You are on page 1of 8

HUBUNGAN KOMPENSASI DENGAN KINERJA PERAWAT PUSKESMAS DI BARITO UTARA

Jero K*, Hiryadi**, Khairir R***

Universitas Muhammadiyah Banjarmasin


Fakultas Keperawatan dan Ilmu Kesehatan
Program Studi S.1 Keperawatan.

Email : jerokatelu1990.jk@gmail.com

Abstrak

Mutu kinerja perawat merupakan salah satu tolak ukur pelayanan di puskesmas dalam rangka meningkatkan
kinerja pelayanan puskesmas (Kepmenkes No.836 2005). Kinerja perawat didefinisikan sebagai prestasi
kerja perawat dalam mengimplementasikan tugasnya dalam rangka pencapaian tugas pokok dan tujuan serta
sasaran unit organisasi.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kompensasi terhadap kinerja perawat puskesmas di
Barito Utara
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah perawat
puskesmas yang berada di Barito Utara. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 64 orang perawat
puskesmas yang berasal dari 16 puskesmas di Barito Utara, menggunakan Simple random sampling.
Kompensasi di Barito Utara adalah rendah 51.56 % dan Kinerja Perawat Puskesmas di Barito Utara adalah
Baik 51.56 %. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan uji statistik. Spearman Rho didapatkan hasil p
value = 0.194 >α= 0.05. Kesimpulan tidak terdapat terdapat hubungan antara kompensasi dengan kinerja
perawat puskesmas di Barito Utara.

Kata Kunci : Kinerja perawat puskesmas, Kompensasi.

1. Pendahuluan

Kinerja Perawat adalah merupakan suatu bagian yang sangat penting dari sistem pelayanan kesehatan,
Seiring dengan berkembangnya zaman, perawat dituntut untuk meningkatkan kinerja dalam pelayanan
kesehatan. Sementara, apresiasi dan antisipasi bangsa Indonesia disektor kesehatan, khususnya di bagian
pelayanan keperawatan saat ini jauh dari memadai dalam menghadapi tantangan global. Salah satu syarat
untuk unggul dalam kompetisi dalam era globaisasi adalah tersedianya institusi yang kuat, sumber daya
manusia yang bermutu dalam jumlah yang cukup memadai, birokrasi dalam pemerintah dan Kompensasi
kesehatan. Dampak dari globalisasi terhadap pelayanan kesehatan akan menjadi baik apabila diarahkan
pada terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu, tersedia merata diseluruh pelosok negeri dan dengan
tarif yang terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Depkes RI, (2004).

Puskesmas menjadi ujung tombak dalam mewujudkan Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga.
Kemenkes RI, (2017). Jumlah perawat mendominasi dan memiliki waktu kontak dengan pasien dan
keluarga yang lebih sering dan lama akan menentukan mutu pelayanan di puskesmas. Dalam sistem
pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan khususnya perawat penyebarannya tidak merata diberbagai
daerah. Tahun 2017 Puskesmas di Barito Utara banyak mengalami kekurangan tenaga keperawatan
meningkat 8% dari tahun 2015. Dan hal ini dapat mempengaruhi kinerja pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan.
2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi dengan rancangan cross sectional untuk melihat
hubungan antara Kompensasi dengan Kinerja perawat puskesmas di Barito Utara. Populasi dalam penelitian
ini adalah Perawat puskesmas yang berada di Barito Utara yang berjumlah 181 perawat. menggunakan
simple random sampling, pengambilan sampling menggunakan teknik slovin dengan total sampel 64
perawat puskesmas di Barito Utara.

