You are on page 1of 31

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DAN PERBEDAAN HADITS

NABAWI, HADITS QUDSI, DAN AL-QUR’AN

MAKALAH

DISUSUN OLEH:

PUTRA MINDAR ILHAM PRATAMA

DOSEN PENGAPUH:

H. YUNUS ANWAR Lc.,M.Ag

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS AGAMA ISLAM

MAKASSAR

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika Muhammad mendekati batas akhir hayatnya, mayarakat arab telah
menjelma menjadi umat yang terkondisikan dengan baik di atas norma-norma Islam.
Dalam keadaan demikian, beliau merasa telah berhasil merampungkan misi
kerasulannya yang sudah diembannya sejak pertama kali menerima wahyu. Dalam
mejalankan misinya itu, seluruh perilaku dan kondisi yang hadir pada diri
Muhammad dipersepsikan sebagai sistem etika universal yang menjadi sumber
hukum yang kedua setelah al- Qur’an. Sebab sistem etika tersebut tidak lepas dari
kerangka etika al-Qur’an. Pernyataan ini didukung oleh salah satu riwayat yang
disampaikan oleh ‘Aisyah bahwa prilaku (akhlak) muhammad adalah al-Qur’an.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan hadis (sunnah) Nabi sangat
penting dan mendasar karena kedudukannya sebagi sumber hukumsama dengan al-
qur’an. Namun jika diurut secara hirarkis maka sumber hukumyang pertama adalah
al-Qur’an, sedangkan hadis menempati posisi yang kedua. Keduanya menjadi satu-
kesatuan yang intregral.1
Dalam perspektif sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, hadis telah
menjadi referensi bagi seluruh bentuk tata kehidupan bagi masyarakat generasi awal.
Karena posisinya sebagai fokus referensi demikian, maka hadis pernah dimanfaatkan
oleh kelompok-kelompok tertentu, baik internal maupun eksternal komunitas muslim
untuk kepentingan yang tidak proporsional, bahkan tidak benar.2 Untuk tujuan
demikian, hadis diproyeksikan sebagai alat legitimasi bagi kepentingan individual
maupun komunal yang pada ujung- ujungnya melahirkan hadis maudlu’ (palsu).

1
Muhammad Mahfuz al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nasr (Surabaya : Maktabah Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974), h.8;
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karaci: Centrall Institut of Islamic Research, 1965), h. 1-4; Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 2000), h. 75.
2
latar belakang munculnya hadis palsu dalam M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi : Antara Pengingkar dan Pembelanya (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 7.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam ?


2. Apa saja fungsi hadis dalam hubungannya dengan Al-Qur’an?
3. Apa perbedaan antara hadits Nabawi, hadits Qudsi, dan Al-Qur’an?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam
2. Mengetahui fungsi hadits dalam hubungannya dengan Al-Qur’an
3. Mengetahui perbedaan antara hadits Nabawi, hadits Qudsi, dan Al-Qur’an
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam


Pada suatu hari, Imran bin Husayn duduk dan berbincang-bincang Bersama sahabat-
sahabatnya. Tiba-tiba di antara mereka ada yang berkata “Janganlah kamu menceritakan
kepada kami kecuali Al-Qur’an”. Imran bin Husayn berkata kepadanya, tahukah kamu
seandainya kamu dan sahabat-sahabat kamu hanya berpegang teguh kepada Al-Qur’an,
maka apakah kamu akan mendapatkan penjelasan bahwa salat zuhur itu empat rokaat
dan salat magrib itu tiga rokaat, serta kamu mengeraskan bacaanmu dua rakat pertama
dari salat magrib?” Selanjutnya dia berkata, “wahai kaumku, berpegang teguhlah dan
ambillah daripadaku hadits Nasbi Muhammad SAW., karena sesungguhnya jika kamu
mengabaikannya, niscaya kamu akan sesat.”3
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam, dapat
dillihat beberapa argumenttasi berupa dalil-dalil, baik naqli (berdasarkan Al-Qur’an)
maupun aqli (rasional).

1. Dalil Al-Qur’an
Allah memerintah kaum muslimin untuk patuh dan tunduk kepada rasul-Nya
sebagaimana mereka patuh dan tunduk kepada Allah swt. Sebagaimana dijelaskan
pada beberapa ayat berikut:

َ‫ب ا ْلكَاف ِِرين‬ َ ‫سو َل ۖ َف ِإ ْن ت َ َوله ْوا َف ِإنه ه‬


ُّ ِ‫َّللا ََل يُح‬ ُ ‫الر‬ َ ‫قُ ْل أَطِ يعُوا ه‬
‫َّللا َو ه‬
“Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".’’ (Q.S. Ali Imran: 32)
ِ ‫شدِي ُد ا ْل ِعقَا‬
‫ب‬ َ ‫ع ْنهُ َفا ْنت َ ُهوا ۚ َواتهقُوا ه‬
َ ‫َّللا ۖ إِنه ه‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫سو ُل َف ُخذُوهُ َو َما نَهَا ُك ْم‬ ‫و َما آتَا ُك ُم ه‬...
ُ ‫الر‬ َ
‘’….Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.’’ (Q.S. Al-Hasyr: 7)

3
Nuur al-Diin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiy ‘Uluum al-Hadiits. Diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul: ‘Ulum al-Hadits, Jilid
I (Cetakan I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 2.
Selain itu, banyak juga ayat yang menyebutkan bahwa ketaatan kita
kepada Allah SWT sejajar dengan ketaatan kepada Allah. Beberapa ayat itu antara
lain sebagai berikut:
َ‫َّللا‬
‫ع ه‬ َ َ ‫سو َل َفقَ ْد أ‬
َ ‫طا‬ ‫َم ْن يُطِ عِ ه‬
ُ ‫الر‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”
(Q.S. An-Nisa: 80)

2. Dalil Hadis
Kedudukan hadis juga dapat dilihat melalui hadis hadis nabi. Nabi Muhammad
bersabda sebagai berikut:

‫سنهةَ نَبِيِ ِه‬


ُ ‫َّللا َو‬
ِ ‫اب ه‬ ‫ت َ َركْتُ فِي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت َ ِضلُّوا َما تَ َم ه‬
َ َ‫س ْكت ُ ْم بِ ِه َما ِكت‬
“Aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.”
(H.R. Malik no.1935)
Dalam hadis lain rasulullah saw bersabda ;
‫ش ِدينَ ت َ َم ه‬
‫سكُوا بِهَا‬ ‫سنه ِة ا ْل ُخلَفَاءِ ا ْل َم ْهدِيِينَ ه‬
ِ ‫الرا‬ ُ ِ‫َفعَلَ ْي ُك ْم ب‬
ُ ‫سنهتِي َو‬
“Kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan
mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya.” (H.R. Abu Dawud no. 3991)

