You are on page 1of 4

Fungsi Hadist Terhadap Pemahaman Al-Quran

Dalam eksistensinya, tentu saja hadist memiliki manfaat dan juga fungsi terhadap Al-Quran
sebagai dasar dari pengetahuan islam. Hadist yang memiliki fungsi ini harus dipastikan dulu
bahwa hadist tersebut adalah hadist yang benar-benar valid dan juga sudah diuji kebenarannya.
Berikut adalah fungsi hadist terhadap Al-Quran menurut para ulama tafsir.

1. Bayan At-Taqrir

Bayan At Taqrir adalah menetapkan juga memperkuat dari apa yang sudah diterangkan dalam
Al-Quran. Hadist ini berfungsi untuk membuat kandungan Al-Quran semakin kokoh dengan
adanya penjelasan hadist tersebut.

Contoh fungsi ini seperti hadist yang menjelaskan QS Al Baqarah 185 (“… maka barang siapa
yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa….” (Q.S. Al-Baqarah: 185),
mengenai masalah puasa. : “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga
apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR Muslim)

2. Bayan At-Tafsir

Bayan At Tafsir memiliki arti sebagai fugsi perincian dan penafsiran Al-Quran. Mungkin di Al-
Quran masih bersifat umum, sedangkan dalam hadist diperinci dan didetailkan serta
mentekniskan apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran.

Misalnya saja Allah memerintahkan manusia beriman untuk melaksanakan shalat. Mengenai
teknis detail dan caranya, hal ini diperjelas dengan hadist sebagaimana yang telah Rasulullah
lakukan.

3. Bayan At-Tasyri’

Bayan At Tasyri memiliki maksud untuk mewudukan hukum atau aturan yang tidak didapat
dalam Al-Quran secara eksplist. Hal ini berfungsi untuk menunjukkan suatu kepastian hukum
dengan berbagai persoalan yang ada di kehidupan namun tidak dijelaskan Al-Quran.

Hal ini misalnya tentang Hukum merajam wanita yang masih perawan, tentang hak waris anak,
tentang masalah hukum ekonomi, dan sebagainya.

4. Bayan An-Nasakh

Bayan Nasakh memiliki maksud untuk menghapus ketentuan yang ada dengan ketentuan yang
lain karena datangnya suatu permasalahan yang baru. Namun tentunya bukan menghapus isi dan
substansi dari Al-Quran hanya saja masalah teknisnya yang berbeda.
Semoga umat islam selalu dapat mengamaliahkan islam sesuai dengan rukun islam , rukun
iman , Fungsi Iman Kepada Kitab Allah, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, d

Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an


Fungsi hadits yang pertama adalah menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat di dalam
Al-Qur’an contohnya dalam Al-Qur’an terdapat kewajiban beriman kepada Allah dan Rasulnya
yaitu di dalam surat Al-A’raff :

Artinya: “Katakanlah: “Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,
Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-
Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS. Al-A’raaf (7):
158).
Selanjutnya dalam hadits juga dikatakan yaitu:

Artinya: “Iman itu ialah engkau memercayai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-
Nya, hari akhir dan beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk-Nya”.(HR.Muslim).
Selanjutnya fungsi kedua Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi
sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Fungsi Hadits Rasulullah
SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam–macam. Imam Malik bin Anas
menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan
al-ba’ts, bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu, bayan al-tafsil, bayan
al-takhshis, bayan at-ta’yin, bayan al-tasyrik, dan bayan al-nasakh. Imam Ahmad bin Hanbal
menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan
at-takhshis.[1] Agar masalah ini lebih jelas, maka dibawah ini akan di uraikan satu per satu :

1. Bayan Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al- ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud
dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-
Qur’an. Fungsi hadis ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang
diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:
َ ‫ضأ‬ َ َ‫صُلَة ُ َم ْن أَحْ د‬
َّ ‫ث َحتَّى يَت ََو‬ َ ‫سلَّ َم الَت ُ ْقبَ ُل‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ُُلهلل‬
ُ ‫قَا َل َر‬

Artinya: “Rasulullah s.a.w telah bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas
sebelum ia berwudhu”. (HR. Bukhari).
Hadis ini mentaqrir QS Al-Maidah (5):6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan
mendirikan shalat. Yang artinya:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki……” (QS. Al-Maidah (5): 6).
Abu Hamadah menyebutkan bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq
li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-
Qur’an.

2. Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan
rinciaan dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global
(mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak,
dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Salah
satu contoh ayat al-Qur’an yang mujmal yaitu tentang perintah shalat. Ayat ini bersifat mujmal,
baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya.
Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w, melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-
masalah tersebut. Sebagai contoh:
َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأَ ْيت ُ ُمونِي أ‬
‫ص ِلي‬ َ

Artinya: “Shalatlah sebagaimana engakau melihat aku shalat”. (HR. Bukhari).


Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan
secara rinci. Salah satunya ayat yang memerintahkan shalat adalah:

Artinya: “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku” . (QS. Al-Baqarah (2): 43).

3. Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan Bayan Al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
Hadits-hadits Rasulullah yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya hadits tentang
penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya),
hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak
waris bagi seorang anak.2 Suatu contoh hadits tentang zakat fitrah,
‫ش ِعي ٍْر َعلَى ُك َّل ُح ٍر‬ َ ‫صاعًا ِم ْن‬ َ ‫صاعًا ِم ْن ت َْم ٍر أ َ ْو‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬
َ ‫اس‬ ْ ‫ض زَ كَاة َ ْال ِف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫سلَّ َم فَ َر‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أ َ ْن َر‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬
ْ ُ َ َ
َ‫أ ْو َع ْب ٍد ذَك ٍَر أ ْو أ ْنثَى ِمنَ ال ُم ْس ِل ِميْن‬

Artinya: “ Bahwa sanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada
bulan Romadlon satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (HR. Muslim).
Hadis Rasul s.a.w yang temasuk bayan at-Tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban
mengamalkan hadis-hadis lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasulullah s.a.w
yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati,
tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukan sikap (Rasulullah s.a.w) mendahului al-
Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.

4. Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepekati oleh para ulama, meskipun
untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut defenisi (pengertian)
nya saja.
Untuk bayan yang keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Kata Nasakh
secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan
taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-Nasakh banyak yang melalui pendekatan
bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya.
Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutakodimin. Menurut
ulama mutakodimin bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah
suatu hukum meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa
diamalkan lagi, dan syari’ (pembuat syariat) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan
selamanya. Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah hadits yang berbunyi :

ٍ ‫ص َيةَ ِل َو ِار‬
‫ث‬ ِ ‫الَ َو‬

Artinya: “ tidak ada wasiat bagi ahli waris”.


Hadits ini menurut mereka menasakh isi firman Allah SWT :

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah (2):
180).
Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya,
meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah
sebagian besar pengikut madzhab Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.[2]
Perlu diketahui bahwa al-Qur’an menekankan bahwa Rasul s.a.w berfungsi untuk menjelaskan
maksud firman-firman Allah. (QS. An-Nahl 44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam
pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk, sifat dan fungsinya.[3]

You might also like