Alat pengumpul data berupa kuesioner kueisioner ini terdiri dari 16 pertanyaan tentang Kompensasi dan 16
pertanyaan tentang kinerja perawat puskesmas. Kuesioner 1 menggali persepsi perawat atas Kompensasi
melalui jawaban dengan skala likert, yaitu: 1 = sangat tidak setuju apabila pernyataan tersebut sama sekali
tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang dialami; 2 = tidak setuju; apabila pernyataan tersebut tidak
sesuai dengan pendapat atau kondisi yang dialami 3 = setuju, apabila pernyataan tersebut sesuai dengan
pendapat atau kondisi yang dialami; 4 = sangat setuju, apabila pernyataan tersebut sangat sesuai dengan
pendapat atau kondisi yang dialami.
Kuesioner 2 menggunakan empat alternatif jawaban yang merupakan rentang skala kinerja paling rendah
yaitu: 1=TP (tidak pernah), apabila pernyataan tersebut tidak pernah dilakukan sama sekali; 2=J (jarang),
apabila pernyataan tersebut jarang dilakukan (lebih sering tidak dilakukan); 3=S (sering), apabila
pernyataan tersebut sering dilakukan (jarang tidak dilakukan); 4=SL (selalu), apabila pernyataan tersebut
selalu dilakukan (tidak pernah tidak dilakukan).

3. Hasil Penelitian

Data yang didapatkan dianaisis dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat sebagai berikut:

a. Analisa Univariat
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Kompensasi Perawat Finansial di Puskesmas Barito Utara
No Kompensasi Finansial Jumlah Persentase
1 Rendah 34 53,13 %
2 Tinggi 30 46,87 %
Jumlah 64 100 %
Pada tabel 4.2 menunjukan bahwa sebagian besar kompensasi berupa finansial masih tergolong rendah di
kalangan perawat puskesmas yaitu 34 orang (53,12%) dari total responden.

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Kompensasi Non Finansial di Puskesmas Barito Utara
No Kompensasi Nonfinansial Jumlah Persentase
1 Rendah 31 48,44 %
2 Tinggi 33 51,56 %
Jumlah 64 100 %
Pada Tabel 4.3 Menunjukan bahwa kompensasi berupa kompensasi nonfinansial memiliki nilai yang
hampir sama antara tinggi dan rendah yaitu di kalangan perawat puskesmas berjumlah 33 orang perawat
(51,56 %) yang berasumsi kompensasi nonfinansial tinggi dan 31 orang perawat (48,44%) berasumsi
kompensasi nonfinansial rendah dari total sampel.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Kompensasi Perawat Puskesmas di Barito Utara
No Kompensasi Jumlah Persentase
1 Rendah 33 51,56 %
2 Tinggi 31 48,44 %
Jumlah 64 100 %
Pada Tabel 4.4 Menunjukan bahwa kompensasi memiliki nilai yang hampir sama antara tinggi dan rendah
yaitu di kalangan perawat puskesmas berjumlah 33 orang perawat (51.56 %) yang berasumsi kompensasi
tinggi dan 31 orang perawat (48.44%) berasumsi kompensasi rendah dari total sampel

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Kinerja Perawat Puskesmas
No Kinerja Perawat Jumlah Persentase
1 Kurang Baik 31 48,44 %
2 Baik 33 51,56 %
Jumlah 64 100 %
Pada Tabel 4.5 menunjukan bahwa sebagian besar kinerja perawat puskesmas sudah baik yaitu berjumlah
33 orang perawat (51,56 %) dari total sampel.

b. Analisa Bivariat
Tabel 4.6
Tabulasi Silang Hubungan Kompensasi Dengan Kinerja Perawat Puskesmas di Barito Utara

Kompensasi Kinerja Perawat Puskesmas Jumlah %

Kurang % Baik %
Baik
Rendah
16 48,49% 17 51,51% 33 100%
Tinggi
15 48,39% 16 51,61% 31 100%
Total
31 48,43% 33 51,57% 64 100%

r = 0,110
Uji Sperman Rank : 0,194
Pada tabel 4.5 didapatkan bahwa jumlah perawat yang memiliki kinerja yang baik adalah yang terbanyak
walaupun dengan kompensasi yang rendah yaitu sebanyak 17 perawat 26,57 %. Berdasarkan hasil analisis
dengan uji spearman didapatkan bahwa p = 0,194, hal ini berarti hipotesis H1 ditolak dengan kata lain tidak
ada hubungan antara kompensasi dengan kinerja perawat puskesmas.

