You are on page 1of 73

PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH.

[IMAN DAPAT
BERTAMBAH ATAU BERKURANG]

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Bagaimana pengertian Iman menurut
Ahlus Sunnah wal Jama’ah .? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang .?”

Jawab.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ; ikrar dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :

[1] Ikrar dengan hati.


[2] Pengucapan dengan lisan.
[3] Pengamalan dengan anggota badan

Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi
pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak
sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena
memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari
dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim ‘Alaihis Sallam pernah berkata seperti
yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

“Arrtinya : Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang


yang mati. Allah berfirman : ‘Apakah kamu belum percaya’. Ibrahim menjawab :’Saya telah
percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya”. [Al-Baqarah : 260]

Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya.
Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan
mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya
akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia
lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.

Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu
berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.

Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah
imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh
lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang
tidak melakukan perbuatan seperti dia.

Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi
orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang
beriman bertambah imannya”. [Al-Mudatstsir : 31]

“Artinya : Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada
yang berkata :’Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?’.
Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa
gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat
itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati
dalam keadaan kafir”. [At-Taubah : 124-125]

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah
bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan
demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.

Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada
beberapa sebab, di antaranya.

[1]. Mengenal Allah (Ma’rifatullah) dengan nama-nama (asma’) dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali
marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula.
Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-
Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.

[2]. Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah
maupun syar’iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah
Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman. :

“Artinya : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan” [Adz-Dzariyat : 20-
21].

Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan
alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.

[3]. Banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan
bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi’liyah. Berdzikir -
umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat,
puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.

Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman,
yaitu :

[1]. Jahil terhadap asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman.
Karena, apabila mari’fatullah seseorang tentang asma’ dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu
akan berkurang juga imannya.

[2]. Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar’iyah. Hal ini
akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi
statis tidak pernah berkembang.

[3]. Berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan
seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :”Artinya :
Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman”.
[Al-Hadits].

[4]. Meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta’atan akan menyebabkan berkurangnya


keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini
merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan
merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan),
maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya.
Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa.
Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan
memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki,
maka jelas akan mengurangi keimannya dari sisi yang satu ini.

[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf
bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, hal 50-52 Pustaka
At-Tibyan]

Sumber: https://almanhaj.or.id/267-pengertian-iman-menurut-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
AQIDAH MAKNA DAN URGENSINYA[1]

Oleh
Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin

Sesungguhnya ilmu tentang aqidah merupakan ilmu yang sangat mulia, karena ilmu aqidah
membahas tentang dzat Allah Azza wa Jalla , sifat-sifat-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, dan yang
berkaitan dengannya. Al-Bazdawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kemuliaan dan
keagungan suatu ilmu tergantung pada apa yang diilmui, dan tidak ada yang lebih besar daripada
dzat Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya yang dibahas oleh ilmu (aqidah) ini.” [Kasyful Asrâr,
1/8]

MAKNA AQIDAH:
Aqidah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-‘aqd, artinya: kuat, ikatan, kokoh, mengokohkan.
[Lihat: Lisânul ‘Arab, bab ‘aqada]

Sedangkan secara istilah, aqidah artinya: Keimanan yang kuat kepada Allâh, dan hak-Nya yang
berupa tauhid, keimanan kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari
akhir, serta keimanan kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya yang
bercabang dari pokok-pokok ini dan termasuk padanya yang termasuk ushuludin (pokok-pokok
agama). [Lihat Risâlah al-‘Aqîdah ash-Shahîhah, karya Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bâz, hlm. 3-4;
dan Risâlah Mujmal Ushûl Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm.5]

NAMA-NAMA LAIN DARI ILMU AQIDAH

SUNNAH
Banyak Ulama Salaf menyebut aqîdah shahîhah (akidah yang benar) dengan nama ‘sunnah’. Ini
untuk membedakannya dari keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat firqah-firqah
(golongan-golongan) sesat. Karena akidah yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah
diambil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sunnah merupakan penjelas
al-Qur’ân.

Sebagian Ulama Salaf telah menulis kitab-kitab akidah dan mereka menamakannya dengan ‘as-
sunnah’, di antaranya kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, kitab as-
Sunnah karya imam Ibnu Abi ‘Ashim, dan lainnya.

USHÛLUDIN
Sebagaimana sebagian Ulama menamakan akidah dengan ushûludin (pokok-pokok agama),
karena agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi i’tiqâdât
(keyakinan-keyakinan) dan ‘amaliyyât (amalan-amalan). Yang dimaksudkan dengan ‘amaliyyât
adalah ilmu tentang syari’at-syari’at dan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara amalan,
seperti hukum-hukum shalat, zakat, jual-beli, dan lainnya. ‘Amaliyyât juga dinamakan far’iyyah
atau furû’ (cabang). ‘Amaliyyât adalah semacam cabang untuk ilmu akidah. Karena akidah
adalah ketaatan yang paling mulia, dan kebenaran aqidah merupakan syarat diterimanya ibadah-
ibadah yang dilakukan. Jika akidah rusak, ibadah tidak diterima dan pahalanya batal.
Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

َ‫ط َّن َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬


َ َ‫ي إِلَيْكَ َوإِلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْبلِكَ لَئِ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬ ِ ُ ‫َولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika
kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi. [Az-Zumar/39: 65]
Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah telah berkata di dalam mukaddimah syarah Thahâwiyah:

( ،ِ‫ َوه َُو ْال ِف ْقهُ ْاْل َ ْكبَ ُر بِالنِ ْسبَ ِة إِلَى فِ ْق ِه ْالفُ ُروع‬.‫وم‬ ِ ُ‫ف ْال َم ْعل‬ ِ ‫ف ْال ِع ْل ِم بِش ََر‬ ُ ‫ إِذْ ش ََر‬،‫وم‬ ِ ُ‫ف ْالعُل‬ َ ‫ِين أ َ ْش َر‬
ِ ‫صو ِل الد‬ ُ ُ ‫أ َ َّما بَ ْعد ُ) َفإ ِ َّنهُ لَ َّما َكانَ ِع ْل ُم أ‬
َ‫ِين” ْال ِف ْقهَ ْاْل َ ْكبَ َر” َو َحا َجةُ ْال ِعبَا ِد إِلَ ْي ِه فَ ْوق‬ ِ ‫صو ِل الد‬ ُ ُ ‫ق ِم ْن أ‬ ٍ ‫اْل َما ُم أَبُو َح ِنيفَةَ – َرحْ َمةُ هللا تعالى – َما قَالَهُ َو َج َمعَهُ فِي أَ ْو َرا‬ ِ ْ ‫س َّمى‬ َ ‫َو ِل َهذَا‬
‫ف َربَّ َها َو َم ْعبُودَهَا‬ َ ‫ إِ ََّل بِأ َ ْن تَ ْع ِر‬،َ‫ط َمأ ْ ِنينَة‬ُ ‫يم َو ََل‬ َ ‫ َو ََل نَ ِع‬،‫ب‬ ِ ‫ورةٍ؛ ِْلَنَّهُ ََل َحيَاة َ ِل ْلقُلُو‬ َ ‫ض ُر‬ َ ‫ورت ُ ُه ْم إِلَ ْي ِه فَ ْوقَ ُك ِل‬
َ ‫ض ُر‬ َ ‫ َو‬،ٍ‫ُك ِل َحا َجة‬
‫سائِ ِر‬ َ ‫س ْعيُ َها فِي َما يُقَ ِربُ َها إِلَ ْي ِه دُونَ َغي ِْر ِه ِم ْن‬ َ ‫ َويَ ُكون‬،ُ‫ َويَ ُكون َم َع ذَلِكَ ُك ِل ِه أ َ َحبَّ إِلَ ْي َها ِم َّما ِس َواه‬،‫صفَاتِ ِه َوأ َ ْفعَا ِل ِه‬ ِ ‫ بِأ َ ْس َمائِ ِه َو‬،‫اط َرهَا‬ ِ َ‫َوف‬
‫س َل بِ ِه‬ ُ ‫الر‬
ُّ ‫ث‬ َ َ‫الر ِح ِيم أَ ْن بَع‬َّ ‫يز‬ ِ ‫ت َرحْ َمةُ ْالعَ ِز‬ ْ ‫ض‬َ َ ‫ فَا ْقت‬،‫صي ِل‬ ِ ‫علَى التَّ ْف‬ َ ‫ َو ِمنَ ْال ُم َحا ِل أ َ ْن ت َ ْست َ ِق َّل ْالعُقُو ُل بِ َم ْع ِرفَ ِة ذَلِكَ َوإِد َْرا ِك ِه‬.‫خ َْل ِق ِه‬
‫ َم ْع ِرفَةَ ْال َم ْعبُو ِد‬،‫سالَتِ ِه ْم‬ َ ‫ َو ُز ْبدَة َ ِر‬،‫ َو َجعَ َل ِم ْفت َا َح دَع َْو ِت ِه ْم‬، َ‫ َو ِل َم ْن خَالَفَ ُه ْم ُم ْنذ ِِرين‬، َ‫ َو ِل َم ْن أ َ َجابَ ُه ْم ُمبَش ِِرين‬، َ‫ َوإِلَ ْي ِه دَاعِين‬، َ‫ُمعَ ِرفِين‬
‫ص ََل ِن‬ ْ َ‫آخ ِرهَا ث ُ َّم يَتْبَ ُع ذَلِكَ أ‬ ِ ‫سالَ ِة ُك ِل َها ِم ْن أ َ َّو ِل َها إِلَى‬ َ ‫الر‬ِ ُ‫طالِب‬ َ ‫ إِذْ َعلَى َه ِذ ِه ْال َم ْع ِرفَ ِة ت ُ ْبنَى َم‬،‫صفَاتِ ِه َوأ َ ْفعَا ِل ِه‬ ِ ‫س ْب َحانَهُ بِأ َ ْس َمائِ ِه َو‬ ُ
‫يف السَّا ِلكِينَ َما لَ ُه ْم َب ْع َد‬ ُ ِْ ‫ر‬ ‫ع‬ َ ‫ت‬ :‫ي‬ ‫ن‬‫ا‬َّ ‫ث‬‫ال‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ه‬‫ن‬َ
ِ َ ِِْ َ ِ ِْ ِ َِ ُ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ر‬ ‫م‬ َ ‫ْل‬ ُ ‫ة‬ ‫ن‬
َ ‫م‬‫ض‬ َ ‫ت‬‫م‬ ْ
‫ال‬ ُ ‫ه‬ُ ‫ت‬‫ع‬ ‫ي‬‫َر‬ ‫ش‬ ‫ِي‬ ‫ه‬ ‫و‬
َ ِ َ َ ِ ِ ِ ِ َُ ِ ِ، ‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫و‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ق‬ ‫ي‬‫ر‬ َّ
‫ط‬ ‫ال‬ ‫يف‬ َ
ُ ِ ْ َ َ ِ َ ِ ‫َع‬
‫ر‬ ‫ع‬ ‫ت‬ :‫ا‬ ‫م‬‫ه‬ُ ُ ‫د‬ ‫ح‬َ ‫أ‬ ‫ان‬ ‫م‬‫ي‬‫ظ‬
‫صو ِل ِإلَ ْي ِه ِمنَ النَّ ِع ِيم ْال ُم ِق ِيم‬ ُ ‫ْال ُو‬

Amma ba’du: Sesungguhnya ilmu ushûludin merupakan ilmu yang paling mulia, karena
kemuliaan ilmu dengan sebab kemuliaan yang diilmui. Ilmu akidah adalah fiqih akbar (terbesar)
dibandingkan dengan fiqih furu’. Oleh karena itu Imam Abu Hanifah menamakan ushûludin
(pokkok-pokok agama) yang telah beliau katakan dan kumpulkan pada lembaran-lembaran
kertas dengan nama fiqih akbar. Keperluan hamba terhadap ilmu akidah mengungguli seluruh
keperluan dan kebutuhan yang paling pokok. Karena sesungguhnya hati tidak akan bisa hidup,
merasakan kenikmatan dan ketentraman, kecuali jika hati itu mengenal Rabbnya,
sesembahannya, dan Penciptanya, mengenal dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan
perbuatan-perbuatanNya. Bersamaan dengan itu semua, Allâh Azza wa Jalla menjadi yang
paling dia cintai, dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya.

Akal sendiri mustahil bisa mengetahui dan memahami semua hal-hal di atas secara rinci. Oleh
karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allâh mengutus rasul untuk mengenalkan-Nya, mengajak
manusia menuju Allâh, memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang menyambut
(dakwah) mereka, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi mereka.
Allâh Azza wa Jalla menetapkan bahwa yang menjadi pembuka dakwah dan inti risalah mereka
adalah ma’rifah (mengenal) Allâh Azza wa Jalla , mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
dan perbuatan-perbuatan-Nya. Karena semua permasalahan risalah dari awal sampai akhir
dibangun di atas ma’rifah ini. Kemudian setelah itu diikuti dengan dua prinsip yang besar:

Pertama: Pengenalan tentang jalan yang akan bisa menghantarkan kepada-Nya, yaitu syari’at-
Nya yang memuat perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla .

Kedua: Pemberitahuan tentang kenikmatan abadi yang akan didapatkan oleh orang-orang yang
menempuh jalan tersebut. [Syarah ath-Thahâwiyah, penerbit: Al-Auqaaf as-Su’udiyyah, hlm. 17]

Karena mayoritas masalah-masalah akidah termasuk ushûl (pokok-pokok), dan karena mayoritas
masalah-masalah amaliyyah termasuk furu’ (cabang-cabang), maka akidah disebut ushûludin,
sedang hukum-hukum amaliyah disebut furu’. Oleh karena itu sebagian Ulama menamakan
karya-karya tulis mereka dalam masalah akidah dengan ushûludin, seperti: Al-Ibânah ‘an
Ushûlid Diyânah, karya Abul Hasan al-Asy’ari; Masâil min Ushûlid Diyânât karya Abu Ya’la;
Sullamul Wushûl ila Ilmil Ushûl, karya al-Hakami, dan lainnya.

Walaupun sebagian Ulama mengkritisi pengunaan istilah ushûludin hanya untuk masalah akidah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.

ٍ‫سائِ ُل فُ ُروع‬ ُ ُ ‫سائِ ُل أ‬


َ ‫صو ٍل ” َوالدَّقِيقَ ” َم‬ َ ‫الص ْنفَي ِْن ” َم‬ ِ ‫“ بَ ْل ْال َح ُّق أ َ َّن ْال َج ِلي َل َم ْن ُك ِل َو‬.
ِ ‫اح ٍد ِم ْن‬

Namun, yang benar adalah perkara besar dari keduanya adalah masalah-masalah ushûl,
sedangkan perkara yang daqîq (samar/kecil) adalah perkara-perkara furu’”. [Lihat: Majmû’
Fatâwâ, 6/56; juga lihat 3/364, 367 dan 19/134]

FIQIH AKBAR
Sebagian Ulama juga menamakan ilmu akidah dengan fiqih akbar (fikih terbesar), karena akidah
adalah pokok agama, sedang furu’nya yaitu fiqih amalan dinamakan fiqih ash-ghar. Imam Abu
Hanîfah telah menyusun masalah akidah dan dia menamakannya dengan al-fiqhul akbar.

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Mereka adalah para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang
berpegang dengan aqîdah shahîhah (akidah yang benar) yang terbebas dari noda bid’ah dan
khurafat. Yaitu akidah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh para
Shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mereka dinamakan Ahlus Sunnah karena amalan mereka mengikuti sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas al-Qur’ân. Mereka mengamalkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ِ ‫ت ْاْل ُ ُم‬
ٌ‫ور فَإِ َّن ُك َّل ُمحْ دَثَ ٍة ِبدْ َعة‬ ِ ‫س ُكوا ِب َها َو َعضُّوا َعلَ ْي َها ِبالنَّ َو‬
ِ ‫اج ِذ َو ِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ دَثَا‬ َّ َ‫اء ْال َم ْهد ِِيين‬
َّ ‫الرا ِشدِينَ ت َ َم‬ ِ َ‫سنَّ ِة ْال ُخلَف‬ ُ ‫َعلَ ْي ُك ْم ِب‬
ُ ‫سنَّتِي َو‬
ٌ‫ض ََللَة‬
َ ‫َو ُك َّل ِبدْ َع ٍة‬

Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah para khalîfah yang mendapatkan petunjuk dan
lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan
kesesatan. [HR. Ahmad, 4/126, 127; Abu Dâwud no: 4607; Tirmidzi, no. 2676; Ibnu Mâjah, no.
4244; dan lainnya dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah]

Mereka tahu bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah petunjuk terbaik,
sehingga mereka lebih mengedepankannya daripada petunjuk manusia yang lain.

