You are on page 1of 22

1

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫س َن ٍة َمنْ ُي َجدِّ ُد َلها َ ِد ْي َنها‬ ِ ‫ث ف ِْي َه ِذ ِه ْاُأل َّم ِة َع َلى َرْأ‬


َ ‫س ُكل ِّ مِاَئ ِة‬ ُ ‫هللا َي ْب َع‬
َ َّ‫ِإن‬
“Sesungguhnya Allah akan membangkitkan di setiap awal seratus tahun orang
yang akan memperbaharui agama umat ini.” (HR. Abu Dawud dari shahabat Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 1874)

Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah mengatakan: “Ulama di muka bumi ini


bagaikan bintang-bintang di langit. Apabila muncul, manusia akan diterangi
jalannya dan bila gelap manusia akan mengalami kebingungan.” (Tadzkiratus
Sami’, hal 34)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami


bahwa Abu Dawud adalah termasuk ulama dari ulama-ulama yang mengamalkan
ilmunya sehingga sebagian imam mengatakan bahwa Abu Dawud serupa dengan
Ahmad bin Hanbal dalam hal bimbingan dan kewibawaan. Dalam hal ini Ahmad
menyerupai Waki’, dalam hal ini pula Waki’ menyerupai Sufyan dan Sufyan
menyerupai Manshur dan Manshur menyerupai Ibrahim, Ibrahim serupa dengan
‘Alqamah dan ‘Alqamah dengan Abdullah bin Mas’ud. ‘Alqamah berkata: “Ibnu
Mas’ud menyerupai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bimbingan dan
arahannya.” (Tadzkiratul Huffadz, 2/592, lihat Wujub Irtibath bil ‘Ulama karya
Hasan bin Qashim Ar-Rimi)

Dalam setiap generasi dan jaman, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih sejumlah
orang yang dikehendaki-Nya sebagai pelita dan lentera kegelapan dan perahu
dalam mangarungi lautan yang diliputi guncangan ombak dahsyat sebagai tali
penghubung antara diri-Nya dengan para hamba-Nya. Sebagai penunjuk jalan dan
pemandu dalam perjalanan setiap insan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah ulama.
2

Salah itu ilmu yang dikembangkan oleh para ulama untuk menjaga kemurnian
ajaran islam adalah dengan melakukan studi kritik hadis. Penelitian kualitas hadis
perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad saw, tetapi
melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan
kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu.
Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad
maupun kualitas matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian
dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang
ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan
melakukan studi kritik Hadis. Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3
hijriyah. Namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama
sekali tidak terjadi kegiatan kritik hadis. Sebab ketika penelitian hadis dipahami
(dengan sederhana) sebagai upaya untuk membedakan antara hadis yang sahih
dan yang tidak sahih, maka kegiatan kritik hadis dalam bentuk yang begitu
sederhana telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup.

Berangkat dari latar belakang tersebut sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi
Tafsir Hadis, maka makalah ini diberi judul :”Ulama Pewaris Nabi dan Studi Kritik
Hadis”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ulama sebagai pewaris nabi?
2. Apa saja keutamaan-keutamaan ulama sebagai pewaris nabi?
3. Apa yang dimaksud dengan Studi kritik hadis?
4. Apa perlunya melakukan Studi kritik hadis?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan ulama sebagai pewaris nabi.
2. Untuk mengetahui Apa saja keutamaan-keutamaan ulama sebagai pewaris
nabi.
3. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan studi kritik hadis.
4. Untuk mengetahui Apa perlunya melakukan studi kritik hadis.
3

Bab II
Pembahasan

A. Ulama Pewaris Nabi

Permbahasan ulama, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat,


merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-
orang yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan
menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu
jalan yang lurus. Oleh karena itu ketika seseorang melepaskan diri dari mereka
berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya,
agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka yang dahsyat yang akan
menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti siapapun atau
kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya
dan akan binasa.

Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama


mengatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya Allah dengan nama-nama-Nya yang
Maha Suci telah mengkhususkan beberapa orang dari makhluk yang dicintai-Nya
lalu menunjuki mereka kepada keimanan. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga memilih dari seluruh orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang
dicintai-Nya dan setelah itu memberikan keutamaan atas mereka dan
mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, mengajarkan
kepada mereka ilmu agama dan tafsir Al-Qur’an yang jelas. Allah Subhanahu wa
Ta’ala utamakan mereka di atas seluruh orang-orang yang beriman pada setiap
jaman dan tempat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat mereka dengan ilmu, menghiasi mereka


dengan sikap kelemahlembutan. Dengan keberadaan mereka, diketahui yang halal
dan haram, yang hak dan yang batil, yang mendatangkan mudharat dari yang
mendatangkan manfaat, yang baik dan yang jelek. Keutamaan mereka besar,
kedudukan mereka mulia. Mereka adalah pewaris para nabi dan pemimpin para
wali. Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun buat mereka, malaikat
dengan sayap-sayapnya menaungi mereka dan tunduk. Para ulama pada hari
kiamat akan memberikan syafa’at setelah para Nabi, majelis-majelis mereka
4

penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal mereka menegur orang-orang yang
lalai.