4. Pembahasan

a. Kompensasi Finansial

Kompensasi di Barito Utara menurut perawat puskesmas masih tergolong rendah 53,13 % dan sebagian
perawat 46,87% yang menyatakan kompensasi finansial tergolong tinggi dari total perwat yang mengisi
kueisioner, karena hal ini tergambar ketika sebagian besar perawat puskesmas merasakan kompensasi yang
mereka terima masih terasa kurang, ini juga didukung pernyataan perawat dalam hasil pengukuran yang
menunjukkan bahwa lebih dari sebagian perawat merasa harus bekerja di tempat lain untuk memenuhi
kebutuhannya, 13 orang (20,31%) perawat setuju dengan pernyataan tersebut, perawat juga tidak merasakan
kompensasi yang diterima akan semakin baik pada saat mereka bekerja dengan semakin baik, 11 orang
(17,18%) perawat dominan menyatakan hal tersebut, sebagian perawat 12 (18,75) merasa tidak setuju
dengan pernyataan penilaian kinerja mempengaruhi kompensasi yang diterima.

Hasil penelitian yang sama juga dipaparkan oleh Firdaus (2003) yang menunjukkan sebagian perawat di
RSU Ulin Kota Banjarmasin juga mempersepsikan kompensasi yang mereka terima pada kategori rendah.
Persepsi yang rendah terhadap kompensasi akan membuat perawat menjadi kurang termotivasi untuk
bekerja dengan lebih baik.
Menurut Wibowo (2007) kompensasi ataupun insentif dibuat untuk menghubungkan penghargaan dan
kinerja dengan memberikan imbalan kinerja tidak berdasarkan senioritas atau jam bekerja. Program insentif
juga dirancang untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan. Hal ini sejalan juga disampaikan oleh Rivai
(2009) yang mengatakan tujuan dari kompensasi adalah untuk memberikan tanggung jawab dan dorongan
kepada karyawan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil kerjanya Lebih lanjut Rivai
(2009) mengatakan sistem insentif menghubungkan kompensasi dengan menilai kinerja yang telah dicapai
dan ini akan membuat karyawan merasa sebagai mitra perusahaan yang berkewajiban turut serta
mengembangkan perusahaan.

Peneliti menyimpulkan lebih lanjut kondisi persepsi rendah akan kompensasi yang diterima apabila tidak
dibenahi maka akan membuat perawat menjadi tidak puas dalam bekerja. Ketidakpuasan dalam bekerja
terhadap faktor kompensasi akan membuat individu berupaya untuk memenuhi kebutuhan dengan bekerja
di tempat lain, hal ini didukung dengan item pernyataan perawat yang merasa perlu bekerja di tempat lain
untuk memenuhi kebutuhannya. Tuntutan pemenuhan kebutuhan ini akan membuat individu tidak
berkonsentrasi saat memberikan pelayanan kepada pasien, dan berdampak terjadinya ketidakpuasan dari
pasien terhadap pelayanan yang diberikan. Dengan demikian institusi perlu melakukan suatu upaya
pembenahan atau menata ulang mekanisme pemberian kompensasi yang bisa menciptakan kekuatan
motivasi yang lama dengan mendasarkan pemberian kompensasi pada unsur-unsur yang langsung dirasakan
oleh perawat serta aspek profesionalime pekerjaan perawat.