Mereka dinamakan al-Jamâ’ah karena mereka bersatu mengikuti sunnah Nabi dan ijma’ Salaf
umat ini. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas akidah Islam yang bebas dari noda-noda.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan dengan al-firqah an-nâjiyah (golongan yang
selamat) yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para Sahabat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan mereka dengan al-Jamâ’ah. Dalam hadits
shahih dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

،- ‫ ْاْل َ ْه َوا َء‬:‫سبْعِينَ ِملَّةً – يَ ْعنِي‬ َ ‫ث َو‬ ٍ ‫ستَ ْفت َ ِر ُق َعلَى ث َ ََل‬ َ َ‫ َوإِ َّن َه ِذ ِه ْاْل ُ َّمة‬،ً‫س ْبعِينَ ِملَّة‬َ ‫إِ َّن أ َ ْه َل ْال ِكت َابَي ِْن ا ْفت ََرقُوا فِي دِينِ ِه ْم َعلَى ثِ ْنتَي ِْن َو‬
‫ ََل‬،‫احبِ ِه‬
ِ ‫ص‬ َ ِ‫ارى ْالك َْلبُ ب‬ َ ‫سيَ ْخ ُر ُج فِي أ ُ َّمتِي أ َ ْق َوا ٌم ت َ َج‬
َ ‫ارى بِ ِه ْم تِ ْلكَ ْاْل َ ْه َوا ُء َك َما َيتَ َج‬ َ ُ‫ َوإِنَّه‬،ُ‫ِي ْال َج َما َعة‬ ِ ‫ار إِ ََّل َو‬
َ ‫ َوه‬،ً‫احدَة‬ ِ َّ‫ُكلُّ َها فِي الن‬
ُ‫ص ٌل إِ ََّل دَ َخلَه‬
ِ ‫” يَ ْبقَى ِم ْنهُ ِع ْر ٌق َو ََل َم ْف‬

Sesungguhnya telah berpecah-belah di dalam agama mereka menjadi 72 agama. Dan


sesungguhnya umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73 agama –yakni hawa nafsu-
semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Dan sesungguhnya akan muncul di
kalangan umatku kaum-kaum yang hawa nafsu-hawa nafsu itu akan menjalar pada mereka
sebagaimana penyakit rabies menjalar pada penderitanya, tidak tersisa satu urat dan satu sendi
kecuali penyakit itu memasukinya. [HR. Ahmad, 4/102; Abu Dawud, 4597; Ibnu Abi Ashim di
dalam as-Sunnah, 1,2,65, dengan sanad yang hasan]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu golongan yang selamat
disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Adapun golongan-golongan yang lainnya adalah
orang-orang yang nyeleneh, berpecah-belah, berbuat bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu.
Semboyan golongan-golongan itu adalah menyelisihi al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’.
Barangsiapa berkata berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’ dia termasuk Ahlus Sunnah
wal Jamâ’ah”. [Majmû’ Fatâwâ, 3/345-346]

Penamaan dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah penamaan yang tepat, membedakan
pemilik aqidah shahihah dan para pengikut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
golongan-golongan sesat yang tidak berjalan di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara golongan-golongan itu ada yang mengambil akidahnya dari akal manusia dan ilmu
kalam (filsafat) yang mereka warisi dari para filosof Yunani, lalu mereka lebih
mengutamakannya daripada firman Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan diantara mereka ada yang menolak nash-nash syari’at yang telah pasti,
atau mereka mentakwilkannya (menyimpangkan artinya) karena semata-mata akal mereka yang
dangkal tidak menerima kandungan nash-nash tersebut.

Di antara golongan-golongan tersebut adalah: para filosof, Qadariyah, Maturudiyah, Jahmiyah,


Mu’tazilah, dan Asy’aryah, yang mereka bertaqlid kepada Jahmiyah pada sebagian pemikiran
mereka.

Di antara golongan-golongan yang sesat ada yang mengambil akidahnya dari pendapat-pendapat
guru-guru dan imam-imam mereka, yang berdasarkan hawa nafsu. Seperti: Shûfiyah, Râfidhah,
dan lainnya. Mereka mendahulukan perkataan guru-guru dan imam-imam daripada firman Allâh
dan sabda Rasûl-Nya.
Sebagaimana sebagian golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada
pendirinya dan pembangun prinsip-prinsip akidahnya. Seperti Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin
Shafwan, dan seperti Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari. Walaupun al-Asy’ari
sudah meninggalkan akidahnya menuju akidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah, namun para
pengikutnya terus mengikuti akidahnya yang menyimpang yang telah ditinggalkannya. Juga
seperti al-Abadhiyh nisbat kepada Abdullah bin Abadh, dan lainnya.

Di antara golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada sebagian
pemikiran-pemikirannya yang sesat, atau kepada sebagian perbuatan-perbuatannya yang buruk.
Seperti Râfidhah nisbat kepada rafadh (penolakan) imâmah (kepemimpinan) Abu Bakar
Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu, dan berlepas diri dari keduanya. Qadariyah
nisbat kepada penolakan adanya takdir. Khawârij nisbat kepada khurûj (memberontak) kepada
pemerintah, dan selain mereka.

Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan Ahlussunnah dari menisbatkan diri dan mengikuti selain
sunnah Nabi yang ma’shûm (bersih) dari kesalahan. Mereka tidak memiliki nama yang mereka
nisbatkan kepada selain sunnah.

Seorang laki-laki bertanya kepada imam Mâlik rahimahullah, “Siapakah Ahlus Sunnah wahai
Abu Abdullah?” Dia menawab, “Orang-orang yang tidak memiliki gelar yang menjadi
identitasnya, bukan Jahmiyah, bukan Râfidhah, dan bukan Qadariyah”. [Riwayat Ibnu Abdil
Barr dalam al-Intiqa, hlm. 35]

Sebagian Ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan ash-hâbul hadits atau ahlul hadits. Karena
mereka memberikan perhatian kepada hadits-hadits Nabi, baik secara riwayah (periwayatan)
maupun dirâyah (ilmu untuk mengetahui syarat-syarat riwayat, keadaan perawi-perawi dan
syarat-syarat mereka, jenis-jenis periwayatan, dan yang berkaitan dengannnya), dan mereka
mengikuti kandungan hadits, baik berupa akidah maupun hukum. Hadits dan sunnah adalah dua
lafzah yang maknanya berdekatan.

Ahlussunnah juga disebut firqah manshûrah (golongan yang ditolong) sampai hari kiamat. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka dengan sabdanya:

ِ َّ ‫ي أَ ْم ُر‬ ْ ِ ‫طائِفَةٌ ِم ْن أ ُ َّمتِي َعلَى ْال َح‬


َ ‫َو ََل ت َزَ ا ُل‬
‫ّللا‬ َ ِ‫ورة ٌ َحتَّى َيأت‬
َ ‫ص‬ُ ‫ق َم ْن‬

Sekelompok dari umatku akan selalu di atas kebenaran, ditolong, sampai datang perintah Allâh.
[HR. Ibnu Hibban, no. 6714; Al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, no. 18617. Dishahihkan
syaikh Al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth]

Dan mereka adalah firqah an-nâjiyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’awiyah yang
telah berlalu.

Demikian uraian singkat tentang akidah, makna dan urgensinya,semoga bermanfaat bagi kita
semua.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm.
1-4, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin Nasyr wa Tauzi’

Sumber: https://almanhaj.or.id/4234-aqidah-makna-dan-urgensinya.html

PENGERTIAN AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (ُ ‫ )اَ ْل َع ِق ْيدَة‬menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (ُ ‫)ال َع ْقد‬
ْ yang berarti
ikatan, at-tautsiiqu(‫ )الت َّ ْوثِي ُْق‬yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu
(‫ )اْ ِْلحْ كَا ُم‬yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫ط ِبقُ َّو ٍة‬ ُ ‫)الر ْب‬
َّ yang
berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak
ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya,
beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir
baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus)
dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara
amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’
Salafush Shalih.[3]

B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]


‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah-
meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir,
berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang
qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul
ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal
lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama
tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

• Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:


Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang
masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering
menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]

2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)


Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah
Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]

3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau
pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid
merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena
itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]

4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti
jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur
(populer) pada tiga generasi pertama.[8]
5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-
hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]

6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-
hukum ijtihadi.[10]

7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-
masalah ‘aqidah).[11]

Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok
selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus
Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan
mereka.

• Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:


Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari
ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam),
seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini
tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-
adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak
dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi
ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang
tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif
dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan
dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-
namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim
dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada)
setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa


Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka
suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam
memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam
memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang
salah dari orang-orang sebelum Islam.”[13]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-
Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran
Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui
oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan
melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah
(sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan
Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta
Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang
merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-
Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[14]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf:


“Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah
membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia
terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila
diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme,
Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh
mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan
yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya
kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik


Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan
dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia
semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang
mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar
(dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu
‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga
1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (IX/311: ‫ )عقد‬karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith
(II/614: ‫)عقد‬.
[2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin
‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis
Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[5]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H),
Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat
th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), ‫ رحمهم هللا‬.
[6]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah
Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H)
dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), ‫رحمهم هللا‬.
[7]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H),
Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab
I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid
oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab
(wafat th. 1206 H), ‫رحمهم هللا‬.
[8]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311
H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H), ‫رحمهم هللا‬.
[9]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an
Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an
Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), ‫رحمهم هللا‬.
[10]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th. 150).
[11]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil
Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[12]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf
karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah,
Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’,
th. 1414 H.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3429-pengertian-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

Belajar Mana Dulu? Jelas Akidah Dulu

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc April 26, 2016 Aqidah Leave a comment 3,236 Views
Tidak sedikit yang sudah menimba ilmu agama sejak lama, namun sayang ia tak tahu arah. Tidak
ada skala prioritas ketika belajar. Padahal ilmu agama itu begitu banyak. Walau kita akui semua
itu penting, namun ada yang jelas lebih penting.

Apa yang lebih penting?

Jelas lah, mempelajari akidah shahihah.

Maka belajar yang tepat adalah dengan mempelajari akidah lebih dahulu sebelum ilmu lainnya.
Dalam dakwah pun demikian. Dakwah pada akidah dan tauhid itulah yang mesti jadi prioritas.

Apa dalilnya, belajar itu mulai dari akidah, sebelum lainnya?

‫اْلي َمانَ قَ ْب َل أَ ْن نَتَعَلَّ َم ْالقُ ْرآنَ ث ُ َّم تَعَلَّ ْمنَا‬


ِ ‫ان َحزَ ا ِو َرة ٌ فَتَعَلَّ ْمنَا‬
ٌ َ‫ َونَحْ نُ فِتْي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللاِ قَا َل ُكنَّا َم َع النَّبِ ِى‬ ِ ُ ‫َع ْن ُج ْند‬
َّ ‫ب ب ِْن َع ْب ِد‬
» ‫ازدَدْنَا بِ ِه إِي َمانًا‬ ْ َ‫الق ْرآنَ ف‬ ُ ْ

Dari Jundub bin ‘Abdillah, ia berkata, kami dahulu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami masih anak-anak yang mendekati baligh. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-
Qur’an. Lalu setelah itu kami mempelajari Al-Qur’an hingga bertambahlah iman kami pada Al-
Qur’an. (HR. Ibnu Majah, no. 61. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih)

Ada beberapa faedah dari hadits di atas:

Para sahabat ketika kecil sangat semangat mempelajari hal iman (berbagai hal terkait rukun
iman) sebelum perkataan dan perbuatan.

Para sahabat kecil juga semangat mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.

Para sahabat sangat semangat belajar agama.

Pentingnya membekali diri dengan iman dan mempelajarinya, mulai dari beriman kepada Allah,
iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir
dan iman kepada takdir. Inilah asas akidah yang mesti ditanamkan dalam diri. Itulah yang kita
kenal dengan rukun iman yang enam. Iman seperti ini yang harus ditanamkan dengan benar
sebelum mempelajari Al-Qur’an.

Mempelajari Al-Qur’an jadi bermanfaat jika memiliki bekal iman yang shahih.

Akidah hendaklah sudah ditanamkan pada anak-anak kita sejak dini. Sudah benarkah imannya
pada Allah, sebagai penciptanya, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta. Semisal pula,
sudah benarkan ia jadikan Allah sebagai satu-satunya ilah.
Dalam dakwah juga mesti memprioritaskan dakwah pada akidah.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

‫ب فَ ْليَ ُك ْن أَ َّو َل َما تَدْعُو ُه ْم إِلَى‬ ِ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – ُمعَاذًا نَحْ َو ْاليَ َم ِن قَا َل لَهُ « ِإنَّكَ ت َ ْقدَ ُم َعلَى قَ ْو ٍم ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا‬ َ َ‫لَ َّما بَع‬
ُّ ِ‫ث النَّب‬
َّ ‫صلُّوا فَأ َ ْخبِ ْر ُه ْم أ َ َّن‬
َ‫ّللا‬ َ ‫ فَإِذَا‬، ‫ت فِى يَ ْو ِم ِه ْم َولَ ْيلَ ِت ِه ْم‬ٍ ‫صلَ َوا‬َ ‫س‬ َ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم َخ ْم‬
َ ‫ّللاَ فَ َر‬ َّ ‫ّللاَ تَعَالَى فَإِذَا َع َرفُوا ذَلِكَ فَأ َ ْخبِ ْر ُه ْم أ َ َّن‬ َّ ‫أ َ ْن ي َُو ِحد ُوا‬
» ‫اس‬ ِ َّ‫ فَإِذَا أَقَ ُّروا بِذَلِكَ فَ ُخذْ ِم ْن ُه ْم َوت ََو َّق ك ََرائِ َم أَ ْم َوا ِل الن‬، ‫ير ِه ْم‬ ِ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم زَ كَاة ً فِى أ َ ْم َوا ِل ِه ْم تُؤْ َخذ ُ ِم ْن َغنِيِ ِه ْم فَت ُ َردُّ َعلَى فَ ِق‬ َ ‫ا ْفت ََر‬

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, ia pun berkata padanya,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah dakwah engkau
pertama kali pada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah
memahami hal tersebut, maka kabari mereka bahwa Allah telah mewajibkan pada mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah shalat, maka kabari mereka, bahwa Allah juga
telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di
antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka. Jika mereka
menyetujui hal itu, maka ambillah dari harta mereka, namun hati-hati dari harta berharga yang
mereka miliki.” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

َ‫ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِك‬، َ ‫الزكَاة‬


َّ ‫ َويُؤْ تُوا‬، َ ‫صَلَة‬ َّ ‫ َويُ ِقي ُموا ال‬، ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬ َ َّ‫أ ُ ِم ْرتُ أ َ ْن أُقَاتِ َل الن‬
َّ َّ‫اس َحتَّى يَ ْش َهد ُوا أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِل‬
َّ ‫سابُ ُه ْم َعلَى‬
ِ‫ّللا‬ َ ‫ َو ِح‬، ‫اْل ْسَلَ ِم‬
ِ ‫ق‬ ِ ‫ص ُموا ِمنِى ِد َما َء ُه ْم َوأ َ ْم َوالَ ُه ْم إَِلَّ بِ َح‬
َ ‫َع‬

“Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah
(sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan yang demikian,
terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, melainkan dengan hak Islam. Sedangkan
perhitungan mereka diserahkan pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari, no. 25; Muslim, no. 21)

Para ulama pun telah bersepakat (berijma’) bahwa setiap kafir didakwahi pertama kali pada dua
kalimat syahadat. Itulah dakwah pertama. (Lihat Dar Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 8: 6)

Wallahu waliyyut taufiq.


Sumber : https://rumaysho.com/13351-belajar-mana-dulu-jelas-akidah-dulu.html

Media Islam Salafiyyah, Ahlussunnah wal Jama'ah

almanhaj.or.id

Home
Top of Form

Bottom of Form

PENGERTIAN TAUHID DAN PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG QADAR

PENGERTIAN TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi
Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang
mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut
mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini
termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

Pertama:
Tauhid Al-Uluhiyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah
dan karenaNya semata.

Kedua:
Tauhid Ar-Rububiyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan
meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai
dan mengatur alam semesta ini.

Ketiga:
Tauhid Al-Asma’ was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya
mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. dalam
dzat, asma maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata:
“Qadar adalah kekuasaan Allah”. Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan
kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi,
tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada
seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan
untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang
benar.

PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG QADAR

Pembaca yang budiman.


Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah dalam tiga golongan.

Pertama:
Mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan
makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan
keinginan, dan hanyalah disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin.
Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan
perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya. Tentu saja mereka ini keliru dan sesat, karena sudah
jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara
perbuatan yang dikehendaki dan perbuatan yang terpaksa.

Kedua:
Mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka
menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah serta
diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia memmiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan
ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh
manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan
dan kehendak makhluk.

Ketiga:
Mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk oleh Allah untuk menemukan kebenaran yang
telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam masalah ini mereka
menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil ‘aqli Mereka berpendapat
bahwa perbuatan yang dijadikan Allah di alam semesta ini terbagi atas dua macam:

[1]. Perbuatan yang dilakukan oleh Allah, terhadap makhlukNya Dalam hal ini tidak ada
kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti; turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan,
kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah. Hal
seperti ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Yang
Maha Esa dan Maha Kuasa.