Mereka lebih utama dari ahli ibadah dan lebih tinggi derajatnya daripada orang-
orang zuhud. Hidup mereka merupakan harta ghanimah bagi umat dan mati
mereka merupakan musibah. Mereka mengingatkan orang-orang yang lalai,
mengajarkan orang-orang yang jahil. Tidak pernah terlintas bahwa mereka akan
melakukan kerusakan dan tidak ada kekhawatiran mereka akan membawa menuju
kebinasaan. Dengan kebagusan adab mereka, orang-orang yang bermaksiat
terdorong untuk menjadi orang yang taat. Dan dengan nasihat mereka, para
pelaku dosa bertaubat.

Seluruh makhluk butuh kepada ilmu mereka. Orang yang menyelisihi ucapan
mereka adalah penentang, ketaatan kepada mereka atas seluruh makhluk adalah
wajib dan bermaksiat kepada mereka adalah haram. Barangsiapa yang mentaati
mereka akan mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang memaksiati mereka
akan sesat. Dalam perkara-perkara yang rancu, ucapan para ulama merupakan
landasan mereka berbuat. Dan kepada pendapat mereka akan dikembalikan
segala bentuk perkara yang menimpa pemimpin-pemimpin kaum muslimin
terhadap sebuah hukum yang tidak mereka ketahui. Maka dengan ucapan ulama
pula mereka berbuat dan kepada pendapat ulama mereka kembali.

Segala perkara yang menimpa para hakim umat Islam maka dengan hukum para
ulama-lah mereka berhukum, dan kepada ulama-lah merekalah kembali. Para
ulama adalah lentera hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, lambang2
sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah, serta mereka
adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati para ahli
haq dan matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di muka bumi
bagaikan bintang-bintang di langit yang akan bisa menerangi dan dipakai untuk
menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di lautan. Ketika bintang-bintang
itu redup (tidak muncul), mereka (umat) kebingungan. Dan bila muncul, mereka
(bisa) melihat jalan dalam kegelapan.”

Dari ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam
agama dan butuhnya umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya
meninggalkan mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


5

َّ‫ب ْالع ِْل ِم َوِإن‬


ِ ِ‫ضا لِ َطال‬ ً ‫ض ُع َأجْ ن َِح َت َها ِر‬
َ ‫ُق ْال َج َّن ِة َوِإنَّ ْال َماَل ِئ َك َة لَ َت‬
ِ ‫طر‬ ُ ْ‫ك هَّللا ُ ِب ِه َطري ًقا مِن‬
ِ َ َ‫ك َط ِري ًقا َي ْطلُبُ فِي ِه عِ ْلمًا َسل‬ َ َ‫َمنْ َسل‬
‫ض َو ْالحِي َتانُ فِي َج ْوفِ ْال َما ِء َوِإنَّ َفضْ َل ْال َعال ِِم َعلَى ْال َع ِاب ِد َك َفضْ ِل ْال َق َم ِر‬ ِ ْ‫ت َو َمنْ فِي اَأْلر‬ ِ ‫ْال َعالِ َم لَ َيسْ َت ْغفِ ُر لَ ُه َمنْ فِي ال َّس َم َوا‬
ُ‫ب َوِإنَّ ْال ُعلَ َما َء َو َر َث ُة اَأْل ْن ِب َيا ِء َوِإنَّ اَأْل ْن ِب َيا َء لَ ْم ي َُورِّ ُثوا دِي َنارً ا َواَل دِرْ َهمًا َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ َأ َخ َذه‬
ِ ‫اِئر ْال َك َوا ِك‬
ِ ‫لَ ْيلَ َة ْال َب ْد ِر َعلَى َس‬
‫َأ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬

“Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya –dengan hal itu- Allah
jalankan dia di atas jalan di antara jalan-jalan surga. Dan sesungguhnya para
malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi
(pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampun oleh
siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
purnama daripada seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama itu
pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi
mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil
bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan ini lafazh-nya; Tirmidzi no.
3641; Ibnu Majah no. 223; Ahmad, 4/196; Darimi no. 1/98. Dihasankan Syaikh
Salim al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 2/470, hadits no. 1388).

Marilah kita perhatikan hadits yang agung ini. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu pada awal kalimat, dan
keutamaan alim (orang yang berilmu) pada pertengahan kalimat, lalu pada akhir
kalimat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, bahwa ilmu yang
dimaksudkan adalah ilmu yang diwariskan para Nabi.

Dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٍ َ ‫َي ْر َف ِع هللاُ ا َّل ِذ ْينَ آ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوا َّل ِذ ْينَ ُأو ُتوا ا ْل ِع ْل َم دَ َرجا‬
‫ت‬
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang
yang diberikan ilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “(Kedudukan) ulama berada di atas orang-
orang yang beriman sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat dengan yang
lain seratus tahun.” (Tadzkiratus Sami’, hal. 27)

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


6

ْ ‫ش ِهدَ هللاُ َأ َّن ُه الَ ِإ َل َه ِإالَّ ه َُو َوا ْل َمالَِئ َك ُة َوُأولُوا ا ْل ِع ْل ِم َقاِئما ً ِبا ْلق‬
ِ‫ِصط‬ َ
“Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan
Dia dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan) dengan
penuh keadilan.” (Ali ‘Imran: 18)

Al-Imam Badruddin rahimahullah berkata: “Allah memulai dengan dirinya (dalam


persaksian), lalu malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah
hal ini sebagai bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat
mereka).” (Tadzkiratus Sami’, hal 27)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di


dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang keutamaan ilmu dan ulama karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka secara khusus dari manusia lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan persaksian mereka dengan
persaksian diri-Nya dan malaikat-malaikat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan persaksian mereka (ulama) sebagai bukti besar tentang ketauhidan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, agama, dan balasan-Nya. Dan wajib atas setiap
makhluk menerima persaksian yang penuh keadilan dan kejujuran ini. Dan dalam
kandungan ayat ini pula terdapat pujian kepada mereka (ulama) bahwa makhluk
harus mengikuti mereka dan mereka (para ulama) adalah imam-imam yang harus
diikuti. Semua ini menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan ketinggian derajat
mereka, sebuah derajat yang tidak bisa diukur.” (Tafsir As-Sa’di, hal 103).

Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini ada
dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama. Maka jika ada yang lebih mulia
dari mereka, niscaya Allah akan menggandengkan nama mereka dengan nama–
Nya dan nama malaikat-malaikat-Nya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
menggandengkan nama ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/27)

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫قُلْ َهلْ َي ْس َت ِوى ا َّل ِذ ْينَ َي ْع َل ُم ْونَ َوا َّل ِذ ْينَ الَ َي ْع َل ُم ْون‬
“Katakan (wahai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apakah sama antara orang
yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan unsur


kesamaan antara ulama dengan selain mereka sebagaimana Allah menafikan
7

unsur kesamaan antara penduduk surga dan penduduk neraka. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman: “Katakan, tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan
orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9), sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala: “Tidak akan sama antara penduduk neraka dan penduduk surga.” (Al-
Hasyr: 20). Ini menunjukkan tingginya keutamaan ulama dan kemuliaan mereka.”
(Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221)

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِّ َ ‫اسَألُوا َأهْ ل‬
َ‫الذ ْك ِر ِإنْ ُك ْن ُت ْم الَ َت ْع َل ُم ْون‬ ْ ‫َف‬
“Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ilmu pengetahuan) jika kalian
tidak mengetahui.” (An-Naml: 43)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan:


“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak
mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Dan dalam
kandungan ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk
mereka dari sisi di mana Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka.”
(Tafsir As-Sa’di, hal. 394)

5. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫َو َما َي ْعقِلُ َها ِإالَّ ا ْل َعالِ ُم ْون‬


“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat
oleh Allah) melainkan orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan:


“Melainkan orang-orang yang berilmu secara benar di mana ilmunya sampai ke
lubuk hatinya.” (Tafsir As-Sa’di, hal 581)

6. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫هللا مِنْ عِ َبا ِد ِه ا ْل ُع َلمآ ُء‬


َ ‫شى‬ َ ‫ِإ َّن َما َي ْخ‬
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”
(Fathir: 28)
8

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku mengira


bahwa terlupakannya ilmu karena dosa, kesalahan yang dilakukan. Dan orang
alim itu adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab
Tadzkiratus Sami’, hal. 28)

Abdurrazaq mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang yang lebih bagus


shalatnya dari Ibnu Juraij. Dan ketika melihatnya, aku mengetahui bahwa dia takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal 28)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan


bahwa mereka (para ulama) adalah orang-orang yang takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan
mereka dari mayoritas orang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama,
sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28). Ayat ini
merupakan pembatasan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah ulama.”
(Miftah Dar As-Sa’adah 1/225)

7. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ات َعدْ ٍن َت ْج ِري مِنْ َت ْح ِت َها ْاَأل ْن َها ُر َخالِ ِد ْينَ ِف ْي َها َأ َبدًا َرضِ َي‬ ُ ‫َج َزاُؤ ُه ْم عِ ْندَ َر ِّب ِه ْم َج َّن‬
‫ضوا َع ْن ُه َذلِ َك لِ َمنْ َخشِ َي َر َّب ُه‬ ُ ‫هللاً َع ْن ُه ْم َو َر‬
“Ganjaran mereka di sisi Allah adalah jannah Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka
ridha kepada Allah, demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Rabbnya.”
(Al-Bayyinah: 8)

Badruddin Al-Kinani rahimahullah berkata: “Kedua ayat ini (Fathir ayat 28 dan Al-
Bayyinah ayat 8) mengandung makna bahwa ulama adalah orang-orang yang
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan orang-orang yang takut kepada
Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari sini disimpulkan bahwa ulama adalah
sebaik-baik manusia.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)

Ucapan yang serupa dan semakna dibawakan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 225.

