You are on page 1of 45

BAB 1

PENDAHULUAN

Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit


ini bervariasi mulai dari hiperemi ringan dengan mata berair sampai berat dengan
banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen tetapi bisa juga
peyebab endogen. 1

Konjungtivitis adalah radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang


menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dibedakan ke dalam
bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri seperti
konjungtivitis gonokok, konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh virus, klamidia,
alergi toksik, dan molluscum contagiocum.2

Di negara maju seperti Amerika (2005), insidens rate konjungtivitis bakteri


sebesar 135 per 10.000 penderita konjungtivitis bakteri baik pada anak-anak
maupun pada orang dewasa dan juga lansia.3 Konjungtivitis juga salah satu
penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur, dengan insidens rate
yaitu 32,9% dari 949 kunjungan di Departemen Mata Aba Metropolis, Nigeria,
pada tahun 2004 hingga 2006 .4

Penelitian yang pernah dilakukan di Philadelphia, menunjukkan insidens


rate konjungtivitis bakteri sebesar 54% dari semua kasus di departemen mata pada
tahun 2005 hingga tahun 2006 (Patel, 2007). Provinsi Yunnan, Cina, antara
Agustus dan September tahun 2007 telah terjadi wabah konjungtivitis hemoragik
akut (AHC). Sebanyak 3.597 kasus yang dilaporkan secara resmi dan tingkat
kejadian penderita hingga mencapai 1391/100.000 penduduk.5

Berdasarkan Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia (2004), pasien


rawat inap konjungtivitis dan gangguan lain konjungtivitis 12,6%, dan pasien
rawat jalan konjungtivitis 28,3% (DEPKES RI, 2004) . Indonesia pada tahun 2009
dari 135.749 kunjungan ke poli mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain
pada konjungtiva 73% dan yang tersering diderita adalh konjungtivitis jenis

1
kataralis epidemika 80%. Konjungtivitis juga termasuk dalam 10 besar penyakit
rawat jalan terbanyak pada tahun 2009.5

Gejala konjungtivitis biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan tidak


disertai penurunan tajam penglihatan sehingga dapat ditatalaksana di pelayanan
kesehatan primer. Meskipun demikian, terdapat kasus yang bersifat mengancam
penglihatan sehingga perlu segera dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis
mata untuk tata laksana lanjut. Konjungtivitis sangat menular sehingga pasien
perlu mendaat adukasi agar tidak menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.

Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan informasi bagi dokter


untuk mengingatkan kembali tentang konjungtivitis agar dapat mengenali gejala
klinis, tata laksana dan pencegahannya.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersammbungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri atas 3
bagian yaitu konjungtiva palpebralis yang menutupi permukaan posterior dari
palpebra, konjungtiva bulbi yang menutupi sklera, konjungtiva forniks atau
forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.

Namun, secara letak areanya, konjungtiva dibagi menjadi 6 area yaitu


area marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan limbal.

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan


melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan


melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus
(tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm).

Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak


(plika semilunaris) terlelak di kantus internus dan membentuk kelopak mata
ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging
(karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan
merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit dan membran
mukosa.

3
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra.
Tetapi hubungan dengan jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk
lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu,
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata.

Berikut adalah gambaran anatomi dari konjungtiva

Gambar 2.1.1. Anatomi Konjungtiva .

4
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan –bersama dengan
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya–
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan


lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga
membentuk pleksus limfatikus yang banyak.

Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik)


nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.8

2.2. DEFINISI KONJUNGTIVITIS

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir


yang menutupi belakang kelopak dan bola mata dalam bentuk akut maupun
kronis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi, toksik,
iritasi. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemi ringan dengan mata berair
sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental1,2

2.3. PATOFISIOLOGI KONJUNGTIVITIS

Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan


konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan
Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film pada konjungtiva yang
berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik
kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior.5

Di samping itu tear film juga mengandung beta lysin, lysozym, IgA, IgG
yang berfungsi untung menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada
mikroorganisme patogen yang mampu menembus pertahanan tersebut hingga
terjadi infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis.5

2.4. ETIOLOGI
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal yaitu infeksi
oleh virus, bakteri, reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang,

5
iritasi oleh angin, debu, asap, sinar ultraviolet, pemakaian lensa kontak,
terutama dalam jangka panjang.4

2.5. GEJALA KLINIS KONJUNGTIVITIS


2.5.1. Hiperemia
Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi
konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh darah
konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan menghilang dalam
perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak pada semua bentuk
konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari pembuluh darah yang
hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya merupakan kriteria penting untuk
diferensial diagnosa. Seseorang juga dapat membedakan konjungtivitis
dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar pada injeksinya.
11,12
Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi: Injeksi konjungtiva(merah terang,
pembuluh darah yang distended bergerak bersama dengan konjungtiva,
semakin menurun jumlahnya saat menuju ke arah limbus), Injeksi
perikornea(pembuluh darah superfisial, sirkuler atau cirkumcribed pada
tepi limbus), Injeksi siliar(tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah
berwarna terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus), Injeksi
komposit(sering).7
Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau
struktus yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan
konjungtivitis bakterial, dan penampakan merah susu menandakan
konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi
dari sebab fisik, seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi
mungkin juda didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas
vaskuler(contoh, acne rosacea). 12

6
Gambar 3. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva
dikutip dari Lang GK, Lang GE. Conjunctiva. Dalam: Lang GK,
Gareis O, Amann J, Lang GE, Recker D, Spraul CW, Wagner P.
Ophthalmology: a short textbook. New York: Thieme; 2000.

