dokter jika mengalami kram atau nyeri
perut, diare, kehilangan selera makan, mual atau muntah, pusing, kantuk, gatal di daerah
dubur, ruam kulit. Dosis Niclosamide 150 mg/kg/hari dosis tunggal selama 1-2 hari.

 Praziquantel (Biltricide, Droncit)


Merupakan obat yang cukup efektif. Dosis yang diberikan adalah 40 mg/kg dosis
tunggal, diminum setelah makan malam untuk menghindari pusing. Dosis bisa
dimodifikasi menjadi 2 x 20 mg, selisih waktu 4-6 jam, ternyata memberikan efek
terapeutik yang sama (Tjay, 2015)
Indikasi
Infeksi cacing cestoda (cacing pita) seperti taenia saginata, taenia solium,
hymenolepsis nana, skistosomiasis, infeksi trematoda serta trematoda usus seperti
Metagonimus yokogawai

11
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, Sistiserkosis mata, kehamilan dan menyusui (tidak dianjurkan
menyusui selama 72 jam pasca pengobatan)

Efek samping
Mayoritas efek samping berkembang karena pelepasan isi parasit karena mereka
dibunuh dan akibatnya tuan reaksi kekebalan. Makin berat beban parasit, lebih berat dan
lebih sering efek samping yang terjadi. Efek samping diantaranya yaitu: mual, muntah,
sakit/nyeri perut atau kram, diare bercampur darah, pusing/vertigo, sakit kepala, kantuk,
berkeringat, reaksi alergi (ruam kulit, gatal), peningkatan asimtomatik di hati, nyeri
punggung bawah. Dilaporkan peningkatan minimal enzim hati pada bebera. Efek
samping yang paling sering adalah nyeri kepala, pusing, mengantuk dan kelelahan, efek
lainnya meliputi mual, muntah, nyeri abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria,
artalgia, myalgia, dan demam berderajat rendah pada pasien. Beberapa hari setelah
memulai prazikuantel, dapat terjadi demam berderajat rendah, pruritus, dan ruam kulit
(macular dan urticarial) yang kadang terkait dengan eosinophilia yang mempuruk, hal ini
mungkin disebabkan oleh pelepasan protein dari cacing yang sekarat ketimbang akibat
toksisitas obat langsung. Intensitas dan frekuensi efek simpang meningkat dengan dosis,
sedemikian rupa sehingga insidennya mencapai 50 % pada pasien yang mendapat dosis
25 mg/ kg tiga kali sehari. Kortikosteroid umumnya digunakan bersama prazikuantel
dalam terapi neurosistiserkosis untuk mengurangi reaksi inflamasi, tetapi hal ini menjadi
perdebatan karena kortikosteroid diketahui menurunkan kadar prazikuantel dalam plasma
hingga sebesar 50 %.

Interaksi obat:

- Karbamazepin
- Deksametason
- Fosphenytoin
- Phenobarbital
- Fenitoin
- Rifampin
- Klorokuin
- Ketoconazole

12
Dosis lazim: 150 dan 600 mg setelah makan malam
Dosis Normal untuk Orang Dewasa Penderita Metagonimus Yokogawai (Fluke Usus)
- 75 mg / kg / hari diminum langsung terbagi ke dalam 3 dosis
- Durasi terapi: 1 hari
Dosis Normal Praziquantel untuk Anak-Anak Penderita Metagonimus Yokogawai (Fluke
Usus)
- Usia 4 tahun atau lebih: 75 mg / kg / hari diminum langsung terbagi dalam 3 dosis
- Durasi terapi: 1 hari

Peringatan dan Perhatian


Prazikuantel meningkatnkan angka aborsi pada tikus sehingga tidak boleh
digunakan pada kehamilan jika mungkin. Karena obat ini memicu rasa pusing dan
mengantuk, pasien tidak poleh mengemudi selama menjalani terapi dan harus
ndiperingatkan agar hati-hari ketika melakukan aktivitas yang ememrlukan koordinasi
fisik khusus atau kewaspadaan.

Penyimpanan
Disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yang
lembap.

Penggunaan
3 kali sehari (4 sampai 6 jam terpisah) untuk 1 hari. Jangan mengunyah atau
menghisap tablet karena praziquantel memiliki rasa pahit dan dapat menyebabkan
tersedak atau muntah.

Sediaan: tablet

13
2.10 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi akibat parasit Metagonimus yokogawai ini adalah
obstruksi intestinal, baik partial maupun total. Obtruksinya biasanya terjadi di daerah
ileocecal.

2.11 Pencegahan

Pada dasarnya pemberantasan cacing ini, sama dengan pemberantasan trematoda


usus lainnya yaitu mengurangi sumber infeksi dengan mengobati penderita serta
menghindari penularan dari hospes perantara dengan cara mencuci ikan yang akan
dikonsumsi dan memasak ikan dengan baik sebelum dikonsumsi. Saat ini banyak orang
yang terkena metagonimiasis karena makan ikan mentah atau acar sebagai bagian dari
diet susu tradisional.
Selain itu menerapkan kondisi sanitasi air yang baik untuk mengurangi
perkembangan telur secara menerus dari sumber air, sehingga dapat memutus siklus
hidup cacing. Penggunaan molluscidals juga dapat diterapkan yaitu untuk mengontrol
hospes perantara (siput).
Pencegahan penyakit oleh trematoda dapat di lakukan beberapa hal yaitu
pengobatan penderita sebagai sumber infeksi, desinfeksi dan sanitasi pembuangan tinja,
urine atau sputum, kampanye antimolusca (pemberantasan keong air tawar). Serta
pendidikan terutama menyangkut mandi serta makan.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1) Metagonimus yokogawai tersebar di Timur Jauh RRC, Korea, Filipina, Thailand,


Taiwan, Siberia. Ditemukan juga di Indonesia serta di semenanjung Balkan,
Yunan dan Spanyol, menyerang manusia yang gemar mengkonsumsi ikan
mentah.
2) Host definitif dari M. yokogawai merupakan mahkluk pemakan ikan seperti
manusia, kucing, anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu. Hospes
perantara : HP1- keong air, HP2-ikan salem
3) Diagnosa terhadap M. yokogawai ini biasanya ditegakkan berdasarkan
ditemukannya telur cacing dalam tinja.
4) Pengobatan yang sesuai untuk penyakit yang disebabkan oleh M. yokogawai
adalah Tetrachloroethylene, Niclosamid dan Praziquantel

3.2 Saran

1) Masyarakat harus mencuci ikan dan memasaknya hingga matang untuk tindakan
preventif/pencegahan
2) Perlunya sumber informasi yang lebih untuk penyakit yang disebabkan oleh M.
yokogawai

15
DAFTAR PUSTAKA

Craig and Faust’s. 1974. Clinical Parasitology Eight Edition. London : Great Britain
Garcia, Lynne S & David A. Bruckner. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Hello Sehat. 2016. Praziquantel. https://hellosehat.com/obat/praziquantel/ Diakses 1
Januari 2017
Hidajati, Sri dkk. 2014. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Natadisastra, Djaenudin & Agus Ridad. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari
Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : Buku Kedokeran EGC
Prianyo, Juni & Tjahaya P.U Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Scribd. 2016. Metagonimiasis all. https://www.scribd.com/doc/313708494/Metagonimiasis-
All. Diakses 30 Desember 2016
Tjay, Tan Hoon dan Kirana, Raharja. 2002.Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia

16

You might also like