3. Adanya konsensus (Ijma’) Ulama


Ijmak atau Ijma' (Arab:‫ )إجماع‬adalah kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis
dalam suatu perkara yang terjadi.
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadists sebagai salah satu dasar hukum.
Penerimaan mereka terhadap hadist sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-
Qur’an. Keduanya dijadikan sebagai sumber ajaran dan hukum dalam Islam.
Kesepakatan ulama dan umat Islam dalam memercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis, berlaku
sepanjang zaman, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang
tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi juga
menghafal, men-tadwin (menulis dan membukukakn hadis), memelihara, dan
menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis
sebagai sumber Hukum Islam, antara lain terdapat dalam beberapa peristiwa
berikut:
a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan
Rasulullah. Sesungguhnya saya takut tersesat apabila meninggalkan
perintahnya.”
b. Saat Umar berada di depan hajar aswad, ia berkata, “Saya tahu bahwa
engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
menciummu, saya tidak akan menciummu.
c. Diceritakan dari Sa’id bin Musyabbab bahwa Utsman bin Affa
berkata, “Saya duduk sebagaimana duduknya Nabi Muhammad SAW,
saya makan sebagaimana maknnya Nabi, dan saya shalat sebagaimana
shalatnya Nabi.

4. Adanya Kesesuaian dengan Pertimbangan Akal


Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah dibenarkan dan diyakini umat Islam.
Hal itu menunjukkan adanya pengakuan bahwa Nabi Muhammad SAW membawa
misi untuk menegakkan amanat yang diberikan Allah SWT. Dari sisi akidah, Allah
SWT menjadikan kerasulan itu sebagai salah satu prinsip keimanan. Dengan
demiikian, manifestasi dari keimanan itu mengharuskan kita menaati dan
mengamalkan segala peraturan/perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik
yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihadnya sendiri.
Di dalam mengemban misinya, kadang-kadang beliau hanya menyampaikan
apa yang diterima dari Allah SWT. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk wahyu. Hasil
ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhnya. Berikut contoh
ijtihad Rasulullah SAW:
a. Terdapat riwayat bahwa Nabi saw pernah menggunakan qiyas (analog)
didalam ijtihadnya. Didalam shahih Bukhori disebutkan bahwa seorang
wanita dari Juhainah berkata kepada beliau saw, ”Sesungguhnya ibuku
telah bernadzar untuk berhaji akan tetapi dia belum berhaji hingga
meninggalnya. Apakah aku berhaji baginya?’ Beliau saw
menjawab,”Berhajilah baginya. Bukankah seandainya ibumu memiliki
utang maka engkau harus memabyarkannya? Tunaikanlah
sesungguhnya utang terhadap Allah lebih utama untuk ditunaikan.”
b. Didalam riwayat Muslim bahwa seorang laki-laki datang dari daerah
Jaisyani—di Yaman—lalu bertanya kepada Rasulullah saw tentang
minuman yang mereka minum di negeri mereka yang berasal dari
jagung yang mereka namakan dengan “al Mizr”. Beliau saw bertanya
kepada oang itu,”Apakah minuman itu memabukkan?” orang itu
menjawab,”Ya.” Dan Nabi saw bersabda,”Setiap yang memabukkan
adalah haram.”
Dari uraian di aras dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber
hukum dan sumber ajaran Islam yang menududuki urutan kedua setelah Al-Qur’an.
Meski demikian, hadis memunyai kekuatan hujjah (sisi argumentasi) tidak sama
dengan Al-Qur’an. Hukum yang ditimbulkan hadis masih bersifat zanni (belum
tentu pasti), kecuali hadis yang mutawattir, sedangkan hukum yang dikandung Al-
Qur’an sudah bersifat qat’I (pasti).4
Walaupun demikian, tetap saja ada orang yang menolak hadis sebagi sumber
ajaran Islam baik di kalangan orang Islam maupun orientalis. Mereka umumnya
memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh al-

4
Fauziyah R.A., Lilis – Setyawan, Andi. 2017. Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis untuk Kelas X Madrasah Aliyah. Solo: Tiga

Serangkai Pustaka Mandiri.


5
Lihat misalnya Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-Qaumiyat li al-Tibaat wa al-

Nasyr, 1966), h. 55-59; Muhammad Abu Zahrah, Ushul al- Fiqh (t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th.), 106-107. Khusus tentang
pandangan orientalis atas masalah ini dapat dibaca misalnya dari penjelasan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (Chicago:
University of Chocago Pres, 1979), h. 5.
Qur’an tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau di luar al-Qur’an.5
Namun demikian ada juga orientalis yang menolak pandangan semacam itu,
misalnya DS. Margoliout. Ia berpendapat bahwa bagaimanapun juga dalam al-
Qur’an Nabi selalu disebut bergandengan dengan Tuhan. Hal demikian, hanya
menunjuk pada konteks al-Qur’an sendiri bahwa otoritas Tuhan dan otoritas Nabi
Muhammad sebagi instrumen kemanuisaan bagi wahyu Ilahiah sehingga tidak
dapat dibedakan satu sama lain dan hanya ada al-Qur’an sebagi satu-satunya
rujukan. Pada titik ini dapat dimengerti bahwa Muhammad tidak memiliki sunnah
ekstra Qur’anik yang dapat direkam dalam hadis.6
Penolakan otoritas hadis Nabi bukan hanya berkembang pada tradisi kesarjanan
barat tetapi juga berkembang dalm kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama dan
intelaktual islam yang hanya menerima otoritas al-Qur’an seraya menolak otoritas
hadfis Nabi sebagi sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih dikenal sebagi inkar al-
sunnah.7 Cukup banyak argumen yang mereka kedepankan untuk menolak otoritas
hadis. Selain mengajukan argumen aqli dan naqli mereka juga mengemukakan
argumen-argmen historis serta argumen lainnya. Argumen yang bersifat naqliyah
misalnya mreka mengemukakan al- Qur’an surat al-Nahl ayat 89 dan al-An’am
ayat 38:
‫ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شئ‬
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab unutk menjelaskan segala
segala sesuaatu.
‫ما فرطنا فى الكتاب من شئ‬
Artinya: Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab itu.