2.5.2. Discharge ( sekret )


Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah
eksudat(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari
etiologinya.11
2.5.3. Chemosis
Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis
alergik akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokkal akut
atau konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada konjungtivitis
adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien
dengan trikinosis. Meskipun jarang, chemosis mungkin timbul sebelum
adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross. 12

7
Gambar 4. Kemosis pada mata
2.5.4. Epifora (pengeluaran berlebih air mata)
Lakrimasi yang tidak normal(illacrimation) harus dapat dibedakan
dari eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi
dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi
toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga dari
gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang hiperemia
dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah pengeluaran air
mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi mukus menandakan
keratokonjungtivitis sika. 12
2.5.5. Pseudoptosis
Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya
infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada
palpebra superior. 12
2.5.6. Hipertrofi folikel
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis,
folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu.
Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat
naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus
konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali
konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit,
dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi
topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks
inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas,
tetapi ketika diketemukan terletak pada tarsus(terutama tarsus superior),

8
harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik
(mengikuti medikasi topikal). 12
.

Gambar 5. gambaran klinis dari folikel


Dikutip dari James B, Chew C, Bron A. Conjunctiva, Cornea and Sclera. Dalam:
Lecture Notes on Ophthalmology. 9th edition. India: Blackwell Publishing; 2003

2.5.7. Hipertrofi papiler


Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena
konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika
pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla(bersama dengan
elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,
pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka
dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril,
membentuk konjungtiva seperti sebuahgundukan. Pada kelainan yang
menyebabkan nekrosis(contoh,trakoma), eksudat dapat digantikan oleh
12
jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil,
konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah
normal. Konjungtiva dengan papila berwarna merah sekali menandakan
kelainan disebabkan bakteri atau klamidia(contoh, konjungtiva tarsal yang
berwarna merah sekali merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi
yang ditandai pada tarsus superior, menandakan keratokunjungtivitis
vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas terhadap lensa
kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan
keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga dapat
muncul pada limbus, terutama pada area yang secara normal dapat
terekspos ketika mata sedang terbuka(antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8

9
dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat
mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari keratokonjungtivitis
vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik. 12

Gambar 6. gambaran klinis hipertrofi papiler


Dikutip dari www.onjoph.com

2.5.8. Membran dan pseudomembran


Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau
konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan
toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan
kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa
perdarahan(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada
permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan
saat diangkat(membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan
seluruh epitel. 11
2.5.9. Phylctenules

10
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap
toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada
mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada
pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi dari konjungtiva,
dasar ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear. 12
2.5.10. Formasi pannus
Pertumbuhan
konjungtiva atau pembuluh
darah diantara lapisan
Bowman dan epitel kornea
atau pada stroma yang
lebih dalam. Edema stroma,
yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen,
memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah.11,14

Gambar 8. Pannus tampak pada mata pasien konjungtivitis Dikutip dari Kanski
JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 5th
edition. hal. 63-81

2.5.11. Granuloma
Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat
merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan
sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen
seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya.
Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus
preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti sindroma
okuloglandular Parinaud.

11
Gambar 9 Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma
okuloglandular Parinaud. dikutip dari Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical
Ophthalmology: A Systematic Approach. 5th edition. hal. 63-81
2.5.12. Nodus limfatikus yang membengkak
Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di
preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang membengkak
mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik
dari konjungtivitis viral. 12
2.6. Klasifikasi

Menurut penyebab terjadinya, konjungtivitis dibagi menjadi beberapa


bagian:

2.6.1. Konjungtivitis Akut


2.6.1.1. Konjungtivitis Bakterial

Gambar 10 Konjungtivitis bakterial

Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut) dan


menahun. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah
Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Konjungtivitis

12
bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme
seperti Haemophilus influenza. Lamanya penyakit dapat mencapai 2
minggu jika tidak diobati dengan memadai.6
Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan salah
satu dari sekian antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan
ini dalam beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan
Neisseria gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan
komplikasi berat bila tidak diobati secara dini.
Tanda dan gejala konjungtivitis bakterial adalah iritasi mata, mata
merah, sekret mata, palpebra terasa lengket saat bangun tidur, kadang-
kadang edema palpebral. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan
menular ke mata sebelahnya melalui tangan. Infeksi dapat menyebar ke
orang lain melalui bahan yang dapat menyebarkan kuman seperti seprei,
kain, dll.1,5
Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bacterial, organism dapat
diketahui dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva
yang dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa; pemeriksaan ini
mengungkapkan banyak neutrofil polimorfonuklear.1,2,3 Kerokan
konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan disarankan untuk
semua kasus dan diharuskan jika penyakit itu purulen, bermembran atau
berpseudomembran. Studi sensitivitas antibiotika juga baik, namun
sebaiknya harus dimulai terapi antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas
antibiotika telah ada, tetapi antibiotika spesifik dapat diteruskan.
Komplikasi yang terjadi adalah blefaritis marginal menahun sering
menyertai konjungtiva stafilokokus kecuali pada pasien sangat muda yang
bukan sasaran blefaritis. Parut konjungtiva dapat terjadi pada
konjungtivitis pseudomembranosa dan pada kasus tertentu yang diikuti
ulserasi kornea dan perforasi. Ulserasi kornea marginal dapat terjadi pada
infeksi N gonorroeae, N konchii, N meningitides, H aegyptus, S
gonorrhoeae berdifusi melalui kornea masuk camera anterior, dapat
timbul iritis toksik.1,3
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan
agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter
dapat mulai dengan terapi topical antimikroba. Pada setiap konjungtivitis