b. Kompensasi Nonfinansial

Kompensasi Nonfinansial di Barito Utara menurut perawat puskesmas walaupun tergolong tinggi 51,57 %
namun hampir memiliki nilai yang sama dengan yang berasumsi rendah 48,48% dari total perwat yang
mengisi kueisioner, karena hal ini tergambar ketika sebagian perawat puskesmas merasakan kompensasi
Non finansial yang mereka terima masih terasa kurang, namun sebagian besar kompensasi non finansial
dipersepsikan tinggi oleh perawat, diantaranya: dalam pengakuan, 9 (14,06%) dan pertumbuhan diri 11
(17,18%) dari total sampel perawat, sedangkan untuk tanggung jawab hanya sedikit jumlah perawat yang
mempersepsikan pada kategori tinggi (9,37%). Hasil yang berbeda ditemukan untuk kompensasi finansial
dimana ditemukan lebih banyak perawat puskesmas di Barito Utara yang menyatakan Kompensasi finansial
berada pada kategori rendah.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lannasari (2005) yang menyatakan bahwa faktor non finansial
adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi motivasi kinerja perawat di RS Cianjur. Faktor non
finansial menjadi salah satu yang dipersepsikan tinggi oleh perawat di Barito Utara karena perasaan puas
pada pemenuhan kebutuhan non finansial akan jauh lebih lama terpelihara dibandingkan dengan faktor
finansial. Hal ini sesuai dengan teori dua faktor dari Herzberg dalam Armstrong (2003) yang
mengemukakan ada dua hal yang dapat memberikan kepuasan dalam bekerja, yaitu: motivator (faktor
sesuatu yang dapat memotivasi) antara lain adalah faktor prestasi (achievement), faktor
pengakuan/penghargaan, faktor tanggung jawab, faktor memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam
bekerja khususnya promosi, dan faktor pekerjaan itu sendiri;. hygiene factors (kebutuhan kesehatan
lingkungan kerja) dapat berbentuk upah/gaji, hubungan antara pekerja, supervisi teknis, kondisi kerja,
kebijaksanaan perusahaan, dan proses administrasi di perusahaan.

c. Kinerja Perawat Puskesmas di Barito Utara

Kinerja perawat puskesmas di Barito Utara tergolong baik yaitu 51,57 % dari total perawat yang mengisi
kuesioner tentang kinerja perawat, karena hal ini didapatkan dalam hasil pengukuran kepada perawat
puskesmas di Barito Utara, yaitu didapatkan 15 (23,43%) perawat merasa selalu mengobservasi lapangan
untuk mencari masalah keperawatan, 12 (18,75%) perawat juga sering mempertimbangakan kebijakan,
aturan, sumber daya dan fasilitas yang ada dalam merencanakan tindakan keperawatan namun 8 (12,5%)
perawat juga ada yang jarang memberikan penjelasan pada keluarga tentang bahaya penggunaan obat-
obatan. Pernyataan perawat dalam hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa hanya sedikit perawat 4
(6,24%) yang melakukan pekerjaan melebihi standar, sebagian besar perawat merasa terpaksa puas dengan
hasil pekerjaan.

Data ini menunjukkan bahwa perawat telah memiliki persepsi yang tinggi terhadap pencapaian dan hal ini
akan membuat perawat menjadi termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik. Wibowo (2007) mengatakan
kemampuan untuk memulai dan mengakhirri pekerjaan mempunyai arti penting bagi individu dimana orang
menilai kinerja individu melalui kemampuannya dalam penyelesaian tugas. Kemampuan menyelesaikan
tugas dalam diri seseorang merupakan self-reward, yang dapat mempunyai pengaruh motivasi yang kuat.
Selain itu Herzberg (1966) yang dikutip oleh Gillies (1996) juga menyatakan bahwa pencapaian prestasi
individu sering dikaitkan dengan kinerja individu sebagai akibat adanya kepuasan kerja terhadap faktor
pencapaian prestasi ini. Pada akhirnya pencapaian prestasi merupakan suatu pencatatan oleh diri individu
sendiri sebagai suatu penghargaan yang diperoleh dari pencapaian tujuan yang menantang.