[2]. Perbuatan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini
terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya karena Allah menjadikannya untuk mereka.
Sebagaimana firman Allah:
“Artinya : Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” [At-Takwir: 28]

―Artinya : Di antara kamu ada orang yang- menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang
yang menghendaki akhirat.” [Ali Imran : 152]

“Artinya : Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir ” [Al-Kahfi : 29]

Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya sendiri dan yang
terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui
tangga, ia tahu kalau perbuatannya itu atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya
kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia
dapat membedakan antara kedua perbuatan ini, yang pertama atas dasar kemauannya dan yang
kedua tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini.

Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air kencingnya keluar
tanpa kemauannya. Tetapi apabila ia sudah sembuh, ia sadar bahwa air kencingnya keluar
dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun
yang mengingkari adanya perbedaan tersebut.

Demikianlah segala yang terjadi dari manusia, dia mengetahui perbedaan antara mana yang
terjadi dengan kemauannya dan mana yang tidak.

Akan tetapi, karena kasih sayang Allah, ada di antara perbuatan manusia yang terjadi atas
kemauannya namun tidak dinyatakan Sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang
kelupaan dan orang yang sedang tidur.

Firman Allah dalam kisah Ashabul Kahfi.

“Artinya : … dan Kami mereka ke kanan dan ke kiri…― [Al-Kahfi :18]

Padahal merekalah sendiri yang berbalik ke kanan dan ke kiri, tetapi Allah menyatakan bahwa
Dialah yang membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur
tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapat hukuman atas perbuatannya, maka
perbuatan tersebut di-nisbat-kan kepada Allah.

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam

“Artinya : Barangsiapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa lalu makan atau minum, maka
hendaklah !a menyempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan
memberinya minum. ”

Dinyatakan dalam hadits ini bahwa yang memberinya makan dan minum adalah Allah karena
perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan-akan terjadi tanpa kemauannya
Kita semua mengetahui perbedaan antara rasa sakit atau rasa senang yang kadangkala dirasakan
seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak tahu sebabnya dan rasa sakit
atau rasa senang yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dia sendiri. Hal ini,
alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.

[Disalin dari kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq, Cetakan
Rabi’ul Awwal 1420H/Juni 1999M]

Sumber: https://almanhaj.or.id/1576-pengertian-tauhid-dan-pendapat-pendapat-tentang-
qadar.html

Media Islam Salafiyyah, Ahlussunnah wal Jama'ah

almanhaj.or.id

Home
Top of Form

Bottom of Form

AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK

Keempat
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Setiap muslim wajib mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk
kesyirikan. Seorang muslim juga mesti mengetahui pengertian tauhid, makna syahadat, rukun
syahadat dan syarat-syaratnya supaya ia benar-benar memahami tauhid.

Kalimat tauhid bagi kaum muslimin, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kalimat yang
sudah tidak asing lagi, karena tauhid bagi mereka adalah suatu ibadah yang wajib dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari dan yang pertama kali didakwahkan sebelum yang lainnya.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala


َّ ‫ّللاَ َواجْ تَنِبُوا ال‬
ُ ‫طا‬
َ‫غوت‬ َّ ‫وَل أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬
ً ‫س‬ُ ‫َولَقَدْ بَ َعثْنَا فِي ُك ِل أ ُ َّم ٍة َّر‬

“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul (untuk menyeru) agar
beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu mentauhidkan-Nya) dan menjauhi thaghut…” [An-
Nahl/16: 36]

Tauhid menurut bahasa (etimologi) diambil dari kata: ‫ ت َْو ِح ْيدًا‬،ُ‫ ي َُو ِحد‬،َ‫ َو َّحد‬artinya menjadikan sesuatu
itu satu.

Sedangkan menurut ilmu syar’i (terminologi), tauhid berarti mengesakan Allah Azza wa Jalla
terhdap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma’ dan
Sifat-Nya.

Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.


A. Macam-Macam Tauhid
1. Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allah adalah Raja,
Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫ّللاُ َربُّ ْالعَالَ ِمين‬ َ َ‫أ َ ََل لَهُ ْالخ َْل ُق َو ْاْل َ ْم ُر ۗ تَب‬
َّ َ‫ارك‬

“… Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb
semesta alam.” [Al-A’raaf/7: 54]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫ير‬
ٍ ‫ط ِم‬ َّ ‫َٰذَ ِل ُك ُم‬
ْ ‫ّللاُ َربُّ ُك ْم لَهُ ْال ُم ْلكُ ۚ َوا َّلذِينَ تَدْعُونَ ِمن دُو ِن ِه َما َي ْم ِل ُكونَ ِمن ِق‬

“…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, ke-punyaan-Nya-lah segala kerajaan. Dan
orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari.” [Faathir/35: 13]

Kaum musyrikin pun mengakui sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla:

‫ت َويُ ْخ ِر ُج ْال َميِتَ ِمنَ ْال َحي ِ َو َمن يُدَبِ ُر‬ ِ ِ‫ي ِمنَ ْال َمي‬ َّ ‫ار َو َمن ي ُْخ ِر ُج ْال َح‬ َ ‫ص‬َ ‫ض أ َ َّمن يَ ْم ِلكُ الس َّْم َع َو ْاْل َ ْب‬ ِ ‫اء َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫قُ ْل َمن يَ ْر ُزقُ ُكم ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬
َ‫ص َرفُون‬ َّ ‫ّللاُ ۚ فَقُ ْل أَفَ ََل تَتَّقُونَ فَ َٰذَ ِل ُك ُم‬
ِ ‫ّللاُ َربُّ ُك ُم ْال َح ُّق ۖ فَ َماذَا بَ ْعدَ ْال َح‬
ْ ُ ‫ق إِ ََّل الض َََّل ُل ۖ فَأَنَّ َٰى ت‬ َّ َ‫سيَقُولُون‬ َ َ‫ْاْل َ ْم َر ۚ ف‬

“Katakanlah (Muhammad): ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan
siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka, mereka menjawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah,
‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka, (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb
kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka,
mengapa kamu masih berpaling (dari kebenaran)?” [Yunus/10: 31-32]

Firman Allah Azza wa Jalla:

‫يز ْالعَ ِلي ُم‬


ُ ‫ض لَيَقُولُ َّن َخلَقَ ُه َّن ْالعَ ِز‬
َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫سأ َ ْلتَ ُهم َّم ْن َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫َولَئِن‬

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’
Pastilah mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi
Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf/43: 9][1]

Kaum musyrikin pun mengakui bahwasanya hanya Allah semata Pencipta segala sesuatu,
Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi, dan Pengatur alam semesta. Namun mereka juga
menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai penolong, mereka bertawassul
dengannya (berhala tersebut) dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at, sebagai-mana
yang disebutkan dalam beberapa ayat.[2]

Dengan perbuatan tersebut, mereka tetap dalam keadaan musyrik, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :

َّ ‫َو َما يُؤْ ِمنُ أَ ْكثَ ُرهُم ِب‬


َ‫اَّللِ ِإ ََّل َوهُم ُّم ْش ِر ُكون‬

“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” [Yusuf/12: 106]

Sebagian ulama Salaf berkata, “Jika kalian bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan
langit dan bumi?’ Mereka pasti menjawab, ‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja
menyembah kepada selain-Nya.” [3]

2. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan
hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah
(cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah (minta
pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan
dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-
Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah
tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik
yang besar) dan tidak diampuni dosanya (apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat kepada
Allah atas perbuatan syiriknya). [Lihat An-Nisaa/4: 48, 116] [4]

Al-ilaah artinya al-ma’-luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta
pengagungan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َّ ‫احد ٌ ۖ ََّل إِ َٰلَهَ إِ ََّل ه َُو‬


َّ ُ‫الرحْ َٰ َمن‬
‫الر ِحي ُم‬ ِ ‫َوإِ َٰلَ ُه ُك ْم إِ َٰلَهٌ َو‬

“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah/2: 163]

Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullah berkata,
“Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak
ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang
sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-
Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila
demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allah tidak boleh
disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” [5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ُ ‫ْط ۚ ََل ِإ َٰلَهَ ِإ ََّل ه َُو ْال َع ِز‬


‫يز ْال َح ِكي ُم‬ ِ ‫ّللاُ أَنَّهُ ََل ِإ َٰلَهَ ِإ ََّل ه َُو َو ْال َم ََلئِ َكةُ َوأُولُو ْال ِع ْل ِم قَائِ ًما ِب ْال ِقس‬
َّ َ‫ش ِهد‬
َ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia,
(demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (yang menegakkan keadilan).
Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi
Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran/3: 18]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Laata, ‘Uzza dan Manaat yang disebut sebagai
ilah (sesembahan), namun tidak diberi hak Uluhiyyah:

‫ان‬
ٍ ‫ط‬َ ‫س ْل‬ َّ ‫س َّم ْيت ُ ُموهَا أَنت ُ ْم َوآ َباؤُ ُكم َّما أَنزَ َل‬
ُ ‫ّللاُ ِب َها ِمن‬ َ ‫ِي ِإ ََّل أ َ ْس َما ٌء‬
َ ‫ِإ ْن ه‬
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya,
Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk (menyembah)-nya…” [An-Najm/53: 23]

Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah
firman Allah Azza wa Jalla:

ُ ِ‫ي ْال َكب‬


‫ير‬ ُّ ‫ّللاَ ه َُو ْالعَ ِل‬ َّ ‫َٰذَلِكَ بِأ َ َّن‬
ِ َ‫ّللاَ ه َُو ْال َح ُّق َوأ َ َّن َما يَدْعُونَ ِمن دُونِ ِه ه َُو ْالب‬
َّ ‫اط ُل َوأ َ َّن‬

“Demikianlah (kebesaran Allah) karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil, dan sesung-guhnya
Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” [Al-Hajj/22: 62]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihissallam, yang berkata kepada
kedua temannya di penjara:

َّ ‫س َّم ْيت ُ ُموهَا أَنت ُ ْم َوآبَاؤُ ُكم َّما أَنزَ َل‬


‫ّللاُ ِب َها‬ ُ ‫احد ُ ْالقَ َّه‬
َ ‫ار َما ت َ ْعبُدُونَ ِمن د ُونِ ِه ِإ ََّل أَ ْس َما ًء‬ ِ ‫ّللاُ ْال َو‬
َّ ‫احبَي ِ ال ِسجْ ِن أَأ َ ْربَابٌ ُّمتَفَ ِرقُونَ َخي ٌْر أ َ ِم‬
ِ ‫ص‬َ ‫يَا‬
‫ان‬
ٍ ‫ط‬ َ ‫سل‬ ْ ُ ‫ِمن‬

“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun tentang (nama-nama) itu…” [Yusuf/12: 39-40]

Oleh karena itu, para Rasul Alaihimussallamr menyeru kepada kaumnya agar beribadah hanya
kepada Allah saja: [6]

َ‫ّللاَ َما لَ ُكم ِم ْن ِإ َٰلَ ٍه َغي ُْرهُ ۖ أَفَ ََل تَتَّقُون‬


َّ ‫أ َ ِن ا ْعبُد ُوا‬
”… Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada ilah yang haq selain Dia. Maka,
mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Al-Mukminuun/23: 32]

Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan
kepada sesembahan-sesembahan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengambilan sesembahan-sesembahan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah


dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti:

Pertama : Sesembahan-sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyyah


sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi
manfaat, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ورا‬
ً ‫ش‬ َ ‫ش ْيئًا َو ُه ْم يُ ْخلَقُونَ َو ََل َي ْم ِل ُكونَ ِْلَنفُ ِس ِه ْم‬
ُ ُ‫ض ًّرا َو ََل نَ ْف ًعا َو ََل َي ْم ِل ُكونَ َم ْوتًا َو ََل َح َياة ً َو ََل ن‬ َ َ‫َوات َّ َخذُوا ِمن دُو ِن ِه آ ِل َهةً ََّل َي ْخلُقُون‬

“Namun mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), padahal mereka itu tidak
menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) bahaya
terhadap dirinya dan tidak dapat memberi manfaat serta tidak kuasa mematikan dan
menghidupkan juga tidak (pula) dapat membangkitkan.” [Al-Furqaan/25: 3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ض َو َما لَ ُه ْم فِي ِه َما ِمن ِش ْركٍ َو َما لَهُ ِم ْن ُهم ِمن‬ ِ ‫ت َو ََل فِي ْاْل َ ْر‬ َّ ‫ّللاِ ۖ ََل َي ْم ِل ُكونَ ِمثْقَا َل ذَ َّرةٍ فِي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫قُ ِل ادْعُوا الَّذِينَ زَ َع ْمتُم ِمن د‬
َّ ‫ُون‬
ُ‫شفَا َعةُ ِعندَهُ إِ ََّل ِل َم ْن أَذِنَ لَه‬
َّ ‫ير َو ََل تَنفَ ُع ال‬ َ
ٍ ‫ظ ِه‬

“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai sesembahan) selain
Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka
sama sekali tidak mempunyai suatu saham (peran) pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan
tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidaklah berguna syafa’at di
sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan oleh-Nya (memperoleh syafa’at)…”
[Saba’/34: 22-23]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫ص ُرون‬ َ ُ‫ص ًرا َو ََل أَنف‬


ُ ‫س ُه ْم يَن‬ ْ َ‫أَيُ ْش ِر ُكونَ َما ََل يَ ْخلُ ُق َش ْيئًا َو ُه ْم ي ُْخلَقُونَ َو ََل يَ ْست َِطيعُونَ لَ ُه ْم ن‬

“Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat
menciptakan sesuatu apa pun? Padahal berhala itu sendiri diciptakan dan (berhala itu) tidak
mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya bahkan berhala itu tidak dapat
memberi pertolongan kepada dirinya sendiri.” [Al-A’raaf/7: 191-192]
Apabila demikian keadaan berhala-berhala itu, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim
apabila menjadikan mereka sebagai ilah (sesembahan) dan tempat meminta pertolongan.

Kedua : Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu. Mereka pun
mengakui bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat memberi-Nya
perlindungan. Hal ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka
mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya
konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah (beribadah hanya kepada Allah saja).

‫اء‬
ِ ‫س َم‬َّ ‫س َما َء ِبنَا ًء َوأَنزَ َل ِمنَ ال‬ َّ ‫شا َوال‬ ً ‫ض فِ َرا‬ َ ‫اس ا ْعبُد ُوا َربَّ ُك ُم الَّذِي َخلَقَ ُك ْم َوالَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ الَّذِي َجعَ َل َل ُك ُم ْاْل َ ْر‬
ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
َ‫ت ِر ْزقًا لَّ ُك ْم ۖ فَ ََل تَجْ عَلُوا ِ ََّّللِ أَندَادًا َوأَنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
ِ ‫َما ًء فَأ َ ْخ َر َج بِ ِه ِمنَ الث َّ َم َرا‬

“Wahai manusia, beribadahlah hanya kepada Rabb-mu yang telah menciptakan dirimu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Dia-lah) yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 21-22]

3. Tauhid Asma’ wa Shifat Allah


Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana
hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat-Sifat Allah, baik yang terdapat di dalam Al-Qur-an
maupun dalam As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’d
dan Sufyan ats-Tsauri Radhiyallahu anhum tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat
Allah, mereka semua menjawab:

ْ ‫أ َ ِم ُّر ْو هَا َك َما َجا َء‬.


َ ‫ت ِبَلَ َكي‬
‫ْف‬

“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat-Sifat Allah) seperti datangnya dan janganlah engkau
persoalkan (jangan engkau tanya tentang bagaimana sifat itu).” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ُ ‫س ْو ِل هللاِ َعلَى ُم َرا ِد َر‬


ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫ َوآ َم ْنتُ بِ َر‬،ِ‫ َوبِ َما َجا َء َع ِن هللاِ َعلَى ُم َرا ِد هللا‬،ِ‫آ َم ْنتُ بِاهلل‬.
ُ ‫س ْو ِل هللاِ َو ِب َما َجا َء َع ْن َر‬

“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang
dimaksud oleh Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari
beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus
Sunnah adalah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah
telah tetapkan atas diri-Nya dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk diri-Nya, tanpa tahrif [9] dan ta’thil [10] serta tanpa takyif [11] dan tamtsil [12].
Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan
menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫ش ْي ٌء ۖ َوه َُو الس َِّمي ُع ْال َب‬
َ ‫ْس ك َِمثْ ِل ِه‬
َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” [Asy-Syuuraa/42: 11]

َ ‫ْس ك َِمثْ ِل ِه‬


Lafazh ayat: ‫ش ْى ٌء‬ َ ‫“ لَي‬Tidak ada yang sesuatu pun yang serupa dengan-Nya,” merupakan
bantahan terhadap golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
sifat makhluk-Nya.

Sedangkan lafazh ayat: ‫ير‬


ُ ‫ص‬ِ َ‫“ َوه َُو الس َِّمي ُع ْالب‬Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah
bantahan terhadap orang-orang yang menafikan atau mengingkari Sifat-Sifat Allah. [13]

B. Makna ُ‫َلَ ِإلَهَ ِإَلَّ هللا‬


Makna dari kalimat ُ‫( َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللا‬laa ilaaha illallaah) adalah ُ‫ق إَِلَّ الله‬ ِ َ‫( َلَ َم ْعب ُْود‬laa ma’buda bi
ٍ ‫ب ِِ ِِ ِِ ِِ َح‬
haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat ُ‫( َلَ ِإلَهَ ِإَلَّ هللا‬laa ilaaha illallaah) dan
kesalahan tersebut telah menyebar luas. Kesalahan tersebut antara lain: [14]

1. Menafsirkan kalimat ُ‫( َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللا‬laa ilaaha illallaah) dengan ِ‫( َلَ َم ْعب ُْودَ إَِلَّ ِهلل‬tidak ada yang
diibadahi kecuali Allah), padahal makna tersebut rancu karena dapat berarti bahwa setiap yang
diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.