13
purulen, harus dipilih antibiotika yang cocok untuk mengobati infeksi N
gonorroeae, dan N meningitides. Terapi topical dan sistemik harus segera
dilkasanakan setelah materi untuk pemeriksaan laboratorium telah
diperoleh.
Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus
konjungtiva harus dibilas dengan larutan garam agar dapat
menghilangkan secret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit
ini, pasien dan keluarga diminta memperhatikan secara khusus hygiene
perorangan.
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, infeksi
dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan memadai, 1-3
hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat berlanjut menjadi
blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap mnehun) dan konjungtivitis
gonokokus (yang bila tidak diobati dapat berakibat perforasi kornea dan
endoftalmitis). Karena konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk bagi
meningokokus ke dalam darah dan meninges, hasil akhir konjungtivitis
meningokokus adalah septicemia dan meningitis. Konjungtivitis bacterial
menahun mungkin tidak dapat sembuh sendiri dan menjadi masalah
pengobatan yang menyulitkan.1,4

2.6.1.2 Konjungtivitis Bakterial Akut

Peradangan pada konjungtiva yang disebabkan Oleh Streptokokus,


Corynebacterium diptherica, Pseudomonas, neisseria, dan hemophilus. 3

14
Gambar 11 Konjungtivitis Purulen

Gambaran klinis berupa konjungtivitis mukopurulen dan konjungtivitis


purulen, hiperemi konjungtiva, edema kelopak,hipertrofi papil.3

Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan salah


satu dari sekian antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan ini
dalam beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan Neisseria
gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan komplikasi
berat bila tidak diobati secara dini, 4

Diagnosis: Hiperemi Konjungtiva, Edema kelopak dengan kornea yang


jernih, Kemosis : pembengkakan konjungtiva, Mukopurulen atau Purulen

Pemeriksaan: Pemeriksaan tajam penglihatan, Pemeriksaan segmen anterior


bola mata, Sediaan langsung (swab konjungtiva untuk pewarnaan garam)
untuk mengindentifikasi bakteri, jamur dan sitologinya. 5

Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular ke sebelah oleh
tangan. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat
menyebarkan kuman seperti seprei, kain, dll.1,5

15
Pemeriksaan Laboratorium Pada kebanyakan kasus konjungtivitis
bacterial, organism dapat diketahui dengan pemeriksaan mikroskopik
terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau
Giemsa; pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil
polimorfonuklear.1,2,3 Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan
mikroskopik dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan
jika penyakit itu purulen, bermembran atau berpseudomembran. Studi
sensitivitas antibiotika juga baik, namun sebaiknya harus dimulai terapi
antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas antibiotika telah ada, tetapi
antibiotika spesifik dapat diteruskan. 6

Prinsip terapi dengan obat topical spectrum luas. Pada 24 jam


pertama obat diteteskan tiap 2 jam kemudian pada hari berikutnya
diberikan 4 kali sehari selama 1 minggu. Pada malam harinya diberikan
salep mata untuk mencegah belekan di pagi hari dan mempercepat
penyembuhan1, 3

Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan


agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter
dapat mulai dengan terapi topical antimikroba. Pada setiap konjungtivitis
purulen, harus dipilih antibiotika yang cocok untuk mengobati infeksi N
gonorroeae, dan N meningitides. Terapi topical dan sistemik harus segera
dilkasanakan setelah materi untuk pemeriksaan laboratorium telah
diperoleh. 4,6

Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus


konjungtiva harus dibilas dengan larutan garam agar dapat menghilangkan
secret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pasien dan
keluarga diminta memperhatikan secara khusus hygiene perorangan. 1,4

Perjalanan dan Prognosis Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu


sembuh sendiri, infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati
dengan memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat

16
berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap mnehun) dan
konjungtivitis gonokokus (yang bila tidak diobati dapat berakibat perforasi
kornea dan endoftalmitis). Karena konjungtiva dapat menjadi gerbang
masuk bagi meningokokus ke dalam darah dan meninges, hasil akhir
konjungtivitis meningokokus adalah septicemia dan meningitis. 1,4
Konjungtivitis bacterial menahun mungkin tidak dapat sembuh sendiri dan
menjadi masalah pengobatan yang menyulitkan.

Pencegahan Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan


sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci
tangannya bersih-bersih, Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat
sesudah menangani mata yang sakit, Jangan menggunakan handuk atau lap
bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya.8

2.6.1.3 Konjungtivitis Gonore

Merupakan radang konjungtiva akut dan hebat disertai dengan


sekret purulen. Gonokok/Neisseria Gonorrhoea merupakan kuman yang
sangat patogen, virulen dan bersifat invasif, sehingga reaksi radang
terhadap kuman ini sangat berat. 3

Infeksi pada neonatus terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran,
sedang pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang menderita penyakit
tersebut. Sedang pada orang dewasa didapatkan penularan dari penyakit
kelamin sendiri. Masa inkubasi 12-5 hari disertai pendarahan
subkonjungtiva dan konjungtivitis kemotik. 3

17
Gambar 12 Konjungtivitis Gonore

Secara klinis penyakit ini dilihat dalam bentuk: Oftalmia


Neonatorum ( bayi berusia 1-3 hari ), Konjungtivitis gonore infantum (usia
lebih dari 10 hari), Konjungtivitis gonore adultorum

Gejala Konjungtiva yang kaku, dan sakit saat perabaan, Kelopak


mata membengkak dan kaku sehingga sukar di buka, Terdapat
pseudomembran pada konjungtiva tarsal superior, sedangkan konjungtiva
bulbi merah, Pada stadium supuratif terdapat sekret yang kental.3,5,
Pendarahan terjadi karena edema konjungtiva yang hebat. Hal ini akan
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah konjungtiva, Pembesaran
kelenjar preaurikuler. Pemeriksan dan diagnosis Kerokan getah mata yang
purulen dicat dengan pengecatan Gram dan diperiksa dibawah mikroskop.
Didapatkan sel-sel polimorfonuklear dalam jumlah yang banyak.
Pengobatan Topikal Salep mata Tetracycline HCL 1% atau Ciprofloxacin
0.3% diberikan minimal 6kali sehari pada neonatus dan diberikan
sedikitnya tiap 2 jam sekali pada penderita dewasa dilanjutkan sampai 5
kali.Sebelumnya sekret dibersihkan dahulu. Sistemik : Dewasa diberikan
Penicillin G 4.8 juta IU IM dalam dosis tunggal ditambah dengan
Probenecid 1 gram per oral atau Ampicilin dosis tunggal 3.5 gram per oral.
Pada neonatus dan anak-anak injeksi penicilin diberikan dengan dosis
50.000-100.000 IU/kgBB