Berdasarkan penjelasan teori-teori sebelumnya maka peneliti menyimpulkan kinerja perawat ini lebih
disebabkan oleh faktor motivasi berprestasi pada diri individu yang berbeda tergantung pada individu itu
sendiri. Hal ini juga didukung pernyataan perawat dalam hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa hanya
sedikit perawat yang melakukan pekerjaan melebihi standar, sebagian besar perawat merasa terpaksa puas
dengan hasil pekerjaan. Meskipun demikian motivasi pencapaian berprestasi ini tetap penting
dimaksimalkan oleh organisasi karena apabila motivasi pencapaian berprestasi ini tidak dimaksimalkan
maka akan berdampak pada peningkatan kinerja yang baik sehingga kepada kepuasan pasien terhadap
pelayanan juga akan semakin meningkat.

Untuk menciptakan motivasi pencapaian prestasi ini maka organisasi perlu menata batasan desain kerja dan
manajemen kinerja melalui pengaturan kompetensi dan mekanisme penghargaan yang lebih tertata, dan
menyentuh aspek profesionalisme. Hal ini akan makin mendukung keberadaan sistem penjenjangan karir
berdasarkan grading yang dilaksanakan setiap tahun, agar persepsi perawat terhadap keberhasilan
kompetitif yang diukur berdasarkan standar keunggulan pribadi ini dapat menempatkannya sebagai suatu
kepuasan kerja yang dapat menjadi suatu motivator kinerja yang baik

d. Hubungan Kompensasi dengan Kinerja Perawat Puskesmas di Barito Utara

Tidak terdapat hubungan antara kompensasi dengan kinerja perawat puskesmas di Barito Utara. Hubungan
dibuktikan dengan didapatkan data dengan uji spearman yaitu (0,194). Hal yang menjadi penyebab hasil
hubungan kompensasi dengan kinerja tidak bermakna adalah karena sistem penghargaan bukan satu-
satunya faktor yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Oleh karena itu menurut peneliti, peranan
berbagai faktor ini juga cukup besar terhadap optimalisasi kinerja individu. Dimana dampak kompensasi
akan bisa meningkatkan kinerja perawat secara efektif manakala faktor-faktor lain yang berpengaruh juga
dilakukan pembenahan dan perbaikan, karena tanpa ketersediaan dukungan dari faktor-faktor yang lain
maka dampak Pemberian kompensasi tidak akan bermakna secara langsung terhadap peningkatan kinerja
Perawat.

Hal ini sesuai dengan teori dua faktor dari Herzberg dalam Armstrong (2003) yang mengemukakan ada dua
hal yang dapat memberikan kepuasan dalam bekerja, yaitu: motivator (faktor sesuatu yang dapat
memotivasi) antara lain adalah faktor prestasi (achievement), faktor pengakuan/penghargaan, faktor
tanggung jawab, faktor memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam bekerja khususnya promosi, dan
faktor pekerjaan itu sendiri;. hygiene factors (kebutuhan kesehatan lingkungan kerja) dapat berbentuk
upah/gaji, hubungan antara pekerja, supervisi teknis, kondisi kerja, kebijaksanaan perusahaan, dan proses
administrasi di perusahaan.

Hasil penelitian ini berkesuaian dengan hasil penelitian Sastradijaya (2004) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kinerja perawat dimana didapatkan data tidak ada hubungan yang bermakna antara
imbalan dengan kinerja perawat di ruang rawat inap RSUD Kota Cilegon tahun 2004 dan hasil penelitian
Muharyati (2006) yang mendapatkan data tidak ada hubungan yang bermakna antara kompensasi dengan
kinerja perawat di ruang rawat inap RS Jiwa Prof. HB. Sa'anin Padang tahun 2006.

Simamora (2004) berpendapat bahwa kompensasi merupakan upaya untuk memperkuat hubungan kinerja-
imbalan dan dengan demikian memotivasi kalangan karyawan yang terpengaruh. kompensasi sebagai
bagian dari keuntungan yang biasanya akan diberikan pada para karyawan yang bekerja secara baik atau
yang berprestasi. Namun penelitian ini tidak berkesuaian dengan hasil penelitian Firdaus (2003) yang
menyatakan adanya hubungan bermakna antara imbalan berupa insentif dengan kinerja. Selain itu Mutia
(2004) menemukan kompensasi berhubungan dengan motivasi seseorang dalam bekerja.