2. Menafsirkan kalimat ُ‫( َلَ ِإلَهَ ِإَلَّ هللا‬laa ilaaha illallaah) dengan ُ‫( َلَ خَالِقَ ِإَلَّ هللا‬tidak ada pencipta
kecuali Allah), padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat ُ‫( َلَ ِإلَهَ ِإَلَّ هللا‬laa
ilaaha illallaah) dan penafsiran ini masih berupa Tauhid Rububiyyah saja sehingga belum cukup.
Inilah yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.

3. Menafsirkan kalimat ُ‫( َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللا‬laa ilaaha illallaah) dengan ُ‫( َلَ َحا ِك ِميَّةَ إَِلَّ هللا‬tidak ada hak untuk
menghukumi kecuali hanya bagi Allah), padahal pengertian ini juga tidak cukup karena apabila
mengesakan Allah dengan penga-kuan atas sifat Allah Yang Mahakuasa saja lalu berdo’a kepada
selain-Nya atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum
termasuk definisi yang benar.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke
3]
_______
Footnote
[1]. Lihat juga Al-Mu’-minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.
[2]. Lihat Yunus: 18, Az-Zumar: 3, 43-44.
[3]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, asy-Sya’bi,
Qatadah dan lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40), tahqiq: Dr. Walid
bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[4]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan ‘Aqidatut Tauhiid (hal. 36)
oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah
(Tiga Landasan Utama).
[5]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 60), cet. Mu-assasah ar-
Risalah, 1417 H.
[6]. Lihat Al-Qur-an pada surat al-A’raaf ayat 65, 73 dan 85.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930).
Sanadnya shahih, lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, th. 1419 H) oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-‘Uluw lil
‘Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134).
[8]. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh
Muhammad Shalih bin al-‘Utsaimin (hal. 36).
[9]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau
menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[10]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau
sebagian Sifat-Sifat Allah Azza wa Jalla.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna
yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur-an atau hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang
sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[11]. Takyiif adalah menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan:
“Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan hakikat dari Sifat Allah, seperti menanyakan:
“Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya adalah tidak boleh bertanya tentang
kaifiyat Sifat Allah karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana
Allah Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah
yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[12]. Tamtsiil sama dengan tasybiih, yaitu mempersamakan atau menyeru-pakan Sifat Allah
Azza wa Jalla dengan sifat makhluk-Nya. Lihat Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-100)
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-
69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihaat al-Lathiifah
‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasi-thiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’anil
Wasithiyah (hal. 86-94) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman.
[13]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523) tahqiq DR. Muhammad Rasyad Salim.
[14]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan (hal.
39-40)

Sumber: https://almanhaj.or.id/3190-azas-islam-adalah-tauhid-dan-menjauhkan-syirik.html

Makna Tauhid

Yulian Purnama 26 July 2011 0 Comments


Share on Facebook

Share on Twitter

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan
huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan
segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh
Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan
yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini
sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa
jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain,
namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga
sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian
yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah
Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan
mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah
dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya
diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan
hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

‫ور‬ ُّ ‫ض َو َج َع َل ال‬
ِ ‫ظلُ َما‬
َ ‫ت َوال ُّن‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫ْال َح ْمد ُ ِ ََّّللِ الَّذِي َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬

“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan
terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun
kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah.
Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

َّ ‫سأ َ ْلتَ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ُه ْم لَيَقُولُ َّن‬


ُ‫ّللا‬ َ ‫َولَئِ ْن‬

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah
menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

َّ ‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن‬


ُ‫ّللا‬ َّ ‫س َّخ َر ال‬
َ ‫ش ْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ َّ ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫َولَئِ ْن‬

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah
menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan
menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama
Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan.
Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir
jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak
dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka
berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin?
Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid
uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang
zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

ُ‫إِيَّاكَ نَ ْعبُدُ َو ِإيَّاكَ نَ ْستَ ِعين‬

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila
melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa,
cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya
meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan
orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa,
beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran
para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
َّ ‫ّللاَ َواجْ تَنِبُوا ال‬
ُ ‫طا‬
َ‫غوت‬ َّ ‫وَل أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬
ً ‫س‬ُ ‫َولَقَدْ بَعَثْنَا فِي ُك ِل أ ُ َّم ٍة َر‬

“Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan:
‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah
tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab
suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang
disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath
Thahawiyah).

Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat
menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki
perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk
ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak
bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan
nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan
Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan
menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama
dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan
tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

‫َو ِ ََّّللِ ْاْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى فَادْعُوهُ بِ َها‬

“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut
nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya
‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang
yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa
dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat
wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk
wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah
berfirman yang artinya:

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫ش ْي ٌء َوه َُو الس َِّمي ُع ْال َب‬
َ ‫ْس ك َِمثْ ِل ِه‬
َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha
Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan
maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy
namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini
tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar
hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas
dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan
Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami
oleh hamba-Nya.

Pentingnya mempelajari tauhid

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid,
bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh
ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja
begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain
seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia
tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-
hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar
dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi
setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang
paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui,
dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil
Iman, 4).

Sumber: https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html

Di antara kiat mendalami agama adalah belajar ilmu secara bertahap. Dalam postingan kali ini,
Rumaysho.Com akan menyebutkan beberapa buku rujukan dari kitab Arab dalam belajar Islam
dari dasar. Kitab Arab tersebut sudah banyak terjemahannya dari berbagai penerbit terpercaya di
negeri kita.

Mempelajari ilmu secara bertahap tetap dengan belajar langsung dari guru. Namun kita butuh
belajar dengan memakai rujukan kitab secara berjenjang. Sehingga ketika belajar dari guru pun
demikian, carilah guru yang mengajarkan ilmu dari dasar, setelah itu beranjak pada kitab yang
lebih advance (lanjut). Kami berikan contoh kitab-kitab apa yang baiknya kita pelajari. Urutan
nomor yang kami sebutkan adalah tingkatan dari dasar hingga lanjutan.

Kitab Masalah Tauhid:

Tsalatsah Al-Ushul (Tiga Landasan Utama): Syaikh Muhammad At-Tamimi.

Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaedah Memahami Tauhid dan Syirik): Syaikh Muhammad At-
Tamimi.

Kitab At-Tauhid: Syaikh Muhammad At-Tamimi.

Kasyfu Asy-Syubuhaat (Menyanggah Syubhat Seputar Syirik): Syaikh Muhammad At-Tamimi.

Kitab Akidah:

Ushul As-Sittah: Syaikh Muhammad At-Tamimi.

Lum’atul I’tiqad: Ibnu Qudamah.

Ushul As-Sunnah: Imam Ahmad bin Hambal.

Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad: Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan.

Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah: Ath-Thahawi, Syarh: Ibnu Abil ‘Izz.

Untuk rujukan syarh atau penjelasan dari kitab-kitab akidah dan tauhid di atas bisa memakai
berbagai kitab penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, guru kami Syaikh
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, Syaikh Shalih Alu Syaikh dan Syaikh ‘Abdullah bin
Shalih Al-Fauzan.

Kitab Tafsir:
Tafsir Al-Jalalain: Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli, dengan catatan (ta’liq):
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri terutama koreksian terhadap Akidah Asma’ wa Sifat.

Al-Mukhtashar fi At-Tafsir, terbitan Muassasah ‘Abdullah bin Zaid Al-Ghanim Al-Khairiyyah.

Tafsir Juz ‘Amma dan Tafsir Beberapa Surat dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman): Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Aysar At-Tafasir: Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi.

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim: Ibnu Katsir.

Tafsir Ath-Thabari: Ibnu Jarir Ath-Thabari.

Kitab Fikih merujuk pada Fikih Madzhab Syafi’i:

Safinah An-Najah: Salim bin ‘Abdullah Ibnu Sumair Al-Hadrami Asy-Syafi’i.

Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib: Al-Qadhi Abi Syuja’ dengan berbagai kitab penjelasan: Fathul
Qarib, At-Tadzhib, Al-Iqna’, Kifayatul Akhyar.

Al-Fiqhu Al-Manhaji: Musthafa Al-Bugha, dkk.

Minhaj Ath-Thalibin: Imam Nawawi.

Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab li Asy-Syairazi: Imam Nawawi.

Kitab Fikih dari Ulama Belakangan:

Minhaj As-Salikin: Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab Al-‘Aziz: Syaikh ‘Abdul ‘Azhim Badawi.

Fiqh As-Sunnah: Sayyid Sabiq.

Shahih Fiqh As-Sunnah: Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.

Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah: Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaysyah.

Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.

Kitab Hadits:
Hadits Al-Arba’in An-Nawawiyyah: Imam Nawawi.

Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam: Ibnu Rajab Al-Hambali.

Bulugh Al-Maram: Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarh: Subulus Salam, Ash-Shan’ani; Minhatul
‘Allam, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan.

‘Umdah Al-Ahkam: Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi, Syarh terbaik dari Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di.

Al-Muntaqa Al-Akhbar: Majduddin Abul Barakat ‘Abdussalam Ibnu Taimiyyah Al-Harrani


(Jadd Ibnu Taimiyah), Syarh: Nail Al-Authar, Imam Asy-Syaukani.

Kutub As-Sab’ah: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah,
Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasai, Musnad Al-Imam Ahmad.

Kitab Sirah Nabawiyah:

Ar-Rahiq Al-Makhtum: Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.

Zaad Al-Ma’ad: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah: Imam At-Tirmidzi.

Kitab Tazkiyatun Nufus dan Adab:

Riyadh Ash-Shalihin, Imam Nawawi.

Syarh (penjelasan) terbaik dari Kitab Riyadh Ash-Shalihin:

Nuzhatul Muttaqin: Musthafa Al-Bugha dkk.

Bahjatun Nazhirin: Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali.

Syarh Riyadh Ash-Shalihin: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Kunuz Riyadh Ash-Shalihin (terlengkap 22 jilid).

Kitab Akhlak:

Adab Al-Mufrad, Imam Bukhari.

Syarh terbaik dari Adab Al-Mufrad:


Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad: Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaysyah.

Rassyul Barad Syarh Al-Adab Al-Mufrad: Syaikh Muhammad Luqman As-Salafi.

Kitab Amalan:

Lathaif Al-Ma’arif: Ibnu Rajab Al-Hambali.

Al-Adzkar: Imam Nawawi.

Kitab Dosa Besar:

Al-Kabair, Imam Adz-Dzahabi.

Kitab Sejarah Para Ulama:

Siyar A’lam An-Nubala, Imam Adz-Dzahabi.

Kitab Bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf):

Al-Muyassar fi ‘Ilmi An-Nahwi: Aceng Zakariya.

Al-Muqaddimah Al-Ajurromiyyah: Muhammad bin Muhammad bin Aajurroma Ash-Shinhaji.

Mukhtarat Qawai’id Al-Lughah Al-‘Arabiyyah: Ustadz Aunur Rofiq Ghufran.

Mulakhash Qawa’id Al-Lughah Al-‘Arabiyyah: Fuad Ni’mah.

Ada pula berbagai kitab dalam bidang tafsir, keadah tafsir, ilmu mutshalah hadits, ilmu ushul
fikih, ilmu qawa’idul fikih yang merupakan ilmu alat yang bisa membantu dalam menguasai
ilmu pokok.

Semoga bermanfaat. Silakan cari buku tersebut dan belajarlah langsung dari seorang guru, itu
cara terbaik.

Selesai disusun saat Allah menurunkan hujan di Darush Sholihin Panggang, GK, 14 Safar 1437
H
Muhammad Abduh Tuasikal

Join Channel Telegram, Twitter, Instagram: @RumayshoCom

Sumber : https://rumaysho.com/12411-buku-referensi-belajar-islam-dari-dasar.html

KEUTAMAAN TAUHID
kelima
KEUTAMAAN TAUHID[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’alal memiliki banyak keutamaan, antara
lain:

1. Orang yang bertauhid kepada Allah akan dihapus dosa-dosanya.


Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam dalam sebuah hadits qudsi, dari
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman:

…ً‫شيْئا ً ْلَتَ ْيتُكَ ِبقُ َرابِ َها َم ْغ ِف َرة‬


َ ‫طايَا ث ُ َّم لَ ِق ْيتَنِي َلَ ت ُ ْش ِركُ بِي‬ ِ ‫ب اْْل َ ْر‬
َ ‫ض َخ‬ ِ ‫يَا ابْنَ آدَ َم ِإنَّكَ لَ ْو أَت َ ْيتَنِي بِقُ َرا‬.

‘…Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi,
sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan
kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’”[2]

2. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan mendapatkan petunjuk yang
sempurna, dan kelak di akhirat akan mendapatkan rasa aman. Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ‫ظ ْل ٍم أُو َٰلَئِكَ لَ ُه ُم ْاْل َ ْمنُ َوهُم ُّم ْهتَدُون‬ ُ ِ‫ذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْلب‬
ُ ِ‫سوا إِي َما َن ُهم ب‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman
(syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. ”
[Al-An’aam/6 : 82]

Di antara permohonan kita yang paling banyak adalah memohon agar ditunjuki jalan yang lurus:

‫ط الَّذِينَ أ َ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم‬


َ ‫ص َرا‬ َ ‫ط ْال ُم ْستَ ِق‬
ِ ‫يم‬ َ ‫الص َرا‬
ِ ‫ا ْه ِدنَا‬

“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka.” [Al-Faatihah/1 : 6-7]

Yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang shalih.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
‫صا ِل ِحينَ ۚ َو َحسُنَ أُو َٰلَئِكَ َرفِيقًا‬
َّ ‫اء َوال‬
ِ َ‫ش َهد‬ َّ ‫سو َل فَأُو َٰلَئِكَ َم َع الَّذِينَ أ َ ْن َع َم‬
ِ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِهم ِمنَ النَّ ِب ِيينَ َو‬
ُّ ‫الص ِديقِينَ َوال‬ ُ ‫الر‬ َّ ِ‫َو َمن ي ُِطع‬
َّ ‫ّللاَ َو‬

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya), maka mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-
baik-nya.” [An-Nisaa’/4 : 69]

Kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar terhindar dari jalan orang-orang
yang dimurkai Allah dan jalan orang-orang yang sesat, yaitu jalannya kaum Yahudi dan Nasrani.

3. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan dihilangkan kesulitan dan
kesedihannya di dunia dan akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ُ ‫ّللاَ َيجْ َعل لَّهُ َم ْخ َر ًج َاو َي ْر ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬


ُ‫ْث ََل َيحْ تَسِ ب‬ َّ ‫ق‬ِ َّ ‫َو َمن َيت‬
“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka…” [Ath-Thalaq/65 : 2-3]

Seseorang tidak dikatakan bertakwa kepada Allah kalau dia tidak bertauhid. Orang yang
bertauhid dan bertakwa akan diberikan jalan keluar dari berbagai masalah hidupnya.[3]

4. Orang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan menjadikan dalam hatinya rasa cinta
kepada iman dan Allah akan menghiasi hatinya dengannya serta Dia menjadikan di dalam
hatinya rasa benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫اْلي َمانَ َوزَ يَّنَهُ فِي قُلُوبِ ُك ْم َوك ََّرهَ إِلَ ْي ُك ُم ْال ُك ْف َر‬
ِ ْ ‫َّب إِلَ ْي ُك ُم‬ َّ ‫ير ِمنَ ْاْل َ ْم ِر لَ َعنِت ُّ ْم َو َٰلَ ِك َّن‬
َ ‫ّللاَ َحب‬ ٍ ِ‫ّللاِ ۚ لَ ْو ي ُِطيعُ ُك ْم فِي َكث‬ ُ ‫َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن فِي ُك ْم َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ‫الرا ِشد ُون‬ َٰ
َّ ‫صيَانَ ۚ أُولَئِكَ ُه ُم‬ ْ ‫َو ْالفُسُوقَ َو ْال ِع‬

“…Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman itu) indah
dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” [Al-Hujurat/49 : 7]

5. Tauhid merupakan satu-satunya sebab untuk mendapatkan ridha Allah, dan orang yang paling
bahagia dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
mengatakan ُ‫ َلَ ِإلَهَ ِإَلَّ هللا‬dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.

6. Orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dijamin masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ َم ْن َماتَ َوه َُو َي ْعلَ ُم أَنَّهُ َلَ ِإلَهَ ِإَلَّ هللاُ دَ َخ َل ْال َجنَّة‬.
“Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar melainkan Allah, maka ia masuk Surga.” [4]

َ‫ َم ْن َماتَ َلَيُ ْش ِركُ بِاهللِ َش ْيئًا دَ َخ َل ْال َجنَّة‬.