18
Dengan penyulit pada kornea Topikal Ciprofloxacin 0.3% dgn cara
pemberian,hari 1 : 1-2 tetes setiap 15 menit selama 6jam selanjutnya 2
tetes setiap 30 menit, hari 2 : 2 tetes tiap 1 jam, hari 3 : 2 tetes tiap 4 jam.
Obat-obatan topikal lain, Bacitracin, Vancomycin, Chepaloridin,
Gentamycin, Dapat diberikan siklopegik (Scopolamin 0.25%) 2-3x setiap
hari untuk menghilangkan nyeri karena spasme siliar dan mencegah
sinekia, Apabila ada bahaya perforasi yang mengancam ( descemetocele )
dapat dilakukan oprasi flap konjungtiva “ partial conjunctivall bridge flap”

Komplikasi Tukak kornea marginal, Perforasi kornea,Keratitis,


Sikatrik kornea, Penurunan visus sampai kebutaan

2.6.1.4 Konjungtivitis Angular

Konjungtivitis Angular terutama didapatkan di daerah kantus


interpalpebra disertai ekskoriasi kulit disekitar daerah yang radang.
Disebabkan oleh Basil Moraxella Axenfeld. 3

Gambar 13 Konjungtivitis Angular

Gejala Ekskoriasi kulit di sekitar daerah meradang, Sekret


mukopurulen Pasien sering mengedip5,6. PengobatanTetrasiklin dan
basitrasin.Komplikasinya Blefaritis

2.6.1.5 Konjungtivitis mukopurulen

19
Konjungtivitis mukopurulen merupakan konjungtivitis dengan gejala
umum konjungtivitis kataral mukoid yang disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia atau basil Koch Weeks.3 Gejala: Hiperemi konjungtiva, Sekret
berlendir yang mengakibatkan kedua kelopak mata melekat terutama saat
bangun pagi, Terdapat gambaran halo ( dibedakan dengan halo pada
glaukoma) Komplikasi: Bila samp hari ke 3 dan tidak diobati akan berjalan
kronis. Dapat timbul ulkus kataral marginal pada kornea atau keratitis
superfisial. Pengobatan: Membersihkan konjungtiva dan antibiotik yang
sesuai.

2.6.2. Konjungtivitis Virus:

2.6.2.1 Demam Faringokonjungtival 3

Gambar 14 Konjungtivitis Virus

Tanda dan gejala Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam


38,5-40⁰C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau
dua mata. Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan
pada mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, edema
kelopak dengan pseudomembran, dan kadang-kadang sedikit kekeruhan
daerah subepitel. Yang khas adalah limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri
tekan).1 Komplikasinya terjadi keratitis epitel superfisial dan atau
subepitel.Laboratorium Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan
oleh adenovirus tipe 3 dan kadang – kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu

20
dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Dengan
berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara serologic
dengan meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis klinis adalah
hal mudah dan jelas lebih praktis.1,3,6Kerokan konjungtiva terutama
mengandung sel mononuclear, dan tak ada bakteri yang tumbuh pada
biakan. Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa dan
1,3,6
sukar menular di kolam renang berchlor. Terapi Tidak ada pengobatan
spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri, umumnya dalam sekitar 10
hari1.Pengobatan hanya suportif diberikan kompres,astringen, lubrikasi.
Pengobatan biasanya simtomatik dan antibiotik untuk mencegah infeksi
sekunder.

2.6.2.2 Keratokonjungtivitis Epidemika3


Tanda dan gejala: Keratokonjungtivitis epidemika umumnya
bilateral. Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama
lebih parah. Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang
dan berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis
epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan
adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia konjungtiva
menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul
dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti
parut datar atau pembentukan symblepharon. 1,3,4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan
subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan menetap
berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan parut. 1
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada
bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala
sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan
diare. Laboratorium Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh
adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan
tes netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang
mononuclear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak
1
neutrofil. Penyebaran Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata

21
sangat sering terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan
mata yang kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi.
Larutan mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat
ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia.
Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber
1,3
penyebaran. Pencegahan Bahaya kontaminasi botol larutan dapat
dihindari dengan dengan memakai penetes steril pribadi atau memakai
tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara
pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh
mata khususnya tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi
harus dibersihkan dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan
air steril dan dikeringkan dengan hati-hati. 4,6 Terapi: Sekarang ini belum
ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan mengurangi beberapa
gejala. kortikosteroid selama konjungtivitis akut dapat memperpanjang
keterlibatan kornea sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus
diberikan jika terjadi superinfeksi bacterial. 1

2.6.2.3 Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks3

Gambar 15 Konjungtivitis Herpes simpleks


Tanda dan gejala Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya
merupakan penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang
ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, sekret mukoid, sakit,
dan fotofobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri
yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial

22
yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel
herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai
edema hebat pada palpebra. Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang
terasa nyeri jika ditekan. 1,3
Laboratorium Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau
dalam biakan. Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama
mononuclear, namun jika pseudomembran, reaksinya terutama
polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi
intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai fiksasi
Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan pulasan
Giemsa. Ditemukannya sel – sel epithelial raksasa multinuclear
mempunyai nilai diagnostic.3
Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung
kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke
jaringan biakan.3
Terapi Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau
pada orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu
terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk
mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus kornea mungkin diperlukan
debridemen kornea dengan hati-hati yakni dengan mengusap ulkus dengan
kain kering, meneteskan obat antivirus, dan menutupkan mata selama 24
jam. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7 – 10 hari: trifluridine
setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali sehari, atau
idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2
jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep
acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral,
400 mg lima kali sehari selama 7 hari.3
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih
jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus topical
harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan,
karena makin memperburuk infeksi herpes simplex dan mengkonversi
penyakit dari proses sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang
sangat panjang dan berat. 1,3
2.6.2.4 Konjungtivitis Hemoragika Akut2,3

23
Epidemiologi: Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah
mengalami epidemic besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut
ini. Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis ini
disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini pendek (8-48
jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). 5
Tanda dan Gejala Kedua mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda
asing, banyak mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan
hemoragi subkonjungtival, sekret seromukus. Kadang-kadang terjadi
kemosis. Hemoragi subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa
bintik-bintik pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan
menyebar ke bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati
preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior
pernah dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus. 1,5
Penyebaran: Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang
dan oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari
Terapi Tidak ada pengobatan yang pasti. Penyakit ini dapat sembuh
sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik. Antibiotika spektrum luas,
sulfasetamid dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder.
Pencegahan adalah dengan mengatur kebersihan.

2.6.2.5 Konjungtivitis Inklusi3


Merupakan konjungitivis yang disebabkan oleh infkesi klamidia
yang merupakan penyakit kelamin.
Epidemiologi Masa inkubasi 5-10 hari. Klamidia menetap beberapa tahun
sehingga mudah terjadi infeksi ulang. Penyakit ini dapat bersifat epidemik
karena merupakan swimming pool konjungtivitis. Pada bayi timbul 3-5
hari setelah lahir. Tanda dan Gejala Konjungtiva hiperemia, kemosis,
psudomembran, hipertrofi folikel, hipertrofi papil, pembesaran kelenjar
preaurikuler. Terapi Pengobatan sistemik dengan eritromisin lebih efektif
daripada topikal.

2.6.3 Konjungtivitis Virus Menahun

2.6.3.1 Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum

24
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis
mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral,
keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai
trachoma. Reaksi radang yang mononuclear (berbeda dengan reaksi
pada trachoma), dengan lesi bulat, berombak, putih mutiara, non-
radang dengan bagian pusat, adalah khas molluscum kontagiosum.
Biopsy menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi
seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.3

Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan darah tepi


memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya

2.6.3.2 Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster

Tanda dan gejala: Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai


dengan erupsi vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus
trigeminus cabang oftalmika adalah khas herpes zoster.
Konjungtivitisnya biasanya papiler, namun pernah ditemukan folikel,
pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi.
Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan terdapat pada awal
penyakit. parut pada palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah
adalah sekuele. 1

Laboratorium Pada zoster maupun varicella dilakukan pewarnaan


Giemsa, kerokan dari vesikel palpebra mengandung sel raksasa dan
banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan konjungtiva pada varicella
dan zoster mengandung sel raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh
dari biakan jaringan sel – sel embrio manusia. 1

25
Komplikasi Iritis, skleritis, episkleritis, glaukoma, sikatrik pada
kelopak, glaukoma, katarak, kelumpuhan saraf III, IV, VI, atropi saraf
optik, dan kebutaan.

Terapi Pengobatan dengan kompres dingin. Acyclovir oral dosis


tinggi (800 mg oral lima kali sehari selama 10 hari), jika diberi pada
awal perjalanan penyakit, agaknya akan mengurangi dan menghambat
1
penyakit. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan analgesik untuk
menghilangkan rasa sakit. Pada komplikasi dapat diberikan steroid,
antiglaukoma dan tetrasiklin.

2.6.3.3 Keratokonjungtivitis Morbilli

Tanda dan gejala:Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip


kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan
lipatan semiluner. Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul
konjungtivitis eksudatif dengan secret mukopurulen, dan saat muncul
erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada konjungtiva dan kadang-
kadang pada carunculus. 1,3

Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya


meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada
pasien kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini seringkali
disertai infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder oleh S
pneumonia, H influenza, dan organism lain. Agen ini dapat
menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi kornea dan
penurunan penglihatan yang berat. Infeksi herpes dapat menimbulkan
ulserasi kornea berat dengan perforasi dan kehilangan penglihatan
pada anak-anak kurang gizi di Negara berkembang. 1,3

26
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel mononuclear,
kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sedian
terpulas giemsa mengandung sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi
spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika
ada infeksi sekunder. 1

2.6.3.4 Konjungtivitis Klamidia Trakoma

Gambar 16 Konjungtivitis trakoma

Etiologi: Chlamydia trachomatis serotipe A,B,Ba, atau C. 2Infeksi


ini menyebar melalui kontak langsung dengan sekret kotoran mata
penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti
handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain. Penyakit ini sangat menular
dan biasanya menyerang kedua mata.5

27
Gambar 17. etiologi dan patofisiologi dari trakoma
Dikutip dari http://cartercenter.org/images/BLINDch_web.gif

Gejala dan tanda awalnya merupakan konjungtivitis


folikular kronik pada masa kanak-kanak yang berprogresi menjadi
konjungtival scarring. Pada kasus berat, bulu mata yang bengkok ke
arah dalam timbul pada awal masa dewasa sebagai hasil dari
konjungtival scarring. Abrasi yang ditimbulkan oleh bulu mata
tersebut dan defek pada tear film akan mengakibatkan scarring pada
2
kornea, biasanya setelah umur tiga puluh tahun. Periode
inkubasinya rata-rata tujuh hari tetapi bervariasi dari lima sampai
empat belas hari. Pada anak kecil, onsetnya tidak jelas dan penyakit
dapat sembuh dengan komplikasi minimal atau tidak ada komplikasi
sama sekali. Pada dewasa, onsetnya sering subakut atau akut, dan
komplikasi dapat timbul kemudian. Pada onset, trakoma sering mirip
dengan konjungtivitis bakterial lainnya, tanda dan gejala biasanya

