You are on page 1of 8

Lembar Tugas Mandiri-1

Nama : Nur Rizka Alia Hapsari Dikumpulkan tanggal : 27 Februari 2018

NPM : 1606906282 Paraf Asisten :


Program Studi : Teknologi Bioproses Pemicu :1

Kelompok :1
I. Outline
1.1 Pengertian Embriogenesis Somatik
1.2 Tahap dan Prosedur Embriogenesis Somatik
1.3 Syarat Keberhasilan Embriogenesis Somatik dan Faktor Pembentukan Embrio Somatik
1.3.1 Syarat Keberhasilan Embriogenesis Somatik
1.3.2 Faktor Pembentukan Embrio Somatik
1.4 Kelebihan dan Kekurangan Embriogenesis Somatik

II. Pembahasan
1.1 Pengertian Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel somatik berkembang
membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui
fusi gamet (Toonen dan de Vries, 1996 dalam Utami et al, 2007). Sel somatik adalah sel
tanaman yang dalam keadaan normal tidak terlibat dalam perkembangan embrio, contohnya
jaringan daun tanaman. Dari satu sel somatik yang digunakan kemudian terus berkembang,
membelah dan memperbanyak diri sehingga menjadi suatu kumpulan sel meristema tis.
Kumpulan sel meristematis ini lalu terus berkembang hingga menjadi embrio tanaman, yang
disebut embrio somatik Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu
mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Keseluruhan proses
tersebut berdasarkan pada adanya sifat totipotensi sel pada tanaman yang pertama kali
diusulkan oleh Haberlandt (1902).
Berdasarkan jenis sel sebagai eksplan (potongan bagian jaringan yang diisolasi dari
tanaman yang digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro) embriogenesi terbagi menjadi dua
yaitu embriogenesis langsung dan tak langsung.

Tabel 1. Perbandingan Embriogenesis somatik langsung dan tak langsung


Embriogenesis Langsung Embriogenesis tak langsung
Menggunakan eksplan yang sudah memilik i Menggunakan eksplan yang belum memilik i
kemampuan embriogenik. (Pre-Embyrogenic kemampuan embriogenik. (Induced
Determined Cells atau PEDCs) Embriogenically Determined Cells atau
IEDCs)
Tidak memerlukan pemacu, tanpa melewati Memerlukan pemacu untuk membentuk
proses pembentukan kalus kalus embriogenik .

1.2 Tahap dan Prosedur Embriogenesis Somatik


Tahap-tahap embriogenesis somatik menurut Bhojwani dan Razdan (1989) yaitu:
1. Tahap induksi sel dan kalus embriogenik
Pada tahap induksi kalus embriogenik dilakukan isolasi eksplan dan penanaman
pada media tumbuh. Untuk induksi kalus embriogenik kultur umumnya
ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas
kuat atau dengan konsentrasi tinggi. Dari berbagai hasil penelitian menunjukka n
bahwa 2,4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik.

2. Tahap pendewasan atau tahap perkembangan (Development Phase)


Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari sel meristematis menjadi
bentuk globural, bentuk hati, bentuk torpedo, kotiledon dan primordia akar.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap
yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah.
Pada tahap perkembangan ini juga terdapat perbedaan antara tanaman dikotil dan
monokotil. Pada tanaman dikotil, tahapan yang dapat teramati yaitu globural,
jantung/hati, dan torpedo. Sedangkan pada tanaman monokotil tahapannya adalah
globular, coleoptillar dan scutellar.

Gambar 1.2.1 Tahap Perkembangan Embrio Somatik


Sumber : http://biogen.litbang.pertanian.go.id/terbitan/pdf/agrobio_5_2_51-58.pdf
3. Tahap perkecambahan atau tahap konversi (Conversion Phase)
Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan
akar. Pada media perkecambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan
sangat rendah atau bahkan tidak diberikan sama sekali.
4. Tahap hardening atau tahap maturasi (Maturation Phase)
Pada tahap hardening embrio somatik mengalami perubahan biokimia dan menjadi
keras. pada tahap ini juga terjadi aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in
vitro ke lingkungan baru di rumah kaca dengan penurunan kelembaban dan
peningkatan intensitas cahaya.