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk
Surga.”[5]

7. Orang yang bertauhid akan diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kemenangan,
pertolongan, kejayaan dan kemuliaan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫ت أ َ ْقدَا َم ُك ْم‬
ْ ‫ص ْر ُك ْم َو ُيثَ ِب‬ ُ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإن تَن‬
َّ ‫ص ُروا‬
ُ ‫ّللاَ َين‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [Muhammad/47 : 7]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

‫ف الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل ِه ْم َولَيُ َم ِكن ََّن لَ ُه ْم دِينَ ُه ُم الَّذِي‬ ِ ‫ت لَيَ ْست َْخ ِلفَنَّ ُه ْم فِي ْاْل َ ْر‬
َ َ‫ض َك َما ا ْست َْخل‬ َّ ‫ّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َّ َ‫َو َعد‬
ُ ْ َ َٰ ُ َٰ
َ‫ش ْيئًا ۚ َو َمن َكفَ َر بَ ْعدَ ذَلِكَ فَأولئِكَ ُه ُم الفَا ِسقون‬ َ َ َ َ
َ ‫ض َٰى ل ُه ْم َوليُبَ ِدلنَّ ُهم ِمن بَ ْع ِد خ َْوفِ ِه ْم أ ْمنًا ۚ يَ ْعبُد ُونَنِي ََل يُ ْش ِر ُكونَ ِبي‬
َ َ ‫ارت‬
ْ

“Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-
benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu
apapun. Tetapi barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-
orang yang fasik.” [An-Nuur/24 : 55]

8. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan diberi kehidupan yang baik di dunia
dan akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ‫س ِن َما كَانُوا َي ْع َملُون‬ َ ً ‫صا ِل ًحا ِمن ذَك ٍَر أ َ ْو أُنثَ َٰى َوه َُو ُمؤْ ِم ٌن فَلَنُحْ ِي َينَّهُ َح َياة‬
َ ْ‫ط ِي َبةً ۖ َولَنَجْ ِز َينَّ ُه ْم أَجْ َرهُم ِبأَح‬ َ ‫َم ْن َع ِم َل‬

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
[An-Nahl/16 : 97]

9.Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal di Neraka.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ٍ ‫ أ َ ْخ ِر ُج ْوا َم ْن َكانَ فِي قَ ْل ِب ِه ِمثْقَا ُل َحبَّ ٍة ِم ْن خ َْردَ ٍل ِم ْن ِإ ْي َم‬:‫ ث ُ َّم َيقُ ْو ُل هللاُ ت َ َعالَى‬،‫ار‬
َ‫ فَي ُْخ َر ُج ْون‬،‫ان‬ ِ َّ‫ َوأ َ ْه ُل الن‬،َ‫َيدْ ُخ ُل أ َ ْه ُل ْال َجنَّ ِة ْال َجنَّة‬
َ َّ‫ار الن‬
َ ‫ أَلَ ْم ت ََر أَنَّ َها ت َْخ ُر ُج‬،‫س ْي ِل‬
‫ص ْف َرا َء‬ ِ ِ‫ َفيَ ْنبُت ُ ْونَ َك َما ت َ ْنبُتُ ْال َحبَّةُ فِي َجان‬- ٌ‫ شَكَّ َما ِلك‬،ِ‫أ َ ِو ْال َحيَاة‬- ‫اء‬
َّ ‫ب ال‬ ِ َ‫ِم ْن َها قَد ِاس َْودُّوا فَي ُْلقَ ْونَ فِي نَ ْه ِر ْال َحي‬
‫ُم ْلتَ ِويَةً؟‬

“Setelah penghuni Surga masuk ke Surga, dan penghuni Neraka masuk ke Neraka, maka setelah
itu Allah Azza wa Jalla pun berfirman, ‘Keluarkan (dari Neraka) orang-orang yang di dalam
hatinya terdapat seberat biji sawi iman!’ Maka mereka pun dikeluarkan dari Neraka, hanya saja
tubuh mereka sudah hitam legam (bagaikan arang). Lalu mereka dimasukkan ke sungai
kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh (berubah) sebagaimana tumbuhnya benih yang berada di
pinggiran sungai. Tidakkah engkau perhatikan bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan
berlipat-lipat?”[6]

10. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, maka amal yang sedikit itu
akan menjadi banyak.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ُ ُ‫يز ْالغَف‬
‫ور‬ ُ ‫سنُ َع َم ًَل ۚ َوه َُو ْالعَ ِز‬
َ ْ‫الَّذِي َخلَقَ ْال َم ْوتَ َو ْال َحيَاة َ ِليَ ْبلُ َو ُك ْم أَيُّ ُك ْم أَح‬

“Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [Al-Mulk/67 : 2]

Dalam ayat yang mulia tersebut, Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan “amal yang baik”,
tidak dengan “amal yang banyak”. Amal dikatakan baik atau shalih bila memenuhi 2 syarat,
yaitu: (1) Ikhlas, dan (2) Ittiba’ (mengikuti contoh) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa kalimat ُ‫ َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللا‬pada hari Kiamat lebih
berat dibandingkan langit dan bumi dengan sebab ikhlas.

11. Mendapat rasa aman. Orang yang tidak bertauhid, selalu was-was, dalam ketakutan, tidak
tenang. Mereka takut kepada hari sial, atau punya anak lebih dari dua, takut tentang masa depan,
takut hartanya lenyap dan seterusnya.

12. Tauhid merupakan penentu diterima atau ditolaknya amal kita. Sempurna dan tidaknya amal
seseorang bergantung pada tauhidnya. Orang yang beramal tapi tidak sempurna tauhidnya,
misalnya riya, tidak ikhlas, niscaya amalnya akan menjadi bumerang baginya, bukan
mendatangkan kebahagiaan baik itu berupa shalat, zakat, shadaqah, puasa, haji dan lainnya.
Syirik (besar) akan menghapus seluruh amal.

13. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan diringankan dari perbuatan yang
tidak ia sukai dan dari penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, jika seorang hamba
menyempurnakan tauhid dan keimanannya, niscaya kesusahan dan kesulitan dihadapinya dengan
lapang dada, sabar, jiwa tenang, pasrah dan ridha kepada takdir-Nya.
Para ulama banyak menjelaskan bahwasanya orang sakit dan mendapati musibah itu harus
meyakini bahwa:

a. Penyakit yang diderita itu adalah suatu ketetapan dari Allah Azza wa Jalla. Dan penyakit
adalah sebagai cobaan dari Allah.

b. Hal itu disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiyat yang ia kerjakan.

c. Hendaklah ia meminta ampun dan kesembuhan kepada Allah Azza wa Jalla, serta meyakini
bahwa Allah Azza wa Jalla sajalah yang dapat menyembuhkannya.

14. Tauhid akan memerdekakan seorang hamba dari penghambaan kepada makhluk-Nya, agar
menghamba hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja yang menciptakan semua makhluk.

Artinya yaitu orang-orang yang bertauhid dalam ke-hidupannya hanya menghamba, memohon
pertolongan, meminta ampunan dan berbagai macam ibadah lainnya, hanya kepada Allah Azza
wa Jalla semata.

15. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan dimudahkan untuk melaksanakan
amal-amal kebajikan dan meninggalkan kemungkaran, serta dapat menghibur seseorang dari
musibah yang dialaminya.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umatnya agar
berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla untuk memohon segala kebaikan dan dijauhkan dari
berbagai macam kejelekan serta dijadikan setiap ketentuan (qadha) itu baik untuk kita. Do’a
yang dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

َ َ‫اَللَّ ُه َّم … َوأ َ ْسأَلُكَ أ َ ْن تَجْ عَ َل ُك َّل ق‬.


َ َ‫ضاءٍ ق‬
‫ض ْيتَهُ ِلي َخي ًْرا‬

“Ya Allah…, dan aku minta kepada-Mu agar Engkau menjadikan setiap ketetapan (qadha) yang
telah Engkau tetapkan bagiku merupakan suatu kebaikan.”[7]

Salah satu rukun iman adalah iman kepada qadha’ dan qadar, yang baik dan yang buruk. Dengan
mengimani hal ini niscaya setiap apa yang terjadi pada diri kita akan ringan dan mendapat
ganjaran dari Allah apabila kita sabar dan ridha.

16. Orang yang mewujudkan tauhid dengan ikhlas dan benar akan dilapangkan dadanya.

17. Orang yang mewujudkan tauhid dengan ikhlas, jujur dan tawakkal kepada Allah dengan
sempurna, maka akan masuk Surga tanpa hisab dan adzab.s

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke
3]
_______
Footnote
[1]. Dinukil dari kitab al-Qaulus Sadiid fi Maqaashidit Tauhiid (hal. 23-25) oleh Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, disertai beberapa tambahan dan dalil-dalil dari penulis.
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 3540), ia berkata, “Hadits hasan gharib.”
[3]. Lihat al-Qaulus Sadiid fi Maqaashid Tauhid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
[4]. HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Muslim (no. 93) dari Shahabat Jabir Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 22) dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu.
[7]. HR. Ibnu Majah (no. 3846), Ahmad (VI/134), al-Hakim dan ia menshahihkannya dan
disepakati oleh adz-Dzahabi (I/522). Untuk lebih lengkapnya, silakan baca buku Do’a & Wirid
(hal. 269-270, cet. VI) oleh penulis.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3169-keutamaan-tauhid.html

Urgensi Memiliki Tauhid yang Benar

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 30, 2013 Aqidah 4 Comments 1,524 Views
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa perintah yang utama bagi manusia adalah
mentauhidkan Allah. Dan ibadah barulah dinamakan ibadah jika disertai dengan tauhid. Tanpa
tauhid ibadah tidaklah disebut ibadah. Hal ini dapat kita misalkan dengan shalat tidaklah disebut
shalat sampai seseorang itu berthoharoh atau bersuci. Hal ini sudah menunjukkan dengan
sendirinya urgensi tauhid.

Begitu pula syirik itu bisa merusak amalan sebagaimana adanya hadats, membuat thoharoh
(keadaan bersuci) seseorang menjadi rusak. Oleh karena sangat penting untuk memahami
kesyirikan karena syirik adalah suatu perangkap yang berbahaya. Semoga Allah menyelamatkan
kita darinya. Inilah ungkapan yang kami petik dari penjelasan Syaikh Muhammad At Tamimi
dalam Al Qowa’idul Arba’.

Dalil-dalil yang menunjukkan urgensi mempelajari tauhid di antaranya,

َ ‫فَ َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو ِلقَا َء َربِ ِه فَ ْليَ ْع َم ْل َع َمَل‬


‫صا ِل ًحا َوَل يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَادَةِ َر ِب ِه أَ َحدًا‬

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia beramal
shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.”
(QS. Al Kahfi: 110). Ayat ini sudah menunjukkan syarat diterimanya ibadah yaitu tauhid dan
ittiba’. Tauhid maksudnya mengikhlaskan ibadah untuk Allah semata,
sedangkan ittiba’ maksudnya adalah mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam beramal.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”,
maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada
Rabbnya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.
Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 9: 205). Ini berarti jika
akidah seseorang tidak beres, maka amalannya tidak diterima. Ini dalil pertama yang
menunjukkan seseorang harus memiliki akidah yang benar.

Begitu pula dalil lainnya menunjukkan bahwa amalan yang tercampur dengan syirik akan
merusak amalan. Bahkan jika yang dilakukan adalah syirik akbar (besar), seluruh amalan
terhapus. Sedangkan jika yang dilakukan adalah syirik ashgor, maka amalan yang tercampur
dengan kesyirikan saja yang terhapus. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ط َّن َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬


َ َ‫ي ِإلَيْكَ َو ِإلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْبلِكَ لَئِ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬ ِ ُ ‫َولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila
kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk
golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)

Bahkan dakwah para rasul adalah untuk meluruskan akidah umat yaitu dengan beribadah pada
Allah saja dan meninggalkan kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,
َّ ‫ّللاَ َواجْ تَنِبُوا ال‬
ُ ‫طا‬
َ‫غوت‬ ُ ‫َولَقَدْ بَ َعثْنَا فِي ُك ِل أ ُ َّم ٍة َر‬
َّ ‫سوَل أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬

“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah
Allah dan jauhilah thoghut (sesembahan selain Allah)’” (QS. An Nahl: 36)

Begitu pula urgensi bertauhid ditunjukkan pula dalam ayat berikut,

‫ّللاَ ََل َي ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َركَ ِب ِه َو َي ْغ ِف ُر َما د ُونَ ذَلِكَ ِل َم ْن َيشَا ُء‬


َّ ‫ِإ َّن‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48). Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya berkata, “Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik yaitu ketika
seorang hamba bertemu Allah dalam keadaan berbuat syirik.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, 3: 129).

Sedangkan jika seseorang mati dalam keadaan bertauhid walau ia penuh dosa sepenuh bumi,
maka Allah akan memaafkannya. Syaratnya adalah ia bebas dari syirik. Dalam hadits qudsi dari
Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

ً‫ش ْيئًا ْلَت َ ْيتُكَ بِقُ َرا ِب َها َم ْغ ِف َرة‬


َ ‫طايَا ث ُ َّم لَ ِقيتَنِى َلَ ت ُ ْش ِركُ ِبى‬ ِ ‫ب اْل َ ْر‬
َ ‫ض َخ‬ ِ ‫يَا ابْنَ آدَ َم ِإنَّكَ لَ ْو أَت َ ْيتَنِى بِقُ َرا‬

“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau
tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan
ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits
ini hasan ghorib. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Abu Thohir)

Semoga Allah menjauhkan kita dari noda kesyirikan dan menjadikan kita hamba yang bertauhid
yang mengesakan Allah dalam beribadah. Wallahul muwaffiq.

Sumber : https://rumaysho.com/3270-urgensi-memiliki-tauhid-yang-benar.html
m

Kedelapan:
SYIRIK DAN MACAM-MACAMNYA[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa syirik merupakan bentuk kemaksiatan yang paling
besar kepada Allah Azza wa Jalla, syirik merupakan sebesar-besar kezhaliman, sebesar-besar
dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengetahui tentang syirik dan
berbagai macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhi-nya dengan sejauh-jauhnya.

A. Definisi Syirik
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Rububiyyah
dan Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya [2]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Syirik
ada dua macam; pertama syirik dalam Rububiyyah, yaitu menjadikan sekutu selain Allah yang
mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:

ِ ‫ت َو ََل فِي ْاْل َ ْر‬


‫ض َو َما لَ ُه ْم فِي ِه َما ِم ْن ِش ْركٍ َو َما لَهُ ِم ْن ُه ْم ِم ْن‬ َّ ‫ّللاِ ۖ ََل َي ْم ِل ُكونَ ِمثْقَا َل ذَ َّرةٍ فِي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫قُ ِل ادْعُوا الَّذِينَ زَ َع ْمت ُ ْم ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬
‫ير‬ َ
ٍ ‫ظ ِه‬

“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai
suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka
yang menjadi pembantu bagi-Nya.’” [Saba’: 22]

Kedua, syirik dalam Uluhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allah, baik dalam
bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah [3].”

Umumnya yang dilakukan manusia adalah menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah adalah dalam
hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah di samping
berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban),
bernadzar, berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.

Karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain Allah berarti ia meletakkan
ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan
kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ظ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬
ُ َ‫ِإ َّن الش ِْركَ ل‬

“… Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman:


13]

Diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

‫ أََلَ َوقَ ْو ُل‬:-‫س َو َكانَ ُمتَّ ِكئًا فَقَا َل‬ َ َ‫ َو َجل‬- ‫عقُ ْو ُق ْال َوا ِلدَي ِْن‬ ُ ‫ بَلَى يَا َر‬:‫ قَالُ ْوا‬،)‫أََلَ أُنَبِئ ُ ُك ْم بِأ َ ْكبَ ِر ْال َكبَائِ ِر (ثََلَثًا‬
ُ ‫ َاْ ِْل ْش َراكُ بِاهللِ َو‬:َ‫ قَال‬.ِ‫س ْو َل هللا‬
َ‫س َكت‬َ ُ‫ فَ َما زَ ا َل يُك َِر ُرهَا َحتَّى قُ ْلنَا لَ ْيتَه‬:َ‫ قَال‬.‫الز ْو ِر‬. ُّ

“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Beliau
mengulanginya tiga kali.) Mereka (para Sahabat) menjawab: “Tentu saja, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” -Ketika itu beliau
bersandar lalu beliau duduk tegak seraya bersabda:- “Dan ingatlah, (yang ketiga) perkataan
dusta!” Perawi berkata: “Beliau terus meng-ulanginya hingga kami berharap beliau diam.” [4]

Syirik (menyekutukan Allah) dikatakan dosa besar yang paling besar dan kezhaliman yang
paling besar, karena ia menyamakan makhluk dan Khaliq (Pencipta) pada hal-hal yang khusus
bagi Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia telah
menyamakannya dengan Allah dan ini sebesar-besar kezhaliman. Zhalim adalah meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya.[5]

Contoh-contoh perbuatan syirik, di antaranya adalah orang yang memohon (berdo’a) kepada
orang yang sudah mati, baik itu Nabi, wali, maupun yang lainnya. Perbuatan ini adalah syirik.