28
terdiri dari produksi air mata berlebih, fotofobia, nyeri, eksudasi,
edema pada kelopak mata, chemosis pada konjungtiva bulbar,
hiperemia, hipertrofi papiler, folikel tarsal dan limbal, keratitis
superios, formasi pannus, dan tonjolan kecil dan nyeri dari nodus
preaurikular. 2
Pada trakoma yang sudah benar-benar matang, juga mungkin
terdapat keratitis epitelial superior, keratitis subepitelial, pannus, atau
folikel limbal superior, dan akhirnya terbentuk peninggalan sikatrikal
yang patognomonik dari folikel tersebut, yang dikenal dengan nama
Herbert’s pits dengan bentuk depresi kecil dari jaringan ikat pada
partemuan limbokorneal ditutupi oleh epitel. Pannus yang terkait
adalah membran fibrovaskular naik dari limbus, dengan lengkung
vaskular memanjang ke kornea. Semua tanda dari trakoma lebih
parah pada konjungtiva dan kornea superior dibandingkan dengan
2
bagian inferior. Pada sikatrik yang berat dapat terjadi “Tear
Deficiency Syndrome”5

Gambar 18. Herbert’s pits pada trachoma


Dikutip dari
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/thumbnails/Herberts-pits-
enhanced-through-being-pigmented.jpg

Untuk menegakkan keadaan endemik trakoma pada keluarga atau


sebuah komunitas, sejumlah anak harus mempunyai minimal dua dari
tanda berikut: 2 Lima atau lebih folikel pada garis konjungtiva tarsal datar
kelopak mata atas, Konjungtival scarring yang khas pada konjungtiva
tarsal atas, Folikel limbal atau sekuelnya(Herbert’s pits)<Ekstensi atau

29
perpanjangan pembuluh darah ke arah kornea, paling sering tampak pada
limbus superior. Ketika beberapa individu akan memenuhi kriteria ini,
secara luas distribusi tanda ini pada keluarga individu dan komunitas
tersebut diidentifikasi dengan trakoma. 2

Klasifikasi trakoma Untuk tujuan kontrol, WHO pada tahun 1987 telah
mengembangkan metode ringkas untuk menggambarkan penyakit
Trakoma. Klasifikasi FISTO tersebut adalah: 2 TF: Five or more follicles
on the upper tarsal conjunctiva(Lima atau lebih folikel pada konjungtiva
tarsal atas dengan ukuran tiap-tiap diameter folikel >0,5mm atau lebih).
2,11
, TI: Diffuse infiltration and papillary hypertrophy of the upper tarsal
conjunctiva obscuring at least 50% of the normal deep vessels(Infiltrasi
dan hipertrofi papiler yang difus pada konjungtiva tarsal atas memenuhi
2,11
setidaknya 50% pembuluh darah normal dalam). TS: Trachomatous
conjunctival scarring(Scarring tarsal konjungtiva mudah terlihat sebagai
garis putih atau lembaran putih). 2,11 TT: Trichiasis or entropion(Trikiasis
atau enteropion ditegakkan apabila setidaknya satu bulu mata menggosok
bola mata). 2,11 CO: Corneal opacity(Opasitas kornea ditegakkan apabila
terjadi opasitas yang terlihat pada pupil, biasanya menurunkan tajam
pengelihatan sampai kurang dari 6/18). 2,11

30
Gambar 19. stadium trakoma
Dikutip dari
http://www.pyroenergen.com/articles/images/trachoma3.jpeg

31
32
Gambar 20. pembagian stadium trakoma menurut WHO
Dikutip dari
http://www.who.int/blindness/publications/trachoma_english1.j
pg

Diagnosa Inklusi klamidia dapat diketemukan pada kerokan konjungtiva


yang diwarnai dengan pengecatan giemsa, tetapi tidak selalu ditemuka. Inklusi
muncul pada preparasi Giemsa sebagai massa sitoplasma berwarna ungu gelap
atau biru yang tampak seperti topi yang menutupi nukleus dari sel epitel.
Pengecatan antibodi fluoresensi dan tres immunoassay enzim tersedia secara
komersil dan sering dipakai secara luas pada laboratorium klinis. Tes-tes tersebut
dan tes baru lainnya termasuk PCR, telah menggantikan pengecatan giemsa pada
smear konjungtiva dan isolasi agen klamidia pada kultur sel. 2

Komplikasi Jaringan parut pada konjungtiva merupakan komplikasi yang


sering timbul dan dapat menghancurkan glandula lakrimalis dan meng-obliterasi
duktula glandula lakrimalis. Keadaan tersebut dapat mengurangi secara drastis
komponen akueus pada tear film prekorneal, dan komponen mukus film mungkin
tereduksi oleh karena hilangnya sel goblet. Jaringan parut juga dapat
menyebabkan distorsi kelopak mata atas dengan deviasi dari bulu mata ke arah
dalam(trikiasis) atau keseluruhan pinggiran kelopak mata(enteropion), jadi bulu
mata secara kontan mengabrasi kornea. Hal ini sering menyebabkan ulserasi
kornea, infeksi bakteri korneal, dan jaringan parut kornea. 2