8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


9

‫َمنْ ُي ِر ِد هللاُ ِب ِه َخ ْي ًرا ُي َف ِّق ْه ُه فِي الدِّ ْي ِن‬


“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka
Allah akan mengajarkannya ilmu agama.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan, barangsiapa


yang tidak dijadikan Allah faqih dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah
tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/246)

9. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ا ْل ُعلُ َما ُء َو َر َث ُة ْاَأل ْن ِب َي‬


‫اء‬
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu
‘anhu)

Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Cukup derajat ini menunjukkan


satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi
dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan
nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.”
(Tadzkiratus Sami’ hal. 29)

Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan


rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan para
ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus
terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah
seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya


yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ َح َّتى ِإ َذا‬.‫ض ا ْل ُع َلما َ ِء‬ِ ‫ َو َلكِنْ ِب َق ْب‬،ِ‫ض ا ْل ِع ْل َم ا ْنت َِزاعا ً َي ْن َت ِز ُع ُه مِنَ ا ْلعِباَد‬
ُ ‫هللا الَ َي ْق ِب‬
َ َّ‫ِإن‬
‫ضلُّوا‬ َ ‫ضلُّوا َوَأ‬ َ ‫سِألُوا َفَأ ْف َت ْوا ِب َغ ْي ِر عِ ْل ٍم َف‬
ُ ‫اس ُرُؤ ْوسا ً ُج َّهاالً َف‬ ُ ‫َل ْم ُي ْب ِق عاَلِما ً ا َّت َخ َذ ال َّن‬
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-
hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga
jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat
pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka
10

pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari
no. 100 dan Muslim no. 2673)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan


terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu
merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran
(kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”

Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’
(riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda
datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang
jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)

Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan
ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan
rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:

َّ ‫َمفا َ ِت ْي ُح لِل َِخ ْي ِر َو َمغاَلِ ْي ُق لِل‬


‫ش ِّر‬
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup
segala bentuk kejahatan.”

Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum


muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini
disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi
tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ilmu


merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak
pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang
mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang
banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun
(abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-
keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16)

Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
11

ْ َ‫ُث َّم َأ ْو َر ْثنا َ ا ْلكِتا َ َب ا َّل ِذ ْين‬


َ ‫اص َط َف ْينا َ مِنْ عِ باَدِنا‬
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba kami.” (Fathir: 32)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-
Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang
terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka
adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat)
terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris
para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah


mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami
yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab
ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami
turunkan kepadam dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para
shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi
atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka
umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ ِإنَّ ْاَأل ْن ِبيا َ َء َل ْم ُي َو ِّر ُث ْوا ِد ْينا َ ًرا َوالَ د ِْرهَما ً ِإ َّن َما َو َّر ُث ْوا‬،‫اء‬
ِ ‫إن ا ْل ُعلُ َما ُء َو َر َث ُة ْاَأل ْن ِب َي‬
‫ا ْل ِع ْل َم َف َمنْ َأ َخ َذ ِب ِه َف َقدْ َأ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka
barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang
banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no.
2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98),
Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh
Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan:
12

“Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan
At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib,
1/33/68)

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan:


“Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas
mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah
(keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi
tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut.
Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka.
Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap
zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang
yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah
menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah
merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan
pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan
yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan
pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan
semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-
Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin


karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk
meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa.
Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan
kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan
mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk
kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu
kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama,
lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka
dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi
kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140)

B. Studi Kritik Hadis

Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan


pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber
13

ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama
Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab
hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis
tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek
kemurniannya dan keasliannya.

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang


terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah
tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak
hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang
biasa dikenal dengan masalah matan hadis, tetapi juga kepada berbagai hal yang
berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian
para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.

M. Syuhudi Ismail menjelaskan 6 faktor yang melatar belakangi pentingnya kritik


hadis: (1) hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam, (2) tidak seluruh
hadis ditulis pada jaman Nabi, (3) telah muncul beragam pemalsuan hadis, (4)
proses penghimpunan hadis membutuhkan waktu yang lama, (5) jumlah kitab
hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam, dan (6) telah
terjadi periwayatan hadis secara makna.

Menurut Mahsyar Idris, Studi Hadis dalam garis besar terdiri dari dua bagian
yakni, pertama studi tentang Kritik Hadis (Naqd Al-Hadith) dan kedua Studi Fiqh
Al-Hadits. Tujuan akhir dari kritik hadis adalah untuk menetapkan kelayakan suatu
hadis untuk digunakan sebagai hujjah dalam ajaran islam. Sedangkan studi
tentang fiqh al-hadist memiliki tujuan akhir untuk menemukan makna yang
terkandung dalam hadist. Suyudi Ismail dalam mashar berpendapat bahwa
memeriksa materi hadist membutuhkan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-
prinsip dasar islam.1

Lebih lanjut menurut masyhar Idris, “Ulum al-Hadith as a discipline refers to study
the objects (ontology) of the Prophet Muhammad. in terms of his words, actions,
and taqrir as gathered in hadiths that not collect materials (matan) of hadith but
also includes their sanad. Both sanad and matan of hadith are factual in nature”.
Artinya “Ulum al-Hadits sebagai disiplin ilmu mempelajari objek (ontologi) Nabi
Muhammad. Yakni menyangkut kata-kata, tindakan, dan taqrirnya yang
dikumpulkan dalam hadits yang tidak hanya mengumpulkan materi (matan) dari
hadits tetapi juga mencakup sanad. Baik sanad dan matan dari hadits bersifat
faktual”.2