Berdo’a (memohon) kepada selain Allah, seperti berdo’a meminta suatu hajat, isti’anah (minta
tolong), istighatsah (minta tolong di saat sulit) kepada orang mati, baik itu kepada Nabi, wali,
habib, kyai, jin maupun kuburan keramat, atau minta rizki, meminta kesembuhan penyakit dari
mereka, atau kepada pohon dan lainnya selain Allah adalah syirik akbar (syirik besar).

Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memalingkan
satu macam ibadah kepada selain Allah, maka ia musyrik kafir.” [6]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫ّللاِ ِإ َٰلَ ًها آخ ََر ََل ب ُْرهَانَ لَهُ ِب ِه فَإِنَّ َما ِح‬
َ‫سابُهُ ِع ْندَ َر ِب ِه ۚ ِإنَّه ُ ََل يُ ْف ِل ُح ْالكَا ِف ُرون‬ ُ ْ‫َو َم ْن َيد‬
َّ ‫ع َم َع‬

“Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain bersama Allah, padahal tidak ada satu dalil pun
baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhgnya
orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” [Al-Mukminuun: 117][7]

B. Ancaman Bagi Orang Yang Berbuat Syirik


1. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya,
jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak bertaubat kepada Allah. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

َّ ِ‫ّللاَ ََل يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َركَ بِ ِه َو َي ْغ ِف ُر َما د ُونَ َٰذَلِكَ ِل َم ْن يَشَا ُء ۚ َو َم ْن يُ ْش ِر ْك ب‬


‫اَّللِ فَقَ ِد ا ْفت ََر َٰى إِثْ ًما َع ِظي ًما‬ َّ ‫إِ َّن‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah (berbuat syirik), maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-
Nisaa’: 48] Lihat juga [An-Nisaa’: 116].

2. Diharamkannya Surga bagi orang musyrik.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ار‬
ٍ ‫ص‬َ ‫ظا ِل ِمينَ ِم ْن أَ ْن‬ ُ َّ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه ْال َجنَّةَ َو َمأ ْ َواهُ الن‬
َّ ‫ار ۖ َو َما ِلل‬ َّ ِ‫إِنَّهُ َم ْن يُ ْش ِر ْك ب‬
َّ ‫اَّللِ فَقَدْ َح َّر َم‬

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zha-lim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]

3. Syirik menghapuskan pahala seluruh amal kebaikan.


Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫َولَ ْو أَ ْش َر ُكوا لَ َح ِب‬


َ‫ط َع ْن ُه ْم َما كَانُوا َي ْع َملُون‬

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” [Al-An’aam: 88]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

َ‫ط َّن َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬


َ َ‫ي إِلَيْكَ َوإِلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْبلِكَ لَئِ ْن أ َ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬ ِ ُ ‫َولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) sebelummu: ‘Jika
kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi.’” [Az-Zumar: 65]

Dua ayat ini menjelaskan barangsiapa yang mati dalam keadaan musyrik, maka seluruh amal
kebaikan yang pernah dilaku-kannya akan dihapus oleh Allah, seperti shalat, puasa, shadaqah,
silaturahim, menolong fakir miskin, dan lainnya.

4. Orang musyrik itu halal darah dan hartanya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫ص ُرو ُه ْم َوا ْقعُد ُوا لَ ُه ْم ُك َّل َم ْر‬


‫ص ٍد‬ ُ ‫فَا ْقتُلُوا ْال ُم ْش ِركِينَ َحي‬
ُ ْ‫ْث َو َجدْت ُ ُمو ُه ْم َو ُخذُو ُه ْم َواح‬

“…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian…” [At-Taubah: 5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

، َ‫ فَإِذَا فَعَلُ ْوا ذَلِك‬،َ ‫الزكَاة‬


َّ ‫ َويُؤْ تُوا‬،َ‫صَلَة‬ َّ ‫ َويُ ِق ْي ُموا ال‬،ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ َّ‫أ ُ ِم ْرتُ أ َ ْن أُقَاتِ َل الن‬
ُ ‫ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬،ُ‫اس َحتَّى يَ ْش َهد ُْوا أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللا‬
‫سابُ ُه ْم َعلَى هللاِ تَعَالَى‬ ِ ‫ص ُم ْوا ِمنِي ِد َما َء ُه ْم َوأ َ ْم َوالَ ُه ْم إَِلَّ بِ َح‬
َ ‫ َو ِح‬،‫ق اْ ِْل ْسَلَ ِم‬ َ ‫ َع‬.

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang diibadahi dengan benar melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah
utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal
tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka
ada pada Allah Azza wa Jalla.”[8]

Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemunkaran
yang paling munkar.

C. Jenis-Jenis Syirik
Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.

1. Syirik Besar
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a
kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar
untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut
kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau
mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun
mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia
pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan
kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan
melainkan ditujukan kepada Allah saja.[9] Allah Ta’ala berfirman:

َ‫ب ْالعَالَ ِمين‬


ِ ‫آخ ُر دَع َْوا ُه ْم أ َ ِن ْال َح ْمدُ ِ ََّّللِ َر‬ َ ‫س ْب َحانَكَ اللَّ ُه َّم َوت َِحيَّت ُ ُه ْم فِي َها‬
ِ ‫س ََل ٌم ۚ َو‬ ُ ‫دَع َْوا ُه ْم فِي َها‬

“Do’a mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka


adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin.’”
[Yunus: 10]

Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam
Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.

Syirik besar ada banyak [10], sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:[11]

Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a
kepada selain-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫صينَ لَهُ الدِينَ فَلَ َّما نَ َّجا ُه ْم ِإلَى ْالبَ ِر ِإذَا ُه ْم يُ ْش ِر ُكون‬ َّ ‫فَإِذَا َر ِكبُوا فِي ْالفُ ْل ِك د َ َع ُوا‬
ِ ‫ّللاَ ُم ْخ ِل‬
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka
(kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]

Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َٰ
َ ‫ار ۖ َو َح ِب‬
‫ط‬ َ ‫ف ِإلَ ْي ِه ْم أ َ ْع َمالَ ُه ْم فِي َها َو ُه ْم فِي َها ََل يُ ْب َخسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَي‬
ُ َّ‫ْس لَ ُه ْم فِي ْال ِخ َرةِ ِإ ََّل الن‬ ِ ‫َم ْن َكانَ ي ُِريد ُ ْال َحيَاةَ الدُّ ْنيَا َو ِزي َنت َ َها نُ َو‬
َ‫اط ٌل َما كَانُوا َي ْع َملُون‬ ِ َ‫صنَعُوا فِي َها َوب‬َ ‫َما‬

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan.” [Huud: 15-16]

Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ُ ۚ ‫احدًا ۖ ََل ِإ َٰلَهَ ِإ ََّل ه َُو‬


‫س ْب َحانَهُ َع َّما‬ ِ ‫ّللاِ َو ْال َمسِي َح ابْنَ َم ْر َي َم َو َما أ ُ ِم ُروا ِإ ََّل ِل َي ْعبُد ُوا ِإ َٰلَ ًها َو‬ ِ ‫ار ُه ْم َو ُر ْه َبانَ ُه ْم أ َ ْر َبابًا ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬ َ ‫ات َّ َخذُوا أَحْ َب‬
َ‫يُ ْش ِر ُكون‬

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain
Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh beribadah kepada Allah Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan
benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]

Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya
dalam hal kecintaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ َ‫ظلَ ُموا إِذْ يَ َر ْونَ ْالعَذ‬


‫اب أَ َّن‬ َ َ‫شدُّ ُحبًّا ِ ََّّللِ ۗ َولَ ْو يَ َرى الَّذِين‬
َ َ ‫ّللاِ ۖ َوالَّذِينَ آ َمنُوا أ‬
َّ ‫ب‬ِ ‫ّللاِ أَ ْندَادًا ي ُِحبُّونَ ُه ْم َك ُح‬ ِ ‫اس َم ْن يَت َّ ِخذ ُ ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
ْ
ِ ‫شدِيدُ العَذَا‬
‫ب‬ َ ْ
َّ ‫القُ َّوة َ ِ ََّّللِ َج ِميعًا َوأ َّن‬
َ َ‫ّللا‬

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
sangat besar cintanya kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-
Baqarah: 165]

2. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid
dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:

Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk
ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ف بِغَي ِْر هللاِ فَقَدْ َكفَ َر أَ ْو أَ ْش َرك‬


َ َ‫ َم ْن َحل‬.

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.”
[12]

Syirik dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.

Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi
yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu
sekalian melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan
kehendakmu,’ dan mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:

َ‫ َماشَا َء هللاُ ث ُ َّم ِشئْت‬:‫ َوأَ ْن َيقُ ْولُ ْوا‬،‫ب ْال َك ْع َب ِة‬
ِ ‫و َر‬.
َ
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas
kehendakmu.’” [13]

Contoh lain syirik dalam bentuk ucapan yaitu perkataan:

َ‫ َما شَا َء هللاُ َو ِشئْت‬.

“Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”

Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah:

َ‫ َما شَا َء هللاُ ث ُ َّم ِشئْت‬.

“Atas kehendak Allah, kemudian karena kehendakmu.”

Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ َما شَا َء هللاُ ث ُ َّم ِشئْت‬:‫ َو َل ِك ْن ِل َيقُ ْل‬، َ‫ َما شَا َء هللاُ َو ِشئْت‬:‫ف أ َ َحد ُ ُك ْم فََلَ َيقُ ْل‬
َ َ‫ ِإذَا َحل‬.

“Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah
dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengucapkan:

َ‫ َما شَا َء هللاُ ث ُ َّم ِشئْت‬.


‘Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.’” [14]

Kata ‫( ث ُـ َّم‬kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba
mengikuti kehendak Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫ّللاُ َربُّ ْالعَالَ ِمين‬


َّ ‫َو َما تَشَا ُءونَ إِ ََّل أَ ْن يَشَا َء‬

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,
Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]

Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai
pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah [15]) karena
takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau
jimat itu sebagai penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan
ini adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya)
dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung
atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik
akbar (syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.[16]

Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji
orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu
untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya
dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan
memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka
menyanjung atau memujinya.

Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah
memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:

‫صا ِل ًحا َو ََل يُ ْش ِر ْك ِب ِع َبادَ ِة َر ِب ِه أَ َحدًا‬ ِ ‫ي أَنَّ َما ِإ َٰلَ ُه ُك ْم ِإ َٰلَهٌ َو‬
َ ‫احد ٌ ۖ فَ َم ْن كَانَ َي ْر ُجو ِلقَا َء َر ِب ِه فَ ْل َي ْع َم ْل َع َم ًَل‬ َّ َ‫قُ ْل ِإنَّ َما أَنَا َبش ٌَر ِمثْلُ ُك ْم يُو َح َٰى ِإل‬
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku:
‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan
perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada orang-orang


musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti
juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bawa. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang
ghaib, yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti tentang
Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya, melainkan (sebatas) yang
telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang
mereka seru dan mereka ibadahi, tidak lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan
perjumpaan dengan-Nya -yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia
mengerjakan amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu
apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan untuk
mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.

Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan Allah) merupakan rukun amal yang
maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan
harus sesuai dengan syari’at (Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [17]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ ا َ ِلريَا ُء‬:َ‫س ْو َل هللاِ؟ قاَل‬ ْ َ ‫ َو َما ال ِش ْركُ اْْل‬:‫ فَقَالُ ْوا‬،‫صغ َُر‬
ُ ‫ يَا َر‬،‫صغ َُر‬ ْ َ ‫علَ ْي ُك ُم ال ِش ْركُ اْْل‬ ُ ‫ف َما أَخ‬
َ ‫َاف‬ َ ‫إِ َّن أ َ ْخ َو‬.

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat)
bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Yaitu riya’.” [18]

Termasuk juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan duniawi,
seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda.

Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

َ ‫س ِخ‬
‫ط‬ َ ‫ي َوإِ ْن لَ ْم يُ ْع‬
َ ‫ط‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ي َر‬ ِ ‫ إِ ْن أُع‬،‫س َع ْبد ُ ْالخ َِم ْيلَ ِة‬
َ ‫ْط‬ َ ‫س َع ْبدُ ْالخ َِم ْي‬
َ ‫ ت َ ِع‬،‫ص ِة‬ َ ‫ ت َ ِع‬،‫س َع ْبد ُ ال ِد ْره َِم‬
َ ‫ ت َ ِع‬،‫َار‬ َ ‫ت َ ِع‬.
ِ ‫س َع ْبد ُ ال ِدن‬
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah, celakalah hamba
khamilah [19]. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”[20]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga
1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bahasan ini dapat dilihat dalam kitab ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 74-80) oleh Syaikh Shalih bin
Fauzan al-Fauzan, Iqtidhaa’ush Shiraathal Mustaqiim oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ad-
Daa’ wad Dawaa’ oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh
‘Abdurrahman bin Hasan, dan lainnya.
[2]. Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hal. 198) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin
Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[3]. Iqtidhaa’ush Shiraathil Mustaqiim (II/226) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 2654) dan Muslim (no. 88).
[5]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 74) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[6]. Lihat kitab Ushuuluts Tsalaatsah, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
[7]. Lihat buku Do’a dan Wirid (hal. 92) oleh Penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta,
th. 2006 M.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22), dari Sahabat Ibnu ‘Umar.
[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 77) oleh Dr. Shahil bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[10]. Lihat Madaarijus Saalikiin (I/376) dan Juhuudusy Syaafi’iyyah fii Taqriiri Tauhiidil
‘Ibaadah (hal. 437-514) oleh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah al-‘Unquri, cet. I/
Daarut Tauhid lin Nasyr, th. 1425 H/2004 M.
[11]. Lihat pembagian ini dalam kitab Majmuu’atut Tauhiid (I/7-8), tahqiq Basyir Muhammad
‘Uyun, Nuurut Tauhiid wa Zhulumaatusy Syirki (hal. 73-75) oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-
Qahthani, dan untuk lebih jelas tentang 4 macam syirik ini dapat dilihat dalam Fat-hul Majiid
Syarah Kitaabit Tauhiid.
[12]. HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut
syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Silsilatul Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 2042)
[13]. Lihat HR. An-Nasa-i (VII/6) dan ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 992). Hadits ini
diriwayatkan juga oleh Ahmad (VI/371, 372), ath-Thahawi dalam Musykiilul Aatsaar (I/220, no.
238), al-Hakim (IV/297), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Ishaabah (IV/389): “Hadits ini shahih, dari Qutailah x,
wanita dari Juhainah. Lihat pembahasan ini dalam Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab
41 dan 43).
[14]. HR. Ibnu Majah (no. 2117), hadits ini hasan shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-
Shahiihah (no. 1093).
[15]. Tamimah adalah sejenis jimat yang biasanya dikalungkan di leher anak-anak.
[16]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 78) oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[17]. Diringkas dari Tafsiir Ibni Katsir (III/120-122), cet. Daarus Salaam.
[18]. HR. Ahmad (V/428-429) dari Sahabat Mahmud bin Labid. Berkata Imam al-Haitsami di
dalam Majma’uz Zawaa-id (I/102): “Rawi-rawinya shahih.” Dan diriwayatkan juga oleh ath-
Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 4301), dari Sahabat Rafi’ bin Khadiij. Imam al-Haitsami
dalam Majma’uz Zawaa-id (X/222) berkata: “Rawi-rawinya shahih.” Dan hadits ini dihasankan
oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Buluughul Maraam.
[19]. Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan diberi
sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah. Maksudnya -wallaahu a’lam- celaka bagi
orang yang sangat ambisius dengan kekayaan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda.
Mereka itu adalah orang-orang yang celaka dan sengsara.
[20]. HR. Al-Bukhari (no. 2886, 2887, 6435) dan Ibnu Majah (no. 4136). Lihat ‘Aqii-datut
Tauhiid (hal. 78-79), oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3262-syirik-dan-macam-macamnya.html

WASPADA, SYIRIK DI SEKITAR KITA!

WASPADA, SYIRIK DI SEKITAR KITA!

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

Kalau ada seorang penceramah berucap di atas mimbar, “Sungguh perbuatan syirik dan
pelanggaran tauhid sering terjadi dan banyak tersebar di masyarakat kita!”, mungkin orang-orang
akan keheranan dan bertanya-tanya: “Benarkah itu? Mana buktinya?”.