Adapun Prosedur Embriogenesis secara ringkas sebagai berikut :


1. Mensterillan eksplan dari tanaman yang diinginkan.
2. Membuat kultur sel dari tanaman yang diinginkan.
3. Mengumpulkan sel dari kultur suspensi dengan menyaring dan cuci dengan
medium bebas hormone (O-B5) pada kondisis aseptik.
4. Embriogenesis dimulai dengan menebarkan sel membentuk lapisan amat tipis di
atas permukaan medium agar. Catatan : kadar yang tinggi akan menekan
pertumbuhan tanaman. Sel dapat pula didispersikan dalam medium cair bebas
hormone yang amat encer (1:100) dan diinkubasikan.
5. Menginkubasikan kultur agar pada 25-27℃ dalam cahaya sampai sistem akar
tumbuh.
6. Memindahkan cikal dari medium agar atau medium cair ke vermikulit dalam pot
dan siram dengan larutan hara Hoagland.Catatan : sebelum ditanam bilaslah akar
supaya bersih dari agar. Tanaman dalam pot ditutup dengan kantung plastic atau
bahan sejenisnya, untuk mempertahankan kelembapan yang tinggi sampai tanaman
dapat terbentuk.
7. Menempatkan tanaman dalam rumah kaca atau ruang pertumbuhan.

Gambar 2.2.2Tahap Perkembangan Embrio Somatik


Sumber : Wetter L.R, Costabel F. (1991). Media Kultur Jaringan. Edisi kedua.
Bandung : ITB
1.3 Syarat Keberhasilan Embriogenesis Somatik dan Faktor Pembentukan Embrio
Somatik

1.3.1 Syarat Keberhasilan Embriogenesis Somatik


Dalam embriogenesis somatik terdapat beberapa syarat yang menentukan keberhasilan
terbentuknya embrio somatik (Aisyah dan Dedi, 2011). Syarat itu antara lain:
1. Eksplan atau bahan biakan
2. Media tumbuh, zat pengatur tumbuh
3. Lingkungan mikro selama pemeraman, dan lain-lain.
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi
media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang
digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin dan hormon. Selain itu, diperlukan juga
bahan tambahan seperti agar, gula dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang
ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari
kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung atau botol-
botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya secara
autoklaf. Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di
tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisas i
juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata
pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril
Ukuran dari peralatan yang digunakan juga berpengaruh terhadap keberhasila n
embriogenesis somatik. Contohnya botol sebagai tempat media tumbuh, volume botol
berpengaruh terhadap jalur keluar masuknya oksigen sebagai asupan nutrisi bagi sel. Selain itu
sirkulasi udara yang keluar dan masuk serta kekenyalan media dapat menentukan kelembaban
lingkungan. Media yang padat disertai dengan pertukaran gas yang besar, dapat menyebabkan
media menjadi kering.
Induksi kalus dapat berhasil apabila dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh. Zat
pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Zat yang sering digunakan antara lain auksin (2,4-D, picloram, IAA, dan
NAA), sitokinin (BA, kinetin, dan adenin sulfat), giberelin (Giberelin acid), dan inhibitor.
1.3.2 Faktor Pembentuk Embrio Somatik
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan embrio somatic adalah jenis eksplan,
sumber nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh. (Purnamaningsih, 2002).
1) Jenis Eksplan
Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberika n
keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan
dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil
maupun hipokotil.
Hasil penelitian Vesco dan Guerra (2001) menunjukkan bahwa penggunaan embrio zigotik
dewasa (mature zygotic embryogenesis/ MZE) dapat menghasilkan embrio somatik yang
lebih banyak dalam waktu yang lebih cepat daripada immature zygotic embryogenesis
(IZE). Sebaliknya hasil penelitian Gupta dan Crob (1995) dalam Vesco dan Guerra (2001)
pada tanaman cemara menunjukkan bahwa penggunaan embrio zigotik muda (IZE)
menghasilkan embrio somatik yang lebih banyak daripada embrio zigotik dewasa (MZE).
Dari beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa eksplan yang digunakan
dapat berbeda tergantung jenis tanaman dan tahap perkembangan (developmental stage)
dari eksplan.

Gambar 1.3.3.1 Bunga kakao sebagai eksplan


Sumber : http://jagb.journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/view/1798/767

2) Sumber Nitrogen dan Gula


Embriogenesis somatik mengalami proses perkembangan morfologi seperti yang
terjadi pada embrio zigotik. Faktor yang penting dalam induksi dan perkembangan
embriogenesis somatik adalah komposisi nutrisi pada media kul-tur. Nitrogen merupakan
faktor utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro.
Menurut Ammirato (1983) bentuk nitrogen reduksi dan beberapa asam amino
seperti glutamin dan casein hidrolisat, sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan
embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadinya komunikasi di
antara sel dan jaringan pada organ multiselular (Young et al., 1999 dalam Vesco dan
Guerra, 2001). Untuk inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbanga n
yang tepat antara NH4+ dan NO3- (Bhojwani dan Razdan, 1989). Konsentrasi NO3- yang
terlalu tinggi akan meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio
somatik. Sedangkan konsentrasi NH4+ dapat menurunkan pH.
Nitrogen yang diperoleh dari asam amino diasimilasikan dengan cepat menjadi
karbon skeleton selama metabolisme dan digunakan untuk sintesis protein. Selain itu, asam
amino dapat meningkatkan perkembangan yang sinkron (synchronous development)
menjadi torpedo dan kotiledon.
Selain nitrogen, gula juga memberikan peran penting untuk pertumbuhan sel,
dimana gula berfungsi sebagai sumber karbon dan untuk mempertahankan tekanan osmotik
media. Berikut ini terdapat hasil penelitian pengaruh beberapa jenis gula (glukosa,
fruktosa, maltosa) terhadap pembentukan embrio somatic pada kultur supensi pigeonpea
(Cajanus cajan).