6 Lihat seperti yang dikutip oleh Fazlur Rahman, ibid

7
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 9.
Menurut mereka ayat tersebut dan yang semakna dengannya menujukkan
bahwa al-Kitab telah mencakup sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama.
Argumen lain yang dikemukakan adalah bahwa al-Qur’an diwahyukan oleh Allah
dalam bahasa Arab. Oleh karena itu mereka yang memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang bahsa Arab akan mampu memahami al-Qru’an dengan baik
tanpa bantuan hadis.
Dari pengalaman sejarah, mereka menganggap bahwa penyebab utama
kemunduran Islam adalah perpecahan yang diakibatkan karena berpegang pada
hadis. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab hadis dianggap sebagai dongeng
semata. Kodifikasi hadis terjadi jauh stelah wafatnya Nabi, sehingga dengan mudah
umat Islam mempermainkan dan memalsukan hadis. Kritik sanad yang
dkemukakan berupa al-Jarh wa al-Ta’dil sangat lemah untuk membuktikan
kebenaran hadis.8
Argumen-argumen yang mereka kemukakan tersebut pada dasarnya tidak kuat.
Berikut ini dikemukakan kelemahan-kelemahannya:
1. Kata tibyan (penjelasan) yang termuat dalam surah al-Nahl 89 di atas,
menurut al-Syafi’I mencakup beberapa pengertian. Yakni: ayat al-Qur’an
secarategas menjelaskan adanya: 1)berbagai kewajiban misalnya salat,
puasa, zakat dan haji, 2)berbagai larangan misalnyaberbuat zina, minum
khamar, makan bangkai dan daging babi, dan 3) teknis pelaksanaan ibadah
tertentu misalnya tata cara berwudu. Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya
kewajiban tertentu yang sifatnya global seperti dalam kewajiban shalat;
dalam hal ini, hadis Nabilah yang menjelaskan tehnis pelaksanaannya.
Nabi menetapkan suatu ketentuan hukum yang di dalam Al-Qur’an tidak
tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadis tersebut wajib
ditaati sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
untuk mentaati Nabi. Allah mewajibkan kepada hambanya untuk

8
Lihat Mustafa al-Sibai, Op. Cit. h. 128-129.
melakukan ijtihad. Kewajiban ijtihad sama kedudukannya dengan
kewajiban mentaati perintah lainnya yang telah di tetapkan olah Allah.9
Jadi berdasarkan surat al-Nahl ayat 89 tersebut hadis Nabi merupakan sumber
penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak
keberadaan hadis Nabi. Bahkan, ayat itu telah memberikan kedudukan yang sangat
penting terhadap hadis. Sebab, ada bagian ketentuan agama termuat penjelasannya
dalam hadis dan tidak termuat secra tegas dan rinci dalam al-Qur’an.
2. Memang benar al-Qur’an tertulis dengan bahasa Arab, susunan kata-
katanya ada yang berlaku umum dan ada yang berlaku khusus, di samping
ada yang berstatus global dan berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa
sesuatu ayat berlaku khusus ataupun rinci diperlukan petunjuk al-Qur’an
dan hadis. Jdi orang yang ingin memahami kandungan al-Qur’an dengan
baik, walaupun orang itu memiliki pengetahuan yang dalam tentang
bahasa Arab tetap saja memerlukan penjelaan-penjelasan dari Nabi
3. Dalam sejarah, umat Islam telah meengalami kemajuan zaman klasik
(650-1250 M) puncak kemajuan terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Ulama
besar yang hidup pada masa ini tidak sedikit jumlahnaya baik di bidang
Tafsir, fiqh, hadis, ilmu kalam, filsafat, sejarah, maupun dalam bidang
pengetahuan
lainnya.10 Berdasarkan bukti sejarah ini ternyata, periwayatan dan
perkembangan pengetahuan hadis berjalan seiring dengan perkembangan
pengetahuan yang lainnya. Ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan
umat Islam. Karena hadis sebagaimana al-Qur’an telah memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk menuntut ilmu pengetahuan. Di
samping itu banyak hadis Nabi yang memerintahkan umat Islam bersatu
dan menjahui perpecahan.

9
Lihat Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 7-68-71.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas ialah bahwa al-Qur’an menjelaskan segaka ketentuan
agama, tapi penjelasan itu ada yang berupa al-Qur’an (ayat dengan ayat) dan ada yang berupa hadis Nabi. Hadis Nabi
dicakup oleh ayat tersebut sebab salah satu fungsi Nabi menurut al-Qur’an adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Lebih
jelasnya lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Syaukani, Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 187
10
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
4. Umat Islam memberikan perhatian yang besar terhadap hadis Nabi bukan
hanya dimulai pada zaman Tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melainkan sejak
zaman Nabi. Kegiatan itu berjaln secara berkesinambungan hingga
mencapai puncaknya pada masa tabi’in dan tabi al-tabi’in. Hal ini menjadi
logis sebab para sahabat yang mengajarkan hadis, jumlahnya banyak dan
masing-masing memiliki murid yang tidak sedikit.11 Karenanya sangat
wajar bila pemerhati hadis pada masa tabi’in makin bertambah jumlahnya
dibandingkan pada zaman sahabat. Jadi tidak benar sama sekali jika
sekarang ada pendapat yang menyatakan bahwa apa yang sekarang
dianggap hadis Nabi itu tidak lebih dari dongeng-domgeng semata.
Sekiranya hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu terdapat
hadis yang lemah, ataupun palsu, tidaklah berarti bahwa sesluruh hadis
yang ada didalamnya juga palsu atau lemah.
5. Kritik sanad dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan saja mengeritik para
periwayatnya saja, melainkan juga persambungan sanadnya. Untuk
meneliti persambungan sanad, salah saatu hal yang harus diperhatikan
ialah bentuk tahamul wa’ada al- hadis yang termaktub dalam sanad itu.
Selain itu, orang yang melakukan kritik tidak bisa sembarangan, tetapi
harus memiliki syarat-syrat yang sah sebagai pengeritik.12 Jadi cukup ketat
tata-ketentuan yang berkenaan dengan kritik sanad tersebut.
Argumen yang mereka ajukan dalam rangka menolak hadis sebagai sumber
ajaran Islam itu ternyata lemah dan tidak memiliki basis akademis yang kuat, lebih
aneh lagi dalam pengingkaran mereka terhadap hadis, mereka justeru
menggunakan dalil dari hadis itu sendiri,13 satu hal yang sangat ironis, sebab
sesuatu yang diingkarinya justru kembali mereka jadikan basis argumen.

11
Lihat M.M. ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994),
khususnya Bab IV.
12
M. Syuhudi Ismail, op.cit.h. 119.
13
Lihat Muhammad Abu Sahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al- Misriyah, t.th.), h. 21.
Namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar mereka masuk ke
dalamkelompok ingkar as-sunnah, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan
mereka terhadap hadis.14 Gejala ini bukan saja terjadi di negara Islam lain, bahkan
di Indonesia pun salah satu penyebab keingkaran mereka adalah ketidaktahuanya
terhadap kandungan al-Qur’an, ilmu tafsir dan bahasa Arab, sehingga banyak ayat
yang yang diterjemahkan dan dipahami secara keliru termasuk ayat yang
membicaarkan fungsi Nabi Muhammaad saw.15
Selurh umat islam menolak paham inkar al-sunnah ini. Mereka sepenuhnya
mengakui otoritas hadis Nabi sebagai sumber justifikasi bagi perumusan ajaran
islam, sejak dari level tatacara peribadatan murni hingga level sosial
kemasyarakatan.