Tapi kalau sumber beritanya berasal dari firman Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân, masihkah
ada yang meragukan kebenarannya?. Simaklah, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َّ ‫َو َما يُؤْ ِمنُ أ َ ْكث َ ُرهُم ِب‬


َ‫اَّللِ ِإ ََّل َوهُم ُّم ْش ِر ُكون‬

Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)”. [Yûsuf/12:106]

Semakna dengan ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

ِ َّ‫َو َما أ َ ْكث َ ُر الن‬


َ‫اس َولَ ْو َح َرصْتَ ِب ُمؤْ ِمنِين‬

“Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat
menginginkannya” [Yûsuf/12:103]

Maksudnya, mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh


untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allâh (dengan iman
yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan
agama (warisan). Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih
menegaskan hal ini:

َ‫َلَ تَقُو ُم السَّا َعةُ َحتَّى ت َْل َحقَ قَبَائِ ُل ِم ْن أ ُ َّمتِي بِ ْال ُم ْش ِركِينَ َو َحتَّى يَ ْعبُد ُوا اْل َ ْوثَان‬

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku
bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu
yang disembah selain Allâh)” [1]

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat
Islam sampai datangnya hari Kiamat. [2]

HAKIKAT SYIRIK
Hakikat syirik adalah perbuatan mengadakan syarîk (sekutu) bagi Allâh Azza wa Jalla dalam
sifat rubuubiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allâh Azza wa Jalla yang khusus bagi-Nya, seperti
menciptakan, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada makhluk-Nya) dan ulûhiyah-Nya
(hak untuk disembah dan diibadahi semata-mata tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas
perbuatan syirik yang terjadi di umat ini adalah (syirik) dalam sifat uluuhiyah-Nya, yaitu dengan
berdoa (meminta) kepada selain Allâh Azza wa Jalla bersamaan dengan (meminta) kepada-Nya,
atau mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti menyembelih
(berkurban), bernazar, rasa takut, berharap dan mencintai.

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menjelaskan hakikat perbuatan
syirik yang diperangi oleh semua rasul yang diutus oleh Allâh Azza wa Jalla, beliau berkata:

“Ketahuilah, semoga Allâh merahmatimu, sesungguhnya (hakekat) tauhid adalah mengesakan


Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah. Inilah agama (yang dibawa) para rasul yang diutus
oleh Allâh Azza wa Jalla kepada umat manusia.

Rasul yang pertama adalah (nabi) Nûh Alaihissallam yang diutus oleh Allâh kepada kaumnya
ketika mereka bersikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan) orang-
orang yang shaleh (di kalangan mereka, yaitu) Wadd, Suwâ’, Yaghûts, Ya’ûq dan Nasr. [4]

Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang menghancurkan
gambar-gambar (patung-patung) orang-orang shaleh tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diutus oleh Allâh kepada kaum (orang-orang musyrik) yang selalu beribadah, berhaji,
bersedekah dan banyak berzikir kepada Allah, akan tetapi mereka (berbuat syirik dengan)
menjadikan makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Allâh (dalam beribadah). Mereka
mengatakan: “Kami menginginkan melalui perantara-perantara makhluk itu agar lebih dekat
kepada Allah [5], dan kami menginginkan syafa’at mereka di sisi-Nya” [6]. (Perantara-perantara
tersebut adalah) seperti para malaikat, Nabi Isa bin Maryam, dan orang-orang shaleh lainnya.

Maka Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memperbaharui (memurnikan kembali) ajaran agama yang pernah dibawa oleh Nabi Ibrâhîim
Alaihissallam (yaitu ajaran tauhid) dan menyerukan kepada mereka bahwa bentuk pendekatan
diri dan keyakinan seperti ini adalah hak Allâh yang murni (khusus bagi-Nya) dan tidak boleh
diperuntukkan sedikit pun kepada selain-Nya, meskipun itu malaikat atau nabi utusan-Nya,
apalagi yang selainnya”. [7]

CONTOH-CONTOH PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK TERJADI DI


MASYARAKAT
Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin,
bahkan perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang di zaman Jahiliyah -sebelum
datangnya Islam- masih juga sering terjadi di zaman modern ini.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Perbuatan syirik yang terjadi di jaman Jahiliyah
(juga) terjadi pada (jaman) sekarang ini:

1- Dahulu orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) meyakini bahwa Allâh Dialah Yang Maha
Pencipta dan Pemberi rezeki (bagi semua mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan dengan itu)
mereka berdoa (meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh
dan dekat kepada Allâh Azza wa Jalla) dalam bentuk berhala-berhala, sebagai perantara untuk
(semakin) mendekatkan mereka kepada Allâh (menurut persangkaan sesat mereka). Maka Allâh
tidak meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa) tersebut, bahkan Allâh
Azza wa Jalla menyatakan kekafiran mereka dalam firman-Nya:

َّ ‫ّللاِ ُز ْلفَ َٰى إِ َّن‬


َّ ‫ّللاَ يَحْ ُك ُم بَ ْينَ ُه ْم فِي َما ُه ْم فِي ِه يَ ْخت َ ِلفُونَ ۗ إِ َّن‬
‫ّللاَ ََل يَ ْهدِي َم ْن‬ َّ ‫َوالَّذِينَ ات َّ َخذُوا ِم ْن د ُونِ ِه أ َ ْو ِليَا َء َما نَ ْعبُد ُ ُه ْم إِ ََّل ِليُقَ ِربُونَا إِلَى‬
‫ار‬ٌ َّ‫ه َُو كَاذِبٌ َكف‬

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allâh (berkata): “Kami tidak menyembah
mereka (sembahan-sembahan kami) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh
dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allâh akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-
orang yang pendusta dan sangat besar kekafirannya”. [az-Zumar/39:3]

Allâh Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha dekat, tidak membutuhkan keberadaan perantara
dari makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ٌ‫سأَلَكَ ِعبَادِي َعنِي فَإِنِي قَ ِريب‬


َ ‫َوإِذَا‬

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku
adalah maha dekat”. [al-Baqarah/2:186]

Kita saksikan di zaman sekarang ini kebanyakan kaum Muslimin berdoa (meminta/menyeru)
kepada wali-wali dalam wujud (penyembahan terhadap) kuburan mereka, dengan tujuan untuk
mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla.
Berhala-berhala (di zaman Jahiliyah) merupakan wujud dari para wali (orang-orang yang mereka
anggap shaleh dan dekat kepada Allâh Azza wa Jalla) yang telah wafat menurut pandangan
orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah). Sedangkan kuburan adalah wujud dari para wali yang
telah meninggal menurut pandangan orang-orang yang melakukan perbuatan Jahiliyah (di zaman
sekarang), meskipun harus diketahui bahwa fitnah (kerusakan/keburukan yang ditimbulkan) dari
(penyembahan terhadap) kuburan lebih besar dari fitnah (penyembahan) berhala!

2- Dahulu orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) selalu berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla
semata di waktu-waktu sulit dan sempit, kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ‫صينَ لَهُ الدِينَ فَلَ َّما نَ َّجا ُه ْم إِلَى ْالبَ ِر إِذَا ُه ْم يُ ْش ِر ُكون‬ َّ ‫فَإِذَا َر ِكبُوا فِي ْالفُ ْل ِك دَ َع ُوا‬
ِ ‫ّللاَ ُم ْخ ِل‬

“Maka apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal mereka berdoa kepada Allâh dengan
memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala Allâh menyelamatkan mereka sampai ke darat,
tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”. [al-‘Ankabût/29:65]

Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk berdoa kepada selain Allâh
dalam waktu sempit dan lapang (sebagaimana yang sering dilakukan oleh banyak kaum
Muslimin di zaman ini)?[8].

CONTOH-CONTOH LAIN PERBUATAN-PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK


TERSEBAR DI MASYARAKAT [9]
1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala,
seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan
dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti
keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti
mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf, shalat dan
sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫ب ْال َعالَ ِمينَ ََل ش َِريكَ َلهُ ۖ َو ِب َٰذَلِكَ أ ُ ِم ْرتُ َوأَنَا أَ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِمين‬
ِ ‫اي َو َم َما ِتي ِ ََّّللِ َر‬ َ ‫قُ ْل ِإ َّن‬
ُ ُ‫ص ََل ِتي َون‬
َ ‫س ِكي َو َمحْ َي‬
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allâh, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [al-
An’âm/6:162-163]

2- Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan sebagainya, serta
membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan kufur (mendustakan) agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang
ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan tukang sihir tersebut
dalam firman-Nya yang artinya:

‫نز َل َعلَى ْال َملَ َكي ِْن‬ ِ ُ ‫اس ال ِسحْ َر َو َما أ‬ َ َّ‫اطينَ َكفَ ُروا يُعَ ِل ُمونَ الن‬ ِ َ‫شي‬ َّ ‫سلَ ْي َمانُ َو َٰلَ ِك َّن ال‬
ُ ‫سلَ ْي َمانَ ۖ َو َما َكفَ َر‬ ُ ‫اطينُ َعلَ َٰى ُم ْل ِك‬ َّ ‫َواتَّبَعُوا َما تَتْلُو ال‬
ِ َ‫شي‬
ۚ ‫وَل إِنَّ َما نَحْ نُ فِتْنَةٌ فَ ََل ت َ ْكفُ ْر ۖ فَيَتَعَلَّ ُمونَ ِم ْن ُه َما َما يُ َف ِرقُونَ بِ ِه بَيْنَ ْال َم ْر ِء َوزَ ْو ِج ِه‬ َ ُ‫ان ِم ْن أ َ َح ٍد َحت َّ َٰى يَق‬
ِ ‫اروتَ ۚ َو َما يُعَ ِل َم‬ ُ ‫َاروتَ َو َم‬ ُ ‫بِبَابِ َل ه‬
ۚ‫ق‬ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ُ
ٍ ‫ّللاِ ۚ َويَتعَل ُمونَ َما يَض ُُّره ْم َوَل يَنفعُ ُه ْم ۚ َولقدْ َع ِل ُموا ل َم ِن اشت ََراهُ َما لهُ فِي ال ِخ َرةِ ِمن خََل‬ َّ َ ْ َّ َ ْ
َّ ‫ارينَ بِ ِه ِمن أ َح ٍد إَِل بِإِذ ِن‬ ِ ‫ض‬َ ِ‫َو َما هُم ب‬
َ ُ َ
َ‫س ُه ْم ۚ ل ْو كَانوا يَ ْعل ُمون‬ ُ َ
َ ‫س َما ش ََر ْوا بِ ِه أنف‬ ْ َ
َ ‫َولبِئ‬
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu
kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allâh. Dan mereka
mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi
manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya
(kitab Allâh) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah
perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui” [al-
Baqarah/2:102]

Hal ini dikarenakan para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui
urusan gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

َ‫ّللاُ ۚ َو َما يَ ْشعُ ُرونَ أَيَّانَ يُ ْبعَثُون‬ َ ‫ض ْالغَي‬


َّ ‫ْب إِ ََّل‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫قُل ََّل يَ ْعلَ ُم َمن فِي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬

“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan”. [an-
Naml/27:65]

Selain itu, mereka selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek sihir
dan perdukunan. Padahal para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktek
tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan kurban untuk para jin dan setan tersebut,
menghinakan al-Qur’ân dengan berbagai macam cara, atau cara-cara lainnya [11]. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫نس يَعُوذُونَ بِ ِر َجا ٍل ِمنَ ْال ِج ِن فَزَ ادُو ُه ْم َر َهقًا‬ ِ ْ َ‫َوأَنَّهُ َكانَ ِر َجا ٌل ِمن‬
ِ ‫اْل‬
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada
beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan”. [al-Jin/72:6]

3- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam
memujiku seperti orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (Nabi
Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka katakanlah: hamba
Allâh dan rasul-Nya”. [12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin ikut
memiliki sebagian dari sifat-sifat khusus yang dimiliki Allâh Azza wa Jalla, seperti mengetahui
ilmu gaib, memberikan manfaat atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta, dan lain-
lain. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٌ ‫ي السُّو ُء ۚ ِإ ْن أَنَا ِإ ََّل نَذ‬


‫ِير‬ َّ ‫ب ََل ْستَ ْكث َ ْرتُ ِمنَ ْال َخي ِْر َو َما َم‬
َ ‫س ِن‬ َ ‫ّللاُ ۚ َولَ ْو ُك ْنتُ أ َ ْعلَ ُم ْالغَ ْي‬ َ ‫قُ ْل ََل أ َ ْم ِلكُ ِلنَ ْفسِي نَ ْف ًعا َو ََل‬
َّ ‫ض ًّرا ِإ ََّل َما شَا َء‬
َ‫ِير ِلقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬
ٌ ‫َو َبش‬

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku mengetahui yang gaib,
tentulah aku akan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman”. [al-A’râf/7:188]

Di antara Bentuk Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada Rasulullâh
Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut:

• Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang gaib dan bahwa dunia diciptakan karena
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

• Memohon pengampunan dosa dan masuk surga kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena semua perkara ini adalah khusus milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak ada seorang
makhluk pun yang ikut serta memilikinya.

• Melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan menziarahi kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini
dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan
tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha”. [13]

Semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan perjalanan untuk mengunjungi kuburan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya
kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh sejumlah imam
ahli hadits.
Adapun melakukan perjalanan untuk melakukan shalat di Masjid Nabawi maka ini adalah
perkara yang dianjurkan dalam Islam berdasarkan hadits yang shahih.[14]

• Meyakini bahwa keutamaan Masjid Nabawi disebabkan adanya kuburan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal, karena Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyebutkan keutamaan shalat di Masjid Nabawi sebelum beliau wafat.

4- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shaleh yang
terwujudkan dalam berbagai bentuk, di antaranya:

• Memasukkan kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya
kuburan tersebut.

Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (kerena) mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” [15]

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu menjadikan kuburan para nabi dan orang-
orang shaleh (di antara) mereka sebagai masjid (tempat ibadah), maka janganlah kalian (wahai
kaum Muslimin) menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari
perrbuatan tersebut” [16]

• Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat)nya.


Dalam hadits yang shahih, Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan
membangun di atasnya”.[17]

Perbuatan-perbuatan ini dilarang karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan
syirik (menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan orang-orang shaleh tersebut).

5- Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang Muslim adalah
menggantungkan jimat -baik berupa benang, manik-manik atau benda lainnya- pada leher,
tangan, atau tempat-tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya
dan pengundang kebaikan.

Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau
yang artinya: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, sungguh dia telah berbuat syirik”. [18]

6- Demikian juga perbuatan tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab kesialan atau
keberhasilan suatu urusan, padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikannya sebagai
sebab yang berpengaruh.

Perbuatan ini juga dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau yang artinya: “(Melakukan) ath-thiyarah adalah kesyirikan”. [19]
7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allâh Azza wa Jalla. Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa bersumpah dengan (nama)
selain Allâh, sungguh dia telah berbuat syirik”.[20]

NASIHAT DAN PENUTUP


Demikianlah beberapa contoh praktek perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat. Hendaknya
fakta tersebut menjadikan seorang Muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya
akan kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin
dirinya dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang hidup
disekitarnya?

Kalau Nabi Ibrâhim Alaihissallam saja sampai mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya
terjerumus dalam perbuatan menyembah kepada selain Allâh (syirik), dengan berdoa kepada
Allah ‘jauhkanlah diriku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala’ (Ibrâhim:35),
padahal beliau Alaihissallam adalah nabi mulia yang merupakan panutan dalam kekuatan iman,
kekokohan tauhid, serta ketegasan dalam memerangi syirik dan pelakunya, maka sudah tentu kita
lebih pantas lagi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri dan keluarga kita, dengan semakin
bersungguh-bersungguh berdoa dan meminta perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan dari
semua perbuatan tersebut dan pintu-pintu yang membawa kepadanya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan doa perlindungan dari segala bentuk
syirik kepada Sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :

‫ َوأَ ْست َ ْغ ِف ُركَ ِل َما َل أَ ْعلَ ُم‬، ‫اللَّ ُه َّم إِنِي أَعُوذ ُ بِكَ أ َ ْن أ ُ ْش ِركَ بِكَ َوأَنَا أَ ْعلَ ُم‬

“Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang
aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)” [21].

Juga tentu saja, dengan semakin giat mengusahan langkah-langkah untuk kian memantapkan
akidah tauhid dalam diri kita yang terwujud dalam meningkatnya semangat mempelajari ilmu
tentang tauhid dan keimanan, serta berusaha semaksimal mungkin mempraktekkan dan
merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
7574821]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat Abu Dâwud no. 4252, at-Tirmidzi no. 2219 dan Ibnu Mâjah no. 3952.
[2]. Lihat kitab al-‘Aqîdatul Islâmiyyah, Muhammad bin Jamil Zainu, hlm. 33-34
[3]. Kitâbut Tauhîd, Shâleh bin Fauzân al-Fauzân, hlm. 8
[4]. Ini adalah nama-nama orang shaleh dari umat Nabi Nûh Alaihissallam , yang kemudian
setelah mereka wafat, kaumnya menjadikan patung-patung mereka sebagai sembahan selain
Allâh k . Lihat QS Nûh/71:23
[5]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. az-Zumar/39:3
[6]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Yûnus/10:18
[7]. Kasyfusy Syubuhât hlm. 7
[8]. Al-‘Aqîdatul Islâmiyyah hlm. 46
[9]. Pembahasan ini diringkas dari kitab Mukhâlafât fit Tauhîd, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis,
dengan sedikit tambahan dan penyesuaian
[10]. HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387
[11]. Hum Laisu Bisyai hlm. 4
[12]. HR. al-Bukhâri no. 3261
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1132 dan Muslim no. 1397
[14]. HR. al-Bukhâri no. 1133 dan Muslim no. 1394
[15]. HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529
[16]. HR. Muslim no. 532
[17]. HR. Muslim (no. 970).
[18]. HR. Ahmad (4/156). Lihat ash-Shahîhah no. 492
[19]. HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan Ibnu Mâjah no. 3538. Lihat ash-
Shahîhah no. 429
[20]. HR. Abu Dâwud (no. 3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042
[21]. Hadits shahih riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2841-waspada-syirik-di-sekitar-kita.html

Lebih Penting Khilafah ataukah Dakwah Tauhid?