Terapi Perkembangan klinis yang mencenggangkan dapat diperoleh


dengan memberikan tetrasiklin, 1-1,5g per hari secara oral terbagi dalam empat
dosis untuk tiga sampai empat minggu; doksisiklin, 100mg secara oral dua kali
sehari selama tiga minggu; atau eritromisin, 1g per hari dalam empat dosis terbagi
untuk tiga sampai empat minggu. Sistemik tetrasiklin tidak boleh diberikan pada
anak berumur di bawah tujuh tahun atau pada wanita hamil, karena tetrasiklin
mengikat kalsium sehingga mempengaruhi pertumbuhan gigi dan tulang serta
dapat mengakibatkan kelainan kongenital berupa perubahan warna gigi dan

33
skeletal(contoh, klavikula) menjadi warna kuning permanen. Studi terakhir pada
negara berkembang telah menunjukkan azitromisin merupakan terapi yang efektif
untuk trakoma, diberikan oral 1g pada anak-anak. Karena efek samping yang
minimal dan kemudahan pemberian, antibiotik makrolid ini telahmenjadi obat
pilihan untuk kampanye terapi masal. 2
Ointment topikal atau tetes mata, termasuk preparat sulfonamid,
tetrasiklin, eritromisin, dan rifampisin, digunakan empat kali sehari
selama enam minggu ternyata mempunyai efektivitas yang sama kuat. 2
Dari pertama kali terapi diberikan, efek maksimum biasanya tidak
dapat diapai untuk sepuluh samapai 12 minggu. Persistensi folikel pada
tarsal atas untuk beberapa minggu setelah pemberian terapi tidak
seharusnya menjadi pertanda kegagalan proses terapi. 2
Koreksi pembedahan pada bulu mata yang masuk ke dalam
esensial untuk mencegah pembentukan jaringan parut dari trakoma lanjut
pada negara berkembang.2

Perjalanan penyakit
Jika dibiarkan, kelainan ini berjalan melewati empat
tipe(McCallan, 1908): 2,11
Stadium Nama Gejala

Stadium I Trakoma insipien Folikel imatur,


hipertrofi papilar
minimal

Stadium II Trakoma Folikel matur pada


dataran tarsal atas

Stadium IIA Dengan Hipertrofi Keratitis, Folikel


folikular yang menonjol limbal

Stadium IIB Dengan Hipertrofi Aktivitas kuat dengan


papilar yang menonjol folikel matur tertimbun
dibawah hipertrofi
papilar yang hebat

34
Stadium III Trakoma memarut Parut pada konjungtiva
(sikatrik) tarsal atas, permulaan
trikiasis, entropion

Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, tak ada


hipertrofi papilar atau
folikular, parut dalam
bermacam derajat
variasi

Gambar 21. stadium perjalanan penyakit pada trakoma

2.6.4 Konjungtivitis Imunologik (Alergik):


2.6.4.1 Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Tanda dan gejala Radang konjungtivitis non-spesifik ringan
umumnya menyertai demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat
alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien
mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering
mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan
sekitarnya”. Terdapat sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan
konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut sering terdapat kemosis berat
(yang menjadi sebab “tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat sedikit
sekret, khususnya jika pasien telah mengucek matanya.
Laboratorium: Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva
Terapi Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin,
larutan 1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan
kemosis dan gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu
mengatasi gatal-gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon
langsung terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali
anti-gennya dapat dihilangkan.

2.6.4.2 Konjungtivitis Vernalis

35
Gambar 22 KonjungtivitisVernalis

Penyakit ini, juga dikenal sebagai “konjungtivitis musiman” atau


“konjungtivitis musim kemarau”, adalah penyakit alergi bilateral yang
jarang.1,3 Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di
daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi,
musim panas dan musim gugur daripada musim dingin.
Insiden: Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung
5 – 10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada
5
perempuan. Tanda dan gejala Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat
dan bersekret berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi
(demam jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti
susu, dan terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papilla raksasa mirip batu
kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan
1,2,3
mengandung berkas kapiler. Kompliasi Shiled Ulcer Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium eksudat konjungtiva yang dipulas dengan
Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. 1 Terapi
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala
hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk jangka
panjang. steroid sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit
mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma,
katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Cromolyn topical
adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang sampai berat.
Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada manfaatnya, dan
tidur di tempat ber AC sangat menyamankan pasien. Agaknya yang paling

36
baik adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang
melakukan ini sangat tertolong bahkan dapat sembuh total. 1,3

2.6.4.3 Konjungtivitis Atopik


Tanda dan gejala Sensasi terbakar, mata berlendir, merah, dan
fotofobia. Tepian palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih
seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak
berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering
terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada
keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda
kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah
eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer
superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh
kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. 1,3
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema)
pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita
dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku
dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya,
keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering
mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal,
penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan Kerokan konjungtiva
menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada
keratokonjungtivitis vernal.1 Terapi Antihistamin oral termasuk terfenadine
(60-120 mg 2x sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau
hydroxyzine (50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata
bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti
ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-
pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan.
Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya. 1,3
2.6.4.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
Phlyctenulosis
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas
lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel,

37
Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis,
Haemophilus aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan
L3. 1

Gambar 23.Konjungtivitis flikten


Tanda dan Gejala Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang
keras, merah, menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering
berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk
pusat putih kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12
hari. Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus
kambuh terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan
sangat jarang di tarsus.1 Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya
menimbulkan iritasi dan air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus
umumnya disertai fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh
blefaritis aktif, konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi diet. Terapi
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari
infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap kortikosteroid
topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang
dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical hendaknya ditambahkan
untuk blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya
ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif, hendaknya
hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang
menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan tranplantasi. 1

2.6.5 Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun:


2.6.5.1 Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis). Gejala gatal, mata berpasir,silau, sekresi mukus brlebihan, mata
kering, kadang2 keratitis. khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala

38
iritasi yang tidak sebanding dengan tanda-tanda radang. Dimulai dengan
konjungtivitis kataralis. Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada
rasa sakit, tetapi menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin
hebat. Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal) Pewarnaan
Rose bengal Ù uji diagnostik. Pengobatan air mata buatan Ù vitamin A
topical, obliterasi pungta lakrimal

BAB 3

PENATALAKSANAAN

3.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah


bahan tersebut dibuat sediaan yang dicat dengan pengecatan gram atau
giemsa dapat dijumpai sel-sel radang polimorfonuklear,sel-sel
morfonuklear,juga bakteri atau jamur pnyebab konjungtivitis dapat

39
diidentifikasi dari pengecatan ini. Pada konjungtivitis yang disebabkan
oleh alergi pada pengecatan giemsa akan didapatkan sel-sel eosinofil.5

` 3.2 Diagnosis

Diagnosis konjungtiva ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan klinis didapatkan adanya
hiperemi konjungtiva,sekret atau getah mata,edema konjungtiva.
Pemeriksaan laboratorium ditemukannya kuman-kuman atau
mikroorganisme dalam sediaan langsung dari kerokan konjungtiva,juga sel
radang polimorfonuklear atau sel-sel radang mononuklear. Pada
konjungtivitis karena jamur ditemukan adanya hyfe, sedangkan pada
konjungtivitis karena alergi ditemukan sel-sel eosinofil.5

3.3 Diagnosis Banding Konjungtivitis Gambaran Klinis1

Tanda Bakterial Virus Alergi Toksik Clamidia

Injeksi Mencolok Sedang Ringan- Ringan- Sedang


Konjungtiva Sedang Sedang

Hemoragi + + - - -

Kemosis ++ +/- ++ +/- +/-

40
Eksudat Purulen – Jarang, Berserabut - Berserabut
Mukopurulen air lengket lengket
putih

Pseudomembran +/- +/- - - -

Papil +/- - + - +/-

Folikel - + - + +

Nodus + ++ - - +/-
preaurikuler

Pannus - - - (kecuali - +
vernal)

American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea.


Section 11. San Fransisco: MD Association, 2005-2006

Klinik dan Virus Bakteri Klamidia Alergi


Sitologi

Gatal Minim Minim Minim Hebat

Hiperemia Umum Umum Umum Umum

Eksudat Minim Mengucur Mengucur Minim

Adenopati Lazim Jarang Lazim hanya Tak ada


Preurikular Konjungtivitis
inklusi

Pewarnaan Monosit Bakteri,PMN PMN Eosinofil


kerokan

41
Sakit Kadang2 Kadang2 Tak pernah Tak pernah
tenggorakan,
panas yang
menyertai

American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea.


Section 11. San Fransisco: MD Association, 2005-2006

3.4 Penatalaksanaan

Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Dua


penyebab konjungtivitis bakteri akut adalah streptococcus pneumoni dan
Haemophyllus aegypticus.

Pada umumnya konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan


sulfonamide ( Sulfacetamide 15%) atau antibiotik (Gentamycin 0.3%
Chloramphenicol 0.5%, Polimixin). Gentamycin dan Tobramycin sering
disertai hipersensitivitas lokal. Penggunaan Gentamycin yang tidak teratur
dan adekuat menyebabkan resistensi organisme Gram negatif.

Konjungtivitis karena jamur sangat jarang. Dapat diberi


Amphoterichin B 0.1% yang efektif untuk Aspergillus dan Candida.

42
Konjungtivitis karena virus, pengobatan terutama ditujukan untuk
mencgah terjadinya infeksi sekunder dengan antibiotik. Beberapa virus
yang sering menyebabkan konjungtivitis adalah Adenovirus type 3 dan 7
yang mnyebabkan demam pharingokonjungtiva. Adenovirus 8 dan 19
menyebabkan epidemik keratokonjungtivitis. Enterovirus 70 menyebabkan
konjungtivitis hemoragi akut. Pengobatan dengan antivirus tidak efektik.
Pengobatan utama adalah suportif. Berikan kompres hangat atau dingin,
bersihkan sekret dan dapat memakai air mata buatan. Pemberian
kortikosteroid tidak dianjurkan untuk pemakaian rutin. Pengobatan untuk
alergi diobati dengan antihistamin ( Antazolin 0.5%,Naphazoline
0.05%)atau kortikosteroid ( dexamethason 0.1%).5

3.5 Prognosis

Konjungtivitis pada umumnya self limited disease artinya dapat sembuh


sendiri. Tanpa pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Bila diobati
sembuh dalam 1-3 hari. Konjungtivitis karena stafilokokus sering kali
menjadi kronis.5

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea.


Section 11. San Fransisco: MD Association, 2005-2006
2. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1998

3. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003,
hal 2, 134.
4. James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005

43
5. Pedoman Diagnosis dan Terapi, SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi III,
2006 ,Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya.

6. Putz, R. & Pabst R. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2000. hal 356.
7. PERDAMI,. Ilmu Penyakit Mata Untuk dokter umum dan mahasiswa
kedokteran. Jakarta. 2002

8. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta.


2000

9. Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;


1983

10. Ilyas HS, Ilmu Penyakit Mata.Edisi ke-3. Jakarta: FKUI 2010. h. 120-145

11. Oliver GF, Wilson GA, Everts RJ. Acute infective conjunctivitis: evidence
review and management advice for New Zealand practitioners. The New
Zealand Medical Journal. 2009;122:69-75 diakses tanggal 23 sep 2013
melalui http://www.nzma.org.nz/journal/122- 1298/3688/

12. Smith AF, Waycaster C. Estimate of the direct and indirect annual cost of
bacterial conjunctivitis in the United States. Biomed Central. 2009;1-11
diakses tanggal 25 sep 2013 melalui http://www.biomedcentral.com/1471-
2415/9/13

44

You might also like