B. Fungsi Hadits Dalam Hubungannya Dengan Al-Qur’an


Fungsi utama Nabi Muhammad adalah untuk menjelaskan isi kandungan al-Qur'an.
Oleh karena sebagian besar ayat- ayat hukum dalam al-Qur'an masih dalam bentuk garis
besar yang - secara amaliah - belum bisa dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasa
hadis dapat dibutuhkan. Dengan demimian fungsi hadis yang utama adalah untuk
menjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan penjelasann al-al-Qur'an:

‫وما انزلنا علیك الكتاب اال لتبین لھم الذى اختلفتم فیھ‬
Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad) melainkan agar
engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.16
Bila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalam hubungannya dengan al-
Qur'a,n maka hadis menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al- Qur'an
yang dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.

14
Muhammad Abu Zahrah, op.cit. h. 218.
15
Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jkarta: Media Dakwah, 1980), h. 44-46.
16
Depag RI, op.cit., h. 64.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'an dalam
hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat,
karena dapat saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara
umum pada waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian
perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka
menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat tersebut.
b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besar
misalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al-
Qur'an.
c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum,
misalnya hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'an
misalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita
yang bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapi
juga saudara ibunya.
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam al-
Qur'an. Fungsi sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah Itsbat.17
Pada prinsipnya hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-
Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai ragam
ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh
ulama yang satu berbeda dengan ulama lainnya. Sebagai contoh, Abu Hanifah
mengklasifikasikan bayan hadis tersebut menjadi : bayan taqrir, bayan tafsir, dan bayan
tafdil (nasakh); imamMalik membagi menjadi : bayan taqrir, bayan taudhih (tafsir),
bayan tafsil, bayan bashthi (tasbth dan ta’wil), dan bayan tasyri’; Imam Syafi’i
mengkategorikannya menjadi : bayan tafsil, bayan takhsish, bayan ta’yin bayan tasyri’
dan bayan naskh.18

17
Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat perbedaan pendapat. Orang yang pertama
mengemukakan fungsi ini adalah al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak menetapkan hal itu sangat
dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya yang berusaha menolak kedudukan hadis (sunnah).
18
Endang Soetari AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung : Amal Bakti, 2000),h. 71-77
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an itu diungkapkan sendiri oleh Al-Qur’an yaitu sebagai
bayan (penjelasan dan menerangkan terhadap sesuatu yang kabur dan tersembungi
pengertiannya). Sebagaimana firmanAllah dalam QS. Al-Nahl: 44:

َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ َّ َ َ ُ َ ْ َ َْ َ ْ َ َْ َ
‫اس ما ن ِزل ِالي ِهم ولعلهم يتفكرون‬ ِ ‫لن‬‫ل‬ِ ‫ن‬‫ي‬ ‫ب‬‫ت‬
ِ ِ ‫ل‬ ‫ر‬‫ك‬ ‫الذ‬
ِ ‫ك‬ ‫وانزلنآ ِالي‬

Artinya: Dan Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau


menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar
mereka memikirkan.( QS. An-Nahl: 44)
Juga firman Allah dalam QS. Al-Nahl: 64:

َ ْ ُ ْ ُّ ْ َ ً َ ْ َ َّ ً ُ َ ْ ْ ُ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ َ ْ َْ
َ َ ُ َّ َ ٰ
٦٤ ‫َو َمآ ان َزلنا عل ْيك ال ِكتب ِالا ِلتب ِين لهم ال ِذى اختلفوا ِ ي ِه وهدى ورحمة ِلقو ٍم يؤ ِ نون‬
‫م‬ ‫ف‬ ُ ُ

Artinya: Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu (Nabi Muhammad),
kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan serta
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Dari ayat tersebut di atas diketahui bahwa Nabi Muhammad saw. dibebani tugas oleh
Allah untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umat manusia. Atau dengan ungkapan lain,
hadis berfungsi sebagai penjelasan Al-Qur’an. Penjelasan itu bukan hanya terbatas pada
segi penafsiran melainkan mencakup juga aspek yang lain. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya butuh kepada hadis.
1. Bayan al-Taqrir.
Bayan al-Taqrir ada juga yang menyebut Bayan al-Tawkid atau Bayan al-
Itsbat. Al-Taqriir berarti memperkuat, mempertegas, dan mendukung.
Maksudnya, hadis mempertegas, memperkuat, dan mendukung sesuatu yang telah
diungkapkan Al-Qur’an. Hadis mengungkap kembali isi kandungan yang
diungkap Al-Qur’an tanpa ada penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Sebagai
contoh, pahamilah firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 6:
ُ ُ ْ َ ُ َ ُ َ ُ ُ ْ َ ٰ َّ َ ْ ُ ُ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ َ ٰٓ
‫وة فاغ ِسل ْوا ُوج ْوهك ْم َوا ْي ِد َيك ْم ِالى ال َم َر ِاف ِق َو ْام َسح ْوا ِب ُر ُء ْو ِسك ْم‬ ْ ُّ
ِ ‫يايها ال ِذين امنوٓا ِاذا قمتم ِالى الصل‬

ُ ْ ٌ ََ َ َ َ ٰ َ َ ٰٓ ُْ ُ ْ َّ َ ُ ُ ُ ْ ُ ْ ْ َ ُ َ َ
ْ َ ُ
‫َوا ْرجلك ْم ِالى الكع َب ْي ِنِۗ َواِ ن كنت ْم جن ًبا فاطَّه ُر ْواِۗ َواِ ن كنت ْم َّم ْرضى ا ْو على َسف ٍر ا ْو جا َۤء احد ِمنك ْم‬

ُ َ ُ َ َ ً ََ ُ َ ََ ٰ َ ْ
ُ ُ َ
‫الن َسا َۤء فل ْم ِتجد ْوا َما ًۤء فت َيَّم ُم ْوا ص ِع ْيدا ط ِي ًبا ف ْام َسح ْوا ِب ُوج ْو ِهك ْم َوا ْي ِد ْيك ْم‬ ُ ‫م َن ال َغاۤىِٕط ا ْو ل َم ْس ُت‬
‫م‬
ِ ِ ِ

َ ُ ْ َ ُ َّ َ َ ُ َ َ ٗ َ ْ ُ ُ َ ُ ٰ َ ُ ََ َ َ ْ
ُ ‫ِۗما ُير ْي ُد ه‬
َ ‫م ْن ُه‬
‫اّٰلل ِل َيجعل عل ْيك ْم ِم ْن ح َر ٍج َّول ِك ْن ُّي ِر ْيد ِل ُيط ِه َرك ْم َو ِلي ِتَّم ِنع َمته عل ْيك ْم لعلك ْم تشك ُر ْون‬ ِ ِ