Menurut Gibson dalam Yaslis Ilyas (2002) menjelaskan bahwa dalam organisasi ada 5 hal yang
mempengaruhi kinerja karyawan yaitu Sumber daya, Kepemimpinan, Kompensasi, Struktur dan desain
Pekerjaan. Hal lain yang menjadi penyebab hasil hubungan kompensasi dengan kinerja tidak terlalu
berhubungan adalah karena sistem kompensasi bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap
kinerja seseorang.

Oleh karena itu menurut peneliti, peranan berbagai faktor ini juga cukup besar terhadap optimalisasi kinerja
individu. Dimana dampak kompensasi akan bisa meningkatkan kinerja karyawan secara efektif manakala
faktor-faktor lain yang berpengaruh juga dilakukan pembenahan dan perbaikan, karena tanpa ketersediaan
dukungan dari faktor-faktor yang lain maka dampak Pemberian kompensasi tidak akan bermakna secara
langsung terhadap peningkatan kinerja karyawan.

5. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar kompensasi berupa finansial masih tergolong rendah
di kalangan perawat puskesmas yaitu 34 orang (53,12%) dari total responden.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kompensasi berupa kompensasi nonfinansial memiliki nilai yang
hampir sama antara tinggi dan rendah yaitu di kalangan perawat puskesmas berjumlah 33 orang perawat
(51,56 %) yang berasumsi kompensasi nonfinansial tinggi dan 31 orang perawat (48,44%) berasumsi
kompensasi nonfinansial rendah dari total sampel

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara keseluruhan kompensasi memiliki nilai yang hampir sama
antara tinggi dan rendah yaitu di kalangan perawat puskesmas berjumlah 33 orang perawat (51.56 %) yang
berasumsi kompensasi tinggi dan 31 orang perawat (48.44%) berasumsi kompensasi rendah dari total
sampel.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar kinerja perawat puskesmas di Barito Utara sudah
baik yaitu berjumlah 33 orang perawat (51,56 %) dari total sampel.

Hasil Penelitian ini didapatkan bahwa jumlah perawat yang memiliki kinerja yang baik adalah yang
terbanyak walaupun dengan kompensasi yang rendah yaitu sebanyak 17 perawat 26,57 %. Berdasarkan
hasil analisis dengan uji spearman didapatkan bahwa p = 0,194, hal ini berarti hipotesis H1 ditolak dengan
kata lain tidak ada hubungan yang bermakna antara kompensasi dengan kinerja perawat puskesmas.
6. Saran

Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat hendaknya tetap menjaga kualitas kinerja pelayanan keperawatan
kepada pasien walaupun tidak sepadan dengan kompensasi yang diterima, karena dengan mempertahankan
bahkan meningkatkan kinerja diharapkan pemerintah dapat lebih memperhatikan kompensasi bagi profesi
perawat di Indonesia khususnya di Barito Utara.

Puskesmas diharapkan dapat lebih memperhatikan perawat karena perawat merupakan ujung tombak
puskesmas, dan juga puskesmas diharapkan lebih adil dalam memberikan kompensasi yang dapat lebih
menunjang lagi kinerja perawat yang sekarang sudah tergolong baik menjadi lebih baik lagi khususnya bagi
puskesmas di Barito Utara.

Peneliti dapat melanjutkan penelitian ini dengan variabel yang berhubungan dalam meningkatkan kinerja
perawat, tidak hanya kompensasi saja namun beberapa hal lain yang berpengaruh. Juga diharapakan peneliti
lainnya agar dapat melakukan penelitian lainnya di Barito Utara karena terbatasnya peneliti yang meneliti di
daerah Barito Utara tentang masalah kesehatan serta apabila peneliti lain menggunakan instrument didalam
penelitian ini, diharapkan dapat mengujivalidkan terlebih dahulu intstumennya sebelum melakukan
penelitian.