1
Mahsyar Idris, Analyzing the Essence of Spirit in Hadit“, International Journal of Philosophy and Theology Vol. 4, No.
1, pp. 79-88, (June 2016) hal.81.
2
Ibid, hal.81
14

1. Pengertian Kritik Hadis

Kritik hadis dikalangan ahli hadis dikenal dengan sebutan ) ‫ ( ﺪﻘﻧ ﺚﯾﺪﺤﻟا‬naqd al-
hadis. Kata “an-naq” dari sisi bahasa adalah berarti mengkritik, menyatakan dan
memisahkan antara yang baik dari yang buruk. Sedangkan makna kritik dalam
konteks ilmu hadis adalah cenderung kepada maksud kegiatan penelitian hadis,
dan bukan berarti sebuah kecaman terhadap hadis.

Sementara pengertian kritik hadis (naqd al-hadis) secara terminologi adalah


sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami berikut:

"Naqd al-hadis adalah upaya membedakan antara hadishadis sahih dari hadis-
hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas
maupun kecacatannya." 31

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa makna kritik hadis adalah
suatu kegiatan penelitian hadis untuk menemukan kekeliruan yang terdapat pada
hadis Rasulullah Saw. sehingga dapat ditentukan mana hadis dapat diterima dan
mana yang tidak, dan bagaimana kualitas periwayatan hadis yang bersangkutan.

2. Kritik Hadis Di Era Rasulullah Saw. Masih Hidup

Kritik hadis pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah dilakukan para
sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat mengetahui valid dan
tidaknya hadis yang mereka terima itu melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah
Saw.4

Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah bukanlah
disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia
telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap
mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber
hukum Islam disamping Alquran, juga untuk mengokohkan hati mereka dalam
mengamalkan hadis yang langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah
Saw. Para ulama sepakat bahwa konfirmasi hadis di era Rasulullah ini dipandang
sebagai cikal-bakal lahirnya ilmu kritik hadis. 5

3
Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-
Kausar, 1990), hlm. 5.
4
Umi Sumbulah, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 32-33
5
Jalal al-Din Al-Syuyuti, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, (ttp.: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th.), juz II,
hlm. 45.
15

Sebagai contoh kegiatan konfirmasi di era Rasulullah Saw ini dapat ditunjukkan
oleh riwayat hadis berikut:

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Muhammad bin Bukair an-Naqid telah
menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadlr telah menceritakan
kepada kami Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dari Anas bin Malik dia berkata,
"Kami terhalangi untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
tentang sesuatu, yaitu kekaguman kami terhadap kedatangan seorang laki-laki
dari penduduk gurun yang berakal (cerdas), lalu dia bertanya, sedangkan kami
mendengarnya, lalu seorang laki-laki dari penduduk gurun datang seraya berkata,
'Wahai Muhammad, utusanmu mendatangi kami, lalu mengklaim untuk kami
bahwa kamu mengklaim bahwa Allah mengutusmu.' Rasulullah menjawab: 'Benar'.
Dia bertanya, 'Siapakah yang menciptakan langit? ' Rasulullah menjawab: 'Allah.'
Dia bertanya, 'Siapakah yang menciptakan bumi? 'Rasulullah menjawab: 'Allah.'
Dia bertanya, 'Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menjadikan
isinya segala sesuatu yang Dia ciptakan? ' Beliau menjawab: 'Allah.' Dia bertanya,
'Maka demi Dzat yang menciptakan langit, menciptakan bumi, dan
memancangkan gununggunung ini, apakah Allah yang mengutusmu? ' Beliau
menjawab: 'Ya.' Dia bertanya, 'Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan
shalat lima waktu sehari semalam, (apakah ini benar)? Beliau menjawab: 'Benar'.
Dia bertanya, 'Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu untuk
melakukan ini? ' Beliau menjawab: 'Ya'. Dia bertanya, 'Utusanmu mengklaim
bahwa kitab wajib melakukan puasa Ramadlan pada setiap tahun kita, (apakah ini
benar)? ' Beliau menjawab:'Ya'.Dia bertanya,'Demi Dzat yang mengutusmu,
apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan ini? ' Beliau menjawab: 'Ya'. Dia
bertanya, 'Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan haji bagi siapa di
antara kami yang mampu menempuh jalan-Nya, (apakah ini benar)? ' Beliau
menjawab, 'Ya benar'.Kemudian dia berpaling dan berkata, 'Demi Dzat yang
mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambah atas kewajiban
tersebut dan tidak akan mengurangi darinya'.Maka Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Jika benar (yang dikatakannya), sungguh dia akan masuk
surga'." Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Hasyim al-Abdi telah
menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin al-
Mughirah dari Tsabit dia berkata, Anas berkata, "Kami terhalangi untuk bertanya
tentang sesuatu dari al-Qur'an kepada Rasulullah." Lalu dia membawakan hadits
dengan semisalnya.” (HR. Muslim/ Iman/ No. 13).