)6 :5/‫ ( الماۤئدة‬٦

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan
salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu
dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub,
mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus),
atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu
yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin
menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.
Ayat di atas ditegaskan kembali, diperkuat, dan didukung oleh hadis, yaitu sabda
Nabi Muhammad saw. yang berbunyi
Artinya:
Tidak diterima salat seseorang di antara kamu apabila berhadas sebelum
dia berwudhu’.19

2. Bayan al-Tafsir
Hadis menjelaskan ayat yang tidak mudah diketahui pengertiannya. Itulah yang
disebut hadis berfungsi sebagai bayan al-tafsir bagi ayat Al- Qur’an. Bayan al-tafsir
ini ada beberapa macam. Di antaranya ialah:

19
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaaj (Selanjutnya ditulis Muslim), Shahiih Muslim, Juz I (Indonesia: Maktabat
Dahlan, [s.a]), h. 204
a. Tafshil al-ayat al-mujmalah
Kata tafshil berarti menjelaskan dan merinci. Sedangkan kata al- mujmalah
berarti yang ringkas (global), tidak terperinci. Jadi, yang dimaksud hadis
berfungsi sebagai tafshil al-ayat al-mujmalah adalah hadis memerinci
pengertian ayat yang ringkas (global), hadis menjelaskan panjang lebar
maksudkandungan ayat yang tidak terperinci. Sebagai contoh adalah ayat
yang memerintahkan mendirikan salat, tidak diperinci dan tidak dijelaskan
oleh ayat itu sendiri dan ayat lain tata caranya, tidak diterangkan rukun-
rukunnya, tidak disebut waktu-waktu pelaksanaannya, dan lain-lain.
Sebagai contoh, firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 43:

ّٰ ‫ار َكعُ ْوا َم َع‬


)43 :2/‫ ( البقرة‬٤٣ َ‫الر ِك ِعیْن‬ َّ ‫ص ٰلوةَ َو ٰاتُوا‬
ْ ‫الز ٰكوةَ َو‬ َّ ‫َواَقِ ْی ُموا ال‬
Artinya: Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-
orang yang rukuk. (Al-Baqarah/2:43)
Ayat ini dijelaskan dan diperinci maksudnya oleh hadis. Nabi
mendemonstrasikan tata cara pelaksanaan salat dan segala bacaaan di dalamnya.
Nabi menjelaskan waktu-watu pelaksanaannya. Nabi Muhammad saw. bersabda:
Artinya: Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya salat.20
Banyak sekali hadis yang menjelaskan tentang hal ini secara terperinci.

b. Takhshish al-Ayat al-‘Ammah


Kata takhshish berarti menentukan dan mengkhususkan. Sedangkan kata
al-‘ammah berarti, “Suatu lafal yang dipakai untuk menunjukkan kepada
satuan-satuan yang tak terbatas dan mencakup semua satuan itu”.21
Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi men-takhshish-kan ayat yang
‘ammah adalah hadis datang memberi pengkhususan, penentuan, dan
pembatasan maksud dan pengertian ayat yang umum. Contohnya, firman

20
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’il al-Bukhaariy (Selanjutnta ditulis al-Bukhaariy, Shahiih al-Bukhaariy,
Juz I (Indonesia: Maktabat Dahlan, [s.a]), h. 126

Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm Ushuul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 298.
21
Allah dalam QS. Al-Nisa’: 11:

‫س ۤا ًء فَ ْوقَ ْاث َنتَی ِْن‬


َ ‫ّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو َال ِد ُك ْم ِللذَّ َك ِر ِم ْث ُل َح ِظ ْاالُ ْنثَ َیی ِْن ۚ فَا ِْن ُك َّن ِن‬
ّٰ ‫ص ْی ُك ُم‬
ِ ‫ي ُْو‬
ِ ‫ف ۗ َو ِالَ َب َو ْي ِه ِل ُك ِل َو‬
‫اح ٍد ِم ْن ُھ َما‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫الن‬ ِ ‫احدَة ً فَلَ َھا‬
ِ ‫َت َو‬ ْ ‫فَلَ ُھ َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۚ َوا ِْن َكان‬
‫ُس ِم َّما ت ََركَ ا ِْن َكانَ لَهٗ َولَدٌ ۚ فَا ِْن لَّ ْم َي ُك ْن لَّهٗ َولَدٌ َّو َو ِرثَهٗ ْٓ ا َ َب ٰوهُ فَ ِِلُ ِم ِه‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ال‬
ۗ ‫ص ْي ِب َھا ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن‬ ِ ‫ُس ِم ْۢ ْن َب ْع ِد َو‬
ِ ‫ص َّی ٍة ي ُّْو‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ث ۚ فَا ِْن َكانَ لَهٗ ْٓ ا ِْخ َوة ٌ فَ ِِلُ ِم ِه ال‬ ُ ُ‫الثُّل‬
َ ّٰ ‫ّٰللا ۗ ا َِّن‬
َ‫ّٰللا َكان‬ ِ ّٰ َ‫ضةً ِمن‬ َ ‫ب َل ُك ْم َن ْف ًعا ۗ َف ِر ْي‬ ُ ‫ٰا َب ۤا ُؤ ُك ْم َوا َ ْبن َۤا ُؤ ُك ۚ ْم َال تَ ْد ُر ْونَ ا َ ُّي ُھ ْم ا َ ْق َر‬
ۤ
)11 :4/‫النساء‬ ( ١١ ‫ع ِل ْی ًما َح ِك ْی ًما‬
َ
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk
kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang
tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan
tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan
dilunasi) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menyatakan bahwa setiap anak mendapatkan warisan dari ke dua
orang tuanya, bagaimanapun keadaannya, beriman atau kafir, seagama dengan
orang tuanya, atau berbeda agama. Semuanya harus mendapat warisan. Inilah
maksud yang dapat dipahami dari ayat ini. Hadis datang memberi pengertian yang
dikehendaki oleh ayat. Hadis memberi batasan maksud yang dikehendaki Allah.
Di antara hadis menjelaskan bahwa keturunan Nabi Muhammad saw tidak boleh
mendapat warisan dari Nabi Muhammad saw. Nabi saw. bersabda, artinya: “ kami
para nabi tidak diwarisi. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.22
Demikian juga, hadis datang membatasi dan mengkhususkan terhadap yang
yang membunuh orang tuanya tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya.
Nabi Muhammad saw. Bersabda yang artinya: “orang yang membunuh tidak
mendapat warisan sesuatupun.”23
Demikian juga ayat diatas dibatasi dan diberlakukan khusus bagi orang
muslim tidak mendapatkan warisan dari orang kafir, sebaliknya orang kafir tidak
mendapatkan warisan dari orang muslim. Nabi Muhammad saw. Bersabda, yang
artinya: “orang muslim tidak memberi warisan kepada orang kafir, dan orang
kafir tidak memberi warisan kepada orang muslim (HR. Bukhari dan Muslim).24

c. Taqyid al-Ayat al-Muthlaqah


Kata taqyid berarti mengikat dan membatasi. Sedangkan kata muthlaq
berarti “Lafal tertentu yang belum ada ikatannya (batasannya) dengan
lafal lainyang mengurangi cakupannya.”17

Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi sebagai taqyid al-ayat al-muthlaqah


adalah hadis datang memberi ikatan dan batasan cakupan yang dikandung
ayat yang muthlaq. Sebagai contoh, firman Allah dalam QS. Al- Maidah:
38:

٣٨ ‫ع ِزي ٌْز َح ِك ْی ٌم‬


َ ُ‫ّٰللا‬
ّٰ ‫ّٰللا َۗو‬ َ ‫طعُ ْْٓوا اَ ْي ِديَ ُھ َما َجزَ ۤا ْۢ ًء ِب َما َك‬
ِ ّٰ َ‫سبَا نَك ًَاال ِمن‬ َ ‫َّارقَةُ فَا ْق‬
ِ ‫َّار ُق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
ۤ (
)38 :5/‫المائدة‬
Artinya: Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan

22
Al-Bukhaariy, op. cit., Juz IV, h. 4
23
Muhammad bin Ismaa’il al-Kahlaniy al-Shan’aniy, (Selanjutnya tertulis Al- Shan’aniy). Subuul al-Salaam: Syarh
Buluug al-Maraam min Adillat al-Ahkaam, Juz III (Cetzkzn IV, Beirut: Daar Ihya al-Turaats al-‘Arabiy, 1960), h.99
24
Ibid., h. 98.
sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Al-Ma'idah/5:38)
Ayat ini bersifat muthlaq (belum ada ikatan dan batasan), masih mencakup
seluruh kesatuannya tanpa kecuali. Dalam ayat ini, kata aydiya (tangan)
adalah muthlaq yang mencakup seluruh makna kesatuan dari tanganitu
tanpa ikatan dan batasan. Hadis datang memberi batasan dan ikatan bahwa
tangan yang dipotong hanya sebagiannya, yaitu sampai pergelangan saja,
tidak sampai bahu. Juga, jumlah barang yang dicuri tidak dibatasi, banyak
atau sedikit. Hadis datang membatasi dan mengkaitkan sebanyak minimal
seperempat dinar.Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., yang artinya:
“Tidak dipotong tangan pencuri kecuali (barang yang dicuri) seperempat
dinar atau lebih.”25
Juga, dalam ayat disebut kata aydiyahuma (kedua tangannya) tidak
beri batasan, dating hadis member batasan bahwa tangan yang dipotong
hanya sampai pergelangan tangan, bukan sampai ke bahu. Hadis
menginformasikan, yang artinya: “Dibawa kepada Rasulullah saw.
seorang pencuri, , maka dia memotonhtangan pencuri itu dari
pergelangan tangan.”26

d. Bayan al-Ta’yin li al-Ayat al-Musytarakah


Kata al-ta’yiin berarti menentukan. Sedangkan kata al-musytarakah berarti
lafal yang mempunyai makna yang banyak. Jadi, yang dimaksud hadis
berfungsi sebagai bayaan al-ta‘yiin li al-ayat al-musytarakah adalah hadis
datang menentukan makna yang dikehendaki dari ayat. Sebagai contoh,
firmanAllah dalam QS. Al-Baqarah: 228:
‫ي‬ ّٰ َ‫طلَّ ٰقتُ يَت ََربَّصْنَ بِا َ ْنفُ ِس ِھ َّن ثَ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ ْو ۗ ٍء َو َال يَ ِح ُّل لَ ُھ َّن اَ ْن يَّ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَق‬
ْْٓ ِ‫ّٰللاُ ف‬ َ ‫َو ْال ُم‬
‫اال ِخ ۗ ِر َوبُعُ ْولَت ُ ُھ َّن اَ َح ُّق بِ َر ِده َِّن فِ ْي ٰذلِكَ ا ِْن اَ َراد ُْْٓوا‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْالیَ ْو ِم‬
ِ ّٰ ِ‫ام ِھ َّن ا ِْن ُك َّن يُؤْ ِم َّن ب‬
ِ ‫اَ ْر َح‬

25
‘Abd al-Wahhaab al-Khallaaf, op. cit, h. 307
26
Muslim, op. cit.,Juz II, h. 105.
ࣖ ‫ع ِزي ٌْز َح ِك ْی ٌم‬ ّٰ ‫علَ ْی ِھ َّن دَ َر َجةٌ ۗ َو‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ِ ِۖ ‫علَ ْی ِھ َّن ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف َو ِل ِلر َجا ِل‬ ْ ‫ص َِل ًحا َۗولَ ُھ َّن ِمثْ ُل الَّذ‬
َ ‫ِي‬ ْ ِ‫ا‬
)228 :2/‫ ( البقرة‬٢٢٨
Artinya: Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih
berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka
menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi,
para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (Al-Baqarah/2:228)
Kata quruu’ dalam ayat tersebut mempunyai dua makna, yaitu haid
dan suci dari haid. Tidak diketahui melalui ayat ini makna yang
dikehendaki, suci atau haid. Maka datangklah hadis menentukanm makna
yang dikehendaki adalah haid. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.
Artinya: “Talak budak perempuan dua kali dan iddahnya dua kali haid.”27

3. Bayaan al-Tasyrii’
Kata al-tasyri’ berarti pembuatan, perwujudan, penetapan aturan. Jadi, yang
dimaksud hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’ adalah hadis sendiri mewujudkan,
membuat, dan menetapkan suatu ketentuan, aturan, dan hukum yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Banyak hadis berfungsi sebagai bayaan al-tasyrii’iy untuk Al-
Qur’an. Di antaranya adalah:
a. Hadis tentang zakat fitri yang berbunyi, Rasulullah saw. telah memfardukan
sedekah (zakat) fitri, satu sha’ dari gandung atau satu sha’ dari kurma untuk
anak-anak dan orang deawsa, orang merdeka, dan budak. 28
b. Hadis tentang haram mengumpulkan (menjadikan isteri antara seorang
wanita dengan makciknya. Nabi Muhammad saw. bersabda, Tidak boleh

27
ِAhmad,
ِ op. cit., Juz III, h. 238
28
Muslim, op. cit., Juz I, h. 434
dinikai seorang wanita bersama (menjadi isteri sekaligus)dengan
saudara perempuan ayahnya dan saudara perempuan ibunya.29
Ketiga fungsi hadis tersebut dapat dinyatakan disepakati oleh ulama. Namun
fungsi yang ketiga ini, yaitu bayan al-tasyri’ dipermasalahkan. Ada yang melihatnya
hadis menetapkan aturan atau hukum tersendiri, tidak ada dasarnya dalam Al-
Qur’an. Yang lain melihat adanya penetapan hadis ada dasarnya dalam Al-Qur’an.
Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat antara lain dalam kitab Al-Sunnat
al-Nabawiyat wa Makanatuha fiy al-Tasyri’ yang disusun oleh ‘Abbas Mutawalliy
Hammadah.