Ari Wahyudi, Ssi. 6 August 2010 0 Comments

Share on Facebook

Share on Twitter
Boleh jadi, banyak orang beranggapan bahwa masalah tauhid itu penting dan utama, bahkan
wajib. Anggapan ini seratus persen benar. Namun, karena dalam kacamata sebagian orang,
tauhid itu -meskipun penting dan utama, bahkan wajib- sempit cakupannya atau ‘terlalu’ mudah
untuk direalisasikan -dan bahkan menurut mereka praktek dan pemahaman tauhid pada diri
masyarakat sudah beres semuanya- maka akhirnya banyak di antara mereka yang meremehkan
atau bahkan melecehkan da’i-da’i yang senantiasa mendengung-dengungkannya.

Terkadang muncul celetukan di antara mereka, “Kalian ini ketinggalan jaman, hari gini masih
bicara tauhid?”. Atau yang lebih halus lagi berkata, “Agenda kita sekarang bukan lagi masalah
TBC -takhayul, bid’ah dan churafat-, sekarang kita harus lebih perhatian terhadap agenda
kemanusiaan.” Atau yang lebih cerdik lagi berkata, “Kalau kita meributkan masalah aqidah umat
itu artinya kita su’udzan kepada sesama muslim, padahal su’udzan itu dosa! Jangan kalian usik
mereka, yang penting kita bersatu dalam satu barisan demi tegaknya khilafah!”. Allahul
musta’aan…

Sampai Kapan Kita Bicara Tauhid?

Tauhid adalah agenda terbesar umat Islam di sepanjang zaman. Sebab tauhid adalah hikmah
penciptaan, tujuan hidup setiap insan, misi dakwah para nabi dan rasul, dan muatan kitab-kitab
suci yang Allah turunkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk
menguji kalian siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat
seorang rasul -yang menyeru-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami utus sebelum kamu -hai Muhammad-
seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepada mereka, bahwasanya tidak ada sesembahan
-yang benar- kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Bahkan, tauhid adalah syarat pokok diterimanya amalan. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia
melakukan amal salih dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya
dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh,
apabila kamu berbuat syirik maka benar-benar semua amalanmu akan terhapus, dan kamu pasti
akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Lebih daripada itu,
kemusyrikan -sebagai lawan dari tauhid- menjadi sebab seorang hamba terhalang masuk surga
untuk selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya
adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim
itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah;
Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, seluruhnya adalah untuk Allah Rabb
seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang
yang pertama kali pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163).

Oleh sebab itu, berbicara masalah tauhid berarti berbicara mengenai hidup matinya kaum
muslimin dan keselamatan mereka di dunia maupun di akherat. Berbicara masalah tauhid adalah
berbicara tentang tugas mereka sepanjang hayat masih dikandung badan. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian.” (QS. al-Hijr: 99).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan
mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dia pasti masuk neraka.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu). Maka dengan alasan apakah agenda yang
sangat besar ini dikesampingkan?

Kami Berjuang Demi Membela Hak-Hak Manusia!

Seruan semacam ini sering kita dengar. Dan banyak sekali kalangan yang tertipu dan terbius
dengannya, sampai-sampai sebagian aktifis gerakan dakwah pun termakan oleh slogan ini.
Padahal, di balik slogan -yang terdengar merdu ini- tersimpan rencana jahat Iblis dan bala
tentaranya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah ta’ala, yaitu jalan tauhid.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah,
di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS.
Yusuf: 108).

Hak-hak manusia sedemikian agung dalam pandangan mereka. Mereka benci dan murka apabila
hak-hak manusia dihinakan dan diinjak-injak oleh sesamanya. Mereka pun bangkit dengan
mengatasnamakan pejuang hak azasi manusia, pembela rakyat kecil, pembela kaum tertindas,
dan gelaran-gelaran ‘keren’ lainnya. Orang-orang pun merasa tertuntut untuk mendukung
mereka, karena mereka khawatir disebut tidak punya kepedulian terhadap sesama. Dan yang
lebih busuk lagi, kalau ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk meraih ambisi kekuasaan
belaka!

Padahal, hak-hak manusia -sebesar apapun jasanya, semulia apapun kedudukannya- tetap saja
masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan hak Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan dan
mengatur jagad raya. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan agar
dakwah tauhid didahulukan sebelum ajakan-ajakan yang lainnya. Beliau bersabda, “Hendaklah
yang pertama kali kamu serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan
Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Demikian pula beliau
mengajarkan kepada kita, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka menyembah-Nya
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu). Namun, jangan disalahpahami bahwa ini berarti kita
meremehkan hak-hak manusia, sama sekali tidak!

Jangan Bicara Masalah Bid’ah!


Ungkapan semacam ini pun sering terlontar. Dalam persepsi mereka, bid’ah itu adalah masalah
sensitif yang tidak perlu diungkit-ungkit. Mengapa demikian? Karena dengan memperingatkan
umat dari bahaya bid’ah dan menjelaskan amalan-amalan serta keyakinan-keyakinan yang bid’ah
akan menyebabkan timbulnya konflik internal di dalam tubuh kaum muslimin, dan menurut
‘hemat mereka’ hal itu akan melemahkan kekuatan kaum muslimin dan memecah belah
persatuan mereka. Sepintas, sepertinya ini adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima…
Namun, jangan terburu-buru! Karena ternyata cara berpikir semacam ini tidak dibenarkan oleh
agama.

Sebelumnya, kita yakini bersama bahwa bid’ah adalah tercela dan sesat. Allah tidak menerima
ibadah yang dilakukan namun tidak ada tuntunannya alias diada-adakan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari
kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha). Sebagian ulama salaf juga
berkata, “Bid’ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih ada kemungkinan
diharapkan taubat darinya. Adapun bid’ah, maka sulit diharapkan taubat darinya.” Selain itu,
sebagaimana kita yakini pula bahwa dalam berdakwah kita harus bersikap bijak, tidak boleh
serampangan atau asal-asalan. Bahkan, sikap bijak/hikmah merupakan pilar dalam dakwah.
Namun, bersikap bijak bukan dengan cara membiarkan kemungkaran merajalela tanpa
pengingkaran kepadanya.

Tatkala bid’ah menjadi penghalang diterimanya amalan, bahkan ia termasuk kategori dosa dan
kemungkaran, maka sudah sewajarnya seorang da’i memperingatkan bahayanya dan
menjelaskannya kepada umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di setiap khutbah Jum’at beliau selalu memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan
mengingatkan mereka bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan yang berujung kepada kehancuran,
sebagaimana yang tertera di dalam khutbatul hajah di setiap awal ceramah. Oleh sebab itu para
ulama menganggap bahwa orang yang membantah ahlul bid’ah adalah termasuk golongan
mujahid!

Tidakkah anda ingat bagaimana sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dengan ilmu sunnah
yang dimilikinya dengan tegas membantah dan berlepas diri dari bid’ah Qadariyah yang muncul
di masanya? Demikian pula para ulama salaf lainnya seperti Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah yang dengan tegar mempertahankan aqidah al-Qur’an kalamullah dan
bukan makhluk, dan masih banyak ulama lain yang melakukan perjuangan serupa seperti mereka
berdua dengan segala resiko yang harus mereka tanggung di jalan dakwah ini. Maka apabila kita
telah mengetahui itu semua, jelaslah bagi kita bahwa seorang da’i yang tidak menempuh jalan ini
-memperingatkan umat dari bahaya bid’ah- itu maknanya dia telah berkhianat terhadap amanah
dakwah. Karena ‘pengkhianatannya’ itulah statusnya akan berubah dari seorang da’i ilallah -
orang yang mengajak kepada Allah- menjadi da’i ila ghairillah -orang yang mengajak kepada
selain Allah-! Nas’alullahas salamah

Jangan Merasa Paling Benar!


Sebagian orang ketika ditegur dan diingatkan untuk meninggalkan atau menjauhi perkara-
perkara yang menyimpang dari agama -karena bertentangan dengan al-Qur’an ataupun as-
Sunnah- dengan ringannya mengucapkan perkataan semacam itu. Entah penyimpangan itu
terkait dengan aqidah, ibadah, ataupun masalah yang lainnya. Entah itu termasuk dalam kategori
syirik, kekafiran, kebid’ahan ataupun kemaksiatan yang lainnya. Belum lagi, jika orang tersebut
memiliki sedikit ‘ilmu’ dan wawasan, maka dengan sigapnya dia akan ‘memperkosa’ dalil demi
melanggengkan tindakannya yang keliru. Keras kepala, itulah sifat yang melekat dalam dirinya.
Kalau dicermati lebih dalam, justru ternyata sikapnya yang tidak mau menerima nasehat dan
teguran itu merupakan bentuk kesombongan dan ekspresi perasaan diri yang paling benar
[!], Wal ‘iyadzu billah…

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara
maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu,
sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu -Muhammad- sebagai
hakim atas segala perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit
dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah
sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas
bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan
suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka itu.
Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sesungguhnya dia telah tersesat dengan
kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah
dia -Muhammad- itu berbicara melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm:
3-4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat, untuk Allah,
Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk rakyatnya.” (HR. Muslim dari
Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu).

Tauhid Sudah Ada di Dada-Dada Manusia!

Sebagian orang mengucapkan perkataan semacam ini, sehingga secara sadar ataupun tidak dia
telah menjauhkan manusia dari dakwah tauhid. Berangkat dari asumsi yang salah itulah maka
mereka tidak lagi memberikan porsi besar bagi dakwah tauhid. Mereka pun beralih ke kancah
perpolitikan ala Yahudi dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang menyeret mereka dalam
kehinaan. Apabila dikaji sebabnya, maka hanya ada dua kesimpulan; mungkin karena
ketidaktahuannya sehingga dengan mudahnya dia berkata demikian, atau karena dia mengetahui
kebenaran namun sengaja berpaling darinya. Dan keduanya ini apabila menimpa seorang yang
digelari sebagai da’i, ustadz ataupun murabbi merupakan realita yang sangat pahit sekali. Oleh
sebab itu, kita perlu meluruskannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid bukan sekedar ucapan la ilaha illallah yang tidak diiringi
dengan konsekuensinya. Orang-orang munafikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan la ilaha illallah, akan tetapi mereka divonis akan menempati kerak neraka
yang paling bawah. Hal itu tidak lain karena mereka tidak jujur dalam mengucapkannya. Tauhid
juga bukanlah sekedar keyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan
pemelihara alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan serta yang melimpahkan rezki,
bukan itu saja! Sebab apabila memang itu tauhid yang dimaksud oleh dakwah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam niscaya beliau tidak perlu mengobarkan peperangan kepada kaum kuffar
Quraisy yang telah mengimani perkara-perkara itu.

Jangan Runtuhkan Persatuan!

Apabila para da’i berbicara tentang tauhid dan membantah berbagai macam bentuk kemusyrikan
yang ada serta menjelaskan sunnah dan membongkar berbagai macam bentuk bid’ah yang
merajalela, maka bangkitlah sebagian orang dengan semangat bak pahlawan seraya
berteriak, “Mengapa kalian sibukkan umat dengan urusan semacam ini? Umat akan terpecah
belah akibat dakwah kalian.” Inilah komentar-komentar sinis yang mereka lontarkan. Padahal,
kita telah mengetahui bersama bahwa persatuan kaum muslimin yang hakiki -yang dengannya
mereka akan selamat di hadapan Rabbnya- adalah persatuan di atas tauhid dan sunnah, bukan
persatuan di atas syirik dan bid’ah! Orang-orang yang gemar menebar syirik dan bid’ah -dengan
dipoles berbagai macam hiasan- maka mereka itulah sesungguhnya gerombolan pemecah belah
dan pengacau persatuan!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya
petunjuk, dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka niscaya Kami akan
biarkan dia terombang-ambing di atas kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan
dia ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat-
tidak akan bermanfaat harta dan keturunan, melainkan bagi orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89). Allah ta’alaberfirman (yang
artinya), “Pada hari itu -kiamat- orang-orang yang -dahulu ketika di dunia- saling berkasih
sayang berubah menjadi saling memusuhi, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-
Zukhruf: 67). Allah ta’ala juga berfirman mengenai seruan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam kepada
kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah, Dialah Rabbku dan Rabb kalian, maka
sembahlah Dia -saja-. Inilah jalan yang lurus.” (QS. az-Zukhruf: 64). Allah ta’ala berfirman
tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Sesungguhnya inilah
jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain itu,
karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia perintahkan kepada
kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)

Khilafah, Itu Solusinya!


Sebagian gerakan Islam yang telah kehilangan arah dan lalai dari misi dakwah para rasul sangat
getol mendengung-dengungkan slogan ini. Menurut mereka, tanpa khilafah berarti tiada syari’ah.
Tanpa khilafah, kaum muslimin tidak bisa berbuat apa-apa. Maka jadilah khilafah sebagai target
perjuangan dan misi utama dakwah mereka. Tidak ada satupun problema di masyarakat atau
negara melainkan mereka sangkut-sangkutkan dengan khilafah dan politik kekuasaan. Mereka
menuding para da’i tauhid sebagai da’i kampungan yang tidak bisa bicara kecuali masalah-
masalah sepele. Tidak bisa mengatasi masalah bangsa, tidak punya visi ke depan demi kejayaan
umat, dan lain sebagainya.

Padahal, kita semua tahu bahwa bangunan umat ini tidak akan tegak dan kokoh kecuali di atas
aqidah yang kuat dan murni. Seorang muslim dengan aqidah yang kokoh akan dengan sukarela
menerapkan syari’ah dalam kehidupannya sekuat kemampuannya, meskipun misalnya ternyata
khilafah belum mampu mereka wujudkan karena kondisi umat yang masih berlumuran dengan
kotoran-kotoran keyakinan dan bid’ah yang sedemikian luas menjangkiti anak bangsa dan
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan melindas lembaran sejarah
sedemikian lama.

Perubahan ini membutuhkan proses yang bertahap, tidak bisa terjadi secara tiba-tiba seperti
membalikkan telapak tangan begitu saja. Hal ini dapat kita saksikan dalam individu-individu
kaum muslimin. Yang mana perubahan menjadi baik itu memerlukan proses dan tahap yang
tidak sebentar. Nah, bagaimana lagi dengan sekelompok orang yang memiliki beragam
problema, sebuah negara, apalagi kumpulan negara dengan jutaan masalah yang menghimpit
warga negara mereka masing-masing? Tentu merubahnya tidak cukup dengan teriakan dan
slogan semata. Kembali kepada syari’ah tidak seratus persen bergantung pada khilafah. Betapa
banyak syari’at yang bisa diterapkan oleh seorang individu umat ini, sebuah keluarga atau
sekumpulan orang tanpa perlu menunggu tegaknya khilafah. Tidak ada yang salah dalam
merindukan khilafah, akan tetapi tatkala khilafah menjadi tujuan dan cita-cita dakwah maka
silahkan anda jawab sendiri pertanyaan ini; Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdakwah dengan tujuan mendirikan khilafah, ataukah menegakkan tauhid?

Dari situlah perlu kita camkan wahai saudaraku, bahwa tidak akan berhasil upaya apapun yang
ditempuh oleh gerakan mana saja selama mereka lebih memilih jalannya sendiri dan tidak mau
mengikuti jejak para pendahulu mereka. Imam Malik rahimahullah telah mengingatkan, “Tidak
akan baik urusan akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah memperbaiki generasi
awalnya.” Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa
barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak
halal baginya meninggalkan hal itu gara-gara mengikuti pendapat seseorang.” Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan membuat ajaran-ajaran baru,
karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan
sebab Kitab ini -al-Qur’an- dan akan menghinakan sebagian kaum yang lain dengan sebab Kitab
ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Sungguh benar ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang
menghendaki kebaikan namun tidak berhasil mendapatkannya.” Betapa banyak orang yang
mengira dirinya pejuang Islam, mujahid dakwah, da’i kebenaran, namun ternyata mereka salah
jalan dan justru menjadi musuh Islam dari dalam. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Katakanlah; Maukah kuberitakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling
merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia akan tetapi
mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi:
103-104)

Saudaraku, betapa banyak rumah yang roboh bukan karena tiupan angin kencang ataupun
terpaan banjir bandang. Akan tetapi ia roboh karena pondasinya yang tidak kokoh, karena pilar-
pilarnya yang begitu lemah, tidak kuat menopang dinding dan atap serta barang-barang berat
yang ada di dalamnya, sehingga tatkala getaran kecil gempa menyapa maka luluh lantaklah
seluruh sendi-sendinya dan runtuhlah rumah itu menimpa pemiliknya! Maka demikianlah
perumpamaan orang-orang yang mengimpikan kekuasaan dan khilafah namun menyingkirkan
agenda terbesar umat Islam yang sesungguhnya. Jadi, sepenting apakah tauhid itu? Kini anda
telah bisa menjawabnya.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/4328-lebih-penting-khilafah-ataukah-dakwah-tauhid.html

You might also like