3. Kritik Hadis Di Era Sahabat (Abad 1)

Pada era sahabat, metode penelitian hadis mulai berkembang dengan pola yang
bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini, setelah wafatnya Rasulullah
Saw. para sahabat seperti Abu Bakr Siddik, Umar Bin Khattab dan Ali bin Abi
16

Thalib kemudian mulai membuat suatu rambu-rambu atau syarat diterimanya


suatu hadits, antara lain misalnya dengan mengharuskan kesaksian sahabat yang
lain untuk membenarkan periwayatan hadis tersebut. Sebagai contohnya adalah
sebagaimana kisah yang dijelaskan oleh riwayat hadis berikut:

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi, dari Malik dari Ibnu Syihab, dari
Utsman bin Ishaq bin Kharasyah, dari Qabishah bin Dzuaib, bahwa ia berkata;
telah datang seorang nenek kepada Abu Bakr Ash Shiddiq, ia bertanya kepadanya
mengenai warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak mendapatkan
sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan aku tidak mengetahui sesuatu untukmu
dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya
kepada orang-orang. Kemudian Abu Bakr bertanya kepada orang-orang, lalu Al
Mughirah bin Syu'bah berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abu Bakr berkata;
apakah ada orang (yang menyaksikan) selainmu? Kemudian Muhammad bin
Maslamah berdiri dan berkata seperti apa yang dikatakan Al Mughirah bin
Syu'bah. Lalu Abu Bakr menerapkannya dan berkata; engkau tidak mendapatkan
sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan keputusan yang telah diputuskan adalah
untuk selainmu, dan aku tidak akan menambahkan dalam perkara faraidl, akan
tetapi hal itu adalah seperenam. Apabila kalian berdua dalam seperenam tersebut
maka seperenam itu dibagi di antara kalian berdua. Siapapun di antara kalian
berdua yang melepaskannya maka seperenam tersebut adalah miliknya.” (HR.
Abu Daud/ Bab Waris: 2507).
Berdasarkan kasus tersebut, Abu Bakr terkesan sangat berhati-hati dalam
menerima kebenaran sebuah hadis. Dalam kutipan Suryadi dan Muhammad
Alfatih, Azmillah al-Damani menyimpulkan metode penelitian hadis di era sahabat
terbagi kepada tiga pilar utama, yaitu dengan kriteria bahwa hadis tersebut tidak
bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis lain, dengan cara
membandingkan antar riwayat sesama sahabat, dan melalui penalaran akal
sehat.6

4. Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadis
(Abad II-III).

Sebagaimana penulis sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu
perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis.
Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja
memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau
kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini
telah muncul hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua

6
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian hadis, (Yogyakarta: T-H Press, 2009), hlm. 144-145.
17

kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-


kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang
Islam, Orang-orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena
keinginan untuk meruntuhkan Islam.7

Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama yang hidup pada
masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan
penelitian hadis. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan dengan semakin
ramainya aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang bermaksud
mempelajari hadis Rasulullah Saw. Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif
dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan
hadis, Hal tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis
yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadis. 8

Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada


abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam
kutipan Umi Sumbulah berikut:
a. Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang selalu memperturutkan ambisi
pribadinya (hawa nafsu).
b. Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohonnya
itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah.
c. Tidak meriwayatkan hadis dari seseorang yang sebenarnya baik amal
ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya itu tidak dikenal (umum). 9

Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (abad ke-II dan ke-III) telah
mencakup kepada penelitian sanad dan matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut
telah menjalar keseluruh pelosok negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak,
Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya. 10

Selanjutnya berkat kegiatan kritik (penelitian) hadis tersebut bermunculanlah di


berbagai negeri ini para peneliti hadis sepanjang masa. Mereka senantiasa
mengorbankan waktu hanya untuk membersihkan hadis-hadis dari kepalsuan,
kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas penelitian
hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang ditandai dengan
lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau dari segala aspeknya.
Sehingga sampai saat ini karyakarya fenomenal itulah yang menjadi referensi
utama dalam menilai sebuah hadits.1114

7
Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. viii.
8
Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 40-41.
9
Ibid., hlm. 43.
10
Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 41
11
Muhammad Ali Qasim al-Umri, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal uhadditsîn, (Yordan: Dar An-Nafais, 2000), hal. 11.
18

Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian hadis, pada
awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya ditulis di pinggiran buku-buku
hadits seperti terdapat pada kitab Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama
yang mencoba memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya
meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku
induk hadis.12 15

Kemudian cara yang pertama ini dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas
untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga para
ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar mereka dalam
satu kitab tersendiri, yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-
masing perawi agar penilaan atas hadits benar-benar objektif. Hal tersebut
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi
Ma’rifatil Rijâl, atau Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah. 13

Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab rujukan kritik hadits menjadi lebih
sistematis lagi setelah dilakukannya pengkajian yang terpisah antara penelitian
sanad dengan penelitian matan hadis. Hal ini digagas oleh pakar peneliti hadits
seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl dan’Ilal yang begitu detail
dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya. 14
5. Parameter Kritik Hadis