Gambar 1.3.4.2 Hasil Pengaruh penggunaan karbohidrat dan konsentrasi 2,4-D terhadap
embriogenesis somatik pada kultur suspensi

Sumber : http://biogen.litbang.pertanian.go.id/terbitan/pdf/agrobio_5_2_51-58.pdf

3) Zat Pengatur Tumbuh


Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan kultur. Promotor yang digunakan antara lain auksin (2,4-
D, 3,5-T, picloram, dan NAA), sitokinin (BA, kinetin, dan adenin sulfat), GA3, dan
inhibitor ABA. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diguna-kan tergantung pada tahap
perkembangan yang terjadi. Pada tahap pembentukan struktur globular dan hati sering
digunakan zat pengatur tumbuh sitokinin seperti benzyladenin (BA) atau yang mempunya i
peran fisiologis yang sama yaitu thidiazuron (Husni et al. 1997) atau 2,4-D, dan NAA
apabila embrio somatik melalui fase kalus (Hutami et al. 2002). Untuk tahap pendewasaan,
konsentrasi sitokinin diturunkan dan untuk tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3
(Mariska et al. 2001a; 2001b; Rai dan McComb 2002).
Selain faktor keberhasilan dalam proses embriogenesis terdapat pula beberapa gen yang
ikut berperan yaitu Homeobox gene (HB) yang menyandi motif homeodo-main (HD) pertama
kali diidentifikasi sebagai wilayah sekuen yang terdiri dari beberapa gen yang terlibat dalam
kontrol pengembangan Drosophila (Mc Ginnies et al, 1984 dalam Hiwatashi dan Fukuda,
2000). HD protein dikenal sebagai transcription factor di mana HD merupakan sekuen yang
berinteraksi dengan DNA.
Hiwatashi dan Fukuda (2000) mengisolasi 6 homeobox gen (CHBs) yang dikelompokka n
sebagai famili HD Zip I dari embrio dan bibit wortel. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah
m-RNA dari gen CHB3, CHB4, CHB5, dan CHB6 meningkat sesuai dengan perkembangan
embrio somatik. Akumulasi m-RNA dari gen-gen tersebut tampak pada beberapa lokasi yang
ber berbeda pada embrio dan bibit wortel sesuai dengan tahap perkembangannya.

1.4 Kelebihan dan Kekurangan Embriogenesis Somatik

Keuntungan dari embriogenesis somatik adalah :


1. Waktu perbanyakan lebih cepat.
2. Pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman lebih cepat.
3. Jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya.
4. Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertenu)
5. Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki.
6. Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit dan deraan lingkunga n
lainnya.

Kekurangan dari embriogenesis somatik adalah :


1. Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
2. Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium
khusus), peralatan dan perlengkapan.
3. Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan kultur
jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
4. Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
5. Mengancam keanekaragaman hayati.
III. Daftar Pustaka
• Wetter L.R, Costabel F. (1991). Media Kultur Jaringan. Edisi kedua. Bandung : ITB
• Purnamaningsih, R. (n.d.). Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan
Beberapa Gen yang Mengendalikannya. [ebook] Available at:
http://biogen.litbang.pertanian.go.id/terbitan/pdf/agrobio_5_2_51-58.pdf [Accessed 20
Feb. 2018].
• Avivi, S., Prawoto, A. and Oetami, R. (2018). Regenerasi Embriogenesis Somatik pada
Beberapa Klon Kakao Indonesia dari Eksplan Bunga. [online] Jagb.journal.ipb.ac. id.
Available at: http://jagb.journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/view/1798/767
[Accessed 20 Feb. 2018].
• Sukmadjaja, D. (2005). Embriogenesis somatik langsung pada tanaman cendana. Jurnal
Bioteknologi Pertanian, [online] 10(1), p.2. Available at:
http://ttp://blog.ub.ac.id/fahriansyahnurafandi/files/2013/03/Embriogenesis-somatik-
langsung-pada-tanaman-cendana.pdf [Accessed 20 Feb. 2018].

You might also like