4. Bayan al-Nasikh
Kata al-nasikh berarti membatalkan, memindahkan, dan mengubah.
Yang dimaksud hadis berfungsi sebagai bayan al-nasikh terhadap ayat Al-Qur’an
adalah hadis datang sesudah Al-Qur’an dan menghapus ketentuan- ketentuannya.
Banyak ulama menolak fungsi hadis ini, tetapi ada ulama yang
membolehkannya dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Ulama yang membolehkan
dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Ibn Hazm dan sebagaian pengikut Aliran Zhahiriyah berpendapat bahwa
segala macam hadis sahih dapat menasakh Al-Qur’an.
b. Aliran Mu’tazilah berpendapat Hadis Mutawatir saja yang dapat me-nasakh
ayat Al-Qur’an.
c. Aliran Hanafiyah berpendapat bahwa minimal Hadis Masyhur yang dapatme-
masakh ayat Al-Qur’an.30
Hadis yang dijadikan contoh bagi yang membolehkan adanya nasakh hadis
terhadap ayat Al-Qur’an adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi,
Sesungguhnya Allah telah memberi setiap orang haknya, maka tidak ada (tidak
boleh) wasiat terhadap ahli waris.31

29
Ibid., Juz III, h. 98.
30
Abbaas Mutawalliy Hammadah, Al-Sunnat al-Nabawiyat wa Makanatuhaa fiy al-Tasyrii’(Kairo: Daar al-Qawmiyah,
[s. a]), h. 173 – 175.
31
Al-Shan’aniy, op. cit, h. 106.
Hadis ini menasakh ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:
180:
ِ ۚ ‫صیَّةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َو ْاالَ ْق َربِیْنَ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬
‫ف َحقًّا‬ ِ ‫ض َر اَ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ا ِْن ت ََركَ َخی ًْرا ِۖ ْۨال َو‬
َ ‫علَ ْی ُك ْم اِذَا َح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ ‫ب‬
)180 :2/‫ ( البقرة‬١٨٠ ۗ َ‫علَى ْال ُمت َّ ِقیْن‬ َ

Artinya: Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-


tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat
kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai)
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah/2:180)
Kewajiban melakukan wasiat bagi orang yang hampir wafat (sekarat) kepada
ahli warisnya menurut ayat tersebut di atas di-nasakh hukumnya oleh hadis yang
melarang melakukan wasiat untuk ahli waris.

C. Perbedaan Antara Hadits Nabawi, Hadits Qudsi, dan Al-Qur’an


1. Hadits Qudsi
Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds. Hadits qudsi adalah
firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak
termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi
Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya,
perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan
redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan Hadits qudsi,
maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada
Allah, dengan mengatakan: Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang
diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan: Rasulullah SAW
mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.
Hadits qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah
SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah
SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya Hadits qudsi kepada Allah SWT
adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya
Hadits qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara Hadits
qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang,
serta membacanya pun diangggap ibadah.

2. Hadits Nabawi
Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Yang berupa
perkataan seperti perkataan Nabi SAW: Sesungguhnya sahnya amal itu disertai
dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya. Sedangkan yang berupa
perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya
mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan: Shalatlah seperti kamu melihat aku
melakukan shalat. Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini
Nabi saw. Berkata: Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliau menyetujui suatu perkara
yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik
dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya
mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliau dalam
sebuah riwayat telah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging
biawak itu tidak haram dimakan.
Hadits nabawi itu ada dua macam, yaitu:

a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW
dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri.
Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi
pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu
dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna
yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut
pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran
atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian
kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika
terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini jelaslah bahwa Hadits
nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang
diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu.32

3. Perbedaan Hadits dan Al-Qur’an


a. Al-Qur'an merupakan mukjizat Rasulullah Muhammad saw, sedangkan hadits
bukanlah merupakan mukjizat.
b. Al-Qur'an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan-tangan
jahil dan kuffar (Qs.15:9), sedangkan hadits tidaklah terpelihara sebagaimana
layaknya Al-Qur'an.
c. Al-Qur'an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sehingga memakainya tidak
dibutuhkan khawatir, sedangkan hadits tidak semuanya diriwayatkan secara
mutawatir, sehingga ada hadits yang da'if.
d. Kebenaran ayat-ayat Al-Qur'an bersifat qath'i al-wurud (mutlak kebenarannya)
dan kafir meragukannya, sedangkan hadits bersifat zhanni al-wurud (relatif
kebenarannya) kecuali yang diriwayatkan secara mutawatir.
e. Al-Qur'an redaksi dan maknanya dari Allah. Hadits qudsi maknanya dari Allah
dan redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedangkan hadits
nabawi merupakan ijtihad Nabi sesuai dengan wahyu Allah.
f. Proses penyampaian Al-Qur'an lewat wahyu Allah dengan perantara Malaikat
Jibril, yang langsung bertemu dengan Rasul, sedangkan hadits qudsi lewat ilham
yang Allah sampaikan dengan bisikan, mimpi dan isyarat alam, dan hadits nabawi
merupakan penjabaran Nabi terhadap wahyu yang diterimanya berdasarkan
hidayah yang Allah anugerahkan.
g. Kewahyuan Al-Qur'an merupakan wahyu masluw (wahyu yang dibacakan oleh
jibril kepada Muhammad saw), sedangkan hadits merupakan wahyu ghoirul

32
Perbedaan Hadits Qudsi & Hadits Nabawi, sumber darihttps://yudabai.wordpress.com/perbedaan-hadits-qudsi-hadits-
nabawi/diakses pada tanggal 7Maret 2018 pukul 22.00 WIB
masluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan
haqqul yaqin, kemudian disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dengan
redaksinya sendiri.
h. Membaca Al-Qur'an dinilai sebagai ibadah, setiap satu huruf pahalanya sebanding
dengan 10 kebajikan, sedangkan membaca hadits tidak dinilai ibadah kecuali
disertai dengan niat yang baru.
i. Diantara surat Al-Qur'an wajib dibaca dalam sholat, seperti Surat Al-Fatihah yang
dibaca setiap raka'at. Sedangkan hadits tidaklah dibaca dalam sholat, namun hadits
merupakan petunjuk Rasul yang mengajarkan tata cara mendirikan sholat sesuai
dengan contoh yang telah Rasul kerjakan.
j. Mushab Al-Qur'an diharamkan disentuh oleh orang-orang yang sedang berhadats
dan bernajis, sedangkan hadits tidaklah sedemikian.
k. Imam Ahmad berkata haram Mushab Al-Qur'an diperjual belikan dan Imam Syafi'i
berkata Mushab Al-Qur'an makruh diperjual belikan, sedangkan hadits tidaklah
ada ketetapan hukum dari para ulama tentang keharaman diperjual belikan.33