Adapun kawasan kritik hadis adalah meliputi penelitian sanad dan matan hadis,
sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya sebuah
hadis. Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mu’tamad).
Sementara pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis adalah jajaran orang-orang
orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ At- Tabi’in,
dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut. 15

Sementara ‘Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Totok Jumantoro,


mengemukakan pengertian sanad sebagai berikut: Artinya: “Sanad adalah jalan
kepada matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan matan dari
sumbernya yang pertama.”16

Jalan yang dimaksud pada defenisi di atas adalah rangkaian orang-orang yang
meriwayatkan hadits Rasullullah Saw, baik melalui hafalan maupun tulisan.
12
Ibid., hlm. 17.
13
Ibid
14
Ibid
15
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005) hlm. 23-27
16
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hlm. 220.
19

Contohnya Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. berikut:

‫ﺎَﻨ ﱠَـﺛﺪَﺣ ُﺪْﺒَﻋ ِﻪﱠﻠﻟا ُﻦْﺑ َُ ﳏ ٍﺪﱠﻤ ﱡﻲِ ْﻔ ْ ُﻌﳉا َ لﺎَﻗ ﺎَﻨ ﱠَـﺛﺪَﺣ ﻮُ َﺑأ ٍﺮِﻣﺎَﻋ ﱡيِﺪَ َﻘﻌْ ﻟا َ لﺎَﻗ ﺎَﻨ ﱠَـﺛﺪَﺣ‬
ُ ‫ﺿر‬َ ِ‫ﻼﺑ ْﻦَﻋ ِﺪْﺒَﻋ ِﻪﱠﻠﻟا ِﻦْﺑ ٍرﺎ َ ِﻨﻳد ْﻦَﻋ ِ ﰊَأ ٍ ِﺢﺎﻟَﺻ ْﻦَﻋ ِ ﰊَأ َ َةﺮْـ َﻳﺮُﻫ َﻲ‬ ِ َ ‫نﺎَﻤْﻴَﻠُﺳ ُﻦْﺑ ٍ ل‬
َ َ َ َ
ُ‫ﻪﱠﻠﻟا ُ ْﻪﻨَﻋ ْﻦَﻋ ﱢِ ﱯﱠﻨﻟا ﻰﱠ ﻠﺻ ُﻪﱠﻠﻟا ِ ْﻪﻴَﻠﻋ َﻢﱠﻠ َﺳو َ لﺎَﻗ ُنﺎ َﳝِْ ﻹا ٌﻊْ ﻀِﺑ َنﻮﱡﺘ ِ َﺳو ًﺔﺒْﻌُﺷ‬
ُ٨ : ‫ ءﺎ َ ْﻴَﳊاَو ٌ َﺔﺒْﻌُﺷ ْﻦِﻣ ِنﺎ َﳝِْ ﻹا ) ﻩاور يرﺎﺨﺒﻟا‬.(

Posisi Imam Bukhari pada hadis di atas disebut sebagai sanad pertama, karena
daripadanya kita memperoleh hadis dan kepadanya langsung kita sandarkan
riwayat hadis tersebut, dan kemudian Imam Bukhari menyandarkannya kepada
gurunya, yaitu sebagai sanad kedua, dan seterusnya sehingga sahabat Rasul-lah
yang menjadi sanad terakhir.

Pada hadis tersebut, Imam Bukhari juga disebut sebagai perawi terakhir karena
beliaulah generasi yang terakhir meriwayatkan hadis tersebut hingga sampai
kepada kita. Imam Bukhari juga disebut sebagai mukharrijul Al-Hadis dalam hadis
yang diriwayatkannya, karena beliau telah menuliskan hadis-hadis yang
diriwayatkannya ke dalam sebuah kitab hadis.

Disamping kata sanad, ada kata lain yang maknanya berdekatan dengan sanad,
yaitu kata isnad dan musnad. Menurut Al-Thibi sebagaimana dikutip oleh Usman
Sya’roni, kata isnad mempunyai arti yang sama dengan sanad. Tetapi Usman
Sya’roni kemudian menunjukkan perbedaan diantara keduanya, yaitu isnad lebih
menunjukkan kepada proses periwayatan hadis, sedangkan sanad ialah susunan
orang-orang yang berurutan meriwayatkan sebuah materi hadis. 17

Sementara arti musnad ada empat, yaitu: Pertama, hadis yang disandarkan
kepada orang yang meriwayatkannya. Kedua, nama kitab yang menghimpun
hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat,
seperti kitab musnad Ahmad bin Hambal. Ketiga, kumpulan hadis yang
diriwayatkan dengan menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap, seperti kitab
musnad al-Syihab dan musnad alfirdaus. Keempat, nama bagi hadis marfu’
(disandarkan kepada nabi) yang sanad-nya muttasil (bersambung). 18

Selanjutnya, pengertian matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang
meninggi, ada pula yang mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan
kesangatan.19 Dengan demikian, pengertian matan dari sisi bahasa adalah
menunjukkan nama bagi segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat, dan menjadi
bagian inti.
17
Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi,hlm. 10-11.
18
Ibid., hlm. 12.
19
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002),hlm. 121.
20

Sementara pengertian matan menurut istilah adalah sebagaimana dalam kutipan


Totok Jumantoro, Ajjaj Al-Khattib di bawah ini:
‫ظﺎﻔﻟا ﺚﻳﺪﳊا ﱴﻟا مﻮﻘﺘﺗ ﺎﻌﻣﺎ ﻪﻴﻧ‬
Artinya: “
Lafadhz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”. 20

Dengan demikian maka yang dimaksud dengan matan al-hadits adalah materi/
berita/ pembicaraan yang diperoleh sanad terakhir, baik isi pembicaraan itu
tentang perbuatan Nabi Saw, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah
oleh Nabi Muhammad Saw.