Daftar Rujukan

Armstrong and Murlis., (2003). Reward management (1st ed). Jakarta: Gramedia

Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Ed Revisi. Jakarta : Rineka. Cipta.

Arikunto (2006). Prosedur penelitian : suatu pendekatan praktik. Jakarta : PT.Asdi Mahasatya.

Christoper Lovelock & Lauren K Wright.2007. Manajemen Pemasaran Jasa, PT. Indeks, Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia., (2004). Sistem kesehatan nasional. Jakarta: Depkes

Departemen Kesehatan Republik Indonesia., (2005). Instrumen evaluasi penerapan standar asuhan keperawatan
di rumah sakit. Cetakan Kelima Jakarta: Depkes

Departemen Kesehatan Republik Indonesia., (2005). Standar tenaga keperawatan. Jakarta: Depkes

Depkes RI (2000), Sistem Penilaian Kinerja Pegawai di Puskesmas. Jakarta : Depkes

DepKes RI (2006). Pedoman Peningkatan Kinerja Perawat Di Puskesmas. Jakarta DepKes

Dewi B.G., & Wiku A. (2005). Hubungan karakteristik perawat, isi pekerjaan dan lingkungan pekerjaan
terhadap kepuasan kerja perawat di instalasi rawat inap RSUD Gunung Jati Cirebon. Makara Kesehatan
Volume 9, Nomor 1, Juni 2005:1-8

Djaslim Saladin . 2003. Manajemen Pemasaran (Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian).
Bandung : Linda karya

DwiParhasto (2006). Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas melalui pelatihan berjenjang Pada
Dokter dan Perawat, Jurnal Manajemen Pelayanan kesehatan, No 2 (Vol 9) Edisi 2006

E. Mulyasa. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya


Fransiskus (2013) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Pegawai Kesehatan Di Puskesmas.
Makasar. STIK Tamalatea.

Kemenkes RI (2016). Sekjen Kemenkes dan 41 Bupati Tandatangani MoU Penempatan NS.
http://www.depkes.go.id/article/view/16092600002/sekjen-kemenkes-dan-41-bupati-tandatangani-mou-
penempatan-ns.html dikunjungi tgl 15 Juli 2017 pukul 15.00 Wita.

Kemenkes RI (2017). Prioritaskan Yankes di Perbatasan, Kemenkes Ingin Nasionalisme Meningkat.


http://www.depkes.go.id/article/view/16052300008/prioritaskan-yankes-di-perbatasan-kemenkes-ingin-
nasionalisme-meningkat.html dikunjungi tgl 21 Juli 2017 pukul 19.00 Wita.

Mangkunegara, A.P. (2004). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: Rosdakarya

Moh, Uzer Usman. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandug: Remaja

Nawawi. (2008) Manajemen sumber daya manusia untuk bisnis yang kompetitif, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Notoatmodjo, S. (2009) Pengembangan sumber daya manusia, Jakarta : Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : Salemba
Medika

Royani (2010). Hubungan Pelaksanaan Sistem Penghargaan dengan Kinerja Perawat dalam Melaksanakan
Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon Banten. Jakarta. Tesis Universitas
Indonesia.

Simamora, H. (2004). Manajemen sumber daya manusia. (Edisi Kedua). Yogyakarta. STIE YKPN.

Swansburg., and Swansburg. (1999). Introductory management and leadership for nurses, (2nd Ed). Boston :
Jones and Barlett Publisher.

Siagian, Sondang (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Bumi Askara, Jakarta.

Siagian, DS. (2004) Manajemen sumber daya manusia, Jakarta: Buni Aksara

Simamora, H. (2004). Manajemen sumber daya manusia. (Edisi Kedua). Yogyakarta. STIE YKPN.

Wibowo, (2007). Manajemen Kinerja. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta

* Jero Katelu. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

** Hiryadi, Ns,M.Kep,Sp.Kom. Dosen Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

*** H. Khairir Rizani, SST,M.Kes Dosen Poli Tekhnik Kesehatan Banjarmasin

You might also like