33
Al-Ustadz Drs. PM Gunawan Nst. (Dosen 'Ulumul Hadits diSekolah Tinggi IlmuTarbiyah Muhammadiyah
Sibolga). Sumberhttp://alquranhaditsonline.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-hadits-dengan-al-quran.htmldi akses pada
tanggal 6 Maret 2018 pukul 15.45 WIB
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Al-Quran dan Hadits merupakan dua sumber utama ajaran Islam yang memiliki
hubungan yang tidak mungkin terpisahkan antara keduanya. Hal ini ditunjukkan oleh
beberapa fungsi yang diperankan oleh Hadits terhadap al-Quran, di antaranya: bayan
al-ta’kid (menegaskan), bayan al-tafsir (menjelaskan), bayan al-tasyri’ (menetapkan
syari’at) dan bayan nasakh (menghapus/mengganti).
Berdasarkan semua fungsi-fungsi Hadits tersebut menunjukkan bahwa
al-Qur’an lebih membutuhkan Hadits dari pada sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Sibai, Mustafa. al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, Kairo: Dar al-


Qaumiyat li al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966.
Al-Syafii, Muhammad bin Idris. al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1992.
Al-‘Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Yaqub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994
Al-Ustadz Drs. PM Gunawan Nst. (Dosen 'Ulumul Hadits diSekolah Tinggi
IlmuTarbiyah Muhammadiyah
Muhammad Mahfuz al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nasr (Surabaya : Maktabah
Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 2000).
Bukhaariy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’il al-. Shahiih al-Bukhaariy, Juz
I. Indonesia: Maktabat Dahlan, (s.a)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang: Toha Putra, 1989.
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karaci: Centrall Institut of
Islamic Research, 1965).
Fauziyah R.A., Lilis – Setyawan, Andi. 2017. Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis
untuk Kelas X Madrasah Aliyah. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Hammadah, Abbaas Mutawalliy. Al-Sunnat al-Nabawiyat wa Makaanatuhaa fiy
al- Tasyrii’. Kairo: Daar al-Qawmiyah, (s.a).
Husnan, Ahmad. Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya Jkarta: Media Dakwah,
1980.
Ismail, Syuhudi, M. Hadis Nabi : Antara Pengingkar dan Pembelanya Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
Khusus tentang pandangan orientalis atas masalah ini dapat dibaca misalnya dari
penjelasan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (Chicago: University of
Chocago Pres, 1979),
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab al-. ‘Ilm Ushuul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Munculnya hadis palsu dalam M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi : Antara Pengingkar
dan Pembelanya (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-
Qaumiyat li al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966).
Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husayn. Shahih Muslim, Juz I. Indonesia: Maktabat
Dahlan,(s.a).
Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husayn. Shahih Muslim, Juz I. Indonesia: Maktabat
Dahlan,(s.a).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al- Fiqh (t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th.).
Nuur al-Diin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiy ‘Uluum al-Hadiits. Diterjemahkan oleh
Mujiyo dengan judul: ‘Ulum al-Hadits, Jilid I (Cetakan I, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994),
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Perbedaan Hadits Qudsi & Hadits Nabawi, sumber
darihttps://yudabai.wordpress.com/perbedaan-hadits-qudsi-hadits-
nabawi/diakses pada tanggal 7Maret 2018 pukul 22.00 WIB
Rahman, Fazlur. Islam Chicago: University of Chocago Pres, 1979.
Sahw, Muhammad Abu. al-Hadis wa al-Muhaddisun Mesir, Maktabah al-
Misriyah, t.th.
Soetari, Endang AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah Bandung : Amal
Bakti, 2000.
Shan’aniy, Muhammad bin Isma’il al-Kahlaniy al-.. Subuul al-Salaam: Syarh
Buluug al-Maraam min Adillat al-Ahkaam, Juz III. Cetakan IV, Beirut: Daar
Ihya al-Turaats al-‘Arabiy, 1960
Sibolga). Sumberhttp://alquranhaditsonline.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-
hadits-dengan-al-quran.htmldi akses pada tanggal 6 Maret 2018 pukul 15.45
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh I Jakarta: Logos, 2000
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th

.
WIB
Muhammad Mahfuz al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nasr (Surabaya : Maktabah
Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974), h.8; Fazlur Rahman, Islamic
Methodology in History (Karaci: Centrall Institut of Islamic Research, 1965),
h. 1-4; Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 2000), h. 75.

a latar belakang munculnya hadis palsu dalam M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi
: Antara Pengingkar dan Pembelanya (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 7.

Fauziyah R.A., Lilis – Setyawan, Andi. 2017. Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis untuk Kelas X
Madrasah Aliyah. Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Lihat seperti yang dikutip oleh Fazlur Rahman, ibid

Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis


dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9.

Lihat Mustafa al-Sibai, Op. Cit. h. 128-129.

Lihat Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid,


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 7-68-71. Sebagian ulama berpendapat
bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas ialah bahwa al-Qur’an menjelaskan
segaka ketentuan agama, tapi penjelasan itu ada yang berupa al-Qur’an
(ayat dengan ayat) dan ada yang berupa hadis Nabi. Hadis Nabi dicakup oleh
ayat tersebut sebab salah satu fungsi Nabi menurut al-Qur’an adalah
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Lebih jelasnya lihat Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin al-Syaukani, Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 187

Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan


Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11. Lihat M.M. ‘Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1994), khususnya Bab IV. 7M. Syuhudi Ismail, op.cit.h. 119.

Lihat Muhammad Abu Sahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah


al- Misriyah, t.th.), h. 21. Muhammad Abu Zahrah, op.cit. h. 218.
Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jkarta:
Media Dakwah, 1980), h. 44-46.

Depag RI, op.cit., h. 64.

Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat
perbedaan pendapat. Orang yang pertama mengemukakan fungsi ini adalah
al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak menetapkan
hal itu sangat dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya
yang berusaha menolak kedudukan hadis (sunnah).

Endang Soetari AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung : Amal
Bakti, 2000),h. 71-77

Perbedaan Hadits Qudsi & Hadits Nabawi, sumber


darihttps://yudabai.wordpress.com/perbedaan-hadits-qudsi-hadits-
nabawi/di akses pada tanggal 7Maret 2018 pukul 22.00 WIB

Al-Ustadz Drs. PM Gunawan Nst. (Dosen 'Ulumul Hadits diSekolah Tinggi IlmuTarbiyah
Muhammadiyah
Sibolga). Sumberhttp://alquranhaditsonline.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-hadits-
dengan-al-quran.htmldi akses pada tanggal 6 Maret 2018 pukul 15.45 WIB

You might also like