Contoh hadis: Artinya:


“Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Ulayyah dari Abdul 'Aziz bin Shuhaib dari Anas dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam Dan telah menceritakan pula kepada kami Adam
berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qotadah dari Anas berkata,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah beriman seorang dari kalian
hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia
seluruhnya".(H.R. Bukhari:14).

Pada hadis di atas, sanad pertamanya adalah Ya’qub bin Ibrahim dan sanad
terakhirnya adalah Anas. Maka adapun materi berita yang disampaikan Anas
adalah disebut sebagai matan hadis, yaitu kalimat: "Tidaklah beriman seorang dari
kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari
manusia seluruhnya"

Selanjutnya, adapun unsur-unsur yang menjadi perhatian kritikus hadis (baca:


peneliti hadis) dalam sanad dan matan hadis dapat diketahui melalui beberapa
aspek yang menjadi syarat kesahihan hadis menurut mereka, karena tujuan utama
kritik hadis adalah untuk membedakan antara hadis yang sahih dengan yang tidak
sahih.

Abū ‘Amr Usmān bin Abdirrahman bin as-Salah asy-Syahrazuri yang biasa disebut
Ibnu As-Salah (w. 577 H/ 1245M) telah merumuskan syarat kesahihan hadis
sebagai berikut : “Hadits Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai
kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhābit sampai
akhir sanad (di dalam hadits itu) dan tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan
cacat (‘illat).”21
20
Ibid., hlm. 122.

21
Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi,hlm. 19.
21

Bab III
Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َواف ٍِر‬ ‫ ِب َح ٍّظ‬ ‫َأ َخ َذ‬ ُ‫َأ َخ َذه‬  َ‫ َف َمن‬ ‫ا ْل ِع ْل َم‬ ‫ َو َّر ُثوا‬ ‫ِإ َّن َما‬ ً ‫د ِْرهَما‬ َ‫ َوال‬ ً‫دِي َنارا‬ ‫ ُي َو ِّر ُثوا‬ ‫لَ ْم‬ ‫اَأْل ْن ِب َيا َء‬  َّ‫ِإن‬ ، ِ‫اَأْل ْن ِبيَاء‬ ‫ َو َر َث ُة‬ ‫اء‬
َ ‫ا ْل ُعلَ َم‬  َّ‫ِإن‬

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu.
Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang
banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di
dalamMusnad-nya (5/169), ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu
Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimah-nya, serta dinyatakan
sahih oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh al-
Albani rahimahullah mengatakan, “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan
Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu
Majah no. 182, dan Shahih at-Targhib, 1/33/68)

2. Kritik hadis adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis,


memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah
hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat
penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita.
Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dengan tepat dalam
mengamalkan isi dari hadis tersebut. Munculnya kegiatan penelitian/koreksi
terhadap hadis sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti
sejarah bagi terjaganya kemurnian dan keaslian hadis sampai masa sekarang
ini. Namun untuk mengantisipasi kepalsuan hadis atau ketidak murniannya
akibat diriwayatkan oleh orang yang rendah kapasitas intelektualnya, kurang
kesalehannya (fasik), dan dipalsukan non Islam maka menjadi suatu keharusan
bagi kita untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan melakukan
kritik atau penelitian terhadap kualitas sanad dan matan hadis tersebut
berdasarkan metode penelitian hadis yang tepat dan akurat.
22

DAFTAR PUSTAKA

Mahsyar Idris, Analyzing the Essence of Spirit in Hadit“, International Journal of


Philosophy and Theology Vol. 4, No. 1, pp. 79-88, (June 2016)
Al-‘Asqalani, Ahmad bin Alī bin Hajar, Nuzhatun Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr,
Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th.
Al-‘Azhimy, Muhammad Musthafa, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun
wa tarikuhu Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990.
Al-Adlabī, Salahuddin bin Ahmad, Manhaj Naqil Matn, Beirut : Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1983.
Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah;MasturiIrham & Asmu’I
Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Isma’īl, Syuhudi, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Sejarah¸Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
----------------, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
----------------, Kaedah Kesahihan sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang ,1988.
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadist, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, Beirut:
Dar al-Fikr, 1963.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1985.
Al-Shalīh, Subhi, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-
malayin, 1977.
Al-Syuyuti, Jalal al-Din, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, Ttp.: Dar al-Kutub al-
Haditsah, t.th.
Smeer, Zeid B., Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang: UIN-
Malang Press, 2008.
Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

You might also like